Senin, 01 Agustus 2016

[ROUND 1 - 10I] 30 - ADOLF CASTLE | ALL IS FAIR IN...

oleh : toomuchidea

--
Adolf mungkin satu-satunya peserta yang menonton video pertarungan para peserta dengan sebuah senyum di wajahnya, sesuatu yang sebelumnya dan saat ini masih ia jarang tunjukkan. Zainurma tidak berbohong. Ia benar bisa belajar dari mereka semua, bertarung begitu hebat dengan konflik mereka. Fisik, batin, mengenai prinsip dan mimpi. Untuk menyelesaikan suatu masalah, cara penyelesaian yang mereka gunakan sungguh berbeda dari apa yang Adolf pikir ia akan lakukan. Begitu membingungkan, begitu menarik.

Ketika ia kembali ke apa yang mereka sebut 'Bingkai Mimpi'pun, roda-roda di otaknya masih berjalan mencoba menebak-nebak apa alasan mereka melakukan ini dan mengatakan itu di saat mereka bertarung. Ia paham dan tidak paham di saat yang sama. Seperti bagaimana seseorang dapat memaafkan seorang penjahat yang begitu mengerikan, atau memutuskan untuk menghindari konflik, atau memanipulasi situasi dan kondisi untuk menguntungkan diri mereka sendiri.

"Aw!" Adolf mengaduh, pikirannya terputus begitu saja. Ia melongok ke bawah, mencari sumber kesakitan yang muncul dengan tiba-tiba. Domba yang diberikan si Kepala Bantal sedang mengigit-gigit kakinya, ia berhenti memandang Adolf dengan kedua mata hitamnya yang besar dan nampak lugu. Adolf mendecakkan lidahnya kesal, menunduk ke bawah dan dengan hati-hati mengangkat domba tersebut dengan kedua tangannya.

"Kau lapar?" Ia bertanya. Si domba mengembik, seolah menjawab.
"Aku juga," Adolf menurunkannya kembali ke lantai, tak kuat menahan bebannya, sebelum berjalan kea rah dapur rumahnya (Yang merupakan Bingkai Mimpinya). "Ayo sini, aku carikan sayur."

Sebelum mereka sempat melakukannya, bel pintu berdenting. Adolf terdiam, berkedip bingung di tempat. Siapa yang membunyikannya? Bukankah ia tidak lagi berada di Bumi? Dengan penasaran ia mengendap-endap menuju pintu utama rumahnya, mengintip dari lubang intip dan melihat jalanan depan rumahnya yang nampak agak transparan. Ia membuka pintunya, si domba mengembik senang dan melangkah keluar ke halaman untuk memakan rumput di halaman.

Ia mengangkat bahunya tak mau tahu, lalu membuka kotak pos yang letaknya tepat disebelah pintu. Sebuah amplop cokelat, tanpa perangko dan tidak ditutup. Adolf merobek satu tepinya dengan hati-hati sembari berjalan kembali ke ruang tamu, lalu menuangkan isinya ke atas meja terdekat. Beberapa lembaran kertas, dengan foto dan gambar ruang denah.
Yang pertama menangkap perhatiannya adalah foto empat orang, termasuk dirinya. Para peserta yang dimasukkan bersama di grup ini. Tidak banyak informasi yang ia dapat, selain nama serta sedikit penjelasan mengenai siapa mereka. Adolf ingat bagaimana ia pernah melihat wajah mereka di aula, atau melihat video pertandingan mereka. Dari mereka semua, ada dua yang menarik perhatiannya. Si clone sains-fiksi, Shade dan si wanita berkemampuan super, Daytona.

Selanjutnya, Adolf meraih kertas yang menjelaskan informasi mengenai lokasi tempat dimana mereka akan dikirimkan selanjutnya lengkap dengan denah lokasi gedung dan apa yang hanya bisa disebut sebagai 'tokoh utama' situasi ini. Kendrik Blaire adalah orang yang menarik baginya. Kenapa ia mampu mengorbankan hidup dan statusnya untuk hal yang ia anggap benar? Kenapa ia mau mengorbankan nyawa orang-orang tidak bersalah untuk meraih tujuannya? Adolf bergidik senang, tak sabar untuk bercakap-cakap dan bertukar pikirannya dengannya.

Dombanya mengembik, menarik-narik celananya dengan tidak sabar.
"Iya, iya," Adolf menjawab. "Aku mau makan dulu tapi."
Setelah melahap satu bungkus pasta instan dan setidaknya dua atau tiga liter air, Adolf siap berangkat. Ia hendak membawa sebilah pisau, tapi memutuskan bahwa membawanya beresiko terlalu tinggi. Ia bisa dikira salah seorang teroris dan ditembak polisi, ditembak teroris yang mengira ia sandera yang melepaskan diri.

"Oke, aku sudah siap."
"Mbeee?"
"Iya, aku cukup membawa kacamataku."
"Mbeee?"
"Sssh!"
Si domba mengembik, dan sebuah lubang putih muncul di udara dan menariknya masuk.

---

Adolf terjatuh, pipinya menempel ke aspal yang keras. Ia melihat puluhan atau ratusan pasang kaki dan mendengar seseorang menggumamkan permintaan maaf. Ia membenarkan letak kacamatanya, menarik tubuhnya bangun dan melihat kebelakang.
Seorang lelaki berambut putih, dengan wajah manis yang mirip dengan bintang film Korea… dan telinga yang ujungnya lancip. Wajah tampannya dirusak dengan tampang cemberut, terganggu dengan keributan kerumunan di sekitarnya.

"Peserta juga?" Lelaki itu bertanya.
"Ya, benar." Adolf menangguk menjawab, mencoba mengingat siapa nama peserta di hadapannya ini. "Kau Revand?"
"Benar." Revand tersenyum. Ia melongok ke atas, melihat sesuatu yang tinggi di belakangnya. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
Hanya dengan melihat sekilas, Adolf tahu apa maksud dari pertanyaan Revand. Mereka berada di luar area utama, berdiri di antara gerombolan orang tak berkepentingan yang menonton situasi sandera tepat di belakang garis polisi. Ada yang merekam, ada yang update di media social, ada juga yang malah berfoto-foto. Di atas kepala mereka, empat sampai lima helikopter terbang berputar-putar. Dua milik polisi dan sisanya milik stasiun televisi.

"Apa kau tidak bisa mengantarkan kita masuk?" Adolf bertanya ke dombanya, yang mengembik lesu sebagai jawaban. "Luar biasa. Kau ada ide?"
"Satu." Ia nyengir, pandangannya tertuju pada sebuah mobil gegana yang terparkir di sudut bangunan perkantoran. Polisi yang menjaga begitu disibukkan dengan menjaga barisan penonton supaya tidak ada yang menerobos hingga tidak ada yang mengawasi barisan mobil yang diparkir. "Ayo!"
Bersama, mereka berjalan keluar dari kerumunan orang dan mencari jalan memutar untuk masuk ke dalam barikade polisi. Keduanya menelusuri gang sempit tak jauh dari situ, dan menemukan sebuah jalan sempit yang mengarah masuk ke balik garis polisi. Mereka menempelkan tubuh ke dinding dan mengintip, lalu setelah memastikan keadaan aman mereka berlari secepat yang mereka bisa.
            Adolf meraih pintu van tim gegana, menggesernya terbuka dan melepaskan tarikan nafas lega ketika melihat bagaimana van tersebut kosong. Ia naik ke dalam, menunggu hingga Revand masuk ke dalam sebelum menutupnya. Di dalam van, berserakan bermacam-macam peralatan dan pakaian. Seolah tim gegana polisi berangkat dengan terburu-buru.
            "Ayo, cari sesuatu untuk menyamar." Adolf mengangkat sebuah helm besar berlapis kaca tebal yang berat, dan menyadari bahwa ada satu set pakaian gegana yang tidak terpakai. "Lihat ini!"
            "Hm… Bolehkah aku menggunakannya?" Revand menyarankan diri. "Aku… Aku punya kemampuan untuk meniru kemampuan seseorang. Jika aku bisa mendekat ke salah satu anggota tim gegana, aku bisa belajar bagaimana caranya mematikan bom."

            Adolf terdiam. Dadanya terasa berat dan sesak, hatinya menjerit memintanya tak kalah darinya. Kalah dari hal apa, ia sendiri tidak tahu. Yang ia tahu, muncul perasaan dimana ia merasa tertantang mendengar kemampuan Revand. Mampukah ia melakukan hal seperti itu? Mungkin ia orang yang lebih cocok menggunakan pakaian gegana ini? Otaknya menjawab dengan tegas, tidak.
            "Baiklah." Ia mengalah, menyerahkan helm yang ia pegang ke Revand. "Ayo, aku bantu pakai. Kita tidak bisa membuang banyak waktu."
            Setelah memastikan bahwa Revand nampak seperti anggota tim gegana seperti selayaknya, Adolf mengenakan sebuah rompi anti peluru yang ia temukan dan mengambil sebuah dompet yang ia temukan di salah satu tas yang digeletakkan begitu saja. Ia mengeluarkan semua isinya, uang dan kartu identitas hingga kosong. Selama ada lencana yang tertempel di sampul dompet ini, seharusnya tidak ada yang mempertanyakan kredibilitas mereka.

            Setelah memastikan semuanya siap, Adolf membukakan pintu van dan mempersilahkan Revand masuk terlebih dahulu. Ia melompat keluar, menutupnya dan berjalan perlahan-lahan bersama Revand menuju ke arah pintu masuk gedung.
            "Kau tahu kita diminta untuk melakukan sesuatu untuk menyelesaikan konflik saat ini, bukan?" Adolf bertanya.
            "Uhh… Soal itu ya…." Revand bergumam. "Impianku adalah menjadi raja. Seorang raja harus mampu melindungi orang yang tidak bersalah bukan? Karena itu aku ingin menghentikan teroris itu."
            "Oh."
            "Ya?"
            "Abaikan." Adolf menggeleng. Ia dengan lantang menyapa dua polisi bersenjata lengkap yang menjaga pintu masuk. "Hei, bukakan jalan untuk kami."
            "Loh? Bukankah tadi anggota gegana sudah masuk semua?"
            "Er… Soal itu, tadi perutku sakit. Jadi aku harus, um, mengurus urusan tersebut terlebih dahulu. Kau paham maksudku?" Revand tertawa. Kedua polisi saling berpandang-pandangan, dan nampak tidak terlalu percaya pada alasan yang ia berikan, tapi keduanya melambaikan tangannya dan mempersilahkan mereka masuk.
            Lobi bangunan yang megah itu diubah menjadi markas utama polisi. Puluhan meja plastik didirikan, tumpukan kertas berserakan di satu meja sementara meja yang lain dipenuhi dengan monitor yang nampaknya merupakan tayangan dari kamera pengawas.

            "Kalian terlambat!" Seorang lelaki beraut galak memanggil, tapi pandangan Adolf teralih ke seorang wanita berpakaian modis dengan hak tingginya. Daytona, si wanita berkemampuan khusus yang menarik perhatiannya sebelumnya. Ia nampaknya mengenali ia juga, sebagai peserta sama sepertinya. Setelah Adolf dan Revand berdiri di belakang barisan, lelaki tersebut berdehem sebelum mulai berbicara lagi.
            "Nama saya Thomas McConor, juru bicara kepolisian yang pada kesempatan kali ini ditugaskan juga menjadi negosiator." Lelaki tersebut memperkenalkan diri. "Saya berhasil meyakinkan pemimpin teroris, Kendrik Blaire, untuk bertemu dan membicarakan baik-baik cara damai untuk menyelesaikan situasi ini. Meskipun, mengingat sepeti apa dia itu, saya tidak yakin saya bisa menjalankan tugas ini dengan sukses."
            "Pada hari ini, kita kedatangan tamu spesial. Daytona Fort, seorang berkemampuan khusus yang dikirim untuk memuluskan operasi kita hari ini. Kehadirannya dan apapun yang ia lakukan pada hari ini bersifat rahasia, tidak boleh dibocorkan ke siapapun diluar lobi ini terutama media dan publik." Thomas memperkenalkan Daytona layaknya seorang VIP, dan Adolf memperhatikan bagaimana Daytona nampak sedikit menikmati perlakuan spesial ini. "Negosiasi akan dilakukan di lantai 20. Sementara aku berbicara dengannya, aku ingin tim gegana menyebar dan mencari lokasi bom lalu mematikannya. Tim polisi akan menyebar, mencari tempat dimana sandera ditahan dan mencoba menyelamatkan mereka."
            Thomas menepuk tangannya, dan dua orang polisi masing-masing membawa kotak kardus datang mendekat, kemudian mulai membagikan sebuah radio kecil lengkap dengan earpiece-nya.
            "Saluran 5 adalah saluran utama. Gunakan kelipatan lima untuk saluran per-tim." Thomas mengumumkan. "Aku akan naik terlebih dahulu, lalu baru kalian yang lain menyusul. Lima menit, silahkan persiapkan apapun yang perlu disiapkan."
            Barisan polisi bubar. Adolf dan Revand berdiri ditempat, mengamati bagaimana Daytona bercakap-cakap dengan Thomas sebelum mendatangi mereka.
           
            "Halo, halo!" Ia menyapa.
            "Bagaimana kau bisa jadi orang penting begitu?" Tanpa basa-basi Adolf bertanya. Alis Daytona terangkat, ia tersenyum bangga.
            "Sihir!" Dia bercanda. "Semacam itu. Kalian tentu sudah baca profilku? Pokoknya, dia merasa bahwa kemampuanku mungkin berguna."
            "Kau berada di pihak polisi?" Giliran Revand yang bertanya.
            "Hanya karena aku merasa teroris itu terlalu delusional." Daytona menjawab. "Oh, ayo kita gunakan saluran 4. Saluran khusus Reveriers!"
Ia mengubah saluran radionya lalu menatap Revand, lalu ke Adolf sebelum mengangguk. "Kau, Oliver Twist, ikut aku."
            "Dia? Ikut denganmu?" Revand menujuk dirinya sendiri. "Kenapa?"
            "Karena aku sudah terlanjur bilang ke Thomas kalau dia agen Interpol yang datang kemari untuk memantau keadaan." Daytona mengedipkan matanya, jahil. "Logat British!"
"Lalu bagaimana dengan aku?"
"Berjuanglah di tim gegana." Daytona tersenyum, menjawab Revand. "Kau pastikan bom-nya tidak akan meledak."
"Itu saja?" Revand bertanya lagi, untuk memastikan, disaat yang sama Thomas memposisikan diri di depan elevator dan mengangkat tangannya memanggil Daytona dan Adolf. Mereka berdua pergi meninggalkan Revand, yang menelan ludahnya dan menjawab pertanyaannya sendiri. "Oke, semoga beruntung!"

            ---

            Lift naik dengan hening. Tidak ada musik, tidak ada pembicaraan. Hanya ada dengungan mesin dan suara 'ding' ketika pintu menutup dan membuka. Lantai tempat negosiasi akan dilakukan, lantai 20, nampak kosong meskipun ada sisa-sisa kekacauan dan kepanikan yang jelas. Barang-barang berserakan, lubang dan longsong peluru, kaca pecah.
            Thomas melangkah keluar dari lift dan memimpin mereka, berjalan dengan langkah-langkah besar yang cepat menuju ke sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Di dalam, Daytona dan Adolf bertemu dengan Reveriers yang lain.
            Seorang lelaki dengan bandana menutupi dahinya. Tinggi, gagah, nampak kuat. Shade, salah satu peserta sama seperti mereka, berdiri di samping kiri Kendrik. Di sampingnya, seorang lelaki yang nampak setidaknya seumuran dengan Adolf, asyik mendengarkan MP3nya keras-keras seolah tidak perduli dengan situasi tegang ini. Siapa namanya? Agak melayu. Adi? Adrian? Ya, Adrian.

            "Halo, Kendrik." Thomas menyapa dengan ramah. Ia berjalan ke sisi kursi kosong yang tersedia. "Aku boleh duduk disini?"
            "Tentu saja, Thomas." Kendrik mempersilahkan. Mereka terdengar seperti teman lama yang sudah saling kenal selama bertahun-tahun, tapi Adolf tahu bahwa keramahan keduanya menyembunyikan bisa dan racun. "Terima kasih sudah repot-repot mau datang kesini... Dua pendampingmu tidak terlihat seperti polisi."
            "Begitu pula dengan dua orang di belakangmu." Thomas membalas cepat-cepat, lalu mengalihkan perhatian. "Jadi, bisa kita langsun ke akar permasalahannya?"
            "Tentu!" Ketua Equilibrum menepuk tangannya, lalu mengusap-usapnya dengan senyum licik di wajahnya. Ia mengeluarkan selembar kertas dari kantung rompi anti pelurunya, meletakkannya di meja lalu menggesernya ke depan. "Ini, semua sudah aku tulis disini. Aku mau semua itu dipenuhi dalam waktu paling lambat dua puluh empat jam."           
            Sementara Thomas meraih kertas tersebut dan mempelajari isinya, Daytona mengisi kekosongan. "Hei, kalian berdua. Ngapain kalian disana?"
            "Aku… Jika ada cara untuk menghentikan perang dan menyejahterakan rakyat tanpa harus menumpahkan darah, cara itu menurutku patut dicoba." Shade menjawab. "Adrian… Aku tidak tahu alasan dia memilih pihak ini. Nampaknya dia menikmati ketengangannya."
            "Kalian saling kenal?" Kendrik bertanya.
            "Kurang lebih." Shade menjawab. Ia menepuk pundak Adrian, yang nampak seperti tersentak kembali ke kenyataan. Ia melirik ke arah mereka di hadapannya, tersenyum dengan sinis sementara ia mematikan MP3nya dan memasukkannya ke dalam kantungnya dengan sekenanya.

            "Kendrik," Thomas menarik nafas, lalu meletakkan kertas kembali ke atas meja. "Ini semua sungguh tidak masuk akal. Pembatalan operasi militer, pemanggilan kembali semua tentara yang ditugaskan di luar negeri, menghentikan riset militer dan menggunakan semua dana militer untuk hal yang lain… Ini bukan hal-hal yang bisa diselesaikan dalam 24 jam, atau hal-hal yang bisa seorang sepertiku sampaikan dengan mudah ke dewan rakyat dan Presiden."
            "Oh ya? Jangan khawatir, aku sendiri yang sampaikan." Kendrik mengangkat sebuah kotak kecil, dengan tombol merah menyala terpasang di tengah. "Meski kau tidak akan begitu suka dengan cara yang akan aku gunakan."

           'Kami sudah menemukan bom-nya!'

            "Ayolah, Kendrik." Thomas terdengar memohon. "Membunuh semua orang dan menghancurkan gedung ini tidak akan menyampaikan pesan yang baik ke publik."
            "Hah! Aku akan menjadi martir, Thomas. Aku akan menjadi minyak yang dituangkan ke api!" Tawa Kendrik dengan tiba-tiba terputus. "Karena itu aku tidak membutuhkan seseorang yang mampu memadamkannya."

            Sebelum mereka bertiga tahu apa yang terjadi, Shade menyerbu maju dan Adrian menghilang. Daytona menggunakan kemampuan supernya, menciptakan pilar dari semen dan batu yang menjarum keluar dari tanah. Shade melompat mlewati semua itu selincah rusa. Ke kiri dan ke kanan dan dalam waktu singkat ia berada cukup dekat untuk mengayunkan tongkat batonnya.
            Daytona tidak menghindar. Ia menangkap baton itu dengan tangan kosong dan menariknya lepas dengan kuat, disaat yang sama ia menarik sebuah pistol yang ia sembunyikan di balik bajunya. Pelatuk di tekan dan pistol meletus, Shade menampik ujung pistol dan pelurunya melesat dan memantul lalu tersangkut entah di mana. Dengan tangannya yang lain, ia mencengkram siku Daytona dan merebut pistolnya dengan satu gerakan cepat.

            Thomas mengangkat pistolnya dengan ragu, tak tahu harus menembak siapa. Kendrik? Shade? Sebelum ia bisa memutuskan, segumpal asap menjatuhi dirinya dan menimpanya ke tanah. Asap tersebut berubah menjadi sesosok orang, Adrian. Ia meraih pistol yang Thomas jatuhkan dan mengarahkannya ke Adolf.
            "Eits, jangan bergerak, bocah tampan." Adrian mengejek, ujung pistolnya di arahkan ke badannya. "Ini Glock. Semi-automatic. Aku hanya pintar menggunakan revolver, jadi jangan salahkan aku jika aku meleset dan mengenai sesuatu yang vital."
            Ini gawat. Gawat sekali. Ia harus mengulur waktu, menunggu hingga Revand sukses menjinakkan bom-nya atau mencari cara lainnya untuk menyelesaikan situasi.
            "Kendrik!" Adolf memanggil. "Aku ingin menanyakan banyak hal."
 "Kau," Kendrik mengangguk ke Adolf. "Siapa kau? Polisi?"
            "Pihak ketiga," Adolf menjawab, mengacuhkan pandangan yang diberikan Thomas dan pistol yang diarahkan Adrian ke arahnya. "Aku ingin berbicara denganmu. Bukan mengenai negosiasi atau semacamnya, tapi mengenai pandanganmu. Ide yang kau miliki, mimpi yang hendak kau raih."
            "Oh? Kau jurnalis? Semacam itu?" Wajah Kendrik menjadi cerah. "Menarik sekali! Belum pernah ada yang menanyakan hal seperti itu sebelumnya. Apa yang ingin kau tahu? Duduk, silahkan duduk!"

            'Beri kami waktu untuk menjinakkan semuanya!"

            Adrian menarik Thomas dengan paksa, menyeretnya ke samping. Adolf mendudukkan diri di kursi kosong yang tersedia. "Tujuan kenapa kau melakukan ini, aku ingin mendengar dari mulut si buaya sendiri."
            "Hah! Baiklah." Kendrik mendekatkan badannya ke meja, menatap Adolf dengan raut wajah penuh percaya diri. "Kau tahu berapa banyak tentara kita meninggal di luar negeri? Di sebuah negara yang asing, gugur di dalam perang yang ia tidak pahami dan digunakan tidaklah lebih sebagai pion di panggung politik."
            "Dan apa gunanya menghabiskan begitu banyak uang untuk menyebabkan kekacauan di negeri orang, membunuh dan menghancurkan, jika uang tersebut bisa digunakan untuk puluhan hal lainnya dan membangun negeri kita sendiri?" Suaranya meninggi, begitu bersemangat. Kata-kata dan fakta terlontar keluar dengan begitu lancar, Adolf penasaran apakah dia menghafal semua penjelasan ini di otaknya. "Uang tersebut bisa digunakan untuk membangun jalan, membangun rumah sakit, membiayai riset untuk memajukan teknologi dan pegetahuan! Negara kita akan makmur, rakyat kita akan sejahtera!"

            'Sedikit lagi!'

            "Lalu kenapa kau melakukan semua ini? Menyerang saudaramu sebangsa, menyandera dengan senjata dan bom?"
            "Karena hanya dengan ini, pemerintah akan mendengarkan dengan serius."
            "Tapi bukankah ini membuatmu menjadi seorang hipokrit?" Mata Kendrik membesar, seolah tidak pernah ada orang yang menyebutnya itu. "Kau bicara mengenai damai, menyampaikan sebuah ide dimana negara ini berhenti mengorbankan tentara untuk kepentingan politik. Tapi apa yang kau lakukan saat ini, jika bukan menggunakan kekerasan? Hal yang sama yang ingin kau hentikan?"
            "Ini berbeda dari perang omong kosong yang diperangi negara kita—"
            "Jadi itu cara yang akan kau gunakan untuk mencapai mimpimu? Harapanmu?" Adolf memotong. "Begitu indah dan damai, apa artinya kalau kau mengorbankan nyawa dan menggunakan cara yang begitu brutal?"
            "Kau tak mengerti!" Kendrik memukulkan tangannya ke meja, nampak frustasi.
            "Aku memang tidak mengerti!" Adolf memposisikan dirinya, maju mendekat ke meja dan meletakkan kedua tangannya di sudut ujung meja. "Mendengarmu berbicara, aku menyadari bagaimana impianmu adalah fantasi yang sempurna dan ideal, yang hendak kau capai dengan cara yang begitu kotor."

            "Oke! Semua bom sudah diamankan!"

            "Semua adil dalam perang." Kendrik berdiri dengan kesal.
            "Karena itu," Adolf mencengkram ujung meja. "Kau harus dihentikan disini!"
            Ia mendorong meja dengan segenap tenaganya, membalikkan ke arah Kendrik yang melompat mundur dengan reflek. Di saat yang sama, Daytona membebaskan diri dari pegangan Shade dan Thomas menarik tangan Adrian dan membantingnya jatuh. Sebelum ia terbanting sepenuhnya, tubuhnya menghilang menjadi asap.
            "Bangsat!" Kendrik mengumpat, mengacungkan pistolnya dan menekan tombol peledak. Tapi, tentu saja, tidak ada apapun yang terjadi. Kendrik menekan tombolnya sekali lagi, dan lagi, dan sementara ia melakukan itu Adolf melompat menyerbu ke depan.

            Kendrik meneriakkan sesuatu, melotot ke arahnya. Ia mempererat genggamannya, dan sebelum ia menekan pelatuk Adolf menepisnya. Telinganya perih dan berdengung ketika pistol meletus, tapi ia tidak berhenti. Ia menapakkan kaki ke lantai dan mengayunkan tangannya, mencengkram siku Kendrik dan dengan satu gerakan yang cepat merebut pistolnya.
            Adolf melepaskan tangannya dan ia terjatuh ke belakang, tombol peledak yang tak lagi berguna itu terlepas dari pegangannya. Ia hendak merangkak, berhenti ketika ia melihat pistol yang di arahkan ke arahnya.
            "Ayo tembak." Kendrik membentak, terdengar seperti memohon dengan suara bergetar yang memelas. "Ayo."
            "Dan memenuhi keinginanmu untuk menjadi martir?" Adolf mencoba menahan dirinya, tapi ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Kau adalah pempimpi yang luar biasa, Kendrik. Aku iri padamu, sungguh. Begitu optimis dan penuh harapan…"
            "Kau… Bicara apa kau?"
            "Bukan apa-apa." Adolf menjatuhkan pistol yang ia pegang.

            Dombanya muncul di sebelah kakinya, mengembik, lalu sekali lagi cahaya putih muncul dan menariknya pergi.


--

>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 06 - ADOLF CASTLE | UNSHACKLED
>Cerita selanjutnya : -

15 komentar:

  1. Adi, bisa jadi panggilan yang bagus juga, xD
    Err.. sebenernya Ian juga bisa pake senjata yang dipegang Thomas sih. Alasan dia milih revolver karena mekanismenya yang simpel dan lebih gampang didapat daripada tactical pistol.

    Ceritanya cukup simpel, saking simpelnya saya ga ngerasa ada sesuatu yang "wah" disini.
    Ending juga kurang memuaskan buat saya, dan terkesan terlalu buru-buru, tau-tau portal udah nongol aja habis buang pistol.

    Dialognya oke, itu yang saya suka xD terutama ketika negosiasi sama Blaire.

    Overall Score: 7

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
  2. Oooooh~ Begitu rapi dan enak dibaca. Narasinya rasanya deep banget nunjukin jalan pikir Adolf.
    Kecuali ada typo 1 kata ketengangan di dialog Shade. But it's not a big problem~

    Kalau ane lihat dari karakteristik Adolf.. entah kenapa menurut ane dia lebih cocok jadi penjahat. #digeplak
    My bad~ *ahem*

    Tapi harus ane akui, ini cukup menarik sampai ane sebagai pembaca terbawa suasana walau hanya sebentar.
    ---------------
    Rate: 7
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
  3. Hai sesama deadliner~

    Ketik panik deadline membuat cerita kurang maksimal. Untuk plot setuju dengan komentator di atas. Simpel, tapi tingkah laku dan pemikiran Adolf disorot bagus.

    Sayang narasi agak cendung ke tell daripada show, aksi kurang berasa, ketegangan tidak hadir.

    Welp, setidaknya ending lebih masuk akal daripada entriku.

    Nilai 7~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
  4. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : C
    Overall character usage : C
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Hmm, meski pendek, tapi poin" yang mau disampeinnya cukup sampe. Adolf dateng, semua selain Revand ngumpul di satu ruangan, sedikit pertikaian, dan misi selesai. Peran masing" karakter rada minimal, tapi paling ngga aksi Adolf lumayan dapet. Saya sampe mikir kalo entri ini bagusnya masuk ke grup Thinker daripada Copier

    Paling sedikit minus dari segi cerita buat saya adalah gimana Adolf sama Revand bisa gampangnya nyamar jadi polisi dan Kendrik kegampangan dibualin Adolf buat ngulur waktu untuk ukuran seorang teroris

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  5. Hmm, if anything, entri ini kubilang narasinya rapi dan mudah dipahami. Ini nilai plus. Sampai akhir aku tidak menemukan kesulitan untuk memahami cerita yang penulis sajikan.

    Kecuali satu, kata ganti. Ada satu kalimat yang memiliki dua kata ganti, dan ada pula paragraf yang lebih enak diganti dengan nama. Intinya sih penggunaan kata gantinya kurang pas.

    Misalnya: “Ia nampaknya mengenali ia juga, sebagai peserta sama sepertinya.” Terlalu banyak ‘ia’ dan ‘nya’ dan aku agak2 kurang paham yang mana merujuk ke siapa. Pas ini juga: “Adolf melepaskan tangannya dan ia terjatuh ke belakang, tombol peledak yang tak lagi berguna itu terlepas dari pegangannya.” Aku bingung ‘ia’ yang terjatuh ini siapa, baru ngeh setelah baca berikutnya. Mungkin karena efek buru2 kali ya?

    Lalu poin yang paling gak bisa kunikmati itu ketika ending. Berasa sangat buru2. Aku juga gak terlalu kena ini endingnya tau2 udah nongol portal aja. Efek deadline kali ya?

    7/10

    ~Pencipta Kaleng Ajaib

    BalasHapus
  6. Seperti yang diatas-atas(?) bilang, meski pendek, tapi semuanya disampaikan dengan pas dan rapi. Beberapa adegan disini semacam keren tapi terlalu mudah berlalu, tapi ya, itu sering terjadi di film-film. /slap

    Dan, menurutku Adolf sangar(?) abis disini, caranya menyelesaikan konflik, dan perkataannya terhadap Kendrik Blaire, asik pokoknya.

    8/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Salam deadliner,
    Hanya dengan 3000 kata, entri ini mampu memberi ending yang pantas untuk setting bertema seperti ini. Entri ini mungkin lebih cocok disebut cop story dan itu memberi rasa yg berbeda.

    Minusmya, sama kyk yg dibilang Sam, soal gampangnya Adolf dan Revand nyamar jadi polisi, tapi ini mungkin jenis minus yang bahkan film selevel Hollywood sering ngelakuinnya XD

    NILAI: 7
    (Martha)

    BalasHapus
  9. Adolep Kestel.

    Lakon singkat, padat, dan jelas.

    Tiga ribu kata yang cukup bikin naik turun perasaan, seperti naik roler koster, katanya.

    Tapi serius sih, mbah seneng lihat entri seperti ini. Mbah gak perlu pusing-pusing mikir ininya gimana itunya gimana. Enjoy aja.

    Mbah gak mau komentar banyak, karena entri ini udah cukup layak. Nilai 8 aja udah cukup deh buat ngegambarin gimana perasaan mbah. Ehehe.

    TTD

    Mbah Amut

    BalasHapus
  10. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Baik = 1,5
    Enjoy : Sangat Baik = 2
    EYD : Baik = 1,5
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 1,5 + 2 + 1,5 + 2 = 9

    Yeeeee Revand jadi penjinak tim gegana
    Ceritanya sudah bagus
    Plot berkurang karena masa gitu aja endingnya? kayaknya gampang banget
    EYD berkurang karena ada beberapa istilah asing yang nggak dicetak miring

    NewbieDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
  11. Singkat nan padet. Gaya penuturannya cocok banget sama saya. Jadi bikin betah bacanya (sayangnya singkat). Waktu Adolf pertama sampe ke tkp ketemu Revand dan pada akhirnya memutuskan buat menyusup itu rasanya agak buru-buru sih. Kayanya kalo saya ngga baca dulu settingan grup ini, saya bakal susah nangkep ini jalan ceritanya gimana. Tapi yg penting pembawaannya itu keren (Y)

    8 buat Adorofu

    BalasHapus
  12. Wih?! Ini beneran 3000 kata saja?! Mungkin dampak dari Fontnya yang kecil dan pengaturan paragrafnya saya seperti membaca agak lama, tapi tetap enjoy. Narasi enak, tapi seperti kata mas Fudo, kata gantinya perlu lebih banyak Variasi, mungkin dari titel si OC atau ciri fisiknya.

    Nilai 7
    OC : Nora

    BalasHapus
  13. Entri yang simple dan mudah dibaca. Menarik, tapi cukup sayang karena rasanya terlalu cepat selesai. Saya cukup enjoy baca entri ini, Tingkah laku Adolf sebagai karakter utama jadi fokus di entri ini. Tapi karena entri pendek, sayang juga karakter lain berasa kekurangan jatah tampil.

    Nilai dari saya 7
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  14. Narasi serta pembawaanya sudah cukup bisa disebut asik sih, hanya saja ending nya terlalu diburu buru.

    Tenang saja kau tidak sendiri, entri saya juga endingnya diburu buru agar cepat masuk ke canon utama yang berusaha disampaikan ke pembaca dan saya anggap ini pun sama.

    Diluar itu, karakterisasinya juga sudah lumayan dapat hanya saja alur nya kurang memuaskan padahal bisa jadi lebih baik lagi kalau di asah.

    Overall masih unggul saat kamu prelim jadi nilainya 7 dulu deh.

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  15. saya setuju sama atas-atas. bahasanya bener-bener simple dan bikin cepet paham sekali jalan. awal-awal kebanyakan narasi ya tp begitu mendekati akhir jadi penuh perdebatan. dan konflik selesai begitu saja. membuat saya bertanya beneran cuma sampe sini? kok singkat banget?. dan awalnya saya mikir adolf itu masuk the thinker juga, itulah kesan yang saya dapat setelah baca. tp begitu lihat komen mas sam jd adolf itu copier ya? baru sadar juga. 7

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.