Sambil membaringkan diri di atas sofa,
kuulurkan lengan kananku yang tengah menggenggam salah satu pisau Hexennacht ke
arah langit-langit ruangan. Redup cahaya lampu terlihat memantul pada bilah
tajamnya yang berwarna hitam mengkilap. Angie yang sedari tadi memanggilku dari
ruangan sebelah tak kuhiraukan. Aku yang tengah berbaring, kini sedang melamun
dan menelusuri kejadian yang telah kualami, di dalam pikiranku.
Setelah si kepala bantal yang
memperkenalkan dirinya dengan nama Ratu Huban dan Oom-oom dengan dandanan mafia
yang bernama Zainurma itu memberikan hadiah berupa seekor domba padaku, mereka kemudian
mengatakan bahwa aku telah terpilih menjadi salah satu “Reverier” yang berhak
untuk mengikuti sebuah turnamen demi mewujudkan mahakarya—impian yang kumiliki.
Impian.
Satu-satunya hal yang kuimpikan hanyalah untuk bisa
hidup dan menikmati segala hal yang bisa kudapatkan di dunia ini. Menghadapi
hari demi hari sambil tertawa, menikmati hidangan lezat yang tersaji di meja,
bermain-main bersama teman yang kumiliki...
...menjalani
sisa hidupku bersama dengan seseorang yang menerima diriku apa adanya...
Bagi kebanyakan orang, hal-hal seperti itu mungkin
terdengar normal. Tapi bagiku, impianku itu adalah segalanya. Aku tak bisa
mendapatkan hal-hal yang bisa didapatkan oleh orang normal, tidak dengan
keadaan fisikku yang seperti ini. Darahku yang telah bermutasi oleh miasma
terus menggerogoti tubuhku dari dalam dan keadaan ini akan menjadi semakin
parah. Aku sendiri tidak mengetahui kapan tubuh ini akan hancur sepenuhnya.
Oleh karena itu, berita tentang turnamen dimana aku
bisa mewujudkan impianku tampak bagaikan secercah sinar harapan dalam hidupku.
Bahkan, aku menurut saja ketika kedua orang itu membawaku ke sebuah tempat yang
mereka sebut sebagai Museum Semesta.
Akan tetapi, apa yang menungguku disana? Sebuah
pemandangan dimana para Reverier yang
sama sepertiku diubah menjadi patung tanah liat karena performa mereka tak
memuaskan.
PATUNG. TANAH. LIAT.
Oi! Hei! Yang benar saja! hanya karena performa
mereka dinilai tak memuaskan, mereka diubah menjadi karya seni buruk rupa
seperti itu? Ah, apa mungkin Zainurma dan si kepala bantal itu ternyata memang
mencari tumbal persembahan untuk sosok patung yang berbentuk seperti otak disana
dengan menggunakan turnamen ini sebagai kedok mereka? Jangan-jangan seluruh
peserta akan dijadikan sebuah patung buruk rupa, lalu...
‘Oke,
Stop!’ batinku, ‘Tenangkan
dirimu, Catherine Bloodsworth. Berpikir terburu-buru hanya akan membuatmu panik!’
Masih banyak hal yang belum kuketahui, dan
sepertinya mereka memang menyembunyikan banyak rahasia. Untuk sementara ini,
lebih baik aku bersiap demi menghadapi apa yang akan terjadi selanjut...
“Mbeeeeeeek!”
“Hngghhh!!”
Seekor domba berbulu putih tebal melompat dan menjatuhkan
dirinya diatas tubuhku yang tengah nyaman berbaring. Badan gemuknya yang
tertutupi bulu lembut tampak gemetar dan napasnya terlihat terengah-engah
dengan mulut yang terbuka lebar mendekati wajahku.
Eh? Hah? Domba itu hewan pemakan rumput, kan? lalu
kenapa mulutnya tampak menganga, seolah ingin memakan diriku?! Aku yang tengah
panik mencoba untuk mendorong hewan yang menindihku itu, lalu terdengar suara
bergemuruh dari dalam perutnya.
“Mblerghhhh!”
“Gyaaaaahhhh!!”
Aku berteriak kaget ketika makhluk itu memuntahkan
sepucuk surat yang basah oleh air liur dalam jumlah banyak di wajahku. Angie
yang mendengar jeritanku kemudian berlari mendekat dengan langkah terburu-buru.
Melihat wajahku berlumuran air liur domba yang tengah menindih tubuhku, wanita
berjas dokter itu kemudian menatapku sambil mengernyitkan dahi.
“Emh... kukira kau sedang tidur karena tak menjawab
panggilanku. Apa kau begitu frustasi sampai menerima seekor domba untuk menjadi
partnermu?” Angie bertanya sambil memasang wajah jijik, “laki-laki ataupun
perempuan tidak masalah, tapi setidaknya carilah seorang manusia. Itu lebih
baik.”
“Berhenti bicara yang tidak-tidak dan bantu aku
untuk menyingkirkan binatang mesum ini!!”
-Catherine
Bloodsworth – 1-
“Jadi...” ucapku pelan, “apa isi surat itu?”
Setelah pengalaman menjijikkan tadi, aku segera
membersihkan diri dan pakaianku. Angie yang duduk di kursi sofa tempatku tidur
terlihat sedang membaca isi amplop dengan logo hati yang dimuntahkan oleh dombaku
sambil mengenakan sarung tangan steril.
Merasa malas untuk mengambil kursi lain, kujatuhkan
diriku ke punggung dombaku yang berada di lantai untuk duduk. Binatang itu
mengembik dan tampak gembira saat aku duduk bertopang kaki pada dirinya.
Golongan darahmu apa? M? Menjadi tempat duduk seorang gadis cantik seperti
diriku membuat binatang masokis sepertimu bahagia, hmm? Berterima kasihlah
karena tuanmu ini tidak mencoba untuk memasak dirimu menjadi Sheperd Pie setelah apa yang kau lakukan
tadi!
“Invasi Bentala Vayu,” Angie menjawab pertanyaanku,
“di surat ini tertulis sebuah desa bernama Bentala Vayu tengah mengalami krisis
akibat serangan sekumpulan naga.”
“Bentala Vayu? Aku tidak pernah mendengar nama tempat
itu sebelumnya, bagaimana caranya aku bisa pergi kesana?”
“Mbeeeeeek!” Domba yang tengah kududuki mengembik
pelan.
“Hmm? Kau bisa mengantarku pergi?”
Dombaku menjawab pertanyaan itu dengan mengangguk
berulang kali. Binatang ini bisa mengerti bahasa manusia? Aku jadi penasaran
bagaimana si kepala bantal itu melatih makhluk ini.
“Hmm... akan sulit memanggilmu jika kau tak memiliki
nama. Baiklah! Mulai sekarang kupanggil kamu dengan nama Mutton!”
“Cara penamaanmu yang unik itu tetap tidak berubah
ya,” Angie mengomentari nama yang kuberikan pada dombaku sembari melempar
kertas surat yang telah dibacanya ke atas meja.
Sang domba yang baru saja kuberi nama tampak
mengangguk senang dan mulai mengambil ancang-ancang. Tak sampai tiga detik
berlalu, Mutton kemudian berlari ke arah ruang tamu lalu melompat keluar
jendela. Angie yang mengulurkan tangannya untuk menarikku turun kalah cepat
oleh gerakan domba yang hendak membawaku pergi.
“Ah! Oiii!! Aku tidak bilang kita akan pergi
sekarang! Putar! Putar lagi ke belakang!!”
Aku mencoba untuk memutar arah lari Mutton dengan
menarik-narik tanduknya, namun terlambat. Sebuah lubang hitam yang tampak
seperti terowongan muncul di tanah dan Mutton melompat masuk kedalamnya.
Pemandangan di belakangku tampak semakin mengecil dan menghilang dalam
kegelapan. Ah, perasaan ini sama seperti ketika aku sedang bermimpi sebelum
melawan kakek gila itu.
Di ujung pandanganku, dapat kulihat lingkaran cahaya
yang sepertinya merupakan pintu keluar dari terowongan gelap ini. Angin kencang
dapat kurasakan menerpa tubuh kami saat pintu keluar semakin dekat. Cahaya
senja yang menyilaukan membuatku sedikit menyipitkan mata, namun Mutton yang
tampak tak terpengaruh melompat keluar begitu saja dari terowongan gelap itu.
Setelah keluar, kini kami berada di tengah hutan
dengan pohon kayu raksasa yang tak kukenali jenisnya. Angin yang bertiup
semakin kencang membuat daun kering dari pepohonan di hutan sekitarku menjadi
berguguran. Banyak hewan yang tak pernah kulihat sebelumnya tampak berlarian—tidak
lebih tepatnya beterbangan di udara.
Beberapa ekor ular bersayap terbang bagaikan
berenang di perairan. Tidak hanya ular, makhluk lain seperti ikan dan laba-laba
pun tampak turut memanfaatkan angin untuk bergerak. Melihat kumpulan hewan liar
itu aku merasakan kejanggalan. Mereka semua bergerak, pergi menuju ke arah yang
sama.
‘Apa
mereka mengejar sesuatu?’ Aku bertanya dalam hati.
Kutendang sisi perut Mutton agar dia berlari lebih
kencang. Saat berada di belakang kerumunan hewan liar itu, kufokuskan
pandanganku ke depan dan dapat kulihat binatang-binatang liar itu mengejar seseorang.
Ah, tidak ada urusannya denganku, lebih baik kubiarkan saja orang itu...
Hmm...?
Seorang anak perempuan yang membawa tas selempang
dengan rambut coklat berkepang dua berlari dengan napas terengah-engah di depan
sana. Rok pendek dan kaus kaki hitamnya robek di beberapa tempat, sepertinya ia
juga sudah mulai kehabisan tenaga untuk berlari.
Oh...?
Ohhh...!?
“Lari lebih kencang lagi, Mutton!” Aku menendang
dombaku lebih keras.
Mendapati perlakuanku yang cukup kasar, Mutton
mengembik dengan lantang sambil mempercepat larinya. Napasnya terengah-engah,
namun wajahnya tampak bahagia. Kau senang kutendang? Dasar binatang mesum.
Sang gadis yang telah kehabisan tenaga itu kemudian
jatuh tersungkur tak jauh di depanku. Dari yang kulihat, kaki anak itu tersandung
oleh akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Mutton yang melesat dengan kecepatan
tinggi mulai menyusul para hewan yang hendak menerkam anak malang itu. Dengan
segera, aku mengulurkan tanganku untuk menangkap dirinya dan berhasil!
Loli imut, GET!!
Setelah kuraih dirinya yang terjatuh, kubawa dia
pergi menjauh dari rombongan hewan buas kelaparan yang hampir memangsanya. Ah,
anak ini bukannya salah satu Reverier yang berada di museum semesta? Hmm,
biarlah. Yang penting aku mendapatkan satu orang yang bisa kumintai keterangan
tentang tempat ini.
-Lilia
Fiennes – 1-
Langit senja yang berwarna kemerahan tampak semakin
gelap tatkala sang surya mulai ditutupi oleh awan. Angin malam yang berhembus
kencang pun membuat tubuhku gemetar kedinginan. Melihat diriku yang menggigil,
wanita di depanku melepaskan mantelnya dan memberikannya padaku. Aku, Lilia
Jane Fiennes, kini tengah beristirahat setelah berlari sekuat tenaga untuk
menghadapi salah satu krisis terbesarku.
Usai pergi meninggalkan desa Bentala Vayu untuk mengejar
seseorang bernama Seth, sekawanan binatang buas di hutan mencoba untuk
menjadikanku mangsa mereka. Keadaan menjadi semakin parah ketika aku jatuh
tersandung oleh akar pohon. Dalam keadaan lelah sehabis bertempur melindungi
desa, aku pasrah menerima nasib yang akan menimpa diriku. Untung saja seorang
wanita yang tengah melewati hutan itu datang menolong. Melihat dirinya yang
mengendarai seekor domba, sepertinya ia juga sama sepertiku. Seorang Reverier.
“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya,
umm...”
“Hmm? Ah, namaku Catherine,” wanita itu
memperkenalkan dirinya sambil tersenyum, “Catherine Bloodsworth.”
“Terima kasih telah menyelamatkan saya, nona
Catherine. Saya berutang budi kepada anda. Nama saya Lilia Fiennes, senang
berkenalan dengan anda.”
“Aww... jangan formal begitu, panggil saja aku
dengan sebutan Cathy dan aku akan memanggilmu Lilia, oke?”
“Eh...? Ah... tapi...”
“Aku memaksa,” pinta dirinya, “oke?”
“Umm... baiklah kalau begitu, Kak Cathy...?”
-Catherine
Bloodsworth – 2-
Kak...
Kakak.
KAKAK!
Ahhh! Betapa senangnya! Untuk diriku yang merupakan seorang
putri tunggal, dipanggil kakak oleh anak semanis dia seperti sebuah berkah! Heeheeheehee...
Ah! Gawat, gawat. Saking senangnya, hampir saja aku melupakan keadaan di
sekitarku dan memasuki duniaku sendiri.
“Hmm... hmm! Ada apa, Lilia?”
“Kakak juga seorang Reverier sepertiku, kan? Apa
yang sedang kakak lakukan di hutan itu?”
“Ahh, kakak baru saja sampai ke tempat ini,” aku
menjawab pertanyaan Lilia dengan santai, “secara kebetulan, aku melihat kawanan
hewan mengejar dirimu yang terjatuh. Untung saja aku sempat menyelamatkanmu.”
“Ya... sekali lagi, terima kasih...”
“Sudah-sudah, tak usah dipikirkan. Daripada itu, kakak
ingin bertanya tentang situasi sekarang. Lilia sudah lebih dulu berada di
tempat ini kan? Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Saya... Ah! Aku baru berangkat dari desa Bentala
Vayu untuk mengejar seseorang,” melihat wajahku yang sedikit cemberut, Lilia
mengoreksi ucapannya. “Namanya Seth, dari informasi yang kudengar di desa,
ialah dalang penyerangan ini.”
“Begitu, ya. Berarti desa itu sudah diserang?”
“Iya, di sana juga ada seorang Reverier lagi. Namanya
Serilda, Serilda Artemia. Ia dan beberapa penduduk mencoba untuk melindungi
desa dengan melawan kumpulan naga yang menyerang, sementara aku mencoba untuk
mencari Seth.”
Satu orang Reverier lagi. Sejauh ini sudah ada tiga
orang yang berkumpul di tempat ini. Matahari sudah terbenam, mengejar seseorang
dalam keadaan gelap gulita di tempat seperti ini terdengar berbahaya. Apa boleh
buat, lebih baik aku pergi mengunjungi desa itu terlebih dahulu bersama dengan
Lilia.
Usai mendengar laporan Lilia, aku meminta dirinya
untuk mengantarku ke desa. Lilia menyetujui usulku tanpa berpikir panjang. Melihat
penampilannya yang tampak semrawutan dengan pakaian robek di sana-sini,
sepertinya ia ingin kembali ke desa untuk beristirahat sejenak dan menenangkan
diri.
Setelah menaiki Mutton, Lilia yang duduk di depanku
mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas selempang miliknya. Pada bagian sampul
buku itu tertulis Basic Elementals Magic
for Idiot. Fire Edition. Tunggu sebentar, anak ini seorang penyihir?
“Lilia, kau seorang penyihir?”
“Eh? Iya. Tapi aku belum terlalu mahir, sih...”
Lilia menjawab pertanyaanku sambil memalingkan wajahnya. Apa aku menginjak
topik ranjau, ya?
“Ka... kalau begitu, apa kau tahu sesuatu tentang
miasma?!”
“Miasma... maksud kakak kabut beracun yang tercipta
dari kumpulan energi negatif?”
Bingo!
Tak kusangka aku bisa mendapatkan info soal miasma
dari Reverier lain dalam waktu secepat ini. Sebelumnya, aku pernah bertanya
pada Angie mengenai tiap detil dari kabut beracun yang tengah menjangkiti
tubuhku ini. Namun, karena ia hanya turut membantu dalam pembuatannya saja, Angie
tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
‘Yang bisa
kuberitahu padamu hanya dari sisi ilmu pengetahuan pasti, cobalah cari
informasi lain dari sudut pandang yang berbeda.’ Itu adalah kalimat
terakhir yang ia ucapkan saat aku bertanya mengenai miasma pada dirinya.
“Apa kau tahu cara untuk membersihkan miasma?”
“Memangnya ada apa dengan miasma?” tanyaku.
“Umm... itu...” aku merasa segan untuk memberitahu
Lilia apa yang terjadi di masa laluku, tapi mungkin tidak akan datang lagi
kesempatan untuk bertanya mengenai miasma kepada seorang penyihir.
“Kau tahu, kakak ini... sebenarnya terserang
penyakit yang mematikan...”
-Lilia
Fiennes – 2-
Usai menciptakan api untuk menerangi perjalanan kami
menuju desa Bentala Vayu, kak Cathy menceritakan sedikit tentang masa lalunya
padaku. Ia mengatakan bahwa miasma telah membuat darahnya berubah dan hidupnya
takkan berlangsung lama. Oleh karena itu, ia menjadi seorang Reverier untuk
mencari cara menyembuhkan penyakitnya.
Aku merasa sedikit janggal setelah mendengarkan masa
lalunya. Dari semua buku yang kubaca, tidak ada satu pun informasi mengenai
tubuh seseorang bermutasi akibat konsentrasi miasma yang tinggi. Walaupun
begitu, tidak ada hal yang tidak mungkin dengan sihir. Begitulah kutipan
kata-kata dari orang bijak yang pernah kubaca dari koleksi buku sihirku.
“Untuk membersihkan miasma, diperlukan energi
positif yang cukup besar. Tergantung seberapa pekat miasma yang ingin
dibersihkan, konsentrasi mana maupun prana yang telah terkumpul harus segera
dimurnikan oleh kekuatan suci dan cara paling mudah adalah dengan menggunakan
relik yang... errr... kak Cathy?”
Wanita yang tengah mendengarkan penjelasanku itu
tampak kebingungan. Aku memberikan penjelasan tentang miasma dengan asumsi bahwa
ia mengerti tentang sihir, apa mungkin kak Cathy tak pernah belajar menyihir,
ya? Hmm... sulit juga untuk menjelaskannya dengan istilah yang lebih mudah
dimengerti oleh umum.
“Hmm... sihir pengobatan bukan keahlianku, tapi
mungkin aku bisa mendapatkan informasi lebih jika bisa kembali pulang dari
tempat ini.”
Jika aku bisa kembali dari tempat ini, aku bisa
mencari info tambahan dari buku-buku di perpustakaan. Untuk seseorang yang
telah menyelamatkan diriku, hanya hal ini yang bisa kulakukan demi membalas
kebaikannya.
“Yang benar?! Ah... akhirnya. Setelah sekian lama
mencari, akhirnya aku menemukan petunjuk untuk menyembuhkan penyakitku. Terima
kasih, Lilia!!” Sambil mengucapkan terima kasih, kak Cathy mengulurkan
tangannya, lalu memelukku dari belakang.
“Hyah! Ja... jangan peluk-peluk sembarangan!”
“Eeh... habis dingin, sih. Mantelku kan dipakai sama
Lilia, jadi cuma cara ini yang tersisa. Hehehe...”
Merasakan kehangatan tubuhnya yang memelukku dari
belakang, aku hanya bisa diam dan memalingkan wajahku yang merah merona
sepanjang perjalanan.
-Serilda
Artemia – 1-
Suara
isak tangis menggema di sekitarku ketika para penduduk desa melihat jasad dari
saudara sekampung mereka bergelimpangan di sekitar reruntuhan bangunan desa.
Setelah kawanan naga menyerbu tempat ini secara tiba-tiba, aku memimpin para penjaga
desa untuk menahan serangan kawanan binatang buas itu bersama dengan seorang
Reverier lain bernama Lilia.
Pada awalnya, mereka merasa ragu
karena diperintah oleh seseorang yang baru mereka temui. Akan tetapi, secara
lambat laun mereka mulai menuruti perintah yang kuberikan setelah melihat
kemampuan memanahku di medan tempur. Kami pun berjuang keras untuk memukul
mundur kawanan naga yang mencoba untuk membumihanguskan desa.
Ketika sebuah cahaya misterius tampak di kejauhan,
kuperintahkan Lilia untuk memeriksanya. Tetua desa mengatakan bahwa cahaya itu berasal
dari sebuah artefak yang mampu mengontrol pikiran naga milik seorang pria
bernama Seth. Sudah sekitar satu jam berlalu semenjak kepergiannya yang
mengikuti cahaya itu ke dalam hutan, namun ia belum juga kembali. Langit kini
sudah menjadi gelap, kuharap dia baik-baik saja diluar sana.
“Berengsek,” seorang gadis berambut merah terdengar
mengutuk tindakan dari dalang di balik penyerangan ini. Matanya yang membara
kini menatap keadaan di sekelilingnya dengan ekspresi wajah muak. “Membantai
orang lain sesuka hati tanpa mengotori tangan sendiri, benar-benar rendahan!”
Airi Einzworth namanya, ia adalah seorang Reverier
sepertiku yang secara kebetulan muncul ketika para naga meluluhlantakkan desa
Bentala Vayu ini. Ia dan kemampuan Catastrophe miliknya merupakan bantuan besar
bagi kami dalam memukul mundur pasukan musuh. Dari nada bicaranya, gadis itu
terdengar amat marah pada ulah sang pelaku pembantaian, Seth.
Setelah mengambil busur dan quiver milikku yang tergeletak di lantai, aku segera meminta para
penduduk desa yang selamat untuk memindahkan mayat-mayat yang berada di sekitar
agar bisa dimakamkan. Musuh telah menghentikan serangan mereka, namun bukan
berarti masalah ini sudah selesai. Waktu tenang yang berharga ini harus
dimanfaatkan sebaik mungkin untuk beristirahat.
Saat hendak menyuruh Airi dan para penjaga desa lain
untuk mengistirahatkan diri, aku melihat Lilia kembali ke desa menaiki seekor
domba, bersama dengan seorang wanita lain.
“Nona Serilda! Apa anda baik-baik saja?” Lilia
berlari ke arahku dengan panik.
“Seperti yang dapat kau lihat, aku baik-baik saja.
Keadaanmu sendiri bagaimana? Aku benar-benar khawatir karena kau meninggalkan
desa cukup lama.”
“Saya juga dalam keadaan baik, semuanya berkat
bantuan dari beliau,” Lilia memperkenalkan wanita yang bersamanya sejak tadi,
“nona Catherine... Ah, maksudku kak Cathy menyelamatkan saya ketika dikejar
kawanan binatang buas di dalam hutan.”
“Hmm... yap! Anak baik, anak baik,” wanita yang
dipanggil Cathy itu membelai rambut Lilia dengan lembut. Diperlakukan seperti
anak kecil membuat pipi Lilia semakin merah merona, entah karena ia merasa malu
atau kesal. “Namaku Catherine Bloodsworth, panggil Cathy saja kalau kepanjangan.
Salam kenal.”
“Hee... bertambah lagi dua orang Reverier di desa
ini?” Airi yang mendengar pembicaraan kami datang mendekat, “Namaku Airi
Einzworth. Airi atau Ai, terserah kalian mau memanggilku dengan sebutan apa.”
Empat orang Reverier kini telah berkumpul di desa, ini
merupakan sebuah kesempatan bagus. Setelah memperkenalkan diri, kami memasuki
rumah tetua desa yang terletak di dekat gerbang menuju jalan setapak ke arah
sebuah pohon raksasa yang berdiri dengan gagah, menaungi desa Bentala Vayu.
“Terima kasih, para pendatang. Karena bantuan
kalian, kami bisa bertahan hingga saat ini,” sang tetua desa mengucapkan terima
kasihnya pada kami, Reverier yang membantu melindungi desa.
Melihat seorang manusia setengah burung berbicara
layaknya orang normal, ekspresi wajah wanita bernama Cathy yang diperkenalkan
oleh Lilia tampak berbinar.
Di dunia ini terdapat ras lain selain manusia, yaitu
Archan. Tubuh bangsa Archan mirip seperti manusia, hanya saja mereka memiliki
sayap dan kepala burung. Dengan kekuatan fisik yang lebih tinggi dari orang
pada umumnya, mereka bertugas sebagai penjaga desa sementara para manusia
bekerja di ladang.
“Mohon maaf, karena kami hanya bisa menyuguhkan ala
kadarnya saja. Mungkin hanya sedikit, tapi silakan dinikmati.”
Usai sambutan sang tetua desa, beberapa orang
penduduk yang tersisa membawakan jamuan berupa manisan buah serta kudapan lain.
Mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan setelah serangan musuh terdengar
cukup aneh, tapi karena hal ini bisa meningkatkan moral prajurit yang tersisa,
kami menerimanya dengan senang hati.
“Aku minta perhatian kalian semua sebentar,” tak
ingin membuang waktu, aku mulai berbicara. “Mungkin ucapanku akan terdengar
merusak suasana, tapi kita tidak boleh lengah. Lawan bisa saja menyerang secara
tiba-tiba. Oleh karena itu, lebih baik kita mengatur strategi dalam menghadapi musuh.”
Sambil membuka peta yang kudapat dari salah seorang
warga, kujelaskan beberapa hal penting yang dapat digunakan di medan pertempuran.
Bentala Vayu merupakan sebuah desa yang terletak diantara lembah dari dua gunung
yang berdekatan. Posisinya yang berada di tempat sempit dan hanya terdapat satu
jalan untuk keluar-masuk desa membuat tempat ini cukup terisolir.
Tidak hanya itu, angin yang berhembus kencang
melewati lembah seolah menciptakan dinding penghalang bagi mereka yang mencoba
untuk menerobos tempat ini dari udara. Dengan kondisi seperti ini, Bentala Vayu
tampak bagaikan sebuah benteng yang tak bisa ditembus oleh prajurit manapun.
Masalahnya, musuh kali ini bukanlah prajurit Human
maupun Archan. Musuh yang harus kami lawan adalah bangsa naga yang terkenal
akan kekuatan mereka. Angin kencang yang bertiup di atas desa akan menyulitkan
makhluk itu untuk terbang menerebos tempat ini, tapi bagaimana dengan mereka yang
mencoba memaksa masuk dari depan?
Saat kami mendiskusikan berbagai hal, terjadi
keributan di luar rumah. Awalnya, aku mengira musuh kembali menyerang desa ini,
namun pemandangan yang kulihat di luar berkata lain.
Para Archan yang tengah menjaga gerbang menuju pohon
raksasa suci yang berada di samping desa tampak terikat oleh sulur-sulur
tanaman liar. Mereka mencoba untuk melepaskan diri dengan meronta, namun tak
berhasil. Ikatan sulur yang begitu kencang merenggut kebebasan bergerak mereka
sepenuhnya.
Diantara para Archan yang tak berdaya itu, seorang
wanita berpakaian serba hitam berdiri dengan anggun. Mata indahnya yang
berwarna hijau menatap kami yang berada di pintu masuk rumah tetua desa. Dari
pakaiannya yang tampak asing di dunia ini, kami langsung mengetahui siapa
dirinya.
Seorang Reverier.
Melihat tindakan wanita bermata hijau yang berada di
tengah sulur tanaman itu, Airi yang sedari tadi tampak tenang kemudian melompat
keluar sambil mengepalkan tangannya. Setelah mengaktifkan kekuatan Catastrophe
miliknya, ia mencoba untuk melesatkan pukulan pada wanita itu.
Sang perempuan berpakaian serba hitam itu tidak
berusaha untuk mengelak. Tinju yang dilancarkan oleh Airi kemudian menghantam
objek yang sama sekali lain dengan target awalnya. Sebuah pohon tumbuh secara
cepat, melindungi diri sosok anggun bermata hijau yang tak bergeming sedikitpun
dari hantaman bogem mentah yang mengarah pada dirinya.
“Ah, tidak bisakah kalian memberikan sambutan yang
lebih sopan?” Wanita itu berbicara dengan nada tenang sambil mengangkat kedua
tangannya, “Aku hanya ingin melihat pohon raksasa itu dari dekat. Tidak kurang,
tidak lebih.”
-Airi
Einzworth – 1-
Suara benturan keras terdengar nyaring saat sarung
tangan Orichalcum yang menutupi kepalan tanganku menghantam batang kayu dari
pohon yang tumbuh secara tiba-tiba di samping dirinya. Dengan percaya diri, ia
melangkah ke samping diriku yang masih dalam keadaan terkejut karena ia telah
berhasil menahan seranganku.
“Ah, tidak bisakah kalian memberikan sambutan yang
lebih sopan? Aku hanya ingin melihat pohon raksasa itu dari dekat. Tidak
kurang, tidak lebih.”
“Tch, lebih sopan? Setelah apa yang kau lakukan pada
mereka?” setelah melirik para Archan yang terlilit sulur pohon, aku kembali
memasang kuda-kuda bertarung untuk menghadapi serangan balasan darinya.
“Oh,” wanita itu menjentikkan jarinya yang kemudian
disusul oleh hilangnya akar-akar pohon yang melilit para penjaga untuk
membebaskan mereka, “itu karena mereka menghalangi jalanku.”
“Haah? Jangan bercanda! Kau pikir kami akan percaya
omong kosongmu? Kau kemari untuk menghancurkan pohon pelindung desa ini kan!?”
“Namaku Samara Yesta. Kalian semua merupakan
Reverier yang sama sepertiku, bukan?”
“Hei! Dengarkan aku, sialan!”
“Hahh... sebelum kau ingin didengarkan, maka
dengarkan dulu ucapan orang lain. Kau bahkan tak bisa memperkenalkan dirimu
sendiri, kepala wortel?”
“Siapa yang kau sebut dengan kepala wortel, hah!?”
Melihat situasi menjadi semakin memanas, Serilda
kemudian datang mendekat untuk melerai kami. Gah! Sungguh menjengkelkan! Datang
secara tiba-tiba dan membuat kekacauan, dasar sok!
“Namaku Serilda Artemia dan dia Airi Einzworth.
Seperti yang kau bilang, kami adalah Reverier yang juga dikirim ke tempat ini
untuk menyelesaikan masalah di desa ini.”
“Bisa ceritakan lebih detail?”
“Seorang pria bernama Seth mengendalikan kawanan
naga dan mencoba untuk menghancurkan desa ini, agar ia bisa menghancurkan pohon
suci. Entah bencana apa lagi yang akan terjadi jika ia berhasil mencapai
tujuannya,” jelas Serilda.
“Hei! Serilda! Kau percaya begitu saja pada orang
ini? Bisa jadi dia seorang mata-mata dari pihak musuh!”
“Hhh... aku malas meladeni ucapanmu. Tapi jika
kubiarkan saja, sepertinya kau akan terus mengoceh tentang hal yang
tidak-tidak,” Samara membalas ucapanku, “Aku. Tidak. Memiliki. Hubungan.
Apapun. Dengan. Seth. Jelas? Lagipula, mana mungkin aku berniat menghancurkan
tumbuhan indah semegah itu.”
“Khh! Jadi kau benar-benar tak berniat menghancurkan
tempat ini?”
“Ah! Sudahlah! Pikirkan saja sendiri, berbicara
denganmu seperti tak ada habisnya.”
Saat aku hendak membalas ucapannya, suara lolongan
aneh terdengar dari kejauhan. Para penduduk yang mendengarnya langsung panik
dan berlarian. Serilda yang telah melerai kami langsung memasang wajah serius
dan mulai memberi perintah.
“Musuh kembali datang! Cepat bersiap untuk
menghadapi lawan! Ingatlah posisi masing-masing! Airi dan Cathy, hadapi lawan
bersama pasukan penjaga desa di garis depan! Aku dan Lilia akan memberikan
bantuan dengan serangan jarak jauh!”
“Ah, sudah tiba saatnya bagiku untuk tampil, ya.”
Wanita bernama Cathy itu kemudian menarik sebuah belati dengan permata berwarna
merah tertanam pada bagian pangkal bilahnya, “Mmmh... aku ingin segera
menyelesaikan semua ini, lalu pergi tidur.”
“Samara, maaf. Padahal kau baru saja datang, tapi
apa kau bisa memperkuat dinding luar desa dengan kemampuanmu?”
“Tidak masalah,” Samara menjawab pertanyaan Serilda
dengan enteng, “toh, aku juga ingin cepat menyelesaikan masalah ini dan kembali
ke rumah.”
Huff... aku menarik napas dalam-dalam lalu
mengepalkan kedua tanganku. Baiklah! Sekarang lupakan dulu soal cewek hutan itu
dan fokus lindungi desa dari serangan musuh! Takkan kubiarkan satu ekorpun dari
kalian memasuki desa!
Usai mengambil sepasang tonfa andalanku, kami
bergerak menuju gerbang keluar desa yang mengarah ke hutan. Di kejauhan,
puluhan ekor naga tampak bersiap untuk menyerbu desa. Bentuk dan ukuran tubuh
mereka bervariasi, ada yang berjalan menggunakan empat kaki, ada juga yang
terlihat lebih seperti manusia kadal. Walaupun termasuk bangsa naga, kekuatan
mereka masih berada pada tingkat paling bawah.
Setelah seluruh pasukan garis depan berkumpul,
serilda yang tengah menaiki domba miliknya mengambil ancang-ancang untuk
menembakkan panah bersama dengan para penjaga lain.
Tak sampai lima detik berlalu, para naga kemudian
berlari mendekati desa. Melihat kejadian itu, Serilda dan para pemanah lain
melepaskan tembakan. Langit malam yang diterangi oleh cahaya bulan kini tampak
dipenuhi oleh anak panah yang tak terhitung jumlahnya dan mulai menghujani
lawan.
Begitu barisan depan pasukan musuh lumpuh, aku
segera mengaktifkan kekuatan Catastrophe milikku dan menerobos pasukan lawan.
Di hadapanku, kini berdiri seekor naga yang berdiri menggunakan empat kaki
dengan panjang tubuh mencapai dua setengah meter.
Setelah mengumpulkan kekuatan di tangan kananku,
kuhantam makhluk itu dengan menggunakan tonfa andalanku hingga tercipta ledakan
yang cukup besar. Sisik makhluk itu pun hancur, memperlihatkan kulit yang
berada di bawahnya.
“Airi! Mundur! Kau berada terlalu jauh di depan!”
Mendengar teriakan Serilda aku mencoba untuk
melompat ke belakang, namun tak kusangka ternyata ada seekor naga lain yang
mencoba untuk menyerangku. Naga yang satu ini berdiri dengan dua kaki dan ia
tengah bersiap menggunakan cakar tajamnya untuk menebas.
Dalam kondisi yang berbahaya itu, sebilah pisau
hitam dengan permata berwarna merah melesat cepat, menusuk leher naga yang
hendak menghabisi diriku. Cathy yang berada di belakangku kemudian berlari ke
depan untuk mengambil pisaunya kembali sambil mengoyak leher manusia kadal itu.
“Mmh... terlambat!” dengan menggunakan tonfa
milikku, kuhantam naga yang sisiknya telah terkelupas dengan kekuatan penuh, “Kemana
saja kau?”
“Tenang sedikit kenapa, sih?” Cathy menjawab
pertanyaanku dengan nada tidak puas, “Aku tidak sekuat dirimu, tahu.”
Usai mengucapkan kata-kata itu, kami mundur beberapa
langkah untuk mengambil jarak aman. Seketika itu juga, semburan api dan hujan
anak panah kembali menelan musuh yang mencoba untuk mengejar kami.
Beberapa musuh yang selamat dari serangan itu
mencoba untuk kembali berdiri. Akan tetapi, dengan sigap Cathy menggunakan sepasang
belati hitam miliknya untuk menghabisi mereka. Baru kali ini aku melihat pisau
yang mampu memotong musuh dengan begitu rapi.
Puluhan ekor naga pasukan musuh telah kami kalahkan,
tapi akhir pertarungan ini masih belum jelas terlihat. Naga-naga itu kembali
bergerak maju tanpa rasa takut ketika melangkahi mayat-mayat sebangsa mereka. Kekuatan
pengendalian naga yang digunakan oleh Seth sepertinya begitu kuat hingga para
pasukan ini dapat dikendalikan sepenuhnya.
“Gelombang kedua datang! Hati-hati!” Serilda kembali
memperingatkan para pasukan yang berada di depan.
Musuh kami kali ini tampak lebih besar dan kuat.
Sial, menghadapi gelombang pertama saja sudah cukup merepotkan, sekarang muncul
lagi makhluk yang lebih kuat. Para prajurit Archan pun dibuat kewalahan oleh
para naga yang memiliki sayap. Cukup banyak dari mereka yang terluka dan
membutuhkan perawatan, sementara pasukan musuh terus berdatangan seolah tak ada
habisnya.
“Ada cahaya misterius di arah jam dua!” salah
seorang prajurit Archan yang bertindak sebagai pengintai berteriak di atas
kami, “Seth! Dia berada di dekat hutan!”
Hah! Akhirnya muncul juga dalang penyerangan ini.
Tapi, dengan jumlah musuh yang begini banyak bagaimana caranya aku bisa pergi
kesana? Serilda yang seolah mengerti jalan pikiranku kemudian memberi perintah
lain.
“Airi dan Cathy, kejar musuh! Samara, tolong buat
jalan untuk mereka!”
“Serahkan padaku!” Samara yang telah menciptakan
dinding pohon untuk melindungi desa muncul secara mendadak sambil menaiki dahan
pohon yang memanjang.
Saat kakinya menyentuh tanah, akar-akar pohon
mencuat keluar dan menembus barisan musuh yang mencoba untuk menerjang,
menciptakan jembatan bagi kami berdua untuk melewati musuh yang tersisa.
“Good job, cewek hutan!”
“Siapa yang kau panggil cewek hutan, dasar kepala
wortel!!”
Tanpa mempedulikan ucapan Samara, aku menaiki jembatan
kayu itu bersama Cathy. Cahaya berwarna biru terang dapat kulihat bersinar
tepat di samping hutan. Sepertinya, karena ia melihat sebuah dahan pohon
raksasa yang tumbuh secara tiba-tiba, Seth menjadi lebih waspada dan mencoba
untuk berlari ke dalam hutan.
“Tunggu, berengsek! Takkan kubiarkan kau lari
setelah apa yang kau lakukan pada penduduk desa!” aku meluapkan amarahku dengan
berteriak, “Berhenti, dasar kurang ajammpphhhhh...!!”
Cathy yang berada di sampingku membekap mulutku
dengan tangan kanannya. Melihat diriku yang meronta, ia mengacungkan telunjuk
tangan kirinya dan mendekatkan jari itu pada mulutnya, memintaku untuk diam.
Setelah aku lebih tenang, ia melepaskan tangannya
dan memintaku untuk mengikutinya. Kami berdua bergerak memasuki hutan secara
perlahan. Sambil mengikuti Cathy yang berjalan lebih dahulu, kuperhatikan
gerak-geriknya dari belakang.
‘Berjalan
di hutan dengan gerakan mengendap-endap tanpa suara, siapa ia sebenarnya?’ batinku, ‘kemampuan
menyembunyikan dirinya cukup hebat. Kalau aku tidak berkonsentrasi, mungkin ia
akan menghilang dari hadapanku dengan cepat.’
Setelah beberapa saat mengikuti dirinya dari
belakang, ia tampak berhenti sejenak sambil mengintip dari balik semak belukar.
Dengan gerakan pelan, aku bergerak ke samping dirinya untuk turut melihat
situasi di depan. Diterangi oleh cahaya bulan, seorang anak lelaki berambut
hijau tampak menggenggam kalung yang bersinar redup.
‘Ketemu!’
Dari postur tubuhnya yang terlihat seperti seorang
anak-anak, sulit dipercaya kalau ia adalah orang yang menjadi dalang
penyerangan desa. Tapi, kalung yang ia gunakan itu menjadi sebuah bukti yang
tak terbantahkan kalau ia adalah pelakunya.
Melihat sang otak pelaku pembantaian desa di
hadapanku, aku melompat keluar untuk menyerang dirinya. Seth yang menyadari
kehadiranku kemudian melompat mundur sejauh beberapa meter. Gerakannya begitu
luwes bagaikan terbawa angin. Ah! Sekarang bukan waktunya terpesona!
Dengan gerak cepat, Seth meraih kedua senjata api
miliknya. Dua suara tembakan terdengar menggema di dalam hutan yang sunyi.
Kedua peluru yang melesat keluar dari mulut pistolnya melewati telinga kiriku,
menyisakan dengung yang menyakitkan.
“Siapa dan apa mau kalian?” ia bertanya sambil
menodongkan senjata apinya kearah kami.
“Ah... ketahuan, ya?” ujar Cathy yang keluar dari
tempat persembunyiannya sambil mengangkat tangan, “namamu Seth, kan? dalang
dibalik pembantaian warga desa Bentala Vayu?”
“Kalau iya, kenapa?”
“Sudah jelas, kan!?” teriakku, “kami datang kesini
untu menghabi...”
“Aku kemari untuk bergabung denganmu.”
“Eh...?”
-Catherine
Bloodsworth – 3-
Si kepala wortel tampak begitu terkejut dengan
kata-kata yang kuucapkan. Jujur saja, aku tidak peduli dengan seberapa banyak
penduduk desa yang mati, selama aku bisa kembali pulang lebih cepat. Lagipula, pada
surat itu tertulis bahwa kami hanya perlu menyelesaikan konflik ini, tidak ada
detail mengenai cara apapun yang harus dilakukan.
“Kau... apa kau sadar apa yang telah kau katakan,
jalang?! Ngghhh...!!”
Anak perempuan nggak boleh ngomong kasar! Sebagai hukumannya,
kutusuk saja dirinya menggunakan salah satu pisauku. Airi yang merasa kesakitan
menatapku tajam dengan mata merahnya.
Untuk hadiah perpisahan, kutarik pisauku secara
menyamping hingga merobek abdomen gadis itu. Luka di perutnya kini terbuka
lebar hingga darah beserta organ lainnya tumpah keluar. Airi yang tak sanggup
berdiri sambil menahan rasa sakit langsung ambruk ke tanah.
“Peng...khianat...”
“Hail Seth,” Aku membalas ucapan Airi sambil
tersenyum.
Nah, satu masalah sudah dibereskan. Sekarang aku
hanya perlu meyakinkan pihak lainnya agar ia menerima diriku sebagai kawan. Hmm...
jadi dia yang namanya Seth. Sulit dipercaya kalau anak sekecil dia sanggup
mengendalikan kawanan naga itu untuk menyerang desa.
“Kau... apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Seth sambil
mengarahkan moncong kedua senjatanya padaku.
“Ah, jangan curiga begitu. Kakak datang kesini untuk
membantumu menghancurkan desa itu,” jawabku, “lihat, aku bahkan sudah
mengalahkan satu musuh dari pihak sana.”
Kutendang tubuh Airi yang terkulai lemah di tanah,
mulutnya lalu mengeluarkan erangan pelan. Ah, rupanya dia masih hidup. Tapi,
biarlah! Sebentar lagi juga ia akan mati kehabisan darah. Seth yang tak
merasakan aura jahat dariku kemudian menyimpan kembali kedua pistol miliknya.
“Jadi, kau menerima kakak sebagai kawanmu?”
“Hanya kali ini saja,” jawab Seth, “lagipula aku
juga butuh informasi tentang musuh.”
“Hmm... hmm! Kakak senang kalau kamu mengerti.”
Usai percakapan singkat kami, aku mulai memperkenalkan
diri dan menjelaskan situasi desa kepada Seth. Kuberitahu dirinya bahwa ada
tiga orang Reverier lain disana, seorang pemanah, seorang pengendali tanaman
dan seorang penyihir yang harus diwaspadai.
Seth yang telah mendengarkan penjelasanku tampak
termenung, memikirkan langkah apa yang akan ia ambil selanjutnya. Ekspresi
wajahnya yang kekanakkan terlihat sangat imut ketika ia memikirkan sesuatu.
“Hei, Cathy,”
“Hmm?”
“Bayaran apa yang kau inginkan?”
Seth yang masih merasa ragu kembali bertanya padaku.
Kali ini ia bertanya tentang bayaran. Wajar saja sih, jika seseorang datang dan
mengatakan ia akan membantumu menyelesaikan misi secara cuma-cuma, kau pasti
akan curiga.
“Hatimu saja sudah lebih dari cukup?” aku menjawab
pertanyaan Seth sambil mengedipkan mata kiriku.
“Aku serius...”
“Um! Ekspresi wajahmu yang tampak serius juga
terlihat manis!” candaku, “Tapi, bayaran ya... Ah! Kalau begitu, aku minta agar
kau tidak berbuat apapun pada seseorang di desa. Namanya Lilia, seorang gadis
berambut coklat dengan warna mata biru kehijauan.”
“Hanya itu...?”
“Yap! Hanya itu. Bagaimana? Kakak tidak hanya
cantik, tapi juga dermawan, bukan?”
Mendengar pertanyaanku, Seth hanya bisa menghela
napas. Ia kemudian duduk dan meraih kedua pistolnya untuk mengisi peluru di
dalamnya.
Sambil menunggu Seth, kuraih sebuah bungkusan yang
terdapat di saku mantelku. Perutku terasa sedikit lapar setelah bertarung tadi,
untung saja aku membawa sebungkus manisan dan kue yang disajikan tadi di rumah
sang tetua desa.
Kuambil sepotong kecil kue dari dalam bungkusan itu
untuk mengisi perutku dan kulahap dengan satu gigitan. Seth yang tengah
berpikir keras tadi, kini tampak menatap diriku yang sedang memakan camilan itu.
Menyadari tatapan matanya, kuambil potongan kue lain
dari dalam bungkusan itu, lalu kugerakkan ke samping secara pelan. Mata bulat
Seth tampak mengikuti gerakan tanganku yang sedang memegang kudapan manis itu.
“Makanan manis atau kakak manis. Pilih yang mana,
Seth? Ah! Jangan-jangan kau memilih dua-duanya? Dasar anak nakal!”
“Makanan saja sudah cukup...”
“Aww... jawabanmu tidak mengasyikkan.”
Selesai bercanda dengan Seth, aku mendengar suara
langkah kaki dari seseorang yang mendekat. Seth yang juga menyadari hal itu
kemudian menarik kedua senjata api miliknya, sementara aku meraih dua bilah
pisau yang tersimpan di paha kananku.
“Hmph, tadinya aku khawatir karena kau tidak kunjung
kembali, tapi lihat apa yang kutemukan. Si kepala wortel sudah dalam keadaan
tak bernyawa, sedangkan kau bermesraan dengan musuh di dalam hutan.”
Samara sang pengendali tumbuhan menemukan diriku
yang tengah mengakrabkan diri dengan Seth.
-Samara
Yesta – 1-
Cathy yang tengah bermesraan bersama Seth tampak
terkejut ketika ia melihat diriku. Setelah dirinya bersama Airi bergerak memasuki
hutan, formasi kawanan naga yang tengah menyerang desa menjadi kacau balau. Aku
yang telah memperkuat pertahanan desa dengan menciptakan dinding pepohonan di
sekitar memutuskan untuk menyusul dua orang itu.
Awalnya, kukira mereka berhasil mengalahkan Seth. Namun,
apa yang kulihat? Sosok mayat Airi terkulai di tanah dengan luka yang menganga
di perutnya, sementara Catherine mengobrol dengan santainya dengan musuh yang
menjadi target utama kami.
Tanpa berpikir panjang, kugunakan kemampuan
botanokinesis untuk menciptakan sulur tanaman demi menyerang mereka. Sulur
sepanjang kurang lebih lima meter itu bergerak bagaikan cambuk, lalu menghantam
tanah tempat kedua orang itu semula berdiri. Tsk, gesit juga mereka.
Seth yang melompat mundur untuk menghindar kemudian
memperlihatkan kalung yang bercahaya terang. Seekor naga kecil bersayap
kemudian terbang mendekat dan membawa dirinya pergi.
“Aku pergi duluan,” ujar Seth, “kau urus dia di
sini, sementara aku menyerang desa bersama pasukanku!”
“Ah! Hei! Ingat janjimu baik-baik! Jangan sampai kau
salah menyerangnya!” teriak Cathy
“Kesempatan!” teriakku, sambil memunculkan akar
pohon yang runcing dari dalam tanah untuk menusuk gadis bermata heterochromia
itu.
“Uwah! Hei! Bahaya tahu!” teriak Cathy yang bergerak
ke samping untuk menghindari seranganku. Setelah menyiapkan sebilah pisau di
masing-masing tangannya, ia melompat kearahku untuk menyerang.
Kuciptakan dinding pertahanan berupa akar dari
tanaman yang berada di sekitarku, namun pisau miliknya memotong benda itu
dengan mudah. Usai menyingkirkan dinding yang menghalangi kami, gadis itu
berputar dan menggunakan kaki kanannya untuk melancarkan tendangan ke arahku.
Tak memiliki waktu yang cukup untuk menghindar, kuangkat
kedua tanganku sebagai bentuk pertahanan terakhir. Tendangan darinya cukup kuat
hingga membuatku kehilangan keseimbangan dan terdorong ke samping.
Dengan napas yang terengah-engah, kami berdua saling
menatap satu sama lain. Sedikit saja
lengah, masing-masing dari kami akan terkena akibatnya. Seth bersama pasukannya
saat ini sedang menuju desa, pertarungan ini harus kuselesaikan secepatnya.
Pada waktu yang bersamaan, kami menghentakkan kaki
sekuat tenaga ke tanah untuk memulai kembali pertarungan yang tertunda. Menggunakan
kedua bilah pisau di masing-masing genggaman tangannya, gadis heterochromia itu
melancarkan rentetan serangan berupa tebasan dan tusukan ke arahku.
‘Pisau
itu benar-benar merepotkan,’ pikirku.
Sulur tanamanku dapat dengan mudahnya ia potong
menggunakan benda itu. Untuk mengalahkannya, tak ada cara lain selain
menghentikan gerakan dirinya. Dengan mati-matian, aku mencoba untuk menghindari
serangan bertubi-tubi yang ia lancarkan. Hingga akhirnya, pijakan kakiku goyah
karena menginjak sebuah batu yang mencuat keluar dari permukaan tanah.
Melihat kesempatan bagi dirinya untuk menyerang,
Cathy melompat maju sambil menghunuskan kedua pisaunya pada bagian dada dan
perutku. Wajahnya tampak tersenyum sadis saat bilah tajam benda itu merobek
pakaian dan menembus permukaan kulit tubuhku.
Akan tetapi, hal inilah yang kuincar...
“Kena kau,” kuulurkan lenganku untuk meraih
pundaknya agar ia tak bisa kabur.
“Eh..?”
Empat akar pohon berduri kemudian menyeruak keluar
dari permukaan tanah tempat dirinya berdiri, mencoba untuk menusuk tubuhnya
yang berada dalam dekapanku.
-Seth
Blover – 1-
Setelah meninggalkan Cathy yang tengah bertarung
melawan seorang Reverier pengendali tumbuhan, aku kini mulai memasuki medan
pertempuran lain. Pasukan naga yang kupanggil telah berhasil melumpuhkan para
penjaga desa yang mencoba untuk melawan. Beberapa diantara mereka bahkan telah
berhasil menerobos pagar pepohonan yang melindungi desa.
Diantara kerumunan penduduk yang panik, seorang
wanita berambut hitam panjang yang mengenakan gaun panjang serta baju baja
pelindung tampak memberikan instruksi pada tetua desa untuk segera mengevakuasi
warga. Dari informasi yang diceritakan Cathy padaku, kuketahui nama wanita itu
adalah Serilda.
Melihat diriku yang berada di dekat gerbang, ia
langsung menyadari bahwa aku adalah musuhnya. Dengan gerak pelan ia menarik
busurnya sambil membidik diriku sebagai target, lalu melepaskan tembakan.
Menanggapi tantangan darinya, kutarik kedua senjata
api yang tersimpan dalam sarung pistol di pinggangku, lalu kutembakkan empat
peluru secara berurutan kearah dirinya. Kami berdua sama-sama menyerang sambil
bergerak menuju puing-puing bangunan yang telah hancur untuk berlindung dari
proyektil yang beterbangan di udara.
Tak lama setelah aku mengambil posisi untuk menembak
dari balik reruntuhan, beberapa anak panah terlihat melambung tinggi dan
menukik di udara, mengarah padaku. Serilda kini menembakkan anak panahnya
sambil menaiki seekor domba.
Gerakannya yang begitu cepat menunjukkan bahwa ia
telah terbiasa memanah dari atas tunggangan. Untuk mengimbangi kecepatannya,
kugunakan kemampuan memanipulasi massa tubuh untuk meringankan berat badanku.
Menggunakan kemampuan ini menurunkan akurasi
seranganku karena tubuh yang ringan tak lagi sanggup menahan gaya dorong pistol
saat menembak. Kusarungkan kembali pistol kembar yang berada dalam genggamanku
dan kuganti dengan belati militer andalanku.
Serilda yang menunggangi domba kemudian melempar
panahnya, dan mengambil sebuah pedang milik seorang penjaga yang telah gugur. Jarak
antara kami berdua semakin menipis. Dalam hitungan detik, terdengarlah bunyi
dentingan antara belati milikku dengan pedang yang dipegang Serilda.
“Jangan halangi aku, Nona pemanah! Aku harus segera
menghancurkan pohon terkutuk itu!”
“Seth! Kenapa kau begitu ingin menghancurkan pohon
suci hingga mengorbankan para penduduk desa demi tujuanmu itu?!”
“Suci? Begitukah kesan yang terlihat di matamu?”
tanya Seth, “kau tak tahu apa-apa mengenai tumbuhan itu!”
Aku kembali mengayunkan senjataku untuk menyerang
Serilda. Ia kemudian menggunakan perisai kulit miliknya untuk menahan
seranganku. Serilda yang berhasil menangkis tebasan pisauku membalas dengan
ayunan pedangnya, namun serangan itu meleset karena aku menghindarinya dengan
cara menunduk. Aku tak ingin mengakuinya, tapi tubuhku yang kecil ini
memudahkanku dalam menghindari serangan musuh yang lebih tinggi dariku.
“Aku memang tak mengetahui apa-apa tentang tumbuhan
itu, Seth,” Serilda berbicara padaku sambil menuruni tunggangannya, “tapi aku
tahu bahwa mengorbankan orang lain demi kepentingan dirimu sendiri itu salah! Kalau
kau bersedia menyerah disini, aku takkan melawanmu lebih lanjut! Menyerahlah,
Seth!”
“Tidak akan pernah!” aku menolak tawaran Serilda
sambil meraih pistolku.
Serilda yang tak sanggup menghindar, mencoba untuk
menahan tembakanku dengan menggunakan perisainya. Tembakan beruntun dari
pistolku merusak perisai kulit itu dengan mudah. Beberapa peluru bahkan
menembus benda itu dan mengenai tubuh Serilda. Ia kemudian jatuh terduduk sambil
menahan sakit saat darah mengalir keluar dari luka yang dihasilkan oleh timah
panas yang bersarang di dalam tubuhnya.
“Jika pohon suci itu begitu penting hingga orang
tuaku harus dikorbankan, maka akan kuhancurkan tumbuhan itu beserta mereka yang
melindunginya!”
-Catherine
Bloodsworth – 4-
Dengan napas terengah-engah dan luka di sekujur
tubuh, aku mencoba untuk tetap berdiri. Di hadapanku, Samara yang telah kutusuk
pada bagian dada dan perutnya berjalan dengan santai dengan dua pisau
Hexennacht milikku masih bersarang di tubuhnya
“Tak kusangka, kau bisa melepaskan diri dari keadaan
seperti itu,” ucap Samara, “sebenarnya berapa banyak pisau yang kau miliki?”
Setelah ia
berhasil menangkapku, kulepaskan dua pisau yang masih menancap di tubuhnya dan
segera mengambil pisau lain yang tersembunyi dari balik mantelku. Setelah itu,
kupotong kedua tangannya yang mendekap diriku dengan erat untuk meloloskan diri.
Telat sedikit, saja maka hidupku akan berakhir.
Tangan kiriku kini lumpuh. Darah berwarna hitam
pekat mengucur cukup deras dari luka di sekujur tubuhku. Ugh, pandangan mataku
mulai kabur. Kalau penyakitku kambuh sekarang, maka berakhirlah sudah.
Bunyi dentingan logam yang jatuh dapat kudengar
dengan jelas dari arah depan. Samara yang terluka cukup parah, kini kembali
terlihat bugar. Luka di sekujur tubuhnya hilang tak berbekas. Tak hanya itu,
tangannya yang terputus pun kini kembali normal.
“Heh... monster...” tanpa sengaja, kuucapkan kata-kata
itu.
“Hmph! Kau sendiri? Melihat warna darahmu yang
seperti itu, aku tak yakin bisa menyebut dirimu sebagai manusia!”
Akar-akar berduri kembali mencuat dari dalam tanah
dan melesat kearahku. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, bahkan menghindari
serangan seperti itu saja sudah menyulitkan. Salah satu dari benda itu bahkan
berhasil merobek bahu kiriku. Melihat tubuhku yang terluka parah, Samara mendekat
dan berdiri di sampingku sambil menyiapkan sulur berduri untuk serangan
terakhirnya.
Ahh... hanya sampai sini saja? Padahal, aku telah
berhasil menemukan petunjuk mengenai penyakitku ini. Aku ingin segera pulang
dan tidur di rumah Angie, tapi sepertinya sudah tidak mungkin ya? Ah, tapi
kalau aku berakhir disini... mungkin aku bisa bertemu dengan ibu di sana...? Kenangan
manis akan masa lalu terbersit secara cepat dalam pikiranku.
Kenangan
manis...
“Heheheh...”
“Hmm?”
“Ahahah... AHAHAHAHAHAHAH!” gelak tawaku terdengar
menggema di dalam hutan.
‘Benar
juga, belum saatnya aku pergi ke sana. Masih banyak hal yang ingin kulakukan di
dunia ini. Bukan begitu, partner?’
Dengan susah payah, kuambil pisau Hexennacht yang
berada di paha kananku. Darah yang mengucur kemudian membasahi pisau dengan
permata berwarna jingga yang tertanam pada bagian pangkal bilahnya itu.
“Malleus
Maleficarum, Gula!”
Permata yang tertanam pada pisau Hexennacht Gula
milikku bersinar terang dan siluet berbentuk seekor babi dapat terlihat pada
bagian tengahnya.
Merasakan ada yang tidak beres, Samara menyerang
diriku dengan sulur berduri yang telah ia siapkan. Menggunakan segenap tenaga
yang tersisa, kuhindari serangannya dengan berguling ke sebelah kanan untuk
mendekat, lalu kutusuk kaki kiri wanita itu menggunakan pisauku.
Samara yang meringis kesakitan kemudian berusaha
melepaskan senjataku yang menancap di kaki kirinya. Ia menendang tubuhku dengan
kaki satunya, lalu melompat mundur. Saat pijakan kakinya menyentuh tanah, ia
sedikit oleng, lalu terjatuh.
Usai
menyerang dirinya, aku mencoba untuk kembali berdiri. Lengan kiriku masih
lumpuh, tapi luka lain di sekujur tubuhku mulai membaik.
“Apa... apa yang kau lakukan?!” teriak Samara. Sepertinya
ia mulai merasakan keanehan pada tubuhnya.
“Heheheh... hanya ini, kok!” aku menjawab ucapan
Samara sambil menancapkan bilah tajam Hexennacht pada pohon yang berada di
dekatku. Pohon kayu yang tinggi itu kemudian layu dengan cepat. Batangnya mulai
mengering dan daunnya pun berguguran, “Ah... pohon biasa begini tidak memiliki
cukup banyak energi, ya?”
Setelah menyadari kekuatan Hexennacht Gula, Samara
kembali menyerangku dengan akar-akar pohon dari jarak jauh. Kuhindari serangan
itu meski rasa sakit tengah menjalari seluruh tubuhku yang penyakitnya telah
kambuh, lalu kutusuk akar itu dengan pisauku.
Energi kehidupan Samara yang ia gunakan untuk
mengendalikan akar itu kuserap habis menggunakan belati kesayanganku. Seluruh energi
yang kudapatkan itu kemudian kupakai untuk menyembuhkan luka di sekujur tubuh
ini.
Samara yang energinya telah kuserap kini tampak
kelelahan. Mengingat ia telah menggunakan banyak tenaganya sejak melindungi
desa tadi, bisa bertahan selama ini merupakan kehebatan tersendiri.
“Belum cukup...” aku mendekati wanita berpakaian
serba hitam itu sambil berjalan terhuyung-huyung, “aku masih membutuhkan lebih
banyak energi...”
“Khh... jangan mendekat!” Samara kembali menyerangku
dengan tumbuhan miliknya.
Kutusukkan senjataku pada tiap sulur dan akar
tanaman yang ia gunakan untuk menyerang diriku. Ya, teruslah gunakan tumbuhanmu
itu. Akan kuserap energimu sedikit demi sedikit hingga kau mati lemas!
Merasa tak ada jalan keluar, Samara menggunakan seluruh
kekuatannya untuk menciptakan akar pohon berduri dengan lebar seukuran mobil. Melihat
hal itu, kugunakan energi yang tersisa pada Hexennacht untuk memulihkan
tenagaku.
Akar pohon raksasa itu melaju, mencoba untuk
melumatku dengan berat dan ukurannya. Dengan tenagaku yang telah dipulihkan, kuhindari
serangan itu dengan cara melompat dan berguling. Samara yang telah menggunakan
seluruh kekuatannya kini memiliki banyak celah untuk bisa kuserang.
Kulempar Hexennacht Gula pada dirinya, dan kuambil pisau
lain yang terdapat di balik mantelku. Pisau yang kulempar menancap tepat di ulu
hatinya. Samara yang telah kehabisan tenaga tak bisa berbuat banyak saat aku
melompat kearah dirinya, lalu kutusuk jantungnya dengan pisau lain yang berada
dalam genggaman tanganku.
“Ah...” ucapnya pelan.
Wanita bermata hijau itu kemudian ambruk setelah
Hexennacht Gula menyerap sisa energi yang terdapat di tubuhnya. Merasa keadaan
mulai aman, aku berjalan mendekat dan kucabut pisau itu untuk memulihkan diriku
menggunakan energi yang tersisa.
Hmm... aku tak ingin menyia-nyiakan tubuhnya, tapi
tak ada waktu untuk mengambil organ dalam miliknya. Seth sekarang sedang
bertarung mengambil alih desa, lebih baik aku segera menyusulnya.
Usai memulihkan diri, aku menenggak kapsul obat dari
botol kecil yang selalu kubawa di balik mantelku, lalu kembali menuju desa
Bentala Vayu yang telah porak poranda akibat serangan Seth dan pasukan naganya.
-Lilia
Fiennes – 3-
Usai mengevakuasi penduduk, aku kembali menuju desa
untuk membantu Serilda bertarung. Akan tetapi, hal yang tak kuinginkan telah
terjadi. Serilda tampak berlutut dengan air mata bercucuran membasahi pipinya. Gaun
yang ia kenakan telah bersimbah darah dari luka di sekujur tubuhnya.
Di hadapannya, Seth yang juga terluka dengan
beberapa anak panah menancap di tubuhnya tengah menodongkan senjata api andalannya
pada dahi Serilda. Aku berlari sekuat tenaga, mencoba untuk menolongnya, namun
terlambat. Bunyi letusan terdengar menggema ketika peluru yang dimuntahkan oleh
benda itu menembus kepala Serilda.
“Ah... AHHHHHHHHHH!!”
Merasakan amarah menumpuk di dalam diriku, kuambil
Grimoire yang berada di dalam tasku, lalu menyerang Seth dengan semburan api.
Seth yang terlambat menghindar mendapatkan luka bakar pada lengan kanannya. Menyadari
keberadaanku, ia mencoba untuk menyerang dengan menembakkan pistolnya, namun
dapat kulihat ekspresi bimbang memenuhi wajahnya.
“Kau... kau juga telah dipengaruhi oleh tetua...?”
Tak mempedulikan ucapannya, aku kembali menyerang
Seth dengan menciptakan semburan api. Seth yang tampak kesal kemudian
menghindar ke samping dan menembak diriku dekan pistolnya. Sebuah peluru
menembus bahu kananku hingga mengucurkan darah.
“Gghhh! Kenapa... kenapa kau melakukan ini semua?! Jawab,
Seth!”
“Seharusnya aku yang bertanya! Kenapa kau percaya
saja pada tetua desa?!” Seth membalas ucapanku dengan teriakannya, “Demi
melindungi pohon itu, ia menjualku pada kerajaan! Orang tuaku yang menolak
keputusan itu dikorbankan! Semua hanya demi melindungi pohon suci itu!”
“Tidak berarti kau harus membunuh warga desa
lainnya, Seth! Tak bisakah kau menggunakan cara baik-baik?!”
“Hah! Kuberitahu satu hal saja! Pohon itu telah menumpuk
ratusan nyawa di dalamnya!” bentak Seth, “Setiap tahun, ritual pengorbanan
selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tetua desa! Hal itu dilakukan
agar di desa ini terlahir seorang anak dengan kemampuan spesial yang kemudian akan
dijual pada kerajaan! Pada malam ketika aku diculik oleh tentara kerajaan,
kedua orang tuaku dibunuh dan dijadikan persembahan untuk pohon ini!”
Mendengar ucapan Seth, aku terkejut bukan main. Aku
pernah membacanya pada salah satu buku di perpustakaan. Mengenai ritual
pengorbanan dimana makhluk hidup dikorbankan demi kekuatan. Tak kusangka,
ternyata desa ini melakukan ritual yang sama.
“Sekarang kau mengerti, kan? Cepat minggir!”
“Aku menolak....”
“Kau... bahkan setelah mengetahui hal itu, kau masih
menghalangiku?!”
“Aku... aku tidak bisa percaya begitu saja! kita
harus mendiskusikan hal ini baik-baik bersama tetua desa!”
“Diskusi kau bilang? Kau pikir sudah berapa kali aku
mencoba melakukannya? Sudah berulang kali aku mencoba untuk berbicara empat
mata dengan tetua, tapi lihat! Aku malah dicap sebagai peneror yang mencoba
untuk menghancurkan desa! Karena itu, aku bergerak sesuai keinginannya. Akan kuhancurkan
desa ini beserta seluruh penduduknya!”
“Tapi...”
“Minggir, atau kutembak kau...!”
“Seth,”
Suara yang kukenali dapat terdengar dari dari balik
puing-puing bangunan tak jauh di sampingku. Kak Cathy berjalan mendekat dengan
tubuh yang terluka. Bagus! Kalau kak Cathy ada disini, kami bisa menangkap Seth
dan...”
“Seingatku, aku sudah bilang untuk tidak melukai
Lilia”
“Eh...?”
“Tapi dia menghalangiku! Lihat, luka ini bahkan
kuterima akibat serangan dari dirinya!”
“Kakak tidak peduli,”
“Ta... tapi...”
“Seth,” nada bicara Kak Cathy terdengar serius, “nanti
kakak marah, lho?”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, rasa takut yang
tak terbayangkan meliputi diri kami. Hawa pembunuh yang begitu kuat dan
menyesakkan, seolah-olah udara menjadi berat. Aku bahkan tak bisa menggerakan
tubuhku. Perasaan yang mengerikan ini terpancar dari satu orang wanita yang
tengah berjalan mendekati diriku, kak Cathy.
“Hmm... maaf ya, Lilia. Gara-gara ulah Seth kau jadi
terluka, seharusnya aku mengontrolnya dengan baik,”
“Ja... jangan mendekat!” Secara refleks, kupukul
lengan kanannya yang memegang wajahku.
Mendapati perlakuanku, kak Cathy mundur secara
perlahan. Dari kejauhan, pemandangan berupa pohon suci yang tengah terbakar
membuat langit malam di kejauhan menjadi tampak terang.
“Mmhhh... akhirnya malam yang panjang ini selesai,”
Hawa pembunuh yang memancar dari kak Cathy
menghilang dalam sekejap. Masih merasa panik, aku dan Seth jatuh terduduk di
tempat. Dari kejauhan, dapat kulihat domba-domba kami berdatangan. Kak Cathy
kemudian menaiki domba miliknya dan berjalan mendekatiku.
“Ah, aku mau pulang dan istirahat. Sampai jumpa lain
kali, Lilia,” ucapnya dengan riang, “Oh, dan jangan lupa. Aku menunggu
informasi lain tentang miasma darimu. Mungkin kau sudah tahu, tapi tolong
tepati janjimu atau kau tahu sendiri apa yang terjadi. Heeheehee...”
Mendengar perkataan dirinya, aku hanya bisa diam
terduduk, berharap semoga mimpi ini berakhir.
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 62 - CATHERINE BLOODSWORTH | VICTIM
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 22 - CATHERINE BLOODSWORTH | MEMORIES
Shiiiieeeettt. Plot twistnya gila, gak sampai kepikiran. Narasi sudah mengalir lancar, aku suka adem ayem interaksi Cathy sama Lilia.
BalasHapusYang aku masalahkan di sini terkadang narasi menjadi terlalu tell pada beberapa adegan, sehingga penggambaran intensitas kurang.
Hail Seth! Nilai 9~
OC : Begalodon
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : B
Writing techs : B
Engaging battle : B
Reading enjoyment : B
Entri ini lumayan oke, tapi ada beberapa poin yang bikin saya kepikiran
Pertama, meski multiple pov1, tapi setiap karakter yang jadi fokus ga gitu kerasa bedanya. Padahal lumayan potensial buat nunjukin karakter masing" dengan narasi yang notabene pandangan atau pola pikir mereka. Plus, di beberapa bagian agak terlalu tell
Kedua, awalnya saya seneng nemu entri pertama di mana keliatannya semua entran ada di kubu yang sama, tapi terus Cathy malah membelot. Entahlah, buat saya motivasinya kurang jelas, dan rasa"nya lebih cepet konflik ini selesai kalo Cathy bunuh Seth di pertemuan pertama mereka alih" gabung sama dia
==Final score: B (8)==
OC : Iris Lemma
Yahalooo kagero disini...
BalasHapusawal2 baca.. seneng banget sama POV yang ganti2 but somehow.. err slain cathrine sama Lilia sendiri rasanya plain..
datang... battle... mati..
dan pas ending...
saya cuma bisa "Loh kok udah selesai?" resolusinya terlalu err gimana yah..
disini Kagero kasih.. 8
Well done :3
TTD
kagero yuuka
(Airi Einzworth)
Hmm.. Walau tiap karakter diperankan tiap sudut pandangnya, sifat yang paling menonjol di sini hanya sifat Catherine yang menonjol.
BalasHapusTapi sebenernya ane tertarik dengan sifat cwe psikopat ini.
---------------
Rate: 7
Ru Ashiata(N.V)
Whoa, POV satunya menarik. Dari awal2 baca, cara penulis menyajikan sudut pandang tokoh utama ini bikin hooked. Aku suka terutama setiap inner-tought nya nongol juga sebagai narasi, relatable dan karakternya dapet.
BalasHapusDan aku suka peralihan POV-nya, asik. Karakterisasinya lebih berasa, meski jatah selain Cathy terasa agak kurang luwes dibanding Cathy sendiri. Tapi yg aku agak aneh, Serilda seolah dapat jatah hanya untuk menjelaskan dunia setting. Samara juga agak kaku, jadi aku kurang suka. Begitu masuk Part Seth, i’m screaming inside. Kaget juga ternyata Seth kebagian jatah XD tapi seketika kecewa, sama kayak Serilda dan Samara, Seth kurang luwes dibawainnya. Kayak narasi biasa kurasa. Apalagi narasi tidak terasa didominasi oleh POV Cath, ga berasa MC jadinya...
Di luar Lilia dan Cathy, gaya narasi antar karakter tidak terlalu jelas perbedaannya. Akan sangat lebih enak dibaca seandainya antar OC ditekankan beda cara pemikirannya.
“Hail Seth,” GOD DAMMIT wkwkwk ini menghibur banget, part ini ngagetin sekaligus bikin ketawa. Captain America’s ‘Hail Hydra’ reference yah? XD Plottwist nya mayan kena, tapi ya udah ini aja yang bisa dinikmati.
Itu Serilda kenapa tiba2 lempar panah? .__.
Pertarungan Cathy dan Samara agak terasa ganjil, entah kenapa. Aku ga terlalu bisa menikmati. Mungkin ini masalah selera, tapi susah untuk diabaikan. Ending itu apalagi. aku agak2 ga suka soalnya antiklimatik. Like, “Udah nih gitu aja?” Abis tarung yang aku gak gitu suka, lalu kasih tahu alasan Seth menyerang, tau2 Cathy datang dan beres ceritanya.
Yg bisa dinikmati di mataku hanya ketika narasi masuk POV Cathy waktu lagi gak adegan tarung dan ketika ada plottwist itu, yang mana bahkan berasa minoritas di cerita ini (padahal MCnya Cathy).
Therefore, 7/10
~Pencipta Kaleng Ajaib
Sebenernya kekuatan entri ini ada pada multi-POV-nya, membuat semua karakter tergambar dengan baik. Tapi minusnya, bikin pembaca hampir sulit untuk fokus ke protagonisnya, karena hampir semua karakter dapet POV. Beda dengan adegan awal yg emang jelas fokus ke si Cathy.
BalasHapusTapi selebihnya, cerita ini unik, hal yg ditawarkan entri ini adalah twist yg menurut sy sukses membuat pembaca excited/intrigued, dan itu point plusnya.
NILAI: 8
(Martha)
Halo, ini pertama kalinya saya baca entri Catherine B.
BalasHapusBegitu selesai baca, kira-kira ... reaksi saya itu: "udah?" Yah, sesuai kata authornya Airi. Saya kurang ngeh apa yang terjadi. Entah karena sempet skim atau apa. Tau" dombanya udah pada bermunculan.
Terus masalah PoV1 yang adil merata. Yah, sesuai kata suhu-suhu di atas juga, kurang keliatan bedanya. Paling Cathy sama Lilia aja. Perpindahannya pun kurang mulus. Semacam lagi enak" nonton film, tau" berenti. Kalo saya liat sih entri lain sebelum pindah PoV, mereka kayak ngasih kalimat yang bikin kalimat-kalimat yang bikin penasaran gitu. Tapi di sini kayak langsung motong di bagian yang kurang enak.
Titip 8.
-Sheraga Asher
Halo eneng Keterin, dis is Mbah Amut sepiking.
BalasHapusLakon eneng leh uga.
Mbah seneng ada dinamika antara eneng Keterin dengan Lilia yang menurut mbah bisa dinikmati. Secara keseluruhan perlakonan dan penjiwaannya sudah oke.
Cuma mbah rasanya aneh aja. Pembelotan neng Keterin ini rasanya kayak terlalu terburu-buru dan kurang sreg aja ama keseluruhan lakon. Mbah rasa motif ama cara eneng membelot bisa dipercantik lagi, padahal. Mbah rasa juga eneng Keterin ini semacam lic--cerdik, jadi harusnya bisa main lebih cantik lagi dong.
Nilai akhir dari mbah 8 deh.
TTD
Mbah Amut.
Ide : Sangat Baik = 2
BalasHapusPlot : Baik = 1,5
Enjoy : Baik = 1,5
EYD : Sangat Baik = 2
Usaha : Sangat Baik = 2
Nilai : 2 + 1,5 + 1,5 + 2 + 2 = 9
Nilai berkurang di plot dan enjoy
sebenernya plot sudah bagus dengan twist yang WOW, hanya saja pas ending "Eh udah beres?"
terus perpindahan antar Pov 1 kok terkesan sama semua
NewbieDraft (Revand Arsend)
Hmm... Multiple POV dan ditangani dengan bagus, sehingga sifat para OC terasa tanpa kehilangan alur cerita. Bisa saya jadikan referensi buat ke depan. Banyak yang sudah dikomen pembaca lain, jadi langsung saja kasih nilai.
BalasHapusNilai : 9
OC : Nora
Twist ok
BalasHapusMultiple pov membuatnya jadi lbh unik.
Semuanya sudah pas lah tapi di bagian terakhir itu, terasa buru2 mau di endingkan sampai adegan last battle lsg kena skip. Poin itu yg terasa ganjil.
Rasanya agak SKSD datang2 lsg main kakak kakak aja.
8
Samara Yesta~
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPov1 yang merata disini sangatlah ide yang baik, dengan ini karakterisasi oc lain serta situasi tempurnya bisa keliatan dan tergambar jelas.
BalasHapusLalu datang plot yang bikin saya kaya: "SSSSSSSSHIT!" , mulai dari situ saya mulai kebawa suasana melupakan segala kekurangan entri ini. Termasuk ending yang menurut saya kurang jelas sih hehe
Nilai 8
Wasalam
Ganzo Rashura
"Hail seth." - Catherine America
BalasHapusAwalnya baca komen di babagan 'Apresiasi terkini', ada twist. Dan ya, kuakui oke punya. Kaget juga(?)
Dan, entah kenapa pendapat saya agak bertentangan dari matoritas, kayaknya sifat, tujuan, dan latar belakang Cathy sepertinya harus digali lebih dalam lagi. Penasaran(?)
8/10
OC : Takase Kojou