oleh : J. Fudo
Pada suatu kala di persimpangan dimensi,
berdirilah sebuah bangunan maharaksasa yang tak terdefinisi oleh bilangan waktu
maupun ruang.
Tiada yang tahu sudah berapa abad ia
berdiri, tapi selama itu pula bangunan ini mengumpulkan berlaksa karya seni dari
berbagai semesta hingga nyaris tanpa batas.
Entah siapa yang menamai pada mulanya, bangunan
ini dijuluki [Museum Semesta].
Semua seni yang terkoleksi itu dikelola
oleh Zainurma sang Kurator dan Mirabelle sang Konservator. Keduanya tunduk oleh
sesosok entitas yang berkuasa terhadap museum,
[Sang Kehendak].
Lalu pada suatu kisah, museum bergetar.
Sang Kehendak bangkit, pertanda dimulainya
ekspansi museum dan akuisisi karya seni semesta. Semua gerbang menuju milyaran jagat
tertutup kecuali satu.
Alam mimpi.
Satu: Bingkai-Cuak-Undangan
“Namaku Zainurma, dan dia Ratu Huban.
Selamat datang di Museum Semesta!”
Stalla
masih ingat perkenalan diri sang Kurator juga penjelasannya tentang [Museum
Semesta] tepat setelah ia terbangun di dalamnya, tepatnya di sudut aula museum
megaluas bernuansa keemasan.
Semua
peristiwa lalu seolah mimpi buruk yang tampak nyata. Bapak, Gleastran, kerajaan
dan kota yang hancur seakan sengaja diciptakan untuk mengacaukan benak. Lalu
Stalla melihat wujudnya sendiri, wujud Huban, mengertilah ia bahwa ini memang
mimpi.
“Memang kamu sedang bermimpi. Jangan
salah, kejadian di alam mimpi ini akan berpengaruh langsung pada duniamu.”
‘Dunia
apa? Aku saja tidak ingat siapa... bahkan apa aku sebenarnya,’ keluh Stalla.
Kini
ia menunggangi seekor domba berbulu putih lembut bagai kapuk, pemberian Ratu
Huban. Wanita berperawakan seperti anak kecil dengan bantal sebagai kepalanya
itu mampu membuka pintu antar semesta mimpi dengan ketukan tongkatnya. Sebagai
peliharaan sang Ratu, domba ini pun dianugerahi sepercik talenta tersebut.
Lalu
di sanalah Stalla diangkut, kembali ke lingkup kecil semesta yang merupakan
latar kisah sebelumnya berlangsung. Di jalanan kota asal Bapak dan Raja
Gleastran inilah, si domba menjejakkan empat kakinya.
‘Jadi
tempat ini namanya Bingkai Mimpi?’
“(Ya,)”
sahut si domba, “(Bingkai Mimpi sebenarnya adalah dunia asal Reverier yang ditangkap sebagian dan dialihkan
ke alam mimpi.)”
Domba
itu sejatinya hanya mengembik, namun terdengar seperti satu kalimat utuh oleh
Stalla. Agaknya kemampuan Stalla berbincang melalui hati tidak terpaku pada
manusia semata.
“(Semua
kejadian yang dialami Reverier
sebelumnya adalah mimpi yang tercipta dari serpih kenangan bawah sadar masing-masing,
menghasilkan sebuah latar cerita yang digunakan untuk uji kelayakan para
pemimpi. Tentu saja, latar itu akan kembali utuh seperti semula setelah
digunakan.)
“(Saat
ini Sang Kehendak tengah melakukan pelebaran [Museum Semesta]. Mereka, termasuk
kamu, diajak menjelajahi mimpi sebagai Reverier
untuk penggubahan mahakarya mimpi.)
“(Yah,
setidaknya begitu yang kudengar dari Ratuku. Kurasa kamu sudah mendengarnya juga
dari Sang Kurator,)” terang domba panjang lebar.
Stalla
tercenung. Meski ingatannya nihil ia tetap merasa bahwa semua ini tidak masuk
akal, termasuk kenyataan bahwa dirinya sendiri adalah sebuah kaleng penyegar
ruangan yang hidup.
‘Tapi
bukankah ini mimpi?’
===
“Oneiros,
apa yang kamu lakukan?!”
Entah
siang, entah malam.
Tersebutlah
Mirabelle, seorang wanita berparas ayu namun tegas sedang berdiri di sisi
sebuah ruangan labil. Tak tetap, dinding dan lantai selalu berganti rupa.
Ibarat layar kaca yang kehilangan kanal, kegoyahan senantiasa menyelimutinya.
Sekali
waktu tampak dinding-dindingnya terbuat dari tengkorak dan rusuk manusia,
sedetik berikutnya bunga-bunga bergigi muncul menggerogotinya. Belum selesai,
bunga itu segera meletus laksana balon dan memunculkan berpuluh kupu biru
gelap. Begitu seterusnya sampai-sampai sukar mengingat lagi bentuk kamar itu
sepuluh ketukan lalu.
Jika
ada hal yang stabil di sana, maka itu adalah kekelaman yang menghuninya.
“...Apa
yang kau maksud?”
Di
sisi lain ruangan itu terlihat figur makhluk kerdil. Kepalanya hanya satu bola
mata raksasa dan tubuhnya terbuat dari kerangka. Ia mengenakan jubah ungu di
tulang bahunya dengan sarung tangan dan kaos kaki sewarna.
Si
kerdil itu duduk di sebuah singgasana berwarna darah, dikelilingi oleh makhluk
serupa gorila berkepala domba. Sepasang tanduk di kepalanya besar dan melingkar
dengan punggung penuh bulu mirip awan mendung.
“Berpuluh
Cuak – makhluk mimpi buruk – mendatangi beragam mimpi dan merusaknya, bahkan
sebagian jadi tak bisa menyelesaikan mimpinya. Kamu tahu kenapa mereka lepas
kendali, Oneiros?”
Satu
gorila domba menggeram, siap merangsek maju jika tidak dihalangi oleh tongkat
si kerdil Oneiros.
“...Ya,”
jawab Oneiros.
Ekspresi
wanita berhelm perang ala romawi lawas itu tampak kaku. Selayaknya ia geram,
tapi tak diperlihatkan. Tombak dan tameng digenggamnya erat, waspada karena
tahu gaun putih dan mantel coklatnya tak cukup untuk melindungi diri.
“Apa
yang tengah kau rencakanan?” tanya Mirabelle.
“Tidak
ada...,” balas Oneiros, “aku hanya melakukan pekerjaanku.”
“Tapi
pekerjaanmu bukan–”
“GRrrrh....”
Satu
gorila domba mendekat, kali ini didiamkan oleh Oneiros.
“Nona
Konservator,” Oneiros berucap, “aku membenci Museum Semesta... ingat?”
Mirabelle
geming, mukanya tetap memancarkan ketegasan dan keberanian sebagai sang mantan
dewi perang. Mata birunya menatap Oneiros datar. Ia ingin menelisik lebih jauh,
tapi ia bisa merasakan Sang Kehendak pun tidak berkenan.
Mirabelle
berbalik arah tanpa bersuara, meninggalkan Oneiros dan kawanan dombanya.
===
‘Ah,
berhenti di sini.’
Domba
menoleh, terpaku di depan sebuah gubuk kecil yang berbahan kombinasi kardus dan
triplek. Tak layak disebut rumah, bangunan ringkih itu seolah bisa hancur hanya
dengan angin kencang dan hujan deras. Pun begitu, ada sebersit rindu pada
Stalla saat menatapnya.
Gubuk
Bapak.
Stalla
kemudian mengajak si domba untuk masuk, membuka pintu menemui hampa. Entah
sejak kapan, gubuk ini melompong.
‘Sudah
kukira, tak semuanya kembali. Bapak dan Gleastran lenyap dari dunia... em,
bingkai mimpi ini.’
“(Makhluk
mimpi juga tercipta dari serpih kenangan, pecahan khayalan. Harapan terkuatmu
lah yang akan menjadi kenyataan di dalam mimpi. Tak aneh jika mereka lenyap
dari sini jika sedari awal, sadar atau tidak, kamu beranggapan bahwa mereka
memang telah mati.)”
‘Maksudmu?
Berarti masih–’
Sedetik
tenang, sedetik terang.
Sekelap
cahaya muncul di hadapan, menghentikan perbincangan. Titik itu kemudian meluas,
membentuk sebujur sangkar elok berhias pintalan kata-kata.
“(Sebuah
undangan untuk para Reverier,)” jelas
domba.
‘Undangan?’
“(Ya,
atau tepatnya perintah agar aku membawamu ke suatu bingkai mimpi.)”
‘T-tapi
sebenarnya kenapa aku harus ikut serta juga? Aku kan tidak tahu apa-apa.’
Domba
tak menjawab. Ia cuma mengembik, embikan yang tak kuasa Stalla maknakan. Domba
lalu mengetukkan satu kaki depannya, memunculkan sebuah pusaran berkilau perak
di depan mereka.
“(Ah,
sebelum kita pergi ada yang harus kuberi tahu padamu,)” ujar si domba. Ia
mendongakkan kepalanya sedikit, mencoba memandang Stalla yang ada di
punggungnya.
“(Namamu
Stalla, bukan? Perkenalkan, aku Savitoswarchatianave Dyeahariestaphrextaliart turunan
ketujuh dari keluarga Xenopatriarchlorophylissebath.)
“(Panggil
saja Saviit.)”
Dua: Anatolia-Senyum-Mesin
Happy Holy Family~
Senang Setiap Hari!
Ada
Anatolia, sebuah kota di mana senyuman adalah yang utama.
Happy Holy Family~
Tidak Pernah Bersedih!
Di
sini bahagia adalah tema, sukaria mencoraki rupa. Tak seorang pun penghuninya
boleh bermuram durja.
Happy Holy Family~!
Musik
bernada datar itu mengalun berulang dari pengeras suara di tiap sudut kota
modern ini. Berpuluh gedung tegak menjulang mencakar angkasa. Lampu-lampu
menyala terang, mencerahkan sang kawasan antipadam. Sesekali tampak debu hijau mengawang,
seperti kunang melingkupi dirgantara.
Ini
Anatolia, kota masa depan.
...atau
seharusnya begitu.
Meskipun
ide keceriaan kental terasa di kota ini – hiasan berbentuk topeng terbahak dan
lagu bertajuk sukacita tersebar, namun kesuraman jua tak luntur dari nuansa Anatolia.
Ketika
menatap langit, bangunan-bangunan memang berdiri gagah. Sayang, daratan dihuni
oleh panorama kumuh nan rusak. Debu kotor beterbangan tertiup angin panas,
mengacaukan tiap hela napas. Awannya mendung, langitnya kelabu.
Kian
bertentangan dengan citra gembira yang diusung.
Di
situlah Saviit sang Domba, melangkahkan kaki menghantar teman kita si Kaleng
Ajaib. Mereka bergerak menuju ke tengah kota, berharap bertemu dengan pribumi
Anatolia.
‘Jadi
apa yang harus kulakukan di sini?’ tanya Stalla ragu.
“(Itu
tugasmu sendiri untuk menemukannya. Lagipula seharusnya aku juga tak bisa berbicara
denganmu, tapi kemampuan unikmu yang membuat kita bisa mengobrol.)”
‘Lalu
apa yang kudapat jika aku menuntaskan misi, menuntaskan semua yang disuruh
[Sang Kehendak]?’
“(Itu
aku juga tidak tahu. Pemilikku, Ratu Huban sendiri sebenarnya bukan bergerak
atas perintah [Sang Kehendak], berbeda dengan penghuni museum lainnya.)”
“Ah!”
Belum
sempat Stalla memikirkan lebih jauh maksud dari jawaban Saviit, mendadak
terdengar suara langkah bercampur ketukan tongkat. Tentu Saviit menengok ke
sumbernya, memastikan siapa sang pemilik tapak. Didapatinya seorang pria botak
berkulit emas dengan tasbih merah besar mengalungi leher.
Di
balik tudung jaket abu yang menutupi kepala, tersempil seekor domba berbulu
putih.
Pria
itu terbatuk sedikit sebelum berucap,
“Akhirnya
aku bertemu Reverier lain.”
===
“Menara Palisade.”
Gadis
itu bernama Eve.
Rambutnya
sepinggang, sebagian hitam dan sebagian putih keabuan. Matanya berlainan, kiri serupa
darah dan kanan sewarna jeruk nipis. Tubuhnya bergaris-garis merah. Kulitnya logam
dengan wajah biru menawan. Cantik, dengan tubuh tinggi ideal.
Ia
berjalan melewati sebuah pintu otomatis, memasuki sebuah gedung berbentuk bunga
raksasa yang namanya baru saja ia sebut. Di sisinya berjalan seekor domba
putih, tanda bukti seorang Reverier.
“Selamat
datang! Ada yang bisa kami bantu?”
Seseorang
berpakaian rapi serba merah menyambutnya dengan senyum. Eve terpaku
memandangnya, pria dengan separuh wajah terlapis besi. Tak salah lagi, pria ini
memiliki fisik yang menyerupai dirinya.
Robot.
“Anatolia
itu apa? Aku kemari hanya karena bangunan ini mencolok.”
“Selamat
datang! Ada yang bisa kami bantu?” tanya pria itu lagi, masih dengan tersenyum.
Eve memiringkan kepalanya, menunjukkan bingung meski rautnya datar. Eve memang tak
dirancang untuk menampilkan variasi rona.
“Ada
yang bisa kami bantu?!” kali ini ia mengulangnya dengan lebih keras, seakan
ingin menegaskan sesuatu. Sebagai pendatang, Eve tak mampu memahami apa yang
hendak diutarakannya.
Masih
menyungging senyum, pria itu menegakkan tubuhnya dan menjentikkan jarinya.
“Semua
yang tidak berbalas senyum akan dihukum.”
===
“Hm,
jadi namamu Stalla? Senang rasanya bertemu rekan senasib.”
Pria
botak tadi bernama Ganzo. Di dunianya, ia adalah seorang utusan Sang Pencipta Semesta.
Dia adalah manusia kelima yang memiliki tugas khusus dari Sang Kuasa. Mengemban
amanah atas nama agama Varsakhta, Ganzo bertugas untuk membimbing seluruh umat
di semesta menuju kenyataan.
“Apapun
itu maksudnya, kurasa ada hubungannya dengan tempat ini,” ucap Ganzo mengutarakan
tujuannya.
‘Hmm,’
Stalla menanggapi, ‘tapi unik juga ya, bertapa sepuluh tahun ternyata bisa
membuatmu gundul.’
“Aku
sendiri sempat heran melihat wujudmu yang hanya kaleng, tapi kurasa itu wajar
ya di dunia mimpi seperti ini?”
‘Mungkin,’
jawab Stalla, ‘aku sendiri tidak tahu sebenarnya aku ini apa. Aku kehilangan
semua ingatanku sejak pertama bermimpi.’
“(Seharusnya
kamu tidak mempercayai orang semudah itu, Stalla,)” embik Saviit, sedikit sinis
meski tahu Stalla tak bisa memaknainya mengingat kemampuan Stalla hanya bisa untuk
berujar dengan satu orang sekali waktu.
Mereka
terus berbincang selagi mendekati pusat kota. Dari Ganzo, Stalla tahu bahwa
keanehan di semestanya bukan hanya ia yang mengalami. Tentang makhluk hitam,
tentang orang-orang yang mendadak jadi makhluk menyeramkan, dan tentang kisah
mimpi yang diganggu di pertengahan.
Persis.
“Ya,
aku juga begitu. Mendadak nabi keempat yang kuhadapi berubah bengis,
mengeluarkan semacam aura hitam yang tak kukenal,” ungkap Ganzo setelah
mendengar kisah Stalla. “Kurasa apapun yang merasukinya, itu bukan berasal dari
duniaku.”
‘Tapi
ada satu hal yang lebih tak bisa kumengerti, Tuan Ganzo.’
“Aku
juga,” Ganzo menggaruk kepalanya. “Bagian di mana kekuatanmu hilang, itu juga
terjadi padaku.”
‘Berarti
kemungkinan semua Reverier mengalaminya.’
“Bisa
saja,” balas Ganzo. “Aku jadi bingung apa yang sebenarnya harus kita lakukan.”
‘Tapi
jika kita tidak berbuat apapun, maka kita akan dijadikan tembikar seperti
beberapa Reverier yang katanya gagal
menuntaskan misi. Aku tidak mauu,’ ujar Stalla. ‘Setidaknya aku ingin ingatanku
kembali dulu.’
“Ya,
kejadian di [Museum Semesta] tadi memang mengerikan.”
Sejenak
bungkam, benak mereka terisi oleh rentetan peristiwa di museum. Beberapa Reverier yang dianggap tak layak
berkarya, dijadikan patung liat buruk rupa. Sebagian hendak melawan, mengajukan
protes, tapi menatap sosok sang pelaku saja mereka gemetaran.
Ialah
sosok patung otak raksasa yang entah bagaimana memberi tekanan pada mereka
seakan mampu meremuk nalar cukup dengan sekilas pandang,
[Sang
Kehendak].
===
“Engh,”
Penjara.
Mesin Eve menyala di balik jeruji.
Eve
ingat dirinya dibekuk, dimatikan secara paksa di pintu masuk. Sekelompok robot
serupa polisi bertopeng tawa yang melakukannya, menangkap dan mengurungnya ke
dalam sel.
Ia
sedih, meski emosi tak bisa diungkapkannya. Ini pertama kalinya ia jauh dari Shiro
maupun Altair, pembuatnya, dan sekarang ia malah harus mengalami ini. Tidak
sekedar jauh, tapi hubungan dengan mereka telah nyaris lenyap. Altair telah
mati karena sesuatu yang tak sanggup ia pindai.
Sejenis
makhluk hitam telah merasuki Altair dan membuatnya menghancurkan kota.
Kota,
dan perasaan Shiro sebagai tunangan Altair.
“Selamat
malam, Nona,” seorang penjaga mendekat, lagi-lagi tersenyum. Sepertinya tak
seorang pun yang tidak tersenyum di Anatolia. Ia berhenti tepat di depan pintu,
memasukkan angka sebagai ganti kunci.
“Peneliti
kami berkata bahwa tatananmu memang tidak dilengkapi dengan tampilan isi hati,”
ujarnya begitu sel terbuka. “Kamu bebas.”
“Syukurlah,”
keluh Eve, “tenagaku sudah mencapai batas.“
“Tapi
sebelumnya,” sela penjaga,
“Yang
Mulia Saraph ingin berjumpa denganmu.”
===
Semakin
terang, Ganzo dan Stalla mendapati langkah keduanya telah menyentuh poros
Anatolia. Ganzo takjub, gedung-gedung yang berbaris seakan mencapai langit. Tak
pernah sebelumnya ia menemui bangunan setinggi itu.
“Hai,
bagaimana kabarnya? Hari ini ada diskon, ayo belanja!”
Kian
tengah kian ramai, Anatolia penuh beragam kesibukan. Mulai dari perdagangan sampai
sekedar jalan-jalan, penduduk berkegiatan dengan antusias. Meski mendung dan
cuaca tak mendukung, keceriaan memperelok suasana. Semua gembira, tiada satu
pun yang tidak tertawa.
‘Tampaknya
kota yang menyenangkan,’ kata Stalla, ditanggapi dengan angguk semangat Ganzo.
Namun
janggal, nyaris tak ada manusia di sana.
Setiap
sudut ditelisik, tak satu kulit pun tertangkap mata. Biarpun ada, sebagian
besar tubuhnya tetaplah besi. Bukan cuma Anatolia yang berkecanggihan tanpa
akhir, penduduknya pun bertubuh serba mutakhir.
“Oh
Tuhan!”
Ganzo
berpaling, pun para domba. Sudah sepatutnya ada yang menyadari keberadaan Ganzo
yang mencolok di antara puluhan raga logam. Wanita berbadan gemuk menudingnya, memusatkan
perhatian khalayak padanya.
“Petugas!
Ada manusia yang belum terlindung!”
Spontan
semua mata tertuju padanya, menimbulkan kepanikan. Sebagian di antara mereka –
terutama polisi – mendekati Ganzo dan merubungnya.
“Ikut
kami. Sekarang.”
“K-Kenap...
aaaah!”
Seketika
Ganzo ditarik mengikuti para petugas sementara kedua domba diangkut. Saat
itulah kaleng di punggung salah satu domba terjatuh dan menggelinding hingga
terantuk kaki seseorang.
“Sepertinya
mereka melupakan sesuatu,” ucap orang itu seraya memungutnya. Ia akhirnya cuma
bisa memperhatikan kerumunan itu bergerak menjauh sebelum membaca tulisan di
permukaan kaleng tersebut.
“Stalla?”
‘Kenapa
malah beginii....’
Tiga: A.I-NEST-Kendali
“Ugh..,”
Mata
Ganzo perlahan membuka di atas ranjang dingin dalam ruangan penuh perlengkapan
canggih. Dicobanya untuk duduk, sedikit bingung melihat pakaiannya telah
berganti menjadi baju terusan warna hijau muda.
“Di
mana ini?” herannya. Matanya tak mampu menerjemahkan jentera mutakhir dan layar
kaca yang terpampang di sana-sini. Semua yang ditatapnya adalah hal baru
baginya.
Tapi
ada hal lain yang membuatnya lebih terperanjat.
Kedua
tangan kini terbungkus logam, pun sebagian tubuhnya. Di mulut terpasang sejenis
masker dari baja ringan, membungkus luar rahangnya. Kulitnya yang bersinar emas
hanya tersisa sebagian kecil saja.
“Sudah
bangun ya?” suara langkah mendekat, sedikit mengejutkan Ganzo. “Aku memohon
pada Baginda Saraph untuk menemuimu langsung.”
Sesosok
gadis bermuka biru menghampiri salah satu bidang penayang, menekan
tombol-tombol seperti memeriksa sesuatu.
“Apa
yang telah kamu lakukan padaku?” tanya Ganzo.
“Menurut
hasil pindaianku ke arsip Anatolia, kota ini telah terkotori oleh semacam zat
beracun. Zat beracun itu bisa menggerus daging yang masih hidup. Jika tubuhmu
yang sebagian besar masih daging terkena debu hijau itu, kelamaan bisa jadi
gumpalan,” terang si gadis.
“Dengan
kata lain, mereka menyelamatkan dan menyesuaikan tubuhmu menjadi mesin agar tak
rusak oleh udara Anatolia.”
“Mereka?
Maksudnya yang menangkapku tadi? Kamu bukan bagian dari mereka?”
Gadis
itu berbalik menghadap Ganzo tanpa menjawab pertanyaannya. Tak berapa lama
kemudian sebuah pintu terbuka dan memunculkan tiga domba yang sebagian tubuhnya
juga telah dilapisi besi. Satu Ganzo kenali sebagai domba miliknya, sementara
yang satu lagi adalah milik Stalla.
Domba
terakhir mendekati sang gadis, menggosokkan tanduk pada kaki.
“Kamu
Reverier?”
“Namaku
Eve,” jawabnya seraya mengangguk.
“Aku
ingin mengajakmu berunding.”
===
Beberapa kala sebelum..
“[Ini...
buah pertempuranku dan Mira Slime.]”
Berbeda
dengan Stalla yang berada di Bingkai Mimpi yang utuh, sesosok makhluk besi
dengan mata tunggal warna merah itu berada di alam paskakiamat. Kosong, hanya menyisakan
antariksa bergemintang tanpa tepi.
Mata
merah itu telah mencoba memindai sekitar, nihil. Berpuluh zat angkasa
menghilang tak bersisa.
Di
sampingnya segumpal bola bulu putih berkaki empat melayang-layang. Sesekali ia
mengembik-embik, seperti hendak menyampaikan sesuatu pada sang makhluk besi.
“[Domba Putih,]” gumamnya, “[kalau jawaban kegundahanku ada di
ujung pertandingan ini, maka aku akan bertempur.]”
Seolah
mengenang, peranti dalam pusat akal bergerak. Laksana pertunjukan gambar,
potret demi potret perseteruan Mira dengannya terputar hingga ingatan sang
makhluk besi menayangkan kembali sebutan baru yang disandangnya.
Identitas
yang ia buat dari anagram nama si Cantik
dari Telaga Kabut.
“Iris Lemma.”
Seseorang
memanggil namanya, tapi bukan si domba karena Iris si mata tunggal tahu
pemberian Huban itu tak bisa bercakap dengannya. Menurut hisab Iris, semestinya
tiada satu kesadaran pun yang bisa bertahan dari kehancuran bumi huniannya.
Maka itu, timbul satu pertanyaan di pusat akal.
“[Siapa?]”
“Oh,
aku hanya suara hatimu. Sudah lama kita tak bersua,” jawab si suara.
“[Kemungkinan
tidak ditemukan,]” balas Iris, “[dalam tatananku tak pernah ada masukan suara
hat–bzzt!]”
“Hm,
sistem untuk mengambil dan menciptakan alat dengan fungsi apapun,” ujar sang
suara sementara mata Iris menghijau, menampilkan deret angka 0 dan 1 di layar
mata merahnya.
“Sempurna
untuk kuambil alih.”
===
“Bergabunglah
dengan kami,” ujar Eve.
Mereka
kini duduk mengelilingi meja bundar. Satu kursi diisi Ganzo, kursi lainnya ditempati
Eve. Di singgasana terbesar yang terletak di ujung, singgah robot gigantik setinggi
tiga meter dengan kepala mirip moncong pesawat jet.
“Bergabung
apa maksudmu, Eve?” Ganzo balas bertanya, tak memahami kemelut yang berjalan di
kota bersampul damai ini.
“Kamu
bisa melihat bagaimana kota ini, bukan? Sebuah kota yang penuh kebahagiaan.
Senyum tertebar di setiap sudut, menjadikan Anatolia sebagai sebuah kota
impian! Kota yang tak pernah bersedih!” jelas robot itu antusias.
“Sudah
cukup lama aku memimpin kota ini, mengubahnya menjadi utopia. Aku berhasil
membuat peraturan dan dengan aturan itu aku membentuk ketertiban. Ketertiban
ada agar perdamaian tercipta.”
“Tapi
ada pihak yang tidak menyukainya,” tambah Eve.
“Ya,
Eve sudah mendengarnya dariku. Pihak pemberontak ini seakan membenci kedamaian
yang kubuat, menyerang dan mengambil nama julukanku untuk menggerakkan
pendukungnya. Aku tidak mengerti, bukankah jika aku tidak melakukannya, maka
manusia akan terus berperang? Pelanggar aturan adalah anomali, dan anomali
harus dimusnahkan!”
Ganzo
manggut-manggut, ia mengerti. Melihat kota yang begitu menyenangkan, sungguh
sulit baginya untuk percaya ada orang yang ingin merusaknya. Jika ada, Ganzo
yakin orang itu adalah orang jahat.
“Baiklah,
aku akan membantumu,” jawab Ganzo mantap. “Apalagi kalian telah menyelamatkanku
dari partikel... apa itu namanya?”
“Kajima,”
jawab si robot. “Polutan itu sanggup meleburkan daging manusia, jadi kami
buatkan baju pelindung pada para manusia.”
“Lagipula
sepertinya ini tujuan kita, Ganzo,” lanjut Eve. “Kita dikirim di sini mungkin
untuk menuntaskan peperangan. Itulah kenapa aku bicara pada Baginda Saraph agar
mengajakmu bergabung.”
“Eve
sendiri memiliki daya tarung yang luar biasa,” ujar robot itu. “Tak ada alasan
untuk menolak tawarannya.”
“Aku
percaya pada kalian,” jawab Ganzo, “tapi kamu belum memperkenalkan diri, Tuan
Robot.”
“Oh,
maaf,” balasnya. “Namaku Saraph, tapi orang-orang memanggilku RAVEN.
Perkenalkan.”
“Lalu
ada satu hal lagi yang mengganjalku,” kata Ganzo.
“Ada
seorang Reverier lagi yang terpisah
denganku saat datang kemari.”
Eve
dan Saraph berpandangan sejenak, lalu kembali melihat ke arah Ganzo.
“Namanya
Stalla.”
===
Padang
pasir di sekeliling Anatolia.
Sosok
Iris muncul dari balik portal keperakan, menjejakkan tapak besinya hingga
sedikit terbenam. Matanya tak lagi menyala merah, tergantikan hijau tua.
Debu-debu pasir sesekali menerpanya, dibantu angin panas yang melingkupi medan.
“Jadi
di sini Anatolia,” ujarnya dengan nada yang tak lagi datar.
Betapa
tidak, sekarang akal Iris telah tergantikan oleh entitas baru. Pikiran yang
menghuni tubuh itu bukan lagi Iris, melainkan sebuah Kecerdasan Rekaan. Ialah
buah tangan semesta yang telah punah, menyisakan dirinya mengambang tanpa raga.
Ia
menyebut dirinya <A.I>.
“Heh,
jika di sini ada manusia maka aku bisa memulai lagi perburuanku. Beruntung di
museum tadi aku bisa menemukan robot yang layak kuhuni.”
Mata
tunggal itu kemudian menelisik, mencari apa yang bisa ditemukan. Tak jauh dari
sana, di balik bebukitan pasir, ia berhasil menangkap sewujud kapal besi namun
beroda layaknya tank.
Sebuah
markas.
“Hawa
panas.”
Jika
ia memiliki kelayakan tubuh makhluk hidup, mungkin air liurnya telah menetes.
Baginya entitas yang baru saja muncul dalam pindaian layar matanya adalah
buruan yang menggemaskan. Keberadaan yang seakan tercipta untuk dimusnahkan
oleh dirinya.
“Manusia,”
ujar A.I dalam tubuh Iris.
“Saatnya
berburu.”
===
“Ganzo,”
Ganzo,
Eve, dan beberapa pasukan tengah bersiap melakukan penyerangan. Mereka menyusun
persenjataan di perbatasan Anatolia, hendak menghabisi NEST yang menjadi markas
para pemberontak.
“apa
kamu ingat yang kukatakan tadi soal inspirasi, sumber kekuatan utama di dunia
mimpi?” tanya Eve.
“Ya,
kita tadi membicarakannya di markas. Memang kenapa?”
“Kita
juga sempat kehilangan kekuatan secara mendadak di pertengahan mimpi, bukan?”
lanjut Eve. “Menurutku aneh bila semua orang kehilangan inspirasinya di saat
yang sama.”
“Maksudmu...,”
“Ya,”
potong Eve, “pasti ada seseorang yang sengaja mencuri daya inspirasi kita.”
“Kalian
berdua, siaga,” perintah salah satu Eraser, sebutan untuk komandan pasukan
Saraph. “Sebentar lagi kita akan menyerang NEST.”
“Lalu
bagaimana dengan Stalla?” tanya Ganzo.
“Anak
buahku sedang pergi mencarinya,” jawab Eraser, “tapi kita tak cukup waktu untuk
menunggu mereka mendapatkan kaleng itu.”
“Apa
boleh buat,” Ganzo pasrah.
“Setidaknya
domba Stalla aman bersama domba kita yang lain, Ganzo.”
“Kalau
begitu, ayo.”
===
Sebuah
kapal raksasa.
Kakinya
persis roda tank dengan badan sewujud perahu tanpa layar. Persenjataan jelas
mumpuni untuk pertahanan, meriam tersebar di berbagai sisi. Kapal ini ialah
markas perang. Kapal ini jugalah rumah bagi sebagian besar penghuninya.
Awak
kapal menyebutnya NEST.
Di
depan NEST lah tubuh Iris yang telah dikuasai A.I itu berdiri.
“Sebuah
pangkalan berkendali mesin,” ujar A.I. “Hmm, benda ini terlalu besar untuk
kukendalikan dalam waktu lama, tapi sepertinya cukup untuk sekedar kumatikan
dari dalam.”
Satu
sentuhan.
Pintu
horisontal raksasa terbuka turun, memperlihatkan sejumlah penjaga berbadan
paruh robot. Bagaimanapun mereka masih manusia, mangsa empuk bagi sang Akal
Buatan. Di tempatnya berasal A.I telah memusnahkan segala bentuk kehidupan.
Entah apa tujuan pembuatnya, namun A.I sesungguhnya adalah kehendak yang murni.
A.I
hanya harapkan kepunahan manusia, keberadaan yang ditafsirkannya sebagai perusak
jagat raya.
“Siapa
kau?! Kenapa kau bisa membukanya!?” teriak salah satu penjaga.
Menggunakan
lengan kiri yang terbuat dari senapan laser dengan tubuh bercorak hijau gelap
ala tentara, mereka membidik A.I bersamaan.
“Jawab!
Kau suruhan Saraph kan?!”
“Saraph
siapa?” tanggap A.I.
“Jawab
atau ak–”
“....”
Semua
bisu.
Suara
ledakan baru saja terdengar, menghentikan semua tindakan. Darah terciprat,
menodai hijau dengan merah. Segenap pasang mata menuju ke satu arah. Tergeletak
di lantai, sebentuk mayat yang tak lagi berkepala. Mereka tak bisa percaya
serangan itu bukan berasal dari A.I.
Satu
tumbang.
“B-b-bukan!
A-aku tidak tahu!” jerit takut seorang prajurit, mendapati kepulan di pucuk
senapan.
“Kukuku,”
A.I tertawa, “kekuatan kalian ada dalam genggamanku.”
Ledakan
berikutnya.
Sebelum
sanggup memahami yang sedang berlangsung, prajurit lain telah menyarangkan
granat di antara mereka dan membasmi sebagian penjaga.
“K-kau!
Ini pasti ulahmu, menyerahlah!”
Terlambat.
Tak
sampai semenit pasukan itu bertumbangan. Penjaga gerbang NEST semuanya hancur
oleh serangan mereka sendiri. Tubuh kelabu Iris kini bernodakan merah, terkena
darah. A.I sang peretas, diam-diam merasuki kendali tubuh penjaga dan membuat
mereka saling serang.
A.I
berhasil menerobos.
===
“Apa
yang terjadi di sini?”
Ganzo
dan kelompok pasukan Saraph berniat menyusup melalui gerbang NEST tatkala
menemukannya terbuka lebar. Siapa menduga, penjaga pintu markas telah dihabisi
semua. Mereka hanya disisakan bau anyir darah bercampur oli dan pelumas.
“Aku
sudah memindainya,” tanggap Eve. “Penyebab kematian, saling bunuh. Alasan tidak
diketahui. Kejadian sekitar tiga puluh menit lalu.”
“Saling
bunuh? Bagaimana bisa?” tanya Eraser, sanksi.
Eraser
kemudian memutuskan untuk masuk, melangkahi lautan darah di pijakannya. Ganzo dan
Eve menyusul, diikuti pasukan yang lain.
“Kenapa
sepi begini?” tanya Ganzo.
Hanya
terdengar suara jejak. Seluruh kinerja mati, tak satu perlengkapan kapal yang
bekerja. Bahkan lampu dalam pun tak ada yang menyala. Seperti mendatangi rumah
kosong, namun dengan mayat bertebaran di bawah langkah.
“Maju
terus, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di dalam. Regu A coba telusuri jalur
kanan, B ke kiri,” perintah Eraser ketika menemui persimpangan. “Sisanya ikuti
aku.”
Begitulah,
mereka berpencar. Ganzo dan Eve mengikuti Eraser, melalui jalur di hadapannya.
Kian masuk bangkai manusia kian kerap. Para pasukan sampai sukar menemukan
pijakan.
“Tak
akan kuserahkan!”
Suara
wanita.
Ganzo
berlari maju, disusul yang lain. Alangkah kagetnya ia ketika menjumpai sewujud
robot bermata tunggal tengah mencekik satu gadis. Mata itu hijau dihiasi angka
0 dan 1 bergerak-gerak.
A.I
berbadan Iris.
“U-ugh...
k-kau...,” ronta si gadis, matanya menangkap sosok Eraser, “ternyata ini benar
ulah kalian!”
“Maaf,
tapi dia bukan bagian dari kami, Akari,” Jawab Eraser.
“Lalu
siap–agh!!”
“Diam
kau, daging busuk.”
Eve
maju, tak tahan melihat sang gadis yang dipanggil Akari menderita. Dari
ketiadaan Eve munculkan pedang kembar, siap menebas. Namun ia kalah gesit,
sinar ledakan dari lensa tunggal A.I memukulnya mundur. Eve terhempas, ditangkap
Ganzo.
Si
mata satu mengangkat ia yang dipanggil Akari, menyiksa lehernya. Satu ayunan
dan Akari terbanting ke lantai dingin. Tangan kanan, satu-satunya bagian yang
masih kulit dari Akari selain wajah, digenggam erat dengan tangan kiri A.I.
Diangkatnya sedikit pergelangan sang perempuan, seakan menimbang. Satu kaki
menahan bahu.
Kemudian
ditariknya sekuat tenaga.
“Apa
yang mau kau–”
“AAAGH!!!”
Ganzo
baru saja menapak maju, tapi langsung terpeleset dan jatuh terduduk ketika ia dilempar
sesuatu. Gemetaran tubuhnya saat ia melihat apa yang ditangkapnya.
Sepenggal
tangan.
Akari
kehilangan kesadaran.
“K-kau!
Tuhan tidak akan memaafkanmu!” kutuk Ganzo.
“Aku
sebenarnya berterima kasih kau telah menghabisi Akari,” ujar Eraser, “walau
sepertinya kau mungkin tidak berpihak pada kami.”
“Heh,
aku tidak berada di sisi manapun,” jawab A.I, “selama kalian manusia, aku akan
membasmimu.”
“Kh!”
Sebilah
pedang menancap. Darah Akari lantas tercampur dengan darahnya, makin memerahkan
jaket kelabu yang dikenakan. Ia menoleh dengan nafas sedikit tertahan. Sulit
baginya untuk mempercayai yang tertangkap mata.
Eve
menusuk Ganzo.
“Kuhahaha,
aku mampu membajak segala jenis permesinan dan memasukkan kesadaranku ke sana,”
tawa Eve. Matanya tak lagi berbeda warna, kini keduanya menyala hijau.
“Eve
Angeline dan Iris Lemma telah kukendalikan.”
Empat: Raja-Kilat-RAVEN
Kala Anatolia masih merupakan sebuah
negara makmur tanpa perang, hiduplah seorang Raja yang arif dan bijaksana.
Pada masanya beliau memerintah dengan
segenap pengabdian hingga memberikan segala apa yang dimilikinya demi rakyat.
Istana tak ia huni, hanya sebuah rumah kecil yang ditinggali. Istana warisan sang
ayah ia gunakan untuk menampung puluhan tuna wisma. Meski dengan kemegahan
harta benda, ia tetap memilih hidup sederhana.
Jika ditanya kenapa melakukannya, selalu
beliau menjawab dengan satu kalimat.
“Aku Raja, terserah aku dong,” katanya.
Setiap luang, beliau menelusuri Anatolia untuk
melihat-lihat situasi negeri. Jika ditemukan salah seorang saja kesulitan
pangan, segera ia beli dan angkutkan sendiri bahan dari istana untuk si warga.
Termasuk bila ia menemukan anak yang tak sanggup
bersekolah, diajaknya ke istana untuk diajari langsung.
“Kamu tidak butuh ijazah dari sekolah.
Ijazah dariku lebih istimewa. Aku kan Raja,” katanya.
Tak jarang pula ia mengangkat anak yatim
piatu dan membawanya memenuhi istana. Jika kamarnya kurang, maka ia akan membangunnya
sendiri hingga para pengawal yang merasa tidak enak membantunya dengan
sukarela.
Sang Raja sendiri memilih untuk tidak
menikah. Orang tuanya telah lama meninggal ketika ia menjabat posisi Raja,
sehingga ia menduduki jabatannya sejak usia belasan. Ia juga tak punya saudara
kandung.
Meski begitu di hatinya selalu tertanam
ajaran dari ayahnya, raja sebelumnya.
“Kamu bakal Raja, berbuat baiklah
sesukamu,” pesan sang Ayah.
Memang sang Raja tidak memiliki sanak
famili, tapi seluruh penduduk Anatolia menganggapnya keluarga. Mereka begitu
mengagungkannya sampai-sampai membuatkan patung raksasa.
Patung itu lalu mereka bubuhi nama beliau,
meski Raja tak meminta.
===
‘Uhh...
a-aku Stalla.’
“Hm.”
Pria
yang menemukan Stalla tadi lalu membawanya ke sebuah rumah di ujung kota.
Hunian yang sederhana, berdinding dan beratap baja. Ada sebuah kasur di pojok
ruangan yang kini dipakainya.
‘T-Tuan...’
“Hm?”
Pria
itu memakai jubah coklat kumuh, menutupi sekujur badan. Rambut dan jenggotnya
berantakan menutupi hampir segenap muka dengan mata sayu kecoklatan,
menampakkan usianya yang mendekati separuh abad.
‘T-tuan...
tolong jangan....’
“Jangan
apa?”
‘Berhenti
melempar-lemparkuuu....’
Seperti
bola, Stalla dilontarkan berkali-kali ke udara. Entah apa yang dipikirkannya,
tapi ia melakukannya sejak pertama Stalla mengajaknya bicara.
“Maaf,
aku tadinya cuma ingin memastikan di dalam tubuhmu sebenarnya ada apa. Aneh
saja melihat kaleng bisa bicara,” ujarnya setelah menangkap Stalla kembali.
“Sebenarnya
jika kamu berasal dari dunia ini, apapun tidak akan terlihat aneh. Aku tahu
kamu bukan dari sini makanya aku merasa ganjil.”
‘Maksud
Tuan?’
“Aku
tahu kamu bukan makhluk mimpi,” lanjut pria itu, berdiri dan menaruh Stalla di
atas meja. “Kamu bukan Kayal, apalagi Cuak. Kalau kamu Kayal mungkin aku tidak
akan heran melihatmu bisa bicara.”
‘Kayal?
Cuak? Apa maksud Tuan?’
“Kayal
itu sebutan untuk makhluk mimpi, kau baru datang ke dunia mimpi rupanya?” tanya
si pria. “Haha, kalau begitu selamat datang di Bingkai Mimpi Anatolia. Meski
aku ragu kamu akan meninggalkan dunia mimpi dalam waktu dekat.”
Untuk
kalimat terakhir itu Stalla paham betul. Hawa keberadaan [Sang Kehendak] saat
di museum begitu menekan, membuatnya yakin bahwa keinginan arca otak itu adalah
mutlak. Jika ia mau para Reverier
menggubah karya untuknya, maka apa yang bisa dilakukan kaleng kosong ini selain
menurutinya?
“Yah,
aku sendiri sudah terjebak di sini terlalu lama sampai aku ragu tubuhku masih
utuh saat aku terbangun,” lanjutnya. “Oh, iya. Aku belum menyebut namaku.”
“Aku
Kilat, perkenalkan.”
===
Suatu hari datanglah seorang utusan dari luar
negeri menuju Anatolia, berkeinginan menghadap sang Raja.
Menurut utusan itu, ilmuwan negerinya menemukan
sebuah tambang logam khusus yang hanya bisa ditemukan di Anatolia. Sebab
kelangkaannya, harga logam itu bahkan bernilai jauh di atas emas. Sang utusan memberi
informasi pada sang Raja dengan harapan beliau mau membuka jalan bagi negerinya
untuk bekerja sama memanfaatkan sumber daya tersebut.
Anehnya, Raja menolak. Ia tahu lokasi yang
dimaksud sang utusan merupakan tempat yang penting di pemukiman. Membangun
pertambangan tertentu akan membuat rakyatnya kehilangan tempat tinggal. Raja
tak ingin rakyatnya merasakan ketunaan wisma dalam masa pemerintahannya.
Sang utusan pun pulang dengan tangan
hampa.
Namun ternyata negeri tersebut tak
menyerah. Diam-diam mereka mengirimkan beberapa penyusup ke negara Anatolia.
Mereka menyebarkan gosip tentang keberadaan logam mulia tersebut dan menebarkan
fitnah bahwa Raja menghalangi pembukaan tambang logam karena tak ingin warganya
kaya raya.
Memang manusia, tak pernah puas dengan
segala yang telah dimilikinya.
Rakyat yang tak mengerti pemikiran sang
Raja, satu demi satu akhirnya terhasut. Mereka berdemo kepada sang Raja,
meminta agar mereka diijinkan membuka pertambangan logam tersebut. Mereka
merasa bahwa hidup mereka akan jauh lebih sejahtera dengan pembukaan tambang,
mengingat iming-iming harga yang tak sedikit.
Sang Raja kemudian mengalah.
Raja akhirnya mau menjalankan kerja sama
bisnis. Negeri sang utusan menjadi pengedar logam, sedangkan Anatolia menjadi
pusat penambang.
===
‘Perang
RAVEN?’
“Ya,”
balas Kilat, “perang RAVEN telah bergejolak sejak lama. Perang antara pihak
pemerintah dan pemberontak. Kedua belah pihak sama-sama menggunakan nama RAVEN,
demi menarik hati pengikutnya.”
Stalla
yang awalnya tidak tahu harus berbuat apa, setidaknya ingin mencoba mencari
tahu tentang Anatolia.
Ia
baru saja meminta Kilat menceritakannya segala hal terkait Anatolia hingga
sampai ke persoalan partikel Kajima yang meracuni seluruh penduduk dan
bagaimana mengatasinya. Kilat lalu beralih ke kisah mengenai kemelut Anatolia.
‘RAVEN
itu apa?’ tanya Stalla.
“Hm,
kau tidak berasal dari sini makanya tidak tahu. Coba kamu lihat itu,” ujar
Kilat seraya membuka tirai. Terlihat dari tempat Stalla berada, sebuah patung
berdiri gagah.
“Itu
patung RAVEN, seseorang yang dianggap pengkhianat bagi negara ini. Ia adalah
pemimpin negara Anatolia sebelum kudeta Saraph. Pemimpin pemberontak mengambil
nama RAVEN Hitam, karena mereka yakin sang Raja lah yang benar. Untuk menyindir
para pemberontak, Saraph pun mengambil julukan RAVEN Putih. Itu ia lakukan
sekaligus untuk menunjukkan bahwa ialah yang benar.”
Stalla
teringat akan kedatangannya pertama kali kemari. Sulit dibayangkan, kota yang
penuh senyum dan sukaria ternyata tengah dirundung perseteruan. Tak heran ada
beberapa sisi kota yang hancur dan rusak. Bisa jadi akibat peperangan yang
menderu.
‘Jadi
pemberontaknya itu jahat ya, Tuan?’
“Hmm,”
Kilat mereguk minuman di tangannya sebelum melanjutkan, “bisa jadi. Entahlah.
Setiap orang memiliki idealismenya masing-masing, jadi biar kamu sendiri yang
memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Aku sendiri tidak mau
terlibat lebih jauh lagi.
“Aku
sudah lelah, Stalla.”
Diletakkannya
gelas di pinggir meja yang ada di samping jendela. Sekilas terpancar semburat
pilu di rona muka si pria tua. Kumis dan jenggotnya yang lebat tak bisa
menutupi rasa sepi yang terukir di wajah rentanya.
Kilat
lalu kembali dan duduk di sebelah Stalla, mengangkat dan menghadapkannya ke
muka.
“Jadi,
apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
Stalla
tertegun. Ia tak tahu apapun. Sejak sampai kemari, ia hanya mengikuti tuntunan
Saviit, domba putihnya. Ia bahkan tak mengerti tujuannya di sini. Sekarang
Saviit juga menghilang.
‘Aku
tidak tahu, Tuan. Sepertinya peperangan inilah alasan kami dikirim kemari,’
jawabnya menyimpulkan.
‘Sayangnya
aku tak bisa bertarung, jadi aku tak tahu harus bagaimana. Satu-satunya
kemampuanku pun hilang.’
“Kemampuan?“
“TUAN
KILAT, KAU DIKEPUNG!”
Pintu
didobrak. Penjaga Anatolia mendadak telah berada di sekitar kediaman Kilat,
menutup semua jalur.
“Wah
wah, tidak hanya Kilat tapi ternyata kita juga bisa menemukan si Kaleng Ajaib
di sini,” ujar seseorang yang tampaknya pemimpin mereka. “Serahkan dirimu dan
berikan kaleng itu padaku, Tuan Buronan! Baginda Saraph menginginkannya!”
“Hah?”
Kilat bingung. “Apa yang kamu lakukan hingga dicari oleh penguasa negeri ini?”
‘A-aku
tidak tahu.. Tuan juga, kenapa Tuan jadi buronan?’ Stalla panik, tak menyangka
ia bisa berada di situasi seperti ini.
“Cepat
serahkan kaleng itu, bajingan busuk! Kau tak bisa lari ke manapun, jadi percuma
saja!” ancam sang komandan.
“Stalla,”
panggil Kilat,
“untuk
sekarang lebih baik kita kabur dulu.”
===
Tak sampai satu dekade setelah
pertambangan dibuka, tragedi menimpa Anatolia.
Negara tetangga menjalin kerja sama dengan
Anatoloia dan tidak ingin terlibat sebagai penambang karena suatu hal. Mereka
telah meneliti logam mulia tersebut lebih awal, dan mereka tahu bahwa benda itu
memiliki polutan tertentu yang berbahaya bagi manusia.
Bagi mereka yang tidak mengeruk logam
tersebut, tidak terlalu masalah. Namun bagi penambang langsung yang menggali
dari sumbernya, ia akan meracuni dan menggerogoti tubuh dari luar dan dalam.
Satu demi satu warga Anatolia yang tak
mengetahui ini mulai tergerus tubuhnya, berkurang dagingnya. Sebagian
kehilangan tangan, terputus kaki, bahkan ada juga yang termakan kepalanya.
Lalu begitulah, dalam kurun waktu lima
tahun saja jumlah penderita penyakit ini mengalami peningkatan drastis. Sang
Raja dan penduduknya yang tidak tahu penyebabnya berusaha mencari dan mencari
obat, tapi tak kunjung menemukannya padahal pertambangan yang menjadi sumber
masalah terus dilakukan.
Angka kematian meningkat, pun kepedihan
sang Raja.
Hingga pada suatu malam, terdengar letusan
besar. Ada seseorang yang meledakkan pertambangan itu dan entah sengaja atau
tidak telah mengakibatkan debu logam itu tersebar ke penjuru Anatolia.
Tentu hal ini menjadi malapetaka,
mengingat logam tersebut mengandung partikel berbahaya. Korban berjatuhan makin
banyak. Warga Negara Anatolia pun berada di ambang kepunahan.
Mengetahui ini, dunia bertindak
mengisolasi Anatolia. Mereka segera bersiap menghancurkan area pertambangan
sekaligus wilayah kediaman raja, membawa sepasukan tentara terhebat dunia.
Raja yang mengetahui kabar ini segera
turun tangan, mengajak semua yang bisa berperang untuk turut serta. Kharisma
sang Raja tak luntur, beratus warga yang tersisa ikut bertempur bersama. Bahkan
anak-anak pun ingin ikut, jika tidak dilarang sendiri oleh beliau yang dikasihi
rakyatnya.
Kekuatan sang Raja tak bisa dianggap remeh,
seorang diri mampu menahan ribuan manusia. Dibantu pasukannya, mereka berhasil
menghabisi tentara dunia dan memaksa mereka mundur.
Tapi negeri Anatolia terlanjur lebur
menyisakan area sekitar istana, area yang kini dikelilingi padang pasir yang
sangat luas bekas medan perang. Tak diketahui oleh Raja, dunia telah membentuk
dinding penghalang dan mengisolasi Anatolia dengan sempurna dari luar.
Sekembalinya Raja dari peperangan, ia tak
sanggup menahan diri. Raja berlari ke tengah kota dan meneriakkan pada
rakyatnya agar berkumpul.
Semua bergerombol mendatangi lokasi Raja.
Wajahnya sendu, rautnya pilu.
“Rakyatku, sahabatku, keluargaku,” ucapnya
gemetaran,
“MAAFKAN AKU!!”
Hanya begitu.
Ia tak berkata lebih dari itu.
Namun itu dikatakannya dengan bersujud
hingga menghancurkan dahinya di tengah jalan aspal yang panas. Merah mengucur di
kepala, tapi kalah deras oleh air mata yang terus berlinang. Sang Raja tak
sanggup berkata apapun lagi setelah itu.
Beliau pingsan dengan tetap bersujud.
===
“Kilat,
berhenti!”
Dia
yang dipanggil jelas tak mau menurut. Begitu berhasil kabur keluar dari rumah,
ia dihadang oleh berpuluh pasukan di luar. Kilat berlari menerjang pasukan
dengan membawa Stalla.
Seorang
membidik.
Satu
letup.
“Agh!”
Tak
diduga, Kilat melempar Stalla ke ujung mulut senapan dan mengubah arahnya
sehingga menembak tanah. Kilat segera melompat, menangkap kembali Stalla yang
terlontar ke udara.
“Stalla,
kamu kaleng semprot kan? Apa isimu?”
‘T-tidak
ada, Tuan. Aku kosong.’
Bidikan
kedua, mengincar Kilat di angkasa.
Kali
ini Stalla dilontarkan menghajar muka, disusul tendangan cangkul ke arah dada.
Stalla kembali di genggaman. Dalam sekejap seluruh senjata kini mengarah padanya
yang berada di antara pasukan.
“Apa
kemampuanmu, Stalla?”
‘Tidak
tahu, aku kehilangannya waktu masih di dunia asalku.’
Seperti
namanya, Kilat begitu gesit. Sebagian malah saling meledakkan karena peluru
mereka tak sanggup menggores Kilat. Ia bergerak menghindar dengan sangat
cekatan hingga berhasil menyelinap kabur.
“Jangan-jangan
kamu kehilangan inspirasi?” tanya Kilat di tengah lari.
‘Eh?
Maksudnya?’
Kilat
diam. Ia seperti sedang berpikir, mencoba menyusun kalimat untuk menjelaskan
konsep semesta mimpi pada si Kaleng Ajaib.
Beberapa
prajurit tiba-tiba muncul di hadapan Kilat, menghalangi lajunya. Kilat tetap
tenang, berhenti menunggu reaksi.
“Inspirasi
itu sumber kekuatan bagi pemimpi. Tanpa inspirasi manusia tidak akan bisa
bermimpi,” terang Kilat.
‘T-Tuan
Kilat!’
Satu
maju menggenggam belati.
Nyaris
mendarat, belati berhasil dialihkan dengan sisi lengkung Stalla. Tendangan
langsung menyarang dagu, menjatuhkan sang penusuk. Serangan kedua menghampiri.
Stalla dilempar ke atas, lalu pergelangan lawan ditangkap. Lengan itu dikunci
lalu dipatahkannya.
“Inspirasi
itu daya luar biasa yang dimiliki segala makhluk berakal. Inspirasi mampu
mendorong siapapun untuk meraih mimpi,” lanjut Kilat seraya mendongak.
Penyerang
ketiga dan keempat maju bersamaan. Naas, Kilat menendang Stalla yang meluncur
turun dan melontarkannya ke wajah prajurit ketiga. Ia jatuh. Terkejut, orang
keempat tak sempat mengantisipasi tinju Kilat. Tak disangka, tinju Kilat bisa
menembus tubuh mesin itu dan mematikannya.
“Inspirasi
adalah tentang keinginan dan cita-cita,” lanjut Kilat setelah menangkap Stalla
kembali. “Kalau kekuatanmu di sini hilang, berarti daya inspirasimu bermasalah.
Apa sebenarnya yang menjadi inspirasimu, Stalla?”
Stalla
tercenung. Ia tak memiliki ingatan apa-apa selain setelah ia terjebak di
semesta mimpi. Ia hanya memiliki kenangan bersama Bapak. Bapak yang hangat dan
penuh kasih sayang. Bapak yang rela menolong siapapun tanpa mengharap imbalan.
Meski
sebentar, tapi keberadaan Bapak lah yang pertama kali menjadi harapannya untuk
menemukan ingatannya.
“(Harapan terkuatmu lah yang akan menjadi
kenyataan di dalam mimpi.)”
‘Ah,
kurasa aku mengerti!’
“Cukup!”
sang pemimpin pasukan yang mengamati sedari tadi kini mulai kesal, ia
mengeluarkan sebuah meriam tangan raksasa. Disasarnya sang buronan dari jauh,
berniat melantakkannya.
Sedetik
kemudian pemicu ditarik. Gaya reaksi menghasilkan ledakan energi raksasa yang
mengincar Kilat dan Stalla. Tak sempat kabur, Kilat hanya bisa menutupi wajah
dengan satu tangannya. Saat itu ia pikir mereka akan musnah.
Namun
ajaib.
Serangan
tersebut lenyap entah oleh apa. Stalla dan Kilat selamat, mencengangkan sang
pimpinan. Bahkan Kilat sama sekali tak tergores.
‘Harapanku
saat itu adalah menolong Tuan pemulung, dan harapanku kali ini adalah
melindungimu,’ ujar Stalla.
‘Kurasa
aku bisa memakai kekuatanku sekarang. Tuan Kilat, tolong pencet kepalaku!’
Kilat
tak mengerti, tapi tetap mengiyakan. Ia mengarahkan kaleng penyegar ruangan itu
ke depan.
‘PEMBEBASAN!’
===
Hari berganti hari, insiden permintaan
maaf sang Raja tak terlalu ditanggapi baik.
Sebagian menerima, sebagian tidak.
Pertentangan di mana-mana. Tak semua kini menyukai Raja. Ada yang tetap
mempersalahkan Raja, ada pula yang makin setia terhadapnya. Dasar sifat
alaminya, manusia suka mencari pihak untuk disalahkan demi menenangkan diri.
Pun begitu, situasi mereka tak kunjung membaik.
Penduduk yang tersisa kebanyakan hanya
bisa terbaring tanpa kaki, bahkan beberapa tak lagi memiliki alat gerak.
Terbujur kaku di atas pembaringan, mereka cuma bisa menanti ajal menjemput.
Namun beruntung, tak berapa lama sekawanan
robot raksasa terbang mendatangi Anatolia bak perkumpulan malaikat besi.
Salah satu dari mereka yang bertindak
sebagai pemimpin menjanjikan sesuatu kepada sang Raja yang cacat badan. Kaki
kiri menghilang, tangan kirinya juga. Sang Raja sudah lumpuh, hanya menanti saat
ajal menghampiri.
Namun sang Robot menawarkan sesuatu yang
menarik. Ia meyakinkan Raja bahwa dirinya sanggup menyembuhkan Anatolia. Walau tidak
sempurna, setidaknya ia sanggup melindungi rakyatnya dari siksaan lebih lanjut.
Syaratnya satu: Raja mengijinkan para
robot hidup bersama di Anatolia.
Tentu Raja menyambut baik tawaran itu,
percaya bahwa para robot datang demi kebijakan. Tak apa mengiyakan
permintaannya, justru mereka akan lebih gembira karena bertambah teman.
Lalu dimulailah operasi besar-besaran.
Semua diubah menjadi separuh robot dan
diberi semacam pelindung agar tak lagi bisa menghirup partikel yang mereka
namai ‘Kajima’. Seluruh penduduk terselamatkan, tak terkecuali raja.
Semua bahagia atas pertolongan sang Robot.
Anatolia mampu bertahan hidup dan kembali
menjadi kota yang makmur sentosa penuh kebahagiaan dengan Raja tercinta mereka.
Anatolia menjadi kota di mana manusia
hidup berdampingan dengan robot.
===
Lantak.
Dari
tubuh Stalla muncul ledakan energi raksasa serupa tembakan pimpinan tadi,
menghabisi mereka yang tersisa. Lansekap tak berbentuk, bangunan-bangunan
lebur. Bahkan Kilat pun tercengang.
‘Hihi,
ternyata benar dugaanku,’ ucap Stalla bangga.
“A-apa
yang kamu lakukan?” Kilat bertanya tak percaya.
‘Sederhana,
aku menyerap sesuatu dari luar dan mengeluarkannya lagi saat kepalaku
dipencet,’ jawab Stalla. ‘Sepertinya tubuhku bisa menyimpan berbagai macam hal
dan membebaskannya kembali.’
“Hm,
semacam Ruang Penyimpanan Dimensi?”
‘Entahlah.
Mungkin? Tapi aku suka istilahnya, terdengar pintar.’
Kilat
kembali melihat ke sekitar, memastikan. Sekarang tak ada lagi yang mengejar
mereka, tapi untuk kembali jelas tidak mungkin. Rumah Kilat telah diketahui
musuh.
Tapi
musuh siapa?
‘Tuan
Kilat,’ Stalla mulai penasaran, ‘yang mengejarmu tadi sebenarnya siapa?’
“Mereka
adalah suruhan Saraph,” jawab Kilat. “Aku adalah buronan.”
‘B-bagaimana
bisa Tuan Kilat...?’
Stalla
berhenti melanjutkan ketika melihat Kilat menoleh.
Di
kirinya berdiri sebuah patung raksasa yang terbuat dari batu dengan papan nama
di bawahnya. Dari kejauhan tak nampak, namun kini Stalla bisa melihat banyak
coretan di patung berlapis emas itu. Tulisan caci dan maki memenuhi badan,
memperlihatkan kebencian mendalam dari siapapun yang melakukannya.
Ya,
Kilat berlari cukup jauh hingga kini ia berdiri di depan patung RAVEN yang tadi
mereka bicarakan.
Stalla
terkesiap ketika membaca papan nama yang tertera.
‘T-Tuan
Kilat... kamu...?’
===
Rakyat Anatolia kala itu kembali
berbahagia. Rekan mereka bertambah, pekerjaan juga semakin ringan dengan
bantuan mesin. Saling bahu-membahu mereka menegakkan simbol kebahagiaan di
Anatolia.
Namun kedatangan sang Robot membuat banyak
pihak yang berpikir bahwa ia lebih pantas memimpin daripada sang Raja. Mulai
terdengar suara-suara yang inginkan kemunduran Raja. Mereka yang memang tidak
menyukai Raja kian menguat suaranya.
Hingga suatu kejadian menaikkan kobar
faksi tersebut.
Pada suatu petang, ia dan sepasukan
pengawal pergi menuju pemukiman dengan senjata teracung. Hal ini tentu memusingkan
saksi mata. Para pekerja malam terbengong melihat Raja bergerak ramai-ramai.
“R-raja? Apa yang hendak engkau lakukan segelap
ini?” tanya seorang.
“K-keluargaku,” Raja menjawab, “CEPAT
LARI!”
Tragedi kedua.
Lengan mesin Raja menembakkan laser sang
penanya, menghabisinya.
Tak cukup itu, ia menyerang segala yang
dipandang. Satu demi satu pemukiman ia musnahkan, nyawa demi nyawa ia
lenyapkan. Seluruhnya ia serang tanpa pandang bulu.
“L-LARI! CEPAT PERGI!! JAUHI AKU!” racau
sang Raja.
Raja tak sendiri, pasukannya pun turut
bertindak. Pedang listrik dan senapan laser membasmi siapapun yang di sana.
Korban berjatuhan. Tak seinsan pun mampu mengelak dari genosida. Darah dan oli
berserakan, puluhan jiwa dilepas dari dunia.
“Raja! Apa yang kau lakukan?!”
“Raja! Salah kami apa?!”
“RAJA?!”
“T-Tubuhku tidak mau menurut!” rintih Raja
meski tak terdengar.
“TOLONG AKU!!”’
Tepat setelahnya tiba-tiba sang Robot muncul
dari angkasa.
Kedatangannya laksana malaikat, disambut dengan
sorakan para pendukungnya.
“Tolong kami! Kumohon selamatkan kami!
Raja sudah gila!” teriaknya.
Tentu sang Robot menjawab asa Anatolia.
Seorang diri ia menghentikan gerak seluruh prajurit Raja. Orang demi orang
ditaklukan, hingga sang Raja pun tak berkutik di hadapan robot berkepala
runcing itu.
“Ckckck, tak kusangka begitu dirimu
mendapatkan kekuatan, kamu jadi menggunakannya untuk keburukan,” ucap sang
Robot sewaktu membekuknya.
“I-ini... ini pasti ulahmu,” keluh Raja
dengan mata sembab.
“A-AGH!!”
Sekali tebas, tubuh Raja oleng.
Dari tangannya sang Robot mengeluarkan
pedang. Diayunnya miring, kaki dan tangan kanan terpisah dari tubuh Raja. Alat
gerak Raja yang terbuat dari daging habis sudah, menyisakan bagian besi. Dalam
hitungan detik, sang Robot berhasil menghentikan amukan Raja dan pengikutnya.
Sebentar senyap, Anatolia segera memandang
sang Robot sebagai kesatria penyelamat.
“Saraph!! Saraph!! Saraph!!’ elu mereka,
memuja.
Sang Raja dan semua yang terlibat kemudian
dipenjara. Mereka dianggap berdosa besar karena telah mengkhianati rakyat. Tak
seorang pun menanyakan alasan. Kepercayaan bertahun-tahun terlanjur runtuh
hanya karena kekejian semalam.
Sebagian rakyat yang dendam di kemudian
hari mencoret patung Raja yang ada di tengah kota.
Menutupi nama ‘Kilat Hitam’ dengan tulisan
‘RAVEN’.
===
“Ya,”
balas Kilat, menanggapi Stalla.
“Aku
Kilat ‘RAVEN’ Hitam.”
Lima: Mimpi-Mati-Ayah
‘Ternyata seperti itu...,’ kejut Stalla,
usai mendengarkan kisah sang mantan Raja.
Tak
disangkanya negeri penuh senyuman ini memiliki masa lalu yang kelam. Tidak cuma
itu, bahkan senyuman itu pun palsu. Mereka semua tersenyum karena aturan. Jika
sebersit saja terlihat satu tak bahagia, hukuman menantinya.
“Begitulah,”
balas Kilat, “tak seorang pun mempercayaiku dan aku pun dipenjara. Aku kemudian
kabur dan membentuk kelompok revolusioner untuk melawan rezim Saraph. Aku
menggunakan nama yang terlanjur diberikan padaku, RAVEN Hitam, untuk memimpin
tentara yang setia padaku.”
‘Lalu kenapa kini Tuan berhenti?’
Kilat
berjalan mendekati patung dirinya. Patung yang memang didesain untuk tidak
terhancurkan itu masih berdiri dengan kokoh, meski banyak coretan di mana-mana.
Disentuhnya simbol kegagahan masa lalunya, mengenang kesigapannya.
“Aku bertemu Huban,” jawabnya.
“Waktu
itu dia muncul ketika aku tengah bertempur. Aku tak bisa mengingat wujud
utuhnya. Hal yang terngiang di kepalaku cuma senandungnya saat melompat-lompat
kecil di tengah medan perang, juga kepalanya yang berupa bantal.
“Saat
itulah aku, entah bagaimana, menyadari bahwa semua ini cuma mimpi.”
Hening
sejenak, Stalla tampak mulai mengerti. Ia bungkam, menunggu Kilat melanjutkan.
“Detik
ketika aku tahu dunia ini cuma mimpi, detik itulah aku kehilangan tujuanku. Aku
takut jika nanti semua usahaku ternyata hanya angin lalu. Aku bahkan tidak tahu
sejak kapan aku bermimpi, jadi untuk apa aku berjuang? Jangan-jangan di dunia
nyata aku bahkan bukan raja? Aku takut, Stalla.”
Stalla
bisu.
Bahkan
ia pun tahu betapa akan goyah mentalnya jika menyadari sebagian hidupnya hanyalah
bunga tidur. Seandainya nanti Kilat menang dan berhasil menguasai kembali
Anatolia, bagaimana jika kemudian ia terbangun dan mendapati segalanya cuma
angan?
‘Seorang
Raja pun pasti akan turun moralnya,’ simpul Stalla.
Ia bimbang.
Memang, dirinya tak mengingat siapa ia sebenarnya dan bagaimana dirinya bisa
ada di dunia ini. Nama Stalla pun diperoleh dari logo yang tertera di raga
kalengnya. Jika dia kehilangan ingatan di dunia mimpi, bagaimana ia yakin
ingatannya di dunia nyata adalah sesuatu yang diharapkannya? Bukankah mimpi bergantung
pada serpih kenangan?
Dengan
kata lain kenangannya tidak ingin dirinya mengingat dunia nyata, bukan?
“Manusia
terdeteksi.”
Sebuah
misil jatuh menimpa kota.
Kilat
dan Stalla terkejut, mereka tak terkena ledakan tapi tubuh mereka terhempas
beberapa meter. Tak berapa lama kemudian, sesosok robot raksasa bermuka biru dengan
sebelah mata bulat turun di tengah Anatolia.
Itu
mata Iris, namun tubuhnya berbeda. A.I telah menyatukan puluhan robot ke
rancangan Iris sebelum sampai kemari.
Termasuk
Eve dan Eraser.
“Kukuku,
penghancuran dimulai.”
Tak
puas, A.I menembakkan sinar energi ke penjuru Anatolia. Bangunan koyak, bumi lantak.
Jerit tangis segera membahana. Cukup sekedip dan A.I berhasil memusnahkan
senyum tawa Anatolia.
Sepanjang
jalan Anatolia seketika itu juga dipenuhi manusia dan robot. Mereka berhamburan
mencari keselamatan.
Namun
justru itu yang diincar.
A.I
terbang dan menghalangi salah satu jalur. Tangan A.I berubah jadi pedang, satu
gerakan dan semua yang di hadapan A.I seketika binasa.
Berpuluh
mereka langsung berbalik arah, bertubrukan dengan yang berlari ke jalur
sebaliknya. Saling injak, saling tindih, saling sikut. Siapa dan apa tak lagi
dinalar. Bagi mereka yang utama hanya keselamatan diri.
‘Bagaimana
ini, Tuan Kilat?’ gugup Stalla.
Kilat bisu, ia tak tahu. Terjadi pertentangan dalam
hatinya. Jauh di benaknya ia ingin bertindak selayak dirinya masa lalu, tapi ia
juga tak mungkin abai bahwa ini cuma mimpi. Lebih-lebih bila lawannya adalah
robot pemusnah masal.
‘Tuan,’ panggilnya lagi.
“Aku...
jika aku mati di sini, siapa tahu aku bisa bangun dan kembali,” katanya putus
asa.
Tiba-tiba
suara dentuman menderu.
Sebentuk
robot berkepala jet menembaki A.I, menekannya mundur. Ia segera mendarat di
bentangan medan penghancuran, menghadang A.I. Ia tak sendiri, membawa pasukan
penakluk demi membantunya.
“Bedebah,
apa yang kau lakukan pada Anatoliaku!”
Saraph
datang. Perseteruan pun tak terelakkan. Warga Anatolia bersorak menyaksikan
kehadiran sang penyelamat. Sesaat itu juga mereka lupa akan penderitaan selama bertahun-tahun.
Mereka hanya berharap untuk selamat detik itu juga.
Sementara
Kilat?
“Aku
hanya ingin bangun,” ujar Kilat.
Ia
menerawang, memperhatikan pusat pertarungan meski tatapannya kosong. Ledakan
bertubi. Panggung kisah Stalla kembali menampilkan neraka kengerian.
Pertempuran Saraph dan A.I meledakkan apapun yang kasatmata, tak menyisakan secuil
jua.
“Jika
mati di sini berarti bangun di sana, aku lebih baik segera mati,” lanjut Kilat.
“Biarlah ia berbuat sesukanya dan membasmi kita semua.”
Kilat
hilang hasrat, rona matanya melenyap. Daripada keinginan untuk bangun, yang
Stalla lihat cuma pria tua yang menyerah pada keadaan.
‘Yakin
Tuan pasti bangun?’ ketus Stalla tiba-tiba.
‘Jika
iya, kenapa Tuan tidak mati saja dari dulu, atau dari tadi waktu suruhan Saraph
mengejar kita? Kenapa harus menunggu penyerang ini dan bukannya bunuh diri?
Raja apa bukan?’
Kilat
tertegun, tak menyangka Stalla berkata seperti itu padanya.
‘Jangan
mati dulu kamu, Pak Tua. Bantu aku,’ pinta Stalla. ‘Aku tahu masih ada harapan
tersisa di dirimu, harapan untuk kembali bangun dan bertemu rakyatmu. Kalau
iya, ikuti aku.’
“B-benarkah?”
Kilat mulai goyah. “Kamu bisa membuatku bangun?”
‘Kecuali
kamu mau mati,’ tegas Stalla. ‘Kalau kamu mati bagaimana kita tahu jawabannya?
Setidaknya bertahanlah hidup sampai bisa menemui Huban, atau jika perlu
langsung ke [Sang Kehendak].
‘Kita
tuntut mereka.’
Kilat
menganggukkan kepalanya, sedikit ragu.
Bagaimanapun,
kata-kata itu keluar dari sebuah kaleng.
“Guahahaha!”
terdengar tawa kencang.
Kilat
seketika menengok. Figur makhluk besi raksasa terpampang di hadapan mereka.
Tingginya belasan meter, membuat Kilat dan Stalla bisa mati terinjak dengan
mudahnya.
‘Ugh,
Tuan Kilat,’ panggil Stalla, ‘jika kamu ingin menyelamatkan kota ini,
seharusnya dari tadi.’
A.I
kini berbadan raksasa.
“Guahahaha,
kemampuan Iris ini memang luar biasa! Robot-robot itu telah jadi kuasaku! Untuk
apa mengendalikan puluhan robot jika aku bisa menyatukannya dalam satu
kendali?! Guahahaha!” tawanya.
Mereka
yang masih hidup, kembali panik melihat pujaannya menjadi makanan A.I. Mereka
mulai berhamburan, kabur dari sang pemangsa. Rasa takut kembali menghampiri,
tak seorang pun siap menghadapi mati.
“Rasakan
neraka, manusia. Tiga....”
Bagian
dada yang berbentuk lingkaran milik A.I itu berpendar. Bola-bola cahaya
terbentuk di sekitar, berpusar dan mengumpul di depan dada.
“Dua....”
Bola-bola
itu menyatu, mewujud bulatan besar dan pejal.
“Satu...!”
Ditembak.
Sinarnya
begitu terang, membutakan. Tak ada yang mampu berasumsi dirinya akan selamat.
Meski begitu mereka tetap berusaha melarikan diri dari kematian yang menjelang.
Meski mereka tahu rasanya itu akan sia-sia.
...
Namun
tidak, cahaya itu pupus.
Semua
bengong, menatap langit. Cahaya itu musnah, mengembalikan mendung di langit
Anatolia. Untuk sesaat, sunyi. Detik berikutnya seseorang meneriakkan sebuah
nama. Satu nama yang dulu mereka puja.
“Itu
Raja Kilat!” tudingnya ke atas gedung.
“Tidak
ada waktu untuk berpikir panjang,” kata Kilat selagi membuka jubahnya,
menampakkan tubuhnya yang seluruhnya terbuat dari mesin. Ia kemudian menguncir
rambutnya yang lebat panjang, memperlihatkan wajahnya yang tadi tertutup.
“Untuk
sekarang aku percaya saja denganmu, Stalla.”
“Bagaimana
kau melakukannya, keparat!?”
A.I
mengayun tinju, mengincar Kilat. Sebelum pukulan itu menghancurkan gedung,
Kilat telah melompat ke dinding bangunan seberangnya dan meluncur vertikal. A.I
yang tak sabar langsung menjejak kaki ke arah Kilat, yang dihindarinya dengan melompat
ke darat.
“Kalian
semua kabur!” perintahnya pada rakyat Anatolia, dipatuhi tanpa banyak cakap.
Mereka berhamburan menjauhi lokasi pertempuran.
‘Dengan
tubuh raksasa begitu bagaimana dia bisa bergerak gesit?’ heran Stalla.
Dari
atas bahu A.I muncul puluhan misil, hendak menyasar Kilat.
‘Pencet
kepalaku!’
Dalam
sekejap papan besi raksasa muncul, digunakan sebagai perisai. Meski tak terkena
langsung, dampak dentuman misil tetap berhasil mendorong Kilat.
Belum
selesai, misil lainnya menyusul.
Kilat
begitu tangkas, misil yang diterbangkan mengenai kosong. Kilat berlari
mengitari A.I, memaksanya untuk memutar arah selagi menembakinya. Mendapati
Kilat yang telah berada di bawahnya, A.I mengangkat satu kakinya.
“Matilah
kau, kecoa busuk!”
A.I
hendak menginjak, tapi Kilat mampu bergerak lebih cepat. Sebelum satu kaki itu
mendaratkan tapak, Kilat sudah melompat ke arah lutut kaki satunya.
“Gah!”
Tak
diduga, persendian belakang lutut A.I dihajar sekuat tenaga oleh Kilat. Tinju
besi itu begitu kuat, mengganggu keseimbangan diri A.I dan membuatnya terdorong
ke belakang.
“Sekarang,
Stalla!”
Tak
seorang pun menyadari sebuah kaleng yang melayang di udara dengan posisi
terbalik. Tepat sebelum Kilat berlari menghindar tadi, Stalla dilontarkannya jauh
ke udara. Stalla lalu terjatuh dengan kepala siap menghantam batu.
‘Rasakan
seranganmu sendiri!’
Tembakan
cahaya.
Nyaris,
A.I menembakkan laser ke samping dan mengakibatkan gaya dorong mengubah
arahnya. Hanya tangan kiri yang terputus, lainnya tak mengapa.
“Kuh,
kuhahaha!” tawa A.I tiba-tiba. “Tak kusangka kau mampu menekanku sampai begini,
tapi percuma!”
Ia
mengambil tangan kirinya yang lepas, lalu menempelkannya ke bahu. Tangan itu
menyambung kembali dengan kecanggihan yang tak Stalla pahami. Tubuh A.I kembali
sempurna, menjadikan upaya mereka barusan sia-sia.
“Berapa
kali pun kalian mencoba hancurkan tubuhku, aku bisa kembali utuh seperti sedia
kala!” teriak A.I selagi Kilat berlari kembali ke Stalla dan mengambilnya.
“Rasakan
ini!”
Kali
ini tangannya diarahkan ke depan. Dari samping meluncur puluhan torpedo, nyaris
mengenai Kilat jika ia tak bergerak cukup cepat.
“Bagaimana
ini? Kita tak bisa melukainya,” panik Kilat seraya berlarian ke sana kemari.
“Untuk saat ini kita hanya bisa menghindar.”
“[Bzz–long...,]”
‘Eh?’
“[To–zz...,] Hahaha, kalian akan [bzz–long...] musnah!” suara A.I terdengar
bercampur, meski agaknya ia sendiri tak sadar. A.I masih berusaha menembaki
Kilat saat Stalla menyadari sesuatu yang ganjil.
‘Tuan
Kilat, Tuan menangkap suara itu?’
“Tidak,
suara apa?” jawab Kilat.
‘Itu
seperti permintaan tolong,’ jawab Stalla. ‘Anehnya kurasa suaranya berasal dari
dalam tubuh raksasa ini.’
A.I
melaju, mendekati Kilat. Roket di punggung mendorong cepat hingga tahu-tahu ia
sudah berada di hadapan mereka. Tangan raksasa itu diangkatnya sebelah, terkepal.
‘Tuan
Kilat, maaf. Aku ingin berusaha mendengar suara itu,’ kata Stalla memutus
percakapan.
“Stalla?
Hei? Kamu ke man–uagh!”
Tinju
menerjang.
Kilat
refleks menyatukan kepal dan menghantam pergelangan A.I dari sisi, mendepaknya
keluar. Stalla yang terlepas segera ditangkapnya lagi. Tapi terlalu cepat untuk
tenang, A.I mengeluarkan rudal dari sikunya.
“[bzz–long]”
‘Siapa
di sana?’
“[To–bzz–long, aku zzzz–inti tubuh bzzt.]”
Rudal
seukuran tubuh manusia memburu Kilat, melaju ke titik dirinya. Kilat mengelak,
tapi rudal itu mengejarnya. Peluru khusus itu ternyata mengunci target, memastikan
serangannya.
“Sial!”
umpat Kilat.
‘A-apa
yang harus kulakukan?’
“[T–bzz–tidak a–zzz waktu. Ini lema–zz pad–zzt listrik tegangan tinggi, zzz–rang bzzz–petir. Bzzz–]”
Suara
itu hilang, meninggalkan Stalla yang kebingungan.
“Heaaa!”
Kilat
entah sejak kapan berhasil mencengkeram rudal tadi dengan satu tangan. Ia
tahu-tahu sudah di hadapan A.I, membanting rudal itu ke pelipis. Ledakannya
yang besar menghempaskan Kilat ke belakang, namun di saat yang sama telah
meleburkan wajah A.I.
Sayang,
dalam hitungan detik muka itu kembali utuh.
“Duh,
bagaimana caraku menghancurkannya?” keluh Kilat mulai bimbang.
‘Tuan
Kilat,’ tegur Stalla, ‘suara itu memberitahukanku sesuatu.’
“Kecoa
brengsek!”
A.I
menendang. Kilat terlontar, terjerembap jauh di tengah kota. Ia gemetar,
sedikit darah menetes dari hidungnya. Berbeda dengan A.I yang tetap bugar
berapa kali pun tubuhnya diremukkan, rasa sakit dan lelah Kilat sebagai manusia
kian menjangkit.
“K-Kalau
ada ide untuk mengalahkannya, cepat katakan,” parau Kilat, berusaha bangkit.
‘Suara
itu berkata sesuatu soal listrik tegangan tinggi dan petir, tapi selebihnya aku
tidak terlalu paham,’ terang Stalla. ‘Ada kemungkinan itu kelemahannya.’
“Listrik? Ugh, seandainya aku masih RAVEN,” ujar Kilat.
‘Lalu
bagaimana? Aku tak punya petir dalam tubuh kalengku.’
“Susah
sekali matimu, keparat!” ujar A.I seraya menghadapkan telapaknya ke depan,
memperlihatkan bulatan yang berpijar merah. Sekerjap kemudian tubian sinar
peledak menerpa permukaan, membidik Kilat.
Kemampuan
Stalla bergerak, menyedot tiap serangan.
‘T-Tuan,
sepertinya aku tidak bisa menyerap banyak-bany –agh!’
Stalla
terpental. Daya muat kaleng Stalla bukan tak bertepi, serangan cahaya itu sudah
tak tertampung. Rentetan ledakan berikutnya menghajar tanah, menyudutkan Kilat.
“Haaa!”
Petarung
baru mendadak hadir di arena, menebas kedua tangan A.I.
Spontan
robot gigantik itu membuka meriam di dahi, hendak membasmi sang pemedang. Masih
di udara, orang itu memijak tangan yang ia potong dan menjadikannya batu
loncatan. Segera ia melontarkan pedang dan menusukkannya pada ceruk senjata
besar itu.
Kening
A.I meletus.
Orang
itu langsung bergerak menuju Kilat, meninggalkan A.I yang berancang memperbaiki
diri.
“Akari!
Kamu masih hidup?!” tanya Kilat tak percaya.
“Ayah,”
sahut yang dipanggil. “Aku tidak akan mati selama masih menyandang RAVEN.”
‘Ayah?’
“Ya,
dia anak angkat pertamaku,” jawab Kilat pada Stalla. “Apa yang terjadi dengan
tangan kananmu, Nak?”
“Lupakan
itu, Ayah. Aku kemari membawa sesuatu untukmu,” balas Akari. “RAVEN, mulai
pengalihan ke subyek Kilat Hitam.”
Akari
mengangkat lengannya yang tersisa, mengepal ke langit. Lengan besi itu lalu
memisahkan diri dari Akari, terbang mendekati Kilat. Benda hitam gelap itu
menyesuaikan wujudnya, menyatukan diri dengan tangan Kilat.
“Kukembalikan
RAVEN padamu, Ayah,” lanjut Akari.
Pingsan.
Kilat
yang terkaget langsung mendekap tubuh Akari, memanggil-manggilnya. Namun
percuma, Akari sudah kehilangan terlalu banyak darah. Untuk sampai ke Anatolia
saja sudah memerlukan energi lebih.
“Keparat,
kukira tadi dia sudah mati,” ujar A.I setelah tangan dan wajahnya kembali
terbentuk.
‘Tuan,’
tegur Stalla.
“Ya,”
mata Kilat mengerling tajam.
“Mari
kita selesaikan ini.”
Enam: Halilintar-Akhir-Enigma
“Istirahatlah
dulu.”
Kilat
membopong Akari, menaruhnya ke tepi. Tak ada teduhan karena Anatolia nyaris
habis jadi reruntuhan. Kilat lalu memijat sedikit tangan kirinya, mendekat, dan
memungut Stalla. A.I berdiri tak jauh di depan mereka, tampak siap menghabisi
mereka kapanpun ia mau.
“Semoga
nasib berpihak pada kita,” ujar Kilat. “Ayo, Stalla.”
‘Ya,’
tanggap Stalla, ‘kita lakukan seperti rencana.’
Kilat
menerjang maju.
“Tidakkah
kau pikir ini percuma saja?” tegas A.I. Telapak kembali terbuka, A.I menghujani
Kilat dengan rangkaian tembakan laser. Tak gentar, Kilat menantang serangan itu
langsung di muka.
‘Tuan
Kilat!’
Kilat
mengerti. Dengan meluncurkan laser yang sama, Stalla berhasil menghempas tembakan
A.I menuju ketiadaan. Berdua seolah sedang berdansa, penyerapan dan pembebasan
Stalla dilakukan selaras dengan irama jejak Kilat.
Kian
dekat.
A.I
menyorong tinju.
“Rasakan
daya RAVEN!”
Kepal
dilawan kepal, Kilat memukul tinju A.I dengan tangan kirinya. Tak disangka
serangan itu manjur, meretakkan bagian luar lengan robot raksasa itu.
“Masih
belum,” lanjut Kilat. “Stalla!”
Sepatutnya
seia sekata, Kilat dan Stalla berlaku seirama. Tepat setelah Kilat melompat, jangkar
raksasa mencuat. Stalla berhasil mengunci pergelangan tangan si robot
menggunakan jangkar itu. Kilat mendarat di punggung tangan, mendakinya dan berlari
menuju bahu.
“Kekuatan
RAVEN berasal dari energi berdaya tinggi. Dengan RAVEN, aku mampu meningkatkan
tenagaku berlipat-lipat,” jelas Kilat.
“Tapi
tidak cuma itu,” Kilat bertolak dengan lengan berpendar.
“Aku
juga bisa begini!”
Tinju
petir.
“Aaargh!”
Tidak,
serangan itu tidak kena. Di saat yang tepat, A.I berhasil mencipta sejenis
perisai tak terlihat. Kilat terpental, menggagalkan upaya mereka.
“Oh,
tak kusangka kau tahu kelemahan Iris Lemma,” ujar A.I. “Tapi taktik yang sama
tak akan bekerja dua kali, guhahaha.”
‘Tuan,
kau tak apa?’ tanya Stalla khawatir.
“Ya,”
jawab Kilat, “tapi kita masih belum bisa menyentuhnya.”
“Cukup
main-mainnya, tenaga peluruku sudah terisi kembali!” teriak A.I. “Masa
kepunahan kalian akan datang! Tiga....”
Kembali
bulatan di dadanya berpendar, membentuk bola-bola cahaya yang jauh lebih besar.
Bola-bola itu lalu berputar mendekati poros lingkaran.
‘Kurasa
aku tidak akan bisa menyerap semuanya kali ini, Tuan Kilat. Kurasa tenaganya
terlalu besar untuk kutampung,’ ujar Stalla.
“Kalau
begitu kita hanya harus mengalahkannya duluan!” teriak Kilat selagi beranjak
maju.
Bereaksi
atas gerakan Kilat, puluhan rudal meluncur dan menjadikan Kilat sebagai incaran.
Satu demi satu dienyahkan, Kilat melaju dengan mantap. Kaki berpijar, dihimpunnya
daya listrik di sana.
“Dua....”
Kekuatan
kaki meningkat, Kilat melompat dengan segenap tenaga hingga mencapai pundak. Pendar
itu beralih ke kepalan tangan, siap dilayangkan. Bersamaan itu bola pijar di
dada A.I kian memadat.
“Kau
pikir aku akan membiarkanmu?”
“Urgh!”
perisai tak terlihat kembali muncul, menahan serangan Kilat. Namun ia tak
menyerah. Kilat terus-menerus meninju tameng itu sekuat tenaganya. Dengan kedua
lengan yang bersinar, ia berusaha menembus pertahanan terakhir sang robot.
Tapi
sia-sia, Kilat kehabisan tenaga. Tubuhnya melemah hingga terjatuh menuju tanah.
Namun ada yang aneh.
Kilat
menyeringai.
“Akhirnya
terisi penuh!” teriak A.I. “Sekarang adalah waktunya penghabisan, manusia
bodoh! Tunduk padaku sekarang juga! Sat–
“ARGHH...!”
Halilintar
menyambar, Guntur membahana.
Raga
besi itu tersengat petir, menghiasinya dengan hangus. Perlahan tubuh itu
terpecah, seluruh bagiannya tercerai-berai. Keagungan sang Robot runtuh,
menyisakan wujud makhluk besi bermata tunggal yang tak lagi bergerak. Sinar
mata yang hijau mulai kembali memerah, sesuai wujud aslinya.
“B-bag–zzzt bagaima–zzt–na?”
Sebuah
kaleng hijau kemudian melayang mendekati Kilat yang terkapar tak berdaya. Sebentuk
tangan besi hitam menggenggamnya di belakang, menerbangkan si kaleng dengan
roket pendorong.
“Untung
idemu untuk menyimpan listrik dalam tubuhmu berguna juga,” ujar Kilat. “Apalagi
bagian RAVEN itu, tak kusangka aku akan memasangkan RAVEN padamu, Stalla.”
‘Tidak,
tinju habis-habisan ke satu titik itu yang membantuku menembus perisai itu,
Tuan,’ balas Stalla. Kilat tersenyum.
Sesaat
kemudian ujung hidung Kilat terkena sesuatu. Tak sakit, tapi cukup
mengagetkannya. Matanya memperhatikan langit. Tak dinyana, mendung yang sedari
tadi menyelimuti Anatolia mulai mengharu. Rintik membumi, memadamkan bara sulut
pertarungan.
Hujan.
“Stalla,”
Kilat memanggil.
“Terima
kasih.”
===
‘Ih,
kamu ke mana saja?!’ amuk Stalla.
“(Maaf,)”
embik si domba, “(aku dan domba-domba lainnya dikunci di Menara Palisade.)”
Setelah
Saviit dilepas, akhirnya tiba masanya Stalla meninggalkan Anatolia.
Berkat
pertempuran barusan, semua orang kembali mengagungkan Kilat. Ia mengulang
permintaan maafnya, merundukkan kepala hingga terbenam pasir. Rakyat kini tak
lagi meragukan Kilat, apalagi setelah Saraph mengakui kudetanya.
Saraph,
Iris, dan Eve selamat, tapi Ganzo sama sekali tak terlihat batang hidungnya.
Ilmuwan Anatolia berhasil mengunci kinerja A.I dan memastikan ia terperangkap
di dunia maya. Sementara Saraph menyerahkan diri demi membalas budi Kilat yang
menyelamatkannya.
Beruntung
sang Raja adalah pemaaf. Saraph dibebaskan, bahkan diangkatnya menjadi saudara.
Tentu dengan syarat ia berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.
Demi
merayakan itu semua Raja mengundang penjuru Anatolia untuk berpesta. Tak ada
paksaan, tak ada siksaan. Semua tertawa, turut gembira atas kembalinya Raja
yang mereka sayangi bersama.
Ini
Anatolia, kota masa depan.
Ini
Anatolia, kota yang tak lagi terjebak oleh masa lalu.
Lalu
di sinilah mereka, di perbatasan Anatolia. Stalla dan Saviit diantar pergi oleh
Kilat dan Akari.
“Jadi
kau akan pergi, Stalla?”
‘Ya,
aku harus menemui [Sang Kehendak]. Terlalu banyak yang ingin kutanyakan!’ ketus
Stalla.
“Haha,
aku juga mungkin akan bertanya banyak kalau bangun-bangun badanku mendadak jadi
kaleng,” canda Kilat.
‘Yakin
tidak mau ikut? Katanya di sini cuma mimpi?’ sindir Stalla yang ditanggapi
dengan tawa oleh Kilat.
“Tidak,
Stalla,” balasnya. “Biarpun mimpi, di sini masih Anatolia. Kayal ini juga
makhluk hidup, mereka membutuhkanku untuk memimpin mereka. Dunia nyata
seharusnya punya cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.”
‘Apa
boleh buat kalau itu keputusanmu.’
Saviit
lalu melantunkan embikan yang unik, disusul oleh ketukan satu kaki depan.
Portal berkilau perak terbentuk di hadapan mereka, siap mengantar Stalla pergi.
“Ayah,
katakan padanya agar menjaga RAVEN kita baik-baik,” ujar Akari tersenyum.
“Kau
dengar dia, jaga pemberianku. Siapa tahu kamu butuh,” kata Kilat.
‘Hehe,
tentu saja!’ balas Stalla. ‘Sampai jumpa kapan-kapan, Tuan Kilat Hitam!’
Portal
tertutup, sesaat setelah Stalla dan Saviit masuk.
Kilat
tersenyum. Tidak setiap hari ia bisa menemukan kaleng yang bisa bertingkah
selayaknya manusia, lebih-lebih mengajarkannya untuk tetap hidup. Sungguh pengalaman
yang berharga, sebuah mimpi yang indah.
Mimpi
yang sungguh indah.
“Ayo
kita kembali, Akari,” ajak Kilat.
Kilat
pun berbalik, melangkah mendahului Akari. Tak diperhatikannya muka Akari yang
telah membelah, membentuk mulut vertikal raksasa yang siap menerkamnya.
“GRAAAARH!!!”
===[A]khir?===
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 33 - STALLA | [B]APAK
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 15 - STALLA | [N]AMA
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 15 - STALLA | [N]AMA
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : A
Overall character usage : B
Writing techs : B
Engaging battle : A
Reading enjoyment : A
Saya awalnya heran kenapa kamu mainin Oneiros yang bahkan belum direveal sama panitia, tapi ternyata masih in-line sama plot ceritanya
Sebenernya semua selain Stalla dan AI saya rasa underperformed di entri ini, tapi tetep aja ceritanya sendiri lumayan menarik. Dari semua yang make setting Anatolia, ini yang lore-nya paling saya suka, meski Kilat agak ngingetin sama King Riku dari One Piece. Plus endingnya hujan pula, kayak Alabasta
Entah kenapa saya ngerasa suara" asli Iris yang diselipin di antara dialog AI itu keren juga
Jadi, sekarang Stalla punya kemampuan store & release? Dipikir lagi, kayaknya baru entri ini yang ngupas gimana inspirasi bisa balik dan bikin dapet kemampuan lagi
==Final score: A (9)==
OC : Iris Lemma
Aku udah nanya masalah boleh-nggaknya make Oneiros, katanya boleh. Yaudah ._. I do need some villain character dari awal cerita soalnya
HapusDan ya, ofc siapapun yang baca One Piece bakal sadar inspirasinya darimana, haha. Emang King Riku sih yang jadi patokan utama, terutama masalah gerak sendiri membantai rakyat :"
Store and release itu sebenernya dari awal udah jadi kemampuan Stalla, cuma baru unlocked setelah dapat inspirasi itu ._.
Oh iya, untuk character usage aku maklum sama nilai B... malah kurasa agak bawah lagi, mengingat banyakan ga kepake... tapi writing techs itu, gimana caranya biar nilaiku bisa masuk A di mata Paman? Mungkin bakal jadi referensi perbaikan lagi ._.
Anw, thanks a lot dah baca dan menilai ^^
~Pencipta Kaleng Ajaib
Saya suka perpindahan adegannya, gak boros kata, to the point, sehingga mudah diikuti. Tapi beberapa pemotongan adegan terkesan mirip, karena mengulang adegan sebelumnya, yaitu mengakhiri adegan dengan pengenalan nama. (dan saya udah ngetik kata 'adegan' sampe 5x)
BalasHapusPlot ceritanya kyknya ngambil ide dari arc Dressrosa-nya OP ya? XD
Tapi saya kira cukup sesuai dengan tema Anatolia, sy juga kalo ngambil setting Anatolia mungkin bakal ngambil referensi dari sana.
[SPOILER] Terus soal karakter, penempatannya sempurna menurut saya. Bukannya memilih antara Akari atau Saraph, tapi si True Ravennya yang lebih dieksplorasi. Dan A.I. sebagai antagonis, itu pilihan yang bagus, apalagi kehadiran tokoh berbasis cyber di grup PPT (Iris Lemma dan Eve), saya belum baca entri yg lain, sama juga gak? Tapi menurut saya pilihannya tepat. Dan lagi-lagi di akhir cerita ada kejutannya, wkwkwk
NILAI: 9
(Martha)
Iya, itu aku juga sadar. Kebiasaan untuk pindah adegan setelah nyebut nama atau sesuatu informasi yang baru. Mungkin harus kucoba untuk ngubah next time biar ga bosan XD
HapusAgain, siapapun yg baca OP kayaknya bakal sadar kalo Kilat itu sebagiannya ambil referensi dari King Riku XD
Alasan utama sih krna Akari dan Saraph punya skillset dan background yang terlalu kaku, jadi mending fokus ke karakter yang bisa kumainin seenaknya perannya: Kilat Hitam XD
Anw, makasih udah baca dan nilai XD
~Pencipta Kaleng Ajaib
seperti biasanya, entri ini cerita khas dongeng ya. dan waktu ketemu sama kilat mengingatkan saya ke film bollywood yang dibintangi syahru khan. menyisipkan flashback disetiap beberapa kali percakapan. kaya wawancard sambil bayangin kejadian aslinya.
BalasHapuskalo cerita pertambangan yang menjadi polusi dan merugikan rakyat entah kenapa sayj jadi teringat indonesia. kaya kasus lapindo meskipun dampaknya bukan gas beracun. tapi akibat kesalahan penambangan kota tenggelam karenanya. dan karna indo juga kaya sda, sering dimanfaatin sama asing dan bhkan ada beberapa daerah yg dipengaruhi untuk memisahkan diri. ah? tnp sadar malah ngomongin di luar cerita. tapi entah knp waktu bc ini, itu yang terbayang di saya.
btw namanya si domba panjang juga ya. nanti kalau dia masuk akademi domba kasian yang nulis ijasah. 9
Khas Dongeng, karena emang pengennya ya itu yang ditonjolkan dalam setiap entri Stalla XD
HapusTerima kasih sudah baca dan kasih nilai :)
~Pencipta Kaleng Ajaib
eh kampret... endingnya udah enak-enak gitu malah disuguhi horror tragedy.
BalasHapusNuansa dongengnya mulai berubah. Jadi rasanya bukan sekedar kayak baca buku cerita anak-anak tapi lagi nonton film. Jadi pembaca berasa ikut terbawa dalam suasana yang digambarkan. Interaksi para karakternya juga berasa hidup.
Afterall, kapan stala power up?
9
Bagus deh XD
HapusDitunggu aja nanti berikutnya Stalla gimana :3
~Pencipta Kaleng Ajaib
Kaleng pengharum ruangan tergreget se semesta! /plak! Tp jujur setiap baca entry Stalla saya ngerasa pembagian adegannya pas banget dan padat :' tolong ajari saya teknik ini :'33 untuk pembagian peran sudah kuduga Anta-nya pasti si A.I lagi. Karena memang dia memang paling pas buat itu.
BalasHapusBuat setting yg mirip OP itu jg + gegara bisa sesuai dengan tema yg disodorkan juri.
Dari saya 9 bang!
Zephyr
Saya masih belum tarafnya ngajarin X'D
HapusTapi terima kasih sudah baca dan komentar :D
~Pencipta Kaleng Ajaib
njrit, nama dombanya ngejelimet gitu
BalasHapusXD
Weeeeeeei, text kecil khas di entry Sam ternyata juga nongol di sini, wkwkwk
Pijakan plot pointnya solid sekali. Flashback Kilat soal kehidupannya sebagai raja, juga kegalauan dia tentang mimpi membuat cerita ini memiliki keunikan tersendiri.
Selipan humor kecil sana sini bikin nuansanya nggak melulu tegang dan kaku.
Si Iris Lenma jadi korban di sini ya...
Wueh... Akari anaknya Kilat...
._.
Dan sperti yang Sam bilang, Overal plotnya bikin saya teringat arc Dressrosa, plus ending yang diakhiri sama hujan, hahaha
Karena enjoyment saya tinggi waktu membacanya, plus plot yang maknyus disertai backround yang solid.
Saya kasih nilai 10
:D
Point : 10
OC : Maria Venessa
Wiiiii nilai 10 pertama XD
HapusMakasih banyak, pervy author :3
~Pencipta Kaleng Ajaib
Jujur, saya langsung berteriak dalam hati(?) pas scene raja nyerang rakyat karena tubuhnya dikendalikan. 'King riku!', gitu. <(")
BalasHapusNarasi selang-seling antara sisi stalla sama sejarah anatolia itu bijak banget, walau semakin ke bawah jadi kurang mulus, imo.
Aksinya juga keren. Sempat heran, si stalla 3 kg dilempar kesana kemari kayak basket, tapi karena Kilat badannya dari mesin, dan gravitasi Anatolia beda dari bumi maklumi saja ya. /disepak
Dan, ending horror dimana Akari berubah jadi monster dari prelim, kayaknya kamu mau ngebangun sesuatu yang gede. <(")
Feelnya kerasa banget btw, saya sempet haru(?) Pas Stalla motivasi kilat. Cuma sebaris, lupa yang mana. Jadi inget kamen rider black di SHW 3. (?)
9/10
OC : Takase Kojou
Iyalah, siapa yang gak sadar inspirasinya dari sana ya XD
HapusKurang mulusnya tepatnya di bagian mana ya? atau bisa dijelasin kurang mulusnya kayak gimana? .___.
btw Stalla itu 5 kg <(") tapi berhubung Kilat itu Raja tapi kekuatannya superb, jadi ya... maklumi lah XD
Terima kasih nilai dan komentarnya ;)
~Pencipta Kaleng Ajaib
Gini, di awal baca sejarahnya enak. Kepotong-potong biar gak jenuh. Tapi lama-lama sejarahnya mulai masuk bagian yang sekiranya penting, skip lagi. Jadi kerasa diselang-selingnya, bikin saya batin 'wah, sejarah lagi'(?)
HapusBtw, ini quotenya : ‘Harapanku saat itu adalah menolong Tuan pemulung, dan harapanku kali ini adalah melindungimu,’ :')
Kalo flashback doang nanti kepanjangan takutnya, makanya kupisah-pisah X'D
HapusTapi beneran, makasih banyak ya :D
Seneng banget latar yang saya sediakan dimanfaatkan dengan sangat baik :'D
BalasHapusMantep banget. Si Raven (Kilat Hitam) dibuat sedemikian rupa kerennya. Dan mendadak saya ingetnya si PUNISHED SSSSNNEEEK dari MGS V
Latar? Jangan ditanya, saya seneng dengan latar indah yang dinarasikan dengan cara yang tidak kalah indahnya.
Peran Stalla sama AI yang kurang udah ketutupan dengan solidnya cerita ini. Udah mantep lah intinya mah.
Nilai, saya kasih 9 deh. Kalau ketemu simbah di R2 pakai ya baju RAVEN-nya ;)
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Aku gak berani ketemu Mbah Amut, nanti ketelan XD
HapusAnyway, terima kasih komentarnya yus :*
~Pencipta Kaleng Ajaib
Entri yang menarik, tulisannya rapi, story juga bagus! Setting dunianya dijabarkan dengan baik.
BalasHapusStalla dan A.I. jadi fokus utama di entri ini. Porsi karakter lain agak kurang, Ganzo berasa hilang gitu aja. Ini endingnya bikin penasaran, Akari jadi monster? www
Nilai dari saya, 9
OC : Catherine Bloodsworth
Porsi karakter lain memang sengaja diminimalisir, karena gak ada ruang buat kasih mereka peran di entri dengan plot begini. Kalau dipaksakan malah nanti gak natural takutnya, jadi ya mending begini aja menurutku XD
HapusEndingnya ini koheren sama prelim, kalo baca mungkin bakal ngerti kalo aku ada rencana khusus untuk itu ;)
Anyway, thanks udah baca dan nilai :D
~Pencipta Kaleng Ajaib
Nama dombanya nggak kependekan? Nggak sekalian ngalahkan si monyet Gintama? XD
BalasHapusSi Kilat kakek-kakek badass! Bertarung pakai kaleng semprot karena menggunakan senjata sudah terlalu mainstream.
Tidak semua reverier dapat jatah aksi sebanyak AI & Stalla, tapi dongeng Anatolia sekaligus pertarungan klimaks yang keren sudah cukup memuaskan.
Dat horror ending tho... Never expected that.
Nilai 9~
OC : Begalodon
Kalo ngalahin monyet gintama tar abis di jumlah kata mz XD
HapusThat said, terima kasih udah baca dan komentar :*
~Pencipta Kaleng Ajaib
Ide : Sangat Baik = 2
BalasHapusPlot : Sangat Baik = 2
Enjoy : Sangat Baik = 2
EYD : Sangat Baik = 2
Usaha : Sangat Baik = 2
Nilai : 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10
satu kata untuk entri ini yaitu KEREEEENNN...
nilai sempurna seperti ini apa yang harus dikomen?
NewbieDraft (Revand Arsend)
Kalau di prelim make teknik yang dongeng ringan abis, R1 ini ... tetap berasa ada nuansa Stalla-ish. Cuman entah kenapa berasa kayak LN. Tapi LN-nya bukan sembarangan. Ini ringan kayak LN, tapi dengan bumbu narasi agak puitis. Saya seneng sebab entri ini sering kedapatan nyelipin perumpamaan" atau gaya bahasa tertentu. Walau tetap aja, tbh, pola LN bukan jenis yang saya nikmatin. @_@
BalasHapusJujur aja, di awal saya agak bosen. Karena narasinya terkesan bernuansa "kosong". Kurang kebayang gitu, gimana sekelilingnya. Udah gitu interaksinya di awal ya terkesan ... "begitu aja". Yah, ini sih selera. ._. Tapi makin ke bawah, syukurlah, terutama sejak lore pribadinya dimulai, entri ini makin terasa warna-warni dan rasanya. Kilat, terutama, saya seneng banget sama dia. Selain orang baik, dia juga, punya pesona tangguh di balik ketuwiran #plak. Keren gitu pokoknya. Dan emang sepanjang baca itulah bayangan dr saya thdp dia xD
Sayang Stalla sendiri menurut saya agak kurang menggigit. Malah kalah sama pesona Kilat, TBH.
Saya titip ... 9 dah.
-Sheraga Asher
Edan plotnya jadi ajib bener. Dari entry yg pakai plot ini, mungkin ini yg paling keren.
BalasHapusDan tetap story tellingnya jadi khas.
Tapi endingnya itu yg bikin *jeb*...aduh, macam, dah enak-enak makan, lidah kegigit.
Macam di prelim.
Bingung mau komentar apa lagi. Soalnya keren banget kaleng ini.
...bukan kalengnya sih, ceritanya.
---------------
Rate: 9
Ru Ashiata(N.V)
Saya sebenernya dah baca ini sari lama cuma baru sempet komentar sekarang hehwhe. Dan BOOOOMMMM! Saya gak menyangka sebuah kaleng bisa membangun cerita yang se-epic ini xD
BalasHapusPembawaan narasinya sangat ringan namun berisi, benar benar enjoy baca nya. Lalu karakterisasi pun sudah sangat bagus, tapi mungkin porsi nya aja yang kurang kali ya? (Atau mungkin porsi ganzo nya aja kali yang kurang xD efek oc sendiri ada di cerita)
Saya seperti baca one piece ini, pertahankan gaya penulisan serta pembangunan plot yang seperti ini, Stalla!
Nilai dariku 9
Wasalam
Ganzo Rashura
Herm... karena komen menjelang dedlen komen, saya nggak tau harus nulis apa. Sepertinya semua yang mau saya sampaikan sudah disampaikan komentator lain... seperti ehem... Endingnya.
BalasHapusSaya langsung saja kasih nilai!
Nilai 9
OC : Nora