Senin, 01 Agustus 2016

[ROUND 1 - 12L] 27 - RU ASHIATA | TAWA SURAM

oleh : N.V

----


================================================================
[ Bab ll – Tawa Suram ]
================================================================


[ Prologue ]



"AAArrrghhhh!!!!"
"TiiidaaaaAAAAK!!"
"Ini…tolong, tidaaaaak!!!"

Suara teriakan memilukan terdengar dari rekaman video yang sedang ditayangkan dari ponsel di tangan Luna. Tidak terlihat jelas apa yang terlihat di layar, karena gambarnya terus berguncang tak karuan sejak teriakan terdengar direkaman tersebut.

Hingga goncangan di layar di layar diikuti teriakan tersebut berhenti. sudah berubah menjadi guci tanah liat. Bahkan abstrak seperti buatan orang yang baru membuat guci tanah lihat.

Luna terus memasang wajah tegang dicampur ketakutan dengan apa yang dia lihat saat ini dari layar ponsel ditangannya sekarang. Sebuah rekaman video amatir yang sempat diabadikan Ru, kakaknya, saat berada di tempat yang lebih terlihat seperti museum seni.

Namun bukan museum seni pada umumnya, dimana para pengunjung menikmati koleksi seni yang ada disana. Justru terlihat suasana berat diantara orang-orang disana.

Gadis ini meringis ketakutan.


┌ ─
│         - 1 jam lalu –

Sofa panjang hitam dari kulit, meja dengan bidang kaca bening, TV flat 21 inch, perabotan yang selalu berada di ruang tamu apartemen milik Ru di Tokyo, negara Jepang. Tapi secara ajaib, apartemen kecilnya ini terhubung sangat dengan kota Humberg, tepatnya di distrik gudang.

Di ruang yang sama, kedua perempuan kembar ini saling duduk berhadapan diantara meja kaca yang membatasi mereka.

"...bisa jelaskan sekali lagi?" tanya Luna dengan mimik wajah yang terpasang jelas gadis ini kebingungan dengan cerita panjang Ru.

"Hah.. sudah kuduga kau ga ngerti. Aku juga tidak." keluh dari Ru memijat pelan keningnya. Ia sudah menduga kalau ceritanya ini akan dianggap suatu lawakan oleh adiknya. Tapi yang baru diceritakannya itu adalah nyata.

Luna terus mengeryitkan keningnya menatap heran kakaknya. Semua cerita yang baru saja didengarnya sama sekali tidak masuk akal. Turnamen semesta? Menjadi guci? Memang bisa ya orang diubah menjadi guci?

"Lalu apa hubungannya dengan keanehan yang terjadi di Hamburg?" tanya Luna kembali.

"Hah.. aku pusing menjelaskannya kembali.." Ru melirik malas lawan bicaranya. "Ini, bingkai mimpi. Intinya, kita tidak ada di dunia nyata lagi. Bahkan aku sempat mempertanyakan kau ini nyata atau tidak. Soalnya hanya tinggal kau saja yang ada di bingkai mimpi-ku sendiri."

Bicara soal keanehan di kota yang mirip dengan kota kelahiran mereka, tidak hanya hilangnya semua orang di kota hingga hanya tersisa mereka berdua. Termasuk tempat ataupun bangunan yang harusnya tidak pernah ada di Hamburg, contohnya apartemen kakaknya ini yang harusnya ada di Tokyo.

"Seandainya aniki disini.." Ru berrgumam pelan dengan nada mengeluh. Karena Tendou, kakak tirinya yang sebenarnya menyelesaikan ujian prelimnya sebelum ini, pasti tahu solusi yang sedang mereka hadapi. Sayangnya orang yang dimaksud menghilang dari bingkai mimpinya.

"Ah, begini saja." Ru mengeluarkan ponselnya dan meletakannya di atas meja kaca, tepat di hadapan Luna.

"Kau buka saja file video paling pertama di folder video yang ada di galeri. Itu rekaman saat aku disana. Kau bisa lihat sendiri sampai kau akan, wah~ Aku tercengang~" Ru berujar dengan nada girang, itu membuat kening Luna megkerut keheranan dengan mimik lawannya.

Luna mendesah pasrah. Dia langsung saja mengambil ponsel milik Ru, tidak sabar untuk membuka video yang dimaksud. Tapi baru saja dia akan membukanya, sebuah notifikasi menghalangi, mengatakan energi baterai ponsel tersisa 5%, dan memperingatkan untuk segera mengisi ulang energi ponselnya.

"Oh, hampir saja lupa." Ru menyela, dan dia sudah berada di pintu keluar bersiap beranjak pergi meninggalkan Luna.

"Chargernya ada di laci dekat TV. Aku ingin lihat-lihat dulu kota. Dah sayang~" dengan senyum semringahnya, Ru melambaikan tangannya sekilas pada Luna, dan pergi begitu saja dari apartemennya, diikuti seekor domba yang mengekor di belakangnya.

"Du arschloch... (you asshole)" Luna mengumpat pelan.
─ ┘


Layar ponsel ditangannya disentuh sekilas, menghentikan video yang belum selesai diputar. Tiga kali menonton video yang sulit dipercaya secara logis, cukup membuatnya mengerti sebagian besar penjelasan keanehan di kota ini.

Walaupun begitu, rasanya Luna tidak ingin mempercayai apa yang terjadi pada mereka sekarang. Terlebih lagi, ini menyangkut keadaan kakaknya nanti kalau dia akan berakhir menjadi guci tanah liat. Tentu saja dia tidak ingin hal itu terjadi.

Luna menjatuhkan punggungnya ke sandaran empuk sofa, mendesah resah. Ruang tamu yang hening cukup membantunya menenangkan diri dari pikiran berat yang daritadi terniang dikepalanya.

Namun decitan halus yang terdengar dari arah pintu depan, membuatnya reflek bangkit dari sandaran sofa. Sepertinya itu kakaknya yang baru saja kembali dari jalan-jalannya.

"Lama sekali kau per--... Ng?" sebelum sempat melempar protes, ternyata hanya domba kakaknya yang dia lihat kembali.

"Mbaaaa!" si domba mengembik menatap Luna dengan polosnya. Kening gadis ini mengkerut heran, kenapa hanya dombanya yang kembali?

Tidak sampai sana Luna kebingungan. Domba kecil itu mendekati Luna dan sempat mendorong pelan kakinya dengan kepalanya beberapa kali. Lalu berjalan kembali ke pintu keluar.

"Mbaaaa!" domba itu lagi-lagi mengembik menatapnya, dengan badan berbulu lebatnya condong ke arah pintu keluar.

'Apa maksud domba itu menyuruhku mengikutinya?'


***


"Kyahaaa~ Cerdiknya si imut ini~~ Bahkan lebih cerdik dari kucing tetangga tukang maling jemuran~" Ru terus mengomel semringah memeluk gemas tubuh domba yang sedang dipeluk dan ditindihnya seperti sebuah guling.

"Mbaaa~" si domba seolah terdengar mengembik senang. Bahkan domba kecil itu nampaknya tidak keberatan ditindih oleh tubuh Ru yang terlalu besar untuk dinaiki.

Sementara Luna hanya bisa berdiri mematung didekatnya menatap heran dengan kelakuan Ru.

Ternyata memang benar, domba ini memang mengajaknya ke tempat kakaknya. Lebih tepatnya, Ru yang menyuruh domba itu mengajaknya hingga berhenti di depan mall, jaraknya tidak jauh dari bangunan di distrik gudang yang tersambung dengan apartemen kakaknya.

Luna mulai memahami kondisi yang ada di bingkai mimpi ini, semesta yang ditempatinya ini memang terlihat mengecil daripada jarak asli di semesta tempat aslinya. Padahal jarak asli distrik gudang dan area pertokoan hanya dapat ditempuh oleh kendaraan bermotor, atau naik kereta api.

"Rune.." sahut Luna dengan malas. Tapi panggilan nama pemberian ayah mereka, malah membuat Ru langsung menatapnya tajam yang membuat Luna keheranan.

"Bukannya aku sudah bilang jangan panggil aku lagi dengan nama batu itu?" protes Ru dengan wajah yang nampak jelas sebal. Luna menghela nafas pasrah, entah kenapa kakaknya ini enggan dipanggil dengan nama aslinya.

"Umm.. sis?" koreksi pelan Luna dengan muka masam.

"Ya sayang? " Ru langsung memasang kembali seringai segar dari wajahnya. Tapi dengan panggilan anehnya itu pada Luna,  membuat urat empat persimpangan mencuat dikeningnya.

"Apa kau memanggilku kesini dengan dombamu itu.. untuk itu?" Luna menunjuk dua buah troli beberapa meter disamping Ru. Dari karung, dus ukuran kecil sampai sedang, kaleng-kalengan, sisanya terbungkus di dalam kantung plastik yang diikat, semua menumpuk penuh di dalam kedua troli belanja tersebut.

"Begitulah. Soalnya jalan dari sini ke markas menanjak." ucap Ru.

Tumpukan barang paling atas di troli mulai diperiksa oleh Luna. Kebanyakan benda-benda yang menumpuk makanan cepat saji, seperti bubur gandung dan kaleng makarel. Mata berwarna hitam Luna pun sempat menangkap ada power bank yang masih utuh dalam kotak yang tersegel stiker.

"Untuk apa semua ini?" kening Luna mengkerut.

"Keperluan bulanan. Kebetulan stok di apartemen sudah habis." Ru memasang wajah polos dengan jawabannya yang juga polos. Luna tertunduk dengan aura suram mengelilingi kepalanya, wajahnya disembunyikan dibalik kedua tangannya.

"Sis.." Luna mendesah resah. "Apa kau lupa, kalau kita sekarang ini bukan di dunia nyata?"

"Tentu saja tidak. Ini bingkai mimpi."

"Lalu untuk apa kau masih santai belanja untuk stok bulanan?"

"Daripada stress memikirkan itu terus sampai botak? Kita tidak tahu sampai kapan akan terjebak disini kan?" dengan enteng Ru mengatakannya, dia melepaskan pelukan dari dombanya dan beralih ke salah satu troli. "Lagipula, semua ini gratis~"

Gadis dengan potongan pendek rambutnya itu tidak menjawab, dan kembali menatap sinis kembali Ru yang mulai pergi mendorong troli belanjaan, diikuti dombanya yang terus mengekor dengannya. Kembali mendecak sebal, dilirikan troli yang lainnya yang menunggu didorong olehnya.

***

Aurora berwarna warni yang dilihat pertama kali di langit kota Hamburg tak terlihat lagi. Bahkan langit nampak seperti bidang kosong berwarna hitam pekat tanpa ada penerang setitikpun di langit. Tidak hanya langit, tetapi kota ini sungguh gelap gulita sekarang.

Keheningan melanda kota mati ini. Bahkan suara angin pun tidak terdengar berhembus sama sekali. Sampai api pada sebatang lilin yang menyala di atap bangunan gudang, terlihat seolah terhenti waktu tanpa ada angin sedikitpun yang menggerakan api kecil yang menyala di sumbunya.

Api kecil tersebut terus diperhatikan Ru dengan tatapan tajam, berkonsentrasi untuk menggerakan api tersebut dengan pengendalian api yang  dimilikinya. Namun beberapa menit menatapnya dengan konsentrasi penuh, api tersebut tidak ada gerakan sedikitpun.

Ru menghela nafas, hingga api sempat bergoyang karena hembusan nafasnya. 'Ayolah, aniki akan membunuhku kalau tahu aku tidak bisa mengingatnya lagi.'

"Mbaaaa!"

Domba yang telungkup di belakang gadis ini menemaninya tiba-tiba mengembik, membuat Ru kehilangan moodnya untuk kembali mengingat pengendaliannya.

"Iya iya.. aku akan beri makan.. setelah aku mengingat kembali bagaimana cara mengendalikan ap—"

"SIS!!"

Teriakan Luna disertai suara pintu dibanting keras membuat jantungnya serasa melompat keluar. Saking kagetnya, api pada lilin berkobar besar seperti baru saja tersiram bensin beberapa detik. Sayangnya Ru tidak menyadarinya.

Luna tergesa-gesa berlari menghampiri Ru, seperti baru saja dikejar kawanan anjing yang mengidap rabies. Mimik panik tercampur rasa lelah sehabis berlari menaiki anak tangga menuju lantai tertinggi gedung penyimpanan barang terlihat jelas pada wajah Luna yang masih mengatur nafasnya.

"Sayang.. Kau tidak perlu berteriak seperti itu sampai aku jantungan." Ru menoleh malas ke arah Luna, sambil mengusap dadanya yang masih berdebar.

"Berhenti memanggilku sayang!" tandas Luna sebal. Diserahkan ponsel milik Ru di tangan Luna tiba-tiba. "Ada pesan aneh yang masuk."

"Pesan aneh?" Ru yang penasaran langsung membuka pesan yang dimaksud. Isi pesan tersebut tercetak tidak menunjukan alphabet, melainkan simbol-simbol asing seperti sangsekerta kuno.

"Benar aneh. Aku tidak ingat punya font seperti ini."

"Sis.. bukan itu masalahnya!" bentak Luna.

Mengabaikan adiknya yang emosian ini, sepasang iris hitam matanya memperhatikan seksama simbol-simbol tersebut. Memang aneh, tapi Ru dapat membaca tersebut dan mengerti arti pesannya, seperti tertera begitu saja pengetahuan tentang bahasa tersebut. Bila diterjemahkan, isinya seperti ini.


┌ ─
│         Dear Reverier,

Ronde pertama turnamen Battle of Realm telah dimulai. Domba yang diberikan oleh Ratu Huban akan membuka portal untuk mengirim peserta ke semesta tempat turnamen terselenggara, dimana kalian dapat membuat mahakarya berikutnya.

Pastikan kalian menjaga domba kalian. Bila domba kalian terbunuh, kalian tidak dapat kembali ke museum semesta, maupun bingkai mimpi kalian sendiri.

tertanda,       
Kurator Museum Semesta   │
─ ┘


"Ho.. patut. Ini dari penyelenggara turnamen.."

Ru bangkit berdiri dari posisi duduknya di lantai, sebelum memberikan ponselnya kembali ke tangan Luna. Helaan nafas yang terdengar resah Ru hembuskan.

"Bagaimana ini...." Ru bergumam cemas dengan pesan yang baru dibacanya. Turnamen sudah dimulai, tapi kemampuannya tidak bisa digunakan dengan biasanya. Dan masih ada masalah lain di benaknya sebelum dia siap untuk pergi mengikuti turnamen ini.

Luna yang melihatnya juga ikut cemas melihat tingkah saudarinya. Dia tidak ingin kalau kakaknya gagal dan berubah menjadi guci buruk rupa, seperti yang terjadi pada video yang pernah dilihatnya.

Gadis itu berpikir sejenak. 'Apa aku boleh ikut? Rune mungkin tidak bisa melakukannya sendiri.'

Luna mengambil nafas, memberanikan untuk bertanya. "Sis. Apa aku--"

"..baju yang kusiapkan untuk berangkat masih direndam deterjen.. Masa aku berangkat pakai blazer ini? Aku juga lupa beli gas untuk masak tadi.." gumaman Ru terdengar jelas, hingga mimik wajah Luna yang cemas hilang seketika.

"Oh," Ru menoleh pada Luna. "Tadi kau mau ngomong apa?"

"...apa kau  pernah merasakan hidungmu dipukul sampai patah?"

***



[ Chapter 1 ]

"Jangan berpetualang dengan perut kosong. Aku serius."


Berbagai jenis flora tumbuh dengan subur dan lebat di sebuah pulau misterius yang berbentuk lonjong dengan luas pulau sekitar delapan kilometer kubik. Terdapat rahasia yang tidak pernah diketahui oleh para pelaut yang pernah menepi di pulau ini, dan berusaha menguasai pulau yang nampak masih asri dan menyimpan banyak misteri.

Namun rahasia itu selalu dijaga oleh penghuni asli pulau ini, yaitu para fauna yang mungkin orang-orang akan mengatakan ini hewan mutasi atau sebangsanya. Tapi begitulah hewan-hewan yang sudah menetap di pulau ini.

Disinilah tempat terdamparnya Ru dan Luna setelah tersedot portal yand diciptakan domba pemberian Ratu Huban. Ru nampak tidak membawa apa-apa dengan blazer dan rok hitam yang selalu dia kenakan. Sementara Luna membawa tas gendong yang disuruh Ru bawa olehnya. Entah apa saja yang dimasukan kedalamnya, karena Luna belum sempat melihatnya.

Namun sebelum mereka bertanya-tanya dimana mereka sekarang, si domba kecil terlihat menunjukan perilaku aneh.

Seperti mengembik tak karuan sambil berjalan sempoyonngan memutari kedua kaki gadis kembar ini, sampai jatuh bangun terus menerus. Kalau domba ini manusia, dia seperti baru saja mabuk karena minuman keras.

Melihat tingkah aneh si domba, Luna langsung menatap curiga saudarinya. Karena Ru memang sempat memberi makan si domba sebelum mereka berangkat.

"Sis... kau baru kasih makan apa domba ini?"

Dengan senyum yang terus terpasang dibibirnya tanpa lelah, Ru menoleh pada adiknya "Apa ya.. Weed?"

Luna mengernyitkan keningnya. "Maksudmu, weed (rumput) atau... weed?"

"Menurutmu yang mana?" mimik wajah jahilnya langsung terlihat jelas, ketika seringai kecil khas Ru terpasang bagai senyum seekor rubah.

Luna menepuk keningnya cukup keras. "Sis.. aku memang memintamu memberi makan domba.. Tapi bukan berarti memberi ganja juga."

"Aku memang memberi makan rumput. Tapi dia juga tak sengaja menghisap asap ganja yang kubakar tadi. Jadi sekalian saja nyimeng berdua. Ahaha.." Ru tertawa dengan nada hampa.

'Ya Tuhan.. kenapa aku punya saudara seperti ini?'

Domba yang masih berjalan sempoyongan karena mabuk itu diangkat oleh Ru. Dan Ru baru menyadari, domba kecil ini ringannya seperti bantal berbulu.

"Aaaa~ Ingin sekali tidur dekapin kamu kasur~" guman riang Ru memeluk gemas dombanya.

"…kasur?"

"Aku bingung panggil apa pada domba ini. Jadi aku panggil kasur saja."

Luna tertunduk menekan pelan keningnya. "Tolong beri panggilan yang lebih enak dipanggil."

"Bantal?"
"Sis…"
"Gumpalan bulu?"
"Argh.. terserah kau saja!"

Sang adik pun akhirnya menyerah dengan sifat kakaknya ini. Sayang ia tidak tahu kalau Ru yang terus terpasang senyum rubah ini, malah menikmati bagaimana espresi kesal Luna dibalik sifatnya ini.

"Ah. Daripada membahas hal itu, lebih baik kita bergerak sebelum ada hewan buas yang  menerkam kita untuk dijadikan makan malam mereka. Terutama dengan ada yang di sana." Ru menunjuk semak-semak beberapa meter di sebelah kanannya tanpa menoleh.

Saat Luna menoleh pada sesuatu yang ditunjuk Ru, semak-semak itu sekilas bergerak gemerisik, seperti memang ada sesuatu di sana. Tapi karena terlalu pusing mempermasalahkan mabuknya si domba, dia sempat lupa kalau mereka sekarang berada di sebuah hutan belantara.

"Ayo. Anggap saja kita sedang kemping." Ru mulai melangkah memimpin kelompok kecil ini.

Mereka berdua-- maksudnya bertiga bersama si domba, mulai bergerak dari tempat mereka pertama sampai ke pulau ini. Entah di bagian pulau mana sekarang mereka berada. Toh diam saja di tempat ga akan membantu apa-apa kan?

"Bhaaahahaa~~" si domba kembali menggembik dengan riang di gendongan Ru. Sepertinya para fauna terpancing ke arah mereka karena embikan tak terkendali dari si domba.

Firasat Luna mulai tidak enak. Karena selama dia berjalan mengekor di belakang Ru, dia terus mendengar suara geraman. Dia tidak mau menoleh ke arah lain selain punggung kakaknya. Entah kemana Ru membawanya berjalan, tanpa peta, tanpa kompas, melewati bebatuan dan sulur-sulur pohon. Geraman yang terus membuat Luna takut terus terdengar.

Sampai Ru mendadak berhenti saat mereka diantara tumbuh-tumbuhan dengan dedaunan lebar hampir semeter, kakaknya langsung menyuruhnya menunduk didekatnya.

"A-ada apa?" tanya Luna berbisik. Dari posisi mereka sekarang, si kembar ini seperti sedang bersembunyi dari sesuatu diantara dedaunan. Bahkan mulut si domba terlihat dibekap tangan Ru agar tidak mengembik.

"Luna. Kau masih bisa mengendalikan apimu kan?" tanya Ru pelan tanpa menoleh pada Luna disebelahnya. Sepasang iris hitamnya menatap tajam sesuatu dari cela dedaunan tempat persembunyian mereka.

Mendengar pertanyaan kakaknya, Luna membenarkan sepasang sarung tangan hitamnya. Mungkin mereka akan bersiap menyerang duluan, sebelum diserang mahluk yang daritadi mengikutinya. Tapi sebelum Luna menjawab, suara geraman kembali terdengar jelas. Terlalu jelas, seolah geraman itu tepat di mana mereka sembunyi.

Tangan Ru membuka sedikit cela dedaunan di depan Luna, hingga dia dapat melihat apa yang daritadi dipantaunya pada adiknya. Seekor babi hutan kecil terlihat sedang tenangnya memakan seperti buah yang tergeletak di dekat akar pohon yang menjalar.

"Nanti kau buat api unggun. Kita akan masak babi bakar." ucap Ru dengan mata berbinar. Terlihat dua lembar kartu hitam sudah terselip di jemari tangannya, senjata yang disiapkan untuk berburu.

'Jadi daritadi itu SUARA PERUTMU?!'


***


Di sisi lain pulau, terdapat hutan dimana pepohonan tumbuh lebih lebat dari pepohonan di area lain. Saking lebatnya dedaunan yang tumbuh di pepohonan sinar mentari sulit menembus celah lebatnya dedaunan ke bawah rindangnya pohon. Hingga area tersebut selalu gelap. Bahkan  di malam hari tempat ini gelap gulita bagai dalam gua.

Mungkin hanya orang yang takut cahaya seperti vampire yang akan berjalan di area gelap seperti ini di siang hari. Seperti Nora, gadis berjaket ungu.

Sejak sampai di pulau ini, Nora selalu menghindari spot yang bercahaya di hutan tersebut. Bahkan saat dia menemukan jalan keluar dari hutan lebat nan gelap tersebut, Nora selalu berbalik arah untuk tidak meninggalkan area gelap hutan, karena matahari masih berada tinggi di langit.

"Ahh.. lapar.. LAPAAAR!!" protes Nora terus soal perutnya. Seandainya ada hewan atau mahluk lain di hutan ini, dia akan segera menyergapnya. Bodohnya, gumamannya yang terus diucapkan keras itu malah membuat penghuni hutan gelap ini terus bersembunyi dari Nora.

Domba pemberian Ratu Huban tetap mengikuti gadis ini. Namun mengingat gadis ini beberapa kali berniat untuk memakannya, domba ini tetap menjaga jarak sekitar empat meter dibelakang Nora. Apalagi keadaan perut gadis ini sekarang dalam keadaan lapar.

"Kenapa tidak makan saja domba itu?" ucap Nora kembali sambil melirik ke arah dombanya dibelakang. Domba tersebut sempat mengembik panik, sebelum lari dan bersembunyi di balik batang pohon.

Nora menggelengkan keras kepalanya beberapa kali. "J-jangan Nora.. di hutan ini pasti ada hewan yang bisa diburu disini..."

Benar saja. Diantara tekanan batin Nora memutuskan untuk memakan dombanya atau tidak, insting pemburunya dapat merasakan ada kehidupan lain didekatnya untuk dijadikan makanannya.

Suara yang mirip tapak kaki kuda yang terdengar samar berlari, membuat Nora reflek menoleh ke sumber suara. Walau tempatnya berada sekarang cukup gelap, matanya yang mudah beradaptasi dengan tempat gelap melihat seekor rusa dengan tanduk bercabang bagai dahan pohon berlari melompat-lompat.

Nora segera bersiap  di balik sebuah batang pohon, menunggu saat yang tepat untuk menyergap rusa tersebut saat berpapasan dengannya.

Saat si rusa hampir berpapasan dengan gadis ini, ink-nya yang membentuk ular langsung melesat ke rusa dan melilit kaki belakangnya, hingga si rusa yang sedang melompat seketika jatuh tersungkur ke tanah.

Di saat jatuh tersebut, Nora langsung menindih tubuh rusa tersebut untuk mengunci gerakan mangsanya. Tinta yang terdapat dalam botol di balik jaketnya tumpah ke tanah, dan perlahan merambat menyelimuti tubuh si rusa.

Namun si rusa yang masih hidup meronta hebat dari cengkraman Nora. Si rusa yang terus memberontak saat tintanya akan mulai proses mencerna, hingga tinta milik Nora berhamburan ke segala arah. Hingga Nora yang lemas karena lapar tidak dapat menahannya lagi, sang rusa pun berhasil lepas dan cengkraman gadis ini.

Sang rusa pun kembali bangkit dan berlari terbirit-birit dari Nora, dengan sekujur tubuhnya menjadi berwarna ungu karena tinta yang sempat menyelimuti sekujur tubuhnya.

"Sial.." Nora mendecak karena mangsanya lepas. Dia masih belum ingat bagaimana mengendalikan ink-nya seperti biasa, seperti memadatkannya menjadi panah atau belati untuk membunuh buruannya. Itu sebabnya buruannya dapat lepas begitu saja darinya.

"NORA LAPAAAAR!!" teriak gadis ini mengeluh akan keadaan perutnya. Teriakan tersebut membuat dombanya semakin ketakutan menjauhi si gadis yang kelaparan.

Suara tapak kaki kuda kembali terdengar dari asal rusa itu datang. Namun kali ini bukan hanya seekor rusa yang terdengar, tapi terdengar gerombolan besar yang datang. Hingga Nora merasa pijakan kakinya terasa bergetar.

Dengan cepat gadis ini berlari ke arah si domba dan digendongnya, sebelum Nora menyingkir dari jalan yang dikiranya akan dilalui pasukan tersebut bagai sungai deras yang mengalir saat hujan badai.

Benar saja firasat Nora. Kumpulan besar rusa yang jumlahnya puluhan berlarian terbirit-birit. Tidak hanya rusa, bahkan sekilas hewan unik yang belum pernah dilihat Nora sebelumnya, seperti banteng bertaring dan gajah bertentakel berlari diantara kawanan rusa.

Hingga dedaunan pada pohon sempat merontokan daun-daun keringnya akibat tanah di hutan tersebut terus bergetar karena hentakan kaki para koloni fauna ini. Bahkan beberapa pohon sampai tumbang hingga cahaya matahari merebes masuk membuat hutan ini tidak gelap lagi seperti sebelumnya, membuat gadis yang takut dengan cahaya ini mundur ke tempat yang lebih gelap.

Saat bertanya-tanya kenapa hewan-hewan ini berlari, barisan hewan yang terlihat berlari kali ini sekarang berganti dengan pasukan koloni hewan yang mendominasi sejenis reptil, seperti buaya dan kadal dengan besar tiga kali lipat dari hewan yang mereka kejar, mengejar mereka dengan geraman buas mereka. Ukuran mereka terlalu besar untuk reptil pada umumnya, tinggi hampir dua meter dengan sisik mereka yang runcing dan tebal seperti kulit buaya.

Hingga keadaan hutan kembali hening, setelah beberapa menit para lautan fauna tersebut sudah keluar dari hutan, meninggalkan bekas jejak tak karuan dari jalur lintas yang pernah dilewati mereka. Ditambah beberapa ekor mayat hewan yang nampaknya menjadi korban terinjak dan keganasan monster reptil yang mengejar hewan-hewan tadi.

Melihat salah satu banteng muda sudah tergeletak tak bernyawa di tanah tidak jauh dari tempat Nora bersembunyi, Nora bergegas menghampirinya dan berlutut didekat .

"Ah, ini juga lumayan." guman Nora. Walau bukan mutlak hasil buruannya, ini lebih dari cukup untuk mengisi tintanya. Ink-nya yang masih berserakan akibat buruannya yang pertama lepas merayap berkumpul ke arahnya. Ink perlahan menyelimuti seluruh tubuh si banteng dan mulai mencerna daging banteng muda tersebut.

Untungnya kemampuan ini dapat diingatnya dengan cepat. Kalau tidak, dia akan kesulitan makan nanti.

Selama cairan hitam ink-nya mulai mencerna daging banteng, Nora menoleh ke arah pasukan fauna yang dikejar monster reptil tadi pertama datang. Dia dapat melihat asap mengepul keluar dari gunung berapi yang tidak jauh dari tempatnya sekarang.


***



[ Chapter 2 ]

"Tertawalah walau itu tidak lucu. Itu akan membuatmu awet muda."


Warna langit nampak sudah menunjukan warna jingga di ufuk barat. Para fauna yang takut dengan sinar dari bulan di kegelapan langit segera bersembunyi ke sarang mereka, karena sebentar lagi para hewan noctural akan bermunculan.

Hari belum menunjukan akan gelap, tapi asap kecil dari sebuah api unggun sudah ada yang menyalakan di tengah hutan. Bahkan asap tersebut membawa sedikit aroma gurih dan harum daging yang sedang dibakar dari api unggun tersebut.

Domba yang daritadi mengembil tak karuan karena mabuk, akhirnya tertidur di dekat hangatnya api unggun. Kalau dilihat bagaimana dia tidur, domba ini seperti bantal berbulu yang gemas untuk ditiduri.

"Ahh~ Kau menciumnya, Luna?" tanya Ru dengan riang, menatap enam tusuk daging yang ditancapkan mengelilingi api unggun dihadapannya, tidak sabar menunggunya agar matang dan segera masuk ke perutnya yang terus bergemuruh minta diisi.

Luna tidak menjawab, malah terdiam berdiri di belakang kakaknya saling memunggungi sambil melipat lengannya di dada, seperti cemberut. Karena kesal dengan sebelumnya, ditambah dia tidak tega melihat babi hutan muda yang sudah diiris menjadi potongan kecil.

"Sayang, makan malam sudah siap." goda jahil Ru dengan sengaja, sampai ia terdengar cekikikan.

"Kau mau aku lempar dari tebing ya?" ancam Luna. Namun gadis ini tetap tidak mau menoleh, selama sisa daging babi yang disembelih Ru masih tergeletak di pinggir api unggun. "Singkirkan dulu babi itu sebelum aku muntah.."

"Kau lagi PMS ya?" Ru menoleh dengan nada meledek. "Yasudah, coba ambil kantung plastik di tas. Aku akan simpan sisanya untuk nanti."

"Plastik?" Luna membuka tas gendong yang terus dijinjingnya untuk mengambil apa yang disuruh kakaknya. Namun Luna terdiam melihat apa saja yang ada di dalam tasnya.

Ada kantung plastik hitam yang masih tergulung rapi, entah ada berapa lembar. Namun selain itu ada pisau lipat, gulungan perban, satu pak kartu remi, botol air mineral, dan ada pula botol obat berisi tablet dengan label tercetak bahasa Jepang.

"Sis..?" Luna sedikit menoleh ke belakang, menatap heran kakaknya.

"Mana kantung plastiknya~?" Ru mengulur-ulurkan tangannya yang berlumuran darah.

Luna mendecak, dengan kasar memberikan kantung plastik pada kakaknya. Sebenarnya dia penasaran kenapa kakaknya memasukan botol obat pada tasnya, ditambah dia tidak tahu obat apa ini karena bahasa pada labelnya tidak dapat ia baca.

"Kau sakit apa, sis?" tanya kembali Luna. Ru terlihat sempat tersentak dari pertanyaannya saat sedang memasukan daging babi ke dalam kantung plastik.

"…sakit jiwa?" Ru menjawab asal diselingi tawa garing, selagi kembali memasukan seluruh potongan segar daging babi ke dalam plastik.

"Tolong jangan bercanda, sis.. Kau sak--" Luna menghela nafasnya. Namun sekantung daging yang sudah diikat langsung disodorkan ke depan mukannya memotong ucapannya.

"Masukan ke dalam tas." pinta Ru memasang seringainya. Luna kembali mendecak sebal ucapannya terus dialihkan. Tapi seringai khas kakaknya ini turun tiba-tiba.

"Jawab sis.. sebenarnya kau--"
"Ssst..!"

Kesekian kalinya, ucapan Luna kembali dipotong. Ru menoleh ke arah barat dimana matahari perlahan tenggelam dengan tatapan serius, seperti telinganya menangkap sesuatu dari arah sana. Namun Luna yang emosi malah mencengkram kerah kakaknya.

"Sis! Aku serius!"
"Aku juga serius… dengar."

Walau pendengaran Luna tidak setajam kakaknya, keadaan tempat mereka yang hening memaksanya untuk menajamkan pendengarannya. Entah apa yang baru saja ditangkap telinga kakaknya yang mengaku dirinya gila ini.

Suara gemuruh yang pelan tiba-tiba berbunyi, tepat dari arah perut Ru.

"…sekali lagi melawak, aku serius akan melemparmu dari tebing." Luna menatap datar wajah kakak dihadapannya.

"Ishh.. bukan perutku maksudnya." pipi Ru terlihat merona malu, perutnya berbunyi disaat tidak tepat. "Tapi itu.."

Ru menunjuk ke arah utara. Selain pepohonan, dari langit hanya terlihat asap hitam dari mulut gunung berapi mengepul di udara. Gunung itu terdengar bergemuruh samar dari tempat mereka berdua.

"Apa? Itu kan hanya suara gun—"

Suara lain langsung tertangkap sebelum Luna menyelesaikan ucapannya. Gemerisik semak-semak yang terdengar jauh dari mereka, perlahan semakin terdengar. Luna perlahan melepas cengkraman kerah kakaknya.

Sesuatu melompat keluar dari semak-semak dari arah utara, seekor rusa yang di sebagian besar tubuhnya terdapat bercak ungu. Rusa tersebut berlari berpapasan dengan mereka begitu saja ke arah selatan.

"Sepertinya aku terlalu khawatir itu serigala hutan. Ahaha…" tawa yang terdengar canggung Ru keluarkan dengan senyumnya yang kikuk. Luna memijat keningnya yang kembali pening.

"Mbaaaa!!"

Embikan dari dombanya yang sejak kapan sudah bangun tiba-tiba mengagetkan mereka. Domba itu terus mengembik cemas menatap kedua gadis disana bergantian, seperti ingin memperingatkan sesuatu.

"Apa domba masih mabuk?" Luna mengernyitkan keningnya kebingungan, karena tidak dapat membaca tingkah domba kecil ini. Namun saat menoleh ke arah Ru, dia menunjukan raut cemas.

Ditengah-tengah rasa bingung Luna dengan espresi Ru dan dombanya, suara gemuruh kembali terdengar dari arah dimana rusa tersebut datang. Bahkan gemuruhnya sampai menggetarkan permukaan tanah yang mereka pijak dan merontokan satu persatu dedaunan dari pohon disekitar mereka.

"Lari!" Ru langsung mengangkat domba kecilnya dan bergegas membawa dombanya ke balik semak belukar tinggi di arah barat api unggun, diikuti adiknya yang hanya bisa mengekor pada kakaknya, mempercayai firasat Ru.

"Ah, tunggu?!" Ru berhenti begitu saja, berbalik dengan raut panik ke arah tempat api unggun yang baru mereka tinggalkan sekitar delapan meter dari tempat mereka sekarang. "Aku lupa bawa--"

Namun sebelum Ru dapat kembali, kawanan besar hewan berbagai jenis sudah datang berlarian tak terkendali, kawanan hewan yang sama dengan yang dilihat Nora. Jumlah mereka lebih sedikit dari sebelumnya, saat masih melintas area hutan paling gelap di wilayah utara pulau.

Penyebab mereka berlari masih sama, melarikan diri dari pasukan monster reptil yang mengejar mereka yang sudah sebagian besar terbunuh. Mereka menerjang apa saja yang ada dihadapanannya. Bahkan api unggun yang mereka buat sudah padam terinjak-injak oleh kawanan hewan tersebut.

Terutama…

"Daging bakarkuuu!" teriak Ru dengan nada yang terdengar lebay, sangat menyayangkan daging bakar yang ditunggu-tunggu untuk perutnya yang terus meminta diisi.

"Tunggu sis?!" Luna langsung menahan tubuh Ru menghalangi kakaknya yang nekat untuk kembali.

"Tidaak!! Padahal dagingnya baru matang!"
"DEMI TUHAN LUPAKAN SAJA DAGINGNYA!!"

……

Suara gemuruh tapak kaki yang ditimbulkan para fauna tersebut terdengar sampai dataran yang lebih rendah dari tempat si kembar berada. Tepatnya di bawah tebing di tempat Ru dan saudarinya berdiri

Tanpa si kembar ketahui selama mereka bertengkar, sebuah tim yang terdiri dari tiga orang dan seekor domba, dalam perjalanan ke arah gunung berapi pulau ini menghentikan perjalanannya sesaat karena suara gaduh dari dataran tinggi di atas mereka.

Namun yang jelas terdengar mereka adalah dua suara wanita yang saling berseteru satu sama lain, mempertengkarkan hal yang sepertinya memang tidak penting.

"Lepaskan aku!"
"Itu cuma daging, Sis! Kau mau terinjak-injak sampai gepeng?!"
"Perutku yang kosong terus meronta rasanya lebih sakit daripada terinjak-injak!"
"Plis lah jangan gila disaat seperti ini !!"

Sebutir keringat dingin jatuh di kening ketiga orang ini, keheranan dengan suara pertengkaran tersebut. Sayang mereka tidak dapat melihat siapa kedua orang di atas mereka karena lebatnya dedaunan pohon yang tumbuh pada dinding tebing yang menurun dengan sudut sekitar delapan puluh derajat.

"Abaikan saja mereka." sosok pria pemimpin tim mereka, Sheraga, berjalan terdahulu dari kedua rekannya. Sepertinya

"Eh, tunggu kak!" sahut gadis dengan tudung merah muda bermotif bunga pada pemimpin mereka. "Kenapa kita tidak ajak mereka dengan kita? Sepertinya mereka menyenangkan."

"Mungkin itu bagus," Sheraga berhenti dan menoleh ke arah adik perempuannya. "Tapi kita tidak tahu siapa mereka. Bisa jadi mereka akan menyerang kita saat kita lengah."

"Tapi kak.." gadis muda bernama Shena ini menatap sayu kakaknya.

"Sheraga benar." pria ramping dengan rambutnya menutupi matanya menambahkan. "Kita tidak bisa percaya begitu saja dengan orang asing. Kemungkinan besar mereka peserta turnamen ini."

"Kak Orim juga.." keluh Shena. Di saat kedua sosok mentornya kembali berjalan tak memperdulikan kedua sosok yang bertengkar itu, ia menyadari tempat mereka terdengar lebih hening.

……

Pertikaian kedua gadis kembar ini terhenti. Begitu juga suara gemuruh dari lautan fauna yang berlari tadi. Para fauna tersebut sudah berlari menjauh ke arah hutan bagian selatan.

Tubuh Ru yang dipaksa bersandar batang pohon besar oleh Luna terlihat terengah-engah nafasnya. Begitu pula Luna, setelah bekerja ekstra mengendalikan amukan gila kakaknya, sampai keringat membasahi wajahnya.

Perlahan-lahan, Luna melepaskan pegangannya dari pundak kakaknya. Tak ada perlawanan lagi. Mungkin Ru sudah tidak ada tenaga lagi untuk mengamuk, dapat dilihat dari kulit wajahnya yang pucat pasi.

"Hah.. hah.. apa kau selalu gila seperti ini?" ucap Luna perlahan mundur dari Ru.

"Sebenarnya.. aku hanya ingin lihat bagaimana kau mengamuk. Haha.. ha.. ha…" Gadis serba hitam ini tertunduk lemas sebari mengatur nafasnya. "..aku butuh insulin.."

"Kau.. apa?"

Ru langsung tersentak dengan kata yang baru digumamkannya. "Maksudku, aku butuh sesuatu untuk mengganjal perut sebelum aku mengamuk lagi. Ahaha…"

Luna sempat menatap curiga kakaknya yang kembali tertawa, tawa yang dibuat-buat.

"Bodoh.. aku masih menyimpan sisa daging tadi." ucap adiknya, mencengkram cukup keras keningnya yang makin pening terasa.

'Hampir saja…' Ru mendesah lega. Untungnya Luna tidak curiga ucapannya tadi berhubungan dengan penyakitnya.

Kepalanya yang tertunduk membuat sepasang mata gelap Ru tertuju pada tanah pijakan adiknya. Dia baru sadar kalau mereka sekarang berdiri di pinggir tebing. Namun suara retakan tanah yang tertangkap telinganya yang tajam mengganggunya.

"Baik, baik.. Aku akan membuat lagi api unggunnya." Luna kembali menatap malas kakaknya. Sayang tidak menyadari soal retakan tanah di pijaknya.

"Tapi sebelum itu, kau yang—" tanah pijakannya bergetar sebelum ablas dalam beberapa detik, sontak saja Ru mencengkram dan menarik lengan adiknya cukup keras, hingga tubuhnya berhasil tertarik ke arah kakaknya.

Namun tenaga Ru yang lemas memaksanya mengunakan tubuhnya dan tumpuan kakinya saat menarik adiknya, dan membuat mereka berputar hingga posisi mereka bertukar. Luna terlempar dan menabrak batang pohon tempat sandaran Ru sebelumnya.

Sementara tubuh Ru terlihat sempat melayang karena melempar dirinya ke tebing saat Luna menoleh ke arah kakaknya. Kedua tangan Ru yang terulur padanya setelah melempar tubuh adiknya coba diraih oleh Luna.

Namun jarak tangannya terlalu jauh untuk diraih Luna, hingga tubuh Ru akhirnya melesat ke bawah, dimana hanya terlihat dedaunan lebat dahan bercabang pepohonan yang tumbuh di dinding tebing.

……

"Kita harus bergegas sebelum ada lagi kadal besar menyerang kita lagi." ucap Orim pada pemimpin tim mereka.

"Tidak. Lebih baik kita mencari tempat untuk beristirahat." Sheraga menatap ke langit yang mulai berwarna jingga. "Hari sudah mulai malam. Bahaya kalau kita berjalan di hutan dalam keadaan gelap."

"Ayo Shena." titah Sheraga melirik ke belakang pada Shena yang belum beranjak dari tempatnya, dan masih menoleh ke atas.

Shena menoleh pada kakaknya, mendesah pasrah. "Baik ka—"

"Rune !!"

Teriakan Luna terdengar sesaat suara gemuruh runtuh tanah dan gemerisik pepohonan menyusul, membuat Shena dan Sheraga langsung menoleh ke atas. Tanah longsor disertai patahan dahan pohon turun menggelinding, dan mengarah pada gadis bertudung merah muda.

"Shena!"

Sosok berjas hitam segera berlari melompat menerjang Shena hingga mereka berdua jatuh tersungkur ke tanah. Namun tindakan Sheraga berhasil menyelamatkan Shena dari reruntuhan tanah amblas yang hampir mengubur adik perempuannya.

"Kau tidak apa-apa?" Sheraga beranjak bangkit dan memeriksa dengan cemas keadaan adik perempuannya.

"Aku tidak apa-apa, kak.." jawab Shena dengan pelan karena masih tegang dengan kejadian tadi.

Dalam hati, ia sangat bersyukur telah diselamatkan kakaknya dari bencana itu. Sheraga pun tersenyum manis mengetahui keadaan adik perempuannya baik-baik saja.

"Sheraga." sahut Orim tiba-tiba, membuat Shena dan Sheraga langsung menoleh pada pria ramping tersebut. "Kau harus melihat ini."

Yang dipanggil pun segera menghampiri pada apa yang ditunjuk Orim. Dia pun dikejutkan oleh tubuh sosok wanita bersurai hitam panjang dan pakaian yang dikenakan jas blazer dan rok pendek hitam, tergeletak di atas timbunan tanah bekas longsor dan tertindih beberapa dahan pohon.

Shena yang sudah bangkit setelah jatuh tadi pun ikut menghampiri pada timbunan tanah longsor karena penasaran apa yang Orim temukan. Matanya mendelik kaget melihat tubuh wanita tersebut.

"Kak.. dia…."

……

"Sis! Jawab aku!" Luna terus berteriak menyahut Ru dari pinggir tebing, tepat di tempat dimana Ru terperosok jatuh ke bawah. Namun tidak ada jawaban dari kakaknya. Dia percaya kakaknya masih hidup.

Luna langsung jatuh lemas hingga duduk di tanah, tertunduk menatap kosong ke bawah tebing tempat Ru terakhir menghilang. Si domba kecil mendekati gadis berambut putih yang masih shock karena kehilangan kakaknya. Kepala berbulu halusnya diusapkan ke pundak Luna, seperti ingin menenangkan gadis yang sedang berduka ini.

"…bodoh… aku … tidak sungguh-sungguh ingin melemparmu…" Luna bergumam sendiri sambil terisak. Dengan duka seperti ini, gadis ini mulai menyalahkan dirinya sendiri.

"Hei! Masih ada orang di sana?"

Suara laki-laki yang terdengar dari bawah tebing tempat  membuat Luna langsung tersentak sadar.


***



[ Chapter 3 ]

"Saat sedih pun harus bisa tertawa."


Warna langit sudah menjadi ungu gelap, dan satu-satunya penerang di langit hanya bulan setengah penuh bersinar diantara awan. Namun dari arah dua buah gunung berapi yang sebelumnya bergemuruh, cahaya merah terlihat menyala dari cairan lava yang mengalir dar mulut kawah menelusuri.

Namun di bagian dataran di antara sungai lava yang terus mengalir turun ke lembah, terlihat beberapa sosok manusia dengan pakaian pelaut compang camping berjalan di area lereng gunung, kira-kira jumlahnya puluhan.

Para manusia tersebut nampak tidak merasa panas dengan panasnya udara di pinggir sungai lava di dekat mereka, Karena indra perasa mereka memang sudah tidak aktif, begitu juga otak mereka. Atau lebih tepatnya, para manusia itu sebenarnya memang tidaklah hidup.

Di sebelah barat gunung berapi tidak jauh dari sana, di area pepohonan masih berdiri utuh tak tersentuh dampak letusan gunung berapi, bersembunyi dua sosok manusia diantara pepohonan memantau gerak gerik mayat hidup yang berpatroli di sana.

"Ngerepotin banget.. mereka ga bilang apa-apa soal zombie." keluh sosok gadis berkacamata bundar, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Sosok yang menamai dirinya Alpacapone terus menggerutu dengan yang terjadi pada dirinya. Sampai dia sekarang harus pergi ke gunung berapi karena disuruh hewan-hewan aneh pulau ini dengan paksa.

"Lu juga..." Al melirik sinis pada sosok lain yang ikut bersembunyi, pria berpakaian serba hitam yang ikut bersembunyi di balik batang pohon didekat persembunyiannya. "Ngapain juga ngikutin gue? Mau nyerang gue lagi?"

Yang ditanya hanya mendesah malas. Arca tetap diam membenarkan topi koboi yang selalu dikenakannya.


┌ ─
- Sekitar 2 jam sebelumnya –

"A-ahaha~! Kampret?! L-lepasin gue woi!!" titah Al yang terus memberontak, ketika tubuhnya terkunci oleh tentakel-tentakel kasar milik seekor gajah dibelakangnya, melilit kaki, tangan, dan perutnya.

Kenapa Al tertawa? Beberapa ujung tentakel si gajah sengaja menggelitik bagian pinggang dan ketiaknya hingga Al kegelian.

Sementara Arca tidak jauh dari gadis ini tidak dapat bergerak sama sekali, karena tubuhnya tertindih tubuh besar beruang bercorak belang hitam putih yang bulunya lebat seperti kucing anggora.

Kedua reverier ini terkepung oleh gerombolan hewan berbagai jenis dan memiliki karakteristik unik yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Bahkan domba mereka berdua mengembik ketakutan, karena tertahan dikelilingi beberapa ekor serigala dengan bulu runcing seperti landak dan harimau yang sekujur bulunya terlihat terbakar api, bersiap menerkam kedua domba malang tersebut.

"Eh, anjing?! Jangan makan domba gue!!" teriak Al. Tentakel tersebut berhenti menggelitik, namun malah semakin keras melilit tubuhnya. Domba kecil milik Al yang mengangkut sadel dan kantung bawaan Al mengembik ketakutan, ketika salah satu serigala menggeram mendekat.

"Aghh!? Plis jangan domba gue! Gue ga bisa pulang nanti. Tuh makan orang itu aja. Kasian domba gue dagingnya dikit." ucap Al memohon sambil menunjuk-nunjuk pada Arca yang masih tertindih.

"Ceuli aing gusti.. (telingaku astaga) Bisa diem ga?! Mereka ga akan ngerti ucapanmu!" bentak Arca kesal, sampai logat sundanya terbawa. Gadis berkacamata itu terus berisik.

"Lu juga usaha ngapain kek. Selametin domba lu juga tuh! Mau domba lu dimakan mereka?" Al terus mengomel tanpa henti.

"Kau ga liat beruang besar ini menindiku?!" bentak balik Arca.

"Halah. Cuma ditindih beruang aja ga bisa ngapa-ngapain. Kalo gue di posisi lu, gue dah lepas tuh daritadi." ledek Al menatap rendah Arca dari posisinya.

"Kumaha siah wéh.. (terserah kau lah)"

Setelah kedua orang ini sibuk bertengkar, baru disadari semua hewan yang mengepung mereka tergeming, dengan kepala mereka tertuju pada seekor kura-kura besar yang penuh ditumbuhi lumut dan tumbuhan kecil di tempurungnya.

Kura-kura itu terlihat melangkah perlahan mendekati Al yang masih ditahan gajah dibelakangnya. Tapi kura-kura ini berjalan pelan sekali dengan keempat kaki pendeknya, hingga Al yang menunggunya untuk mendekat beberapa kali menguap.

Sampai sekitar sepuluh menit, kura-kura besar ini baru sampai di hadapan Al dan Arca. Al terlihat mengantuk karena bosan menunggu si kura-kura.

'Apa kalian yang baru saja membunuh guardian Gaegator?' sebuah suara seperti kakek-kakek terdengar di kepala mereka berdua secara bersamaan. Suara itu sepertinya telepati dari sang kura-kura dihadapan mereka.

Beberapa fauna langsung bergerak menunjukan seekor monster kadal setinggi dua meter lebih, namun jauh lebih besar dan kulit tebal dan runcing ditumbuhi beberapa pohon di punggungnya, sudah tergeletak tak bernyawa di tanah, dengan kepalanya terdapat bekas lubang yang terbakar hangus.

Keringat dingin Al sempat mengalir di pipinya gugup. Mungkin maksudnya guardian Gaegator adalah mahluk itu, yang tidak sengaja dia tembak sampai mati oleh plasma gun-nya saat ingin menyerang Arca.

Sebenarnya monster itu datang tiba-tiba ditengah pertarungannya dengan Arca, dan kebetulan tembakannya yang meleset langsung melubangi kepala si kadal.

"Dia yang bunuh." ucap Al langsung menunjuk Arca.

"Anjing?! Woi!!" Arca sontak mendelik.

"Sekarang bisa lepaskan aku?" pinta Al dengan nada memelas.

"Jangan dengarkan dia! Dia yang bunuh!" teriak Arca. Mana mungkin dia terima dituduh seperti itu? Jelas-jelas plasma gun Al tergeletak dibawah kaki gadis ini.

'Kalau begitu, kami ingin meminta pertolongan kalian, para manusia.'

Telepati berikutnya dari sang kura-kura langsung membuat kedua orang ini terdiam untuk sesaat.

""Hah?"" keduanya secara bersamaan menoleh sang kura-kura kebingungan. Tentu saja mereka pikir mereka akan dihukum mereka karena membunuh guardian Gaegator.


Sang kura-kura mulai menceritakan panjang tentang semua yang mereka ketahui tentang tempat tinggal mereka, pulau Gaegator. Dan monster sejenis reptil besar seperti yang sudah tewas di tangan Al sebelumnya, dari panggilannya sudah jelas mereka adalah penjaga pulau ini yang selalu muncul secara misterius dan membasmi para manusia yang mengusik ketenangan pulau ini.

Namun kali ini para guardian Gaegator justru malah memburu para fauna penduduk asli pulau yang sudah menjadi rumah mereka. Selain itu, bencana di pulau ini terus bermunculan tanpa henti memperburuk keadaan, membuat para fauna ini resah.

Sebenarnya para fauna ini tidak percaya pada manusia, terutama pada kedua orang yang baru mereka tahan. Tapi mereka tidak ada pilihan lain. Para fauna ini membutuhkan bantuan untuk melawan para guardian Gaegator yang tidak bisa mereka lawan karena perbandingan kekuatan yang jauh.

Itu sebabnya mereka meminta bantuan pada Al dan Arca, yang mereka lihat berhasil membunuh salah satu guardian Gaegator.

Selain meminta bantuan untuk melawan para reptil tersebut, ada permintaan lain yang para fauna minta dari mereka berdua.


"Kau bilang kristal?" Arca menginterupsi saat kura-kura menceritakan tentang harta karun pulau ini.

'Benar, anak muda. Di dalam perut pulau ini, terdapat kristal biru besar harta karun pulau ini. Rumor dari para manusia yang pernah kemari mengincarnya, kristal tersebut memeri kekekalan abadi bagi siapapun yang mendapatkannya. Tapi, kami tidak tahu apa rumor itu benar atau salah, karena kami tidak pernah berani mendekati kristal tersebut, apalagi mengambilnya.'

Arca sempat terlihat tersenyum licik. Mendengar cerita tentang kristal tersebut, pria serba hitam ini menginginkannya untuk kepentingan pribadi. Walau ia sudah memiliki kristal yang membuatnya abadi di dadanya, tidak ada salahnya menambah kekekalan dari kristal harta pulau ini kan?

"Bentar bentar bentar! Maksudmu kita disuruh pergi ke sana Cuma buat periksa.. kristal lu pada?" Al yang kali ini bertanya dengan nada yang tidak menyenangkan.

Sang kura-kura mengangguk. 'Benar sekali anak muda.. Kristal tersebut selalu dijaga oleh para guardian Gaegator. Bila para guardian mengamuk dan bencana terus terjadi seperti ini, mungkin memang ada yang salah dengan kristal tersebut. Jadi kami mohon, tolong kami.'

Namun dari wajah gadis berkacamata tebal ini terlihat tidak ada rasa peduli sama sekali dengan cerita dongeng yang baru dia dengar.

"Kalau gue ga mau?" tanya Al tiba-tiba dengan mimik cuek. Sontak sebagian besar hewan disana menggeram marah.

'Jika kalian manusia tidak mau, kalian dan mahluk putih itu akan kami jadikan santapan kami.. Hmm.. mahluk berbulu ini nampak lezat kalau dibakar dulu.' ancam salah satu harimau api yang kembali menggeram mendekati domba mereka. Para domba kembali mengembik ketakutan meminta tolong pada majikannya.

""Tunggu!!"" Al dan Arca berteriak bersamaan. Untuk Arca, dia terima saja permintaan dari si kura-kura. Namun Al? Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.

"Baik gue tolong! Tapi lepasin gue dulu!"
─ ┘

- - -


Pada akhirnya, domba mereka berdua ditahan oleh para fauna, dan mengantar mereka ke arah gunung yang dikatakan satu-satunya jalan masuk ke tempat kristal berada. Namun para fauna langsung berlari terbirit birit menjauhi gunung tersebut, karena tempat itu sakral bagi mereka.

"Ini salah lu lah nyerang gue tiba-tiba, dari belakang pula. Cupu amat nyerang cewek tiba-tiba kaya gitu." hina Al terus mengeluarkan kekesalannya saat pertama bertemu dengan Arca di pulau ini.

"Mereka yang menyuruh kita kesini, kenapa aku terus yang disalahin?" protes Arca dengan wajah datar. "Itu salahmu. Kalau saja kau tidak menolak permintaan mereka dari awal, mereka tidak akan menahan domba kita."

"Oh? Jadi maksud lu ini semua salah gue?" Al melirik sinis Arca. "Kalo ga gara-gara lu nyerang gue waktu itu, gue ga akan disini sekarang ngikutin perintah kura-kura lambat itu." Al pun kembali melempar protesnya.

"Aih.. Kumaha sia wéh (terserah kau lah)" keluh Arca memutar bola matanya dari Al, menyerah terus beragumen dengan gadis ini. Al mendengus geli, sedikit menikmati kemenangan kecilnya.

Namun saat dia kembali menoleh ke arah gunung berapi dari batang pohon, sontak matanya terbelalak karena sebuah wajah buruk rupa sosok manusia sudah berada didepan wajahnya.

Kepala manusia tersebut langsung jatuh tergeletak di dekat kaki Al, terpisah dengan tubuh compang-camping manusia tersebut, diikuti jatuhnya tubuh tak berkepala tersebut disebelah kepala yang terpenggal tersebut.

"Jangan berpikir aku baru menyelamatkanmu, nona." ucap Arca yang membuat Al langsung menoleh padanya. "Aku akan kembali memburumu setelah selesai berurusan dengan harta pulau ini."

Tubuh Arca langsung terbagi tiga, bersamaan melesat berlari keluar dari tempat persembunyian mereka menuju ke arah gunung berapi. Para mayat hidup yang melihatnya menggeram dan menghampirinya dengan tangan-tangan busuk mereka terulur padanya.

"Memburu gue.. emang gue lifestock apa?" decak Al sebal.

Arca bisa saja memenggal mereka yang menghadangnya, seperti yang dilakukannya saat membunuh zombie yang akan menyerang Al. Tapi Arca lebih memilih menerobos para mayat hidup yang baru dilumpuhkan sendinya dan langsung menuju tujuannya, lubang besar di puncak dataran tinggi di hadapan mereka.

Al tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya bersembunyi, hanya memantau gerak gerik si topi koboi nekat menerobos pasukan mayat hidup tersebut dengan tangan kosong.

Gadis ini pun memiliki rencana sendiri bagaimana cara pergi ke lubang besar di puncak gunung tersebut. Tapi sebelum itu, butuh sesuatu yang dapat menyapu bersih jalannya dari para manusia yang sudah busuk otaknya.

'Om. Gue tau hutang yang kemarin belum lunas. Tapi gue butuh sesuatu sekarang.' telepati Al pada seseorang yang hanya dia yang tahu darimana.


***


Kembali ke area hutan yang paling gelap di pulau misterius ini. Tempat ini benar-benar gelap gulita, dikarenakan cahaya bulan pun tidak dapat menembus sedikitpun lebatnya dedaunan pohon. Namun karena cukup banyak pohon tumbang di rute bekas pelarian fauna sebelumnya, area hutan ini tidak sepenuhnya gelap gulita seperti sebelumnya. Walau pada intinya, hutan ini tetap gelap.

Namun bara api unggun di tengah hutan sengaja dinyalakan oleh Luna memecah kegelapan hutan tergelap. Si domba terlihat tertidur pulas di dekat api unggun, dengan sengaja menempelkan bulu halusnya pada Luna yang duduk di sampingnya.

Walau domba kecil milik kakaknya cukup membuatnya nyaman, kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan kakaknya yang sudah tidak bersamanya. Ia terus menatap bara api unggun di depannya memikirkan Ru.

"..huff.." sekilas Luna terdengar mendengus geli ditengah lamunannya. Bagaimana tidak lucu, kembarannya yang sulit ia tebak jalan pikirnya selalu membuatnya kesal. Tapi sifat tersebut dapat membuatnya rindu kakaknya.

Namun disaat dirinya tenggelam dalam lamunannya, gadis ini tidak menyadari kalau ada sosok lain yang sedang memantaunya dari balik kegelapan hutan ini. Salah satunya si gadis tinta Nora. Ia terus mengendus aroma wangi nan gurih daging yang sedang dibakar diperapian, ditambah seringaian lebar sebari meneteskan air liur di bawah bibirnya.

"Daging… gadis…" gumaman Nora terus menerus.

Satu tusuk sate daging yang dikiranya sudah matang ditiup perlahan di tangan Luna. Namun sebelum sempat daging bakar tersebut digigit, api unggun di hadapannya seketika berdecis padam, seperti disiram oleh air.

Dengan keadaan gelap gulita begitu saja, Luna tersentak berdiri hingga domba di sampingnya terbangun dari tidurnya. Gadis ini mendadak gelisah.

Itulah kesempatan Nora keluar dari persembunyiannya dan mengendam-endap dengan seringai gilanya ke arah Luna yang buta. Hingga ia sudah berada di belakang gadis bersurai putih ini, posisinya siap menerkam mangsanya.

"KYAAAAA !!"

Teriakan melengking dikeluarkan begitu saja oleh Nora, ketika cahaya bara bola api yang muncul melayang di atas telapak tangan Luna, menerangi wajahnya tiba-tiba. Tentu saja Luna kaget setengah mati dengan teriakan Nora, hingga ia reflek berbalik mengarahkan cahaya bola apinya ke arah gadis bersurai hitam pendek dibelakangnya.

"C-cahaya.. Nora.. takut cahaya…!" ucap Nora terbata-bata yang sudah jatuh tersungkur ke belakang. Wajah sayu yang terlihat akan menangis dari Nora, membuatnya perlahan menjauhkan api di tangannya dari Nora.

"Nora.. hanya ingin makan…" kembali Nora mengatakan sesuatu sambil terdengar terisak, itu membuat Luna menurunkan kewaspadaannya dari Nora. Entah kenapa sosok gadis yang terlihat lebih muda beberapa tahun darinya ini, langsung mengingatkannya pada Ru.

Luna mendengus. Daging babi bakar yang sudah matang di tangan Luna pun diulurkan ke arah si gadis tinta.

"…kau mau?"


***


Sekitar lima puluh meter di sebelah timur hutan, dimana Luna beristirahat di depan api unggun yang ia buat, cahaya api unggun lain terlihat berkobar pada tim Sheraga yang juga beristirahat.

Namun sebelum mereka sempat menyantap malam makan, ketiga orang itu terpaku pada sosok gadis serba hitam yang mulutnya terlihat penuh mengunyah makanan yang mereka berikan.


┌ ─

"Dia tidak sadarkan diri, tapi sepertinya baik-baik saja" ucap Shena cukup keras pada Luna yang berada di tebing diatasnya dan kedua rekannya.

"Mbeee!"

…dan domba mereka.

Luna segera berdiri, menyeka kasar matanya yang berair dengan lengan bajunya. "Terima kasih Tuhan…"

Gadis ini hampir akan melompat turun dari tempatnya menuju ke bawah tebing dimana Ru dan ketiga orang berada. Namun saat menoleh ke arah domba disampingnya, Luna mengurungkan niatnya.

"Maaf. Apa aku boleh minta tolong jaga Run—" Luna membungkam mulutnya sendiri, hampir saja menyebutkan nama asli Ru. "…maksudku Ru? Aku mungkin bisa melompat turun ke sana. Tapi aku tidak bisa meninggalkan domba kami di sini."

Sheraga menoleh kembali pada Ru yang tubuhnya agak lusuh akibat kecelakaan longsor sebelumnya. Gadis ini memang tidak sadarkan diri, tapi dia ragu untuk membawanya bersama timnya. Bisa jadi ia akan menyerang saat mereka lengah.

"Baiklah kalau begitu." ucap Shena begitu saja.

"Shena?!" dengan kompaknya Orim dan sang kapten meneriakan protes, karena memutuskan begitu saja tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu.

"Apa? Jangan bilang kalau kalian ingin meninggalkannya di sini."

Kedua pria ini sempat terdiam saling bertukar pandang. Memang benar mereka tidak bisa meninggalkan begitu saja seorang gadis begitu saja di tengah hutan. Apalagi kalau dia terluka dan tidak sadarkan diri seperti ini.

Pada akhirnya mereka menyerah, karena percuma mendiskusikannya juga kalau Shena sudah terlanjur menjawab permintaan Luna.

"Nona yang di atas." Sheraga menyahut Luna di atas tebing. "Kamu dapat melihat gunung berapi dari sana?"

Luna mendongkakan kepalanya ke arah utara dimana arah gunung berapi yang dimaksud, sebelum kembali menunduk ke bawah tebing. "Ya!"

"Kami akan pergi ke sana bersama Ru. Temui kami di sana. Tapi jangan memaksakan pergi saat hari sudah terlalu gelap."

"Baik! Terima kasih banyak!" teriak Luna dengan senang.

"Oh!" Luna teringat sesuatu yang harus dikatakan Sheraga dan kawannya sebelum dia akan berangkat. "Kalau kakakku sudah bangun, kuharap kalian jangan heran dengan ucapannya nanti."

Sheraga mengernyitkan keningnya. "Kenapa?"

"Ah.. bagaimana menjelaskannya ya.." Luna bergumam sebari menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Dia.. umm.. ah, kalian juga akan paham nanti. Kuharap..."
─ ┘


Ya, itu Ru yang sudah siuman setelah terperosok jatuh dari tebing. Beruntungnya akibat kecelakaan itu tidak ada luka serius. Hanya membuat blazer hitamnya sobek di beberapa bagian, dan kontak lensa hitam di mata kanannya lepas menunjukan warna sebenarnya irisnya yang berwarna merah.

Dia pun diberi pertolongan lain, seperti mengobati luka luarnya seperti tergores hingga berdarah. Untuk luka dalam seperti kaki terkilir? Ah.. mungkin Ru hanya bisa menahannya.

"Sepertinya kau lapar sekali." Shena tersenyum geli. Ru segera membungkam mulutnya, karena sempat tersentak dan hampir tersedak makanannya.

Makanan di mulutnya ditelan segera, pipi Ru bersemu karena tingkahnya tadi tidak terlihat Lady di hadapan mereka. "Ahaha.. maaf."

"Sudahlah, tidak apa-apa. Makan saja yang banyak." ucap Shena tersenyum ramah.

Banyak pertanyaan yang diajukan Ru pada mereka bertiga semenjak ia sadar. Dari siapa mereka, dimana adiknya, apa saja yang sudah mereka lalui semenjak sampai di pulau ini, dan siapa namanyanya.

Baiklah.. yang terakhir itu hanya iseng. Bahkan ketiga orang ini sempat panik mengira gadis ini amnesia setelah kecelakaan yang menimpanya. Ru pun tertawa karena kejahilannya sukses. Haha~

Namun Ru menangkap pemimpin mereka, Sheraga terlihat terus melirik gadis hitam ini tanpa espresi. Entah karena curiga dia sama-sama reverier seperti Ru, hingga Sheraga tetap waspada terhadapnya.

"Kenapa? Aku cantik ya?" tanya Ru memasang seringaian kecilnya yang terlihat jahil. Sheraga langsung memalingkan wajahnya darinya.

***



[ Chapter 4 ]

"Panik salah. Terlalu santai salah."


Kawah besar yang berada di puncak gunung tempat masuk ke tempat kristal biru semenjak Arca menerobos masuk, nampak lebih banyak mayat hidup yang berjaga dari sebelumnya. Namun tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Arca semenjak masuk ke dalam kawah tersebut.

Alpacapone tidak dapat pergi ke sana sedikitpun, karena tidak ada cela melewati para pasukan monster reptil dan zombie yang mengitari gunung tersebut. Setelah berlarian demi menjauhi kedua jenis mahluk pembunuh ini, gadis bersurai biru landak ini berada di sebuah dataran tinggi, tidak jauh dari kawah gunung yang dikepung zombie.

Namun gadis ini masih terlihat kesal, karena barang pesanan yang Al pesan dari Miller sudah sampai secepat kilat. Tapi akibat hutang miliknya sebelumnya, Miller malah mengirim rakitan yang terpisah-pisah. Hingga gadis ini butuh waktu cukup lama merangkai bagian tiap bagian.

Pada akhirnya benda rakitan tersebut selesai dirakit.

"Awas saja pembalasku nanti. Dasar pengerat jelek…"

Apa yang sebenarnya dipesan oleh gadis berlensa tebal ini? Hmm.. bayangkan saja bentuknya berbentuk tabung panjang dengan diameter satu meter. Bila bentuk sederhananya seperti meriam, namun ini terlihat lebih canggih dan besar. Sebuah kristal bening berbentuk tetesan air di tengah senjata tersebut adalah tenaga senjata penghancur tersebut.

Singkatnya, sejenis beam cannon.

Senjata penghancur tersebut diposisikan berdiri dengan sudut 45º menghadap ke bawah dengan tiga kaki penyangga. Saat senjata tersebut dihidupkan oleh Al, tabung tersebut mulai berderu. Kristal di dalamnya perlahan bersinar semakin terang.

***

Api unggun masih berkobar menghangatkan keempat orang yang sudah terlelap beristirahat. Kecuali untuk Sheraga, terlihat masih terjaga duduk membelakangi perapian, menghadap ke arah utara, gunung tujuan mereka.

Mereka mendapatkan informasi dari para fauna yang pernah mereka temui sebelu

"Tidak bisa tidur?" suara Ru yang memecah lamunannya, membuat Sheraga sekilas menoleh padanya.

"Kau sendiri?" Sheraga membalik pertanyaan Ru, kembali menatap pada pemandangan gelap hutan.

"Kau bisa lihat kan?" Ru beranjak dari tempatnya istirahat, dan berjalan agak pincang mendekati Sheraga. Tanpa permisi, gadis ini duduk disebelah Sheraga. Tapi sepertinya pria ini tidak keberatan.

Tak ada perbincangan lagi diantara mereka berdua untuk beberapa saat, sampai keadaan kembali hening di tempat mereka. Tapi Sheraga tidak tenang dengan keberadaan Ru Pasalnya, gadis ini terus tersenyum ke arahnya.

"Kenapa kau terus menatapku seperti itu?" pertanyaan resah yang akhirnya dilontarkan Sheraga tanpa menoleh ke arah gadis disebelahnya.

"Hmm.. kenapa ya~?" senyum Ru semakin lebar terpasang. Tatapan Sheraga semakin menyipit melihat sosok wanita ini. Entah keheranan, atau masih menaruh rasa waspada pada Ru.

Setelah tawa Ru terhenti, suasana kembali hening. Hening yang tidak begitu mengenakan bagi gadis ini. Ia sungguh tidak bisa membaca apa yang pria ini pikirkan.

"Kalau bukan karena Luna atau Shena, sepertinya kau akan meninggalkanku di tempat terakhir aku jatuh."

Kalimat yang dilontarkan Ru membuat Sheraga menoleh. Walau pria ini tidak mengatakan apa-apa, mimik wajahnya yang terlihat jelas bingung dengan apa yang dikatakan Ru.

"Kau tahu aku juga peserta turnamen ini. Tapi kau dan temanmu malah menolongku. Ahaha.." Ru sempat tertawa hampa. "Padalah itu kesempatanmu menyingkirkan peserta lemah sepertiku."

"Mungkin itu terdengar bagus. Tapi aku tidak akan melakukan hal kotor seperti itu." ucap Sheraga. Ia menatap sipit gadis disebelahnya seperti keheranan. "Kau terdengar sudah pasrah dari awal dengan kompetisi ini."

"Pasrah…" Ru mendongkakan kepalanya ke atas, dimana bulan bersinar cukup terang di langit.

"Sebenarnya.. aku tidak peduli kalau aku mati terbunuh di kompetisi ini, atau berubah jadi pajangan di museum.. Oh, tunggu. Kalau mati, mungkin itu lebih baik daripada jiwamu terjebak di dalam sebuah benda pajangan ya? Haha.. ha…" Ru terdengar desahan resah di balik senyum rubahnya. Sesuatu yang ia rasa lebih menyedihkan daripada mati.

"Tapi, karena Luna ikut terlibat... Aku tidak tahu.. harus apa aku…" kedua iris merah dan hitam Ru terus terpaku pada bulan di langit. Keheningan kembali terjadi saat gadis ini termenung menatap sayu bulan yang mulai hilang tertutup awan.

"Ah," Ru tersentak sekilas, kembali menoleh ke arah Sheraga. "Lupakan saja kata-kataku barusan. Apalagi mengatakannya pada Luna. Dia akan melemparku lagi dari tebing. Ahaha…"

Telunjuk jari gadis ini menggaruk pipinya yang tidak gatal, saat senyum kikuk terlihat di mimik wajahnya sekarang. Tapi tawanya langsung berhenti, ketika sepasang mata gadis ini menangkap senyuman kecil dari bibir Sheraga.

"Tunggu.. tadi itu lucu?" tanyanya terlihat kaget. Karena ia baru melihat orang tersenyum dengan guyonannya. Padahal biasanya orang akan menatap sinis padanya. Tapi saat ditanya seperti itu, pria ini malah tertawa.

"H-hei? Aku serius! Apanya yang lucu?" pipinya sempat merona, Ru seketika gugup dan bingung karena tawa pria ini, sampai Sheraga berhenti dan kembali menatap ke arahnya.

"Kau sangat menyayangi saudarimu, kan? Kalau begitu, lakukan yang terbaik demi dia. Tetap bertahan di turnamen ini. Kalau kau gugur dalam kompetisi ini, mungkin sesuatu yang buruk juga akan terjadi padanya. Semangatlah. Demi saudarimu juga."

Setelah perkataan Sheraga yang terdengar memberi semangat padanya, gadis ini kembali termangu, seperti kagum, atau malu. Tapi sepertinya malah terlihat bingung bagaimana meresponnya.

"Wow… aku tidak menyangka musuhku malah menyemangatiku." Ru membungkam pelan bibir tipisnya dengan jemari lentiknya.

"Aku tidak peduli kau ini musuh atau bukan untuk saat ini. Aku hanya tidak ingin melihat seseorang menyerah sebelum bertanding seperti itu. Terutama ini berurusan hidup dan mati."

"Ahaha.. baik baik. Aku mengerti."

Ru pun kembali tertawa. Tertawa karena senang, tidak seperti sebelumnya yang nampak hampa terdengar. Ada perasaan lega pada dirinya berbicara pada pria yang baru dikenalnya ini. Namun sepertinya memang tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ru bangkit dari tempatnya duduk.

"Senang bisa bicara panjang lebar denganmu."

Perlahan Ru mulai melangkah pergi dari Sheraga, menuju area pepohonan yang searah dengan gunung tujuan mereka.

"Mau kemana?"
"Lebih baik kau tidak tau. Bye-bye."

Sheraga langsung berdiri dan mencengkram lengan Ru, menghentikan langkah kaki gadis ini.

"Aku tahu kau tidak sabar ingin bertemu adikmu, nona. Tapi pergi dalam keadaan gelap seperti ini terlalu bahaya. Terlebih kamu masih terluka." cegah Sheraga.

"Hei…" Ru terlihat mengernyitkan keningnya saat menoleh ke arah Sheraga di belakangnya. "Aku hanya ingin pipis. Memang kapan aku bilang akan pergi ke tempat Luna sekarang?"

Pria ini seketika bergeming dengan mimik tanpa espresi.

"Oh, jangan bilang kau ingin ikut untuk mengintipku. Lalu kau akan menyergapku di tempat gelap saat aku lengah. Hayo ngaku. Dasar mesum." tatapan Ru semakin sinis pada Sheraga, yang kali ini malah pria ini yang dicurigai.

"T-tidak..!" Sheraga langsung melepas pegangan tangannya, dan memalingkan wajahnya yang tertunduk malu. "Maaf.. kau boleh pergi."

Ru pun kembali melangkah ke arah pepohonan meninggalkan si pemimpin tim, sebari membungkam seringaian lebar bibirnya yang disembunyikan dari Sheraga.

'Ahaha.. Dia tadi manis sekali~'

Namun baru saja beberapa langkah berjalan, tanah pijakan tiba-tiba berguncang keras hingga Ru dan Sheraga jatuh tersungkur. Shena dan Orim pun terbangun akan hal itu.

Gempa yang hanya berlangsung beberapa detik pun reda. Namun keadaan hutan di beberapa titik malah menjadi bising dengan para fauna yang gaduh tak karuan. Tentu mereka menduga ada yang tidak beres.

"Uhh.. bukannya aku ingin menakut-nakuti.. tapi.." Ru yang sudah berdiri dari tempatnya jatuh, perlahan melangkah mundur ke arah tempat Sheraga dan rekannya di dekat api unggun yang masih menyala.

Mata Ru tetap terpaku pada bagian gelap di balik pepohonan yang ada disekitar mereka. Ia dapat melihat jelas ada sekitar belasan sosok yang terdengar menggeram. Sialnya semua mahluk yang ia lihat perlahan keluar dari sisi gelap hutan disekitar tempat mereka, sudah mengepung mereka dalam lingkaran.


***


Semenjak gempa yang mengguncang pulau, berbagai jenis monster reptil dan mayat hidup hewan dan manusia bermunculan di berbagai tempat dengan jumlah yang gila-gilaan. Para fauna hidup yang tahu hal ini akan terjadi, mereka pun sudah mempersiapkannya.

Pulau ini seketika menjadi medan perang, antara monster reptil yang dikatakan mereka adalah pelindung Gaegator dan pasukan mayat hidup yang terus bermunculan dari dalam tanah. dengan pasukan fauna berbagai jenis yang bersatu membebaskan rumah mereka. Dan juga beberapa manusia di pulau ini yang terpaksa terlibat.

"Hyaagh!!" tendangan keras kaki kanan Luna yang diseimuti api merah berhasil mementalkan seekor zombie serigala bertanduk hingga menabrak keras batang pohon. Kobaran api merah di kakinya pun padam, kembali memasang kuda-kuda bertarung muay thai-nya.

Sementara si gadis tinta, terlihat asik menaiki salah satu monster reptil. Sebilah pisau lipat yang dipinjam Luna digenggamannya, tertancap pada mata kanan monster reptil yang ditungganginya. Kadal besar yang mengamuk itu bergerak kesana kemari tak karuan, seperti banteng liar mencoba menyingkirkan Nora di atas badannya.

"Kyahahaha~!!"

Tawa riang nan gila terus dikeluarkan Nora menikmati tunggangan liarnya yang terus bergerak liar. Bahkan kadal besar yang mengamuk itu tanpa kendali sampai menabrak para kadal dan pasukan mayat disekitarnya.

Sampai monster reptil yang mengamuk itu pun akhirnya tumbang, dengan luka bekas tusukan di matanya mengeluarkan cairan hitam tinta milik Nora yang sepertinya sudah tercampur darah.

"Hahaha~ Tadi itu asik!" teriak girang Nora, melompat turun ke dekat Luna setelah dari kadal yang sudah tidak bergerak lagi di tanah.

"Kau masih bisa bersenang-senang disaat seperti ini?"
"Kenapa? Kau mau mencobanya? Asik lho."
"…tidak. Terima kasih."

Namun berkali-kali mereka menghabisi pasukan yang mengepungnya, tidak ada tanda-tanda jumlah mereka berkurang. Para mayat hidup terus bermunculan dari tanah, setiap kali mayat yang sudah dikalahkan.

Kedua domba dibelakang kedua gadis ini mengembik ketakutan. Walau dengan cahaya dari api unggun, kedua mahluk berbulu ini dapat merasakan kehadiran monster mengerikan semakin dekat mengepung mereka.

Luna mendesah resah, ditengah nafasnya yang terengah-engah akibat staminanya berkurang. "Tuhan…"


            ""Ini tidak akan ada habisnya.""


"…setan." Ru mengumpat pelan.

Keadaan di tempat tim Sheraga pun sama. Mereka tidak dapat beranjak dari tempat mereka karena mereka masih terkepung. Tapi sepertinya mereka berempat dapat mengatasi keadaan dengan mudah.

Shena memanipulasi elemen angin, hingga hembusan dan pusaran angin yang ia kendalikan dengan mudah melontarkan banyak monster reptil dan mayat hidup sekaligus. Sheraga dengan pedangnya yang berkobar api merah di bilahnya, menusuk dan membelah musuh yang mendekat. Bahkan Orim yang buta pun membantu rekannya dengan merapalkan mantra pemberkatan setiap dua menit sekali, memberikan buff yang membuat rekannya terlihat lebih bersemangat.

Kerja sama tim yang kompak.

Sayang Ru tidak dapat sebaik mereka. Tubuhnya yang masih terluka membuatnya tidak dapat bergerak banyak. Ia hanya dapat meledakan kepala targetnya dengan senjata api Beretta 92-nya yang langsung ditargetkan ke arah kepala mereka.

Black Remi-nya percuma digunakan. Walaupun tajam selayaknya pisau, mereka hanya akan tertancap di kulit tebal para reptil dan tubuh mati para mayat hidup.

"Agh. Fick…" Ru kembali mengumpat pelan, saat peluru senjatanya habis. Kenapa disaat seperti ini dia yang terlihat paling payah diantara mereka berempat.

"Kyaaa?!!"

Teriakan Shena membuat yang lain langsung menoleh ke arahnya. Entah sejak kapan sosok manusia berpakaian compang camping, sudah mengunci tubuh gadis ini dengan memeluknya dari belakang, dengan kedua lengannya yang terlihat berair dan membusuk.

"Shena!?"

Sheraga segera menghunuskan pedangnya lurusnya ke arah sosok mayat hidup tersebut. Namun posisi mayat hidup yang menangkap adik perempuannya tidak memungkinkannya untuk menebas dengan pedang di tangannya, karena bisa saja adiknya juga ikut terluka.

Namun pelukan mayat hidup tersebut perlahan terbuka dengan kaku, hingga Shena berhasil melepaskan diri. Disaat Sheraga kebingung dengan tingkah mahluk didepannya yang terus menggeram kaku, baru disadari tiap anggota tubuh sosok manusia tersebut sedang terlilit sulur-sulur hitam yang muncul dari pijakannya.

"Apa kau hanya akan diam saja seperti itu?" ucapan Ru mengalihkan perhatian sang kapten. Dari kedua bola matanya yang terlihat hitam seolah kosong tak bermata, dan tangannya yang terulur kaku ke arah sosok manusia mati tersebut, ia lah mengendalikan mayat hidup yang dikekang sulur-sulur bayangannya.

"Sepertinya aku harus berterima kasih pada Luna yang sudah menjatuhkanku ke jurang. Haha.." Ru mendengus geli sambil menyeringai. Gadis ini tiba-tiba ingat bagaimana cara mengendalikan kekuatan bayangannya.


***


Masih ingat dengan beam cannon (atau sejenis itu) hasil rakitan Alpacapone? Senjata penghancur tersebut sudah membuat sebuah lubang besar dengan lebar sekitar satu meter di tanah.

Namun kristal di dalam meriam futuristik tersebut langsung pecah setelah digunakan. Dengan kata lain, senjata ini hanya tinggal rongsokan.

Sejak lubang tersebut tercipta, dia sempat terkepun monster reptil dan pasukan mayat hidup yang muncul tiba-tiba entah darimana. Tapi Al langsung lepas dari mereka dengan meluncur masuk ke dalam lubang. Dan para monster yang mencoba menyergap Al bersamaan, tersangkut di mulut lubang.

Sampai ujung lubang yang dibuat gadis ini berakhir pada langit-langit sebuah gua, gadis ini mendarat mulus di sebuah kubangan air. Tempat tersebut tidak terlalu gelap, karena beberapa kristal merah kecil terlihat bercahaya remang-remang pada dinding gua.

"Beneran kristal biru itu di tempat kayak gini?" guman Al pelan saat melangkah lebih dalam, hingga suara gemericik di saat menginjak kubangan air terus menggema di tiap langkahnya.

Namun semakin dalam ia menelusuri gua ini, gadis ini menyadari, suara gema yang ditangkap telinganya bukan hanya dari langkah kakinya saja. Tapi Al membiarkan siapapun itu tetap mengikutinya.

Sampai suara langkah misterius itu berhenti terdengar, Al segera melompat ke samping kanannya. Kalau dia tidak melakukannya, tiga lembar kartu remi berlambang spade melesat dari belakangnya sudah tertancap mengarah ke jantungnya.

"Lu lagi, sialan." ucap Al cukup keras, hingga suaranya terdengar menggema.

Al sudah tidak asing lagi pada pelempar kartu remi yang tertancap di dinding gua. Saat menoleh ke arah dimana kartu itu dilempar, sosok berpakaian hitam jangkung dengan topi koboi khasnya berdiri, Arca.

Belum sempat Al bersiap dengan pistol plasma di dalam tas jinjingnya, Arca terus melemparkan kartunya dari kedua tangannya bergantian. Hingga Al harus terus berlari menjauhi Arca menelusuri gua ini, demi menghindari lemparan kartu yang terus menargetnya.

"Anjing! Lu masih pengen bunuh gue?! Plis lah gue cantik gini masa dikira lifestock?!"

Tidak ada jawaban dari Arca, walau Al terus meneriaki kasar si pelempar kartu ini. Di balik bayangan topi koboinya, tersembunyi sepasang mata gelap yang nampak kosong tak berekspresi.

Gerakan tubuh Arca yang lebih cepat dan lincah membuat gadis yang diburunya dengan cepat terkejar, membuat Al mendelik saat si pemangsa sudah berada di sampingnya.

Arca menendang salah satu kaki Al yang sedang berlari, hingga tubuh gadis ini terlempar ke depan. Namun Al dengan refleks memposisikan tubuhnya mengguling ke depan seperti roda. Hingga ia dapat mendarat dengan mulus dengan posisi berjongkok.

Namun belum sempat gadis ini dapat berdiri, Al segera menyilangkan tangannya di depan wajahnya, sebelum Arca melompat ke arahnya dan menendang gadis ini tepat di wajahnya. Dorongan cukup keras dari tendangan melompat Arca, membuat tubuh Al terdorong ke belakang beberapa meter dan tubuhnya tercebur dalam kubangan air dangkal.

"Gyaakh!!"

Seolah tidak memberi sedikitpun jeda untuk bergerak, kali ini Arca menginjak keras pergelangan kaki gadis ini sampai terdengar suara 'drek', entah suara tulangnya yang patah atau sendinya bergeser.

Dengan muka geram menahan sakit luar biasa di kakinya, plasma gun di tangannya langsung ditembakan ke betis kaki Arca. Pria ini pun oleg karena betisnya yang sekarang berlubang, dan jatuh dengan posisi berlutut.

Al mengambil kesempatan ini untuk segera berdiri dan mundur dari Arca. Tapi Arca dengan cepat melempar kartu reminya saat belum sempat menjaga jarak. Dan hasilnya kartu tersebut sukses tertancap cukup dalam di perut gadis ini.

Tidak seperti Al yang terus mengerang kesakitan dengan luka yang dideritanya. Tak ada perubahan espresi wajah Arca. Bahkan dengan betisnya yang berlubang, pria ini kembali berdiri.

"S-sialan.." Al menembakan plasma gunnya di jarak mereka yang begitu dekat, dan sukses membuat lubang baru di perut Arca. Namun wajah kosong Arca tidak nampak ada reaksi kesakitan.

Lengan Al yang memegang plasma gunnya dicengkram keras oleh Arca, lalu mempelintirkannya lengan gadis malang ini ke belakang hingga Al kembali mengerang kesakitan. Belum cukup gerakan gadis ini terkunci olehnya, lengannya diputar lebih keras hingga suara retakan dari lengannya terdengar,


Namun Al tidak mengetahui, kalau dirinya yang sedang disiksa ini, sejak awal sudah diperhatikan oleh seseorang di tempat lain di dalam seluk beluk gua pulau ini.

"Mm-hm hm.. ternyata orang ini tidak buruk." guman sosok manusia tinggi berjubah kelam, terlihat seringai sinis yang nampak jahat di balik tudung dikepalanya.

Walau sosok seseorang tersebut terlihat hanya sendiri di ruang kosong bercahaya biru kelilingi skalaktit dan skalakmit runcing, dia dapat melihat semua tempat yang ada di pulau misterius ini. Bahkan termasuk para manusia di permukaan pulau yang masih berkutit dengan para mayat hidup dan monster reptil bersisik.

"Mungkin kugunakan saja dia untuk membasmi para hama lain disana.." kembali sosok berjubah ini tertawa bergumam, sebari menoleh pada kristal biru besar di belakangnya, sumber cahaya ruangan lembab ini.

"Sedikit lagi.. aku dapat menguasaimu sepenuhnya.."

***


[ Chapter 5 ]

"Jujur saja… aku berat ya?"


Perang berdarah pulau ini masih berlangsung, antara Guardian Gaegator dan pasukan mayat hidup, dengan para fauna hidup penghuni asli pulau ini. Walaupun jumlah para fauna tidak sebanding dengan lawan mereka, kemampuan unik bawaan para fauna ini sejak lahir mampu membalik keadaan.

Seperti harimau berbulu api yang dapat menyemburkan nafas api seperti naga, beruang berbulu lebat seperti kucing persia yang dapat memanipulasi suara, bahkan kura-kura besar yang bergerak lambat pun dapat melawan dengan menumbukan tanaman sulur untuk melawan musuh mereka.

Namun di tengah gaduhnya hutan yang menjadi medan pertarungan, sosok manusia terlihat bergerak begitu cepat melesat menuju ke arah utara, dengan lincah dengan tiga roda kecil berputar di bawah tapak sepatunya layaknya sepatu roda. Bahkan di bidang bergelombang  seperti hutan pun gerakan orang tersebut tetap meluncur layaknya pemain sepatu roda profesional.

Kalian tidak akan percaya, yang melesat tersebut adalah Sheraga. Bahkan ia meluncur sambil menggendong Ru di punggungnya.

"Hahaha~ Harusnya aku sering-sering melakukan ini~" ucap Ru yang terdengar girang merangkul leher pria yang menggendongnya. bagaimana cepatnya mereka melesat cukup cepat melewati pepohonan. Bahkan terkadang mereka melompati batu besar dan dahan pohon yang runtuh selagi meluncur.

Sementara pria yang menggendongnya nampak takut dan tegang bersamaan, karena sebenarnya kakinya sendiri tidak bisa ia kendalikan meluncur dengan roda-roda yang terus berputar di tapak sepatunya.


┌ ─
│         - Sekitar 4 menit yang lalu -

Di tempat yang sama mereka berkumpul, monster yang mengepung mereka dapat terkendali. Terutama semenjak Ru mengingat kembali bagaimana menggunakan bayangannya.

"Kapten." sahut Ru menoleh pada Sheraga, saat tangannya sibuk mengganti magazine Beretta 92-nya dari kantung kecil di paha kanannya yang tersembunyi di balik roknya.

Pria yang dipanggil tidak menyahut, dan baru memenggal leher seekor mayat hidup harimau bertaring dengan bilah pedangnya yang masih berkobar api. Walau Ru dapat melihat api tersebut lebih redup dari pertama kali api itu berkobar.

"Hei kapten!" sahut kembali Ru lebih kasar.

"Berhentilah memanggilku kapten." Sheraga pun menoleh dengan muka masam. "Aku punya nama, nona. Cukup panggil aku Sheraga."

"Ya ya.. kapten Sheraga." gurau Ru tertawa cekikikan. Namun setelah itu ia memasang wajah serius. "Lebih baik langsung ke tempat kristal yang pernah kalian bicarakan sebelumnya."

"Kau bisa lihat sendiri mereka mengepung kita dimana-mana.. Bagaimana kita pergi ke sana?"

Ru dapat mendengar nafas ketiga orang didekatnya terengah-engah karena kelelahan. Sementara sepasang bola mata hitamnya terpaku pada sulur-sulur hitam yang keluar dari bayangan kaki mereka, melilit kaki-kaki zombie yang terus menahan pergerakan mereka untuk mendekati mereka.

Dan perlahan kedua sudut bibir Ru tertarik ke atas, hingga tersenyum lebar bagai rubah licik.

"Kapten. Aku punya ide."

Kalimat yang terucap oleh gadis serba hitam ini membuat Sheraga dan rekannya menoleh ke arahnya.

"Ah.. tapi mungkin kau tidak akan menyukainya. Jadi lupakan saja." sifat iseng Ru malah keluar disaat seperti ini, menggoda mereka bertiga yang penasaran apa rencananya.

"Katakan saja. Itu lebih baik daripada kita terus terjebak disini." ucap Sheraga tidak sabar mendengarkan. Namun firasatnya menangkap sesuatu yang janggal, saat gadis ini menoleh dengan seringai cukup lebar di mulutnya.

"Sebelum aku mengatakannya.. apa kau bisa bermain sepatu roda?"
─ ┘


Begitulah. Roda-roda di bawah sepatu Sheraga yang sekarang membuat mereka meluncur adalah bayangan solid yang Ru kendalikan, begitu pula gerakan kaki Sheraga.

Sementara Shena dan Orim tidak dapat ikut mereka. Itulah salah satu konsekuensi rencana Ru, Sheraga harus meninggalkan kedua rekannya demi pergi ke tempat kristal itu berada. Tapi mereka berdua sudah berada di tempat aman dari para monster pulau ini.

Dan konsekuensi lainnya…

"Gah?!" Sheraga mengerang saat sebuah batang pohon tepat berada di depan wajahnya, sebelum mereka berbelok tajam dan berhasil mengelak dari batang pohon yang hampir mereka tabrak.

"Bisa kita sedikit lebih lambat? Ini terlalu gelap untuk melesat cepat seperti ini." pinta Sheraga dengan muka masam.

"Ahaha~ Tenanglah. Aku dapat melihat semua dengan jelas jalan yang kita lalui." ujar Ru dengan nada yang senang mencengram leher Sheraga cukup erat karena menikmatinya.

"Tolong serius, atau kita akan hampir tertabrak lagi seperti sebelumnya."

"Oh, bukan. Itu tadi sengaja kulakukan agar kau terus berteriak seperti tadi."

***


Kubangan air dalam gua sudah ternodai merah dari tubuh Al yang sudah babak belur. Entah sudah berapa tulang dan sendi yang sudah dipatahkan oleh Arca.

'Sudah cukup. Tinggalkan saja dia.'

Telepati yang terdengar di kepala Arca membuatnya berhenti saat akan memelintir kaki Al. Gadis ini pun berhenti mengerang kesakitan. Namun sekarang ia hanya bisa terkapar tak berdaya di kubangan merah yang membasahi pakaiannya, menahan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuhnya.

Pria yang baru membuatnya seperti ini, berbalik dan meninggalkan gadis malang tersebut sendirian.

"Ke..kepa..rat…."

Mata Al yang menatap murka punggung Arca yang mulai menjauh dari tempatnya telungkup, perlahan memudar, hingga semua menjadi gelap.


***

"Kita hampir sampai."

Cepatnya Ru dan Sheraga melesat ke gunung tujuan mereka dengan sepatu roda, tidak sampai memakan waktu yang lama menempuh jarak tempun tiga kilometer.

Ru memperlambat kecepatan roda di kaki Sheraga, saat didepannya hampir keluar dari area pepohonan hutan ke area terbuka. Namun saat mereka baru saja keluar dari area hutan, kedua mata mereka mendelik bersama, karena tidak pernah menduga ini sebelumnya saat sampai.

"FICK!!"

Mau tidak mau mereka harus berputar seratus delapan puluh derajat ke belakang dan memicu kecepatan tinggi untuk kembali ke area hutan. Pasalnya, kawah gunung yang menjadi tempat tujuan mereka dikelilingi lautan pasukan mayat hidup. Itu akan mustahil mereka lewati.

……

"Ha.. ha.. ada rencana lain?"

Ru bertanya setelah ia turun dari punggung Sheraga dengan terengah-engah. Sheraga pun masih mengatur nafasnya nampak kelelahan. Pastinya lelah setelah terus meluncur sambil mengangkat beban yang tidak ringan di punggungnya. Belum lengan gadis ini sempat mencekik lehernya karena terlalu bersemangat tadi.

Sheraga pun nampak bingung dengan ini. Tempat tujuan mereka sekarang tidak ada cela sama sekali untuk dimasuki. Kalaupun nekat menerobos, itu sama saja dengan bunuh diri.

"Baiklah. Aku menyerah.." desaan resah dikeluarkan Ru tanpa menunggu ucapan Sheraga.

Gadis di sebelahnya langsung menjatuhkan diri cukup keras pungungnya ke sebuah batang pohon yang berdiri di belakangnya, dan perlahan menurunkan badannya hingga duduk bersandar.

"Mana semangatmu tadi?" Sheraga melirik prihatin si gadis serba hitam ini.

"Hei, semangat kalau tidak ada jalan lain juga untuk apa?" Ru menoleh dengan tatapan malas kedua bola matanya yang sudah kembali normal. "Ah.. aku tidak tahu harus bagaimana lagi.."

Sebelum Sheraga akan mengatakan sesuatu, suara gemerisik semak-semak yang ada lima meter di sebelah kanan mereka, membuat mereka kembali siaga. Sheraga mengangkat kembali pedangnya.

Suara gemerisik itu terdengar semakin jelas dan mendekat ke arah mereka.

"Nakhru chanah—"

Sheraga membatalkan merapal mantra dasar sihir apinya. Bahkan ia menurunkan pedangnya, saat melihat sesuatu yang mendekati mereka berdua hanya tiga ekor anjing bertanduk banteng saat ketiga hewan tersebut melompat keluar dari semak-semak.

Pria berpakaian hitam ini mengenal ketiga anjing tersebut, terutama yang ujung tanduk kanannya patah pada yang paling besar.

 'Kami senang anda masih hidup!'
'Dimana kedua manusia lainnya?'

Ketiga anjing tersebut mengelilingi Sheraga sambil menggonggong dan mengibas ekornya dengan semangat. Ketiga fauna ini pernah diselamatkan kelompok Sheraga dari penjaga Gaegator. Mereka pula yang memberi informasi tentang kekacauan dan soal kristal.

"Maaf. Kami kesulitan pergi ke dalam perut pulau ini karena para mayat hidup itu." ucap Sheraga langsung pada topik. Padahal mereka sudah berjanji sebelumnya pada ketiga anjing ini.

'Itu alasan kami menemui anda.' anjing paling tua telepati sambil menggonggong secara bersaan. 'Kami menemukan lubang lain menuju ke tempat kristal Gaegator.'

"Nona. Sepertinya kita—" saat Sheraga akan mengatakan berita gembira pada Ru, gadis itu sudah tidak ada di tempat ia bersandar.

Ketiga anjing tersebut menggonggong sambil mendongkak ke atas. Dan orang yang dicari Sheraga tadi sudah berada di atas dahan pohon yang tingginya sekitar tiga meter dari tanah.

Sheraga yang ikut menoleh dibuat keheranan dengan kelakuan Ru sekarang. Dia seperti kucing yang tidak bisa turun dari pohon sekarang. "…bagaimana kau bisa di atas sana? Bukannya kakimu terkilir?"

"A-ah..Lebih baik kau tidak tahu. A-ahaha…" Ru berusaha menyembunyikan espresi takutnya dari tawanya. Tapi kalau ketiga mahluk yang ia takuti ada sedekat ini darinya, apalagi mereka terus menggonggong, rasanya itu tidak mungkin.

Sheraga merasa tertipu dengan keadaan gadis ini yang ternyata kakinya baik-baik saja. "Cepatlah turun. Mereka tidak apa-apa. Justru mereka menemukan jalan lain menuju kristal."

"Benarkah?" tanya Ru penasaran. Karena ia tidak menangkap telepati yang ketiga anjing itu berikan, ia malah hanya mendengar mereka menggonggong seperti suara anjing pada umumnya.

"Tapi tolong suruh mereka menjaga jarak sepuluh meter dariku kalau kau ingin aku turun."
"…kau takut anjing?"
"Lakukan saja atau aku tidak akan turun!"

Pria ini mendesah malas. "Kalau begitu aku pergi sendiri.."

Sebelum pria ini akan melangkah pergi, sebuah sulur hitam yang dikendalikan Ru dengan cepat melesat dan melilit keras leher Sheraga.

"K-kau mencekik—ghak..!" Sheraga mencengkram kuat-kuat sulur yang melilit di lehernya. Lilitannya tidak terlalu keras, hingga ia masih dapat berbicara dan bernafas, tapi tetap saja itu menyakitkan.

"Jangan tinggalkan aku dengan ketiga anjing itu masih dibawah sana!" teriak Ru dengan panik, hingga sulur hitamnya tetap melilit leher pria ini agar tidak pergi.

"L-lepaskan.. aku dulu..!"
"Anjingnya dulu!!"

……


Sebuah lubang yang pernah dibuat senjata Al ditemukan oleh Ru dan Sheraga, berterima kasihlah pada ketiga anjing yang sudah mengantar mereka berdua. Walau awalnya memang ada masalah konyol karena phobia dari si gadis serba hitam ini dengan ketiga anjing tersebut.

Tanpa membuang waktu banyak, mereka pun melompat dan berseluncur ke dalam lubang dengan kemiringan 45º seperti meluncur pada perosotan. Setelah cukup lama mereka meluncur karena cukup dalam lubang ini, mereka pun disambut cahaya merah remang-remang dari kristal-kristal kecil yang menempel di dinding gua, setelah mereka dijatuhkan dari lubang di atap gua.

"Boleh aku ambil satu?" Ru mencoba menggapai salah satu kristal merah yang paling dekat.

"Tolong fokus." tolak Sheraga secara tidak langsung. Ia berjalan begitu saja menelusuri gua ini. Ru sempat cemberut dan akhirnya mengikuti pria ini.

Sepasang mata Ru terus memperhatikan kristal merah disekitarnya selama mengekor pada Sheraga yang fokus pandangannya ke depan. Tapi selama terpana dengan benda berkilau tersebut, gadis ini menangkap sesuatu yang harusnya tidak ada di tempat seperti ini.

Sebuah kartu remi berlambang 3 spade tertancap di dinding gua.

"Sheraga." sahut Ru pada pria di depan, dan kali ini ia memanggil dengan benar. Dia menarik lengan kiri Sheraga, dan meletakan Beretta 92-nya di telapak tangan pria ini.

Sheraga berhenti melangkah dan menoleh ke arah Ru dengan kening mengkerut, tidak paham maksud gadis serba hitam ini. Namun iris abu-abunya melihat sesuatu yang berbeda dari gadis ini, tatapan tajam dari kedua mata Ru yang kembali menghitam.

"Aku hanya meminjamkannya padamu. Kau tidak bisa terus-terusan mengeluarkan apimu kan?" ujar Ru tersenyum padanya.

"Bagaimana denganmu sendiri?" tanya Sheraga.

"Oh, aku tidak mau gendang telingaku berdengung lagi setiap menarik pelatuknya. Ahaha~" tawa pelan Ru hingga suara tawanya terdengar menggema. "Lagipula, rasanya aku tidak bisa mencurangi sesama pemain kartu dengan pistol."

"Pemain kartu?"

Gadis serba hitam ini tidak menjawab, dan matanya terpaku pada sesuatu yang ada di depan mereka.

"Ru—"

Baru saja Sheraga akan menyahutnya, tiba-tiba sebuah sulur hitam melilit perut ini dan menarik keras tubuhnya ke belakang hingga punggungnya menabrak permukaan kasar dinding gua. Beruntungnya tidak ada kristal yang mencuat di tempat Sheraga menhantam punggungnya.

"U-ugh.." erang Sheraga menahan sakit di punggungnya. Lalu ia menyadari sulur hitam yang melilit perutnya adalah bayangan yang dikendalikan Ru. "Apa yang kau lakukan?!"

"Hei, aku baru saja menyelamatkanmu." ucap Ru tanpa menoleh pada Sheraga. Sementara di jemari tangannya terlihat ada tiga kartu remi putih di tangannya. Ketiga kartu tersebut dibiarkan lepas dari tangan Ru, hingga jatuh dan basah ke kubangan air.

Hingga suara cepat langkah kaki yang berkecipak dengan kubangan terdengar sekitar lima puluh meter di depan mereka, mulai mendekat ke arah mereka. Hingga pengelihatan peka Ru menangkap pria berpakaian hitam yang terlihat lubang berlari ke arah nya dengan kartu remi lain di tangannya. Siapa lagi kalau bukan Arca?

"Kau pergi sana urus kristalnya. Hus hus." usir Ru sempat mengibaskan tangannya ke arah Sheraga, sebelum ia berlari ke arah Arca dengan kartu reminya yang berwarna hitam dan tajam bagai pisau.



[ Chapter 6 ]

"Sesuatu yang berlebihan itu tidak sehat."


Sheraga pun akhirnya meninggalkan Ru yang menghadapi Arca sendirian. Lebih tepatnya, Ru yang memaksa meninggalkannya. Keadaan gua yang seperti lorong ini, semakin dalam ditelusuri semakin gelap saja dengan jumlah kristal merah yang semakin jarang terlihat. Hingga bara api di bilah pedang ini kembali menyala demi menerangi jalannya.

Sampai ia melihat cahaya remang-remang berwarna biru di depannya, pria ini semakin mempercepat jalannya.

Cahaya biru tersebut menariknya hingga ke gua yang nampak sangat luas dipenuhi skalaktit dan skalakmit alami yang indah. Namun yang menjadi penarik perhatian Sheraga adalah, kristal biru besar yang menjadi penerang tempat ini berada di pulau kecil di tengah kolam luas yang berada di tengah ruangan besar gua ini.

Pria ini dengan semangat berlari ke arah kristal besar yang sudah terlihat di depan matanya.

Namun sebuah sinar putih yang melesat tiba-tiba ke pijakan kaki Sheraga, hingga bebatuan tanah meledak dan membuatnya terpental hingga tersungkur beberapa meter.

"Khh..! Siapa di sana?!" teriak Sheraga segera bangkit dari tempatnya jatuh.

"Justru itu pertanyaanku." suara laki-laki yang berat terdengar menggema, tanpa terlihat oleh Sheraga siapa sosok yang sepertinya baru saja menyerangnya. "Kalau kalian kemari untuk menguasai Gaegator juga, jangan harap kalian dapat keluar hidup-hidup dari pulau ini."

Sebuah bola cahaya putih muncul begitu saja di udara, melesat cepat ke arah Sheraga. Pria ini melompat hingga berguling ke samping sebelum cahaya itu menghantam tanah dan kembali meledakan tanah tempat Sheraga berdiri sebelumnya.

"Cih..! Tunjukan dirimu kalau kau memang laki-laki!" teriak kembali Sheraga setelah kembali bangkit.

Hingga ucapan tantangan tersebut terlontar dari Sheraga, sosok manusia yang tertutup jubah hitam terlihat melompat dari atas Sheraga, mengacungkan ujung tombak yang mengarah padanya,

……

Dapatkah kau membayangkan bagaimana dua petarung sesama pelempar kartu remi? Selain melempar kartu mereka ke arah lawan, mereka pun harus menghindari kartu yang musuhnya lempar ke arah mereka. Hingga area pertarungan Ru dan Arca terlihat banyak kartu remi hitam dan putih tertancap berantakan di dinding gua hingga berceceran mengambang di kubangan air.

Tapi mereka tidak selalu melempar kartunya untuk menyerang musuhnya. Dalam jarak dekat pun mereka bertarung cukup sengit. Hingga sekarang pertarungan mereka terhenti sesaat untuk mengambil nafas di posisi mereka yang berjarak sepuluh meter saling berhadapan.

"Tch.."

Ru menyeka darah di sudut bibirnya dengan jempol, karena beberapa kali terkena pukulan dan tendangan Arca sebelumnya. Sementara hampir keseluruhan pakaian hitam Arca penuh dengan robekan dengan irisan rapi, dari tebasan beruntun kartu hitam milik Ru saat serangan dekat.

Tapi keadaan Arca sama sekali tidak terluka sedikitpun. Bahkan semua irisan tajam serangan kartu Ru di tubuhnya sudah kembali utuh tanpa berbekas. Gadis ini menggertakan giginya karena kemampuan regenerasi lawannya, ditambah ia sudah terlalu banyak melempar kartu remi miliknya.

'Seandainya tempat ini lebih gelap..' Ru mulai mengeluhkan cahaya remang-remang yang bersinar dari kristal merah di gua ini. Walau mereka tidak bersinar terang, kristal-kristal tersebut berada di segala tempat, hingga tidak ada bayangan sedikitpun di tempatnya berdri. Alasan itu membuat kemampuan bayangannya terbatas.

Arca kembali berlari memotong jaraknya dengan target yang ada di depannya. Namun sebelum Ru bersiap melempar kartu lainnya, matanya mendelik saat pria dihadapannya terbagi menjadi tiga orang dan mulai mengitarinya.

……


Sheraga terseret ke belakang setelah menahan hantaman kuat tombak yang diselimuti sihir dengan pedangnya, dari sosok berjubah yang tudung di kepalanya terlepas, menunjukan sosok pria berkulit putih tanpa sehelai rambutpun di kepalanya. Sang penyihir Baron.

Keringat sudah membasahi tubuh Sheraga karena kelelahan. Ia melihat beberapa titik api dari jubah Baron yang diakibatkan dari serangan balasannya. Tapi api di bilah pedangnya semakin redup berkobar.

"Kau membuatku semakin kesal saja." ucap Baron menatap murka. Pria botak ini melepaskan jubahnya, hingga menunjukan struktur tubuhnya yang besar dan berisi.

Baron mengulurkan tangannya ke arah tempat kristal biru berada dan mulai merapal mantra. Cahaya dari kristal biru semakin terang, kemudian memancarkan petir biru yang langsung mengarah ke tangan pria botak.

……

Saat energi biru besar dari kristal terganggu oleh sihir Baron, semua monster reptil di atas pulau secara bersamaan berteriak dengan suara melengking membuat pulau ini berisik.

"Agh?!" Luna menekan keras kedua telinganya karena tak tahan dengan teriakan para monster reptil yang begitu menyakitkan telinganya.

"Kadal sialan! Sakiiit!!" teriak Nora yang juga ikut ke sakitan menutup kedua daun telinganya.

Tidak hanya itu, para reptil pun bertingkah semakin liar dan tak terkendali. Bahkan sampai menyerang para pasukan mayat hidup, tidak mengenal lawan ataupun musuhnya sekarang.

"Lari!" teriak Luna pada Nora, dan segera berlari mengangkat domba kakaknya pergi dari sana selama ada cela dari monster reptil yang sedang membunuh kawanan mayat hidup. Nora pun ikut lari mengikuti Luna dibelakangnya, tidak lupa membawa dombanya juga.

Tapi saat mereka berdua berlari, tiga ekor kadal bersisik duri setinggi satu setengah meter melihat kedua perempuan tersebut dan mulai berlari mengejar mereka berdua.

……

"Bwahahaha! Sekarang kau akan melihat, Baron yang tak terkalahkan ini!" tawa keras nan jahat dikeluarkan pria ini, setelah cahaya petir biru berhenti memancar padanya, dan perlahan mulai membuat perubahan pada Baron. Tubuhnya yang berotot terlihat semakin besar saja ototnya, sampai urat di ototnya terlihat mencuat dari kulitnya.

Sheraga mengenggang erat pegangan pedangnya. Walau terlihat jelas keadaannya yang sudah hampir kehabisan staminanya tidak seimbang dengan lawan yang ada dihadapannya sekarang.

'Sepertinya memang kristal itu penyebabnya..'

……


"Gaakh?!"

Punggung Ru menghantam keras dinding gua dan sebuah kristal runcing berhasil menusuk pinggang kanannya, setelah tendangan keras Arca dan kedua klonnya bersamaan pada Ru membuatnya terlempar.

Gadis ini meringis menahan sakit di pinggangnya. Namun ketiga pria bertopi koboi mulai mendekatinya lagi saat ia belum bisa bangkit.

'Setan.. jangan sekarang…' keluh Ru dalam batin, saat pandangannya perlahan menjadi gelap. Gadis ini memejamkan matanya untuk sesaat.

Tapi itu hanya perasaannya, mengira Ru akan kehilangan kesadarannya. Cahaya kristal-kristal merah meredup hingga seperti api pada pemantik yang hampir kehabisan bensin. Kegelapan di tempat ini dapat ia rasakan walau dalam mata terpejam.

Ru tahu tidak boleh menyia-nyiakan keadaan yang menguntungkan ini.

"Embodiment…"

Kata yang terucap membisik dari mulut gadis ini, perlahan membuat tubuhnya terlihat menyatu dengan kegelapan tempat ini, hingga Ru menghilang dari tempatnya.

Ketiga Arca terlihat mulai kebingungan, karena target mereka menghilang begitu saja. Hingga mereka bertiga mendeteksi pergerakan bayangan yang sangat cepat melewati mereka begitu saja, diikuti irisan yang mereka rasakan sudah merobek kulit hingga daging.

Tidak hanya sekali, tapi berkali kali bayangan tersebut menembus mereka dari segala arah dengan jeda hanya setengah detik tiap gerakan. Seluruh bagian tubuh mereka bisa dirasakan sudah teriris kembali dengan sesuatu yang begitu tajam dan tipis layaknya pisau bedah.

Dua tubuh pria bertopi koboi ini langsung menghilang menjadi asap. Sementara Arca yang asli terlihat kewalahan karena darah terus mengalir dari luka iris yang cukup dalam dari kartu remi hitam Ru. Bahkan luka yang baru saja tertutup dari kemampuan regenerasinya kembali terbuka dengan goresan baru.

Hingga sosok tubuh Ru yang sekarang terlihat semua serba hitam pekat, termasuk kulitnya, berhenti membelakangi Arca, setelah gerakan dan tebasan terakhir dari sepasang kartu remi hitam dengan lambang As dan Jack diamond di kedua tangannya.

Namun Lady in Black belum selesai. Saat gadis ini berbalik dan mengulurkan tangan kanannya ke depan, lembaran kartu hitam yang seluruhnya hitam tanpa gambar melesat terbang dari telapak tangan kanannya seperti tumpukan kertas yang tertiup angin.

Hingga kartu-kartu hitam tersebut terlihat melayang perlahan mengitari pria ini seperti bibit-bibit bunga dandelion yang melayang di udara.

Satu jentrikan jari dari tangan gadis ini, seketika kartu-kartu tersebut bergerak liar bagai koloni lebah tawon yang marah, mengiris seluruh bagian luar tubuh Arca dengan gadas.

"Gyaaakh!? Hentikaan!!"

Ru tersentak dengan teriakan kesakitan pria ini. Pasalnya dari awal ia bertemu dengan pria ini dan bertarung dengannya, Arca tidak bersuara sama sekali. Sampai baru sekarang ia berteriak sampai memohon padanya.

Gadis ini mengibaskan tangannya sekilas sebari memejamkan mata, seketika kartu-kartu hitam tersebut menghilang bagai asap. Bahkan kulitnya yang hitam perlahan kembali ke warna asli kulitnya dimulai dari kepala.

Arca langsung jatuh berlutut dengan luka irisan di sekujur tubuhnya.

"Kukira kau memang tidak bisa bicara." ucap gadis itu menatap lelah dengan matanya yang kembali normal.

"U-ugh.. Ke-kenapa kau menyerangku..?" tanya Arca mengerang menahan sakit di sekujur tubuhnya yang sudah basah dengan darahnya sendiri.

"Bukannya kau yang tadi pertama menyerang kami?" Ru mengernyitkan keningnya.

"Aku tidak.. ingat… Aku.. baru saja masuk, dan…"

Belum selesai kalimat diucapkan, tubuh Arca pun ambruk ke kubangan air. Namun Ru dapat mendengar pria ini masih bernafas. Sepertinya ia hanya pingsan saja. Bahkan ia melihat luka-luka gores di kulitnya perlahan pulih dengan sendirinya.

Namun mata Ru mendelik dengan keadaan Arca yang terkapar, ditambah pipinya yang merona karena risih. Pasalnya serangannya yang terakhir menghacurkan pakaian pria ini hingga menjadi potongan-potongan kecil. Hingga gadis ini baru sadar, tubuh Arca sekarang tidak tertutup sehelai kainpun.

'Apa aku terlalu berlebihan ya…?'

……


Sebuah hantaman keras dari tombak yang diselimuti cahaya milik Baron kembali menciptakan ledakan. Bahkan lebih besar dari yang sebelumnya, hingga tubuh Sheraga yang telak terkena ledakan tersebut terpental hingga beberapa meter.

Pedang milik Sheraga pun ikut terpental jauh darinya akibat ledakan dari Baron, hingga berakhir tertancap di danau dangkal di sebelah pulau kecil letak kristal biru besar berada.

"U-ukh..!" Sheraga berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya mencoba mengabaikan sakit di tubuhnya. Karena Baron masih terus menyerangnya.

"Tidak kusangka manusia sepertimu masih bisa bertahan menerima serangan seperti itu." Baron nampak tidak senang, pengganggu di depannya masih hidup setelah kekuatan yang ia dapatkan dari kristal biru. "Tidak.. ini masih kurang.. aku butuh lebih.. lebih banyak!"

Hingga tangan Baron kembali mengulurkan tangannya ke arah kristal biru untuk kembali menyedot energi kristal biru besar. Namun sebelum pria tanpa surai dikepalanya itu sempat melakukannya, sebuah peluru bersarang di lengan kiri pria ini menghentikan aksinya.

"Kau pikir aku akan membiarkannya?" Sheraga yang sudah menggenggam dengan kedua tangan senjata api Beretta 92, dengan moncong baru mengepul asap tipis setelah sebuah peluru ditembakan olehnya.

"Beraninya kau.." Baron mengacungkan ujung tombaknya dengan hanya tangan kanannya saja, mulai bersinar kembali dan bersiap dengan sihir cahaya proyektilnya.

Sheraga tetap mengacungkan senjata api di tangannya pada pria kekar yang ada di hadapannya. Namun telunjuknya yang berada di pelatuk tidak mau menariknya lagi. Melihat efek tembakannya yang pertama kali dilontarkan pada Baron, membuatnya ada perasaan takut untuk menggunakan senjata api ini.

Tapi Sheraga terlalu banyak berpikir, hingga Baron sudah berada tepat di hadapannya. Hantaman tombak cahaya Baron dari samping kanannya sedekat itu telak membuat Sheraga kembali terpental hingga menabrak dinding gua. Pemuda ini jatuh telungkup ke tanah dengan luka dalam.

Belum sempat Sheraga mencoba bangkit, punggungnya diinjak keras oleh Baron menambah sakit di badannya mencegahnya untuk bangun.

"Kupastikan kali ini kau mati." Baron menyeringai, mengangkat tinggi tombaknya dengan bilah runcingnya diacungkan ke arah kepala pemuda yang diinjaknya.

Namun gerakan tangan Baron kembali terhenti sebelum bilah tombak hanya berjarak beberapa senti saja dari kepala Sheraga. Karena selembar kartu hitam menancap di pundak kiri belakang pria kekar ini.

"Hei kapten!"

Teriakan perempuan dari arah jalan masuk ke ruangan ini membuat Baron menoleh ke arah sumber suara. Di sana Ru berdiri lemas bersandar di dinding mulut jalan masuk, dengan rambutnya sudah diikat ekor kuda, dan blazernya dilepas dan diikat melingkar pada luka di pinggangnya.

"Kalau kau mati, siapa nanti yang akan menggotongku keluar?" tanya Ru dengan serigai rubah khasnya terpasang. Sheraga yang mengenal suaranya yang lantang tersebut mendengus geli.

Baron menatap murka Ru yang sudah mengganggunya.

"Kau yang akan mati selanjutnya, setelah aku membunuh temanmu ini." ancam Baron kembali mengangkat tinggi tombaknya.

"Hei om. Itu kepala apa lampu bohlam?"

Gerakan tombak Baron kembali terhenti dengan ejekan yang terlontar dari mulut Ru.

"Kulihat kepala kinclongmu lebih terang daripada kristal di sana. Aduh, mataku mulai terbakar kalo lama-lama melihatnya."

Tombak di tangan Baron digenggam semakin keras mendengar ejekan selanjutnya.

"Tutup pakai tudung ato apa kek. Perlu kuambil dedaunan yang mirip rambut di luar pulau untukmu?"

Pria kekar ini sudah tidak tahan lagi. Bahkan urat empat persimpangan mencuat jelas keluar dari kepala mengkilap pria ini. (Oops.. narator malah ikut-ikutan.)

Baron pun mulai melangkah pergi meninggalkan Sheraga yang sudah telungkup lemas, dan menghampiri wanita yang sudah memancing emosinya.

"Sepertinya kau sudah bosan hidup. Jalang.." ujar Baron dengan mimik wajah murka terlihat jelas oleh Ru.

"Memang kenapa? Kau mau aku menyusulmu mati?" Ru masih bersandar lemas tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Malah nampak terlihat tenang dengan senyum manis pada Baron yang sudah ada di depannya.

"Baiklah. Kau yang akan kubunuh lebih dulu." Baron mulai mengangkat tombaknya dengan bilah runcingnya di arahkan ke arah Ru. Namun setelah itu tubuhnya tidak bisa digerakan tiba-tiba. Bukan, lebih tepatnya, semuanya serasa mati rasa.

"Memang kau bisa?" senyum manis dari Ru perlahan berubah menjadi senyum kucing dengan tatapan licik. "Karena malaikat mautku sudah mencabut nyawamu duluan."

Tombak milik Baron tergeletak jatuh begitu saja ke tanah. Bahkan pria kekar ini mulai turun berlutut, hingga jatuh telungkup di bawah kaki gadis ini. Perlahan dari kartu remi yang masih tertancap di punggungnya, kulit putih pria ini berubah menjadi hijau gelap.

Setelah Ru memastikan nafas dan detak jantung pria botak ini tidak terdengar lagi oleh pendengarannya, kartu remi tersebut dicabut dari punggung Baron.

"Terima kasih Jack." ucapnya tersenyum menatap gambar badut yang tesenyum lebar menggenggam sabit pada kartu di tangannya.

……


Luna dan Nora terpojok pada jalan buntu di dinding tebing berbatu saat kadal yang berhasil mengejar mereka berdua.

Domba mereka tidak berhenti mengembik ketakutan dengan monster bergigi tajam yang terus mendesis pada mereka. Bahkan di belakang kadal tersebut terlihat beberapa mayat hidup mendekat.

Namun ketiga kadal tersebut tiba-tiba berhenti mendesis, dan kepala mereka mendongkak melihat ke sekitar seperti kebingungan. Hingga ketiga kadal tersebut berbalik dan meninggalkan para manusia dan domba mereka yang baru saja terpojok oleh mereka.

Bahkan para mayat hidup yang tadinya ada di belakang kadal tersebut menjadi abu dan menghilang tertiup angin.

"Apa.. yang terjadi?" Luna kebingungan menoleh pada Nora di sebelahnya. Gadis berjaket ungu ini pun tidak menjawab karen sama-sama bingung.

"Bhaaaaaa~♪ "
"Bheeeeeee~♫ "

Sekarang kedua domba mereka malah mengembik aneh secara bersamaan, terdengar seperti paduan suara domba yang merdu. Tanpa mereka ketahui, itu adalah sebuah tanda untuk masing-masing pemilik domba dalam kompetisi ini, misi mereka sudah selesai.

Luna yang mengernyitkan keningnya malah heran dengan kelakuan aneh para domba. Apa mereka mabuk?

"Nora.. jangan bilang dombamu juga pernah nyimeng."
"…apa maksud kakak?"

……


Setelah Baron sang penyihir sudah mati, semua mayat hidup di pulau ini hancur menjadi abu. Bahkan para reptil, guardian Gaegator berhenti mengamuk dan menghilang. Kristal biru di perut pulau ini bersinar lebih terang dari sebelumnya.

"Hei kapten. Kau masih hidup?" Ru mencoba mengangkat tubuh Sheraga, hingga memposisikan tubuh pria ini untuk duduk bersandar di dinding berbatu.

"Kau masih memanggilku begitu.." keluh Sheraga menatap malas Ru, walau sebenarnya senang gadis ini membantunya saat seluruh tubuhnya sulit digerakan. "Sudah kubilang panggil aku—"

"Sheraga." potong Ru, ikut duduk ikut duduk menyandarkan punggungnya di sebelah pria ini.

"Jadi, bagaimana kristalnya? Apa si botak itu masalahnya?"
"Mungkin.. kita harus keluar untuk memeriksanya."
"Kau saja yang keluar.. pinggangku masih sakit."
"Apa aku terlihat bisa bergerak?"

Keduanya kembali diam, membuat tempat ini hanya terdengar suara tetesan air yang jatuh dari atap gua. Mereka berdua terlalu lelah untuk beranjak dari tempat itu. Tapi rekan mereka pasti mengkhawatirkan mereka.

"Aku coba minta orang itu untuk membantu kita keluar. Tunggu di sini." Ru perlahan berdiri menekan luka di pinggangnya. Kebetulan ia teringat pada Arca.

"Ah, tapi sebelum itu.." sebelum ia beranjak pergi, tangannya diulurkan ke arah Sheraga dengan telapak tangan ke atas.

"Aku boleh minta rompi dan jubahmu?"



**to be continued?**

17 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : A
    Writing techs : B
    Engaging battle : A
    Reading enjoyment : A

    Make bg item + font putih buat sesuatu yang sifatnya flashback itu ide bagus juga. Lumayan enak diliat ketimbang italic atau ngga sama sekali

    Satu yang saya langsung suka dari baca entri ini adalah banter antar karakternya. Dari Ru sama Luna, Al sama Arca, Ru sama Sheraga, semua yang ada dalem cerita punya chemistry yang asik diikutin. Juga, jarang" saya enjoy ngikutin alur battlenya, terurama pas Ru vs Arca.

    Meski ga banyak yang pengen saya komentarin dari ceritanya sendiri, entri ini termasuk salah satu yang saya lumayan senengin di r1 karena karakter Ru yang suka seenaknya tapi selalu ditunjukin kalo dia punya concern sendiri kegambar baik di sini, ngasih satu impresi yang nempel di kepala saya

    ==Final score: A (9)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh? Bang? Serius nilai ane segitu? *shock*
      Aduh, bang! Makasih banyaaaak

      Sebenarnya ane ngasih beberapa italic juga. Tapi entah kenapa pas diposting di blog semua format italic ilang. Untungnya bg hitamnya bisa nutupin itu.

      Untuk pribadi sendiri ane masih banyak kekurangan, terutama gaya narasinya. Tapi ane seneng kalau ini bener-bener enjoy buat pembaca macam bang Sam xD

      Sekali lagi, makasih banyak dengan komentarnya~

      Hapus
  2. 27. Ru :
    Wah, narasinya udah mulai menunjukkan perkembangan rupanya. Penceritaannya lumayan runtut dan setiap orang memiliki spot yang bagus di sini. Terutama grupnya asher yang malah keliatan kayak party game online di sini.
    Unsur wibunya (maaf) jadi agak berkurang, lebih menonjol “jermannya” dan itu membuat saya semakin nyaman ngikutin ceritanya. Apalagi personalitynya ru juga tambah menonjol.
    Cuma eksekusi endingnya berasa cepet banget. Gak buruk, tp kok impactnya kurang. Tiba-tiba mati ketusuk kartu jack. Dan jg banyak narasi komikal seperti Pria kekar ini sudah tidak tahan lagi. Bahkan urat empat persimpangan mencuat jelas keluar dari kepala mengkilap pria ini. (Oops.. narator malah ikut-ikutan.) meski itu udah ciri khas, tapi rasanya ttp aja jadi ngeganjel buat dinikmatin.

    Nilai akhir 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih dah mampir xD
      Oh ya, yang kartu itu ane beneran lupa, lupaaaa masang penjelasan kalo kartu joker/jack itu punya racun aktif. Soalnya pas ending-ending itu ane sambil ngitung limit words. Bahkan harusnya ada epilog setelah Baron mati. Tapi ga cukup sialnya.

      Makasih komentarnya~

      Hapus
  3. Dan sekali lagi, kejahilan Ru membuat saya terpingkal-pingkal! Bagian terfavorit saya adalah "raungan" perut Ru yang menyentak kaget Luna dan... "Daging bakarku!!!"

    Hal unik yang saya lihat di entri ini, Sheraga dan Ru membawa party ke dalam bingkai mimpi. Saya suka memasukan terlalu banyak karakter karena memakan cukup banyak kata dan ruang karakteriasai, tapi dalam entri ini semua karakter baik main OC atau sub OC dapat tergambarkan dengan begitu "ramai".

    Terimakasih~

    Nilai 9
    OC : Nora

    BalasHapus
    Balasan
    1. ...kecuali si Baron
      Peran dia selain summon undead dikit, dan ane kurang kembangin karakter dia. Nah, mungkin bagian itu yg masih ane kurang.

      Dan dari awal ane desain sub OC Luna cuma buat samsak Ru doang kok <(") #jahat
      Ga ding. Masih jauh cerita yg nanti ane kembangin di R2, kalau lulus..

      Dan maaf peran Nora di sini dikit :'3
      Makasih dah mampir~

      Hapus
  4. Ini mendadak jadi favorit saya karena kamu berhasil menggambarkan semua OC dalam satu ronde dengan porsi yang pas. Ga ada yang lebih ga ada yang kurang. di sini semua berasa seperti karakter utama

    Nilai dari William A. Anderson : 9

    BalasHapus
  5. Ini mendadak jadi favorit saya karena kamu berhasil menggambarkan semua OC dalam satu ronde dengan porsi yang pas. Ga ada yang lebih ga ada yang kurang. di sini semua berasa seperti karakter utama

    Nilai dari William A. Anderson : 9

    BalasHapus
  6. Waduh, di sini Serius ama Gendengnya ada semua. Ntabs banget.

    Saya harus setuju sama kawan-kawan di sini, kalau pemanfaatan karakternya jempol banget. Semuanya pas banget momen-momennya. Tapi walo begitu tetep, Ru yang jadi tokoh utama.

    Nyelipin baper-bapernya juga pinter ini. Bener-bener pas dan enjoy bacanya.

    Ga ada komentar lebih jauh lagi deh, layak buat dapet 9 kalo menurut saya sama Mbah.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  7. Interaksi semua karakternya asik! penempatan jokes nya juga bagus, tambah lagi adegan fighting yang seru, entri ini oke banget!

    Untuk kekurangannya, di bagian narator yang ikut2an itu berasa aneh buat saya. Terus last boss yang mati sama serangan Ru berasa terburu-buru. Di beberapa paragraf ada kata-kata yang diulang, buat saya bacanya jadi berasa canggung, tapi entri ini asik banget buat dibaca.

    Nilai dari saya, 9
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  8. Aku datang sesuai janji. <(") /slap

    Kontranya, dalam satu paragraf sering banget ada kata yang diulang. Macem : 'ingga goncangan di layar di layar diikuti teriakan tersebut berhenti. sudah berubah menjadi guci tanah liat. Bahkan abstrak seperti buatan orang yang baru membuat guci tanah lihat.' - masih banyak yang begini, cukup itu aja buat contohnya. /plak/ Kamu beneran harus ngurangin yang begitu.

    Tapi ya, jujur seneng saya sama karakter Ru yang seenak jidat ngapain-ngapain aja, sama celetukannya juga ajib. Ngingetin saya sama OC sendiri. xD

    Yang bagian geraman perut(?) juga ngena banget, asli. Saya kira bakal ada monster, rupanya suara perut keroncongan. Anjer dah xD
    Tuker-tukeran barangnya juga, ini Ru bakalan makai pakaian OC lain? <(")

    9/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  9. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Sangat Baik = 2
    Enjoy : Baik = 1,5
    EYD : Sangat Baik = 2
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 2 + 1,5 + 2 + 2 = 9,5
    Karena tidak boleh koma jadi dibulatkan menjadi 10

    Wih jadi nilai full.
    Ok poin enjoy berkurang karena ada paragraf yang berlatar hitam-hitam gitu

    NewbieDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
  10. Nuansa kejepangannya kerasa banget di sini. Ini kayak lagi nonton anime. Saya suka sangat.

    Soal gimana cerita diawali saya kira masih ada cara yang lebih baik. Teriakan atau racauan, tanpa disertai deskripsi yang memadai, rasanya ngga cocok diterapkan di media tulisan kayak gini. Karena saya ngga tau dia teriaknya dengan nada yang gimana atau dalam keadaan yang kayak apa. Saya nemu itu di sepanjang cerita

    Baca kemunculan Nora kayak de javu deh, soalnya hampir mirip prelim, waktu dia lagi berburu juga (dan kelaparan). good luck, Ru ~~

    Nilai 7

    BalasHapus
  11. Well yang satu ini benar benar mengusung tema yang kreatif...

    BG hitam itu benar benar cocok untuk Ru yang mengusung tema hitam, benar benar kreatif!

    Diluar itu ceritanya pun sangat enjoy meski jejepangannya terasa sekali, tapi itu ga jadi masalah sih sebenarnya hahahaha

    Nilai 8

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  12. Oh man, saya iri sama kamu. Kamu bisa manage OC segini banyak dengan porsi yang menyenangkan. Sepertinya untuk urusan ngebawain multiple chara saya mesti berguru ke kamu *sungkem*

    Kamu bawain Sheraga lebih "laki" dibanding entri saya. Aduh, so swit. :" Kamu bahkan bawain Shena Shalafar yang saya gak bisa bawakan akibat ... yeah, saya takut ceritanya jadi hilang nuansa serius. wkww. Walau ada hal minor: Orim ngomongnya kan bikin cape ati. Kayak gini: "Halo ... Ru. Bagaimana ... kabarmu? Aku ... Orim." Make jeda gitu.

    Sial, sial, sial ... Saya teranjay" baca entri ini. Sebab karakterisasinya yang bangkrek sekali. Semua kena dan pas. Aduh, Ru, kamu layak dapat pisang emas (y) #plak

    Tapi saya ada kritik, nih. Ituh ... pertama, bahasanya tulung rapiin. Saya sering nemu eror. Ini gak bisa diabaikan. Suer deh. Niscaya entri-entrimu bakalan top markotop kalo bahasanya diperbaiki. Well, TBH, saya ini tipe yg susah masuk cerita kalo banyak erornya. :" Maafkan :" Terus juga menurut saya banyak adegan yang kurang penting, seenggaknya buat saya.

    Saya titip 9 deh. Tadinya pen 10. Mostly karena penuturannya, jadi minus 1. Maaap, maaap :"

    Pokoknya Ru mesti berkembang. Ini OC sangat menggemaskan :"

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  13. Those white in black text!! My eyes hurts... so much pain...

    Wkwkwkwk. Dombanya high gara-gara weed. Sialan dikira monster apa ternyata suara perut. Interaksi antar karakter bagus, rotasi spotlight juga membagi rata jatah tampil tiap karakter.

    Masalah minor sih. Text putih background hitam, walau komentar di atas bilang unik, bagiku menyakitkan, kontrasnya membuat mataku berkunang-kunang.

    Nilai 9~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
  14. "Nora.. jangan bilang dombamu juga pernah nyimeng."

    Buahahahha. Jadi emang beneran teler ya itu dua domba. Banyak banget petualangan di sini, dan kekonyolan bisa berasal dari karakter mana saja walaupun tingkah Ru yang paling menonjol.

    Memorable scenes:

    -Interaksi Luna dan Ru. Selalu keliatan akrab dan becandaannya khas ade kakak. Sampe mau dibuang ke jurang segala.

    -Arca x Al. Ini perang bacot dan Arca keliatan ngeselin banget sikapnya di sini. Kayak beneran ga nganggap Al cewek samsek.

    -Nora-Luna. Jadi mereka ketemu kareba makanan ya.

    -Petualangan Sheraga dan Ru dan Shena. Love interest Sheraga-Ru kerasa nih.

    Lalu, di entri ini banyak banget monster2 yang muncul. Jadi hampir tiap bab selalu kerasa ada tantangan buat karakternya.

    Feedback minor: ada beberapa kslimat yang redundan, yang dibilang Orim waktu ngelawan (lupa monster apaan), juga pada saat penggambaran setting. Tapi bukan masalah besar. Bisa jadi karena kecepetan ngetik.

    9

    Pucung

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.