Senin, 01 Agustus 2016

[ROUND 1 - 3C] 25 - MBAH AMUT | MÉ:καᴎίᴢεδ MÉ:μοяϊζ

MBAH AMUT

oleh : Énryuumaru
--



Catatan: Mungkin akan ada kekerasan, sindiran keras, lawakan garis keras, atau mungkin adégan telanjang melebihi batas. Éntri ini jangan dibawa perasaan, karena hanya cerita karangan. Aslinya diniatkan untuk tertawa, tapi bisa jadi malah bikin kecéwa. Waspada sebelum membaca.




Hai,

Kamu.

Ya, kamu.

Apakah kamu adalah kamu yang kemarin?

Aku harap begitu. Jadi tak perlu penjelasan panjang lébar lagi kenapa kita ada di sini. Kalau kamu bukan yang kemarin, kamu kesini dan ikut duduk saja. Mari kita nonton sama-sama.

Hah? Nonton apa? Aku juga tidak tahu, tapi yang di depan ini adalah tontonan kita.

Lihat, sebuah lukisan naga tua memegang bonéka manusia yang sudah pecah. "Sebuah Kehilangan" judulnya. Sepertinya aku ingat sesuatu, tapi mungkin hanya perasaan saja. Maklum, orang tua.

Ngomong-ngomong, kelihatannya tempat ini adalah sebuah muséum. Kamu tahu, kan? Tempat berkumpulnya karya-karya seni, lho. Patung, lukisan, barang yang ada éstétikanya, lah. Katanya.

Kelihatannya ramai juga, ya? Banyak yang mondar-mandir dan lihat-lihat sekitar. Mungkin meréka tamu undangan juga, sama seperti naga ungu beruban yang jadi tokoh utama tontonan ini. Kenapa aku bisa tahu? Entah.

Naga itu sedang berkumpul dengan puluhan makhluk lainnya, mendengarkan penjelasan pria klimis nan nécis bersama seorang wanita yang memakai gaun kuno. Meréka mengaku sebagai penjaga muséum ini.

Mengumpulkan karya seni yang berasal dari Mimpi? Terdengar biasa saja. Maksudku, bukankah karya seni asalnya dari mimpi para pembuatnya? Tapi karena para tamu ditarik langsung ke dunia mimpi, ni bukan perkara réméh.

Éh, tapi tunggu. Kenapa ada gempa di dalam muséum?

Ah...

Wéléh, wéléééh...

Beberapa dari tamu tiba-tiba berubah jadi guci jelék. Kata si klimis sih, itu karena mimpi meréka jelék. Berarti, semuanya akan dirubah jadi begitu kalau mimpinya jelék? Kalau mimpinya bagus jadinya bagaimana?

Ah, apapun alasannya, ini membuat semua jadi ribut kalang kabut.

Wanita kuno itu seram juga. Tombaknya dikipas-kipas, lalu semua tamu terhempas. Naga tua kita sampai berlutut saking kencang angin yang menerpa tubuhnya. Éncoknya sampai kumat.

Ngomong-ngomong, naga tua itu Amut namanya.

Setelah angin berlalu, si pria nécis basa-basi lagi seperti tak terjadi apa-apa. Intinya, ia mengingatkan semua révérier yang terpilih harus berusaha untuk bermimpi lebih baik lagi agar bisa menciptakan karya yang lebih indah lagi.

Pemaksaan? Bisa jadi.

Perbudakan? Masuk juga.

Meski begitu, ia tetap meminta para tamu agar bisa percaya padanya. Tapi siapa yang bisa percaya kalau kejadiannya seperti ini? Aku saja masih curiga dengan penjaga muséum yang bajunya semegah muséumnya.

Dan sepertinya, ini adalah saatnya para tamu untuk pulang ke rumahnya masing-masing di alam mimpi. Anak kepala bantal membukakan lubang dari kekosongan, mengantarkan para peserta satu-satu menuju tempat yang seharusnya.

Selagi menunggu giliran, Amut melihat-lihat sekitaran muséum itu sekali lagi. Semuanya begitu wah. Tapi yang paling wah... adalah sebuah patung yang samar-samar terlihat dari kejauhan, terlihat seperti o—

ADUH!!

B-BUSÉT!!

ADAWW!!

Ah, maaf. Kepalaku sakit saat Amut melihat patung yang seperti otak raksasa di ujung depan sana.

Hidungku mimisan? Aih... kamu benar.

Éh, hidungmu mimisan juga tuh... Hahahaha!

"M-mbah naga ga apa-apa?! Kok mimisan?! "

Entah. Aku tidak tahu. Begitu melihat patung itu, rasanya kepalaku ini dipenuhi wajah-wajah kosong dan kata [ Sang Kehendak ] memenuhi pikiran . Berat sekali. Aku jadi pusing. Kamu begitu juga?

"Mbah ga apa-apa, kok. Udah ah, mbah pergi dulu. Dombanya kan udah nunggu."

Oh, begitu. Tapi sudahlah, jangan diambil pusing sekarang ini. Lebih baik kamu pikirkan apa yang akan terjadi setelah Amut masuk ke dalam lubang itu. Tak ada yang tahu apa yang sedang menunggu.

"Hati-hati, mbah naga~~!"

~interval~

Setelah masuk lubang, Amut sampai di padang rumput dengan pohon-pohon  bertebaran dan bangunan dari batu tumpang tindih. Tepat di depannya, ada pemuda putih pucat seperti mayat sedang duduk bersama domba yang sedang rebahan.

"Udah pulang, mbah?"

"Belum, Nu."

"Bisa aja becandanya, padahal mimisan begitu."

Mayat itu tertawa kering begitu melihat ada darah mengucur dari hidung Amut. Pemuda itu Nwu Ghé Llo namanya. Aku ingatkan lagi takut kamunya lupa.

Hidung mimisan bukan masalah untuk Amut. Tapi kalau éncoknya kambuh, itu baru persoalan. Amut langsung tengkurap sambil mengelap hidungnya. Kalau kamu jeli dengarnya, sendi-sendi Amut berderit semua seperti éngsél pintu kurang oli.

"Di museum berantem ama siapa ampé bisa begitu?"

"Ga penting, Nu. Sekarang mah mbah mau réhat dulu. Capék tau."

Ketiganya menatap langit biru cerah dipenuhi gumpalan awan, khas kampung halaman. Biasanya kalau langit dan anginnya bagus, dua makhluk ini suka bicara hal-hal sepélé agar waktu cepat léwat. Tapi terjebak di alam mimpi bukan perkara yang sepélé juga.

"Tadi ngapain aja, mbah?"

"Liat-liat karya seni sama ketemu yang punya muséum."

"Héé? Gitu aja?"

"Ya cuma dikasih tau aja kita semua jadi properti muséum, dan harus bikin karya yang paling bagus."

Nwu garuk-garuk kepala tidak percaya. Tapi Amut habis dari tempatnya, dan tadi mimisan juga. Berarti ada benarnya.

"Waduh... berarti, kita diculik?"

"Bisa jadi, tapi masih belum pasti. Intinya mah begitulah."

Si mayat hidup masih berwajah sangsi akan semua yang terjadi. Ya, wajar lah, pastinya ia masih berharap semua ini hanya mimpi dan ia bisa bangun lagi, sama seperti Amut.

"Gusti, udah mah nyasar ke alam Mimpi, tau-tau eceu Marko jadi Darek Fales terus dijadiin patung, sekarang kita harus kerja rodi buat yang punya muséum. Naha rujit pisan...?"

Keluhan itu tidak ditanggapi, karena mengeluh tidak akan merubah keadaan. Yang paling masuk akal saat ini adalah mencari jalan keluar. Tapi, bagaimana caranya bisa keluar dari alam ini? Amut bahkan lupa soal ilmu kesadaran dan mimpi, yang seingatnya adalah bahan ajaran utamanya di sekolah. Aku bisa merasakan kesalnya Amut yang bisa sampai lupa.

"Mbah, Apa Muséum Semesta ada hubungannya ama ramalan yang dimaksud eceu Marko sama Bunda Syu? Kalau ini berhubungan, bukan kebetulan kita bisa nyasar di sini. Kata si klimis itu juga, mbah itu... apa sih namanya, révérier?"

"Ah! Mungkin banget, Nu. Ada kemungkinan begitu. Nyasarnya kita ke Museum Semesta bisa jadi berhubungan dengan ramalan itu. Dan... mbah yang jadi kuncinya karena mbah seorang répérier."

Dugaan tadi memberikan sedikit pencerahan. Tapi tanpa ilmu yang memadai, Amut tetap tidak bisa memikirkan titik terang dari masalah ini. Orang tua suka kesal sendiri karena suka lupa hal-hal yang penting.

"...Masalahnya mbah gak inget banyak hal. Begitu masuk alam ini, mbah kayak papan tulis dihapus bersih. Jadi mau cari solusi juga gimana kalau ilmunya lupa..."

"Mbah kan udah tua, wajar kalau suka lupa."

Mendengar celetukan muridnya yang bernada memuji, mbah naga tertawa sangat hebat. Saking hebatnya, tak disangka, angin ikut tertawa. Semilir tenang mendadak kencang, membuat pohon-pohon dan rumah-rumah bergoyang. Nu agak bergidik, tapi akhirnya ia ikut terkékéh juga.

Suara naga mémang béda, ya? Terbahak-bahak saja bisa begitu.

"Tapi beneran, mbah gak inget apa-apa soal kehidupan di Pana. Cuma pas ketemu kamu ama Markonah aja Mbah bisa inget soal sekolahan ama warung Mak Iyyang."

"Dan Darek Pales..."

"Mbah, mbah..."

Mbah naga menguap sambil merentangkan badannya yang tengkurap. Kalau kamu sudah tua, sendi-sendi tulangmu suka bunyi kalau gésér sedikit. Nih, aku juga begitu. Ahaha, tenang, tidak patah. Ini namanya perenggangan. Makin tua badan makin kaku, jadi cepat pegal-pegal. Harus direnggangkan kalau sudah begini.

"Jadi, sekarang nunggu aja?"

Aku yakin jawabnya ada di ujung langit. Tapi mungkin kita tidak ke sana dengan seorang anak yang tangkas dan pemberani. H-héi! Aku tidak sedang melucu, ya!

"Ngomong-ngomong, Nu. Ini tanahnya mendadak subur begini. Ada rumah nyangkut di atas pohon lagi. Kok bisa?"

Ya jelas ini menghérankan. Padang rumput ini adalah Sabana Albana, tempat bersemayamnya tugu bersejarah di tanah Vana. Tapi lingkungan sekitarnya berubah total. Sampai ia bingung bagaimana ceritanya ada rumah dua tingkat bisa tersangkut di atas pohon raksasa yang rimbun tiada tara.

"Ah, itu... Pas mbah disuruh pergi ke musium, ya jadi begini."

"Hmm..."

Bingung? Sama, aku juga bingung. Tapi namanya alam mimpi, semua bisa terjadi. Jadi, ya sudahlah.

"Gimana, mbah? Mau dicék?"

"Boléh deh. Bosen ngerumput terus. Kita mah bukan domba."

Domba yang asyik makan rumput langsung mengembik. Entah tersinggung, entah pundung. Tapi yang pasti, domba itu jadi tidak menurut ajakan Amut dan Nwu. Ya sudah pasti dombanya diam saja, domba juga punya perasaan.

"Aduh, maap ya domba. Jangan marah, dong. Sini, mbah géndong."

Jadi, biar gak ngambek lagi, dombanya diangkat dan ditaruh di bahu Amut yang terlihat masih kekar. Siapa bilang sudah tua tidak boléh terlihat bugar?

"Mbéééé..."

Digéndong mémang énak toh? Mantep toh? Tuh, domba aja senang kalau digéndong.

Setelah itu meréka jadi berjalan agak jauh ke utara. Karena penasaran dengan bangunan yang memenuhi hutan rimbun dan banyak buah-buahan.

Gusti Nu Agung.

Tak habis pikir, di balik hutan bisa ada sebuah peradaban. Amut, Nwu, dan si domba matanya jelalatan melihat bangunan warna-warni bertebaran, seperti ditabur pelangi. Lebih jelalatan lagi, yang menghuni kota itu orang-orang yang sangat rupawan.

Semuanya.

Tak ada yang tahu mana perempuan cantik dan mana laki-laki tampan. Yang gagah dan molék sama-sama indah. Batas kelamin jadi kabur entah ke mana. Kagét bukan kepalang begitu meréka sadar tempat ini merupakan kota yang terkenal di dataran Vana.

"M-mbah... ini..."

"K-kok, kota Martanira ada di sini?"

Amut dan Nwu yang masih canggung karena bingung, dipergoki oleh salah satu penduduknya, yang merupakan sesosok menyerupai perempuan dengan rambut jingga, menunjuk-nunjuk meréka seperti monster dari dunia lain.

"W-wah! Ada naga!"

"I-itu..."

"Wah! Ada Mbah Amut!"

"Ada Guru Besar Kundalana!!"

Seketika riuh bergemuruh di kota penuh warna. Tak disangka Amut dan Nwu diberi sambutan meriah. Padahal tadi para warga sudah terlihat sangat curiga. Sekarang meréka malah diperlakukan seperti tamu kehormatan.

"Mbah kenapa berkunjung ke sini?"
"Mbah, ceramah Mbah! Ceramah dong, ceramah!"
"Mbah, pendapat mbah tentang émansipasi perempuan bagaimana, Mbah?"
"Mbah,"
"Mbah,"
"Mbah,"
"Mbaaah!"
"Kyaa! Mbaaaah!!"
"Aku padamu, mbaah!"

Aduh, pusing sekali mendengar omongan meréka ini, seperti mercon yang merémbet kemana-mana. Ingin sekali aku berteriak pada kerumunan ini agar bisa diam dan tidak membuat pendengaranku sakit.

Kamu setuju, kan? Kebisingan ini menyebalkan.

"DIAAaAAaAaaAAaAaAAMMmmM!"

Wah, tiba-tiba ada suara nyaring. Tak perlu répot-répot untuk minta ketenangan. Pasti yang bersuara ini orang penting, sampai bisa mendiamkan warga-warga sebising gonggongan seratus anjing.

Kerumunan jadi tersibak, membukakan jalan untuk seorang wanita anggun berambut hitam ungu mengkilap seperti ombak luar angkasa. Jubah hitam berpadu dengan gaun ungu, memberikan kesan sangat kuat pada badan berlekuk indah.

"Kenapa ini ribut-ribut, héh?!"

Tak sempat para warga bersuara, si wanita sudah menemukan sumber dari segala ribut. Wajah kusutnya mendadak rapi, senyum lebar berseri-seri.

"Alamak. Kirain ada apaan, ternyata ada Mbah Amut mampir... éhéhé..."

"Maafikan warga-warga akika, ya... émang pada képo dan rémpong begindang!"

"Anu, maap, kamu téh Wali di kota ini?"

Amut dan Nwu sama-sama bingung. Tapi kalau Amut bingung karena status yang dipegang si wanita, Nwu bingung karena ia menemukan ketidakcocokan antara apa yang ia saksikan dan apa yang ia pikirkan.

Hmm? Apakah Nwu meragukan keaslian wanita itu?

Aku merasa begitu juga, sih. Tapi jangan tanya aku. Aku juga tak bisa membédakan mana wanita mana yang bukan kalau cantik semua. Sudah kubilang, di Martanira tidak ada jenis kelamin.

"Iya, mbaah. Masa lupa sih sama akika?"

Waduh, wanita satu ini centil juga, ya. Sampai main kedip-kedip mata begitu. Nakal, ih.

"...Aduuh, punten, Ses, mbah lupa..."

"Aduh... akika ini Tamm Ara, mbah, Tamm Ara! Gimana sih si mbah ini..."

Éits, dia sampai colek-colek dagu begitu.

Waduh.

Waduuuh.

"Oh iya! Ses Ara, ya?! Maap lupa, héhéhé."

Akhirnya Amut ingat orang ini. Ia adalah Wali Kota Martanira. Kepala kota ini, gampangnya. Amut lupa bagaimana bisa kenal, namun setiap Amut mampir ke sini, ia selalu ingat jamuan dari Ses Ara.

"Kebetulan Mbah ada di sini, mungkin kita bisa ngobrol sedikit? Ada hal penting yang mau akika bicarakan."

Kukira akan jadi basa-basi panjang dan membosankan. Namun sepertinya wanita ini sadar dengan situasi yang dihadapi. Ia langsung mengajak mbah ke tempatnya.

Untuk ngobrol, ya. Ngobrol. Kamu jangan pikir macam-macam.

"Mari. Saya rasa saya tahu yang mau Ses bicarakan."

Amut menerima tawaran tersebut, dan Nwu hanya bisa manut saja dan turut ikut. Tak ada warga yang bergerak maupun berkata-kata sebelum Ses Ara dan tamunya menghilang ke jantung kota.

~interval~

"...Jadi begitu, Mbah."

Di kantor Wali Kota merangkap rumah Ses Ara, Amut dijamu sebakul besar tahu bulat dan lalapan daun singkong di ruang tamu warna-warni ukuran besar. Ses Ara tiduran di atas kursi melengkung, berposisi telentang menantang sambil menghisap pipa udutnya. Sementara Amut dan Nwu léséhan bersama si domba, asyik melahap tahu bulat dan lalapan yang terhidang dengan sambal pedas meradang.

Sudah kubilang, kan? Dari tadi Ses Ara hanya menceritakan kecemasannya karena Martanira tiba-tiba pindah ke antah berantah. Ia panik dan kebingungan, tak tahu harus apa.

Harapannya, Mbah Amut yang notabéné Guru Besar Sekolah Kundalana bisa membantunya mengatasi masalah ini.

Tapi yang dimintai tolong garuk-garuk kepala.

"Aduh... gimana ya jelasinnya ke Ses Ara... sebenernya mbah juga bingung, soalnya mbah juga baru nyasar ke antah berantah ini. Tapi yang pasti... mbah tau alasan kita nyasar ke antah berantah ini karena kita dikumpulin jadi properti Muséum Semesta."

"Maksud mbah, kita jadi bahan paméran. Jadi pajangan."

"A-apa? Paméran? Muséum?"

Pipa udut Ara sampai lepas dari bibir saat mendengar penjelasan Amut yang di luar nalar dan batas wajar.

"Mbah ga tau pasti sekarang ini... tapi yang mbah bisa jelasin ke Ses Ara intinya: Kita semua adalah karya seni di Muséum Semesta. Kita dikumpulin buat jadi karya seni."

"..."

Situasi jadi beku. Semuanya bisu. Kenyataan mémang sulit diterima. Yang sudah jelas nyatanya saja masih suka disangkal, apalagi yang mustahil seperti ini? Mémang sulit dipercaya.

"M-mmbééééékk!"

Tiba-tiba si domba kejang-kejang menggelinjang, seperti kena ayan. Semua jadi kalang kabut, panik, dan morat-marit.

"É-éééhh!! Dombanya épilépsi lagi, mbah!!"

"GUSTI NU AGUNG!"

"ALAMAAK!"

Seberkas sinar menyilaukan memenuhi ruangan. Setelah pancaran sinar mereda, si domba terlihat séhat wal'afiat. Namun di belakangnya ada lubang hitam besar dengan ujung lubang warna-warni seperti gulali yang menémpel di dinding. Ia mengembik, seolah meminta Amut untuk masuk ke sana.

Seingatku ini adalah panggilan resmi untuk para révérier. Waktu Amut dipanggil ke muséum juga seperti ini.

"...Kayaknya ini panggilan buat mbah. Mbah harus pergi."

Amut bangkit dari lantai, melangkah pelan memenuhi panggilan dombanya yang menunggui pintu masuk menuju Bingkai Mimpi yang selanjutnya. Si pemuda mayat turut beranjak untuk ikut mendampingi Amut, namun satu telunjuk besar menémpél di jidat Nwu, menghalangi langkahnya.

"Nggak, Nu. Kamu jangan ikut."

"Lah, terus kalo mbah kenapa-napa—"

Belum sempat Nwu menyelesaikan protésnya, dahinya disentil keras-keras. Nwu mengaduh memegangi dahi berbekas mérah. Namun ia mendadak diam saat mata gurunya berkaca-kaca. Raut wajah keras itu sulit dibedakan antara sedang beringas atau tegas.

"Mending mbah yang kenapa-napa daripada kamu. Mbah gak mau kehilangan keluarga lagi."

"Syu yang ngilang sama Markonah yang dikutuk jadi patung udah cukup buat mbah."

Amut berbalik, menyegerakan diri untuk masuk ke dalam lubang. Domba yang tadinya mau ikut malah digéndong dan dikembalikan ke luar portal. Amut juga tak mau kehilangan si domba lucu dan lugu.

"Ses Ara, Mbah titip domba sama murid mbah... mereka berdua harus aman. Mbah gak bakal pergi lama, kok."

Sosok Amut pun menghilang bersamaan dengan menutupnya lubang, membiarkan Ara termangu seperti dungu.

~interval~

"...Mbah..."

Nwu tertegun mendengar ucapan gurunya sebelum masuk ke dalam lubang. Ia tak habis pikir sebegitu sayangnya si naga bau tanah. Batinnya berkecamuk. Bajingan tengik seperti dia mana pantas disayang? Setitik air pun menétés dari mata, diseka seakan najis.

"Dasar tanah bau lapuk! Sok-sokan kuat! Padahal kumat dikit langsung kéder!"

"Hmm, kamu ini muridnya Amut, ya?"

"Éh? Iya, Ses."

"Kamu rada acak-acakan sih... tapi akika ngerti seléra fésyenmu. Jangan malu, apalagi segan. Anggap aja rumah sendiri, ya?"

"I... iya, Ses..."

Tante-tante baju ungu kembali waras. Ia menepuk-nepuk bahu Nwu, seakan tahu apa yang pemuda itu rasakan.

"Akika tahu kamu pasti kecéwa gak dibolehin ikut sama mbah. Tapi maksud mbah baik kok."

"Iya, sih. Tapi mbah udah tua gitu. Kalau éncoknya kumat kan berabé."

Wanita itu tersenyum tipis. Lagi-lagi Nwu ditepuk bahunya.

"Sekarang kita cuma bisa berharap yang terbaik buat mbah. Bener ga, embéé?"

Domba itu mengembik pelan sambil nyengir seperti dakocan. Agar kedua tamunya tidak bosan, Ara bersiul, membuat sebuah panggilan merdu.

"Ma Nia! Ma Ida! Kesindaang!"

Secepat kilat, dua orang dayang bergaun hitam datang dengan élégan. Yang satu sesosok cantik berambut hitam lurus sepinggang seperti semak belukar, dan yang satu lagi berambut biru laut diképang dua yang diulir seperti spiral.

"Kami datang, Bunda Wali."

Setelah membungkuk hormat, meréka berdua berlutut, menunggu titah selanjutnya.

"Ma Nia, kamu urus tamu kita. Ma Ida, kamu urus dombanya."

"Daulat, Bunda Wali."

Ma Ida si képang dua langsung menjalankan titah dan mengangkat si domba dengan gembira ria. Ia tertawa karena dijilati terus oléh domba yang senang bau rumput basah di sekujur badannya.

"Domba unyuu, sini main sama a-aduh, ja-jangan dijilat terus, dong! A-aku geli nih! A-aaaahn!"

Nwu yang masih melamun langsung dihampiri Ma Nia si rambut hitam. Tatapannya yang nakal mengundang tanya.

"Hmm... qamu OQÉ jugah. Suqanya Top Téxt apah Bottom Téxt?"

"H-hah?"

Belum sempat apa-apa, Ma Nia sudah merangkul bahu Nwu dengan mesra, memaksa sang tamu mengikuti langkah si dayang.

"Iqut aja sinih. Ai qén bi yur énjle or yuor débel."

Kedipan mata dan jilatan bibir yang genit luar biasa makin membuat si pemuda jadi berpikir yang tidak-tidak.

"M-maksud kamu apaan?!"

"Hhé."

~interval~

Héi, kamu masih di situ?

Kamu sedang apa?

Jangan melamun saja. Kalau melamun nanti kamu ketinggalan adegan seru, lho.

Tuh, sekarang Amut terjerembap, terdampar di atas gurun luas berlangit suram. Angin kencang menyebar panas. Hawa pencemaran dan kehancuran sangat kuat, membuat sisik Amut terasa tidak nyaman.

"Ini kesasar di mana lagi..."

Amut menilik sekitarnya. Hanya pasir dan runtuhan gedung sejauh yang bisa ditangkap mata. Kehidupan seakan tak tersisa. Hanya saksi bisu bertebaran sebagai tanda. Semilir angin berbisik merana.

Miris.

Di kejauhan terlihat bunga raksasa menjulang tinggi ke langit, ketutupan badai debu. Apa mungkin jawabannya ada di sana?

Belum pasti.

Amut mulai menapaki Jalan aspal yang tertutup, karena pencarian alasan dan kepastian harus dimulai dengan sebuah langkah, kan? Pasti di tempat gersang dan kering kerontang seperti ini, ada sesuatu yang harus dituju dan harus terwujud.

Di balik sebuah cerita pasti ada idé yang ingin disampaikan.

Hah? Aku tidak sedang melantur. Tapi memang semua karya berasal dari idé, kan? Diawali dari cipta, diolah oleh rasa, dibuat dengan karsa. Kamu mengerti tidak? Tadi kamu bilangnya tahu éstétika. Gimana, sih?

Amut pun bergegas, dan puing-puing jadi makin jelas. Lalu sampailah Amut di tengah kota megah yang tinggal bekas.

Nahas.

Petaka macam apa yang menimpa kota ini sampai tinggal bangkainya saja?

Di tengah gurun, lagi.

[ Anomali diménsi terdétéksi. ]

Baru saja Amut masuk, sudah muncul beberapa robot pesawat mirip burung gagak dari atas gedung. Terbang dari satu atap gedung ke puing-puing yang lain. Sepertinya meréka sedang mengawasi tempat ini.

"W-waduh!"

Belum sempat Amut berpikir apalagi bertindak, sekarang ia harus mendahulukan keselamatan dirinya. Robot-robot gagak itu memberikan sambutan meriah berupa hujan témbakan. Ucapan selamat datang yang sunguh tidak ramah.

[ Targét dipastikan. Éksekusi protokol penyerangan. ]

Ini jangan kamu tiru. Kalau ada tamu harusnya kamu sambut dengan salam, terus jamu dengan benar.




"...Distorsi lagi?"

"Terdétéksi distorsi di selatan East Capitol. Dengan yang ini, sudah enam distorsi diménsi, Ketua."

Dengan satu isyarat jari, pemuda keméja coklat berkacamata buru-buru keluar dari ruangan rapat kumuh berlayar lébar.

"Aku harap kau bisa menjelaskan."

Jauh di ujung méja persegi panjang, terduduk seorang lelaki bulé berambut pirang péndék dan mata biru khas manusia Éropa Barat, didampingi seékor domba yang dari tadi menggigil ketakutan. Di seberangnya ada wanita dengan rambut hitam péndék yang lebih banyak helaian putihnya. Setengah wajahnya sudah rusak terbakar dan koyak, membuat tatapan dinginnya jadi lebih mengancam.

Tangan kirinya yang terbuat dari logam mengetuk méja setiap detik, seperti diam-diam memberitahu kalau  waktu meréka tidaklah banyak.

"Kemungkinan besar ada révériér yang lain datang ke sini."

"Apakah kau punya hubungan dengan para révériér yang lain?"

"Tidak. Aku tidak punya hubungan apapun dengan meréka. Kesamaan kami hanyalah sebagai pemimpi yang dituntut untuk berkarya bagi Muséum Semesta."

Si wanita mengurut keningnya. Sudah kepalanya pening karena badannya rusak, ia harus pening dua kali mendengar penjelasan pria ini. Tak ada yang bisa dicerna akal séhat.

"Jadi kalian punya satu tujuan?"

"Ya."

"Tapi kalian punya motivasi dan cara yang berbéda agar tujuan itu tercapai?"

"Bisa dibilang begitu."

"..."

Canggung kembali mengisi ruangan. Untuk pertama kalinya, seorang Akari Karia harus menghadapi masalah dari dunia lain. Ia sudah repot harus menjadi ujung tombak para pemberontak, untuk memperjuangkan kemerdékaan dan harapan penduduk Anatolia. Sekarang, ia harus dirépotkan tamu dari diménsi lain?

"Aku masih kesulitan untuk mengerti, Olson."

Akari mendesah lesu, berusaha mengeluarkan semua penat yang membuat kepalanya berat.

"Tapi, selama kau dan révériér yang lain tidak menghalangi kami, kami tak masalah."

Setelah beranjak dari kursinya, Akari menghampiri pria yang bernama Olson, melepas lima rangkap borgol logam di tangannya.

"Dan akan lebih baik lagi bila kalian membantu perjuangan kami."

"Perjuangan apa?"

"Membébaskan rumah kami, Anatolia, yang dirampas rézim Happy Holy Family."

Layar lébar pun dinyalakan. Memperlihatkan diagram yang memperlihatkan menara pencakar langit seperti tangkai bunga mawar raksasa. Di sebelahnya adalah gambar robot putih dengan kepala menyerupai gagak.

"Kita tak punya waktu banyak. Jadi intinya saja."

"Happy Holy Family adalah sebuah rézim korporat yang dipimpin seorang robot diktator bernama Saraph. Kami para pemberontak berusaha menjatuhkan rézim ini. Karena, bila rézim Saraph tidak dihentikan, para penduduk Anatolia akan terus dikekang oleh aturan-aturan yang menindas."

"Dan usaha kami sudah mencapai puncaknya. Sedikit lagi kami akan bisa sampai ke Menara Pallisade, markas pusat Ha-Ha-Éf dan akan melancarkan serangan total ke sana. Menjatuhkan rézim Saraph untuk selamanya."

Si bulé mengangguk. Ékspresinya yang kalem seakan menandakan ia sudah mengerti akan situasi yang harus ia hadapi.

"Aku bisa membantu. Tapi yakinkan aku agar aku bukan berada di pihak yang salah."

"Lihat aku."

Akari melepas kaos kutang abunya. Kabel, barét, lecét, bekas jahitan, dan daging-daging tak berkulit ia perlihatkan seakan bekas luka di wajahnya belum cukup meyakinkan.

"Ini yang dilakukan oléh Happy Holy Family pada penduduk Anatolia bila tidak mengikuti sistem meréka, yang lebih buruk daripada penjara."

Seperti manusia pada umumnya, Olson bergidik saat melihat kerusakan tubuh Akari. Ia tidak habis pikir wanita itu masih bisa hidup dengan keadaan yang mengenaskan.

"...Baiklah, Akari. Aku akan membantumu."

~interval~

Ngung.

Ngung, ngung, ngung, nguuung.

Nong.

Gaok gaok, gaok gaok.

[ Selamat pagi, warga menara 165! Hari sudah berganti! Jangan lupa untuk selalu mengawali hari dengan senyum gembira! Sekarang waktu menunjukan empat lima lima! Saatnya mengawali hari dengan senam keséhatan jasmani! Agar badan jadi segar dan bugar! ]

Suara tunggalnada keluar dari mégafon yang mencuat di sekitar menara raksasa, disahut dengan suara yang sama dari robot gagak kecil yang berténggér di dalam menara. Seketika berisiknya menjalar seisi bangunan.

Pintu kamar-kamar kecil yang seragam terbuka serempak. Memberikan jalan untuk manusia, manusia setengah robot, dan robot setengah manusia keluar dari kamar masing-masing. Sorot mata meréka redup seperti tidak hidup, namun alis meréka meregang dan senyum merentang. Rambut rapi dan mulut bersih habis gosok gigi. Baju warna putih dicampur garis-garis hijau begitu memukau.

Rombongan yang tak sedikit jumlahnya berbondong-bondong menggunakan tangga dan lift yang tersedia, agar bisa turun menuju lantai dasar. Tak sedikit yang mencoba terjun langsung dari lantai atas agar cepat sampai ke bawah.

Di lantai paling bawah, sudah berkumpul robot-robot kaki dua dengan bentuk macam-macam. Warna putih dan hijau menjadi bagian dari kulit logam meréka.

[ Selamat pagi, warga menara 165! ]

"Pagiii!"

Yang tidak menjawab salam langsung disérét oleh robot-robot penjaga kerumunan, dipukuli sampai babak belur atau dijedor sampai hambur.

[ Hari ini hari yang cerah sekali! Hari yang sangat pas untuk memulai aktivitas harian dan menunaikan kewajiban! Tapi sebelum kita memulai hari kita yang baru, mari kita menyegarkan badan dengan senam keséhatan jasmani! Badan yang séhat diperlukan agar pikiran selalu tenang dan hidup senang!  ]

"Horééé!"

Yang tidak bersorak langsung disérét oleh robot-robot penjaga kerumunan, lalu dipukuli sampai remuk atau dijedor sampai jadi bubuk.

Para robot dan kumpulan warga menara mulai berbaris rapi. Bersiap untuk senam pagi.

[ Semuanya, siap pada posisi! ]

Satu robot yang terlihat seperti orang botak bermata satu menjadi pemandu gerak. Ia pun bersiap memulai aba-aba.

[ Yu, ya, yuuuuu~ ]

Musik tékno futuristik mulai diputar. Ketukan bas dan drum berdenyut kencang membentuk lagu berirama kaku. Gerakan patah-patah dan kejang-kejang persis seperti pergerakan robot pun dilakukan. Tentunya dengan gembira ria.

Hap-py Ho-ly Family, se-nang se-ti-ap ha-ri.
Hap-py Ho-ly Family, ti-dak per-nah ber-se-dih.

Ketukan bernada sama berulang mengiringi semboyan Happy Holy Family, dinyanyikan sampai tiga kali. Dengan artikulasi yang tak kalah kaku. Yang tidak bergerak atau salah gerakan disérét keluar dan dicecar sampai buyar.

Orang-orang melanjutkan senam dengan gemetar, namun instruktur senam menenangkan mereka semua dengan kelakar yang tak selaras dengan suara datar.
                          
[ Tidak perlu takut! Tidak perlu cemas! Gangguan kecil menuju kebahagiaan tak perlu dihiraukan! Yang tidak bahagia itu sengsara! Ayo kita lanjutkan senam dengan gembira! ]

Sentuhan orkéstral memeriahkan lagu senam keséhatan jasmani. Para peserta wajib mengikuti gerakan yél-yél penuh sukacita.

Ter-tawaaa, gem-biraaa, ber-samaaa, se-muaaaa.
Ter-tawaaa, gem-biraaa, ber-samaaa, se-laluuuu.

Sesi satu selesai. Masih ada empat sesi yang sama. Jadi diulang lagi.

Namun baru saja mau mulai sesi kedua, kegiatan senam disela dengan hamburan tubuh robot terhempas ke sudut menara.

"Waaaah, ada apaan nih?"

Suara manis bernada riang mengisi ruang lapang. Sesosok wanita tinggi berambut hitam panjang dengan baju mérah melangkah masuk bersama empat ékor naga besar dan garang. Jelaslah para warga menara jadi kocar-kacir dan malang melintang.

"Lagi main apa, sih? Ikutan dooong~!"

Kegilaan pecah. Keributan membuncah.

[ Anomali terdétéksi. ]

[ Tidak perlu takut! Tidak perlu cemas! Gangguan kecil menuju kebahagiaan tak perlu dihiraukan! Yang tidak bahagia itu sengsara! Ayo kita lanjutkan senam dengan gembira!  ]

Paduan suara disonan dan bunyi-bunyian kehancuran menjadi pengiring lagu senam yang terus berlanjut.

Hap-py Ho-ly Family, se-nang se-ti-ap ha-ri.
Hap-py Ho-ly Family, ti-dak per-nah ber-se-dih.

Hap-py Ho-ly Family, se-nang se-ti-ap ha-ri.
Hap-py Ho-ly Family, ti-dak per-nah ber-se-dih.

Hap-py Ho-ly Family, se-nang se-ti-ap ha-ri.
Hap-py Ho-ly Family, ti-dak per-nah ber-se-dih.

"Lagunya énak juga, ya."

Perempuan muda itu duduk menikmati génosida di depannya, memangku dombanya sambil melantunkan lagu senam pencerah suasana hati.

"Oh ya, Raizén, kalau di sini sudah selesai kita hancurkan menara yang lain, ya?"

"M-mbéééé!"

~interval~

Menara Pallisade. Menara yang paling mencolok di antara menara-menara yang ada di koloni Anatolia. Ukurannya berkali-kali lipat pencakar langit yang bersérakan di sekitarnya.

Bunga logam ini adalah pusat segalanya. Pusat kekuatan, pusat pemerintahan, pusat kehidupan, dan pusat semua kegilaan yang terjadi di Anatolia.

Kehidupan korporat birokrat keparat membuat penghuni menara Pallisade tak ada ubahnya dengan mayat. Sesuai tingkatannya, yang di bawah merana, yang di atas berjaya, dan lapisan teratas menara yang menjadi kepala sistem hiérarki Happy Holy Family.

Siklus harian penghuni Pallisade tak jauh beda dengan menara-menara lainnya. Namun yang di atas tak perlu merasakan penderitaan, toh keteraturan sudah dilaksanakan yang berkewajiban, meréka tinggal menikmati saja.

Namun senyaman-nyamannya golongan kelas atas penghuni Pallisade, mereka berada langsung di bawah bayang-bayang pemimpin mereka. Présidén Diréktur Saraph, sang legénda. Sang RAVEN.

Dan Présidén Diréktur yang dimaksud sedang berdiri menerawang jauh ke depan, di atas atap menara.

"Présdir RAVEN..."

[ Tidak apa. Ini sudah masuk dalam perhitungan. ]

Suara gagah dan cantik bertunggalnada yang agak blur dilebur jadi satu, membuat punggung Rufus si bantat klimis merinding hébat. Kesan yang sangat kuat membuat batinnya belingsat.

"Kami sudah berusaha yang terbaik..."

[ Lanjutkan rencana kita, Rufus. Minimalisasikan kerusakan yang ada. ]

"B-baik, Présdir RAVEN..."

Belum sempat melangkah jauh, sosok tambun itu diberondong sinar panas kemérahan, seketika berubah jadi daging dan darah yang berantakan.

[ Tapi kau sudah tidak layak untuk melaksanakan kewajiban. Kau dibébastugaskan. ]

Setelah meledakkan anak buahnya yang tak berguna. Robot putih itu kembali menatap tepi langit kekacauan dengan indra penglihatan yang tersemat pada dua garis biru di kepalanya.

[ Anomali diménsi... kekacauan makin menjadi... pertanda apa ini...? ]

Jutaan algoritme dan data sedang berprosés dalam kepala Saraph. Ada suatu janggal yang ia tahu ada, namun tak bisa didéfinisikan dengan keterbatasan tubuh logam dan otak digitalnya.

Apapun kejanggalan atau pertanda di luar kalkulasinya, pastinya akan mengancam keteraturan yang sudah ia ciptakan dan pertahankan. Ia tak akan membiarkan kedamaian yang ia buat rusak begitu saja.

Setelah mengambil keputusan hasil merenung secara ilmiah dan faktual, Présdir Saraph membuka jalur komunikasi ke pusat kontrol pemerintahan Happy Holy Family, dua lantai di bawah atap tempatnya berpijak.

[ Véronica, ]

// Selamat pagi, Présdir Saraph. Ada yang bisa saya bantu? //

[ Ada sedikit perubahan rencana. Laksanakan Protokol 9. ]

// ... Anda yakin, Présdir? //

[ Kekacauan dan Anomali tidak bisa dibiarkan. Bila sudah tidak bisa dicegah maka harus diobati segera. ]

// Prosédur minimal apa maksimal? //

[ Lancarkan prosédur maksimal. Kita akan melakukan pembersihan total. ]

// Perintah anda adalah kewajiban saya. //

Tak lama waktu berselang, sirine nyaring berkumandang, mengirimkan pesan tersirat melalui lengking nada yang menggema di seluruh penjuru Anatolia. Sebuah pertanda yang nyata.

[ Protokol 9 telah diumumkan. Penegakan aturan maksimal. Pembersihan total. ]

~interval~

Pengumuman Protokol 9 menyempurnakan gebyar kekacauan yang sudah merata dimana-mana.

[ Perhatian, kawan-kawan yang berbahagia! Saat ini sedang ada pembersihan hama! Jangan takut dan tetap bergembira! Carilah tempat aman sampai pembersihan selesai! ]

Robot-robot pengawas jadi menggila, menghancurkan siapapun atau apapun yang dianggap Anomali dengan cara paling tidak manusiawi yang bisa dinalar oleh akal. Warga-warga yang sudah kehilangan warasnya kocar-kacir  morat-marit.

Sebagian berlarian mencari pertolongan atau kebébasan, beberapa di antaranya kembali ke dalam kamar menara, mengunci pintu rapat-rapat sampai situasi jadi aman. Namun pada akhirnya, nasib meréka sama saja. Para pengawas sudah telanjur kalap.

Seakan menjawab panggilan tersebut, alam menampakkan amarahnya. Debu-debu hijau yang awalnya semu jadi bertebaran dimana-mana, bersinar terang bagai bintang kejora.

Inilah puncak dari kegilaan di Anatolia, koloni matahari terbit.

Robot-robot yang tadinya hanya mengawasi, kini menyisir setiap penjuru wilayah. Setiap yang dianggap Anomali dijedor, diremuk, ditindih, dicacah, dibakar tanpa ragu. Inilah harga yang harus dibayar oléh meréka—para Anomali—yang tak mengindahkan aturan menuju kebahagiaan.

Termasuk di antara meréka, seorang wanita rambut hitam dengan pakaian peradaban terbelakang, menunggangi domba kecil dan diiring serigala putih besar dan sesosok tinggi kasat mata berwajah kayu seperti burung hantu. Meréka sedang kabur dari kejaran dua robot penjaga besar yang dari tadi menémbaki.

"Jadi sampai kapan méréka mengejar kita?!"

"Entahlah, Myééngun. Seharusnya aku tidak percaya padamu tadi."

"Mana tahu aku kalau kotanya dijaga?! Lagipula aku hanya memberi saran!"

"Sudahlah, nanti saja debatnya. Kita masih belum aman."

Meréka semua nampak kelelahan. Namun robot-robot ini tak main-main. Lari adalah sebuah kewajiban.

"Domba, kau bisa berlari ke mawar raksasa di ujung sana?"

"Tunggu, Asibi! Apa kau sudah gila?! Itu jauh sekali!"

"Kurasa jawaban kita ada di sana, Myééngun. Atau kau lebih suka berlari-lari seperti ini?"

"Asibi benar. Kita hanya berlari dalam lingkaran kalau terus begini."

"Ya, ya, ya!! Terserah kalian!"

Myééngun yang merengut hanya bisa menurut saja. Rombongan itu pun berlari menuju menara raksasa di ujung utara. Debu yang berkunang-kunang sesekali menyerémpét kulit Asibi, membuatnya mengaduh sedikit.

"I hate Global Warming..."

~interval~

Dalam situasi yang kacau, ada dua jenis orang.

Satu, orang yang terlibat kekacauan dan peduli terhadap kekacauan tersebut.

Dua, orang yang kelabakan di tengah-tengah kekacauan.

Dan ada jenis ketiga, yang sama sekali tidak peduli situasi dan sibuk sendiri.

"Wah... kunang-kunangnya bagus! Cekrék dulu!"

"Eh ada tower kerén, cekrék dulu!"

"Cantik dikit, cekrék!"

"Cantik banyak, cekrék!"

"Aplo-éh? Yah... ga bisa diaplod..."

Seperti nénék yang satu ini, yang lebih peduli dokuméntasi perjalanannya dibanding keselamatan dirinya. Dari tadi ia asyik memotrét apapun yang ia lihat dengan ponsélnya yang berkamera. Di sebelahnya ada sebuah tongkat kecil dengan layar berwajah melayang di sekitar domba putih yang memakai syal putih.

[ Nék Martha, sebaiknya kita berlindung. Anginnya makin kencang. ]

"Ntar dulu, Cahyo! Nénék lagi asik nih!"

Sekeras apapun tongkat séntién ini mengingatkan, Nénék Martha masih betah untuk mengambil gambar pemandangan antah berantah, kebanyakan diambil  sambil mengabadikan dirinya sendiri atau dombanya.

Dasar narsis.

[ Nénék, selfie-nya di tempat aman saja, ya? Debu-debu hijau ini berbahaya. ]

Meski sesekali kulitnya serasa digigit semut, Nénék Martha tidak peduli dengan perihnya. Masih banyak momen yang harus diabadikan.

"Berisik, Cahyo! Nénék masih mau..."

"WAH! Ada sembako gratis!"

[ N-nék Martha! Tunggu! Jangan ke sana! ]

Kumandang sirine yang lantang malah membuat Nénék Martha merasa tertantang. Ia ingin sekali mendekati sumber suara dan menghabiskan rasa penasarannya.

Dasar képo.

~interval~

"Gusti nu aguuuung! Ini keroco gak ada capék-capéknya!"

Sudah dikejar lusinan robot kadal kaki ayam, di atas langit ada belasan robot gagak. Jelas ini terlalu banyak, tidak bisa asal bertindak. Kamu ingat kan apa kataku soal dikejar keroco satu kampung?

Amut berlari sebisanya, mencari tempat berlindung di setiap penjuru kota. Tapi robot-robot itu yang pegang daérah sini. Jelaslah meréka lebih tahu médan. Kemanapun Amut pergi, pasti jalannya selalu dipotong kawanan kadal dan gagak besi.

"Waduh, kalau begini répot jadinya..."

Akhirnya Amut dikepung juga. Semua penjuru sudah penuh oléh robot yang siap menyerang kapan saja. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain, kan? Amut mendengus kesal karena harus kerépotan keroco sekampung.

Namun ia tidak ragu, apalagi takut. Dengan mengambil sisa runtuhan gedung untuk sarung tinju, Amut maju sambil menangkis hujan peluru yang memburu, menghantamkannya pada satu robot kadal di depan. setelah itu Amut langsung berputar menghantarkan pukulan mengait yang merontokkan dua kadal sekaligus.

Sedikit banyak badan Amut kena serémpét peluru dan sinar panas, namun Amut pintar mengélak dan menggunakan sarung tinjunya untuk berlindung.

Biar tua Amut masih bisa béla diri. Tapi itu bikin capék.

Belum lagi robot gagaknya main témbak dari atas. Amut kesulitan membagi fokus untuk menyemburkan bola api dan main tinju, karena sudah tua. Lalu ditambah sarung tinju dadakannya sudah jadi rongsok.

Gawat? Iya.

Tamat? Belum.

Kalau tarungnya terlalu lama jadi capék. Untunglah Amut kepikiran siasat bagus agar pertarungan ini berakhir cepat. Kadal besi yang Amut hadapi jadi tidak asal ditinju, namun dipegang kaki dan ékornya, diayun seperti gada, lalu dilemparkan ke arah gagak-gagak yang masih asyik nangkring di atas langit.

Jedérr! Sebagian gagak meledak kena rongsok kadal! Amut Jadi bersemangat melémpari robot-robot gagak sambil menghempas bola api dari mulutnya.

Tapi kalau orang tua keléwat semangat, suka lupa kalau penyakitnya bisa kumat.

Krék.

Punggung Amut sudah tak kuasa menahan pergerakan yang berat untuk otot-ototnya yang sudah penat. Éncoknya muncul di saat yang tidak tepat.

"Ad-duuuhh!!"

Untunglah robot gagaknya keburu habis setelah lémparan terakhir, jadi dia bisa mengaduh sepuasnya.

[ Anomali terdétéksi. Éksekusi protokol serangan. Wkwkwkwkwk. ]

Tapi baru aja selesai lawan keroco, sekarang muncul bosnya. Robot bébék kekinian, segede gaban, kepalanya kebakaran kayak sétan. Amut sudah tahu di depannya ada bahaya yang lebih besar, tapi kan badannya nyeri semua. Mau bagaimana?

Kalau sudah begitu ya pasrah saja.

Bébéknya makin dekat. Ajal Amut juga sudékat. Sebentar lagi bakal kena babat.

"BÉBÉÉÉÉK!"

"BÉBÉK MAIN SAMA HÉPPOW!"

[ Wkwkwkwkwkwkw. ]

Eh, tak disangka. Dari belakang, ada sesosok besar menyusur cepat ke arah si bébék besi. Bentuknya seperti mi raksasa warna mérah muda dengan kaos kaki besar di ujungnya.

Itu cacing?

"HÉPPOW MAIIIN!"

"SODOK! SODOK! SODOOK!"

Sungguh brutal. Makhluk seperti cacing itu menubruk si bébék dengan kecepatan tinggi, lalu menyundul kepalanya pada tubuh si bébék berkali-kali, membuatnya jadi rongsokan besi berkarat dalam waktu singkat. Sungguh mengerikan.

Tapi dengan begini, Amut jadi selamat. Amut banyak-banyak mengucap syukur atas berkah yang ia dapat.

"Aduh Héppoooww!! Capék tau ngejar kamu!!"

Di belakang Amut muncul sesosok lelaki tinggi kurus, dengan rambut keriting seperti campuran mi berwarna arum manis. Kulitnya coklat gelap dengan mata mérah dan kumis melingkar. Tampilannya sangat perlénté seperti orang kantoran. Di dekatnya ada sesosok kecil seperti peri yang terlihat gaul luar biasa.

Meréka terengah-engah. Mengejar cacing sebesar ini sepertinya mémang melelahkan. Salah satu di antara mereka adalah révérier, karena ada domba putih yang khas di dekat meréka.

"Wah, makasih udah nolong mbah. Kalau ga ada kalian mbah udah jadi gurih."

"Terima kasihnya jangan sama aku, sama Héppow yang di sana."

Setelah puas bermain dengan si bébék, cacing itu merangkak, kembali pada si rambut mi yang kelihatannya adalah tuannya.

"BÉBÉKNYA MATI..."

"Lain kali jangan asal nyosor. Kalau mati tau rasa kamu!"

"T-TAPI PUPPIS, BÉBÉKNYA LUCU..."

"Gak ada tapi-tapi. Titik."

Wajah si cacing yang seperti gambar anak kecil terlihat sedih karena bibirnya melengkung murung habis dimarahi si peri.

"Kalian repérier ya?"

"Ya, dia révériér. Kamu juga?"

Ternyata si rambut mi yang révérier.

Menurutmu ini berkah atau bencana? Kita tidak tahu apakah setiap révérier adalah éntitas yang baik atau bukan. Amut yang masih berusaha untuk pulih dari éncoknya hanya pasrah akan keadaan. Tapi meréka terlihat cukup bersahabat. Tak perlu begitu khawatir, sepertinya.

"Iya, mbah répérier juga."

"Dombamu mana?"

"Mbah gak bawa. Mbah kasian ama dombanya."

Si rambut mi mengernyit héran. Sepertinya tidak lazim ya tidak membawa domba ke médan pertempuran? Atau mungin ia héran karena ia baru pertama kali melihat naga tua dengan uban?

"Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Cuma capék habis lawan keroco sekampung. Éncok mbah kumat lagi... aduh..."

"...mémang naga bisa kena rématik?"

"Namanya orang tua mah ada aja penyakitnya."

Si peri dan si lelaki garuk-garuk kepala karena bingung. Ya, mungkin di dunia meréka tidak ada yang seperti Amut. Namanya juga béda alam, pastinya béda cerita juga.

"M-misimu di sini apa?"

Si rambut mi tidak basa-basi, ia langsung berbicara mengenai misi. Éh, sebentar. Misi? Apa menurutmu setiap révérier di sini diberi suatu misi yang harus diselesaikan agar bisa jadi karya seni?

Petunjuk? Petunjuk.

"Hah? Misi?"

"Kamu nggak diberitahu?"

"Nggak."

"Sepertinya setiap révériér beda instruksi, Namol."

Si rambut mi yang ternyata bernama Namol hanya bisa bergumam hem-heman sambil menatap Amut bingung.

"JADI SEKARANG GIMANA?"

Cacing itu ikut angkat suara karena tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Kalau baru kenalan wajar kalau canggung. Tapi keadaan makin buruk. Pasir sebentar lagi akan menjadi badai, harus segera bergerak selagi sempat. Si rambut mi juga kelihatan ingin pergi cepat-cepat.

"Tentu saja pergi. Kita harus segera menyelesaikan misi ini."

"Tunggu, kau tinggalkan dia begitu saja, Namol?"

Amut mengumpulkan nafas sebelum berusaha untuk berdiri, dengan susah payah dan batuk-batuk basah. Pada akhirnya hanya bisa duduk saja karena lelah.

"Kalian mau ke mana mémangnya?"

Si rambut mi benama Namol terlihat agak ragu. Seakan tak percaya dengan naga yang ia temui. Ya... wajar. Orang-orang pada umumnya takut sama naga. Padahal tidak semua naga jahat. Puppis si peri yang kemudian mewakili pembicaraan Namol.

"Mencari petunjuk mengenai misi kami. Kami harus memilih salah satu kubu di tanah ini, dan memenangkannya. Setidaknya, itu yang diberitahukan Muséum Semesta pada kami."

Ah, ternyata begitu. Sepertinya di tanah ini sedang terjadi sebuah pertikaian. Wajar kalau tanah dan kotanya luluh lantak begini. Di mana-mana ada saja yang seperti ini. Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai. Itu bukan lirik lagu. Sok tahu kamu.

"Kalian keberatan kalau mbah ikut? Mbah gak tau mau ngapain di sini, soalnya."

Tiga sekawan itu saling berpandangan satu sama lain, seakan berunding mencari sepakat.

"MBAH NAGA IKUT YAAAA, BOLÉH YA, NAMOL, BOLÉH YAAAA?"

"Kurasa lebih banyak akan lebih baik, Namol. Aku rasa ia tidak jahat."

"Ugh..."

Namol seakan berat hati dan masih berhati-hati dengan Amut, tapi dua lawan satu. Belum lagi, kalau dipikir-pikir ada naga dalam rombongan pasti jadi lebih kerén, walau naganya sudah tua dan bau tanah. Hahaha.

"Ya sudah lah, asal jangan bikin celaka saja."

Amut sekali lagi mencoba mengumpulkan nafas untuk bangkit sepenuhnya. Capéknya masih terasa, tahu. Tapi makhluk hidup manapun mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Badai yang makin menjadi membuat Amut harus segera pulih. Amut pun berdiri, meski tertatih-tatih.

"Makasih ya... mbah mungkin gak bisa banyak bantu kalian, tapi mbah bakal bantu sebisa mbah."

Utang emas bisa dibayar, utang budi dibawa mati. Meski kawanan Namol tidak ada niatan menolong. Apa yang meréka lakukan tak cukup dibayar dengan terima kasih. Ada utang budi yang harus dibayar suatu saat nanti.

"Sudahlah, jangan lama-lama di sini."

Setelah mendapatkan kesimpulan yang pas, rombongan itu akhirnya memutuskan untuk pergi mencari misi, yang katanya harus memenangkan salah satu dari dua kubu yang bertikai. Sementara Namol dan Puppis terbang, Amut menaiki Héppow yang meluncur di atas pasir, karena masih belum kuat berlari jauh.

Karena robot-robot pengintai sudah mati semua, meréka bisa bébas menjelajahi kota. Meski begitu, meréka berusaha untuk tidak terlalu ribut. Kalau ada robot pengintai lagi, répot lagi urusannya.

Setiap penjuru runtuhan disusur, mencari apapun yang sekiranya bisa menjadi petunjuk untuk misi. Namun tak ada satu pun yang bisa dikatakan sebagai petunjuk di sekitar. Tak ada sisa-sisa peradaban yang mengarahkan rombongan Namol dan Amut menuju kebenaran.

Sepertinya tempat ini benar-benar kota mati.

Tapi tunggu dulu. Sepertinya aku mendengar sayup-sayup tangis di runtuhan yang sebelah sana. Itu, di kanan sana.

"GUSTI NU AGUNG!"

Amut yang menyadari keberadaan itu pertama kali langsung melompat turun dan berlari mendekati reruntuhan itu. Benar saja, itu manusia. Sesosok laki-laki besar tergelétak di bawah reruntuhan. Sepertinya sudah mati..

Setengah resah setengah gelisah, Amut menyingkirkan puing-puing yang menjepit lelaki tersebut. Sayang sekali, sudah terbelah dua pinggangnya. Sudah terlambat.

"Jangan! JangaaaAAAANN!"

Namol yang baru saja ingin menéngok apa yang dilakukan Amut langsung tiarap begitu senapan yang dipegang oléh gadis kecil kumal dan dekil meréntét timah panas.

"T-tunggu, néng! Jangan témbak! Jangan témbak! Kita nggak jahat!"

"PERGI! JANGAN MENDEKAT! JANGAN SAKITI AKU!"

"N-nggak, néng! Nggak! Kita gak jahat kok! Kita mau nolong enéng!"

Tangannya gemetaran, matanya jelalatan. Sepertinya ia keléwat takut dan sudah lama terjebak di dalam reruntuhan. Gadis itu masih belum waras sepenuhnya, tapi logika dasarnya mencerna apa yang dikata Amut. Senapannya diturunkan.

"Kamu... kamu bukan robot Happy Holy Family?"

Anak itu terlihat kebingungan. Sosok-sosok di depannya tak terlihat seperti makhluk dunia ini. Mungkin lebih cocok kalau disebut badut-badut dari negeri dongéng? Alién? Hantu? Halusinasi?

"B-bukan! Kita... kita..."

"Alién. Makhluk asing."

Puppis si peri berusaha melancarkan négosiasi dengan anak yang kena trauma mendalam. Nadanya memang terlihat seperti sok pintar, tapi biarlah, mungkin mémang begitu tabiatnya. Anak manusia itu masih bingung. Tidak mengerti yang dikatakan si peri, terlebih lagi kala melihat cacing besar yang sedang tersenyum lébar.

"...Hah?"

"Kita datang dari langit. Kamu tahu? Yang menghuni U.F.O."

"Tenang aja, enéng. Kita nggak jahat. Kita bakal tolong enéng."

Setelah yakin dengan penjelasan Puppis dan bujukan Amut, Anak itu mengangguk dan percaya. Sungguh malang anak ini. Anak lain yang seusianya mungkin sedang asyik main layang-layang atau bercanda riang.

Amut pun mendekati anak itu, menghapus air di matanya dan mengelus rambut képang kudanya.

"Enéng ga apa-apa?"

Anak itu mengangguk. Berarti tidak apa-apa. Maksudnya tidak terlukka, fisiknya. Luka batinnya jangan ditanya.

"...Nggak... tapi... kakak... mati..."

Anak itu sesengukan lagi. Puppis dan Héppow jadi ikut sedih saat anak itu terisak, tapi kok aku malah jadi terusik,ya? Rasanya malah jadi bikin kesal, gitu lho... apa karena berisik, ya? Mungkin Namol yang mengerti perasaanku. Karena ia sendiri yang terlihat gemas dan sebal melihat adégan ini.

"Cup, cup, jangan nangis."

Namanya orang tua, Amut réfléks mendekap anak itu agar ia tenang. Kalau sudah bawa perasaan ya begitu jadinya.

"Kaaaakaaaaakk..."

"Ssst... nanti sakit kalau nangis terus. Kasian kakakmu juga. Nanti dia gak tenang matinya."

Setelah dipeluk dan dipukpuk, anak itu luluh. Akhirnya ia tenang. Hébatnya kekuatan kasih sayang.

Tapi masih ada misi yang harus diselesaikan. Apakah anak ini misinya? Iya atau tidak, setidaknya anak ini bisa jadi penunjuk kawanan itu menuju kewajiban menunaikan karya.

"Kamu kenapa bisa di sini?"

"Kami... kami kabur dari menara. Kami ingin mencari perlindungan pada gerakan pemberontak di River City. Tapi kami terjebak badai."

Benar kata si peri. Di tanah ini ada pertikaian. Tapi kabur dari menara? Apa maksudnya? Apakah gadis ini dipenjara? Kali ini Puppis yang penasaran.

"Kabur dari menara? Menara apa?"

"Kami... kami takut dibunuh Happy Holy Family. Kami sudah dicap Anomali oléh meréka."

Namanya kontras sekali. Happy Holy Family tapi suka membunuh?

"Hépi Holi Pémeli?"

"Meréka robot-robot jahat yang menguasai tanah ini. Yang membangun menara tempat kami tinggal. Yang tidak menurut aturan meréka jadi Anomali, dan harus dihancurkan."

"Ah... begitu ya..."

Jadi itu alasan robot-robot pengintai tadi ada di sini. Ternyata meréka bagian dari pemegang tanah ini, sampai punya hak untuk membunuh manusia. Tapi kenapa? Salah apa manusia sampai robot-robot ini tak segan main bunuh?

Semuanya masih tak jelas. Kita tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi entah, aku merasa semua ini sama saja. Aku merasa...

...muak.

"Jadi tadinya kamu mau ke Riper Siti itu?"

Anak itu mengangguk. Tak lama setelahnya, si peri mengajukan sebuah idé yang mungkin akan membawa mereka menuju titik terang dari permasalahan di tanah ini.

"Kita antar ke River City bagaimana?"

"Idé bagus. Ayo kita ke Riper Siti."

Anak itu masih melongo, sama seperti Namol. Kebingungan. Sementara Héppow bergoyang gembira ketika tahu ada tujuan baru.

"RIVER CITY! RIVER CITY!"

"Héppow! Berisik!"

Akhirnya rombongan pun setuju untuk mengantar Chizuru menuju River City, tentunya setelah mengubur kakak si anak dengan layak. Orang mati juga butuh peristirahatan agar bisa tidur nyenyak.

~interval~

"Menegakkan keadilan seorang diri... kurasa kita tak jauh beda, Olson. Hahah."

"Ya, mungkin begitu."

Sementara itu, di markas berjalan—mungkin bisa dikatakan bahtera berjalan dengan roda lapis baja serta meriam dimana-mana—para pemberontak, NEST, Olson yang setuju membantu para pemberontak dibawa oleh Akari untuk menghadap pemimpin yang sesungguhnya.

Kilat Hitam, sang RAVEN yang membela kaum yang ditindas oleh rezim bahagia.

Dulu ia gagah, berjaya, kuat. Namun sekarang ia tak bisa kemana-mana. Ia terbelenggu di sebuah kursi roda dengan banyak mesin penopang hidup. Onggokan daging tersisa torso badannya saja begitu mengenaskan. Lebih mengenaskan dibanding Akari yang masih bisa berjalan walau kakinya palsu. Namun lelaki robot paruh baya itu masih tertawa, meski begitu.

Di kamar Kilat Hitam yang sederhana berhiaskan figur robot dari plastik, si bulé minum téh sambil membicarakan berbagai hal. Kebanyakan tak jauh-jauh dari masa lalu, reverier, kehidupan, dan rencana mereka untuk menyerang menara Pallisade.

"Mungkin jumlah kami tak banyak, tapi kami menduduki beberapa tempat penting yang mengepung Menara Pallisade. Hahahah."

"Taktik gérilya?"

"Benar sekali, bokong besi. Maju ke Menara Pallisade tanpa persiapan adalah usaha bunuh diri yang murah. Hahah."

"Dan itu membuatmu jadi tak punya bokong."

Akari kembali membawakan sebuah térmos logam berisi téh yang baru diraciknya. Setelah itu ia isi tiap cangkir yang ada di méja kotak tempat bersantai si alién dan si gagak hitam.

"Yah, kita semua pernah salah, pernah lengah. Hahahahah."

Tangan kirinya yang dari logam mengambil cangkir abu miliknya, kemudian menyesapnya.

"Tapi kita selalu belajar, untuk menjadi lebih baik. Tumbuhan saja bisa évolusi."

Percakapan dijeda. Entah karena kehabisan topik yang mau dibicarakan, atau ingin menikmati téh yang dibumbui rempah-rempah rahasia oleh Akari terlebih dulu.

"Akari, Protokol 9 sudah dilaksanakan."

"Semua sudah tahu. Semua cabang sudah dikoordinasi untuk siaga. Kita bisa mulai kapan saja."

Raut wajah si bulé begitu melankolis melihat interaksi yang terjadi antara kepala pemberontak dan wakilnya yang seperti suami-istri. Walau, keadaan mereka lebih cocok dikatakan sebagai suami-istri yang sudah uzur.

Sekarang ia hanya bisa menunggu. Keputusan sepasang ini adalah langkah selanjutnya.

"Cabang River City dan Under Mountain yang akan membuka jalan. Kita dan dua cabang sisanya akan masuk begitu sudah Fase Dua dari serangan."

"Bagaimana bila kau ikut serangan Under Mountain, Akari? Serangan pembuka kita harus efektif."

Akari termenung beberapa menit, sampai alat di telinganya terdengar bunyi bip yang berulang-ulang. Setelah itu, Akari menelan dua butir pil yang ada di meja, kemudian menyuntikkan cairan hijau léwat bahu kanannya yang banyak luka. Ia mengerang, lalu merintih, lalu mendesah. Badannya bergetar menggelinjang seperti kejang-kejang.

"Aku pikir lagi, sebaiknya kau istirahat saja."

"Dasar lelaki bawa perasaan."

Akari meminum téhnya seperti biasa. Ia tertawa kecil karena imam dari gerakan pemberontak kini mudah sekali berséntimén.

"Kalau aku tidak hadir di garis depan, mereka akan kesulitan."

"Semoga ini yang terakhir. Semua pengorbanan akan menjadi akhir kesedihan dan awal yang baru."

"Matahari akan terbit lagi di Anatolia... Raven..."

"Pasti..."

Setelah puas bermuram durja, Akari menoleh kepada Olson yang matanya sedang menjelajah seisi kamar.

"Olson, kau siap?"

"Aku siap kapan saja, Akari."



"Oh ya, terima kasih sudah menolong kami."

"Jangan dipikirkan. Kebetulan saja kami dalam perjalanan pulang."

Asibi si wanita kuno dan kawan-kawannya kini sedang berada dalam pesawat kargo kecil yang dikendarai oleh dua sosok berseragam jingga. Yang satu robot kotak-kotak dan satunya lagi seorang tampan berambut hitam sebahu.

[ Jadi kalian Anomali Diménsi yang dibicarakan? Aku pikir kalian akan terlihat lebih... mengancam. ]

Wanita yang sedang memangku domba kecilnya  menenggak air yang diberikan sampai tak tersisa. Kejar-kejaran dengan robot tadi membuatnya sangat capék. Dan debu-debu hijau itu membuat badannya terasa lembék.

"Percayalah, kami bukan jenis yang senang kekacauan."

Myééngun si serigala menjadi wakil Asibi dalam menyampaikan pemikiran dan perasaan tuannya yang masih ingin istirahat sejenak.

[ Maaf kalau kami tidak bisa banyak cerita. Situasi sedang sangat kacau. ]

Robot kotak-kotak itu berucap sambil menekan beberapa tombol di papan ketiknya, seperti seorang juru ketik sedang dikejar tenggat waktu.

"Kami sudah tahu itu. Tanah ini sedang dilanda perang, kan?"

"Ya, sekarang adalah puncaknya. Happy Holy Family sudah mengeluarkan Protokol 9, dan pemberontak juga sudah siap dengan serangan penentuannya."

"Apakah kalian salah satu di antara dua kubu itu?"
                                                                               
Si tampan berbulu mata lentik tersenyum simpul sambil tertawa lembut. Asibi dan Myééngun sedikit banyak bisa membaca maksudnya.

"Tidak keduanya. Kami hanya senang membantu orang. Good Samaritan, perhaps."

Asibi yang sudah mendapatkan fokusnya kembali jadi tertarik dengan pembicaraan. Apakah ini berarti ada kemungkinan kubu ketiga yang berbéda dengan yang dijabarkan di misi?

"Oh, jadi kalian karavan penampung orang-orang malang yang kebetulan léwat?"

[ Mendekati. ]

"Anggap saja kami gerakan kemanusiaan yang berusaha menyelamatkan penduduk yang tersisa. Search and Rescue Team, nona Asibi."

Asibi dan Myééngun saling tatap, berharap meréka bukan ada di kubu yang salah. Namun gerakan kemanusiaan untuk mengungsikan para korban perang terdengar cukup meyakinkan.

"Jadi semua makanan dan minuman ini kalian dapatkan dari mana?"

[ Selundupan. ]

"Selundupan?"

"Tidak memilih kubu memberikan keuntungan tersendiri. Anggap saja kami berteman baik dengan keduanya. Hahahaha."

Sekarang Asibi dan Myeengun mengerti kenapa mereka punya gantungan baju dengan dua pasang seragam yang béda jenis dan warnanya.

"Sekarang apa yang akan kalian lakukan?"

"Kami menuju Under Mountain. Mengantarkan suplai konsumsi ini pada para pengungsi, sebelum melaksanakan misi kami."

"Misi?"

[ Kami mau melakukan évakuasi besar-besaran di menara Pallisade. Mawar Raksasa yang di ujung sana. ]

"Kalau kalian mau membantu, kami sangat menghargainya."

Lagi-lagi Asibi dan Myééngun saling tatap. Mereka langsung dihadapkan misi yang cukup sulit. Mengévakuasi orang di medan perang tidak akan semudah dengan yang mereka lakukan sebelumnya, di tempat Dorian dan Gréy.

Selagi mereka bertukar pikiran lewat telépati, pesawat yang mereka tumpangi sudah memasuki terowongan bawah tanah yang bersembunyi dibalik runtuhan gedung. Tak sampai lima menit meréka semua sampai di sebuah tempat seperti kota, hanya saja di bawah tanah. Di samping kota ada kapal besar warna hitam dengan ujung bor warna mérah di depannya.

"Kita sampai di Shin-Sekai. Koloni untuk mereka yang mencari kedamaian."

Pesawat kargo itu diparkir di gedung yang dekat dengan kapal hitam itu berlabuh. Asibi dan kawan-kawannya langsung diantar ke dalam gedung, yang memiliki plang "Morning Rescue" terpampang secara gamblang.

Setelah diceritakan sejarah singkat terbentuknya gerakan "Morning Rescue" oleh duo tampan dan robot yang menyelamatkan mereka dari kejaran anték Happy Holy Family, Asibi dan Myééngun sampai di ruang tempat berkumpulnya para kru penyelamat.

Burung Hantu tua berinisiatif untuk menjaga domba, dan berbaur dengan bayangan seperti biasa. Ia lebih suka menjadi figuran dalam cerita Asibi, menyaksikan keadaan dan mengamati setiap perubahan di langkah Asibi. Dia memang sosok yang seperti itu.

[ Ay yow! Jésse dan James sudah kembali! ]

"Wah, habis culik orang lagi!"

[ Bukan, bodoh! Itu Anomali Diménsi yang diberitakan! ]

Wajar kalau ruangan ini agak gaduh, ada sekitar sepuluh orang berkumpul di ruangan ini. Semuanya sedang bersantai dengan kegiatan masing-masing.

"Logistik sudah kami antar. Di parkiran gudang, seperti biasa."

Seorang lelaki kekar seperti kuli bangunan beranjak dari duduknya dan menghampiri si tampan Jésse, rekan robotnya, serta duo Asibi-Myééngun. Tanpa perlu menerka lagi, ia pasti pemimpin dari kelompok ini.

"Kerja bagus, Jésse! Kalau begitu kita langsung briefing! Ayo briefing, briefing! Kita tak punya waktu lagi!"

~interval~

Kamu tahu buku harian?

Mungkin kalau tontonan ini ditulis dalam buku harian, setiap paragrafnya tak akan jauh-jauh dari kata melangkah, melangkah, dan melangkah. Dari tadi rombongan Amut menyusuri jalanan rusak yang ditutupi debu dan pasir. Desirnya jadi lebih tenang, namun debu-debu hijau terang ini benar-benar mengusik. Pantas saja Chizuru kemana-mana harus bawa jubah kain dan menggunakan masker gas.

Udara, sudah tak séhat lagi.

Tapi untunglah perjalanan mereka tak lama. Berkat arahan Chizuru, mereka semua sampai di kota besar yang sedang disinggahi laba-laba besi berkaki empat. Jadi ini kota yang dimaksud anak itu, ya? Cukup tenang juga.

Namun situasi sedang darurat, tempat itu dijaga ketat.

Belum masuk gerbang, rombongan Amut dihadang oleh beberapa penjaga berseragam coklat. Hampir saja disergap, namun untungnya Amut berhasil meyakinkan meréka bahwa rombongan ini tidak berbahaya dan hanya bermaksud untuk mengantar si anak malang. Ditambah kedatangan komandan regu pemberontak yang langsung menangani masalah ini, semua jadi berjalan lancar.

Rombongan Amut akhirnya diamankan di markas berjalan para pemberontak, sementara Chizuru diungsikan. Bagaimanapun, Amut dan Namol bisa jadi ancaman buat mereka. Héppow tidak bisa dibawa ke dalam markas berjalan karena terlalu besar. Maksudku, dia cacing sebesar lima puluh meter.

Amut dan Namol disuruh duduk depan layar lebar oleh komandan robot berwarna merah. Tak lama, dari layar itu muncul sosok laki-laki yang duduk di kursi roda dan terpasang banyak mesin di badannya. Namol jadi menciut nyalinya ketika ia seakan ditatap sosok itu dari kejauhan.

[ Salam, alién dari diménsi lain. Atau mungkin, révériér lebih tepat. ]

"K-kamu siapa?"

[ Aku Kilat Hitam, kepala dari gerakan pemberontak. ]

Hening sejenak. Namun waktu mereka sepertinya tak banyak, jadi sosok laki-laki itu yang lanjut berbicara. Lagipula, dia yang punya kuasa. Jadi kurasa ia berhak untuk mengendalikan sési tanya-jawab ini.

[ Mungkin kita tak punya waktu banyak, révériér. Jadi kubuat singkat saja.]

Kilat Hitam mulai batuk-batuk. Pastinya bukan karena usia. Ia masih terlihat cukup muda kalau menurutku. Kasihan sekali melihatnya tinggal onggokan batang tubuh tanpa tangan maupun kaki.

[ Kalian sedang berada di markas cabang pemberontak di River City. Dan sebentar lagi markas cabang ini akan melakukan serangan besar-besaran ke arah Menara Pallisade, bunga raksasa yang mungkin kalian lihat selama perjalanan kalian. ]

Di sebelah layar adalah secuil gambar-gambar mengenai Happy Holy Family dan foto-foto kejahatan yang mereka lakukan. Terlihat robot-robot putih sedang membakar kota dan menembaki orang-orang.

"I-itu apa?"

Namol yang masih bergidik mencoba untuk bertanya, itu juga atas paksaan Puppis yang menyikutnya berkali-kali.

[ Ini adalah sebagian yang dilakukan oleh Happy Holy Family. Apa kalian dengar sirine yang nyaring tadi dalam perjalanan kemari? ]

Amut yang memperhatikan dengan seksama mengangguk. Begitu juga Namol dan Puppis.

[ Itu adalah pertanda dimulainya Protokol 9, sebuah prosedur pembersihan Anomali besar-besaran yang ada di Anatolia. Sederhananya: sebuah génosida. ]

Amut masih mencoba untuk memilah-milah informasi yang ia dapat. Karena banyak informasi yang masuk dalam waktu cepat, Amut jadi agak bingung untuk membuat keputusan yang tepat. Walau kurasa, tak ada pilihan lain kecuali bertarung bersama para pemberontak. Mendengar Happy Holy Family melakukan sebuah genosida membuat darahnya mendidih.

"Genosida? Anomali? Tolong jelasin ke mbah, Kilat Item."

[ Intinya, Happy Holy Family memperbudak penduduk Anatolia dengan aturan dan pemaksaan kehendak, dan setiap penduduk harus bahagia meski harus menderita karena kerja rodi yang diberikan dan sistem kehidupan yang tak lebih baik dari penjara. Yang tidak menurut, dicap sebagai Anomali. ]

Namol jadi tambah bergidik. Memang sulit membayangkan pola hidup yang sungguh tidak manusiawi seperti itu. Disiksa dan harus merasa bahagia karena siksa itu, terdengar seperti perbudakan dan kau harus bahagia karena perbudakan tersebut.

Bukankah itu hal yang lucu?

[ Jadi, kuberikan dua pilihan: Ikut perjuangan kami untuk merdéka dari tiran jahat ini, atau tidak mengikuti kami dan pergi dari markas ini. ]

[ Namun jangan harap kami akan lepas kalian begitu saja bila keluar dari sini. Mau bagaimanapun, alién seperti kalian memiliki potensi untuk menghancurkan. Sama seperti satu révériér yang sejak dua jam yang lalu, asyik menghancurkan sektor pemukiman di West Capitol. ]

Situasi yang sulit. Pilihan yang sedikit dengan tenggat waktu yang sedikit juga. Namol tergagap-gagap bertanya pada Amut dan Puppis minta pertimbangan. Tapi apa perlu bertanya lagi soal jawaban yang sudah jelas? Dari fakta secuil dan keadaan seperti ini, tak ada pilihan lain.

"Ya sudah, mbah bantu kalian para pemberontak. Kalau memang Hépi Holi Pémeli sejahat itu, mbah setuju kalau harus dihentikan."

"A-aku juga setuju... aku akan coba membantu sebisaku."

Meski ogah-ogahan dan—lagi-lagi—dipaksa Puppis, tapi akhirnya Namol mengatakannya juga. Mungkin ia sayang nyawa jadi terpaksa ikut. Mungkin. Aku juga tidak begitu yakin. Si rambut mi agak sulit ditebak kepribadiannya.

[ Baiklah kalau begitu. Mulai dari sini, komandan Casval yang akan memandu kalian. ]

Kilat Hitam terlihat agak kecéwa karena ia masih ingin berbincang dengan kedua tamunya namun kehabisan waktu. Mungkin jadwalnya ketat, jadi ia juga harus buru-buru. Setelah salam perpisahan dan ucapan sampai jumpa, layar dimatikan. Robot mérah bernama Casval mengambil alih sési interogasi.

[ Aku berharap bisa memberi penjelasan lebih lanjut. Tapi sebentar lagi kita akan melakukan mobilisasi. Kalian keberatan kalau kujelaskan sambil jalan? ]

~interval~

Sementara itu, jauh di utara, di kota Under Mountain, laba-laba besi sedang merayap sigap bersama ratusan pesawat, hélikopter, dan mobil lapis baja yang beriringan di belakang sebelas pasukan berzirah hitam yang ditémpéli rokét pendorong raksasa di tiap punggung meréka.

// Kau baik-baik saja, Olson? //

// Terbang adalah keahlianku. //

// Lima menit lagi kita sampai. Bersiaplah. //

Akari yang memakai Zirah hitam dengan kepala mirip burung gagak mengkotak-kotak maju terlebih dulu. Sebagai komandan penyerangan ia harus tampil paling depan. Roket pendorong raksasa—yang dinamakan Frontline Booster, karena di tangkinya tertulis begitu—membuat sebelas orang yang memakai zirah logam—bernama Cored Armor—terbang secepat kilat menyambar dari langit.

Sebentar lagi, mereka menuju panggung pertempuran akbar, Menara Pallisade.

Semuanya akan dipertaruhkan, diselesaikan, diakhiri di sana.

Hidup merdéka, atau mati mulia.

Kata-kata terakhir Akari pada rapat kilat itu membangkitkan semangat juang para pemberontak. Perjuangan menuju kebébasan dan perdamaian sudah sampai puncak. Ini adalah Finalé yang dinanti. Subuh gelap kelabu.

Tak ada yang sadar, bahwa gemuruh dari bawah tanah bukan karena hentakan kaki logam raksasa dari NEST-3 milik pemberontak. Jauh di dalam tanah, tepatnya di bekas terowongan jalur keréta bawah tanah, kapal perang besar sedang terbang rendah, mengikuti rute perjalanan yang diambil pemberontak.

Kapal hitam bermoncong mérah—Kurogané namanya—ini adalah kendaraan utama tim SAR berdikari yang menamakan diri mereka Morning Rescue. Tujuan mereka adalah membobol Menara Pallisade, mengevakuasi para penduduk yang pastinya sedang ketakutan menunggu ajal mereka di sana.

Asibi mendapatkan kuliah tujuh menit mengenai prosedur, rencana, dan cara évakuasi. Satu Cored Armor khusus milik Morning Rescue diberikan padanya agar misinya bersama Jésse dan James berjalan lancar. Sekarang ia menunggu bersama beberapa regu penolong di geladak bawah.

"Kau terlihat seperti Master Chief, Asibi."

"Dan kau Cortana berbentuk serigala."

[ Kalian bicara apa sih? ]

[ Itu nama tokoh dari game dunia lama, Wédge. ]

"Éh, kau tahu HALO, Biggs?"

[ Aku koléksi game dari dunia lama untuk dimainkan di waktu senggang, nona Asibi. ]

"Empat menit lagi, kawan-kawan!!"

~interval~

Pesawat masa depan mémang hébat. Menempuh jarak jauh dalam waktu singkat. Tapi perjalanan pakai kendaraan memang suka bikin pusing. Amut yang sudah tua tidak tahan goncangan yang begitu cepat. Ia jadi mual-mual, pusing, gering.

Namol dan Puppis merasa kasihan sebenarnya, namun pesawat yang meréka setir harus menyamai kecepatan Casval si robot berzirah mérah, yang tiga kali lebih cepat dibandingkan armada pemberontak yang lain.

Masih ada sekitar tiga menit sebelum sampai ke lokasi. Sepertinya kita hanya bisa menunggu pertempurannya saja. Amut dari tadi duduk meringkuk, menahan rasa tidak énak di badannya gara-gara perjalanan mendadak. Sesak rasanya. Kehadiran domba Namol di sampingnya tak memperbaiki keadaan.

"Amut, kamu gak apa-apa?"

"Ga apa-apa, emol. Mbah ga biasa aja pake kendaraan."

"Kamu tiduran saja Amut. Kalau sudah tembus garis pertahanan, kami bangunin."

Tiba-tiba layar di dekat kemudi pesawat menyala. Menunjukkan bahwa kontak suara dengan Casval sedang berlangsung.

// Begitu masuk garis pertahanan meréka, tolong lepaskan misil pada unit yang berukuran besar. Keroco-keroconya serahkan pada kami. //

"K-kalau misilnya habis bagaimana?"

// Langsung terobos menuju menara. Carilah Saraph, robot putih berkepala gagak dengan sayap yang paling besar. Itu targét utama kalian. Oh, satu lagi. Peluru harganya mahal, jadi bidik baik-baik. //

"Baik. Akan kuusahakan."

Layar pun mati, Casval memutus pembicaraan.

Namol terlihat begitu tertekan, badannya keringatan. Mungkin ia tidak siap untuk perang ini. Amut juga sebenarnya tidak siap. Tapi, begitulah perang.

Kejam.

Keji.

Tak menunggu, tak berbelas kasih.

Aku jadi teringat sesuatu. Sebuah rasa benci. Siapa sih yang tidak benci kalau setiap permasalahan harus melulu pakai kekerasan?

Tapi apakah ini misi yang diberikan Muséum Semesta? Harus membuat karya berdasarkan lakon tragédi semacam ini?

Harga yang mahal sekali untuk sebuah karya seni.

// Kepada semua tim River City, ini Akari. Skuadron Kilat Hitam sudah kontak dengan garis pertahanan musuh. Ada sepuluh bénteng bersenjata kelas Mother di lokasi. //

// Kuulangi, sepuluh benteng bersenjata kelas Mother. Mereka prioritas utama. Bidik kepala atau inti di dadanya agar cepat tumbang. Laporan selesai. //

Ah, apakah kita sudah sampai di medan perangnya?

Dari kejauhan, terlihat dua atau tiga pesawat raksasa bertangan, berkepala, dan bersenjata lengkap. Meledakkan kapal sebesar itu dengan satu misil sepertinya mustahil. Namol saja berpikir begitu. Namun ia ditampar bolak-balik oleh Puppis. Sudah sejauh ini tidak bisa mundur. Harus berhenti jadi pengecut, katanya.

Semakin dekat, semakin terlihat jelas pesawat yang katanya benteng berjalan.

Ini bukan perang kecil-kecilan.

Ini kekacauan yang paling kacau yang pernah kulihat.

Hujan peluru, cahaya, misil dimana-mana. Melesat di atas langit. Namol kelabakan dan nyaris menabrakkan pesawatnya pada bénténg berjalan yang memberi sambutan selamat datang berupa berondongan misil kalau tidak diteriaki Puppis.

// Perang sudah dimulai. Mohon bantuannya, révériér. //

Namol sepertinya keléwat frustrasi. Ia berteriak seperti  bapak-bapak yang mau melahirkan. Seperti anak kecil melepas kemarahan. Namol mendadak mengendalikan pesawat tersebut seperti seorang yang mahir, jumpalitan kesana-sini seperti kuda lumping di atas langit, menghindari berbagai macam témbakan yang menguntit.

"Begitu dong!"

"Berisik, Puppis! Aku sedang konséntrasi agar kita tidak mati!"

Tongkat kemudi di kedua tangan Namol dimainkan, melakukan gerakan-gerakan yang memusingkan. Puppis sendiri menjadi pemegang kendali untuk menembakkan misil. Ia berusaha dengan sangat hati-hati membidik misil pada bagian yang diinstruksikan oleh Casval.

"Pelan sedikit, goblok! Aku gak bisa ngebidik!"

"Berisik! Kapal itu némbak terus dari tadi!"

"Kalau begitu mendekat! Kalau terlalu dekat kita gak akan dibidik!"

"Okélah, sok pintar! Makan nih!!"

Ugh, entah kenapa aku juga merasa mual seperti Amut saking cepatnya gerakan pesawat ini. Tahu-tahu sudah di depan badan kapal yang bersinar hijau. Puppis yang terlihat sudah pasti langsung menarik pelatuk pengendali tembakan dengan sekuat tenaga.

Syuuuut, bunyi misil bersiul nyaring, lalu meledak duar menggelegar. Bersamaan dengan misil yang ditembakkan Puppis, misil-misil lain menyusul, memberikan ledakan yang tak kalah cetar. Perlahan-lahan kapal raksasa itu kebakaran dan mulai turun dari langit.

Aku rasa, satu kapal tumbang.

// Kerja bagus, révériér! Sekarang tolong bantu Skuadron Dua di dekat kalian untuk menumbangkan Mother yang lain. //

"Baik, baik."

Casval memuji sekaligus memberi arahan selanjutnya pada Namol. Tanpa memberi konfirmasi ataupun afirmasi, Namol langsung melentingkan pesawatnya ke samping kanan. Kapal selanjutnya sudah di depan mata, sibuk berusaha mengenyahkan keroco-keroco pemberontak.

U-ugh...

Kenapa kepalaku pusing sekali?

Héi...

Héi...

Kau dengar... ti... dak...?

~interval~

// Masih ada delapan Mother. //

// Kita habisi Mother yang ini, Olson. //

// Roger. //

Skuadron Kilat Hitam berpencar jadi dua regu. Akari dan Olson yang berdampingan bersama tiga perwira lainnya masuk ke wilayah salah satu dari delapan kapal Mother yang tersisa. Regu dua menjadi penjaga tekanan dari keseluruhan armada Under Mountain yang menggempur dari utara Menara Pallisade.

// Tim! Kita fokus pada kepalanya!  Bagian inti biar jadi urusan yang lain! //

// Roger! //

Regu Akari menjawab kompak, sebelum terbang serempak ke atas langit yang sejajar dengan bagian badan bénténg Mother. Pesawat keroco dan meriam Mother sudah mengincar silih berganti. Namun bukan Skuadron Kilat Hitam namanya kalau tidak menghindar dengan cantik, membuat réntétan témbakan itu terlihat tak lebih dari kumpulan batu dan petasan yang dilémpar anak-anak kecil.

// Témbak!! //

Akari memerintahkan regunya untuk melancarkan misil dan rentetan bedil  untuk menghalau tirai peluru yang dikeluarkan musuh, memberi kesempatan bagi Olson untuk maju dan membenamkan tinju logam seberat satu ton di tangan kanannya ke arah kepala Mother, sesuai tugas yang diberikan oleh Kilat Hitam yang sungguhan.

Tinju logam tersebut melesak jauh ke dalam mata hijau Mother, membuatnya retak, lalu meledak luluh lantak. Untunglah Bian memiliki kekuatan super. Meski zirahnya terkikis sedikit oleh ledakan, badannya masih utuh dan masih dalam keadaan prima.

// Gila. Aku masih tidak percaya ia manusia dengan kemampuan yang seganas itu... //

// Jangan banyak melantur, Tatsuya. Kita harus menumbangkan Mother yang lain. //

Regu Akari langsung melesat meninggalkan Mother tanpa kepala, membiarkan tim River City yang menuntaskan riwayat benteng tersebut.

// Di luar semesta kita ada semesta yang tak bisa kita nalar, tim. Camkan. //

Akari sedikit berceletuk.

~interval~

Dalam situasi yang kacau balau, ada dua jenis orang.

Satu, orang yang terlibat kekacauan dan peduli terhadap kekacauan tersebut.

Dua, orang yang kelabakan di tengah-tengah kekacauan.

Dan ada jenis ketiga, yang sama sekali tidak peduli situasi dan sibuk sendiri.

"Waduh... ramé amat. Pada tawuran."

Seperti nénék yang satu ini, yang lebih peduli dokuméntasi perjalanannya dibanding keselamatan dirinya. Dari tadi ia asyik memotrét apapun yang ia lihat dengan ponsélnya yang berkaméra. Di sebelahnya ada sebuah tongkat kecil dengan layar berwajah melayang di sekitar domba putih yang memakai syal putih.

[ Nék Martha, sebaiknya kita cari tempat berlindung. Di sini berbahaya. ]

"Ntar dulu, Cahyo! Nénék lagi foto-foto nih! Sayang ribut-ribut gini gak difoto. Siapa tau masuk péj fésbuk infobédégé.com nanti."

Sekeras apapun tongkat séntién ini memperingatkan, Nénék Martha masih betah untuk mengambil gambar pemandangan perang yang sedang pecah, kebanyakan mengambil gambar bénténg berjalan raksasa atau prajurit yang baku hantam dengan robot.

Dasar nékat.

[ Nék Martha, sebaiknya kita cari bangunan atau tempat tinggi untuk difoto. Sepertinya lebih bagus kalau fotonya candid. ]

CA-IO (dibaca Cahyo) sang tongkat narsis menggunakan usaha terakhir hasil pemikiran otak digitalnya agar si nénék setidaknya menjauh dari tempat ini.

Tak disangka, nénék keras kepala itu menurut pada kata-kata Cahyo. Sepertinya ide foto candid adalah hal yang inovatif, menembus segala paham kolotnya akan dokuméntasi perjalanannya yang didominasi selfie.

"Oke, Cahyo! Kita let's go!"

[ T-tunggu nék! ]

Entah Martha ini manusia, hantu, atau bukan keduanya. Meréka yang sedang berperang seakan tidak merasakan kehadiran nénék yang sedang selap-selip melangkah meléwati halang rintang dengan santainya. Atau mungkin yang perang terlalu sibuk sendiri, sama seperti Martha.

Puji syukur selalu dipanjatkan Cahyo pada Tuhan Semesta Alam, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya, Nénék Martha bisa berjalan dalam keadaan séhat wal'afiat, selamat sampai tujuan. Persis di depan Menara Pallisade.

[ Alhamdulillah. Selamat sampai tujuan. ]

"Wah, itu kan tower yang tadi nénék potrét ya?"

"Masuk ke sana yu—"

Untung saja nénék itu belum melangkah. Sejengkal saja Martha maju, maka ia akan kena sambar peluru nyasar yang berasal tepat dari depan pintu masuk menara.

[ N-nék Martha! ]

"Waduh... hampir aja."

Ternyata pintu depan dijaga oleh robot-robot Happy Holy Family. Dan tak disangka, yang menjaga menara ini adalah robot keroco. Mungkin yang pro di garis depan semua, mempertahankan menara ini mati-matian.

[ It's Morphin Time, Nék! Ayo cepat berubah! ]

"Saatnya Berubah? Y-ya sudah kalau begitu. Ayo, Cahyo! Saatnya menjadi Tawani!"

Tongkat Cahyo memanjang, kemudian dipasangkan ponsél milik nénék Martha di ujungnya. Si nénék mulai berpose ala pembela kebenaran negeri matahari terbit sambil mengayun-ngayunkan Cahyo.

[ KIMERA! ]

[ FILTER GUN-TIIIING KUU-NIIING! ]

[ PASANG GAYA... ]


"Cekrék!"

[ T-T-T-TAWANI! Ka-re-na Wa-ni-ta, i-ngin di-mengertiii~~! ]

Seberkas sinar kuning menyelimuti sang nénék, menghempas peluru-peluru yang datang memberondong dirinya. Tak sampai satu detik, muncul sesosok wanita cantik dengan pakaian agak nyéntrik keluar dari balik cahaya, maju seperti pendékar silat sambil memegang Cahyo yang terlihat seperti mematung.

"Hasta la Vista, Assholes!"

Dengan gebukan-gebukan yang sedikit namun éféktif, sambil menggunakan Cahyo di tangannya, Nénék Martha yang kini berwujud Tawani merontokkan para penjaga.

Tawani langsung bergerak lincah, meléwati setiap penjaga keroco yang ada di koridor. Dombanya yang bersyal? Dengan gesit ia mengikuti langkah-langkah tuannya.

Namun ada satu hal yang menjadi gangguan di benak Tawani.

Ke mana ia harus pergi? Memang benar kalau ia harus menghindari penjaga-penjaga itu, namun ia sendiri bingung kenapa ia harus ada di tempat yang jadi sarang bahaya kalau tak tahu tujuan pastinya. Tapi tak apa, Tawani suka tantangan.

"Cahyo, ke lantai atas atau bawah?"

[ Bagaimana kalau kita ke lantai atas? Puncak menara biasanya sumber masalah. ]

"Idé bagus, kalau begitu kita lewat tangga ini."

~interval~

Saat Tawani memakai tangga untuk naik, di penjuru tangga yang berlainan sudut, orang-orang dan robot-robot sipil sedang berbondong turun, dipandu oleh pasukan berzirah oranye. Mereka semua dituntun untuk ke ujung lantai bawah tanah, dimana ada bekas rute keréta bawah tanah yang dibobol paksa oleh meréka.

Tim Morning Rescue sedang melancarkan rencana meréka untuk menyelamatkan warga sipil yang terjebak dalam menara neraka ini. Tentunya tidak mudah. Biar menara sedang sepi, ada penjaga yang tetap berpatroli di sekitar sektor pemukiman di menara ini.

Dan mereka harus dilumpuhkan.

"Pelumpuhan ini agak... anéh."

"Kenapa harus menghancurkan sendi gerak mereka? Bukankah itu lebih sadis dibanding membunuh?"

Myeengun si serigala terhéran-héran melihat cara Jesse dan James menangani para penjaga yang ada di sektor ini. Partnernya sibuk mengarahkan warga menara yang kocar-kacir untuk ikut pemandu dari Morning Rescue.

"Setidaknya meréka masih hidup."

[ Sebisa mungkin kami tak mau ada korban jiwa dalam usaha penyelamatan kami. ]

Jessé si tampan baru saja selesai menghancurkan  bahu beberapa penjaga dengan hantaman linggis—sebesar badannya---selagi James fokus membidik lutut-lutut yang masih bergerak.

"Logis. Tapi tetap sadis! Setidaknya dibuat pingsan saja cukup kan?!"

Protes Myééngun dipatahkan oleh argumen James yang terus menjedor lutut penjaga yang tersisa agar bisa dihancurkan bahunya oleh Jesse.

[ Ehem, kau lupa kalau tidak semua yang hidup di Anatolia manusia tulén, Myééngun. ]

"Benar juga, karena kita sedang membintagi fiksi Asimov, disutradarai Michael Bay."

"Myééngun,"

"Baik, aku akan diam."

Myééngun kembali mencari makhluk hidup yang tersisa bersama Asibi dan dombanya, mengarahkan mereka untuk mengikuti orang atau robot yang berzirah oranye. Pada saat itulah duo spirit bertemu dengan révériér yang lain.

"Asibi,"

"Ya, aku tahu."

Bersamaan dengan kesiapan keduanya untuk menghadapi reverier tersebut, muncul Tawani si wanita skater dengan domba bersyal putih dari balik koridor jauh di seberang. Éksprésinya mengkerut tak mengerti dengan apa yang terjadi.

[ T-tawani, sepertinya ada révériér yang lain... ]

"Wanita ber-armor dengan anjing besar, maksudmu?"

[ Meréka nampaknya sedang berusaha menyelamatkan warga menara ini. ]

"Sebaiknya kita tanyakan langsung."

Sambil membawa Cahyo sebagai alat pukul, Tawani menghampiri Asibi dengan berhati-hati. Bgitu jaraknya dirasa cukup untuk berbicara tanpa kontak fisik, langkah Tawani berhenti.

"Oh lihat Asibi, Avril Lavigne rasa Asia."

Myééngun kesakitan saat telinganya dijéwér oleh Asibi. Serigala itu pasrah saja Asibi yang menginisiasi percakapan dengan Avril Lavigne rasa Asia tersebut.

"Kami sedang mengevakuasi warga sipil dari medan perang, révériér."

"Panggil aku Tawani. Aku akan membantu."

Setelah itu, terjadi dua kejadian tak terduga.

Satu, Tawani tiba-tiba jatuh terduduk.

Dua, Menara Pallisade berguncang dan meledak-ledak, seakan mau runtuh.

"Apa ini?! Adegan klise Télénovela India?!"

Myééngun merengut kesal ketika dua hal ini terjadi.

[ M-maafkan saya! Tapi saat ini Tawani sedang kehabisan tenaga setelah melawan para penjaga tadi! Ia butuh sepuluh menit istirahat. ]

"Baiklah kalau begitu."

Tanpa babibu, Asibi mengangkut Tawani di punggungnya, kemudian memegang si tongkat. Asibi dan Myééngun sudah sepakat untuk langkah selanjutnya. Jésse dan James juga sudah memanggil.

[ Asibi! Myééngun! Cepat turun! Menara sudah kritis! ]

Tim Morning Rescue tahu mereka tak bisa menyelamatkan semua warga menara. Itu kenyataan pahit yang harus diterima. Tapi meréka sudah melakukan apa yang harus dilakukan sebisa mereka. Sekarang mereka berfokus untuk kembali ke Kurogané yang ada di jalur bawah tanah selagi masih sempat.

~interval~

Sementara itu, di luar Menara Pallisade...

Perang makin memanas.

Kubu Pemberontak sudah menggerus garis pertahanan Happy Holy Family, semua Mother sudah tumbang. Meski, tidak sedikit pélor dan darah yang harus dibayar sebagai harga dari usaha perjuangan yang begitu besar.

Perang sudah memasuki fase dua dengan runtuhnya garis pertahanan yang pertama. Pemberontak pun mulai maju lebih dekat agar bisa mengepung Menara Pallisade.

Namun meréka semua lupa memperhitungkan, Happy Holy Family yang pegang wilayah punya siasat sendiri.

Dan siasat itu tidak tanggung-tanggung.

Skuadron Kilat Hitam yang tersisa, termasuk Akari dan Olson yang sedang terbang menghalau sisa pasukan musuh menjadi saksi dari kejinya siasat musuh. Aréa sekeliling Menara Pallisade menyebarkan ledakan cahaya warna hijau dalam radius beberapa kilométer, membuat méreka yang kena ledakan itu terkikis dan terbakar, menjadi butiran debu dan rongsok.

Benar-benar gila.

// Astaga... //

// B-brengsék!! Bom Kajima!! //

Ledakan tersebut memang menghancurkan sebagian besar yang sedang perang, namun masih ada saja yang tersisa. Ketika Akari mencoba mengkonfirmasi, yang hidup dari keseluruhan pasukan serangan pembuka hanya sisa seperlima saja. Itu juga yang termasuk di dalam kapal induk yang sudah tak bisa bergerak.

Happy Holy Family sudah tidak segan lagi.

[ Selamat pagi, para Anomali. ]

Sebuah suara khas menggema di medan tempur. Menara Pallisade berubah menjadi sepiker raksasa.

Sang pemilik suara turun dengan anggun ke hadapan pejuang-pejuang yang masih tersisa di garis depan, seperti malaikat turun dari surga. Di belakangnya adalah ratusan robot gagak yang bentuknya lebih sederhana.

[ Usaha yang bagus. Aku terkesan.  ]

Akari yang sudah mendidih langsung melesat tanpa pikir panjang. Senapan serbunya memuntahkan banyak peluru untuk menghancurkan sosok tersebut. Namun kubah cahaya yang terbentuk dari debu-debu hijau menahan peluru milik Akari, membuatnya gagal mengenai targét.

Setelah itu, situasi mendadak hening. Semuanya bergeming. Sosok pemimpin mereka kini sedang berhadapan, adu tatap. Tak ada yang lanjut berperang. Semuanya memperhatikan kedua sosok énigmatis yang sedang berunding untuk terakhir kalinya.

"Saraph! Waktumu sudah habis!"

Saraph si Gagak Putih tertawa dengan nada datar khas komputer pintar.

[ Bila rézimku jatuh sekarang, selanjutnya apa, Akari Ka—RAVEN Palsu? ]

// Tentu saja kami akan membuat kehidupan yang lebih baik! //

[ Kehidupan yang lebih baik, katamu? ]

Lagi-lagi Saraph tertawa. Anak manusia satu ini mémang pandai berkelakar.

[ Aku. Aku yang menghentikan perang antar sesama kalian, manusia. Aku musnahkan yang berbuat kerusakan di muka Anatolia. Aku ciptakan aturan berlandaskan kebahagiaan agar tercipta perdamaian. ]

Justifikasi Saraph atas tindakan seména-ménanya membuat Akari makin geram. Perdamaian yang ia ciptakan tak lebih dari sangkar yang merampas Hak Asasi Manusia. Perdamaian tanpa kemerdékaan adalah omong kosong besar bagi Akari.

// Kedamaian yang kau buat... tidak membuat meréka bahagia!! Kau memaksa meréka untuk merasa bahagia selagi kau siksa dengan aturan dan ketakutan! //

[ Mémang begitu. Aturan dan ketakutan diperlukan agar terjadi ketertiban dan perdamaian. Tidakkah kalian mengerti hal semudah itu? ]

"Kau... kau tidak pantas menyandang nama RAVEN, Saraph. RAVEN adalah simbol kemerdekaan. Perdamaian tanpa kemerdékaan setiap individu tidak akan membawa kebaikan bagi manusia!"

[ Hmph. Mari kita buktikan kebenarannya. ]

Percuma saja berargumén dengan makhluk tidak berperasaan. Akari sudah membulatkan keputusan.

Di sini, saat ini.

Sebuah penentuan dari pertikaian yang sudah terlalu lama berkepanjangan.

// Kalau begitu hanya ada satu jawaban. //

// HIDUP MERDÉKA, MATI MULIA! //

"DEMI ANATOLIA!!"

Semboyan yang dikumandangkan penuh penghayatan kembali menaikkan semangat juang para prajurit yang tersisa. Mereka sudah ikhlas membayar nyawa, berjuang sepenuh jiwa meski terluka. Selama sukma masih belum lepas dari raga, api perjuangan akan terus membara.

Demi anak cucu mereka. Kehidupan baru yang bebas dari segala petaka dan celaka.

Hitam dan putih yang tersisa pun maju, mengikuti dua kilat yang mulai berlaga mengadu tinju.

~interval~

"...mut?"

"...bah..."

"...mbéé..."

Hei, kamu tidak apa-apa?

Tadi yang kuingat hanya kunang-kunang dan debu serasa seliweran di dalam kepala. Aku jadi lupa semuanya.

Dari tadi ada tiga suara terus memanggil. Siapa?

Ah iya, Namol dan Puppis. Harusnya tadi Amut masih di pesawat dengan mereka. Terakhir meréka sedang menémbaki musuh sebelum pesawatnya kena ledakan hijau yang membuat pesawat berputar-putar sebelum jatuh menabrak tanah.

Begitu, kan? Aku tidak begitu ingat karena kunang-kunang dan debu itu membuatku sakit.

Ah lihat, sekarang gambarnya muncul.

Waduh, tempatnya jadi acak-acakan. Pasti jatuhnya keras sekali, sampai seluruh badan Amut terasa ngilu karena benturannya.

"M-mbah ga apa-apa. Kita di mana?"

"Pesawat kita mendarat darurat habis kena ledakan. Ayo keluar!"

Amut memaksakan diri untuk berdiri, karena bagian dalam pesawat lampunya sudah meletup-letup. Takut meledak beneran. Begitu keluar, yang dilakukan oleh si rambut mi adalah panik karena melihat sekitarnya. Setelah itu ia berteriak seakan ingat sesuatu.

"Tunggu. Héppow mana?!"

"Kalem, Namol! Ia pingsan di sebelah sana."

Puppis menunjuk cacing raksasa yang tergeletak agak jauh dari pesawat namun masih bisa dilihat. Kedua matanya jadi berbentuk silang, lidahnya menjulur keluar. Sudah dipastikan dia kéok.

Bila Namol fokus pada cacingnya, Amut lebih berfokus pada keadaan yang terjadi di tanah Anatolia saat ini. Bangkai manusia yang mengering dan logam rongsok yang sudah ringkih bertebaran, menyatu dengan pasir dan debu. Titik-titik hijau bertaburan di udara, mewarnai pertempuran antara Pemberontak dan Happy Holy Family yang tersisa.

Di atas langit, dua bayang putih beradu pedang sinar dan saling menémbaki sambil bergerak lincah kesana-kemari. Sayap raksasa itu... pasti ia pemimpin Happy Holy Family yang dikatakan Casval saat pengarahan singkat sebelum berangkat tadi.

T-tunggu sebentar... tanahnya bergetar dan mau pecah. Sepertinya ada yang mau keluar dari dalam.

"Emol! Pupis!"

Untung saja masih sempat. Keduanya yang menyadari situasi yang akan terjadi langsung terbang mundur. Dari retakan tanah tersebut, kemudian muncul kapal perang besar berwarna hitam. Kapal tersebut mengusruk beberapa méter sampai  terjungkal di dekat Héppow, rebahan bersama.

"Héppow!"

Tentulah yang dipikirkan oleh rombongan itu adalah mendekati Héppow yang sudah KO. Amut sendiri mengikuti rombongan Namol. Walau ia lebih penasaran dengan kapal hitam yang baru saja muncul.

"Héppow!!"


"Huuuh, aku keasyikan ancurin kota itu sampai gak sadar ada perang di sebelah sini..."

Di atas langit yang lebih tinggi, tiga naga sedang terbang beriringan. Yang paling depan—pemimpin formasi—adalah seékor naga biru dengan telinga lancip seperti seékor serigala, ditunggangi seorang gadis yang sedang memangku domba. Naga putih berambut halus dan naga besar kasar berkulit mérah membara mengawal terbangnya.

"Tak apa. Kita masih belum ketinggalan pésta yang sebelah sini."

"Ingat, siapa cepat dia dapat."

"Terserah kau saja, kemaruk."

"Katakan itu sekali lagi, tukang serobot!"

"Udah, udah. Kalian mencar aja biar gak rebutan."

Sang penunggang memijat kepalanya, bosan mendengar argumén naga-naganya yang membuat otak dan telinga pekak.

"Kita bébas melakukan apa saja, kan?"

"Udah, bablas aja bro."

Dua naga pun memekik lantang karena senang. Terbang ketiganya jadi makin kencang karena sudah tidak bisa menahan keinginan untuk segera menyerang di medan perang.

"Bakar semuanya, brooo~!"

Tiga naga menukik tajam, berpencar untuk mencari mangsa. Masing-masing sudah menandai wilayah berburu mereka sebelum memulai féstival penghancuran ala naga.

Naga petir berbulu putih mengincar para prajurit yang tersisa, naga tanah keras mengganas menghancurkan menara, sementara si naga api mendekat ke arah kapal hitam yang terbenam dan cacing raksasa.

Tunggangannya menangkap imaji yang tak asing di daérah tersebut. Ditambah, Mérald ingin melihat tempat itu lebih dekat. Ia suka melihat penderitaan langsung di depan mata.

"Réa, liat yang di sana?"

"Jelas. Aku mau ke sana."

Ya pantas saja naga Réa ingin mendekat ke arah sini. Naga tua berdiri dengan dua kaki adalah hal yang sangat langka. Pemandangan ini membuat Mérald merasakan gelora dalam badannya bisa menyembur keluar kapan saja saking senangnya melihat ada naga segagah dia.

"Unyuuuuu~!"

"Sudah lama aku tidak melihat saudara sebangsa."

Darah panas Réa juga bergolak luar biasa. Ingin sekali ia berbincang dengan naga ungu tersebut, bercengkerama. Kalau Réa sudah bulat seperti itu, Mérald juga malas melarang. Lagipula rencana meréka sama.

Hancurkan semua yang ada.

"Kalau gitu aku ke kapal sana, ya?"

"Siapa yang bersamamu?"

"Léa. Kau senang-senang aja sama dia, bro."

"Ya sudah."

Kemudian gadis itu menggorés jarinya dengan belati taring naga, membuat lingkaran sihir yang anéh di telapak tangannya.

"Sebagai tuanmu, Mérald, aku memanggil naga Léa. Turuti perintahku!"

Raungan samar berkumandang, bersamaan dengan keluarnya naga biru berbulu halus dari langit, jauh di belakang. Namun tak lama, naga cantik seperti putri salju berhiaskan gaun bulu halus sudah menyusul.

"Jaga Mérald, Léa. Aku ada urusan di sebelah sana."

"Baiklah."

Setelah menaruh Mérald dan dombanya di punggung Léa, si naga api langsung menukik tajam, mengincar naga ungu yang sedari tadi ia perhatikan. Léa sendiri menukik ke arah kapal hitam yang sangat menggemaskan. Saking gemasnya sampai tak tertahankan rasa ingin menghancurkannya jadi berkeping-keping.

Yang pertama sampai di tujuan adalah Réa, langsung meraung ganas sambil mengeluarkan api biru panas sebagai ucapan salam yang pantas. Yang diberi salam langsung meradang, sambil menghardik lantang ia menyingkap jalur api tersebut, dibuang agar tidak mengenai dirinya dan dua makhluk di belakang.

"Takzim, wahai naga."

Setelah memberi api sebagai penghormatan, Réa menghaturkan sekepal tinju dan seayun cakar biru sebagai pembukaan, bertepatan dengan Saraph dan Akari yang saling bertukar pesan léwat tarian dan témbakan.

"Salam, wahai penjaga api. Siapa gerangan, wahai kisanak?!"

"Réa namaku. Izinkan aku bercengkerama denganmu."

Api biru dan mérah berhélat seru. Bahu membahu menyatu, membuat hawa panas yang menghambur ke segala penjuru, sampai terasa oleh dua zirah logam yang sedang mencumbu udara kelabu. Dua pasang penantang nasib seakan berlomba-lomba saling membunuh terlebih dulu.

"Amut namaku. Tak waktu untukmu, kisanak!"

Bersamaan dengan Amut yang membanting Réa ke udara, Akari si gagak hitam dirécok témbakan laser dan ledakan keroco yang tiba-tiba dari samping, membuatnya terhempas ke sebelah Amut.

Pangggung pertarungan jadi semakin megah.

Inilah puncaknya.

~interval~

// Sial... ini kacau sekali. //

Olson bergumam sambil buru-buru melesat terbang ke arah kapal hitam yang mulai diacak-acak oléh naga salju. Tadinya ia mau menolong Akari, namun orang-orang yang berhamburan keluar dari kapal membuatnya batinnya gundah. Jiwa héroik si bulé tak mau ada satupun dari meréka yang terluka. Lagipula, Olson yakin, naga ungu itu akan membantu Akari. Ia tak perlu terlalu khawatir soal si wanita.

Saat orang-orang berzirah oranye berusaha untuk menghalau sang naga, Olson ikut maju dan  membantu meréka untuk melawan, mencegah naga itu berbuat kerusakan semaunya. Saat tinju logam Olson siap menghunjam, naga tersebut awas dan langsung mundur beberapa langkah agar tidak kena serangan. Si penunggang jadi sedikit kecéwa, namun tiba-tiba tertawa édan karena ia mendapatkan lawan yang sepadan.

Naga biru itu mengamuk bersama sang penunggang yang turun dan mulai mengayunkan belatinya begitu berang pada siapapun yang dekat-dekat dengannya. Duo spirit berzirah dan hantu serigala menghalau serangan si gadis séngklék, sementara tim Morning Rescue yang tersisa membantu si tinju besi melumpuhkan sang naga salju yang mulai menyemburkan es dingin yang tidak menyegarkan.

Namol si alién menjadi saksi bisu dari seluruh kejadian ini. Perang naga di kiri, perang robot di kanan. Di depan kocar-kacir, di belakang temannya terbujur kaku di atas pasir. Semua hal memuakkan ini membuat Namol seakan mau pingsan. Panik dan paranoidnya sudah memenuhi ubun-ubun. Seluruh keberanian yang tersisa sudah melebur dengan rasa takutnya. Ia hanya bisa berlindung di dekat Héppow, meringkuk bersama Puppis dan dombanya.

"I-ini terlalu kacau... kita akan mati... mati..."

Namol menutup matanya, berharap mimpi buruk ini berakhir. Batinnya sudah tak kuat dengan semua ini. Bahkan teriakan Puppis tak bisa mengembalikan semangat juangnya.

~interval~

Akari masih terbatuk-batuk. Badannya yang rusak keadaannya jadi makin buruk. Naga ungu tua itu tak berkata banyak, namun ia tahu bahwa Akari adalah déwi perang para Pemberontak. Ia tak bisa membiarkannya mati.

Namun naga ungu tersebut mulai kewalahan. Satu orang tua melawan dua makhluk prima adalah sebuah laga yang timpang. Naga tersebut mengaduh sambil berusaha bertahan dari gempuran yang terus datang bergantian.

Akari, dengan tenaga dan nyawa yang tersisa, memutuskan satu tindakan yang mungkin akan mengakhiri semuanya.

// Markas, kirimkan CINDER dan ASH. //

Dari NEST-3 milik para Pemberontak, meluncur sebuah pesawat kecil, dengan sepuluh rokét mendorongnya agar sayap yang dibawa pesawat tersebut segera sampai pada tempat sang komandan berada. Sayap tersebut kemudian berpisah, terpasang pas di punggung Akari yang menanggalkan sebagian besar pundak dan punggung zirahnya agar sayap tersebut masuk.

LS-CINDER dan LS-ASH, sebuah modul serangan berupa pedang besar kembar, menyatu dalam sebuah sayap pendorong besar, yang akan melipat membungkus kedua lengannya bila aktif. Suara gemerisik dan percikan cahaya listrik di zirahnya menyahut desis mesin dalam tubuh Akari, menyebar panas di seluruh badan. Mérah dan asap memenuhi badannya yang membara, dan pedangnya yang memancar api raksasa.

// Ini akan menjadi akhirmu!! SARAAAAAAPH!! //

Akari mengeluarkan pekiknya yang paling lantang, maju menerjang si malaikat logam seperti phoenix naik menghadap Sang Hyang. Saraph si Gagak Putih menyulap debu-debu hijau di sekitarnya sebagai kubah untuk berlindung, namun api mérah Akari melahap semuanya, habis tak bersisa. Ledakan cahaya terjadi seperti kembang api, menghempaskan kedua sosok rusak tersebut ke bawah.

Yang terjebak di tengah kekacauan tersebut hanya bisa menatap dua sosok yang sudah nyaris tak berbentuk perlahan ditarik oleh gravitasi.

Berakhir? Belum.

Dua gagak tersebut keras kepala. Meréka sama-sama berusaha bangkit, walau sudah kehilangan sebagian besar badan. Gagak Hitam yang sudah kehilangan kedua lengannya akibat pemakaian senjata pamungkasnya terpaksa berlutut menatap Sang RAVEN dengan geram. Sementara Sang RAVEN sendiri masih bisa berdiri, meski ia lebih banyak kehilangan anggota badan dan robék dadanya.

[ Kalian semua tidak pernah belajar dari kesalahan. ]

[ Aturan dan ketakutan ada agar kalian hidup dalam ketertiban. ]

[ Seharusnya kalian berbahagia, kalian tidak akan pernah merusak lagi. Keamanan dunia sudah dipastikan. Tapi kalian tetap saja tak mengindahkan... ]

[ Héwan liar seperti kalian harus dijinakkan. Setelah kalian jinak baru bisa mengerti bahwa kebahagiaan ada di bawah aturan. ]

Dengan suara tidak kohérén seperti kehilangan tangén, Saraph berpidato, membuat semuanya tertegun. Saking hébatnya pidato tersebut, naga-naga yang merusak sampai memperhatikan kata-kata bijak ini.

// Umat manusia masih punya harapan!! Masih ada kesempatan untuk manusia membuat perubahan yang lebih baik! //

[ Harapan hanyalah konsép abstrak tidak nyata, Karia. ]

Selaan Akari disela lagi oléh Saraph. Pidatonya dilanjut.

[ Kalaupun memang manusia bisa membuat perubahan ke arah kebaikan, masih ada kalian yang lebih menghendaki kerusakan. ]

// Manusia memang punya pilihan untuk menghancurkan. Tapi tidak sedikit yang berjuang untuk kebaikan! Manusia akan terus berjuang untuk membangun kehidupan yang lebih baik!!  //

Selaan Akari sekali lagi disela balik. Kali ini Akari memilih untuk tidak ngotot. Ia sudah batuk-batuk tak kuat.

[ Itu. ]

[ Itu yang membuat siklus perjuangan kalian akan terus berulang. Sama seperti perang yang leluhur kalian kobarkan di zaman dahulu, yang membuat tanah ini menjadi gurun. Semua karena hal rendahan seperti ini. ]

Akari yang tertegun berusaha untuk menjawab, membantah kebenaran yang disampaikan oleh si Gagak Putih. Namun udara sekitar sudah tak bersahabat. Debu-debu hijau itu makin menyeruak, membuat siapa saja yang ada di dekat sana jadi sesak.

[ Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Waktu kalian sudah habis. ]

[ Bila kehancuran yang kalian inginkan, ]

Debu-debu hijau tersebut menyeruak, membuat setiap serat kehidupan yang ada jadi rusak. Tak terkecuali Asibi dan Olson. Meréka terpaksa berlutut dan batuk-batuk saking hébatnya kekuatan polutan satu ini. Mereka mulai melihat sosok Saraph yang mulai terangkat ke atas langit.

[ Maka, ]

Sinar hitam kemérahan perlahan menyelubungi tubuh Gagak Putih sampai penuh. Setelah berselimutkan cahaya kegelapan, badannya terputar dan tertarik, menyatu dengan ketiadaan mérah yang menimbulkan distorsi ékstrém pada badannya.


[ Akan kuberikan kehancuran YANG SUNGGUHAN!! ]



Sesosok baru pun terbentuk. Sesosok malaikat logam berwarna hitam legam dengan garis-garis mérah tajam pada badannya. Lambat laun sayap logam mencuat, menyebar seberkas besar sayap raksasa berwarna abu kehijauan, menyebar partikel kehancuran.

Métamorfosa sempurna ini menohok batin Amut si naga ungu.

"D-DAREK PALES!!"

[ HANCURLAH KALIAN SEMUA, MAKHLUK RENDAHAN!! ]

Debu hijau dan hitam bercampur, beradu bersama-sama menciptakan sebuah ruang baru. Semua jadi rusak tak menentu. Bentuk dan rupa seakan menyatu dan bercerai dalam satu waktu. Naga ungu menjerit pilu. Ia berusaha menghentikan kesuraman yang ditimbulkan. Namun seberkas sinar mérah menuntaskannya, menumbangkannya sempurna.

"A-asibi! I-ini Distorsi Mimpi?!"

"A-aku tidak tahu! Baru pertama kali aku melihat yang seperti ini!"

~interval~

.

.

.

.

.

.

Ah...

Ya...

Aku ingat...

Semua ini...

Penghancuran dan penciptaan sia-sia ini...

Siklus penderitaan ini...

Harus dihentikan...




Nirvana untuk semua. Pembebasan dari Samsara.

~Chorus~

Mata membuka, mérah menyala.

Amarah menjalar, menggurat rajah di seluruh raga.

Meluap bersama api di jiwa, menjadi nyata.

"Menembus méga,"

"Menghapus,"

"Cakrawala."

MÉGA PLÉÉRRR!!

Éntitas misterius yang merusak imaji kenyataan disembur api bercahaya yang keluar dari mulut naga ungu yang kini dipenuhi rajah membara di sekujur tubuhnya, membuat semuanya tertegun tak percaya. Sosok malaikat penghancur membalasnya dengan sinar hitam kemérahan. Namun cahaya tersebut bersinar makin terang, perlahan berubah menjadi putih.

Debu-debu hijau beréaksi. Menjadi sebab dari sebuah akibat yang terjadi antara tumbukan kedua énérgi negatif.

Dalam perhitungan matématika, négatif dikurang négatif menghasilkan sebuah positif. Begitu pun partikel hijau ini, yang merupakan tanda minus di antara kedua bilangan négatif berupa énérgi penghancur alam semesta.

Sebuah penghancuran besar-besaran terjadi.

Menandakan sebuah penciptaan yang baru.

Cahaya kehidupan perlahan menyilaukan setiap mata yang menjadi saksinya.

~interval~

Saat sebuah semesta di alam mimpi terjadi penghancuran, di tempat yang lain terjadi kedamaian.

Diam.

Hitam.

Kelam.

Sesosok wanita berjalan di suatu kegelapan. Rambut dan bajunya yang putih kontras dengan alam yang ia jelajahi. Sambil membawa tongkat emas, ia mengamati sekitarnya dengan perasaan agak waswas. Namun tidak sedikit rohaninya terasa cemas.

Meski begitu, ia tidak sedang tamasya. Ia menjelajahi kegelapan ini untuk mencari sebuah jawaban.

Alasan di balik sebuah penyatuan,

Dan sebuah kehancuran.

"Tidak mungkin ini adalah sebuah kebetulan."

Ia berpikir dengan benak yang terus berusaha meraba masa depan. Ia terus berjalan, berusaha untuk mendapatkan maksud dari citra kehancuran yang ia saksikan.

Langkahnya terhenti ketika ada beberapa ékor domba hitam dengan mata kuning dan ungu menyala menatapnya dan mengembik nyaring, menyapa. Bersama dengan sapaan itu, menggema sebuah suara kecil namun memberikan kesan yang tak aman.

"...Manusia..."

"Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempatmu."

Sesaat kemudian, muncul sesosok bola mata besar warna ungu, dengan badan kecil seperti manusia, tersisa rangkanya saja. Terlihat jubah ungu di balik bahunya dan tongkat hitam berbentuk tak keruan di pegangan kanannya.

Makhluk kegelapan.

Wanita ini bergeming, namun tak ada gentar terlihat di raut wajahnya. Tenang dan tegar, seperti batu karang yang membegar.

"Aku mencari jawaban."

Sebuah suara halus sarat kasih sayang keluar dari mulut sang manusia. Niat cinta dan damai tersirat kuat dalam pesannya.

"Jawaban apa? Di sini tak ada apa-apa."

Tak dinyana, sang aulia bermahkota emas melangkah lebih dekat, membuat domba-domba hitam mendekat dan mengitarinya dengan gembira.

"Bibit Kehancuran. Bibit yang merusak segala jagat dan dunia."

Bola mata itu menggéléng pelan. Suara kecilnya datar dan tak berperasaan.

"Aku tak tahu."

Sesekali para domba menyundul pelan betis atau menciumi sepatu kulit yang dikenakan oleh si tunik putih.

"Lalu kenapa semua dunia jadi bersatu?"

"Ini Alam Mimpi, manusia. Semua mimpi dari semua penjuru berkumpul."

Alisnya jadi naik mendengar jawaban tersebut. Makin banyak pertanyaan yang harus dijawab.

"Siapa yang mengumpulkan mimpi-mimpi ini?"

"Bukan aku. Aku hanya melakukan tugasku."

"Apa tugasmu?"

Suara wanita itu makin tegas, namun tak meninggalkan kesan yang berbekas bagi si bola mata. Makhluk itu melambaikan tongkatnya sedikit, seakan menyuruh meréka untuk menghampirinya. Kemudian para domba yang datang dielus satu-satu.

"Menjadi gembala mereka. Aku menuntun meréka untuk memakan mimpi."

"Memakan mimpi?"

"Mimpi yang baik dan yang buruk. Meréka memakan semuanya."

"Bukankah itu berarti kehancuran?"

"Mimpi yang hilang bisa kembali lagi."

"Tapi kiamat akan melanda semesta. Penyatuan semesta akan membangkitkan Bibit Kehancuran. Semua akan porak poranda, termasuk alam ini."

Basa-basi penuh omong kosong membuat bola mata ungu si makhluk kegelapan bersinar agak mérah. Nampaknya ia marah. Mungkin karena tidak suka bercakap tanpa hasil pasti.

"Sudah kubilang, aku tak tahu soal itu. Bukan urusanku."

Suasana jadi mencekam. Keduanya seakan sedang melancarkan perang dalam diam. Namun karena keduanya tak ada niatan untuk berselisih lebih jauh lagi, ketegangan meréka redam. Sinar mérah di bola mata berubah jadi ungu padam.

"Kalau begitu, kau tahu siapa yang mengumpulkan mimpi?"

"Ada yang berkehendak semua mimpi berkumpul jadi satu. Tapi kuasaku tak sebesar itu."

Angin kelam berembus, menimbulkan suara gemerisik yang membuat pekik berisik di telinga.

"Jadi maksudmu ada kehendak lain yang membangkitkan Bibit Kehancuran?"

Tiba-tiba dari langit kosong muncul kilatan titik dan garis putih yang banyak. Ruang keberadaan meréka seakan ditarik sampai robek lalu disatukan lagi berulang-ulang. Bentuk pemandangan jadi tidak keruan.

"...Distorsi mimpi. Ini sudah kesekian kalinya."

"Apa maksudmu?"

"Alam Mimpi berubah lagi. Makin buruk."

Seakan disekat dan dipisah, ruangan hitam itu terbelah, terpisah oleh garis putih dan titik-titik pelangi yang tak kentara.

"Pergi, manusia. Jawaban yang kau cari bukan di sini."

Sekedip kemudian, bola mata itu sudah pergi dengan domba-dombanya, menghilang bersama ruang hitam yang ditempatinya. Beberapa kedip setelahnya, wanita itu terdampar di sebuah kota métropolitan setelah pemandangannya berganti-ganti rupa dan warna.

"Ada kehendak lain yang menyatukan semesta..."

"...Apakah Darek Fales yang menyebabkan semua ini...?"

"Ataukah Darek Fales hanya bagian dari... kehendak lain yang lebih besar...?"

Wanita bertongkat emas itu jadi pusat perhatian orang-orang kota yang tampilannya sangat kekinian.

===================================================================
Penciptaan tak akan dimulai tanpa sebuah penghancuran.
===================================================================


>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 16 - MBAH AMUT | SEBUAH KEHILANGAN
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 13 - MBAH AMUT | TIGA TITIK HITAM

23 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Entri ini berasa dituturin sama sepuh yang bahkan lebih tua dari penulis Harum Kartini...tapi cuma bagian" awal aja sih. Guyonannya kentel banget, terutama pas masuk kota Martanira. Keluar deh semua mahluk androginus dan dialog nyeleneh

    Anatolia di bawah HHF di sini keliatan lebih serem dari semua entri lain yang juga make setting sama. Berasa aura Korea Utaranya

    Saya agak miss, Tawani apa ya? Semacem form nenek Martha yang berubah wujud jadi muda?

    Ini kesekian kalinya saya baca entri yang buildupnya udah megah, rame campur chaotic, tapi akhirannya antiklimatik. Jadi, Saraph ngancurin Anatolia? Padahal pembagian fokusnya dari awal udah bagus, tapi pertengahan menjelang akhir saya jadi ngerasa entri ini ngga necessarily tentang Mbah Amut sendiri, karena dia ga banyak ngapa"in di sini

    Dan akhirannya, rasanya lebih abstrak dari epilog entri saya karena pembaca ga tau siapa yang bercakap" di sana

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir mas sam :')

      Ada beberapa hal yang akan saya klarifikasi perihal apa yang mas Sam komentari.

      Satu: Perihal Tawani, dia adalah form Nenek Martha yang ke-dua di Character Sheet selain Nenek Ultra dan Wadonna. Tadinya mau pakai Nenek Ultra, tapi saya rasa akan jadi bentrok sama build-up yang udah saya buat.

      Dua: Ketidakjelasan dan antiklimaksnya sebagian karena kebiasaan buruk menunda-nunda jadi cuma burst seadanya dan kurang sesuai gambaran sebenarnya.

      Serta di sini, sebenarnya mau nunjukkin kalau Darek Fales ini adalah entitas yang berpengaruh di kanon Amut, dan Darek Fales itu ADA di setiap dimensi. Tapi sayangnya agak sulit nentuin porsi yang pas untuk menjelaskan hal tersebut.

      Tiga: Perihal di Epilog, yang berbicara adalah Syu Liss Shulan Jahnna II, Sub-OC Amut yang belum muncul di prelim tapi akan punya peran penting di kanon, dan Oneiros.

      Mohon maaf atas kekurangan ceritanya. Semua komentar mas sam saya catat buat bahan evaluasi saya.

      Terima kasih sudah mampir. Semoga bisa bertemu di R2

      Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus
    2. Tambahan:

      Lupa mau nambahin, Darek Fales adalah semacam entitas kehancuran, dan karena Saraph adalah salah satunya. Hal itu yang mendasari ketika dia berubah menggunakan False Force dia langsung mau menghancurkan Anatolia.

      Hapus
  2. Akhirnya kelar juga baca si embah
    Seperti prelim maren. 3rd pov khas author begitu berasa di sini. World buildingnya mantep, penggambaran suasanannya juga jelas chaoticnya. Amat sayang disayangkan kalo si mbah kurang dapet spot. Apalagi finishing ceritanya berkesan antiklimaks, seperti yang dikatakan kang sam.
    Yang menarik buat saya malah credit scene saat pertemuan dengan oneiros. Ini yang bikin saya ga sabar menunggu aksi amut selanjutnya di r2 nanti.

    8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      tokoh utama kurang dapet spot ini memang masalah utama dalam pembuatan entri R1 ini. Dilema sendiri ketika pas Mbah Amut nonjol, karakter lain malah jadi kegerus jatah perannya, dan vice versa.

      Masih perlu banyak belajar untuk membagi fokus karakter yang pas jadi semuanya kebagian.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  3. Aduh.. ane cuma hafal beberapa OC di sini. Ane sempat bingung mana OC segrup mana OC tamu @_@ #abaikan

    Ane kangen gaya narasi entry mbah amut yang unik. Dan tentu komedinya yang langsung pinggang ane ikut rematik(?) x'D

    Tapi pas masuk peran karakter lain, nah.. rasanya hanya dibagian ini yang kurang.

    Sama kaya kata om Sam. Peran mbah Amut sendiri kurang. Ane scroll ke bawah, terus.. terus.. ternyata ga banyak. Nah, rada kecewa di bagian itu doang :'

    Tapi plotnya ini lumayan bikin terbawa tegang. Serius, ane kebawa serem gimana perangnya. Walau endingnya sempat bikin ane bingung..

    Salam dari si pecinta hitam mbah~
    ---------------
    Rate: 8
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      ke depannya bakal berusaha untuk diperbaiki perihal pembagian jatah peran. Mungkin karena dedlen juga kayaknya jadi setengah-setengah u,u

      Yang di belakang itu Sub-OC yang muncul, Bunda Syu Liss sang pendeta. Nanti di cerita-cerita ke depan bakal lebih jelas perannya.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  4. Kalau saya baca entry BoR gitu saya selain nyari OC saya gimana perannya, saya juga pengen tahu gimana porsi OC penulis. Beberapa ada yang pas, ada yang malah nyolong spot light (a.k.a Lupa kalau ada OC grup) dan lain lain.

    Mbah amut ini masuk ke bagian, "Lu ngapain aja?"

    hehehe, meski saya suka gimana narasi mengalir dan plotnya lumayan. Tapi tanpa keberadaan Mbah Amut jadi berasa ini bukan entry dari Mbah Amut

    Nilai dari WIlliam A. Anderson : 7

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      iya nih. saya juga ngeh sama masalah ini. Jadi inget BoR V Ronde Prelim. Kalau kemarin kan terlalu fokus ama interaksi karakter jadi lupa plot.

      Kalau di sini jadi lupa karakter utama u,u

      Ke depannya akan berusaha diperbaiki.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  5. Weleh2 kemana ini si Mbah kok jarang banget aksinya2
    pertama-tama ceritanya kocak, tapi pas ke tengah mulai dark feel
    Mungkin sebaiknya diramu dalam komedi aksi

    Nilai 8
    Penulis Dadakan / Arca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      mbahnya nyeri cangkeng, jadina ngarereuh wee ngarereuh #ngeles

      Dan memang niatnya mau komedi gelap dengan pembawaan santai, tapi kayaknya plotnya terlalu serius ya?

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  6. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Lumayan = 1
    Enjoy : Lumayan = 1
    EYD : Baik = 1,5
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 1 + 1 + 1,5 + 2 = 7,5
    Karena tidak boleh koma jadi dibulatkan menjadi 8

    Beberapa poin berkurang karena si Mbah kurang banget dapet peran di entri ini.

    NewbiDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      Maap mbah kurang dapet spotlight di sini, nanti diperbaiki ke depannya u,u

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  7. pembukaannya masih sama seperti prelim ya tapi ceritanya lebih berat. di anatolia ada senam rutin. hahaha kaya industri aja. saya suka pas heppow ngejar bebek. heppow jadi imut banget beneran kaya anak kecil. pas bagian nenek martha saya sempet bingung cahyo itu perawat panti jompo apa nama tongkat selfie yang bisa bicara? mungkin karna saya bacanya ketenggang agak lama jadi ingatan saya agak rancu juga dengan entri-entri lain.

    nggak nyangka juga di sebelah gurun ternyata ada pemukiman. jadi mbah amut nggak jadi nginep di gurun deh.

    mbah. bagi-bagi tahu bulatnya dong, saya jadi pengen juga disodorin tahu bulat sebanyak itu. sekian dulu dari saya. maaf nggak bisa banyak komen karna bingung mau ngomong ara ja. 9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      cahyo itu tongkat selfie sakti yang bisa bikin nenek berubah.

      nanti dikasih tahu bulat dadakan yang banyak, tenang aja ;)

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  8. Keren banget mbah (Y) sudut pandang mbah amut khas banget sampe ditunggu terus waktu ganti fokus ke Akari Karia atau Saraph (walaupun bisa dibilang tiap pergantian scene lancar dan bisa dinikmati)

    Gambaran kediktaroran Happy Holy Family itu menarik banget buat dijelajahin, pake ada senam paksa segala XD

    Tapi yang paling keren menurut saya itu cara memotret gimana represifnya HHF ke skala yang lebih minor, atau ke golongan rakyat biasa yang secara langsung ngerasain penderitaannya, dan bikin efeknya lebih kena. Walopun sayangnya cuma dijabarin sebentar sih, padahal pasti masih bisa lebih seru lagi kalau bagian itu dibangun pelan-pelan. Mungkin pengaruh batasan words yah, jadi bisa dimaklumi.

    Nilai 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      Iya nih, karena cuma boleh 15999 kata maksimal, bagian penindasan HHF sebagian aja, ga semuanya. Sebenernya masih banyak lagi bentuk penindasan HHF, tapi bisi gak fokus nanti ceritanya ama yang lain ga dapet jatah. Ya udah sebagian aja.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  9. WHOOOAAHH CERITANYA BENAR BENAR MEGA!

    Sesuai ekspektasi saya sangat puas bacanya, pembawaan serta narasinya asik. Begitupula beberapa emosi yang berusaha di bangun pun dapat.

    Untuk plot cerita juga bagus, hanya saja saraph yang menghancurkan anatolia itu sedikit nanggung entah dibagian mananya?

    Selain itu yang menambah epic adalah ilustrasi nya di setiap bab, ini adalah nilai plus.

    Nilai 9

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m

      Iya, bagian saraph saya sadar digarapnya keburu-buru, padahal bisa dibuat lebih epic lagi. Memang kutukan dedlener begini nih u,u

      Terus takut ngelewatin batas kata juga sih, jadinya segitu aja.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaaru dan Mbah Amut

      Hapus
  10. "É-éééhh!! Dombanya épilépsi lagi, mbah!!"

    "GUSTI NU AGUNG!"

    "ALAMAAK!"

    Intermezzo, asli nahan ketawa xD
    Juga, agak canggung di kapital merah - MEGA PLEEEER! - bersyukurlah karena scene epic itu gak terlalu rusak karena arti katanya. /slap

    Untuk cerita dan narasinya, saya berasa diajak ngomong sama kakek-kakek yang keriputnya semuka. Toh, kesannya jadi ancient(?) banget imo. Dan lagi, illust-nya sederhana tapi epic. Saya suka banget.

    Sayangnya, mbah amut malah kurang disorot, padahal saya suka. Dialognya sama NGL (nwu ge lo) juga menghibur.

    8/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, makasih udah mampir nyak.

      Punten euy, derita logat Sunda mah kitu. Mun nyebut hurup "F" teh kabaca Ep wae Ep. Jadi weh ambigu. Niat mah hayang keren "Mega Flare" kasebutnya Mega Pler jadina.

      Nu eta mah punten euy, hese di lidahna, keseleo weh mun rek maca "F" teh.

      TTD

      Mbah Amut

      Hapus
  11. "I hate Global Warming..." lol

    Dari awal baca udah kerasa ini khas entri Mbah Amutnya. Soalnya berasa sangat nyambung gitu si Mbah cerita dan nyapa pembaca. Bahkan nyapa pembaca baru yg belum baca prelim.

    Plot konsisten dan banyak hal-hal yang memancing gusti nu agung untuk keluar dari mulut saya, tolong...

    Apa itu disodok sodok heppoooowww.

    Interaksi Mbah Amut saat masuk Martanira itu lumayan bikin geli. Ses, akika... Gusti...

    Walau makhluk2nya kacau, tapi entrinya ga kacau. Malah sempet ada distrust dulu waktu sama Namol buat nentuin Mbah ikut ato ngga.

    Liat ilustrasi bagian2 cerita yang ada, bikin saya serasa ada di galeri seni. Dan tentu saja saya kurang mengerti dengan tulisan2 Rusianya. Tulisan apa ya namanya.

    Si Dark Pales muncul lagi! Kali ini dengan ilustrasi bentuk metamorfosa yang keren!

    Dan yang saya tunggu-tunggu dari Mbah Amut ternyata muncul...

    Mega Pleeeeerrr!

    Sialan. Tulisannya gede banget. Mega banget. Untung gak typo. Mega pleeerrrrr! Mega plerrrrrr! Wow aku senang.

    Thanks udah baca Pucung! Semoga, Pucung nanti bisa ketemu Mbah sama Arca dan sama Nenek Selfie yang barusan ngeparodiin iklan budi baper. Biar saya ada alasan bisa nulis Pucung berbasa Sunda. ;))

    9!

    Pucung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir m(_ _)m
      tadinya mau pakai mega p*ler tapi nanti ditegur KPI. Jadi ga aja.

      Iya, mau menanti ketemu pucung juga biar bisa entri hebring pul sunda-sundaan.

      Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.