oleh : M. Da'i Kuncoro
--
Rinai Purnama
Semilir
angin dingin dari jendela apartemen mengusik dua makhluk indah yang saling
bertindihan di atas kasur. Suasana terasa makin panas di kamar itu meskipun
udara malam sedang dingin-dinginnya. Desah-desah kecil mewarnai petualangan mereka.
Petualangan indah yang selalu didambakan oleh setiap insan. Dan petualangan
penuh dosa bagi yang belum menjalani upacara sakral bernama pernikahan.
“Ahh,
baumu masih tetap sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, pas nggak sengaja
aku jatuh dan kamu yang tangkap,” ujar si wanita yang tengah ditindih dengan
suara bergetar.”
“Namanya
juga laki, Jess. Tapi kamu masih tergoda kan?””
“Kalau
sekarang sih malah tambah nafsu. Dasar Hutcher jelek.”” Jess membenamkan
wajahnya diantara dada bidang Hutcher---yang masih sibuk dengan urusan gua
elastis Jess. Benda tumpulnya makin ganas menjelajahi gua dengan desahan yang
mengiringi.. Sedangkan kedua tangan Hutcher riang menjelajahi bukit kembar yang
mencuat indah di dada Jess.
“Gimana
kalau aku ngelamar kamu sekarang? Aku takut setelah ini malah kamu menjauh.””
“Ummpphhh....
yang benar saja. Kamu terlalu buru-buru, seperti gerakanmu saat ini.””
“Terserahlah,
aku bakalan tetep ngelamar kamu.”
“Jessica
Romanoff, maukah kau”—“
Kalimat
Hutcher terputus saat potongan plafon apartemen beserta semen dari lantai atas
menimpa tubuhnya. Jess menjerit histeris, namun kemudian terhenti karena
pecahan kaca yang menyerbu wajahnya. Berbagai material terus menghujani tubuh
telanjang mereka. Potongan batu bata bercampur semen menghajar punggung Hutcher
yang membelakangi Jess. Keduanya tewas mengenaskan. Lantai ikut runtuh, memaksa
mayat Jess dan Hutcher untuk jatuh ke bawah. Kedua raga tanpa jiwa itu mendarat
bertindihan, bernodakan darah yang mengalir perlahan dari tubuh keduanya.
Memori
yang harusnya tak pernah ada.
***
“Kenapa harus mimpi itu lagi?!””
Jess tersentak bangun,
mengagetkan domba berbulu putih empuk yang tengah memasak di dapur ; serta
Hutcher tentunya. “Tunggu, domba bisa masak?”
“Mbeeeeeek,”” embiknya bersamaan
dengan aroma khas kari kambing yang menyentil hidung. Entah bagaimana cara
hewan itu masuk ke dapur orang dan berinisiatif memasak makanan berkolestrol
tinggi. Ia menata bulu di kepalanya sedemikian rupa hingga menyerupai topi
koki. Celemek hitam berlis putih turut menempel manis di perutnya. Domba yang
pintar.
“Kamu kenapa sih, Jess? Ganggu
orang tidur aja. Mending kalau kamu beda kepala, lah ini kepala aja dibagi dua,””sosok
lelaki yang menjadi belahan tubuh kiri Jess bersuara sinis.
“Ahh..ak..aku mimpi....aku mimpi
gedung itu ambruk, terus ada mayat kita, terus ada kita lagi beradegan delapan
belas plus.”
“Cuplikan kematian kita.””
Sejujurnya agak aneh bagi Jess
mendengar Hutcher bertanya ada apa dengannya, karena sebagai makhluk yang berbagi
tubuh dan kepala harusnya mereka mendapat mimpi yang sama. Tapi entah karena
faktor kesadaran ganda atau kemampuan berpikir yang sama gandanya, mungkin
Hutcher mengalami mimpi yang berbeda. Atau bisa saja Hutcher mengalami mimpi
yang sama, dan yang ditanyakannya adalah perasaan yang membuat Jess terbangun
secara tiba-tiba.
Ya, semua kemungkinan itu bisa
saja terjadi.
“Aku malah gak heran sama
sekali. Hal itu sudah lumrah, mengingat bahkan saat pertama kali kita membuka
mata di sini semuanya memang sudah aneh.””
“Hah?”” garis-garis kerutan
timbul di kening Jess-Hutcher yang sisi kanannya tertutupi rambut Jess.
“Dasar pelupa.”” Hutcher melirik
jam yang bertengger di dinding. “”Coba ingat lagi, sebelum tidur tadi kamu
ngapain aja? Dan jangan bilang kamu juga lupa patung otak raksasa mengerikan
yang kamu sumpahi tadi.”” Tak butuh waktu lama bagi Hutcher untuk mengerti
bahwa pembicaraanya dengan Jess kali ini sia-sia, karena toh ingatan itu lama
kelamaan muncul juga, bahkan mustahil untuk dilupakan. Seolah ada sesuatu yang
terus menerus membisikkannya ke telinga, menentang hukum keabadian.
“Ha?”” kata tanya penuh
kebingungan yang keluar untuk kedua kalinya dari Jess. Tepat setelah gemanya
berakhir, lamunan Jess dibawa pergi ke masa yang telah lalu.
Suatu
masa di Museum Semesta...
Aku keluar dari portal
warna-warni itu bersama seorang mafia (?) bernama Zainurma—kuakui dia cukup
tampan untuk seleraku sebagai seorang wanita biasa, Ratu Huban si anak kecil
berkepala bantal yang terus mengkerut bagai wajah berekspresi, domba berbulu
lebat nan empuk yang diramalkan Ratu Huban akan bisa memasak suatu hari nanti
(tunggu, apa?), dan setengah tubuhku dengan kesadarannya sendiri, Hutcher.
Perjalanan ini sangat melelahkan, mengingat aku sendiri bahkan belum beristirahat
setelah melawan calon ibu mertuaku--
yang di luar dugaanku ternyata punya selera fashion luar biasa untuk wanita empat puluhan, bahkan tetap tampil
modis meski dalam rupa penyihir.
Bangunan yang luar biasa. Baik
dinding, lantai, sampai atap, semuanya bernuansa emas. Kepingan-kepingan batu
pualam berwarna senada tersusun rapi di kanan-kiri. Bangunan itu begitu besar
dan luas, namun penuh seni dan mahakarya. Otakku terus saja memutar musik-musik
ala zaman Renaissance. Di dalam bangunan prestisius ini, aku berjumpa dengan
makhluk-makhluk beragam rupa dan karakter. Kami berkumpul dan bersamaan
menyusuri Museum Semesta, melihat karya-karya seni yang membuat Hutcher tak
henti-henti berdecak kagum.
Sampai kemudian para reveriers
menemukan karya-karya yang berhubungan dengan pertarungan mereka sebelumnya,
tak terkecuali aku dan Hutcher. Aku menyentuh lukisan itu dan wow, gambar dalam
lukisan itu bergerak seperti video beresolusi tinggi. Bergantian suara
decakanku dan Hutcher keluar, menambah riuh suasana Museum Semesta.
Zainurma menghampiri kami, “Bagaimana?
Seru bukan? Aku dan Huban melihat pertarungan kalian secara langsung.
Yah...tidak buruk untuk seorang, maaf, dua orang musisi. Setidaknya kalian terhindar dari itu.””
Zainurma menunjuk ke suatu arah, beriringan dengan tatapanku dan Hutcher ke
arah yang ditunjuk.
Arah mengerikan yang juga
dilihat oleh semua orang.
Maka terlihatlah segelintir
lukisan yang kusam dan diliputi aura suram. Setelah itu, Museum Semesta
bergetar kuat. Para reverier panik mengira itu adalah gempa. Zainurma yang
mengetahui apa yang akan terjadi hanya bisa memasang ekspresi kasihan.
Dan puncak dari gempa itu, ada
lima sosok manusia yang menjerit kesakitan. Mereka memegangi bagian tubuh yang
terasa sakit dan nyeri, seperti ada tangan raksasa tak terlihat yang
mencengkeram mereka kuat-kuat. Kemudian tubuh mereka diliputi cahaya terang,
semakin lama semakin terang.
“AAArrrghhhh!!!!””
“TiiidaaaaAAAAK!!””
“Ini…tolong, tidaaaaak!!!””
“UWAAAAAAAAAAAAA”—”
“…”
Jeritan itu berhenti. Cahaya
tadi pun menghilang. Sedangkan getaran di lantai, dinding, dan pilar, tak lagi
terasa.
Lima sosok tadi kini sudah tak
lagi berwujud manusia. Mereka menjadi tembikar buruk rupa. Para reverier
menjadi semakin panik. Kepanikan yang biasa kita jumpai di rumah juragan yang
tiba-tiba membatalkan acara santunan begitu warga sudah berkumpul.
"Begitulah jadinya
seandainya pertarunganmu tidak memuaskan."
"Hei Nurma, kau bilang ini
alam mimpi. Tak seharusnya aku menyaksikan mimpi yang semengerikan itu, kau tahu!"
hardikku tidak sabaran.
"Hei, itu bukan aku yang
melakukannya. Yahh...awalnya mimpi memang tidak seperti ini. Kau lihat patung
otak raksasa di ujung sana? Namanya adalah [Sang Kehendak]. Dia yang melakukan
semua ini." Zainurma kembali menunjuk ke arah lain. Tampaklah sebuah
patung otak gigantik yang entah mengapa membuatku tak bisa memandangnya
lama-lama. Hanya sekelebat frame dan aku langsung menutup mataku.
"Sekarang ini kalian berada
di bawah kekuasaannya. Kalian adalah bagian dari alam mimpi yang tengah
dikuasainya." lanjut Zainurma.
"Kenapa kau tidak
menghentikannya? Atau melawannya?" tanya Hutcher.
"Aku dan Mirabelle telah
lama dikuasainya. Kami menjadi budaknya. Pesuruhnya. Dengar, aku butuh kalian,
reveriers. Aku menandai dan menjebloskan kalian ke sejumlah pertarungan untuk
membuktikan hipotesaku bahwa Alam Mimpi bisa membangkitkan kekuatan Mahadahsyat
yang melebihi kuasa patung sialan itu.
"Kita melakukan simbiosis
mutualisme di sini. Ikutlah bersamaku atau akan kubujuk [Sang Kehendak] untuk
menghancurkanmu!"ujar Zainurma lebih beringas.
"Lalu apa yang bisa kami
lakukan?" lanjut Hutcher.
"Tunggu ronde selanjutnya
dan berusahalah untuk tetap hidup," tutup Zainurma yang melangkah pergi
bersama seringai di wajahnya.
Aku melirik sedikit [Sang
Kehendak]," Dasar patung sialan."
"Entar kamu kualat baru
ngerasain," sahut potongan badan kirinya.
Semua peserta masih terlihat
panik saat satu per satu dari mereka dilempar ke dalam portal oleh Ratu Huban.
Dia melakukan tugasnya dengan ceria seperti biasanya, seolah tak peduli dengan
kekalutan para reverier saat ini.
Dombaku masih setia di
sampingku. Entah apa yang telah terjadi padanya, karena sedari tadi aku hanya
merasakan gesekan tubuhnya ke betisku. Kuakui rasanya begitu nyaman, bahkan
beberapa kali kuelus kepala makhluk menggemaskan ini. Tak perlu menunggu Ratu
Huban, tepat setelah portal terbuka, domba malah menyerudukku memasuki portal. “Ughh...dasar
nakal.”
Di ujung lain portal, aku
mendapati diriku beserta Hutcher dan tentunya domba berada di halaman belakang
rumah keluarga Romanoff. Semuanya tampak baik-baik saja, maksudku, kecuali
orang-orang yang tetap menghilang.
Kalap karena terlalu lelah, aku
mengambil alih tubuhku sepenuhnya, masuk ke dalam rumah, dan menjatuhkan diriku
ke sofa secepat mungkin dengan domba yang kupeluk sebagai guling. Kurasa
Hutcher pun tak akan keberatan dengan ini, toh dia juga pasti lelah kan? Yang
justru kukhawatirkan malah si domba ini. Apakah dia akan tahan dengan bau badan
Hutcher yang terkadang amat menyengat itu? Bagaimana kalau nantinya dia malah
menjauh? Ahh... itu urusan nanti. Mending bobo dulu yuuu.
***
Jess baru tersadar dari lamunan
saat aroma kuat kari kambing menggelitik hidungnya. Ahahah, rupanya si domba
unyulah yang membawakan semangkuk kari kambing yang sedari tadi sibuk
dibuatnya. Di celemek hitamnya terpoles bermacam noda, bisa ditebak itu adalah
bekas cipratan kuah rempah dari warnanya yang kecoklatan. Tanpa dikomando,
Jess--yang kini memiliki satu tubuh dengan Hutcher, membuatnya harus makan
pelan-pelan dan tak boleh seperti kuli kelaparan-- langsung menyantap makanan
itu.
Sembari menemani majikannya
makan, si domba mulai mengembik tentang arena "The Hunger Games"
selanjutnya,"Mbeeeeek. Mbek bek beeeeek. Mbeeeek bek mbeeek mbek.
Mbeeeeeeek!! (Setelah makan, kalian akan dikirim ke Artless Country. Negeri
tanpa seni. Aku mendapat petunjuk dari catatan ini, tergeletak di samping
terong dan beberapa rempah dalam kulkasmu. Semangat!)"
Tangan kiri Hutcher menyambar
catatan yang dipegang si domba. Perlahan dia membaca isinya.
Pemimpin negeri itu adalah
diktator bernama Vanart dan kebijakannya adalah memberantas segala bentuk seni
(kabarnya dia punya phobia terhadap gambar atau patung). Saat Vanart berkuasa
menggantikan ayahnya, maka negeri itu langsung berubah drastis. Tak ada lagi
seni, para seniman ditangkap dan dieksekusi. Setiap hari Vanart dan pasukan
militernya berpatroli mencari-cari seniman yang masih bertahan hidup. Sampai
seni benar-benar musnah dari negeri itu, Vanart tak akan berhenti.
Kelompok seniman yang bertahan
hidup berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melawan rezim Vanart. Namun setelah
pemimpin seniman, yaitu Harun, tewas, maka semua bergantung kepada Hael
Steiner, seorang komikus yang sebenarnya baru bergabung beberapa hari lalu.
Namun semua sudah tak bisa
dielakkan. Kelompok seniman yang bergerilya malah semakin berkurang. Mustahil
melawan secara militer. Maka diputuskanlah rencana itu. Semua seniman yang
tersisa akan melakukan demonstrasi di depan Istana Vanart dengan cara menggelar
pameran seni di sana. Semua itu untuk memberikan celah bagi Steiner dan
sekelompok kecil seniman tangguh untuk menyusup ke istana dan membunuh Vanart.
FAKSI:
1. Hael Steiner dan kelompok
seniman.
2. Lord General Vanart dan
seluruh pasukan militer negerinya.
Negeri itu adalah negeri kecil
(seukuran kota) yang terisolasi, dengan setiap penjuru adalah tembok tinggi
sehingga tak ada yang bisa keluar-masuk negeri itu tanpa melewati penjagaan
pemerintah. Tidak banyak gedung tinggi di sana, hanya ada rumah-rumah biasa
beratapkan asbes atau kayu, paling tinggi 2-3 lantai. Banyak rumah kosong tak
berpenghuni. Listrik dan air dikuasai oleh pemerintah. Iklim panas dengan curah
hujan tinggi. Yang paling megah adalah Istana Vanart, gedung putih tiada hiasan
dan ukiran. Teknologi militer standar, senapan mesin, tank, dan sejumlah
artileri.
"Haruskah aku berpakaian
ala Nazi untuk pergi ke sana? Aku malah lebih memilih ikut Vanart ketimbang
celaka," komentar Hutcher.
"Mbeeek mbek mbek (Ya
kali kostum Nazi ada yang sebelah-sebelah gitu)".
"Oh tidak tidak tidak. Kita
tak akan melakukan itu. Ayolah Hutcher, aku tahu kamu itu musisi yang
idealis," sahut Jess.
"Lalu kita mesti apa?
Ikutan pameran kematian gitu? Jess, Vanart tak jauh beda dengan manajer kita
awal-awal jadi artis. Sadis!"
"Liat aja dulu nanti di
sana gimana. Tapi untuk sekarang optimislah dulu. Masa iya kamu mau biarin
hak-hak kayak gini diinjak-injak? Katanya patuh terhadap hukum, tapi kok
begini?"
"Lawful di sana beda dengan
di sini."
"Mbeeek mbek mbeeek
mbek. Mbeek (Udah atuh berantemnya di sana aja. Sono masuk)." Di
samping si domba tercipta portal yang sama seperti ketika Jess Hutcherson
dibawa oleh Ratu Huban. Domba yang kesal karena pertengkaran majikannya kalap
dan menyeruduk si setengah-setengah ke dalam portal.
Oke, mungkin ini bukan
perpisahan yang manis.
***
Rentetan suara tembakan
mengiringi lari seribuku. Sebisa mungkin aku menghindari proyektil-proyektil
mematikan itu. Salah satunya nyaris melubangi dada kiri, memaksaku menghindar
dan mengacaukan setelan gelapku. Nafasku memburu, terasa sekali lelahnya
berlari sejauh dan selama ini.
Bangunan-bangunan kecil di
sekitar hancur berantakan. Mau bagaimana lagi, aku butuh pengalih perhatian dan
kutembaki saja rumah penduduk. Usahaku cukup berhasil. Tiga dari sepuluh orang
pengejarku tumbang. Aku sempat melihat kubangan darah dari matanya yang
tertusuk paku. Pengejaranku terus berlanjut. Sesekali aku menembak ke belakang,
sebisa mungkin mendapatkan visual aparat yang mengejar tanpa henti.
Matahari sedang panas-panasnya
siang ini. Sedemikian cerahnya, kontras dengan pakaianku yang hitam-hitam.
Bagai titik hitam di tengah semesta yang putih, aku sangat mudah terlihat.
Percuma saja mengalihkan perhatian mereka. Terlebih lagi pengejarku adalah
tentara terlatih, dapat dilihat dari kesigapannya semenjak kakiku menapak tanah
ini.
Aku begitu lelah, tapi aku tak
bisa berhenti di sini. Lariku melambat. Kesempatan emas untuk para pengejar.
Semakin lambat sampai aku tak berlari kembali.
Mataku nanar menatap objek
raksasa di depanku. Para pengejar tertawa-tawa kegirangan penuh penghinaan.
Salah seorangnya segera membekukku yang masih menatap benda itu.
Dinding beton raksasa yang
menjulang puluhan meter. Tak ada jalan keluar. Game over.
Aku sempat tak sadarkan diri
untuk beberapa saat. Kelelahan. Dan ketika aku terbangun, wajah serupa Hitler
menyapaku. Aku sadar aku tengah diborgol, baik tangan maupun kaki.Mau menggeram
pun percuma. Visual di sekelilingku menampakkan istana putih tiada ukiran maupun
hiasan. Benar-benar kosong, pantaslah negeri ini disebut The Artless Country.
"Siapa kau? Apa yang
membuatmu datang ke mari?" tanya si wajah Hitler tanpa basa-basi. Dengan
kasar dia membuka masker dan membanting goggle hitam yang kukenakan.
"Aku Zephyr. Aku pembunuh
bayaran. Kudengar, kau mencari potongan kepala seseorang di sini."
"Kau benar. Aku, Vanart,
mencari kepala Hael Steiner, seorang komikus paling keji dalam sejarah umat
manusia." Vanart mengelilingiku. Tatapannya menelanjangiku.
"Aku melihat kemampuan
menembakmu tadi. Bagus juga, untuk ukuran pembunuh bayaran. Aku tak akan
membunuhmu...." Vanart menggantung kata-katanya. Hening sejenak. Hanya ada
aku dan Vanart di ruangan ini, jadi bahkan jarum yang jatuh sekalipun bisa
terdengar.
"Aaaaaaaaarrgggghhhhhh!!!!"
jeritku saat sebutir timah panas menembus dan terperangkap di betis kiriku.
"Anggap sebagai hadiah atas
proyektilmu yang terjebak di dalam kepala tiga orang prajuritku. Kurung
dia!!" lanjutnya sembari berlalu.
“ANJING LO BODAT!!! GUE DOAIN
MAK LO BERK*NT*L TIGA!!”” makiku terakhir kali. Percuma, sudah tak terdengar.
Tiga orang prajurit datang dan
menyeretku ke dalam sel. Darah mengucur deras dari kaki, membasahi lantai putih
istana Vanart. Aku kembali tak sadarkan diri saat salah satu prajurit
melemparku masuk ke dalam sel yang bau bangkai. Mataku menangkap sekelebat
frame kurunganku. Benar-benar tempat yang tak layak untuk hidup. Berantakan,
kotor, bau ; baiklah itu cukup.
Untunglah aku masih bisa
merasakan hangatnya sang surya di sini.
***
Hujan turun dengan derasnya sore
ini. Begitu deras, sampai membuat Zia ketakutan di pojok beranda. Tangannya
gugup mencoba untuk bereksperimen dengan alat-alat ala laboratorium yang
semakin rumit saja. Di sampingnya, duduk seorang pemuda berambut warna-warni
yang agak berantakan. Mereka saling diam, tak ada percakapan yang berarti
semenjak mereka bertemu lima belas menit yang lalu. Hujan membungkamnya.
“Ummm...kenalkan, aku Kuro. Aku
pernah melihatmu di Museum Semesta. Kau pasti Zia, kan?”” ucap Kuro malu-malu.
“Iya, aku Zia. Kau bisa
memanggilku Zee Zee kalau kau mau,”” sahut Zia, masih belum berpaling dari
benda-benda di hadapannya.
“Zee Zee? Siapa yang memberi
panggilan seperti itu?””
“Maysa. Kembaranku. Dia sedang
berdiri di depanmu saat ini.””
Sejujurnya Kuro sama sekali tak
percaya akan hal-hal mistis, tetapi kata-kata Zia barusan membuka mata dan
pikirannya bahwa ia tidak sendiri di dunia ini. Bulu kuduknya perlahan naik dan
membuatnya merinding. Tampias hujan mengenai badannya, menambah sensasi
menyeramkan yang menembus akal sehat.
“Maaf, tapi kau ini punya indra
keenam atau bagaimana? Aku tak melihat siapapun di hadapanku, kau tahu.””
“Ssshhh... diamlah, dia sedang
berbicara. Tapi sepertinya tak terlalu penting. Jadi lanjutkan saja lamunanmu.
Aku sibuk,” ucap Zia ketus.”
“Memangnya apa yang dia bilang?””
“Dia bilang kalau kita tak
berguna, terlebih lagi aku. Jadi lebih baik kita mati saja.””
“Hiiiiiiiikkk!!”” pekik Kuro.
Baiklah, mungkin reaksi Kuro
agak berlebihan untuk ukuran manusia yang memiliki darah dewa dalam tubuhnya,
tapi kali ini ketakutannya merupakan hal yang lazim. Mendengar ada hantu yang
ingin membunuhmu, bukankah itu fantastis?!
Senyap kembali merayap, menyeret
setiap insan ke dalam buaian saudarinya, si lamunan. Si lamunan begitu lihai
mempermainkan imajinasi. Mempertunjukkan audio dan visual aneka ragam di alam
bawah sadar, tempatnya biasa bermain. Keahlian si lamunan terlihat tatkala
perbedaan raut wajah Zia dan Kuro semakin terlihat. Zia yang semakin tanpa ekspresi penuh
kekosongan dan Kuro yang ekspresif akan ketakutannya. Dua insan berbeda yang
dipersatukan sekaligus dibedakan oleh satu hujan.
“Jadi, apa rencanamu untuk
menghentikan konflik di negeri tanpa seni ini?”” Zia buka suara.
“Aku? Aku berencana untuk segera
mencari Hael Steiner dan memohon untuk bergabung dengannya demi membunuh
Vanart. Misi selesai, semua bahagia,”” jawab Kuro, kali ini lebih tenang.
“Maksudmu aku?”” pintu rumah
yang terasnya sedang diduduki Kuro dan Zia terbuka. Tampaklah sosok pria usia
20-an bertubuh tinggi sedang, dengan kemeja lengan panjang yang digulung,
celana hitam, sepatu pantofel, dan rambut belah pinggir.
“Boleh kami masuk? Di sini
dingin,”” pinta Zia penuh harap.
***
Obor raksasa yang menyala di
tengah ruangan menerangi si gadis manis. Dia melangkah tak tentu arah, sesekali
melawan angin dingin yang masuk dari luar. Jaketnya diketatkan, menambah
kenyamanan tubuhnya yang tengah bimbang. Raganya memang di sini, namun
pikirannya melayang entah ke mana.
“Fa,
apakah aku menyesal telah melakukan ini? Aku tidak tahu,”” ucapnya lirih.
“Ayolah
Na, kita melakukan sesuatu yang benar. Aku jamin tak akan ada penyesalan. Kau
telah melihat ketangguhan tentara Vanart, bahkan kau melihatnya berlatih
pedang,””
sahut suara dari dalam kepalanya.
“Setidaknya
dengan ini kita tak akan membahayakan teman-teman reverier, iya kan?””
“Tentu
saja. Kau mengambil alih tugas mereka. Harusnya kau mendapat apresiasi luar
biasa untuk tugas ini. Bahkan setelah para reverier keluar dari portal ke sini,
aku yakin portal kembali ke Bingkai Mimpi akan keluar bahkan sebelum mereka
melakukan apa-apa.”
Na mengingat kembali peristiwa
tadi siang. Mencoba menampilkan kilasan-kilasan memori menjadi film yang
berputar di kepalanya. Memastikan apa yang dilakukannya.
Beberapa
jam yang lalu...
Na keluar dari portal mimpi. Ia
mendapati dirinya berada di tengah ruangan putih-putih polos. Sepolos dirinya
beberapa waktu yang lalu, sebelum bertemu Fa. Na menyusuri dinding-dindingnya.
Samar-samar dia melihat seorang lelaki dewasa tengah berlatih pedang di halaman
luar. Perlahan, Na mendekatinya.
Lelaki itu telanjang dada.
Menampilkan otot-otot hasil latihan rutin secara bertahun-tahun. Bulir-bulir
keringat memantulkan cahaya matahari yang menimpa kulitnya yang kecoklatan.
Beberapa bergulir jatuh, menempel di ototnya, sebelum kemudian jatuh lagi dan
menempel di celana pendek khas tentara yang dipakainya.
Na menelan ludah.
“Biar aku yang melakukannya. Berjaga-jaga saja jika seandainya dia benar-benar
ingin membunuhmu, Na.”
Sosok gadis Na kini berubah
menjadi pemuda tanggung. Agak aneh memang, tapi inilah cara hidup makhluk dua
roh dengan satu tubuh.
“Permisi. Apakah Anda tahu
mengenai seseorang bernama Vanart?”” tanya Fa penuh kehati-hatian.
“Itu aku. Kenapa?”” Vanart
menatap tajam Fa, langsung ke dalam matanya. Meskipun dia juga seorang lelaki,
adalah hal yang lazim untuk ketakutan ketika ditatap seorang petinggi negara
berdarah dingin seperti Vanart. Tidak, Fa tidak boleh mundur sekarang. Terlalu
berbahaya. Ia harus menuntaskan misinya.
“Aku punya informasi mengenai
Hael Steiner dan kelompoknya,””jawab Fa mantap.
***
Jess Hutcherson keluar dari
portal dan langsung terkena guyuran hujan. Sekujur tubuhnya basah, membuatnya
merasa amat tak nyaman. Si musisi melihat sekeliling. Negeri yang seolah mati.
Rumah-rumah beratap kayu, sampah yang berserakan, jalan aspal yang terus
menghitam, menggelapkan pandangan.
“Urrgghhh...aku benci hujan. Ayo
cari tempat berteduh, bila perlu yang ada pemanasnya sekalian. Make-upku luntur
nih,”” keluh Jess.
Hutcher tak menyahut. Matanya
awas mengawasi sekeliling sembari kakinya terus melangkah mencari tempat
berteduh. Makhluk yang tak bisa dibilang pria maupun wanita—atau bahkan hode
ini berlari menembus hujan, sebelum berhenti di bawah beranda penduduk.
“Dingin banget di sini.
Memangnya kamu nggak kedinginan, honey?
Kita bikin api yuk,”” Jess mencoba mencairkan suasana. Ia tahu Hutcher masih
marah karena pertengkaran kecil di Bingkai Mimpi tadi.
Tapi Hutcher bergeming. Pandangannya
sendu namun serius. Jess sama sekali tak dihiraukannya. Biarlah, biarkan Jess
terus berpikir ini semua salahnya.
Tetapi bukan itu yang terjadi.
Samar-samar terdengar suara
tembak-menembak. Bukan, bukan di kejauhan. Tapi dekat. Dekat sekali. Muncullah
rombongan yang melakukan aksi itu. Jaraknya hanya beberapa rumah dari lokasi
Jess Hutcherson saat ini. Jess mengambil alih tubuh dan sontak menghindar.
Hutcher sama sekali tak ambil bagian, berimbas pada Jess yang merasakan beban
dua kali lipat dari tubuhnya yang biasa.
Jess menghindari rentetan
proyektil itu dengan sigap. Langsung mendekat ke arah si penembak. Louboutinnya
menghajar rahang si penembak, dengan satu tangan meninju perut penembak yang
lain. Tangan lainnya meraih senapan yang dipegang salah seorang prajurit. Tiada
ampun, Jess menembaki tentara Vanart di sekelilingnya. Total 12 orang tumbang
di sekelilingnya.
Bukannya tanpa konsekuensi.
Staminanya menurun dengan cepat karena Hutcher sendiri tak melakukan apapun
untuk mengurangi bebannya.
“Mungkin dia masih lelah, jadi
biarlah aku melakukannya,”” pikir Jess. Namun kemudian dia sadar, sesuatu
sedari tadi berkedip di dekat kakinya.
“.....”
Pelacak otomatis untuk
memberitahu posisi seseorang yang dibawa tentara Vanart. Kedipannya semakin cepat,
pertanda bala bantuan segera datang. Tak sempat lari menghindar,
sekonyong-konyong datanglah puluhan tentara Vanart dengan beragam artileri yang
dibawanya, mengelilingi Jess-Hutcher.
Si musisi kalah telak. Tak ada
lagi yang bisa dilakukan untuk melawan. Dia mengangkat kedua tangannya, kali
ini Hutcher mengangkat bagiannya sendiri tanpa diambil alih oleh Jess.
“Hutcher, tolong,”” kata-kata
terakhir Jess sebelum mereka digiring ke istana Vanart.
“Bersabarlah,”” jawab Hutcher
untuk pertama kalinya dalam setengah jam terakhir. Jawaban yang menimbulkan
tanda tanya besar bagi Jess.
Sampailah Jess Hutcherson di
istana Vanart. Megah sekali, dan tanpa sentuhan seni sedikitpun. Jess mengamati
sekitar. Beberapa penjaga terlihat berseliweran di sana-sini. Berbagai amunisi
terlihat berserakan di lantai. Semua orang memasang wajah tegas di sini. Tak
ada pembicaraan yang berarti. Tubuh mereka terus bergerak, tak peduli hujan
yang derasnya menimpa tubuh. Persiapan patroli untuk menemukan seniman yang
masih tersisa.
Di sisi lainnya, belasan potong
kepala terlihat bertumpuk tak beraturan. Beberapa di antaranya menggelinding
jatuh ke lantai. Darah menggenang di mana-mana, entah itu keluar dari mulut,
hidung, atau bagian leher sekalipun.
Para seniman yang menjadi korban
keganasan Vanart.
Ikatan di tangan-kaki
Jess-Hutcher mengencang. Rantai besar dipasangkan, dengan sigap langsung
disambung ke balik dinding. Dia—atau mereka diikat dengan posisi X. Tangannya
terangkat dengan kaki terbuka. Kepalanya dipaksa menghadap ke depan. Sampai
ketika si seniman membuka mata, langsung disapa sorot tajam khas Vanart.
“Heh banci, kudengar kau adalah
seorang musisi. Apa yang kau lakukan di sini?””
“Dari mana kau mendengarnya? Itu
adalah berita palsu,”” jawab Hutcher tegas.
“Dari dia.”” Vanart menunjuk
sesosok gadis yang berdiri membelakanginya. Gadis itu tak berekspresi, berjalan
menuju Jess Hutcherson dan Vanart.
“Na?!”” pekik Jess.
“Musisi tak akan pernah bisa
diterima di negeriku. Jadi, mungkin sudah cukup basa-basinya!”” suara Vanart
meninggi. Dia mengambil kapak yang tergeletak di lantai. Memain-mainkannya
sebelum akan memenggal kepala setengah wajah di hadapannya.
“Kau benar. Wanita yang
menempati sisi kanan tubuh ini adalah seorang musisi profesional. Aku bukanlah
musisi dan aku juga tak terlalu menyukai seni. Aku ada di pihakmu, Vanart.
Tanya saja prajurit yang tadi menyerbu. soal kemampuan bela diriku. Dua belas
orang prajurit terlatih kutumbangkan, Vanart. Kau bisa membunuh Jess, tapi aku
juga akan mati. Kau tentu tak mau kehilangan seseorang berkemampuan setara dua
belas orang orang tentara, bukan?””
"Tunggu, apa-apaan ini?!
Pertama, Na, aku tahu kau gadis baik. Aku melihatmu dan Mahakaryamu di Museum
Semesta. Apa yang kau lakukan dengan penjahat gila macam Vanart? Jampi-jampi
apa yang dibisikannya ke kepalamu? Kedua, Hutcher, aku mengerti kau masih marah
akan perbedaan pendapat kita dan aku berusaha untuk tidak terlalu terbawa
perasaan, tapi apa kau lebih gila dari Vanart? Apa aku harus ikut gila untuk
dapat menyelesaikan konflik di sini?! Dengar, mungkin aku salah bertengkar
denganmu, namun berpikirlah jernih, Hut”— hardikan Jess terhenti seketika saat
Vanart menempelkan mata kapaknya ke leher Jess.
“”Baiklah jagoan, kita ikuti
permainanmu. Tapi bagaimana caranya agar kau tetap sadar ketika pelacur di
sebelahmu itu binasa?”” Vanart tersenyum mengejek.
“Biar aku yang melakukannya,””sahut
Na, melangkah mendekati yang sedang terikat.
“Na” Semakin dekat.
“NA SADARLAH NA!””jerit Jess
dengan mata yang menatap nanar Na yang sekarang amat dekat darinya. Sampai
akhirnya Na memeluknya. Tangan kanan Na mengelus pipi kanan milik Jess. Matanya
memandang lekat, langsung ke tengah pupil Jess.
Kesadaran Jess lumpuh seketika.
Hutcher bisa merasakan tubuh bagian kanannya memberat, tanda Jess sudah
tertidur dan bermimpi. Sebisa mungkin Hutcher menstabilkan tubuhnya. Mentalnya
aman, tetapi tetap saja tubuh kanannya masih berbentuk wanita. “Menyebalkan.”
“Sekarang kau siap.”” Na
melepaskan pelukannya. Mundur teratur, kembali ke Vanart.
“Ayo. Kita punya rencana untuk
diselesaikan,””perintah Vanart.
Ikatan Hutcher dilepaskan. Agak
berdenyut di beberapa bagian yang diikat tadi. Na mengikuti Vanart ke ruang
kerjanya, dengan Hutcher yang sempoyongan mengekor di belakang.
“Maafkan aku, Jess,”” batinnya.
***
“Dalam mimpiku aku bermimpi akan
mendapati segerombolan orang yang bersedia menyelesaikan konflik di negeri ini.
Dan kurasa itu adalah kalian,””sambut Steiner ramah. Senyumnya mengembang,
menyisakan rasa hangat bagi yang melihatnya.
“Oh, iya...benar. Kami memang
berasal dari Alam Mimpi. Tempat yang menyenangkan, menurutku,”” sahut Kuro
sekenanya.
“Maaf aku menguping pembicaraan
kalian tadi. Maksudku, aku juga tak terlalu fokus pada percakapan kalian karena
aku juga sibuk membuat komik.””
Mereka bertiga berjalan
menyusuri lorong panjang di dalam rumah Steiner. Entah apa yang tejadi pada
listrik di sini, terbukti tak ada peralatan elektronik yang berarti di
rumahnya. Lampu petromaks berdampingan dengan lilin menerangi rumah. Dengan cahayanya
terus menari-nari bersama irama angin yang menembus dari bilik kisi-kisi papan.
Sampailah mereka di ujung
lorong. Ruangan yang cukup besar untuk ukuran rumah-rumah di negeri ini. Udara
di sini lembab, sepertinya letaknya di dalam tanah. Terlihat beramai-ramai
orang berseliweran dengan kesibukannya masing-masing. Meja-meja bersusun tak
beraturan, penuh dengan beragam bahan dan alat-alat berbau seni. Adalah hal
yang biasa melihat cat akrilik tumpah menyisakan pola abstrak, meraskan senar
gitar yang tersangkut-sangkut di kaki, bahkan mendengar suara-suara lolongan
tak jelas dari beberapa sudut ruangan.
Ya, mereka sedang mengerjakan
seni. Mengekspresikan diri mereka ke dalam bentuk-bentuk estetika. Baik itu
lukisan, partitur musik, patung beragam ukiran, sampai karya yang butuh otak
berintelejensia tingggi untuk memahami di mana keindahannya. Seni yang
menghidupkan manusia, menjadi salah satu kebutuhannya. Berbaur indah dalam
kehidupannya yang fana.
“Kami akan melakukan pameran
seni di depan istana Vanart besok. Semua orang di sini tengah mempersiapkannya.
Pameran yang akan dikenang oleh sejarah. Akan digaungkan keagungannya di
seluruh dunia. Dan yang paling penting, pameran yang akan membebaskan ekspresi
seluruh insan, khususnya di negeri ini,””ujar Steiner.
“Ya, aku sudah tahu sekilas
tentang pameran besok. Tapi apakah mereka, semua orang di sini, hanya akan
menjadi martir? Lalu apa yang akan kau lakukan?”” tanya Zia pesimis, seperti
biasanya.
“Martir? Apa yang kau maksud?
Mereka akan menjadi pejuang seni yang darahnya akan menjadi emas di kemudian
hari. Perjuangan mereka akan terbayar, walaupun mereka sendiri tak akan sempat
merasakannya. Dan aku? Akulah ujung tombak dari pameran ini. Dengan mulutku
sendiri, akan kuminum darah keji Vanart yang telah membantai teman-teman sesama
seniman di negeri ini,””jawab Steiner dengan suara yang agak meninggi.
Terdengar kegugupan dari ujung kalimatnya yang bergetar.
Yakinkah dia akan hal ini?
“Kulihat kau berbakat dalam
praktek kimia. Mungkin kau bisa membantu Chemistry Corner di pojokan sana. Aku
butuh lebih dari sekedar bom tinta untuk membombardir Vanart.”” Steiner
menunjuk salah satu pojokan dengan satu meja besar dan beberapa orang yang
mengelilinginya, diikuti Zia yang melangkah mengikuti arah yang ditunjuk.
Hati-hati sekali Zia menuju
pojok paling kiri ruangan itu. Semua kekacauan ini meningkatkan
kehati-hatiannya, walaupun terkadang ada yang memecah konsentrasi. Dengan
kepala yang terus menunduk, sekilas terlihat seperti seseorang yang tengah
depresi. Ya, itu benar. Lebih tepatnya bukan depresi biasa, tetapi depresi
karena skizofrenia yang diidapnya.
Maysa, seseorang—atau sesuatu yang
dibicarakan Zia dengan Kuro tadi, adalah salah satu buah dari gangguan
mentalnya. Dengan keahliannya mengolok-olok dan menyuarakan keputusasaan, Maysa
sukses membuat si lab berjalan depresi. Merasa dirinya tak berguna setiap saat.
Tapi kali ini bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan Maysa. Negeri ini dalam
masalah. Semua orang membutuhkan seorang pahlawan untuk menyelesaikan masalah
ini. Setidaknya, itulah yang dipikirkan Zia.
“Umm... perkenalkan namaku Zia.
Apakah ada yang bisa kubantu?”” Zia memulai pembicaraan di Chemistry Corner.
“Membantu? Tentu saja. Dari
penampilanmu, terlihat sekali kau jago dalam hal ini, Zia. Jangan malu-malu,
kita sedang mengerjakan seni di sini. Kau bisa mulai mengerjakan apapun yang
kau mau di sini,”” sambutan hangat seorang wanita berjas lab penuh noda.
“Selamat datang, Zia,”” sambung
semua orang di Chemistry Corner. Zia terpana dibuatnya. Terlebih lagi saat
seseorang menunjukkan rak penuh bahan kimia beragam rupa dan warna.
Senyuman Zia mengembang
perlahan,” “Waktunya berpesta.””
Sementara
itu...
“Hei Stein, kudengar kau bisa
melakukan gerakan-gerakan gulat pro. Apakah itu benar?” tanya si rambut
warna-warni.
“Tentu. Aku penggemar gulat pro
ala-ala WWE atau semacamnya. Mungkin ini akan berguna suatu saat nanti,
maksudku, ketika akhirnya aku berduel satu lawan satu dengan Vanart, dengan
mempertimbangkan kemungkinan tidak ada senjata yang dipakainya.””
“Memangnya seperti apa sih
Vanart itu? Semenyeramkan apa dia? Apakah dia suka makan sayur?”
“Dia adalah anak dari mantan
pemimpin negeri ini. Sejak dia berkuasa, segala bentuk seni dihapuskan dari
sini. Sudah tak terhitung lagi berapa nyawa seniman yang melayang di tangan
dinginnya. Dia juga adalah perwira tertinggi militer. Tatapannya membutakan
elang—saking tajamnya. Ototnya sebesar godam, bertonjolan di sekujur tubuhnya.
Kemampuan berpedang dan menembaknya mengerikan. Bagiku, dia lebih dari sekedar
horror. Kami sudah menyerah melawan secara militer, dan biarlah pameran besok
menjadi penentunya. Kami butuh kebebasan untuk tetap berekspresi dengan seni.””
“Apakah dia tetap akan sombong
melihat dagingnya tersayat-sayat dengan ini.”” Kuro mengeluarkan kedua
pedangnya, lalu mulai beratraksi ala film kung fu (panda). Dia mengayunkan
pedangnya, melompat, menebas angin. Setiap tebasannya menyemburkan api,
terkadang angin yang berputar kecil. Mempertontonkan segala kemampuannya untuk
meyakinkan Steiner bahwa dirinya pantas mendampingi Steiner dalam pameran
kematian esok hari.
“Hei sobat, ayo kita ke tempat
lain. Jika kau terus berlatih seperti ini, yang’ ada rumahku akan hangus
terbakar.”” Steiner terkekeh, lanjut berjalan ke tempat lain diikuti Kuro yang
berjalan sembari terus bergaya.
Hujan sudah berhenti. Digantikan
oleh langit malam yang cerah bertabur bintang. Namun sayang, asap-asap berwarna
gelap dari berbagai penjuru malah membumbung tinggi, mencoreng citra indah sang
malam hari ini. Membuat pemandangan semakin menyesakkan.
“Sepertinya kau tahu banyak soal
ilmu bela diri, bro. Kau harus mengajariku,”” sambut Steiner di halaman
belakang.
“Apa kau tidak terkejut dengan
semburan api dan angin-angin kecil tadi?””
“Kau tahu, aku terlalu lama
berada di dunia fantasi untuk mengerjakan komik. Di sana, aku sudah biasa
melihat hal-hal seperti manusia berapi ataupun dewa dan naga angin.””
“Dunia fantasi? Dewa angin? Naga
angin? Bisa kau membawaku ke sana?” pertanyaan polos Kuro yang keluar dari mulutnya
begitu saja. Steiner berhenti menyusuri halaman belakang, lalu menarik nafas
dalam-dalam, perlahan mengeluarkannya.
“Yang benar saja, heh?”
batinnya.
***
“Tunggu, apa-apaan ini?” sela
Hutcher saat kedua tangan dan kakinya diborgol kembali. Rapat kenegaraan untuk
“pameran” besok baru saja usai ketika Hutcher ingin berjalan-jalan mengelilingi
istana Vanart, namun tiba-tiba beberapa tentara Vanart mengerumuninya dan
segera memborgolnya.
“Tuan Fa bilang kau punya
potensi untuk membahayakan Lord Vanart, jadi kami terpaksa memborgolmu. Kau
tidur di sel bawah, bersama seorang pembunuh bayaran yang tertangkap tadi
siang,” jawab salah satu tentara datar.” Yang lain segera menggiring Hutcher ke
sel di lantai bawah.
“Sial! Harusnya aku saat ini
sudah berada di dalam camp dan memimpin rapat pembatalan pameran Steiner besok.
Kalau begini sia-sia saja usahaku mengkhianati Jess. Awas kau, Fa!” batin
Hutcher.
Hutcher adalah seorang yang
penurut. Tanpa perlu diperintah pun dia sudah masuk sel dengan anggun. Pintu
sel dikunci, langsung ditinggal pergi oleh para pesuruh Vanart, kecuali dua
orang yang diperintah untuk berjaga.
Hutcher mendongak ke samping
sel. Jendela kecil dengan jeruji besi yang memasukkan cahaya rembulan sebagai
satu-satunya penerangan. Cahaya putih itu menimpa tubuh seorang pemuda
berpakaian hitam-hitam yang berantakan. Hutcher ingat pemuda itu. Dia adalah
Zephyr, orang yang dilihatnya sebagai yang paling dingin di Museum Semesta.
Zephyr tengah terbaring lemas, sepertinya sedang tak sadarkan diri.
Sementara di lantai atas sana,
Na kembali termenung di samping jendela. Matanya memang memandang purnama yang
mengggantung indah. Aslinya, pandangannya kosong. Melamun, memikirkan sesuatu.
Dilema yang harusnya tak singgah di kepalanya.
“Hutcher
sudah tahu kalau kau yang menyuruh prajurit untuk mengurungnya, Fa.””
“Memangnya
kenapa? Hutcher pasti akan memberitahu Hael Steiner tentang kesiapan Vanart
untuk pameran kematian besok. Biarlah besok menjadi hari yang kelam, kau tak
seharusnya menyaksikan kejadian besok. Begitu juga dengan Hutcher dan Zephyr.
Kau menyelamatkan mereka, Na.”
“Mereka
seniman-seniman tak bersalah, Fa. Aku yakin para reverier selain Jess-Hutcher
dan Zephyr telah bergabung dengan Steiner. Darahnya akan sia-sia.””
“Aku
tak akan membahayakan nyawa lebih banyak orang. Kalau memang Hutcher
membocorkan rahasia tadi ke Steiner, tentu mereka akan membatalkan pameran
besok. Mereka akan merencanakan pemberontakan yang lebih besar, dengan lebih
banyak lagi nyawa yang terlibat. Kau terlalu mengkhawatirkan reverier lain.
Setidaknya, mengorbankan beberapa nyawa untuk banyak nyawa lebih mulia
ketimbang mengorbankan semuanya hanya untuk beberapa.”
“Aku
harus memberitahu Jess-Hutcher dan Zephyr. Tak enak rasanya membiarkan orang
lain berburuk sangka.””
Na bangkit dari jendela dan
segera mengunjungi sel tempat Hutcher dan Zephyr berada. Gadis belasan tahun
itu masuk ke sel, menyuruh kedua penjaga sel untuk pergi. Tangannya menyentuh
Zephyr, menggoyang-goyangkannya sedikit untuk dapat membuatnya terjaga barang
semenit-dua menit. Dan ia berhasil.
Zephyr membuka dan
mengucek-ngucek matanya ketika tangan kiri Na menyentuh pelipis kanan Hutcher.
Mencoba membangunkan Jess dari mimpi yang diciptakannya sendiri, semata-mata
untuk membungkam Jess yang terkadang omongannya tak bisa dijaga. Na melanjutkan
pengobatan. Sembari kedua tangannya memegangi betis kiri Zephyr, Na terus
berbicara.
“Dengar, aku mencoba untuk
menolong kalian, reveriers. Aku tak ingin kalian merasakan sakit perang esok
hari. Seperti yang telah kalian ketahui, Vanart beserta pasukannya telah
menyiapkan ‘kado’ besar untuk pameran besok. Pembantaian seniman-seniman tak
berdosa. Kalian tak perlu melakukan apa-apa. Cukup duduk manis dan tunggulah
portal kembali ke Bingkai Mimpi. Selesai,”” jelas Na.
“Gadis manis, kau salah. Bukan
hak ataupun kewajibanmu untuk mengambil alih tugas kami. Walaupun ini mimpi,
bayangkan saja situasi yang terjadi di negeri ini adalah nyata. Bayangkan
betapa sunyinya dunia. Betapa membosankannya semesta. Aku, Jess, tak akan
membiarkanmu mendikte semua ini sesuai kehendakmu,” ujar Jess.
“Dan bagaimana dengan reverier
lain? Bisa saja mereka masuk ke faksi Steiner dan mereka akan mati sia-sia
besok. Khusus untukmu Fa, aku yakin kau bisa mendengarku, jangan coba-coba
halangi aku!” sambung Hutcher.
“Mengorbankan beberapa untuk
semua lebih baik dari mengorbankan semua untuk satu.”
“Entahlah, aku tak begitu
mengerti situasi di sini. Aku baru saja mendarat keluar dari portal dan pasukan
brengsek itu langsung menembakiku. Puncaknya ketika Vanart si tukang bacot
mempermalukanku dan menembak betis kiriku,” Zephyr menanggapi.
“Jika kau benar bagian dari
mereka, maka...” Zephyr menggantung kata-katanya.
“......””
Sekuat tenaga Zephyr
menghancurkan borgol yang membelenggu tangannya. Dengan gerakan yang sukar
ditangkap dengan mata telanjang, Zephyr merogoh pistol tersembunyi dalam jasnya,
mengarahkannya, dan langsung menembak tepat ke dahi tengah Na. Ia tewas
seketika. Begitu juga dengan personanya yang lain, Fa.
“Hei hode, ayo cepat!” bentak
Zephyr ke Jess Hutcherson.
“Lepasin dulu kali. Cepetan tembak
ke sini.” Si musisi setengah-setengah memperlihatkan borgol di tangan dan
kakinya ke Zephyr. Tembakan Zephyr sangat akurat. Kedua borgol itu langsung
hancur, membebaskan Jess-Hutcher.
Alarm keamanan berbunyi segera
setelah terdengar suara tembakan Zephyr. Semua personel keamanan Vanart segera
bergegas berlari ke segala arah. Salah satunya menghampiri Jess-Hutcher.
Wajahnya tertutupi masker dan topi gelap. Entah apa yang dilakukan prajurit
Vanart yang satu ini. Tunggu, dia bukan bawahan Vanart, tetapi dia adalah....
“Hei banci, cucok deh ah pake
bra begituan. Ini asli ya? Hihihihihi....”” ia membuka maskernya.
“Hayati? Kenapa kamu bisa ada di
sini?” ucap Jess terkaget-kaget. Hayati adalah nama yang diberikan Jess untuk
menyebut makhluk peliharaan Penguasa Alam Kematian. Sesaat setelah kematian
Jess dan Hutcher, makhluk ini menghampiri dan menuntun mereka ke si majikan.
Hayati menggoyangkan badannya,
berusaha melepas pakaian tentara yang dipakainya sebagai kamuflase. Tampaklah
bentuk aslinya. Seekor kucing berwarna biru dengan beberapa bagiannya yang
putih bersih dan dua helai daun di bawah lehernya sebagai dasi ecek-ecek.
Hayati memiliki sepasang sayap di belakang punggungnya, membuatnya bisa
terbang.
“Udah ah ceritanya panjang. Eyke
di sini mau ngasih ini barang, kayaknya ketinggalan deh.” Hayati menyerahkan
sebuah biola dan dua buah gesekan biola yang sedari tadi dipegang kedua tangan
mungilnya,””Udah ye, eyke mau capcus dulu. Siu babay.””
Hayati meninggalkan Jess
Hutcherson dan Zephyr yang masih melongo. Tapi sudah saatnya untuk sadar. Ini
situasi darurat, tak perlu berkaget-kaget segala. Jess menaruh biola yang
menyerupai gitar ini ke balik gaun merahnya, dengan kedua tangan memegang dua
gesekan biola yang beralih fungsi menjadi double
sword. Zephyr dalam posisi siaga, mengacungkan dua pistol ke segala arah.
“ITU MEREKA!” pekik seseorang di
ujung lorong, begitupun di ujung yang lain. Dua rombongan besar tentara Vanart
datang menyerbu ke arah Jess-Hutcher serta Zephyr.
Zephyr menembaki sepasukan
tentara itu dengan sigap dan tanpa ampun. Belasan timah panas sukses membuat
tentara-tentara Vanart jatuh. Rombongan itu balas menembak. Si pembunuh hitam
menghindar masuk ke dalam sel, lalu keluar dan memanjat jeruji sel lain sambil
terus menembak. Akurasinya luar biasa. Bahkan tentara yang menyerbu dari atap
sel pun tak luput darinya.
Jess Hutcherson berlari ke arah lain, segera
melancarkan serangan jarak dekatnya dengan dua gesekan biola yang menjadi
senjata. Darah menyiprat ke mana-mana. Dia menari, dengan indahnya menghindari
tembakan senapan, lalu membalas dengan sapuan gesekan biola langsung ke leher
si penembak. Kemampuan musisi ini tak boleh dianggap remeh. Setelah meng-KO-kan
dua belas orang sore tadi, malamnya ia menjatuhkan lebih banyak orang.
Suara tembakan Zephyr masih
belum berhenti ketika si musisi mengambil biolanya dan memulai konsernya
sendiri. Persona dominan kini diserahkan pada Jess. Wanita yang telah matang ini
memainkan musik-musik dengan frekuensi dan nada-nada ultrasonik, bahkan lebih
tinggi. Suara yang dihasilkan efektif menciptakan banjir darah pada pasukan
Vanart. Ada yang perutnya terbelah, matanya berlubang, kakinya patah, dan
segala kerusakan yang pasti tak ingin engkau lihat.
Pintu keluar sel telah bebas
dari segala bentuk penjagaan, mempermudah langkah mereka untuk keluar dari
tempat terkutuk ini. Zephyr yang paham situasinya bahkan keluar lebih dulu.
Mereka masih ditembaki oleh tentara Vanart yang tersisa di belakang, luput dari
muntahan peluru Zephyr.
Suasana di luar ruangan sel
terlihat ramai. Terdapat puluhan tentara bawahan Vanart yang sedang siaga.
Beberapa belas penjaga yang menyadari kehadiaran Jess Hutcherson dan Zephyr
terlihat melongo menyaksikan dua—atau tiga orang tahanan keluar begitu saja
dari selnya dan langsung memburu pintu keluar.
Tak terlalu memperhatikan
sekitar, si musisi dan si pembunuh bayaran fokus ke pintu keluar yang tanpa
penjagaan. Puluhan proyektil mematikan
segera menyerbu mereka. Beruntunglah, sebagai dancer profesional, Jess
dan Hutcher tahu gerakan-gerakan yang memungkinkan tubuh mereka untuk
menghindari serbuan peluru sambil tetap berlari. Sebisa mungkin Jess memainkan
nada-nada untuk melumpuhkan tentara Vanart di belakang. Zephyr berulang kali
menghadap ke belakang untuk kemudian menembak para aparat keamanan yang mengejarnya.
Mereka akhirnya keluar dari
istana Vanart. Semenjak alarm berbunyi di dalam, external security di sini menjadi berkurang. Hanya ada lima orang
penjaga yang sedang kumpul kebo, itu pun langsung pergi melihat wajah Jess
Hutcherson yang bernodakan cipratan darah dan kedua pistol Zephyr. Tapi di
balkon atas sana, ada sepasang mata yang menatap setajam silet.
Vanart dalam balutan kemeja dan
celana panjang hitam-hitam memasang ekspresi mencekam. Tak ada guratan keraguan
di wajahnya. Matanya menatap fokus ke kedua tahanannya kabur. Si pemilik
tatapan penuh kengerian yang membuat siapapun takut itu pun menghilang dari
balik balkon. Bukan pertanda yang baik.
Zephyr terus berlari tak tentu
arah, diikuti Jess-Hutcher yang sedari tadi mengekor di belakangnya. Asalkan
bisa menjauh dari istana gila itu, apapun akan ditempuhnya. Rembulan sempurna
menerangi jalannya. Keringat berbaur dengan darah di wajahnya yang tegang.
Nafasnya kembali memburu bagai dikejar hantu jadi-jadian. Bukan, bukan hantu.
Yang mengejanrya adalah tentara Vanart, tak henti-hentinya melancarkan
tembakan-tembakan peringatan.
“Zephyr, kita harus sembunyi.
Aku tahu kau pasti lelah, begitu juga aku. Tak mungkin melawan ribuan tentara
sekaligus!” teriak Hutcher.
Zephyr berbelok ke sebuah gang
sempit nan gelap tanpa perlu berdebat lebih jauh. Mengatur nafasnya yang habis
dipompa maksimal. Perlahan-lahan dia berjongkok, lalu terbaring lemas. Tidak,
dia tidak mati. Pelarian tadi benar-benar menguras energi dan pikirannya. Belum
lagi si aneh Jess Hutcherson yang masih membayang di pikirannya.
“Ahhh... aku lupa mengucapkan
terima kasih. Membunuh Na adalah hal yang sangat tepat setelah aku mendengar
argumennya tadi. Aku kagum dengan tangan dinginmu dan insting yang sama dinginnya,”
Hutcher memulai pembicaraan yang disambut acungan pistol Zephyr.
“Ngomong sekali lagi gue bunuh
lo!” desisnya.
“Hutcher, kita mesti kasih tau
Steiner soal ini,” ujar Jess.
“Terus kita nyari markasnya
gimana? Udahlah Jess, biarkan saja. Lagian kita udah terlalu lelah malam ini.
Untukmu juga Zephyr, kita harus melawan faksi Vanart dan membunuhnya secepat
mungkin besok. Kita memiliki faksi sendiri di sini, kalian dengar?” jelas
Hutcher. Kini ia ikut terbaring bersama Zephyr yang sudah terlanjur lelap.
Raganya tidur, tetapi khayalannya aktif memutar bayangan akan perang esok hari.
Dan sepinya malam
kembali menggenang.
***
Matahari mengintip dari ufuk
timur. Sinar hangatnya langsung disambut gerombolan burung bermacam jenis.
Mereka terbang membentuk formasi-formasi menawan namun teratur. Bersama
melewati The Artless Country. Pemandangan yang sebenarnya indah, namun negeri
tanpa seni ini bagai tak membiarkan alam memancarkan pesonanya.
Rombongan itu telah siap dengan
bawaannya masing-masing. Lukisan, patung, alat musik, naskah komik, segala yang
berbau seni bisa tercium. Pagi ini, mereka bersiap melakukannya. Pameran
Mahakarya yang akan tercantum pada buku sejarah di masa depan. Seni yang
menghidupkan, seni pulalah yang mematikan. Begitulah kiranya apa yang
dipikirkan mereka. Dengan langkah cepat yang pasti, gerombolan yang sebenarnya
tak lebih dari lima puluh orang itu menapaki jalan The Artless Country. Iringan
terompet besar yang dibawakan beberapa orang menambah megah suasana di pagi
itu.
“Kita sampai. Guys, set your position!” ujar Steiner.
Rombongan itu segera bubar, mengambil tempat masing-masing. Mempersiapkan dan
mempertunjukan segala karya seni yang mampu diekspresikannya. Suasana berubah
ramai.
Inilah pameran impian Steiner.
Dia mengamati sekelilingnya dengan mata berbinar dan senyum sumringah. Sejenak
bisa dilupakannya rasa canggung yang menggelayutinya sejak subuh tadi. Tapi
rasa itu datang lagi. Sejujurnya dia sudah tak tega melakukan ini. Bagaimana
kalau dia tak berhasil? Zia benar, tak seharusnya orang-orang ini menjadi martir.
“Apakah aku yakin akan melakukan ini?”
“Apakah
aku sanggup?”
“Apakah
aku bisa?”
“Apa yang kau cemaskan, kawan?
Kau melakukan sesuatu yang benar. Ayolah, tak perlu khawatir. Ini saaatnya kau
menunjukkan kekuatan seniman. Ayo, bergeraklah kawan. Hancurkan batu yang mengganjal
dalam hatimu,” sebuah suara penuh energi positif menyadarkan lamunan Steiner.
“Kulihat kau begitu
yakin akan hal ini, Kuro,” Steiner tersenyum garing. Ditengoknya Kuro sedang
bermain-main dengan bahan-bahan kimia kepunyaan Zia.
“Kau harus yakin
untuk bisa menang, dan senyuman adalah cara terbaik untuk melakukannya. Itulah
yang diajarkan pengasuhku dulu. Saat ini aku sedang mencoba mengamalkannya dan
mengajak orang beramai-ramai untuk ikut melakukannya. Bersama meraih
kemenangan,” ujar Kuro dengan senyum sepuluh sentinya.
“Hei Kuro!! Jangan
ganggu anakku!!” hardik Zia dari kejauhan melihat benda-benda ilmiahnya
dipermainkan Kuro.
“Pengasuhmu dulu
pastilah orang yang sangat bijak. Zia, apakah kau sudah siap?” Stein melirik
Zia dan Kuro yang sedang bertengkar mempermainkan bahan-bahan kimia. Agak lucu
juga karena Kuro sesekali mulai menampilkan ekspresi gilanya sembari terus
berlari menghindari Zia.
“Membantu sesama bagiku sudah
lebih dari cukup,” jawab Zia setelah berhasil merebut salah satu gelas kecil
dari cengkeraman Kuro, tetapi salah-salah gelas itu malah terlempar ke balik
semak-semak.
Gelas tersebut
jatuh di dekat kaki seseorang yang sedang bersiaga dengan dua pistol di
tangannya. Yup, Zephyr yang sedang menunggu pembantaian massal seniman. Di
sampingnya berjongkoklah si musisi setengah-setengah, Jess Hutcherson.
“Tenanglah Zephyr,
ini hanya peperangan. Aku yakin kau telah terbiasa dengan ini semua. Jangan
terlalu panik, entar kalau stress bisa gawat lhoo,” kicau Jess renyah.
“Diam kau banci!”
desis Zephyr.
BOOOOOOOM!
The game has begin.
Tiba-tiba
terdengarlah suara ledakan berkekuatan penuh dari salah satu sudut pameran,
disambung dengan rentetan tembakan yang beradu dengan pilar-pilar istana
Vanart, memecah pinggirannya yang tak berpelindung. Pameran berubah kacau.
Papan aneka warna berserakan, beberapa berlubang dihajar peluru. Orang-orang berlarian
tak tentu arah. Berusaha mencari perlindungan sembari meneriakkan nama Steiner
dengan penuh kengerian.
Dan yang dicari
malah lebih beringas mencari perlindungan. Hujan peluru yang tak henti-henti
membesarkan keraguannya. Semakin ciut pulalah nyalinya mengubah dunia. Batinnya
tertekan melihat orang-orang yang meneriakkan namanya bermuka nestapa sebelum
kemudian jatuh terbanjiri darah.
Dari balik
semak-semak, Zephyr beserta Jess-Hutcher melompat keluar ke tengah-tengah hujan
proyektil. Berusaha menghentikan penyerangan besar ini dengan kemampuan
masing-masing. Gerakan kombo antara tembakan Zephyr dan alunan melodi dari
Hutcher—yang kini dengan persona dominannya memilih menggunakan senjatanya
sebagai gitar maut perlahan menormalkan situasi. Kedua reverier ini mengalun
bersama di tengah hancurnya perang.
Sebelum kemudian
mereka terpisah.
Lima tembakan
tentara Vanart mengincar tepat ke tengah perut Jess Hutcherson. Hutcher
membalik gitar, menciptakan pelindung ala kadarnya. Tembakan yang sangat kuat
yang mampu mendorong si musisi hingga terlempar dan tanpa sengaja mendarat di
tempat perlindungan Steiner dan rombongannya yang tersisa. Meninggalkan Zephyr
yang mau tak mau harus berjuang sendiri.
“Apa yang kalian
lakukan di sini?! Steiner, bukankah kau harusnya menyusup masuk ke dalam sana
dan membunuh Vanart? Bukankah rombonganmu ini harusnya memberikan tembakan
perlindungan agar kau bisa melakukannya?!” amuk Hutcher mendapati suasana di
tempatnya mendarat yang seolah tak pernah ada suatu apa pun yang terjadi. Satu
per satu orang ditatapnya. Hutcher menemukan keraguan besar di sini, termasuk
pada kedua reverier mencolok yang pernah dilihatnya di Museum Semesta, Kuro dan
Zia.
“Seseorang pernah
memberitahuku untuk mengikuti pemimpin. Dan itulah yang aku lakukan beserta
orang-orang di sini,” ujar Zia datar sambil melihat ke arah Steiner.
Steiner memeluk
lututnya lebih erat,” Maafkan aku.”
“Maaf? Itu saja?
Baiklah, perang ini akan usai begitu kau mengucapkan maaf sekali lagi. Luar
biasa, hidup Steiner!” Jess menampar keras salah satu pipi Steiner ,””Realistislah,
sayang. Kau ada di perang sungguhan, bukan perang di komik-komik yang bisa
selesai hanya dengan sebutir Deus ex Machina!”
Hujan peluru masih
berlanjut. Kali ini berubah menjadi gerimis peluru.
“Baiklah, aku
bosan terus menjadi motivator selayaknya Mario Teguh kali ini. Temanku tengah
berjuang sendiri di garis depan sana demi kalian. Kita tak punya banyak waktu. Kumpulkanlah
segala rasa ragu yang kalian punya. Tumpuk setinggi-tingginya. Dan dengan ini....”
Hutcher memainkan gitarnya dengan melodi positif dalam setiap nadanya.
“Ubahlah semuanya
menjadi peluru emas yang siap menembus batas ruang lingkup keraguan kalian.””
Sementara Hutcher
mencoba membangkitkan kekuatan Mahadahsyat para seniman, di lini depan sana Zephyr
telah menyerah melawan kekuatan militer luar biasa Vanart. Magasinnya hampir
kosong, begitupun staminanya. Kedua tangannya terangkat ke atas sebagai tanda
menyerah.
Vanart keluar dari
balik istananya dengan wajah dinginnya, kali ini dihiasi senyum licik nan
menghinakan siapa pun yang melihatnya. Dia tengah bertelanjang dada, menampakkan
tonjolan otot yang bersamanya melihat peperangan di depan istana bak konser
akbar. Tanpa iring-iringan apapun, langkah tegap Vanart menghadap Zephyr. Hujan
peluru sudah usai lima belas detik yang lalu.
“Akhirnya kau
kembali, pecundang.” Vanart meludahi wajah Zephyr. Yang diludahi balas
menggeram.
“Cukuplah
basa-basinya. Kali ini, kau berikan aku potongan kepala Steiner, sepuluh
kantong emas kontan akan kau bawa pulang.””
Zephyr mengangguk.
Menarik nafasnya sebelum berteriak lantang,” “HAEL STEINER!! KELUARLAH!!!”
Steiner melangkah
keluar dari tempat persembunyiannya. Tangan kosongnya diam, mungkin tak ada
perubahan berarti sejak Hutcher "meng-exorcist-nya". Matanya semakin
sayu. Dipandangnya Zephyr yang tengah mempersiapkan katana dari Vanart.
Langkahnya berubah menjadi lari, dan berhenti beberapa langkah dari dua orang
yang kini siap merenggut nyawanya.
“Lakukan jika kau
memang seorang pria.”
Zephyr mendekati
Steiner dan berdiri membelakanginya. Katana diangkatnya tinggi-tinggi,
membentuk sudut ideal untuk dapat memenggal kepala seseorang sebelum sempat
merasakan sakit. Senyum licik Vanart semakin mengembang. Dan....
Ayunan katana
Zephyr dengan cekatan menghindari leher Steiner. Dengan akurasi yang tak perlu
diragukan, Zephyr melempar pegangan katana yang langsung disambar Steiner. Menggunakan
tangan lainnya, Stein meninju tonjolan besar perutnya dan keluarlah Zia dari
balik rompi Steiner, langsung melempar bahan-bahan kimia berbahaya yang segera
memojokkan Vanart.
“SERAAAAAAAANG!!!”
***
Lolongan suara
khas Kuro menandai perang yang sesungguhnya. Pasukan Steiner yang tersisa maju
dengan karya seni masing-masing sebagai amunisi dadakan. Para warga sipil juga
tak ketinggalan. Acungan arit dan garpu rumput bersama mewarnai obor perjuangan
warga negara yang ditindas haknya. Melawan rezim raksasa yang mengukung mereka
selama puluhan tahun. Dan benar, hari ini tetap akan dikenang dalam sejarah.
Hujan peluru
kembali datang. Para abdi militer dengan amunisi mematikan ini begitu setia
akan pemerintahnya. Terus maju meski tahu itu salah. Kabar baiknya, ada
beberapa yang sadar akan pentingnya seni dalam kehidupan bernegara, bahkan
militer sekalipun. Mereka yang berontak sigap membunuhi temannya yang sebagian
besar sudah terkena pengaruh gelap Vanart. Kini mereka bukan bekerja sebagai
aparat militer, namun sebagai warga yang negaranya tengah dijajah pemerintahnya
sendiri.
Peperangan ini
bukannya berat sebelah. Pihak Steiner sekarang punya dua keajaiban besar. Ya,
Kuro dan Jess-Hutcher bukanlah insan biasa. Keajaiban kini terlihat nyata
tatkala keduanya melakukan jurus kombo. Kuro memainkan dua pedangnya dengan
lihai sebagaimana yang ia tunjukkan kepada Steiner malam tadi. Beberapa kepala
sukses dipenggalnya, bahkan dengan kemampuan manipulasi api dan angin ia baru
saja merobohkan satu tank besar, diikuti beberapa peluncur roket yang posisinya
bersanding dengan tank tersebut.
Semuanya tak lepas
dari peran Jess Hutcherson. Petikan gitar Hutcher yang diselingi gesekan biola
Jess mengalirkan energi positif ke segala arah. Membangkitkan hasrat untuk
terus berjuang melawan kedzaliman. Di tengah perang, ia menari dengan dua
gesekan biolanya yang terus saja menambah kerusakan di pihak Vanart. Tak jarang
ia mengeluarkan alat musiknya untuk menambah efek destruktif sembari terus
menciptakan harmoni.
Tiga lawan satu,
atau setidaknya bagi Steiner berarti tiga lawan tiga. Tebasan katananya
beriringan muntahan peluru Zephyr dan cipratan bahan kimia Zia. Vanart bukannya
tak melawan. Seorang Vanart memiliki kekuatan setara tiga orang tentara
profesional yang telah menelan asam-garamnya peperangan. Dengan lihai dia
menghindari nyaris setiap serangan dan membalasnya kembali dengan tembakan
pistol rahasia yang tersembunyi di balik celananya. Vanart dengan sengaja
mundur perlahan, memaksa trio pejuang untuk ikut masuk ke dalam istananya.
Begitu mendapat momentum, ia mengambil paksa salah satu pedang yang berserakan
di lantai. Mengubah pertarungan mafia menjadi pertarungan ala Zorro.
Di luar sana,
peperangan yang berlangsung alot kini seolah mulai menemukan titik terangnya.
Tentara Vanart semakin merengsek mundur dengan anggotanya yang lebih banyak
berpindah faksi. Jess-Hutcher dan Kuro semakin beringas dalam upayanya
menyelesaikan perang. Lelah bak sudah mencapai batasnya. Bukannya jarang
Hutcher mau tak mau harus memainkan melodi penyemangat untuk tetap mengobarkan
api perjuangan.
“Sudah saatnya,
Kuro,” ujar Hutcher. Ia memainkan gitarnya semakin cepat, menghimpun energi
yang tersisa sekaligus membuat energi-energi baru.
“Tentu,” sahut
Kuro, masih belum berpaling dari musuh-musuhnya. Kuro menancapkan salah satu
pedangnya ke tanah, dan muncullah sosok mirip dirinya. Langsung membantu Kuro
menebas lawan-lawannya.
“Tak usah kau
jelaskan lagi. Aku sudah tahu semuanya.” Dengan kemampuan setara Kuro, Zweite
semakin membalikkan situasi perang. Tak usah lagi meragukannya.
Jess Hutcherson berhenti sejenak. Energi yang
telah terhimpun di gitarnya disalurkan ke Kuro dan Zweite. Keduanya melompat
dan menyemburkan angin serta api dalam volume raksasa, menciptakan badai api.
Kesempatan yang langsung dimanfaatkan Jess untuk memainkan biolanya dengan
kekuatan maksimal. Semuanya menuju satu arah : istana Vanart.
BOOOOOOOOOOM!!!
Slow motion ledakan istana putih itu menjadi
momentum dramatis yang akan diingat oleh semuanya. Runtuhnya atap istana lebih
terlihat seperti penggalan kepala Vanart kala itu. Waktu seolah berhenti. Melambatkan puing istana yang terlontar ke
segala arah. Menandakan orde baru kekuasaan yang dulu hilang entah ke mana.
Beriringan dengan degup jantung yang kini kencangnya memburu nafas.
“KITA
MENANAAAAANG!”
Ledakan istana
Vanart segera disusul sorak sorai faksi Hael Steiner. Wajah suka cita berbaur
dengan tangisan-tangisan haru yang bahagia. Senjata mereka masing-masing
ditinggalkan, kemudian membentuk gerombolan penuh kegembiraan. Angin menghembus
syahdu, membawa helaian daun mahoni kecil-kecil yang gugur sebelum waktunya.
Ketiga sosok yang
membuat ledakan kemenangan itu kini terbaring lemah beralaskan tanah coklat
yang permukaannya bercampur material putih bekas istana Vanart yang telah
hancur. Lelah yang semakin membayang di pelupuk tak menghalangi senyum untuk terukir
di wajah masing-masing. Dua portal hitam kini terbuka di dekatnya.
“Petualangan luar
biasa, iya kan?” ucap Jess.
“Sangat luar
biasa,” jawab Kuro.
“Ahhh... aku lelah berada di sini. Mungkin
kita bisa bertemu di kesempatan yang lain. Terima kasih, Jess, Hutcher,” lanjut
Zweite. Keduanya bangkit dan masuk ke portalnya.
“Selamat tinggal.””
“Dan sekarang
giliran kita, Jess.”
***
Di dalam
reruntuhan putih itu, raga Zia yang sudah tak bernyawa terbujur kaku. Darah
menetes dari luka-luka menganga di seluruh tubuhnya, turut memerahkan jas
labnya yang terjepit potongan batu bata.
Jika Zia di sini,
berarti...
“Menyerahlah,
Vanart!” bentak Steiner. Yang dibentak malah tersenyum simpul. Bukan, bukan ke
arah Steiner.
Zephyr ikut
tersenyum. Dia menarik pelatuk pistol yang menyisakan satu-satunya peluru di
dalamnya. Si pembunuh hitam kembali mengarahkannya....
“.....”
DOR!!
Dan kepala
berlumuran darah itu pun menggelinding di dekat kaki Vanart.
--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 19 - JESS HUTCHERSON | RINDU
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 20 - JESS HUTCHERSON | MAWAR
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 19 - JESS HUTCHERSON | RINDU
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 20 - JESS HUTCHERSON | MAWAR
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : B
Writing techs : C
Engaging battle : C
Reading enjoyment : B
Zephyr bisa ngancurin borgol pake tenaga tangan kosong? Saya baru tau dia ga cuma bisa nembak
Saran :
Menyiprat >> terciprat (kata dasarnya ciprat, bukan siprat, dan konteksnya lebih enak ter- daripada me-)
Meng-KO-kan >> membuat KO
Saya bingung meng-exorcist ini enaknya jadi apa. Exorcist sendiri noun, bukan verb yang saya tau
Hael Steiner di sini beda banget sama di entri Olive ya. Di sana sosoknya heroik banget, di sini malah kayak pecundang
Begitu all out war berubah jadi wall of text, agak kaget juga. Kayaknya banyak entri lain yang juga terjebak mendadak full deskripsi gini
Karakter Zephyr cepet banget jadi pengkhianat bolak-balik ganti faksi ya. Jadi di akhir, Steiner mati? Kalo iya, saya malah heran ngeledakin istana Vanart aja dianggap cukup buat nyelesein misi setting ini sementara tokoh kuncinya masih hidup habis Jess-Hutcher dan Kuro pergi
==Final score: B (8)==
OC : Iris Lemma
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMaafkan perbendaharaan kata daku, sumpah bingung banget gimana cara ngasih diksi yang tepat.
HapusWall of text di final war? Ya... Gitu deh,antara deadline yang memburu dan otakku yang terlalu blank untuk ngisi battle dengan adegan yang detail. Pengennya kasih visual adegan perang yang luas (tau sendiri deh dalam perang kan semua kejadian berlangsung secara simultan), tapi jadinya malah aneh ya.
Hael Steiner aku base-nya ngambil dari alignment undecided-nya.
Trio justice ngelawan Vanart di dalam istananya. Ketika istana itu meledak, Zia melakukan semacam pengorbanan diri demi Zephyr dan Steiner, membuatnya mati beberapa saat sebelum ending. Dan menariknya, portal Jess dan Kuro terbuka setelah Zephyr menembak leher Steiner. Konflik seniman selesai, dan dimulailah era Vanart yang lebih kejam dari sebelumnya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussorry td cuma ngetes akun ane udah nyambung apa belum :'v
BalasHapusjd saya ulang, neutral evil is a jerk! yeeee! dan Zephyr dapet jerknya disini :v dan untuk borgol, dia gak sekuat itu. kecuali kalau borgolnya gak modern dan rante biasa mungkin dia masih bisa ngelepasinnya. gaya penulisan ceritanya kerena bro! lain kali ajari saya buat menulis rapi seperti ini 0.0
dari ane 8! semoga kita bisa ke R2 sama@ :D
Zephyr
Setelah sebelumnya gw pikir Zephyr paling susah diadaptasiin, sekarang gw malah berpikiran doi paling enak diapa-apain. Tinggal bolak-balikin faksi dan voila, pokoknya jahat deh #dibandem
HapusSrsly kali entry gw sangat tergantung pada imajinasi pembaca. Gw cuma nampilin potongan-potongan adegan dan biarkan pembaca mereka-reka apa yang terjadi selanjutnya. Thanks udah muji dan ngasih harapan (soalnya gw niatnya mau WO) dan amin semoga sama2 masuk R2
wwww ada happy~
BalasHapuskesan pertama yang bikin bingung itu tanda kutipnya. kenapa dobel2 gitu? xD
ceritanya sendiri seru. mungkin karena settingnya sama2 di negeri tanpa seni saya udah familier sama konfliknya.
buat karakter jess-hutcherson kadang memang susah ngebayangin mereka itu satu badan. mungkin daripada pakai kata "aku" buat monolog, bakal lebih enak pakai "kami"? karena mereka satu -w-
terakhir... semua karakter dapet peran dan twistnya masing2. keren.
nilai: 8
oc: castor flannel
Tanda kutip dabel-dabel :
HapusOnce upon a time aku ngirim entry ke seseorang (sebut saja Heru Setiawan Zainurma) yang terlampir dalam file word dengan font Comic Sans. Setelah diterima, om Nurma bilang ketika dia post itu entry ke blog, tanda kutip kagak ada yang keliatan, jadi susah bedain mana narasi mana dialog. Akhirnya aku ctrl+A dan mengubah font entry itu sebelum kukirim balik. Mungkin saja kejanggalan hilangnya tanda petik itu memang ada kesalahan dalam sistemnya dan tidak terbaca setelah seseorang terlanjur mengeditnya. Au ah gelap.
Seperti yang udah aku sebutin di entry, Jess-Hutch punya kesadaran ganda dan jiwa yang berbeda pula. Merupakan salah satu hal haram bagiku bila menggunakan kata kami dalam monolognya. Untuk menguatkan imajinasi bahwa mereka ini satu tubuh, sebisa mungkin aku gunakan kata deskripsi yang menunjukkan mereka ini satu tubuh. Well, aku masih perlu belajar banyak soal ini. Terima kasih atas apresiasinya
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusThat Bodat words!!! Made my day! Seriously xD
BalasHapusAda apa dengan para reverier, belakangan banyak yang include-in di dalam cerita.
pengen di-skip tapi kok ya sialnya ada obrolan pentingnya ._.
dan, those ending, ugh ._.
--------------------------------------------------
Review mulai dari sini yah :)
Okay
apa yang Umi suka dari cerita ini?
Wogh lumayan, Umi suka karakterisasinya. Umi ga butuh untuk ngecek narasi untuk tahu itu siapa yang lagi ngomong. Terutama pas Jess dan Hutcher. Ini krusial karena mereka ini satu tubuh. That is a really big changing kalau dibandingkan dengan Prelim-nya Jess-Hutcher.
Umi suka plotnya. Kamu beneran paham apa yang kamu bawain di cerita ini dan mau seperti apa kamu ngebawainnya.
Apa yang bisa dikembangkan dari tulisannya?
overtell. Well Umi juga kok ._. deadline ini memburukuuuu *ala Dmasive*
Narasimu masih kebanyakan. jatohnya jadi wall of text. ini bisa dikadalin dengan cara put dialog di sembarang tempat. (tetep sesuai konteks tapi yah)
setting, ini penting. perbanyak deskripsi tempat di awal. Usahakan jangan mentah-mentah ambil tulisan setting dari panitia. Olah dulu :)
Sama EBI atau KBBI atau apalah itu, diperhatikan lagi :)
-------------------------------------------------------
Nilai dari Umi : 8
Bodat is love, bodat is life~
HapusAhh aku tersanjung. Sebenarnya aku asal copas aja selain demi menghemat waktu dan lelah juga biar lebih enak aja. Ga memungkinkan juga kan kalau aku mesti jabarin dari awal sampe kapan selesainya? Entahlah, srsly ide ini jauh berbeda dari konsep yang udah aku siapin jauh-jauh hari. Semua orang udah tau apa yang terjadi, so tinggal nampilin potongan-potongan adegannya kan ya #plak
Terima kasih
tampilin potongan adegannya masih lebih mending dibanding kamu copas sih sebenarnya XD wkwkwkwk
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushallo jesshutcherson! akhirnya kita ketemu juga. hmm..rencananya sih mau komen entri scr runtut tp udah nggak kuat dan menuju entri ini masih jauh. jd karna entrinya udah baca dari lama copas aja ya komennya. hehehe.
BalasHapuskamu masukin karakter kuro yang di aku sendiri bahkan belum kumasukin sama sekali. sampe nyebut pengasuh. ternyata kamu msh inget kalo dia nggak pernah ketemu bpak ibuknya. yah ini jadi poin plus dariku.
alurnya lancar, bahasanya juga teratur jd enak diikuti. tp konfliknya nggak terlalu dibahas ya. kaya sebab musababnya gtu. (mungkin). hmm...bingung. jd berasa singkat.
di awal langsung disodorin adegan plus2 dan ala2 final destination. hadeh...
trus bgian museum smesta terlalu dtail. tp nggak apalah meskipun aku sendiri lebih suka bc bgian di luar itu. tp di sana juga diselipin2 adgn yg mungkin bkal mendasari round berikut. (mungkin).
battle ok. lumayan. jd paham jg jurusnya jess bisa jd power up jurus orang lain.
eh tapi di ending yang mati jadi steiner ya.
9 dari Cloud Strife.
Ini fluktuatif. Kadang kesannya agak puitis, di lain waktu agak datar. Malah terkesan "apa adanya". Bukan masalah serius sih. Just sayin :"
BalasHapusDan yah, cerita ini kadang ada bagian yang terlalu tell. Saya kurang suka dgn teknik tell. Sedangkan positifnya? Yha, narasinya cukup lancar. Cuman mungkin, variasi diksinya lebih diperhatikan lagi. Kadang saya nemu dalam jarak berdekatan, kata" yg berulang/sama. ini buat saya ganggu.
Titip 8
-Sheraga Asher
Kesan puitis sih biasanya cuma buat deskripsi latar ya, tapi okelah memang banyak yang ga pada tempatnya, begitu pun dengan kesan datarnya. Masalah diksi...umm... Itu penyakit turun temurun mz #plak
HapusTerima kasih
Jess dan Hutcher! Duo yang unik dengan entri yang tidak kalah unik.
BalasHapusMakin ke sini makin kelihatan betapa dinamisnya karakter Jess dan Hutcher, sampai dari dialog aja udah ketauan siapa yang ngomong tanpa perlu deskripsi tambahan. Bravo!
Teknik pengolahan dialognya harus diacungi jempol nih, terutama pas bagian Hayati dengan logatnya cyiin~! Mantep!
Tapi dialognya yang oke kurang berimbang dengan narasi yang kurang mantep. Bukan tidak mantep, hanya kurang luwes aja, meski harus saya akui detail penarasiannya mumpuni bangets.
Overall, di entri ini perkembangan signifikan bisa terlihat dari duo in one ini.
Saya titip 8 buat Jess ama Hutcher. Sampai bertemu di R2.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Ini fluktuatif. Kadang kesannya agak puitis, di lain waktu agak datar. Malah terkesan "apa adanya". Bukan masalah serius sih. Just sayin :"
BalasHapusDan yah, cerita ini kadang ada bagian yang terlalu tell. Saya kurang suka dgn teknik tell. Sedangkan positifnya? Yha, narasinya cukup lancar. Cuman mungkin, variasi diksinya lebih diperhatikan lagi. Kadang saya nemu dalam jarak berdekatan, kata" yg berulang/sama. ini buat saya ganggu.
Titip 8
-Sheraga Asher
Setuju sama di atas. Dari awal penggambaran suasananya udah berhasil puitis namun entah apa yang bikin runtuh, tau2 pas para karakter ngomong kerasa agak datar, bahkan waktu disumpahin berkelamin tiga atau kemunculan gaya bicara banci di tengah mestinya bisa ngocok perut kalo bawaannya ga datar dan serius.
BalasHapusMungkin penyebab datarnya ada di porsi paragraf2 yang lumayan padet? (Padahal punya saya sendiri juga gitu sih, ugh)
Di sisi positifnya, poin-poin per plotnya jelas. Dinamika battlenya juga oke. Dan Zephyr yang memihak bergantian adalah salah satu hal yang sangat memorable di sini. Endingnya perlu agak dicermati sampai saya bisa ngambil kesimpulan bahwa kepala yang di deket kaki Vanart adalah kepala Hael.
Oya. Thanks udah baca Pucung! Hmm, puitis? Benarkah? Tentang Oneiros, itu OC panitia kok. Cuma saya pengen gerakin aja dia. Soalnya di cerita panitia dia ga muncul2 :))
Well done.
8
PUCUNG
Pembukaannya cukup menarik, sampai ke bagian pengulangan intro canon panitia. Ini juga catetan buat saya sih, harus ada cara penyajian yang lain buat pembawaan ulang adegan di canon biar peserta ngga ngerasa ngebaca bagian yang sama berulang kali.
BalasHapusDan kaya kata mbak noni, kadang penyajiannya bagus... kadang juga datar. Dan datarnya itu imo malah terjadi di bagian konflik, which is weird. Tapi ini tetap cerita menarik dengan pertempuran yang lumayan.
8
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Wah panjang nih ceritanye,,aye lemah baca yang panjang- panjang..tapi inti ceritanye ketangkep sih. Terus bagian akhirnye rada ketipu juga,,pas dibaca ulang aye nyadar kalo yang menang itu Vanart?? Soalnyw si stiener tiwas...
BalasHapusAgak nambah keder juga ngebaca kelonpok yang ini pada punya keperibadian dobel-dobwl begono...hehhe,,ribet bener..tapi keseluruhan masih ciamik ini
Paling aye sukak pas dombanye komen soal kostum Nazi yang kagak bisa separo-separo..
Mantep ini cocok buat jadi pinalis mencari bakat
Ponten dari aye 9 aja...karakter aye Harum Kartini
"Kalau melakukan hal jangan setengah-setengah. Tuh jadinya kayak mereka, hehehe."
BalasHapus-Marikh
Yah, maafkan OC yang kurang ajar itu. It's time for me, saatnya mereview.
+PROS
+Karakterisasi masing-masing OC dapet banget disini, sesuai lah pokoknya. Jujur ane kaget waktu si wajah Hitler nangkap Zephyr, walau kemudian bener ya soalnya belum kenal kemampuan dari pembunuh bayaran ini :D BODAAATTT wkwkkw
+Dammit ada Hayati disini, cucok banget cyin wkwkwk. Setelah diliat oh, ternyata dia itu Sub-OC toh.
-CONS
-Dobel apostrophe itu lumayan mengganggu karena ada terus-terusan, meskipun bisa dimengerti bahwa karena adanya trobel di pengiriman emailnya terdahulu(?)
Titip 9 buat hode, wakakaka
TTD
Dewa Arak Kolong Langit
Wow, good job. Entry ini terlihat kemajuannya dari prelim. Lebih teliti dan mindful sama kontinuitasnya.
BalasHapusDialognya juga efektif nunjukkin karakterisasi.
Jess Hutcher kayaknya masih kesulitan buat nggambarin aksi individu ya, jadi disebutnya selalu jadi satu. Strategi yg smart sebenarnya, cuma berharap dilema lebih banyak dikupas mengenai mekanisme fisiknya l, dan ga langsung keliatan seamless begitu.
8
mekanisme fisiknya l, dan ga langsung keliatan seamless begitu.
HapusPls ini aku ga ngerti artinya apaan