oleh : Sam Riilme
--
Hello, dear dreamer.
Gaze upon me with that youthful eyes of yours.
The world is filled with possibilities,
Everyone in it is kind,
And everyone is a friend.
Even the clouds floating in the sky are made of sweet candy!
Sparkling eyes make your world shine brighter.
Goodbye, dear dreamer.
Gaze upon me with those aged eyes of yours.
The world is predictable,
Everything in it is cruel,
And everyone is a tired stranger.
Even that sweet candy is made of filthy smog!
The sparkling world has opened your eyes.
Wonderland is a fairytale world.
Rhymes are the cradle of dreams.
They’re not worth one shilling.
Their warranty doesn’t even last ten years.
Sweet memories soon fade away.
A necessary sweet pain.
Even if you forget what the book was about,
Don’t forget the bookmark placed between your dreams.
~Nursery Rhyme’s Craft Essence, [Wonderland]
*****
==Starting_Up_System_[PRAE.SCRIPTUM]==
“Hai~. Lama tak jumpa. Kulihat kau baik-baik saja.”
Sebuah suara terdengar menyapa dengan riang menggoda.
Iris Lemma, yang tengah bercengkerama(?) dengan
dombanya seperti dunia hanya milik berdua, sesaat dikejutkan dengan keberadaan
orang ketiga di dalam Bingkai Mimpi yang kosong tanpa penghuni ini.
Mira Slime.
Tak mungkin sang robot mata satu tidak mengenali sosok
wanita ini dalam sekali pandang.
“[Kenapa kau ada di sini?]” tanyanya meragu, mungkin
tidak yakin harus memulai dengan apa selain bertanya kenapa.
“Wah, jahatnya. Kau tidak rindu padaku? Hanya karena
kita lama tidak bertemu bukan berarti ikatan batin yang sudah kita jalin sebegitu
mesra terputus
begitu saja, kan? Kata orang, kalau sebuah hubungan bisa dengan mudah hancur,
berarti sejak awal hubungan itu mungkin memang tidak istimewa. Seperti simpul
tali yang kendur, kau tahu.”
“[Aku tidak tahu apa definisi dari ‘hubungan istimewa’
yang kau sebut, dan kupikir tidak ada hubungannya dengan pertanyaanku. Tapi dalam
perhitunganku, aku tahu kalau belum ada 24 jam sejak kita terakhir bertemu,]”
balas sang robot menatap lawan bicaranya lekat. “[Sebelum dunia berubah menjadi
seperti ini.]”
Mira Slime menjulurkan lidah seraya mengetuk kepalanya
dengan kepalan tangan.
Sungguh, Iris Lemma tidak mengerti apa maksudnya
gestur tambahan ini bila kata-kata saja sudah cukup untuk menyampaikan sesuatu.
Jelas ini bukan kode khusus dengan maksud tertentu, sejauh yang bisa ia
tangkap.
“Begitukah? Aku malah merasa kita sudah tidak bertemu
selama tiga bulan penuh. Yah, mungkin hitungan di dunia mimpi berbeda dengan dunia
nyata. Lagipula, persepsi setiap orang mengenai waktu memang selalu
relatif.”
Sang wanita bergaun biru melangkah dengan santai.
Seperti biasa, parasol tetap melekat di tangannya bagai tak terpisahkan, seolah
berusaha menahan pancaran cahaya matahari yang kini tak lagi dibatasi oleh
sekat bernama langit.
“Tapi tempat ini benar-benar kurang hiburan, ya,”
keluhnya dengan nada bosan. “Tidak ada manusia, tidak ada bangunan, tidak ada
apa-apa. Hanya tanah mati tempat kita berpijak, langit yang kosong, aku dan
kau, serta—“
Ucapannya terhenti sejenak memandangi mahluk berbulu,
yang mendadak seluruh rambutnya berdiri ketika menyadari ada sepasang mata
pemburu yang tengah menatapnya dengan tajam.
“—binatang menggemaskan ini!” Mira Slime menangkap
sang domba malang, yang tak bisa melepaskan diri dari dekapan si wanita
pemangsa. “Fufufu, empuknya… Pantas dari tadi kulihat kau betah bermain dengan
dia.”
“[Empuk?]”
“Hm? Kau tidak merasakannya?” Mira bertanya balik
seraya menyodorkan buntalan bulu putih bak kapas pada sosok tanpa rambut di
hadapannya. “Kelembutan ini, cocok sekali untuk bantal. Kita cuma perlu
mengulitinya, dan…”
“[Kau membuatnya takut. Dan tidak, aku tidak punya indera
peraba dari sentuhan. Sensorku hanya audio dan visual.]”
“Hee, begitukah…” Mira Slime melepaskan sang domba,
yang secepat kilat langsung kabur untuk berlindung di balik tubuh besi majikannya.
“Mahluk ini lucu sekali. Yah, apapun yang
lemah dan tak berdaya memang selalu tampak lucu. Apa kau memberinya nama?”
“[Nama? Nama…]”
Iris Lemma bertukar pandang dengan dombanya, berpikir
sejenak, sebelum kemudian menjawab,
“[Nimbus. Namanya Nimbus. Mulai saat ini, begitulah
aku akan memanggilnya.]”
“Karena dia mirip dengan gumpalan awan?”
“[Karena dia mirip dengan gumpalan awan.]”
Suara gelak tawa terdengar membahana di ruang angkasa tanpa
dinding penghalang.
*
“Jadi, bagaimana kabarmu? Sepertinya kau sudah
menemukan sesuatu yang menarik sejak terakhir kita bertemu.”
Berlatarkan cakrawala tak berujung, Mira Slime dan
Iris Lemma duduk di tepi dunia, memandangi Nimbus si domba yang berlarian ke
sana kemari, menyibukkan diri sendiri agak tuannya punya waktu untuk bicara
dengan orang yang mencuri perhatian sang tuan sejak tiba entah dari mana. Yang
jelas, insting kebinatangan Nimbus tidak suka wanita itu, membuatnya sadar diri
untuk pergi jauh-jauh.
Sementara itu, dengan ringkas sang robot menceritakan
poin-poin penting hasil berjibaku di panggung bernama Anatolia. Tentang seperti
apa rupa dunia yang dipimpin oleh seorang robot. Tentang robot yang membenci
manusia tanpa alasan. Tentang nasib akhir dunia itu yang tidak lagi tertolong
saat ia tinggalkan. Tak lupa, ia pun menyebutkan bagaimana salah seorang
peserta lain bernama Ganzo Rashura membuka sedikit wawasannya mengenai hubungan
antara Tuhan dan agama.
Ketika ia selesai bercerita, barulah ia menyadari
kalau Mira Slime tampak senang mendengarkannya. Iris Lemma mungkin tidak
mengenal emosi, tapi ia dapat mengenali kalau mimik muka sang wanita
menunjukkan ekspresi bahwa ia ‘bahagia’.
“Hmm, hmm. Bagus, bagus. Senang mendengarmu belajar
hal baru. Anak pintar~.”
Mira Slime mengangkat tangannya dan mengelus-elus
kepala Iris Lemma yang licin. Sekali lagi, sang robot mata satu tidak menangkap
apa maksud dari perlakuan ini, tapi memilih untuk tidak menghiraukannya karena
tidak relevan dengan apa yang sedang ada di kepalanya saat ini.
“[Aku juga punya pertanyaan untukmu,]” tukas Iris. ”[Ke
mana kau menghilang setelah waktu itu? Apa yang kau lakukan selama ini? Bagaimana
kau muncul di tempat ini?]”
Sebenarnya, ketiga pertanyaan itu dapat dirangkum
dengan ‘kenapa kau ada di sini?’, yang belum dijawab Mira Slime sejak awal
hingga sekarang.
“Wow wow, sabar, nak. Satu-satu kalau bertanya,
apalagi pada wanita. Perempuan tidak suka laki-laki yang terlalu banyak ingin
tahu, oke? Wanita punya banyak rahasia, dan memakluminya adalah tugas seorang
pria.”
“[Tapi aku bukan—]”
“Baik, biar kujawab,” potong Mira mengetukkan ujung
parasolnya yang kini tak lagi mengembang ke mata merah Iris. “Satu : aku
sebenarnya tidak pernah meninggalkanmu, hanya saja, kau tidak punya kemampuan cukup untuk sadar akan keberadaanku. Dua : apa yang
kulakukan adalah urusanku sendiri, dan bukan sesuatu yang perlu kau pikirkan
dalam perjalananmu di dunia mimpi ini. Tiga : aku tidak muncul
dari manapun, karena sejak awal aku sudah ada di sini.”
Kali ini Mira menunjuk dada Iris.
“Ingatlah, bahwa ini duniamu. Mimpimu, ceritamu, dengan kau sebagai tokoh utamanya.
Bagaimana kau melihat apa yang tampak atau tidak tergantung pada persepsi dirimu sendiri.”
Iris Lemma tidak sepenuhnya mengerti dengan kalimat
tersebut. Atau malah, bisa dibilang ia tidak
mengerti sepenuhnya dengan apa yang Mira Slime katakan barusan.
Namun waktu tidak memberinya kesempatan untuk bertanya
lebih jauh.
Suara ribut mengalihkan pandangan kedua sosok yang
tengah bercakap. Nimbus sang domba berlari ke sana kemari, mengembik tanpa
henti seperti sebuah alarm rusak.
“Mbeek, mbeek, mbeeeeeek~!!”
“Kenapa lagi dia? Tersedak batu?”
Bagi Iris Lemma, ini adalah sebuah pertanda yang
begitu ia kenali. Tanda bahwa babak selanjutnya akan segera dimulai.
“Oh. Lihat.”
Mira Slime kembali bangkit dari tempat duduknya,
membuka parasol seraya menunjuk ke satu arah di ujung semesta.
Sebuah lubang hitam tampak menganga mengancam,
menyedot bintang-bintang dalam kelam.
Tak berhenti sampai di situ, mata Iris Lemma segera
menangkap anomali kedua. Distorsi dimensi tidak hanya terjadi pada titik ujung
di mana mereka memandang, namun juga pada satu titik yang bertolak belakang
dengan lubang hitam tersebut – yakni, di balik tanah gugusan asteroid tempat
mereka berdiri saat ini.
Sebuah lubang putih.
Berbeda dengan lubang hitam yang dengan sangat
perlahan namun pasti berusaha menghabiskan apapun yang tersisa dari semesta tanpa
apa-apa ini, lubang putih tersebut tampak memuntahkan bermacam-macam benda.
Awalnya hanya puing-puing atau bebatuan antah-berantah, namun tak lama
setelahnya muncullah sesuatu dengan ukuran kolosal yang tampak seperti coretan
garis-garis di peta.
Sebuah kota.
Ya. Satu kota lengkap dengan tanah beratus-ratus
kilometer persegi, melayang begitu saja dari dalam lubang putih, dan kini bergerak
terus ke arah mereka.
Mereka sendiri tidak berdiam di satu titik. Siapapun
yang berdiri saat ini bisa merasakan kalau tanah tempat mereka berpijak
sekarang juga bergerak ke satu arah – yang tak lain adalah lubang hitam di
ujung sana.
“Fyuu~, meriah sekali,” ujar Mira Slime bersiul
nyaring. “Karena di sini kekurangan warna, mereka menumpahkan satu kaleng ke kanvas
ini? Benar-benar dermawan.”
Iris Lemma berusaha mencerna situasi ini. Dua buah
lubang di dua titik ujung semesta, sebuah kota melayang, dan sinyal dari domba
tanda pertandingan selanjutnya.
Margin premisnya terlalu luas. Ia tidak bisa menahan
terpancing untuk secara otomatis bertanya ketika memang ada sosok lain yang
bisa ditanya saat dihadapkan pada situasi yang perlu jawaban cepat seperti ini.
“[Apa yang harus kita lakukan?]”
“Kau harusnya sudah tahu dari pertandingan sebelumnya.
Kalau tempat dan lawannya sudah hadir, yang diperlukan bukan sekedar wasit atau
bel tanda mulai, tapi aturan main, kan? Dan siapa yang bisa menjelaskannya
kalau bukan mereka yang menyebut diri mereka panitia?”
Sang robot dan wanita bergaun biru menoleh kembali ke
arah Nimbus, yang kini berjalan beriringan dengan seorang dewi bertombak yang
sudah tak asing lagi di mata keduanya.
“Apa kubilang. Panjang umur.”
*****
==0%~_[FIRST.ACT]==
Part 1
“Mira Slime…”
“Mirabelle.”
“[….Iris Lemma?]”
“Tidak sayang, kita bukan sedang mengabsen nama yang
hadir,” ucap Mira Slime menahan tawa. “Kebetulan aku belum lama ini bertemu
dengan nona dewi yang satu ini. Mungkin dia senang mengucapkan namaku karena
nama kami mirip, jadi aku balas menyapa. Bukan begitu, nona Mirabelle?”
“Simpan kelakarmu untuk lain waktu. Aku hendak
menyingkirkanmu saat kau muncul di Museum Semesta, tapi melihat kau sudah ada
di sini, kuharap kau tidak keluar lagi dari Bingkai Mimpi ini dan mengganggu
tugas kami,” tegas Mirabelle. “Atau…..kau akan tahu sendiri akibatnya.”
“Ooh, seram, seram~. Baiklah, karena aku hanya sekedar
tokoh figuran yang tidak diinginkan, silakan bicara dengan tokoh utama kita
yang kebingungan ini. Maaf mengganggu.”
Mira Slime mengatupkan kedua tangan, kemudian
mempersilakan Iris Lemma maju. Sang robot mata satu hanya diam di tempatnya,
memandang dewi perang Mirabelle dengan tatapan kosong.
“[Wujudmu tampak abstrak di mataku. Apa kau hanya hologram?]”
“…tentu saja, kenapa Zainurma mengira mata besarmu
tidak bisa melihat hal itu?” desah Mirabelle pelan. “Tapi itu tidak penting. Itulah
gunanya komunikasi jarak jauh. Aku tidak perlu bertatap muka langsung denganmu
selama aku bisa menyampaikan apa yang perlu kau lakukan kali ini.”
“Dan itu adalah?”
“Nyonya
Mira, tolong biarkan aku bicara pada anakmu
sebentar,” keluh Mirabelle lagi. “Sampai di mana kita? Yah, seperti yang bisa
kalian lihat, batas antar Bingkai Mimpi mulai mengabur. Gejala Mimpi Buruk
menciptakan kekacauan yang terjadi di mana-mana. Tidak hanya di sini saja, dan
semua terjadi di waktu yang sama. Sejujurnya, ini di luar rencana awal kami. Tangan
kami penuh bila harus mengurus semuanya. Karena itu, kami memutuskan untuk
mengembalikannya pada para reverier untuk menyelesaikan masalah ini sendiri.”
“[Bagaimana caranya?]”
“Salah satu Bingkai Mimpi harus bergabung, atau
diserap, oleh Bingkai Mimpi yang lain. Bisa juga dengan menghancurkan Bingkai
Mimpi yang satu, sehingga kekacauan semesta dalam Bingkai Mimpi akan berhenti
dan distorsi tidak akan terjadi lebih lanjut dari ini. Semua kembali pada
masing-masing reverier untuk menentukan nasib semesta yang diwakilkan di tangan
mereka.”
“Dengan kata lain?”
“….dengan kata lain, kalahkan reverier lawan, dan Bingkai Mimpi-mu akan aman.”
“[Begitu saja?]”
“Fufufu… Nona Mirabelle, kau terlalu berbelit-belit
untuk menjelaskan sesuatu yang seharusnya bisa dipahami anak ini hanya dalam
satu kalimat. Kalau ini pertemuan antara guru dan orangtua murid, aku akan
mengerti kenapa anakku dapat nilai buruk bila diajar oleh guru sepertimu,
ahahaha~.”
Mirabelle tampak menghela napas. Sepertinya ia kesal
telah membuang waktunya di sini.
“Kalau kau sudah mengerti, lakukan sesukamu. Lampiran
data mengenai lawanmu bisa kau dapat dari dombamu. Itu saja dariku. Selamat
bertanding.”
Iris Lemma mengangguk patuh.
“Dan kau, Mira Slime,” lanjut Mirabelle sebelum pergi meninggalkan
mereka. “Aku harus memastikan ini. Apa
yang kau tahu soal Sang Kehendak?”
Mira Slime hanya mengangkat bahu seraya berkata,
“Tidak banyak. Setidaknya, kalau dia tidak sadar
bawahannya penjilat yang diam-diam tidak setia dan kekacauan di luar skenario seperti
ini bisa terjadi di bawah hidung semua orang, dia pasti bukan benar-benar sosok
Maha Kuasa seperti yang kalian
takutkan. Dengan cukup waktu dan usaha, mungkin siapapun bisa mengalahkannya.
Entah itu aku, kau, atau dia.”
Mirabelle memicingkan mata, yang hanya dibalas Mira
Slime dengan senyuman penuh arti.
Tubuh sang Dewi Perang pun kemudian terurai menjadi
dedaunan, meninggalkan mereka kembali dalam keheningan.
Part 2
“Bullshit.”
“Terserah kau percaya atau tidak. Tugasku hanya menyampaikan,
dan selanjutnya terserah kalian.”
Di salah satu rumah yang terletak di kota melayang
Retroria, Axel Elbaniac tengah bicara empat mata dengan sosok panitia
berkacamata hitam, Zainurma. Sang demonologist
menyalakan rokok, berharap racun nikotin dapat membantu otaknya menerima
pernyataan tidak masuk akal dari pria berpenampilan mafia di hadapannya.
“Tapi kenapa harus di sini, brengsek? Sudah cukup seluruh
warga Retroria yang terkena astral
projection massal dipindahkan ke tempat ini, dan sekarang kau bilang robot terminator pembunuh manusia jadi lawanku
kali ini?”
Axel menghembuskan asap rokok ke wajah Zainurma, yang
menjadi berbayang dan kabur untuk sesaat.
“Apa bedanya dengan pertarunganmu yang sudah-sudah?
Ada sosok jahat yang berperan sebagai villain,
kau mengalahkannya sebagai hero, kebaikan
menang lagi melawan kejahatan, cerita episode ini selesai,” jelas Zainurma
santai. “Kau sudah melakukannya dua kali, kali ketiga pasti bukan masalah
bagimu.”
“Aku bukan superman,
bodoh. Hanya demonologist yang bisa
kau temukan di mana saja.”
“Demonologist
bukan profesi umum yang bisa ditemukan di mana saja, kurasa.”
Setelah satu hisapan panjang, Axel menaruh batang
rokoknya di mulut Geeve si domba, yang tampak ikut-ikutan menikmati rokok bekas
tuannya tersebut.
“Kau benar-benar tidak memberiku pilihan lain, huh?
Kau dan semua permainan konyolmu ini. Biar kutebak, di tengah semua kekacauan
yang sedang berlangsung seperti yang kau katakan, kau pasti hanya menonton dari
kursi khusus sambil makan popcorn
melihat apapun kesulitan yang akan kuhadapi nanti seperti acara TV hari Minggu,
bukan begitu?”
“Ternyata kita sudah satu pengertian,” seringai sang
paman mafia membuat kedua alis Axel hampir menyatu saat mengkerut. “Semakin
tinggi tingkat kesulitannya, semakin tinggi pula kualitas karya seni yang
dihasilkan. Jadi, tunjukkanlah padaku pertarungan yang layak dipajang di Museum
Semesta!”
Spontan Axel melancarkan sejurus tendangan ke arah
Zainurma, yang seketika itu juga segera berubah menjadi pendaran cahaya
keemasan.
“Bedebah. Tunggu di kursi penonton itu sampai aku bisa
menendang langsung bokongmu, orang tua,” geram Axel.
“Silakan mencoba. Itupun, kalau kau bisa selamat dari pertarungan kali ini,” ucap
sosok Zainurma yang perlahan-lahan semakin menghilang menuju ketiadaan. “Akhir
kata, kuucapkan selamat bertarung.”
Selepas kepergian Zainurma, Axel terdiam untuk
sejenak, sebelum sebuah ketukan pintu menyadarkan agar pikirannya tidak
berkelana terlalu lama.
Seorang lelaki tua berotot dengan kulit kecokelatan
dan biarawati yang bahkan lebih tua lagi masuk ke dalam ruangan.
“Papa Lobo, Suster Linda… Kalian mendengarkan?”
“Tidak bisa membiarkanmu seorang diri kalau masalahnya
ternyata seserius ini,” kata pria besar yang dipanggil Axel dengan nama Papa
Lobo. “Dengar, Axel. Kau tidak harus menanggungnya sendirian. Kami ada di sini
untukmu.”
“Dia benar, Axel,” Suster Linda di sampingnya menambahkan.
“Kami mungkin bukan Ave atau Geena, tapi kami akan melakukan apapun untuk
membantu meringankan bebanmu sejauh yang kami bisa.”
Mendengar itu, Axel tersenyum. Setidaknya, kegundahan
yang ia rasakan setelah pertemuan dengan Zainurma barusan menjadi sedikit
berkurang.
Axel menatap keluar jendela. Retroria yang mendadak melayang
di tengah ruang angkasa mungkin satu hal, tapi ada hal lain yang lebih mengusik
pikirannya tentang keadaan saat ini.
Yaitu bagaimana penghuni kota di luar sana tampak
seperti menjadi gila.
Kekacauan merajalela. Orang-orang berteriak tidak
karuan, tidak bisa berhenti bergerak seperti kesurupan, dan sudah tidak jelas
lagi apakah mereka masih memiliki kesadaran atau tidak.
Mass hysteria. Asumsi awal Axel adalah ini, dan setelah kasus dengan Grand Light,
tidak aneh rasanya menemukan kekuatan supranatural besar yang mampu mengganggu
jiwa manusia biasa dalam skala masif, apalagi mengingat tempat mereka berada
saat ini sejatinya adalah apa yang disebut sebagai alam bawah sadar. Adalah hal
mudah untuk mengusik pikiran manusia yang tidak cukup kuat ketika dihadapkan
dengan Mimpi Buruk, seperti saat ini.
Tapi kenyataannya, sosok seperti Papa Lobo dan Suster
Linda tampak masih baik-baik saja. Artinya masih ada harapan.
“Baiklah. Aku akan mengandalkan kalian berdua. Sebisa
mungkin, tolong evakuasi orang-orang ini ke tempat aman seperti balai kota, dan
minta bantuan pada mereka yang masih normal, kalau kalian bisa menemukannya.
Untuk masalah robot mata satu yang kabarnya akan bertamu ke kota ini sebentar
lagi, serahkan saja padaku.”
Papa Lobo dan Suster Linda mengangguk tanda mengerti,
tidak menyia-nyiakan waktu untuk berlama-lama lagi dan mulai bergerak cepat.
Sementara itu, Axel mematikan rokok yang menyala di mulut Geeve, seraya
mengusap-usap kepala dombanya yang bersungut kecewa ketika rokoknya dimatikan.
“Oke, partner. Sekarang, ini yang harus kita lakukan…”
Part 3
Tak sampai semenit setelah selesai merekam profil
reverier lawan di kepalanya, Iris Lemma bangkit dan menatap Retroria, tempat
yang harus ia sambangi untuk menuntaskan perhelatan ini.
“[Nimbus. Ayo kita berangkat.]”
Domba yang kini berlapis armor baja dengan sigap mengikuti tuannya yang hendak bertolak
menyebrangi angkasa raya menuju kota di kejauhan sana. Namun, langkahnya
terhenti ketika sebuah tangan dingin meraih tubuhnya dari belakang.
“Oh, tidak, tidak. Kupikir lebih baik kau tinggalkan
saja si imut Nimbus ini di sini,” ujar Mira Slime menahan sang domba malang
yang tak mampu melawan.
“[…? Kenapa begitu?]”
“Coba pikirkan. Kau sendiri mungkin cukup kuat. Bahkan
kalaupun kau mengalami kerusakan, kau masih bisa memperbaiki dirimu asalkan
diberi cukup waktu. Tapi siapa yang bisa menjamin mahluk lemah dan tidak
berdaya ini akan baik-baik saja selama pertarungan nanti? Bagaimanapun juga,
dia ini hampir seperti penyambung nyawamu di Alam Mimpi. Bisa jadi lawanmu
malah memanfaatkannya untuk mengancammu.”
Iris Lemma paham apa maksud Mira Slime.
“Singkat kata, membawa dia hanya akan menambah kelemahanmu. Lagipula, apa
fungsi mahluk ini selain sekedar alat transportasi lintas mimpi? Kau tidak akan
membutuhkannya hanya untuk pergi ke seberang sana. Biar aku yang menjaganya
agar tetap aman di sini.”
“[Masuk akal. Baik kalau begitu. Kutitipkan ia
padamu.]”
“Mbeeek…..”
Mendengar keputusan sang majikan, Nimbus si domba
hanya bisa tertunduk pasrah.
“Eits, tunggu sebentar. Jangan langsung pergi begitu
saja.”
“[….apa lagi sekarang?]”
“Kau tahu, kalau kau meninggalkan seseorang sebelum
bepergian, maka ada kalimat yang harus kau ucapkan terlebih dahulu. Tahukah kau
kalimat apa itu?”
Iris Lemma berpikir sejenak, sebelum kemudian menjawab,
“[Aku pergi dulu. Sampai jumpa.]”
Senyum Mira Slime merekah lebar mendengar suara kaku
sang robot mata satu.
“Umu. Sampai jumpa. Hati-hati di jalan~.”
Dan begitulah, Iris Lemma meluncur melintasi ruang angkasa,
menuju arena pertarungan selanjutnya.
Part 4
Axel Elbaniac tengah berdiri di sebuah lapangan kosong
ketika ia melihat sebuah bintang jatuh di langit.
Tidak, bukan bintang jatuh. Di balik bulan yang ada di
atas sana, ia dapat melihat sebuah lingkaran bak matahari hitam yang perlahan
menelan seisi semesta ini, termasuk bintang-bintang yang bertaburan luas sejauh
mata memandang ke atas. Karena itu, ganjil rasanya bila ada satu bintang yang
mampu melawan kehendak semesta ini menuju kehancuran.
Kecuali – tentu saja – kalau benda yang jatuh itu
bukanlah sebuah bintang.
Benda itu memang menyala kemerahan bagai meteor
menembus atmosfir, tapi semakin dilihat, semakin jelaslah bahwa benda itu
tersusun dari besi alih-alih batu.
Tak perlu menebak dua kali untuk tahu kalau itulah
Iris Lemma, lawan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus ia hadapi sekarang
juga.
Axel menyalakan satu set smoke flare, mengirimkan asap sinyal berwarna kemerahan yang
membumbung tinggi dalam waktu singkat. Sengaja ia melakukan ini, agar lawannya
tahu bahwa ia mengundangnya ke tempat tanpa siapapun selain mereka berdua.
Bagaimanapun juga, ialah yang menjadi tuan rumah. Sejak awal ia sudah tahu
kalau lawannya pasti akan mendatanginya tanpa diminta, maka momen pertandingan
di kandang sendiri seperti ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.
“Yah, setidaknya, begitulah rencana awalnya…”
Sebenarnya ini adalah sebuah taruhan. Jelas Axel tidak
ingin melibatkan warga kota yang tak bersalah dalam pertarungan berdarah,
karena itulah ia memilih tempat yang terisolasi. Sekarang tinggal masalah
apakah lawannya menerima inisiatif ini atau tidak?
“Yap. Dia menerima pesannya.”
Bintang jatuh tampak berubah haluan, seperti serangga
terpancing asap pestisida.
Selang beberapa detik kemudian, sebuah suara bedebum
keras menandai kedatangan sang robot mata satu.
Iris Lemma telah menginjakkan kaki di tanah Retroria.
Bagus. Sekarang apa?
Axel pun mematikan rokok dalam genggamannya dan
mencoba tersenyum. Tidak, ia tidak boleh tampak gugup hanya karena lawannya
bukan manusia. Justru karena lawannya bukan manusia, berarti ia tidak perlu
segan-segan kepadanya.
“Salam, hai Iris Lemma, Seribu Teorema Satu Mata. Itu
julukanmu, bukan? Kenalkan, aku—“
Sang demonologist
tidak dapat menyelesaikan salam perkenalannya.
Karena laser merah sang robot pembunuh secepat kilat telah
memisahkan kepalanya dari badan tanpa pandang bulu.
*****
==15%~50%_[SECOND.ACT]==
Part 1
Satu hal yang Iris Lemma pahami sejak berangkat ke
pertarungan ini adalah, sama seperti dengan pertarungannya melawan Mira Slime,
dunia ini memiliki time limit sebelum
segalanya menemui kehancuran.
Melihat daya serap lubang hitam nun jauh di sana,
kalkulasi singkat Iris Lemma menghasilkan estimasi bahwa ia harus menyelesaikan
pertandingan ini kurang dari 60 menit. Bahkan mungkin kurang dari itu, bila
melihat bagaimana tempat Mira Slime dan Nimbus berdiam akan terserap lebih dulu
daripada tanah Retroria di mana ia berdiri saat ini.
Tidak banyak waktu. Karena itu, pada mulanya ia
memutuskan untuk tidak mengulur waktu.
Bila ia bisa menyelesaikan segalanya dengan secepat
mungkin, maka itulah yang akan ia lakukan.
Begitu menemukan Axel Elbaniac, Iris Lemma segera
membunuhnya tanpa memberikan kesempatan bagi sang lawan untuk bicara banyak. Ia
agaknya khawatir, ketika dirinya diajak berbicara, maka ada kemungkinan mindset yang telah ia tetapkan dapat
tergoyahkan meski barang sesaat. Sama halnya dengan kebingungan yang ia rasakan
pasca melihat emosi Ganzo Rashura di akhir dunia Anatolia.
Ia tidak ingin hal seperti itu mempengaruhi keputusan
yang ia ambil. Temukan lawan, kalahkan dia, selesailah sudah.
Atau begitulah yang seharusnya terjadi, bila semua berjalan sesuai yang ia pikirkan.
Namun pada kenyataannya, tidak ada tanda-tanda bahwa
pertandingan ini sudah berakhir. Tidak ada tanda dari Nimbus, tidak ada sosok
panitia yang muncul, tidak pula pasangan lubang hitam dan putih di ujung
semesta menutup seperti yang ia harapkan setelah mengalahkan lawan.
Apa yang salah?
Iris Lemma baru hendak menginspeksi jasad Axel
Elbaniac yang terbujur kaku tak bergerak, ketika suara embikan yang familiar tiba-tiba
menyita perhatiannya.
Suara seekor domba.
Dan jelas, domba ini bukan Nimbus yang ia tinggalkan
di bulan. Di ujung lapangan kosong, sesosok mahluk putih berdiri gemetaran mendapati
manusia besi yang menghabisi majikannya dengan tangan dingin.
“[Ah.]”
Iris Lemma hanya mengulurkan tangan, dan domba itu
sudah mengambil langkah seribu meninggalkannya ke jalanan.
Sontak, Iris pun terdorong untuk mengikuti sang domba.
Bila semua ini tidak selesai dengan mengalahkan sang reverier, mungkin kuncinya
ada pada domba itu.
Domba itu berlari sedemikian cepatnya, hampir-hampir
Iris Lemma menggunakan jet booster
hanya untuk mengejarnya. Namun ia mengurungkan niat itu ketika melihat si domba
memasuki sebuah rumah di ujung jalan.
Sebelum ikut memasuki rumah tersebut, Iris menyisirkan
pandangan ke sekitar, dan mendapati sesuatu yang sedikit mengusik perhatiannya.
Kota ini terlalu sepi. Tidak seperti panggung akhir
zaman ketika ia pertama membuka mata, atau Anatolia yang berdiri di bawah
payung utopia palsu, di kota ini ia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan.
Koreksi. Ia tahu pasti kalau ia tidak sendirian di kota ini, tetapi anehnya tidak ada satupun sosok
mahluk hidup lain yang menampakkan diri sejauh mata memandang.
Selain domba yang baru saja masuk ke rumah di depan,
tentunya.
Mengingat domba itu, Iris Lemma buru-buru memasuki
bangunan tersebut sebelum kehilangan jejak. Beruntung baginya domba itu tak
berhenti mengembik karena panik, membuatnya hanya perlu mengikuti uluran suara berisik
binatang itu untuk menemukannya.
“[…..?]”
Lagi, sensor visualnya menangkap sesuatu yang ganjil.
Lampu di rumah ini memang tidak menyala, namun ia
dapat melihat adanya partikel-partikel debu yang beterbangan selama ia
menyusuri rumah kecil dan sempit ini. Ia tak tahu pasti debu apakah ini, namun
konsentrasinya cukup pekat seperti sebuah kabut pagi hari di dataran tinggi.
Ada apa sebenarnya dengan rumah ini?
Terlambat ia menyadari, bahwa suara embikan si domba
tidak terdengar lagi.
Mata merah Iris Lemma mengedarkan pandangan dalam
kegelapan. Dari ruangan-ruangan yang ia periksa, ia tidak melihat adanya pintu
keluar selain pintu yang sama dengan tempat ia masuk. Jadi ke mana domba itu
menghilang?
Sang robot mata satu berputar untuk keluar dari
bangunan ini.
Namun kemudian—
“[—!?]”
—sebuah percikan kecil.
Dan sekejap saja, bangunan tersebut meledak dilalap si
jago merah.
Part 2
“…apakah ini sudah semua?”
Di bagian lain kota Retroria – jauh dari suara ledakan
yang tidak sampai ke telinga seorangpun di balai kota – Suster Linda tengah
memastikan seluruh penduduk Retroria telah dievakuasi. Beruntung, biarawati tua
itu tidak sendiri. Tuhan rupanya tidak melupakan hamba-Nya yang beriman dan tak
terganggu oleh kegilaan. Beberapa orang yang masih sehat akal membantunya
mengumpulkan orang-orang, menghalau mereka agar tidak berkeliaran dan
menggiring mereka ke tempat aman yang jauh dari lokasi pertarungan.
Untunglah orang-orang ini pengertian dan dapat diajak
bekerja sama. Memang, dalam keadaan susah, ternyata manusia pada dasarnya masih
punya dorongan untuk bersatu dan menolong satu sama lain.
“Ini sudah semua yang bisa kami temukan. Apa kami
perlu keluar mencari yang lain?” tanya salah seorang penduduk.
“Tidak. Sebaiknya kalian semua jaga mereka yang sudah
berkumpul agar tidak keluar dari tempat ini. Biarkan Papa Lobo dan regunya yang
membereskan sisanya,” ujar Suster Linda menenangkan massa. “Mari kita berdoa, agar
meskipun pikiran saudara-saudara kita tengah dikuasai kegelapan, jiwa mereka
tetap tenang dan damai bersama kita semua.”
Suster Linda memimpin doa, yang diikuti oleh para
penduduk Retroria. Tidak lupa, iapun berdoa agar Papa Lobo segera kembali, dan
Axel selamat dari apapun yang ia hadapi saat ini.
Tuhan,
lindungilah anak-Mu di dalam jalan keselamatan. Harapan kami bergantung
padanya.
*
“Baik, semuanya! Pekerjaan kita cukup sampai di sini!
Sekarang, ayo kembali ke balai kota!”
Di lain tempat, belasan orang – puluhan, bila
menghitung juga massa tanpa akal yang mereka giring seperti binatang ternak –
bergerak di jalan utama kota. Mereka adalah regu penyelamat Papa Lobo, yang
baru saja mengumpulkan batch terakhir
dari warga Retroria yang perlu dievakuasi. Orang-orang gila dibawa ke dalam
sebuah truk yang akan mengantar mereka ke balai kota setelah ini.
“Sudah selesai bersih-bersihnya?”
Suara pria muda membuat Papa Lobo menoleh ke belakang.
“Apa yang kau lakukan di sini? Aku mendengar suara
ledakan barusan. Kukira kau sudah mulai bertarung.”
“Hanya pengecekan terakhir untuk memastikan semua
baik-baik saja, sebelum kita masuk ke babak yang lebih serius,” ujar sosok yang
mengenakan trench coat itu acuh tak
acuh. “Baiklah kalau begitu. Sekali lagi, aku pergi dulu. Bawa mereka jauh-jauh
dari sini, segera.”
“Axel.”
Kali ini giliran panggilan dari si pria tua membuat
teman bicaranya berbalik menoleh ke belakang.
“Jangan mati.”
“Heh. Sebaiknya pikirkan keselamatan dirimu sendiri
daripada mengkhawatirkanku.”
Seluruh warga Retroria yang tersisa di bawah komando
Papa Lobo pun mulai bergerak menjauh, meninggalkan Axel seorang diri.
*
Trik murahan untuk bahan dapur murahan.
Berbekal berkilo-kilo tepung, Axel menyiapkan sebuah
rumah kosong dan tertutup untuk menciptakan dust
explosion. Karena memerlukan ruangan tertutup untuk menjalankan trik ini,
maka ia perlu memikirkan cara agar Iris Lemma mau mengikuti jebakannya ke dalam
rumah. Akan tetapi, sengaja mengundangnya ke dalam sana jelas di luar
pertanyaan. Oleh sebab itu, Axel menyiapkan klon golem yang memang ia niatkan untuk menjadi tumbal, yang dengan
kematiannya akan menimbulkan tanda tanya di kepala lawan tentang pertandingan
kali ini, dan pada momen itulah, ia memanfaatkan Geeve untuk memancing sang
robot mata satu ke dalam rumah yang sudah ia siapkan. Setelah Geeve berhasil keluar,
ia hanya perlu mengunci bangunan tersebut dari luar, mengambil jarak aman
bersama Geeve, kemudian menyalakan api untuk meledakkan seisi rumah itu.
…yah, Axel ingin menjelaskan panjang lebar bagaimana
rencana briliannya ini berjalan, tapi kelihatannya robot itu bukan tipe yang
akan mendengarkan. Buktinya obrolan pertama di antara mereka tidak sampai
hitungan 3 detik.
Berdiri di depan bangunan yang terbakar, Axel menatap
kobaran api dengan penuh waspada.
Sesuai dugaan, ternyata serangan dalam skala ini masih
kurang.
Dari balik api yang menyala-nyala, dapat ia lihat
sesosok siluet hitam yang perlahan mulai berjalan keluar.
“Geeve, menjauhlah sedikit,” perintah Axel pada
dombanya. “Dia datang.”
*
Robot mata satu dengan mata merah menyala dan asap di
sekujur tubuhnya melangkah dengan berat keluar rumah.
Seluruh tubuh dan otaknya berada pada suhu tinggi, meski tidak cukup panas
untuk melelehkan intinya, tetapi cukup membuat kerusakan yang signifikan bila
dibiarkan. Ia harus segera keluar, kemudian perlu sekitar 5 sampai 10 menit
untuk mendinginkan kembali mesin dalam, serta memperbaiki anggota tubuh yang sedikit
rusak menahan ledakan barusan.
Namun ketika ia berhasil keluar, di hadapannya sudah
menunggu sosok Axel Elbaniac, yang entah bagaimana berdiri sehat walafiat tanpa
kurang sesuatu apapun. Memutus rencana awalnya untuk mengambil jeda istirahat
barang sejenak.
“Yo, robot. Bagaimana di dalam sana? Apa panasnya
pas?”
Iris Lemma tidak langsung menjawab. Di kepalanya,
selain beberapa pertanyaan yang jelas timbul, sebuah impresi baru mendadak
muncul tanpa diminta.
Seorang manusia biasa mampu mengakalinya seperti ini.
Iris sungguh tidak bisa merasakan hal lain selain terkesan.
“[Aku punya beberapa pertanyaan,]” ujar Iris dengan
nada statik yang berat. “[Tapi setelah kupikirkan lagi, kurasa ini bukan waktu
yang tepat untuk duduk dan bicara tiga mata. Kecuali kau bisa bertarung sambil
berbicara denganku.]”
“He? Aku tak menyangka kau bisa banyak bicara. Kukira
kau cuma robot yang bisanya hanya membunuh manusia saja,” balas Axel ringan. “Oke,
biar kulayani! Bagaimanapun juga, akulah tuan rumahnya di sini!”
“[Kalau begitu—]”
“—ayo.”
Kedua reverier, melesat menuju ke arah satu sama lain.
Part 3
Sejak awal, Axel ragu kalau meledakkan sebuah rumah
saja cukup untuk menghentikan robot ini. Karena itu, tujuan utamanya bukanlah
sekedar mengulur waktu atau menghentikan gerakan Iris Lemma, melainkan menciptakan sumber api untuk kemampuan pyrokinesis miliknya.
Ya. Selepas pertarungan melawan iblis Shor-Ush, Axel
kini telah mengingat kembali bagaimana caranya mengendalikan elemen api.
Dengan kemampuan ini, manusia seperti Axel di luar
dugaan mampu bermain imbang berhadapan dengan Iris Lemma. Setiap kali ia perlu
menahan serangan, ia menciptakan pagar api. Ketika ia memerlukan serangan jarak
jauh, ia menciptakan bola-bola api. Dan saat terjadi pertarungan jarak dekat,
tinjunya telah siap diselimuti lidah api. Di semua lini, api siap menjadi
pelindung yang sukar ditembus sekaligus senjata yang dapat diandalkan.
Sementara itu, Iris Lemma sendiri mencoba bermain aman
dan tidak mengambil risiko yang dapat membuat komponen tubuhnya mengalami overheat, karena ia tidak sempat
melakukan cooling down sebelum
melawan Axel satu lawan satu.
DI sela-sela pertarungan sengit yang berlangsung,
kedua reverier tidak hanya bertukar serangan. Seperti halnya ketika melawan
Mira Slime, Iris Lemma merasa dapat bertukar pikiran dalam situasi hidup-mati dengan
reverier yang satu ini.
Karenanya, semakin banyak serangan yang mereka lepaskan,
semakin banyak pula percakapan yang terjadi di antara mereka berdua. Bahkan
Axel akhirnya berhasil menjelaskan ‘rencana brilian’nya yang sempat ingin
ditanyakan Iris sebelum pertarungan ini dimulai.
“Kau tahu, apa yang membuatku sulit untuk melawanmu
bukanlah karena engkau sebuah robot besi, sementara aku hanyalah manusia
biasa…” seru Axel di tengah-tengah pertarungan mereka. “Tetapi, perbedaan besar
di antara kita adalah bahwa aku punya terlalu
banyak orang yang harus kulindungi, sementara kau tidak sama sekali. Ini
seperti judi di mana aku mempertaruhkan banyak koin untuk bermain, sementara
kau dijamin tidak akan kehilangan apapun, tak peduli seperti apa hasil
akhirnya. Mengerti maksudku?”
Iris Lemma mengambil jarak, menembakkan sejurus laser
dari mata. Sayang, berbekal cermin yang dipasang di sarung tangan, Axel mampu
membalikkan cahaya laser seperti menepuk nyamuk. Sesuatu yang sekali lagi
mengejutkan sang robot mata satu.
Serangan jarak jauhnya berhasil dimentahkan. Sekarang,
ganti Axel yang melancarkan serangan balasan.
“Kudengar kau senang bermain logika. Kalau begitu,
pikirkan ini!” Axel melemparkan serangkaian bola api, nyaris seperti membabi
buta ketika melakukannya. “Kau bukan manusia. Kau tidak punya ingatan sebelum
tiba di Alam Mimpi. Kau hanya bergerak berdasarkan tuntutan program. Dengan
kata lain, kau tidak punya motivasi
konkrit! Seseorang sepertimu tidak layak untuk menghakimi orang lain!
Menyerahlah, dan biarkan aku memenangkan pertandingan ini!”
Mengorbankan sedikit tenaga dari jet booster, Iris Lemma bergerak cepat menghindari semua serangan,
kembali mempersempit jarak seraya memikirkan bagaimana cara mengubah alur
pertarungan ini.
“[Ada 32 reverier, termasuk aku dan kau, yang terakhir
masih kulihat dipanggil oleh Zainurma dan Ratu Huban],” ucap sang robot
bersiasat. “[Di antara jumlah itu, kuasumsikan semuanya tengah menjalani hal
yang sama dengan kita saat ini – yakni, menentukan salah satu dari dua
reverier, mana yang layak maju melanjutkan perjalanan di turnamen ini. Proses
eliminasi ini kelihatannya akan terus berjalan hingga hanya tersisa satu orang
sebagai pemenang tunggal.]”
“Dan poinmu adalah?”
“[Kemungkinan bahwa kau adalah satu-satunya pihak yang
benar hanya 1 : 32. Terlalu kecil dan bias. Dengan angka itu, klaim bahwa kau
harus memenangkan pertandingan ini karena kau berada di pihak kebenaran bagiku
tidak valid. Lebih tepat kusimpulkan bahwa bukan siapa yang benar berhak menang
dari awal, tetapi siapa yang menang
berhak mengatakan bahwa dirinya benar di akhir.]”
Iris Lemma ingin mencoba satu hal. Mungkin ia harus
mengubah pertarungan ini menjadi kontes kekuatan murni?
Iapun merangsek maju, sementara Axel membentuk
sejumlah bilah api, bersiap untuk menyambutnya.
“Katakanlah begitu. Tetapi, kau juga tidak punya
alasan untuk menang! Katakan padaku, untuk apa kau mengalahkanku? Untuk apa kau
melanjutkan berkiprah di turnamen antah berantah yang tak jelas ujungnya ini? Apa
yang ingin kau cari?”
Bilah api ditembakkan bak anak panah. Iris Lemma
meninju salah satu, mengukur seberapa panas yang bisa ia tahan dari serangan
ini, seraya menjawab pertanyaan Axel dengan mantap,
“[Aku akan menemukan Tuhan.]”
Spontan serangan Axel berhenti dan berubah menjadi
sebuah ledakan. Ledakan tawa.
“Huh… Bfuh?! Buahahahahaha!!”
Tak mengerti, Iris pun terbawa ikut menghentikan
gerakannya dan bertanya,
“[Mengapa kau tertawa?]”
“Oh ya ampun… Robot pencari Tuhan, eh… Siapapun yang
menciptakanmu pasti punya selera humor yang buruk,” hardik Axel, kini
menggeggam salah satu bilah api yang ia ciptakan sementara yang lainnya tetap
bersiaga di udara. “Maaf. Aku sudah sering berseberangan dengan pihak iblis
yang menentang Tuhan, tapi baru kali ini aku melawan sosok yang justru mencari
Tuhan. Ironis.”
Axel mengacungkan bilah api tersebut, dan serentak
seluruh bilah api lain melesat ke arah Iris.
“[Apa kau kecewa mendapatkan lawan sepertiku?]”
Iris memantapkan pijakannya, kemudian menghalau
seluruh bilah api yang meluncur ke arahnya satu-persatu dengan tangan kosong.
Setiap bilah api berguguran seperti lilin padam, hingga akhirnya hanya tersisa
satu di tangan Axel.
“Ya. Aku kecewa,” jawab Axel, yang mungkin merasa
sia-sia bermain api seperti ini, memadamkan sendiri bilah api terakhir yang ia
pegang. “Karena ternyata lawanku mudah sekali dibuai kata-kata. Ke mana robot
yang membunuh manusia dengan satu serangan? Perasaanku saja, atau kau tidak
sekuat yang kukira? Apa aku terlalu panas untukmu?”
“[Tidak. Aku memang membatasi diriku sendiri, karena
kau menginisiasi dialog. Aku berusaha membuat diriku sendiri mengimbangimu,
karena sayang rasanya bila kau mati terlalu cepat. Meski sebenarnya ini
bertentangan dengan rencana awalku, tapi aku belajar untuk menjadi adaptif dan
fleksibel dalam mengambil keputusan.]”
Iris Lemma menenggelamkan sosok Axel Elbaniac dalam
pandangannya, dan meneruskan,
“[Kupikir aku perlu memberimu waktu sampai aku
mendapatkan suatu hal menarik yang baru darimu. Dan sejauh ini, kurasa aku
belum mendapatkan itu. Karena itu aku masih bersedia mengulur waktu, selama
masih dalam rentang yang bisa kutoleransi.]”
“Ha! Omongan besar untuk seseorang yang tidak punya
mulut!” geram Axel berang. “Apa, kau ingin bilang sengaja menurunkan levelmu
agar setara denganku? Kau pikir siapa aku?”
“[Seorang manusia biasa, yang kebetulan besar kepala
karena bisa bermain api dan berpikir satu-dua langkah ke depan.]”
Kini Axel benar-benar tersinggung. Tidak ia sangka,
seorang robot bisa juga menyindirnya seperti ini.
“Baik, kalau itu permainanmu.”
Axel Elbaniac merapal sebuah mantra, dan tiba-tiba
saja kaki dan tangannya berkilau dengan aksara-aksara keemasan yang tidak mampu
dibaca oleh mata Iris Lemma.
“Ini adalah mantra holy
buff,” Axel berbaik hati menjelaskan tanpa diminta. “Pada dasarnya, ini
adalah mantra untuk memperkuat energi suci saat melawan setan. Namun aku telah
membuat aplikasinya seperti kemampuan telekinesis sesaat, sehingga tidak
terbatas berefek anti-demon saja.”
Axel Elbaniac mengambil kuda-kuda, menyiapkan kedua kepalan
tinjunya di depan muka.
“[Kau… Mengajakku bertarung tangan kosong?]” tanya
Iris Lemma memastikan.
Axel menyeringai lebar mendengarnya.
“Senang kau langsung mengerti. Kau kira okultis
sepertiku hanya bisa bermain api? Akan kubuat kau menyesal meremehkan kekuatan
spiritual seorang manusia!”
Part 4
Sebelum kembali ke pertarungan panas di arena jalanan
yang berapi-api ini, mari kita bicara jujur akan satu hal tentang kondisi Axel
Elbaniac.
Sebenarnya, semua ini hanyalah gertak sambal belaka.
Sebagai pria dengan perwatakan alami seorang penipu
ulung, ia telah terbiasa memposisikan dirinya di atas lawan. Melawan seorang
manusia atau iblis sekalipun, hal terpenting yang selalu ada di kepalanya
adalah bagaimana tidak membuka semua kartu yang dimiliki, dan bagaimana ia
tidak boleh menunjukkan kelemahan sama sekali.
Dengan kata lain, sebuah perang psikologi.
Ketika seseorang yang kau lawan terus-menerus
memperlihatkan kalau ia selalu bisa berada di atas angin, maka akan terbangun
sebuah mental image di mana statusmu
lebih rendah dari lawan tersebut. Dan ketika momen itu muncul, banyak celah
yang akan lahir. Kelengahan sesaat bisa menjadi penentu kemenangan dalam
peperangan.
Begitulah seharusnya, kalau perang psikologi ini
berjalan dengan baik.
Tapi ada satu hal yang luput dari perhitungan Axel.
Yakni, meski lawannya ini berwujud humanoid, bukan
berarti dia memiliki pola pikir seperti manusia. Sebuah kaleng pengharum
ruangan atau seekor naga tua renta mungkin masih lebih manusiawi dan mudah diprediksi
daripada robot ini.
Tapi karena sudah kepalang tanggung, maka sang demonologist akan tetap menjalankan
perannya sebaik mungkin. Kalau sudah terlanjur membual, maka yang perlu dipikirkan
adalah cara bagaimana membuat bualan itu berubah menjadi kenyataan, bukan lari
dari kenyataan itu sendiri.
Bagaimanapun juga, ia adalah seorang laki-laki, dan
laki-laki sejati tidak akan menarik kata-katanya sendiri!
*
Api saja tidak cukup untuk menjatuhkan Iris Lemma.
Hal itu mestinya jelas dari pertarungan singkat sesi
pertama yang baru saja mereka lakukan. Dan sialnya, Axel adalah pengendali api,
bukan penyihir api. Ia tidak bisa menciptakan api dari ketiadaan, dan semakin
banyak api yang ia gunakan, semakin cepat pula api yang tersedia untuk
digunakan habis.
Menyadari hal itu, maka Axel mengubah permainannya
menjadi pertarungan tangan kosong.
Lagipula, memangnya bisa sekuat apa robot banyak lagak
yang sok-sok menunda untuk langsung membunuhnya ini?
*
“Guekh!”
Satu pukulan. Dari puluhan pukulan yang dipertukarkan
seperti sepasang petinju di ring, hanya satu yang melesak masuk mengenai salah
satu kontestan dalam satu menit terakhir.
Dan itu sudah cukup untuk membuat lutut Axel mencium
tanah.
Kuat. Kalau benar-benar serius, ternyata robot ini
benar-benar kuat!
“Hah, haha… Kau mungkin kuat, tapi kau belum tentu
cepat!”
Dengan footwork
yang tak bisa ditangkap mata telanjang, Axel bergerak bagaikan kilat,
seolah-olah ia berteleportasi ke belakang tubuh Iris Lemma dalam sepersekian
detik.
“[Seperti ini?]”
Kejutan, kejutan. Ternyata robot ini juga bisa
melakukan hal yang sama!
Dengan jet
booster miliknya, kini ganti punggung Axel yang terbuka lebar untuk
diserang Iris dari belakang.
“Brengsek!”
Axel menghantamkan sikutnya ke belakang, namun Iris menangkapnya
dengan mudah.
“Robot botak sialan… Lepaskan tanganku!”
“[Mungkin sudah saatnya.]”
Genggaman Iris Lemma menguat, dan terdengar bunyi
‘krak’.
Tangan kiri Axel bengkok ke arah yang tidak masuk
akal.
“AAAAAAAAAAAAAAARRRRGGGHHHHH!!!”
Teriakan Axel mengalahkan rasa sakit yang mungkin
terasa saat seseorang melihat apa yang terjadi pada tangan Axel saat ini.
Ekspresi sang pria bermantel kelabu berantakan tak karuan, menatap mata merah
yang menyala dan siap merenggut nyawanya kapan saja.
“Kau… Kau…!”
“[Setelah berhenti bermain api, kau jadi tidak banyak bicara lagi. Kalau tidak ada
lagi yang bisa kita bicarakan, mungkin aku harus mengakhiri ini sekarang. Tidak
ada gunanya memperpanjang pertarungan kita lebih dari ini.]”
“Sialan…. Terima ini!”
Axel mengumpulkan seluruh api yang masih tersisa dari rumah
yang terbakar, membentuk sebuah burung api. Tanpa basa-basi, burung api itu
segera meluncur menyambar tubuh Iris Lemma seutuhnya.
Sementara itu, sang penyerang tergopoh-gopoh memasuki
sebuah mobil di sisi jalan, dan langsung tancap gas dari sana.
Axel Elbaniac mundur secara strategik.
Jauh dari pengendalinya membuat nyala sang burung api
melunak, dan tak butuh waktu lama bagi Iris Lemma untuk melepaskan diri.
Sekali lagi, ia akan mengejar lawannya dan tidak akan
membiarkannya hilang dari pandangan untuk yang kedua kali.
Part 5
Aksi kejar-kejaran antara robot dan mobil berlangsung
di jalanan Retroria yang lenggang, membuat Axel bisa memacu kendaraan (curian)
tersebut menembus 100 km/jam. Menggunakan sisa tenaga yang ia miliki, Iris
Lemma mendorong dirinya dengan kecepatan tinggi, berusaha menyusul deru sedan
yang melaju kencang.
Iris melepaskan sebuah tembakan laser, sukses membuat
kaca belakang mobil berlubang, namun gagal mengenai pengemudinya.
Walau begitu, kelihatannya serangan tersebut
berpengaruh juga.
Mobil yang dikendarai Axel meninggalkan jalanan utama,
menabrak portal masuk sebuah bangunan terbengkalai, dan melarikan diri ke dalam
parkir di basemen. Iris mengikutinya, berpikir kalau sekarang Axel Elbaniac
tidak akan bisa lari ke mana-mana lagi.
Dan tibalah mereka berdua di sini.
Di dalam areal parkir dengan cahaya lampu remang,
sekali lagi laser mata Iris melaju lurus, kali ini melubangi ban mobil yang
tengah berusaha berbelok. Naas, mobil tersebut segera bertabrakan dengan
dinding dan meledak, membuat bangunan ini bergetar untuk sesaat.
Hebatnya, Axel masih sempat berguling keluar dari
pintu mobil dan menyelamatkan diri di detik-detik terakhir.
Namun rasa aman setelah menghindari maut tersebut tidak
berlangsung lama, karena robot yang mengejarnya kini kembali bertatap mata
langsung dengan dirinya yang terbaring lemah di tanah.
“Ugh….”
Axel menggeram, meninju tanah dengan tangan kanannya.
“[Kita masih punya kurang lebih 40 menit. Apa kau
masih ingin melanjutkan ini, atau kuakhiri saja sekarang? Aku bersedia
mendengarkan kalau ada yang ingin kau sampaikan sebelum aku membunuhmu.]”
“Huhu… Huhuhu… Huahahahahahahaha!”
Tiba-tiba saja Axel tertawa meledak-ledak. Apa rasa
putus asa membuatnya gila?
“[Apa lagi sekarang?]” tanya Iris Lemma, matanya
terkunci pada sasaran dan siap menembak kapan saja.
“Tidak, hanya saja, aku sedang berpikir,” Axel
terkekeh dan melanjutkan. “Satu rumah mungkin tidak cukup untuk melukaimu… Tapi
bagaimana dengan bangunan 8 lantai seperti ini?”
Mendengar perkataan Axel, Iris termenung sesaat,
sebelum kemudian melepaskan pandangannya dari sang reverier sekarat dan segera
memindai tempat ia berada saat ini dalam radius maksimum yang ia bisa.
Sensor visualnya menangkap sesuatu… Tidak, bukan cuma
satu. Banyak, banyak bahan peledak, tersebar di mana-mana.
Dinamit di setiap pilar bangunan, dengan kertas
mantera api menempel sebagai sumbu pemicu.
Iris Lemma menatap Axel Elbaniac, tak percaya sudah
berapa kali ia dikelabui oleh tipuan manusia di hadapannya.
….sejak kapan ia menyiapkan semua ini?
“Sejak kapan aku mengatakan kalau aku yang berhadapan
denganmu selama ini adalah aku yang asli?”
kata Axel dengan senyum penuh kemenangan.
Dan detik berikutnya, serangkaian suara ledakan
dahsyat meluluhlantakkan gedung tersebut seperti raksasa kehilangan kedua kaki.
*****
==Halfway_Interference_[CHECK.POINT]==
Dua sosok di Museum Semesta menonton pertandingan yang
tengah berlangsung di Retroria.
Zainurma mengunyah popcorn
dengan tampang bosan, sementara Ratu Huban…yah, dia tidak punya mulut, jadi
tidak bisa ikut makan seperti om-om di sebelahnya. Kakinya menendang-nedang
udara kosong dari kursi tempat ia duduk, kelihatannya tidak sabar melakukan
perjalanan lintas mimpi.
“Aku lelah, paman… Harusnya si robot sudah menang dari
awal, tapi sekarang ceritanya jadi panjang. Apa kita boleh berhenti
menontonnya?” rengek si kepala bantal memelas. “Si muka suram sudah menang,
kan? Ayo kita ke sana dan beri dia ucapan selamat~!”
Zainurma juga tahu kalau pertarungan ini agaknya
terlalu panjang. Dan menurut perkiraannya, semua ini masih setengah jalan
sebelum rampung menjadi satu karya utuh yang layak dipamerkan.
Sambil berdehem pelan, ia pun membujuk Ratu Huban
untuk tetap diam.
“Duduk tenang dan tunggulah sebentar lagi. Bintang
tamu kita kali ini datang terlambat.”
“Bintang tamu?”
Ratu Huban bertanya keheranan, namun segera berdiri
dari tempatnya duduk ketika melihat siluet yang muncul di Bingkai Mimpi yang
tengah mereka saksikan.
“Oneiros!” seru si kepala bantal, entah mengapa
terdengar bersemangat. “Paman, kita harus— Umpf?!”
“Aku tahu, aku tahu, Huban,” kata Zainurma, kali ini
menahan kepala bantal seperti….seperti orang mengambil bantal. “Tapi biarkan
cerita ini berjalan sebentar lagi. Kalau robot itu sendiri memutuskan membuat
semuanya jadi berjalan panjang, kenapa kita harus ikut-ikutan turun tangan
untuk memangkasnya?”
*
Axel Elbaniac, pria dengan wajah tirus dan mata emas,
melangkah santai menyusuri jalanan kota Retroria bersama dombanya Geeve.
Lubang hitam di langit terlihat mulai melambat dalam
menyerap benda-benda angkasa, makin lama makin kecil di mata Axel. Bila
kegilaan warga adalah ‘Mimpi Buruk’ versi Axel seperti yang disebutkan
Zainurma, maka menurut tebakannya, lubang hitam itu adalah Mimpi Buruk versi
Iris Lemma.
Dan mengecilnya lubang itu menandakan dia berhasil
menghajar si robot mata satu.
Robot itu benar-benar polos. Jauh dari kesan cerdas
meski memiliki teknologi canggih, tidak seperti dirinya yang sederhana namun dibekali
banyak akal. Kata pepatah, bahkan keledai tidak akan jatuh ke lubang yang sama
dua kali. Berarti robot itu lebih buruk dari keledai.
“Kukuku…”
Dengan bantuan kemampuan precognition miliknya, Axel dapat menyiapkan rencana beberapa
langkah lebih dulu dibanding lawan, seperti pemain catur yang tahu langkah apa
yang harus diambil. Beruntung meski acak, kemampuan ini telah memberinya
penglihatan tentang kemungkinan terburuk bagaimana ia dibunuh oleh robot itu,
sehingga Axel telah bersiap untuk menghindari itu sebelum pertandingan dimulai.
Axel terkekeh mengingat bagaimana ia bersandiwara
begitu meyakinkan, mulai dari ekspresi kesakitan, sampai mengulur robot itu ke
dalam gedung yang sudah ia siapkan jauh-jauh sebelumnya sebagai perangkap
terakhir. Ia memang berbakat. Aktingnya bahkan bisa menipu mata robot
sekalipun. Mungkin kalau sudah tidak berprofesi sebagai demonologist, ia harus mencoba melamar sebagai bintang film suatu
hari nanti.
Saat ini, ia ingin mampir ke balai kota untuk mengecek
keadaan warga.
Sudahkah kegilaan mereka berhenti? Bagaimana kabar
Papa Lobo dan Suster Linda? Ia harap semua baik-baik saja.
Di tengah perjalanan, ia melihat sebuah siluet mewujud
dari warna-warna acak, sebelum kemudian memperlihatkan sosok asing.
Awalnya ia mengira itu adalah Zainurma atau Huban yang
akan menutup pertandingan ini secara resmi. Tapi mahluk cebol bertubuh tulang
kering dan bola mata sebagai kepala ini jelas bukan keduanya.
“Siapa kau?”
Yang ditanya membalas dengan nada marah.
“Kau…reverier… Kalian semua pengganggu! Karena
kehadiran kalian, Alam Mimpi sampai serusak ini,” ia mengangkat benda serupa
tongkat yang ia pegang, dan seketika lima ekor domba hitam muncul dari
ketiadaan menyertainya. “Kembalilah ke dunia asal kalian!”
*****
==50%~85%_[THIRD.ACT]==
Part 1
“Serang dia, domba-dombaku!”
Domba-domba hitam merangsek maju seperti binatang buas
kelaparan, menerjang Axel dan Geeve. Geeve, domba Axel, entah mengapa terlihat
begitu ketakutan, seolah-olah yang memburunya bukanlah sesama kaum domba,
melainkan serigala jahat pemangsa.
“Cih.”
Axel tidak tahu siapa mahluk aneh ini, tapi ia tidak
akan membiarkan dombanya dilukai. Mengeluarkan api dari pemantik revolver miliknya, Axel kemudian
meluncurkan sebuah bola api ke arah salah satu domba hitam.
Domba itu terurai seperti asap hitam, kemudian kembali
lagi seperti sedia kala seolah tidak terjadi apa-apa.
“Apa?!”
Lima ekor domba hitam menyeruduk Axel. Salah satu
mulai menggigitnya, dan yang lain serentak mengikuti.
“Aaaargh!”
Axel mendadak merasa lemas. Ia tidak tahu apa, tapi
selain rasa sakit, ada sesuatu yang terasa seperti dikeluarkan secara paksa
dari tubuh…bukan, jiwanya? Apapun itu, itu membuat Axel seperti diserang
paralisis. Ia mencoba berontak, memukul dan menendang domba-domba laknat itu,
namun nihil. Seperti apapun serangannya, ia seperti hanya meraba asap hitam yang
tak bisa digenggam.
Hampir saja ia menyerah pada nasib, sebelum Geeve
dengan berani menerobos kumpulan domba hitam, menggigit tuannya dan menaruhnya
di punggung.
“….Geeve?”
“Mbeeek!”
Sang domba pun segera melarikan diri dengan kencang,
meninggalkan si bocah bola mata dan domba-domba hitamnya.
*
Beberapa menit kemudian, Axel dan Geeve tiba di balai
kota.
Namun pemandangan yang ia temui saat ini sungguh
mengerikan.
“A, apa yang…”
Warga kota Retroria menggila.
Ya, beberapa di antara mereka memang sudah gila
sebelumnya, tapi sekarang, mereka kehilangan akal sampai-sampai satu-satunya
naluri kebinatangan yang tersisa adalah membunuh
satu sama lain.
Dan itulah gambaran keadaan yang dihadapi Axel saat
ini.
Yang membuatnya terkejut bukanlah pertumpahan darah
yang terjadi di depan matanya, melainkan fakta bahwa usahanya untuk melindungi
warga kota hanya dalam waktu singkat berubah menjadi sesuatu yang sia-sia. Kehilangan arti.
Mendadak ia mengingat Papa Lobo dan Suster Linda.
Mengabaikan orang-orang yang tak ubahnya zombie tanpa
otak, Axel memacu Geeve, menerobos kerumunan dan memukul mundur siapapun yang mencoba
menghalangi.
“Minggir, minggir, minggir!”
Ia sampai di dalam balai kota, dan mendapati
pemandangan yang sama dengan di luar. Semua orang melukai satu sama lain,
bahkan ketika mereka terluka parah atau kehilangan anggota tubuh, tidak ada
yang berhenti melakukan kekerasan sampai tubuh mereka benar-benar tidak lagi
bisa bergerak.
Kekerasan seperti napas mereka. Satu-satunya alasan
bagi mereka tetap bergerak layaknya mahluk hidup.
Tidak terkecuali seorang
pria tua berotot dan wanita tua dengan pakaian biarawati di hadapannya.
Axel segera tertunduk lesu.
Sia-sia saja. Bahkan Papa Lobo dan Suster Linda seolah
luput dari perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Keparat!”
Axel memukul lantai, kemudian memukul wajah siapapun
orang gila yang berani mendekatinya, melampiaskan kekesalannya atas Mimpi Buruk
ini.
“Apa kubilang? Mimpi Buruk kalian hanya mengacaukan
tempat ini! Pergilah sekarang juga!”
Suara itu.
Si bocah bola mata hadir kembali di hadapan Axel entah
dari mana, lengkap dengan pasukan domba-domba hitam.
“Maksudmu… Akulah penyebab semua kekacauan ini?” tanya
Axel tak percaya.
“Benar. Alam bawah sadarmu menghendaki terjadinya
semua ini. Dan lihat sekarang! Dua Bingkai Mimpi bertubrukan, hampir bercampur
jadi satu. Bila dibiarkan terus, Mimpi Buruk ini bisa menular ke tempat lain.
Aku harus memakan inspirasimu supaya kekacauan ini segera berakhir!”
Aku…menghendaki semua
ini?
Atas perintah si bocah bola mata, domba-domba hitam
kembali mengerubungi Axel. Axel terjatuh, melepaskan sebuah koper kayu yang ia
bawa di atas punggung Geeve, membuatnya seluruh isinya jatuh berserakan di
mana-mana. Sementara itu Geeve berlari mengitari aula balai kota menyelematkan
diri.
Salah satu domba hitam mengejar Geeve. Axel tergerak
ingin menolong dombanya tersebut, tapi apa daya. Domba-domba hitam yang
mengerubunginya membuatnya semakin lemas.
Untuk apa dia melawan? Apa artinya meneruskan semua
omong kosong ini?
dajdBfkieolaRdadErtqdcpAasadKoooTdacnkHplaseqEoooSczasEwadvAascLfghh
“—?”
Sekelebat suara merayapi pikiran Axel, membisikkan
sesuatu yang samar di kepalanya.
BqwRerEtyAuiKopTasHdfEghSjkElzAxcL
Siapa?
Tubuh Axel terbenam di tanah, digigiti domba-domba,
namun salah satu tangannya yang bebas berusaha meraih sesuatu.
B-R-E-A-K T-H-E S-E-A-L
Bisikan itu terdengar begitu menggoda, dan meyakinkan.
Axel tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sebelum
jiwanya menjadi kosong dan kehilangan seluruh inspirasi, ia menarik sesuatu,
dengan satu harapan untuk menyingkirkan semua domba hitam keparat yang mengganggu.
“Hah?”
Terdengar si bocah bola mata menggumam kebingungan.
Gigitan para domba hitam juga terhenti, dan mereka
tiba-tiba saja mundur dengan teratur, tampak seperti ketakutan.
“Reverier kurang ajar… Masih kurang dengan Mimpi Buruk
ini, kau juga menambahkannya dengan memanggil iblis?”
Memanggil….iblis?
Axel melihat benda apa yang ia genggam di tangan.
Sebuah kertas segel.
Tak jauh dari tangannya, sebuah guci kosong terbuka
menganga.
Barulah Axel sadar apa yang baru saja ia lakukan.
Ia menoleh ke langit-langit, dan melihat sosok iblis
merah dengan duri-duri menjijikkan di sekujur tubuh, memancarkan cahaya merah
pekat yang menandakan aura kematian. Lingkaran api berkobar dahsyat merayakan
kedatangannya, dan sang iblis pun tersenyum lebar memperlihatkan taringnya yang
ganas.
“Hahahahahahaha!!” tawa iblis menggema ke seluruh
penjuru ruangan.
“Shor…Ush…”
Part 2
Shor-Ush.
Iblis neraka berkedok nama Sang Cahaya yang telah
membimbing jemaat Grand Light kepada kesesatan. Dengan susah payah Axel
menyegelnya ke dalam sebuah guci pada pertandingan lalu, yang ironisnya kini
dibuka kembali oleh tangannya sendiri.
Menatap Axel yang terbujur kaku di lantai, Shor-Ush semakin
terbahak-bahak.
“Tidak kusangka, ternyata justru kau yang memanggilku
kembali ke dunia ini, hei pembasmi setan. Kalau begitu, mari kita mulai
pestanya! Pesta pembantaian manusia! Hahahahahahaha!!
“Iblis! Kau tidak bisa dibiarkan berkeliaran!” seru
Oneiros mengacungkan tongkatnya. “Kalau kau tidak menurut, ma—“
Dengan satu sapuan tangan, lidah api melibas tubuh si
bocah bola mata, yang pecah menjadi sekumpulan bola-bola mata kecil sebelum
tubuhnya kembali terbentuk dengan sempurna.
“Aku belum selesai bicara!”
“Diamlah, mahluk kerdil. Satu-satunya perintah yang
kuterima saat aku dipanggil adalah, ‘bunuh semua orang’. Karena aku sudah ada
di sini, maka itulah yang akan kulakukan : membunuh semua orang!”
Axel meraih guci tempat Shor-Ush tersegel, namun sang
iblis melihat hal itu dan menembakkan sebuah bola api.
Bukan ke arah Axel, melainkan ke arah kandelir di
langit-langit, yang kemudian terjatuh dan memecahkan guci itu menjadi
berkeping-keping.
“Seharusnya aku melakukan ini sejak awal. Dengan
hancurnya guci yang menyegelku, kini aku bebas melakukan apapun yang aku mau!
Ahahahahahaha!!”
“Jangan abaikan aku!”
Mengabaikan Oneiros, Shor-Ush keluar menembus
langit-langit gedung balai kota, kemudian melemparkan hujan api dari langit
yang melelehkan setiap tubuh manusia yang terkena api neraka tersebut.
“Pembasmi setan. Sebagai balasan karena telah
membebaskanku, aku akan menyisakanmu sebagai hidangan penutup. Sekarang, duduk
manis saja di situ dan tunggu aku selesai membantai semua teman-temanmu!”
“Hentikan!”
Teriakan Axel tidak digubris oleh Shor-Ush yang
merajalela. Api neraka yang ia keluarkan melalap habis siapapun yang ia lihat
tanpa ampun, tanpa henti. Semua warga Retroria, segila apapun mereka, mendadak
berubah menjadi binatang tak berdaya yang hanya bisa memikirkan bagaimana
caranya lari api.
Di depan mata Axel, Papa Lobo dan Suster Linda pun
hangus terbakar, berubah dari daging menjadi seonggok lelehan bubur manusia.
“Sial, sial, sial!”
Axel benar-benar hilang akal. Lagi-lagi ia melupakan bagaimana
caranya mengendalikan api, dan tak ada satupun jiwa warga yang tak bersalah
yang bisa ia tolong dengan hilangnya kemampuan ini.
Semua ini salahnya.
Mimpi Buruk ini salahnya
Axel mengutuk dirinya sendiri, membiarkan momen
kelemahan sesaat merusak segalanya hanya dalam sekejap mata.
Apa yang bisa ia lakukan?
Ia merogoh sekujur tubuhnya, dan mendapati sebuah
bilah pembunuh mahluk kegelapan di paha kanan.
Ia menoleh ke sekitar.
Di mana Geeve? Apa dia sudah dimakan oleh domba-domba
hitam itu?
Di mana si bocah bola mata? Apa dia masih
mengejar-ngejar Shor-Ush?
Masa bodoh.
Axel sudah kehilangan inspirasi, dan mungkin juga
motivasi.
Axel mengangkat tangannya.
Namun sebelum pisau dalam genggaman terayun, sebuah
tangan lain telah menangkap pergelangannya.
Axel tahu pemilik genggaman tangan yang dingin ini.
Sesosok robot mata satu, menatapnya dengan mata
semerah iblis.
Warna yang saat ini begitu ia benci sepenuh hati.
Part 3
Menahan runtuhnya bangunan mungkin masih dalam batas
ketahanan tubuh Iris Lemma, namun mengeluarkan tubuhnya dari sana adalah sebuah
kesulitan tersendiri. Beberapa bagian tubuhnya rusak, walau masih dapat
berfungsi. Salah satu tangannya hancur tertimpa puing-puing. Tidak ingin
berlama-lama, sang robot mata satu pun memutus lengannya untuk pergi dari sana.
Keluar dari reruntuhan, ia tidak punya petunjuk
bagaimana ia dapat menemukan reverier lawan. Namun tak lama waktu berselang, ia
mendeteksi panas dalam jumlah abnormal yang mendadak tercipta di kejauhan.
Tanpa pilihan lain, iapun mengikuti sumber anomali tersebut, dan sampailah Iris
Lemma di balai kota.
Kalau ia memiliki sebuah emosi, maka yang ia rasakan
ketika disambut oleh pemandangan kehancuran umat manusia bukan lagi ‘terkejut’.
Melainkan ‘bosan’.
Ya, menjalani sesuatu yang repetitif tentu membuat
batin lelah.
Ia sudah melihat pemandangan ini dua kali sebelumnya. Kenapa
setiap dunia yang ia kunjungi pasti berakhir dengan kehancuran seperti ini?
Tak menghiraukan kepanikan manusia yang lalu lalang
dan tawa iblis di tengah api yang berkobar-kobar, Iris terus berjalan memasuki
gedung balai kota, menemukan lawannya dalam keadaan menyedihkan di sana.
Sebegitu menyedihkannya hingga ia hampir-hampir hendak
membunuh dirinya sendiri.
Bila tidak dihentikan oleh kedatangan Iris.
“Heh. Kenapa kau malah menghentikanku?” ejek Axel
dengan nada kesal. “Aku membantumu untuk menang, tahu.”
“[Tidak, bukan begini caranya. Aku tidak melihat kemenangan
kalau kau mencabut nyawamu sendiri.]”
“Lalu apa? Kau ingin kau yang membunuhku? Lakukanlah
kalau begitu. Bunuh aku,” Axel mengambil sebatang rokok dan menyalakannya,
tidak peduli lagi dengan situasi kacau di sekelilingnya. “Dengan membunuhku, semua
kekacauan ini akan berakhir, bukan? Cepatlah.”
“[Aku tidak akan melakukannya.]”
“Apa?” alis Axel semakin mengkerut mendengarnya.
“Kenapa tidak?”
Iris pun menjelaskan,
“[Sebelum melawanmu, aku telah melihat hal yang serupa
dengan situasi saat ini. Sebuah dunia di ambang kehancuran. Seseorang yang
kehilangan seluruh harapan…]”
Kekacauan hebat masih terjadi di luar sana. Tetapi
kini, kedua reverier tidak peduli dengan hal itu. Ada sesuatu yang lebih
penting dari sebuah pertarungan, yang perlu Iris raih dari pembicaraan ini.
“[Aku berpikir. Bahwa di setiap tempat yang kudatangi,
aku menginginkan sebuah skenario yang sedikitnya berbeda satu dengan yang
lainnya. Hanya dengan begitu, aku merasa memperoleh sesuatu yang baru, dan
perjalanan ini jadi memiliki sebuah arti.]”
Iris Lemma melanjutkan, seraya mengulurkan satu
tangannya yang tersisa pada Axel.
“[Kau memang kunci untuk menyelesaikan semua ini. Tapi
tujuanku bukan sekedar memenangkan pertandingan. Aku perlu melihat kemungkinan
yang lain. Karena itu, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan membantumu.]”
Axel terperangah mendengar perkataan Iris Lemma.
Di saat iblis berhasil memperdayanya hingga hampir
jatuh ke jurang keputusasaan….kenapa malah robot ini yang menariknya kembali ke
permukaan?
“Tapi….bukankah kau harus membunuhku?”
“[Instruksi yang kudapat adalah mengalahkan lawan.
Tidak ada poin spesifik yang memerintahkanku untuk membunuhmu,]” dalih sang
robot mata satu. “[Aku berniat membunuhmu karena kurasa lebih efisien untuk
menyelesaikan misi ini – sebelum aku mengenalmu lebih jauh. Itu saja.]”
Tanpa sadar, senyum tersungging di mulut Axel. Ia
menghirup dalam-dalam rokok di mulut, menghembuskan asap yang mengepul memenuhi
pandangannya sebelum kemudian mematikan rokok itu, menyambut uluran tangan sang
robot untuk bangkit dari tempatnya terduduk di lantai.
Genggaman tangan yang keras dan dingin.
Namun di saat yang sama, kuat dan tak tergoyahkan.
Axel menatap lekat-lekat mata merah sang robot,
melihat pantulan dirinya sendiri di sana.
“Oke, biar kuperjelas sesuatu. Kau mungkin tidak jadi
ingin membunuhku, tapi kau belum menyebutkan alasanmu membantuku. Katakan, apa
itu?”
Iris tampak berpikir sejenak, sebelum kemudian
menjawab dengan singkat,
“[Karena kau membuatku…………kagum? Aku tidak yakin. Tapi
mungkin itu ekspresi yang tepat. Aku terkesan denganmu. Aku menemukan sisi lain
dari manusia yang belum kuketahui saat melihatmu. Karena itulah, jangan
berubah. Tetaplah pada sosokmu yang seperti itu. Seseorang yang berhasil memperdayaiku dua kali. Seorang
Axel Elbaniac.]”
Axel menggaruk-garuk rambut berantakannya yang tidak
gatal.
Sial. Kenapa pujian yang menyanjung seperti ini harus
datang dari robot berkepala plontos tanpa wajah, dan bukannya dari wanita
cantik nan seksi?
“Heh, baiklah kalau begitu,” senyum merekah di wajah
Axel, memperlihatkan bahwa kini isi kepalanya telah tercerahkan kembali dari
awan hitam yang sempat menyelimuti. “Ayo kita selesaikan ini, dan mengobrol
sepuasnya setelah selesai! Aku yang traktir minumannya!”
Kelihatannya Axel lupa kalau Iris tidak bisa ikut
minum-minum, tetapi sang robot mata satu memilih untuk diam.
Dengan keyakinan baru, kedua reverier melangkahkan
kaki mereka, bersiap menyongsong iblis yang menunggu di luar sana.
“Let’s rock!”
Part 4
Seluruh warga Retroria telah binasa.
Shor-Ush menyeringai puas, berhasil membawa kehancuran
yang tertunda pada kesempatan sebelumnya. Sekarang, ia tinggal menjemput
hidangan penutupnya.
Ia berbalik, dan ternyata sang hidangan penutup datang
sendiri kepadanya tanpa harus diminta.
“Kau sudah siap untuk pergi ke neraka?”
“Hanya ada satu di antara kita yang akan pergi ke
neraka,” jawab sang pembasmi setan. “Dan itu adalah kau.”
“Ha! Coba saja kalau bisa!”
Shor-Ush memuntahkan api dari langit, seolah tak puas
setelah membuat kota Retroria menjadi lautan api. Axel Elbaniac tidak
bergeming. Keringat mungkin membanjiri kulit di balik mantel yang ia kenakan,
tapi semua ini tidak akan menjadi alasannya untuk mundur.
Dalam satu rapalan mantra, seluruh tubuhnya berpendar
dengan cahaya suci keemasan.
Menapaki sebuah tiang listrik seperti ninja, Axel
kemudian bertolak ke udara, menghindari hujan api dan dalam sekejap
menghilangkan jarak di antara dirinya dan Shor-Ush.
Bila sang iblis mengira ia akan aman dengan bermain di
udara, maka ia salah. Karena sang demonologist
telah siap untuk membawanya kembali ke tanah.
“Haaaaa!!”
Sebuah pukulan tepat di wajah mengirim Shor-Ush
meluncur ke bawah.
“—kh!?”
Dengan bantuan sayapnya, Shor-Ush berhenti di udara
sebelum menghantam tanah. Namun ketika
ia menoleh ke atas, kaki Axel telah bersiap menyambutnya seperti sebuah
palu bertemu dengan paku.
“Makan ini!”
Sepatu sang pembasmi setan sukses membenamkan kepala
sang iblis jahanam menembus bumi.
*
“[Beri aku waktu
10… Tidak, 5 menit. Aku perlu persiapan untuk performa maksimal. Setelah itu,
aku akan menahannya selama apapun yang kau mau sementara kau melakukan bagianmu.]”
Itulah yang
dikatakan Iris Lemma padanya ketika mereka membahas apa yang sebaiknya mereka
lakukan. Axel sendiri tidak keberatan, karena meski dengan kekurangan di
sana-sini, ia masih cukup bugar untuk bertarung, tak seperti robot yang jelas
sedikit rusak ini.
Dan lawan mereka
adalah iblis. Dalam kontes kekuatan murni, Axel mungkin akan kalah telak
melawan Iris, tapi melawan mahluk neraka seperti Shor-Ush adalah
spesialisasinya. Bila bisa membagi ilmu, maka kemampuan tempur mereka akan
menjadi dua kali lipat.
“Aku punya saran
untukmu. Kau bisa membuat senjata seperti ini?”
Axel menyerahkan
secarik kertas memo serta beberapa lembar kertas jimat, dan Iris mengangguk
menyanggupi.
“[Akan
kuusahakan.]”
“Bagus. Kalau
begitu, ronde pertama melawan iblis ini biar aku yang urus! Datanglah nanti
dengan HP dan
MP penuh!”
Axel pun
bertolak untuk melemahkan Shor-Ush, sementara Iris mulai memperbaiki diri.
*
Pertarungan antara pembasmi setan dan iblis masih
berlangsung seru dan nyaris seimbang.
Meski kehilangan inspirasi, Axel kini tidak lagi
kehilangan motivasi. Ia adalah demonologist.
Saat iblis berkeliaran di depan mata, maka ia tidak akan membiarkannya. Itulah raison d’etre dari profesi yang telah
menjadi darah daging dalam kehidupannya ini.
Shor-Ush tak henti-hentinya menembakkan bola api,
namun Axel pandai berkelit. Pada pertarungan sebelumnya, ia harus dibantu sosok
hantu untuk berteleportasi menghindari serangan sang iblis, tapi kini tidak
lagi. Bagaimanapun juga, kemampuan klon golem
tidak bisa dibandingkan dengan dirinya yang asli, yang bisa mengerahkan 100%
kemampuan spiritual dan akalnya untuk menghabisi mahluk laknat nan sesat.
Dihalang-halangi untuk terbang dan tak bisa berbuat
banyak dengan api, Shor-Ush akhirnya terdesak untuk melayani Axel dalam
pertarungan jarak dekat.
Tinju Axel kembali menghujam perut Shor-Ush, membuat
lendir hitam menjijikkan keluar dari mulutnya.
“Brengsek!”
Sebagai balasan, Shor-Ush menancapkan cakar tajamnya
pada lengan Axel, mengoyak daging manusia tersebut hingga memuncratkan darah
tak terbendung.
“Aaaaaarrghh!!”
Axel menarik paksa tangannya dan mundur
terhuyung-huyung, namun tangan sang iblis yang lain dengan cepat segera
menyambar lehernya.
“Ukh!?”
Shor-Ush mengangkat tubuh Axel dengan satu tangan
hingga kakinya tak lagi dapat memijak tanah.
“Hahaha, dasar cacing. Mahluk rendahan sepertimu
sepantasnya menggeliat saja di tanah, jangan bermimpi menjatuhkan burung di
langit!”
Cekikan Shor-Ush semakin kuat, membuat cakarnya
menggores leher Axel yang meronta-ronta.
Ia harus melepaskan diri. Ia memukuli tangan kekar
Shor-Ush, namun apa daya. Tenaganya tidak bisa dikerahkan dengan semakin
menipisnya asupan oksigen ke kepala detik demi detik.
Sial, pikir Axel. Mungkin seharusnya
aku mengurangi merokok.
“Matilah!”
Sebelum Shor-Ush menggorok leher Axel, sebuah benda
terlebih dahulu melesak dari belakang tubuh sang iblis tanpa peringatan,
melubangi sayap dan sebagian perutnya dengan serangan kejutan.
“Gyaaaaaaaaaahhhhhhhhhh!!”
Luka di tubuh sang iblis mengeluarkan asap busuk.
Shor-Ush kelimpungan, melompat tinggi jauh menghindari apapun yang barusan
menyerangnya, kemudian jatuh ke tanah merutuki rasa nyeri hebat yang menjalar.
Sang iblis melihat ke arah penyerangnya. Mahluk besi
bermata merah yang membalas tatapannya dengan dingin.
Di lain pihak, Iris Lemma berdiri tegak menantang,
dengan sebuah pile bunker berbalut
kertas jimat menggantikan tangan kanannya, membiarkan Axel melewatinya sambil
menepuk pundak sang robot.
“Tag,” ringis
Axel memegangi tangannya yang terluka. “…pergantian pemain.”
Di tengah suara lolongan memekik iblis merah yang
melesat ke arah Iris, Axel masih dapat mendengar jelas robot itu menjawab
dengan singkat,
“[Serahkan padaku.]”
Part 5
Sebuah pasak perak dengan property holy.
Itulah identifikasi dari pile bunker – senjata baru ciptaan Iris Lemma dengan ide rancangan
Axel Elbaniac.
Menghadapi iblis yang terus menerus menembakkan api,
Iris hanya perlu mengayunkan tangan kanan, dan seluruh api tersebut tersapu
bersih seperti tak pernah ada.
Bagaimanapun juga, api neraka Shor-Ush tidak sekedar
memiliki elemen standar ‘api’, tetapi juga elemen ‘iblis’ sebagai bahan
dasarnya. Dan seluruh properti iblis dapat dihalau saat mengadakan kontak
dengan pasak besi ini berkat bantuan perak yang diperkuat berkali-kali lipat
oleh kertas jimat Axel.
Iris mampu memodifikasi elemen logam apapun yang dapat
ia temukan sesuai dengan keinginannya, yang sudah menjadi kemampuan dasar
baginya untuk memperbaiki diri dengan unsur bebas apapun yang bisa ia temukan.
Karena itu, membuat sesuatu berbahan perak tanpa adanya perak itu sendiri bukan
sebuah masalah besar.
Hal itu membuat Shor-Ush semakin frustasi.
“Keparat, keparat, keparat! Kau hanya boneka buatan
manusia, beraninya kau menghalangi jalanku!?”
“[Tidak ada catatan dalam memoriku bahwa penciptaku adalah manusia. Bila
kita bicara mengenai wujud, bukankah kau sendiri memiliki wujud yang menyerupai
manusia, dengan dua tangan, dua kaki, dan postur tubuh seperti itu?]”
“Aku tidak—!?”
Agaknya Shor-Ush tidak terbiasa dengan rutinitas Iris
Lemma untuk bicara dalam pertarungan, karena ucapannya terpotong ketika
seberkas cahaya laser meluncur lurus, membabat tanduknya ketika ia menunduk
untuk menghindar.
“Brengsek! Menyerang ketika lawan masih bicara!”
“[Tidak ada yang memintamu membalas ucapanku. Kalau
kau tidak bisa mengimbangiku, sebaiknya tutup mulut saja dan fokus pada
pertarungan bila ingin mengalahkanku.]”
Sebenarnya kata-kata Iris Lemma itu sama sekali tidak
dimaksudkan untuk mengejek sang iblis – toh ia bahkan tidak tahu konsep
mengejek lawan – tetapi ketika diucapkan dengan nada datar, agaknya terdengar
seperti pernyataan sombong yang meremehkan lawan, bahkan di telinga iblis
sekalipun.
“Kau… Akan kulumat kau menjadi rongsokan!”
Shor-Ush terbang ke udara, mengumpulkan semua api
neraka dari lautan merah menyala di tanah, menjadi satu bola miniatur matahari
berukuran lima kali lipat dirinya sendiri.
“Terima ini!”
Sekuat apapun pasak di tangan si manusia besi, ia
tidak akan mampu menahan kekuatan sebesar ini. Tenaga lawan tenaga, mana yang
lebih besar jelas akan keluar sebagai pemenang!
Begitulah pikir Shor-Ush, yang tak menyangka lawannya
ternyata tidak menunggu untuk menerima serangan itu di tanah.
Jet booster Iris mendorong dirinya ke udara, dan dengan hentakan point blank dari pile
bunker di tangan kanan, ia terus melaju dalam satu garis lurus, memotong
matahari dari neraka seperti membelah sebuah semangka.
“Apa?!”
Ujung perak kembali merobek sisi lain dari perut dan
sayap Shor-Ush, membuat iblis itu kini kehilangan kedua sayap serta
keseimbangannya, sekali lagi dijatuhkan ke bawah.
Tak berhenti mengejutkannya, ia mendapati bahwa sang
pembasmi setan telah menunggunya di bawah sana, dengan sebuah diagram segel
sihir di tanah dengan sebuah belati tertancap sebagai pusatnya.
“Shor-Ush! Dengan ini, tamatlah riwayatmu!”
“Tidak… Tidak… TIIIDAAAAKK!!!!!”
Sang iblis yang tengah meluncur ke tanah mengangkat
tangannya untuk melakukan sesuatu, namun sebuah tangan besi menahannya dari
belakang, kini turut menindih tubuhnya untuk memastikan ia jatuh ke tempat yang
telah mereka incar.
“Keparat kau boneka rongsok! Sampai saat-saat
terakhir—!!”
Shor-Ush tidak kehilangan akal. Ia menatap tajam sang demonlogist, kemudian membuka mulutnya
lebar-lebar.
“[Menghindar!]”
Untuk pertama kalinya sejak ia mengingat dirinya dapat
berbicara, Iris Lemma berteriak.
Lahar panas ditumpahkan dari mulut sang iblis jahanam,
hendak menjadikan manusia musuh bebuyutannya menjadi bubur.
Tidak akan sempat. Ia harus melakukan sesuatu. Ia
harus melindunginya.
Axel menutup mata, menduga kegagalan di detik-detik
terakhir akan menamatkan riwayatnya.
“……?”
Melawan semua keputusasaan, sebuah mukjizat terjadi.
Sebuah perisai tak kasat mata seolah melindungi Axel dari bahaya,
mengentahkan lahar seperti payung menahan hujan.
“[Sekarang!]”
No sé cómo hacer un encantamiento.
Pero sólo tiene que utilizar palabras al azar, ya que suena fresco.
De todos modos, saldrán oh demonio!
“AAAAAAAaaaaaaaAAAAAAAAAAaaaaaaaRRRRrrrGGGGhhhHHHaaaAAAAAHH!!!!”
Wujud Shor-Ush tersedot dengan hebat seperti dihisap
oleh lubang hitam ke dalam belati di tengah diagram segel, mengurung sang iblis
dalam penjara benda mati untuk yang kesekian kalinya.
Bersamaan dengan itu, seluruh api Shor-Ush sirna
seketika.
Lautan api neraka di kota Retroria kembali padam seperti
sedia kala.
Iris mendarat di samping Axel, yang akhirnya dapat
menghela napas panjang setelah semua yang mereka lalui.
“[Kita berhasil.]”
Axel tersenyum seraya mengangkat sebuah tinju.
Yang disambut oleh Iris dengan membalas tinju tersebut,
membuat kepalan mereka saling bertemu.
“Kemenangan untuk kita berdua, partner.”
*****
==~100%_[LAST.ACT]==
Part 1
Di depan balai kota Retroria, sejumlah tubuh tak
bernyawa yang semula merupakan penghuni kota mati ini dijajarkan dengan rapi.
Beberapa di antara mereka terlihat berantakan, seperti kehilangan anggota
tubuh, hitam legam karena hangus terbakar, dan lain sebagainya. Sebagian besar
bahkan sudah tidak berbentuk manusia lagi untuk disatukan bersama dengan
jasad-jasad lainnya.
Meski begitu, Axel tetap melakukan penghormatan
terakhir bagi mereka. Orang-orang yang pernah mengisi kehidupan di tempat yang
sama dan bertukar cakap dalam kehidupan sehari-hari Axel Elbaniac.
“Kau boleh mengubur mereka sekarang.”
Iris Lemma menyanggupi, lantas mendorong semua
onggokan tubuh tersebut dengan satu sapuan alat ke dalam lubang yang telah ia
siapkan, kemudian menimbunnya dengan tanah hingga rata dengan jalan.
“Sayang aku tidak punya bunga, tapi kurasa begini saja
cukup.”
Axel menancapkan sebuah salib kayu ke kuburan massal
warga Retroria, lalu menumpahkan sebotol bir untuk menyiram tanah tersebut,
sebelum kemudian meminumnya sendiri.
“[Sebenarnya, untuk apa semua ini?]”
“Ng? Kau tidak tahu konsep kematian ya?”
“[Berhentinya seluruh fungsi tubuh secara permanen?]”
“Haha, sudah kuduga definisimu sebatas itu,” kata Axel
menenggak habis isi botol di tangannya. “Yang kulakukan ini adalah memberi mereka
tempat peristirahatan terakhir. Menurutmu, setelah mereka mati, ke mana manusia
pergi?”
Iris Lemma tidak bisa menjawab.
“Kalau kau percaya adanya Tuhan, maka kau harus
percaya pada awal penciptaan. Dan untuk setiap awal, maka akan ada akhir. Hidup
kita di dunia ini hanya sementara. Setelah waktu kita habis, maka kita menunggu
hari akhir tiba, sebelum kemudian pergi ke akhirat.”
“[Hari akhir? Akhirat?]”
“Istilah yang asing untukmu, kurasa. Sudahlah, tak
usah terlalu dipikirkan.”
“[Tidak, aku perlu tahu soal ini,]” sang robot
membalas antusias. “[Apakah kau mengatakan seluruh manusia diciptakan oleh
Tuhan kalian untuk mengerjakan sesuatu di dunia ini, yang setelah kehidupan itu
usai maka perbuatan mereka akan dievaluasi di akhir?]”
Axel tertegun sesaat mendengar kesimpulan Iris Lemma.
“Wow. Padahal basic
pembicaraanmu seperti mengedepankan logika alih-alih agama, tapi tetap saja
tepat,” puji Axel. “Ya, kau benar. Setelah sampai di akhirat, manusia akan
dihadapkan antara surga dan neraka, kemudian memasuki salah satunya. Kalau
amalannya ditotal bernilai akhir positif, maka ia masuk surga. Negatif, maka
neraka. Simpel, bukan?”
“[Tapi, untuk tujuan apa Tuhan menciptakan manusia?]”
“Ugh. Pertanyaanmu itu sudah masuk wilayah Tuhan. Aku
ini cuma manusia, mahluk ciptaan-Nya, jadi mengetahui rencana Tuhan bukanlah
kuasaku. Kalau kau bisa bertemu Tuhan, tanyakan langsung saja pada-Nya,” kata
Axel setengah bercanda. Meski dalam hati ia bertanya-tanya juga – apakah seumur
hidupnya ia pernah mempertanyakan hal ini?
“[Kalau begitu bagaimana dengan iblis? Apa peran mereka
dalam skema kehidupan manusia?]”
“Iblis, eh… Kalau itu, kurasa sudah jelas, kan – iblis
ada sebagai musuh manusia. Menyesatkan mereka, membuat mereka pada akhirnya
jatuh ke neraka bersama dengan iblis. Intinya, menjauhkan manusia dari
kebenaran. Yah, ‘orang yang berpikiran buruk tak akan mendengarkan kebenaran
meskipun dihadapkan dengan seratus tanda-tanda’ – begitulah iblis bersabda.”
Iris teringat dengan kata-kata terakhir Ganzo, yang
menyebutnya sebagai iblis. Juga bagaimana para pemeluk agama sesat memujanya
sebagai Setan Mata Satu ketika ia tiba di alam ini.
Apa karena itu, ia membawa kehancuran umat manusia
kemanapun ia pergi?
“[Kau adalah pembasmi iblis. Di mata Tuhan, apa kau
termasuk orang yang bernilai positif? Seseorang pernah memanggilku iblis. Apa
itu berarti keberadaanku bernilai negatif?]” tanya Iris.
“Uh, entahlah. Kalau kau bertanya seperti itu, kurasa
lama-lama aku jadi mempertanyakan keimananku sendiri. Sudah, obrolan berat ini
cukup sampai di sini saja! Aku jadi tidak jadi mabuk gara-gara kau.”
Axel menatap kuburan warga Retroria dengan pilu. Iris
sebenarnya ingin berbicara lagi, tapi kemudian ia teringat dengan batas waktu.
Maka ia menurut dan mencukupkan pembicaraan mereka.
“Melihatmu yang kosong begitu, aku merasa bodoh kalau
harus bersedih sendirian. Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Terlalu lama
mengingat-ingat mereka yang sudah tiada toh tidak akan mengembalikan mereka
juga.”
Axel melihat ke angkasa yang bergejolak. Di sekeliling
mereka, tanah Retroria mulai pecah dan terangkat ke udara, pertanda bahwa
kehancuran sudah di depan mata kalau mereka tidak menyelesaikan pertandingan
ini dengan segera.
“Seperti katamu, Zainurma tidak pernah bicara apa-apa
soal membunuh lawan. Dia hanya mengatakan untuk mengalahkan lawan. Itu artinya, sebenarnya kita bisa menetapkan
aturan kita sendiri sesuka hati. Yah, karena waktunya sudah sempit, bagaimana
kalau kita akhiri semua ini dengan sebuah permainan?”
Part 2
Axel mengeluarkan sebuah koin dan mendekat Iris,
sebelum kemudian bertanya,
“Oi, robot. Apa kau percaya pada takdir?”
“[Takdir?]”
“Bila kau percaya adanya Tuhan, maka seharusnya kau
juga percaya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini telah ditetapkan oleh Tuhan
tersebut, bukan begitu? Seperti sebuah PC
game di mana pihak pembuatnya pasti telah merancang semuanya dari desain
karakter sampai ending sebelum game itu dirilis. Mengerti maksudku?”
Iris Lemma masih berusaha mencerna analogi itu, ketika
Axel melemparkan koin ke udara, lalu menangkapnya di punggung tangan dan menutupnya
dengan tangan yang satu lagi.
“Akan kujelaskan soal takdir dengan demonstrasi
sederhana ini. Sekarang pilih. Kepala atau ekor?”
Dihadapkan pada pilihan tanpa dasar jawaban benar atau
salah agaknya membuat Iris bingung untuk sesaat, meski kemudian ia – seorang
robot – menentukan sendiri pilihannya tanpa bertanya dua kali.
“[Kepala.]”
Sang pria bermantel kelabu mengangkat tangannya.
Kepala.
Axel Elbaniac hanya bisa tertawa dalam hati.
Tuhan sudah memberi ketetapan. Apa yang bisa dilakukan
hamba-Nya, selain mengikuti apa yang telah digariskan oleh takdir?
“Baiklah,” ujarnya pasrah, tanpa sedikitpun rasa penyesalan
di hati. “Aku menyerah kalah.”
Part 3
Pertandingan antara Iris Lemma dan Axel Elbaniac telah
resmi berakhir.
Lubang putih dan hitam menghilang seolah tak pernah
ada, dan fenomena terlepasnya tanah Retroria menjadi bagian-bagian terpisah
berangsur-angsur berhenti.
Berselang beberapa saat usai penyataan menyerah dari
Axel, sebuah portal terbuka, dan sesosok domba datang menjemput tuannya. Domba
itu bukan Geeve, yang Axel pikir sudah mati tanpa ia lihat bagaimana akhir
nasibnya. Ia benar-benar majikan yang buruk.
Setelah salam perpisahan dari Axel, sang robot mata
satu pun menaiki dombanya dan pergi kembali menuju bagian Bingkai Mimpinya,
meninggalkan Axel seorang diri.
Tidak, tidak benar-benar seorang diri.
Menyusul kepergian sang robot, sosok lain datang
menghampirinya.
“Akhirnya kau muncul juga.”
Pria berkacamata hitam dengan tampilan angkuh membuang
pandangan dari Axel.
“Kau sadar bukan apa arti kedatanganku ke sini?”
“Ya, ya, aku tahu. Aku kalah, duniaku hancur, aku jadi
mainan tanah liat yang bahkan tidak berharga sampai 1 dolar. Tidak usah kau ingatkan
lagi. Jujur saja, aku mulai malas mendengar mulutmu berbicara.”
Zainurma tidak tampak tersinggung, dan senyuman justru
tersungging di wajahnya.
“Berharaplah robot itu terus menang, dan siapa tahu,
mungkin suatu saat ia akan membebaskanmu juga.”
“Kau ingin aku berdoa pada robot? Maaf saja,
begini-begini, aku ini termasuk orang yang beriman.”
“Meski kau sendiri melepaskan iblis yang membunuh
semua orang?”
“Hei, pintu taubat selalu terbuka 24 jam 7 hari dalam
seminggu. Kita manusia, berbuat salah itu biasa. Tinggal mengakui kita sudah
berbuat dosa atau tidak, dan asal mau kembali ke jalan yang benar, maka Tuhan
pasti mengampuni.”
“Begitu?” Zainurma berbalik meninggalkan Axel. “Kalau
begitu, silakan habiskan waktumu yang tersisa di sini, dan tunggu nasibmu
selanjutnya.”
“Hei, Zainurma.”
Axel menutup mata sejenak.
Ave, Geena…
Saat ia membuka mata, ia melihat kenyataan yang tidak
ia lihat sebelumnya. Atau mungkin ia sebenarnya memang bisa melihat, namun
memilih untuk mengalihkan pandangannya dari mereka selama ini.
Papa Lobo,
Suster Linda… Dan segenap warga Retroria, yang tak akan kusebutkan satu-satu.
Seluruh warga Retroria, dalam wujud mereka yang telah kehilangan
warna, berdiri mengelilinginya dengan senyuman.
Tunggu aku.
Axel membuka mantel yang ia kenakan – memperlihatkan
sejumlah dinamit yang terpasang di balik mantelnya – kemudian menyalakan
pemantik revolver miliknya.
Aku akan segera
menyusul kalian.
Dengan sebuah jari tengah teracung, sang demonologist memberikan satu pertunjukan
terakhir yang bombastis.
“Persetan denganmu dan semua turnamen konyol ini. Adios, motherfucker.”
*
Zainurma menghela napas kecewa.
“Dasar bodoh. Kau kira bisa bebas hanya dengan bunuh
diri di Alam Mimpi ini? Kalau memang semudah itu, tentu sudah kulakukan dari
dulu. Jiwa para reverier akan tetap berada di sini selama Sang Kehendak
menetapkan demikian.”
Di hadapannya, sosok yang sebelumnya merupakan seorang
Axel Elbaniac kini hanya tinggal nama.
“Tapi yah, kalau kau sebegitu inginnya mati muda, mungkin
aku tidak perlu meminta Mirabelle memulihkan ragamu. Biar kupindahkan saja
jiwamu ke salah satu patung tembikar nanti.”
Saat ia hendak beranjak pergi, Ratu Huban mendadak
muncul di sebelahnya, seperti salah waktu dan tempat.
“Dari mana saja kau?” tanya Zainurma heran.
“Aku baru saja memindahkan Oneiros yang ada di bulan dari
Bingkai Mimpi ini,” jawabnya penuh rasa bangga. “Bibi Mira juga ada di sana
tadi, tapi sudah pergi duluan. Jadi aku ke sini untuk menjemput paman.”
“Bulan?”
Kemudian Zainurma teringat kalau Iris Lemma
meninggalkan dombanya di atas sana. Apa karena kesulitan mengganggu Axel
setelah kemunculan Shor-Ush, Oneiros mengubah targetnya?
Melihat domba milik Iris Lemma entah bagaimana masih
hidup, robot itu tampaknya cukup beruntung.
“Ayo kita kembali,” ujar Zainurma, ditemani Ratu Huban
di sisinya, masih memainkan payungnya dengan gembira.
Part 4
Mira Slime menghilang dari bulan.
Nimbus mengembik-embik panik, seperti seseorang yang
berbuat salah, tak tahu bagaimana menjelaskan apa yang terjadi pada tuannya
yang berdiri mematung.
Iris Lemma tidak terkejut. Wanita itu datang dan
pergi, memang selalu seperti itu sejak awal.
Hanya saja yang membuatnya bertanya-tanya adalah
tentang apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini.
Tanah kosong di tengah ruang angkasa kini memiliki
sebuah danau luas di tengahnya.
Butiran-butiran air berkilau terbang memenuhi angkasa,
seolah hendak menggantikan bintang dalam jumlah tiada tara.
Dan di antara itu semua, Iris Lemma menangkap satu
benda lain yang sebelumnya tidak ada di sana.
Sebuah telur? Sebuah benih? Sebuah bola?
Ia tidak tahu. Ia dapat mengidentifikasi bentuk, tapi
tidak dapat menentukan identitas benda tersebut.
Yang ia tahu dengan matanya, adalah bahwa benda
misterius ini memiliki semua warna yang
dapat dibayangkan ada di dunia ini.
“[Kau sungguh tidak tahu apa-apa tentang ini?]”
“Mbeeeek….”
Meski ini pertama kali tuannya mengajaknya berbicara,
Nimbus tampak menyesal tidak dapat membalas dengan satu bahasa yang sama.
Iris Lemma pun mendekati benda yang melayang di
tengah-tengah danau ajaib tersebut, mengulurkan tangan untuk meraihnya.
Namun tiba-tiba saja–
—seluruh suara menghilang dari dunia.
—seluruh warna pergi meninggalkan semesta.
Hitam.
Hitam?
Bukan. Hitam adalah warna. Ini bukanlah sebuah warna.
Ini adalah………sebuah ketiadaan.
*****
==Terminating_Current_Process_[POST.SCRIPTUM]==
Di Museum Semesta yang absen dari keberadaan para
peserta, sepasang panita sibuk menilai hasil karya yang tercipta di babak
kedua.
Zainurma sang kurator dan Mirabelle sang konservator
menyusuri Bingkai Mimpi yang dipajang satu demi satu, sebelum akhirnya sampai
pada Bingkai Mimpi yang terbaru, Bingkai Mimpi milik Iris Lemma.
Melihatnya, Zainurma mendesah pelan.
“Ada apa?” tanya Mirabelle melihat langkah Zainurma
terhenti di depannya.
“Tidak, hanya saja… Kalau melihat karya dari reverier
satu ini, terkadang aku ragu apa dia pantas diberi nilai tinggi.”
Mirabelle memandang ke arah Bingkai Mimpi Iris Lemma,
belum menangkap maksud dari Zainurma.
“Lihat, kalau diteliti, kita bisa membagi struktur
karya ini menjadi empat bagian. Kuartal pertama : robot itu tiba di tempat.
Kuartal kedua : robot itu bertarung, dikalahkan, lalu hilang dari panggung
untuk sesaat. Kuartal ketiga : dia tiba-tiba bangkit dan menjadi penyelamat.
Kuartal keempat : setelah puas berbicara, ia menyelesaikan misi sebelum
terlambat,” jelas pria berkacamata hitam itu dengan malas. “Pola ini terus
berulang dan membuatku bosan. Di mana letak variasinya? Apa karena dia hanya
mesin, karena itu karya yang ia hasilkan begitu monoton?”
Mendengar keluhan sang kurator, mantan Dewi Perang itu
kemudian menenangkannya dengan berkata,
“Kurasa itu semua akan berubah setelah ini.”
“Apa maksudmu?”
Mirabelle menaruh tangannya di Bingkai Mimpi tersebut,
lalu berpaling pada Zainurma.
“Aku baru saja menghilangkan sebuah elemen krusial
dari Bingkai Mimpi Iris Lemma. Dengan ketiadaan komponen ini, aku yakin kita
bisa mengharapkan sesuatu yang berbeda muncul darinya di pertandingan
mendatang.”
Zainurma memandangi Bingkai Mimpi itu dengan seksama,
kemudian menyadari apa yang hilang dari sana.
“Mira Slime?”
Mirabelle menganggukkan kepala.
“Kukira dia menghilang karena ulah Oneiros….tapi
ternyata kau yang menghapusnya?”
“Aku harus. Wanita itu tidak hanya tahu banyak tentang
hal-hal di balik turnamen ini, tapi dia berpotensi mengganggu agenda kita.
Kalau tidak kuintervensi, siapa yang tahu apa yang hendak ia lakukan dengan
domba milik Iris Lemma?”
Zainurma memanggut-manggut mendengar argumen
Mirabelle.
“Hmm, yah, aku tidak tahu apa kau hanya menjalankan
tugasmu atau ini sebenarnya masalah pribadi. Tapi ya sudahlah,” katanya kembali
melangkahkan kaki menyusuri Museum Semesta. “Semoga babak selanjutnya akan
lebih seru dari ini.”
[2nd sequence : COMPLETED]
>Cerita sebelumnya :
Duh...saya udah nulis komen malah pas di posting gak muncul ._.
BalasHapus#lupakan!
Ceritanya cukup mengalir, mudah dicerna dan nyaman dibaca. Meskipun entry lumayan panjang tapi tidak membuat jenuh, tahu-tahu udah mau ending. Good job!
Nah...yang membuat agak kecewa adalah karena si Iris dan Axel enggak bunuh-bunuhan sampe akhir, malah kerjasama u.u
Tapi itu kan terserah penulis sih, ya...
Itu aja sih...tinggal nunggu versi Axel Albaniac muncul...
Setiap kali ada yang bilang tulisan saya lancar dibaca meski sebenernya panjang itu pujian yang paling enak saya denger, dan untuk itu saya cuma bisa bilang terimakasih
HapusSoal kerjasama Iris-Axel, saya udah lumayan ngejelasin kalo buat Iris di ronde ini masalahnya bukan lagi gimana ngalahin lawan (yang sebenernya gampang buat dikalahin kalo dia serius pengen), tapi gimana dia bisa dapet hal baru (ga kayak dua ronde sebelumnya yang alurnya persis sama kayak setting entri ini), in a sense dia dapet banyak : obrolan materi 'iman pada Tuhan = iman pada akhirat, hari akhir, dan takdir' sama Axel, ngerasain kerjasama yang ga hancur sampe akhir (ga kayak Ganzo yang ngerasa dikhianati), dan bangkitnya salah satu kemampuan dia (perisai plasma) dari keinginan 'melindungi'. Itu aja sih pertimbangan saya ngambil jalan agak beda dari yang udah"
Trims udah mampir
Plus-Minus
BalasHapus(+) Personality John Constantine-ish dari Axel justru tersaji lebih baik di sini ketimbang di entry Prelim officialnya. (Belum baca yang R1-nya lol)
(+) Uh-huh, bahkan cara bertarungnya di sini juga lebih cocok untuk Axel ketimbang Axel yang tersaji di entry prelim officialnya Axel.
(+) Sampean memilih alur battle yang pas. Axel yang pretty much kalah dari berbagai segi harus menggunakan semua skill dia untuk mengimbangi.
(+) Nggak melupakan Oneiros
(+) Walau awalnnya dull, Iris terasa mulai berkembang sebagai karakter.
(+) Sense of urgency dan ketegangannya meningkat seiring dengan semakin mendekatnya ke klimaks.
(+) Permainan akhir Axel dengan Iris itu strangely touching, IMO. Dan sebelumnya hasrat haus battle saya sudah terpuaskan dengan kerja sama mereka melawan si demon.
(+) Dat revelation at the end
(-) Harus diakui, battlenya agak terlalu banyak dialog untuk selera saya.
(-) Awal-awal cerita terasa agak lambat, tapi begitu plotnya mulai on, seluruh ceritanya kerasa on.
(?) Personality Mira memang lebih bercahaya dari Iris. Saya nggak tahu itu poin positif atau negatif.
Skor: 90 (Hanya digunakan untuk bahan pertimbangan vote)
Vote: Menunggu entry Axel Elbaniac
Fahrul Razi
Anita Mardiani
Lel, saya bahkan ga tau Jhon Constantine ini siapa, tapi syukur deh kalo imejnya pas sama karakter Axel
HapusSoal battle banyak dialog, saya pikir emang entri Iris itu 'dialog dengan battle' dan bukan sebaliknya, jadi harap maklum kalo bacotnya lebih banyak ketimbang aksinya
Soal Mira....ya, saya udah bilang kalo dia lebih kayak karakter yang nonjol ketimbang Iris yang pseudo, atau bahkan non-karakter dan sekedar alat penggerak cerita dan materi yang pengen saya tulis. Tapi tenang aja, 'arc Mira Slime' dengan entri ini saya anggep selesai, dan kalo Iris lolos ke ronde selanjutnya, bakal mulai babak cerita baru yang ga lagi bergantung sama Mira buat ngasih warna ke entri Iris
Trims udah mampir
Atas petunjuk Nyarlathotep, saya berikan vote ke Iris Lemma. Tapi keputusan ini bahkan lebih tipis dari selisih 5 antara nilai personal saya ke Axel dan Iris.
HapusTadinya mau klarifikasi komentar mas Sam sebelum komentar balik di entri mas Sam, tapi saya mau bom komentar dulu deh. Klarifikasi soal entri Mbah menyusul ;)
BalasHapusJadi di ronde tiga ini, saya harus jujur kalau perkembangan Iris lambat. Tapi lambatnya pergerakan plot ternyata dibayar hasil yang drastis. Saya senang dengan keputusan mas Sam di entri ini, finalenya bagus karena mendobrak pakem "A vs B harus berantem sampe ada yang kalah."
Saya juga salut mas Sam bisa menguasai penokohan OC lawan, dan membuat Axel sama-sama kuat dan berarti dalam entri Iris ini, jadi bukan sekadar lawan bak buk gak seimbang terus kalah.
Diskusi dengan selingan pertarungan memang gampang-gampang susah. Tapi mas Sam seperti biasa sudah menyajikan ini dengan baik. Tapi sebenernya saya berharap Iris bisa lebih banyak aksinya, sih. Pertukaran ide/hati dalam cerita shonen aja cukup adu jotos udah bisa saling mengerti kan? hh3. Tapi (lagi), mengingat materi apa yang ada di balik sesosok Iris Lemma, mungkin dialog adalah titik berat yang jadi kunci materi tersebut.
Hilangnya Mira apakah akan jadi debut Alif Lam Mim, btw? ;)
Ah segitu aja kayaknya, deh. Overall entri Iris di ronde 2 memang penanda turning point ya www, semoga sukses.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.
Saya rasa perkembangan Iris lumayan jelas. Di prelim, dia jadi sosok penghancur umat manusia yang ga ngebuka ruang kompromi. Di r1, dia mulai ngambil jalan tengah dan ngeliat dua sisi koin antara aturan robot dan pemberontakan manusia. Dan di sini dia udah sepenuhnya ngakuin potensi manusia, sambil terus narik benang sedikit" menuju Tuhan dari setiap hal yang dia temuin. Mungkin hampir kayak dari chaotic>>neutral>>lawful? Yah pokoknya gitu deh
HapusSaya masih mikirin gimana baiknya ngeincorporate materi yang saya masukin biar ga sekedar make dialog sebagai satu"nya keran buat ngeluarinnya. Paling ngga di ronde ini ada entri Sheraga dan Namol, yang pengen saya contek dikit buat referensi ke depan andaikata saya lolos babak ini
Mira Slime udah selese perannya buat nganter Iris Lemma ke gerbang sekolah....maksud saya, turnamen alam mimpi. Dengan ronde ini, Mira Slime fix bakal ilang dari cerita untuk seterusnya, dan ya, 3 ronde ke depan bakal dijudulin 'arc Alif Lam Mim'. Siapa atau apa dia ini, cuma bakal kejawab kalo Iris Lemma maju #plak
Trims udah mampir
Atas Pertimbangan:
Hapus-Potensi karakter Iris yang lebih menarik perkembangannya
-Materi yang ingin disampaikan di balik cerita Iris
-Kanon yang sedikit lebih solid dan lebih menarik minat
-Eksekusi plot yang sedikit lebih baik dibanding lawan
Enryuumaru dan Mbah Amut memutuskan untuk memberikan Vote kepada Iris
@_@:
BalasHapus“Hay, kami baru pulang dari Jepang! Oleh-olehnya ketinggalan, hehe. Dahlah langsung aja silaturahmi ke entri2. Ghoul, kamu dukung siapa nih?”
GHOUL:
“Dukung Axel, sih. Soalnya penasaran kalau dikejar-kejar ama doi, mampukah aku berhasil lolos?”
@_@:
“Kalo Mum bisa jadi beda sih! Aku ga bisa koment banyak soal entri ini, kecuali ngritikin beberapa typo. Hm maklumlah berhubungan dengan profesi penyunting naskah, hehe…
Seperti yang banyak dikatakan di atas, prolognya kurang membawa suasana. Tampak datar2 saja gitu. Bagusnya sih kalo mo ambil prolog datar, awalnya diberi impresi aja, biar pembaca bisa ngejreng meski pun selanjutnya harus dilempar ke titik datar dan harus bersabar menuju proses mendakinya alur ini.
Typo=Axel Elbaniac tengah bicara empat mata dengan sosok panitia berkacamata hitam—Zainurma (em dash-nya jangan lupa.)
Isapan bukan hisap.
[…?) (titik2 di awal dialog kurang tepat).
Setelah diskusi panjang-lebar, kami vote… ”
GHOUL:
“AXEL!!! Soalnya menurut kami, entri Axel nadinya lebih teratur aja denyutannya. Iris pun tampak polos banget di entri ini, bikin ngakak. Diksi di entri Axel lebih bervariasi dan agak lebih rumitlah. Alur pun ga begitu lambat, ga ngantuk ikuti alurnya meski typonya lebih banyak daripada Iris. Gubrak!”
:=(D
Saya kecewa. Dua entri dan kayaknya ga ada yang bisa kamu komen dari cerita saya selain typo dan gaya nulis yang emang sengaja ga ngikutin apa yang baku. Dan kemudian kamu vote Axel yang katanya typonya lebih banyak. Ngga, saya ga masalahin siapa yang bakal maju ke babak selanjutnya, tapi saya kurang seneng aja komenmu masih one-note kayak gini
HapusProlognya datar kayak yang dibilang di atas? Datar kayak gimana? Saya bakal berterimakasih kalo lebih dirinci daripada sekedar disebut. Maaf kalo cerita saya bikin ngantuk
Tapi oke deh. Rasanya saya ngerti juga perasaan author Takase pas ngeliat yang dikomen dari ceritanya cuma satu poin yang bukan tentang ceritanya itu sendiri. Gimanapun juga terserah pembaca mau komen apa, saya cuma sekedar nulis aja
Trims udah mampir
ya cuma bisa koment segitu cus genre filsafatnya di luar pengetahuanku, jadi ga bisa sembarang koment genre beginian. prolognya datar, jadi sarannya kasi impresi aja di awal cerita maksudnya diawali ketegangan yang tak selesai, di mana ketegangan itu baru dilanjut di tengah cerita. gitu maksudnya... hm mungkin karena baca pagi2 jadi begitu. hehe...
Hapus:=(0
Halo!
BalasHapusHmm. Ini sangat solid. Ada adegan komedik di awal-awal. Seperti gimana Mirabelle menyindir Mira Slime sama adegan yang disangka Iris pada lagi ngabsen, jadi dia malah ikutan nyebut namanya sendiri :))
Nggak nyangka juga Axel bakal bunuh diri di akhir. Soalnya dia kayak udah nerima segalanya. Kehancuran bingkai mimpi sama orang2 di dalemnya. Tapi mungkin bunuh dirinya itu last attempt dia untuk terbebas dan pengen reuni juga sama orang2 yang disayanginya.
Sayangnya, kemampuan Iris Lemma ga terlalu banyak muncul di sini. Yang bisa diingat ya lasernya aja. Justru, kemampuan Axel yang lebih banyak didayagunakan. Dari precognition sampe pyrokinesis. Di sisi lain, ini masih bisa dimengerti karena bakalan nggak seru kalau Iris maen all-out dan nggak nahan diri.
Ada hal yang berbau meta di akhir, tentang betapa membosankannya kuartal2 dalam karya Iris. Rasanya saya jadi melihat kerendahan hati penulis dan tidak setuju sama Zainurma di sini. Justru kuartal itu ga bikin membosankan, malah bikin karya Iris rapi dan tersusun jelas.
Overall ini sangat enjoyable. Nanti saya balik lagi kalau udah baca Axel. Kalau saya ga balik lagi berarti saya vote Axel.
See ya!
Bunuh dirinya Axel itu sebenernya semacem jari tengah buat Zainurma, selain ya, dia nyusul sesama warga Retroria ke alam sana. Kayak 'kalo emang mesti mati, biar dia sendiri yang nentuin matinya gimana'
HapusKalo yang disebut kemampuan ini sifatnya yang ofensif, maka ya, emang baru laser aja. Defensinya plasma barrier baru keluar di akhir entri ini, sementara pasifnya lain" kayak dia modifikasi domba di entri lalu atau modif tangannya di entri ini buat lawan Shor-Ush
Entri Iris rapi, tapi saya sendiri ngerasa emang monoton. Mungkin ga salah juga kalo komen di atas bilang entri ini bikin bosen
Trims udah mampir
Entri Axel lebih variatif di battle.
HapusEntri ini lebih dinamis di battle.
Kedua entri sama-sama membahas desperate dan bencinya Axel pada turnamen ini. Dan di sini lebih kerasa desperate daripada bencinya.
Di akhir sama-sama ngegantungin hint untuk canon utama, yang sama bikin penasaran.
Mimpi buruk yang seharusnya ada di sini agaknya kurang berkesan, di entri Axel cukup tergambarkan.
Well this is tough.
Axel: 88
Iris: 92
VOTE IRIS
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya hapus komentar pertama karena boros kata. Wkwk.
BalasHapusHmm ... kesan pertama: nggak tahu kenapa, baca entri Iris memang rasanya datar. Entah emg disengajakan demikian, atau karena pemilihan diksinya. Bukan cuman pas bawain Iris, tapi juga sewaktu sudut pandang Axel. Kalau dilukiskan, entri ini kayak ... banyak warna kalemnya. 'Lukisan' itu epik, tapi digambar dengan warna kurang catchy dan nuansanya sepi. Dan saya kurang suka gambaran begitu. Semacam itulah perasaan sy.
Mengesampingkan hal di atas, karakterisasi di sini memang patut diacung jempol. Iris tetap konsisten dgn pembawaannya sbg robot. Tapi, paling suka pembawaan Axel di sini. Dia gak bisa dikadalin, brengsek, tp juga punya kepedulian thd sesama. Dan dibanding authornya Axel, penulis entri Iris malah lebih menghayati karakterisasi lawan (kalau berdasar CS). Taktiknya lumayan, cuman sedikit sayang aja cara mengakalin lawannya diulang.
Axel di sini pun cukup diperhatikan. Dia bukan sekadar halangan yg nutupin jalan Iris (beda dari yg saya temukan sepanjang baca entri lain) dan ada pelajaran yg bisa diperah dari orang macam dia. Sesuai perkiraan.
Beberapa ide yg terselip di ceritanya saya juga suka. Semoga ke depannya, akan banyak pemikiran-pemikiran yg tersirat di dalam entri Iris. Sekali lagi, saya suka cerita yg bukan sekadar cerita, tp jg menyimpan 'sesuatu'. Misalnya ini.
Jujur aja pas bagian battle, saya kurang suka deskripsinya. Battlenya kurang detail (kalau dibanding entri Axel). Jdi pas di akhir cerita, pas kedua OC menentukan kemenangan dgn lempar koin, saya lumayan suka. Untung gak ada battle lagi--karena kalo ujungnya battle ya lumayan bosen sih. Penyelesaiannya juga jadi nggak klise. Lagian gak seru juga kalau Iris menang dgn battle sih. Wkwk.
Vote menyusul. Tunggu kata roh Orim dulu~~
*Eh maap, bukan cara ngakalin ... tp ujungnya. Sama" diledakin.
HapusHalo, Iris Lemma! Perkenankan saya mampir dan komen disini *human detected* /dilaser wkwkwk
BalasHapusOke, abaikan itu tadi. Lagian Iris kan cuma berkelakuan begitu di prelim. sekarang dia lebih 'manusiawi'.
Hal itulah yang membuat saya suka dengan entri ini.
Kenapa? Tak lain karena evolusi dari OC-nya. Evolusi bukan melulu soal senjata, perlengkapan, atau lain-lain lho ya, melainkan cara berpikir si Iris yang semula non-kompromi kemudian bertemu Ganzo dan diceramahi soal keagamaan, sekarang ketemu dengan ahli perdemitan. Pemikiran-pemikirannya memang agak sulit dicerna, namun dahi berkerut disini bukan pertanda buruk, melainkan sebuah pertanda bahwa pembaca(pun) ikut berpikir tentang isi atau pesan yang ingin disampaikan authornya.
Oh, memorable scenes?
Pastinya waktu Axel melakukan 'coin flip', bertaruh dengan Iris Lemma dan (anehnya) waktu Axel melakukan bunuh diri, dan dengan begitu menyambut kematian dengan berani.
Overall, good job-lah. Saya pamit dulu mau ke entrinya si Demonologist. Vote akan diberikan jika sudah menilik keduanya.
Dewa Arak Kolong Langit melempar 'Tuak' kepada Iris Lemma!
Hapus+1 vote untuk One-Eyed Thousand Theorems!
Alasan: Yah, entri spiritual begini langka di BoR 6.*For the sake of preservation~~*
Saya suka ke-asshole-an nya si Axel dipakai pada mereka yang layak menerimanya(panitia) sementara di entri sebelah kayaknya kebalik. Saya lebih suka penyampaian karakter Axel dan(tentu saja) Iris di entri ini. Momen yang memorable pun, lebih banyak disini.
Sekian. Semoga yang terbaik lolos!
Halo, Pencipta Kaleng Ajaib di sini.
BalasHapusInteraksi dan narasinya entah kenapa begitu mudah dibayangkan, seolah sedang menonton serial animasi dengan berbagai efek khasnya. Interaksinya asyik, apalagi dibantu dengan bayangan rupa Iris dan Mira yang beberapa kali digambar oleh authornya sehingga tak sulit membayangkan bagaimana gerak-gerik tiap karakternya.
Sayang, ketika mulai masuk ke inti cerita aku agak kurang kena. Mimpi buruknya kurang terasa ... seram? Mungkin seram, jika dibayangkan benar-benar. Hanya saja aku ngrasa kayak ga dibimbing untuk menuju keseraman itu.
Pun ketika masuk pertarungan, ga seseru yang dibayangkan. Aku rasa plottwist-nya emang bagus, bagus banget. Tapi entah kenapa ada yg kurang. Rasa2nya fokus di entri ini bukan pertarungan fisik, tapi pertempuran logika. Mungkin krna ini, pertempurannya jadi kurang detil ya? Kasarnya kayak "Ini si A bawa pistol, si B bawa pedang. Mereka tarung."
Meski begitu, aku suka waktu mereka bertukar logika. Salah satu hal favoritku ketika membaca entri Iris Lemma adalah setiap alur berpikir yang diberikan oleh Iris kepada lawannya.
Lalu tulisan-tulisan kecil di atas itu, entah kenapa makin ke sini berasa makin hilang guna. Tak seperti ketika prelim saat menulis ‘makhluk bodoh’ di atas kata ‘manusia’ jadi memiliki maksud tersendiri, di r2 ini tak terasa begitu. Ada beberapa yang menurutku gak bertujuan, alias dihilangkan pun tak masalah.
Btw, ga ada foreshadow Alif Lam Mim yah? Agak kecewa soalnya aku berharap dia mulai dilihatin dikit2 ._.
Endingnya lumayan memuaskan menurutku. Agak unexpected krna akhirnya melawan musuh yg sama, like it.
Sudah itu dulu, vote menyusul :D
~Pencipta Kaleng Ajaib
Mbandingin kedua entri ini kayak bandingin mana yg lebih enak, Apel atau Pir. XD
HapusMaka itu saya akan memberikan vote berdasarkan tingkat kenikmatan yg saya dapat dan ekspektasi untuk cerita depan.
Sebenarnya dari segi kerapian cerita dan konsep, entri Iris lebih unggul. Pun ceritanya sangat mudah dipahami, meskipun datar. Sayangnya entri Iris dari segi pertempuran, kalah seru dibanding entri Axel meskipun dengan trik bertumpuk yang diberikan entri Iris. Sepanjang membaca entri Iris, paling jauh saya cuma bisa tersenyum.
Saya bandingkan dengan narasi Axel yang, meski berantakan (typo dan diksi berulang berserakan), tapi sukses memberikan kesenangan bagi saya ketika membaca. Tak sekedar senyum, bahkan saya sempat merinding ketika disajikan narasi perpisahan (kematian) Iris di entri Axel.
Harapan untuk entri ke depan, saya jujur lebih penasaran akan bagaimana entitas Emas dan Perak itu akan dimainkan daripada sebuah bola yang tiba2 muncul di hadapan Iris.
Oleh karena itu, vote saya berikan pada Axel Elbaniac.
Am sorry for being so subjective.
Langsung saja.
BalasHapusSaat sy mulai membaca cerita ini, sy diberikan oleh narasi yg ringan dan mudah dibayangkan, tpi gk cukup utk bikin nge-flow. Makin terus sy membaca, kesannya malah hambar gitu. Namun, barangkali krn disesuaikan dgn karakter iria yg seorang robot. Tapi anehnya saat porsi axl juga ttp terasa sama.
Lalu, sy suka dgn char-develop ai penulis utk cerita ini. Bahkan axl dibikin sangat tricky, sesuatu yg gk sy dapat di entri axl sendiri.
Terus, utk adegan tarung. Cukup konsisten jugabkrn lbih menekankan perang ideologi dripada kontak fisik. Namun, imbasnya adegan tarung terasa lackey, kyk cma disodorin, "si a begini, si b begitu, selebihnya lo bayangin sendiri." gk ada hook yg bikin pembaca setidaknya bisa meresapi, gk cuma angin lalu.
Terus, seperti yg sudah diakui oleh penulisnya sendiri bahwa cerita ini monoton.
Terakhir, masih berkaitan dgn yg sudah diakui oleh penulisnya sendiri .... Konflik akhirnya mudah ketebak ... iris dan axl bersatu lawan musuh yg sama. Walau utk bagian kekalahan axl cukup bikin sy mesem2 krn gk biasa
Sekian
Permisi bang sam, izin berkomentar ya!
BalasHapusAwal awal saya baca entrinya saya kira akan full-dark tapi ternyata tidak, ada beberapa part yang komedik dan berhasil diterima (gak garing). Saya sedikit heran dengan pembawaan bang sam, narasinya sangat mudah diikuti, serius deh enak banget ngikutinnya! tapi disisi lain saya juga suntuk dengan narasinya, entah seperti apa yg sudah dikatakan beberapa orang diatas bahwa narasi nya begitu karena melihat si MC nya adalah robot yang dingin?
Lanjut ke battle, disini saya dibuat terpesona dengan kemampuan sang author yang dapat memerankan lawannya dengan baik tanpa meredupkan spot Iris. Kemampuan serta karakterisasi Axel sangat bagus dari sebelum hingga beres battle pun, plot twist yang disajikan juga bikin nganga.
Lalu percakapan antara sang kurator dan dewi perang juga membuka jembatan menuju ronde selanjutnya, saya benar benar dibuat penasaran! Semoga Iris masih diberi kesempatan untuk lanjut.
Untuk vote nya tunggu ya...
Wasalam
Ganzo Rashura
Maaf telat komen om. Dah lama baca, tapi lupa mulu ninggalin komentar gara2 ga ada PC.
BalasHapusBanyak alur yang ga keduga di entry Iris daripada Axel. Selain narasi simpel, banyak adegan kejutan yang ga ane duga daripada entry lawan.
Macam: Iris ketipu berkali-kali sama Axel. Battle terhenti terganti oleh kerja sama lawan iblis. Mereka jadi partner. Menang dengan cara yang beda.
Sebenernya ane suka entry Iris. Tapi punya lawan juga ga kalah bagus. Serius ane bingung diantara kedua entry ini. Kalian berdua walau beda kontras dari kedua entry, sulit pisan dibandinginnya. Serius ane ampe berkali-kali baca ulang entry kalian demi memilih suara =="
Liat, ane posting ini lewat tengah malam DL. Gatau keitung votingnya ato ga. Kalian berdua walbiazah(?)
Tapi setelah dipikir berkali-kali, ane putusin pilih entry Axel. Bukannya entry Iris ane ga suka, tapi kalian berdua dua opsi yg benar2 sulit (-/\-)
Sekian dari Lady in Black.
hmm... iris yang polos diimbangi sama Mira Slime yang komedik sangat menarik dan pas.
BalasHapusjujur setelah baca entry Iris dan Axel sama-sama bagus. kedua entrynya saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing. bahkan bikin saya bingung mau vote yang mana. kalo boleh saya mau vote keduanya.
tapi setelah menimbang rasa dan kenikmatan menikmati alur dan konflik, saya memilih entry Iris.
sekian,
Dual Dagger Dancer
wah bingung juga XD
BalasHapusharus lengkap, Ai-nee :3 biar sah
Hapusminimal lima baris kalimat
Iris Lemma (maaf telaaat)
BalasHapusAxel yang cool ketemu Iris yang to the point. Karakter mereka dapet banget. Lanjut ke narasi yang selalu enak dibaca, ditambah trik-trik Axel dan penyelesaian Iris, sampai ke munculnya Shor-Ush. Saya sebagai pembaca berhasil dibawakan cerita yang baik sama si pencerita dan semua tokohnya. Saya suka semua part yang ada di entri ini, tapi favorit saya ada dua. Pertama, bagian Axel sebelum dia bunuh diri. Kedua, di bagian akhir, semua misteri yang melibatkan dua Mira. Itu sukses bikin penasaran.
Oc: Namol Nihilo