oleh : Sastrawatigila
--
- 1 -
“Ini baru permulaan kecil untuk bencana
yang amat besar,” makhluk di depan kandil bercabang menuturkan lirih. Tujuh
titik api kehijauan mempermainkan bayangan di belakangnya, hingga menegaskan
bentuk ketakutan yang paling murni.
Dayan—bangsa panjang umur—itu,
menyeringai kecut. Bukan atas keinginan sendiri, melainkan entitas Menteri
Neraka yang menyelap raganya.
Para saksi di hadapannya terkesiap, meski
raga menjaga sikap. Nahas perasaan mereka tak kuasa dikhianati. Jantung
berdentam kuat. Napas memburu tak keruan. Semuanya menciut bak sekawanan tikus,
tatkala mata sewarna darah sang Peramal berkilat makin liar.
“Takkan lama lagi, takkan lama!”
Kepalanya miring dalam sudut yang mendirikan bulu roma. “Bersiaplah untuk
kutukan yang menelan benua ini—bahkan seluruh debu alam raya ini! Tak peduli
milik bangsa kamu, Helev—manusia, atau orang-orang Timur! Kamu semua akan
melesak ke liang Kegelapan! Tidak ada pengecualian!” Telunjuknya menuding para
lawan bicara.
Nyala di depan hidungnya bergolak
meninggi, seperti menjilat langit-langit. Tetapi kemudian mengecil ke semula.
Tawanya yang terdiri atas campuran
beratus-ratus suara membahana. Bergaung di sudut-sudut kamar semerbak darah.
Lilin-lilin yang menjalin formasi
lingkaran mengelilingi ruangan, meletus. Kilat disusul gemuruh membelah malam
di luar jendela. Setengah dari selusin prajurit segera melindung telinga. Empat
terkapar dengan mata terbeliak.
“Kamu sekalian akan tenggelam! Kebaikan
dan Kejahatan absolut, dua kekuatan besar saling bersinggungan! Kiamat tak
terelakkan! Pembebasan bagi Yang Tertuduh dan kejatuhan bagi Yang Bersinar!”
Ucapan itu menohok siapapun. Sosok Dayan
berambut perak panjang, berikut selusin pengawalnya yang masih berdiri, kontan
tenggelam dalam kengerian tiada tara. Malah, seorang miskin iman dibuat
berkemih di celana.
Empat belas hari sejak hilangnya Ibukota
Batya yang misterius itu, istana darurat di Achrav menerima tamu tidak biasa.
Dialah Amram Yirmi, okultis Dayan yang reputasinya harum di seluruh dataran
Yisreya.
Pengundangnya sendiri merupakan Dayan
yang begitu dihormati. Belum lama semenjak penobatannya sebagai pemimpin negara
sekaligus agama. Dengung-dengung mengenai citra baiknya menyebar dengan cepat
ke seluruh penjuru. Bahkan sampai ke tempat Amram yang terpencil, sekaligus
mengantar kepadanya bayangan akan imbalan yang begitu melimpah.
Natan Asher, sang Raja.
“Itu tidak benar!” Salah satu prajurit
akhirnya tak tahan. Kepiluan dalam suaranya mendongkrak keberanian semua orang.
“Hei peramal, jawab jujur!”
Yang lain tak berani mendebat sama
lantang, sebatas menatap Amram penuh kebencian.
“Aku memanggilmu kemari bukan untuk
membual,” pengundang Amram menandas, “dan Tuhan tidak mungkin mengingkari
janji-Nya. Kitab Kehidupan mengukuhkan, tiada datang Hari Penghakiman tanpa
alamat.”
Natan Asher menggeleng lemah. “Sayang
sekali, Amram.”
Amram tersentak kaget bersama perpisahan
dengan Menteri Neraka. Surai serta bola mata sang Penujum berubah sepekat
minyak. Kendali penuh atas dirinya kembali.
“Lenyapkan,” titah sang Raja tanpa
bimbang, “jangan ada lagi yang termakan oleh bualannya.”
“Yang Mulia—“
Kemujuran telah kandas, pedih Ceruk
Jahanam adalah miliknya. Dua orang lekas maju demi meringkusnya.
Itulah kali pertama Amram Yirmi merasa
hidupnya sangat salah. Begitu hebatnya penyesalan sehingga dia tidak melawan
prajurit di masing-masing sisinya. Semestinya dia mendengarkan nasihat leluhur:
bekerjasama dengan iblis memang berbuah kesengsaraan. Makhluk neraka itu telah
memperolok lantas membuang dirinya dengan cara yang amat menyedihkan.
Di sisi lain, kekhawatiran merayap dalam
hati Natan Asher. Hari demi hari, optimismenya kian mengerdil. Ibukota Batya
mendadak lesap. Menyisakan semata dataran legum di bibir pantai. Lebih janggal,
tiada yang dapat bertahan hidup di sana. Seluruh tumbuhan dan satwa mati
seketika.
Jalur Perdagangan terganggu. Segala unit
kegiatan terhambat. Para Dayan di terpaksa mengungsi. Menerima kemiskinan dan
terempas gelombang panik, beranggapan gerbang Dunia Bawah telah terurai. Banyak
orang hilang akal dalam sekejap dan merayau buas di jalanan. Natan Asher begitu
terpukul menyaksikan rentetan malapetaka itu, tanpa sanggup memperbaiki
keadaan.
Tidak ada tanda-tanda semua bakal kembali
normal. Tuhan seakan menutup segenap pintu doa dan komunikasi. Tak satupun lagi
imam mendapat visi mengenai waktu mendatang. Akan tetapi Para Tetua dan anggota
Kongregasi Tinggi tetap bungkam perihal rencana darurat pembangunan.
Yang paling gawat? Cepat atau lambat,
mata-mata kerajaan manusia pasti mengetahui fakta tersembunyi di balik kubah
sihir Ibukota Batya. Sebab mereka selalu mengincar tiap jengkal celah untuk
menggempur takhta musuh bebuyutan.
Ini ujian bagi negeri masyhur yang
baru saja silih pemimpin. Jangan bergundah. Sugesti positif merebak. Hanya
untuk digerus kegelisahan tak terbantahkan.
Belum lagi, satu kecemasan
sekonyong-konyong meriap dalam dadanya. Nyaris sama mengganggu dengan seluruh
masalahnya.
Anakku, kamu masih hidup?
- 2 -
Senja yang tenang di suatu Bingkai Mimpi,
pendar multiwarna membersil dari udara kosong. Keluar dari dalamnya ialah
seorang pemuda kurus pasi. Ditemani makhluk berkepala bantal dalam kostum
ganjil. Kedua ini membuyarkan kemasyukan yang ada.
Tak jauh dari situ, kerumunan manusia
terlonjak. Tidak ada takjub maupun rasa ingin tahu. Alih-alih, cengkerama
putus. Seorang pria langsung menyemburkan minuman dari mulutnya, diganjar sama
oleh pria lain di seberangnya. Dua lagi refleks menjungkir balik meja judi.
Mereka pun terpontang-panting sambil melolong berikut kawanan anjing penjaga.
Sebagian lagi memilih ambruk di tempat.
Sekejap, permukiman itu berubah
porak-poranda, lalu senyap. Sebagaimana Sheraga menginjakkan kaki untuk kali
pertama.
Perilaku tersebut wajarlah adanya. Bangsa
Helev amat takut dengan entitas rekaan. Salah satunya sosok wanita bertakhtakan
alas kepala pertanda akhir zaman. Ratu Huban identik dengan legenda itu. Dan
kalau saja ada pasangan horornya, dewa kematian mata satu, lengkap sudah
kegaduhan yang bakal terjadi. Seisi kota dipastikan bakar diri.
Ratu Huban sendiri terkikik belaka.
Sertamerta memulihkan situasi sebagai ungkapan sampai jumpa.
Keadaan Ibukota Batya versi mimpi tidak
jauh berbeda dari saat Sheraga meninggalkannya. Kesuraman belum seutuhnya
mengerumit cakrawala. Bedanya, kuil jahanam yang sempat dilihatnya terpampang
di lukisan Museum Semesta, secara ajaib rata dengan tanah. Tergantikan pusara
massal satu liang.
Sheraga membiarkan leluasa biri-biri
pemberian sebelum membuka pintu rumah singgah—entah dahulunya milik siapa—yang
ternyata tidak terkunci. Begitu masuk, tercium aroma gandum. Orim, sahabatnya,
tengah duduk menghadap jendela.
“Apa ... yang terjadi?” tanyanya tanpa
berbalik.
Tak pandai berbasa-basi, Sheraga memulai
dengan transisi, para pemimpi dan kumpulan lukisan janggal, kutukan manusia
porselen, dipungkas penjelasan Ratu Huban mengenai tempat tinggal baru di
Bingkai Mimpi. Orim mendengarkannya tanpa menjeda napas.
“Firasatku berkata, nasibku bisa
menyerupai kelima orang malang itu jika macam-macam pada Zainurma. Atau bila
‘seni’-ku ternyata tidak cukup kuat untuk menciptakan bualan sesuai kriterianya.”
Adegan mengerikan di Museum Semesta masih
mengawang. Enam puluhan partisipan dikumpulkan, dan lima di antaranya disiksa
di tengah-tengah balairung. Semata akibat penampilan yang dianggap tidak
kompeten. Selanjutnya, tak disertai penjelasan memadai, mereka menjelma
tembikar buruk rupa.
Sheraga dan beberapa pemimpi lain sempat
hendak melajukan konfrontasi. Sial kesemuanya terpaksa bertekuk lutut oleh
seberkas kekuatan dahsyat. Yang melemparkan Sheraga kembali ke tiruan Ibukota
Batya.
Sahabatnya berdiri, menghela udara dengan
gelisah. Kulitnya sepucat kapas. Boleh jadi, inilah kali pertama Sheraga
mendapati lelaki itu secemas demikian.
“Itu ... buruk sekali. Aku tidak
menyangka,” respons Orim. “Kita ... tidak boleh menjadi bagian permainan Zainurma.
Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi ... sekalipun kamu menang.” Dia
mondar-mandir. Tak jua membentur sesuatu kendati kenyataan dia hilang
penglihatan.
Sheraga menjatuhkan diri ke kursi
bersandaran. “Kaupunya gagasan?”
Orim mengangguk. “Amram Yirmi. Okultis
kenalanku. Dia yang terkuat sepanjang pengetahuanku. Seharusnya kami ... bisa
bertemu melalui mimpi.”
Amram Yirmi, seorang peramal kenamaan.
Sheraga tak pernah meyakini maupun membuktikan omong kosong sejenis, tetapi
mungkin akan berbeda bila seorang bermarga Kohan yang berurusan.
“Kaubisa melakukannya di sini?”
“Semoga,” sahut Orim. “Kuusahakan untuk
melakukannya ... secepat yang kumampu. Tapi aku perlu ... beberapa persiapan.
Barangkali tidak dalam jangka pendek, dan uh—” Dia memegangi kepala,
merintih tertahan.
“Kenapa?”
“Rasanya aku tahu sanggup berbuat
sesuatu, namun aku ... lupa caranya. Ilmuku lesap seluruhnya.”
“Aku akan membantumu dengan alkimia.”
“Sebaiknya begitu,” Orim berkata. “Dan
dalam penantian, kita ... patutnya bersikap tunduk sementara untuk menghindari
... peristiwa yang tidak diinginkan.”
Mengingat kelaliman yang telah terjadi,
Sheraga benci gagasan patuh meskipun sekejap. Dia mengimbuh, “sebenarnya bukan
itu saja. Aku bertemu Mirabelle. Dia menjadi pengurus sama seperti Zainurma.
Sayang sekali kami tak sempat saling bicara.”
“Maksudmu Mahalath putri Agrath?”
“Siapa lagi?”
Orim kelihatan bingung. “Kamu ... yakin?”
Sheraga pastikan Orim menangkap
kesungguhannya. “Tidak diragukan lagi. Dia membanting para pemimpi dalam sekali
sapuan, dengan Tombak Metzuyan yang legendaris itu.”
Mirabelle de l’Artemisia menurut bahasa
utama di Hagashah—Benua Utara, atau Mahalath Bat-Agrath dalam bahasa Dayan.
Entitas yang disebut-sebut sebagai inkarnasi Dewi Gallena; pujaan tertinggi
dalam agama Helev.
Namanya wajib diselipkan dalam doa-doa
kuil. Perang Besar Pertama satu setengah milenium lampau, antara manusia dan
Dayan, berhasil dimenangkan pihak manusia berkat peran Mirabelle sebagai
panglima. Sekali entakan tombaknya konon menggebuk mundur satu legiun musuh.
Haluan matriarkis menyatakan Mirabelle kembali
bersatu dengan Gallena di akhir Perang Besar. Sedangkan aliran laki-laki
menyebut sosok itu terus bereinkarnasi demi menumpas angkara murka. Yang manapun,
keduanya masih simpang siur. Lebih-lebih, namanya sama sekali tak terpampang
lagi dalam sejarah perang akbar berikutnya.
“Mustahil,” Orim bicara pada diri.
“Sangat mustahil.”
Bersamaan, pintu utama diketuk. Dia
beranjak menyambut tamu. Beberapa kedipan berselang, dia kembali bersama sosok
jangkung dalam lekap mantel kelam dan seseorang dalam bopongan. Sheraga sempat
melihat juntaian rambut hitam panjang, dan tangan yang berkulaian.
“Shena, panggilkan tabib!” Suara samar
Orim terdengar dari arah belakang.
Dengan ketergesaan yang membuat gelisah,
si gadis Dayan meninggalkan dapur. Baru Sheraga hendak memadamkan rasa
penasaran, Orim menampakkan diri. “Gal Raivah,” dia menyebut begitu Sheraga
memberi bahasa tubuh bertanya. “Dan Nadav.”
Kenal orang pertama, Sheraga merinding.
Sejenis dengannya, Gal manusia—atau sekurang-kurangnya berdarah campuran, dua
puluh empat tahun usianya, dan fakta tersebut makin menggencet sanubari.
Pada masa pendidikan silam, gadis naif
itu sempat membuat beragam ulah demi menarik perhatiannya. Dan nyaris berhasil
melaksanakan niat bunuh diri karena Sheraga lebih memilih sahabatnya.
Sheraga
mengaduh lirih. Akan tetapi sebagai orang yang berjanji pada diri untuk
lebih beradab, akhirnya dia menjenguk gadis itu pula.
Dan jadilah makin termengah-mengah dia.
Entah dengan ilmu macam apa, Gal tumbuh
menjadi insan yang amat rupawan. Sheraga membenarkan setulus dia mengakui
kesempurnaan sifat dan kecerdasan Aliyah, kekasihnya dulu. Sekilas mencuri
pandang, hampir rahangnya lepas. Belum pernah ditemuinya gadis secantik itu.
Paras putih halus tak bercela, bagai lukisan yang mewujud sempurna. Kontras
dengan rambut lurus berkilauan.
Ada perasaan aneh berkecamuk. Membuatnya
sejenak lupa pada Aliyah. Maka demi memindahkan perhatian, Sheraga bertanya
pada sosok di pinggir pembaringan, “bagaimana kalian berdua bisa kemari?”
Tudung dan topeng setengah rupa
melindungi identitas penjawab. “Ssh, bahkan aku baru menyadari dongeng terisap
ke dunia mimpi itu nyata. Kami baru saja di Vranwynn dan tiba-tiba terbangun di
dunia celaka ini. Bersama sebagian Helev Vranwynn dari distrik kumuh, ssh, dan
mereka pun bicara dalam bahasa Yashar. Menjijikkan.”
Suaranya tua dan keruh. Dan dia
seakan-akan wajib mendesis setiap beberapa tempo sekali. Vranwynn sendiri
adalah ibukota kerajaan terbesar di Hagashah. Pantas saja Bingkai Mimpi Sheraga
berisi para Helev berambut pirang.
Secara ringkas Nadav bercerita, dirinya merupakan penjaga Gal. Berdua,
mereka lari dari Yisreya oleh karena suatu alasan. Sebelum lenyap kesadaran,
Gal sempat menyaksikan kesintingan di kuil, bahkan “kematian” Dalit yang
ternyata dusta tak berperi. Nadav mengenal Orim—orang yang disebut-sebut
sebagai pemimpin di Bingkai Mimpi—karena itulah mereka di sini.
Sheraga menukar informasi itu dengan
ikhtisar pengalaman absurdnya di Ranah Mimpi, dan alasan pelariannya dua tahun
yang lalu tanpa menyertai segala hal tentang ayahnya.
“Ssh, jadi ini sebuah kompetisi dan kami
terjebak dalam bagianmu?” Nadav terdengar gusar. “Aku bahkan tidak mengenalmu
secara pribadi!”
“Aku juga tidak paham sepenuhnya. Percaya
atau tidak, yang kunyatakan kebenaran. Kalau bukan begitu, yang kautemui
sekarang bukan Batya dengan penduduk Helev. Dan pemimpin di kuil itu bukan
Betshev Eliezer karena semestinya dia seorang kepala peneliti di Urim Ushnashar—tempatku bekerja—bukannya
rohaniwan.”
“Kaupikir
siapa orang yang mampu melakukan itu? Aku sangsi jajaran Tetua sekalipun
sanggup menandingi sihir ini,” Sheraga
melebih-lebihkan.
“Lagi pula, aku kenal putri yang harus
kaujaga itu. Tadinya kupikir dia akan mengikuti jejak ayahnya. Bukannya memilih
kabur ke Hagashah. Barangkali itulah alasan kalian terperangkap di sini.” Dia
membubuhkan, “bila ada orang untuk disalahkan, itu adalah sang Kurator.”
Tabib tahu-tahu menyusur masuk. Dia
wanita tua kerempeng dengan mata biru cekung, rambut jerami bergelung-gelung,
dan berbau dupa menyengat. Diam-diam Sheraga tak rela saat orang itu memberi
isyarat mengusir.
Di ruang tengah, Orim sudah memegang
tabung surat bersadur emas. “Pengumuman babak lanjutan,” kabarnya.
“Nanti malam?” Sheraga menggeram—sekaligus
senang akhirnya fokusnya dapat teralihkan—seraya menarik perkamen yang terbuat
dari material asing dan menyelisik isinya.
Intinya pewartaan dalam bahasa Benua
Utara itu menerangkan, dia diharuskan kembali berkonflik. Kali ini di sebuah
pulau hidup, bersama empat pemimpi yang tidak dicantumkan namanya. Diduga untuk
memeriahkan suasana, masing-masing diwajibkan memilih satu di antara dua kubu.
“Ssh, bagaimana cara menemui Zainurma?”
Sheraga melirik Nadav. “Kaumau
menghabisinya, ‘kan? Percuma. Jangankan untuk mengentaskan pria itu, dia tidak bisa
disentuh sama sekali. Lima orang baru saja disihirnya menjadi karya seni.”
Nadav tidak gentar. “Apa yang
diujarkannya?”
Tabung surat dilempar padanya dengan
akurat. Dia mencermati. “Baron
sang Penyihir? Pulau kadal? Ssh, lelucon macam apa ini?” Kabar baiknya dia tak
lagi meniti Sheraga dengan hawa membunuh meluap-luap.
“Yang kumengerti, aku harus mempersembahkan
pertunjukan terbaik di manapun aku ditempatkan. Bisa melalui perkelahian, atau
sebagainya.”
Nadav mendekat. “Ssh, kalau begitu aku
turut serta.”
Orim mengerutkan alis, tampak kurang
setuju. “Kami tidak ingin melibatkan kamu, Nadav. Terlalu berbahaya. Bukankah
kamu ... menyimpan kepercayaan Tuan Raivah? Gal itu tanggungjawabmu.”
“Hutan adalah rumah kedua bagi pemburu,
namun petaka bagi seorang klerik yang tidak bisa melihat, ssh,” tepis Nadav.
“Jadi, maaf, sepatutnya kau tidak usah berlagak mengkhawatirkanku,” dia
mendecih, “Bung.”
Pernyataan tadi menggiring Orim keluar
rumah. Berziarah, begitu dalihnya.
“Sejauh yang kutahu, kau mengetuk pintu
rumah ini dengan maksud menumpang,” sambar Sheraga tanpa menutupi
kedongkolannya.
Tak peduli, satu mata Nadav yang tak
terlindung kain berbinar. “Sh, mestinya kaukedepankan akal sehat, Cendekiawan.
Lucu sekali apabila kau mati—”
Sheraga tertegun. “Terima kasih, Nadav,”
balasnya. Senang menyambut kehadiran orang baik dalam hidupnya.
“—Itu karena aku tidak ingin terjebak di
sini. Jika kita sudah kembali, ssh, kau berutang satu juta zahavot padaku.
Tanpa angsuran!”
“Lupakan saja. Aku bahkan berniat
merayakan kebebasanku dengan pengabdian seumur hidup pada masyarakat. Aku
takkan punya apa-apa.”
“Ssh, kau pasti membayarnya dengan cara
apapun, Asher.” Sebuah ungkapan untuk: kubawa kau pada ayahmu.
Sheraga memutar bola mata. ”Mimpimu.”
- 3 -
Esok dini hari, domba yang disepakati
bernama Chabburah—lebam—mengirim Sheraga, Orim dan Nadav ke Bingkai Mimpi lain.
Mereka kini berada pulau kecil tak berpenghuni di tengah-tengah samudra tanpa
pergolakan. Berpegang pada jaminan Zainurma atas perlakuan baik masyarakat
Bingkai Mimpi, Shena dan Gal dibiarkan tinggal.
“Pergi kau!” Sheraga mengusir si gumpalan
serat.
Menunggu persiapan tergesa sang Alkemis
yang akhirnya sama sekali batal, domba itu bertindak tak sabar dengan menyusul
ke Urim. Lantas menyeruduk tuannya. Area kebiruan di lengan Sheraga memberi
inspirasi nama bagi biri-biri itu.
Si domba menjulurkan lidah. Tak alang,
Sheraga balas menendangnya ke dalam galur sinar nilam.
Sheraga menebarkan pandangan.
Seumur-umur, baru dijumpainya kawasan sejenis ini.
Ada aroma khas begitu menjejak—perpaduan
antara rerumputan dan bekas hujan yang lembap. Sayang sekali belum cukup untuk
mengenyahkan suasana mencekam. Dekut-dekut, lolong dan auman, sampai kesahan
makhluk sekarat, memenuhi udara. Pendar bulan perak raksasa merupakan
satu-satunya penunjuk dia berada di tengah pelataran alam bebas.
Lain dari hutan jarum di Hagashah,
pepohonan membiakkan daun lebih banyak, berbatang lebih lebar, dan akar-akarnya
mencuat dari dalam tanah lambak berlumut. Ujung-ujung dedaunan di puncaknya
membangun kanopi penuh celah.
Orim angkat bicara, “i-ini ... lingkungan
apa? Rasanya terlalu ... penuh sesak dengan makhluk hidup.”
“Hutan yang asing,” respons Sheraga, agak
terkejut pada keterangan tersebut, sambil meraba dengan sangsi permukaan pohon
terdekat. Dia berjengit. Banyak sekali semut.
Usaha Nadav mengadakan api memicu
kelelawar di dekatnya beterbangan. “Sssh, kau benar-benar tidak menemukan
petunjuk tentang bagaimana mencari kubu-kubu itu?” tanyanya dengan jemawa,
seolah perpindahan ini merupakan keseharian. Lalu dia membagikan obor pada
Sheraga.
Sheraga menggeleng lekas. Sesudahnya, dia
memimpin yang lain untuk menyusur pulau lebih dalam.
Dengan khawatir, diperhatikannya
sekeliling. Kendati tak terlalu membantu, nyala api membuahkan bebayang
menakutkan dan gambaran mengenai wajah asli hutan. Semuanya tampak terlalu
ganjil dan berbahaya.
“Aku ... dengar seseorang,” Orim
mewanti-wanti. “Dia makin dekat.”
Sheraga menatap sahabatnya. Jantungnya
mencelus. “Benarkah?”
“Ssh, aku pun dengar itu. Akan kuurus.”
Nadav menyiapkan busur panjangnya,
menjemput sebatang anak panah, dan membidik sudut tak terjamah cahaya. Senjata
baru hendak melenting ketika sebuah suara memohon dari jauh.
“To-tolong! Aku bukan musuh! A-aku bukan
musuh!” Seorang perempuan. “Tuan-tuan, dengarkan aku!”
“Sssh, dia adalah bagian dari rintangan
yang harus—“
Sheraga menyalak, “tidak, Nadav. Beri dia
kesempatan!”
“Aku juga memahami,” Orim mendukung,
“tiada maksud buruk di balik permintaan itu.”
Nadav tak menggubris. Sebelum ada yang
sempat mencegah, dalam gerakan sejurus dia memelesatkan panah pada sumber
bicara. Kedua rekannya hanya mampu menyeru keberangan. Kelebatan hewan mengusir
kesenyapan alam bebas, dan terkejar sepintas erangan sakit.
“Berengsek!” Sheraga mengeluarkan kata
mutiara dan menghadiahkan delikan paling tajam untuk Nadav, sebelum beranjak
menolong. Orim mendampinginya.
Tiba-tiba, Sheraga merasa ngilu.
Pemandangan di hadapannya amat
mengenaskan. Seorang perempuan muda, dalam pakaian serbahitam, bersimbah darah.
Sekujur tubuh tercabik, melebihi terkena amuk badai. Sementara tangan satunya
bertumpu pada pohon, lengan kanannya tergantung tanpa daya. Ada koyakan brutal
di sana. Beruntung panah Nadav menancap pada akar, bukannya menembus wanita itu.
“Terima ... terima kasih ....”
Usai berucap, dia jatuh tak sadarkan
diri. Orim menangkapnya dengan sigap.
—
Meskipun buta, sang Okultis sadar
perempuan yang terkulai di dadanya terluka serta perlu diselamatkan. Kenyataan
bahwa dia makhluk Tuhan saja, sudah lebih dari cukup bagi Orim untuk
mengulurkan bantuan.
“Kelihatannya dia berhadapan dengan
harimau atau sejenisnya,” imbuh Sheraga. Ada kekhawatiran yang tidak biasa
dalam suaranya.
Orim juga demikian. Dia bukanlah salah
satu tokoh utama dalam pagelaran kematian yang digalakkan Zainurma. Mungkin
juga takkan pernah berkesempatan menginjakkan kaki di Museum Semesta, terlebih
menemui orang-orang senasib Sheraga. Namun, ada secercah keprihatinan dalam
diri Orim yang timbul bagi mereka.
Sebagaimana kemarahannya pada Zainurma
atas beban yang harus ditanggung sahabatnya, Orim menyimpan duka terhadap
setiap insan yang dijadikan objek ambisi kurator itu.
Pasalnya, bagaimana jika salah satunya
ternyata anak tunggal yang begitu didamba, atau seorang pemuda yang dinanti
kekasih, atau malah menjadi pelita satu-satunya dari sebuah marga yang nyaris
punah? Orim Kohan, di masa yang begitu belia, pernah mengalami periode kelam sendirian,
dan tak kuasa membayangkannya menimpa orang lain.
Tapi aku hanya diberkati sepasang
tangan, pikirnya, itu untuk menuntaskan agendaku sendiri.
Yang lebih memilukan, Dewi Mirabelle terlibat
dalam rantai amoral tersebut. Semula dianggapnya wanita itu tak lebih dari
bentuk keputusasaan bangsa Helev atas kekalahan Perang Besar Kedua. Mereka
menakhlikan sosok idola, berharap itu akan memadai untuk mengobarkan spirit golongan menandingi Dayan.
Biar bagaimanapun, tiada kebimbangan
dalam ucapan sahabatnya.
Bersama kemunculan Mahalath dan daya yang
sanggup menembus lebih dari satu dimensi, menandakan sesuatu yang sama sekali
bukan kebetulan: makin dekatlah masa menuju Hari Pembalasan.
Tebersit lagi sebuah pemikiran dalam
benak Orim. Sejenak melunturkan senyum abadinya. Nyaris menjatuhkan tubuh dalam
rengkuhannya.
Tidak, disudahinya kekhawatiran
yang makin liar. Dia yang Lainnya akan tetap mati.
“Ssh, serahkan padaku!” perintah Nadav,
membuyarkan lamunan. “Aku tahu bagaimana menanganinya.”
Sheraga mendebat, “kau akan membunuhnya!”
Nadav menyangkal dalam senyap.
“Setidaknya, ssh, aku masih punya harga diri untuk tidak menghabisi onggokan
sampah.” Menguar kepuasan begitu dia melontarkan hinaan. Orim cukup kesulitan
mengungkap nalar pemuda itu, selain
kelugasan pada permukaan.
“Dia tidak bermaksud buruk, Sheraga,”
tegas Orim, memilih untuk berpikiran positif. Setelah itu, dia menguraikan
pegangannya.
Perlu waktu yang tidak sedikit sampai
Nadav mengembuskan napas tanda selesai mengobati. Kemudian, terdengar kesahan
lirih, dari si gadis malang. Dirasa Orim tangan dan kaki jenjang menggeliat.
Gadis itu kiranya mengerjap-ngerjap. Menimbang-nimbang mengenai ketiga
penolongnya.
“Oy—eh, hmm ... WOAH!!”
“Tenanglah. Kau sudah merasa lebih baik?”
Sheraga, yang sebetulnya enggan bicara, mengambil alih, ”dan maukah kau
bercerita?”
Orim juga seorang pencuriga. Sambil
menarik sudut bibirnya lebih tinggi, dia menambahkan, “sebaiknya ... kamu
jangan sedikit pun menambahkan informasi palsu, Nona. Kelompok ini ... akan
tahu kebenaran dari keteranganmu.”
Si gadis ngeri pada Orim dan tak berminat
menipunya. “Nebekhdik ikh iz nor—“
“HAH?”
“Eh—tidak bisa? Hmm ... slicha ani—”
Sheraga mendesah. “Kau mengigau, ya?”
“Oh, ou. Kukira kalian—ah, tidak, tidak. Aku
keliru. Aku ... terlalu kaget.”
Terutama akibat sifat pragmatis dan
didorong kehendak untuk terus dibentengi, gadis itu pun menyerahkan
kepercayaannya pada tiga orang tak dikenal. Namanya Ru Ashiata, berasal dari
suatu tempat di alam sana yang disebut Jerman. Belum lama, dia berurusan dengan
penghuni pulau, yakni kawanan satwa nirnalar berbahaya.
Kira-kira Sheraga melepas jubah luarnya
untuk Ru. “Kau tidak bisa terus menyita perhatian dengan penampilan seperti
ini.”
“Te-terima kasih,” sahut Ru kurang tulus.
Dia mengutarakan pada Orim, “emm, bisa tidak, jangan nyengir dan merem terus?
Bukannya keren, kau malah kelihatan seram.”
“Dia buta. Dan pembawaannya memang
begitu,” terang Sheraga. “Dia tidak bermaksud apa-apa, Ru. Namanya Orim.”
“Oh maaf,” kata si gadis, “aku tak
bermaksud, lho.”
“Aku tahu,” Orim menyambar. “Tidak
apa-apa.”
“Ng, omong-omong siapa—”
Sheraga menjawab, “aku Sheraga. Dan ini
Nadav.”
“—yang tanya?”
Di tengah udara yang menggemakan serangga
saling bersahut-sahutan, Ru terpingkal-pingkal seorang. Tak acuh pada badannya
yang penuh cedera. Karena lama tak satupun bergabung, agaknya sebatas
memandangi, gadis itu akhirnya bergeming segan. “Kenapa sih?”
“Apa?” Sheraga terdengar bingung.
“Memangnya ada yang salah?”
Nadav tertawa kering. “Ssh, tampaknya dia
baru saja ingin melucu.”
Sheraga berusaha menghargai. Dan jelas-jelas
Ru terenyak. “Jangan konyol! Apa itu perlu?”
Seterusnya, mereka berjalan tanpa bicara
satu sama lain. Sampai Ru kembali bersuara. “Hiih, ampun deh! Hutan ini sama
seluruh isinya sungguh penuh misteri. Termasuk kalian yang tidak punya selera
humor. Huh!” Dia bertanya, “err, tapi aku lumayan penasaran. A-apa kalian juden?”
“Memangnya apa itu?” Sheraga balik
meminta jawaban.
Ru terperangah,
tidak dibuat-buat. “Ih, yang benar saja! Nama kalian itu mirip—“ Dia terbengong
sesaat. “Eh, tidak, tidak. Itu bisa terjadi. Teori multidunia banyak beredar.
Lagi pula ini Turnamen Antardimensi, ‘kan?” gumamnya. “Err, Tuan-Tuan, tolong
jangan pedulikan ucapanku yang tadi. Hmm, jadi kalian bertiga pemimpi? Atau
ada yang penduduk tulen Pulau Gaegator?”
“Sheraga
pemimpi,” sahut Orim. “Saya dan Nadav berasal dari Bingkai Mimpinya.”
“Masa
sih? Kupikir kau lebih baik,” ungkap Ru jujur. “Maksudku, kau lumayan ... yah,
berpotensi. Mimpimu kuyakin sangat luar biasa. Zainurma, kan, kulihat
mengundang hanya yang kuat-kuat atau yang aneh-aneh.”
Orim
tahu barusan dirinya ditunjuk. “Itu ... tidak benar, Nona.”
“Andai
boleh jujur, aku juga tak ingin terlibat,” tandas Sheraga tanpa tersinggung.
Ada tekanan. Emosi dangkal yang panas. Nadav
menggeram dan menukas, “Asher, Orim, bukankah tertulis dalam pemberitahuan
bahwa kita harus menumpas segala halangan? Ssh, gadis ini, tidak salah lagi,
termasuk. Jangan tertipu oleh tampilannya!” Lalu terdengar gesekan dari
selongsong panah.
“Tidak! Tidak, Kak Nadav!” Ru menjura
menahan sakit, meski ada sepotong harapan menghabisi Nadav. “A-aku bukan musuh!
Tolong percayalah kepadaku! Aku akan ... membantu kalian sebisaku!”
Tali busur ditarik. “Sh, takkan ada orang
yang menyesal pada awal. Asher, jangan lupakan sepasang teman palsumu.”
Sheraga terdiam tidak sebentar tanda mengiyakan. “Ya, kau benar,” tandasnya dingin.
“Tapi bukan artinya—HEI!!”
Unggas-unggas menyorak. Malam semakin
ramai. Dengkingan Ru lebih histeris ketimbang lolongan serigala. Orim patutnya lebih berhati-hati.
—
Pengalaman mengajarkan Nadav untuk
senantiasa mengobar prasangka. Selain itu, torehan luka pada tubuh turut serta
mengingatkannya berlaku waspada. Tipu daya dan timbunan kebohongan takkan
pernah berhasil membunuhnya, menjadikannya sosok yang kian tak terbendung.
Biarpun begitu, dia tidak boleh lengah.
Bagi lelaki dua puluh lima tahun itu,
dosa paling tak terampuni adalah pengkhianatan. Dan dia takkan mengambil risiko
dengan membiarkannya. Bibit-bibit dusta patut dimusnahkan.
Dibalut prinsip tersebut, panah
dilepaskannya tanpa tedeng aling-aling, menyasar bakal pembelot. Perempuan
pendatang berbahasa Yashar tidak santun itu. Nadav paham, cepat atau lambat
peserta lain berpotensi menjadi
rival berat Asher. Akan tetapi,
tepat waktu Orim mendorongnya.
Laungan Ashiata merobek sunyi. Kegelapan
mereguk anak panah.
“Sssh, Orim!” Mengabaikan etika, Nadav
mendobrak batas kesabarannya. “SEJAK KAPAN KEHADIRAN PEREMPUAN MENGUBAHMU JADI
TOLOL?”
Orim menyambut dengan cara yang sepadan, “tembak
dulu, baru bertanya. Aku jauh melebihimu dalam deteksi apapun, DASAR BOCAH
BODOH!”
Nadav bergeming.
“Sekali lagi ... kamu bertindak gegabah,
aku takkan segan membalasmu,” ancam Orim. “Kamu ingat? Aku mengetahui satu
rahasiamu, Nadav Chaim. Dan kapanpun, aku bisa ... memberitahukannya pada Ezar
Raivah, atau putrinya.”
Mendadak, Nadav terkenang mantan ketua Pemburu Hening. Akal sehatnya
dibeli dengan perasaan murah terhadap wanita, yang betul-betul menghendaki
kebinasaannya. Dan tidak disangka, orang tunatetra sekalipun akan menempuh
jalur idiot yang sama.
Sepanjang penelusuran, keantipatian Nadav
pada sosok yang pernah dihargainya tersebut makin menggebu-gebu. Orim
diawasinya lekat. Informasi-informasi mengenai si buta berduyun menyusup benak
Nadav.
Tak cuman menjengkelkan, Orim begitu
mencurigakan sejak awal. Nadav pertama mengenal lelaki itu sebagai seminaris
aliran nonkonvensional, sosok misterius tanpa nama keluarga maupun kejelasan
asal-usul. Wataknya sebagai penghindar konflik semestinya tidak banyak berubah,
dan tampaknya masih bertahan hingga kini—setidaknya itulah kesan luarnya.
Tapi secara ganjil, sukarela dia
melibatkan diri dalam ajang pertikaian ini. Pasti ada hal yang disembunyikan
lelaki itu. Sekadar bualan tentang persahabatan sama sekali tak masuk akal. Boleh jadi, pada
mulanya, dia menginginkan sesuatu dari putra Natan Asher.
Sandera? Deklarasi perlawanan
pemberontak? Ada begitu banyak kemungkinan. Mengingat sang Raja naik takhta
terlalu mendadak, tak segelintir yang berasumsi dia menjalankan konspirasi
wafatnya penguasa terdahulu—yang begitu
dicinta rakyat. Nadav termasuk, dan barangkali Orim pun demikian adanya.
Hanya lebih ekstrem.
Tidak berhenti sampai di situ,
desas-desus berkata pria itu memperoleh kekuatan supernatural dari iblis.
Penglihatannya ditebus dengan indra yang lebih hebat. Dan bahwa istri sahnya
adalah perempuan-gaib. Asher kemungkinan tumbalnya.
Apapun kebenarannya, incaran Nadav sudah
mantap. Cita-citanya kini, dia ingin memagas dua kepala.
Sekarang tinggal melancarkan seolah
ketewasan itu tampak alami bagi prioritasnya. Jangan sampai sandungan berupa
orang dekat menggagalkan putra penguasa itu. Tamat sejarahnya berarti pintu
kembali pada realitas tertutup selamanya.
Si perempuan sundal, dengan kelicikan
yang didapati sang Pemburu semata, memeluk lengan Orim. Menempel padanya. Dalam diam lidah pelacur itu terjulur untuk Nadav.
“Terima kasih! Maaf mengataimu seram.
Ternyata kau yang paling mengerti aku. Kau juga ternyata hebat sekali!”
Orim tersenyum menjijikkan. “Kembali.
Selama kamu ... terus terang, selama itu pula saya melindungimu.” Dia berpaling
pada Sheraga. “Ayo, lanjutkan menjelajah.”
Asher menyeru, “jangan diam saja, Nadav!”
Tatapannya tertuju pada Ashiata. “Oh ya, Ru, maafkan Nadav dan aku juga!” Obor menegaskan wajahnya yang tanpa waswas.
Dalam perjalanan, Nadav tidak
berkata-kata demi melindungi gagasannya. Dia telah memperhitungkan: Orim mati
lebih dahulu, dan Ashiata tersangkanya. Atau kambing hitam.
Mujurnya
sang Pemburu, penyembuhan yang dilakukannya tidak sebatas memulihkan musuh. Dia
selalu menyisipkan lebih.
- 4 -
Ide paling brilian adalah menjadi
penguasa. Bukannya menjalin kerja sama bagai bawahan rendah. Keparatnya,
pribadi pengaju aliansi di hadapannya bukanlah manusia sembarangan.
Arca, masih terlalu mengasihi nyawanya,
terpaksa memamah harga diri.
Segala upaya telah dikerahkan untuk
menumbang pria plontos penyandang tombak, Baron Hanscale, tetapi nihil
hasilnya. Silat Maenpo dan Ajian Bayang Diri andalan Arca, ditujukan dengan
maksimal sekalipun, sama sekali bukan tandingan sang penyihir. Kedua jurus
pamungkas itu dimentahkan semudah membalikkan telapak tangan. Tak meninggalkan
bekas luka berarti.
“Aku mengampunimu,” Baron mencurai nasib
Arca beberapa tempo lampau. “Tapi tentu ada harga untuk tiap kemurahan hati,
Arca.”
Arca makin mengerti sangat tidak
bijaksana menentang ahli magi yang sertamerta mengetahui identitasnya.
Kesabaran merupakan kunci menang.
“Bergabunglah denganku.” Baron
mengulurkan tangan. “Bersama-sama kita akan mewujudkan dunia yang ideal bebas
kepandiran. Bukankah hidupmu jauh lebih bermanfaat bila diisi dengan
kebajikan?”
Dalam relung hatinya, Arca menahan letup
tawa. Kebajikan, ceunah! Dunia nu idéal? Anying! Gélo!
“Kaumau menyia-nyiakan kekuatan buat
sesuatu yang muluk?” tanggapnya sembari berdiri, menepis bantuan yang jelas
bermaksud mengejek. “Mémangnya buat apa
susah-susah membikin bagus dunia bobrok ini, kalau kita bisa menguasainya
sendiri?”
Dengan entengnya Baron menjawab, “karena
aku orang yang baik.”
“Orang baik tidak menahan,” balas Arca,
“meréka
melepaskan.”
Baron tertawa kecil. “Aku tidak
melepaskanmu karena kamu orang yang istimewa, Arca. Kekuatanmu amat
diperlukan.” Kehangatan berubah kecaman. “Tapi jangan abaikan pembebasanku.
Atau kamu ingin memilih menghentikan usia pada hitungan empat ratus dua puluh
lima saja?”
Sang Penakluk terkesiap. Bagaimana
mungkin penyihir ini mengetahui rahasianya?
“Akulah Dewa-mu sekarang.” Baron
mengangkat senjata magisnya. “Patuhlah pada perintahku, maka aku akan kabulkan
segala hasratmu!”
Tangan Arca mengelap darah tersisa pada
dagu. “Jika aku menolak?”
Satu mata biru Baron berkilat-kilat.
Membangkitkan dongeng religi dalam otak Arca; mengenai monster mata tunggal
pemberi dua pilihan yang jadi pertanda Kiamat Besar.
Sontak pelataran bergetar, mengingatkan
Arca pada peristiwa di Museum Semesta. Tidak, ternyata segenap hutan bergemuruh. Udara mendadak
panas menyesakkan. Para binatang bergelepar dan melengking. Ombak mendebur di
kejauhan. Pada klimaksnya, tercipta kertakan pada tiap jengkal tanah.
Arca pernah menonton film pop untuk
mengetahui persis apa yang bakal hadir.
Di baliknya, sepasang tangan pucat
mencuat dari dalam bumi. Pertama mencakar-cakar, lalu menangkap pergelangan
kaki Arca. Tentunya tak berlangsung lama, sebab lelaki itu menyarangkan
tempelengan untuk meremukkan penghalang. Dengan cekat, satu mayat hidup dihabisi sebelum sepenuhnya timbul ke
permukaan.
Yang tadi bukanlah penghabisan, justru
permulaan.
Jasad-jasad kering membersil keluar dari
seluruh pelataran. Awalnya merangkak, tertatih-tatih seolah mengalami kelahiran
kembali. Dan dalam sekejap gerakan mereka gapah. Arca perhatikan mayat-mayat
hidup itu. Sebagian besar masih utuh, tak dikerip ulat-ulat kubur.
Saat maut merengkuh, mereka masih
menyandang kebanggaan sebagai kesatria. Dilihat dari zirah dan perkakas perang
lengkap. Dan Baron merenggut kehormatan tersebut
dari mereka. Menjadikan manusia-manusia celaka itu serdadu pembunuh tanpa akal.
Mereka juga kekal, sebagaimana Arca.
Perasaan langka dalam hidup penuh pengembaraannya menyeruak: ketakutan. Cemas
dirinya pun akan menemui takdir yang setara.
Tiada maknanya hidup tak berkesudahan
jika Arca gugur nalarnya sebagai manusia. Satu gigitan saja untuk mengubahnya.
Para
mayat berbondong-bondong mendekat, mengangkat senjata. Siap sedia menamatkannya dengan berbagai kemungkinan cara.
Kebekuan logam mulai terasa membelai leher Arca.
Tombak Baron mengentak satu kali,
menyebarkan buih-buih cahaya merah. Zombie-zombie serempak kehilangan
senjata mereka dan mematung di atas kaki.
Peluh Arca menetes.
“Inilah harkatku!” Baron mengultimatum.
Suaranya bergema seakan-akan berbicara dari dalam gua. Kelihatannya kewarasan orang
itu terganggu. “Tiada yang menyangkalku! Dunia akan mengenal namaku tanpa
terkecuali!”
Sang penyihir mendecih begitu memandang
Arca. “Sekarang kamu sadar bukan, betapa menyedihkannya kamu di hadapan
kuasaku?”
Sang
Pendekar Silat terpaksa
mengakui. Biarpun begitu, sekurang-kurangnya dia mendukung pihak yang tepat:
seorang penjahat. Arca suka itu.
—
Kira-kira sudah sepertiga malam.
Derik serangga di antara kekosongan
memaharaja. Udara makin tidak dapat diajak berteman. Embusan napas mengepulkan
asap tipis. Ru merapatkan jubah, dan belum sembuh jua dingin di bawah kulitnya,
dia merekatkan diri pada Orim. Kelihatannya si buta ini tertarik padanya, maka
Ru takkan menyia-nyiakan perlindungan darinya.
Bahkan orang tanpa penglihatan bisa
merasakan betapa aku cantik. Si gadis mati-matian mengubur keinginan
tertawa guling-guling. Tapi kaupikir aku akan menerimamu?
Nanti, Ru memiliki cerita yang betulan
jenaka untuk dibagikan. Seorang tunanetra menyukainya dan bertekad
melindunginya sepenuh hati. Dan coba tebak? Aku menolak pernyataan cintanya
dengan dramatis. Ru menerka-nerka isi pesan untuk adiknya kelak. Lalu
kulihat dia putus asa dan merengek histeris di tengah hutan serupa bayi.
Itulah yang memang hendak dilakukan Ru.
Mengubah patrian senyum si buta menjadi cemberut dalam untuk selamanya. Tinggal
meminimalisir cakap demi kelancaran rencana, karena kelihatannya dia mampu
membaca pikiran saat Ru buka mulut saja.
Malang nian nasibmu, Om.
Jangankan lelaki cacat semacam Orim, Ru
sama sekali tidak tertarik pada hubungan asmara. Dia akan dengan senang hati
mengusir lawan jenis manapun yang mengantre demi perasaannya. Sebab yang
terpenting yakni kebebasan. Menjalin kisah cinta jelas perusak mutlak landasan
tertingginya.
Yang jadi penghambat bakal drama seru
adalah fakta bahwa bukan Orim reverier-nya.
Ru
mengerling pada Sheraga, cowok yang tidak mencolok sama sekali. Bakatnya
mengayunkan pedang memang di atas mahir, tapi sebatas itu. Kecuali, barangkali,
dia introvert, kikuk, dan ketegarannya untuk tetap diam yang
sebanding batu karang. Seharusnya, menurut ukuran biasa, tipe pendiam lebih
gampang disukai lawan jenis. Alih-alih demikian, dia sangat kuper.
Membosankan.
Der Golem, begitulah Ru
menjuluki Sheraga.
Mendadak
Orim memerintah, “tolong jangan memautku terus, Fräulein. Kamu ... sudah lancar berjalan, ‘kan?”
“Orim-san,
t-tidak juga, ah,” balas Ru centil, tanpa mengendurkan pegangan.
Sebagai
reaksi, Orim malah melepas paksa lengan Ru. “Bitte benimm dich—jaga
sikapmu!”
Ru
terserang syok. Apa-apaan ini?
Dipandanginya
wajah Orim, tidak berubah. Lantas pada Sheraga, biasa. Dan pada si pemanah
sialan. Visi Ru bertembung dengan tiang listrik berjalan itu. Satu mata birunya
menyipit. Ru menduga di balik topeng itu merekah seringai setan.
Saat
itulah Ru merasa lemas. Tungkainya gemetar. Penglihatan berbayang. Suara radio
rusak menjejali kepalanya. Sakit temporalnya menyiksa, lebih parah dari
semestinya.
Tas
kecil di balik jas dirogohnya. Pena insulinnya raib. Beretta plus
magasin miliknya pun ditelan bumi. Sejak kapan?
Ru
menilik Nadav lagi. Bertepatan dengan kabut biru menggerogoti panorama.
Pembauannya perlahan hilang fungsi. Tetapi pendengaran sensitifnya, yang juga
mulai terdistraksi, sempat menangkap maklumat kemenangan.
“LUNAA!!”
—
“Aku melihat harapan di matamu Aku
melihat titik terang bagi dunia dalam dirimu. Aku melihat masa depan serta
keadilan dalam visimu. Dan selama ini aku terus berlandas pada keyakinan itu.
Aku amat memercayai engkau sejak Dia hadirkan dirimu ke dalam hidupku. Sayangnya,
sekarang kusadari bahwa aku pun masih terlalu naif.”
Sheraga
terlonjak begitu sepotong imaji tak dikenal memintas. Dia termegap-megap
meminta udara. Hampir lenyap keseimbangan gara-gara itu. Masih sesak, dia
berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya.
Orim
menghadapnya. “Aku tahu ... kamu sedang resah. Bicaralah.”
Sheraga
menceritakannya. Dan di ujung sahabatnya semata membalas, “wajar terjadi ...
bagi yang terlalu merindukan kampung halaman. Sesuai pula dengan pernyataan
Zainurma. Bukan masalah besar. Jangan resah lagi.”
“Ya.”
Kelihatannya
Nadav menguping obrolan tadi. “Sssh, aku sanggup menjamin kepulanganmu, Asher.
Dengan cepat dan tanpa kesulitan. Asal kita membuat beberapa kesepakatan—“
Kepalanya tertoleh. “Wah, wah, bangsat. Kita kedatangan tamu lagi.”
Dia
membubut panah tiba-tiba, dan sambil maju dengan hati-hati, memasangkannya pada
busur. “Siapa di situ?” bentaknya sambil mengarahkan senjata. Kemudian fokusnya
berpindah. “Ssh, tunjukkan dirimu!”
Sesuatu
melintas di kejauhan, Sheraga sekalipun mampu menangkap pergerakannya. Nadav
berubah haluan ke sumber kekhawatiran tersebut.
“Tidak
perlu,” beritahu Orim tidak tenang. “Mereka ... juga ada di bawah kita.”
“M-mereka?”
Angin
beku menyapu pelataran, memuntahkan kabut tebal. Riuh rendah hutan merabung. Sheraga
bergidik, hawa kemistisan mulai menggantung. Tak alang, pulau bergetar. Pepohonan
bergemerisik ribut. Daratan berdentum-dentum kuat bagaikan sesuatu yang agam
hendak membobol keluar. Burung-burung berseliweran lupa pada sarang.
Sedetik
berikutnya, tangan-tangan mencuat dari dalam timbunan hijau. Tanpa perlu
menunggu penampakan, Sheraga dan yang lain berlarian, dengan Nadav di posisi
terdepan. Orim sendiri membopong Ru yang mulai melemah dan pasi.
“Kanan!
Kanan!” Nadav mengomando. “Asher, jangan lamban!”
Tapi
belum-belum Orim berteriak, “di belakangmu!”
Sheraga
berbalik tepat waktu. Selagi berputar dia mengoper obor ke tangan kiri,
mencabut pedang dari sarungnya, dan diakhiri dengan memisah kepala makhluk yang
siap menyambut. Dalam kesempitan, dia melirik sekilas penggempurnya.
Sumber
cahaya mutlak satu-satunya menampilkan raga ringkih dan kering. Berbalut zirah
kulit koyak. Tiada semburan darah maupun rona kehidupan. Pernah mengetahui
fakta tentang monster yang sama, Sheraga memekik, “jangan sampai terkena luka
fisik! Dengar, jangan sampai terkena luka fisik!” Dia menatap berkeliling dan
sadar makhluk-makhluk sejenis sudah menyambangi seantero hutan.
“Bakar
mereka, bajingan tengik!” umpat Nadav sambil menyepak sepasang mayat hidup.
“Ssh, apa ayahmu tidak mengajari satu sihir api pun?”
“Sihir
apa, idiot?” tangkis Sheraga sama kasar.
Dia
terkesiap. Sesosok jasad menyarangkan pukulan ke arahnya. Pemuda itu berkelit
dan balas menebas, nahas tidak berarti apa-apa. Lawannya mengelik semudah
dirinya. Monster itu pun akhirnya memilih mengerahkan segenap fisik. Dia
menerjang dan coba menggencet yang masih hayat.
Sheraga
terdesak. Tangan beraroma busuk mengimpit dadanya. Untunglah dia berhasil menepis
belati yang bakal dihunjamkan kepadanya, lantas mengacungkan obornya ke atas
sehingga api merambat pakaian musuh. Makhluk itu beranjak mundur sambil
menggerung-gerung. Menyenggol kawanannya di luar kendali. Sekejap, tubuhnya
berliput pijaran. Tiga monster di dekatnya ditimpa ketidakmujuran dan bernasib
sama.
Nadav
memecah tengkorak keempat-empatnya sebelum menghampiri Sheraga. “Ssh, pemalas.
Kaumau selamat atau tidak?“
“Bangsat!
Kau yang main-main!”
Sekonyong-konyong,
Sheraga teringat Orim. Dia pun bersilekas. Benar saja, lelaki itu kini
terkerubung dari segala sisi. Sedari awal dia bertahan dari serangan dadakan
ini berkat usaha menghalau yang tidak berdampak banyak. Cepat atau lambat dia
akan tiba pada ambangnya.
Sebagaimana
sepatutnya, Sheraga memancing perhatian lawan-lawan. Satu monster pada lapis
terluar diseret ke belakang dan digabruknya. Begitu tujuan tercapai, dengan
sebagian besar jasad menyasar dirinya, Sheraga memanfaatkan kelincahannya untuk
mengungguli musuh. “Berlindung, Orim! Nadav, bantu aku!”
Menghemat
persenjataan, Nadav menanduk monster di kanannya. Selagi makhluk itu terhuyung,
Nadav merampas pedang panjangnya dan langsung memakainya untuk menyembelih. Lima,
sepuluh, tiga puluh tarikan napas ..., terjadi hujan kepala yang dramatis.
Pemburu itu bertarung di antara himpun dua puluhan mayat hidup penyandang
perkakas perang. Akan tetapi mereka bukan tandingan Nadav sececah jua. Tiap
gerakannya tepat guna, seakan pedang merupakan lengannya yang ketiga.
Segalanya
belum benar-benar usai ketika Nadav berlutut kelelahan. Masih ada empat
monster. Pedang perak Sheraga terayun tanpa segan, menggorok satu dan
mementalkan ke lumpur. Kemudian pemuda itu mengentaskan bibit-bibit pengacau
yang tersisa dengan metode sebanding.
Pelataran
bergelimpang alat-alat perang dan potongan rangka. Dipermanis semerbak bangkai.
Beberapa unggas pemakan daging mulai berdatangan melahap sajian.
Nadav
menyimpan kembali panah yang sempat dilontarkan. Dia menyelidiki satu jasad dan
menyumpah kencang. “Sssh, bedebah! Ini namanya penghinaan terhadap orang mati!
Pelakunya mesti dihukum gantung!”
“S-serangan
berakhir?” Sheraga menyeka dahi.
“Menurutmu?”
Sama
sekali tidak. Kemunculan gelombang kedua lebih tak terduga. Tahu-tahu seluruh
penjuru dipenuhi geram. Perlahan, gugusan monster memamerkan rupa dan jumlah
yang lebih mengerdilkan tekad. Berbeda dari sebelumnya, mereka bukan mayat.
Melainkan sekawanan satwa dalam berbagai bentuk yang paling aneh. Dengusan dari
ujung jungur menandakan permusuhan.
Orim
keluar dari persembunyiannya. “Lima puluh,” hitungnya.
“Masih
mau menunda-nunda, ssh?” Nadav meradang. “Di sini, tidak ada Baginda Raja, Tuan
Putri.”
Kedua
tangan Sheraga terkulai. “Demi Ushna dan Mahra ... sejak awal kau seperti
berkumur! Aku tidak mengerti sedikit pun apa yang kaumaksud!”
“Berhentilah.
Mereka ... tidak berbahaya.” Orim maju. Dua ekor rubah berbulu keemasan
langsung merayap ke bahunya. “Turunkan senjata kalian.”
Barulah
Sheraga sadari pilihan sikap lelaki itu. Dia menatap sekitarnya takjub. Para
penghuni hutan memang mengepung. Namun terbatas pada tindakan tersebut.
Bukannya menyerang, kesemuanya—mulai dari pemamah biak hingga yang berjuluk
Raja Rimba—duduk menyerupai binatang peliharaan. Mereka menguik-uik ramah.
Orim
meletakkan Ru di atas biri-biri kelabu yang bersedia ditumpangi. “Biarkan
mereka ... mendengar kalian juga,” suruhnya.
“Selamat
datang.” Terlintas dialog dalam benak Sheraga. “Kalian tidak perlu
takut, sebab kami di pihak kalian. Sebagaimana kalian memutuskan untuk membantu
kami.”
Nadav
memprotes dari balik pelindung wajahnya. “Ssh, siapa bilang?”
“Katakan
apa yang bisa kami lakukan,” pinta Sheraga tulus, seraya menoleh pada sang
Pemburu. “Mungkin inilah jalan pembebasan bagi kita, Nadav.”
Tanpa
basa-basi lagi, seekor—atau malah seluruh—satwa menerangkan. Ringkas sarat
makna, “seorang penyihir gila telah memulai agresi. Dia membangkitkan para pejuang
yang mati. Semua demi mengambil kendali penuh atas Gaegator.”
“Baron
Hanscale,” Sheraga menyebut sebuah nama, mulai mengerti duduk perkara ajang
pihak-memihak ini. Berkat penjelasan tadi, dia tahu wajib memilih kubu
Gaegator. Karena memberantas orang lalim merupakan ide yang takkan
disangkalnya.
“Kami
harus melawan Baron?” Dia memastikan.
“Benar. Baron bermaksud memperalat Gaegator sebagai bidak tak tertaklukkan,
melawan seluruh dunia. Hampir dia berhasil melakukannya. Jiwanya telah menyatu
dengan Gaegator sekarang.”
Kucing
hutan berbulu perak mengeluskan bulu ke kakinya. Sheraga berjengit mundur.
Bersamaan, ular kristal sedang memanjat di punggungnya. Dia menghalau
hewan-hewan yang coba dekat padanya dengan dongkol sekaligus ngeri. “Maaf. Aku
agak alergi.”
“Dan langkah selanjutnya adalah, memperkuat pengaruhnya juga atas kami.
Dengan mengumpulkan Para Manusia yang Teramal. Jangan pernah tertipu oleh
tawarannya. Kalian akan dijadikan sama iblis dengannya.”
“Manusia
yang Teramal itu,” gumam Sheraga, “para Pemimpi.”
Orang
gila berniat memprakarsai perang. Pertentangan ini tidak jauh berbeda dengan
peristiwa Bingkai Mimpi-nya. Seorang maniak konflik yang dipertanyakan
kewarasannya seolah minta dihajar di batang hidung.
Tanpa
kesangsian sebab yakin sekali atas putusannya, dia mengangguk mantap. “Baiklah,
kami akan menumpas penyihir itu.”
“Ya,”
jawab Orim. Nadav masih belum bereaksi.
Bersamaan,
terdengar gedebuk berat dari belakang mereka. Ru ambruk telentang. Kepala
menghantam salah satu batuan pejal. Kedua matanya terbeliak. Sedangkan
domba-domba penyangganya terbirit ke sudut tergelap.
Orim
menyerukan namanya, mengguncang bahu wanita itu. Tetapi dia tak kunjung bangun.
“Aku ... lengah. Aku tidak tahu bagaimana ini dapat terjadi.”
“Apapun
keadaannya, jangan ingkari kesepakatan yang kalian buat. Kalahkan Baron, dan
kami bersumpah memperlancar jalan kalian.” Usai menyampaikan itu, kerumunan
bubar. Menambah rumit suasana. Pelataran kembali lengang gelita.
“Lakukan
sesuatu!” seru Sheraga.
Sang
Pemburu berlutut dengan canggung di samping Ru. “Ssh, dia ini—“
Ru
mendompak-dompak. Sementara pandangannya hampa. Kaki dan tangannya
bergeliat-geliut janggal. Mulutnya melindurkan sesuatu yang tak dimengerti
ditujukan pada siapa. “Siluman anjing! Siluman anjing! Siluman anjing!”
“Pegangi
dia!” perintah Orim. Lekaki itu pun menahan lengannya di sisi kanan, dan
Sheraga pada samping satunya. “Nadav!”
Nadav
menangkupkan kedua tangan. Memancarkan selapis aura penyembuhan. Celakanya Ru
makin kuat memberontak. “Jangan lakukan itu pada adikku! Jangan sentuh dia,
dasar keparat! DASAR SILUMAN ANJING!”
“Dia
... berhalusinas—“ Kalimat Orim selesai kala dirinya terpelanting.
Sesuatu
membelit pergelangan kakinya, memutarnya di udara, lalu melemparnya amat
kencang ke tetumbuhan terdekat. Benturan tadi menggemuruhkan malam. Sementara
Nadav yang masih terperangah terjungkal menuju lahan lebih rendah.
“Ru!
Apa-apaan—”
Tak
sempat mencemaskan nasib rekan-rekannya, Sheraga beringsut. Hampir disandung
ilalang. Wanita di hadapannya dilatari sulur-sulur hitam melecut liar.
Jangkauan obor sang Alkemis yang sejauh kurang lebih lima depa, menerangkan
bahwa jalinan itu lahir dari ... bayangan?
“Kembali,
Ru!” Pedang dihunusnya. Kedua kaki siaga beranjak.
Ru
menuding Sheraga. “Hulbert ..., MAMPUS KAU!!”
Bola
mata Ru bersinar semerah darah. Hawa panas menaklukkan sejuk. Benda-benda di
sekelilingnya meleleh. Perlahan-lahan, tubuh wanita itu terselubung api, yang
menjalar ke segala penjuru. Sepertinya dia menyaksikan pemuda di seberangnya
sebagai orang lain. Sheraga menggigil akibat kenyataan.
Keterkejutannya
berdampak kobaran melenting. Beruntung dia lebih dahulu berkelit. Membiarkan
unggun api terbentuk di atas potongan daging. Akal dan asanya belum hilang,
maka diambilnya langkah seribu. Mencampakkan festival kemilau dadakan.
Menyongsong malam berbekal obor yang tak banyak diandalkan.
“Aku
takkan mengampunimu!”
Dari
ekor matanya, terlihat api hijau menyambar. Sembari mempertahankan kecepatan
dan nyala api, pemuda itu bergeser haluan. Serangan barusan mengenai perdu.
Sheraga terperanjat. Alih-alih hangus, tetumbuhan itu meranggas dan menguarkan
aroma yang tajam. Alkimia?
Tiada
waktu barang untuk menengok. Hujan gelegar mendepak keheningan. Warna jingga
memeriahkan hutan. Di balik punggungnya, pohon-pohon mengalami penjagalan. Ketumbangan
terakhir hanya berjangka lima tombak dari kiri. Para penghuni rimba
berhamburan.
Sepasang
manusia-kadal mengadang di setapak. Mereka menggeram pada Sheraga, dan
dua-duanya menerjang tanpa aba-aba. Satu melompat dari sisi kanan dengan cakar
terulur, yang berhasil dihindari dan dihabisi. Sementara serangan kiri disambut
pula dengan ayunan pedang sebelah tangan.
Dua
makhluk itu terkapar. Jasad mereka membenam di genangan, seiring enam lainnya
menyeruak untuk menerkam. Mengira Sheraga biang keladi kekacauan.
Monster-monster tersebut cukup lamban, memberi pemuda itu kesempatan
melumpuhkan sebagian. Tiga kepala kehijauan terlontar. Selagi mereka sibuk,
Sheraga melanjutkan pelariannya.
Dia
berpaling, memastikan situasi. Perempuan itu telah lenyap. Tidak ada lagi
tanda-tanda keberadaannya.
Belum
juga mengembuskan napas lega, pawai detak jantung kembali. Gelombang manusia-kadal
berikutnya berdatangan, tetapi tahu-tahu mereka bergelepar. Kelebatan hitam
melintas di antara mereka, dan menamatkan nyawa saat itu juga.
Yakin
pelakunya bukan Nadav, Sheraga malah memaksakan batasan kakinya. Segera
menghindar sejauh-jauhnya. Ru jelas tidak lagi pandang bulu.
Pepohonan
kian berkurang kerapatan, pun dengan ukurannya. Jalanan semakin menurun dan
licin. Tanah begitu lunak sehingga terkadang kaki siapapun di atasnya terjeblos
masuk. Dan seketika, lengan kirinya teriris. Obornya jatuh, yang kontan meredup
total. Salah pijak, dia tergelincir. Terguling deras di atas turunan.
Sekujur
tubuh Sheraga luar biasa kebas, diramaikan lecet dan lumpur. Kaki dan tangannya
terlalu lemah untuk melawan arus kejatuhan. Kumpulan karang dan sembulan
tanaman mengecupnya tiada jeda. Lajunya baru terhenti tatkala dia berpapasan
dengan dahan. Diraihnya cabang itu.
Dengan
ketiadaan tujuan maupun cahaya, Sheraga bangkit. Ru sendiri tengah berdiri.
Beberapa tombak di hadapannya. Kobaran mengamuk di mata dan di kedua tangan wanita
itu.
“Tidak
termaafkan,” desisnya. “Dasar pengkhianat. Padahal kami begitu memercayaimu.
Kubuat kau merasakan tiap detik pembelotanmu!”
Ru
mengadakan bola api terkonsentrasi. Ancang-ancang menyerang didirikan, tetapi
sontak dia memekik.
Anak-anak
panah merajamnya tanpa ampun. Kena telak pada lengan, tungkai, dan memutus daun
telinga. Nahas, Ru bersikukuh. Justru apinya yang kini berubah kebiruan kian
bergejolak pertanda amarah meluap-luap. Membakar apapun yang mengadang. Bantuan
susulan Nadav ditelan kecamuk panas.
Inspirasi
mengetuk pintu benak Sheraga.
—
Keinginan
rebah memaksa Orim diam sedemikian rupa, tapi dia tetap bangun. Ada rasa jejap
dan remuk kala menegakkan diri. Seiring nyeri merongrong tulang-tulang serta
organ dalamnya, dia memuntahkan sesuatu. Aromanya serupa besi. Hangat terasa di
telapak tangan.
Getaran
tiba ke bawah kakinya. Kontan mengetahui identitas si pengacau, Orim berkata,
“Nadav, apa ini ... benar dirimu?”
“Ssh,
jangan pura-pura dungu!” Terdengar gesekan pelan. Tali busur dihela. Penuh
ketetapan.
Mengandalkan
instingnya, Orim melompat ke belakang. Menarik diri menjauh. Bunyi nyaring
menyiksa telinga. Panah barusan bertumbuk dengan padatan.
“Tunggu,”
pintanya. “Apa maksud—“
Lengan
di depan dadanya tertembus logam. Mengoyak sendi dan jemari. Orim tak sempat
mengaduh walau dua jari kirinya tanggal. Kematian mencengkeramnya, dan dia
tidak punya apa-apa untuk melawan. Dirasanya terdapat gerakan dari sisi kanan;
sekumpulan hewan. Dia menuju ke sana, bersama harapan setipis napasnya
sekarang.
Nadav
lebih cepat bergegas. Dia melenting. Kakinya sedikit saja memijak. Dan
tiba-tiba, panah dilepaskan.
Orim
ambruk ke belakang, tersengal-sengal dan terkejut. Menyisakan ketidakpercayaan.
“Ssh,
kau akan mati,” Nadav menegaskan takdir. “Ssh, salam untuk Barkiyal dan
Agrath.” Hawa kehadiran sang Pemburu berangsur lenyap.
Sejak
dahulu, sang Okultis terlindung dari pertikaian fisik maupun psikis berkat
kebutaannya. Para pembencinya sekalipun menaruh simpati terhadapnya. Maka
begitu dihadapkan pada bahaya manifes, dia tidak langsung mengerti apa yang
mesti diperbuat.
Belum
pernah Orim semenderita ini.
Di
tengah pemakaman, sendirian, meregang nyawa.
Dengan
panah menembus perutnya.
Ujung
sarafnya mati rasa. Darahnya pasti tumpah ruah tanpa halangan. Bayangan
keluarganya yang lebih awal berpulang seakan memanggil-manggil dirinya,
menuntun jiwanya ke atas. Mempersembahkan tempat terindah di sisi mereka.
Kesadarannya
dirampok sedikit demi sedikit. Digantikan nyeri tak tertahankan.
Lalu
dingin merengkuhnya.
Ketika
di ambang sekarat, Orim mendengar gaung suara. Tandas, penuh permohonan. Dari
masa bertahun-tahun silam. Tentang sebuah janji untuk menjaga seseorang.
Dan
pribadi tersebut hadir sebagai sahabatnya. Sang pemimpi utama. Pemuda yang
telah Orim lindungi sejak kelahirannya.
Para
hantu pulau beterbangan riuh. Siap menyambut Orim. Satu mendekat dan bicara. “Jangan
bebani dirimu lagi. Kau diterima di dalam komunitas kami.”
“Maaf,”
sahut Orim, “aku ... menolak.”
Pikirannya
bekerja cepat. Menggunakan hayatnya yang masih tinggal, tangannya bergerak
mengambil sebentuk relik dari balik jubahnya. Memulai ritual yang amat
dibencinya. Dan dia merapal. Sebuah mantra yang selalu dia doakan supaya takkan
pernah menggunakannya lagi.
- 5 -
Ru sangat mengasihi Luna. Dialah
satu-satunya yang tersisa dari keluarganya. Seorang gadis labil yang memberikan
semangat hidup pada Ru hingga detik ini. Walau mereka sering kali berselisih,
Ru akui itu tidak lebih untuk mengusili adiknya tersebut. Menunjukkan betapa
besar rasa sayang sang kakak.
Hulbert, pikir Ru.
Kepala keluarga Pledgethon telah
memercayakan banyak hal pada pria di hadapan Ru ini. Namun dia memungkirnya.
Belum lagi, mafia itu telah berhasil menyisakan Ru seorang.
Padahal Tendou-sama telah membunuh
pengingkar tersebut, tetapi Hulbert bangkit dari dalam kubur. Kemudian
seolah-olah sedemikian kesumat pada keluarga Pledgethon yang tersisa, dia
bermanifestasi dalam wujud traumatis bagi Ru.
Luna telah mati. Terlalu terkejut atas
kehinaan yang dialaminya. Dan jasadnya dihancurkan tepat di hadapan Ru, dalam
elemennya sendiri. Tanpa terhentikan.
Maka tiada momen untuk berkabung.
Pendusta harus segera dituntaskan.
Kengerian Ru tersingkir oleh kemarahan.
Dia terbungkus dalam api. Biarlah musuhnya ini, yang terpojok, merasakan
bagaimana ketakutan luar biasa. Merasakan bagaimana Malaikat Kematiannya hadir
untuk kali kedua. Tewas cepat terlalu mahal bagi Hulbert. Ru takkan membiarkan
anugrah itu.
Hulbert mengangkat kedua tangan. “Tunggu,
Ru,” katanya. “Sadarlah pada kebenaran!”
Kebenaran? Gejolak api di
sekeliling Ru kian meninggi. Dia tak berminat melayani bicara si penjahat
amanah. Tapi diakuinya pernyataan tadi menggelitik juga. “Kaumau berkata bahwa
kau kini menyerah dan tersadar?”
“Tidak!” bentak Hulbert, yang secara aneh
suaranya mendadak lembut dan beraksen sengau. “Kau dalam pengaruh!”
“Lucu sekali.” Bisa-bisanya kau
bergurau di saat begini. Ru mengangkat telapak tangan. Api biru tercipta
dari sana. “Mati—“
Sekali lagi, sesuatu mencederai tubuhnya.
Ru hanya memperbesar kemampuannya. Dia tak merasakan sakit. Sekalipun lengan
dan tungkainya menjadi korban. Dan telinganya pamit dari rongganya.
“Baiklah.” Ru akan menuntaskannya
sekarang juga. Apinya berubah hijau. Bermaksud memasak bubur daging.
Spontan, Ru tersentak ke depan.
Punggungnya tertembus logam. Pryrokinesis-nya buyar. Berbarengan, ruang
bawah tanah itu melumer. Keping-keping ingatannya menyusun ulang.
Ru tersadar, dia adalah reverier yang
tengah diuji. Salah seorang dari enam puluhan makhluk spesial. Dipilih untuk
merangkai sebuah karya di alam angan. Teringat pula dia dengan perjalanan
pertama ke ranah asing, bertemu tiga pria dari dimensi antah-berantah
yang entah bagaimana prosesnya berlogat dan bernama Ibrani.
Hulbert di hadapannya melebur bersama
imaji lelaki berambut hitam. Seorang pemimpi utama yang lain. Dia berdiri lesu,
penuh lumpur. Jemarinya memercikan api.
“Apa yang—“
Adrenalin Ru berdesir. Dirabanya bagian
belakang. Menemukan batangan kayu, menembus dangkal dagingnya. Dan ternyata ada
lebih dari satu.
Faktanya merasuki benak Ru dengan
mengagumkan. Apa yang belum lama dilihatnya tak lebih dari pengaruh sesuatu.
Terperangahlah dia. Kendati begitu, setidaknya satu berita melegakannya. Luna
masih hidup.
“Kalian ... kenapa?” Ru menahan hangat di
mata.
Panah mengoyak tangan kirinya. “Padahal
aku memercayai kalian! A-aku—”
“Ru!” Sheraga mendekat. “Kau sudah
sadar?”
Jangan berlaku seolah kau tidak
mengetahui apapun! Dia teringat si pemanah. Pastilah bajingan jangkung itu
yang telah menghasut teman-temannya, dan kini dia sedang mengeker dari
kejauhan. Ru paham dia tak punya kesempatan lagi untuk memberi perhitungan.
Sebentar lagi dia kehilangan nyawa juga, meski sejenis morfin masih menumpulkan
rasa sakit sepenuhnya.
Dia berpikir lekas.
Ru merangsek ke muka. Menubruk Sheraga. Apabila
lelaki ini mati, berakhirlah nasib dua rekannya. Minimal mereka terdampar
selamanya di pulau terkutuk ini. Menunggu tibanya masa kelaparan merajai benak
atau kumpulan ajak mencabik raga mereka.
Dipeluknya si mata kelabu. Terlalu lemah
untuk berontak, Sheraga ikut terseret. Tanah semakin landai menurun,
lama-kelamaan menuju curam. Pendar rembulan meluaskan kuasa. Debur laut
menguar.
“Biarlah kita jadi pajangan museum
sama-sama, Tampan~,” bisik Ru tiada sesal. “Kita mati dengan jalan yang paling
romantis dan fabulous~!”
Sheraga menampik. “Perempuan jalang!”
rutuknya, tergagap. “Bedeb—“
“Au revoir, Sheraga-chan!”
Melampaui batas kewarasan, Ru berteriak meniru seorang kolonel SS fiktif.
Tapi lagi-lagi, kebahagiaannya dirampas
takdir.
Dia lebih dahulu kalah. Panah kali ini
menembus tepat ke jantungnya. Dalam detik-detik penghabisan, wanita itu
melepaskan segala ketakutan dan keraguannya, sekaligus satu-satunya napas yang
tertinggal. Dilihatnya sendiri perwujudan jiwanya yang melayang ke angkasa. Murni
tak terbebankan.
Walaupun begitu, harapannya terkabul di
penghujung hayat. Dia terguling bersama korbannya. Dijamu lembah.
—
Untuk penyelesaian misi, Nadav termasuk
orang yang gapah. Pengalamannya berburu iblis sampai buronan tak perlu
diragukan lagi. Dari daratan Yisreya ke Hagashah, Avratika sampai Tharnai.
Segalanya tuntas, rapi tanpa bekas.
Celakanya malam ini, kegagalan melanda.
Sesuatu yang amat diantisipasi mati-matian. Porak porandalah semuanya. Tersadar
dia berikutnya, rangkaian putusan malam ini merupakan ketergesaan yang penuh
serampangan. Bermula dari terlalu berhasrat menumbangkan musuh sehingga dia
kurang cermat. Formula mantranya berantakan.
Gambaran ketidakberhasilan besar pertama
menusuk ingatan Nadav. Yang akibatnya masih bisa ditinjau di balik topengnya.
Hampir dia menghajar kesia-siaan karenanya.
Masa lalu dilarang Nadav mengendalikan
tindakannya lebih dari itu. Dia beranjak, meninggalkan Orim yang perlahan
membusuk. Belum benar-benar terlambat untuk menyembuhkan nasib.
Tidak lama, dia saksikan pergumulan itu.
Asher berada di ambang maut. Ashiata di hadapannya. Berdiri tegak bak malaikat
mair bagi sang putra pemimpin.
Tanpa Ragu Nadav memberondong jalang itu
dengan panah. Keparatnya, si perempuan Helev tak kunjung tumbang. Racun langka
yang mengalir di pembuluh mencegahnya sakit.
Nadav berusaha mempertahankan ketenangan.
Dia menembak empat kali lagi, beruntun dalam tempo sempit. Menyasar kepala,
tetapi terus meleset.
Benak sang Pemburu terus bertanya-tanya.
Mengapa kecermatannya menurun? Mengapa serangannya selalu lemah? Mungkinkah
Orim mati terlalu dini dan arwah jahanamnya kini berupaya mengerip kewarasannya
perlahan-lahan?
Jatuh pada serangan kelima, tahu-tahu
Nadav melompat.
Sebentuk logam menggores lengannya
belaka. Tak lama kemudian, hadir lagi desingan. Nadav mencondong ke samping.
Anak panah selegum arang mendarat di dekat kakinya. Yang berikutnya, secara ajaib,
melata.
Tatkala Nadav disibukkan dengan
ketidaklaziman tersebut, sesuatu memelesat keluar. Dia tak cukup cepat untuk
menghindar. Pedang figur tak diundang itu merobek tudungnya. Dan nyaris
menghunjam jantung Nadav dari belakang bila dia tidak menjatuhkan diri.
Nadav berputar. Busurnya bertabrakan
dengan senjata si pengacau. Lawannya ternyata seorang perempuan berambut
pendek, dungu, dan pakaiannya tidak wajar. Pandangan mereka bersirobok.
Kemarahan bercampur kesintingan terlukis di roman wajah perempuan itu. Diakah
sosok yang mengendap dalam benak Ru?
Memanfaatkan kelengahan, tangan kiri
Nadav terayun. Menghantam sebelah telinga musuh. Perempuan itu pun terhuyung ke
belakang. Pendengaran serta keseimbangannya pasti terganggu mulai dari situ.
Sang
Pemburu memanfaatkan momentum. Sebuah tendangan tersarang ke betis kanan si
perempuan, memaksanya berlutut. Pedang pendeknya terpental.
Sontak menguasai diri, dia bangkit dan
melayangkan pukulan ke hidung Nadav. Lelaki itu menjerit tertahan. Tak lama
berselang, dia menumbuk lawan. Alhasil keduanya saling memiting di atas tanah
berlumut. Ketika berhenti, Nadav berada posisi menguntungkan. Dia tak
menyia-nyiakan kesempatan dengan meninju wajah korbannya berkali-kali.
Lamat-lamat sesuatu melayang di sekeliling
mereka. Pertama-tama, Nadav tak terlalu menggubrisnya. Tetapi begitu cairan jahat
tersebut melumat pakaian luarnya, dia merasa kemalangan bakal mengurungnya jika
terlalu menganggap remeh.
Setelah melepaskan mantelnya, dia
berguling. Dan ditambah sebuah teriakan dari jauh, Nadav sadar situasinya.
Sekali lagi, dia ceroboh.
Nadav kembali ke posisi awal. Prioritasnya
tiada lagi di sana. Dia beranjak. Mendapati targetnya melungsur ke dalam
kegelapan. Mengarah ke samudra yang dalam. Saling berpelukan erat dengan
Ashiata.
Untuk pertama kalinya Nadav merasa kacau,
baik ruang pikir maupun batinnya. Dari jaraknya kini, dia tak sanggup berbuat
apa-apa untuk mencegah. Bahkan ketika ujung panahnya telak menjebol inti nyawa
si perempuan sundal, dia sadar telah mati langkah. Rumah barunya adalah pulau
bangsat ini.
—
“Ikutlah, Sheraga. Perayaan ini tiada
kesan tanpa kehadiranmu.”
Belum pernah memperoleh penerimaan sebaik
ini, Sheraga gembira. Hari-harinya selalu berjalan dengan buruk akibat
ketiadaan kawan yang tulus. Sekarang, dia sudah membuktikan pada semua, di
balik statusnya sebagai putra tokoh terkenal, dia pun menyimpan hal yang layak
dibanggakan pula.
Angin berembus stabil. Udara sehangat
hatinya. Kapal itu terus berlayar ke lepas lautan. Selama itu, teman-temannya
memancing. Sheraga pun melakukan kegiatan serupa. Pada malam hari, nuansa
Hari-hari Besar merebak. Semua orang di atas kapal bernyanyi, berdansa, dan
memakan ikan.
“Bagaimana kalau permainan cari dan
tangkap?” usul Yaal Yifrach usai santap malam. “Siapa yang ingin berjaga?”
Anak perempuan gemuk, Dalit Shaar,
menyahut, “Asher saja! Emm, soalnya aku belum pernah lihat Asher bermain.”
Semua orang setuju.
“Baiklah,” tanggap Sheraga pada akhirnya.
Kesenangan sepenuhnya mendepak nasihat utama sang ayah, untuk tidak mudah
menaruh percaya.
Tanpa banyak cakap, mereka memulai
permainan kekanakan tersebut. Sheraga berjaga, dengan mata tertutup beledu.
Untuk waktu yang lama tak disertai kehadiran teman-temannya sama sekali, dia
belum kunjung waswas. Beginikah dunia orang buta? pikirnya, masih menikmati
peran. Sejenak terkenang pemuda tunanetra yang tulus membantunya pagi ini.
Sampai pada suatu titik, bahunya
didorong. Belum lagi, tolakan berikutnya bertubi-tubi melanda. Terdengar
derap-derap langkah, dan Sheraga diempas kasar ke lantai. Kedua tangannya
langsung diringkus. Sol sepatu menggesek rambutnya.
Salah seorang anak populer berteriak
ricuh, “ANAK HELEV TERKUTUK! TIDAK ADA TEMPAT BAGI MAKHLUK SEPERTI ITU DI
LINGKUNGAN KAMI!”
Sorak kegirangan terlontar sebagai
balasan. Mereka ingin Sheraga sengsara, atau dihinakan, atau dicampakkan ke
dalam air.
Mendapat kesempatan bagus, mereka memilih
yang ketiga.
Dalit si pemalu berujar, “kami benci
kamu, Asher!”
Itulah ujaran yang terakhir didengar
Sheraga. Lalu didahului tendangan dan pukulan beramai-ramai, mereka
mencemplungkannya ke himpunan air dingin, nyaris tanpa ceburan. Tangan dan
kakinya terbebat. Di dalam karung. Sederajat dengan sampah.
Sembilan tahun berselang, Sheraga
mengalami hal itu lagi. Sayangnya kali ini dia mengerti bakal nasibnya. Berbeda
dari pengalaman pertamanya membenci laut, Sheraga tahu takkan ada perahu yang
menyelamatkannya.
Jasad Ru terkunci padanya. Terus
menenggelamkannya ke bawah. Dan sang Alkemis tak kuasa menentang.
Ru benar. Andai mereka dibangkitkan lagi
oleh daya Alam Mimpi pun, keduanya telah ditentukan sebagai ornamen pameran
yang baru. Teronggok menyedihkan di pagelaran raya.
Kian jauh ke bawah mereka tenggelam.
Sheraga tak mampu melihat apa-apa. Dapat dirasanya cengkeraman sang mair
semakin erat. Bermanifestasi ke dalam kebekuan yang mendobrak pertahanannya
terhadap suhu.
Seringainya terkembang. Mencemooh
ketetapan atas dirinya. Belum lama, Sheraga menghinakan musuhnya, wanita bebal
yang menjatuhkannya namun berbakti amat rendah pada Yang Kuasa.
Laksana sebuah ironi, Sheraga menjemput
mautnya dalam rengkuhan wanita yang bukan kekasihnya. Dikungkung laut, apa yang
menjelma ketakutan besarnya. Aliyah pastilah kecewa padanya.
Mungkin adalah tindakan penutup sebelum
jiwanya dipanggang atau terperangkap dalam porselen, dia terbahak dalam hati.
Sebab kelaziman berupa ratapan atau pun isak tangis bermakna penyerahan dan
pengakuan. Sheraga tak berniat memuaskan kekejaman Tuhan.
Bermaksud membebaskan penderitaannya, Sheraga
membuka mulut. Akan tetapi sebelum dia termegap-megap dan air asin mengisi
paru-parunya, beban di tubuhnya menyusut. Dia terangkat. Terus menuju permukaan
sementara kesadarannya lesap.
- 6 -
Emi tidak mungkin mati, ulang Nora untuk
kesekian kali. Dia coba yakinkan diri. Insan yang amat berarti bagi Nora itu
bagaikan kucing. Bagaimanapun musuh-musuh berjuang menangkap dan menumpasnya,
dia tetap melenggang. Emi gadis yang kuat dan luar biasa. Ya, jelas-jelas dia
masih hidup. Nora hanya harus mencari lebih giat.
Sayangnya Nora tak dapat menipu
penglihatan. Emi pribadi yang begitu luhur budinya. Rela terbakar demi
menghangatkan sekeliling. Baru saja dia menolong sesama. Menjadi perisai daging
demi menghindarkan seseorang dari kematian.
Naif.
Lebih-lebih, sosok yang dilindungi itu
bukanlah Nora.
Sang Tinta Hitam melimbung, lalu muntah
akibat terlalu syok sekaligus merasa terkhianati habis-habisan. Airmatanya
berderaian. Kilasan-kilasan mengenai masa lalunya bersama Emi berputar dalam
otaknya. Seolah berusaha menegaskan kepedihannya.
Dia terduduk, memeluk lututnya yang
gemetar. Terus menangis sampai tanpa sadar fajar telah menyingsing.
Tapi kemudian dia bangkit bersama amarah
baru. Nora tidak bisa berdiam semata. Kedua tangannya terkepal erat. Aku harus
membalas, katanya.
Belum juga bergegas, dua orang seketika muncul.
Seorang pria paruh baya tanpa rambut dengan mata tak setangkup, berjubah lebar,
dan membawa tongkat berkeluk, serta satu lagi sosok serbahitam dalam trenchcoat
dan topi koboi.
“Nora sang Tinta Hitam,” pria plontos,
yang seingat Nora bernama Baron Hanscale, menyebut. Nora yang berlumur
kesalahan sekalipun mampu menerjemahkan pancaran hawa tidak nyaman dari pria
itu sebagai sumber kekejaman.
“Bagaimana mungkin kau mengertahui namaku?”
Waspada, Nora memasang sikap defensif.
“Itu terlalu mudah, Nak.” Lawan bicaranya
mendengus. “Bahkan aku bisa langsung mengerti apa yang kamu inginkan.”
Nora menunggu.
Baron mengangkat bahu. “Orang yang kamu
anggap berharga baru saja meninggalkanmu,” lanjutnya bernada simpatik. “Ini
mudah saja, Nora, andai kamu berpihak padaku, aku bisa mengembalikan dia
untukmu. Bukan tindakan yang sulit, ‘kan?”
Kekehan Nora berikutnya menyayat gendang
telinga. Tanpa aba-aba, dia melenting ke depan. Pedang pendek temuan
diayunkannya segenap hati. Celakanya tongkat si plontos menangkisnya tanpa
kesulitan, seakan telah memperkirakan serangan kejutan tersebut dari awal.
“Pembohong!” umpat Nora.
Sang penyihir tak tampak gusar, hanya
menguarkan aura kasatmata sewarna darah. Mementalkan Nora dengan sukses ke
pohon pilang. Sedangkan pria satunya bergeming saja. Tidak menunjukkan ekspresi
tertentu.
“Tiga, Nak,” sebut Baron. “Aku memberimu
tiga kesempatan untuk memutuskan. Cobalah tenangkan diri dan pikir masak-masak.
Jangan biarkan emosi menghalangi akal sehatmu. Kamu gadis yang tidak pantas
mati.”
“Kaumau mengendalikanku dengan cara
murahan!” raung Nora seraya mengerahkan segenap ink. Bermaksud melumat
Baron tanpa pertimbangan. Tidak mujur, likuid itu lebih dahulu meleleh.
Lagi-lagi sang penyihir memancarkan aura panas mematikan. Bahkan dedaunan di
sekitarnya turut hangus.
“Dua.”
Terlalu tangguh dan gila. Nora tidak bisa
mengambil risiko lebih banyak. Perselisihan tanpa taktik dengan manusia reptil
di Bingkai Mimpi membuktikan, dan dia hampir kehilangan nyawanya karena itu.
Namun dia juga takkan mau diperbudak, terlebih oleh penipu maniak dalam sampul
figur baik-baik.
Jadi Nora membelakangi. Berlari
sekencang-kencangnya.
Secara mengejutkan, si plontos tahu-tahu
terbit di depan hidungnya. Menyodok Nora dengan ujung senjatanya yang nyala
membara. Nora terguling. Dada kirinya yang terbakar seperti hendak dilubangi.
Dan dengan begitu, Baron memojokkannya ke trembesi.
“Aku bukanlah orang yang kejam,” dusta
Baron. “Pintu maafku masih terbuka luas. Kamu masih punya satu kesempatan.”
“Buktikan!” jerit Nora. “Jangan
mengada-ada, Baron!”
“Arca,” panggil Baron.
Pria bertopi itu maju. Tetapi saat sudah
berada di dekat Baron, sang penyihir mengayunkan tongkatnya.
Arca melengking kesakitan seraya anggota
geraknya mengejang. Kulitnya banjir air, lantas menggelembung dan memerah.
Terus-menerus hingga raganya tercerai. Gumpalan daging dan darahnya bertebaran
kemana-mana, termasuk ke wajah Nora. Meski telah ditempa pengalaman sebagai
tentara bayaran, dia menyaksikan adegan itu bagaikan diteror. Tanpa sadar
merangkak mundur menahan jejap.
Selanjutnya, Baron mengentak senjata.
Puncaknya melahirkan cahaya kebiruan. Perlahan-lahan, ceceran tubuh Arca
berkumpul ke titik semula.
Nora memekik saat proses reka ulang
terjadi. Dimulai dari tulang, urat-urat sampai membentuk tubuh utuh. Arca yang
terlahir kembali lebih pucat, dipenuhi peluh, dan ditonjoli pembuluh pada
sekujur kulitnya. Tangannya meraba dada, terkejut, kemudian jatuh terduduk. “Apa
yang kaulakukan terhadapku?!” salaknya.
Baron tak mengindahkan. “Atau, kamu mau
mencobanya sendiri pada tubuhmu?” tawarnya pada Nora.
Kata-kata gadis itu menguap.
“Bagus, anak pintar.” Baron pun menoleh
pada Arca. “Itu juga sebagai jaminan atas keberpihakanmu padaku, Arca. Aku
telah menyita kristal yang mengabadikanmu. Tapi tenang saja, kamu tetap dapat
hidup sebagaimana biasa.”
“Dan aku berjanji atas nama jiwaku,”
tandas Baron halus, “pasti mengembalikan apa yang menjadi hak kalian. Bahkan
aku bisa memberikan kalian kejayaan.”
Arca menyela, “anjing kau! Mestinya kami
kembali ke
Alam Mimpi!“
“Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu
bicarakan, Pendekar,” ungkap Baron. “Yang jelas, kalian takkan berpulang ke
mana-mana. Kalian, manusia yang tiba di pulau ini, telah kuramalkan. Kalian
semua akan membantuku untuk mencapai perdamaian absolut di dunia yang hina
ini.”
Perdamaian. Konsep hipokrit yang dipakai
para penakluk untuk menghancurkan pihak lain. Sebab kenyataannya, mereka tidak
pernah menepati janji muluk itu. Sangat sesuai untuk Baron. Terlebih, firasat
jelek menghantui Nora. Dia merasa pria itu antara sakit jiwa atau berdusta.
Nora tidak yakin pada opsi pertama.
Nahas sang Tinta Hitam tidak punya
pilihan lain. Dia belum ingin mati.
“Kita ciptakan sebuah dunia tanpa
kejahatan dan penderitaan. Dunia ideal di mana semua orang saling menghargai,
saling mengasihi, tanpa takut pada teman maupun musuh imajiner,” tutur Baron
sambil memerhatikan langit yang mulai bersemburat jingga. “Dunia yang betul-betul
tanpa teror dan diskriminasi. Bukankah kalian setuju denganku?”
Dia tersenyum simpul. Sekilas ada aura
seorang ayah dari pancaran matanya saat mengucapkan itu. Akan tetapi Nora
menyangkalnya.
Seolah paham segenap keraguan, Baron
menambahkan, “dan khusus untuk kalian, nantinya kuberikan kalian kekuasaan.
Pimpinlah negara-negara besar yang penuh kedamaian dan pertahankan mereka.”
Arca menyahut, “kalau itu, aku baru
suka!”
Baron mengangguk senang. “Ya, bahkan
meniadakan kematian bagi kalian bukanlah mustahil. Bagaimana?”
Tepat saat itu, sesuatu menyembul dari
balik rimbun. Kelopak mata Nora melebar. Itu pria pembunuh Emi. Tak ayal gadis
itu lepas kendali dan menyerbu. Namun Baron lebih dahulu menciptakan selaput
magis di antara Nora dan si pemanah. Nora tak bisa lebih maju lagi, atau
kulitnya membuih.
“Selamat datang, Nadav,” sambut Baron.
“Kamu pasti sudah banyak mendengar pembicaraan kami.”
“Ssh, ya. Aku di pihakmu tanpa
perlawanan.”
“Terima kasih.”
Nora bergidik. Pria bernama Nadav seperti
ular, dengan nuansa kehadiran menyamai Baron. Gadis itu buru-buru bereaksi.
“Dia pembunuh Emi! Dia pembunuh kotor berdarah dingin! Dia tidak pantas
memperoleh penghargaan apapun!”
Baron mengelus rambut Nora. “Anakku,
sudah kukatakan bukan? Kematian sama sekali tidak masalah. Sekarang, biarkan
seseorang menebus kesalahannya dengan berbuat kebaikan. Semua orang selalu
memiliki kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki diri. Jadilah pribadi mulia.”
“Tinggal tiga orang.” Baron berdiri.
“Bersatunya kita akan memimpin jalan menuju ketenteraman.”
Nora terpaksa menunda pelampiasan gatal
pada tinjunya.
—
Derak kayu serta keributan binatang kecil
berkaki ruas saling berkomplot membangunkan Sheraga. Dia mengedip, dan
mendapati diri berada di bawah naungan pohon lebat. Corak angkasa menjelang
matahari terbit mengintip dari sela dedaunan. Ujian belum usai.
Pandangannya segera terumbuk pada api
unggun. Terdorong entah oleh apa, Sheraga mengangsurkan tangan pada sumber
kehangatan samar tersebut. Jemarinya naik-turun. Mengherankan, api itu turut
bergerak mengikuti.
Kemampuanku. Sheraga ingat
sekarang. Di Bingkai Mimpi, salah satu sihir bawaan keluarganya dibuat tidak
aktif. Namun mencapai kembali kekuatan utama juga tak menyulut semangatnya.
Kebalikannya, dia malah termangu. Apa ini pertanda sesuatu?
Tidak jauh darinya, Orim memunggungi.
Sama dengan Sheraga, dia basah kuyup dan berpasir.
“Orim?” panggil Sheraga.
Lelaki itu menoleh. Penampilannya
carut-marut. Jubahnya berlubang di mana-mana. Matanya terbuka, biru kelam dan
berkabut. Dia menyerupai tahanan yang mendekam berabad-abad di sel bawah tanah
dan ditarik paksa menghadap cahaya.
Sheraga terperanjat. “Apa yang terjadi
padamu?”
Hening lama. Terlebih dahulu, Orim
mengamati lawan bicaranya. Dia seperti menatap seonggok benda belaka.
Direspons anggukan. “Ya, golem.
Aku dipanggil pemilik tubuh ini. Maka aku adalah dia sekarang.” Suaranya tak
beriak, tanpa intonasi.
Sheraga mengerutkan alisnya. Orim baru
saja menyebut sosok tanah liat yang sengaja diubah jadi manusia untuk
diperbudak, hasil dari sihir lazim di Yisreya. “Jangan bergurau! Kau berutang
banyak penjelasan padaku! Jadi selama ini kau hanya memejamkan mata?” Sheraga
menelan ludah. “K-kau, maaf, tidak buta?”
“Benar-bena pandai. Tidak hanya
berkembang layaknya manusia, kau memiliki kesadaran yang unik. Pembuatmu
pastilah seseorang yang berbakat.” Perkataan Orim lurus, tak tebersit keraguan
sedikit pula.
Sheraga memaksakan terkikik. “Gila kau!”
semburnya. Tapi kemudian dia menuntut lagi, “tidak, ini tidak lucu, Orim.
Katakan apa yang terjadi! A-aku seharusnya—”
“Aku yang menolongmu atas permintaan
pemilik tubuh ini. Tak lebih dan tidak kurang. Dan kelihatannya dia benar-benar
menyayangi teman golem-nya.” Orim menjelaskan, “aku Netzakh. Iblis
tingkat dua yang sering berkeliling di antara kalian. Kami harus siap sedia
ketika dipanggil.”
“I-iblis?” Sheraga bingung ingin tertawa
atau prihatin. “Kepalamu membentur batu?”
“Orim tidak hilang ingatan. Kalau itu
yang kaumaksud. Aku tahu kau alat yang diangkat anak oleh Natan Asher. Di dunia
sana, ayahmu sedang mengerahkan banyak orang untuk pencarian atas dirimu.”
Sheraga tidak peduli pada raja munafik
itu. Matanya justru berkedut kikuk oleh keseriusan sosok di hadapan. “Kau
sungguh ... berubah.”
“Ini tidak akan lama. Begitu teman
manusiamu pulih, aku dengan senang hati kembali ke alamku.”
Sheraga tidak mampu untuk menampik bahwa
sebagian besar dirinya percaya pada Netzakh. “Tapi ... kau salah. Aku bukan golem.
Aku bernapas, aku berdarah, dan aku mengalami sendiri masaku yang lebih
belia. Bagaimana kaujelaskan itu?”
“Aku juga tidak mengerti. Atau,
penciptamu bukan makhluk sembarangan. Mungkin seseorang yang menggadaikan
jiwanya pada penguasa kami,” terang Netzakh. “Dan kami dilarang berbohong.
Kenyataannya aku tidak melihat adanya jiwa di dalam lapisan dagingmu. Jadi kau
pastilah golem.”
“Bukankah aku hampir tewas?” protes
Sheraga. “Jika aku bukan manusia, aku—“
“Tapi kau masih hidup.” Mata suram
Netzakh membenamkan sang Alkemis. “Dan manusia biasa yang tenggelam ke dalam
laut lepas, mereka lekas mati akibat kebekuan. Yang terjadi, kau masih di
sini.”
Suara Sheraga tercekat. Perkataan tadi
menyeretnya pada bayangan sang ayah. Manusia tidak benar-benar diterima di
lingkungan Dayan. Mereka menjadi kaum kelas dua. Namun Natan Asher, seorang
Dayan yang begitu dihormati, berkenan merawat Sheraga. Seorang anak yang secara
misterius berada di depan pintu rumah mantan perdana menteri. Cerita yang
hampir-hampir terdengar pandir.
Natan Asher juga yang mengajarkan Sheraga
untuk tidak meyakini siapapun. Dan berkat muslihat-muslihat, Dayan tua itu kini
menjabat raja. Jadi dengan alasan masuk akal apa Natan Asher mengangkat Helev
sebagai putranya?
Tidak mungkin. Sheraga menggigit
bibir. Aku bukan golem. Akhirnya dia membantah, “tapi kau iblis atau
semacamnya!”
“Aku tahu reputasi kaum kami di mata
kalian, makhluk fana. Pasti kau mengira aku menyesatkanmu. Bukan masalah. Itu
hakmu untuk percaya atau tidak.”
“Baiklah, ini mudah. Aku tidak
memercayaimu.” Sheraga mengalihkan perhatian. Dasar bodoh, bagaimana bisa
beberapa detiknya sia-sia untuk mencerna isapan jempol yang persuasif tadi? “Di
mana Nadav?” tanyanya.
“Duri itu belakangmu. Dia yang berusaha
membunuh Orim-mu.”
Sheraga berbalik. Empat orang menampakkan
diri. Yang terdepan merupakan lelaki plontos, bermata satu, membawa tombak
berpendar yang membantunya dikenali. Pada masing-masing sisinya ialah seorang
pria dan wanita muda. Nadav di samping laki-laki bertopi.
Nadav kelihatan terkejut. Sebagian
topengnya tercabik. Menampakkan kulit sepudar awan. “Ssh, syukurlah.”
“Sheraga Asher,” sebut si mata satu.
“Orim Kohan.”
Fatal. Tindakan orang yang identitasnya
jelas Baron Hanscale tadi pastilah memicu ketegangan. Mengetahui jati diri
Orim, Nadav sontak meluncurkan panah. Tanpa disangka-sangka siapapun, termasuk
Baron. Tapi Netzakh menangkapnya dengan satu tangan kosong dan mematahkannya
detik itu juga.
“Kaulihat itu?” seru Nadav sambil berlari
ke arah Sheraga. “Ssh, selama ini dia berpura-pura cacat! Aku berusaha
menyingkirkan pemuja setan itu darimu! Dia hanya memanfaatkanmu! Dia berniat
menjadikanmu korban kekejiannya!”
“Tapi pemuja setan ini baru
menyelamatkanku dari kematian yang kaupicu,” balas Sheraga kaku.
Yang lain memerhatikan saja.
“Asher, ssh, kau putra sang Raja! Kami
menghormatimu sebagaimana sebenar-benarnya Dayan.” Dengan ini, jelas sudah
identitas Nadav. “Dengan mengetahui bahwa dia seorang Kohan, mestinya kau—“
Jawaban yang dilontarkan Sheraga memberi
penjelasan melimpah. “Aku sudah tahu itu. Dan aku tidak peduli. Bahkan bila dia
musuh Dayan itu sendiri sekalipun. Aku lebih memercayainya ketimbang kau dan
bangsa bodohmu.”
“Bajingan! Kaum sampah tidak tahu
diuntung!” Mendidih, Nadav benar-benar melupakan senjata andalannya dan
bermaksud mencekik Sheraga berbekal kedua tangan. Dia menerjang, serupa hewan
memburu mangsa.
Belajar dari kelengahan pertama terhadap
Orim, Baron mengentak tanah dengan pangkal tumpul senjatanya. Nadav refleks
terhenti. Menarik diri menjauh dari selubung api.
“Reuni yang dramatis sekali,” ujar Baron.
“Kalian lupa masih ada kami di sini?”
Sheraga menatap penyihir itu nyalang.
“Baron Hanscale, lupakan saja. Aku sudah memutuskan bahkan sebelum kau mengajukan
tawaran.”
Baron menanti.
Tanpa membuang tempo keberanian, Sheraga
mengumbar, “kami menolak. Aku dan Orim berseberangan denganmu. Jangan harap
kami mendukung manusia keji yang munafik sepertimu!”
“Ssh, izinkan aku menghabisi mereka
berdua,” Nadav mengajukan.
Baron menggeleng. “Jangan,” tepisnya.
Sebelum diprotes, dia mengumumkan, “biarkan mereka hidup. Supaya kita bisa
menyiksa dan menyadarkan mereka tentang arti kebajikan.” Dia menunjuk dua orang
di sampingnya. “Nora, Arca, bantu Nadav.”
Setelah mengatakannya, dia pergi.
Berbarengan dengan dimulainya agresi keremangan dan guncangan ganjil di
pelataran sempit itu.
—
Selama beratus tahun hayatnya, Arca
selalu memperoleh keinginan. Dia menaklukan banyak pendekar dan tiada yang bisa
menghalangi. Sekarang, roda nasibnya berputar pada posisi bawah.
Tanpa Batu Keabadian tertanam di dadanya,
Arca kembali ke masa awal. Sewaktu dirinya masih pendekar hijau yang senantiasa
dilingkup waswas. Khawatir atas imaji mengenai ketidakberdayaan.
Saat itu berlangsung di hari ini.
Diramaikan penjara kegelapan dan getaran berliput riak aura kacau dari bawah
kakinya. Maknanya satu saja, dan seketika keberaniannya mengempis. Sebab dia
tahu akan seperti apa akibatnya bila memaksakan diri. Aku harus lari,
batinnya. Tapi ke mana?
Seseorang mendaraskan mantra. Lantang,
dalam bahasa yang Arca pernah temui. Benaknya mengawang ke salah satu
pengembaraannya ke daratan timur ras Kaukasia, dalam rangka meneguhkan ajian,
beberapa dekade lalu.
Nyala memancar dari pemuda bernama Asher—sebagaimana
yang ‘partner’ sementaranya katakan. Pijarannya lalu menyulut ranting dan
dedaunan. Mencerahkan visi semua orang.
Kejadiannya berlangsung amat singkat, dan
selama prosesnya Arca nyaris menahan napas. Monster-monster pasi menyeruak dari
dalam bumi. Mereka mengepung dari segala haluan, menahan Arca dan sepasang
pemimpi.
Berbeda dari pengamatan awal, sepasuk
mayat di sekeliling Arca berwujud gundukan setinggi rumah dua tingkat. Terdiri
atas gabungan dua puluhan manusia. Sekilas, makhluk menjijikkan itu seperti
bukit bangkai.
Mereka ada di mana-mana.
Namun tiada yang menyasar Arca.
Alih-alih, Asher dan temannya dibuat kerepotan. Nora sendiri masih mematung.
Nadav menghilang.
Satu sudut bibir Arca tertarik ke atas.
Dia simpulkan monster-monster itu berada di pihaknya. Mendapat kemudahan, dia
melaju hendak menuntaskan pria berbusana padri. Satu langkah untuk kembali ke
Bingkai Mimpi dan menyudahi rentetan omong kosong antah-berantah ini.
Begitu masuk dalam area serangan, Arca
merasa tidak asing. Getar tenaga pria bernama Orim itu tidak berat, melainkan
membauri sekitar. Sesuatu yang dengan sukses memancing gairah Arca untuk
berlaga.
Kurang lebih aura yang dipancarkan Orim
amatlah mirip dengan pria tua dari Prussia, sosok dalam sungai memori Arca.
Rohaniwan yang pernah mengalahkannya dalam sebuah pertarungan memperebutkan
pusaka. Dengan mengalahkan manifestasi sosok traumatis itu, setidaknya Arca
memperoleh sedikit kepuasan. Obat untuk segala kekalahan hari ini.
“Ajian Bayang Diri,” rapalnya sambil
bersalto. Memecah diri menjadi tiga bagian. Kesemuanya melemparkan kartu.
Orim, dengan kepekaan yang tidak
manusiawi, cukup melangkah ringan serta bergestur tubuh tak berarti untuk
menghindari terjang kumpulan Arca. Kartu-kartunya malah menancap pada satu
gundukan jasad. Memutus salah satu tangan. Iklan tadi membuat Orim tak
kelihatan lagi.
“Halig siah!” Arca benci ini.
Musuhnya berlagak terus berkelit tanpa meladeni perkelahian. Ini penghinaan.
Dia mengedarkan pandangan dengan berang. Dan menemukan wadam itu
melambai-lambai dari daerah lengang kegaduhan.
Sang Pendekar dan tiga tiruannya
mengejar. Begitu tiba, tanpa ba-bi-bu mereka mengeroyok Orim. Satu
menyasar arah muka, yang lain berjungkir balik di udara demi menyerang dari
titik buta. Arca yang asli, memberdayakan kegelapan dan mengandalkan cahaya
bakal fajar, menentang dari belakang.
Tak terprediksi, Orim berpaling.
Bersemuka dengan Arca asli, dan menyeringai selebar-lebarnya. Pria berpandangan
kosong itu mengangkat kepalan tepat waktu, merenggut jubah kedua bayangan Arca
dari atasnya, lantas mengempas mereka kuat-kuat dan merontokkan tiruan itu
berbekal pijakan. Dan Orim sempat berputar untuk menyarangkan siku pada klon
Arca yang tersisa. Debu kemilau bertaburan.
Sambil menyumpah serapah, Arca memasang
kuda-kuda lantas melancarkan serangan. Namun Orim tak lekas tumbang. Dia selalu
sukses menukar terjangan. Walau bela dirinya serampangan dan tak terdefinisi
aliran, arah geraknya sama sekali tidak terbaca. Dan tak sekalipun dia
menunjukkan gelagat keletihan sebagaimana Arca. Lebih parah, sang Pendekar pun
tahu musuhnya ini belum serius.
Kau itu apa? Jika ada semacam Batu
Keabadian tertanam dalam tubuh lawan, Arca bertekad mati-matian merenggutnya.
Nahas dia tidak menemukan apa-apa kecuali rentang kekuatan alami secara de
facto yang amat merisaukan.
Tempo untuk penaklukan tiba juga. Nadav
berhasil meluruhkan pertahanan Orim, memberi Arca kesempatan menanduk. Selagi
pria itu lesap keseimbangan, tangan kanan Arca membenamkan kartu ke jantungnya.
Deg! Satu, tiga, lima, tiada alamat musuh hendak ambruk. Jangankan
demikian, mengaduh saja tidak. Maka Arca pastikan kematian Orim dengan
menggorok lehernya.
“Kena kau!” semprot Arca. “Beréng—“
Tangan Orim menepis, dan kartu Arca
terlepas. Lalu lelaki itu menyambar deras, mencekam rahang Arca. Mengangkatnya
sampai kedua kaki berpamit dengan tanah. Sang Pendekar Silat mengerang, berjuang
melepas cekauan. Tapi Orim terlalu kuat dan nirnalar. Segala kemampuan Arca
sama sekali tak terterapkan. Kertakan dan tanggalan gigi mempertegas jarak daya
di antara mereka.
Tiba-tiba Arca merasa panas, disertai
aliran kenang-kenangan artifisial menyusup otak.
Dia diperlihatkan pemandangan palsu.
Tangan dan kakinya terikat. Sementara orang-orang di sekelilingnya, pihak-pihak
yang pernah ditaklukannya baik dari kubu pendekar maupun yang dibunuhnya demi
olahraga, terus merajam dengan sabetan senjata. Chandra memimpin, dan tiap kali
cemeti pendekar muda itu mencumbu Arca, yang lain menambahkan dengan
kesengsaraan yang lebih menggebu.
Arca paham ini teknik ilusi, namun rasa
sakitnya terlampau nyata. Segalanya bergulir lamban bagaikan selamanya.
Sel-selnya bergemuruh menanti binasa, organ dalamnya digerogoti belatung pijar,
dan sudut matanya beriap darah. Batinnya memohon ampun agar semua derita ini
selesai.
Kéhéd!
Putus
asa dan mengutuk diri akibat kalah dari umat Musa untuk kesempatan kedua, Arca
biarkan harapannya terkabul. Selagi nyawa masih dikandung badan, dia rasakan
tubuhnya dibanting. Lalu warna merah mengereti pandangan. Tengkoraknya
diinjak-injak. Dan baru disetop pada embusan rutin terakhir.
“Cukup,”
titah pencabut nyawanya, “kau telah melewati batas mempecundangi maut.”
Itu
adalah saat kemunculan musuh yang lain. ”Ssh, lihat ini! Pendeta yang menjual
jiwanya pada iblis!”
Netzakh
tertawa. “Dan kau fana sombong yang tidak tahu apa-apa soal Ceruk Jahanam, Anak
Ular.”
—
Medan penuh mayat hidup telah luput dari
dua manusia. Sheraga melarikan diri sekaligus untuk mengecoh Nadav, sementara
gadis bernama Nora berhasil mengimbangi. Berawal dari entakan kaki mantap, dia
melambung di udara dan berdebum di hadapan Sheraga.
Sebagai sapa, gadis itu menghunus pedang
ke lehernya. Sheraga sempat meraih senjata yang sama untuk menangkis teguran
itu. Tak ayal Nora melayangkan sepasang libasan, yang ditahan lajunya dengan
sama cekatan. Dua kali sambitan diluncurkan sebagai balasan, tapi Nora menolak
tegas serangan tersebut. Sheraga mengambil selangkah mundur.
“Lumayan,” sanjung Nora. “Enggak buruk
buat ukuran laki-laki yang kayaknya bisa diboyong angin. Tapi, aku lagi enggak
terlalu berminat tarung.”
“Apa yang kauinginkan?”
Nora mengendurkan ancang-ancang. “Aku
sebenarnya enggak sungguh memihak Baron,” dia mengaku. “Tapi aku memerlukan
kemampuannya untuk mengabulkan satu keinginanku.”
Pedangnya tertodong pada Sheraga. “Tolong
jangan goblok. Dengan kita semua memenangkan pihak Baron maupun menghancurkan
Gaegator, bukan saja aku memperoleh mauku. Misi kita bakalan tuntas.”
Dia melanjutkan, “Sheraga, kau ini orang
yang baik.”
Sheraga selalu punya ketetapan. “Aku
tidak bisa,” tanggapnya. “Mendukung orang sinting itu berarti kehancuran bagi
sebuah dunia.”
“Realistislah! Ini bukan urusanmu! Kenapa
harus kau peduli? Ada jalan yang mudah. Kenapa kau malah mau bersusah-susah?”
Sebab memandang segala sesuatu dari
takaran moral pribadinya, Sheraga membalas, “bagaimana jika dunia ini adalah
tempat kau hidup?” Dia melontarkan pertanyaan paling dasar.
Nora mendengus. “Itu klise. Oke, aku
enggak peduli. Bagiku di manapun, kehancuran itu pasti ada.”
Sheraga tidak langsung bereaksi, yang
malah diterjemahkan Nora sebagai minta penjelasan.
“Temanku berkata, manusia pada dasarnya
makhluk perusak,” jelas Nora. “Dengan atau tanpa kehadiran Baron, dunia pasti
hancur, oleh insan-insan yang enggak berbuat apa-apa sekalipun. Bahkan ada yang
bilang, kehadiran diktator lebih berarti ketimbang kumpulan orang cerdas
apatis. Mereka menggerakkan perubahan. Itu bukti, ‘kan?”
Gadis itu, tak terelakkan, amat benar.
Itulah yang memang terjadi di tempat asal Sheraga. Paham kebangsaan yang eratlah
penyebab utama penyakit kehidupan.
Tapi pemuda itu mengerutkan kening.
“Sebenarnya apa maumu?” tanyanya. Dia mulai merasa dipermainkan, tetapi Nora
sama sekali tak menyiratkan kesan tersebut. Atau setidaknya sang Alkemis belum
menemukannya.
“Ikutlah pada Baron.” Nora tiba-tiba
menggamit lengan Sheraga. Dan tak ditampik. “Kau enggak perlu terlibat masalah
yang bisa kauhindari.”
“Tidak.”
Sejenak, Nora seperti bergumul dengan
nalarnya sendiri. Dia tertunduk, meracau dan menggeram, sebelum akhirnya
memohon, “tolong dengarkan aku. Begini saja, kalau kau masih tetap mau sok
jagoan, mari kita temui penyihir itu bersama-sama dan tanyakan motivasinya. Minat
jadi pembela kebenaran, ‘kan? Pahlawan tidak main hakim sendiri.”
Berkat itu, Sheraga tak melawan tatkala
dia dituntun. Tidak menyadari kelancungan niat si gadis berambut pendek.
- 7 -
Tak terlintas satu kali pun dalam
benak si pemuda untuk meninggalkan bagian jiwanya. Tempatnya dibesarkan dan
akan berpulang suatu hari nanti.
Biara Santa Luciella.
Bangunan kelabu dua tingkat itu
terletak di pinggir sebuah desa kecil, dibingkai pemandangan bukit hijau.
Sungai besar jernih membentang tak jauh dari situ. Pada bagian depan biara,
bunga-bunga beraneka warna meriap subur. Seolah menjadi indikasi kebahagiaan
para penghuninya.
Para biarawan serta biarawati
senantiasa larut dalam sukacita. Lebih baik lagi, kesan itu turut merambah pada
penduduk sekitar. Bisa dibilang, kehadiran biara tersebut merupakan anugrah tak
ternilai bagi kawasan sunyi itu.
Sampai suatu ketika, timbul musibah di
antara para pelayan Dewa; seorang anggota persaudaraan jatuh sakit. Lebih-lebih
itu bukan gangguan biasa. Melainkan sejenis tenung-kejam. Perlahan namun pasti
mengisap daya kehidupan penderita.
Si pemuda tidaklah tinggal diam.
Korban teluh itu sahabat dekatnya. Orang yang dianggapnya sebagai kakak,
sekaligus panutan hidup. Sebuah kebetulan, dia ditugaskan Kepala Biara untuk
menemukan penawar.
Untuk pertama kali dalam kehidupan dua
puluh tahun, pemuda itu berangkat ke Ibukota.
—
Tahun-tahun pengembaraan dan pelarian
membiasakan Sheraga hati-hati dalam menghadapi berbagai rintangan. Jadilah
mendaki sama sekali bukan masalah serius. Dalam kurun beberapa jam, pemuda itu
selamat ke dalam gua utama di gunung api—meninggalkan Nora yang bersedia
meladeni serangan mayat hidup dan manusia-kadal di tengah jalan.
Menurut ayahnya, Sheraga pernah diberkati
oleh selarik mantra ampuh. Menyebabkannya tegar dirundung panas maupun dingin
paling jahat sekalipun. Dia memancarkan api, dan perhatikan sekeliling. Makhluk
berakal biasa pastilah tidak tahan berada di sini lama-lama.
Kontan, terdengar debuman kuat dari arah
depan.
Sheraga, terpandu letusan tadi, tiba di
aula gua. Kolam lahar menggelegak tidak jauh. Di atas situ, kristal merah redup
mengapung mati. Retakan menganga tampak jelas di bagian tengah. Dan di antara
bebatuan, pemuda itu sempat melihat kelebatan surai biru.
Baron tengah bersimpuh memegangi dada.
Dia terbatuk darah.
“Kita perlu bicara,” Sheraga mengajukan.
Si lelaki plontos tidak merespons. Dia
tetap tertunduk. Menyaksikan itu, Sheraga mendadak teringat kekejian Zainurma
dan merumuskan jangan-jangan tugasnya sendiri malah untuk meninggikan pihak
yang salah.
Sheraga menghela napas. “Aku tidak tahu
apakah kau sudah mendengar ini atau belum, tapi aku dan beberapa orang yang
muncul di pulau ini sebetulnya diutus untuk menyelesaikan sebuah permasalahan,”
terangnya. “Kami diharuskan memihak, kau atau Gaegator. Namun maaf, aku dan
temanku memilih kubu Gaegator karena informasi yang kami peroleh menyudutkan
dirimu.”
Barulah Baron menoleh. “Lalu sekarang apa
keputusanmu?”
“Tergantung dari bagaimana penjelasanmu.”
—
Kereta rusa mengantarnya ke sebuah
tempat membingungkan.
Segala hal yang menyambangi si pemuda
terasa sanggup menodai kebahagiaannya di biara kapan saja. Denting logam
bergelora, keanekaragaman sifat yang asing namun menyejukkan hati, kemegahan
dan kebebasan, dan bahkan ... kemolekan para wanitanya.
Dia tabah.
Niatnya adalah menjemput penyembuh
andal untuk macam-macam keburukan, secepat mungkin. Namun hari demi hari
berlalu dengan nihil. Jalan keluar tak kunjung membersil. Dan tiba-tiba
segalanya perlahan menjadi semakin tak terkendali.
Pada suatu siang, pandangannya turun
pada seorang gadis dengan kecantikan yang memukau, mendebar dada. Diakui pemuda
itu amat berbahaya. Dia tentu berpegang teguh kepada prinsip, akan tetapi
perasaannya juga tidak dapat diingkari.
Mereka kemudian saling mengenal. Teresa,
nama gadis itu.
Pada kali kesekian perjumpaan, si
pemuda bermaksud menyatakan betapa dirinya mencintai Teresa atas nama Yang
Kuasa, lantas meninggalkan ibukota dan mengusahakan cara penyelesaian lain bagi
saudaranya.
Namun Dewa berkehendak pahit.
Mengetahui bahwa Teresa merupakan
seorang elf—bangsa dituduh iblis—yang menyamar, warga kota
beramai-ramai menyucikannya di tiang gantungan. Teresa terpuruk, bersama dengan
mawar yang dibawakan si pemuda.
Mulai malam itu, pemuda biarawan
tersebut mengesahkan sebuah cita-cita. Setelah berhasil mengembalikan
ketenteraman biara, dia menimba ilmu lebih giat, mendengarkan keluhan dengan
lebih khidmat, dan yang terpenting ... dia hendak menerbitkan mahakaryanya.
—
Sama dengan Sheraga, rekam jejak Baron
tidak dapat dibilang menyenangkan. Lelaki itu pernah terkhianati, serta
terinjak-injak harapannya. Agama mendustakannya, memporak-porandakan dunianya,
dan dia bertekad untuk menggantikannya dengan kemanusiaan yang paling murni.
Sheraga nyaris mendukung. Tapi sepenggal
bagian menunda putusannya. “Mengapa kau memerlukan pulau bergerak ini?”
Baron berdiri dan menatap Sheraga dengan
damai. Sebelah tangannya bertumpu pada bahu pemuda berambut hitam itu. “Untuk
memulai sistem yang baru, Nak, kita perlu kekuatan untuk menghancurkan kuasa
lama.”
“Tapi itu artinya kau akan melibatkan
orang-orang tidak bersalah!” bantah Sheraga.
“Dalam tiap perombakan, selalu ada risiko
yang harus siap ditanggung. Itu tidak terelakkan.” Baron menjauh. “Belajarlah
dari sejarah.”
Sheraga menjabarkan dengan tabah,
“setahuku sejarah tidak melulu soal pertikaian. Selalu ada cara untuk menempuh
kesejahteraan tanpa tumpah darah. Dan aku akan mendukungmu dalam hal itu.”
Secara terbuka, dia menyatakan, “aku sama
sepertimu, Baron. Aku membenci betapa kaum terbanyak seringkali menindas yang
berbeda dan tidak mereka pahami. Aku bahkan menolak Tuhan. Impianku juga sebuah
masyarakat tanpa seorang pun memuja dan menakuti hal tak kasatmata. Tapi Baron,
demi apapun, caramu salah. Justru manusia seperti kita harus membedakan diri
dengan para fanatik pengagung kekerasan itu!”
“Jangan coba-coba mengguruiku, Bocah!” Baron
malah menempelengnya. “Aku mengerti apa yang kulakukan. Jika kamu memang tidak
ingin mendukungku, enyahlah!”
Sheraga tidak menyerah. “Kalau begitu
apakah bedanya dirimu dengan kongregasi yang kaubenci itu? Mereka
mendiskriminasi, tak segan-segan membunuh yang berseberangan dengan doktrin.
Sekarang, Baron, tindakanmu tiada bedanya!”
“Sejak awal, dunia ini sudah sakit! Dewa
menciptakan manusia atas nama tontonan demi pemuas hasrat kejinya. Dan tidak
ada yang menyadarinya. Satu-satunya cara adalah ancaman yang nyata!” Baron
mengacungkan tongkat. “Pergi kamu, Pembual!”
“Tidak sampai kau menyerah,” tantang
Sheraga. “Berdamailah dengan Gaegator dan bebaskan dia.”
Sang penyihir terbahak-bahak tanpa
kebahagiaan. “Kamu kesiangan! Gaegator sudah mati!” Dia menunjuk kristal redup
di atas lava. “Dan kamu takkan kembali ke mana-mana!”
Itu menjelaskan mengapa Baron tak
dilingkup lagi oleh hawa sihir bertekanan.
Kabar
buruknya, konflik belum juga berakhir dengan tumbangnya salah satu poros.
Sheraga menggigit bibir. Pilihan tersedia hanyalah mengalahkan Baron. Dan jelas
bukan dengan proses penuh kedamaian seperti yang diharapkannya. Kesintingan
Baron tak bisa ditawar-tawar lagi.
Sheraga
melaju dengan menyeret pedang. Memutuskan bertarung tanpa memberdayakan api sama
sekali. Baron juga menyerbu, dan lebih dulu menyapukan ujung tombaknya secara
melintang ke arah muka lawan—yang lalu berkelit dengan menarik diri menjauh. Sang
Alkemis balas menyarang area kulit, bermaksud melancarkan gertakan mula. Dia
pun berhasil. Darah segar menodai pipi penuh bekas luka.
Baron
menggeram. Tidak gentar, dia kerahkan senjata sekuat tenaga. Pada titik-titik
yang dirasanya akan dengan ringkas menamatkan si pemuda. Tetapi pada suatu
kesempatan, Sheraga menepis terjangan ke kanan bawah dengan kaki. Dalam tempo
sempit dan sebelum Baron berinisiatif menyerang lagi, pemuda itu menginjak
tombak tulang sampai hancur.
Keduanya
saling memperlebar jarak. Sisa senjata Baron dicampakkan. Tak sempat
terperangah, dicabutnya pedang pendek dari balik jubah. Dia menapak satu kaki
ke batuan, melesat siap memutus pembuluh penantangnya. Sheraga menahan laju serangan
dengan pedang ditumpu satu lengan. Denting menggema tatkala kedua bilah beradu.
Memanfaatkan momentum, tangan Sheraga yang satunya beranjak sigap meraih sarung
senjata untuk menggebuk balik.
Sang
penyihir menyadari usaha tersebut lebih dini. Dia termundur sesaat, barulah
merangsek lagi. Diiringi keteguhan untuk membalas dendam, dia melayangkan
tebasan beruntun pendesak musuh. Sheraga memang sukses membendung keseluruhan,
sayang tiap kali Baron mengambil giliran melawan, dia terus terdorong mundur.
Selangkah demi selangkah namun pasti.
“Kena
kamu!” Baron menutup sela. Dia menukikkan pedangnya menuju jantung Sheraga. Lagi-lagi,
sasarannya mengelak ke samping. Membiarkan liang berasap tercipta di dinding
gua.
Peristiwa
itu menjadi bahan bakar untuk luapan emosi Baron. Laju serangnya meningkat
dengan drastis, barangkali berbanding lurus dengan kebencian di dalam benaknya.
Sejurus berikut, situasi terbalik sempurna. Sheraga kewalahan.
Sheraga
mengulur waktu sebagai upaya persiapan. Konfrontasi seperti tadi hanya akan
mempersingkat umurnya. Dia berlari, mengabaikan kebasnya tungkai. Ketika jarak
telah cukup, dengan dia berdiri di atas permukaan yang lebih tinggi, dia
merentangkan tangan ke sisi. Api menyembur dari telapak tangannya dan perlahan
menyelimuti tiap jengkal dirinya.
“Baron,
menyerahlah!”
Satu-satunya
tanggapan Baron adalah terjangan secepat kilat. Dia memelesat, hampir-hampir
tak dapat dinalar. Seketika, dia bersemuka dengan sang Alkemis, abai pada
kobaran api bersuhu rendah yang sebetulnya ditujukan untuk ancaman belaka, dan
pedangnya menebas lurus dari atas.
Bukan
kepalang lagi Sheraga terkejutnya. Gejolak pada pusat edar darahnya sangat
nyata. Beruntunglah pemuda itu karena dia condong ke belakang. Mata pedang
mengiris dagu saja. Dan demi menunda serangan berikutnya, Sheraga melompat
turun. Samar-samar dia mendengar Baron berucap, “kamu tidak akan berani membunuhku.”
Sheraga
tidak ingin mengakuinya. Akan tetapi, Baron benar. Tanpa memandang cermin
sekalipun dia kini mengerti betapa tolol usahanya menggertak baru-baru ini.
—
Pada sebuah malam tak berbintang, si
pemuda memimpikan keluarganya. Dalam bunga tidur itu ayahnya terkekeh dan
berteriak, “Nak, kau telah dikutuk!”
Itu membuatnya muntah-muntah sepanjang
sisa malam. Di sisi lain, dia berharap itu hanyalah peringatan Dewa baginya,
karena belakangan kebaktiannya banyak terusik oleh kegundahan. Akhirnya dia abai
dan mendaraskan dua bagian kitab dengan sepenuh hatinya.
Tak kunjung lelap, si pemuda
meneruskan pekerjaannya.
Buku yang menjadi sarana mimpinya,
berisi ide-ide yang diharapkan akan mengubah wajah dunia, telah mendekati
rampung. Kira-kira satu per lima lagi, pada bagian jalan keluar dan prinsip
persatuan. Itu tidak masalah, mengingat dua hal tersebut merupakan penggalan
paling menyenangkan.
Begitu selesai, hendak diberikannya
buku itu pada Kepala Biara. Visi mengenai kesetaraan seolah telah mewujud sempurna
di depan matanya. Dunia yang ideal, penuh tenggang rasa. Rohaniwan-rohaniwan
revolusioner bermunculan berkat pergerakannya. Dan bahkan, dia juga mulai membayangkan
diri sebagai santo.
Hanya saja, angan-angannya yang
terlalu meluap-luap membutakannya pada keadaan. Dari balik punggungnya, sahabat
karibnya telah menyelisik. Matanya melebar begitu menemukan kalimat-kalimat
yang bertentangan dengan keyakinannya.
Saat itulah si pemuda memijak bumi.
Dia berbalik dengan napas tak beraturan.
Jurnalnya segera direnggut. Rekan sekamarnya
membanting mahakarya itu dan menginjak-injaknya.
“Kamu pembidah! Bagaimana mungkin kamu
mengatakan perdamaian akan tercipta? Dewa jelas-jelas mengatakan manusia dan
iblis takkan bisa bersatu!” Dengan linangan airmata, dia mendesis, “aku akan
mengadukanmu!”
“Maafkan aku. Tolong jangan lakukan
itu. Aku khilaf dan berjanji akan memperbaiki diri.”
“Tidak.” Sahabatnya menggeleng dengan
sedih. “Dosa tetaplah dosa. Kamu akan dihukum. Dan kamu bukan siapa-siapa lagi
bagiku.”
Si pemuda merasa semesta meluruh di
bawah kakinya. Tangisnya memenuhi malam yang dingin. Begitu dalam, sehingga
darah menggugurkan air.
Benarkah menginginkan perubahan
merupakan dosa?
Benarkah menghendaki kedamaian adalah
tindak tercela?
Benarkah mendamba kesetaraan derajat
menghadiahkan padanya pintu neraka?
Si pemuda menggigit bibir bawahnya
hingga sobek. Dan bukankah, pikirnya, landasannya itu berupa budi baik, dan
bahwa kebaikan itu sendiri pertanda dirinya masih manusia?
Begitu tiba esok malam, dengan dirinya
disidang di atas pancang hukuman, biarawan itu—Baron Hanscale—memohon pada
setan. Yang tak cuman membebaskannya dari kematian, tetapi juga melimpahkannya
kekuatan.
Dari sanalah tercipta tujuan baru dan
membusuknya segenap iman.
—
Akhirnya
Sheraga memilih berjudi nasib di tengah sengitnya suasana. Dia merelakan
dirinya berlutut. Pedang dia tancapkan ke tanah. “Baiklah, aku akan jadi
pengikutmu. Tapi maukah kau menjawab pertanyaanku?”
Di
hadapannya, tanpa disangka-sangka, Baron meladeni. “Kamu mulai berpikir jernih.
Katakan.”
“Jika
seluruh tujuanmu terkabul, apa yang mau kaulakukan?” Sheraga melangkah maju.
Batinnya merapal mantra api. “Perdamaian macam apa yang kauimpikan? Memaksa
tunduk orang-orang atau kaubunuh mereka?”
“Kamu
tidak tulus!” Baron jelas curiga. Tangannya tetap siaga pada alat pertahanan.
Sheraga
menggeleng. “Salah,” dustanya, “aku hanya memastikan masa depan. Lagi pula,
bukankah kau mengatakan sendiri aku tak berdaya dan tak bisa ke mana-mana?
Tidak ada gunanya kita berselisih lagi. Pilihanku hanyalah tunduk padamu.”
“Jawab
pertanyaanku, Tuanku,” pinta Sheraga sambil mempertahankan isi perutnya.
“Sudah
kukatakan,” Baron mendengus. “Saat Takhta Suci hancur, itu adalah akhir bagi
agama. Yang akan tersisa dari sumber kebohongan itu hanyalah pengingat betapa
selama ini kepercayaan buta hanya menghasilkan kebencian, penderitaan, dan
sekat-sekat.”
Ide
itu terdengar bodoh dari sudut pandang manapun. Setidaknya gara-gara sisipan
agenda gempuran sepihak. “Itu benar, Tuan,” timpal Sheraga. “Tapi menurutku,
cobalah terka akibat lain. Tidak, aku bukan bermaksud menasehati. Namun
pikirkan saja .... Jangan-jangan dengan kau melenyapkan sumber harapan
manusia—maksudku Takhta Suci itu, kau malah memulai pergerakan religi yang
lebih besar.”
“Apa
maksudmu?” Baron terlihat mengendurkan kewaspadaan.
“Dan
bukan itu saja. Pertama, dan yang paling penting, jangan yakin dulu. Kematian
bukannya mustahil terjadi,” Sheraga sendiri menyadari tengah membual tanpa arah.
“Atau, katakan saja kita berhasil mencapai tujuan dan memperbaiki sistem.
Nyatanya tidak sesederhana itu. Pemberontak akan selalu ada. Perubahan akan
senantiasa berlangsung. Sebagaimana kau melawan tatanan di dunia, kau akan
memiliki penentang yang siap menumbangkanmu.”
“Aku
sudah bersedia dengan risiko—“
Sheraga
tidak mau disela. “Poin paling vital dalam pembicaraan ini bukanlah di situ,”
tegasnya. Dengan yakin, dia menangguhkan, “Baron, bagaimanapun kau berusaha
menyatukan semuanya di bawah pahammu, kau akan gagal. Tindakanmu pandir dan
bobrok sejak semula. Pada hakikatnya manusia itu beragam. Kau tidak bisa
menyangkalnya. Dan kenyataannya mereka masih memerlukan lelucon itu—agama.”
Tanpa
sadar, jarak di antara keduanya tidak lebih dari satu tombak.
“Konsep
itu memang jenaka, ia menimbulkan halusinasi dan fantasi yang memabukkan. Ia
meredam derita dan luka. Tapi apa salahnya membiarkan orang lain tenggelam
dalam imajinasi mereka sendiri? Kehidupan ini keras. Dan mereka perlu
keringanan, mereka perlu pelarian. Apa yang mereka jadikan landasan sama sekali
bukan urusanmu!”
Baron
menyeringai keji. “Kamu bosan hidup.”
“Sejak
awal, kau yang bosan hidup. Kau terlalu meremehkan semuanya. Kebencian
membutakan akal sehat maupun nuranimu. Kau bahkan tidak bisa mengalahkan aku.”
Sheraga menjentikkan jari. Kobaran api melingkar tercipta di sekeliling dirinya
dan Baron. Menghalangi pemandangan gua.
“Menyerahlah
atau kau boleh memilih menggelembung perlahan hingga meledak.”
Tiba-tiba,
Baron membuang pedangnya. Dia bersimpuh. Tertunduk. Airmatanya mengalir deras.
Terisak-isak. Pemandangan yang sangat menggetarkan hati. “Aku berserah padamu,”
katanya. “Kamu menang. Dan aku akan menanggung dosaku.”
Sheraga
tersenyum. Lengannya terulur. “Selamat menjadi pribadi yang baru—”
Baron
menggenggam tangan Sheraga erat-erat. “Selamat bermimpi!” Lalu dia meneriakkan
deretan mantra.
Itu
adalah saat Sheraga merasa lemah. Energi sihirnya mengalir menuju lengan.
Berpindah cepat pada Baron. Selubung api di sekitar mereka menyusut, kemudian
kandas sama sekali. Setelahnya, Baron memuntir lengan Sheraga sampai patah.
Begitu pemuda itu tersungkur di depannya, Baron menghajar rusuknya menggunakan
kaki.
“Untuk
tindakan gegabahmu,” kata Baron sambil menendang perut Sheraga.
Menggulingkannya sedikit. Diteruskan dengan pijakan keras pada sikut yang
remuk. Pemuda itu menjerit.
Dilanjut
injakan tanpa ampun di ulu hati. “Untuk pemahaman bodohmu!”
Baron
menyepak kepala Sheraga. “Dan untuk pikiran naifmu!” raungnya. Lelaki tua itu
mencekal kerah baju lawan bicaranya dan mendesis. “Aku mengampunimu. Aku selalu
memberimu kesempatan. Belum terlambat untuk berubah.”
Namun
Sheraga lebih memilih untuk meludah. Baron mengerang. Darah mengenai matanya.
Belum cukup, penglihatannya yang tersisa tertutup lagi oleh merah. Kelenggangan
itu dimanfaatkan Sheraga untuk menerjangnya. Dia mendekap Baron dengan sebelah
tangan, menjatuhkannya.
Sekonyong-konyong
Sheraga putuskan untuk menutup rangkaian kegilaan hari ini dengan puncak kesintingan
yang paling hebat. Dia sorongkan kepalanya ke bawah. Gigi-giginya dia benamkan
ke leher Baron, merenggutnya dengan buas, nyaris tanpa menimbang dan tanpa
kesungkanan, lalu menyepah gumpalan daging. Terus berulang.
Baron
mengejang, tidak mampu bersuara. Semata akibat tak kunjung mencerna kenyataan.
Darahnya berlomba-lomba membebaskan diri, ajaibnya dia tidak lekas bersua
dengan ajal.
Kematian
Baron sudah dapat dipastikan. Bila ada sesuatu yang menundanya, itu hanyalah
tendangan ke wajah Sheraga—detik itu juga. Pemuda itu terpuruk. Pipinya lantak.
Kekuatan tadi benar-benar luar biasa. Menyentaknya dari ketidakwarasan. Ternyata
si rambut pendek.
Nora
terengah-engah. “Bukankah sudah kukatakan padamu untuk menepati janji?”
bentaknya sambil melindungi Baron. Cairan hitam kental berseliweran di
baliknya.
Sheraga
sadari perbuatannya. Muka dan pakaiannya diliputi darah. Baron terkapar tak
berdaya. Lehernya tercabik dengan brutal, namun dia masih bernapas seolah
mengejek hukum alam. Kedua matanya membelalak terpana. Dimeriahkan genangan
amis. Nora pun menyerukan kalimat-kalimat untuk mempertahankan hidup lelaki
itu.
Sekali
lagi, Baron tak terkalahkan. Dengan sisa tenaganya, dia mencengkeram erat
pergelangan kaki Nora. Menyedot inti kehidupannya secara tamak. Sehingga gadis
itu sekejap mengering. Tubuhnya kerontang mempertontonkan tonjolan
tulang-tulang. Diakhiri ledakan daging.
Selang
puluhan denyut nadi, penyihir itu kembali utuh.
“Dasar sampah, beraninya sok hebat!” Baron menepuk-nepuk
lehernya dengan santai. Seluruh cedera sirna, termasuk bekas-bekas kental pada
jubahnya. Dia langsung melangkah pelan pada Sheraga. Tampaknya paham pemuda itu
tidak bisa melawan lagi.
Sheraga mengangkat wajah. “Bu-bunuh ... saja
aku ...,” dia memohon. “Aku ... lelah.”
Dia baru saja mengungkapkan kebenaran. Sheraga
mengerjap sendu. Memahami, barangkali inilah waktunya untuk bersudah. Terlalu
lama terjerat dalam rantai kemalangan, saatnya lepas. Zainurma tidak salah
waktu itu. Tidak ada lagi yang mengharap kehadirannya.
“B-Baron ... bunuh aku ..., bu-bunuh aku!” Walau
demikian, ada satu yang membuatnya gembira. Dia tahu Netzakh salah.
“Kukabulkan.” Baron mencabut pedang perak Sheraga.
Tiba-tiba terdengar siulan. Mengalahkan
gemuruh gunung.
Sheraga menggulirkan pandangan. Orim tengah
berdiri kukuh—bukan, matanya tak terkatup. “Hei, banci! Masa kaumau
membantai sampah?”
Terjebak, Baron memelesat menuju Netzakh. Sang
iblis semata menganjurkan lengan. Ketika telapak kanannya menahan pedang
berbubuh mantra sakti tanpa luka, dia menyalam, “sampai jumpa, Sheraga Asher!
Anggap saja tindakan ini sebagai apresiasiku terhadap aksimu dari tadi!”
Sang Alkemis tak memercayai visinya. Kedua
laki-laki di tengah gua sempat berubah wujud. Dari tempat di mana seharusnya
Baron berpijak, seorang anak muda meronta-ronta. Tangan dan kakinya dirantai.
Tidak ada kebencian, justru kepedihan. Sedangkan di depannya, seberkas cahaya
kebiruan menggantikan sosok Orim. Sinar itu kemudian terbang, dan menyeret jelmaan
Baron ke langit-langit gua.
Chabburah mengembik tatkala Sheraga dan Orim
ambruk. Sementara jasad Baron terurai menjadi silalatu.
- 8 -
Kekuatan orang yang berjibaku
melawan Baron sama sekali tak boleh dianggap remeh. Karena itulah, Al menunggu
sampai pestanya selesai otomatis. Menyisakan sosok pemuda kurus yang kuyu—reverier.
Dengan pakaian monokrom tidak trendi tanda pelit pada diri. Dia masih berdiri.
Baron bersimpuh di dekatnya, kelihatannya mengaku kalah.
Al punya panggilan praktis
untuknya. RBT, alias Rambut Belah Tengah. Beruntunglah cowok itu lumayan
menarik. Sehingga model surai culunnya tak kelihatan terlalu buruk. Sempat
terpikir dalam benak Al untuk menculik RBT. Tapi hasrat unggul menyepak otak
bisnisnya.
Dari balik bebatuan tinggi,
Al mengokang senjata sama yang digunakannya untuk merontokkan kristal merah.
Bersiap meledakkan kepala target dalam radius tiga puluh meter. Orang jelek
atau ganteng setali tiga uang kalau mati. Gak bisa ketawa.
Jendela maya kembali
menampakkan sosok Miller.
“Jangan repot-repot,
dombamu ‘kan sudah keluar,” dia mempersembahkan kemurahan hati yang tidak
ikhlas. “Tunggu saja, sebentar lagi juga muncul mafia necis.”
Al memutar bola mata atas
gangguan itu. “Tomnook,” cibirnya. “Harusan lu ngerti gue benci bagi-bagi kemenangan.”
Suara di seberang
menggelegar, “MATAMU, AL!! AKU. BUKAN. TOMNOOK!!”
“Oke, lo bukan Tomnook.” Al
nyengir. “Tapi Semit Kapitalis. Hati-hati tumbuh cambang.”
Miller ternganga. Tampak
tidak terima.
“Mending lo diem dulu. Kita
ngobrol lagi abis misi selesai.”
Lubang kontak pun lenyap.
Al membidik kepala belakang RBT dan tanpa ba-bi-bu menarik pelatuk.
Senapan laras panjang memuntahkan sepasang sinar mematikan. Namun secara
dramatis bak film aksi murahan, kelebatan hitam menepis niatnya.
Si gadis berkepala aquamarine
terlonjak. Lututnya lemas. Sang pahlawan kesiangan bukan orang biasa.
“Ssh, jangan mencuri
mangsaku.”
Yang barusan bicara itu
makhluk absurd buruk rupa. Sekilas, Al mengira berhadapan dengan leburan tidak
kreatif antara Slenderman dan Valak sang Biarawati edisi prototipe.
Badannya anyir menusuk, lebih parah dari tercebur ke dalam kolam cairan plasma.
Semakin horor saja rasanya.
Kepet! Mereka miara dibbuk.
Pandangan Al bersirobok
dengan setan itu. Matanya jelek sekali.
Lengan kirinya yang
terbakar bergantung lemah. Mau bernegosiasi bagaimanapun, Al paham betul tak
bisa meredam sorot kebencian si manusia mendesis. Ada insting yang primitif di
sana. Memaksa Al berlari menjauh.
Persetan! Dia
menyambung komunikasi. Miller, gue diserang Voldemort KW! Tolong kirimin
bantuan! GE PE EL. Nanti gue bayar utang—dua kali lipat!
Tiada respons, kecuali
bunyi slurp nikmat. Besar kemungkinan tujuannya tutup mata dan memilih
makan Bakmi Mewah. Terlalu meninggikan konsensus. Sama sekali tak berminat
membantu.
Rakun buduk! Maruk!
Kardus! Kencrot! Bangkrut—
Manusia ular kian menutup
jarak. Merinding, Al segera berancang-ancang melepas tembakan lanjutan. Sampai
lupa fakta tentang rentang waktu senjata. Kecemasan berlebih menumpulkan
akal sehat. Terang saja, dia kalah sigap. Si jangkung bau ferum keburu
menerkamnya.
Sang Anthro-deus
merasakan bujuk rayu kemalangan yang manis.
—
Dalam sekejap, Nadav
menyambar lawan. Kepala si perempuan menumbuk tanah pejal. Senjatanya terlempar
dari genggaman.
Pesundal itu mengaduh
kesakitan. “Sialan lo!” semburnya sambil memukul-mukul. “Gue gak mau ena-ena
sama lo, bangsat!”
Nadav pun tak mengerti
maupun peduli apa yang dibicarakan. Dia menggeram dari balik deret taringnya.
Dilihatnya batu lain ukuran setengah kepala, lantas diambil.
“Eh, mau ap—“ Air muka
lacur itu menampakkan sesal. “Mz, m-maafin gue, plis. Gue punya kepeng—“
Sambil menyipitkan mata
Nadav benturkan benda di tangannya ke wajah musuh. Tak mengacuhkan sakit yang
teramat pada satu lengannya.
Ayunan pertama, pekik
campur serapah ganjil berdendang. Yang sepenuhnya Nadav abaikan. Pipi kanan
perempuan di bawahnya memar parah.
Dua. Tangannya yang
mencakar-cakar terkulai. Dibungkus merah. Batang hidungnya memipih. Napasnya
kian menipis. Sebagian kulitnya acak-acakan. Gigi-giginya tanggal dan masuk ke
dalam tenggorokan. Mulutnya penuh. Cairan keluar dari lubang-lubang wajah, termasuk
air dari sudut mata. Dia meludah.
Itu menghadiahkan padanya
hantaman ketiga. Rambut biru keparat itu tak bergerak lagi. Tengkoraknya pecah.
Satu matanya menjadi bubur. Warna merah meruah tanpa ampun. Empat, lima,
sepuluh dan seterusnya, gundukan sewarna samudra bergaul akrab dengan ceceran
tulang dan daging. Darah memercik ke segala arah. Muka jasadnya sampai tak
berbentuk lagi.
Terengah, kegusaran Nadav
tetap saja tidak kunjung surut. Bersama kehangatan aneh pada wajah dan
pakaiannya, dia berdiri. Tubuh tak bernyawa si bajingan diseretnya dengan
tangan tersisa, lalu diumpankannya pada kolam lumpur pijar jauh dari jangkauan
pandang Asher.
Nadav bersimpuh. Seluruh
kemarahannya terkumpul ke ubun-ubun.
Kebencian Nadav terhadap
marga Kohan tidak datang sejak kekalahannya terhadap Orim hari ini, melainkan
jauh dari masa silam. Saat raja sebelum Natan Asher berkuasa, tatkala pencarian
atas para bajingan pengendali setan itu sedang gencar-gencarnya.
Penguasa waktu itu menitah
segenap bala tentara di Yisreya untuk memburu tikus-tikus tersebut. Termasuk di
antaranya para Pemburu Hening. Nadav ditugaskan menyikat seorang pria Kohan,
yang berujung kutukan seumur hidup kepadanya.
“Ukh.” Dia memegangi dada
dengan ruas jari pipihnya. Sisa pertempuran dengan Orim masih terasa. Nadav
terbatuk darah.
Satu perkiraan terbentuk
dalam benak Nadav.
Pertama ... Sheraga, putra
Natan Asher, sudah lama tahu kenyataannya dan menjalin pertemanan dekat dengan
pengendali iblis. Dan tidak ada yang menjegal mereka. Lalu setelah Natan Asher
naik takhta, pembasmian para pendosa itu ditanggalkan dengan alasan mereka
telah punah. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
Nadav berdoa agar
kecurigaannya salah, namun anggapan buruk terlanjur meracuninya. Seorang
pemimpin Takhta Suci Batya memang berkonspirasi menggulingkan pendahulu.
Menandakan eksistensi Dayan makin menghampiri ambang, sesuai Kitab Kehidupan.
[?]
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 36 - SHERAGA ASHER | LAHAVOT ESH
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 18 - SHERAGA ASHER | SITRA ACHRA
Awkawkawk!! Sumpah ane ngakak pas awal bertemu Ru.
BalasHapusAduh, sial. Finggang ane.. Ouch encok.. #ahem#
Entry yg paling ditunggu, muncul dengan sangat puas. Feelnya, ughh... jleb banget ke dada. Dari awal sampe akhir ane bener-bener hanyut.
Kalau Ru liat lukisannya di museum semesta, mungkin dia akan tersipu dan bilang: "Oh~ Indah sekali bagaimana aku mati di sini."
Andai ane bisa mati-in dia kyk gini nanti. Ahaha~ Ha... *pundung*
Ohh... ini pendalaman tiap karakter OC di sini dalem banget. Banget. #repeat
Bahkan OC tamu pun dapat spot indah disini.
Ane ga nyangka karakter ane bisa manis kyk gini. Pokoknya TOP dah.
Dan, ane hampir lupa sama Al..
Dia walau munculnya cuma akhir2 doang, tapi menjadi penutup yang klop.
Haduh, ane gatau lagi harus ngomong apa x'D
Entry terbaik di grup L menurut ane
---------------
Rate: 10
Ru Ashiata(N.V)
Wih, pertama ... makasih sudah bertandang. Nantikan kunbal ^3^
HapusAduh, iya sih, saya juga sempet ketawa pas nulisnya. Sebenernya kalau nggak dipotong ada lebih banyak obrolan, yg kyknya lebih baik dr yg ada. Tp terpaksa kebuang //disepak. Walau begitu, saya minta maaf karena kayaknya ada yg salah dr Ru. :'(
Al saya taro di belakang karena dia ... emang susah ditulisnya dan kepribadiannya rada individualis gitu, IMO. Baguslah kalau menikmati *evil grin* xD
Sekali lagi makasih sudah mampir~~
Oh~ Sama sekali ga ada yang salah. Ga ada #repeat
HapusSerius setting-annya ajib bener. Bahkan ane penasaran yg versi 20k lebihnya gimana
20k lebihnya kebanyakan kurang penting sih, kalo dipikir". Misalnya adegan museum semesta, obrolan singkat sm Mirabelle, obrolan gaje penguat sifat, PoV Nora, PoV Al yg ngancurin hutan, battle antarsub OC, dan epilog dr PoV Zainurma di akhir. Beberapa bakal saya tempel di R2, sepertinya~~
HapusAnjir, ente make settingnya ajib bener. Kalo narasi, kayaknya seperti biasanya. Indah, meski beresiko dikata”in sok nyastra ama orang-orang. Wkwkwk... tapi penggambaran tiap adegannya bisa dibayangin dengan mudah. Development ocnya pun gak maen-maen, bahkan sub oc sendiri juga berpotensi jadi betrayer di sini. Realistis dan dalem banget perwatakannya. Bhkan debat ideologi juga dibawakan dengan epik. Persetan dengan komentar org yg ngatain “sok yahudi”, yang penting asyik diikutin.
BalasHapusCuma aku ada kritik buat battlenya. Cukup seru, Cuma disayangkan ternyata diselesaikan ama pihak ketiga. Berkesan deus ex machina, padahal asher keliatan baru saja bisa pyrokinesisnya. Minimal dikasi jatah adegan pas make sihirnya lah. Namun keseruan konflik yang dialami para oc berhasil menutupi kekurangan kamu di bidang scene berantem.
10
Axel
Huhu, thank you :'3
HapusDan yea, saya lebih fokus ke perwatakan para OC dan sub OC ketimbang aksi mereka. Saya biasa begitu--sebab ngga ahli dlm bakbikbuk ._.
Sok Wahyudi? xD
Deus ex machina tsb sebtulnya ada maksudnya juga sih. Untuk keperluan kontinuitas kanon. Dan demonstrasu kebegoan OC saya sendiri. Wkwk. Sebab tempo lalu saya merasa OC saya agak-agak menjurus Gary Stu :>
Btw, makasih sudah mampir (y)
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : B
Writing techs : A
Engaging battle : B
Reading enjoyment : B
Baca ini bikin saya mikir kalo saya emang ga bisa 'in' ke tulisan yang bener" full nyastra, meski saya akuin level teknik penulisannya jelas jauh di atas kemampuan saya sendiri yang ga seberapa. Indah, tapi kaku, kalo boleh saya bilang. Jadi kayak ada semacem kesan eksklusif
Yah, abaikanlah, toh itu preferensi masing". Ga ngaruh ke ceritanya sendiri karena itu cuma masalah cara penyajian
Saya inget Orim, tapi Nadav ini emang baru debut di entri ini ya? Maklum udah sebulan. Dia berasa benalu di antara Sheraga sama Orim. Dan pas Ru mendadak berserk, apa itu gara" dia juga? Saya agak miss di sana
Saya suka konfrontasi Sheraga sama Baron di akhir dan lempar"an argumennya, tapi saya kurang nangkep Netzakh sebenernya ngapain pas bikin ronde ini berakhir. Dan Al, yang saya kira dilupain, muncul di akhir cerita, tapi juga ga berasa relevan ke keseluruhan cerita ini. Malah berasa biar Nadav yang jadi penutup aja. Apa pria ular ini masih bakal jadi parasit cerita Sheraga di ronde selanjutnya?
==Final score: B (8)==
OC : Iris Lemma
Aduh, ternyata udah termasuk nyastra ya. Padahal karya saya masih jauh dari nyastra--kalo dibandingin sm karya sastra sungguhan TwT Tp syukurlah, begini pun yang prnting tahan bacanya sampe akhir, hehe xD Ke depannya mungkin akan ada penyederhanaan xD TBH, ini memang bukan gaya narasi saya yg biasa. Semacam eksperimen.
HapusIya, Nadav sub OC baru, plus Gal Raivah (nahas CS-nya blm diperbaharui). Mereka bakal sgt berperan buat ke depannya :3
Dan ya, Nadav penyebabnya. Dia nyembuhin sekaligus ngeracunin. Racunnya bermantra. Tp dia salah formula jd berantakan semua rrncananya. Dan, Netzakh itu setan. Dia bisa nyabut nyawa musuh dgn mudah. Saya tegasin di caranya nanganin Arca--biar pas ngalahin Baron bakalan pd nggak kaget lagi xD
Al yang ledakin jantung Mbah Gae. Kalau nggak ada dia, Baron bisa kuat banget. Arca aja batunya dicabut ._.
Terima kasih udah berkunjung :3
Mantep mba noni, semua space yang ada dimanfaatkan dengan kata-kata indah. Teknis tida perlu ditanya, karena karyanya sudah berbicara u,u
BalasHapusDan... hmm, entah kenapa kalau dibanding prelim saya ngerasanya kalau yang ini rasanya ada yang kurang. Maksudnya kurang, dalam artian, tulisan R1 ini kurang engaging dibanding prelim. Porsi pembagian karakternya pas kok, dan saya seneng Al momennya pas banget, walau pada akhirnya harus mati begitu :'D
Perihal kurang engagingnya, mungkin karena development Sheraga yang drastis tapi entah kenapa kayak gak keliatan bedanya di mana... seenggaknya, yang saya tangkep begitu.
Nevertheless, this entry is an enjoyable read. Jadi ada bahan berkontemplasi juga ketika melihat pandangan Sheraga kontra Baron.
Nilai dari saya 9, sampai bertemu di R2
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.
Ah iya ini ... saya juga ngerasa ada yang kurang. Mungkin karena spotlight yang mestinya buat Sheraga seorang malah kebagi" buat sub OC yg belum keliatan pentingnya di mana. Mungkin juga akibat editan ekstrem dari 20 ribuan kata ke 16k u,u Ah, emang jadi degradasi ini TwT
HapusIya keknya. Sheraga diniatkan mau agak berubah di R1. Judulnya sendiri menyimbolkan itu (The New Black). Tapi karena satu dan lain hal, akhirnya ketunda. Jadi apa yang terjadi termasuk perkataan Netzakh, itu masih berupa foreshadow ._. Sekarang yah, Sheraga masihlah yg tampak di prelim ._. Tapi tentunya akan disingkap sesegera mungkin. Andai lolos. ^o^
Ah, terima kasih udah baca tulisan sepanjang ini. Nanti saya kunbal ^3^
Shh, saya sebal sama "shh"nya Nadav. Mengobar Prasangka pada siapapun, well... Tapi dia nggak salah juga. Toh si Ru memang ada niatan buruk. Jujur saya suka karakter Nadav, malah semakin lirik Nadav daripada Sheraga di entri ini.
BalasHapusSemua karakter tergambar (*eh, tertulis, ya?) dengan bagus, bahkan Orim dan Nadav yang ikut Sheraga banyak berpartisipasi ke dalam cerita, bukan sebagai tempelan untuk Sheraga.
Terakhir, saya juga merasakan yang dikatakan Mas Sam. Penulisannya agak kaku.Terimakasih~
Nilai 9
OC : Nora
Yah itu bagian dari ciri tubuhnya. Dia dikutuk sama keluarganya Orim jd sedemikian rupa. Mau gimana lagi? '-'
HapusAduh, iya sih. Sempet juga saya rasa Nadav ini lebih realistis ketimbang OC utamanya. Dan yah, dua sub OC tersebut akan setara perannya dengan ... OC utamanya. ._. Tentu andai lolos ._.
Ah, ya ... soal narasi. Jujur aja saya blm ngerti di mana kesan kakunya. Maaf", ya. Tapi tentu, masukan soal narasi bakal saya apply. Tobat deh make narasi ginian. Saya balik aja ke gaya prelim ._.
Ah ya, terima kasih kembali xD Dan trims kunjungannya xD
Damn. Baru dua paragraf aja aku udah mikir, “Wah, ini bener2 Noni-ish banget.” Gaya nulis ini yang selalu bikin aku iri sama perbendaharaan kata yang luar biasa darimu. Plus, aku belum nemu gaya nulis yang sejenis gini selama baca2 BoR. Makanya kayak nafas lega abis baca2 entri dengan narasi yang berulang terus baca gaya tulisan Noni. Dua paragraf aja dah menyenangkan buatku. Narasi penuh istilah asing begini dengan tema dan nama2 ibrani yang kental bikin cerita ini, selagi masih berbahasa Indonesia, tetap sekilas terasa seolah tidak berasal dari Indonesia sendiri. XD
BalasHapusKarakter Nadav asyik, masuk dengan enak di antara Orim-Sheraga. Pun dia membuka semacam konflik baru di tengah dua sahabat ini. Sesuatu yang menarik buat diikuti ke depannya. Meski di sini kulihat separuh awalnya Nadav-Orim-Ru lebih dominan dibanding Sheraga, tapi okelah. Ceritanya masih enak buat diikutin.
Pun masuknya Ru juga smooth, ga terkesan dipaksakan. Apalagi diawali dengan bahasa... eng, itu apa ya? Jerman bukan? Jadi konsep multisemestanya juga mengalir dengan lancar.
Pas konflik Sheraga dan zombie2 itu juga bisa dinikmati, pula saat ilusi yang mengenai Ru ikut terlibat, pertarungannya jadi lumayan seru. Meski agak kurang kerasa ketika Ru lepas dari hipnotisnya, tapi okelah.
Ampas, aku merinding pas adegan Arca diletusin. Beneran merinding. Damn. Kamu juga bisa membuat adegan2 yang penuh kengerian ini tergambarkan dengan sempurna. Suka.
Wtf... plot twist? Sheraga itu golem? Meeeeeeen aku kaget beneran. XD
Ah, adu mulut Baron sama Sheraga ini asyik diikutin. Aku suka pas mereka debatin prinsip masing2, sama2 berdasar soalnya. Sayangnya (atau untungnya) si Baron gak bisa dibilangin, jadi gebak gebuk lagi deh XD aku bahkan tadinya sempat terkantuk2 tapi begitu mulai adu mulut lagi pas Sheraga pura2 menyerah bikin aku melek. Prinsipnya keren. Sheraga dan Baron, dua karakter dengan latar serupa tapi berkesimpulan berbeda.
Di akhir, kedatangan Al agak terasa aneh. Out of place dan terlalu tiba-tiba. But, okay. Alasan yang diberikan atas kedatangannya yang terlalu di belakang itu gak terlalu terkesan terpaksa.
Entri ini bisa dibilang nyaris perfect. Kalo pun ada yg gak perfect, maka itu adalah gaya bahasa yang cenderung hanya bisa dimengerti oleh kalangan tertentu saking tingginya frekuensi penggunaan bahasa yang indah dan puitis. But it’s okay karena narasi begini adalah narasi yang kusuka.
10/10
~Pencipta Kaleng Ajaib
seperti biasa kosakatanya begitu luas~ saya sampe mesti buka kateglo.com buat mudeng beberapa kata ww
BalasHapushm 'kaku' mungkin bukan kata yg cocok. mungkin 'padat'? baca cerita ini harus bener2 meresapi setiap paragraf. melayap sedikit aja langsung kesasar ini siapa lagi ngapain xD
bisa jadi anti-skimming buat yg suka baca cepet2 /dor
lalu... di sini juga actionnya lebih banyak. kelihatannya ga ada satu oc/sub-oc pun yg gak berantem sampai titik darah penghabisan. ditambah bg/motivasi semuanya dikupas tuntas.
bener2 cerita yg padat dan mengenyangkan~ puas banget bacanya -w-
nilai: 10
oc: castor flannel
Diamlah kalian. Segala bentuk tulisan itu termasuk sastra.
BalasHapusRapi, enak dibaca dan ga sekedar cerita gitu aja. Di sini aku baru ngehh gimana teknik narasi yang bagus, soalnya gayaku lebih cenderung ke tell-nya sih.
Tokoh-tokohnya aku ga ada yang kenal, tapi di sini tergambar bagus. Diksinya mantep, ngalir walau kadang tersendat kaku seperti kata mz Sam.
9
Jess Hutcherson
Entri dengan narasi yang kaya akan penggunaan kata-kata. Walaupun terkesan kaku/formal, tapi menurut saya cocok buat pembawaan karakter Sheraga. Tiap karakter terkesan menonjol, tapi Sheraga tetap jadi fokus utama dan ini bagus. Walaupun entri ini cukup panjang dan melelahkan, tapi saya enjoy bacanya.
BalasHapusNilai dari saya 9
OC : Catherine Bloodsworth
Uh, entri Noni emang selalu indah, saat dibaca kadang suka lost, eh ini tadi apa ya ceritanya, bikin sy harus ngulang-ngulang bacanya, wkwk, tapi itu karena kelemahan di saya :')
BalasHapusSaya merasa sub OC nya bahkan lebih strong karakternya dari protanya sendiri, Orim & Nadav bahkan bisa ikut sebagai OC mandiri XD
NILAI: 9
(Martha)
Hmm... semua yang ingin kukomentari sudah dibahas di atas. Narasi puitis, tapi agak kaku. Setting tergambar dengan baik dan konflik memercik seru.
BalasHapusNilai 9~
OC : Begalodon
Wadoh. Sheraga agaknya mulai agak cerah moodnya di entri ini ya. Meski tetep ada distrust ke Zainrma. Kontras dari reaksi2nya di prelim karena melibatkan sekte sesat yang suasananya mencekam.
BalasHapusSaya suka sekali liat gaya bicara Orim, Sheraga sama Nadav di sini. Keliatan banget orang 'jauh'nya. Mereka bawa bahasa petualangan dan ngegambarin dunia asalnya yang ada alkimia serta kebiasaan2 lain yang khas dari sana.
Pas ngebandingin cara ngobrolnya sama Ru, asli kerasa beda banget. Tapi karena bawaan pribadi Ru yang eksentrik (bahkan sempet2nya ngerjain Sheraga dkk juga dia), perbedaan itu jadi kerasa wajar.
Meski begitu, nampaknya porsi berantemnya agak dikurangi dibanding prelim ya. Kompensasinya, interaksi karakter jadi lebih kaya. Bahkan Ru sangat tergali kepribadian dan latarbelakangnya di sini. Sampe ngebahas Luna dan Hubert juga.
9
Pucung
"Kesulitan mencerna, author?"
BalasHapus"Maklumin lah, biasanya kan gue makan makanan ringan."
-Marikh & Author
+PROS
+Menambah perbendaharaan kata dan memenuhi kuota adalah alasan utama membaca entri ini :D kisahnya menarik juga, sifat Sheraga dan kawan seperjalanannya tergurat jelas. Jadi inget Marikh yang Roan dan Sidya belakangan ini hanya jadi pemanis saja~
-CONS
-Seperti yang saya bilang waktu ngobrol sama Marikh, kesulitan mencerna kalimat jadi barrier buat membaca ini. Bahkan waktu baca prelimnya harus berusaha dua tiga kali baca sebelum akhirnya nyerah dan buka KBBI online, dan kini terulang lagi. gak papalah, sekalian memperkaya variasi kalimat~
Titip 9 buat Sheraga, semoga sukses.
TTD
Dewa Arak Kolong Langit
Terima kasih buat semua yang udah baca, komentar dan nilai, ataupun yang sekadar melirik :" Masukan soal narasi dan pengembangan karakternya bakal saya tampung dan terapkan di waktu mendatang :"
BalasHapusDan maaf kalau sekiranya entri saya mengandung unsur yang ... err, aneh x'D