oleh : Hinata Ummi
--
~ Prolog Lupis ~
Persahabatan. Rasa. Cinta. Koma. Mimpi
***
Anyeong, Song? Gimana pertarungan kemarin? Seru?
Petualangan yang lalu, masih satu dari sekian petualangan yang akan kau lewati bersamaku Song. Jangan terburu-buru ingin menemukanku, Sayang. Kau tahu betapa aku tidak menyukai keterburu-buruanmu itu.
Apa? Kau lupa?
Aku tidak heran sih sebenarnya. Ingat siapa aku saja tidak. Apalagi untuk mengetahui karakteristikku. Bukan begitu Song?
Uh, sepertinya aku mulai melemparkan satu tanda untuk pembaca nih, kemana arah cerita kita. Tapi kau tenang saja Song, tanda ini tak akan membuat mereka kehilangan ketertarikan. Karena sayangnya, cerita kita, masih jauh dari selesai.
Uh? Kenapa kalian bilang?
Kalian ini gimana sih, ini kan masih ronde satu~
Mari kita lanjutkan ceritanya.
Oh iya, jangan khawatirkan soal kismis itu. Kismis hanya pemanis untuk cerita sadis dari Song dan si jenggot klimis agar terasa mistis namun tetap dinamis.
Song masuk ke arena!
***
~ Mimpi adalah Kenyataan Romantis ~
"Wae?(kenapa?) Kamu kan suka bunga … " Kamu menatapnya dengan bingung. Gadis itu selalu saja menolak. Ia masih si Jilbab Putih yang kau sukai. Umurmu 13 tahun saat itu, begitu pula dengannya.
"Nee, Aku memang suka bunga. Tapi kamu kan ga suka. Jangan kasih aku sesuatu yang ga kamu sukai, ah." Bunga pemberianmu dikembalikan olehnya. Dengan tersenyum tentu saja. Si Jilbab Putih memang selalu begitu. Selalu menolak semua pemberianmu.
Lalu, di saat lain, kala senja mengundang para pengelana untuk sejenak menepi, kalian duduk santai di tepi tebing Berastagi. Tepat di atas Batu Gadis Terjepit yang menjadi legenda penamaan Parapat di Danau Toba, kalian duduk. Berjarak tentu saja.
Ia berkata padamu, "Song, kau tahu? Aku ingin sekali berteman denganmu selamanya. Sekarang, kini dan selamanya."
"Wae? Kenapa kau bertanya begitu?" ucapmu membalasnya saat itu.
"Aku khawatir kita akan terpisah."
Saat itu, kau tidak tahu bahwa Eomma berniat membawamu kembali ke Korea. Kau berpikir akan pasti dapat memenuhi permintaan si Jilbab Putih. Karena itulah kau menjawab dengan tegas, "bukan hanya akan menjadi temanmu, aku akan menjagamu dan berada di sisimu. Membantumu di saat tersulit, walaupun saat itu aku dalam keadaan yang tidak baik."
Bahkan jadi imammu, tambah batinmu.
"Benarkah?" Ia meminta kepastian padamu. Seperti seorang gadis yang meminta kepastian pada pasangannya. Tentu saja, kau semakin semangat mendengarnya.
"Iya, tentu saja," yang kau sesali 3 hari kemudian, saat Eomma menarikmu dan memaksamu untuk naik mobil travel ke Bandara Polonia. Memaksamu untuk menjadi pengecut dan melanggar janji pertamamu pada gadis yang kau sukai. Meninggalkannya dalam tatapan kesedihan saat melihatmu menjauh bersama mobil travel Sinabung Jaya.
Umurmu 15 tahun saat itu.
Lalu berkilas pula cerita. Sekelebat kemudian, kau berjalan bersamanya lagi, juga bersama seorang lainnya. Sahabat yang menggantikanmu menjaganya selama 5 tahun kau di Korea. Dengan segala daya dan upaya, kau berhasil kembali ke Indonesia, menemui si Jilbab Putih.
Sayangnya saat itu, seorang pria berumur 24 tahun sudah menggantikan posisimu di sisinya. Zi panggilannya. Kamu kecewa. Tapi kau mencoba menerima dan kembali bersahabat dengannya. Ya, kalian bertiga akhirnya bersahabat. Kau, Zi dan si Jilbab Putih.
Dalam beberapa momen, kalian jalani bersama. Nonton bersama. Tertawa bersama. Jalan-jalan. Naik gunung Sibayak. Makan. Menyelam. Berenang. Naik kapal. Bersama dalam tawa.
Beberapa kali kau harus menelan pil pahit. Gadismu dipeluk mesra olehnya. Zi. Beberapa kali juga kau harus menyabarkan diri melihat betapa condongnya Gadismu pada Zi. Tapi apa dayamu. Bukankah memang Zi lebih berhak?
Lalu, bumi bergetar keras, si Jilbab Putih di rumah sakit, cincin. Dalam waktu singkat semuanya menghilang dalam kegelapan. Berkelebat dengan suara si Jilbab Putih menggema, "...tolong… temukan… dia…, Song."
Dan suara itu, suara menggeram serupa teriakan menghantam pendengaranmu, "… kau melawan Zat yang salah, Song."
***
"AAAAAAAAAAAAAA …" serudukan domba yang cukup keras menghantam pinggangmu. Mengganggu tidurmu yang gelisah.
"Eh Kambing lah kau! Siapa yang nyuruh kau bangunin aku kambing!"
Mbeeekkkkk …
… adalah jawaban dari pertanyaan yang kau berikan pada sang Domba. Ia menatapmu dengan marah sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepala ke arah pintu.
"Mwoo? Apa yang mau kaubilang, Mbing?" Kau masih belum bisa mengerti cara berbicara si Domba yang kau sebut Kambing. Padahal, peserta lain sudah tahu cara berkomunikasi denga Domba mereka masing-masing sedetik setelah Domba itu diberikan.
" Arhghhh kau tahu? Tadi aku mimpi … ," dan seketika kau terdiam. Mimpi. Ya. Tadi kau bermimpi. Ya kembali bermimpi soal si Hijab Putih. Tapi kali ini berbeda. Mimpi kali ini adalah mimpi yang lebih lengkap.
"mbeeeeekkkkkkkk" si Domba kembali memanggilmu. Seolah yakin kau paham bahasa yang ia gunakan.
"Tunggu dulu Mbing, mimpi kali ini berbeda. Biasanya si Jilbab Putih Cuma muncul dan memberikan cincin itu padaku. Biasanya dia hanya muncul dan ngobrol bersamaku. Tapi ini? ini bukan mimpi sederhana Mbing, ini pasti clue. Tapi untuk apa?"
Mbeeeekkkkk...
… adalah satu-satunya jawaban yang bisa diberikan oleh si Domba. Jika saja kau sedikit teliti Song, sebenarnya si Domba sedang memintamu untuk melihat ke arah pintu masuk kamarmu. Di sana sedang berdiri Ratu Huban bersama Zainurma. Hendak memasukkanmu ke Museum Semesta, sebagai intro dari dimulainya R1.
"Mbing, aku rasa … ada sesuatu yang salah dengan ingatanku. Aku rasa, mimpi itu … bukan sekedar mimpi. Lagipula, Zi di dalam mimpiku itu, kenapa sangat mirip dengan Zainurma?"
"Ehem …"
Dengan begitu, habis sudah prosesi berpikirmu mengenai mimpi itu. Deheman Zainurma akhirnya mengembalikanmu ke kenyataan. Kenyataan bahwa Battle of Realms, masih berlangsung.
***
~ Kenyataan Adalah Mimpi Magis ~
Selamat datang pada cerita panitia, Reveriers!
Ah, bukan itu seharusnya pembukaan dari bab ini. Halo Song, bagaimana perasaanmu setelah melihat segalanya tadi? Kau takut? Kurasa tidak. Ya memang demikian sifatmu.
Tadi, setelah berhasil melukis cerita di Bingkai Mimpi (atau begitulah Zainurma dan makhluk-berkepala-bantal yang menyebut dirinya Ratu Huban) menyebut tempat itu, kau langsung dibawa ke rumah Opung Hariba. Melihat kedatanganmu, dia sungguh senang sekali. Katanya, kedua temanmu (tentu saja yang dimaksud oleh Opung adalah si Zainurma dan si Kepala Bantal) sudah membereskan urusan saluran boker yang bocor.
Tentu saja, kau memandang curiga pada Zainurma dan Ratu Huban. Bagaimana mungkin Opung Hariba masuk ke dalam Bingkai Mimpi ini juga. Lalu inilah yang dikatakan oleh mereka, "salahmu sendiri memasukkan Opung Hariba ke dalam cerita. Sekarang, tentu saja Ia juga Opung Bertha-mu jadi ikutan terjebak di Alam Mimpi."
Ingin sekali kau memprotes kebijakan tidak senonoh itu, tapi apa daya, tubuhmu sangat lelah. Bukan karena pertarungan. Lebih karena hatimu terkuras. Seumur-umur, membunuh kecoa saja kau tidak tega, padahal kau tiga perempat mati membenci hewan itu. Apalagi membunuh sahabatmu sendiri. Dua kematian terjadi tepat di hadapanmu, dan itu sungguh tidak mengenakkan.
Tentu saja, Ratu Huban dan Zainurma mengetahui itu, karena itu mereka mempersilahkanmu untuk kembali beristirahat di rumah Opung. Kau, tentu saja, tidak melepaskan kesempatan itu.
Istirahat. Karena itulah, mimpi tentang si Hijab Putih muncul.
Mungkin kalian bertanya, kenapa Alam Mimpi menyediakan mimpi pada Reveriers. Jawabannya sederhana, memangnya ga boleh?
Kau sudah beristirahat. Juga sudah memakan banyak makanan yang dimasak oleh Opung Hariba. Sudah mandi juga tentu saja. Domba? Entahlah, tadi sih kau sudah memberikan makan padanya. Dia sedang duduk dengan keempat kakinya dan tertidur mendengkur di sudut ruangan.
Kini saatnya melanjutkan ceritamu yang tertunda. Kedua tamumu tadi, datang dan membawamu ke sebuah tempat yang sangat kau kenali. Mengingat ini adalah tempat favoritmu selama di Korea. Museum.
Kalian berjalan menyusuri satu persatu karya yang ada di sana. Banyak sekali karya yang dapat kau lihat. Ada Lukisan Hitler sedang meregang nyawa yang membuatmu bergidik, bukan apa-apa lukisan itu terlihat nyata. Ada lukisan Kim Jong Un yang sedang mendengkur.
Tentu saja, tak luput dari perhatianmu, ada patung Ucok saat terbunuh. Juga patung gadis yang dibunuh olehnya lengkap dengan pengaturan tempatnya. Kau berdecak kagum melihat betapa detilnya karya itu dipahat.
"Itu bukan pahatan. Itu asli," jawab Zainurma yang mendengar decak kagummu.
Seketika keningmu berkerut, "asli? Maksudmu?"
"Iya, Paman Song. Itu adalah Mba Cantik dan Om Ucok yang kau bunuh tadi di Bingkai Mimpi. Seluruh karya di Museum Semesta itu asli loh Paman. Ga KW. Hihihi," ucap Ratu Huban dengan bangga. Lalu, ia melangkah mendekat ke arah patung Ucok. Sambil menyentuhnya sekilas, Huban melanjutkan, "yang ini namanya instalasi. Kumpulan karya yang disatukan dalam sebuah tema tertentu."
Kau Song menatap keterangan dibawahnya. Di situ terdapat keterangan bahan-bahan penyusun karya tersebut. Seketika, kau pucat. Tertulis di sana selain pisau dapur yang sekarang sudah terselip kembali di punggungmu, "Manusia".
"Menarik bukan?" Zainurma menatapmu sinis. Sementara kau Song, tersenyum miris.
Di sekitarmu juga terdapat beberapa Reveriers lain. Mereka juga sama sepertimu. Tercengang. Berdecak kagum. Lalu menjerit histeris. Beberapa ada yang menjerit senang. Untuk yang satu ini, kau tidak pernah akan paham.
Sekarang, muncullah pertanyaan penting di otakmu Song, siapa mereka?
***
Sementara kau memperhatikan lukisan dan orang yang melihatnya satu persatu. Zainurma, memperhatikanmu. Ada yang salah denganmu. Ia tidak paham, namun ia yakin sekali pernah melihatmu entah di dimensi mana sebelumnya.
"Mungkin dia salah satu dari orang yang pernah kubunuh?" Gumamnya.
"Mana mungkin Paman. Kalau dia sudah paman bunuh, dia tidak akan jadi Reverier," jawab Ratu Huban masih berjalan di sampingnya.
"Kau pintar juga Huban. Tapi, kau mungkin lupa kalau kita punya Tal si Hantu Sexy sebagai salah satu Reverier," Zainurma mengingatkan.
"Paman Nurma ini lucu, Paman Song itu manusia. Hantu ga bakal menepak gitu jalannya."
Zainurma kembali terdiam.
Huban benar. Tidak mungkin Song hantu. Lalu, kenapa aku merasa mengenalnya?
Zainurma menatap cincin yang menggantung seperti bandul di leher Song. Sekali lagi, perasaan kesal memenuhi hatinya.
Cincin itu …
"Huban, ingatkan aku, kenapa kita menandai Song saat itu?" Putus asa ia akhirnya bertanya.
"Loh? Yang minta Paman Song ditandain kan Paman Nurma."
"Bukan,"
Seketika mereka paham. Song ada di dalam list bukan karena mereka yang mau. [Sang Kehendak] yang melakukannya. Lalu, kembali mereka memucat.
Getaran Museum Semesta seolah membenarkan kesimpulan mereka.
***
"Wadaooowwww… cemanalah pula ada kaleng bekas di sini. Siapa pulaknya yang buang sampah sembarangan, hah? Taik kali bah," ucapmu setengah berteriak sambil mengelus kakimu yang masih berdenyut. Stalla. Kaleng yang kau tendang tadi adalah salah satu dari 66 Reveriers yang lolos ujian Bingkai Mimpi.
"Mana ini kaleng berat kali. Siapa pula bajing yang buat kaleng ini," kau celingukan mencari tempat sampah. Namun, saat itulah matamu menatap sebuah lukisan. Lukisan yang mengerikan. Darah. Daging manusia yang bertebaran. Tentakel. Bergelimangan mengelilingi kaleng yang sedang berusaha kau angkat.
"Anjing," bisikmu. Lalu kau lempar kaleng itu sejauh-jauhnya dari pandanganmu.
Begitulah, Museum Semesta memang sedang ramai kunjungan dari para Reveriers yang sedang melihat [Karya] masing-masing. Ini merupakan prosedur normal sebelum ronde selanjutnya dimulai.
Mengumpulkan para Reveriers di satu tempat dan mengumumkan kelulusan mereka juga penjelasan mengenai kegiatan apa yang akan mereka lakukan. Dimana keberadaan mereka. Sedang dan apa yang akan mereka lakukan di sini.
Sekarang, ketika kalian sudah dikumpulkan, pahamlah kau satu hal, Song.
Suara terakhir yang kau dengar di mimpimu berasal dari sesuatu. Sesuatu yang berada tepat di tengah aula mewah Museum Semesta. Sesuatu yang berdiri megah bermandikan cahaya di atas panggung. Sesuatu yang berwujud Patung.
[Sang Kehendak].
***
Ketika akhirnya pembukaan cerita selesai, kau Song, menatap hampa pada sekelilingmu. Tak pernah kau sadari betapa berisikonya perjalanan untuk menemukan Si Hijab Putihmu itu. Tergambar dengan jelas dalam benakmu, bagaimana Reveriers yang gagal diubah menjadi patung oleh getaran Museum Semesta.
Perlahan, sungguh perlahan, lukisan mereka yang berubah warna menjadi kusam. Lalu, mereka berteriak kencang, sesaat sebelum tubuh mereka diliputi oleh cahaya kusam yang diakhiri dengan perubahan wujud menjadi tembikar. Tembikar buruk rupa yang tak punya nilai jual. Tak ubahnya seperti karya seniman kelas satu yang hanya meniru karya maestro. Murah dan tidak berharga.
Ibarat musik, maka karya mereka tak lebih dari sekedar basa-basi. Intinya? Entahlah.
"Apa yang harus kulakukan dengan surat ini, Mbing?" ujarmu menatap Domba yang sudah terbiasa kau sebut Kambing. Padahal Huban sudah berkali-kali memprotesmu. Tapi kau seolah tak peduli.
"Mbeeekkkkk ..." hanya itulah yang dikatakannya.
"Aku bingung Mbing, ngapain si Zainurma sama si Huban, ngasih surat ini buatku," membalas mbek-an Mbing tak mengerti apa yang dikatakannya. Padahal, bagi mereka yang paham bahasa Domba, jelas sekali dia sedang memintamu membacanya.
"Mbeeeekkk..." balasnya lagi, mengrusuk-grusukkan kepalanya padamu. Untuk memaksamu membuka surat itu. Ia, sebagai pemberian Huban tahu benar surat apa itu.
Ya, seperti yang kita semua tahu, itu adalah surat. Surat apa? Tentu saja surat mengenai lawan dan latar cerita untuk Ronde satu, Seperti turnamen sebelumnya, selalu ada perubahan latar suasana dan tempat setiap ronde. Latar utama selalu sama, namun latar cerita per ronde selalu berubah.
Kalau boleh sedikit memberitahu kalian, latar utama yang sudah ada sebelumnya adalah Neraka, Server, Kapal Luar Angkasa dan Oase. Sebenarnya ada dua lagi, tapi kedua latar tersebut hanya para sesepuh yang mampu menjelaskan. Karena keduanya adalah latar yang melegenda dalam tunamen ini. Sudah cukup info dump-nya, mari kita lanjutkan cerita ini.
Bosan menunggumu bertanya ini dan itu terkait surat yang kau pegang, Domba akhirnya memutuskan untuk menarik dengan kuat surat itu hingga robek.
"Eh kambing lah! Kok kau robek pulak suratnya!" teriakmu pada Domba yang sudah menolongmu itu. Kini ia hanya menggelengkan kepala lelah melihatmu. Seperti tak menyangka akan mendapatkan Tuan sepertimu di Turnamen ini.
"Mbek!" ucapnya. Memerintahkanmu untuk membaca surat itu. Syukurlah, kau memahami isyaratnya kali ini.
Kau segera membuka dan membaca surat itu. Perlahan tapi pasti, matamu membelalak.
"Bah! Yang betolah! Sejak kapan pulaknya seni sampe disingkirkan gini? Yang gilaknya si VanArt ini. Kalau buang aer seni sih aku ga papa, lah ini 'seni' yang kek gitu kok dilarang. Nampak kali ga tau apa-apa dia. Ayoklah Mbing, kita jalan!" Racaumu dalam sekali pengambilan nafas.
Kau sebegitu marahnya dengan tindakan melarang ini dan itu yang dilakukan oleh pemerintah atau apapun yang mengatasnamakan kepentingan rakyatnya. Di negaramu ada Kim Jong-un yang secara diktator memerintah. Sedikit bersyukur kau sudah berpindah kewarganegaraan sejak lama.
Kau, bahkan tidak bertanya ketika Domba mendudukan diri untuk kau naiki. Apalagi memperhatikan perubahan ukuran tubuhnya yang mulai berotot. Kau juga luput untuk melihat bahwa Dombamu, terbang dengan kecepatan penuh menuju sebuah tempat yang tertulis di surat yang kau terima dari Zainurma dan Huban.
The Artless Country. Negeri Tanpa Seni.
"Bahkan namanya pun udah melarang seni. Bikin palak ajapun. Kupijak-pijak juga si VanArt ini. Cem bagus kali dia, bah!"
Si Domba hanya menatapmu sambil menggeleng lalu mengembek melantunkan nada lagu Country Road-John Denver.
"Eh? Kau tahunya lagu Country Road? Ah, ayoklah kita nyanyi sama-sama. Kok ga ngajak-ngajak kau?"
Begitulah, sepanjang perjalanan, terdengar suara embikan dari Dombar yang selaras dengan suara manusia yang juga melantunkan. Lantunan yang indah. Yang membuat pendengarnya tersenyum.
Country roads, take me home
to the place I belong,
West Virginia,
Mountain Mamma, take me home
Country road
"Country Road" - John Denver
***
~ Busuknya Kismis ~
Pedang itu menusuk dengan keras tepat di ulu hati wanita berumur 30-an. Ia membelalakkan matanya. Menatap ke arah satu-satunya anak yang ia miliki. Meneteskan air mata. Jerih menatap benda tajam yang kini bertahan di perutnya. Darah mengalir perlahan dari perut menuju kakinya. Menggenang di sana.
"la … ri … nak … la … ri .... " ucapnya menahan rasa sakit. Khawatir anaknya akan menjadi korban selanjutnya dari antek-antek makhluk keparat itu.
Air mata deras membasahi wajah sang Anak, "Ibu … ibu …"
"la … ri … la … ri … "
Dengan tangis yang berderai, ia lari sekencang yang ia bisa. Berlari sekuat tenaganya. Biar keringat terus membasahi tubuhnya. Yang penting ia bisa menyelamatkan diri. Tidak ingin pengorbanan ibunya terbuang percuma.
Bumi bergetar keras. Langit bergoyang. Pohon tumbang, batu beterbangan. Menambah rasa takut di dalam diri anak laki-laki berumur 7 tahun itu. Ia gentar. Ia lelah. Ia takut. Tapi harus lari. Tapi harus pergi.
Kemana?
Kemana lagi?
Apa yang harus ia lakukan?
Ibu mati!
Ayah terbenam!
Rumah terbakar!
Kemana?
Kemana lagi?
TOLONG!!!!!!!
***
~ The Minstrel Groupies~
"Kembalikan seni ke kota kami!!"
"Seni tidak untuk dilarang!"
"Pelarangan Seni tidak menghentikan tindak kriminal!!"
"Seni tidak membuat anak kecil berbuat kasar!!"
"Pembunuhan sudah ada sebelum Seni tercipta!!"
"Tidak ada agama yang membenci Seni!"'
Kau terjebak. Domba memang membawamu terbang. Namun, setengah perjalanan, muncul lubang cacing dari hidung Dombamu. Lubang Hitam itu menyerapmu dengan keras. Membuatmu memejamkan mata.
Ketika kau membuka mata. Disinilah kau berada. Di tengah-tengah para demonstran dari negara Tanpa Seni yang dipimpin oleh VanArt.
"Bajing lah, cemana ini caranya keluar," kau berbisik. Khawatir ada yang mendengar. Perlahan kau berjalan menuju ke belakang kerumunan. Mencari tempat sepi di antara dua gedung. Kau butuh waktu untuk memahami kondisi ini.
Berdasarkan penjelasan Huban tadi, Domba akan mengantarkanmu ke Negeri Tanpa Seni. Ia hanya bisa membawamu kembali ke Alam Mimpi jika kau sudah berhasil menyelesaikan sumber masalah di Negeri ini. Entah itu akhirnya membunuh VanArt atau membunuh Steiner. Atau mendamaikan kedua belah pihak.
Tentu, kau memilih cara terakhir. Mendamaikan kedua belah pihak. Lenyap sudah keinginanmu untuk memberi pelajaran pada VanArt sebelum berangkat tadi.
Di dalam tempat ini, akan ada empat orang Reveriers lagi yang akan dikirimkan. Sayangnya, masalah pertamamu, kalian diberi kebebasan untuk menentukan di kubu mana kalian akan berpihak. Juga, dengan cara apa dari tiga hal di atas yang kalian pilih sebagai solusi untuk masalah di Negeri Tanpa Seni ini.
"Bah, ottoke?(cemana ni?) Aku jelas ga mau mihak dulu. Ntah yang mana yang betol dari dua bajingan ini. Nanti kulawan si VanArt malah si Steiner yang brengsek. Kulawan Steiner, si VanArt udah jelas brengsek."
Kau terdiam. Kau terjebak disini tanpa Domba, masalah keduamu. Kau tak tahu saja, dia sedang menggoda Domba betina Reverier lain di setting cerita sebelah. Sambil menunggu kau kelar, katanya.
Saat ini, di tempat kau terjebak sudah dapat dipastikan kau berada di antara pihak Steiner. Dengan kata lain kau sedang berada di antara pihak pembela seni. Para seniman. Masalahnya, kau tidak tahu siapa itu Steiner dan yang mana di antara kerumunan ini yang bernama Steiner.
"Itu dia! Itu orang asingnya! Dia mata-mata Steinerr! Tangkap dia!!"
Teriakan itu mengganggu konsentrasimu yang sedang menyusun strategi. Kelamaan berpikir kau Song. Kau menatap ke sumber suara dengan wajah kesal. Ketika itulah kau sadari, yang disebut mata-mata adalah … Kau.
"Bukan, aku bukan mata-mata. Bukan!"
Sia-sia. Semuanya berlari ke arahmu dengan pasti.
Lalu sebuah ledakan terjadi. Tinta menghambur kemana-mana. Sebuah tangan menarikmu dari kerumunan ke sebuah tempat gelap. Kau tidak sadarkan diri.
***
"Taik kali bah! Aku bukan mata-mata, Bang."
Saat ini, kau terikat dengan manisnya di atas sebuah kursi. Sebuah lampu gantung bergoyang ke kanan dan ke kiri tepat di atas kepalamu. Tanganmu terikat ke belakang. Kakimu terikat ke kedua sudut kursi bagian depan.
"Bagaiman aku bisa membuktikan bahwa kau bukan mata-mata?"
"Coba abang lepasin aku dulu. Aku datang kesini untuk nolongnya Bang. Ga ada aku pengen bikin kasus sama kau!"
Di kanan dan kirimu, dua gadis terikat serupa denganmu. Di kananmu gadis kecil berumur 12 tahun. Dengan wajah putih bak badut. Berambut merah. Ia duduk dengan tenang walau terikat begitu.
Kau menatap dengan penasaran ke aranya. Ia tampak tidak asing.
"Kau … kau reverier juga, kan? Iya, aku melihatmu di Museum Semesta," bisikmu riang.
"iSi! iSi! kau benar sekali, Senor. Aku salah satu Reverier. Perkenalkan, namaku Olive, Senor." caranya berbicara sungguh sopan sekali. Tidak terlihat seperti anak kecil. Lebih seperti gaya bicara orang Eropa abad pertengahan yang sering kau lihat di televisi.
"Dan kau … pasti juga Reveriers, kan?" Tanyamu pada gadis di sebelah lainnya.
"Nama saya Marietta Sullivan. Anda dapat memanggil saya dengan Marietta jika tidak keberatan."
"Ah, aku Song Sang Sing. Panggil aku Song."
"Dan perkenalkan aku adalah Steiner. Hael Steiner. Orang yang sedang mencurigai kalian sebagai mata-mata dan sedang melakukan interogasi, namun tidak dipedulikan." balas seorang yang sejak tadi kau panggil abang.
Serentak kalian bertiga menatap ke arah orang tersebut dengan mata membelalak.
"Oh ternyata kaulah Senor Steiner."
"Abangnya rupanya si Steiner itu."
"Ternyata Anda adalah Tuan Steiner."
Kalian bertiga, menjawab secara bersamaan dengan wajah yang sangat sulit diterjemahkan oleh Steiner.
"Ah… Siapa kalian sebenarnya? Apa Reverier itu? Kenapa kalian ada di sini? Kenapa kalian mengetahui namaku?"
"Bukan hanya mereka yang mengenalmu, Tuan. Jika aku boleh mengingatkan, kau merupakan buronan kerajaan, sudah barang tentu mereka mengetahui namamu. Selebaran sayembara itu ada dimana-mana," seseorang muncul dari balik tirai pintu belakang Steiner. Ia membawa senampan penuh berisi 5 mangkuk Ramen.
Kau mengenalinya sebagai Ramen karena sering menonton Anime Naruto di televisi, dulu.
"Perkenalkan, aku Wamenodo Huang."
"Dia adalah tangan kananku saat ini yang sangat pandai memasak," tambah Steiner dengan bangga.
"Senang berkenalan denagn kalian." tambah Huang lagi.
Sementara itu, kalian menatap Huang dengan curiga. Kalian sangat yakin Huang adalah salah satu Reverier. Namun, bagaimana bisa seorang Reverier yang baru saja tiba bisa langsung menjadi tangan kanan dari tokoh utama cerita?
Tidak ada satupun dari kalian yang menyuarakan isi hati. Namun kalian tetap menatapnya dengan curiga.
"Tuan, menurutku, ada baiknya jika kita lepas saja mereka bertiga. Toh tadi kau menolong mereka dari tangkapan para prajurit istana," usul Wamenodo pada Steiner. Membuat keningmu semakin berkerut liar.
"Tapi aku belum selesai menginterogasi mereka Huang!"
"Apakah Tuan tega membiarkan ramen-ramen ini mendingin. Ayolah, jangan biarkan makanan ini terbuang."
"Baiklah, aku akan melepaskan mereka."
Kalian memang sangat lapar, ditambah ramen-ramen itu memang sangat harum. Menggelitik perut kalian untuk melahap habis hingga ke tetes terakhirnya.
Steiner melepaskan ikatan di tangan dan kakimu. Lalu ikatan Olive dan disusul ikatan Marietta. Kalian meregangkan tubuh yang terasa sangat pegal bertahan dalam posisi terikat itu selama lebih dari empat jam.
Setelah terlepas, kau dan kedua gadis yang tadi terikat bersamamu, memilih untuk diam. Kau tahu akan berpihak pada Steiner, namun nalurimu mengatakan akan lebih baik jika kau menganalisa situasi terlebih dahulu. Mengingat kau belum tahu, dimana ketiga Reverier di sekelilingmu memilih untuk berpihak kemana.
Satu reverier lagi, bisikmu dalam hati.
"Ayo dimakan," ucap Steiner pada kalian. Memberikan masing-masing satu mangkok untuk setiap orang.
"Silahkan, ramen ini akan memulihkan tenaga kalian. Kalian pasti sungguh lelah setelah diikat begitu lama."
Tidak menunggu diperintah dua kalipun, kau sudah mengambil mangkokmu dari tangan Steiner. Dengan lahap kau memakan ramen di tanganmu. Kau sungguh sangat lapar.
"Ngomong-ngomong, mana si Castor? Kenapa dia menghilang?"
Reverier terakhir, Castor, batinmu.
Huang tersenyum. Kau memperhatikan dengan baik untuk mengetahui bahwa senyum itu bukanlah senyum orang baik. Itu … senyum licik.
"Sebentar lagi, Castor akan tiba, Tuan."
***
Sementara itu, di tempat lain.
"Apakah sudah siap semuanya?"
"Sudah, Tuan."
"Apakah kau sudah menyiapkan bom-bom yang kuminta?"
"Sudah, Tuan."
"Huang memang memilih orang yang tepat."
"Terima kasih, Tuan."
"Baiklah, kau masih ingat base camp mereka bukan?"
"Ya, Tuan."
"Kalau begitu, Castor, kita serang mereka sekarang!"
"Ya, Tuan VanArt." Seru seluruh prajurit di ruangan itu.
Sekarang, kalian akan musnah, seniman keparat!
***
~ Pengkhianat Buncis ~
6 jam yang lalu.
Berbeda denganmu Song, yang diturunkan oleh Mbing di tengah kerumunan demonstran, Huang diturunkan di dalam kamar mandi pribadi Sang Raja. VanArt. Tepat saat ia sedang mandi.
"HOMOOOOOOOOO …"
Teriak sang Raja padanya kala itu. Membuatnya mengulirkan mata malas dan berkata, "ga selera."
"Siapa kau? Sedang apa kau di sini?"
"Aku? Aku sedang mencari VanArt, si Raja Penguasa Negeri terindah, Negeri Tanpa Seni," puja-puji Huang pada VanArt.
"Aku VanArt, apa yang kau inginkan?"
"Aku akan membantumu untuk memusnahkan para seniman itu," ujarnya. Huang adalah seniman, namun ia adalah seniman di bidang masakan. Tidak ada yang menganggap masakan kriminal. Dan tidak ada juga yang menganggap masakan adalah seni.
"Lalu, apa yang kau inginkan dariku?"
"Kau sungguh penguasa yang baik dan pengertian, Tuan. Namun, aku melakukan ini hanya untuk menjunjung tinggi peraturan," ucapnya sambil tersenyum. Licik.
"Kau yakin?"
"Ya," Huang mengangguk.
"hmm … baiklah. Lalu apa rencanamu?"
"Sederhana, Tuan. Beri saya waktu dua jam untuk melatih kemampuan saya dalam memasak. Setelah itu, melalui masakan ini, saya akan mengelabui para seniman itu dan menjadi mata-mata untuk anda."
"Lalu?"
"Setelah saya menemukan waktu yang tepat, saya akan mengirimkan seseorang ke kerajaan. Saat itu, saat orang hebat itu datang, maka Anda harus segera menyerang."
"Apa jaminannya untukku?"
"Tidak ada, Tuan. Namun, jika rencana itu berhasil, maka Negara ini akan bersih total dari para Seniman. Bagaimana?"
"Baiklah. Aku setuju. Gunakan dapur istana untukmu berlatih."
***
Begitulah. Menggunakan HsiMendoJutsu [Ike-Men], Huang berhasil menarik perhatian Steiner dan membuat Steiner percaya padanya.
Saat itu, kau belum tiba di Negeri Tanpa Seni ini Song. Mbing memang membawamu sedikit lebih lambat daripada peserta lainnya yang sudah sampai terlebih dahulu. Kalian terlalu asyik bernyanyi Country Roads, hingga lupa bahwa ada misi yang harus segera diselesaikan.
Sementara saat itu, Steiner sudah lebih dahulu bertemu dengan Castor si Teroris. Jadilah, Steiner yang tidak tahu apa-apa, terjebak dengan Castor yang tidak nyaman dengan kebaikan Steiner dan Huang yang berniat untuk menyerahkan Steiner pada sang Raja, VanArt.
Castor yang sudah mencurigai Huang, menembak langsung Huang dengan pertanyaan, "untuk siapa kau bekerja?"
"Untuk Peraturang Yang Tegak dengan baik," jawabannya.
Castor tersenyum. Sejak saat itulah, Huang dan Castor bekerja sama untuk menjebak Steiner. Rencana mereka hampir saja berhasil, kalau saja Steiner bertingkah sesuai perkiraan mereka.
Sayangnya, mereka lupa bahwa, ada Reveriers lain yang akan ditempatkan di Negara Tanpa Seni ini. Di saat itulah kalian muncul, kau, Marietta dan Olive. Diselamatkan dengan sempurna oleh Steiner. Steiner sebenarnya tidak sadar bahwa bukan dia yang menyelamatkan kalian. Namun, kemunculan kalianlah yang menyelamatkan hidupnya.
***
Selesai memakan Ramen buatan Huang, kau memilih untuk meningkir ke sudut ruangan. Mencoba kembali [Serenade] yang menghilang saat pertarunganmu dengan Ucok. Kemampuanmu seluruhnya menghilang. Menurut Huban, kau bisa melatih kembali kemampuanmu satu-persatu. Jadi, itulah yang kau lakukan sekarang. Melatih [Serenade]-mu.
"Jadi, kemana Castor pergi?" tanya Steiner.
Bunyi berderap dari luar ruangan mengagetkan baik Steiner, kau, Marietta maupun Olive.
"Aku di sini, Tuan."
Castor masuk ke dalam ruangan bersama dengan tenang. Menatap kalian dengan senyum mengerikan.
Perasaanmu tidak enak. Ada yang aneh. Ini terlalu kebetulan.
"Prajurit Istana! Ada yang membocorkan tempat persembunyian kita, Tuan Steiner!" teriakan dari luar mengagetkan untuk kedua kalinya.
"Castor, kau …" Steiner menatap Castor tak percaya.
"Kau kira hanya Castor, Hael Steiner?" sang Raja, VanArt, muncul dari balik pintu, "pengkhianatmu ada dua, bisakah kau tebak siapa yang satunya?" tanyanya sambil tersenyum mengerikan. Memberikan bisik ngeri di kudukmu.
"Kau … Huang. Kau … juga?"
Huang hanya tersenyum mengangguk dengan tenang pada Steiner. Membuatmu paham, mengapa kau merasa ada yang aneh dengannya tadi. Olive dan Mary hanya terdiam duduk begitu saja. Mereka sama sepertimu, memilih untuk berada di pihak Steiner karena Steiner sudah menolong mereka saat akan digebuk oleh warga.
"Sudah jangan buang-buang waktu! Ayo kita habisi saja, seniman-seniman Jalang ini!"
Kau menatap wajah VanArt, dan seketika [Serenade] aktif. Memutar lagu Fur Elise di kepalamu.
Gimana caranya ini? Anjing lah, lagu klasik pulak yang keluar…, batinmu kasar.
VanArt dan Steiner saling berhadapan. Mereka sudah siap dengan senjata masing-masing. Steiner dengan Bom Tintanya. VanArt dengan pedangnya.
Olive dan Mary melawan Castor dan Huang. Saling mengacungkan senjata. Hanya kau, yang memang paling tidak jago beradu otot, yang tidak memiliki lawan. Kesempatanmu sungguh tinggi untuk menyelesaikan konflik ini.
"Senandungmu Song, oh ayolah, kau kan ga segoblok itu …." Teriakmu pada diri sendiri.
Senandung … ah iya ….
"nananana~~" kau mulai menyenandungkan lagu Fur Elise-nya Beethoven.
Suaramu yang indah dan jernih, menghentikan peperangan. Membuka jalan ketenangan untuk hati yang keruh dan kedamaian di sekitarmu. Membersihkan suasana yang buruk menjadi kedamaian. Menenangkan detik demi detik kegelisahan dari hati para prajurit. Membuat mereka terduduk dengan damai. Menghentikan mereka yang sedang beradu pedang. Membuat mereka yang beradu mulut, berpelukan. Menjadikan wajahnya yang kusam kembali ceria.
Serta terakhir, membawamu dan VanArt ke masa di mana segalanya masih baik-baik saja. Saat segalanya sangat membahagiakan. Kembali ke titik balik diri VanArt.
Resital piano pertamanya.
***
~ Jejak Luka VanArt yang Sadis ~
Hari itu, langit sungguh cerah. Angin bergemerisik dengan riang. Membelai lembut dedaunan. Pepohonan menari dengan gemulai. Matahari tersenyum bahagia kepada seluruh penduduk bumi.
Hari itu, seolah tak ada yang dapat menghancurkan kesempurnaannya.
"Nanti aku akan memainkan Fur Elise-nya Bethoven ya, ayah," katanya dengan riang gembira. Sangat sesuai dengan suasana alam saat itu.
Ya, si Kecil VanArt akan melakukan pertunjukan pertamanya di Gedung Valoria. Sebuah gedung pertunjukkan milik kerajaan. Tentu saja vanArt bukan anak sembarangan. Ia adalah putra mahkota yang membanggakan. Sudah barang tentu ia akan mempertunjukkan kemampuannya di depan seluruh rakyatnya di gedung terindah itu.
Burung-burungpun melantunkan lagu indah untuknya. Mendukung dengan penuh sang Pangeran untuk melakukan resital piano pertamanya.
"Ayah, akan datang, kan?" tanya si Kecil VanArt. Pertanyaan yang sungguh polos. Siapa yang tega menolak permintaan manis seperti itu?
"Tentu saja, VanArt."
"Ibu?" tanyanya dengan mata yang sungguh berharap pada sang Ibu. Memupus segala keinginan untuk melenyapkan binar dari mata kecil itu.
"Sudah pasti, sayang."
Seperti namanya, VanArt, si Pangeran Kecil, tumbuh menjadi si kecil yang sangat menggemari Seni. Tak ada senila benci yang dapat merusak susu cintanya pada seni.
Begitulah pemikiran polosnya saat itu.
Namun, malang tak dapat diurung. Benci tak dapat dibendung. Cinta tak dapat diusung. Bahagiapun terasa tanggung.
Tepat saat ia melangsungkan resitalnya. Tepat saat Fur Elise-nya sedang bersenandung indah. Saat jemarinya sedang bahagia menari di atas tuts piano kesayangannya. Saat itulah, para Fanatik itu datang.
Membabat habis setiap makhluk yang bernyawa di gedung Valoria.
Satu tebasan, satu kepala menggelinding.
Satu pukulan, satu makhluk halus tercipta.
Satu lemparan, satu nyawa melayang.
Satu hentakan, remuk satu badan.
Satu percikan, satu daging panggang terwujud.
Satu tusukan, satu perut terburai.
Membuat kepanikan merajalela. Menciptakan teriakan. Melunturkan tangisan. Menggelimangkan darah.
Namun apa daya, mereka bisa kemana? Seluruh Gedung Valoria sudah terkunci dengan sempurna.
"Ibuuu ..." teriak si Kecil vanArt saat melihat sang Ibu berdarah.
"la … ri … nak … la … ri .... " ucapnya menahan rasa sakit. Khawatir anaknya akan menjadi korban selanjutnya dari antek-antek makhluk keparat itu.
Air mata deras membasahi wajah sang Anak, "Ibu … ibu …"
"la … ri … la … ri … "
Dengan tangis yang berderai, ia lari sekencang yang ia bisa. Berlari sekuat tenaganya. Biar keringat terus membasahi tubuhnya. Yang penting ia bisa menyelamatkan diri. Tidak ingin pengorbanan ibunya terbuang percuma.
Bumi bergetar keras. Langit bergoyang. Pohon tumbang, batu beterbangan. Menambah rasa takut di dalam diri anak laki-laki berumur 7 tahun itu. Ia gentar. Ia lelah. Ia takut. Tapi harus lari. Tapi harus pergi.
Kemana?
Kemana lagi?
Apa yang harus ia lakukan?
Ibu mati!
Ayah terbenam!
Rumah terbakar!
Kemana?
Kemana lagi?
Ia berlari tak tentu arah.
"Tolong! Tolong aku!"
Teriakannya tak didengar. Di belakangnya sesuatu mengejar. Sesuatu yang merayap. Sesuatu yang tak dikenalinya. Memberikan rasa takut yang berlebih.
Ia bersembunyi di balik podium.
Seluruh lukisan di dalam ruangan menjelma menjadi gambar tak bernyawa penuh darah. Menambah rasa takut di hati si Kecil VanArt. Lukisan-lukisan itu bak bernyawa.
"Ibu … ayah … tolong aku!!" bisiknya takut ketahuan.
Suara piano yang sempat terhenti kembali bersenandung. Mendendangkan lagu klasik yang seharusnya akan menjadi kebanggaannya hari ini.
"Ibu .. Ayah … aku takut!" rapalnya dengan air mata yang berlinang deras.
Suara rayapan itu semakin dekat. Berhembus gemerisik. Berlendir.
Oh Tuhan, tolong aku, bisik si Kecil dalam hatinya.
Seperti kata pepatah, cinta dan benci itu perbedaannya sungguh tipis. Begitulah yang terjadi pada VanArt. Saat ketakutan mengukung. Ia pun menyerah.
Para Fanatik seni itu. Lukisan berdarah. Fur Elise. Pertunjukkan. Segalanya. Ibunya. Ayahnya.
Aku benci seni. Akan kumusnahkan seluruh seni di kerajaan ini. Akan kubunuh semua pecinta seni.
Ia selamat dari kejadian pemberontakan itu. Tapi tidak dengan hatinya. Sudah terlanjur beku dan mati. Juga tidak dengan mentalnya yang sudah terlanjur phobia terhadap karya seni apapun.
Para Fanatik yang ingin meng-kudeta kekuasaan sang Raja berhasil dilumpukan oleh Ksatria Istana. Si Kecil VanArt naik takhta. Memimpin kerajaan secara otoriter. Sungguh berbeda dengan sang Raja. Ia, tumbuh menjadi Raja Kejam dan tak kenal ampun.
Siapa yang menyangka kalau si Kecil VanArt yang baik, menggemaskan dan menyukai seni kini menjadi penguasa yang lalim, garang dan anti-seni.
***
~ Habis~
[Serenade] terhenti. Suara Fur Elise, tak lagi terdengar.
Sebuah ledakan tepat di sebelahmu menghancurkan konsentrasimu. Castor, yang menghilang beberapa saat ternyata kembali menggenggam sebuah bom. Bom yang akhirnya dilemparkannya ke arahmu dan VanArt yang masih terjebak di Alam Ilusi.
"Hen … ti … kan, se … mu … a ... i ... ni... Van … Art," tetatih kau ucapkan kalimat itu pada sang Raja. Kau dan VanArt terluka parah akibat bom dari Castor.
Castor sendiri? Diikat oleh prajurit seniman underground yang selamat. Olive yang berhasil menggunakan [teleportasi] miliknya, berpindah tempat sesaat sebelum bom meledak. Olive-lah yang meringkus Castor saat tubuhnya masih lemah akibat ledakan bomnya. Sepertinya Castor lupa bahwa akibat dari kejadian di Bingkai Mimpi, kemampuan [Tick Bomb] belum sepenuhnya kembali. Sehingga, bom yang ia hasilkan tidak stabil.
Bom kedua ini, sangat tinggi level ledakannya. Mengakibatkan, tidak hanya kau, Song dan VanArt yang terkena dampak ledakan seperti keinginannya. Tetapi seluruh orang yang berada dalam radius 5 meter dari ledakan.
Termasuk di dalamnya Steiner yang akhirnya terluka parah, Mary yang terlempar dan tak sadarkan diri (beruntung ia hanya terkena dorongan saja dari ledakan itu), Huang yang tewas karena terkena pecahan cermin dan Castor yang terkena ledakannya sendiri.
Sedangkan, tidak satupun dari Comet, Franz ataupun Verra yang berada di sana untuk menolongnya.
Olive? Entah bagaimana, kemampuan [Teleportasi]-nya kembali di saat yang tepat.
"Kau ... kau yang mengembalikan kejadian itu tadi. Kau … kenapa kau mengembalikan setan itu! KENAPA!" teriak VanArt di tengah rasa sakit yang menderanya.
"Kau ... kau yang mengembalikan kejadian itu tadi. Kau … kenapa kau mengembalikan setan itu! KENAPA!" teriak VanArt di tengah rasa sakit yang menderanya.
"Kau … tidak membenci Seni. Kau hanya membenci para seniman itu. Mereka yang salah, VanArt, mereka haus akan kekuasaan."
Kau mencoba bangkit. Luka di sekujur tubuhmu bertambah sakitnya tiap kali kau bergerak. Namun, kau masih berusaha agar dapat menjangkau hati VanArt dengan [Serenade].
Namun, sentuhanmu tak akan pernah tersampaikan. Mary, dengan tubuh yang masih setengah sadar dan sempoyongan, melemparkan pisau tentaranya ke arah VanArt.
"Aku tidak suka cerita ini hanya terfokus padamu, Song!" Ujarnya sesaat sebelum melemparkan pisau itu ke VanArt. Meski tubuhnya sangat lemah, Mary tetap anggota militer. Ia dapat dengan tepat melemparkan pisaunya ke tujuan jika memang dibutuhkan.
Hasilnya?
Jangan tanya lagi, VanArt mati di tempat.
"Aku benci mengatakan ini, tapi aku tidak suka perhatian semua orang tidak tertuju padaku lagi." Yah, sekarang semua orang yang ada di sana memang memfokuskan diri mereka kepada Mary.
Sang Pahlawan bagi Negeri Tanpa Seni.
… Tidak. Kematian VanArt sudah menjadi status mutlak pergantian nama Negeri ini menjadi Negeri Seni.
***
Sementara itu, di cerita tetangga, Domba masih belum selesai menggoda Domba tetangga. Domba itu begitu manis. Bibirnya merah. Bulunya berwarna pink merona. Bulu matanya lentik bak ekor bulu mata anti-badai Syahrini.
"Mbeeeekk~~" ujarnya menggoda Domba betina itu.
"Mbek, mbek mbeeeekkk, mbek bek bek~~~" balas si Domba betina.
Sungguh syahdu mendengarnya. Apalagi tanpa subtitel seperti ini. Tapi siapa yang peduli? Kedua Domba ini sedang jatuh cinta. Tak akan ada yang dapat mengganggu kencan mereka berdua.
Tidak ada.
Tidak ada kecuali …
...kecuali dengung itu. Suara dengung yang akan terdengar ketika partner si Domba sudah menyelesaikan misinya.
"Mbeeeeekkkk ~" embikan sedih terdengar dari Mbing.
Si Domba Betinapun hanya dapat menatap Mbing dengan tatapan sama sedihnya. Tapi apa mau dikata, Arjuna-nya harus segera kembali bekerja. Dengungan itu tak bisa menunggu.
"Mbeeeekkk~~" ucapnya sebagai salam perpisahan pada Mbing.
"Mbeeekkkkkkk~~" balas Mbing pada Domba Betina.
Dalam waktu sekejap, keduanya sudah berada di dekat partnernya masing-masing. Mbing dengan Song dan si Domba betina … bersama Huang.
Serentak, kelima Domba mengembik menandakan bahwa misi sudah diselesaikan dengan baik.
***
Song perlahan menaikkan tubuh Steiner ke atas Domba. Rasa sakit masih terasa sangat nyata di setiap bagian tubuhnya. Tapi hati nuraninya melarang untuk meninggalkan Steiner begitu saja. Karena itu, ia membawa Steiner ke Bingkai Mimpi. Berniat untuk merawat sahabat barunya itu.
"Tunggu, memangnya boleh kubawa ini si Steiner?"
Mbing menatapmu dengan tersenyum. Mbing mmepelajari cara berkomunikasi baru denganmu. Melalui tulisan. Dari Domba betina dia mendapatkan informasi berbagai cara berkomunikasi dengan partnernya. Mbing mempelajari menulis saja.
Dengan itu, Mbing menggesek-nggesekkan kakinya membentuk huruf. Huruf menjadi kata. Kata menjadi kalimat. Kau akhirnya dapat membacanya.
[ Hubungi Zainurma !]
"Eh udah pintar kau ya! Udah bisa nulis rupanya."
Mbing menatapmu dengan sebal. Dasar partner ga peka, batinnya sambil memutar bola matanya.
Namun, demi mengingat betapa mesranya Zainurma memeluk si Jilbab Putih, kau urung mencoba berkomunikasi dengannya. Selanjutnya, kau menghubungi Huban.
"Eh, Paman ga boleh tahu ngehubungin aku langsung," ujar Huban dengan suaranya yang super ceria.
"Aku ingin membawa Steiner ke Bingkai milikku. Bisakah?"
"Mengacu pada aturan panitia nomor [7] yang terdapat pada Link ini …
"7. OC tamu yang muncul di setiap Bingkai Mimpi R1 adalah sepenuhnya untuk kalian olah. Bisa dibuat hidup, dimatikan, atau malah diculik dan direkrut sebagai sub-OC kalian ke depannya."
… maka seharusnya boleh," jawab Huban diplomatis.
"Baiklah, mau kubawa dia biar bisa dirawat sama Opung. Makasih ya Huban."
"Sama-sama Paman."
Kau naik ke atas tubuh Mbing. Dalam waktu yang hanya sepersekian detik, tubuh Mbing membesar. Bulu tubuhnya juga memanjang. Mbing merubah bagian atas tubuhnya menjadi tempat istirahat untukmu dan Steiner. Tak sampai menunggu lama hingga akhirnya kau tertidur lelap di atas tubuh Mbing.
Bahkan kau tidak sadar bahwa kalian sudah sampai di Bingkai Mimpi.
Perlahan tapi pasti, huruf kedua muncul pada cincin yang menggantung di lehermu.
" U "
***
~ Epilog Klimis ~
Hari ini kau tidak kelihatan sayang. Hanya setitik lalu kau pergi begitu saja.
Lihatlah, cincin kita sudah menampakkan wujudnya. Cincin yang diubah [Sang Kehendak] untuk membuatku melupakanmu.
Sayang, cintaku tak akan rusak. Walau keadaanku begini.
Bersabarlah sayang, sedikit lagi. Sedikit lagi kita akan kembali bersatu.
Song, tidak akan pernah melupakan janjinya.
Aku mengenalnya.
Maafkan aku karena mengirimkan orang yang tidak kausukai untuk menyelamatkanmu.
Hanya dia yang bisa membantu kita saat ini.
Semoga kita bisa bertemu.
-
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 27 - SONG SANG SING | EOMMA, AKU MIMPI EOMMA!!
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 26 - SONG SANG SING | YANG LALU DAN TERAKHIR KALINYA
-
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 27 - SONG SANG SING | EOMMA, AKU MIMPI EOMMA!!
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 26 - SONG SANG SING | YANG LALU DAN TERAKHIR KALINYA
Dari semua cerita yang saya baca, kayaknya entri ini termasuk “konsisten” dalam menjaga ciri khas penyajian cerita. Pov2 di mana narator bagaikan “hantu” yg menemani sang tokoh utama kemana pun ia pergi. dan juga ada beberapa sisipan pov3 meski itu gak banyak. Dan juga banyak “tellnya” tapi gak buruk-buruk amat, karena yg disorot itu tentu saja si MC ketimbang situasi cerita secara global.
BalasHapus8
Maafkeun T~T tell tak dapat terelakkan karena banyak banget penghalang buat nulis, akhirnya lebih milih nulis dengan metode itu di ronde ini T~T
HapusPOV2 sendiri akan berganti di satu titik cerita, (entah itu di ronde berapa) yang pasti dua ronde ke depan (kalau lolos) masih akan pake pov2
anyway, makasih sudah membaca Mas Nobu :)
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : C
Overall character usage : C
Writing techs : B
Engaging battle : C
Reading enjoyment : B
Entri ini rasanya lebih rapi dari yang saya inget pas prelim kemaren
Saya udah keilangan itungan berapa kali ada entri yang make setting Artless Country. Kayaknya ini setting yang paling populer dipilih, selain Anatolia sama gereja Pokiel
Saya juga ngeliat beberapa entri berani ngupas Oneiros, atau Mirabelle, tapi kayaknya baru ini yang bikin Zainurma jadi poin cerita juga. Saya ga heran lagi kalo nama si Jilbab Putih nantinya berinisial U
Di satu sisi, entri ini pionir juga karena bikin Vanart jadi punya bg story, tapi di sisi lain saya ngerasa agak pointless juga. Apa biar kita simpati ke dia? Ngejelasin traumanya pun rasanya buat saya pribadi agak kurang kalo bikin dia bencinya ke seni. Dan lagi, Vanart juga matinya gitu aja, jadi ga ada impact apa" secara keseluruhan
==Final score: C (7)==
OC : Iris Lemma
HUsh jangan spoiler kak Sam ._. #plak
Hapusabis Artless di geng Minstrell memang yang paling mudah pilihannya dan bisa eksekusi cepat. dibanding yang lain sih.
untuk zainurma, memang rencananya dia fokus konflik di sini, karena di ronde depan (kalo lolos) fokusnya ga dia.
Intinya sih, semua OC yang bakal jadi lawan Song bakal jadi plot device ._.
well, tentang vanart ... dia dijelaskan hanya membenci lukisan dan patung. bukan seni. cuma dia benci seni karena yang ngebunuh bapak ibunya itu seniman fanatik ._.
tapi memang kurang digali. Umi akui.
Tulisan ini beti sama Sil Ronde 4-5 dulu. Tulisan yang muncul karena kepepet T~T
begitulah
anyway, makasih kak Sam Udah baca :)
entah berapa kali saya bilang 'd'awww' selama baca entri ini >w< pemilihan katanya itu rasanya manis banget, narasinya juga lembut kaya marshmallow www
BalasHapusgak nyangka sub-oc castor (comet, franz, vera) dapet mention walau cuman sebaris. saya terharuuu ;w; dan castor sendiri, dia brengsek dan gak jelas. seperti seharusnya xD
yah, dengan ini kisah song pun semakin berkembang. soal konflik dan setting juga udah ok.
masalah teknis... saya selalu ngerasa aneh sama breaking 4th wall, apalagi dilakuin sama semua orang termasuk narator. tapi karena sampai akhir pun menerebos tembok ke-4, jadi dimaklumi lah sebagai ciri khas entri2 song.
nilai: 8.5 = 9
oc: castor flannel
marsmallow itu empuk '3'
Hapuswkwkwkkw, kalau ada waktu lebih sebenarnya, Comet Franz sama Vera mau dimasukin di cerita bagian awal. pengen bikin mereka bener-bener jadi tim SOS-nya Castor. Tapi keterbatasan waktu bener-bener nyekik T~T
breaking 4th wall itu bukan cuma sekedar breaking 4th wall. itu emang plot device dan bagian dari cerita. Well nanti (kalau lolos) mungkin ronde 3 atau ronde 4 baru akan di banting semua realitanya.
terima kasih sudah membaca cerita sederhana ini :)
and I am glad to know that you like my Castor here :)
"Anjing"
BalasHapusHahahahahahhh bestttt. Song ini material comic strip banget dah. Logat batak campur korea, dengan personality konyol. Backstorynya asik, dan nggak maksa masuk ke dalam canon. Terus penulisannya juga unik dan seru, aku suka breaking the 4th wallnya. Kadang2 unexpected malah, hahahaha.
Meski konfliknya nggak begitu terasa, tapi personalitynya Song bikin cerita ini kayak angin sepoi. Apalagi ada Country Roads, asik banget dah.
Dariku 8/10
Masih ada beberapa typo, kayak nggak pake huruf kapital di dialog di awal paragraf. Minor sih, nggak ganggu banget buatku.
iya, ini ceritanya maksa nulisnya T~T waktu kepepet banget sama kerjaan. Salah sendiri sih Umi ga nyicil waktu lebaran kemaren.
HapusBackstory sendiri, sudah disinkron dengan canon panitia. Semoga perjalanan Song Lancar, jadi nanti bisa dilanjut :)
*next time perhatiin lagi buat typo minor (apalagi yang mayor)
makasih sudah baca Kak bay :)
"Kaupun mencoba untuk meraih botol miras itu, tapi tanganmu terlalu lemas untuk menggapainya...."
BalasHapus"Ngapain?"
"Nyoba gaya narasi baru, udah, mabok aja sono, jangan ganggu gue."
-Author & Marikh
+PROS
+Sebelumnya maafkan, karena saya gak sempat baca prelimnya Song. Tapi keren juga sih, jarang-jarang ada yang pake POV 2 begini, dan nggak dibombardir 'kau' 'kamu' dan 'pasti kalian....'XD
+Penceritaannya... Astaga saya serasa kembali jadi kanak-kanak yang diceritain dongeng, pilihan katanya itu konsisten bikin diabetes pembaca. Manisss kayak gula XD
+Waktu si domba nyuruh Song baca dengan membentak 'Mbek!', itu seakan-akan saya dalam sekejap bisa ngeh sama bahasa domba XD
+Saya males liat charsheet, untung penjelasan skillnya jelas jadi sangat membantu.
-CONS
-Penggambaran chaos dalam ceritanya ini kurang, kalau perlu kasih sound effect misal suara ledakan bomnya Castor atau bak-bik-buknya reverier vs reverier, biar lebih seru(?)
-Terlalu cepat ya pergantian scene-nya. Lagi-lagi soal deadline nih kayaknya.
Saya titip 8 buat Song, variasinya lumayan buat selingan diantara rimba BoR yang sarat adu gebuk. Lupakan tinjumu, mari bernyanyi bersama~ XD
TTD
Dewa Arak Kolong Langit
wkwkwkwk, tenang, Si dewa Arak juga Umi ga baca prelimnya *dijitak #plak
Hapuswaktu prelim, Umi dapet review supaya jangan men subjek ke pembaca, jadi Umi fokusin ke penceritaan. karena itu Ceritanya Umi buat lebih manis, supaya nuansa pov2-nya tetep kerasa. Tapi masih sulit T~T
Umi kepengennya sih fokusin Mbing ke ngegodain Domba betina gitu. Jadinya si Mbing jadi domba genit #plak
wkwkwkwk sound efek itu ... YAP, deadline ini~ membunuhkuuu~~~~
terima kasih sudah membaca XD
aiiih, Umi dan style PoV 2 nya yang nyastra itu lho...
BalasHapuskapan-kapan saya pengen nyoba bikin cerita paka cara ini ah
:D
Kisah Cinta si Song emang bikin galau yaaa, kuat juga kokoro dia bisa jalan bersama mantan dan kekasih barunya. Bersahabat pula.
._.
[ Mungkin kalian bertanya, kenapa Alam Mimpi menyediakan mimpi pada Reveriers. Jawabannya sederhana, memangnya ga boleh? ]
wakakakak
Salah apa si kaleng sampe dibuang T_T
Ada lagu Fur Elise..
._.
Gelora cinta kisah ini bahkan sampai menginfeksi Mbing dan si domba betina, wkwkwk
Saya enjoy membaca ini :D
Point : 8
OC : Venessa Maria
Salah si Kaleng adalah ... dia muncul di saat yang ga tepat xD
Hapussesungguhnya sebagai penulisnya Song sendiri, Umi ngerasa bisa ngasih yang lebih baik. T~T
tapi yah ... kau tahulah Nii-Chan, Lebaran, kerjaan, nikahan T~T
Oh maiii~~
Umi dikejar banyak hal T~T
Ah aniwai, terima kasih sudah baca xD
Jujur saja aku kurang suka dengan penggunaan PoV 2. Rasanya seperti ada yang kurang, yahh... Walaupun masih enak-enak aja di aku. Diksinya itu lhoo... Ummmhh, keren kebangetan. Suasana The Artless Country juga terasa kental, mungkin kurangnya di backstory Vanart yang terkesan... maksa. Dia itu neutral-evil, ga cocok aja tetiba dikasih backstory begitu.
BalasHapusStill, i love it
8
Jess Hutcherson
Well, Pov 2 itu beneran ciri khas Song xD jadi Umi ga akan ganti sampe di satu titik pertemuan
Hapuswkwkwkwk, seseorang memiliki sebuah kepribadian itu pasti ada alasannya. Entah ada trauma, entah apa. but, agree, ceritanya kurang halus. xD
makasih mas, sudah baca xD
Tetap konsisten dengan gaya kepenulisan POV2 ya, mi. Wkwkwk... Mungkin kamu jauh lebih nyaman begitu. Tapi, musti ekstra hati-hati karena salah-salah bisa berasa kayak didongengin nanti. Hehehe...
BalasHapusUntuk dari segi karaterisasi Song ngga ada problem sih dari aku. Alurnya juga lumayan rapi. Cuma catatan aja di kepenulisan. Kayak penggunaan kata "Nggak" cuma ditulis "Ga".
Terus kan kamu pakai POV2 ya, usahakan konsisten di penggunaan kata ganti 'Kau' atau 'Kamu'. Biar bacanya lebih asyik lagi.
Saya penasaran dengan si jilbab putih, btw ^^
7 dari saya.
MirorMirors/Tal
Of Course xD
HapusPoV2 akan terus mengalir di entry Song sampai saat dimana akhirnya Song menemukan realitanya sendiri xD
Nggak yanng ditulis ga itu sebenarnya cuma untuk penegasan bahwa itu penulis langsung yang ngomong xD khusus untuk beberapa 'ga' itu memang Umi sengaja
dan Kau serta kamu, akan Umi perdalam lagi mana yang cocok digunakan saat apa XD
makasih sudah baca Tal :)
Halo mbak Ummi, akhirnya sampe ke entri mbak.
BalasHapusDibanding Prelim, R1 Song pastinya kelihatan banget perbedaannya. Ciri khas PoV 2 nya makin kerasa, penyajianny juga oke kalau di sini.
Narasi meta (menembus tembok ke-4) si narator juga lebih ngena di hati, makin menggelitik dan nyentrik begituhh.
Dan intrik kegalauan Song dieksekusi dengan apik juga. Serasa ikut baper :')
Adapun, kekurangan di entri ini kayaknya tipikal deadliner ya? ada beberapa bagian yang kurang halus :')
Saya titip 8 deh buat Song. Sampai bertemu di R2
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
UwU Mas Yus bisa aja '3'a
Hapuskegalauan SOng sesungguhnya masih tanggung. Ada rencana yang muncul di awal itu mau dipake di akhir, tapi lupa dan keburu eksekusi buat deadline T~T
Semoga, next time bisa lebih baik lagi~
Makasih sudah abca XD
Masukkan komentar Anda... Halo, Song.
BalasHapusOverall saya cukup nikmatin entry ini. Biasanya ga suka bahasa2 bersyair/berima, tapi kamu bawanya ga maksa, jadij saya ga permasalahkan.
Cuma ya, rada janggal dengan tujuan background story si Vanart. Kalo cuma buat ngasih tau alasan tindakannya rasanya ga perlu sampai sepanjang itu. Kalo buat menarik simpati, well, timpang sama death scene dia. Rada useless sih.
Saya kasih 7. OC: Day
well, tadinya itu buat narik empati, tapi begitulah, deadline ini membunuhku :"
Hapusthanks sudah baca ya Nat :)
Huhahahahaha! Song ini saya ngebayanginnya kayak gabungan manggale dan kakak-kakak korea di running man. Tapi memang percampuran kepribadian dan cara bicaranya sangat ngegambarin latarbelakangnya yang multikultur. Penulisan dialog diselingi bahasa korea dan logat batak emang pas buat ngegambarin dia.
BalasHapusLalu di sini sempet diliatin juga latarbelakang dia dari indonesia dan gimana bisa dia ke korea. Sampe munculnya Jilbab Putih. Kayaknya Song ini punya semacam janji masa lalu sama di Jilbab ya?
Cerita makin seru ketika para Reverier ketangkep. Dan tiga di antaranya ngasih salam ke Vanart dengan cara yang beda2. Song juga kerasa paniknya sampe ngumpat2 waktu muncul di tengah demo sebelumnya.
Hm, ternyata yang berkhianat adalah Men. Tapi tetep ditegaskan juga sih si Men ini motif sama prinsipnya apaan. Cuma saya kurang nangkep maksud kismisnya. Pasalnya, kata ini muncul di judul sama bagian flashback Vanart.
Penulisan ga standar sama typo saya rasa karena ngetik kecepetan ya ini? Selebihnya asik dan udah terselesaikan konfliknya karena jelas tergambar di backstory tragis Vanart yang sebenernya ga beneran benci seni.
Hm, jadi di ending Song bakal ngeungkap huruf demi huruf? Sempet baca dikit prelim karena terarik pov 2 yang dipake umi sih cuma ga sampe akhir jadi blom tau huruf apa yang pertama... Mungkin nanti kubaca. Dan interaksi sama (dan sesama) dombanya entah kenapa cukup manis di entri ini ;)
Oya. Thanks udah baca Pucung! Hm, mungkin emang bawaannya aja aku lagi pengen nulis sesuatu yang gelap waktu itu, karena ada iblis. jadi maaf ya, narasinya emang jadi janggal di R1 ini ;))
8
PUCUNG
wkwkwkwkwk, sudah dibilang, abaikan aja itu kismis. cuma buat ada kesamaan rima aja itu XD
Hapusdan yah ._. Umi nulis di hari deadline 2 malam ga tidur :"
wkwkwkkw, ndak masalah sih itu, cuma kaget. karena pucung yang dulu dengan yang sekarang berbeda xD
makasih sudah baca Dan xD
Sebenarnya awak masih bingung dengan kombinasi korea+logat batak. G masuk ke pemahaman awak. wkwkwk
BalasHapusparagraf ini:
"Sementara itu, kalian menatap Huang dengan curiga. Kalian sangat yakin Huang adalah salah satu Reverier. Namun, bagaimana bisa seorang Reverier yang baru saja tiba bisa langsung menjadi tangan kanan dari tokoh utama cerita?"
berasa gempuran untuk entri awak yang tiba2 udah jadi tangan kanan steiner wkwkwkwkwk
sengaja ni yaaaa
dan tiba2 saja intrik penghiatan Huang ga berarti apa2 karena ga ada lanjutannya.
VanArt pun matek bukan karena skill Song.
bagaimana ini bisa terjadiiii????
Song cuma peduli sama si jilbab putiiih.
Nilai 7 untuk kebingungan yang menggalaukan ini.
kwkwkwkwkwkw, Waktu nulis Umi belum baca entry siapapun looh :>
Hapusdan semua itu terjadi karena nulis yang super duper buru-buru dikejar deadline. Jadi banyak sekali rencana yang tak tertuliskan :"
makasih bang sudha membaca
Hmmm ini... yep, narasi orang kedua kayanya memang ngga cocok untuk saya. Apalagi dengan penyajian begini. Saya somehow kurang nangkep karakter Song meski seharusnya dia tokoh utama. (Mungkin memang dia disajikan sebagai avatar pembaca? Sori, ndak baca yang prelim lol).
BalasHapusKonfliknya... sebenarnya nggak bisa dibilang nggak kerasa sih. Ceritanya mulai dengan lambat, tapi begitu menyentuh VanArt jadi lumayan menarik. Tapi habis itu jadi lambat lagi, dan penutupnya terkesan tiba-tiba.
7
Fahrul Razi
Anita Mardiani
Sebenarnya dia karakter utuh ._. Tapi yah gitu, karena ada satu dua plot device dan kepentingan turning point, ceritanya memang sengaja pake pov2
HapusPengakuan T~T mulai dari VanArt nulisnya buru-buru pengen kelar, jadi .. yaa... gitu T~T
Pov2 memang preferensi pembaca, begitupun King sudah ngebaca sampe abis, makasih :D
Woh mantep ini bang gayanye aye sukak bangett,,eh maksud aye mpok.. pas diawal gitu serasa kayak sinetron atau lebih miriplagi FTv gitu,,macem romansa cinta digabungin nuansa lokal asik,,tapi rada misteriuss juga siapa si jiblab putih tuh yak??
BalasHapusPas masuk di settingan nih mpok ye,, banyak adegan lucu kayak si huang nongol di kakusnye vanart,,ajaib bisa ngepas gitu terus dimaapin gitu aje,,aye pikirnye vanart bakal diktator asal penggal gitu imejnye..
Pokoknye mantep deh,, dan aye paling sukak bagian ngutip pengumuman panitia itu,,hehehee
Ponten 10 dari aye
Karakter aye : Harum Kartini
ini satu-satunya entri yang pake set F yang jelasin bagaimana Vanart mulai benci seni. dan kisahnya begitu nyaman diikuti dari awal hingga akhir dg pov duanya. di sini juga mulai terlihat hubungan alam mimpi dan song sendiri. nggak bisa bnyak komen. bahasanya juga bagus.
BalasHapus10
'Gimana caranya ini? Anjing lah!'
BalasHapusSial saya bener bener ngakak di bagian ini xD
Secara keseluruhan bagus, hanya battle nya saja yang kurang terasa bagi saya. Tapi diluar itu karakterisasinya bagus, menggambarkan VanArt, Zainurma, dll nya sangat kompleks, pertahankan!
Oh ya, narasi nya juga sempat terasa kaku di beberapa bagian, semangat lagi ya!
Nilai 8
Wasalam
Ganzo Rashura
Wiw, ini bacanya lumayan enak. Dan cukup ringan. Lebih ringan dibanding prelimnya. Ada juga unsur yang bikin penasaran. Kayak, keterkaitan Zainurma. Kalo di entri lain udah awam make Dewi Perang buat kanon, ini yg pertama pakai Zainurma kayaknya. Kayaknya saya tau arahnya xD
BalasHapusWell, saya cukup menikmati kalo dari pembawaan. Nggak ada yang terlalu mengganjal. Background Vanart juga oke. Jdi inget entri sendiri yg pakai hal sama buat OC tamu (Baron) dan tekniknya selang-seling pula. Hihi xD
Palingan yg agak ganggu itu, kenapa klimaksnya begitu doang. Song nyanyi dan semua terhenti begitu aja. ._.
Dan bagian paling memorable malah kencan kambing, TBH ._.
Hmm ... saya bingung mau komen apa lagi. Jadi saya titip 8 dulu.
-Sheraga Asher