Adolf
menemukan dirinya terbangun dan tersadar, berdiri di dalam sebuah ruang
operasi. Seorang lelaki berdiri di sudut ruangan, mengenakan pakaian yang sama
dengan dikenakan para dokter dan suster. Tertidur di atas meja operasi, seorang
wanita cantik dengan rambut cokelat yang diikat kebelakang.
Mimpi? Pikirnya. Adolf mengelap pipinya yang basah, dan teringat
bagaimana ia menggunakan kompres es untuk mengobati memar di pipinya tersebut.
Sebelumnya ia berada di kamarnya, di atas ranjangnya sebelum terlelap tertidur.
Ia
mendecakkan lidahnya, hendak pergi ketika apa yang nampak seperti proses
operasi bedah melahirkan. Tapi ada sesuatu yang menarik Adolf, memaksanya untuk
menonton. Wanita itu. Wajahnya nampak letih dan pucat, tapi di matanya menyala tekad
yang membara. Ia nampak tabah menunggu, sementara dokter dan suster, dengan jas
hijau dan masker mereka, sibuk membedah perutnya. "Bayinya!" Seru si
dokter tiba-tiba, dan seketika suasana di dalam ruang operasi berubah menjadi
lebih riang dan gembira.
Seorang
bayi, masih berselimutkan lendir dan tali pusar yang masih menyambung,
digendong dengan perlahan-lahan oleh si dokter dan diserahkan ke seorang
suster. Si dokter mengambil sebilah gunting, lalu memotong tali pusar si bayi.
Tapi kebahagiaan si ayah berlangsung singkat, dipotong oleh suara mesin
meraung-raung dengan nyaring. Tim dokter dan suster panik, menyadari terjadi
sesuatu yang salah dengan kondisi si ibu. Di tengah kekacauan itu, seseorang
menepuk pundak Adolf. Ia mengenalinya sebagai ayahnya, James Castle. Ia nampak
muda dan tampan, dengan wajah yang penuh dengan kekhawatiran dan
ketakutan.
Dan
seketika Adolf tahu dan ingat, pada cerita yang diceritakan kepadanya oleh
ayahnya berulang-ulang. Mereka menonton bersama, bagaimana mereka mencoba
menyelamatkan wanita itu. Lalu bersamaan dengan monitor yang menunjukkan garis
datar, bahunya dicengkram erat-erat. Adolf menoleh dan melihat wajah ayahnya
menua, menampilkan kemarahan dan kebencian yang begitu mendalam sebelum
berbisik, "Ini semua karenamu."
Adolf
di dorong olehnya, dan terjatuh ke dalam sebuah lubang yang sebelumnya tidak
ada disitu. Dan dia menemukan dirinya di dalam lemari pakian di kamarnya,
bersembunyi. Ayahnya masuk ke kamarnya, mukanya merah karena mabuk dan sebotol
bir ada di genggaman tangannya. Ia menyibakkan selimut kasurnya, mengumpat
ketika melihat dia tidak ada di situ. Tak butuh waktu lama baginya untuk
menemukan Adolf, menyeretnya keluar sebelum menghajarnya unntuk melampiaskan
stressnya.
"Hendrik
brengsek!"
"Perhitunganku
yang benar, bukan dia!"
"Kenapa
mereka tidak menerima penemuanku?!"
"Aku
yang tercerdas!"
"Kenapa
kau lahir!?"
"Jess,
oh, Jess sayangku! Kau membunuhnya!!"
Dan
dengan setiap pukulan, dan dengan setiap tendangan, Adolf menangis sambil
meminta maaf. Ayahnya mengayunkan botol birnya. Adolf mengernyitkan matanya dan
ketika ia menyadari bahwa kini ia sedang berjalan menuju ke atas panggung,
disorot dengan lampu yang terang. Sambil berjalan, menerima tepuk tangan dari hadirin
yang duduk di kiri dan kanannya, mencari sosok ayahnya.
Mimpi, sebuah mimpi buruk lainnya.
Bisiknya dalam hari, sembari menaiki tangga. Ia merasakan senyumnya mengembang,
sembari ia berjalan menerima penghargaan. Juara ketiga kontes piano. Ketika ia
pulang, ayahnya meremat sertifikatnya dan memukulinya dengan pialanya.
"Bodoh, begitu saja tidak bisa!" Serunya. Adolf berdiri di luar
jendela, menonton bagaimana ia memukulinya hari itu. Ia menonton bagaimana dia
meringkuk di lantai, melindungi kepalanya dengan tangannya. Ayahnya, Professor
Doktor James Castle, selalu merasa bahwa Adolf seharusnya sepandai dirinya atau
jauh lebih pandai darinya. Atau setidaknya memiliki kemampuan khusus di bidang
yang lain. Musik, olahraga, seni, akting. Apa saja. Tapi sayangnya, Adolf
bukanlah seorang yang spesial.
Kemudian
tiba-tiba, ia dibawa kembali ke beberapa waktu yang lalu.
James
Castle memukul anaknya, seperti yang biasa ia lakukan ketika ia merasa marah
dan kecewa dengannya. Sekali, kemudian lagi dan lagi hingga merah dan perih
pipinya. Dan dengan setiap pukulan, Adolf melihat bagaimana wujud James Castle
membesar.
"Kau
harus ke Cambridge!"
"Untuk
apa kau tiba-tiba ingin ke Oxford!?"
"Untuk
pertama kalinya kau melakukan sesuatu yang membuatku layak memanggilku
anak!"
"Bodoh!
Bodoh! Bodoh!"
Wajahnya
menjadi lebih buas, matanya menjadi liar, setiap pukulan menjadi rantai berat
dan kuat yang ia ayunkan berulang-ulang. Adolf mencoba mengangkat tangannya,
untuk melindungi kepalanya, tapi tak bisa. Ia melirik ke bawah dan melihat
tangannya terborgol, terantai oleh rantai yang besar dan berat. Ayahnya berubah
menjadi sesosok penjaga raksaksa. Dua kali lebih tinggi darinya dengan tubuh
yang tegap dan besar, mendorongnya masuk ke sebuah ruang bawah tanah yang gelap
dan pengap dengan sebuah dorongan kasar. Tawa puas ayahnya menggema ke seluruh
penjuru dunianya, mengunci dirinya di dalam dengan jeruji tebal dan besar.
Gelap
dan pengap, begitulah yang Adolf rasakan selama bertahun-tahun.
Terjebak,
ditahan oleh ekspetasi dan impian ayahnya. "Kau harus masuk Cambridge!
Jangan sampai kau gagal, seperti aku!", kata ayahnya berulang-ulang
seperti sebuah mantera. Bisikan ayahnya yang penuh dengan bisa dan racun
mengikatnya lebih erat lagi, ejekannya menjatuhkan dan menyakitkan.
"Apa
kau benar anakku?"
"Ini
gampang sekali, kenapa kau tidak bisa?"
"Kenapa
kau tidak bisa menang?"
Dan
hal-hal inilah yang membuat Adolf membenci dari orang-orang yang... penuh
dengan mimpi. Senyum mereka begitu indah, mata mereka penuh dengan optimisme,
suara mereka penuh dengan kepercayaan diri. Begitu positif, begitu bebas,
begitu mengontrol, begitu cerah hingga Adolf merasa muak melihatnya. Dan dari
mereka semua, tidak ada yang Adolf lebih benci selain Alice Grant. Begitu
murni, begitu sempurna. Gadis yang baik dan cantik, dari keluarga bahagia,
nilai dan prestasinya luar biasa, populer dan dicintai semua orang. Ia sudah
mendapatkan apa yang banyak orang inginkan, apa yang banyak orang harapkan. Dan
dia masih bermimpi. Bukankah dia begitu serakah?
Di
tengah kegelapan itu, Alice Grant bersinar layaknya sebuah lilin. Kecil, tapi
apinya cukup memberikan sinar. Ia tersenyum, menghampiri Adolf yang membawa
piala juara utama.
"Selamat!"
Ucapnya riang, dengan suaranya yang merdu.
"Untuk
apa?" Adolf bertanya, bingung dan heran. Ini pertama kalinya seseorang
memberikannya selamat, memberikannya ucapan, dan disaat yang sama untuk pertama
kalinya Adolf berhasil meraih apa yang ayahnya inginkan darinya, harapkan
darinya.
"Aku
baru saja mengalahkanmu, bukan? Dengan ini, kau tidak bisa pergi ke Cambridge,
bukan? Kau ingin ke sana, benar?"
Alice
terdiam, dan dengan senyuman yang manis menjawab, "Ya."
"Lalu
kenapa kau tidak marah padaku? Membenciku?" Adolf bertanya lagi.
"Bukankah aku menghancurkan impianmu? Keinginanmu? Orang tuamu tidak
kecewa? Tidak marah?"
Alice
menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah mengerti sesuatu. Ia tersenyum dan
menggeleng, "Tidak, tidak sama sekali. Memang aku tidak bisa ke Cambridge,
tapi bukankah masih banyak pilihan lain? Misalnya... Oxford?"
"Tapi
kau selalu ingin ke Cambridge, kenapa kau harus memilih yang lain?"
"Adolf
Castle," Panggil Alice Grant. "Hidup itu tidak se-simpel itu. Hidup
kita itu seperti langit malam yang bertabur bintang. Begitu banyak pilihan,
begitu terbuka dan begitu indah!"
Ucapan-ucapan
ayahnya menghilang, bisikannya digantikan dengan suara yang tidak pernah ia
dengar sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya, Adolf tahu apa yang ingin ia
lakukan. Ingin ia lihat. Ingin ia capai.
Alice
Grant, ketika mimpi-mimpinya hancur dan bintang-bintangnya menghilang. Apakah
dia akan putus asa? Apakah dia akan kehilangan semangat? Apakah dia akan
tertelan gelapnya malam, terbelenggu seperti dia saat ini? Dan untuknya, ia
melawan kehendak ayahnya. Ia harus keluar dari penjaranya sendiri.
Maka
Adolf berdiri tegak, menghentakkan kakinya dan mengayunkan tangannya,
melepaskan rantai yang mengikatnya. Ia menghela nafas, dadanya terasa ringan
dan tanpa merasa takut ia menerjang ke depan. Jeruji penjaranya terjatuh ke
depan, seolah membukakan jalan baginya. Dan Adolf berlari, menyusuri lorong
gelap menuju ke cahaya di ujung. Kakinya menyentuh pasir yang dingin, sebuah
area pertarungan di tengah bangunan yang nampak seperti koloseum.
Dipandangnya
ayahnya dengan berani di mata, sesosok raksaksa yang berdiri menantangnya.
Ayahnya mengayunkan rantainya, Adolf melompat ke samping untuk menghindar. Ia
terjatuh ke pasir, dan tangannya menyentuh logam. Di tariknya keluar sebilah
pedang panjang, beratnya pas dan seimbang di tangannya. Senyum Adolf
mengembang.
Ia
membalik badannya, dan sekali lagi mulai berlari. Mudah bagi Adolf untuk
membaca serangan ayahnya. Semenjak dahulu, ia menggunakan senjatanya dengan
cara yang sama. Diayunkan dari atas kebawah, kiri dan kanan. Pukulan dan
tendangan yang sama, umpatan dan ejekan yang sama. Ia sudah menghafalnya, ia
sudah mengingatnya, semuanya bak terpahat di tubuh dan pikirannya.
Ia
bukan atlet terbaik di dunia, tapi ia cukup baik untuk mampu menghindar dari
serangan-serangan ayahnya. Berhenti sebelum rantai tersebut jatuh di atas
kepalanya, lalu menggunakan debu pasir yang berterbangan kemana-mana untuk
mendekat ke ayahnya. Diperhatikannya bagaimana ayahny, menyadari apa yang ia
lakukan, menjatuhkan rantainya ke tanah lalu mengayunkannya ke samping bak
pemain golf yang akan memukul bola. Melihat rantai besar yang menuju ke arahnya
dengan cepat, Adolf berhenti berlari dan memegang ganggang pedangnya
erat-erat... Lalu menyabitkannya kedepan, memecah rantai ayahnya seolah itu
terbuat dari gelas kaca yang rapuh.
Dilihatnya
bagaimana mata si raksaksa membesar, terbelalak tidak percaya. Mungkin ia
bingung, menerka-nerka apa yang Adolf rencanakan dan bagaimana caranya
menghentikannya dan membuatnya kembali patuh kepadanya. Kembali menjadi seorang
robot yang hidup hanya untuk meraih apa yang James Castle tidak bisa capai,
sebuah boneka yang digerakkan dengan benang tali.
"Cukup."
Adolf mengangkat tangannya, sebelum ayahnya dapat menyerangnya kembali.
"Cukup."
"Kau
berani menantangku? Anak durhaka, jangan lupa kau banyak berhutang
padaku!" Ayahnya menjawab. Ia meyusut, dengan setiap kalimat yang ia
lontarkan padanya. "Banyak sekali, termasuk nyawa ibumu."
"Aku
tahu." Adolf menjawab.
"Lalu
kenapa kau—"
"Karena..."
Adolf tercekat. "Aku bukan kau. Aku tidak sepandai kau. Aku tidak mau
masuk Cambridge, hanya karena kau dahulu tidak berhasil masuk ke sana. Aku
tidak bisa bermain piano, seindah yang kau inginkan. Aku tidak pandai sepak
bola, hanya karena kau pemain yang jago sewaktu muda."
"Omong
kosong!" James Castle menjerit. Ruangan bawah tanah itu perlahan memudar,
berganti menjadi ruang keluarga rumah mereka. "Ini tak masuk akal!"
"Memang
tidak."
"Apakah
kau tahu, seberapa malunya aku?" Ayahnya menepuk dadanya. "Tidak
seperti ayah-ayah lainnya, aku tidak bisa bercerita mengenaimu! Kenapa? Tidak
ada yang bisa diceritakan! Tidak ada prestasi! Tidak... Tidak..."
"Tidak
berharga?" Adolf melengkapi, ayahnya mengangguk seolah mengiyakan.
"Itu sesuatu yang harusnya aku tentukan sendiri."
"Aku
tak ingin menjadi cerminmu lagi." Bisiknya, dan ia kembali ke rumahnya. Ia
berdiam, menonton bagaimana wajah tua ayahnya yang penuh duka dan kepahitan
menghilang, digantikan dengan wajah tampan yang ia miliki waktu ia masih muda.
Begitu penuh semangat dan harapan, seperti orang-orang yang Adolf benci.
Ayahnya yang mati, bersama dengan ibunya delapan belas tahun yang lalu.
"Aku
kalah." Untuk pertama kalinya, Adolf melihat ayahnya tersenyum.
"Dan
aku salah." Dan lagi, untuk pertama kalinya Adolf mendengar ayahnya
meminta maaf.
"Dan
aku menang." Adolf berkedip tak percaya. Ia menghembuskan nafas lega, menjatuhkan
pedangnya yang menghilang sebelum menyentuh tanah. Adolf terdiam,
"Aku akan mencari mimpiku sendiri."
Ayahnya
mengangguk.
"Aku
akan mencari tujuanku sendiri."
Ayahnya
mengangguk lagi. Adolf ingin melanjutkan, mengucapkan sesuatu, mengatakan
sesuatu, menyampaikan sesuatu. Tapi apa? Begitu lama ia diberi naskah,
berakting sesuai yang ayahnya inginkan hingga ia kesulitan menemukan
kata-katanya sendiri.
"Sudah
waktunya." Ayahnya tiba-tiba berkata, seolah mengingatkan bahwa semua ini...
Hanyalah sebuah mimpi. Ia akan terbangun, dan kembali ke dunia yang gelap dan
pengap itu. Tapi ia jika ia bisa melawan bayangan ayahnya, seharusnya ia bisa
melawannya juga ketika ia terbangun. Sekali lagi, sekitarnya berubah. Menjadi
lebih sempit, dengan sebuah pintu di belakangnya. Adolf berbalik dan
mendorongnya terbuka, kemudian kakinya terjatuh ke sebuah ruangan hampa. Ia
meremat ganggang pintu dan hendak meraih daun pintu, tapi sebelum ia sempat
pegangannya terlepas dan dia terjatuh jauh, jauh sekali ke bawah... Dan ia
mendengar suara tepuk tangan, dua sosok orang yang berdiri di sudut matanya.
"Siapa?"
Ia menoleh, bertanya dengan penuh tanda tanya. Bukankah dia terjatuh tadi?
Kenapa dia sekarang merasa seperti terduduk di sesuatu yang solid? Kenapa bisa
ada orang disini, di dalam mimpinya? Apakah dia bertemu dengan mereka
sebelumnya? Kalau tidak salah, ada penelitian yang mengatakan bahwa wajah orang
yang muncul di dalam mimpi adalah wajah dari orang-orang yang pernah dilihat
atau dikenal oleh kita. Tapi setelah dilihat baik-baik, mana mungkin dia pernah
mengenal seorang... wanita... berkepala bantal?
Adolf
mengamati sosok aneh itu, si kepala bantal yang bergerak mundur bersembunyi di
belakang seorang lelaki berkacamata hitam dengan jubah bulu dan jas formal.
"Paman
Nurma, dia bukan orang porno kan?" Tanya si kepala bantal.
"Tentu
saja bukan, dia hanya kebingungan melihatmu."
"Oh iya
ya."
"Ya iya
lah." Orang yang di panggil Nurma itu menjawab seenaknya, lalu berjalan
menghampirinya dengan seringai di wajahnya. "Adolf Castle, bukan? Kami
memperhatikan mimpimu sedari tadi. Luar biasa, akhirnya kau berani melawan,
membebaskan dirimu dari tirani— Ayahmu sendiri!"
"...
Siapa?" Tanya Adolf, mencubit-cubit pergelangan tangannya tapi tak ada
yang terjadi meskipun terasa benar sakitnya. "Ini... Aku...
Bermimpi?"
"Benar
sekali! Nih, tangkap!" Si kepala bantal melemparkan sesuatu ke arahnya,
yang Adolf tankap dengan hati-hati. Seekor domba hidup, mengembek di
pelukannya. Ia menatap penuh tanya ke si kepala bantal dan lalu Nurma, yang
dengan segera menjelaskan.
"Namaku Zainurma, dan si kepala bantal ini bernama Ratu Huban," Ia
memperkenalkan diri, sebelum melanjutkan. "Kami sedang mencari para
pemimpi... Dan kau, seorang pemimpi yang masih mencari alasan untuk apa ia
bermimpi, mencari tujuan dan impiannya sendiri..."
"Alasan
untuk mencintai dan dicintai... Untuk, siapa gadis itu tadi— Alice Grant? Oh!
Begitu romantis!" Si kepala bantal menjerit gembira.
"Untuk
menghancurkannya." Adolf membenarkan. "Untuk melihatnya jatuh dan
menangis putuh asa."
"Ya, ya,
terserah kau." Zainurma memotong. "Dengar, kami tak punya banyak
waktu... Kau mau ikut, atau tidak?"
"Apa
untungnya jika aku ikut?"
"Ada
banyak orang yang mengikuti kompetisi ini. Banyak sekali. Dan mereka semua
datang dari berbagai dimensi, berbagai dunia, dengan berbagai cerita, berbagai
kekuatan dan membawa berbagai mimpi dan harapan." Zainurma membuka kedua
tangannya dengan dramatis. "Kau, yang baru saja terbebas... Tidakkah kau
ingin belajar lebih banyak? Supaya kau bisa mengerti?"
Itu, diluar
dugaan, terdengar seperti sebuah tawaran yang sangat menggoda. Memang benar,
Adolf ingin tahu lebih banyak lagi. Mengenai mimpi, harapan, dan cinta.
Mempelajari orang lain, mengamati orang lain, lalu perlahan-lahan membentuk dan
memiliki miliknya sendiri.
"Baiklah."
Dan untuk ketiga kalinya, Adolf mengambil keputusannya sendiri.
>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 10I] 30 - ADOLF CASTLE | ALL IS FAIR IN...
Sama kayak entri Anita, entri ini banyak main di pergolakan batin - dan kebetulan dengan setting mimpi gini, bikin jadi kerasa pas sama tema defy the tyrannynya. Mungkin masalahnya sederhana, ayah yang pengen anaknya nerusin mimpi yang gagal, tapi presentasinya lumayan bagus - meski saya ga nangkep Adolf ini bisa apa kalo ditemuin sama lawan" aneh nantinya
BalasHapusNilai 8
"meski saya ga nangkep Adolf ini bisa apa kalo ditemuin sama lawan" aneh nantinya"
HapusSebenernya rintangan utama Adolf adalah melawan hal yang berbau supernatural/paranormal. Kalau masih sama-sama manusia, Adolf masih bisa membalik keadaan dengan mudah.
Wow!
BalasHapusDefy the tyranny nya sudah cukup dapat dimengerti dengan permainan batin yanv asyik,sejauh ini tidak melihat typo,intinya sih cerita ini berpotensi serta mudah dipahami
Nilai 8
Oc Ganzo Rashura
HapusThank you~!
HapusIni adalah kisah sinetron. Tapi tidak seperti sinetron, tokoh utamanya punya cukup resolve dan nyali untuk menghadapi masalahnya sebelum berlarut larut menjadi banyak episode. Lol.
BalasHapusNarasinya lancar dan ceritanya asyik. Pembangunan konfliknya mantap. Yang bikin saya nggak ngasih 9 hanya karena resolusi konflik sama bapaknya terasa terlalu cepat. Mungkin setelah pembangunan konflik seperti itu saya ingin struggle dan rasa puas yang lebih besar waktu Adolf menyingkirkan kekuasaan bapaknya atas dirinya.
Skor: 8/10
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Ini adalah kisah sinetron. Tapi tidak seperti sinetron, tokoh utamanya punya cukup resolve dan nyali untuk menghadapi masalahnya sebelum berlarut larut menjadi banyak episode. Lol.
BalasHapusNarasinya lancar dan ceritanya asyik. Pembangunan konfliknya mantap. Yang bikin saya nggak ngasih 9 hanya karena resolusi konflik sama bapaknya terasa terlalu cepat. Mungkin setelah pembangunan konflik seperti itu saya ingin struggle dan rasa puas yang lebih besar waktu Adolf menyingkirkan kekuasaan bapaknya atas dirinya.
Skor: 8/10
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Untuk kisah drama, yang berfokus pada pergolakan hati tokoh, 2200 kata sepertinya terlalu sedikit. Pada awal, masalah yang dialami tokoh cukup intense, namun kian kesini semakin cepat mengendur, dengan masalah yang cukup berat tiba-tiba terselesaikan begitu saja. Apalagi Adolf yang terkesan biasa saja walaupun masalah utamanya dengan ayahnya telah terselesaikan.
BalasHapusNamun, disamping hal itu. Dari awal hingga akhir naskah benar-benar lancar. Cerita enak sekali diikuti membuat saya tak menyangka bahwa telah selesai membaca kisah Adolf ini.
Nilai 8
OC: Alexine E. Reylynn
GHOUL: “Adolf Castle itu merek dagang yang selalu dipakai komikus menggambar, kan :=(O? Eh meja oprasi? Aku juga pernah berada di sana, di sanalah igaku dicuri (terkenang masa lalu dengan mata berkaca-kaca, sambil megang sisi perut). Duh ayahnya abuse banget, ayahku sangat lembut padaku. Ntar aku cerita betapa lembutnya ayahku itu di entriku, so tengok ya, Castle. Kalo aku ampe bertarung ama doi, paling aku akan ungkit-ungkit masa lalunya yang suram digebukin ama bokapnya hahaha…!”
BalasHapusSHUI: “…” (enjoy banget membacanya sambil merokok santai dari awal ampe ting!).
GHOUL: “Baru baca baris pertama, duh dah bikin mata ini pindah ke baris-baris berikutnya dan… (menitikkan air mata begitu membaca adegan berikutnya T0T). Oke! (sambil menghapus air mata), gak ada yang ngebosenin di entri ini, alurnya juga ga lamban dan pertarungannya simple-simpel aja hingga mudah dimengerti. Meski konfliknya sih dah biasa, tapi imajinatif mimpinya tinggi n kayak film aja ngeliatnya sih. Aku gak heran napa Shui ga ngedumel membacanya soalnya semuanya mudah banget dimengerti—ngalir bangetlah!” b^0^d
SUNNY: “Tapi tunggu dulu! Baru paragraph pertama, aku dah nemuin beberapa typo. Tuh kan masih ada kata ‘dan’ yang didahului koma padahal hanya 2 frase di sana, koma sebelum kata ‘dan’ boleh digunain kalo lebi 2 frase. Typo-nya itu, loh!”
GHOUL: “Mimpinya bagus dan imajinatif banget. Shui kasih 8, tapi aku sih beda. Kami terenyuh menyaksikannya hingga kami berani mengeluarkan angka 9 tuk entri ini. (focus ke Shui lagi) Shui, kau kok baca ulang, sih? Pasti lagi nyari-nyari cacatnya di mana ya karena ga bisa kasih kritikan pedasmu? Ato doyan? Udah, ayo ngereview entri di sebelah gih!” (narik-narik tangan Shui dan Sunny)…
\(^0^)/
Pergolakan batin yang dijabarkan dengan bagus. Bagaimana awal mula ayahnya menyalahkan Adolf karena istrinya meninggal saat melahirkan Adolf. Kemudian semakin lama membentuk karakter Adolf sesuai dengan yang diinginkannya. Sedikit romantis dengan Alice, akhirnya Adolf berhasil defy the tyranny
BalasHapusTemukan kehidupanmu sendiri, Adolf....
nilai 8
Merald
Ini seperti drama, sebuah drama yang menarik dan mengharukan. Perjuangan adolf untuk terus bertahan hidup meski kehidupannya berada di tangan besi sang ayah, kisah romantis juga sedikit terjadi di sini antara adolf dan iris. Pandangan Adolf terbuka dengan pemikiran dari gadis seceria alice. Bisa dibilang, Alicelah penentu kisah kehidupan Adolf selanjutnya.
BalasHapusNice...
Nilai : 8
Mahapatih Seno
Saya sempat mengira saya sedang membaca naskah sinetron dalam bentuk cerpen hueheuheuehuehuheu.
BalasHapusTapi serius, untuk ukuran jenis-jenis drama/sinetron, Adolf dan pemeran-pemeran lainnya apik dalam menyampaikan konflik cerita. Tidak terburu-buru, walau saya rasa sebenarnya cerita ini bisa dipanjang-panjangkan layaknya sinetron yang sesungguhnya #eh
Karena tidak ada unsur fantasiyah yang banyak, saya cukupkan penilaian saya di narasi, karakterisasi, dan alur cerita.
Saya beri 8/10 karena Adolf yang seorang manusia biasa bisa memperlihatkan pergolakan luar biasa di bingkai mimpi.
Salam Super dari Mbah Amut atas titipan Enryuumaru
entri yg berbeda diantara yang lainnya. konflik batin itu sesuatu yang agak sulit dikerjakan menurut saya. tapi bisa di entry ini bs disampaikan secara runtut. 8
BalasHapusKuro Godwill
Drama yang cukup banyak dialami kita-kita. Impian yang diwariskan. One Piece! Bukan. Jadi sedikit review, Adolf adalah seorang anak yang terjebak dan akhirnya bisa bebas. Emosi di cerita ini sendiri beneran kerasa, dan saya nge-feel gatau kenapa di kalimat ini: "Ayahnya yang mati, bersama dengan ibunya delapan belas tahun yang lalu." Demhn. Selamat berjuang Adolf, selamat datang di kubu kebebasan. 8/10
BalasHapusOc: Namol Nihilo
pergolakan batin yang bagus dari adolf. awalnya nggak begitu mengerti, tapi setelah baca jadi ngerti maksudnya.
BalasHapusnilai 8. semoga sukses.
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Ide : Sangat Baik = 2
BalasHapusPlot : Sangat Baik = 2
Tingkat kemudahan di cerna : Sangat Baik = 2
Usaha : Sangat Baik = 2
EYD : Sangat Baik = 2
Dengan nilai sempurna seperti ini apa yang bisa saya komentarin?
Nilai : 10
Newbiedraft / Revand Arsend
errm.. kayaknya udah banyak yang ngupas deh
BalasHapusejauh ini pergolakan batin emang paling seru dijadiin bahan konflik dalam cerita. saya liat author udah berhasil membawakan tema tsb dengn baik dan gak pake alur bertele-tele.
cuma ya kok ngerasanya cuma gitu doang.. abis, selesai trus apa lagi.. ane harapkan konflik buat ke depannya jauh lebih seru dari prelim ini
8
Hm...
BalasHapusKonflik batin antara Adolf dan sang ayah. Sudah cukup oke sih, sayang perlawanan dari sang tiran kok hanya gitu aja. Kesannya semudah itu, dan kalau dari dahulu Adolf mau melawan mungkin sang ayah akan oke saja. Sang tiran jadi kurang berasa tiran di sini.
Ah well, meski agak kurang puas di bagian konflik, setidaknya dari segi penulisan sudah baik dan bisa saya nikmati~
This Lost Boy can get 8 points from me!
Asibikaashi
Oh ya ... saya udah baca dari lama tapi ternyata belum komen ._.
BalasHapusSaya hampir-hampir lupa gimana ceritanya alhasil buat bacaan kedua, saya ngeskim (yang pertama saya nggak ngeskim sama sekali). Ya, penyampaiannya oke dan mudah dicerna. Cuma ada kesandung-sandung dikit di beberapa bagian. Mungkin karena pengetahuan saya yang kurang perihal BG si OC. Sekali lagi, nemu drama pergolakan batin. Dan yang melegakan, itu bisa nyampe dalam jumlah kata yang bisa dibilang sedikit (kelemahan saya). Cuma yha ... masih kurang menggigit konflik batinnya, IMO. Pas selesai, yah kurang meninggalkan kesan, gitu.
Jadi ... saya titip 8.
-Sheraga Asher
"Untuk pertama kalinya kau melakukan sesuatu yang membuatku layak memanggilku anak!"
BalasHapus>> Mich, ini typo nggak sih? Sorry, saya mikire ini bapak yang ngomong, si James. Tapi kenapa 'memanggilku' bukan 'memanggilmu' ya?
Plus :
+ Konflik dan Battle
SATU KATA : UNIK. Battlenya full dengan perang batin. Konfliknya juga rapi. Mulai dari awal kelahiran yang mestinya ditunggu tapi jadi bencana karena mamanya mati, mulai dari si Bapak yang depresi jadi single parent, sampai akhirnya si Adolf sadar bahwa dirinya adalah milik dirinya sendiri. Mimpinya juga kerasa banget hahaha
+ Bahasa
Ringan. Saya senang baca yang ringan-ringan ditambah temanya ga gitu berat. Asik aja gitu, ngalir
Kalau boleh kritik, kekurangannya satu : Kurang panjang xD
Sempet "Loh, abis?" Orz
Tapi ga jadi nilai minus sih, terlalu trivial alasannya
SCORE
Basic : 5
Plus : 2
Minus : 0
Total Score = 7
-Odin-
konflik batinnya ngena banget @3@, cuma beberapa bagian translasiscene err.. kyag bermimpi itu saya ada yg kurang nangkep tapi meskipun gitu saya masih puas bacanya meskipun kudu pelan-pelan biar paham.
BalasHapuserr.. 8/10
Kagero Yuuka
OC: Airi Einzworth