Kamis, 04 Agustus 2016

[ROUND 1 - 7F] 41 - JESS HUTCHERSON | RINAI PURNAMA


oleh : M. Da'i Kuncoro

--
 
Rinai Purnama


Semilir angin dingin dari jendela apartemen mengusik dua makhluk indah yang saling bertindihan di atas kasur. Suasana terasa makin panas di kamar itu meskipun udara malam sedang dingin-dinginnya. Desah-desah kecil mewarnai petualangan mereka. Petualangan indah yang selalu didambakan oleh setiap insan. Dan petualangan penuh dosa bagi yang belum menjalani upacara sakral bernama pernikahan.

“Ahh, baumu masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, pas nggak sengaja aku jatuh dan kamu yang tangkap,” ujar si wanita yang tengah ditindih dengan suara bergetar.”

“Namanya juga laki, Jess. Tapi kamu masih tergoda kan?””

“Kalau sekarang sih malah tambah nafsu. Dasar Hutcher jelek.”” Jess membenamkan wajahnya diantara dada bidang Hutcher---yang masih sibuk dengan urusan gua elastis Jess. Benda tumpulnya makin ganas menjelajahi gua dengan desahan yang mengiringi.. Sedangkan kedua tangan Hutcher riang menjelajahi bukit kembar yang mencuat indah di dada Jess.

“Gimana kalau aku ngelamar kamu sekarang? Aku takut setelah ini malah kamu menjauh.””

“Ummpphhh.... yang benar saja. Kamu terlalu buru-buru, seperti gerakanmu saat ini.””

“Terserahlah, aku bakalan tetep ngelamar kamu.”

“Jessica Romanoff, maukah kau”—“

Kalimat Hutcher terputus saat potongan plafon apartemen beserta semen dari lantai atas menimpa tubuhnya. Jess menjerit histeris, namun kemudian terhenti karena pecahan kaca yang menyerbu wajahnya. Berbagai material terus menghujani tubuh telanjang mereka. Potongan batu bata bercampur semen menghajar punggung Hutcher yang membelakangi Jess. Keduanya tewas mengenaskan. Lantai ikut runtuh, memaksa mayat Jess dan Hutcher untuk jatuh ke bawah. Kedua raga tanpa jiwa itu mendarat bertindihan, bernodakan darah yang mengalir perlahan dari tubuh keduanya.

Memori yang harusnya tak pernah ada.



***




“Kenapa harus mimpi itu lagi?!””

Jess tersentak bangun, mengagetkan domba berbulu putih empuk yang tengah memasak di dapur ; serta Hutcher tentunya. “Tunggu, domba bisa masak?”

“Mbeeeeeek,”” embiknya bersamaan dengan aroma khas kari kambing yang menyentil hidung. Entah bagaimana cara hewan itu masuk ke dapur orang dan berinisiatif memasak makanan berkolestrol tinggi. Ia menata bulu di kepalanya sedemikian rupa hingga menyerupai topi koki. Celemek hitam berlis putih turut menempel manis di perutnya. Domba yang pintar.

“Kamu kenapa sih, Jess? Ganggu orang tidur aja. Mending kalau kamu beda kepala, lah ini kepala aja dibagi dua,””sosok lelaki yang menjadi belahan tubuh kiri Jess bersuara sinis.

“Ahh..ak..aku mimpi....aku mimpi gedung itu ambruk, terus ada mayat kita, terus ada kita lagi beradegan delapan belas plus.”

“Cuplikan kematian kita.””

Sejujurnya agak aneh bagi Jess mendengar Hutcher bertanya ada apa dengannya, karena sebagai makhluk yang berbagi tubuh dan kepala harusnya mereka mendapat mimpi yang sama. Tapi entah karena faktor kesadaran ganda atau kemampuan berpikir yang sama gandanya, mungkin Hutcher mengalami mimpi yang berbeda. Atau bisa saja Hutcher mengalami mimpi yang sama, dan yang ditanyakannya adalah perasaan yang membuat Jess terbangun secara tiba-tiba.

Ya, semua kemungkinan itu bisa saja terjadi.

“Aku malah gak heran sama sekali. Hal itu sudah lumrah, mengingat bahkan saat pertama kali kita membuka mata di sini semuanya memang sudah aneh.””

“Hah?”” garis-garis kerutan timbul di kening Jess-Hutcher yang sisi kanannya tertutupi rambut Jess.

“Dasar pelupa.”” Hutcher melirik jam yang bertengger di dinding. “”Coba ingat lagi, sebelum tidur tadi kamu ngapain aja? Dan jangan bilang kamu juga lupa patung otak raksasa mengerikan yang kamu sumpahi tadi.”” Tak butuh waktu lama bagi Hutcher untuk mengerti bahwa pembicaraanya dengan Jess kali ini sia-sia, karena toh ingatan itu lama kelamaan muncul juga, bahkan mustahil untuk dilupakan. Seolah ada sesuatu yang terus menerus membisikkannya ke telinga, menentang hukum keabadian.

“Ha?”” kata tanya penuh kebingungan yang keluar untuk kedua kalinya dari Jess. Tepat setelah gemanya berakhir, lamunan Jess dibawa pergi ke masa yang telah lalu.




Suatu masa di Museum Semesta...




Aku keluar dari portal warna-warni itu bersama seorang mafia (?) bernama Zainurma—kuakui dia cukup tampan untuk seleraku sebagai seorang wanita biasa, Ratu Huban si anak kecil berkepala bantal yang terus mengkerut bagai wajah berekspresi, domba berbulu lebat nan empuk yang diramalkan Ratu Huban akan bisa memasak suatu hari nanti (tunggu, apa?), dan setengah tubuhku dengan kesadarannya sendiri, Hutcher. Perjalanan ini sangat melelahkan, mengingat aku sendiri bahkan belum beristirahat setelah melawan calon ibu mertuaku--  yang di luar dugaanku ternyata punya selera fashion luar biasa untuk wanita empat puluhan, bahkan tetap tampil modis meski dalam rupa penyihir.

Bangunan yang luar biasa. Baik dinding, lantai, sampai atap, semuanya bernuansa emas. Kepingan-kepingan batu pualam berwarna senada tersusun rapi di kanan-kiri. Bangunan itu begitu besar dan luas, namun penuh seni dan mahakarya. Otakku terus saja memutar musik-musik ala zaman Renaissance. Di dalam bangunan prestisius ini, aku berjumpa dengan makhluk-makhluk beragam rupa dan karakter. Kami berkumpul dan bersamaan menyusuri Museum Semesta, melihat karya-karya seni yang membuat Hutcher tak henti-henti berdecak kagum.

Sampai kemudian para reveriers menemukan karya-karya yang berhubungan dengan pertarungan mereka sebelumnya, tak terkecuali aku dan Hutcher. Aku menyentuh lukisan itu dan wow, gambar dalam lukisan itu bergerak seperti video beresolusi tinggi. Bergantian suara decakanku dan Hutcher keluar, menambah riuh suasana Museum Semesta.

Zainurma menghampiri kami, “Bagaimana? Seru bukan? Aku dan Huban melihat pertarungan kalian secara langsung. Yah...tidak buruk untuk seorang, maaf, dua orang  musisi. Setidaknya kalian terhindar dari itu.”” Zainurma menunjuk ke suatu arah, beriringan dengan tatapanku dan Hutcher ke arah yang ditunjuk.

Arah mengerikan yang juga dilihat oleh semua orang.

Maka terlihatlah segelintir lukisan yang kusam dan diliputi aura suram. Setelah itu, Museum Semesta bergetar kuat. Para reverier panik mengira itu adalah gempa. Zainurma yang mengetahui apa yang akan terjadi hanya bisa memasang ekspresi kasihan.

Dan puncak dari gempa itu, ada lima sosok manusia yang menjerit kesakitan. Mereka memegangi bagian tubuh yang terasa sakit dan nyeri, seperti ada tangan raksasa tak terlihat yang mencengkeram mereka kuat-kuat. Kemudian tubuh mereka diliputi cahaya terang, semakin lama semakin terang.

“AAArrrghhhh!!!!””
“TiiidaaaaAAAAK!!””
“Ini…tolong, tidaaaaak!!!””
“UWAAAAAAAAAAAAA”—”
“…”

Jeritan itu berhenti. Cahaya tadi pun menghilang. Sedangkan getaran di lantai, dinding, dan pilar, tak lagi terasa.

Lima sosok tadi kini sudah tak lagi berwujud manusia. Mereka menjadi tembikar buruk rupa. Para reverier menjadi semakin panik. Kepanikan yang biasa kita jumpai di rumah juragan yang tiba-tiba membatalkan acara santunan begitu warga sudah berkumpul.

"Begitulah jadinya seandainya pertarunganmu tidak memuaskan."

"Hei Nurma, kau bilang ini alam mimpi. Tak seharusnya aku menyaksikan mimpi yang semengerikan itu, kau tahu!" hardikku tidak sabaran.

"Hei, itu bukan aku yang melakukannya. Yahh...awalnya mimpi memang tidak seperti ini. Kau lihat patung otak raksasa di ujung sana? Namanya adalah [Sang Kehendak]. Dia yang melakukan semua ini." Zainurma kembali menunjuk ke arah lain. Tampaklah sebuah patung otak gigantik yang entah mengapa membuatku tak bisa memandangnya lama-lama. Hanya sekelebat frame dan aku langsung menutup mataku.

"Sekarang ini kalian berada di bawah kekuasaannya. Kalian adalah bagian dari alam mimpi yang tengah dikuasainya." lanjut Zainurma.

"Kenapa kau tidak menghentikannya? Atau melawannya?" tanya Hutcher.

"Aku dan Mirabelle telah lama dikuasainya. Kami menjadi budaknya. Pesuruhnya. Dengar, aku butuh kalian, reveriers. Aku menandai dan menjebloskan kalian ke sejumlah pertarungan untuk membuktikan hipotesaku bahwa Alam Mimpi bisa membangkitkan kekuatan Mahadahsyat yang melebihi kuasa patung sialan itu.

"Kita melakukan simbiosis mutualisme di sini. Ikutlah bersamaku atau akan kubujuk [Sang Kehendak] untuk menghancurkanmu!"ujar Zainurma lebih beringas.

"Lalu apa yang bisa kami lakukan?" lanjut Hutcher.

"Tunggu ronde selanjutnya dan berusahalah untuk tetap hidup," tutup Zainurma yang melangkah pergi bersama seringai di wajahnya.

Aku melirik sedikit [Sang Kehendak]," Dasar patung sialan."

"Entar kamu kualat baru ngerasain," sahut potongan badan kirinya.

Semua peserta masih terlihat panik saat satu per satu dari mereka dilempar ke dalam portal oleh Ratu Huban. Dia melakukan tugasnya dengan ceria seperti biasanya, seolah tak peduli dengan kekalutan para reverier saat ini.

Dombaku masih setia di sampingku. Entah apa yang telah terjadi padanya, karena sedari tadi aku hanya merasakan gesekan tubuhnya ke betisku. Kuakui rasanya begitu nyaman, bahkan beberapa kali kuelus kepala makhluk menggemaskan ini. Tak perlu menunggu Ratu Huban, tepat setelah portal terbuka, domba malah menyerudukku memasuki portal. “Ughh...dasar nakal.”

Di ujung lain portal, aku mendapati diriku beserta Hutcher dan tentunya domba berada di halaman belakang rumah keluarga Romanoff. Semuanya tampak baik-baik saja, maksudku, kecuali orang-orang yang tetap menghilang.

Kalap karena terlalu lelah, aku mengambil alih tubuhku sepenuhnya, masuk ke dalam rumah, dan menjatuhkan diriku ke sofa secepat mungkin dengan domba yang kupeluk sebagai guling. Kurasa Hutcher pun tak akan keberatan dengan ini, toh dia juga pasti lelah kan? Yang justru kukhawatirkan malah si domba ini. Apakah dia akan tahan dengan bau badan Hutcher yang terkadang amat menyengat itu? Bagaimana kalau nantinya dia malah menjauh? Ahh... itu urusan nanti. Mending bobo dulu yuuu.



***



Jess baru tersadar dari lamunan saat aroma kuat kari kambing menggelitik hidungnya. Ahahah, rupanya si domba unyulah yang membawakan semangkuk kari kambing yang sedari tadi sibuk dibuatnya. Di celemek hitamnya terpoles bermacam noda, bisa ditebak itu adalah bekas cipratan kuah rempah dari warnanya yang kecoklatan. Tanpa dikomando, Jess--yang kini memiliki satu tubuh dengan Hutcher, membuatnya harus makan pelan-pelan dan tak boleh seperti kuli kelaparan-- langsung menyantap makanan itu.

Sembari menemani majikannya makan, si domba mulai mengembik tentang arena "The Hunger Games" selanjutnya,"Mbeeeeek. Mbek bek beeeeek. Mbeeeek bek mbeeek mbek. Mbeeeeeeek!! (Setelah makan, kalian akan dikirim ke Artless Country. Negeri tanpa seni. Aku mendapat petunjuk dari catatan ini, tergeletak di samping terong dan beberapa rempah dalam kulkasmu. Semangat!)"

Tangan kiri Hutcher menyambar catatan yang dipegang si domba. Perlahan dia membaca isinya.

Pemimpin negeri itu adalah diktator bernama Vanart dan kebijakannya adalah memberantas segala bentuk seni (kabarnya dia punya phobia terhadap gambar atau patung). Saat Vanart berkuasa menggantikan ayahnya, maka negeri itu langsung berubah drastis. Tak ada lagi seni, para seniman ditangkap dan dieksekusi. Setiap hari Vanart dan pasukan militernya berpatroli mencari-cari seniman yang masih bertahan hidup. Sampai seni benar-benar musnah dari negeri itu, Vanart tak akan berhenti.

Kelompok seniman yang bertahan hidup berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melawan rezim Vanart. Namun setelah pemimpin seniman, yaitu Harun, tewas, maka semua bergantung kepada Hael Steiner, seorang komikus yang sebenarnya baru bergabung beberapa hari lalu.

Namun semua sudah tak bisa dielakkan. Kelompok seniman yang bergerilya malah semakin berkurang. Mustahil melawan secara militer. Maka diputuskanlah rencana itu. Semua seniman yang tersisa akan melakukan demonstrasi di depan Istana Vanart dengan cara menggelar pameran seni di sana. Semua itu untuk memberikan celah bagi Steiner dan sekelompok kecil seniman tangguh untuk menyusup ke istana dan membunuh Vanart.

FAKSI:
1. Hael Steiner dan kelompok seniman.
2. Lord General Vanart dan seluruh pasukan militer negerinya.

Negeri itu adalah negeri kecil (seukuran kota) yang terisolasi, dengan setiap penjuru adalah tembok tinggi sehingga tak ada yang bisa keluar-masuk negeri itu tanpa melewati penjagaan pemerintah. Tidak banyak gedung tinggi di sana, hanya ada rumah-rumah biasa beratapkan asbes atau kayu, paling tinggi 2-3 lantai. Banyak rumah kosong tak berpenghuni. Listrik dan air dikuasai oleh pemerintah. Iklim panas dengan curah hujan tinggi. Yang paling megah adalah Istana Vanart, gedung putih tiada hiasan dan ukiran. Teknologi militer standar, senapan mesin, tank, dan sejumlah artileri.

"Haruskah aku berpakaian ala Nazi untuk pergi ke sana? Aku malah lebih memilih ikut Vanart ketimbang celaka," komentar Hutcher.

"Mbeeek mbek mbek (Ya kali kostum Nazi ada yang sebelah-sebelah gitu)".

"Oh tidak tidak tidak. Kita tak akan melakukan itu. Ayolah Hutcher, aku tahu kamu itu musisi yang idealis," sahut Jess.

"Lalu kita mesti apa? Ikutan pameran kematian gitu? Jess, Vanart tak jauh beda dengan manajer kita awal-awal jadi artis. Sadis!"

"Liat aja dulu nanti di sana gimana. Tapi untuk sekarang optimislah dulu. Masa iya kamu mau biarin hak-hak kayak gini diinjak-injak? Katanya patuh terhadap hukum, tapi kok begini?"

"Lawful di sana beda dengan di sini."

"Mbeeek mbek mbeeek mbek. Mbeek (Udah atuh berantemnya di sana aja. Sono masuk)." Di samping si domba tercipta portal yang sama seperti ketika Jess Hutcherson dibawa oleh Ratu Huban. Domba yang kesal karena pertengkaran majikannya kalap dan menyeruduk si setengah-setengah ke dalam portal.

Oke, mungkin ini bukan perpisahan yang manis.



***



Rentetan suara tembakan mengiringi lari seribuku. Sebisa mungkin aku menghindari proyektil-proyektil mematikan itu. Salah satunya nyaris melubangi dada kiri, memaksaku menghindar dan mengacaukan setelan gelapku. Nafasku memburu, terasa sekali lelahnya berlari sejauh dan selama ini.

Bangunan-bangunan kecil di sekitar hancur berantakan. Mau bagaimana lagi, aku butuh pengalih perhatian dan kutembaki saja rumah penduduk. Usahaku cukup berhasil. Tiga dari sepuluh orang pengejarku tumbang. Aku sempat melihat kubangan darah dari matanya yang tertusuk paku. Pengejaranku terus berlanjut. Sesekali aku menembak ke belakang, sebisa mungkin mendapatkan visual aparat yang mengejar tanpa henti.

Matahari sedang panas-panasnya siang ini. Sedemikian cerahnya, kontras dengan pakaianku yang hitam-hitam. Bagai titik hitam di tengah semesta yang putih, aku sangat mudah terlihat. Percuma saja mengalihkan perhatian mereka. Terlebih lagi pengejarku adalah tentara terlatih, dapat dilihat dari kesigapannya semenjak kakiku menapak tanah ini.

Aku begitu lelah, tapi aku tak bisa berhenti di sini. Lariku melambat. Kesempatan emas untuk para pengejar. Semakin lambat sampai aku tak berlari kembali. 

Mataku nanar menatap objek raksasa di depanku. Para pengejar tertawa-tawa kegirangan penuh penghinaan. Salah seorangnya segera membekukku yang masih menatap benda itu.

Dinding beton raksasa yang menjulang puluhan meter. Tak ada jalan keluar. Game over.

Aku sempat tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Kelelahan. Dan ketika aku terbangun, wajah serupa Hitler menyapaku. Aku sadar aku tengah diborgol, baik tangan maupun kaki.Mau menggeram pun percuma. Visual di sekelilingku menampakkan istana putih tiada ukiran maupun hiasan. Benar-benar kosong, pantaslah negeri ini disebut The Artless Country.

"Siapa kau? Apa yang membuatmu datang ke mari?" tanya si wajah Hitler tanpa basa-basi. Dengan kasar dia membuka masker dan membanting goggle hitam yang kukenakan.

"Aku Zephyr. Aku pembunuh bayaran. Kudengar, kau mencari potongan kepala seseorang di sini."

"Kau benar. Aku, Vanart, mencari kepala Hael Steiner, seorang komikus paling keji dalam sejarah umat manusia." Vanart mengelilingiku. Tatapannya menelanjangiku.

"Aku melihat kemampuan menembakmu tadi. Bagus juga, untuk ukuran pembunuh bayaran. Aku tak akan membunuhmu...." Vanart menggantung kata-katanya. Hening sejenak. Hanya ada aku dan Vanart di ruangan ini, jadi bahkan jarum yang jatuh sekalipun bisa terdengar.

"Aaaaaaaaarrgggghhhhhh!!!!" jeritku saat sebutir timah panas menembus dan terperangkap di betis kiriku.

"Anggap sebagai hadiah atas proyektilmu yang terjebak di dalam kepala tiga orang prajuritku. Kurung dia!!" lanjutnya sembari berlalu.

“ANJING LO BODAT!!! GUE DOAIN MAK LO BERK*NT*L TIGA!!”” makiku terakhir kali. Percuma, sudah tak terdengar.

Tiga orang prajurit datang dan menyeretku ke dalam sel. Darah mengucur deras dari kaki, membasahi lantai putih istana Vanart. Aku kembali tak sadarkan diri saat salah satu prajurit melemparku masuk ke dalam sel yang bau bangkai. Mataku menangkap sekelebat frame kurunganku. Benar-benar tempat yang tak layak untuk hidup. Berantakan, kotor, bau ; baiklah itu cukup.

Untunglah aku masih bisa merasakan hangatnya sang surya di sini.



***



Hujan turun dengan derasnya sore ini. Begitu deras, sampai membuat Zia ketakutan di pojok beranda. Tangannya gugup mencoba untuk bereksperimen dengan alat-alat ala laboratorium yang semakin rumit saja. Di sampingnya, duduk seorang pemuda berambut warna-warni yang agak berantakan. Mereka saling diam, tak ada percakapan yang berarti semenjak mereka bertemu lima belas menit yang lalu. Hujan membungkamnya.

“Ummm...kenalkan, aku Kuro. Aku pernah melihatmu di Museum Semesta. Kau pasti Zia, kan?”” ucap Kuro malu-malu.

“Iya, aku Zia. Kau bisa memanggilku Zee Zee kalau kau mau,”” sahut Zia, masih belum berpaling dari benda-benda di hadapannya.

“Zee Zee? Siapa yang memberi panggilan seperti itu?””

“Maysa. Kembaranku. Dia sedang berdiri di depanmu saat ini.””

Sejujurnya Kuro sama sekali tak percaya akan hal-hal mistis, tetapi kata-kata Zia barusan membuka mata dan pikirannya bahwa ia tidak sendiri di dunia ini. Bulu kuduknya perlahan naik dan membuatnya merinding. Tampias hujan mengenai badannya, menambah sensasi menyeramkan yang menembus akal sehat.

“Maaf, tapi kau ini punya indra keenam atau bagaimana? Aku tak melihat siapapun di hadapanku, kau tahu.””

“Ssshhh... diamlah, dia sedang berbicara. Tapi sepertinya tak terlalu penting. Jadi lanjutkan saja lamunanmu. Aku sibuk,” ucap Zia ketus.”

“Memangnya apa yang dia bilang?””

“Dia bilang kalau kita tak berguna, terlebih lagi aku. Jadi lebih baik kita mati saja.””

“Hiiiiiiiikkk!!”” pekik Kuro.

Baiklah, mungkin reaksi Kuro agak berlebihan untuk ukuran manusia yang memiliki darah dewa dalam tubuhnya, tapi kali ini ketakutannya merupakan hal yang lazim. Mendengar ada hantu yang ingin membunuhmu, bukankah itu fantastis?!

Senyap kembali merayap, menyeret setiap insan ke dalam buaian saudarinya, si lamunan. Si lamunan begitu lihai mempermainkan imajinasi. Mempertunjukkan audio dan visual aneka ragam di alam bawah sadar, tempatnya biasa bermain. Keahlian si lamunan terlihat tatkala perbedaan raut wajah Zia dan Kuro semakin terlihat.  Zia yang semakin tanpa ekspresi penuh kekosongan dan Kuro yang ekspresif akan ketakutannya. Dua insan berbeda yang dipersatukan sekaligus dibedakan oleh satu hujan.

“Jadi, apa rencanamu untuk menghentikan konflik di negeri tanpa seni ini?”” Zia buka suara.

“Aku? Aku berencana untuk segera mencari Hael Steiner dan memohon untuk bergabung dengannya demi membunuh Vanart. Misi selesai, semua bahagia,”” jawab Kuro, kali ini lebih tenang.

“Maksudmu aku?”” pintu rumah yang terasnya sedang diduduki Kuro dan Zia terbuka. Tampaklah sosok pria usia 20-an bertubuh tinggi sedang, dengan kemeja lengan panjang yang digulung, celana hitam, sepatu pantofel, dan rambut belah pinggir.

“Boleh kami masuk? Di sini dingin,”” pinta Zia penuh harap.


***



Obor raksasa yang menyala di tengah ruangan menerangi si gadis manis. Dia melangkah tak tentu arah, sesekali melawan angin dingin yang masuk dari luar. Jaketnya diketatkan, menambah kenyamanan tubuhnya yang tengah bimbang. Raganya memang di sini, namun pikirannya melayang entah ke mana.

“Fa, apakah aku menyesal telah melakukan ini? Aku tidak tahu,”” ucapnya lirih.

“Ayolah Na, kita melakukan sesuatu yang benar. Aku jamin tak akan ada penyesalan. Kau telah melihat ketangguhan tentara Vanart, bahkan kau melihatnya berlatih pedang,”” sahut suara dari dalam kepalanya.

“Setidaknya dengan ini kita tak akan membahayakan teman-teman reverier, iya kan?””
Tentu saja. Kau mengambil alih tugas mereka. Harusnya kau mendapat apresiasi luar biasa untuk tugas ini. Bahkan setelah para reverier keluar dari portal ke sini, aku yakin portal kembali ke Bingkai Mimpi akan keluar bahkan sebelum mereka melakukan apa-apa.”

Na mengingat kembali peristiwa tadi siang. Mencoba menampilkan kilasan-kilasan memori menjadi film yang berputar di kepalanya. Memastikan apa yang dilakukannya.


Beberapa jam yang lalu...


Na keluar dari portal mimpi. Ia mendapati dirinya berada di tengah ruangan putih-putih polos. Sepolos dirinya beberapa waktu yang lalu, sebelum bertemu Fa. Na menyusuri dinding-dindingnya. Samar-samar dia melihat seorang lelaki dewasa tengah berlatih pedang di halaman luar. Perlahan, Na mendekatinya.

Lelaki itu telanjang dada. Menampilkan otot-otot hasil latihan rutin secara bertahun-tahun. Bulir-bulir keringat memantulkan cahaya matahari yang menimpa kulitnya yang kecoklatan. Beberapa bergulir jatuh, menempel di ototnya, sebelum kemudian jatuh lagi dan menempel di celana pendek khas tentara yang dipakainya.

Na menelan ludah.
Biar aku yang melakukannya. Berjaga-jaga saja jika seandainya dia benar-benar ingin membunuhmu, Na.”

Sosok gadis Na kini berubah menjadi pemuda tanggung. Agak aneh memang, tapi inilah cara hidup makhluk dua roh dengan satu tubuh.

“Permisi. Apakah Anda tahu mengenai seseorang bernama Vanart?”” tanya Fa penuh kehati-hatian.

“Itu aku. Kenapa?”” Vanart menatap tajam Fa, langsung ke dalam matanya. Meskipun dia juga seorang lelaki, adalah hal yang lazim untuk ketakutan ketika ditatap seorang petinggi negara berdarah dingin seperti Vanart. Tidak, Fa tidak boleh mundur sekarang. Terlalu berbahaya. Ia harus menuntaskan misinya.

“Aku punya informasi mengenai Hael Steiner dan kelompoknya,””jawab Fa mantap.



***



Jess Hutcherson keluar dari portal dan langsung terkena guyuran hujan. Sekujur tubuhnya basah, membuatnya merasa amat tak nyaman. Si musisi melihat sekeliling. Negeri yang seolah mati. Rumah-rumah beratap kayu, sampah yang berserakan, jalan aspal yang terus menghitam, menggelapkan pandangan.

“Urrgghhh...aku benci hujan. Ayo cari tempat berteduh, bila perlu yang ada pemanasnya sekalian. Make-upku luntur nih,”” keluh Jess.

Hutcher tak menyahut. Matanya awas mengawasi sekeliling sembari kakinya terus melangkah mencari tempat berteduh. Makhluk yang tak bisa dibilang pria maupun wanita—atau bahkan hode ini berlari menembus hujan, sebelum berhenti di bawah beranda penduduk.

“Dingin banget di sini. Memangnya kamu nggak kedinginan, honey? Kita bikin api yuk,”” Jess mencoba mencairkan suasana. Ia tahu Hutcher masih marah karena pertengkaran kecil di Bingkai Mimpi tadi.

Tapi Hutcher bergeming. Pandangannya sendu namun serius. Jess sama sekali tak dihiraukannya. Biarlah, biarkan Jess terus berpikir ini semua salahnya.

Tetapi bukan itu yang terjadi.

Samar-samar terdengar suara tembak-menembak. Bukan, bukan di kejauhan. Tapi dekat. Dekat sekali. Muncullah rombongan yang melakukan aksi itu. Jaraknya hanya beberapa rumah dari lokasi Jess Hutcherson saat ini. Jess mengambil alih tubuh dan sontak menghindar. Hutcher sama sekali tak ambil bagian, berimbas pada Jess yang merasakan beban dua kali lipat dari tubuhnya yang biasa.

Jess menghindari rentetan proyektil itu dengan sigap. Langsung mendekat ke arah si penembak. Louboutinnya menghajar rahang si penembak, dengan satu tangan meninju perut penembak yang lain. Tangan lainnya meraih senapan yang dipegang salah seorang prajurit. Tiada ampun, Jess menembaki tentara Vanart di sekelilingnya. Total 12 orang tumbang di sekelilingnya.

Bukannya tanpa konsekuensi. Staminanya menurun dengan cepat karena Hutcher sendiri tak melakukan apapun untuk mengurangi bebannya.

“Mungkin dia masih lelah, jadi biarlah aku melakukannya,”” pikir Jess. Namun kemudian dia sadar, sesuatu sedari tadi berkedip di dekat kakinya.

“.....”

Pelacak otomatis untuk memberitahu posisi seseorang yang dibawa tentara Vanart. Kedipannya semakin cepat, pertanda bala bantuan segera datang. Tak sempat lari menghindar, sekonyong-konyong datanglah puluhan tentara Vanart dengan beragam artileri yang dibawanya, mengelilingi Jess-Hutcher.

Si musisi kalah telak. Tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk melawan. Dia mengangkat kedua tangannya, kali ini Hutcher mengangkat bagiannya sendiri tanpa diambil alih oleh Jess.

“Hutcher, tolong,”” kata-kata terakhir Jess sebelum mereka digiring ke istana Vanart.

“Bersabarlah,”” jawab Hutcher untuk pertama kalinya dalam setengah jam terakhir. Jawaban yang menimbulkan tanda tanya besar bagi Jess.

Sampailah Jess Hutcherson di istana Vanart. Megah sekali, dan tanpa sentuhan seni sedikitpun. Jess mengamati sekitar. Beberapa penjaga terlihat berseliweran di sana-sini. Berbagai amunisi terlihat berserakan di lantai. Semua orang memasang wajah tegas di sini. Tak ada pembicaraan yang berarti. Tubuh mereka terus bergerak, tak peduli hujan yang derasnya menimpa tubuh. Persiapan patroli untuk menemukan seniman yang masih tersisa.

Di sisi lainnya, belasan potong kepala terlihat bertumpuk tak beraturan. Beberapa di antaranya menggelinding jatuh ke lantai. Darah menggenang di mana-mana, entah itu keluar dari mulut, hidung, atau bagian leher sekalipun.

Para seniman yang menjadi korban keganasan Vanart.

Ikatan di tangan-kaki Jess-Hutcher mengencang. Rantai besar dipasangkan, dengan sigap langsung disambung ke balik dinding. Dia—atau mereka diikat dengan posisi X. Tangannya terangkat dengan kaki terbuka. Kepalanya dipaksa menghadap ke depan. Sampai ketika si seniman membuka mata, langsung disapa sorot tajam khas Vanart.

“Heh banci, kudengar kau adalah seorang musisi. Apa yang kau lakukan di sini?””

“Dari mana kau mendengarnya? Itu adalah berita palsu,”” jawab Hutcher tegas.

“Dari dia.”” Vanart menunjuk sesosok gadis yang berdiri membelakanginya. Gadis itu tak berekspresi, berjalan menuju Jess Hutcherson dan Vanart.

“Na?!”” pekik Jess.

“Musisi tak akan pernah bisa diterima di negeriku. Jadi, mungkin sudah cukup basa-basinya!”” suara Vanart meninggi. Dia mengambil kapak yang tergeletak di lantai. Memain-mainkannya sebelum akan memenggal kepala setengah wajah di hadapannya.

“Kau benar. Wanita yang menempati sisi kanan tubuh ini adalah seorang musisi profesional. Aku bukanlah musisi dan aku juga tak terlalu menyukai seni. Aku ada di pihakmu, Vanart. Tanya saja prajurit yang tadi menyerbu. soal kemampuan bela diriku. Dua belas orang prajurit terlatih kutumbangkan, Vanart. Kau bisa membunuh Jess, tapi aku juga akan mati. Kau tentu tak mau kehilangan seseorang berkemampuan setara dua belas orang orang tentara, bukan?””

"Tunggu, apa-apaan ini?! Pertama, Na, aku tahu kau gadis baik. Aku melihatmu dan Mahakaryamu di Museum Semesta. Apa yang kau lakukan dengan penjahat gila macam Vanart? Jampi-jampi apa yang dibisikannya ke kepalamu? Kedua, Hutcher, aku mengerti kau masih marah akan perbedaan pendapat kita dan aku berusaha untuk tidak terlalu terbawa perasaan, tapi apa kau lebih gila dari Vanart? Apa aku harus ikut gila untuk dapat menyelesaikan konflik di sini?! Dengar, mungkin aku salah bertengkar denganmu, namun berpikirlah jernih, Hut”— hardikan Jess terhenti seketika saat Vanart menempelkan mata kapaknya ke leher Jess.

“”Baiklah jagoan, kita ikuti permainanmu. Tapi bagaimana caranya agar kau tetap sadar ketika pelacur di sebelahmu itu binasa?”” Vanart tersenyum mengejek.

“Biar aku yang melakukannya,””sahut Na, melangkah mendekati yang sedang terikat.

“Na” Semakin dekat.

“NA SADARLAH NA!””jerit Jess dengan mata yang menatap nanar Na yang sekarang amat dekat darinya. Sampai akhirnya Na memeluknya. Tangan kanan Na mengelus pipi kanan milik Jess. Matanya memandang lekat, langsung ke tengah pupil Jess.

Kesadaran Jess lumpuh seketika. Hutcher bisa merasakan tubuh bagian kanannya memberat, tanda Jess sudah tertidur dan bermimpi. Sebisa mungkin Hutcher menstabilkan tubuhnya. Mentalnya aman, tetapi tetap saja tubuh kanannya masih berbentuk wanita. “Menyebalkan.”

“Sekarang kau siap.”” Na melepaskan pelukannya. Mundur teratur, kembali ke Vanart.

“Ayo. Kita punya rencana untuk diselesaikan,””perintah Vanart.

Ikatan Hutcher dilepaskan. Agak berdenyut di beberapa bagian yang diikat tadi. Na mengikuti Vanart ke ruang kerjanya, dengan Hutcher yang sempoyongan mengekor di belakang.

“Maafkan aku, Jess,”” batinnya.



***




“Dalam mimpiku aku bermimpi akan mendapati segerombolan orang yang bersedia menyelesaikan konflik di negeri ini. Dan kurasa itu adalah kalian,””sambut Steiner ramah. Senyumnya mengembang, menyisakan rasa hangat bagi yang melihatnya.

“Oh, iya...benar. Kami memang berasal dari Alam Mimpi. Tempat yang menyenangkan, menurutku,”” sahut Kuro sekenanya.

“Maaf aku menguping pembicaraan kalian tadi. Maksudku, aku juga tak terlalu fokus pada percakapan kalian karena aku juga sibuk membuat komik.””

Mereka bertiga berjalan menyusuri lorong panjang di dalam rumah Steiner. Entah apa yang tejadi pada listrik di sini, terbukti tak ada peralatan elektronik yang berarti di rumahnya. Lampu petromaks berdampingan dengan lilin menerangi rumah. Dengan cahayanya terus menari-nari bersama irama angin yang menembus dari bilik kisi-kisi papan.

Sampailah mereka di ujung lorong. Ruangan yang cukup besar untuk ukuran rumah-rumah di negeri ini. Udara di sini lembab, sepertinya letaknya di dalam tanah. Terlihat beramai-ramai orang berseliweran dengan kesibukannya masing-masing. Meja-meja bersusun tak beraturan, penuh dengan beragam bahan dan alat-alat berbau seni. Adalah hal yang biasa melihat cat akrilik tumpah menyisakan pola abstrak, meraskan senar gitar yang tersangkut-sangkut di kaki, bahkan mendengar suara-suara lolongan tak jelas dari beberapa sudut ruangan.

Ya, mereka sedang mengerjakan seni. Mengekspresikan diri mereka ke dalam bentuk-bentuk estetika. Baik itu lukisan, partitur musik, patung beragam ukiran, sampai karya yang butuh otak berintelejensia tingggi untuk memahami di mana keindahannya. Seni yang menghidupkan manusia, menjadi salah satu kebutuhannya. Berbaur indah dalam kehidupannya yang fana.

“Kami akan melakukan pameran seni di depan istana Vanart besok. Semua orang di sini tengah mempersiapkannya. Pameran yang akan dikenang oleh sejarah. Akan digaungkan keagungannya di seluruh dunia. Dan yang paling penting, pameran yang akan membebaskan ekspresi seluruh insan, khususnya di negeri ini,””ujar Steiner.

“Ya, aku sudah tahu sekilas tentang pameran besok. Tapi apakah mereka, semua orang di sini, hanya akan menjadi martir? Lalu apa yang akan kau lakukan?”” tanya Zia pesimis, seperti biasanya.

“Martir? Apa yang kau maksud? Mereka akan menjadi pejuang seni yang darahnya akan menjadi emas di kemudian hari. Perjuangan mereka akan terbayar, walaupun mereka sendiri tak akan sempat merasakannya. Dan aku? Akulah ujung tombak dari pameran ini. Dengan mulutku sendiri, akan kuminum darah keji Vanart yang telah membantai teman-teman sesama seniman di negeri ini,””jawab Steiner dengan suara yang agak meninggi. Terdengar kegugupan dari ujung kalimatnya yang bergetar.

Yakinkah dia akan hal ini?

“Kulihat kau berbakat dalam praktek kimia. Mungkin kau bisa membantu Chemistry Corner di pojokan sana. Aku butuh lebih dari sekedar bom tinta untuk membombardir Vanart.”” Steiner menunjuk salah satu pojokan dengan satu meja besar dan beberapa orang yang mengelilinginya, diikuti Zia yang melangkah mengikuti arah yang ditunjuk.

Hati-hati sekali Zia menuju pojok paling kiri ruangan itu. Semua kekacauan ini meningkatkan kehati-hatiannya, walaupun terkadang ada yang memecah konsentrasi. Dengan kepala yang terus menunduk, sekilas terlihat seperti seseorang yang tengah depresi. Ya, itu benar. Lebih tepatnya bukan depresi biasa, tetapi depresi karena skizofrenia yang diidapnya.

Maysa, seseorang—atau sesuatu yang dibicarakan Zia dengan Kuro tadi, adalah salah satu buah dari gangguan mentalnya. Dengan keahliannya mengolok-olok dan menyuarakan keputusasaan, Maysa sukses membuat si lab berjalan depresi. Merasa dirinya tak berguna setiap saat. Tapi kali ini bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan Maysa. Negeri ini dalam masalah. Semua orang membutuhkan seorang pahlawan untuk menyelesaikan masalah ini. Setidaknya, itulah yang dipikirkan Zia.

“Umm... perkenalkan namaku Zia. Apakah ada yang bisa kubantu?”” Zia memulai pembicaraan di Chemistry Corner.

“Membantu? Tentu saja. Dari penampilanmu, terlihat sekali kau jago dalam hal ini, Zia. Jangan malu-malu, kita sedang mengerjakan seni di sini. Kau bisa mulai mengerjakan apapun yang kau mau di sini,”” sambutan hangat seorang wanita berjas lab penuh noda.

“Selamat datang, Zia,”” sambung semua orang di Chemistry Corner. Zia terpana dibuatnya. Terlebih lagi saat seseorang menunjukkan rak penuh bahan kimia beragam rupa dan warna.

Senyuman Zia mengembang perlahan,” “Waktunya berpesta.””


Sementara itu...


“Hei Stein, kudengar kau bisa melakukan gerakan-gerakan gulat pro. Apakah itu benar?” tanya si rambut warna-warni.

“Tentu. Aku penggemar gulat pro ala-ala WWE atau semacamnya. Mungkin ini akan berguna suatu saat nanti, maksudku, ketika akhirnya aku berduel satu lawan satu dengan Vanart, dengan mempertimbangkan kemungkinan tidak ada senjata yang dipakainya.””

“Memangnya seperti apa sih Vanart itu? Semenyeramkan apa dia? Apakah dia suka makan sayur?”

“Dia adalah anak dari mantan pemimpin negeri ini. Sejak dia berkuasa, segala bentuk seni dihapuskan dari sini. Sudah tak terhitung lagi berapa nyawa seniman yang melayang di tangan dinginnya. Dia juga adalah perwira tertinggi militer. Tatapannya membutakan elang—saking tajamnya. Ototnya sebesar godam, bertonjolan di sekujur tubuhnya. Kemampuan berpedang dan menembaknya mengerikan. Bagiku, dia lebih dari sekedar horror. Kami sudah menyerah melawan secara militer, dan biarlah pameran besok menjadi penentunya. Kami butuh kebebasan untuk tetap berekspresi dengan seni.””

“Apakah dia tetap akan sombong melihat dagingnya tersayat-sayat dengan ini.”” Kuro mengeluarkan kedua pedangnya, lalu mulai beratraksi ala film kung fu (panda). Dia mengayunkan pedangnya, melompat, menebas angin. Setiap tebasannya menyemburkan api, terkadang angin yang berputar kecil. Mempertontonkan segala kemampuannya untuk meyakinkan Steiner bahwa dirinya pantas mendampingi Steiner dalam pameran kematian esok hari.

“Hei sobat, ayo kita ke tempat lain. Jika kau terus berlatih seperti ini, yang’ ada rumahku akan hangus terbakar.”” Steiner terkekeh, lanjut berjalan ke tempat lain diikuti Kuro yang berjalan sembari terus bergaya.

Hujan sudah berhenti. Digantikan oleh langit malam yang cerah bertabur bintang. Namun sayang, asap-asap berwarna gelap dari berbagai penjuru malah membumbung tinggi, mencoreng citra indah sang malam hari ini. Membuat pemandangan semakin menyesakkan.

“Sepertinya kau tahu banyak soal ilmu bela diri, bro. Kau harus mengajariku,”” sambut Steiner di halaman belakang.

“Apa kau tidak terkejut dengan semburan api dan angin-angin kecil tadi?””

“Kau tahu, aku terlalu lama berada di dunia fantasi untuk mengerjakan komik. Di sana, aku sudah biasa melihat hal-hal seperti manusia berapi ataupun dewa dan naga angin.””

“Dunia fantasi? Dewa angin? Naga angin? Bisa kau membawaku ke sana?” pertanyaan polos Kuro yang keluar dari mulutnya begitu saja. Steiner berhenti menyusuri halaman belakang, lalu menarik nafas dalam-dalam, perlahan mengeluarkannya.

“Yang benar saja, heh?” batinnya.



***




“Tunggu, apa-apaan ini?” sela Hutcher saat kedua tangan dan kakinya diborgol kembali. Rapat kenegaraan untuk “pameran” besok baru saja usai ketika Hutcher ingin berjalan-jalan mengelilingi istana Vanart, namun tiba-tiba beberapa tentara Vanart mengerumuninya dan segera memborgolnya.

“Tuan Fa bilang kau punya potensi untuk membahayakan Lord Vanart, jadi kami terpaksa memborgolmu. Kau tidur di sel bawah, bersama seorang pembunuh bayaran yang tertangkap tadi siang,” jawab salah satu tentara datar.” Yang lain segera menggiring Hutcher ke sel di lantai bawah.

“Sial! Harusnya aku saat ini sudah berada di dalam camp dan memimpin rapat pembatalan pameran Steiner besok. Kalau begini sia-sia saja usahaku mengkhianati Jess. Awas kau, Fa!” batin Hutcher.

Hutcher adalah seorang yang penurut. Tanpa perlu diperintah pun dia sudah masuk sel dengan anggun. Pintu sel dikunci, langsung ditinggal pergi oleh para pesuruh Vanart, kecuali dua orang yang diperintah untuk berjaga.

Hutcher mendongak ke samping sel. Jendela kecil dengan jeruji besi yang memasukkan cahaya rembulan sebagai satu-satunya penerangan. Cahaya putih itu menimpa tubuh seorang pemuda berpakaian hitam-hitam yang berantakan. Hutcher ingat pemuda itu. Dia adalah Zephyr, orang yang dilihatnya sebagai yang paling dingin di Museum Semesta. Zephyr tengah terbaring lemas, sepertinya sedang tak sadarkan diri.

Sementara di lantai atas sana, Na kembali termenung di samping jendela. Matanya memang memandang purnama yang mengggantung indah. Aslinya, pandangannya kosong. Melamun, memikirkan sesuatu. Dilema yang harusnya tak singgah di kepalanya.

“Hutcher sudah tahu kalau kau yang menyuruh prajurit untuk mengurungnya, Fa.””

“Memangnya kenapa? Hutcher pasti akan memberitahu Hael Steiner tentang kesiapan Vanart untuk pameran kematian besok. Biarlah besok menjadi hari yang kelam, kau tak seharusnya menyaksikan kejadian besok. Begitu juga dengan Hutcher dan Zephyr. Kau menyelamatkan mereka, Na.”

“Mereka seniman-seniman tak bersalah, Fa. Aku yakin para reverier selain Jess-Hutcher dan Zephyr telah bergabung dengan Steiner. Darahnya akan sia-sia.””

“Aku tak akan membahayakan nyawa lebih banyak orang. Kalau memang Hutcher membocorkan rahasia tadi ke Steiner, tentu mereka akan membatalkan pameran besok. Mereka akan merencanakan pemberontakan yang lebih besar, dengan lebih banyak lagi nyawa yang terlibat. Kau terlalu mengkhawatirkan reverier lain. Setidaknya, mengorbankan beberapa nyawa untuk banyak nyawa lebih mulia ketimbang mengorbankan semuanya hanya untuk beberapa.”

“Aku harus memberitahu Jess-Hutcher dan Zephyr. Tak enak rasanya membiarkan orang lain berburuk sangka.””

Na bangkit dari jendela dan segera mengunjungi sel tempat Hutcher dan Zephyr berada. Gadis belasan tahun itu masuk ke sel, menyuruh kedua penjaga sel untuk pergi. Tangannya menyentuh Zephyr, menggoyang-goyangkannya sedikit untuk dapat membuatnya terjaga barang semenit-dua menit. Dan ia berhasil.

Zephyr membuka dan mengucek-ngucek matanya ketika tangan kiri Na menyentuh pelipis kanan Hutcher. Mencoba membangunkan Jess dari mimpi yang diciptakannya sendiri, semata-mata untuk membungkam Jess yang terkadang omongannya tak bisa dijaga. Na melanjutkan pengobatan. Sembari kedua tangannya memegangi betis kiri Zephyr, Na terus berbicara.

“Dengar, aku mencoba untuk menolong kalian, reveriers. Aku tak ingin kalian merasakan sakit perang esok hari. Seperti yang telah kalian ketahui, Vanart beserta pasukannya telah menyiapkan ‘kado’ besar untuk pameran besok. Pembantaian seniman-seniman tak berdosa. Kalian tak perlu melakukan apa-apa. Cukup duduk manis dan tunggulah portal kembali ke Bingkai Mimpi. Selesai,”” jelas Na.

“Gadis manis, kau salah. Bukan hak ataupun kewajibanmu untuk mengambil alih tugas kami. Walaupun ini mimpi, bayangkan saja situasi yang terjadi di negeri ini adalah nyata. Bayangkan betapa sunyinya dunia. Betapa membosankannya semesta. Aku, Jess, tak akan membiarkanmu mendikte semua ini sesuai kehendakmu,” ujar Jess.

“Dan bagaimana dengan reverier lain? Bisa saja mereka masuk ke faksi Steiner dan mereka akan mati sia-sia besok. Khusus untukmu Fa, aku yakin kau bisa mendengarku, jangan coba-coba halangi aku!” sambung Hutcher.

“Mengorbankan beberapa untuk semua lebih baik dari mengorbankan semua untuk satu.”

“Entahlah, aku tak begitu mengerti situasi di sini. Aku baru saja mendarat keluar dari portal dan pasukan brengsek itu langsung menembakiku. Puncaknya ketika Vanart si tukang bacot mempermalukanku dan menembak betis kiriku,” Zephyr menanggapi.

“Jika kau benar bagian dari mereka, maka...” Zephyr menggantung kata-katanya.

“......””

Sekuat tenaga Zephyr menghancurkan borgol yang membelenggu tangannya. Dengan gerakan yang sukar ditangkap dengan mata telanjang, Zephyr merogoh pistol tersembunyi dalam jasnya, mengarahkannya, dan langsung menembak tepat ke dahi tengah Na. Ia tewas seketika. Begitu juga dengan personanya yang lain, Fa.

“Hei hode, ayo cepat!” bentak Zephyr ke Jess Hutcherson.

“Lepasin dulu kali. Cepetan tembak ke sini.” Si musisi setengah-setengah memperlihatkan borgol di tangan dan kakinya ke Zephyr. Tembakan Zephyr sangat akurat. Kedua borgol itu langsung hancur, membebaskan Jess-Hutcher.

Alarm keamanan berbunyi segera setelah terdengar suara tembakan Zephyr. Semua personel keamanan Vanart segera bergegas berlari ke segala arah. Salah satunya menghampiri Jess-Hutcher. Wajahnya tertutupi masker dan topi gelap. Entah apa yang dilakukan prajurit Vanart yang satu ini. Tunggu, dia bukan bawahan Vanart, tetapi dia adalah....

“Hei banci, cucok deh ah pake bra begituan. Ini asli ya? Hihihihihi....”” ia membuka maskernya.

“Hayati? Kenapa kamu bisa ada di sini?” ucap Jess terkaget-kaget. Hayati adalah nama yang diberikan Jess untuk menyebut makhluk peliharaan Penguasa Alam Kematian. Sesaat setelah kematian Jess dan Hutcher, makhluk ini menghampiri dan menuntun mereka ke si majikan.

Hayati menggoyangkan badannya, berusaha melepas pakaian tentara yang dipakainya sebagai kamuflase. Tampaklah bentuk aslinya. Seekor kucing berwarna biru dengan beberapa bagiannya yang putih bersih dan dua helai daun di bawah lehernya sebagai dasi ecek-ecek. Hayati memiliki sepasang sayap di belakang punggungnya, membuatnya bisa terbang.

“Udah ah ceritanya panjang. Eyke di sini mau ngasih ini barang, kayaknya ketinggalan deh.” Hayati menyerahkan sebuah biola dan dua buah gesekan biola yang sedari tadi dipegang kedua tangan mungilnya,””Udah ye, eyke mau capcus dulu. Siu babay.””

Hayati meninggalkan Jess Hutcherson dan Zephyr yang masih melongo. Tapi sudah saatnya untuk sadar. Ini situasi darurat, tak perlu berkaget-kaget segala. Jess menaruh biola yang menyerupai gitar ini ke balik gaun merahnya, dengan kedua tangan memegang dua gesekan biola yang beralih fungsi menjadi double sword. Zephyr dalam posisi siaga, mengacungkan dua pistol ke segala arah.

“ITU MEREKA!” pekik seseorang di ujung lorong, begitupun di ujung yang lain. Dua rombongan besar tentara Vanart datang menyerbu ke arah Jess-Hutcher serta Zephyr.

Zephyr menembaki sepasukan tentara itu dengan sigap dan tanpa ampun. Belasan timah panas sukses membuat tentara-tentara Vanart jatuh. Rombongan itu balas menembak. Si pembunuh hitam menghindar masuk ke dalam sel, lalu keluar dan memanjat jeruji sel lain sambil terus menembak. Akurasinya luar biasa. Bahkan tentara yang menyerbu dari atap sel pun tak luput darinya.

 Jess Hutcherson berlari ke arah lain, segera melancarkan serangan jarak dekatnya dengan dua gesekan biola yang menjadi senjata. Darah menyiprat ke mana-mana. Dia menari, dengan indahnya menghindari tembakan senapan, lalu membalas dengan sapuan gesekan biola langsung ke leher si penembak. Kemampuan musisi ini tak boleh dianggap remeh. Setelah meng-KO-kan dua belas orang sore tadi, malamnya ia menjatuhkan lebih banyak orang.

Suara tembakan Zephyr masih belum berhenti ketika si musisi mengambil biolanya dan memulai konsernya sendiri. Persona dominan kini diserahkan pada Jess. Wanita yang telah matang ini memainkan musik-musik dengan frekuensi dan nada-nada ultrasonik, bahkan lebih tinggi. Suara yang dihasilkan efektif menciptakan banjir darah pada pasukan Vanart. Ada yang perutnya terbelah, matanya berlubang, kakinya patah, dan segala kerusakan yang pasti tak ingin engkau lihat.

Pintu keluar sel telah bebas dari segala bentuk penjagaan, mempermudah langkah mereka untuk keluar dari tempat terkutuk ini. Zephyr yang paham situasinya bahkan keluar lebih dulu. Mereka masih ditembaki oleh tentara Vanart yang tersisa di belakang, luput dari muntahan peluru Zephyr.

Suasana di luar ruangan sel terlihat ramai. Terdapat puluhan tentara bawahan Vanart yang sedang siaga. Beberapa belas penjaga yang menyadari kehadiaran Jess Hutcherson dan Zephyr terlihat melongo menyaksikan dua—atau tiga orang tahanan keluar begitu saja dari selnya dan langsung memburu pintu keluar.

Tak terlalu memperhatikan sekitar, si musisi dan si pembunuh bayaran fokus ke pintu keluar yang tanpa penjagaan. Puluhan proyektil mematikan  segera menyerbu mereka. Beruntunglah, sebagai dancer profesional, Jess dan Hutcher tahu gerakan-gerakan yang memungkinkan tubuh mereka untuk menghindari serbuan peluru sambil tetap berlari. Sebisa mungkin Jess memainkan nada-nada untuk melumpuhkan tentara Vanart di belakang. Zephyr berulang kali menghadap ke belakang untuk kemudian menembak para aparat keamanan yang mengejarnya.

Mereka akhirnya keluar dari istana Vanart. Semenjak alarm berbunyi di dalam, external security di sini menjadi berkurang. Hanya ada lima orang penjaga yang sedang kumpul kebo, itu pun langsung pergi melihat wajah Jess Hutcherson yang bernodakan cipratan darah dan kedua pistol Zephyr. Tapi di balkon atas sana, ada sepasang mata yang menatap setajam silet.

Vanart dalam balutan kemeja dan celana panjang hitam-hitam memasang ekspresi mencekam. Tak ada guratan keraguan di wajahnya. Matanya menatap fokus ke kedua tahanannya kabur. Si pemilik tatapan penuh kengerian yang membuat siapapun takut itu pun menghilang dari balik balkon. Bukan pertanda yang baik.

Zephyr terus berlari tak tentu arah, diikuti Jess-Hutcher yang sedari tadi mengekor di belakangnya. Asalkan bisa menjauh dari istana gila itu, apapun akan ditempuhnya. Rembulan sempurna menerangi jalannya. Keringat berbaur dengan darah di wajahnya yang tegang. Nafasnya kembali memburu bagai dikejar hantu jadi-jadian. Bukan, bukan hantu. Yang mengejanrya adalah tentara Vanart, tak henti-hentinya melancarkan tembakan-tembakan peringatan.

“Zephyr, kita harus sembunyi. Aku tahu kau pasti lelah, begitu juga aku. Tak mungkin melawan ribuan tentara sekaligus!” teriak Hutcher.

Zephyr berbelok ke sebuah gang sempit nan gelap tanpa perlu berdebat lebih jauh. Mengatur nafasnya yang habis dipompa maksimal. Perlahan-lahan dia berjongkok, lalu terbaring lemas. Tidak, dia tidak mati. Pelarian tadi benar-benar menguras energi dan pikirannya. Belum lagi si aneh Jess Hutcherson yang masih membayang di pikirannya.

“Ahhh... aku lupa mengucapkan terima kasih. Membunuh Na adalah hal yang sangat tepat setelah aku mendengar argumennya tadi. Aku kagum dengan tangan dinginmu dan insting yang sama dinginnya,” Hutcher memulai pembicaraan yang disambut acungan pistol Zephyr.

“Ngomong sekali lagi gue bunuh lo!” desisnya.

“Hutcher, kita mesti kasih tau Steiner soal ini,” ujar Jess.

“Terus kita nyari markasnya gimana? Udahlah Jess, biarkan saja. Lagian kita udah terlalu lelah malam ini. Untukmu juga Zephyr, kita harus melawan faksi Vanart dan membunuhnya secepat mungkin besok. Kita memiliki faksi sendiri di sini, kalian dengar?” jelas Hutcher. Kini ia ikut terbaring bersama Zephyr yang sudah terlanjur lelap. Raganya tidur, tetapi khayalannya aktif memutar bayangan akan perang esok hari.

Dan sepinya malam kembali menggenang.




***




Matahari mengintip dari ufuk timur. Sinar hangatnya langsung disambut gerombolan burung bermacam jenis. Mereka terbang membentuk formasi-formasi menawan namun teratur. Bersama melewati The Artless Country. Pemandangan yang sebenarnya indah, namun negeri tanpa seni ini bagai tak membiarkan alam memancarkan pesonanya.

Rombongan itu telah siap dengan bawaannya masing-masing. Lukisan, patung, alat musik, naskah komik, segala yang berbau seni bisa tercium. Pagi ini, mereka bersiap melakukannya. Pameran Mahakarya yang akan tercantum pada buku sejarah di masa depan. Seni yang menghidupkan, seni pulalah yang mematikan. Begitulah kiranya apa yang dipikirkan mereka. Dengan langkah cepat yang pasti, gerombolan yang sebenarnya tak lebih dari lima puluh orang itu menapaki jalan The Artless Country. Iringan terompet besar yang dibawakan beberapa orang menambah megah suasana di pagi itu.

“Kita sampai. Guys, set your position!” ujar Steiner. Rombongan itu segera bubar, mengambil tempat masing-masing. Mempersiapkan dan mempertunjukan segala karya seni yang mampu diekspresikannya. Suasana berubah ramai.

Inilah pameran impian Steiner. Dia mengamati sekelilingnya dengan mata berbinar dan senyum sumringah. Sejenak bisa dilupakannya rasa canggung yang menggelayutinya sejak subuh tadi. Tapi rasa itu datang lagi. Sejujurnya dia sudah tak tega melakukan ini. Bagaimana kalau dia tak berhasil? Zia benar, tak seharusnya orang-orang ini menjadi martir.

Apakah aku yakin akan melakukan ini?”

“Apakah aku sanggup?”

“Apakah aku bisa?”

“Apa yang kau cemaskan, kawan? Kau melakukan sesuatu yang benar. Ayolah, tak perlu khawatir. Ini saaatnya kau menunjukkan kekuatan seniman. Ayo, bergeraklah kawan. Hancurkan batu yang mengganjal dalam hatimu,” sebuah suara penuh energi positif menyadarkan lamunan Steiner.

“Kulihat kau begitu yakin akan hal ini, Kuro,” Steiner tersenyum garing. Ditengoknya Kuro sedang bermain-main dengan bahan-bahan kimia kepunyaan Zia.

“Kau harus yakin untuk bisa menang, dan senyuman adalah cara terbaik untuk melakukannya. Itulah yang diajarkan pengasuhku dulu. Saat ini aku sedang mencoba mengamalkannya dan mengajak orang beramai-ramai untuk ikut melakukannya. Bersama meraih kemenangan,” ujar Kuro dengan senyum sepuluh sentinya.

“Hei Kuro!! Jangan ganggu anakku!!” hardik Zia dari kejauhan melihat benda-benda ilmiahnya dipermainkan Kuro.

“Pengasuhmu dulu pastilah orang yang sangat bijak. Zia, apakah kau sudah siap?” Stein melirik Zia dan Kuro yang sedang bertengkar mempermainkan bahan-bahan kimia. Agak lucu juga karena Kuro sesekali mulai menampilkan ekspresi gilanya sembari terus berlari menghindari Zia.

“Membantu sesama bagiku sudah lebih dari cukup,” jawab Zia setelah berhasil merebut salah satu gelas kecil dari cengkeraman Kuro, tetapi salah-salah gelas itu malah terlempar ke balik semak-semak.

Gelas tersebut jatuh di dekat kaki seseorang yang sedang bersiaga dengan dua pistol di tangannya. Yup, Zephyr yang sedang menunggu pembantaian massal seniman. Di sampingnya berjongkoklah si musisi setengah-setengah, Jess Hutcherson.

“Tenanglah Zephyr, ini hanya peperangan. Aku yakin kau telah terbiasa dengan ini semua. Jangan terlalu panik, entar kalau stress bisa gawat lhoo,” kicau Jess renyah.

“Diam kau banci!” desis Zephyr.

BOOOOOOOM!

The game has begin.

Tiba-tiba terdengarlah suara ledakan berkekuatan penuh dari salah satu sudut pameran, disambung dengan rentetan tembakan yang beradu dengan pilar-pilar istana Vanart, memecah pinggirannya yang tak berpelindung. Pameran berubah kacau. Papan aneka warna berserakan, beberapa berlubang dihajar peluru. Orang-orang berlarian tak tentu arah. Berusaha mencari perlindungan sembari meneriakkan nama Steiner dengan penuh kengerian.

Dan yang dicari malah lebih beringas mencari perlindungan. Hujan peluru yang tak henti-henti membesarkan keraguannya. Semakin ciut pulalah nyalinya mengubah dunia. Batinnya tertekan melihat orang-orang yang meneriakkan namanya bermuka nestapa sebelum kemudian jatuh terbanjiri darah.

Dari balik semak-semak, Zephyr beserta Jess-Hutcher melompat keluar ke tengah-tengah hujan proyektil. Berusaha menghentikan penyerangan besar ini dengan kemampuan masing-masing. Gerakan kombo antara tembakan Zephyr dan alunan melodi dari Hutcher—yang kini dengan persona dominannya memilih menggunakan senjatanya sebagai gitar maut perlahan menormalkan situasi. Kedua reverier ini mengalun bersama di tengah hancurnya perang.

Sebelum kemudian mereka terpisah.

Lima tembakan tentara Vanart mengincar tepat ke tengah perut Jess Hutcherson. Hutcher membalik gitar, menciptakan pelindung ala kadarnya. Tembakan yang sangat kuat yang mampu mendorong si musisi hingga terlempar dan tanpa sengaja mendarat di tempat perlindungan Steiner dan rombongannya yang tersisa. Meninggalkan Zephyr yang mau tak mau harus berjuang sendiri.

“Apa yang kalian lakukan di sini?! Steiner, bukankah kau harusnya menyusup masuk ke dalam sana dan membunuh Vanart? Bukankah rombonganmu ini harusnya memberikan tembakan perlindungan agar kau bisa melakukannya?!” amuk Hutcher mendapati suasana di tempatnya mendarat yang seolah tak pernah ada suatu apa pun yang terjadi. Satu per satu orang ditatapnya. Hutcher menemukan keraguan besar di sini, termasuk pada kedua reverier mencolok yang pernah dilihatnya di Museum Semesta, Kuro dan Zia.

“Seseorang pernah memberitahuku untuk mengikuti pemimpin. Dan itulah yang aku lakukan beserta orang-orang di sini,” ujar Zia datar sambil melihat ke arah Steiner.

Steiner memeluk lututnya lebih erat,” Maafkan aku.”

“Maaf? Itu saja? Baiklah, perang ini akan usai begitu kau mengucapkan maaf sekali lagi. Luar biasa, hidup Steiner!” Jess menampar keras salah satu pipi Steiner ,””Realistislah, sayang. Kau ada di perang sungguhan, bukan perang di komik-komik yang bisa selesai hanya dengan sebutir Deus ex Machina!”

Hujan peluru masih berlanjut. Kali ini berubah menjadi gerimis peluru.

“Baiklah, aku bosan terus menjadi motivator selayaknya Mario Teguh kali ini. Temanku tengah berjuang sendiri di garis depan sana demi kalian. Kita tak punya banyak waktu. Kumpulkanlah segala rasa ragu yang kalian punya. Tumpuk setinggi-tingginya. Dan dengan ini....” Hutcher memainkan gitarnya dengan melodi positif dalam setiap nadanya.

“Ubahlah semuanya menjadi peluru emas yang siap menembus batas ruang lingkup keraguan kalian.””

Sementara Hutcher mencoba membangkitkan kekuatan Mahadahsyat para seniman, di lini depan sana Zephyr telah menyerah melawan kekuatan militer luar biasa Vanart. Magasinnya hampir kosong, begitupun staminanya. Kedua tangannya terangkat ke atas sebagai tanda menyerah.

Vanart keluar dari balik istananya dengan wajah dinginnya, kali ini dihiasi senyum licik nan menghinakan siapa pun yang melihatnya. Dia tengah bertelanjang dada, menampakkan tonjolan otot yang bersamanya melihat peperangan di depan istana bak konser akbar. Tanpa iring-iringan apapun, langkah tegap Vanart menghadap Zephyr. Hujan peluru sudah usai lima belas detik yang lalu.

“Akhirnya kau kembali, pecundang.” Vanart meludahi wajah Zephyr. Yang diludahi balas menggeram.

“Cukuplah basa-basinya. Kali ini, kau berikan aku potongan kepala Steiner, sepuluh kantong emas kontan akan kau bawa pulang.””

Zephyr mengangguk. Menarik nafasnya sebelum berteriak lantang,” “HAEL STEINER!! KELUARLAH!!!”

Steiner melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Tangan kosongnya diam, mungkin tak ada perubahan berarti sejak Hutcher "meng-exorcist-nya". Matanya semakin sayu. Dipandangnya Zephyr yang tengah mempersiapkan katana dari Vanart. Langkahnya berubah menjadi lari, dan berhenti beberapa langkah dari dua orang yang kini siap merenggut nyawanya.

“Lakukan jika kau memang seorang pria.”

Zephyr mendekati Steiner dan berdiri membelakanginya. Katana diangkatnya tinggi-tinggi, membentuk sudut ideal untuk dapat memenggal kepala seseorang sebelum sempat merasakan sakit. Senyum licik Vanart semakin mengembang. Dan....

Ayunan katana Zephyr dengan cekatan menghindari leher Steiner. Dengan akurasi yang tak perlu diragukan, Zephyr melempar pegangan katana yang langsung disambar Steiner. Menggunakan tangan lainnya, Stein meninju tonjolan besar perutnya dan keluarlah Zia dari balik rompi Steiner, langsung melempar bahan-bahan kimia berbahaya yang segera memojokkan Vanart.

“SERAAAAAAAANG!!!”




***




Lolongan suara khas Kuro menandai perang yang sesungguhnya. Pasukan Steiner yang tersisa maju dengan karya seni masing-masing sebagai amunisi dadakan. Para warga sipil juga tak ketinggalan. Acungan arit dan garpu rumput bersama mewarnai obor perjuangan warga negara yang ditindas haknya. Melawan rezim raksasa yang mengukung mereka selama puluhan tahun. Dan benar, hari ini tetap akan dikenang dalam sejarah.

Hujan peluru kembali datang. Para abdi militer dengan amunisi mematikan ini begitu setia akan pemerintahnya. Terus maju meski tahu itu salah. Kabar baiknya, ada beberapa yang sadar akan pentingnya seni dalam kehidupan bernegara, bahkan militer sekalipun. Mereka yang berontak sigap membunuhi temannya yang sebagian besar sudah terkena pengaruh gelap Vanart. Kini mereka bukan bekerja sebagai aparat militer, namun sebagai warga yang negaranya tengah dijajah pemerintahnya sendiri.

Peperangan ini bukannya berat sebelah. Pihak Steiner sekarang punya dua keajaiban besar. Ya, Kuro dan Jess-Hutcher bukanlah insan biasa. Keajaiban kini terlihat nyata tatkala keduanya melakukan jurus kombo. Kuro memainkan dua pedangnya dengan lihai sebagaimana yang ia tunjukkan kepada Steiner malam tadi. Beberapa kepala sukses dipenggalnya, bahkan dengan kemampuan manipulasi api dan angin ia baru saja merobohkan satu tank besar, diikuti beberapa peluncur roket yang posisinya bersanding dengan tank tersebut.

Semuanya tak lepas dari peran Jess Hutcherson. Petikan gitar Hutcher yang diselingi gesekan biola Jess mengalirkan energi positif ke segala arah. Membangkitkan hasrat untuk terus berjuang melawan kedzaliman. Di tengah perang, ia menari dengan dua gesekan biolanya yang terus saja menambah kerusakan di pihak Vanart. Tak jarang ia mengeluarkan alat musiknya untuk menambah efek destruktif sembari terus menciptakan harmoni.

Tiga lawan satu, atau setidaknya bagi Steiner berarti tiga lawan tiga. Tebasan katananya beriringan muntahan peluru Zephyr dan cipratan bahan kimia Zia. Vanart bukannya tak melawan. Seorang Vanart memiliki kekuatan setara tiga orang tentara profesional yang telah menelan asam-garamnya peperangan. Dengan lihai dia menghindari nyaris setiap serangan dan membalasnya kembali dengan tembakan pistol rahasia yang tersembunyi di balik celananya. Vanart dengan sengaja mundur perlahan, memaksa trio pejuang untuk ikut masuk ke dalam istananya. Begitu mendapat momentum, ia mengambil paksa salah satu pedang yang berserakan di lantai. Mengubah pertarungan mafia menjadi pertarungan ala Zorro.

Di luar sana, peperangan yang berlangsung alot kini seolah mulai menemukan titik terangnya. Tentara Vanart semakin merengsek mundur dengan anggotanya yang lebih banyak berpindah faksi. Jess-Hutcher dan Kuro semakin beringas dalam upayanya menyelesaikan perang. Lelah bak sudah mencapai batasnya. Bukannya jarang Hutcher mau tak mau harus memainkan melodi penyemangat untuk tetap mengobarkan api perjuangan.

“Sudah saatnya, Kuro,” ujar Hutcher. Ia memainkan gitarnya semakin cepat, menghimpun energi yang tersisa sekaligus membuat energi-energi baru.

“Tentu,” sahut Kuro, masih belum berpaling dari musuh-musuhnya. Kuro menancapkan salah satu pedangnya ke tanah, dan muncullah sosok mirip dirinya. Langsung membantu Kuro menebas lawan-lawannya.

“Tak usah kau jelaskan lagi. Aku sudah tahu semuanya.” Dengan kemampuan setara Kuro, Zweite semakin membalikkan situasi perang. Tak usah lagi meragukannya.

 Jess Hutcherson berhenti sejenak. Energi yang telah terhimpun di gitarnya disalurkan ke Kuro dan Zweite. Keduanya melompat dan menyemburkan angin serta api dalam volume raksasa, menciptakan badai api. Kesempatan yang langsung dimanfaatkan Jess untuk memainkan biolanya dengan kekuatan maksimal. Semuanya menuju satu arah : istana Vanart.

BOOOOOOOOOOM!!!

Slow motion ledakan istana putih itu menjadi momentum dramatis yang akan diingat oleh semuanya. Runtuhnya atap istana lebih terlihat seperti penggalan kepala Vanart kala itu. Waktu seolah berhenti.  Melambatkan puing istana yang terlontar ke segala arah. Menandakan orde baru kekuasaan yang dulu hilang entah ke mana. Beriringan dengan degup jantung yang kini kencangnya memburu nafas.

“KITA MENANAAAAANG!”

Ledakan istana Vanart segera disusul sorak sorai faksi Hael Steiner. Wajah suka cita berbaur dengan tangisan-tangisan haru yang bahagia. Senjata mereka masing-masing ditinggalkan, kemudian membentuk gerombolan penuh kegembiraan. Angin menghembus syahdu, membawa helaian daun mahoni kecil-kecil yang gugur sebelum waktunya.

Ketiga sosok yang membuat ledakan kemenangan itu kini terbaring lemah beralaskan tanah coklat yang permukaannya bercampur material putih bekas istana Vanart yang telah hancur. Lelah yang semakin membayang di pelupuk tak menghalangi senyum untuk terukir di wajah masing-masing. Dua portal hitam kini terbuka di dekatnya.

“Petualangan luar biasa, iya kan?” ucap Jess.

“Sangat luar biasa,” jawab Kuro.

 “Ahhh... aku lelah berada di sini. Mungkin kita bisa bertemu di kesempatan yang lain. Terima kasih, Jess, Hutcher,” lanjut Zweite. Keduanya bangkit dan masuk ke portalnya.

“Selamat tinggal.””

“Dan sekarang giliran kita, Jess.”




***




Di dalam reruntuhan putih itu, raga Zia yang sudah tak bernyawa terbujur kaku. Darah menetes dari luka-luka menganga di seluruh tubuhnya, turut memerahkan jas labnya yang terjepit potongan batu bata.

Jika Zia di sini, berarti...

“Menyerahlah, Vanart!” bentak Steiner. Yang dibentak malah tersenyum simpul. Bukan, bukan ke arah Steiner.

Zephyr ikut tersenyum. Dia menarik pelatuk pistol yang menyisakan satu-satunya peluru di dalamnya. Si pembunuh hitam kembali mengarahkannya....

“.....”

DOR!!

Dan kepala berlumuran darah itu pun menggelinding di dekat kaki Vanart.


24 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : C
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Zephyr bisa ngancurin borgol pake tenaga tangan kosong? Saya baru tau dia ga cuma bisa nembak

    Saran :
    Menyiprat >> terciprat (kata dasarnya ciprat, bukan siprat, dan konteksnya lebih enak ter- daripada me-)
    Meng-KO-kan >> membuat KO
    Saya bingung meng-exorcist ini enaknya jadi apa. Exorcist sendiri noun, bukan verb yang saya tau

    Hael Steiner di sini beda banget sama di entri Olive ya. Di sana sosoknya heroik banget, di sini malah kayak pecundang

    Begitu all out war berubah jadi wall of text, agak kaget juga. Kayaknya banyak entri lain yang juga terjebak mendadak full deskripsi gini

    Karakter Zephyr cepet banget jadi pengkhianat bolak-balik ganti faksi ya. Jadi di akhir, Steiner mati? Kalo iya, saya malah heran ngeledakin istana Vanart aja dianggap cukup buat nyelesein misi setting ini sementara tokoh kuncinya masih hidup habis Jess-Hutcher dan Kuro pergi

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Maafkan perbendaharaan kata daku, sumpah bingung banget gimana cara ngasih diksi yang tepat.

      Wall of text di final war? Ya... Gitu deh,antara deadline yang memburu dan otakku yang terlalu blank untuk ngisi battle dengan adegan yang detail. Pengennya kasih visual adegan perang yang luas (tau sendiri deh dalam perang kan semua kejadian berlangsung secara simultan), tapi jadinya malah aneh ya.

      Hael Steiner aku base-nya ngambil dari alignment undecided-nya.

      Trio justice ngelawan Vanart di dalam istananya. Ketika istana itu meledak, Zia melakukan semacam pengorbanan diri demi Zephyr dan Steiner, membuatnya mati beberapa saat sebelum ending. Dan menariknya, portal Jess dan Kuro terbuka setelah Zephyr menembak leher Steiner. Konflik seniman selesai, dan dimulailah era Vanart yang lebih kejam dari sebelumnya.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. sorry td cuma ngetes akun ane udah nyambung apa belum :'v

    jd saya ulang, neutral evil is a jerk! yeeee! dan Zephyr dapet jerknya disini :v dan untuk borgol, dia gak sekuat itu. kecuali kalau borgolnya gak modern dan rante biasa mungkin dia masih bisa ngelepasinnya. gaya penulisan ceritanya kerena bro! lain kali ajari saya buat menulis rapi seperti ini 0.0

    dari ane 8! semoga kita bisa ke R2 sama@ :D

    Zephyr

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah sebelumnya gw pikir Zephyr paling susah diadaptasiin, sekarang gw malah berpikiran doi paling enak diapa-apain. Tinggal bolak-balikin faksi dan voila, pokoknya jahat deh #dibandem

      Srsly kali entry gw sangat tergantung pada imajinasi pembaca. Gw cuma nampilin potongan-potongan adegan dan biarkan pembaca mereka-reka apa yang terjadi selanjutnya. Thanks udah muji dan ngasih harapan (soalnya gw niatnya mau WO) dan amin semoga sama2 masuk R2

      Hapus
  4. wwww ada happy~

    kesan pertama yang bikin bingung itu tanda kutipnya. kenapa dobel2 gitu? xD
    ceritanya sendiri seru. mungkin karena settingnya sama2 di negeri tanpa seni saya udah familier sama konfliknya.

    buat karakter jess-hutcherson kadang memang susah ngebayangin mereka itu satu badan. mungkin daripada pakai kata "aku" buat monolog, bakal lebih enak pakai "kami"? karena mereka satu -w-

    terakhir... semua karakter dapet peran dan twistnya masing2. keren.

    nilai: 8
    oc: castor flannel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tanda kutip dabel-dabel :

      Once upon a time aku ngirim entry ke seseorang (sebut saja Heru Setiawan Zainurma) yang terlampir dalam file word dengan font Comic Sans. Setelah diterima, om Nurma bilang ketika dia post itu entry ke blog, tanda kutip kagak ada yang keliatan, jadi susah bedain mana narasi mana dialog. Akhirnya aku ctrl+A dan mengubah font entry itu sebelum kukirim balik. Mungkin saja kejanggalan hilangnya tanda petik itu memang ada kesalahan dalam sistemnya dan tidak terbaca setelah seseorang terlanjur mengeditnya. Au ah gelap.

      Seperti yang udah aku sebutin di entry, Jess-Hutch punya kesadaran ganda dan jiwa yang berbeda pula. Merupakan salah satu hal haram bagiku bila menggunakan kata kami dalam monolognya. Untuk menguatkan imajinasi bahwa mereka ini satu tubuh, sebisa mungkin aku gunakan kata deskripsi yang menunjukkan mereka ini satu tubuh. Well, aku masih perlu belajar banyak soal ini. Terima kasih atas apresiasinya

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. That Bodat words!!! Made my day! Seriously xD

    Ada apa dengan para reverier, belakangan banyak yang include-in di dalam cerita.

    pengen di-skip tapi kok ya sialnya ada obrolan pentingnya ._.

    dan, those ending, ugh ._.
    --------------------------------------------------

    Review mulai dari sini yah :)

    Okay

    apa yang Umi suka dari cerita ini?
    Wogh lumayan, Umi suka karakterisasinya. Umi ga butuh untuk ngecek narasi untuk tahu itu siapa yang lagi ngomong. Terutama pas Jess dan Hutcher. Ini krusial karena mereka ini satu tubuh. That is a really big changing kalau dibandingkan dengan Prelim-nya Jess-Hutcher.

    Umi suka plotnya. Kamu beneran paham apa yang kamu bawain di cerita ini dan mau seperti apa kamu ngebawainnya.

    Apa yang bisa dikembangkan dari tulisannya?
    overtell. Well Umi juga kok ._. deadline ini memburukuuuu *ala Dmasive*
    Narasimu masih kebanyakan. jatohnya jadi wall of text. ini bisa dikadalin dengan cara put dialog di sembarang tempat. (tetep sesuai konteks tapi yah)

    setting, ini penting. perbanyak deskripsi tempat di awal. Usahakan jangan mentah-mentah ambil tulisan setting dari panitia. Olah dulu :)

    Sama EBI atau KBBI atau apalah itu, diperhatikan lagi :)
    -------------------------------------------------------

    Nilai dari Umi : 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bodat is love, bodat is life~

      Ahh aku tersanjung. Sebenarnya aku asal copas aja selain demi menghemat waktu dan lelah juga biar lebih enak aja. Ga memungkinkan juga kan kalau aku mesti jabarin dari awal sampe kapan selesainya? Entahlah, srsly ide ini jauh berbeda dari konsep yang udah aku siapin jauh-jauh hari. Semua orang udah tau apa yang terjadi, so tinggal nampilin potongan-potongan adegannya kan ya #plak

      Terima kasih

      Hapus
    2. tampilin potongan adegannya masih lebih mending dibanding kamu copas sih sebenarnya XD wkwkwkwk

      Hapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. hallo jesshutcherson! akhirnya kita ketemu juga. hmm..rencananya sih mau komen entri scr runtut tp udah nggak kuat dan menuju entri ini masih jauh. jd karna entrinya udah baca dari lama copas aja ya komennya. hehehe.

    kamu masukin karakter kuro yang di aku sendiri bahkan belum kumasukin sama sekali. sampe nyebut pengasuh. ternyata kamu msh inget kalo dia nggak pernah ketemu bpak ibuknya. yah ini jadi poin plus dariku.

    alurnya lancar, bahasanya juga teratur jd enak diikuti. tp konfliknya nggak terlalu dibahas ya. kaya sebab musababnya gtu. (mungkin). hmm...bingung. jd berasa singkat.

    di awal langsung disodorin adegan plus2 dan ala2 final destination. hadeh...

    trus bgian museum smesta terlalu dtail. tp nggak apalah meskipun aku sendiri lebih suka bc bgian di luar itu. tp di sana juga diselipin2 adgn yg mungkin bkal mendasari round berikut. (mungkin).

    battle ok. lumayan. jd paham jg jurusnya jess bisa jd power up jurus orang lain.

    eh tapi di ending yang mati jadi steiner ya.
    9 dari Cloud Strife.

    BalasHapus
  9. Ini fluktuatif. Kadang kesannya agak puitis, di lain waktu agak datar. Malah terkesan "apa adanya". Bukan masalah serius sih. Just sayin :"

    Dan yah, cerita ini kadang ada bagian yang terlalu tell. Saya kurang suka dgn teknik tell. Sedangkan positifnya? Yha, narasinya cukup lancar. Cuman mungkin, variasi diksinya lebih diperhatikan lagi. Kadang saya nemu dalam jarak berdekatan, kata" yg berulang/sama. ini buat saya ganggu.

    Titip 8

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kesan puitis sih biasanya cuma buat deskripsi latar ya, tapi okelah memang banyak yang ga pada tempatnya, begitu pun dengan kesan datarnya. Masalah diksi...umm... Itu penyakit turun temurun mz #plak

      Terima kasih

      Hapus
  10. Jess dan Hutcher! Duo yang unik dengan entri yang tidak kalah unik.

    Makin ke sini makin kelihatan betapa dinamisnya karakter Jess dan Hutcher, sampai dari dialog aja udah ketauan siapa yang ngomong tanpa perlu deskripsi tambahan. Bravo!

    Teknik pengolahan dialognya harus diacungi jempol nih, terutama pas bagian Hayati dengan logatnya cyiin~! Mantep!

    Tapi dialognya yang oke kurang berimbang dengan narasi yang kurang mantep. Bukan tidak mantep, hanya kurang luwes aja, meski harus saya akui detail penarasiannya mumpuni bangets.

    Overall, di entri ini perkembangan signifikan bisa terlihat dari duo in one ini.

    Saya titip 8 buat Jess ama Hutcher. Sampai bertemu di R2.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  11. Ini fluktuatif. Kadang kesannya agak puitis, di lain waktu agak datar. Malah terkesan "apa adanya". Bukan masalah serius sih. Just sayin :"

    Dan yah, cerita ini kadang ada bagian yang terlalu tell. Saya kurang suka dgn teknik tell. Sedangkan positifnya? Yha, narasinya cukup lancar. Cuman mungkin, variasi diksinya lebih diperhatikan lagi. Kadang saya nemu dalam jarak berdekatan, kata" yg berulang/sama. ini buat saya ganggu.

    Titip 8

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  12. Setuju sama di atas. Dari awal penggambaran suasananya udah berhasil puitis namun entah apa yang bikin runtuh, tau2 pas para karakter ngomong kerasa agak datar, bahkan waktu disumpahin berkelamin tiga atau kemunculan gaya bicara banci di tengah mestinya bisa ngocok perut kalo bawaannya ga datar dan serius.

    Mungkin penyebab datarnya ada di porsi paragraf2 yang lumayan padet? (Padahal punya saya sendiri juga gitu sih, ugh)

    Di sisi positifnya, poin-poin per plotnya jelas. Dinamika battlenya juga oke. Dan Zephyr yang memihak bergantian adalah salah satu hal yang sangat memorable di sini. Endingnya perlu agak dicermati sampai saya bisa ngambil kesimpulan bahwa kepala yang di deket kaki Vanart adalah kepala Hael.

    Oya. Thanks udah baca Pucung! Hmm, puitis? Benarkah? Tentang Oneiros, itu OC panitia kok. Cuma saya pengen gerakin aja dia. Soalnya di cerita panitia dia ga muncul2 :))

    Well done.

    8

    PUCUNG

    BalasHapus
  13. Pembukaannya cukup menarik, sampai ke bagian pengulangan intro canon panitia. Ini juga catetan buat saya sih, harus ada cara penyajian yang lain buat pembawaan ulang adegan di canon biar peserta ngga ngerasa ngebaca bagian yang sama berulang kali.

    Dan kaya kata mbak noni, kadang penyajiannya bagus... kadang juga datar. Dan datarnya itu imo malah terjadi di bagian konflik, which is weird. Tapi ini tetap cerita menarik dengan pertempuran yang lumayan.

    8

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  14. Wah panjang nih ceritanye,,aye lemah baca yang panjang- panjang..tapi inti ceritanye ketangkep sih. Terus bagian akhirnye rada ketipu juga,,pas dibaca ulang aye nyadar kalo yang menang itu Vanart?? Soalnyw si stiener tiwas...

    Agak nambah keder juga ngebaca kelonpok yang ini pada punya keperibadian dobel-dobwl begono...hehhe,,ribet bener..tapi keseluruhan masih ciamik ini

    Paling aye sukak pas dombanye komen soal kostum Nazi yang kagak bisa separo-separo..

    Mantep ini cocok buat jadi pinalis mencari bakat

    Ponten dari aye 9 aja...karakter aye Harum Kartini

    BalasHapus
  15. "Kalau melakukan hal jangan setengah-setengah. Tuh jadinya kayak mereka, hehehe."
    -Marikh

    Yah, maafkan OC yang kurang ajar itu. It's time for me, saatnya mereview.

    +PROS
    +Karakterisasi masing-masing OC dapet banget disini, sesuai lah pokoknya. Jujur ane kaget waktu si wajah Hitler nangkap Zephyr, walau kemudian bener ya soalnya belum kenal kemampuan dari pembunuh bayaran ini :D BODAAATTT wkwkkw
    +Dammit ada Hayati disini, cucok banget cyin wkwkwk. Setelah diliat oh, ternyata dia itu Sub-OC toh.

    -CONS
    -Dobel apostrophe itu lumayan mengganggu karena ada terus-terusan, meskipun bisa dimengerti bahwa karena adanya trobel di pengiriman emailnya terdahulu(?)

    Titip 9 buat hode, wakakaka

    TTD
    Dewa Arak Kolong Langit

    BalasHapus
  16. Wow, good job. Entry ini terlihat kemajuannya dari prelim. Lebih teliti dan mindful sama kontinuitasnya.

    Dialognya juga efektif nunjukkin karakterisasi.

    Jess Hutcher kayaknya masih kesulitan buat nggambarin aksi individu ya, jadi disebutnya selalu jadi satu. Strategi yg smart sebenarnya, cuma berharap dilema lebih banyak dikupas mengenai mekanisme fisiknya l, dan ga langsung keliatan seamless begitu.

    8

    BalasHapus
    Balasan
    1. mekanisme fisiknya l, dan ga langsung keliatan seamless begitu.

      Pls ini aku ga ngerti artinya apaan

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.