Rabu, 27 Juli 2016

[ROUND 1 - 11K] 14 - SAMARA YESTA | ENTER THE DRAGON


oleh : Chandra Wu

---

ENTER THE DRAGON

Manusia, penyihir, naga, dan pemimpi. Pertempuran antar ras telah menuaikan mayat-mayat di medan perang. Tidak pernah terjadi perang dengan efek sedahsyat ini sebelumnya, walaupun melibatkan banyak pihak sekalipun. Kedua belah pihak yang berseteru mendapat pinjaman kekuatan dari beberapa pemimpi yang membuat perang kali ini menjadi berbeda.

Para pemimpi sebelumnya ditarik ke dalam sebuah museum yang sama, di mana untuk waktu yang singkat, mereka dapat saling melihat satu sama lainnya untuk pertama kali. Setelahnya, masing-masing dikembalikan lagi ke bingkai awal, tempat semuanya bermula.

Adalah dia—Samara Yesta—yang kembali ke bingkainya ditemani seekor domba. Dia ingat betul, itu hanya memakan waktu dua puluh menit, mungkin kurang, tapi keadaan apartemen ini seolah tak terjadi apa-apa. Tidak ada seorangpun yang menyambut kedatangannya di sana. Sepi dan hening.


Entah mengapa atmosfir sekeliling terasa kelam dan membuat perasaan tidak enak. Dia mencoba mencari ke setiap kamar, namun tidak ada siapapun yang dapat dia temui. Baik Vidi, Danny, dan robot-robot itu, tidak meninggalkan jejak untuknya sama sekali. Pikirnya, mereka semua sedang berjalan-jalan keluar sebentar.

Dia pun masuk ke kamarnya dan mengganti pakainnya. Celana panjang hitam, dan kaos hitam berlengan pendek. Sebuah amplop mendarat di kasurnya, tapi sayang, pakaiannya yang telah ditanggalkannya dilempar hingga menutupi amplop tersebut. Satu hal telah dia lewatkan.

Berpasang-pasang mata di sepanjang jalan meliriknya aneh, tak kala diikuti oleh seekor domba, dan hal itu membuat perasaannya semakin tak menentu. Otaknya membisikkan suatu siasat. Sengaja Samara memilih tempat agak sepi, lalu dengan kekuatannya yang masih berfungsi, tumbuhlah rerumputan hijau untuk mengalihkan perhatian si domba.

Berhasil!

Dari sana, ada dua sosok bertudung yang secara tak langsung membuat perhatian Samara teralihkan. Jubah hitam itu, lambang di punggung jubah itu, terlihat sangat-sangat familiar baginya. Dia menguntit mereka sampai pada sebuah ujung gang kecil yang jauh dari keramaian.

“Keluarlah!” sahut salah satu dari mereka.

Samara menurut. Dia menunjukkan sosoknya dan berjalan mendekat. “Third Eye! Aku terkejut bisa menemukan dua anggota lainnya di tempat ini.”

“Hm?” Si pria melirik rekan wanitanya, lalu mengarahkan pandangannya kembali ke Samara. “Kau tahu tentang kami?”

“Tentu saja. Sebab aku juga salah satu dari kalian,” jawabnya tanpa ragu.

“Begitukah?” Respon si wanita merasa tidak yakin. Dia memerhatikan Samara di depannya sambil tersenyum. Di saat bersamaan, tekanan sihir yang menyesakkan dada segera menghujam Samara.

Si pengendali tumbuhan itu merasakannya. Kuat sekali kekuatan sihir wanita itu. “Maximus!” Nama itu terlontar dari mulut Samara.

“Hooo, Maximus? Kau bersama dengan si Paladin itu? Begitu rupanya.” Dia pun menyudahi serangan intimidasinya barusan.

“Mbeek …”

Di mulut gang, seekor domba yang kelihatan marah, berlari dengan semangat. Langkahnya mantap, seakan asupan rumput yang baru saja ditelannya memberi vitamin ekstra untuk bisa berlari sekencang ini.

Kedua sosok berjubah itu menelengkan kepalanya untuk menyaksikan aksi si domba, ketika hewan tersebut menyeruduk pemiliknya—Samara—yang tak sempat menghindar hingga menabrak mereka sendiri juga. Seketika juga, lubang portal segera terbentuk persis di belakang mereka. Tak ayal, ketiganya bersama si domba langsung tertelan dan menghilang di balik portal.


5 Terpilih

Lubang portal membuka di tanah asing, melemparkan tamu-tamunya keluar dengan kasar ke atas permukaan tanah. Rerumputan hijau segera menyambut kehadiran mereka, begitu juga dengan suara gemuruh halilintar dari angkasa.

Langit tampak gelap dengan awan-awan hitam yang bergulung-gulung. Berkali-kali cahaya kilat menyambar menerangi seantero daratan, diiringi tiupan angin kencang. Ranting-ranting kecil patah dari dahannya, dedaunan tersapu hingga terbang tinggi berputar-putar mengikuti arah angin.

Ketiga sosok itu kembali berdiri. Dua anggota Third Eye secara tak sengaja ikut tertarik ke dalam dunia asing ini. Semuanya gara-gara domba brengsek pemberian entitas aneh berkepala bantal. Dan, domba itu sendiri malah asyik menyantap rumput di sekitar sana tanpa rasa bersalah.

Samara meneliti keadaan sekitar. Dia benar-benar tidak tahu ada di mana sekarang ini.

“Di mana ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya si pria berjubah.

“Entahlah. Yang pasti kita berada di dimensi berbeda dengan sebelumnya. Bisa dibilang, ini skenario berikutnya yang harus kita mainkan.” Samara mendekati bibir jurang di depan. Diintipnya ke bawah. Terlihat sebuah pemukiman penduduk dengan cahaya dari dalam rumahnya, menandakan masih ada kehidupan di bawah sana.

“Hebat! Sekarang kita terjebak di tempat antah berantah. Dan, apa maksudmu skenario berikutnya?” tanya pria itu lagi.

“Entahlah. Mungkin sebuah jalan cerita yang masih tanda tanya di kepalaku. Ngomong-ngomong, namaku Samara Yesta. Panggil saja Samara.”

Wanita yang satunya lagi berdehem. “Jadi, seperti itu? Hm, aku mengerti. Perkenalkan, Secilia Eleison,” ucapnya berdiri di sebelah kiri Samara dengan jubah berkelepak cepat tertiup angin.

“Naght,” sahut orang terakhir memberitahukan namanya.

Ketiganya berkumpul di tepi jurang terjal, memerhatikan pemukiman di bawahnya dengan seksama. Mustahil bagi mereka untuk turun melalui jalur tersebut. Setidaknya, mereka harus mencoba mencari jalan lain.

Sebuah halilintar besar meledak, mengoyak ketentraman si domba dalam merasakan nikmatnya rumput-rumput di sana. Alhasil, hewan itu lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di depannya, meninggalkan ketiga tamu yang telah dia bawa. Sungguh tidak bertanggung jawab sama sekali.

Samara mendongakkan kepala ke atas. Diperhatikannya awan besar saling menggulung bebas, tampak mengerikan. Hidungnya mengendus-endus aroma khas menyegarkan petrichor  yang menjadi pertanda hujan. “Sebaiknya kita mencari tempat berteduh!”

“Ide yang bagus,” sambar Secilia.

Cahaya terang disertai suara gelegar menandai rintik pertama turun membasahi daratan ini. Angin kencang bertiup semakin menggila, sama halnya dengan derasnya hujan yang seakan saling beradu. Badai menerjang tanpa ampun seluruh wilayah.

Di tengah-tengah konser badai yang sedang melanda, portal lain kembali terbuka di tengah hutan di dasar lembah, tak jauh dari pemukiman penduduk.  Seorang gadis berambut coklat dengan dua kuncir melompat keluar dari dalam sana. Kakinya  mendarat pada permukaan tanah yang basah dan berlumpur.

“Euww …. Dari semua yang telah kuperkirakan, hujan ini satu-satunya yang meleset dari dugaan,” gerutu Lilia mendapati seluruh pakaiannya basah kuyup. Tas selempang yang melingkar di badannya terbuat dari kulit, beruntung buku-buku paling berharganya di dalam sana tidak segera basah.

Cepat-cepat dia mencari tempat berteduh. Sebuah keberuntungan lagi dirinya menemukan semacam celah di bawah pohon besar, terselip di antara akar-akarnya, sebuah ruang sempurna untuk berlindung dari ganasnya badai.

Ketika hendak memeriksa buku-bukunya apakah dalam kondisi baik-baik saja, dia merasakan ada sesuatu yang bergerak mendekat. Suasana di luar sana cukup gelap, ditambah badai yang semakin memperburuk jarak pandang. Samar-samar matanya menangkap suatu siluet yang mendekat, tampak seperti manusia pada awalnya. Tapi, ketika kepalanya melesat masuk ke dalam menampakkan wujudnya, Lilia menjerit histeris sampai pingsan. Sementara dombanya sudah terpisah dengannya sejak pertama kali sampai dikarenakan badai ini.

Sekitar setengah jam kemudian, gadis itu mulai tersadar. Tangannya meraba-raba, mendapati kasur empuk sedang ditidurinya. Lalu, tiba-tiba saja dia segera bangkit dan duduk di atasnya. Otaknya mencoba mengingat-ingat. Monster … siluman burung.

Bunyi deritan pintu kayu membuyarkan lamunanya. Sosok siluman burung tertampang jelas di depan matanya. Dia hendak berteriak kembali, sebelum sosok gadis lain yang berada di belakang siluman itu melangkah masuk. Teriakannya tertahan. Perhatiannya kini tertuju pada gadis tersebut. Dia begitu familiar dengan gaun panjang yang dilapisi baju perang, perisai, belati, busur, dan anak panah yang melekat semua di badan.

Rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat.

“Kau sudah siuman?” tanya gadis itu sembari mendekat. Dia membawa beberapa makanan di atas nampan, lalu meletakkannya di atas meja. “Tak perlu melihatku sampai segitunya juga. Kita sama-sama reveriers,” sahutnya menyadarkan Lilia.

Lilia tampak semakin panik. Pandangannya diedarkan ke sana kemari, mencari-cari tas selempangnya yang menghilang. Padahal, itu senjata satu-satunya. Tanpa grimoire, dia bukanlah apa-apa. Apalagi gadis di depannya adalah salah satu reveries, mungkin dia hendak menyerang dirinya, pikir Lilia was-was.

“Kau mencari ini?” sahut siluman burung sambil mengangkat tasnya itu.

Lilia langsung bangkit, lalu merampas tas tersebut dengan cepat. Segera diceknya buku-buku di dalamnya. Semua masih utuh seperti terakhir kali. Namun, kedua matanya membelalak tak percaya, tak kala dia mendengar kalau makhluk setengah burung itu berbicara padanya tadi. “Ka-kau bisa berbicara?” ucapnya tergugup.

”Ya.” Makhluk tersebut memiliki badan manusia, terlihat dari dada dan perut sixpack seorang manusia, lengkap dengan lengan besar berotot persis seorang ksatria. Dari pinggang hingga kaki, serta kepala adalah bagian dari burung elang, lengkap dengan sayap menempel di punggung.

“Tenanglah! Kau aman di sini. Aku tidak berniat menyerangmu, karena aku sendiri masih belum tahu sebenarnya apa yang harus dilakukan. Setelah selesai makan, ada yang ingin menemuimu. Kau bisa memanggilku Serilda!”

Lilia bingung. Dia merasa ini seperti mimpi, walau memang ini sebetulnya adalah mimpi. Mahkluk itukah yang disebut manusia burung … atau burung manusia?

Setelahnya, mereka meninggalkan Lilia sendirian. Malam itu, Lilia menemui tetua desa. Cukup banyak yang mereka bicarakan, selain mengakrabkan diri, tetua itu juga menceritakan sedikit tentang desa ini dan juga ras manusia burung yang dia temui tadi. Intinya, kakek tua berjanggut putih panjang tersebut mengatakan kalau dia gadis yang beruntung, sebab berada di dekat Desa Bentala Vayu ini. Karena, belakangan ini ada sesuatu yang jahat sedang berkeliaran di luar sana. Desa-desa tetangga telah dibumihanguskan, seluruh penduduknya tewas.

Entah mengapa kesan dari cerita itu serasa horor, ditambah suasana yang semakin mendukung keadaan itu. Badai di luar tidak terlihat mereda, malah sebaliknya, layaknya desa itu kini berada di tengah-tengah pusat badai.

Di waktu yang sama, sekitar tujuh belas kilometer jauhnya dari Desa Bentala Vayu, dua lubang portal secara bersamaan terbuka saling berhadapan. Peserta-peserta berikutnya hadir dengan dombanya. Awalnya, mereka tidak tahu berada di mana dikarenakan suasana benar-benar gelap gulita. Satu-satunya yang mereka ketahui, cuaca kala itu sedang hujan lebat disertai angin kencang.

Keduanya hanya saling diam mematung sebelum cahaya kilat berikutnya menerangi mereka sesaat. Detik itulah kedua gadis tersebut terkesiap. Tanpa pikir panjang lagi, mereka berusaha saling menyerang dalam kegelapan.

Salah satu gadis menarik satu dari tujuh bilah pisaunya, sedangkan satunya lagi berusaha memfokuskan auranya pada kedua tangannya untuk menciptakan suhu panas. Saat hendak maju menyerang, tiba-tiba saja tubuh mereka tertangkap oleh sesuatu yang besar. Makhluk yang cukup besar sampai mampu menggenggam tubuh mereka. Gadis-gadis itu merasa melayang-layang di udara sambil memukul-mukul tangan makhluk tersebut, namun tidak mengubah apapun.

Petir kembali menyambar, memperlihatkan dengan jelas sosok raksasa yang menangkap mereka. Seekor naga. Mengetahui hal itu, mereka langsung tak berani bergerak.. Domba mereka pun lari terbirit-birit, sebelum menjadi makanan naga itu.

Tak lama kemudian, tubuh keduanya mendarat dengan kasar di dalam gua saat dilempar. Seseorang telah duduk di balik api unggun yang menari-nari dengan indah dan hangat. Pemuda berambut hijau cerah menyala itu segera bangkit dari duduknya.

Tak segan-segan, dia mengacungkan kedua pistolnya kepada orang-orang yang barusan hadir. Ancamannya segera disambut oleh pisau Hexennacht dan kemampuan Catasthrope. Mereka saling bertukar pandang.

“Baiklah, ini sedikit canggung. Siapa kalian sebenarnya?” ujar pemuda tersebut.

Tidak ada satupun yang segera menjawabnya. Sebab, mereka sendiri masih bingung akan apa yang terjadi. Ini jelas berbeda dengan pertempuran sebelumnya, di mana mimpi yang lalu, mereka masih mengenal betul apa, di mana, dan siapa yang berada di dekatnya. Tapi untuk saat ini, semuanya berbanding terbalik. Soalnya, pemberitahuan yang sampai di tangan mereka hanya menyebutkan nama lokasi yang akan mereka tuju berikutnya.

“Hanya pendatang baru.” Akhirnya ada yang menjawabnya.

“Apa kalian mata-mata?” tanya pemuda itu dengan tegas.

“Mata-mata? Hei, mata-mata kepalamu? Bukannya sudah  dia bilang, kami hanya pendatang yang bahkan tidak tahu dengan persis berada di mana sekarang ini. Lalu, tiba-tiba makhluk besar tadi menangkap kami. Apa naga itu suruhanmu? Dan, sekarang kau menuduh kami mata-mata?” Hawa panas Catasthrope di tangan semakin meningkat. Baik pemuda maupun gadis yang satunya lagi bisa merasakan itu.

“Kalau begitu, buktikan!”

“Apa? Buktikan katamu? Buktikan pakai gigi jonggosmu?” Mata pisau Hexennacht bersinar memantulkan cahaya dari api unggun. Kali ini dia memfokuskannya pada si pemuda pendek.

"Hahaha,  bercanda-bercanda.  Dilihat saja pun, aku sudah tahu kalau kalian bukan berasal dari sini.  Pakaian kalian jelas terlalu berbeda. Jadi sebenarnya, siapa dan darimana kalian, wahai pendatang baru?" nadanya berubah riang.

"Hmm,  mengenai itu... bisa dikatakan dari dimensi yang lain, atau terserah kau sajalah. Lalu siapa kau sebenarnya? Seenaknya saja menculik kami." Energi Catasthrope mengecil.

Orang yang ditanya tersebut tak menjawabnya segera.  Dia memerhatikan kedua gadis di depannya bergantian.  Yang satu memiliki kemampuan unik nan berbahaya,  sedangkan satunya lagi memiliki senjata aneh dengan sebuah permata tertanam di tengah-tengah bilahnya. Keduanya pasti memiliki kekuatan temput, jika dijadikan sekutu mungkin akan sedikit menguntungkan,  pikirnya.

Pemuda pendek itu menurunkan kedua pistolnya bersamaan.  "Maafkan aku.  Mula-mula, perkenalkan, namaku Seth Blover. Aku diutus oleh pihak kerajaan untuk menyelidiki kasus yang sedang terjadi di berbagai wilayah baru-baru ini. Desa-desa yang sempat kami lewati, semuanya telah luluh lantah, persis dengan informasi yang kami dapat. Tapi sampai sekarang, kami masih belum tahu dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Itu sekitar dua minggu lalu. Beberapa hari lalu, aku mendapat kabar baru lagi dari kerajaan. Musuh telah ditetapkan, dan mereka adalah desa yang akan segera kami tuju. Aku mendapat perintah langsung dari raja untuk melenyapkan pembelot-pembelot itu. Jadi, maafkan kesalahpahaman tadi."

"Huh, syukurlah. Karena aku sedang lelah dan tak ingin bertarung. Kupikir kau adalah ujian berikutnya. Catherine bloodsworth, panggil saja Cathy!" ujarnya menyimpan pedangnya kembali.

"Airi Einzworth. Dan, hei! Kau salah satu reveriers 'kan?" Matanya menelisik ke arah Cathy.

"Memangnya kenapa? Kau ingin bertarung? Lawan saja dia. Aku sedang lelah." Cathy menunjuk ke arah Seth, lalu berjalan ke pinggir dan duduk bersandar pada dinding.

"Daripada kalian bertarung sekarang, lebih baik kalian berdua membantuku dalam misi besok. Mungkin saja kalian bisa dinobatkan sebagai pahlawan dan mendapat imbalan dengan nilai besar."

"Terserah kau sajalah. Ngomong-ngomong, apa kau punya makanan? Perutku semakin lapar meladeni cewek gila itu," cerocos Cathy sambil menangkap sekantung penuh buah berry dari Seth.

"Apa kau bilang?" balas Airi dengan emosi meluap-luap.

"Diam dan makanlah!" Cathy melempar kantung buah berry padanya. "Lebih baik kita mengikutinya sambil mencari jawaban dari tempat ini. Apalagi,  dombaku menghilang entah ke mana, ya ampun."

Airi diam dan berpikir, mungkin ada benarnya juga kata-kata gadis brengsek itu. Dia juga ingin ini cepat-cepat berakhir. Sebutir buah berry berwarna ungu kehitaman masuk di mulutnya. Terasa manis dan membuat ketagihan.

"Lantas, apa sebenarnya yang kalian bicarakan? Tentang ujian... pulang...?"

"Bukan apa-apa. Tidak usah pikirkan itu!"

Sekitar belasan menit kemudian, sekantung penuh buah berry itu telah habis disantap mereka bertiga setelah dioper bergantian. Tawa hebat menggelegar di antara sapuan badai, mengalahkan ributnya halilintar. Mereka tertawa tak terkendali, dikarenakan buah berry yang dimakan mengandung semacam zat yang menimbulkan efek memabukkan. Oleh penduduk setempat, berry itu dinamakan berry tertawa,  karena korbannya akan tertawa bahkan oleh hal kecil saja sampai jangka waktu tertentu, tergantung seberapa banyak buah yang masuk ke dalam tubuh.

"Hei! Apa kalian bersaudara? Hahaha, soalnya nama kalian ada worth-worthnya." Wajah Seth memerah menahan tawa.

Kedua gadis itu menujukkan gaya berpikir, tak lama kemudian tawa meledak hebat.

Cathy berbicara, "kemarilah adik kecilku! Akan kutampar bokongmu dengan pisauku ini karena sudah nakal pada kakak." Cathy beranjak dari tempatnya sambil mencabut salah satu pisaunya. Dia pun benar-benar menghajar bokong Airi hingga membuat Seth semakin terpingkal dan jatuh berguling-guling di lantai secara berlebihan. 

Dalam cuaca tak bersahabat seperti itu,  satu pihak lain melewatinya dengan tak sengaja memakan buah berry yang menciptakan suasana kebersamaan dengan cara paling aneh.

Di lokasi lain, sebuah pohon dengan dedaunan lebat yang saling menutup rapat, berhasil mengikis serangan tetesan air hujan yang mencoba merembes masuk. Samara,  Naght,  dan Secilia berteduh di bawahnya di temani api unggun yang terus menjilat-jilat.

Di tangan Secilia telah tergenggam sebuah tongkat kayu panjang yang sedang berusaha dia ukir.  Hebatnya lagi, kayu itu diukir dengan batu berbentuk bulat yang sama sekali tidak terlihat tajam.  Rahasinya karena dia telah menginjeksikan sihirnya ke dalam batu tersebut dan mengubahnya ketajamannya.

Lama-kelamaan tongkat itu mulai terbentuk dengan ukiran bagian atas membentuk dua lengkungan yang kemudian menyatu di bagian puncak, disertai beberapa tanduk runcing mencuat di tiga arah berbeda.

"Jika boleh kukatakan, maka kita beruntung muncul di tempat yang jauh dari pemukiman. Kuyakin bukan cuma aku seorang yang tiba di sini, masih ada yang lain. Jika kemungkinan terburuk yang kupikirkan itu benar, maka keputusan untuk terus bersembunyi adalah pilihan tepat," jelas Samara Yesta.

"Terserahlah. Apapun itu, sepertinya aku tertarik untuk mengambil bagian dari skenario yang sedang kau mainkan." Satu polesan terakhir, lalu siaplah tongkat sihirnya yang indah. Namun dari semua keindahan tersebut, rasanya ada sesuatu yang kosong dari benda itu. Terdapat sebuah celah lingkaran kecil tepat di antara kedua lengkungan yang bertemu.

Samara melirik ke arah Naght yang tidak merespon sedikitpun. Entah dia masih sadar atau tidak, sedaritadi dirinya cuma bersandar di batang pohon sambil menutup kedua mata, menunggu badai yang tak kunjung berhenti mengamuk.

-ooooo-


Sisa 4 Kilometer

Keesokan paginya, cuaca telah mereda. Sinar matahari kembali menghangatkan tanah dan dedaunan basah. Burung-burung kecil saling menyapa dari dahan-dahan pohon. Angin sejuk bertiup, menebarkan aroma hutan sekitar bercampur suara deburan ombak danau yang terdengar samar-samar di kejauhan.

Samara membuka matanya. Dia hanya mendapati sosok Naght di dekatnya,  sementara Secilia menghilang entah ke mana. Dia tidak terlalu peduli, soalnya tidak mungkin dia diculik atau dimakan binatang buas juga. Sayup-sayup, suara air saling memecah terdengar sampai ke telinga Samara. Dia pun segera beranjak dari tempatnya, lalu mencari sumber suara itu.

Sekitar enam puluh meter dari tempat bermalam mereka, terdapat sebuah danau besar. Lokasinya yang berada di tengah-tengah hutan menjadikannya seperti surga tersembunyi.

Samara terus berjalan maju, seiring suara deburannya makin jelas terdengar. Dia beberapa kali mengenyahkan ranting dan daun yang tumbuh rendah menghalangi jalan di depan, hingga terpampanglah danau biru luas di depan sana. Matanya seolah tak percaya apa yang sedang dilihatnya.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, Samara menyaksikan Secilia memungut batu kerikil. Dia menggenggamnya erat dalam kepalan tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk dengan tongkat sihirnya. Samara sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya wanita itu lakukan.

Tak lama kemudian, dia membuka tangannya, dan kerikil tersebut sudah berubah menjadi kristal biru pucat dengan cahaya memudar. Inikah kekuatan sihirnya, Samara bertanya-tanya sambil tetap menyembunyikan sosoknya di balik pohon.

Alih-alih menyimpannya, Secilia malah melemparkan kristal itu ke dalam danau. Samara semakin tidak mengerti dengan tindakannya. Sebab itu, dia pun keluar dan mendekatinya, mencoba mencari penjelasan.

"Kau sudah bangun rupanya," sahut Secilia segera menyadari.

"Aku memerhatikanmu dari awal. Kau mengubah sebutir kerikil menjadi kristal. Kau seorang enchanter?"

"Tebakan yang bagus."

"Lantas apa yang kau lakukan dengan membuangnya?"

"Mengerikan danau," jawab Secilia.

"Hmm?" Samara masih tak mengerti maksud ucapannya.

"Aku mampu menginjeksikan sihirku ke dalam semua benda, baik itu memiliki fisik kasar maupun udara luas ini." Secilia mengangkat tangan kirinya menunjukkan kata "udara" yang dimaksudnya. "Lalu mengubah kegunaan mereka sesuai keinginanku, atau dengan kata lain … mengendalikannya. Satu-satunya hal yang dibutuhkan oleh seseorang sepertiku hanyalah persiapan."

Samara tetap mendengarkannya, meski dia tetap tidak menangkap maksud dari kata "mengeringkan danau". Pikirnya, itu hanyalah sebuah kiasan yang dibuat olehnya. Namun, sepertinya Samara salah. Itu bukanlah kiasan, melainkan sebuah kebenaran sebagaimana yang disebutkan.

Sekitar ratusan meter ke tengah danau, permukaan air yang awalnya bergelombang kecil, kini tiba-tiba tampak mengamuk. Permukanya bergerak naik sedikit, lalu mendadak anjlok begitu saja ke bawah, menciptakan pusaran air raksasa. Samara membelalakkan mata. Inikah artinya mengeringkan danau? Benar-benar mengeringkan danau ini?

Kekuatan yang luar biasa.

Garis danau semakin menjauh ke tengah, pertanda air semakin surut. Prosesnya sangat cepat, bahkan untuk ukuran danau seluas tiga puluh kilometer persegi ini. Belasan menit setelahnya, dasar danau mulai kelihatan. Ikan-ikan menggelepar di sana sini kekurangan air. Seluruh air telah tiada dari kubangan raksasa tersebut.

Sesuatu tampak melayang dari dasar danau dengan cepat, melesat menuju arah Secilia dan ditangkapnya. Dia menunjukkan kristal tersebut, memancarkan cahaya biru terang, berbeda dengan yang awal. "Cahayanya semakin indah, bukan? Sebab kristal ini telah berada dalam keadaan penuh. Aquamarine!" jelasnya sambil tersenyum lebar, memposisikan kristal itu tepat di antara kedua mata. "Dengan ini, persiapan pertama … selesai."

Samara cuma bisa membalasnya dengan senyuman. Tidak ada kata-kata yang mampu dia ucapkan untuk menggambarkan situasi ini. Menyimpan seluruh air danau ke dalam sebutir kristal yang tidak lebih besar dari bola mata? Ini benar-benar gila. Dia hanya bisa tertawa dalam hati, setelah menyaksikan salah satu kekuatan dari Thrid Eye.

Angin sepoi-sepoi yang perlahan berubah kencang menampar wajah Samara, menyadarkannya dari kekaguman, ketakjuban, dan kewaspadannya pada Secilia. Elemen tak berwujud itu membawa segala perasaannya melintasi hutan, menuruni lembah terjal, hingga sampai pada Desa Bentala Vayu yang berada tepat di bawahnya, di mana Serilda dan Lilia berjalan mengelilingi desa.

Atap-atap kerucut mengarah ke langit. Jemuran-jemuran baju menggantung tinggi di udara berkat bantuan layang-layang yang tak pernah kehabisan angin. Manusia serta ras Archan itu terlihat hidup damai sejahtera, saling bertegur sapa setiap kali berjumpa. Layaknya seluruh penduduk desa ini adalah satu keluarga besar.

“Aku masih benar-benar … tak tahu harus berkata apa.”

“Kalau begitu, tidak usah berkata apapun!” balas Serilda.

Keduanya masih kelihatan sedikit canggung, namun mereka mencoba saling mengakrabkan diri. Meski di masa mendatang, mereka harus bertempur satu sama lain. Setidaknya, mereka berada di satu pihak yang sama sekarang.

Segerombolan orang tampak mengerubungi di depan. Dengan penasaran, kedua gadis itu ikut bergabung mencari tahu apa yang telah terjadi. Terbentang di hadapan mereka sebuah sungai, namun keadaan sungai tersebut sudah kering kerontang. Kejadiannya begitu mendadak, bahkan tidak ada seorangpun yang sadar.

Kabar buruk itupun sampai di telinga sang tetua. Akhirnya perintah diturunkan, dan beberapa pasukan Archan dikirim untuk menyelidiki penyebabnya. Bertujuh, mereka segera melesat meninggalkan desa.

“Apa yang telah terjadi, kek?” tanya Serilda memanggil tetua desa dengan sebutan kakek.

“Sungai ini adalah satu-satunya sumber air kita dan sekarang mengering. Airnya bersumber dari danau yang berasal di atas sana.” Tunjuk kakek tua ke atas lembah.

“Apa ini ulah musuh yang kakek ceritakan?” Giliran Lilia membuka suara.

Kakek tua itu berhenti sejenak. “Entahlah. Kakek juga tidak tahu. Apapun yang terjadi, ini sungguh buruk.”

“Ck, sialan mereka!” Serila memaki. Entah atas dasar alasan apa. Mungkin melihat keadaan sekarang membuatnya teringat akan kerajaannya. Di saat rakyatnya terancam, persis seperti keadaan penduduk di sini. Terancam oleh kekeringan.

Jantung Lilia berdebar cepat. Situasi ini terasa begitu menegangkan untuknya. Ada semacam perasaan tidak enak bergelut di hatinya, sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Lima menit kemudian, pasukan Archan yang dikirim tetua telah kembali dari tugasnya. Mereka membawa dua kabar buruk. Pertama, seluruh danau telah mengering secara misterius. Hal yang mustahil dan tak pernah terjadi sebelumnya. Kedua, ini adalah yang terburuk. Ketika mereka mencoba menyelidiki, pasukan musuh sudah tampak menjelajah hutan menuju ke desa. Jarak mereka tak jauh, hanya sekitar empat kilometer lagi.

Sontak kabar itu membuat sang tetua kaget dengan mata terbelalak. “Apa!” Nadanya tinggi. “Mereka benar-benar datang. Ini celaka!”

Lantas seluruh warganya panik. Mereka diminta untuk segera evakuasi Keadaan semakin menegang, ketika orang-orang berlarian ke sana kemari. Akhirnya, seluruh pasukan Archan dikerahkan untuk melindungi desa agar tak bernasib sama dengan desa-desa lainnya.

“Ja-jadi apa yang akan kalian lakukan?” Lilia gugup saat menanyakannya.

Desahan panjang mengawali jawabannya. “Kemungkinan besar akan terjadi perang. Kalian berdua ikutlah pergi, biar kami yang tangani ini.”

“Tapi kenapa mereka ingin menghancurkan desa ini?” Nada Serilda ikut meninggi. Dirinya semakin tidak tahan lagi dengan kondisi ini.

“Sekitar empat belas tahun lalu, pasukan kerajaan Vaia datang ke desa ini. Ada seseorang yang memiliki kemampuan yang sangat mereka butuhkan untuk memperkuat kekuatan kerajaan. Namun, orang itu menolak. Lalu, satu keluarga itu dibunuh. Mereka dieksekusi di depan penduduk lain. Tapi anak mereka dibiarkan hidup dan dibawa ke kerajaan Vaia, setelah disinyalir mewarisi kekuatan serupa.”

“Jadi, ini tindakan balas dendam. Aneh! Jika dia harus membenci, maka seharusnya dia membalas kematian orang tuanya pada pihak kerajaan. Kenapa dia sampai harus menghancurkan desa?”

“Tidak! Kita tidak tahu apa yang sudah terjadi. Kenyataan bisa berubah. Lagipula, kukira bukan itu tujuannya. Desa ini adalah satu-satunya jalan terakhir menuju ke pohon raksasa yang berada di pegunungan di belakang sana. Pohon itu memberi kekuatan sihir kepada kami dan juga desa-desa pelindung lain yang telah dihancurkan. Dan, aku adalah salah satu dari sepuluh segel terakhir. Jika semua segel dilenyapkan, maka pohon akan tumbang dan ebergi sihir akan lenyap. Dengan begitu, kerajaan tidak perlu lagi mengkhawatirkan ancaman dari para penyihir yang ada di benua ini.”

Serilda dan Lilia terkesiap mendengarnya. Ini berarti musuh mereka adalah kerajaan. Ini sungguh tidak mungkin bagi sebuah desa kecil melawan sebuah kerajaan. Mereka akan kalah telak, pikir kedua gadis itu.

“Aku akan membantu kalian!”

“Aku juga!” Gadis berkuncir itu mengikut.

*

Krasak-krusuk suara semak-semak ramai mewarnai perjalan mereka. Sedikit lagi, mereka akan sampai di desa tujuan, Bentala Vayu. Ciri khas dari tempat tersebut sudah bisa dirasakan, terbukti dari angin yang terus berseliweran tiada henti, kadang santai kadang kencang.

Lembah sudah mereka turuni. Tersisa satu kilometer lagi sebelum para pengkhianat kerajaan itu harus dihukum atas perbuatan keji mereka.

"Oi, anak kecil! Kau serius ingin menghancurkan desanya?" Airi berusaha meyakinkan.

"Jangan panggil aku anak kecil! Aku bahkan lebih tua darimu kurasa. Menghancurkannya? Tentu saja. Mereka adalah musuh. Lagipula, aku sudha diberi perintah.

"Tapi kenapa?" Cathy berada di depan membuka jalan, menebas semak-semak yang menghalangi dengan pedangnya. Sementara pasukan naga yang berada di bawah komando Seth mengikuti dari belakang. Beberapa berjalan, sisanya terbang rendah.

"Ada sepuluh desa pelindung yang ditugaskan untuk menjaga pohon suci yang menjadi sumber kekuatan sihir para penyihir di daratan ini. Dan, segel dari pohon tersebut dibagi pada setiap juru kuncinya, yaitu pemimpin desa. Namun, ada satu yang terlalu berambisi. Dia menghancurkan ke sembilan desa lainnya. Dengan begitu, seluruh sihir yang seharusnya terbagi, kini hanya berpusat padanya. Menjadikannya diberkati dengan kekuatan luar biasa. Aku bahkan tidak yakin bisa mengalahkannya. Jika ini dibiarkan terus, aku takut dia akan semakin berambisi menguasai kerajaan."

"Kenapa aku merasa penyerangan ini tanpa persiapan sama sekali," cibir Cathy. "Tapi aku rasa kau tidak sebodoh itu, 'kan? Apa ada rencana cadangan?"

"Ya...." Seth mengambil nafas dalam lalu membuangnya. "Terpaksa aku harus menghancurkan pohon sucinya. Memang resikonya setimpal. Seluruh sihir akan menghilang, tapi setidaknya dia bukan lagi ancaman bagi kerajaan."

Airi mengangguk-anggukkan kepala seakan mengerti maksudnya. Sesekali matanya awas berpaling ke belakang dan ke atas, menyaksikan pasukan-pasukan naga Seth. Mereka yang berjalan di tanah memiliki tubuh lebih kecil, postur tegak, dan seukuran manusia dewasa. Dia masih heran, bagaimana cara si pendek itu bisa mengendalikan mereka semua. "Hei, Seto! Ngomong-ngomong, bagaimana caramu membuat hewan-hewan ini jinak?"

"Dasar! Namaku seth, bukan Seto. Jangan seenaknya mengubah nama orang dong! Ini!" Dia menarik keluar kalung dari balik bajunya. Tergantung sesuatu semacam cakar, tapi entah milik makhluk apa. "Inilah pusaka cakar naga. Siapapun yang memilikinya, maka dia bisa menaklukkan kaum naga."

"Hanya benda kecil seperti itu?" tanya Cathy yang sedaritadi mendengarkan. Dia tidak percaya.

Tak dirasa, perjalanan mereka hampir berakhir. Tepi hutan telah terlihat di depan mata. Ketika Airi, Cathy, dan Seth serta para pasukannya keluar dari hutan, terbentang di hadapan mereka padang rumput yang luas. Semilir angin bertiup, membuat rumputnya bergoyang secara bergelombang. Udara bebas nan segar segera merayap masuk ke dalam paru-paru.

Dari tempat Seth berdiri sekarang, dia sudah bisa melihat desa tersebut. Hanya beberapa ratus meter lagi, begitu jelas dan dekat. Sebelum kakinya melangkah lebih jauh lagi, sebuah panah melesat dari atas mengarah tepat menujunya. Seketika itu juga, Cathy mencabut salah satu pisaunya dan menangkis serangan kejutan yang tidak diketahui siapa pengirimnya.

Bunyi dentingan logam terdengar singkat sebelum gelombang angin menyapunya. Selanjutnya, serangan bola-bola api kembali tertuju pada pemuda berambut hijau. Kali ini giliran Airi unjuk gigi. Dia melesat ke depan, mengaktifkan kemampuan Catasphore dikedua tangan, lalu mengenyahkan bola api tersebut.

Ketiganya serentak mendongakan kepala ke atas. Disaksikannya makhluk-makhluk setengah burung telah ramai memenuhi udara. Puluhan? Tidak! Ratusan dari mereka telah menanti saat-saat ini.

"Apa sebenarnya itu?" Airi berteriak kaget.

"Mereka ras Archan. Manusia yang memiliki fisik yang bersatu dengan burung … pelindung desa ini."

Mata Cathy berbinar menyaksikan pertunjukan spektakuler itu. Sayap-sayap mereka berkembang indah di udara. Sosoknya bagaikan dewa ketika satu per satu mulai mendarat dengan anggun. Tangannya sedikit bergemetar, tapi penuh semangat menggenggam pisau Hex-nya. Ada semacam bisikan yang membuatnya semakin ingin menebas makhluk-makhluk indah itu.

Jantung mereka pasti mahal jika kujual di pasar gelap setelah balik nanti, batin gilanya berbicara.

Setelah dikejutkan dengan penyergapan oleh sekelompok manusia burung, muncul dua sosok lainnya yang tak kalah mengagetkan Airi dan Cathy. Salah satunya sedang menarik busur panahnya siap-siap menembak, sementara satunya lagi sibuk menggenggam buku di tangannya. Empat pasang mata itu segera berjumpa.

Reveriers …

Sang tetua akhirnya muncul menampakkan sosoknya. "Apa yang kau lakukan di sini, Seth? Masih belum cukupkah setelah desa lain juga kau lenyapkan?"

"Tua bangka itu mengenalmu?" Airi memalingkan wajahnya.

Seth tak menanggapi pertanyaannya. "Lucu sekali kata-katamu pak tua. Bukannya itu kau yang melakukannya?”

Serilda dan Lilia pun berbalik menatap sang tetua desa. Sedikit keraguan timbul dalam hati. Apa benar? Apa ucapan pemuda itu benar? Apa selama ini mereka salah memihak? Tidak!

“Apa yang membuatmu berpikir kalau aku yang melakukannya, Seth? Jika ini mengenai balas dendam, kau bodoh bisa sampai dipengaruhi pihak kerajaan. Apapun yang kalian inginkan, takkan kubiarkan kalian mencapai pohon suci tersebut!”

“Benarkah seperti itu? Memang tidak ada lagi jalan keluar selain menghancurkan kalian semua … musuh kerajaan!” Seketika itu juga, naga-naga yang bersembunyi di balik hutan segera melesat keluar. Dahan, ranting, serta beberapa batang pohon tumbang karenanya. Rahang mereka terbuka lebar siap menerkam, dipersenjatai dengan cakar-cakar tajamnya.

Pasukan Archan juga tak tinggal diam. Mereka ikut melesat dengan kecepatan penuh. Alhasil tabrakan demi tabrakan terjadi di udara. Tak hanya di udara, pertempuran juga terjadi di daratan. Keadaan terlalu ramai, bahkan pandangan menjadi tidak terlalu jelas. Sejauh mata memandang, naga dan burung saling mencoba membunuh. Tidak ada lagi kata damai.

Di tengah-tengah suasana yang begitu hiruk-pikuk, di mana kematian bisa terjadi kapan saja, Serilda dan Lilia justru malah bingung harus berbuat apa. Keyakinan mereka goyah sesaat, membuat anak panah di tangan Serilda masih membeku di posisinya sebelum sebuah pisau mengkilap di bawah paparan sinar matahari menyadarkannya dari keraguan.

Serilda reflek memundurkan tubuh dan kepalanya, nyaris saja lehernya tergores. Dia membalas menembakkan anak panahnya yang ditangkis oleh gadis berwajah oriental itu dengan pisau berpermatanya. Kekuatan pisaunya saat ini belum dia aktifkan. Dengan cepat, Serilda menggantungkan kembali busurnya. Tangannya kanannya bergerak mencabut belati Selene sepanjang lima belas sentimeter yang tergantung di pinggangnya lalu menghalau pisau yang datang. Cathy tersenyum kecut melihat senjata lawannya yang lebih kecil bila dibandingkan dengan punyanya. Walau begitu, Serilda berhasil memukul mundur Cathy dengan perisai Catalana miliknya.

Pasukan naga Seth tidak memerlukan senjata atau baju pelindung apapun. Kulit mereka sudah cukup keras. Taring dan cakar mereka sudah cukup tajam untuk dijadikan senjata. Berbeda dengan Archan yang tidak memiliki baju pelindung maupun senjata alami. Mereka masih bertarung menggunakan tombak kayu dengan besi runcing di ujungnya. Dari sana saja, kekalahan sudah jelas nampak akan berpihak pada siapa.

Darah tumpah, membuat hijaunya rumput berganti warna menjadi merah. Jumlah Archan semakin berkurang. Tubuh-tubuh yang kalah, tewas dengan mengenaskan. Mulai dari luka fisik yang parah karena cakaran dan gigitan, kepala yang putus, hingga berbagai isi perut yang terburai berserakan di padang rumput.

Seth berlari sambil menembakkan isi pistolnya pada beberapa Archan yang berusaha menghalanginya. Musuh terbesarnya berdiri dengan jelas di depan mata. Begitu dekat dan berada dalam jangkauannya, jika saja bukan karena angin yang tiba-tiba menghempaskan tubuhnya terbang menjauh.

“Ck,” decaknya kesal.

Di waktu bersamaan, Seth menyaksikan pasukan-pasukan musuh bergerak mundur. Ini berita bagus. Apa ini artinya mereka putus asa dan siap menerima kekalahan? Pikirnya bergairah.

Lilia yang semenjak tadi berusaha bersembunyi, kini lari terbirit-birit sambil menenteng tas dan sebuah buku di tangannya. Di belakangnya, Serilda menyusul membawa serta Cathy yang semakin beringas mengejarnya dan Airi yang mengumpat tak jelas. Kenyataan beberapa Archan tumbang dengan luka bakar adalah karena Catasthropenya.

Medan peperangan kian bergeser mendekati desa. Angin bertiup kencang melawan arah kedatangan mereka. Ketika bukit kecil mereka turuni, desa terpampang jelas di sana.

Seth, Airi, dan Cathy nyaris sejajar. Di belakang, ratusan naga terbang mengikuti. Iris hijau Seth awas mencari-cari keberadaan sosok tua berjanggut, namun yang dia dapatkan adalah beberapa penduduk desa lainnya tampak sedang mendorong sesuatu. Dari titik ini, benda itu terlihat seperti meriam. Memiliki corong berlubang di depannya. Total ada tujuh meriam. Masing-masing dioperasikan oleh satu orang.

Sebuah senjata sihir baru yang memanfaatkan tenaga angin, sekaligus mengkonsumsi sihir operator untuk meningkatkan dayanya. Membuat tembakan angin yang dihasilkan berubah menjadi malapetaka.

Seth dan rekan-rekannya tidak tahu bahaya apa yang menunggu mereka. Mereka terus melaju ke depan, menghabisi beberapa Archan bodoh yang berusaha menghalangi. Para naga semakin mendekati desa, sementara para Archan terus mengulur waktu sampai meriam itu siap sepenuhnya. Hingga detik itu, belum ada satupun korban dari pihak Seth. Beda dengan pihak lawan yang sudah kehilangan hampir empat puluh persen pasukannya.

Pak tua itu berdiri dengan penuh kepongahan, merasakan angin-angin melintasi tubuhnya. Pasukan penjaga desa kian berkurang tiap detik. Namun, entah seberapa besar rasa percaya dirinya, membuatnya berdiri dengan tegar bagai menantang sekawanan naga tersebut tanpa rasa takut sedikitpun. Salah seekor naga terbang cepat melesat ke arahnya. Tinggal beberapa meter sebelum cakar itu menggapainya, sebelum ….

“Tembak!” ucap si tetua.

PUFFT!!!

Sayap kanan naga tersebut hancur. Dia kehilangan keseimbangan, jatuh, dan segera dikerubungi manusia burung. Hentakan tombak langsung melayang masuk ke dalam mulut, menusuknya hingga tewas. Itu kali pertama pihak lawan kalah.
                                     
Meriam angin terus melontarkan bola-bola tak kasat mata dengan kecepatan yang tak bisa dibayangkan. Ketika menabrak tanah, ledakannya melontarkan musuh di sekitar dan menciptakan lubang sedalam dua meter. Salah satu bola angin melaju melewati telinga kiri Airi. Dengungan tak tertahankan membuatnya berlutut memegangi gendang telinganya yang sakit karena tekanan udara hebat baru melintasinya. Dia lumpuh sesaat.

Tak ayal, serangan balasan jauh lebih mengerikan. Bola-bola angin itu mampu menghancurkan kulit keras naga, membuat mereka tak berarti sama sekali. Kondisinya juga tak jauh berbeda mengenaskann; tangan kiri, sayap kanan, kaki kiri, dan terakhir kepala, semuanya hancur dilumat oleh serangan tersebut.

Naga-naga berjatuhan dari udara. Tapi kejadian itu tak menghentikan niat Cathy untuk terus memburu Serilda. Gadis ber-armor itu menggiringnya ke peternakan kuda. Tanpa berpikir panjang, Serilda segera menaiki salah satu kuda disusul oleh Cathy. Awalnya mereka tak menyadari sampai kuda-kuda itu melebarkan sayap dan membawa mereka terbang tinggi menuju arena udara berikutnya.

Dentingan logam menghiasi atmosfir, sewaktu pisau Hexennacht bertemu belati Selene. Serangan keduanya tak sempurna mengarah ke lawan, disebabkan kencangnya terjangan angin. Ditambah pegasus-pegasusnya terlalu susah dikendalikan, terkadang kedua hewan tersebut terbang saling mengitari. Saat jarak tercipta di antara keduanya, Serilda menjadi lebih unggul. Dia melemparkan tiga darts secara sembarangan yang ditangkis oleh Cathy hanya dengan satu kali tebasan.

Ketiga benda itu jatuh menancap dua sentimeter dari ujung kaki Lilia. Sambil memegangi buku, dia menengadah ke atas, mencari tahu apa yang terjadi. Terlihat Serilda dan Cathy tengah sengit beradu. Sebelum tiba-tiba sesosok bayangan membuatnya terhenyak kaget dan berkelit ke samping. Airi. Gadis reveriers keempat tiba. Catasthrope di tangannya terus disarangkan ke Lilia yang bergerak selincah mungkin. Lilia ingat betul, bola apinya tidak berefek sama sekali terhadapnya. Saat dia berniat mengganti grimoire dan Airi yang terus mendekat, serangan meriam nyasar ke tanah di antara mereka. Alhasil, keduanya terpental jauh menyisakan setengah kesadaran.

Di atas semua itu, Naght memerhatikan ekspresi Secilia yang telah berubah. Dia tahu betul rekannya ini. Wanita tersebut sangat tertarik dengan peperangan sekaligus membencinya. Di sampingnya, Samara juga ikut menyaksikan pertunjukan mematikan di bawah sana, sembari menyantap beberapa beri dengan kekuatan penciptaan tumbuhannya.

“Hiburan yang menarik!” ucap Secilia pelan.

-oooo-


Pihak ke 3

Ketiga sosok di pinggir tebing telah lama menonton peperangan antar ras di bawah sana semenjak awal. Selimut hijau rumput ternoda oleh merahnya darah. Angka kematian naga dan setengah burung, kini saling mengejar ketertinggalan. Dan, mereka adalah orang-orang beruntung karena tidak terlibat dalam peperangan itu, atau belum saja.

“Nah, sesuai dugaanku, akhirnya kemungkinan terburuk itu benar-benar terwujud. Terlebih lagi, reveriers yang lain sudah mengambil bagian dalam perangnya sendiri. Di saat seperti ini, apa yang seharusnya Third Eye lakukan?” Samara menyisirkan pandangannya ke mata Naght.

“Kupikir ini sama sekali bukan urusan kita. Lagipula, lihat sekelilingmu! Antah brantah!”

“Justru karena itu kita bisa berpikir di luar kotak dan melakukan sesuatu. Dalam kondisi seperti ini, kita hanya punya tiga pilihan: berpihak pada salah satu dari mereka, tidak melakukan apa-apa, atau kita hancurkan saja mereka semua.”

Belum sempat Naght bersuara, Secilia sudah angkat bicara. “Aku setuju denganmu kali ini. Sesekali kita harus berpikir di luar kotak, Naght. Secara pribadi, aku lebih suka dengan pilihan terakhir, tapi … bagaimana kalau kita memainkan seluruh pilihan?” Mata Secilia telah berubah hitam legam sepenuhnya. “Tempat ini sepertinya selalu berangin. Aku ingin melakukan sesuatu, jadi kuharap kalian cukup menyaksikannya dari sini saja.” Jarinya kembali meraih batu kerikil terdekat. Lagi-lagi sihir ditanamkan ke dalam kerikil tersebut.

Enchant Body: Wind Walk!

Kecepatan pergerakannya bagaikan angin. Merayapi dinding terjal tebing, langsung menuju ke arah medan perang.

“Apa maksudnya tadi, Naght?”

“Kita lihat saja.”

Samara menyipitkan mata. Terus-menerus tertiup angin membuat matanya kering dan perih. Hati kecilnya berbisik bahwa apa yang terjadi di bawah sana masih belum berakhir, dan ini hanyalah permulaan. Akan ada kejutan yang bakal muncul. Entah apa itu, tapi dia yakin. Insting seorang Samara membuatnya semakin tidak sabar untuk ikut terlibat, memantau sejauh mana skenario ini akan berputar.

*

Serpihan tanah terus terlempar akibat ledakan dari meriam. Seth gesit menghindar, menembakkan peluru pada beberapa Archan, kemudian bersembunyi di balik tumpukan mayat demi mengisi ulang pistolnya. Lalu dia berlari menuju ke tempat di mana Airi berada.

“Kau tidak apa-apa?” Seth menjulurkan tangannya membantu gadis itu berdiri.

Tak jauh darinya, Lilia masih terkapar. Susah payah dia berusaha bergerak, tapi seluruh sel dalam tubuhnya terasa amat sakit. Indra pendengarannya tak mampu mendengar dengan jelas, hanya dengungan yang memuakkan.

“Kau bisa mendengarku?” tanya Seth melihat Airi seperti orang yang baru bangun tidur. “Kita harus hancurkan meriamnya! Kau dengar? Hancurkan meriamnya!”

Airi cuma menganggukkan kepalanya mengiyakan. Seth mencari-cari sosok Cathy yang menghilang. Saat dia melihat ke atas, barulah dia menyadari kalau sejak tadi ada dua ekor pegasus ikut meramaikan suasana perang. Di atas punggung salah satunya, ada orang yang dia cari-cari.

“Cathy! Hancurkan meriamnya!” teriak seth kencang.

“Apa?”

“Meriamnya!” Sambil menujuk-nunjuk ke arah senjata itu.

“Melleus Maleficarum, Ira!” ucap gadis itu tak menghiraukan Seth.

Permata pada badan pisau Hexennacth bersinar, memunculkan simbol kuda bertanduk. Kekuatan fisik Cathy mendadak meningkat, terbukti dari Serilda yang terkejut saat menangkis serangannya. Kekuatannya bertambah begitu saja. Mati-matian Serilda menangkis tiap sabetan pisau Cathy dengan belati dan perisai.

“Urus saja sendiri! Kau tidak lihat aku sedang punya urusan?” bentaknya balik.

Seth berdecak. Dirinya melesat lagi ke depan sembari menembak Archan-Archan yang berseliweran di udara. “Dragonica!” panggilnya.

Sosok besar yang disebut muncul setelah bersembunyi cukup lama dalam hutan. Seekor naga terbesar dalam kawanan. Ukurannya enam kali lebih besar dari yang lain. Makhluk itu terbang dengan kecepatan tinggi serta menjatuhkan musuh-musuhnya. Rahangnya terbuka. Sinar kemerahan tampak menyeruak keluar. Tak lama kemudian, bola api besar ditembakkan dari mulutnya.

Dua meriam yang letaknya berdekatan hancur dalam sekejap. Pak tua masih terus mengelus-elus janggut putihnya. Dia sedikit terkejut dengan kemunculan makhluk yang sepertinya merupakan kartu As anak ingusan itu. “Jatuhkan yang besar itu!” perintahnya.

Sisa kelima meriam mulai tertuju pada Dragonica. Sama seperti sebelumnya, pertama-tama mereka melumpuhkan sayapnya. Kini naga besar itu tumbang. Menindih dan mematikan beberapa Archan juga kawannya sendiri sekaligus. Rahangnya terbuka lagi, bersiap menembakkan bola api kedua. Namun sebelum itu terjadi, bola-bola angin bertubi-tubi menghantamnya tanpa ampun.

Raungan keras sang naga terasa memekakkan telinga. Perasaan Seth campur aduk melihatnya dalam kondisi seperti itu. Cepat-cepat dia berlari, dengan satu hentakkan kakinya dia melompat, mengarahkan kedua moncong pistol pada si tua bangka. Sialnya, sebuah himpunan angin menabrak dirinya hingga terpental jauh ke ujung.

“Hyaa!” Airi juga tiba di sana. Dia berhasil menjatuhkan dua operator meriam. Tak hanya itu, dia juga meleburkan besi yang menjadi kerangka penyusun senjata andalan mereka. Tersisa tiga lagi. Nasib sama juga menimpanya. Serangan sihir angin dari tetua desa menerbangkannya sejauh Seth mendarat dengan kasar.

Di waktu bersamaan, Lilia sudah bangkit. Dia duduk sesaat. Matanya sudah dapat melihat jelas, tapi otaknya masih lambat memproses segala sesuatu di sekitarnya. Matanya nanar menatap ke depan. Menyaksikan pak tua itu menggerakkan tangannya, menciptakan dua buah panah angin, dan diarahkannya ke atas, di mana Serilda serta Cathy sedang berselisih.

Dua panah untuk satu rekan musuh? Itu sedikit berlebihan. Atau jangan-jangan dia juga berniat menghabisi Serilda yang berpihak padanya?

Panah anginnya tiba-tiba menghilang. Layang-layang yang dimiliki setiap rumah mulai berjatuhan. Meriam angin tak bisa difungsikan. Keanehan kedua terjadi. Setelah seluruh danau mengering, sekarang angin juga ikut menghilang. Fenomena yang paling tidak mungkin terjadi.

“Tetua! Meriamnya tidak bisa dioperasikan.”

Mata pria tua itu terbelalak tak percaya. “Anginya …, anginnya menghilang? Bagaimana bisa?”

“Bagaimana bisa katamu? Aku meminjamnya,” sahut sebuah suara memperlihatkan wujudnya di tengah-tengah kedua belah pihak. Seorang wanita cantik berambut pirang bergelombang. Mata hitam legamnya menerawang sekitar, tampak semua kaget dengan kemunculannya.

Cakar kembali melawan tombak. Serangan balasan naga dimulai. Wanita itu masih berdiri dengan anggun di tempatnya tak bergerak sedikitpun. Seth dan Airi saling bertukar pandang tanpa berbicara. Serilda dan Cathy juga mengetahui kemunculan sosok baru di bawah mereka.

“Siapa dirimu, nona?” tanya tetua desa.

“Namaku Secilia Eleison. Aku tidak suka dengan kondisi perang ini.”

“Hah? Persetan dengan apa yang tidak kau suka! Jangan ganggu kami!” maki Airi dari kejauhan.

“Huh, gadis yang kasar,” gumamnya pelan. “Biarkan aku selesaikan kata-kataku! Aku memang tidak suka perang, tapi kalian ingin tahu apa yang kusuka? Mengacaukan perang sebagai pihak ketiga!”
            
Dia bukan reveriers. Aku tidak pernah ingat ada orang berjubah seperti itu, bisik hati kecil Serilda menyaksikannya.

Pertarungan sengit Serilda dan Cathy berhenti. Mereka kembali ke rekannya masing-masing. Tanpa pikir panjang, Serilda melepaskan anak panah Artemisnya, disusul Seth yang mengerahkan dua ekor pasukan naga, disertai tembakan peluru dari pistol gandanya. Kali ini pemikiran mereka sama.

Secilia menyadari ada anak panah datang dari samping kanan, sedangkan sesuatu lainnya datang dari sisi berlawanan.

Enchant Air: Vacuum!

Segala benda di sekitar Secilia dalam radius tertentu tak bisa bergerak bahkan secuil pun. Bukan waktu yang berhenti melainkan udara sekarang bagaikan benda padat. Udara telah disihir. Panah, peluru, serta kedua ekor naga berhenti saat jarak cuma tersisa beberapa sentimeter saja. Pertempuran di udara juga terkekang oleh kepadatan. Jangankan menggerakkan jari, rumput maupun sehelai rambut pun tak memungkinkan untuk digerakkan.

Apa ini? Mengapa tak bisa bergerak?

Apa-apaan!

Tubuhku!

Waktu berhenti?

Padatnya udara sampai mereka semua tak bisa berbicara, namun masih memungkinkan untuk bernafas. Mata masih bisa diseret ke kanan kiri. Ekspresi kaget yang sungguh sangat disukai Secilia sampai-sampai bibirnya tersenyum mengejek setiap individu di sana.

"Mereka yang berperang selalu berpikir kalau mereka sendiri yang akan menang. Kepercayaan diri seperti biasanya. Tapi apa jadinya jika mereka justru dihancurkan oleh pihak ketiga yang ikut campur dalam urusan tersebut?" Raut wajah Secilia berubah menyeramkan dengan suara khas seorang wanita dewasa kalau lagi emosi. Dia mencabut kristal biru yang tersemat di celah tongkat, di antara kedua lengkungan di atasnya. "Apa tadi kalian bertanya-tanya mengapa sungai kalian mengering? Karena itu akan kukembalikan airnya pada kalian."

Kristal Aquamarine telah berada dalam jari-jarinya. Dengan sedikit tekanan sihir, kristal itu retak, memancarkan cahaya biru terang dari dalam. Secilia menjatuhkan kristal kecilnya yang semakin tampak rusak.

"Nikmati airnya! Semoga hari kalian menyenangkan." Secepat kemunculannya, secepat pula perginya. Wanita pirang tersebut terlihat cepat berjalan bagai angin.

Kelompok Seth tidak tahu-menahu apa yang wanita itu bicarakan dalam kekakuan mereka. Tak lama kemudian, satu per satu lepas dari jepitan udara. Panah dan peluru yang ditembakkan menyasar ke area kosong.

Lima detik sebelum sesuatu terjadi, tidak ada yang melakukan apapun. Empat detik, Serilda menginjakkan kakinya ke atas tanah. Tiga detik, Lilia menghampiri kelompoknya dengan sedikit sempoyongan setelah diserang kejadian bertubi-tubi. Dua detik menjelang, Seth mulai memerintahkan untuk bergerak mundur setelah merasakan ada yang tak beres dengan benda kecil bersinar di hadapannya. Sisa satu detik, retakan besar telah mengancurkan sebagian besar kristal. Nol detik!

Kristal Aquamarine akhirnya pecah. Air bah langsung menyembur keluar, menerjang ke segala sisi. Tak peduli siapa dan apa yang ada di jalannya, semua disapu tanpa kompromi. Termasuk mayat-mayat Archan, naga, dan juga bangkai Dragonica yang besar.

Serilda, Lilia, tetua desa, dan sisa tiga orang yang mengoperasikan meriam segera beranjak dari tempatnya. Mereka berlari secepat yang mereka bisa, namun bisa dipastikan tak lebih cepat dari yang mengejar.

Di sisi lain, kelompok Seth juga mengalami hal yang sama. Begitu menyadari itu air, Seth memerintahkan naga-naganya untuk membawa serta mereka terbang sehingga aman.

Luapan air tak kunjung berhenti. Terus melebar sampai menyentuh, menghancurkan, dan membanjiri seisi desa. Beruntung sebagian besar penduduknya telah dievakuasi sejak awal sebelum perang terjadi.

Pihak Serilda tak mampu mengelak. Mereka terseret arus banjir cukup jauh, hingga beberapa Archan akhirnya berhasil meraih kedua gadis, tetua, dan tiga pria lainnya, membawa mereka terbang ke tempat lebih tinggi.

Perang berakhir untuk sementara waktu. Samara meneliti dengan seksama tiap kejadian dari atas sana. Dimulai dari kekuatan Secilia yang masih misterius baginya. Tak peduli kawan atau lawan, tiap individu memiliki potensi ancaman baginya. Pengetahuan akan kemampuan lawan, akan menambahkan beberapa poin persentase kemenangan di suatu hari kelak. Hari di mana kawan berubah menjadi lawan. Inilah dirinya yang tidak mudah percaya dengan orang lain, meski berada dalam satu kotak yang sama.

Bunyi ranting patah lantas menarik perhatian Samara dan Naght. Keduanya menoleh ke belakang, mendapati Secilia sudah berada di sana tanpa ada hawa kemunculan, sama seperti angin. Potensi luar biasa wanita ini membuat Samara kian waspada, potensi yang mampu memindahkan danau sekalipun.

Dia pun menghampiri Samara dan Naght, menyaksikan hasil perbuatannya. Rasa kepuasan menggelora dalam tubuhnya. Mata hitam legamnya sudah kembali normal untuk menyaksikan seluruh lembah tenggelam dengan sebuah kristal yang sangat kecil.

“Yang kau lakukan bukan mengakhirnya tapi malah mengacaukannya!” ujar Samara.

“Memang itu tujuanku. Dari awal, aku sudah merasakan ada kekuatan besar yang ditarik dari suatu tempat … jauh di ujung sana.” Tunjuk Secilia pada hamparan hutan di pedalaman gunung jauh di seberang, yang sebagiannya sudah terendam. “Itu seperti sebuah benda yang menampung kekuatan sihir yang amat besar. Lalu salah seorang di bawah sana tadi bisa mengambilnya kapan saja, sebanyak apa yang dia mau.”

Rasa pensaran Samara semakin besar setelah mendengar penjelasannya. Teka-teki bertambah lagi. Inilah yang dia suka. Untuk memecahkannya, maka dia harus terlibat langsung. Oleh karena itu ….

“Kau sudah melakukan bagianmu. Sekarang aku akan melakukan bagianku. Jika semua seperti yang kau jelaskan, maka akan kugiring kelompok naga itu menuju ke pegunungan tersebut,” kata Samara.

“Kalau sudah begini, apa boleh buat. Aku juga akan memainkan peranku juga.”

“Bagus! Dengan ini, apa berarti aku satu-satunya pihak ketiga? Hahaha,” tawa kecil Secilia.

“Jadi … sudah diputuskan! Kita berpisah di sini. Kelak kita akan berjumpa lagi di suatu tempat. Dalam pesta yang lebih ramai tentunya.” Senyum mengembang di bibir Samara. Wajahnya tampak cantik dan sedikit polos. Iris hijaunya indah, sewarna dengan hijaunya hutan.

Akhirnya, Samara dan Naght meninggalkan Secilia sendirian di sana. Keduanya berjalan berlawanan arah menyusuri hutan. Secilia masih berkutat di sana, belum puas menyaksikan apa yang bisa dia perbuat. Kagum akan kekuatanya sendiri.

Sepeninggal mereka berdua, wanita pirang itu mengeluarkan kristal kuning kehijauann lainnnya lalu disematkan di celah tongkatnya. Sama seperti sebelumnya, kristal itu berpendar terang memancarkan cahaya sewarna.

*

Bunyi dedaduan kering dan ranting patah terinjak kerap terdengar di setiap langkah Samara ketika menyusuri hutan di atas tebing ini. Dia berusaha tetap berjalan di tepi, agar bisa melihat-lihat keadaan di bawah. Air masih meluap belum berhenti. Sepengetahuannya, kalau tidak salah naga-naga itu terbang kembali ke dalam hutan yang kontur tanahnya lebih tinggi. Mungkin mereka masih berada di sana, pikirnya.

Dia senang memiliki waktu seperti ini di tempat yang tepat pula. Hidungnya melebar, menghirup aroma hutan menyegarkan ini dalam-dalam. Di sini, tidak tercium aroma gas, asap, maupun polusi udara apapun. Langkah demi langkah dia lewati sambil bersenandung ringan.

Penjelasan Secilia tadi semakin memperkuat hipotesisnya. Bukan hanya Secilia, dia juga merasakan hal yang sama. Ada sebuah objek besar yang menjadi pusat penyimpanan. Bedanya, Samara mampu mendeskripsikan objek tersebut. Sebuah pohon besar, sangat-sangat besar sehingga mampu menampung kekuatan yang teramat besar sekalipun.

Bukannya tanpa alasan dia memilih untuk mencari kelompok naga. Dia tahu mereka bisa dimanfaatkan untuk tujuannya sendiri. Walau cuma menyaksikan perang dari atas, sedikit banyak dia juga tahu konflik macam apa yang terjadi. Jika mereka bekerja sama, kelompok itu mendapatkan apa yang mereka mau, begitu juga dengan Samara sendiri.

Matahari sudah mencapai puncaknya. Yang pasti cuaca semakin memanas. Keadaan yang seharusnya sejuk sejak awal karena angin yang terus-terusan berhembus, kini tiba-tiba sirna. Entah menghilang ke mana angin-angin itu. Sesuatu terbesit di otaknya. Jangan-jangan ini ulah si pirang? Pikirnya.

Entah berapa kilometer lagi yang harus ditempuhnya. Dalam pencarian, otaknya berputar-putar mencoba mengingat kembali ada beberapa hal yang dia lupakan. Tentang kekuatannya sendiri.

“Astaga! Bagaimana bisa aku lupa?”

Berkilo-kilometer sudah Samara tempuh tanpa disadari. Jarak yang cukup jauh, namun apa yang coba diingat masih belum terlintas di benak. Menjengkelkan sekali baginya. Dia bukan seorang pelupa, tidak seperti biasanya.

Tak ada keributan atau kejadian serupa yang terjadi hingga sore tiba. Langit menggelap dengan cepat. Dari kejauhan yang ditaksir lebih kurang dua kilometer, Samara melihat ada kepulan asap membumbung tinggi ke langit ketika dirinya memanjat pohon tertinggi di dekatnya.

Di sana rupanya mereka berada.

Sekarang Samara memiliki titik pasti yang akan dituju. Segera dia melompat ke bawah dari atas pohon. Setelahnya, dia berlari menembus rimbunnya hutan sebelum keadaan berubah gelap total.

*

Di lokasi berlawanan, Serilda dan Lilia menghangatkan diri di depan api unggun. Tetua desa beserta Archan yang tersisa sedang membahas sesuatu jauh dari mereka. Hari telah gelap. Lokasi mereka sekarang berada di badan gunung. Udara malam terasa dingin.

Sayup-sayup suara penghuni hutan terdengar dari kedalaman hutan. Lolongan serigala, suara serangga-serangga kecil, dengkingan-dengkingan makhluk lainnya membuat Lilia bergidik ngeri. Tak hanya sampai di situ, semak-semak di belakang mereka juga ikutan bergerak menimbulkan suara.

Serilda dengan siaga mengarahkan ujung panahnya ke semak-semak itu. Kedua menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga bukan binatang besar seperti harimau atau semacamnya yang muncul. Mereka tidak memanggil Archan karena tidak mau mengganggu.

Semaknya semakin berguncang cepat sebelum sesosok manusia muncul dari balik sana. Rasa cemas pun berangsur-angsur menghilang.

“Siapa kau?” tanya Serilda dengan lantang.

Lantas suaranya menarik perhatian tetua yang segera mendekat dengan pasukannya. Archan-Archan juga ikutan mengarahkan tombak mereka ke arah sosok asing.

“Hei … tenang, tenang, semuanya!” Pria itu mengangkat kedua tangannya.

“Siapa dirimu?” tanya sang tetua.

“Aku Naght. Kukira aku tersesat setelah portal yang membawaku muncul di tempat ini.” Matanya terbelalak dan terus terpaku pada makhluk setengah burung yang kini berdiri di hadapannya.

“Kau juga seorang reveriers?” Serilda bertanya penuh semangat, tapi panahnya masih mengarah kepada pria itu.

“Be-begitulah.”

“Kapan kau tiba?”

“Ba-baru saja. Bisa ka-kalian jelaskan a-apa yang terjadi?” tanyanya tergugup. Tangannya kelihatan gemetar.

Sang tetua memberikan sinyal agar para Archan menurunkan senjatanya, sama halnya dengan Serilda. Pria itu pun menurunkan tangannya.

“Sedang terjadi perang di sini. Pihak kami kalah banyak. Demi keselamatanmu, kuharap kau ikut dengan kami. Karena ini masih belum berakhir. Kita tidak tahu kapan mereka akan kembali lagi,” ujar tetua.

Pria yang bernama Naght itu terlihat kebingungan. Maka dari itu, Serilda yang berbicara, “namaku Serilda, dan ini Lilia. Maaf saja jika kau harus terjebak di sini, tapi di pihak lawan ada dua reveriers lain. Karena kita semua juga terdampar di tempat ini, kukira ini misi kita selanjutnya; mengalahkan kelompok lawan agar bisa keluar dari sini. Jadi sekarang kau harus memilih berpihak pada siapa!”

Naght mengerutkan kening, mengangkat kedua alisnya. “Memangnya ada pilihan lain setelah menjumpai kalian? Jika aku memilih berpihak pada mereka, kau akan membunuhku sekarang ‘kan? Haha,” tawa paksanya singkat.

“Pilihan yang bijak, anak muda!”

Lilia tidak berkomentar banyak. Dia mengikuti saja ke mana arah situasi berjalan. Kelompok mereka sekarang mendapat tambahan satu orang reveriers lagi. Bisa dibilang ini berita bagus. Peluang untuk menang bertambah sedikit. Tapi mereka tidak kepikiran apakah di pihak lawan juga terjadi hal yang sama atau tidak.

Seperti uang logam yang memiliki dua sisi untuk menjaga keseimbangan. Apa yang terjadi pada mereka juga sama dengan kelompok Seth. Seolah takdir yang melakukannya, atau seseorang secara sengaja merancang skenario agar berjalan seperti itu.

Seorang gadis berambut panjang yang muncul entah dari mana dan tiba-tiba saja berdiri di hadapan ketiga manusia di sana. Seth, Cathy, serta Airi kaget tak kepalang. Secara reflek, serangan langsung ditujukan padanya. Dalam sekejap saja, akar-akar pohon dari dalam dalam tanah melilit mereka satu per satu, tak lupa dengan puluhan naga yang tersisa untuk mematikan gerakan mereka.

Gadis itu tersenyum simpul. “Aku kemari bukan untuk berpesta dengan kalian. Jadi, bisakah kalian tenang sedikit? Dasar!”

Manusia-manusia itu terangkat jauh ke atas tanah dalam kondisi terikat. Mereka meronta-ronta dalam upaya pembebasan yang sia-sia. Sungguh miris. Seth bersuara, “apa maumu?”

“Aku juga seorang reveriers, sama seperti kedua rekanmu ini. Aku juga menyaksikan permainan kalian pagi tadi. Menyedihkan! Sungguh lemah! Jika saja bukan karena seseorang, kukira kalian sudah tewas semua saat ini.”

“Huh! Apa katamu? Lepaskan aku, keparat!” Seperti biasa, kata-kata kasar Airi memuncrat dengan lancar dari mulut.

“Diamlah, brengsek! Aku ke sini untuk menawarkan bantuan. Mustahil bagi kalian-kalian untuk mengalahkannya. Kekuatan sihirnya bisa dibilang tiada batas.”

“Ow, coba saja lepaskan ikatan ini! Akan kurobek mulut besarmu!”

“Bisakah kau diam sebentar seperti temanmu itu?”

Walau tidak ditunjuk maupun dilihat secara langsung, Cathy tahu kalau dia yang dimaksud. Wajah orientalnya menunjukkan kesabaran tertahan. Ingin sekali dia luapkan semua.

“Apa yang kau tawarkan?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut pemuda di atas. Sebenarnya, Seth juga penasaran apa maunya orang ini.

“Simpel. Aku akan membantumu. Apapun tujuanmu.”

“Membantu? Apa ada imbalan yang kau harapkan?”

“Tidak ada! Sama halnya seperti gadis-gadis ini yang membantumu secara sukarela. Aku membantumu yang berarti kau menolongku juga dalam misi ini. Hubungan timbal balik yang setimpal, bukan? Seharusnya kau senang menerima tawaranku ini. Bagaimana?”

Mata Seth berbinar mendengarnya. Wajah kekanakannya tampak bahagia dengan ekspresi polos terpampang jelas. “Benarkah? Yee …. Aku setuju!” terimanya dengan ciri khas seperti anak kecil.

“Bisakah kau menurunkan kami sekarang juga?” ujar Cathy mulai kesakitan. Dalam keadaan gelap di belakang, puluhan naga yang tersisa meraung-raung sejak tadi.

Cukup satu jentikan Samara, akar-akar itu segera merayap turun menuruti perintahnya. Baru saja menyentuh tanah, sosok Cathy lenyap dari tempatnya. Betapa cepat dirinya mencabut senjata kesayangannya, mengarahkannya pada Samara yang dia kira pasti bakal mati kali ini. Akan tetapi, perhitungannya benar-benar salah. Gerakannya terbaca oleh gadis berambut hitam yang dia serang. Tanpa perlu banyak bergerak, cuma bergeser ke samping sedikit sambil memberikan sambutan hangat berupa tendangan langsung perut Cathy. Alhasil, gerakan itu sukses membuat Cathy terdampar di pinggir api unggun.

Bunyi tubrukan terdengar jelas di tengah keheningan. Airi saja tak berani bergerak untuk menyerangnya, berbeda dengan Cathy. Kelakuannya tak bisa ditebak.

“Seperti kata pepatah jaman dahulu, air tenang menghanyutkan. Serius. Aku tadi sempat kaget. Melihatmu yang daritadi diam saja, benar-benar menurunkan waspadaku padamu,” celoteh Samara dalam kegelapan malam.

Cathy susah payah berdiri sambil meringis kesakitan memegangi perutnya. Dia dibantu oleh gadis yang satu lagi. Keduanya menunjukkan wajah tidak senang pada Samara yang menyeringai miring. Samara bisa menangkap maksudnya dari tatapan tersebut.

“Jika kalian mencoba melawanku, kalian yang akan kalah. Hutan adalah milikku. Camkan itu baik-baik!” ucapan lantang sang pengendali tumbuhan semakin membuat berang Cathy dan Airi. Dirinya merasa di atas awan, untuk saat ini. Namun mereka juga tak bisa berbuat banyak. Melihat aksi tadi saja, Airi yakin, dia tidak mudah untuk dikalahkan seorang diri.

Si gadis oriental menepis tangan Airi. Dia berjalan menjauh untuk beristirahat meredakan sakit di perutnya. Sementara Seth, Airi, dan Samara duduk mengitari api unggun yang hangat.

Samara kembali menggerakkan jari-jemarinya menciptakan dua tumbuhan beri berbeda. Yang satu berdaun lebar dengan buah beri berwarna putih dan sebuah titik hitam di tengahnya, bagaikan mata. Satunya lagi, berwarna hitam mengkilat, ukuran jauh lebih besar yang putih, dilengkapi bunga cantik berwarna keunguan.

Samara mencobanya duluan. Dia memetik beri putih lalu memakannya. “Mmm, lezatnya.” Samara menggoda mereka.

Seth tampak mengerak-gerakkan jarinya berirama. Tidak tahan dan ingin mencobanya, tapi malu-malu sama halnya dengan Airi sembari menelan ludah.

“Ayo, cobalah! Rasanya manis seperti permen kok.”

Tanpa sungkan lagi, Airi maupun Seth langsung meraih dan melahapnya. Mereka bahkan tidak merasa waspada sedikitpun akan buahnya yang beracun atau memiliki efek seperti yang kemarin mereka telan. Kata “manis seperti permen” bagaikan kata ajaib yang sangup menyulap keduanya yang kebetulan menyukai makanan manis, terutama permen.

“Kalian pernah liat tanaman ini sebelumnya?” tanya Samara berbasa-basi.

Penyuka manis seperti mereka hanya menggelengkan kepala. Mulutnya penuh dengan beri sampai tak sanggup bersuara. Jawaban itu membuat Samara semakin yakin kalau mereka berasal dari dunia-dunia berbeda.

“Di duniaku, yang putih ini dinamakan doll’s eye, buah beri beracun. Dan, titik hitam ini adalah titik di mana racun berkonsentrasi. Sementara yang hitam ini dinamakan Nightshade Berry. Semakin banyak dimakan, semakin tinggi resiko kematiannya.”

Cepat-cepat Seth dan Airi memuntahkannya dengan menjijikkan. “Kau ingin membunuhku!” teriak mereka bersamaan.

Samara tertawa terbahak-bahak karena sudah berhasil mengerjai mereka. “Tidak usah teriak-teriak seperti itu juga kali. Buahnya aman kok. Memang sejatinya tumbuhan ini beracun, tapi aku telah merekayasanya sehingga racunnya sendiri sudah ternetralisir dengan sempurna. Mau kalian makan semuanya juga gak bakalan mati.”

Setengah jam ke depan, Airi sudah tertidur pulas setelah kenyang dengan makanan manis. Tinggal Seth dan Samara berdua. Pasukan naga bertengger di dahan pohon, bersembunyi dalam kegelapan. Dengan panjang lebar, Seth menceritakan semuanya pada Samara hingga lokasi yang akan mereka tuju besok. Samara mendengarkan dengan seksama, tentang rencananya yang tidak karuan, tentang pohon besar yang dilindungi oleh si tua bangka, dan tentang kerajaan Vaia.

Samara tidak terlalu ambil pusing akan rencana hari esok. Dia bukanlah tipe orang yang terlalu taat dalam menjalankan misi sesuai rencana. Dia lebih suka dengan kebebasan dalam bertindak. Dengan alasan itu, lebih banyak yang bisa dilakukan menurutnya.

Satu jam berlalu. Suasana benar-benar senyap. Seth sudah tidur pulas. Hanya Samara yang masih bertahan, ditemani suara derak kayu bakar dari unggun di depan, serta suara binatang penghuni hutan yang saling bersahutan membuatnya kian bersemangat menghadapi hari esok.

Dia merebahkan tubuhnya ke belakang, setelah menumbuhkan rumput-rumput di sana menjadi kasur pribadinya yang empuk. Matanya menatap langit. Penuh bintang-bintang yang tak terhitung jumlah dan juga milky way indah. Puas memanjakan mata dan pikiran, Samara menutup mata beristirahat, bersiap untuk hal yang besar.

-ooo-


Perang Hari Ke 2

Pagi-pagi buta, matahari saja belum bersinar sempurna, cuma sepetak cahaya putih tergambar di antara awan-awan gelap kebiruan, Seth bersama anggotanya sudah berangkat mengingat jarak yang ditempuh bukan main jauhnya bila harus berjalan di darat. Jika mereka bisa terbang dengan bantuan naganya, kenapa harus buang-buang waktu? Andai saja Dranocia masih hidup, mungkin mereka bisa duduk berkumpul di punggungnya. Tidak harus berpisah seperti ini.

“Itu adalah pohon yang sangat besar. Untuk menghancurkan pohonnya, kesepuluh segel harus dihancurkan terlebih dahulu. Sembilan sudah hilang, tersisa satu. Tapi yang satu ini jauh lebih sulit daripada yang kubayangkan. Tak kukira, kekuatan dari sembilan segel yang rusak akan bersatu pada segel terakhir,” tutur Seth. Wajahnya menengadah ke atas.

“Pohon? Pohon apa itu? Dan juga, kenapa kau bisa tahu dengan sangat detil, hingga segel dan lokasi pasti pohonnya?”

“Yggdrasil. Itulah nama pohon sucinya. Aku tahu aarena aku juga bekas penduduk desa yang kuserang kemarin, tapi sekarang bukan lagi.”

“Apa yang membuatmu sanggup menghancurkan kampung halamanmu sendiri?”

“Sepuluh tahun lalu, tentara kerajaan Vaia datang ke desa kami. Mereka berniat membawaku. Kedua orangtuaku tewas karena melawan. Dan, kau tahu mengapa semua itu bisa terjadi? Karena tua bangka keparat itu yang memberitahukan segalanya pada pihak kerajaan. Mereka mengincar pusaka ini yang hanya bisa digunakan oleh keturunan keluargaku,” ujar Seth menunjukkan kalungnya.

“Jadi ini semua tentang balas dendam? Hahaha.”

“Jangan salah sangka! Ini hanya sebuah kebetulan aku bisa membalaskan dendam. Kerajaan mencium ada gerakan-gerakan mencurigakan, jadi mereka mengirim mata-mata ke desa-desa lain. Kau sudah tahu apa yang terjadi ‘kan? Semuanya porak poranda. Tidak ada satupun yang selamat. Desa Bentala Vayu yang tersisa dalam keadaan utuh. Spekulasi pun semakin berkembang jadinya.”

“Lalu hanya kau seorang yang diberi tugas ini? Aku semakin curiga.”

“Ya. Karena hanya aku yang paling tahu tentang desa ini dan seluk beluknya.”

“Hmm. Apa rencana cadanganmu seandainya dia terlalu kuat untuk dikalahkan?”

“Sebisa mungkin akan kucoba menumbangkan pohonnya. Sepetinya mustahil sebelum semua segel-segel rusak. Apa salahnya mencoba, bukan?”

“Ya. Tidak ada salahnya mencoba. Namun tidak usah membuang-buang tenaga, jika itu memang tidak akan berhasil. Saranku, lebih baik serang terus.”

Samara masih terngiang dengan pembicaraan kemarin malam setelah semuanya tertidur pulas. Yggdrasil. Nama yang begitu membuatnya semakin bersemangat dan tak sabar untuk melihatnya sendiri. Selain itu, tidak ada kesan berarti, seakan celah untuk menang memang terlalu sempit. Dengan bantuan kedua gadis itupun, Samara tidak yakin mereka akan benar-benar berhasil tanpa kesulitan. Lebih dari itu semua, wajah polos Seth cukup mengganggu Samara.

Langit yang gelap perlahan mulai berganti terang. Pemandangan desa yang terendam air bah di bawah mereka mulai terlihat. Banjirnya sendiri telah surut, meninggalkan sisa puing-puing rumah, sampah kayu, dan mayat-mayat yang membusuk.

Seth menyaksikan dengan seksama tanah kelahirannya. Tidak ada sedikitpun penyesalan atas tindakannya. Semua demi perintah kerajaan. Hatinya sudah beralih dan setia pada kerajaan. Apapun resikonya, pengkhianat itu harus dimusnahkan.

“Masih berapa jauh lagi?” Airi berteriak kencang.

“Lumayan jauh,” balas Seth sambil berteriak.

Kelompok itu beristirahat sejenak setelah satu jam menempuh perjalanan panjang. Hutan yang lebat, di mana pencahayaan sangat minim, membuat nuansa horror menyeruak. Setelah melakukan apa yang ingin lakukan, mereka kembali bersiap-siap melanjutkan perjalanan.

Matahari kian tinggi. Udara kian terasa sejuk. Hamparan hutan tampak tak memiliki tepi lagi. Ini sudah gunung kedua yang mereka lewati.

“Bersiaplah! Sebentar lagi kita akan tiba.”

*

Awan-awan mendung mulai menutupi langit. Suasana menggelap seketika. Angin dingin berhembus tak tentu arah. Kilat menerangi. Suara guntur menyobek angkasa.

Tetua berada di posisi terdepan menunjukkan jalan, sementara para Archan menyebar ke sekeliling. Lebatnya hutan bisa membuat siapa saja tersesat jika tidak mengenal area ini. Setelah semak terakhir disingkirkan, tampaklah ruang luas terbentang di depan.

Serilda dan Lilia membulatkan mata lebar-lebar sambil menganga. Betapa takjubnya mereka pada benda di depan. Sebuah makhluk hidup paling besar yang belum pernah mereka lihat hingga saat ini, bahkan di tempat asal keduanya. Sebuah pohon raksasa menjulang tinggi dengan ketinggian melebihi gedung empat puluh lantai, mungkin lebih lagi. Itu benar-benar pemandangan luar biasa.

“Inilah benda yang selama ini desa kami jaga … Yggdrasil!”

“Yggdrasil?” suara Serilda dan Airi serentak.

“Simbol pohon dunia yang ingin dihancurkan kerajaan. Jika pohon ini sampai hancur, seluruh sihir akan binasa. Dan, tentara kerajaan akan memulai penyerangan ke seluruh penjuru.”

Yggdrasil …. Ini sudah terlalu jauh. Apa kau yakin bisa menghancurkan benda sebesar ini, Samara? Aku bisa merasakan sihir yang amat kuat meliputi seluruh pohon hingga ke daunnya. Permainan ini jadi semakin menarik saja.     

Naght berhenti tepat di belakang di celah antara kedua gadis yang masih membuka mulutnya. Seekor Archan berdiri di belakang Naght dengan tombak di tangan. Terjadi jeda beberapa detik setelah itu.

“Kita harus sampai di atas sana. Tinggal sedikit lagi.” Tetua memberitahukan.

Seth memajukan tubuhnya, menyenggol gadis-gadis di depan. “Giliranku!” ujarnya sambil mengangkat tangan kanan menciptakan lubang hitam, seperti semacam pintu atau portal.

Lubang lain dengan sifat berlawan tercipta di atas salah satu akar raksasa yang posisinya berada setinggi belasan meter dari permukaan tanah. Lingkaran terang itu tampak dari tempat mereka berdiri sekarang.

“Apa itu?”

“Lubang hitam di depan kalian adalah pintu masuk, sedangkan yang bercahaya di sana adalah pintu keluar. Cara kerja yang sederhana,” jelas Naght.

Secara bergiliran, mereka mengikuti Naght yang masuk duluan. Begitu keluar, lokasi sudah berpindah, berada di atas akar raksasa tadi. Sesuai ucapan Naght. Setelah induvidu terakhir keluar, yang tak tak bukan adalah Naght sendiri. Namun, pakaiannya terlihat sedikit berbeda.

Langit kian gelap. Bersamaan dengan gemuruh petir, Naght memperlihatkan sosoknya dengan jubah berkibar-kibar. Entah darimana dia mengeluarkan pakaian tersebut. Jubahnya seklias tampak familiar bagi Serilda dan yang lain.

Serilda menilik simbol di atas tudung itu cukup lama. Mata vertikal. “Kau … kau komplotan wanita yang kemarin, ‘kan?”

“Benarkah seperti itu? Kenapa kau malah kelihatannya senang sekali, gadis kecil?” ejek Naght.

“Dasar mata-mata!” Serilda detik itu juga melemparkan darts-nya.

Naght bergerak-gerak menghindar. Sebisa mungkin dia berusaha maju mendekati Serilda, merebut belatinya, lalu menanamkan senjata tersebut ke perut salah satu Archan. Pekik kesakitan terdengar keras dan singkat saat pria itu membelahnya ke atas, menumpahkan isi perutnya.

Lilia bungkam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Di sampingnya, Serilda menembakkan panah Artemis yang berhasil ditepis Naght. Segera belati itu dilempar balik oleh Naght menuju pria tua berjanggut di depan. Dengan percaya diri tinggi, target itu masih bergeming, tak kala ternyata Serilda menangkap lesatan belati miliknya.

Ayunan tombak memukul belakang lutut Naght menyebabkannya jatuh berlutut. Tangannya dikunci ke belakang punggung. Dirinya dikepung lima Archan sekaligus. Cengkraman itu terlalu kuat untuk dia lepaskan. Berakhir sudah.

Tetua diam saja. Tak berkata atau berbuat apapun, hanya mengawasi. Sikap meremehkan terbaca dari cara memandangnya. Segenap kekuatan sihir sudah berada dalam genggaman tangannya sekarang. Apalagi yang harus dia khawatirkan? Untuk menundukkan kerajaan sendiri pun dia sanggup.

Belum saja seseorang menanyakan apa yang harus dilakukan terhadap mata-mata itu, sebutir debu bercahaya perlahan bergerak naik. Cahayanya bagaikan kerlap-kerlip bintang.

Judex!

Ledakan cahaya yang membutakan menerangi tiap sudut. Tak ada seorangpun yang sanggup membuka mata. Momen itu digunakan Naght untuk meloloskan diri selagi mereka buta sesaat. Sepuluh detik berlalu, cahaya terang menghilang bersamaan dengan jejak Naght yang lenyap tanpa berbekas.

Di bawah langit mendung, ledakan cahaya Naght tampak jelas, apalagi dari ketinggian seperti ini. Seth, Samara, Airi, Cathy, serta sisa naga-naga telah mengetahui posisi musuh. Tak butuh waktu lama, kedua pihak dapat saling memandang satu sama lain.

Pasukan Archan mulai berterbangan. Peperangan dimulai.

“Serang mereka!” teriak Seth mengkomandoi.

Naga yang mereka tunggangi langsung menukik turun. Gadis-gadis di atasnya sudah bersiap sedaritadi. Dalam perjalanan menuju ke bawah, Cathy menggerakkan kepalanya ke kanan gegara panah Serilda tertuju padanya. Putri kerajaan lagi-lagi ingin menyelesaikan urusan yang belum kelar.

Keempatnya melompat turun dari ketinggian beberapa meter. Cathy mencabut pisau dari balik mantel, mengejar Serilda yang berlari ke bawah. Lilia dengan serius menunculkan sihir bola api yang terus-terusan menerjang pada Airi, tanpa celah untuk membiarkannya mendekat.

Tersisa tiga orang itu; Seth, Samara, dan tetua desa. Kakek berjanggut mengambil energi sihir dari pohon. Kekuatannya mengingkat.

Ini berbahaya!

Perasaan Samara memberi sinyal waspada. Benar saja. Sedetik saja dia terlambat, mungkin mereka akan celaka. Samara mendorong Seth ke samping, sedangkan dirinya menghindar ke sisi satunya. Pasalnya, serangan tak terlihat baru saja menembak lurus, meninggalkan jejak mendalam pada akar raksasa yang menjadi pijakan mereka.

Akhirnya hujan pun turun. Seth menembakkan seluruh isi pistolnya. Tiada satupun peluru yang mengenai lawannya, semuanya terlihat berhenti di udara. Angin menghentikan laju peluru-peluru tersebut.

“Kalian takkan menang melawanku.” Sang tetua menggunakan sihirnya membuat jalur angin yang tampak menyerupai ular, bergerak cepat lalu menabrak Seth hingga terpental jatuh dari atas pijakan.

Mass Manipulation!

Tubuh Seth melayang-layang ringan seperti bulu angsa. Untung saja dia memiliki kemampuan ini. Jika tidak, mungkin dia sudah mati.

Dedaunan yang rimbun dan lebat, serta jangkauannya meluas ke sekitar, membuat hujan lebat sekalipun berubah menjadi rintik air yang menetes-netes.

Di atas sana, tinggal Samara dan tetua desa berduaan. Samara berlari ke arahnya, melayangkan tinju ke wajahnya. Lagi-lagi hal serupa terjadi. Angin menahan serangannya. Jika terus begini, mau sampai kapan orang itu bisa dikalahkan?

Seth menyaksikan sesosok tubuh terlempar dari ketinggian belasan meter. Gadis dengan rambut hitam berkibar-kibar tengah berada di udara. Dia hendak menolongnya, tapi tidak bisa. Alasannya, ada sosok lain juga ikut melompat dari atas menuju padanya sambil mencoba mengerahkan segenap kemampuan sihirnya.

Sulur-sulur lunak muncul dari permukaan tanah yang basah, menangkap tubuh Samara yang mau berhenti melaju. Setelah tertangkap, dia baru sadar ternyata dirinya sudah berada sejauh ini dari titik semula.

Dari tempatnya sekarang, Samara bisa melihat Seth tersudut. Pemuda itu tak mampu melawan balik dengan hanya dengan bermodalkan pistol yang tampak seperti mainan anak kecil bagi Samara. Dia terlalu naif jika ingin menang dengan cara itu.

Bukannya membantu Seth layaknya yang ditawarkan, dia malah mengangkat kaki dari sana. Memanjat ke atas akar raksasa yang tinggi. Dari sana, samara baru bisa menyaksikan setiap pertarungan yang berlangsung.

Airi, gadis temperamen tersebut menahan serangan api bertubi-tubi dari lawannya. Setiap serangan yang meluncur padanya terasa semakin kuat. Walaupun Catasthrope membungkus tangannya yang digunakan untuk menepis tiap api yang datang, dia juga merasakan hawa panas menembus pelindungnya.

Energi sihir Lilia meningkat. Hal itu otomatis juga meningkatkan daya hancur yang diakibatkan dan juga bentuk dari sihir aslinya, dengan kondisi dia sendiri juga tak menyadari akan hal itu sampai sebuah sihir dia rapalkan. Kobaran api terbentuk dari kekosongan. Mereka berkumpul lalu membentuk pilar api besar dengan diameter mencapai delepan meter, dan bergerak menggapai musuhnya.

“Sialan! Kenapa bisa sebesar ini?” protes Airi. Kainya membatu menyaksikan api yang sangat banyak ingin menabrak tubuhnya.

Lari! Otaknya terus-terusan memberikan perintah pada kaki yang tiba-tiba tidak menurut. Seolah keterkejutannya membuat proses penyampaian pesan melambat.

Tidak! Aku tidak mau mati sini! Ayolah! Airi berusaha menyalurkan seluruh tenaganya untuk mengaktifkan kemampuannya lebih sempurna. Jantungnya kian berdetak kencang. Cahaya terang dari pilar api terbias di matanya.

BLAMMM!!!

Ledakan keras dan kepulan asap tebal menghiasi medan pertempuran. Kaki Samara muli tergerak. Dia berjalan ke dalam mendekati batang Pohon Yggdrasil. Setelaj dirasa cukup, dia berjongkok, mendekapkan telapak tangan kananya ke bagian pohon yang sedang dia pijak. Mulai saat ini, dia memerlukan konsentrasi penuh demi mendapatkan keseluruhan DNA pohon agar kelak dapat dia gunakan. Maka dari itu, dia harus banyak diam. Kesempatan yang bagus untuk menyerangnya saat ini juga.

Cahaya terang bersinar dari balik punggung Samara. Gadis itu tetap mengerjakan tugasnya.

"Apa yang hendak kau lakukan, Samara?" suara Naght mengejutkannya.

Padahal dia yakin, sebelumnya tidak ada seorangpun di dekat sana. Darimana orang ini muncul? benaknya menerka.

"Melakukan apa yang kuinginkan. Sudah lama aku bertanya-tanya, apakah pohon ini benar-benar eksis di dunia, atau cuma sekedar mitos belaka. Tak kusangka, pohon dunia ini malah eksis di tempat antah brantah semacam ini. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan hal sebesar ini?"

Naght menatapnya nanar. "Kau tahu, kau bisa mati saat ini dengan mudah jika musuhmu …."

"Itu resiko yang berani kuambil. Aku memerlukan waktu untuk memetakan seluruh DNA. Setelahnya … aku bisa menggunakannya. Mungkin menirunya untuk saat ini. Jika kau berkenan, maka lindungi aku. Jika tidak, maka pergi sana!" ucapnya memotong Naght.

Sesuai permintaan Samara, Naght pun menghilang ke dalam lubang hitam yang menganga. Berpindah ke tempat lain, entah ke mana itu.

"Cih!" maki Samara dalam senyum. Keadaan tidak mengijinkan dia untuk ikut terjun dalam keasyikan di bawah sana. Dia diharuskan untuk jadi penonton, untuk sementara waktu ini.

Mata Samara tertuju pada satu pertempuran lainnya yang cukup menarik. Pertarungan fisik di antara kedua gadis yang mengandalkan senjata … si oriental dan si putri. Julukan yang terlintas di pikirannya.

Naga dan Archan berterbangan di sana sini. Di kejauhan, hujan lebat telah memutus pandangan. Setetes air menyentuh tengkuknya. Lantas Samara menengadahke atas. Betapa gilanya tumbuhan ini seakan menjadi payung raksasa.

Sedetik kemudian, Seth yang dipukul habis-habisan tertangkap oleh indra penglihatan Samara. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Habislah sudah, pikir Samara. Walaupun dalam hatinya menyuruh Seth untuk bertahanlah.

Di sisi lain, di dalam kepulan asap yang menipis, siluet Airi tampak masih utuh berdiri. Setelah asap menghilang, Lilia pikir mayatnya yang gosong berdiri kaku, malah dikejutkan dengan keutuhannya yang sama sekali tak terluka. Seluruh tubuhnya dilapisi Catasphore. Dalam situasi di ujung tanduk sekalipun, keinginan untuk tetap hidup telah memaksa memorinya bekerja mendapatkan ingatan akan kemampuannya kembali.

Entah berapa lama Samara menghabiskan waktu dalam kesendiran di tempatnya bernaung. Cukup lama pikirannya tertuju dengan yang dia lakukan saat ini hingga tak lagi mengawasi apa yang terjadi. Sedikit lagi! Sedikit lagi, maka semua urusannya akan selesai.

Tap tap tap …

Tapak kaki seseorang terdengar dari balik punggungnya. Samara tidak berniat mengintip. Tebaknya, orang itu pasti Naght yang ingin mengganggunya lagi.

“Apalagi maumu, Naght?” Proses pemetaan hampir selesai. Tersisa hitungan detik.

“Melunasi hutang kemarin!”

Mata Samara melebar sedikit. Tak pernah mengira kalau yang muncul di belakangnya adalah orang yang kemarin hendak menyerangnya.

“Malleus Maleficarum ….”

Ini sama sekali tidak bagus, Samara. Ck, sebentar lagi, ayolah!

Dengan emosi meluap-luap, gadis tersebut melimpahkannya ke dalam pisaunya. Terkadang, emosi menyebabkan hal berubah berbahaya. “Superbia!” Simbol singa jantan terbentuk pada permata yang sekarang bersinar.

Gerakannya mantap menghunuskan senjatanya ke depan, tepat mengarah ke sasaran yang bergeming. Samara tak memiliki pilihan lain lagi. Padahal hanya tersisa sedetik. Namun di saat-saat terakhir, dia sukses menghindar meninggalkan luka sayatan besar di lengan kiri.

Sensasinya menyakitkan. Darah mengalir keluar dari irisan daging yang terkoyak. Cairan merah mewarnai lengan Samara yang meringis menahannya. Tatapannya kini terpaku Cathy.

“Sebentar lagi lenganmu akan putus,” ujar Cathy tampak puas. Matanya melebar. Teror melekat di wajahnya.

Hmm? Apa yang dia bicarakan? Tatapan dari seorang pembunuh. Samara bisa merasakan intimidasinya.

Lama dia menunggu, tapi lengan Samara tak kunjung putus. Luka itu masih menganga seperti semula, tak terjadi apa-apa. Darah masih merembes.

Sama halnya dengan Samara yang mengerutkan kening. Bertanya-tanya mengapa luka itu tidak lekas menutup. Bukankah seharusnya vitakinesis miliknya masih bekerja dengan baik. Setengah detik kemudian, matanya menyipit ke permata bersinar itu. Pasti karena itu.

Goresan yang disebabkan superbia akan terus melebar hingga pada tingkat memutuskan objek yang disentuhnya. Bertolak belakang dengan vitakinesis Samara yang menyembuhkan luka. Karena dua kekuatan itu saling berseberangan, maka bagaikan tidak terjadi apa-apa.

Cathy pun berpikir superbia tidak berfungsi maksimal. Ini tidak mungkin, tidak pernah terjadi sebelumnya. Hexennacth disayatkan dengan semangat untuk menghabisi musuhnya lagi.

Samara tidak menyerang balik. Dia cukup menghindari dengan serius karena lukanya tak membaik sama sekali. Dan, itu menyebalkan baginya. Menerima lebih dari ini, bisa-bisa dia mati.

Benda panjang melesat cepat hingga merobek lengan baju. Bekas luka yang ditimbulkan mulai mengalirkan darah segar. Luka baru tertoreh lagi di lengan kanan Samara. Dia lalu menilik ke belakang. Gadis berpakaian perang telah hadir dengan busur tergenggam mantap di tangannya.

Samara mulai tidak menyukai situasi ini. “Kalian benar-benar akan mati di sini!” Setelah mengucapkannya, dia melirik ke arah goresan hadiah dari Serilda. Luka itu sembuh, berbeda dengan yang satunya lagi.

Pemetaan Yggdrasil telah selesai. Tiba waktunya bagi Samara untuk mencoba menggunakannya. Akar raksasa yang menjadi tumpuan mereka mengeluarkan cabang-cabang lain, bergerak bagai ular ingin menangkap Serilda dan Cathy. Apa yang terlihat, memang sama persis seperti kekuatan pengendalian alaminya. Namun, jika sampai tertangakp oleh bagian pohon ini, energi musuh akan diserap habis.

Lilia bergabung dengan orang yang dia panggil kakek. Bersama dengan tetua, mereka melancarkan serangan gabungan. Api dan angin. Tak ayal, kobaran api semakin menggila, melahap apa saja dalam jangkauannya. Bahkan, Archan di udara yang tak sempat menghindar juga menjadi korban. Airi cepat-cepat menjadi benteng untuk Seth. Dengan memanfaatkan panas Catasthrope yang telah melapisi seluruh bagian tubuhnya, dia menahan laju api sehingga menciptakan celah kosong di baliknya untuk Seth jongkok bersembunyi.

Luasnya cakupan api tersebut, hingga menggapai lokasi trio gadis. Cahaya jingga terang bersinar mendekat segera menarik perhatian mereka. Masing-masing membelalakkan matanya. Menghentikan apapun yang dikerjakan dan mengelak mencari tempat berlindung, sebelum panas menghanguskan tubuh indah mereka.

Airi dan Seth tidak bisa bergerak selagi api berkobar. Sedetik setelah api mereda, sosok Lilia dan tetua muncul di depan wajah Airi. Hal itu jelas membuat jantungnya hampir copot. Akan tetapi, Lilia terlalu ceroboh karena mencoba menyentuhnya yang menggunakan seragam Catasthrope. Alhasil, cepat-cepat dia menarik tangannya yang terpapar udara panas. Merah dan hampir melepuh.

Ketika Airi baru bergerak satu senti saja, tetua mementalkan gadis itu dengan kekuatan angin hingga bermeter-meter jauhnya sambil memantul-mantul, membuat sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Seth sadar. Belum saja dia melawan balik, tiupan sihir angin yang mengalir secara vertikal, mengekang tubuh kecilnya hingga telentang tak berkutik.

Lilia menghindar dari sana, melangkah mendekati Airi. Kali ini dia akan lebih berhati-hati musuhnya. Rasa penasarannya akan kemampuannya sudah diketahui. Tak ingin jatuh untuk kedua kalinya.

“Anak ingusan sepertimu mau melawanku? Hasilnya adalah kematian.”

Seth meronta-ronta. Usahanya tidak membuahkan apapun. “Lepaskan aku, tua bangka sialan!”

Orang tua itu tertawa penuh kemenangan. “Seth … Seth …. Apa ini masih tentang balas dendam? Kebohongan macam apalagi yang kau bisikkan pada mereka hingga memihakmu? Tentang kerajaan lagi? Kau sudah dewasa, tapi kelakuanmu masih saja seperti anak-anak.”

Seth memaksakan senyum pahit. “Hehe, mengataiku seperti itu, padahal kau lebih licik. Cuih!”

“Melenyapkan kesembilan segel? Itu bukan licik, tapi cerdik. Sekarang aku yang terakhir. Kekuatan ini … milikku seorang.”

Desiran angin membawa aroma kematian, membelai-belai rambut trio gadis yang kembali dihadapkan satu sama lain. Rambut panjang ketiganya berkibar-kibar. Tujuh menit berlalu sejak Hexennacht Superbia diaktifkan, hampir mencapai batasnya.

Sehelai daun Yggdrasil jatuh dari puncak, melambai-lambai, tertiup ke sana kemari. Begitu daun tersebut menyentuh permukaan yang mereka pijak, Serilda melesatkan panah tertuju pada Cathy. Namun gadis itu telah berkelit dari tempatnya. Samara membaca gerakan Cathy, dengan tangkas dia membentuk dinding kayu memblokir kedatangannya.

Dua darts milik Serilda melayang. Cabang kayu lain mencuat dari akar raksasa di bawah, melindungi Samara. Ketika dia berbalik, dia dikejutkan dengan pisau Hexennacth yang menembus dinding itu dan nyaris menusuknya.

Melihat kesempatan, Serilda datang dengan cepat sambil mencabut belatinya. Gerakan tangannya ringan. Samara masih bisa menghindari sayatan-sayatan yang coba dia berikan seiring bergesernya lokasi mereka menjauhi dinding kayu. Lalu pada satu kesempatan, Samara berhasil menangkap pergelangan tangan Serilda. Tangan mereka pun saling mengunci. Detik itu pula, Cathy muncul di belakang Samara dengan senjata sialannya.

Akar-akar bermunculan. Hexennacth memutuskan akarnya. Samara tak memiliki pilihan lain lagi. Akar lain mengikat pergelangan tangan dan kaki Serilda, membawanya beberapa sentimeter ke udara. Sampai saat itu tiba, Samara telat untuk melakukan apapun. Superbia menancap di perutnya yang sekarang berada dalam posisi telentang. Jerit kesakitan dia keluarkan, ketika Cathy memutar pedangnya. Air matanya sampai menggenang, menahan luka fatal yang bisa disembuhkan vitakinesisnya.

“Jeritlah! Jeritlah sekencang-kencangnya! AHAHAHAHA! Sebentar lagi akan kurenggut jantungmu, lalu kujual di pasar gelap. Kira-kira berapa harganya, ya?”

“Da-dalam mipimu!” Samara terbata-bata.

Cathy merasa di atas awan. Satu musuhnya lagi berada dalam keadaan terikat, layaknya binatang yang menunggu untuk disembelih. Di saat inilah dia lengah. Dengan wajah kebingungan bercampur kekagetan, tangan kirinya terlilit akar yang sama yang mengikat Serilda. Tangan kanannya pun awas lalu mencabut Hexennacht. Sebelum terkekang selamanya, dia melemparkan senjatanya tepat ke titik di antara kedua mata Samara. Gadis itu menelengkan kepalanya dan sukses menghindar. Simbol singa jantan pun berakhir sampai di situ.

Luka-luka yang bersarang di tubuh Samara seketika menutup. Perlahan tapi pasti, vitakinesisnya kembali bekerja memulihkan.

“Bravo! Bravo!” suara Naght kembali terdengar. Lagi-lagi pintu bercahaya terang itu menandakan kemunculannya. “Dua lalat tertangkap. Nah, apa yang akan kau lakukan?”

Samara tidak menjawabnya. Dia masih mengatur nafas.

Sementara itu, Naght menhampiri Cathy. Musuh yang terikat memang tampak menyedihkan, ditambah dengan segala caci maki yang terlontar dari lidah kotor mereka. Naght menemukan enam bilah senjata tajam sejenis, tersembunyi di balik mantel di belakang panggul Cathy. Dengan menyeringai dia mengambilnya. Melihat itu, Cathy semakin kesetanan.

“Hm, senjata yang lumayan bagus.”

“Lepaskan tangan kotormu?” hardik Cathy tampak geram.

“Kau ribut sekali untuk ukuran seorang gadis. Apa yang akan kau lakukan pada mereka, Samara?”

“Terserah kau saja,” jawab Samara asal-asalan.

Terjadi perubahan ekspresi drastis pada wajah Naght. Tatapannya berubah datar, seolah tanpa ekspresi dengan pupil mata melebar.

Naga terakhir jatuh ke atas tanah. Pasukan naga Seth telah musnah seluruhnya, sedangkan pasukan Archan masih tersisa sepuluh. Semua berkat bantuan sihir tetua desa yang turut membantu menghancurkan naga-naga itu.

Archan-Archan yang selamat, mendarat dengan cantik di belakang tetua. Tubuh mereka kotor serta dipenuhi luka-luka bekas cakaran.

“Habisi dia!” perintah tetua.

Salah satu manusia burung itu mengangkat tombaknya. Seth tersenyum sinis menahan tawa, bukannya menunjukkan raut ketakutan saat kematian berada di depan mata.

“Apanya yang lucu?” kakek tua itu merasa diremehkan.

JLEBBB!!!

Darah mengucur deras dan membasahi ujung tombak. Mulutnya memuntahkan darah. Tombak kedua ikut bersarang. Seketika tubuh itu jatuh ke atas tanah. Darahnya membanjiri sekitar. Keadaan berbalik. Kini, tetua yang berada dalam konsidi sekarat. “Ke-kena-pa?”

“Kami sudah muak dengan semua ini. Masa-masa di mana sihir yang membelenggu kami dalam wujud terkutuk ini sudah usai. Sekarang, era para Animorph untuk kembali berjaya,” ucap salah satu Archan.

Sang tetua sudah berada di ambang hidup. Dalam posisi tengkurap, matanya menilik para Archan yang telah mengkhianatinya.

“Hahaha, kau terkejut? Sejak awal, kaulah poros utama dari skenario yang kami rencanakan. Tanpamu, aku tidak mungin sanggup menembus pertahanan kesembilan desa sebelum seluruh pasukan nagaku habis. Jadi, kubiarkan rencana licikmu berjalan. Walau terjadi sedikit perubahan sejak kemunculan orang-orang itu dan juga apa yang terjadi di desa kemarin, sepertinya rencana kami berhasil lebih cepat dari yang diperkirakan,” Seth tersenyum penuh kepuasan, mengangkat kepalanya menatap si tua bangka sisa hidupnya tinggal hitungan detik lagi.

Segel terakhir rusak. Kekuatan sihir pohon Yggdrasil berangsur-angsur melemah, diikuti perubahan yang terjadi pada tubuh manusia-manusia burung di sana. Tubuh mereka satu per satu kembali normal dalam wujud manusia sempurna. Dalam skenario yang telah selesai ini, ada satu rencana tersembunyi yang diam-diam berjalan beriringan.

-oo-


1 Tujuan Terakhir

Archan yang menjadi manusia tampak kagum dengan tubuh barunya sekarang. Semua itu terbaca dari mata yang menyala-nyala dan ekspresi kesenangan luar biasa. Seth masih tiduran di atas tanah, tak jauh dari tetua yang kini sudah menjadi mayat.

Lenyap sudah segel terakhir yang melindungi pohon. Energi sihir dalam pohonnya telah lenyap seluruhnya, tak tersisa sedikitpun. Getaran-getaran kecil mulai terasa. Retakan pada akar tempat Samara dan Naght berpijak semakin membujur. Suara patahan kayu terdengar jelas di sana-sini. Pertanda tak lama lagi, Yggdrasil akan tumbang.

Tak lebih dari sepuluh detik kemudian, getaran kecil bertransformasi menjadi gempa besar. Permukaan tanah mengalami kerusakan parah. Retakan melintang lurus, membelah tanah, menyebabkan Airi dan Lilia yang tersisa terpisah. Dentuman kuat menggema ke seantero hutan.

Ketujuh Archan tidak memiliki urusan lagi. Mereka telah bebas. Keadaan di sana dirasa kian bertambah buruk setelah sebuah raungan keras terdengar dari dalam tanah. Oleh karena itu, mereka cepat-cepat menghindar selagi sempat. Satu demi satu, tubuh manusia itu menjelma sepenuhnya menjadi burung elang, ukurannya setinggi manusia dewasa, dan melesat ke angkasa.

Sesungguhnya Archan hanya nama dari salah satu jenis spesies. Sejatinya, mereka adalah pengubah bentuk—shape shifter—yang memiliki DNA Animalia yang lebih dikenal dengan sebutan Animorph, sehingga memiliki wujud manusia dan juga binatang. Bukan hanya mereka, tetapi seluruh Animorph di dunia ini telah terbebas dari wujud campurannya.

Raungan itu kembali terdengar, semakin keras. Akar-akar raksasa mulai runtuh. Samara dan juga Naght menghindar dari lokasi tersebut. Di belakang mereka, pemandangan akan Cathy serta Serilda yang tewas dengan tiga bilah pisau tertancap di tubuh masing-masing tampak mengenaskan. Mayat-mayat mereka pun jatuh, tertimbun di dalam reruntuhan.

Raut wajah Samara memperlihatkan ketegangan. Ada satu yang mengganggu pikirannya, berakitan dengan raungan keras yang timbul.

“Ada apa?” Naght seolah membaca pikirannya.

“Menghilangkan keberadaan energi yang terdapat dalam pohon ini seakan telah melepaskan belenggu dari makhluk yang terjerat dan terpenjara di kedalaman tanah. Makhluk yang konon terus mengunyah akar-akar Yggdrasil yang menjeratnya, berharap suatu saat penjaranya akan tumbang. Dan, hal itu terjadi sekarang. Tepat di hadapanku.” Api menyala di bola matanya. Seutas senyum tertarik berusaha dia tampilkan.

“Apa yang kau bicarakan?”

“Makhluk itu sekarang bebas.” Mata Samara terpaku pada batang pohon Yggdrasil yang kian miring ke arahnya. Sedikitpun dia tidak menoleh.

Batang pohonnya sudah mencapai kemiringan enam puluh lima derajat, namun masih tertahan oleh bagian kokoh lainnya. Untuk sementara waktu ini. Sebuah hentakan kuat dari dalam tanah, telah melemparkan batang-batang kayu besar berterbangan ke segala arah. Di dalam kepulan asap yang tercipta, suatu siluet besar menampakkan diri.

Seth bangkit dari tidurnya dengan semangat menggebu-gebu, lalu duduk di atas tanah. “Kemarilah senjata pemungkas terakhirku ….”

“Nidhogg!” ucap Seth dan Samara bersamaan.

Ketika sayapnya dilebarkan, satu hempasan angin meniup asap hingga menghilang. Seekor naga hitam besar bernama Nidhogg, yang selama ini terkekang oleh akar Yggdrasil, kini terbang bebas di udara. Mata Seth saja sampai melebar, menyerap baik-baik ingatan yang terjadi hari ini. Kemenangan luar biasa.

Inilah rencana Seth dari awal. Hal yang telah dinantikannya cukup lama. Seekor naga mistis yang kekuatannya melebihi pasukan naganya, bahkan berkali-kali lipat. Kekuatan dari kalungnya segera bekerja, membelenggu pikiran dari Nidhogg untuk berada di bawah perintahnya. Perintah pertama pun diberikan.

Segera naga besar itu mendarat lalu menyapukan ekornya pada Lilia. Gadis itu tewas seketika dengan tubuh hancur berantakan. Leher panjangnya menoleh ke kanan, mendapati sosok Airi. Cahaya biru muncul dari balik sela giginya. Semburan api biru ditembakkan tempat ke arah Airi berada. Radius berpuluh-puluh meter terbakar oleh api biru.

Catastrope yang membungkus tubuh Airi pun tak sanggup menahan panasnya api biru ini. “Tidak! Tidak! Aku tidak mau mati di sini! UARGHHHHHHHH!” Tubuh gadis malang itu sekarang hanya tinggal kenangan. Api dengan cepat mengubahnya menjadi abu.

Untuk sedetik, Samara merasa dirinya dibodohi. Dia berpikir dia yang memanfaatkan mereka untuk mencapai apa yang dia inginkan. Kenyatannya, rencana pembebasan seekor naga, tidak masuk dalam perhitungannya.

Nidhogg menghampiri Seth. Setelah meringankan tubuhnya, pemuda itu melompat ke atas punggung naga tersebut. Samara dan Naght menyaksikan keagungannya. Dengan panjang dari ujung kepala hingga ujung ekor mencapai empat puluh meter, serta lebar kedua sayap mencapai tiga puluh meter, makhluk itu terlalu besar untuk menjadi tandingan manusia.

“Kuucapkan terima kasih untukmu, Samara! Sekarang tujuanku telah tercapai. Dengan ini, aku bisa menguasai dunia. Senjata-senjata mereka tidak akan mampu mengalahkan Nidhogg.” Wajah polos kekanakannya sirna. Bergantikan tampang seorang pembunuh dengan mata yang mengisyaratkan pembalasan dendam.

Samara menanggapi terima kasihnya dengan serangan balasan. Akar-akar dalam jumlah banyak menghancurkan permukaan tanah, bergerak naik ke atas berusaha meraih naga tersebut. Namun naga itu cepat. Segera dia menerbangkan dirinya tinggi hingga berada di luar jangkauan Samara.

Wajah Seth semakin beringas. “Titip salamku untuk mereka yang berada di neraka!”

Cahaya biru berpendar. Lontaran api biru nyaris mengenai Samara dan Naght. Sebelum itu terjadi, Naght mulau bertindak.

Black Hole!

Lubang hitam tercipta di antara api dan tanah mereka berpijak. Benda hitam itu sampai membelokkan ruang, menyedot semua apinya ke dalam ketiadaan. Mereka selamat tanpa terluka.

“Kalian hebat! Tapi aku punya urusan lebih penting saat ini. Menghancurkan kerajaan Vaia! Setelah itu seluruh dunia akan bertekuk lutut padaku!” Nidhogg berbalik, membawanya terbang jauh ke utara. Sebuah bola api biru menghantam dasar pohon Yggdrasil, memberi kerusakan lebih. Kali ini, tidak ada yang bisa menjaga keseimbangan batang raksasa itu lagi.

Seth melesat cepat menembus badai yang menerjang. Sekali lagi dia mengalihkan pandangannya ke belakang, melihat bagaimana Yggdrasil terus bergerak semakin jatuh. Setelah itu, tatapannya hanya tertuju lurus ke depan. Tertuju ke arah kerajaan yang telah merenggut kehidupannya. Balas dendam!

Suara patahan yang parah membuat merinding, tak kala tiada satu tempat pun untuk bersembunyi. Bertarung dengan waktu jelas terlambat. Samara memanggil-manggil nama pria di sebelahnya. Dia tahu orang itu bisa melakukan sesuatu terhadap pohon yang semakin tampak besar seiring bergulir ke arah mereka ini.

“Tak perlu panik begitu. Santai saja!” Sambil menolehkan wajahnya membelakangi arah pohon itu datang. Di jarak lima puluh meter sebelum benturan tercipta, lubang hitam kedua terbuka, menghilangkan keberadaan pohon Yggdrasil seolah benda itu tidak pernah ada di sana.

Sesaat setelahnya, rombongan air hujan memberondong tanah yang selama ini tidak pernah tersentuh hujan. Tanah dengan cepat basah, membersihkan diri dari darah yang mengotori. Menyisakan Samara dan Naght yang masih bernafas, terdampar di tengah-tengah hamparan hutan, di bawah badai yang berlangsung.

*

Energi sihir dahsyat telah disebarkan. Dia menanamkan sihirnya pada berbagai objek di sekitar sana, termasuk atmosfir yang lembab.

Enchant Water: Diamond Dust!

Embun dingin bertiup, membekukan segala objek yang dilewati. Satu batalyon prajurit kerajaan berubah menjadi patung es.

Wanita itu kembali melanjutkan perjalanan, menelusur semakin ke dalam. Pasukan demi pasukan digerakkan untuk menghadang lajunya, tapi tiada seorangpun yang mampu menahannya. Semua berakhir di tangan dinginnya. Seorang musuh yang cuma bersenjatakan sebuah tongkat telah menyusup ke dalam istana.

Dia tak berhenti selangkah pun, hingga pada pintu besar nan tinggi aula utama kerajaan. Pintu terbanting keras. Tampak tak kurang dari lima ratus prajurit telah bersiap di dalam sana, melindungi raja mereka yang berada di posisi paling belakang, di depan kursi kebanggaannya bersama dengan sang pangeran tercinta.

“Hmm, sampai kapan kalian coba melakukan kesalahan yang sama?” Secilia memutar bola matanya, memudarkan senyum di bibirnya.

Enchant Air: Body Slash!

Dalam hitungan detik, semua pasukan tersebut tewas dengan luka sayatan parah. Yang masih berdiri dengan gagahnya di sana adalah raja dan pangerannya. Mata legam Secilia menyaksikan keangkuhan istana tersebut

Sang pangeran dengan gagah berani melompat, mengarahkan pedangnya ke leher musuh.

Vacuum!

Tubuh itu terjebak di udara, sama halnya dengan sang raja. Secilia mendekati pangeran itu. “Kuakui keberanianmu, bocah. Sayang rasanya jika bocah tampan sepertimu harus tewas juga di sini. Tapi aku punya ide yang lebih baik.” Secilia menepuk-nepuk pipinya.

Raungan Nidhogg menyobek keheningan. Dari atas sana, Seth sudah bisa melihat istana kerajaan. Tapi ada yang aneh. Kepulan asap tampak muncul dari berbagai titik. Prajurit-prajurit tewas di mana-mana. Ini menandakan kalau rencana penyerangannya telah didahului oleh orang lain?

Dengan kesal, dia terbang masuk ke dalam istana sampai ke ruang utama. Ratusan prajurit telah tewas di tempat itu. Darah membanjiri seluruh permukaan lantai marmernya. Naganya berhenti, lalu Seth pun meluncur turun dari punggungnya ketika menyadari seseorang tengah duduk di singgasana raja, dan dia bukanlah raja.

Adalah Secilia yang sudah menanti kehadirannya. Dia duduk bersandar dengan miring ke kiri. Tangan kirinya mengepal, menopang pipinya. Jubahnya sedikit terseibak, mempertontonkan kaki mulusnya. Sementara tongkatnya berdiri tegak di atas lantai secara ajaib.

Seth berjalan maju beberapa langkah. Dia menemukan sosok raja dan pangeran dalam kondisi yang menyedihkan.

“Seth! Ka-kaukah itu? To-tolong aku!” suara sang raja. “Se-selamatkan pangeran-ku!”

“Maaf! Aku tidak berniat melakukan itu!”

Nidhogg bergerak. Tangan kanannya segera menghimpit tubuh sang raja hingga menewaskannya. Sementara tubuh pangeran yang sekarat digenggamnya, lalu rahang itu terbuka lebar. Sedetik kemudian, tubuh bagian atas pangeran digigit putus dan dikunyah. Beberapa potong isi perutnya jatuh ke lantai marmer. Sisa tubuhnya dilahap lagi oleh Nidhogg.

Mata hitam legam Secilia menyaksikan adegan itu tanpa berkedip. “Sayang sekali, padahal dia lumayan tampan.”

Enchant Earth: Earth Grave!

Bunyi gemerincing mengiringi kemunculan jarum-jarum batu besar dari dalam tanah. Mayat-mayat prajurit tertancap, terbawa naik ke atas. Seth memanipulasi beratnya, meringankan tubuhnya hingga melayang. Nidhogg hanya mengangkat tubuhnya. Tidak ada satu jarum pun yang berhasil melukainya. Mereka pecah berderai ketika menyentuh kulit kerasnya.

Portal bercahaya terbuka di udara di belakang Seth. Samara muncul sambil mengarahkan tendangan dan sukses mengenai wajah Seth. Mereka berdua pun beruntung mendarat di celah-celah jarum batu, begitu juga dengan Naght yang muncul belakangan. Nidhogg yang marah, menghancurkan semua jarum batu di sekitarnya. Kibasan ekornya menyapu, membuat Samara dan Naght turut menundukkan tubuh.

Akar-akar besar tumbuh dari sisi kanan dan kiri Nidhogg. Benda itu bergerak menyilang ke sisi seberang, menahannya di lantai. Saat raungannya kembali menggema di dalam istana, akar baru muncul mengikat mulutnya agar rahangnya tetap tertutup. Samara memperkuat cengkramannya, ditambah serangannya barusan mulai bekerja menghisap energi makhluk itu yang bergerak-gerak kecil dalam kesempitan.

“Rebut kalungnya!” ujar Samara. “Benda itu yang mengendalikan naganya.”

“Ini?” Seth melepaskan kalung yang dimaksud, lalu mematahkannya dengan mudah. “Ini cuma benda yang kubeli di pasar. Tak kusangka keisenganku mengatakan itu ditanggap serius olehmu. Hahahaha.”

Samara berdecak. Dalam hatinya, dia memaki dirinya yang terkesan bodoh. Entah mengapa dia bisa percaya akan hal semacam itu.

Secilia masih berada dalam posisi yang sama. Sementara Seth dengan angkuhnya mendekati Nidhogg yang berhasil menghancurkan jeratan-jeratan tak berguna dari Samara. Api biru melesat jauh hingga menyambar dinding di seberang. Beruntung Samara dan Naght berkelit tepat waktu. Sebentar saja, panasnya api sudah memijarkan dinding, membuatnya melelehkan bagikan lava cair. Leher panjangnya berbalik. Secilia dengan refleks mengambil tongkatnya dan melompat menjauh, sebelum hal yang sama terjadi.

Samara, Naght, dan Secilia berkumpul lagi di satu titik. Berhadapan dengan Seth dan peliharaannya. Pemuda itu terus mengucapkan kata-kata sombongnya.

JLEBBB!!!

Cakar Nidhogg baru saja menancap di punggung dan tembus dari dadanya. Kesadaran Seth pun perlahan pudar. Tubuh kecilnya dihempas kuat oleh Nidhogg sampai menghantam salah satu pilar, menyebabkan tulang-tulangnya hancur, darah pun terciprat membekas di sana. Hidupnya yang penuh impian untuk menguasi dunia, kini tinggal angan-angan belaka.

“Kalian … manusia … selalu sama.” Rahang Nidhogg bergerak-gerak.

Samara dan lainnya jelas terbelalak.

“Kau bisa berbicara?”

“Aku bisa berbicara? Jelas!” Tubuh Nidhogg yang besar pun menyusut menjadi manusia. Seorang pria bertubuh besar berotot, parasnya sekitar tiga puluhan. Animorph lainnya menunjukkan diri di tengah situasi kacau saat ini.

“Bocah bodoh! Dari awal, kemampuannya mengendalikan pikiranku tidak berguna sama sekali. Mana mungkin aku yang hebat ini dikendalikan olehnya.”

“Siapa sebenarnya kau ini?” tanya Secilia.

“Aku adalah Nidhogg. Raja dari semua Animorph. Pada masa lampau, ada seorang penyihir kuat yang berhasil melenyapkan eksistensiku dari dunia ini. Mengurungku di bawah pohon terkutuk itu. Membuatku keberadaanku yang sempurna ini dilupakan dari waktu ke waktu. Tapi, hari ini aku terlahir kembali, untuk menunjukkan kepada dunia, siapa yang seharusnya berkuasa.” Dia berlari, bersamaan dengan mengubah tubuhnya menjadi sosok naga lagi, terbang melewati mereka bertiga sambil menghempaskan sayapnya kuat.

“Animorph … sama seperti burung-burung itu.” Samara melirik seklias Naght dan Secilia. Kemudian maju duluan mengejar Nidhogg. Setelah melewati puntu besar, dia bisa melihat naga itu berbelok tajam ke kiri. Di belakangnya, Naght dan Secilia mengikuti aksinya itu.

Cuaca mulai mendung, menggelapkan keadaan sekitar. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati belokan itu ternyata jalan buntu. Sosok Nidhogg juga tidak nampak di sana. Tidak ada dinding yang hancur karena diterobos. Kamuflase yang sempurna dengan kegelapan.

Serpihan batu kecil dan debu berjatuhan dari langit-langit. Nidhogg tengah merayap di sana. Keberadaannya diketahui sebelum api biiru melontar dari mulutnya, sehingga manusia-manusia di bawah sana selamat.

Dia kembali terbang menuju lokasi lain di istana megah ini. Sampailah di taman istana yang super besar. Dia bisa merasakan atmosfir di sekitarnya mulai dipenuhi dengan energi sihir, menyebar luas hingga ke langit yang bergemuruh.

Ketiganya hadir. Mereka berdiri di tepi, sementara Nidhogg melayang bebas di tengah-tengah taman. Dalam keadaan pencahayaan yang minim, naga itu mampu menyamakan sosoknya dengan lingkungan sekitar.

Enchant Lightning: Vortex!

Kekuatan petir yang hebat menghantam punggung Nidhogg. Bahkan itu hanya menimbulkan kepulan asap tanpa luka serius berarti. Kemarahannya langsung tertuju pada mereka, terutama Secilia. “Enchanter …,” suaranya menggema.

Samara dan Secilia menjauh ke arah berlawanan, meninggalkan Naght yang dengan percaya diri menghadapi semburan apinya.

White Hole!

Kebalikan dari lubang hitam yang menyedot semuanya. Lubang putih melontarkan kembali api yang telah dihisap lubang hitam sebelumnya. Api biru yang sama saling bertabrakan dan hilang menjadi ketiadaan.

Nidhogg telah dikepung dari tiga sisi. Tanpa dia sadari, tongkat Secilia telah menancap di tanah tepat di bawahnya. Kristal kuning kehijauaan yang berpendar di puncak tongkatnya telah menyimpan angin dari Desa Bentala Vayu. Dan, benda kecil itu  mulai retak. Tak lama kemudian, himpunan angin-angin berkumpul membentuk tornado raksasa. Menyedot Nidhogg ke dalamnya. Makhluk besar seperti dia mengalami kesulitan dalam menjaga kestabilannya. Tubuhnya terombang-ambing, terbawa berputar-putar tanpa bisa dikendalikan. Samara, Naght, dan Secilia mencoba bersembunyi di balik pilar-pilar yang mengelilingi taman.

Tornado menghilang. Detik itu juga, tubuh Nidhogg jatuh menghantam tanah. Kesadarannya labil untuk sekian detik. Samara menunggunya. Ketika sayap-sayapnya melebar, mendadak membawa tubuhnya naik ke atas, Samara dengan cepat melilit kakinya. Jeratan akarnya terus-menerus bermunculan. Mengikat kaki, tangan, ekor, leher, menutupi seluruh permukaan tubuhnya berlapis-lapis.

Energinya berkurang sedikit demi sedikit. Nidhogg sendiri merasakannya. Perasaan yang sama seperti waktu lalu ketika dirinya terjebak oleh Yggdrasil. Dengan segenap tenaga tersisa, dia menghancurkan belenggu tersebut.

Samara gagal untuk kedua kalinya. Ternyata memang masih belum cukup kuat.

Tanah tempat Nidhogg berpijak tiba-tiba bertambah gelap. Pasalnya, white hole kedua dibuka Naght. Melemparkan batang pohon Yggdrasil keluar. Benda itu menimpa Nidhogg yang sempat menghindar, menghancurkan sebagian besar istana, menciptakan suara bedebum yang keras.

Semuanya diam sejenak. Menunggu asap menghilang. Belum ada pergerakan yang terjadi di sana, di bawah batang besar itu. Apa Nidhogg sudah dikalahkan? Mungkin tidak semudah itu.

Belum sempat pikiran tentang hal itu terlintas, potongan kayu tersebut terbakar hebat. Ledakan dahsyat menggelegar memenuhi udara, melontarkan serpihan-serpihan kayu jauh ke udara. Tak berselang lama, puing-puing barcampur api tersebut kembali berjatuhan dari langit.

Sesosok makhluk besar muncul keluar dari sana, di antara kobaran api yang melahap sebagian taman. Nidhogg mengepakkan sayapnya, berdiam sesaat di udara, mengedarkan padangannya pada tiga manusia di bawah sana bergantian. Mereka cukup tangguh, pikir Nidhogg.

Setelah merasa puas, dia kemudian melesat lebih tinggi ke udara, meluncur cepat ke arah utara, melanjutkan perjalanannya. Baik Samara, Naght, dan Secilia, tidak mampu menebak apa yang bakalan terjadi selanjutnya. Mereka hanya mampu menyaksikan sosoknya yang semakin menjauh, tanpa bisa berbuat apapun. Melepaskan kepergiannya. Karena memang sejak awal, mereka tidak memiliki urusan pribadi satu sama lain.

Dari arah selatan, segumpalan sesuatu melayang-layang menuju ke tempat Samara berada. Benda itu berwarna putih menggumpal layaknya permen kapas dan mengeluarkan suara khas. Domba! Benda itu ternyata domba Samara.

Sepuluh detik kemudian, domba itu mendarat. Sebuah sayap tampak tumbuh keluar dari balik bulu-bulu putihnya. Setelah dua hari menghilang, makhluk ini bermutasi semakin aneh saja, batin Samara.

Bersama domba, mereka semua menatap sekali lagi ke arah naga hitam yang kian mengecil di bawah langit mendung. Sosok terbang itu perlahan pun menghilang. Di salah satu belahan tempat di dunia ini, terror dimulai. Apa yang terjadi hari ini, akan menjadi kisah pertama yang mengawali semuanya.

“MBEKKK!!!”

-o-

>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 45 - SAMARA YESTA | KING OF HEART
>Cerita selanjutnya : -

18 komentar:

  1. Yaharooo~ Kagero Disini..

    barusan Kagero Baca postnya Samara, but sebelumnya maaf nih klo di post airi Samaranya OOC @3@

    Errr... disini sy masu kasi sedikit apresiasi apa yg sy rasain abis baca..

    err.. anu.. buat awal-awal sy nyaman bacanya, nikmati dialognya, tapi menjelang akhir-akhirsy kerasa keberatan, soalnya makin minimnya dialog, dan semakin banyak nya wall of text saya baca pelan-pelan banget nyicil

    tapi endingnya sy jujur kurang puas pake banget,

    rasanya kek.. loh udah..? gitu doank? musuhnya ga mati?

    @3@

    disini Kagero kasih 7/10

    Well Done Samara :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tq atas krisarnya baru nyadar kl yg belakang2 mmg wall of text tanpa dialog
      Mengenai ending menurutku sih sah2 aja, soalnya oc tamu dan oc oc lain dah selesai. Sosok yg terakhir itu lebih kurang kyk karakter tambahan/pelengkap crita aja, jadi mau diginiin digituin gak diapa-apain bebas. Memang terkesan gantung sih, tapi perjalanan mereka cuma berakhir sampai di sana, mungkin.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. Menurutku cerita ini sudah sangat bagus. Bahasanya mudah dipahami plus alur ceritanya juga sangat menarik buat diikuti. Deskripsi latarnya juga diperlihatkan dengan sangat baik sehingga saya bisa membayangkan bagaimana tempat yang digambarkan dalam cerita ini. Selain itu, pertarungannya dideskripsikan dengan sangat baik oleh penulis.

    Ada empat typo (kalau gak salah) yang aku temukan saat aku membaca cerita ini, yakni aarena (seharusnya karena), reveries (seharusnya reveriers), third eye (seharusnya third eye) dan mengerikan danau (seharusnya mengeringkan danau). Jujur saja, typo mengenai mengerikan danau itu sedikit mengangguku. Aku pikir Secilia bilang kalau danau mengerikan, eh ternyata Secilia pengin mengeringkan danau.

    Aku pengennya ngasih nilai 8, tapi karena aku juga suka saat Samara menggunakan kemampuan mengendalikan tumbuhannya, aku jadi kasih nilai 9.

    Ya, nilai 9 untuk cerita ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tq atas nilainya.
      Typo mengerikan alias mengeringkan memang terlalu fatal jadinya, artinya jadi jauh sekali.
      Padahal udah cek n ricek, ttp aj lewat :(

      Hapus
  3. hah?

    jadi ini konfliknya apa misinya apa? archan vs seth? dg samara di pihak seth? kalo gtu knp dia malah repot2 nglawan seth juga? jd cm pura2? smacam habis peperangan dia cr gara2 lain. atau misinya nangkap naga? tp itu pun gagal. membebaskan animorph yg terkurung? itu sukses tp domba nggak mengembik berarti bukan juga. saya kok gagal paham ya. semacam misinya samara ini nggak jelas tp dombanya ngembik berarti ada misi yg terselesaikan.

    poinplusnya setting tergambar dg baik.

    tadinya mau ngasih 7 tp saya juga belum tentu bisa lebih baik dari ini jd 8

    BalasHapus
  4. Konfliknya desa vs seth, dan samara memilih memihak seth.
    Tujuannya sendiri katakanlah memainkan semua pilihan (pilih salah satu, kemudian hancurkan kedua kubu) sekaligus mendapatkan cetak biru Yggdrasil.
    Siapa sangka Seth memiliki tujuan lain hingga mengkhianati semua yg membantunya. Bisa dikatakan mereka hanya pion2 bodoh yg dimanfaatkan.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : B
    Reading enjoyment : B

    Kayaknya emang udah ciri khas dari entri Samara kalo dia ga pernah jadi fokus utama di ceritanya sendiri.

    Naght sama Secilia ini siapa dan kenapa jadi nemenin Samara, kayaknya kurang penjelasan ya dibanding Vidi dan Danny di prelim. Dan saya ga sreg karena peran mereka beneran dominan sampe akhir, bukan sekedar ngebantu Samara aja, tapi siapa mereka kayaknya muncul gitu aja out of nowhere. Ok, mungkin mereka semacem sub-OC baru, tapi tetep aja berasa kurang

    Plotnya sendiri sebenernya bertingkat, dimulai dari tetua desa dibunuh bangsa Archan, terus Seth ngendaliin Nidhogg buat ngancurin kerajaan Vaia, terus akhirnya Samara bertiga ngelawan Nidhogg. Yang terakhir itu saya rasa overtime, kalo konflik Seth vs desa udah kelar kayaknya sisanya cuma sekedar tambahan, padahal reverier lain udah ga ada yang masih aktif lagi

    Sekali lagi, Secilia sama Naght di akhir juga udahannya pergi gitu aja kayak tamu datang tak diundang pulang tak diantar. Bikin saya mikir, kenapa ga berdayain aja sesama reverier lain buat plot cerita, daripada mereka jadi dapet jatah sekunder gini sementara Samara sendiri juga ga berasa kayak tokoh utama?

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  7. Kalo dibandingin ama prelim, peran samara lebih meningkat, dan konfliknya sendiri lumayan seru dimana, peran prota ama antagonisnya gantian. Terutama karakter seth yg kadang terlihat seperti support prota lalu beralih jadi antagonis. Battlenya juga lumayan meski antiklimaks dimana samara dkk malah pergi setelah nidhogg ngamuk...ibarat pestanya udah rame banget tp puncak acaranya berkesan kurang memorable. Cliff hanger, kerennya

    8

    BalasHapus
  8. Ookee, mulai komentar deh.

    Ada peningkatan peran Samara dalam keseluruhan cerita, dan cukup signifikan juga.

    Pemanfaatan karakter dan latar cerita juga udah terlihat mumpuni di sini. Walau lagi-lagi, kayaknya pemanfaatan sumber daya lokal (baca: reverier yang lain dan samara sendiri) bisa bikin cerita ini lebih oke. Bukan berarti yang ini jelek, dan bukan berarti saya gak suka dinamika antar karakter dalam entri ini. Cuma, sayang sekali aja.

    Secara pribadi saya seneng peran Cathy di sini, tapi sebenernya berharap Serilda dan Airi lebih ditonjolkan lagi sih, hehehe.

    Dan pemilihan cliffhanger di sini 50:50. Jelek? Bisa jadi, karena bikin cerita ngegantung dan pembaca penasaran, tapi menurut saya cliffhanger oke kok, karena saya juga pake cliffhanger dalam cerita www.

    Enaknya cliffhanger adalah, kalau dieksekusi dengan baik, pembaca jadi penasaran banget sama kelanjutan cerita yang akan dibawakan ke depannya, dan kita sebagai penulis juga bisa mempunyai ruang untuk mengembangkan plot ke depannya.

    Sayangnya kurang ada kesannya cliffhangernya. Semacam "Oh aku bebas, pergi dulu ya" kata Nidhogg terus dianya ngacir wuuush gitu aja.

    Tapi overall udah oke. Jadi saya kasih nilai 8 buat Samara

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.

    BalasHapus
  9. Ok, pertama saya bingung dengan dua orang yang baru saja muncul bersama Samara siapa mereka? apa dia sub OC?
    kedua, pertempuran disini sangat seru seperti pertempuran pada film2 fantasi gitu, dan aku suka itu.

    ketiga, emmm kok akhirnya gitu kayak ngegantung gitu?

    Nilai 8

    Penulis Dadakan / Arca

    BalasHapus
  10. Satu hal yang paling saya apresiasi dari entri ini adalah menggambarkan peperangan tidak dalam sekali scene langsung selesai. Tapi terjadi perang lagi di hari berikutnya. Membuat entri ini terasa logis untuk ukuran sebuah cerita battle. Plot, keruntutan, dan pilihan kata yang cukup baik.

    Sayangnya, begitu mulai masuk ke battle, saya mulai capek bacanya. Yang pada awalnya terasa ringan, semakin dibaca dan masuk ke cerita malah terasa berat. Ditambah dengan padatnya teks minim dialog. Ini kebalikan dengan entri Nano tadi.

    So far, saya kasih 8

    MirorMirors / Tal

    BalasHapus
  11. I was expecting Bruce Lee... dammit...

    Oke, lupakan Bruce Lee, semua yang terjadi di sini terlalu mendadak. Animorph mendadak membelot dari tetua mereka sendiri, Seth mendadak membelot dari kerajaannya, lalu Samara mendadak tarung threesome melawan Nidhogg. Sama sekali tidak ada hint kalau semua itu akan terjadi... di mana red herring dan foreshadow-nya?

    Keluhan lainnya dari membaca ini adalah, kurangnya sorotan terhadap si karakter utama. Pembagian porsi karakter lainnya sudah oke, walau menurut seleraku ini terlalu banyak.

    Sudahlah, toh penilaian ini hanya berdasarkan selera pribadi, dan untuk itu saya berikan 8 poin.

    Asibikaashi

    BalasHapus


  12. cliffhanger?!!
    D:
    jujur aja, hati ini selalu sebal dg cliffhanger. ga peduli sebagus apa, ada cliffhanger selalu kesal karenanya. min ada tanda2 selesai/tamat lebih baik drpada total cliffhanger.
    jadi...

    total:7
    OC: Mia

    BalasHapus
  13. Hmm, bagaimana bilangnya ya. Cerita fantasi di sinni itu terasa seperti gabungan antara fantasi khas Light Novel dan fantasi Novel barat. Asik dan membuat imajinasi menjadi liar.

    Penggunaan atribut fantasi yang natural membuat kisahnya asik. Pembagian peran antar OC-nya juga pas dan sangat ahli dalam memerankan peran mereka.

    Seperti yang diharapkan dari pemenang FBC, tak bisa dipungkiri lagi. Well, sebagai sesama pengikut FBC, mudahan kita masuk R2 (saya gak hapal siapa lagi yang ikkut FBC. hahah)

    Nilai: 9

    OC: Satan Raizetsu

    BalasHapus
  14. Beberapa typo di entri ini ngurangin keasyikan membaca, tapi overall cerita di entri ini menarik. Adegan fighting nya juga seru, tapi ada uneg-uneg dikit dari saya sebagai author Cathy, hehe.

    Serangan dari superbia itu bakal semakin kuat kalau targetnya lebih kuat dari Cathy, bukan goresan makin melebar sampai objek putus. Buat musuh sekelas Samara yang bisa ngendaliin hutan plus kemampuan regenerasi super, serangan dari superbia harusnya cukup untuk ngebunuh/melumpuhkan dia sepenuhnya. Tapi terlepas dari itu, saya enjoy banget baca entri ini.

    Nilai dari saya 8
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  15. 7.
    mau gak komen, karena bener2 rasanya kepanjangan isi ceritanya dan konfliknya bingungn, siapa lawan siapa untuk apa..........

    and yes, typonya lumayan jauh hurufnya dari yang seharusnya ya, sampe baca ulang perkalimat yang ada typonya.

    dan...endingnya berasa ga ada penyelesaian yang pastiiii.

    oc: Wamenodo Huang.

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.