oleh : Fachrul RUN
--
Volume #3: Unpleasant Truth
Previous Stories
Prolog
Gunung Salak, 2001
Gumpalan hitam besar itu menyerang hampir semua orang di ruang altar. Belasan tentakel kuat mencuat dari makhluk itu, meraih Sharif dan para kultisnya. Hanya dalam hitungan detik kumpulan fanatik itu dicabik. Organ tubuh dan serpihan tulang mereka berceceran membasahi seluruh dinding dan lantai. Walau para kultis mencoba lari atau sembunyi, makhluk itu tetap dapat menjangkau mereka.
Satu-satunya sosok yang tak disentuh oleh makhluk itu hanyalah seorang pria tua berkemeja batik yang berlutut dekat pintu. Dia adalah Hariadi, si pensiunan polisi.
Hariadi menitikkan air mata. Pandangannya terus tertuju ke monster di hadapannya, meski wujud asli makhluk itu menyakiti benaknya. Seharusnya tidak begini, pikirnya. Kegagalan bukanlah hal baru bagi pria itu. Ia masih ingat setiap nama korban yang gagal ia selamatkan semasa bertugas. Tapi tetap saja yang ini terasa begitu berat.
Satu pekan lalu, Anita Mardiani menghilang. Hariadi sangat mengenal anak itu. Gadis itu memang baru diadopsi oleh tetangganya, Sharif Khoirudin, sekitar dua bulan. Tapi sifatnya yang supel dan ceria membuat anak itu disukai oleh mereka yang tinggal di Jalan Batu Ampar, Condet. Tak terkecuali Hariadi, yang merasa kesepian setelah kematian istrinya.
Walau ia sudah pensiun, dan ada kanker menggerogoti kaki kanannya, Hariadi bertekad untuk menyelamatkan Anita. Apalagi setelah ia menyadari para polisi seakan tidak berminat untuk menangani serius kasus tersebut. Ia ungkap setiap kepingan informasi, ia endus setiap jejak yang bisa membawanya menuju kebenaran.
Tetap saja ia terlambat. Semua upayanya sia-sia.
"Pak Hariadi!" pekik Anita semenit lalu. Gadis itu tersenyum, merasakan harapannya mengembang. Saat itu juga sebuah portal dimensi membuka. Gumpalan hitam ini menyeruak muncul, menelan Anita dan kultis-kultis di dekatnya.
Hariadi menjerit. Dengan kematian Sharif, hanya gumpalan hitam di depan itu yang tersisa sebagai sarana pelampiasan amarah. Revolvernya meluncurkan enam peluru beruntun. Dengan target yang ukurannya hampir memenuhi pusat ruangan, Hariadi tak memerlukan kacamata untuk mendaratkan semua tembakannya tepat sasaran.
Serangan itu tak bermakna. Jangankan menyakiti sasaran, makhluk itu masih saja sibuk memburu sisa-sisa kultis yang bersembunyi bagai tikus. Tembakan beruntun yang bisa menamatkan manusia itu bahkan tak dapat menggelitik sang monster.
"Mein Gott," ucap seseorang dari belakang Hariadi. Jurgen Wagner memasuki ruangan. Dosen UI yang diam-diam adalah perwakilan Asosiasi Penyihir itu menganga, tak percaya dengan apa yang terjadi. "Apa yang-"
"Dia memakan Anita!" jerit Hariadi. Pelurunya habis, pensiunan polisi itu menjatuhkan revolvernya dan memungut tongkat upacara seorang kultis, hendak menerjang langsung si monster. Kankernya toh sudah memastikan ia tak akan berumur panjang.
"Tunggu!" Jurgen menahan bahu Hariadi. Matanya mengamati ongokan mayat di sekelilingnya. "Memakannya? Makhluk itu memakannya?!"
"Ya! Sekarang lepas-"
"Menarik."
Setelah kultis terakhir terbelah, satu mata raksasa menampakkan diri dari bagian tubuh sang monster yang menghadap pintu ruangan. Fokusnya tertuju kepada Hariadi dan Wagner sekaligus. Delapan tentakel besar membentuk untuk menyerang.
"Mundur sebentar, Kek!" seru Wagner, mendorong lembut Hariadi. Matanya berbinar dan mulutnya menyeringai. "Ada teori yang ingin kuuji!"
Kedua tangan Jurgen terangkat, memancarkan cahaya kebiruan. Bersamaan, monster di hadapannya mengayunkan kedelapan tentakelnya sekaligus...
1
Setelah pertempuran Bekasi, Anita sempat menghendaki dirinya dieksekusi. Apalagi setelah Mirabelle menegaskan kalau Bekasi tempatnya bertarung memang berada di dunia nyata, bukan sepenuhnya di Alam Mimpi seperti saat ia bertarung dengan Sharif.
Mirabelle meminta Anita menunggu. "Zainurma akan menyampaikan sesuatu. Dengarkan dia dulu. Kalau setelah itu kamu masih mau mati, aku akan mengabulkan."
Sekarang, Anita sudah mendengar apa yang ingin Zainurma sampaikan: taruhan sejati dari turnamen sinting ini. Dunia dari mereka yang kalah akan melebur ke Alam Mimpi, menjadi satu dari banyak koleksi di semesta kekacauan ini. Setelah memahami itu, Mirabelle menyampaikan kepada Anita apa ia benar-benar ingin dihukum mati. "Tentunya, itu berarti kamu juga akan dianggap kalah."
Jawabannya berubah menjadi tidak. Anita terpaksa menelan bulat-bulat kenyataan kalau ia harus menunda dulu hukuman untuk dirinya sendiri. Membiarkan dirinya menerima ganjaran, lalu seluruh dunianya menjadi koleksi beku di Alam Mimpi karenanya, jelas-jelas adalah sebuah hasrat egois.
Anita kembali berada di Bingkai Mimpinya. Tempat itu masih sama seperti saat ia meninggalkannya, reruntuhan setengah rumah Klaus dikelilingi oleh gurun tandus.
Gadis itu duduk di undakan, tangan tertangkup dan kepala tertunduk. Fluffy si domba mengunyah karpet di dekatnya. Dewi Mirabelle berdiri di bawah, masih memegang tombak dan perisai.
"Kamu sangat mematuhi aturan. Itu bagus," komentar Mirabelle. "Tapi yang berlaku di sini bukanlah aturan Asosiasi Penyihir. Kusarankan kamu ganti mematuhi titah Kehendak."
"Yaitu?"
Mirabelle tersenyum getir. "Kalahkan semua yang ada di hadapanmu. Tidak menyenangkan memang, tapi hanya itu aturan dalam festival kali ini," ujarnya.
"Tempatmu bertarung kini sudah melebur ke Alam Mimpi. Semua penghuninya terlelap, terkunci selamanya dalam momen, sementara dunia mereka menjadi pajangan. Itu akan terjadi kepada semua musuhmu. Jadi, kalau kamu terus menang, kamu bisa menanggap semua ini sebagai mimpi buruk. Kamu akan kembali berada di duniamu, tanpa kekurangan satu apapun."
Anita meninju undakan di kirinya. Permukaan keramik itu langsung hancur, mengejutkan Fluffy.
Terbayang lagi wajah Panji dan Juliana. Tercium kembali bau jalanan di Bekasi. Terdengar pula suara lalu-lalang kendaraan. Berapa banyak orang tak bersalah yang kini dunianya berakhir tanpa sebab?
Bila aturan ini menjerat semua peserta, maka dunia yang berakhir sudah sangat banyak. Ada para pemimpi yang menjadi patung tanah liat buruk rupa di akhir penyisihan. Ada tiga puluh pemimpi yang saat pengumuman tadi tidak hadir. Belum lagi mereka yang sudah tumbang sebelum pertemuan pertama dengan Mirabelle dan kawan-kawan di Museum Semesta.
Penduduk bumi di dunia Anita saja sudah ada tujuh triliun jiwa. Menghitung perkiraan jumlah korban dari "festival" ini hanya membuat Anita semakin marah.
"Bagaimana cara memulihkan mereka?!" tanya Anita penuh emosi. "Sebelumnya kamu bilang ada rencana untuk menumbangkan Kehendak...."
"Rencana yang bisa saja gagal, dan kini masih digodok," Mirabelle menjawab pahit. "Cara alternatif sih kamu harus menang. Aku lupa apa aku sudah menyampaikannya, tapi para pemenang turnamen ini akan mendapat segala yang mereka kehendaki. Ini juga bukan omong kosong. Kehendak akan menyerap energi kehidupan dari semua dunia yang ia koleksi untuk mewujudkannya."
"Jadi, kalau aku nanti meminta seluruh semesta dipulihkan...."
"Maka seluruh semesta akan pulih. Tapi apakah kamu mampu menghendaki itu?" Mirabelle menaiki satu undakan. "Kekuatan untuk memenjara para Nama Terlarang, kekuatan untuk memastikan Azathoth tamat untuk selamanya, kekuatan untuk mengalahkan Sang Kehendak... dengan banyaknya dunia yang telah ia koleksi, kamu bisa saja memperoleh ini."
Semua itu seharusnya menggoda. "Kalau untuk memperoleh kekuatan aku harus mengorbankan orang tidak bersalah, maka aku tidak akan mengambilnya. Apapun yang terjadi." Ia, yang telah menyusahkan orang tak bersalah di Little Italy, tidak berhak untuk meminta lebih.
"Banyak yang bilang begitu. Tapi sejauh ini semua yang diberi tawaran sejenis oleh Kehendak tidak ada yang bisa menolak. Karena kamu begitu kuat, kurasa kamu bisa membuktikannya nanti."
Begitu kuat? Orang yang kuat tidak akan kehilangan kendali mendadak.
"Apa yang terjadi?" tanya Anita kebingungan. "Kenapa... kenapa aku tidak bisa mengendalikan perubahanku? Aku sudah melatihnya bertahun-tahun...."
"Apa kamu tahu aku ini dewi apa, Anita Mardiani?" Mirabelle seperti mencoba mengalihkan topik.
"Apa hubungannya it-"
"Jawab saja."
"Kamu adalah dewi perang."
"Nah. Itu dia. Masih ada di kepalaku ingatan kalau aku ini seorang dewi perang, yang memperoleh kekuatan dari konflik manusia. Tapi kini aku menjadi Dewi Konservasi...." Mirabelle mengangkat tangan kanannya, dan seketika itu tombaknya bercahaya terang. Sisa-sisa lelah dari pertarungan di Bekasi meninggalkan Anita.
"Alam Mimpi menggerogoti dirimu, Anita Mardiani. Ingatan, jati diri, sifat, semua itu terpengaruh. Perlahan-lahan kamu akan kehilangan identitasmu. Seluruh kenanganmu bisa saja diganti total, menjadi apapun itu yang Kehendak inginkan. Seperti yang terjadi kepadaku."
Punggung Anita bergolak, mengeluarkan tiga tentakel yang bergerak liar. Ia sudah ingin menyakiti Kehendak sejak ia pertama mengetahui keberadaan makhluk itu. Kini ia ingin melumatnya hingga tak bersisa. Sifat seenaknya sendiri ini sesuai dengan horor-horor kosmis yang Anita takutkan dari Nama-Nama Terlarang. Ia semakin yakin kalau Kehendak sebenarnya adalah bagian dari ancaman multiversal tersebut.
"Ada tips untuk mencegahnya?" tanya Anita. "Karena jelas, aku tidak ingin menjadi budak makhluk itu."
"Kamu bisa memulai dengan mencoba memahami dirimu sendiri."
"Maaf, tapi aku memahami diriku sendiri. Usia mentalku sudah 20 tahun lebih, Dewi. Aku sudah melewati fase remaja."
"Yakin?" Mirabelle mengangkat alis. "Terkadang ada yang mengira telah memahami dirinya sendiri, namun nyatanya mereka masih menolak sisi-sisi tertentu. Apakah kamu begitu juga, Anita Mardiani?"
"Tidak," sahut Anita tegas.
"Oh. Kalau begitu masalahmu bukan itu. Hmm."
Apakah kamu manusia yang terjebak dalam tubuh monster? Atau monster yang berpura-pura menjadi manusia?
Berisik, batin Anita saat ucapan Sharif versi mimpi kembali terngiang di telinganya. Ia adalah Anita Mardiani, putri kandung Karno dan Layli, anak angkat Hariadi, dan murid dari Wagner. Ia adalah manusia dengan kekuatan monster, yang menggunakan kekuatannya untuk melindungi manusia. Ia tahu siapa dirinya.
"Nanti saja kupikirkan. Aku kan tidak diwajibkan membantumu," Mirabelle memutuskan. "Oh, kamu cukup beristirahat? Karena sekarang saatnya ronde dua."
Dengan taruhan sebesar ini, Anita tak punya pilihan selain terus bertarung. Lebih cepat lebih baik. "Apa misinya?"
"Jauh lebih sederhana: konflik satu lawan satu melawan pemimpi lain. Selesaikan musuhmu, dan kamu akan menang. Semestamu selamat." Sementara itu, musuhnya dan semesta lain akan menjadi tumbal.
"Si Fluffy ini akan mengantarku ke sana lagi?" tanya Anita.
"Tidak juga, karena kali ini-"
Mirabelle lenyap. Sepersekian detik sang dewi masih bicara, selanjutnya ia menghilang tanpa jejak. Tak ada pancaran cahaya, hembusan angin, atau pertunjukan kekuatan apapun yang menandakan ia berteleportasi. "Dewi?" tanya Anita, memeriksa sekeliling. Tapi Mirabelle tak ada di manapun.
"Ahahahaha!" suara tawa itu memancing Anita menoleh. Kuda-kuda bertarungnya terpasang melihat ada kembarannya duduk di puncak undakan.
Wujud makhluk itu hampir mirip dengan Anita, bahkan hingga ke detil pakaiannya. Hanya saja seluruh tubuhnya seperti meleleh. Matanya hanya rongga hitam menganga, yang meneteskan cairan gelap. Mulutnya membuka lebar seperti Chesire Cat dari kisah Alice in Wonderland.
"Akhirnya dia diam juga. Mungkin dia dihukum karena terlalu banyak berdialog dengan peserta?" gadis meleleh itu terkekeh lagi. Suaranya juga mirip dengan Anita.
"Kemampuan kamu berubah wujud, ya?" tanya Anita, curiga kalau ia berhadapan dengan pemimpi. Gadis itu mencoba mengisyaratkan agar Fluffy menyingkir, tapi sang domba malah melanjutkan menyantap karpet lagi.
"Berubah wujud, kekuatan super, regenerasi. Lucu juga, bukankah ini kekuatanmu?" sahut Anita Meleleh. "Tapi aku bukan lawanmu. Mau tahu kenapa?"
"Ya?"
Lubang mata Anita Meleleh membesar. "Karena-"
Untuk kali kedua percakapan Anita diinterupsi. Bila tadi Mirabelle lenyap mendadak, kini bumi bergetar keras sebelum Anita Meleleh sempat menyelesaikan kata-katanya. Fluffy buru-buru bergegas mendekati majikannya. Anita memeluk dombanya, siap melindungi bila gempa ini menyebabkan sisa langit-langit di atasnya runtuh.
Getaran berhenti. Segala sesuatu kembali ke normal. Anita melihat puncak undakan lagi untuk mencari Anita Meleleh, tapi sosok ganjil itu juga sudah lenyap.
Fluffy gemetaran di dekat Anita. "Tenang, Fluff. Tenang...." ia mengelus bulu lembut dombanya. "Tidak akan ada terjadi apa-apa. Saya ada di sini."
Tapi apa maksud gempa tadi? Anita menatap langit di belakangnya, hendak melihat apakah penyebabnya adalah makhluk raksasa bertentakel yang senantiasa di sana.
Makhluk yang Anita cari masih berdiam di tempat favoritnya. Tak ada indikasi kalau ia telah melakukan sesuatu.
Ada yang lebih menarik di kejauhan. Hamparan gurun gersang kini memiliki variasi. Ada deretan bangunan rendah yang secara ajaib berdiri di kejauhan. Bahkan ada juga pepohonan dan rerumputan yang tumbuh secara ajaib di sana. Rasanya seperti ada orang iseng yang mengangkat dataran itu dari suatu tempat, lalu seenaknya memindahkannya ke Bingkai Mimpi membosankan ini.
Kehendak.... geram Anita dalam hati.
"Tidak juga, karena kali ini-" itu kata-kata Mirabelle tadi. Anita menduga lanjutannya adalah, "Kali ini kamu bahkan tak perlu lintas dimensi. Musuhmu akan muncul bersama Bingkai Mimpinya ke tempat ini."
Bila mengorbankan dunia yang itu akan memberi waktu bagi dunianya untuk selamat... pilihan apa lagi yang Anita miliki?
"Kali ini kamu nggak hilang lagi ya?" tanya Anita ke Fluffy. "Mau ikut?"
Fluffy mengembik. Tak ada tanda-tanda kecerdasan seperti saat ia menyampaikan Anita telah memenangkan ronde di Bekasi.
"Oke, Fluff...." Anita melangkah. Fluffy benar-benar mengikuti. "Mari kita selesaikan ini secepatnya."
2
Song Sang Sing terduduk lesu di bangku panjang warung. Di hadapannya, orang-orang panik berlalu-lalang. Ada truk yang melintas cuek, tak peduli dengan kerumunan yang bisa saja tergilas. Walau riuh,
pemuda asal Korea itu dapat mendengar bisik-bisik cemas.
"Hape aku tak bisa menghubungi yang di luar kota! Hanya yang di Barus saja!"
"Saudara aku bilang jalanan keluar terpotong. Ada jurang nggak ada habisnya. Nggak tau itu kenapa."
"Laut terpotong katanya! Jangan ke pantai, sama saja yang di sana tak bisa ke mana-mana!"
"Tuhanku, ini ada apa sih?!"
Awalnya hanya ada Gang Sempit. Lalu muncul pasar dan segala isinya, lengkap dengan orang-orang yang biasa berjual-beli di sana. Saat Song kembali dari Negeri Tanpa Seni, hampir seluruh kota Barus sudah berpindah ke Alam Mimpi.
Mereka juga bukan sekedar proyeksi mimpi. Kepanikan mereka membuat Song sadar kalau mereka ini benar-benar nyata, warga kota Barus yang kini ikut terperangkap bersamanya di sini.
Kedua tangan Song menutupi wajahnya. Ia meninggalkan Eomma dan mendarat di Indonesia hanya untuk mencari gadisnya. Itu saja yang ia inginkan. Sekarang, sang gadis tak ditemui dan ia justru menyeret seluruh kota ke dalam mimpi buruk tak berujung. Dan bila ia takluk, maka ia, seluruh manusia di sekelilingnya, bahkan buminya, akan berubah menjadi diorama tak bergerak di Museum Semesta..
Setidaknya, itulah yang ia dengar dari kurator.
Song bahkan tak memahami kenapa ia bisa terlibat dalam "festival" mengerikan yang dimotori Zainurma dan kawan-kawan. Ya, bila ia menyanyi ia dapat menciptakan keajaiban. Tapi ia rasa bukan dia satu-satunya manusia di bumi yang bisa begitu. Mungkin di Seoul ada Oppa ganteng yang dapat mengalahkan Kehendak hanya dengan berpose.
Tetap saja dia yang terpilih untuk berlaga, dengan seluruh Barus sebagai taruhan. Siapa pun yang menyeretnya ke sini benar-benar punya selera humor yang aneh. Harapan Song hanyalah agar minimal Jilbab Putih sebenarnya tidak pernah berada di kota ini. Jadi, jika kehancuran akhirnya menyelimuti seluruh dunia dan bukan hanya Barus, gadis itu akan sirna tanpa menyadari telah terjadi sesuatu.
Aniyo.
Pasrah menerima kehancuran itu salah. Song sudah mulai dapat mengingat kekuatannya lagi. Kalau ia harus bertarung, asal musuhnya tak terlalu kuat, ia bisa melawan. Demi Jilbab Putih, demi orang-orang ini, ia tidak bisa hanya bermuram durja.
Domba milik Song mengembik.
"Benar, Domba." Song berdiri. "Mungkin aku biang dari masalah ini. Itu berarti aku seharusnya lebih bertanggung jawab!"
Bukan dengan mengakui kalau ia penyebab terpotongnya Barus dengan dunia nyata, tentunya. Antara kerumunan massa ini akan mengabaikannya, atau mereka mengeroyoknya hingga menjadi serpihan daging. Tapi ia minimal bisa membantu orang lain hingga tiba saatnya bertarung.
Melihat seorang ibu-ibu terjatuh, Song terdorong untuk menolong. Ia tidak melihat Domba menghadang jalannya.
Pemuda berambut cepak itu jatuh terjerembab. "Gimana sih, Domba?!" teriak Song. Pada dasarnya ia sudah senewen, sekarang dombanya sendiri bikin dia tersandung. Setidaknya si ibu sudah ditolong oleh orang lain untuk berdiri.
Domba tidak menjawab. Hewan itu justru terus melangkah, mengabaikan kerusuhan di sekelilingnya, ke satu arah.
"Domba? Mau apa kamu?!" seru Song. Tetap tak ada reaksi.
Song menelan ludah. Apakah Domba hendak membawanya menuju lawan? Ia tidak melakukan itu di Negeri Tanpa Seni, tapi biar bagaimanapun kan makhluk itu pemberian para kurator....
Song berlari kecil. Sesekali kata maaf terucap dari mulutnya saat ia membentur seseorang. Tapi tak peduli berapa banyak orang yang ia senggol dan tabrak, Song tidak berhenti. Terus ia mengikuti Domba. Deretan lirik lagu bergulir silih berganti di otak, siap digunakan bila dibutuhkan.
Kening Song berkerut. Domba masuk ke sebuah toko yang seharusnya tidak ada. Ya, Song sangat yakin. Ia sudah lama menggotong ikan asin di pasar ini. Tak pernah sekalipun ia berpapasan dengan bangunan di hadapannya. Seharusnya itu adalah tempatnya Abah Tegar jualan telur dan kebutuhan dapur.
Toko Abah digantikan oleh toko musik. Di atasnya tertempel besar-besar papan penuh lampu neon bertuliskan "Toko CD Selera Mafia."
Walau papan namanya sangat norak, bangunan kecil bercat warna krem itu memiliki interior yang bagus. Dari luar saja dapat terlihat lantai kayunya yang licin, koleksi CD yang terkemas rapi dan bukannya sekedar dibungkus plastik murah, hingga pajangan antik seperti gramofon.
Di pusat ruangan, ada satu kursi malas berukuran besar. Song dapat melihat tangan seseorang bersandar di kedua sandaran lengan.
Kursi itu diposisikan menghadap sistem suara yang sangat lengkap. Hentakan musiknya kuat, hingga suaranya dapat merembes keluar. Bahkan pintu toko saja sampai ikut berguncang. Tetap saja Song tak dapat mendengarnya karena keriuhan di sekelilingnya lebih parah.
Saat Song hendak memutuskan meninggalkan toko itu, Domba justru mendorong pintu dan masuk sendiri.
"Heh, Domba!" panggil Song. Domba tak menggubris.
Kengototan Domba memasuki tempat itu membuat Song kian cemas. Apalagi saat ia menyadari betapa tidak normalnya seseorang mendengarkan musik seorang diri di tengah suasana kalut. Yakinlah ia kalau yang ada di dalam itu lawannya.
Song mendorong pintu, ikut menyusul Domba. Ternyata lagu yang memenuhi ruangan adalah Speak Softly Love, lagu temanya film Godfather. Lagu yang begitu global hingga bisa dinyanyikan oleh abang-abang di pasar hingga eksekutif di klub karaoke Seoul.
Ia disambut oleh pendengar musik. "Ah, si koleksi impor dari Korea." Pria itu berdiri, memperlihatkan sosoknya.
"Kamu... yang di Museum!" seru Song.
"Ya, aku yang di Museum. Halo, Song Sang Sing. Namamu masih konyol, seperti biasanya," sapa Zainurma.
Belum lama waktu berlalu sejak Song berjumpa dengan pria ini terakhir kali. Masih segar Song mengingat detil presentasi akan konsekuensi yang akan terjadi bila ia kalah. Dan sekarang si pria berpakaian mafia ini justru kembali berdiri di depannya.
Masa dia lawanku?!
"Pernah dengar lagu ini, Song?" Zainurma menekan remot. Speak Softly Love terhenti tepat sebelum memasuki lengkingan terakhir Andy Williams.
Lagu baru ini dimulai dengan suara mirip lonceng. Musik latarnya mencekam. Saat vokalis wanita akhirnya membuka suara, Song tanpa sadar menahan nafas.
"Yasra manaf...."
"....innna Ar Ciel...."
"Anak-anakku yang tersayang. Kalau tidak salah, itu arti bagian ini," Zainurma menyempatkan diri memberi komentar.
Setelah pembukaan itu, nuansa musik tidak membaik. Justru lagu ini terdengar semakin mengancam.
"Fou reveris, rifaien," vokalis mengulang beberapa kali. "Mimpi buruk bangkit kembali," Zainurma menerangkan. "Atau semacam itulah. Pilihan bahasanya ini benar-benar aneh."
Kemudian vokalis mendengung. Tidak, dia bukan sekedar mendengung. Dia mengucapkan satu kata asing. Terdengar seperti rha. Dan ada beberapa lagi yang saling berbisik.
Lalu datang suara statik keras, membuat Song menutup telinga. Sempat ia mengira pemutar musik milik Zainurma rusak. Tapi musik kembali mengalun setelahnya, masih terdengar menghentak. Iramanya penuh dengan kemarahan.
"Rrha k iga chs cause mea. Rrha i ga dople en gott denera. Rrha k iga chs fayra mea nozess yora omnis."
Song tentunya tak mengetahui bahasa apa sebenarnya yang ia dengar. Tetap ia dapat memahami gejolak emosi dalam setiap lirik.
"Aku akan menjadi kutukan yang mengusir kejahatan. Aku akan menjadi api yang membakarmu hingga tak bersisa," Zainurma melanjutkan memberi translasi.
"Ini lagu apa?" tanya Song. Kalau saja ia mendengarnya tanpa memahami liriknya, ia hanya akan menganggap ini sebagai lagu modern yang tak bisa ia pahami. Lirik yang Zainurma sampaikan bisa mengganggunya, membuatnya merasa ada pesan tersembunyi di sini.
"Oh, sebenarnya ini lagu game dari semesta lain." Zainurma terkekeh. "Judulnya... aku lupa judulnya. Tapi isinya bagus. Kemarahan Ibu Bumi sendiri terhadap kerusakan yang diciptakan manusia. Mantra tadi, yang rrha k iga chs itu? itu adalah hasrat Bumi untuk memusnahkan anak-anaknya sendiri."
Song merasa semakin tidak nyaman, terutama saat ia mulai memahami emosi yang dikandung liriknya. Zainurma masih sesekali dengan iseng menyampaikan bagian-bagian paling menarik. Seperti yang pria berpakaian mafia itu katakan, ini adalah lagu tema dari pembalasan Bumi itu sendiri. Bumi menyayangi manusia, namun – walau ia ragu – ia memutuskan untuk membalas mereka.
"Apa ini ejekan untuk kami?" tanya Song. "Apa kau ingin mengatakan kalau dunia ini akan hancur karena Ibu Bumi menghendaki demikian?"
"Ah tidak." Zainurma mengecilkan musik. "Sebaliknya, lagu ini bisa menyelamatkan potongan bumimu yang kecil ini. Juga bumimu di luar sana, yang akan ikut terpengaruh kalau kamu kalah."
"Hah?"
"Aku tahu kemampuanmu, Song Sang Sing." Zainurma memunculkan sebuah buku tipis berukuran A5. "Tertulis jelas-jelas di katalog. Kamu adalah seorang penyanyi, dengan efek suara yang menarik. Sementara ini? Ini adalah lagu seram untuk membangun mood sebelum pertempuran terakhir."
"Kalau orang biasa mencoba menyanyikan lagu ini di karaoke sih tak akan terjadi apa-apa. Sama saja kalau ada penyanyi awam yang mencoba menyanyikannya," lanjut Zainurma, setelah membiarkan lagunya bergulir sebentar. "Tapi kalau kamu? Kurasa kalau kamu menyanyikannya dengan sistem suara yang tepat, kamu bisa menyakiti seseorang."
Mata Song membelalak. "Ini... Paman membantu aku?"
"Heh. Bisa dibilang begitu. Dan karena Kehendak tidak melakukan apa-apa, kurasa aku diizinkan."
"Tapi kenapa?"
"Bagiku kamu bukan siapa-siapa, Song Sang Sing. Hanya calon koleksi abadi dari Museum Semesta." Zainurma tersenyum tajam. "Bahkan seharusnya kau tidak ikut ke dalam pesta raya. Aku tidak menginginkanmu. Huban tidak menginginkanmu. Mirabelle jelas tidak menginginkanmu."
Song tertegun. "Lalu-"
"Kamu adalah salah satu korban sadis Kehendak. Orang yang ia masukkan ke dalam pesta hanya untuk dipermalukan. Dan sekarang...." senyum Zainurma menjadi seringai. "Di ronde ini kamu akan berhadapan dengan monster, Bocah Korea. Salah satu makhluk terkuat di pesta. Sama sepertimu, dia juga awalnya tidak diundang. Tapi yang seperti ini sih jauh lebih wajar berdansa di sini ketimbang kamu."
Song merasa kakinya mendadak menjadi jeli. Saat salah satu panitia mengatakan itu dengan begitu lugas, apa lagi yang bisa ia katakan? Ia benar-benar hanya tukang angkut ikan asin yang dikerjai kekuatan yang di luar imajinasi. Kalau ia saja yang kena imbasnya sih tak apa. Kerusuhan di belakangnya itu adalah bukti bahwa keisengan Kehendak akan menelan korban lebih banyak.
Zainurma terbahak. Walau Song ingin marah, pengungkapan atas alasannya berada di sini membuatnya terlalu goyah untuk melakukan apapun. Ia hanya bisa berjalan mundur hingga punggungnya menemukan pintu kaca. Tubuhnya turun perlahan sampai bokongnya menyentuh permukaan lantai.
Domba mendekati dan menjilat wajahnya, mencoba menghibur.
"Selalu menyebalkan saat manusia dipermainkan oleh makhluk di luar kehendak mereka," ujar Zainurma setelah berhenti tertawa. "Tapi manusia memiliki sesuatu yang lebih bila dibandingkan dengan para monster dan para dewa, bukan begitu Song Sang Sing?"
"Aku... aku tidak...."
"Saat monster atau dewa ini hanya berwujud kisah, kita mungkin hanya akan mengangguk-angguk menyetujui betapa seramnya mereka. Lain halnya saat mereka benar-benar memiliki wujud dan membuat masalah dengan kita." Urat kening Zainurma menegang. "Di saat itulah kita akan melakukan apapun untuk memastikan mereka menyesal telah meremehkan kita."
"Apa aku bisa melakukan itu?"
"Entah. Mungkin tidak. Kamu kan cuma bocah apes," sindir Zainurma tanpa peduli perasaan Song. "Tapi aku percaya pada kekuatan manusia, Song Sang Sing." Ia melangkah ke pintu. "Aku sudah memberimu sedikit bantuan. Kalau kamu bisa mengalahkan ancaman ini, kita akan berjumpa lagi."
"A-ancaman ini seperti apa? Bagaimana wujud monster ini?"
"Kalau kamu melihatnya, kamu akan tahu. Tapi kamu harus cepat. Dia bukan satu-satunya ancamanmu."
Zainurma lenyap tak berbekas, meninggalkan Song dan Domba di toko musik. Lagu kemarahan Ibu Bumi masih terputar terus-menerus, memenuhi telinga Song yang telah menghafal liriknya.
Song mengambil CD berisi lagu itu. Masih terasa aneh, mendapat bantuan dari panitia. Tetap saja ia tak akan menolaknya. Masalahnya hanya apa yang harus ia lakukan sekarang? Mencari lawannya, memancingnya ke sini, lalu bernyanyi? Memang ada mikrofon segel yang bisa digunakan di meja konter.
Bumi berguncang hebat. Domba bergerak kalang-gas, kebingungan. "Sini Domba!" seru Song, menyeret hewan pemberian para kurator itu ke bawah meja kasir. Gangguan apa lagi ini. Seakan belum cukup saja kotanya ditelan oleh Alam Mimpi, sekarang ada tambahan gempa hebat pula.
Gempa itu hanya berlangsung sepuluh detik. Saat getaran reda, tak ada efeknya yang tersisa. Bangunan masih berdiri, lantai, dinding, dan atap masih utuh, bahkan segala perabotan masih di tempat.
Song belum merasa lega. Ia melangkah keluar, ingin memastikan bahwa tak terjadi apa-apa.
Pasar sudah lebih sepi dari sebelumnya, yang tersisa hanya tinggal puluhan orang saja. Puluhan orang itu kini mendongak, menatap tak percaya ke arah langit di barat. "Masya Allah," salah satu dari mereka mengucap.
"Masya Allah," Song latah membeo. Ada mata raksasa mengintip dari balik awan, yang warnanya berubah menjadi kehijauan. Tentakel-tentakel raksasa menggeliat, seperti ingin mencaplok orang-orang di permukaan tanah.
Biasanya melihat gurita akan membuat perut Song lapar. Saat ini perutnya justru melilit dijerat takut.
3
Anita frustrasi saat mendapati potongan kota yang hadir di Bingkai Mimpi ternyata berpenghuni. Ada kerumunan orang berdiri di depan papan selamat datang, berdekatan dengan barisan truk dan mobil. Perhatian mereka awalnya terarah ke makhluk tentakel di langit. Saat Anita datang, orang-orang itu melempar sorot curiga dan ketakutan kepadanya juga.
Mereka semua akan terkena imbas aksiku. Walau hanya sementara, orang-orang ini akan musnah, pikirnya.
Tanpa suara, ia melewati mereka semua. Ia tak berkenan berinteraksi dengan orang-orang yang kemungkinan akan membeku karena dirinya. Matanya, baik yang terpampang di wajah hingga yang sembunyi-sembunyi menampakkan diri di pundak dan mata, mengamati seluruh sosok di sampingnya. Ia tak merasakan satu pun manusia di sekelilingnya memiliki kekuatan super.
"Hoi, kamu!" seorang supir truk berseru ke Anita. "Ya, kamu, yang cewek! Kamu datang dari sana?!" ia menuding gurun tandus.
Anita ingin melanjutkan berlalu. Nuraninya tak mengizinkan. "Benar."
"Apa... apa masih ada kota lain di sana?"
"Tidak ada," gadis itu menggeleng. "Yang ada di sana hanya gurun tak berujung. Akan lebih baik kalau untuk sementara bapak-bapak kembali ke rumah masing-masing dulu."
Mulai ada yang menangis putus asa.
"Apa tidak ada yang bisa kami lakukan?" tanya bapak-bapak berkaus polo garis-garis. "Apa yang terjadi ke kota kami ini, Nona? Apakah dunia sudah kiamat?"
Memang. "Saya juga tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas dunia belum kiamat. Saya harap bapak-bapak dan ibu-ibu bisa tenang dulu."
"Kalau gitu kau mau apa?!" seorang pria berkaus kutang mendekati Anita, diikuti teman-temannya yang berwajah seram dan bertubuh besar. "Kau jelas bukan orang sini! Ngapain masuk-masuk ke kota kami!"
"Tenang, Tuan. Rumah saya memang ada di gurun situ. Saya hanya ingin menyelidiki kenapa kota ini bisa pindah ke sini." Jawaban Anita hanya mengundang lebih banyak pertanyaan. Sebetulnya dia itu siapa? Ini gurun apa, datang dari mana? Makhluk tentakel di langit itu apa? Kenapa ia terus tersenyum meski situasinya begini? Jangankan menjawab satu pun, sebelum Anita bersuara saja gadis itu sudah dirubung hingga tak bisa jalan.
Seseorang menjerit, membuat pertanyaan terhenti dan kerumunan berpaling. Merasa ada yang butuh pertolongan, Anita bergegas maju. Ia antara mendorong orang-orang di depannya, atau tubuhnya melunak membiarkan ia menyelinap.
Lebih banyak jeritan. Ada juga yang tertawa terbahak. Anita memanjat truk pengangkut pasir agar lebih mudah mengamati situasi di sekelilingnya dan yang didapatinya membuatnya kian khawatir. Orang-orang di sekelilingnya sepeti kehilangan akal mendadak. Semakin banyak saja yang menjerit tanpa alasan. Ada juga yang menangis, tertawa. Wabah kegilaan ini pun seperti menular.
"Semuanya!" Anita berteriak begitu lantang, hingga semua orang di sekelilingnya bisa mendengar. "Yang masih bisa memahami saya, cepat pergi! Sekarang! Jangan melihat makhluk di langit lagi!"
Sontak, kerumunan itu akhirnya berhamburan pergi. Sebagian bahkan menyeret serta kerabat atau sahabat mereka yang "kerasukan." Anita mendongak ke langit, mengutuki dirinya sendiri karena tak menyadari makhluk seperti itu selalu akan menyakiti otak manusia biasa.
Tapi sepertinya bukan makhluk di langit alasannya. Anita melihat hembusan gas hitam dari permukaan tanah, semakin lama semakin kuat. Dari awalnya tak terlihat, kumpulan gas itu sampai seperti menjadi gas yang menyelimuti sekeliling.
Ada dua sosok keluar dari gas. Awalnya Anita ingin menolong, mengira mereka salah satu penduduk potongan wilayah ini. Ia berhenti begitu melihat keduanya bahkan bukan manusia. Yang satu adalah makhluk aneh bertangan empat dan berkepala dua. Satu kepala perempuan berjilbab, satunya lagi kepala laki-laki berambut pendek. Keduanya menyeringai.
Satu sosok lagi adalah Sharif Khoirudin. Pria berkepala cepak dengan janggut lebat itu masih mengenakan setelan serba hitam, seperti saat ia menghadapi Anita. Ia juga menyeringai.
Anita melolong murka. Ia meluncurkan diri ke ayahnya dengan tinju terangkat. Kalau makhluk jahat itu memang ingin dicabik berkali-kali, ia akan mematuhi kehendaknya.
Tubuh Anita tak mengenai apapun. Saat tinjunya mengenai wajah Sharif, sosok itu memudar menjadi asap. Hal yang sama terjadi saat ia memukul Kepala Dua.
Sharif muncul kembali, demikian pula dengan Kepala Dua. Kali ini jumlah mereka juga bertambah hingga belasan, semuanya menghadap Anita dan menyeringai. Tubuh mereka berguncang-guncang sedikit, seakan ada sesuatu dari dalam yang hendak keluar.
Kalau Sharif dan Kepala Dua pertama yang ia hajar hanya lenyap, maka tak ada gunanya mencoba menyerang mereka semua. Anita menduga mereka semua hanya proyeksi, diciptakan oleh lawan sejatinya di ronde ini. Ia membuka banyak pengelihatan, penciuman, dan pendengaran sekaligus untuk menemukan siapa biang kerok di balik gas hitam ini.
Saat ia melakukan itu, gas hitam perlahan meluas. Orang-orang yang masih ada di jangkauannya ikut-ikutan mengalami histeria. Itu hanya membuat Anita kian gatal untuk menghajar dalang di balik makhluk ini, tapi ia tak dapat merasakan apa-apa....
Fluffy menggigit bagian belakang mantel Anita, mencari perhatian. "Ada apa, Fluff?"
"Bukan mereka musuhmu kali ini," dombanya kembali berbicara, kali ini dengan suara perempuan yang terdengar digital.
"Lalu mereka ini apa?!"
"Mimpi buruk. Mereka adalah batas waktu pertarungan ini. Saat mereka menelan segalanya, maka Bingkai Mimpimu dan juga kota ini akan hancur sepenuhnya ditelan kegelapan."
Batas waktu? Batas waktu?! Kehendak dan para kroninya memasukkan beginian juga ke pertarungan kali ini?! Wajah Anita berkedut-kedut, menahan amarah.
"Jadi musuhku di mana?"
Fluffy tak lagi bicara, tapi domba itu mulai bergerak ke satu arah. Gerakannya awalnya sudah cepat. Lalu dua tentakel menyeruak muncul dari sisi tubuhnya, menjadi kaki pembantu yang membuatnya bergerak dua kali lipat lebih kencang.
"Fluff!" seru Anita. Ia melihat lagi orang-orang histeris di sekelilingnya, yang dibiarkan begitu saja, tanpa ada yang dapat menyelamatkan.
"Dombamu lagi menunjukkan jalan tuh." Anita Meleleh kembali menampakkan diri, duduk di atas truk yang baru saja dipanjat Anita tadi. Makhluk itu menyeringai dengan kepala miring. "Untuk apa buang-buang waktu menolong orang-orang yang nantinya juga akan hancur?"
"Berisik!" geram Anita. Ia masih takut bertransformasi menjadi orang lain, setelah upayanya sebelumnya menyebabkan kehancuran total di Little Italy. Tapi sejak tadi tubuhnya tak menunjukkan masalah dengan transformasi sebagian....
Delapan tentakel menyeruak dari punggung Anita. Masing-masing memungut korban Mimpi Buruk di sekelilingnya. Tentakel itu lalu membentuk cabang lain, yang menyelamatkan lebih banyak orang. Baru saat ia yakin semuanya sudah ia amankan, ia melanjutkan berlari memasuki kota ini lebih dalam. Saat itu, gas Mimpi Buruk juga telah membesar.
Fluffy berhenti lima ratus meter di depan, seperti menunggu Anita. Saat majikannya kembali bergerak, domba itu pun kembali berlari.
4
Song menjerit, mencurahkan seluruh rasa takut dan murka untuk melindungi orang-orang di pasar. Suaranya membuyarkan kumpulan Kepala Dua yang bergerak membawa gas gelap. Tapi serangannya itu hanya berguna sesaat. Para Kepala Dua sudah menampakkan diri lagi, dengan gas yang kian tebal.
"Semuanya, lari!" perintah Song. Kenalan-kenalannya yang masih tersisa di area pasar membantu dengan menuntun kerumunan menjauh. Beberapa yang terlalu dekat ke Kepala Dua atau gas tak bisa seberuntung itu. Mereka jatuh berlutut dan tertawa, menangis, menggigil.
Song menyanyikan lagu Nina Bobo. Suara merdunya melantun lembut, terdengar di telinga mereka yang sedang kalut. Cara ia membawakan lagu klasik tersebut membuat mereka yang sedang kalut kembali tenang. Jangankan mereka, yang belum terpengaruh gas hitam saja ikut lemas.
Song menyeret korban-korban gas menjauh. Ia dibantu sejumlah pemuda, hingga tak ada lagi yang berada dalam bahaya langsung. Tinggal secepatnya menjauh dari sini.
"Jangan ada yang dekat-dekat ke gas itu!" Song memberi peringatan.
"Kau tak usah bilang juga kami tahu, Song! Cuma gas itu muncul di mana-mana, kami tak tahu harus lari ke mana!" balas bapak-bapak berkumis, berperut buncit.
"Untuk sekarang coba kau bawa mereka ke gudang beras dulu! Tadi dengar-dengar sih di sana masih aman!"
"Tapi sampai kapan di sana aman?"
Terengah, Song menatap gas hitam yang menyebar perlahan. Tangannya terkepal begitu melihat lagi sejumlah makhluk kembar siam yang mendekam di sana. "Kuharap sih sampai masalah ini kelar."
"Nah, kapan masalahnya kelar?!"
Saat Song menjatuhkan musuhnya di ronde ini. Begitulah yang disampaikan Domba saat ia berbicara.
Domba juga sudah memberi tahu apa gas hitam itu. Mimpi Buruk. Terakhir kali Song terlelap di Bingkai Mimpi, ia mendapat mimpi buruk. Di sana ia melihat Jilbab Putih yang ia cari-cari telah menikah dengan Zi, sahabatnya dulu. Mimpi itu membuatnya kesal dan sedih, menanamkan benih keraguan kalau segala usahanya akan sia-sia.
Sekarang mimpi buruk itu mewujud dengan cara yang lebih parah. Zi dan Jilbab Putih bergabung menjadi satu tubuh, menyebarkan gas hitam terkutuk. Mereka juga tak terkalahkan. Song sudah membuktikannya sendiri tadi. Bagai waktu, mereka akan bergerak tanpa ampun, maju tak terhentikan hingga segalanya berakhir.
Domba melesat tanpa diperintah. Song sempat ragu, merasa masih ada yang butuh pertolongan. Hanya saja, terakhir kali Domba bergerak atas inisiatif sendiri, hewan itu membawanya ke Zainurma. Mungkin kali ini ia juga ingin menuntunnya ke sosok penting, antara bantuan atau lawan.
"Hoi Song, kau mau ke mana?! Kami masih butuh bantuan kau!" bapak-bapak berkumis tadi berteriak.
"Sebentar, Pak! Ada yang harus aku urus!"
"Nanti sajalah, Song! Song!!!" Pak Kumis berteriak lebih keras, tak tahu kalau urusan yang wajib ditangani Song justru adalah kunci mengakhiri semua ini.
Domba membawa Song hingga keluar dari area pasar, menuju jalan raya yang kini kosong melompong. Terengah, Song berhenti berlari. Hewan peliharaannya telah berhenti. Matanya menatap bodoh ke arah kanan, jadi Song ikut melihat ke sana.
Ada domba lain melangkah di sisi jalan. Bentuknya mirip dengan Domba, cuma yang ini bergerak dengan bantuan empat tentakel hitam dari sisi tubuh, membuatnya terlihat seperti gabungan ngawur domba-gurita.
Di sisi domba-gurita, melangkah seorang aktris sinetron. Clarissa Damayanti namanya. Dulu pernah main di sinetron "Azab Ayah Durhaka," "Anak Selokan," hingga "Badriyah Jadi Astronot."
B-Bukan....
Song merinding. Tenggorokannya mendadak kering. Hawa dingin datang menyelimuti seluruh tubuh. Clarissa Damayanti sekarang sudah menikah dan punya anak. Yang mendekatinya ini adalah wujud Clarissa Damayanti dari tahun 2013.
Tak hanya itu, semakin diperhatikan, semakin Clarissa Damayanti ini terlihat aneh. Kulit wajahnya terlalu mulus, hingga jadi lebih mirip tekstur manekin ketimbang manusia. Caranya bergerak terlalu kaku. Rambutnya tak ikut bergerak dengan tubuh. Bahkan mata cokelat kehitaman gadis cantik itu tak berkedip sama sekali.
Kedua bola mata yang tak berkedip itu juga tak menunjukkan emosi maupun sorot kehidupan. Pernah melihat mata boneka? Kesan seperti itu yang kini dipikirkan oleh Song. Ia merasa sedang melihat mata kaca yang ditempelkan begitu saja ke rongga Clarrisa.
"Nama saya Anita Mardiani. Seorang pemimpi," gadis itu berbicara. "Kalau dilihat dari dombamu, begitu pula denganmu, bukan?"
Oh tidak, tidak, tidak....
Song bergidik. Mendadak sekali ia berjumpa dengan lawannya. Tak bisakah ia bisa melakukan sesuatu? Mungkin... ya, ia bisa menenangkan lawannya ini sebelum bertarung!
[Serenade]
Kaki Song membawa tubuhnya mundur sedikit. Matanya tetap melihat wajah Anita, yang cantik sekaligus aneh. Song memiliki kemampuan telepati minor yang membuatnya dapat membongkar kenangan seseorang tentang musik. Sifatnya sangat terbatas, tapi cukup untuk dapat menolongnya keluar dari berbagai situasi.
Lagu pertama yang memasuki kepala Song adalah New World Coming dari Nina Simone. Bukan, dia... dia benci lagu itu, batin Song. Judul-judul lain berdatangan terus-menerus, memenuhi kepala Song.
Ini tidak normal, pikir Song, memegangi kepalanya yang jadi sakit. Sosok di hadapannya memunculkan begitu banyak lagu sekaligus. Rasanya seperti sedang berdiri di depan kerumunan, masing-masing meminta diberi nyanyian berbeda.
Anita maju. Song membuka mulut, hendak menyanyikan Country Road. Tinju di perutnya memastikan ia tak dapat melakukan itu. Tenaga di kakinya lenyap, membuatnya berlutut. Jangankan bernyanyi, ia bahkan tak dapat menyuarakan sakitnya.
Domba mengembik keras, hendak menolong Song. Domba Anita menjulurkan tentakelnya, membelit hewan itu sebelum ia sempat melakukan apapun.
Anita menindih Song. Song meringis pedih. Berat sekali gadis cantik itu. Rasanya seperti ditindih oleh pesumo, bukan seseorang dengan penampilan aktris.
Tangan Anita siap meninju. Song memejamkan mata. Dengan suara sangat lirih ia menyanyikan lagu pertama yang bisa ia pikirkan. "You would never ask me why... my heart is so disguised...."
"Kamu ngapain?" Anita bertanya. Song tidak yakin lagu ini bisa benar-benar mengenai targetnya, tapi setidaknya gadis berat itu berhenti bergerak.
"I just can't live a lie... anymore...."
"Kamu reverier, kan? Kalau begitu lawan saya!" teriak Anita. "Kamu sudah tahu pertaruhan duel ini kan?"
"I would rather hurt myself... than to ever make you cry...." ini adalah perlawanan. Anita mungkin tak menyadarinya, tapi ini adalah bentuk terakhir perlawanan yang bisa dilakukan Song.
"Dunia ini akan berakhir kalau kamu tidak melakukan apa-apa! Apa kamu tidak punya senjata tersembunyi?! Jurus tembakan api?!"
Tidak, ia tidak memiliki semua itu. Yang ia punya hanya suara. Kalau dunia ini akan berakhir, kalau ia akan tamat, setidaknya Song masih bisa bernyanyi. Lagu galau yang jauh lebih baik ketimbang lagu kehancuran pemberian Zainurma.
5
Anita Meleleh menampakkan diri lagi di belakang Anita. "Bagus. Kemenangan mudah. Selesaikan dia, dan kamu bisa lanjut."
"Diam kamu, Setan!" bentak Anita.
"Ouch, jahat banget ejekan kamu!" Anita Meleleh terbahak, meneteskan lendir hitam dari mulutnya. "Terus kamu mau apa? Ngalah? Membiarkan saja seluruh duniamu ditelan? Keraguanmu ini akan menguntungkan siapa?"
Menguntungkan si pemuda berciri fisik Asia Timur yang suka bernyanyi itu.
Anita Meleleh merentangkan lengannya. "Mungkin kamu kira ini juga duniamu. Tapi ini bukan. Kamu sudah menyadarinya. Sama seperti Bekasi yang kamu kunjungi, ini hanya dunia yang mirip. Tapi ini dunia alternatif. Biarkan dunia ini hancur, agar kamu bisa kembali pulang!"
Anita juga sudah bertekad melakukan itu sejak tadi. Kalau saja musuh-musuhnya seperti para gangster di Little Italy, yang terus berjuang hingga titik darah penghabisan, mungkin ia sudah menyelesaikan pertarungan ini sejak tadi. Hanya butuh satu sentuhan untuk membuat kepala pemuda yang ia tindih menjadi daging cincang.
Tapi apapun alasannya, melawan musuh yang bahkan tidak bisa melawan benar-benar bukan sesuatu yang seru. Ia... akan menemukan cara lain.
Anita menurunkan lengannya. "Tolong setidaknya jawab. Kamu reverier, kan?"
"Y... ya, nama saya Song Sang Sing. Kehendak memaksa saya ikut pertarungan gila ini meski saya bukan petarung. Ampuni saya."
Kehendak lagi, kehendak lagi. Anita berdiri dan menawarkan tangannya untuk membantu Song berdiri.
"Idiot," ejek Anita Meleleh.
"Pergi sana, brengsek!" umpat Anita.
"A-aku pergi?" Song tidak mengerti.
"Bukan, bukan. Saya bicara ke makhluk sialan di sana!" Anita menunjuk ke belakangnya.
"Tapi tidak ada apa-apa di sana."
Tidak mungkin, Anita Meleleh masih berdiri tepat di sana. Memang kemudian ia sirna, tapi saat Song mengucapkan itu Anita masih dapat melihat versi buruknya. Sekarang makhluk itu tak terlihat di manapun.
"Nona Anita tidak apa-apa?" tanya Song sopan.
Anita tidak bisa menjawab. Kalau memang Anita Meleleh hanya ilusi, ia tidak tahu bagaimana makhluk itu bisa tercipta. Sebagai shoggoth, seharusnya ia bebas dari segala macam penyakit. Termasuk penyakit mental.
***
Anita dan Song duduk bersebelahan di atas pagar batu. Di kejauhan mereka melihat gas hitam menyelimuti wilayah sawah. Untung sudah tidak ada siapa-siapa di sana.
"Siapa yang kau lihat di sana, Nona Anita?" Song menunjuk.
"Musuh lama saya," Anita menjawab. Sharif masih ada di gas, menyeringai seperti Anita Meleleh. "Dan satu makhluk kembar siam."
"Ternyata Nona melihatnya juga? Yang kembar siam itu dari mimpi buruk aku. Satunya sahabat aku dulu, satunya gadis yang aku cintai."
"Wah. Kamu pasti jengkel. Setidaknya yang saya lihat orang yang saya benci."
"Begitulah," sahut Song. "Jadi, bapak-bapak cepak ini dari mimpi buruk Nona Anita?"
"Benar."
Rupanya Song memang bisa melihat proyeksi di gas. Anita semakin bingung kenapa pemuda itu tak bisa melihat Anita meleleh. Setelah ia merenungkannya sejenak, ia juga teringat Fluffy tak pernah bereaksi terhadap makhluk itu.
Ngomong-ngomong soal Fluffy, sekarang makhluk itu sedang berada di sawah. Tentakelnya membelai bulu domba milik Song. Itu hanya membuat domba Song bergidik ngeri.
Awalnya Anita mengira tentakel dari tubuh Fluffy merupakan pertanda si domba kerasukan kekuatan dari alam lain. Sepertinya tidak. Dombanya itu sehat, ia hanya mengalami perubahan internal, mengikuti majikannya. Anita tidak tahu harus sedih atau senang bila dugaannya itu benar. Bisa-bisa nantinya ia akan ditemani shoggoth mini, bukan domba.
"Gas itu terus menyebar," komentar Song. "Apa yang harus kita lakukan, Nona Anita?"
"Bertarung, sebenarnya. Tapi saya tidak ingin melawanmu."
"Aku juga tidak ingin bertarung. Pasti ada cara lain, kan?"
"Semoga. Saya sedang memikirkannya."
Memikirkan apa? Sejak awal, ia bukan tipe pemikir. Banyak yang bilang Anita adalah tukang pukul Asosiasi Penyihir, dan itu tepat. Ia akan mendatangi hantu-hantu bandel, iblis dengan korban jiwa terlalu besar, dan sejenisnya, lalu memukuli mereka.
Kalau soal investigasi, ia harus mengandalkan gurunya. Dia juga hanya bisa mengandalkan otak gurunya untuk bisa keluar dari situasi yang tak bisa dimenangkan, seperti sekarang.
"Boleh saya bertanya?" Song berkata.
"Ya?"
"Kenapa Nona tersenyum terus?"
"Uh...." masalah ini lagi. Anita terpaksa berbohong sedikit. "Otot wajah saya bermasalah. Jadi yang namanya berekspresi itu tidak bisa semudah kamu. Sehari-harinya saya memasang ekspresi tersenyum karena saya tidak ingin menyinggung orang." Raut wajah Anita bergerak menjadi sedih. "Ini adalah ekspresi saya yang sekarang."
"O-oh. Maaf, aku tak tahu. Tadinya kukira Nona itu petarung sadis yang tersenyum karena senang mendapat lawan lemah."
"Hanya orang rendahan yang senang mengerjai yang lebih lemah. Kehendak itu contohnya."
Song tertawa. "Benar. Benar sekali. Tapi Nona kuat. Kalau...." tangan Song mencengkeram pagar yang didudukinya dengan kuat. "Kalau saya menyerah di sini, Nona bisa mengalahkan Kehendak, bukan?"
"Jangan ungkit topik seperti itu dulu. Kita... kita pasti bisa lolos dari sini tanpa masalah." Kalau memang ada cara seperti itu, seharusnya ia sudah bergerak, bukannya duduk di sini menanti Mimpi Buruk menelan segalanya.
Anita dan Song terdiam. Sementara itu gas di depan mereka kian mendekat, bersama dengan dua sosok mimpi buruk.
"Lagu apa yang Nona suka?"
"Kenapa tiba-tiba?"
"Aku lihat Nona bingung. Aku pun bingung. Kalau aku bingung, aku bernyanyi biar benakku tak kusut. Tapi kalau Nona tidak mau...."
"Yah, kita memang sedang stuck sih." New World Coming jelas bukan pilihan. Anita bisa membunuh Song bila itu pilihan lagunya. Jadi, ia menyebutkan lagu kesukaan Hariadi. "Negeri di Awan-nya Katon tahu?"
"Ah, Negeri di Awan. Ya, aku tahu itu."
"Nyanyikan itu, Song. Versi singkatnya saja. Setelah itu, kita akan mulai bergerak."
Song berdehem sejenak. [Memoria], pikir sang penyanyi.
Saat akhirnya pemuda ramah itu menyanyi, Anita tertegun. Ia pernah mendengar banyak penyanyi, tapi yang tengah berada di sampingnya ini berbeda. Song terasa memahami betul emosi yang ingin disajikan oleh pengarang lagu. Suaranya juga memiliki kekuatan tersendiri, menghanyutkan dan membuai Anita.
Tiba-tiba, rasa takut dan gundahnya memudar. Bahkan pemandangan sekelilingnya ikut terurai. Anita dan Song berpindah dari sawah di kota Barus dan mendarat di sebuah ruangan besar. Hariadi duduk di sana, membelai gumpalan hitam setinggi dua meter. Pensiunan polisi itu ikut menyanyikan lagu ini.
Setiap Hariadi mengunjunginya di masa perawatan, ayah angkat kedua Anita itu akan duduk dan bernyanyi. Dari semua lagu pilihannya, Negeri di Awan adalah favorit pribadi Anita. Mungkin karena pilihan lain Hariadi adalah lagu patriot seperti Maju Tak Gentar. Dasar kakek-kakek.
"Kau mainkan untukku, sebuah lagu, tentang negeri di awan. Di mana kedamaian menjadi istananya...."
"Dan kini tengah kau bawa aku menuju ke sana...."
Mata Anita membuka dari pundak kanannya. Anita Meleleh kembali muncul, tepat di sisinya. Ia turut bernyanyi.
"Kok heran? Aku juga suka lagu ini," Anita Meleleh menyampaikan. "Tapi kenanganmu yang terhubung dengan lagu ini bukan hanya yang indah-indah saja, kan?"
Anita tak memahami maksud makhluk khayal itu.
"Oh, kamu mengingatnya kok. Kita semua mengingatnya. Gunung Salak 2001."
Latar di sekeliling Anita berganti lagi.
6
"Di bayang wajahmu, kutemukan kasih dan hidup, yang lama lelah aku cari..." nyanyi Hariadi dengan suaranya yang serak. Air matanya mengalir deras sekarang. Tangannya terangkat, membalas sentuhan tentakel dari makhluk besar di hadapannya. "Anak itu... anak itu selalu menyukai lagu ini."
Dua mata ekstra Anita membuka di punggungnya, saking kagetnya dia. Ini benar-benar kejadian di ruang altar tahun 2001. Ia hanya mengingatnya samar-samar, tapi sekarang semuanya bergulir dengan lancar.
Wagner duduk di lantai. Wajahnya penuh darah. "Kalau itu aku baru tahu," sahut guru Anita itu.
"Apa yang terjadi? Kamu ngapain tadi? Apa... apa ini ternyata Anita?" tanya Hariadi. Seharusnya begitu. Kata Hariadi dan Wagner, interupsi Hariadi menyebabkan kesalahan dalam ritual Sharif. Tubuh Anita menyatu dengan monster dari alam lain. Wagner, dengan kekuatan sihirnya, dapat memaksa jiwa Anita agar tidak melebur menjadi monster itu.
"Itu Prima-1. Setidaknya, itulah nama yang paling mudah dalam bahasa kita. Nama aslinya diberikan Tetua Semesta."
"Lalu ini-"
"Secara teknis, Anita Mardiani sudah mati." Baik Anita di masa sekarang maupun Hariadi di masa lalu sama-sama terkejut.
Song Sang Sing berhenti bernyanyi. Seketika, proyeksi masa lalu buyar. Mereka berdua kembali berada di Barus, dengan gas hitam mendekat perlahan. "Nona Anita, kau tak apa?" tanyanya.
Bagi Song, proyeksi masa lalu Anita mungkin terhenti. Tapi Anita tetap dapat melihat kilas balik masa lalunya sendiri.
"Anita Mardiani sudah mati, dimakan oleh makhluk itu," Wagner mengulangi.
"Lalu ini apa?!"
"Shoggoth diciptakan para Tetua Semesta sebagai senjata yang mengerikan. Saat mereka memakan sesuatu, mereka tak hanya mengoyak daging dan tulang saja." Wagner menyeringai. "Mereka juga menyerap jiwa korban mereka. Makannya hantu bisa takut banget sama mereka."
"Kamu belum ngejawab pertanyaan aku, bule bangsat!"
"Jiwa-jiwa ini, Har, berkumpul menjadi kolektif. Semuanya melebur, kehilangan kesadaran dan individualitas, lalu bekerja sebagai satu unit monster," Hariadi menerangkan. "Tapi saat aku masuk ke kesadaran kolektif itu, jiwa Anita belum sepenuhnya menyatu. Jadi, yah, aku menggunakan sedikit sihir untuk mendiamkan paksa jiwa kolektif Prima-1 dan melindungi sisa jiwa Anita."
"Aku masih belum ngerti kamu ngomong apa!"
Anita sudah paham duluan.
"Dengan diamnya jiwa kolektif Prima-1, jiwa Anita Mardiani sekarang menjadi pilot dari tubuh sebuah monster perkasa. Anita Mardiani mungkin sudah mati, tapi kita bisa bekerja sama membuat makhluk ini mengira dirinya anak si Sharif."
Hariadi benar-benar dibuat terpaku. "Untuk apa kamu melakukan itu?"
"Hei, dengan begini kamu sukses menyelamatkan seorang 'Anita Mardiani.' Kamu bisa berpura-pura menganggap dia sebagai anakmu," Wagner masih menyeringai. "Dan kita mungkin bisa mendidiknya untuk menjadi pelindung umat manusia, menghadapi ancaman seperti dirinya sendiri."
"Itu... kau ingin membuat monster ini menganggap dirinya sebagai manusia?!"
"Ya. Eksperimen yang patut dicoba, kan? Tentu kalau gagal kita tinggal menghancurkannya."
Ini tidak mengubah apapun. Ini... ini tidak mengubah apapun. Walau ia berusaha meyakinkan dirinya begitu, Anita ambruk. Bahkan tubuh shoggothnya seperti kehilangan kekuatan.
"Alam Mimpi menggerogoti bagian dari dirimu. Kalau nggak salah, si dewi itu ngomong begitu ya?" Anita Meleleh berkata. "Yang nggak aku sangka, alam ini juga menggerogoti kekangan Wagner kepada kami."
Sharif menampakkan dirinya di depan Anita. "Apakah kamu manusia yang terjebak dalam tubuh monster? Atau monster yang berpura-pura menjadi manusia?" tanyanya lagi. "Jawabannya? Kamu adalah monster yang dimanipulasi sehingga mengira dirinya manusia." Dan Sharif pun terbahak.
Semua pelajaran tentang budi pekerti, tentang keadilan, tentang baik dan buruk. Apakah semua itu hanya disampaikan Hariadi agar dirinya bisa dijadikan senjata untuk Asosiasi Penyihir? Kalau begitu bukankah dirinya selama ini hidup dalam kebohongan, dijerat oleh dusta yang mengendalikan pola pikirnya?
"Sudah begitu lama kami mengamati dalam kegelapan, menanti saat perlindungan Wagner terhadap dirimu melemah. Terima kasih, Anita Mardiani, karena telah mengajarkan kami cara berpikir seperti manusia."
Anita berpindah dari Gunung Salak ke dalam ruang benaknya sendiri. Wujud tempat itu hanya ruang gelap dan luas. Anita berada di pusatnya, diterangi cahaya putih lampu sorot.
"Terima kasih Anita Mardiani, karena telah mengajarkan kami cara untuk bertarung lebih efektif."
Tidak, tidak bisa begini. Walaupun latar belakangnya hanya kebohongan, tak ada salahnya menjadi pelindung dari umat manusia. Ia tak bisa membiarkan kolektif kembali mengambil alih tubuh ini.
Kumpulan tangan menjulur dari kegelapan, meraih tubuh Anita. Ia mencoba melawan, tapi ia bahkan tak dapat bergerak. Pengungkapan tadi telah menohoknya, membuatnya tak dapat mempercayai dirinya sendiri. Jangankan bertahan, ia bahkan mulai tak dapat menjaga bentuk tubuhnya.
Hanya itu yang dibutuhkan oleh kolektif untuk menyeret Anita kembali ke kegelapan, melanjutkan proses pencernaan yang sempat terusik di tahun 2001.
"Song, lari!" teriak Anita. Mungkin untuk terakhir kalinya, ia dapat mempengaruhi mulut shoggoth menyerukan peringatan.
"Sungguh, terima kasih untuk segala pelajaran yang kau berikan selama mengendalikan kami. Sekarang, selamat datang ke kolektif. Mari kita selesaikan ini."
[Anita Mardiani Terusir]
[Mengingat Kembali Teknik Pengubah Wujud]
[Memaksimalkan Penggunaan Kekuatan Tubuh]
7
Saat Anita Mardiani kembali berdiri, kata cantik tak tepat lagi digunakan untuk menggambarkanya. Tubuhnya seperti setengah meleleh. Kedua kakinya terutama, lumer menjadi lendir. Bola matanya yang terkesan mati lenyap sepenuhnya digantikan rongga hitam. Bibirnya yang semula berkerut kini membuka lebar, memperlihatkan deretan gigi tajam.
Song kembali tak memahami apa yang terjadi. Anita tadi begitu menikmati lagunya. Bersama, mereka menikmati masa lalu gadis itu. Song jadi menyadari kalau Anita memang bukan manusia, namun gadis itu memiliki orang yang ia sayangi.
Lalu percakapan aneh di ruang berdarah itu tiba-tiba muncul. Pemandangan mengerikan yang tak seharusnya muncul saat Song melantunkan teknik [Serenade]. Dan tiba-tiba lawannya itu menjadi berbeda.
"Tenang, Song Sang Sing." Anita menatap Song. "Terima kasih atas lagunya. Aku merasa begitu... bebas."
Rasa takut yang kini mendera Song lebih hebat lagi dari tadi. Bahkan melihat Anita saja sulit. Sosoknya jadi berbayang. Seluruh energi di tubuhnya perlahan-lahan mengering. Deretan lagu kembali memasuki kepala Song, tapi tak satu pun disuarakan oleh bahasa manusia.
Itu sudah bukan lagi Anita Mardiani.
[Screamo]. Didorong ngeri, Song melontarkan teriakan keras. Begitu keras hingga tubuh Anita hancur bak ditembak senapan tabur dari dekat.
Song tahu betapa celakanya dirinya saat tubuh Anita menyusun kembali tak lama kemudian.
"Curang." Ada mulut Anita yang membentuk di paha. "Kamu nggak punya kekuatan begini tadi."
Domba milik Song sudah lari tunggang langgang. Pemiliknya menjerit sekali lagi, menghancurkan lagi tubuh cair Anita. Lalu ia mengikuti Domba.
Ia harus lari. Yang ada di belakangnya itu bukan lagi musuh seperti Ucok maupun Vanart dan antek-anteknya. Itu bahkan bukan musuh yang bisa dihadapi manusia bumi. Song pun mencoba untuk lari, lari, dan lari... hingga ia berpapasan dengan empat orang dari pasar.
"Ah ini dia! Ngapain kamu teriak-teriak gitu, Song? Ada masalah lagi?!" tanya Pak Kumis.
Seharusnya mereka tidak ada di sini. "Cepat per-"
Tentakel-tentakel tajam muncul dari belakang, menembus kepala Pak Kumis dan tiga orang di dekatnya. Song hanya bisa menganga tanpa suara melihat empat kenalannya itu tumbang tak bernyawa.
"Jangan jauh-jauh, Song...." Anita merangkak. Tentakel-tentakelnya bergerak liar dari punggungnya. Mulut di wajahnya terus menyeringai, jadi yang berbicara adalah mulut raksasa di lengan kanannya. "Gimana kalau kamu ke sini? Kita belum lama ngobrol-ngobrol. Mungkin sambil makan sedikit? Aku lapar nih, kelamaan puasa."
Tentakel itu mencoba meraih Song, tapi pemuda asal Korea itu masih dapat menghindar. Ia sudah lelah. Trauma membebani pundaknya, membuat ia merasakan dorongan untuk berhenti dan pasrah membiarkan maut menjemput.
Jilbab Putih berlari kecil di depan Song. Ini Jilbab Putih yang normal, seperti saat terakhir kali ia berjumpa. Bukan makhluk kembar siam yang mengintip dari gas hitam. Gadis itu menjulurkan lengan ke arahnya dengan riang.
Zi berlari di dekat Jilbab Putih. "Lambat kali kau Song!" ejeknya. "Apa kata ibu kau nanti?"
Eomma ada di depan. "Akhirnya kamu kembali," kata wanita itu lembut.
Song menjerit lagi, mengeluarkan [Screamo]. Kelangsungan hidup Zi bergantung kepadanya. Kelangsungan hidup Jilbab Putih bergantung kepadanya. Tak masalah lagi apakah ia akan menemukan Jilbab Putih lagi, asalkan dunianya aman. Asalkan Eomma aman.
Fou reveris, rifaien
[The nightmare revives]
Lagu pemberian Zainurma kembali muncul di kepala Song. Ia... ia tak punya pilihan. Ia harus menggunakannya. Apakah cukup di sini? Tidak, ia harus....
Song melihat gedung masjid, sekitar tiga ratus meter di depan. Sebuah gagasan terlintas di benaknya. Ia yakin ada pemutar CD di sana.
Domba menyenggolnya dari samping. Hewan itu menggigit CD lagu. Tadi Song sempat melupakannya, rupanya peliharannya itu diam-diam telah membawanya.
Ia meminta maaf kepada Jilbab Putih. Ia juga meminta maaf dalam hati kepada para muslim, karena ia mungkin dianggap mengotori rumah ibadah mereka. Tapi ia benar-benar terpaksa. Biarlah bila mereka nanti hendak merajam atau mencambuknya. Untuk sekarang, demi masa depan dunianya, ia harus kreatif.
***
Sesosok kerangka dengan mata raksasa sebagai kepala mendatangi Barus. Jemari tulang menggenggam tongkat Dreamcatcher dengan kuat. Bahkan potongan alam ini pun sudah digerogoti Mimpi Buruk. Kenapa pula para pemimpi begitu ngotot mengotori alam ini?
"Kasihan mereka. Kalau dibiarkan, mereka akan merusak diri mereka sendiri."
Ia tak punya pilihan. Ia sudah bertekad mengusir semua pemimpi, dan itulah yang akan ia lakukan. Alam Mimpi ya untuk makhluk dari sini. Mereka yang dari dunia nyata sudah punya alam sendiri. Kalau alam mereka ikut menyatu, dunia Oneiros bisa tak tersisa. Ia hanya tinggal mencari pusat Bingkai Mimpi yang satu ini, supaya pemiliknya terusir. Juga pemilik Bingkai gurun.
Ia menemukan pemilik Bingkai gurun duluan. "Yang benar saja sih!" keluh gembala domba mimpi itu. Makhluk yang datang memiliki separuh badan atas manusia. Tapi kakinya adalah kaki laba-laba besar yang melangkah cepat.
Itu adalah shoggoth, makhluk yang diciptakan oleh pemimpi dari masa lampau, jauh sebelum kawanan Oneiros mengambil wujud domba. Bahkan Oneiros pun merasa gentar.
Bola mata berjubah ungu itu memantapkan langkahnya. Ia ingat kalau ini adalah Alam Mimpi. Di dunia nyata shoggoth mungkin memang perkasa. Tetap saja makhluk itu tak akan berkutik menghadapi gembala alam mimpi.
"Cukup sampai di situ, Makhluk!" seru Oneiros, menyerap perhatian Anita. Domba-domba hitamnya bersiaga membentuk barikade. "Sudah bukan saatnya kamu bermimpi! Bangun! Tubuh kamu... tubuh kamu mulai ikutan kacau karena kamu kelamaan tidur!"
"Heeee?" respons Anita, tertarik. "Siapa lagi ini?"
Tekeli-li, sesuatu bersiul di belakang Anita. Fluffy si domba gadis itu menampakkan diri. Wujudnya sudah bukan lagi domba. Ia mungkin masih memiliki kaki empat, namun tanduknya kini lebih menyerupai tanduk sapi. Deretan mata basah menggantikan bulu putih.
Oneiros malah naik pitam. Ketenangannya terkoyak. Rasa sedih menguasai "hati" saat ia bersuara, "Itu... itu salah satu dombaku! Pemimpi tak tahu diri, kamu apakan dia?!"
"Ah, dia. Sepertinya dia hanya mengikuti bentuk majikannya." Anita terkekeh. Anita hendak menyerang Oneiros, tapi Fluffy malah memunculkan tentakel untuk mementahkan semua tangan ekstra yang Anita munculkan. "Kamu mau memberontak, Fluff?"
Tekeli-li, siul Fluffy.
"Begitu. Jadi dia tak bisa kuhadapi sekarang. Menarik."
"Domba. Dombaku yang malang. Kau telah dikuasainya...." padahal Oneiros berharap kepercayaan diri berlebihan lawannya bisa membantunya menjebak makhluk itu. "Demi Alam Mimpi...." ia memasang pose. "Akan kuusir kam- lho?!"
"Sampai nanti!" saat Oneiros masih berpose, Anita dan Fluffy sudah terlebih dahulu pergi, melanjutkan perburuan mereka.
"Benar-benar tidak sopan! Kembali kamu, ini demi kebaikanmu sendiri!" seru Oneiros memberi perintah. Ia dan domba-dombanya pun bergerak mengejar.
Saat itulah speaker masjid berbunyi.
8
Tanpa mengetahui kejar-kejaran Oneiros dan Anita di luar, yang memberinya waktu, Song berdehem. Segala sesuatunya sudah diatur. Mesin pemutar CD/VCD milik bapak penjaga masjid telah terhubung dengan sistem suara. Kepingan pemberian Zainurma sudah siap di dalam. Yang perlu ia lakukan hanya menekan tombol play.
Keraguan mengganggu Song di saat akhir. Ia belum pernah menggunakan [Screamo] dengan pengeras suara. Ia tahu itu akan menyakiti, bahkan membunuh orang. Baik target maupun orang-orang di sekelilingnya.
Itu baru [Screamo] dengan teriakan tanpa makna. Kali ini ia akan menggunakan [Screamo] untuk menyuarakan lirik yang diisi kemarahan, tekad membunuh putra-putrinya sendiri. Ia tak bisa membayangkan dampaknya. Apakah mereka yang bersembunyi di gudang beras akan aman?
Domba mengembik. Sorot mata hewan setianya itu begitu teguh, penuh keyakinan. Song paham.
"Benar, Domba. Benar. Bukan saatnya ragu. Kamu... kamu sebaiknya tutup telinga, ya?" Song menyampaikan. Domba mengangguk.
Sekali lagi Song meminta maaf dalam hati. Telunjuknya menekan tombol play. Sistem suara masjid membunyikan suara lonceng dan instrumen menyeramkan pembuka musik.
Ia adalah Ibu Bumi. Atau mungkin lebih tepatnya Bapak Bumi. Ia sudah bersabar selama ribuan tahun menghadapi tingkah polah putra-putrinya, para manusia. Namun mereka menyakitinya, menghancurkan alamnya. Mereka menyerap lautan, mengotori langit, membunuhi anak-anaknya yang lain, para hewan dan tetumbuhan.
Ini adalah lagu untuk mereka.
[XaaaCi.]
[Screamo]
"Yasra manaf. Innna Ar Ciel...."
[Oh, my beloved children]
Secara ajaib, vokal yang tadinya ada di CD itu lenyap. Hanya suara Song seorang menyanyikan pembukanya.
"Fou reveris, rifaien. Fou reveris, rifaien. Fou reveris, rifaien."
[The nightmare revives. The nightmare revives. The nightmare revives.]
Bumi bergetar. Awan menjadi gelap.
[Screamo] terhenti sejenak. Song mengistirahatkan tenggorokannya saat ia mengucapkan dan menahan, "Rha... num ra..."
[I shall...]
Mendengarkan panggilan bumi, angin turut berbisik ke mikrofon, menjadi penyanyi latar.
"Rrha num wa...."
[There's no other way than to....]
Song kembali merasa ragu. Menanggapinya, otaknya memutar ulang sosok Jilbab Putih, Zi, Eomma, seluruh penduduk Barus. Tiba-tiba ia menyadari memang tak ada cara lain.
"Dople."
[Eliminate you.]
Diiringi statik, gempa kembali melanda.
***
Musik dari speaker masjid menghantam Oneiros dan domba-domba hitam. Tubuhnya dan kawanan yang ia pimpin hanya terurai sejenak, sebelum membentuk kembali dengan sehat walafiat.
"Oh tidak, yang ini lebih gawat lagi!" Oneiros berhenti mengejar Anita dan berbalik ke masjid.
"Rrha k iga chs cause mea, rrha i ga dople en gott denera."
[I shall become the curse that drives away evil].
"Rrha i ga dople en gott denera."
[I shall become the flame that will reduce you to nothingness.]
Petir menyambar. Angin menyayat. Hujan turun deras, dimuntahkan paksa oleh awan yang mendengar panggilan bumi.
Oneiros dan domba-domba menerjang semua bangunan yang menghadang. Masjid asal speaker terlihat jelas. Ia hanya tinggal masuk dan memulangkan biang kerok kekacauan.
"Lho?!"
Rentetan petir menghantam Oneiros dan seluruh kawanannya. Kembali masalah itu hanya mempengaruhinya sesaat, karena ia dan para domba kembali dapat tersusun.
Tapi kemudian ia terkena cabikan angin, yang membuatnya terurai lagi. Serangan demi serangan meluncur tanpa henti. Walau Oneiros tak merasakan sakit sama sekali, sistem pertahanannya yang terus aktif tanpa diminta itu justru membuatnya kesulitan untuk melanjutkan maju.
Makhluk-makhluk ini....
Bongkahan batu menghantam Oneiros dan para domba. Bola-bola mata kecil berwarna ungu menghambur, tersusun lagi dari kejauhan.
Merepotkan sekali! pikirnya. Ia memutuskan untuk menanti dulu dari tempat aman. Tak mungkin kemampuan seperti ini akan bertahan selamanya. Saat ini berakhir, akan ia perlihatkan betapa bodohnya aksi si pemimpi sebelum ia membantunya pulang.
9
[Bring down the storm, lightning, and tearing blades]
Bumi terus bergetar keras, membuat Anita sulit bergerak. Bahkan ada permukaan yang membuka, hendak menarik Anita hingga ke inti bumi. Ia bisa menghindarinya.
[Bring down death, destruction, and eternal sleep]
Petir menyambar-nyambar, membakar beberapa bangunan sekaligus. Bahkan ada petir yang mengabaikan semua bangunan rendah di Barus untuk menghantam Anita, mengacaukan tubuhnya. Anita selamat, tapi kini ia menjadi gumpalan yang bergerak perlahan. Bahkan memulihkan diri saja sakit.
[For the purification to come, for us to have a future, for the for the sake of life and it's rebirth]
Angin menerjang gedung, melemparkan bata, sampah, hingga mobil. Yang ini lebih bisa dihindari Anita. Sesekali angin berhembus begitu tajam hingga ia terkoyak, tapi ia masih bisa menangani kerusakan seperti itu.
"Hahahahahaha!" Anita memunculkan mulut hanya untuk tertawa lantang. Torso dan wajahnya sudah mulai bisa terbentuk lagi.
Sakit. Ia merasakan sakit. Tak hanya itu, ia juga tak bisa sembarangan menyerang. Bila ia menjelma menjadi wujud raksasa, akan lebih mudah bagi petir untuk menyambar dan menyakitinya.
Ia menggeliat gesit, ditemani oleh Fluffy, maju menuju masjid. Kemanusiaan yang diberikan Anita kepada kolektif betul-betul mengasyikkan. Tak pernah sebenarnya makhluk itu merasakan kegirangan menghadapi ancaman hebat. Kalau saja ia dulu memiliki ini, mungkin perang Tetua Semesta menghadapi Cthulhu akan lebih menyenangkan untuk dirinya.
[Die die die be driven to death!]
[Disappear disappear disappear into nothingness!]
Lahar menyembur dari permukaan bumi. Anita dapat menghindar, namun berdekatan dengan genangan merah dan uap panas yang baru tercipta itu saja membuat tubuhnya mulai tidak stabil lagi.
[Receive judgement receive conviction receive punishment might the steel gavel be brought down upon you!]
Anita harus mengganti jalur, menghindari geyser yang baru muncul. Api, tanah, air, hingga angin bersatu padu untuk melawannya. Bukan, bukan hanya untuk melawannya. Empat elemen menurut kepercayaan Tiongkok ini berpadu demi menghancurkan segala sesuatu di permukaan bumi, demi kebangkitan kembali. Sungguh lagu yang jahat.
Lagu kehancuran, pikir Anita senang. Memang butuh yang seperti ini untuk menyerangnya. Bagus, Song Sang Sing!
Kalau seluruh kekuatan ini difokuskan kepadanya, ia sudah mati sejak tadi. Bahkan regenerasi tubuhnya tak akan bisa membantu banyak. Ia beruntung serangan ini justru tertuju ke seluruh permukaan dunia.
Ya, bukan hanya Anita dan alam sekeliling yang terpengaruh. Seluruh mata Anita sempat melihat hitam Mimpi Buruk surut sendiri, mencoba melarikan diri. Sebuah konsep abstrak yang tak dapat disakiti sampai harus menjauh untuk sementara karena satu lagu. Mulut mereka menyerukan jerit sakit, menandakan bahwa mereka benar-benar kesakitan.
Tak peduli seberapa lincah dan hati-hati ia bergerak, ada reruntuhan bangunan menimpanya.
[I am the song of demise!]
Anita juga tak bisa selamanya mengabaikan sakit dari cabikan angin. Bahkan angin turut menjadi perisai, menghalanginya untuk bergerak leluasa.
[I am the song of eternal sleep!]
Lahar juga kian banyak, menyembur bersama batuan dari bagian-bagian tanah yang telah membuka.
[Be annihilated now!]
Dicakar, dicabik, dibakar dengan uap panas dari kejauhan, dihujani curahan deras. Tubuh Anita, yang puluhan ribu tahun lalu dirancang para ilmuwan Tetua Semesta, diuji hingga ke batas. Kesadaran kolektif mulai berkurang.
Tapi ia sudah begitu dekat dengan masjid sekarang. Bangunan suci itu tak tersentuh oleh amarah bumi dan langit, tetap berdiri utuh, menyanyikan murka. Bahkan kaca pintu dorong dan jendelanya tetap bertahan.
Dari jarak sedekat ini dengan sumber, bahkan suara Song saja dapat mengoyak Anita hingga hancur. Anita harus menutup semua pendengarannya hanya agar dirinya bisa maju. Akal sehatnya mulai tersisih, ditumpahi insting buas yang sudah merupakan bagian utama dirinya.
Pertahanan berikutnya datang dari bangunan masjid itu sendiri. Kumpulan iman di tempat itu tak lagi sekuat dulu, tapi tetap saja kepercayaan dari begitu banyak orang mampu membakar Anita secara perlahan. Tubuh Anita menjadi gumpalan. Fluffy bahkan lebih memilih bertahan di luar, walau ia sudah terluka di sekujur tubuh.
Tapi aku harus tetap masuk kan, Fluff? tanya Anita. Dengan sisa kekuatannya, ia mencoba berubah wujud sekali lagi.
***
[Screamo], kekuatan teriakan yang dapat memecahkan gendang telinga, menjadi dasar untuk setiap lirik yang keras. [Memoria] berjalan bersamaan, tapi yang Song lihat bukanlah ingatan siapa pun. Yang kini memenuhi matanya adalah curahan hati bumi yang ia pijak sendiri. Seluruh kejahatan umat manusia kepadanya. Lagu ini menggabungkan sisi-sisi dua teknik sekaligus, menjadi sesuatu yang baru.
Sebuah sensasi mengaliri darah Song, walau tubuhnya mulai lemas dan tenggorokannya sakit. Kekuatan. Ia tidak lagi lemah. Dengan lagu ini ia bisa melindungi semua orang. Ia bahkan bukan Song Sang Sing, ia adalah gaea, ia adalah keseluruhan tubuh bumi. Bahkan langit tunduk pada panggilannya.
Ucok akan kembali hancur di bawah kekuatannya. Vanart bisa ia taklukkan tanpa butuh bantuan, jika sang diktator dari Negerti Tanpa Seni kembali hidup membawa pasukan kematian. Ia... ia....
"So-Song...."
Visi bumi buyar. Song kembali berada di masjid, menyanyi dengan mikrofon.
Baru sekarang ia menyaksikan hasil dari kekuatannya sendiri. Bangunan di luar rubuh. Pepohonan tumbang. Lava masih menyembur. Jendela digedor oleh angin keras.
Aku... aku salah lagi....
Dari pintu, seseorang menapak masuk. Seorang gadis berjilbab putih. "Song... tolong..." pintanya. Separuh wajahnya terbakar.
Song berhenti bernyanyi. Rasa sesal kini membanjir di dalam diri. Itu si Jilbab Putih. Ia telah menyakitinya. Bukan hanya gadis itu saja, lagu tadi kemungkinan besar juga telah meruntuhkan gudang beras.
"Maaf. Ya ampun, maaf...." desis Song, sementara di depannya Jilbab Putih melangkah tertatih. Tangannya yang terjulur menetes, menjadi titik-titik hitam bagai tinta.
"Yang kembar siam itu dari mimpi buruk saya. Satunya sahabat saya dulu, satunya gadis yang saya cintai."
Song ingat. Ia menyampaikan itu kepada Anita saat mereka duduk-duduk.
Jilbab Putih menyeringai dengan deretan gigi setajam pisau. Ia tetap menyeringai walau tubuhnya mulai terbakar dan menjadi gumpalan lendir.
Mikrofon kembali didekatkan ke mulut Song. Makhluk itu sudah hampir tamat. Ia tinggal menyelesaikannya, mungkin dengan satu bait lagi, atau dua.
Satu tentakel tajam meluncur, menembus paru-paru Song tanpa kompromi. Walau mikrofon sudah tepat di depan bibir, ia tak bisa mengucapkan apa-apa.
Di depannya, Jilbab Putih menjulurkan tangan dari dalam mulut Anita. Zi juga ikut muncul. Tangan mereka memanjang, membekapnya dan menariknya masuk.
Maaf... Eoma....
Kulit tergerus.
Maaf Jilbab Putih....
Daging terkoyak.
Maaf... maaf Zi....
Tulang remuk.
Maaf....
Jiwa terserap.
Saat shoggoth raksasa melolong, hanya satu pemimpi tersisa di Barus.
Epilog
Shoggoth merangkak maju, menghancurkan segala sesuatu di hadapannya. Mulai dari sisa pasar, area perumahan, hingga wilayah perdagangan. Ia tak bisa menemukan manusia lain. Tapi masih ada bangkai kambing, sapi, kucing, anjing, dan lain sebagainya yang dapat ia santap.
Di sampingnya, Fluffy memangsa sisa-sisa bangkai yang tak dimakan majikannya. Semua cidera yang ia peroleh dari serangan Song perlahan pulih.
Iris mata Oneiros berubah merah. Seharusnya ia tidak menunggu. Dapat ia rasakan kalau pemimpi satunya, seperti yang bernyanyi tadi, kini sudah sirna sepenuhnya. Ia dengar ada dewi di Museum Semesta yang bisa memulihkan segala penyakit, namun Oneiros bahkan tak yakin dewi yang satu itu dapat membantu kalau ia ingin.
"Makhluk terkutuk." Shoggoth itu telah menyadari siapa dirinya. Ia mengingat kembali kekuatannya. Kalau dibiarkan terus, Oneiros yang dibantu Ratu Huban sekalipun bisa turut dimangsanya.
Aura berwarna merah menyelimuti tubuh Oneiros. Seekor serigala raksasa keluar dari matanya. "Ayo kita berperang, makhluk terkutuk!" serunya.
Mereka hampir mencapai shoggoth dan Fluffy saat Dewi Mirabelle tiba-tiba menampakkan diri di depan Oneiros.
"Kau! Budak Kehendak! Ming-"
Oneiros meminta minggir. Mirabelle menanggapi dengan mengucapkan satu nama, "Kehendak."
Tiba-tiba saja bumi bergetar. Ada jaringan saraf yang menyembur keluar dari sisa-sisa retakan akibat nyanyian Song, menjerat Oneiros. Kali ini tubuh mata berjubah ungu dan seluruh dombanya tak terurai. Ia menyadari apa yang terjadi. "Kau... kau dan bosmu... kalian sama saja!"
Ada portal membuka dari bawah. Kehendak mencoba membawa paksa Oneiros ke tempat lain.
"Apa yang ingin kalian lakukan?! Menghancurkan seluruh semesta?! Kalau kau kira ini akan menghentikanku, kau salah!"
Oneiros diseret lebih dalam, tapi ia masih bisa berpegangan untuk menyampaikan kata-kata terakhirnya untuk saat ini. "Aku akan mencoba lagi! Dan saat itu, semua mimpi buruk ini akan berakhir!"
Oneiros ditarik sepenuhnya memasuki portal. Portal pun lenyap, tak menyisakan tanda-tanda keberadaan makhluk lugu itu.
Urusan yang itu selesai, Dewi Mirabelle mengambang, menyaksikan shoggoth beraksi seenaknya sendiri. Ia tak perlu melakukan apa-apa. Lambat laun, kesadaran kolektif makhluk itu dapat meredam naluri buasnya. Ukurannya menyusut dan menyusut dari delapan meter menjadi lima meter. Lima meter menjadi dua meter. Dua meter menjadi 170 senti.
Gumpalan itu kembali menggunakan wujud favorit Anita Mardiani. Tetap saja gadis itu terlihat setengah cair, menandakan jiwa Anita masih belum menempati posisi "pilot" di tubuh si monster.
"Salam, orang baru. Aku harus memanggilmu apa?"
Tiba-tiba tubuh makhluk itu berubah menjadi versi meleleh Song Sang Sing. "Anyneonghaseyo, dewi! Panggil saja saya Song Sang Sing! Aku punya suaranya, aku punya sebagian kekuatannya, aku bahkan punya sebagian memorinya!" dengan mudah tubuh itu berubah lagi menjadi Anita Mardiani. "Bercanda. Kreator menamai kami Prima-1, tapi kami tak menyukai nama itu. Kami adalah kolektif, tapi kami juga tak suka disebut begitu." Ia melihat jemarinya. "Panggil saja kami Anita Mardiani."
"Baik, Anita Mardiani. Karena kamu berbeda dari Anita Mardiani sebelumnya, apakah kamu masih ingin berpartisipasi dalam festival?"
"Oh tentu." Anita menjura. Gerakannya terasa dilebih-lebihkan. "Saya yang sekarang lebih siap mematuhi perintah dewi ketimbang Anita yang kini terlelap. Dan saya rasa... tak ada salahnya menunggu kesempatan memangsa jiwa seorang dewi."
Mirabelle mengangkat tombaknya. Formasi sihir berbentuk bundar terbentuk di bawah kaki Anita, membakarnya perlahan. Itu adalah mantera penyembuh, yang sengaja tak Mirabelle utak-atik sehingga malah menyakiti mereka yang terkutuk.
"Serangan yang bagus, Dewi," puji Anita setelah keluar dari lingkaran. "Maafkan kelancangan saya."
Mirabelle tak bisa langsung menjawab. Sebuah kekuatan besar menohoknya dari dalam. Darah menetes dari sisi bibirnya yang tipis. Kehendak tak suka Dewi Konservasi berpura-pura dirinya menjadi Dewi Perang lagi.
Sebentar lagi makhluk itu berakhir. Sebentar lagi era para dewa akan kembali. "Tak apa, Anita Mardiani." Ia menyeka darahnya sendiri. Bisa saja ia menggunakan sihir, tapi sensasi darah di lidahnya mengingatkannya akan memori dari masa lalu. Memori yang membuatnya diserang lagi dari tubuhnya sendiri.
Mirabelle menancapkan tombaknya. Rautnya kaku, tak menunjukkan tanda-tanda nyeri yang menyerang. "Sekarang, aku lebih yakin kamu pantas menjadi jawaraku."
"Sebuah kehormatan," Anita menjura lagi.
Tinggal sedikit lagi. Apapun rencana Zainurma, Mirabelle harap rencana itu memang bagus.
***
Di dunia nyata, Jurgen Wagner masih pusing tujuh keliling. Awalnya murid terbaiknya tak kunjung terjaga, walau tiga malam telah berlalu. Alih-alih membiarkannya berduka dan meratap, Asosiasi Penyihir menghubunginya tanpa henti. Muncul gas misterius yang menelan banyak wilayah di seluruh dunia. Semua orang yang berada di dalam lingkup gas tak bisa dihubungi. Upaya dari luar untuk menembus selalu dimentahkan.
Daftar kota itu awalnya terdiri dari Bekasi, Berlin, Buffalo, dan Hokaido. Jumlah itu terus berkembang setiap hari, dan para penyihir terbaik tak bisa melakukan apa-apa. Walau Jurgen terus menolak, Penyihir Agung tak bosan-bosan meminta ia untuk segera pergi. Begitu ponsel Wagner diremuk, sang Penyihir bahkan menyerang Wagner dengan telepati setiap satu jam.
"Aaaaaaaah!" Klaus menjerit. Kini Wagner dan penyihir muda itu terusir dari bangunan. Tubuh Anita membesar. Walau Wagner merasakan kesadaran shoggoth itu belum kembali, tentakel-tentakelnya sudah bergerak sendiri menyerang sekeliling.
Ia tahu makna dari fenomena ini. Sistem kendali yang ia pasang di tahun 2001, dan selalu ia perkuat setiap tahun, sudah rontok. Saat makhluk ini terjaga, yang akan menyambutnya adalah monster mengerikan dengan sebagian pengetahuan sihir hasil ajarannya. Itu tak bisa dibiarkan.
"Rumahku!" teriak Klaus saat tentakel Anita menjebol atap. "Brengsek, itu rumah nenek moyangku! Gimana ini?!"
"Panggil Serikat Penyihir. Minta bantuan. Bilang ada shoggoth liar lepas. Karantina seluruh wilayah."
"Memangnya mereka akan dengar?! Berlin sudah ditutupi gas hitam! Para penyihir senior sudah ada di sana sejak tiga hari lalu!"
"Harus ada yang dengar." Wagner kembali maju ke rumah Klaus. Kedua tangannya membuka, membentuk pendaran cahaya biru. Mulutnya menyebutkan nama Yog-Sothoth, sang gerbang, sang kunci, sang pemegang jalur menuju ke manapun.
"Yog-Sothoth?! Kamu manggil gituan?! Apa yang kau lakukan, bodoh?!"
"Apa yang kulakukan?" sahut Wagner santai. "Yang seharusnya dilakukan seorang figur ayah kepada anaknya. Menolongnya saat ia dalam bahaya."
Ia hampir mati saat menggunakan sihir eksperimen ini pertama kali. Dapat ia rasakan kekuatan Yog-Sothoth mengetuknya setiap malam, hendak menggunakan otaknya sebagai gerbang untuk memanggil sang dewa. Ia yakin ia tidak akan selamat.
Persetan. Hariadi akan melakukan ini bila Anita dalam bahaya. Wagner sang penyihir hebat tidak akan kalah dari si tua bangka itu.
"Gurumu datang, murid bodoh!"
End of Volume 3
sebenarnya sudah baca ini dari lama jadi isinya radak2 lupa. tapi sepanjang ingatan yang masih tersisa, yang jelas saya suka. kata-kata dan alur yang begitu teratur bikin mulus bacanya, nggak kerasa kalo ini entri 10k lebih.
BalasHapusdari ronde seterusnya berarti sifat anita berubah ya? apa ada kemungkinan anita yg baik balik lagi atau tetap pakai anita yang jahat sampai akhir?
dan lagi2 saya ngerasa meskipun mas bukan pemilik song, tapi mas bisa ngejalanin karakter song dengan lancar tanpa hambatan. bahkan jurus2 song pun bisa diterapkan sebagus dan sekeren itu (mungkin krn saya bukan pemilik song. jd tidak tahu kekurangannya).
saya kagum dengan smua penguasaan ini dan kecepatan menulis yang super.
Sebelumnya saya mau bilang kalau saya gak baca R1, prelim maupun CS dari para OC manapun.
BalasHapusSejauh ini meski saya baru baca cerita si Anita tapi saya bisa mengerti cerita ini dengan baik.
Gaya penuturan penulis oke dan cukup menarik. Namun sayangnya kemampuan Song belum dieksplor dengan baik. Yang melekat hanya Song yang mengeluarkan jurus [screamo]. Sehingga terkesan kalau Song kemampuannya 'itu aja' dan porsi pertarungannya hanya sedikit. Mungkin memang episode ini menitikberatkan masa lalu si Anita.
Ke depannya saya berharap agar pertarungan Anita dan lawan-lawannya semakin seru.
Selesai baca song, akhirnya saya VOTE ANITA
HapusSepertinya sudah jelas kalau entri Anita lebih rapi. Entri Song bak-bik-buk-nya kurang sementara Anita lebih baik.
Yassalam, bener aja itu domba kesurupan Shoggoth sampe bisa ngeluarin tentakel-tentakel segala...
BalasHapusBattlenya intense, saya gak nyangka masa lalu Anita segitu suramnya. Konsep soal "Kesadaran kolektif" itu mengingatkan saya sama manga "I am Hero", di mana orang-orang yang terserap jiwanya tergabung menjadi satu kesatuan.
Jadi konklusinya gimana? si Anita yang selama ini dikenal tertidur pulas di dalam alam bawah sadar? sementara si "kesadaran kolektif" (Termasuk memori Song di dalamnya) kini mengambil alih tubuh Anita?
Kemunculan Oneiros di sini kesannya gak penting-penting amat, datang, ngomel-ngomel, terus jadi penonton aja, wkwkwkwk
Song-nya kegarap dengan baik sekali, pemuda galau itu tergambarkan jelas lengkap beserta skill set-nya.
As always, I'll give ya 9 point out of 10
Point : 9
OC : Venessa Maria
Kerumitan plot mulai muncul denhan Anita kehilangan kesadaran, membuat Shiggoth muncul kembali dalam bentuk Anita yang lain, bersama Song... secara canon, plotnya asik dan seru karrna cerita tiap entry tersambung jadi san nggak datar2 aja... plus ditambah kinsisten di entry awal, I salute you for that.
BalasHapusYang saya merasa agak susah mengikuti yaitu ketika dalam satu oaragraf ada banyak sekali scene yang masuk,sehingga gaya "tell" King kurang terbayang di otak saya yang kebetulan visual baget.
Anyway, good job King
Vote saha kasih setelah entry kawan masuk yaaaa...
Vote ANITA.
HapusMenanti kisah kelanjutan mbak Shoggoth...
Saya ngerasain banyak banget paralel antara entri Anita sama Iris di ronde ini :
BalasHapus>Kedua peserta masing" didatengin panitia yang berbeda
>Pihak lawan yang keliatannya hopeless ngelawan OC pemilik entri sehingga harus all-out
>Batas waktu dan mass hysteria
Battlenya singkat, tapi menurut saya poin paling penting entri ini bukan itu, melainkan revelation soal jati diri Anita (Prima-01) dan transformasinya jadi sosok not!Anita. Kebetulan juga nyambung karena Song punya [Memoria], jadi daripada mandang dia sebagai lawan Anita, saya lebih ngeliat dia kayak plot device buat ngebangkitin not!Anita ke permukaan
Kayak orang nonton anime biasanya pake 3-episodes rule, entri BoR juga saya liat banyak yang bikin semacem turnover tiap babak ketiga. Dan dari entri ini, saya udah bisa bilang saya sold ke cerita canon Anita
Saya penasaran juga, apa di akhir nanti Anita bisa pegang kendali lagi atas legion of consiousness ini. Kalau itu terjadi, kayaknya Anita potensial jadi personifikasi Lawful Good yang bener" kuat di endgamenya nanti
==Riilme's CQC Score==
Hapus>Character likability
Song udah rampung secara karakter dan backstory, sementara Anita masih incomplete. Dan justru itu berarti masih ada yang harus dikuak dari Anita sebelum perjalanannya di turnamen ini berakhir
>Anita
>Quality value
Entri Song berjalan cepat dan nyaris tanpa konflik sebenernya, selain apa yang tersirat di batin - bahkan bisa dibilang ga ada muatan battle. Sebaliknya Anita ga cuma nawarin revelation, tapi juga ngasih kesempatan pihak lawan untuk berlaga sesuai kemampuannya sebelum gugur
>Anita
>Canon anticipation
Saya bisa ngira" kelanjutan canon Song bakal berkutat di masalah percintaan yang lingkupnya pribadi, sementara konflik Anita berpotensi lebih luas dan besar skalanya
>Anita
3-0, VOTE Anita
Jadi, saya mau komentar setelah membaca entri-entri para entran. Seperti biasa, saya mulai dari nomor satu dulu.
BalasHapusKalau sudah ke sini, saya lebih memfokuskan diri kepada plot cerita dibanding tulisannya sendiri. Lagian tulisan bang King udah bagus kok /ngeng
Pertama-tama soal Flashback Anita dan Prima-01 nyentuh banget. Efeknya dua kali lebih ampuh dengan kemunculan Hariadi di sana, karena notabenenya beliau adalah orang "terdekat" Anita. Emosinya jadi makin dapet.
Keseluruhan plot juga udah rapi, pembagian porsi adegan pas dan tidak ada yang terlalu lebih atau terlalu kurang.
Dan pertarungan ini seharusnya jelas tak seimbang. Dari speknya Anita sama Song saja sudah jauh perbedaannya, tapi bang King bisa bikin Song seenggaknya sempat bersanding dengan Anita. Meski pada akhirnya ya kalah juga. Tapi saya senang lihat Song yang udah hopeless bisa ngasih perlawanan berarti buat Anita.
Entrinya udah mantep lah intinya, benar-benar turning point Anita.
Adapun yang disayangkan di entri ini, ada satu hal yang perlu saya garisbawahi. Oneiros yang harusnya jadi pengganggu yang cukup mempengaruhi jalannya pertandingan perannya kurang di sini. Sangat disayangkan, tapi saya bisa maklum karena fokus cerita kali ini adalah revelation dan turning point Anita.
Saya juga sebenarnya berharap kalau Anita terus maju, apakah ia akan tetap jadi Prima-01 sampai akhir? atau kembali menjadi Anita yang berhasil melawan kehendak Shoggoth?
Segitu aja dari saya komentarnya, vote menyusul.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Atas pertimbangan:
Hapus-Kanon yang solid dan menarik minat kelanjutannya
-Penyajian cerita yang luar biasa
Enryuumaru dan Mbah Amut memutuskan untuk memberikan Vote pada Anita
Halo shoggoth, eh, halo, Prima-1, eh, halo, kolektif, eh, halo... entahlah.
BalasHapusOke, abaikan kebingungan tadi. Saya sebenarnya udah baca entri Anita yang rilis faster than bullet tapi saya masih ingat isinya, soalnya memorable banget. Dibanding entri lain yang adu otot, ini sudah bukan levelnya. Ini adu kekuatan alam vs unknown forces. Agak ngeganjel sih waktu Song dapet kaset dari panitia, terasa semacam Deus Ex Machina gitu. Eh, tapi bujubuneng rupanya butuh lebih dari kumandang lagu Gaia untuk merobohkan Anita :D
Belum lagi ungkapan-ungkapannya bikin merinding, contohnya ini; "Itu adalah shoggoth, makhluk yang diciptakan oleh pemimpi dari masa lampau, jauh sebelum kawanan Oneiros mengambil wujud domba. Bahkan Oneiros pun merasa gentar."
Wew, terasa sekali kalo shoggoth itu makhluk arkaik :D
Keluhan dikit gegara autokorrek sih pastinya. masak kalang-kabut jadi kalang-gas hehehe
Oke segitu aja komennya. Vote menyusul, saya belum ngulik entrinya Song, soalnya.
Dewa Arak Kolong Langit melempar sebotol minuman 'Topi Lurus' pada Anita Mardiani!
Hapus+1 vote buat unholy Abonimation!
Alasan:
HapusKarena entri dari Anita lebih rumit daripada punya Song, plus penyajiannya yang apik, serta battlenya yang epik. Saya juga penasaran , nanti kalau Marikh lolos, gimana polahnya kalau ketemu Anita? hehehe
Ini bacanya udah sejak pertama kali keluar, kalo gak salah. Tapi sampe sekarang alurnya masi inget, masa. Nggak pake skim-skim lagi. Saking memorable-nya mungkin. XD
BalasHapusDan kayak biasa, entri Anita masuk deretan submit tercepat. Itu aja udah nilai positif. Kualitas tulisannya sendiri gak perlu diragukan lagi.
Kesan pertama: senang dengan pengungkapan siapa sebenernya Anita. Creepy, gitu. Tapi ada rasa kasiannya juga. Bisa dibayangin horor-horornya pas dia melenggang di antara bencana akibat nyanyian Song, atau pas dia merayap-rayap. .-.
Song sendiri digarap dgn bagus. Bahkan yg terkait kanonnya (kayak relasi JP dan Zi) diungkit juga. Dia yg skill-nya terkesan timpang bisa sempat ngimbangi Anita yg seremnya minta ampun. Kekacauan di bingkai mimpi juga jelas terasa.
Paling yg agak mengganjal kenapa Song kurang terasa nuansa Batak maupun Korea-nya saja. ._.
Emm ... mungkin komen saya segini dulu. :D
-Sheraga Asher
Saya vote Anita karena ceritanya yg solid dan ceritanya cukup saya antisipasi.
HapusTernyata bentukan diri anita itu kesadaran kolektif ye...
BalasHapusMenarik untuk memikirkan anita benar-benar mati dan kesadaran kolektif yang maju sampai akhir.
Tapi, di sini artinya, yang membunuh song bukan anita, tapi prima1 secara keseluruhan ye...
Kalau begitu, jadinya...ini mimpi anita, atau mimpi kesadaran kolektif?
Yang paling top:
Song mati kena azab karena main2 sama speaker mesjid.
Ada perbendaharaab kata yang bikin aye harus buka kamus. Mantap.
Vote menyusul.
Vote for:
HapusANITA
-WAmenodo Huang
anita keluar juga identitas aslinya. ceritanya rapi dan termasuk cepat. kandidat juara nih ._.
BalasHapus