Sabtu, 16 Juli 2016

[ROUND 1 - 3C] 05 - NAMOL NIHILO | DUA

 
oleh : Aesop Leuvea

---
 DUA





Meteor


"Museum ... Semesta ...!" Namol tersedak napasnya sendiri.

Tidak sengaja menyebut dua kata itu, ingatannya otomatis memainkan kejadian semenit lalu.

Pilar berlapis emas, lautan karpet sewarna darah, lantainya yang berundak-undak artistik, lalu sebelas dinding setebal empat jengkal yang mengitari enam puluh enam makhluk bingung. Namol merupakan satu di antara mereka.

Para Reverier.

Dikumpulkan untuk menyaksikan hasil karya masing-masing, dan beberapa kenyataan yang takkan bisa dilupakan.

Patung itu ....

Namol langsung membuka matanya. Terkesiap dan mengumpat seperti pelaut. Sesaat, ia benar-benar merasa masih ada di sana. Keringat dinginnya jatuh, degup jantungnya berpacu.

Betapa saat ini ia sangat menghargai kegelapan dan suasana familier di dalam kamarnya.

"Namol, oi, goblok," sebias suara cempreng memanggilnya dari balik pintu. Suara Puppis, si peri kecil bersayap empat. "Keluar. Makan."

Namol menyahut serak, "Sebent—"

"NAMOL, BANGUN! AYO MAKAN SAMA-SAMA!"

Kegaduhan dari jebolnya tembok kamar Namol mengiringi jeritan kekanakan barusan. Heppow, si cacing-raksasa berkaus kaki, lantas mengintip polos dari lubang hasil sundulannya.

"Sebentar—oh ayolah, Hepp! Jangan mentang-mentang rumah ini punya sistem reparasi otomatis," sambung Namol sambil mendesah panjang. Jengkel.

Tapi kemudian, setelah melihat baik-baik dua makhluk di depannya, ia tersenyum. Peri dan cacing. Meski aneh dan menyebalkan, mereka adalah penjaganya. Atau lebih baik dari itu: mereka adalah sosok yang akan selalu ada.

"Apaan?" Puppis menuntut, ketus. Merasa risi dipandangi. Meski rona pipinya mengatakan hal lain.

"Bukan apa-apa, Pupp. Oh, ya, apa pesannya sudah datang? Belum? Bagus!" Namol bersiul melodius. Berjalan kikuk menembus dinding, langsung ke arah dapur. "Ayo, makan."

Setidaknya menurut Namol, setakut apa pun situasi mampu membuatnya, ia tidak akan pernah sendirian menghadapinya.



***



Gemuruh itu berasal dari halaman depan. Sangat berisik, dan tiba-tiba saja adanya. Sesuatu yang sangat kuat pasti sedang mencoba menerobos teritorial rumah besar Namol.

Si alien itu sendiri—setelah tersedak donat planet bercincin—langsung terbirit-birit menyusuri koridor ditemani Puppis dan Heppow. Ia membuka pintu utama dengan tangan bergetar.

Ludahnya langsung tertelan. "Oh, Tuhan ...!" Lututnya melemas.

Di hadapannya, sebuah meteor sebesar lapangan bola terlihat menggerus kubah pentagon semitransparan—sistem pertahanan terluar rumah besarnya. Meteor itu lalu berhasil masuk.

Namol tiarap, mengumpat keras-keras. Puppis menciptakan semacam sihir perlindungan peri di sekitarnya. Sementara Heppow segera melingkarkan tubuh cacingnya untuk membungkus mereka semua.

Meteor turun menghantam.

Lalu selesai. Tidak ada kerusakan.

"I-ini ... jangan-jangan?" Namol berjalan pelan menghampiri bongkahan bara raksasa yang terparkir di tengah taman logam ibunya. "Pesan yang dimaksud?"

Puppis mengangguk yakin. Sementara Heppow sedang berusaha menjilati bangkai meteor itu.

"Pesan impian untuk budak-budak seni," gumam Puppis sarkastis. "Hyey~!"

Akhirnya, entah telapak tangan Namol, atau lidah Heppow, yang memicu mekanisme di dalam meteor. Bongkahan bara itu membuka, mengeluarkan secarik kertas bercahaya yang bertuliskan:


Lokasi semesta :
-      [Anatolia]

Peserta :
-      [Asibikaashi]
-      [Bian Olson]
-      [Martha A. D.]
-      [Mbah Amut]
-      [Merald]
-      [Namol Nihilo]

Misi :
-      [Pilih satu kubu. Menangkan kubu itu]

P.s :
-      [Gunakan domba untuk mencapai semesta yang ditentukan]


"Benar-benar ahli," gumam Puppis masih dengan intonasi yang sama. "Pesannya pakai huruf Comic Sans. Oke, bagaimana sekarang, heh, kepala bola-pingpong? Jangan bengong doang!"

Namol meremas kertas pesan itu. Telapak tangannya berkeringat, tegang.

"Ki-kita berangkat sekarang! Lebih cepat selesai, lebih baik, eh?" bisiknya. Lalu sedikit lebih keras, "Bebaskan domba itu, Pupp. Dan pastikan pembungkam mulutnya masih terikat rapat, oke? Oke? Dia mungkin masih berhasrat menggigit kita."

"Domba itu herbivor, jenius," gerutu Puppis sambil terbang ke dalam rumah.

Sambil menunggu Puppis mengeluarkan domba yang dikurung di kamar mandi, Namol sengaja memperhatikan sekeliling. Dunianya sekarang. Bumi, Illinois-Chicago, yang bercampur dengan kampung halamannya—sebuah lubang hitam bernama Regaia.

Ia bisa ada di sini karena ayahnya. Apa yang dipikirkan ayahnya? Apa ayahnya tahu soal Museum Semesta? Namol memijat kening.

Di langit berpola catur, semburat merah muncul. Gedung-gedung berhamburan di atas sana, seperti satelit. Daratan di bawahnya, atau di antaranya, bergeser seolah hidup, saling sapa. Di jalan-jalan, makhluk asing sampai monster berbaur dengan manusia yang sama sekali tak menyadarinya.

Namol memikirkan The Old, percetakan koran tempatnya bekerja, dan keluarga Mike yang mengelolanya. Memikirkan Ariadne, si gadis berbenang merah. Tapi lalu Puppis datang membawa domba.

Ia harus berangkat.

"Pesannya saja dari meteor, apalagi tantangannya nanti, ya? Ekstrem," gumam Namol sok berani.

Si domba sedang mempersiapkan portal dengan embikkan teredam. Heppow terkagum-kagum di sampingnya.

"Meteor selalu jadi pesan, Namol," jelas Puppis dengan nada sok pintar. "Dinosaurus kedatangan meteor, booom! Punah enggak lama kemudian."

"Sangat mencerahkan, Pupp."

"Meteor ini juga, mungkin, sama kayak kiss of Judas untukmu," Puppis melanjutkan cuek. "Salam perpisahan termanis."

"Ya. Bebas. Terserah."





Mimpi sang Anonim


Si domba menciptakan portal berbentuk lingkaran, berwarna hitam. Namol serombongan sepakat masuk bergantian. Alien berambut oranye itu berjalan paling depan, takut-takut dan terus menunduk.

Namol sangat mengharapkan perjalanan yang panjang dan santai. Sayang, ia harus secepatnya kecewa. Portal hitam si domba begitu praktis. Seperti berjalan melewati ambang pintu.

Kecepatan itu membuatnya lengah dan tak siap. Tidak menduga, hanya dalam hitungan sepersekian detik saja dunianya sudah pindah. Namol mencicit ngeri, kedua tangannya terangkat ke depan wajah dalam pose defensif.

Dari sela jemari yang menutupi wajahnya, Namol bisa melihat sepotong panorama langit dunia ini. Kelabu dan sekarat. Sementara pijakannya terasa lembap melesak.

Ia juga merasakan, betapa sulit dan beratnya menghirup udara. Hawanya sangat panas, relatif pengap. Debu-debu beterbangan menerpa tubuhnya.

"Hey, kalian—kebunku!"

Belum berhasil menoleh ke sumber pekikan, Namol sudah jatuh terjengkang. Sebentuk pukulan keras menghantam rahang kanannya. Kepalanya seolah berputar.

Terdengar suara Puppis dan Heppow yang protes. Lalu lebih banyak lagi suara. Asing, dan menuntut.

"Kalian pasti mata-matanya!" tukas suara pertama. Suara perempuan, yang lembut tapi tegas.

Namol membuka mata sambil meringis, memegangi pipi. Ia sedang terbaring di atas sepetak rumput hijau yang dihiasi beberapa bunga. Keberadaan yang sungguh ajaib, karena sekelilingnya semata merupakan padang pasir segersang neraka.

Di atas, langit semakin kelabu. Di kiri jauh, tampak sederetan gedung-gedung besar yang terkesan kumuh meski beratmosfer futuristik.

Peradaban. Seandainya Namol bisa ke sana, tidak di sini. Karena saat ini yang mengepungnya bukan sekadar padang pasir neraka saja, tapi sepasukan robot bersenjata berat. Dan seorang perempuan berambut hitam pendek, yang berdiri paling dekat. Kelihatan sangat marah.

Satu-satunya pilihan adalah melawan. Namol berdiri, memasang kuda-kuda. Mungkin, sebelum mati konyol di tanah asing ini, ia bersama Puppis dan Heppow bisa mengalahkan beberapa robot yang ada.

Namol berteriak parau menyedihkan, penuh paksaan perjuangan.

Kakinya melangkah mantap, tapi lalu terhenti begitu saja.

Ia menelan ludahnya yang kental, sambil mengerjap susah payah.

Sesuatu baru saja turun dari langit. Mendarat menengahi dirinya dan si perempuan berambut pendek.

Kumparan debu menyesaki udara, bercampur dengan kelopak bunga dan rumput-rumput. Di antaranya, tegaklah sesosok pria berambut pirang, dengan tatapan sedalam samudra. Ia mendongak pelan. Menatap Namol dan sekitar.

"Kalian tidak perlu menciptakan kericuhan," ujarnya, tenang.



***



Bian Olson

Beberapa menit yang lalu.

Di Anatolia, wilayah imigran Distrik 3. Bar tua—berplang neon bertuliskan HHF di depannya—dibakar oleh lima pemuda berseragam sama.

Seorang wanita paruh baya mengemis di bawah kaki kelima pemuda itu.

"Jangan!" pekiknya. Wajah keriputnya menghitam melepuh. "Kumohon! Suamiku ada di dalam ... dia sakit! Hentikan! Siapa saja, tolong! Beri pengampunan ...."

Puluhan penduduk menyaksikan kejadian itu dalam diam. Puluhan lainnya berjalan tanpa menoleh seolah tidak terjadi apa-apa.

Bian Olson tiba bersama domba putihnya tepat di tengah-tengah itu semua.

Kedua mata birunya membulat tak percaya. Ia melihat salah satu pemuda menendangi kepala si wanita paruh baya yang masih bersujud. Udara panas dipenuhi jeritan kesakitan, letupan api, tawa kelima penyiksa.

Setengah detik berikutnya, Bian sudah menahan sebelah kaki si pemuda, menatapnya meminta penjelasan. Dan lima detik kemudian, Bian sudah bersimpuh di samping si wanita paruh baya. Sementara kelima pemuda berseragam sama terkapar tak sadarkan diri.

"Bertahanlah, tunggu di sini," kata Bian sambil memegangi pundak wanita malang di depannya.

Pemuda berambut pirang itu lantas berdiri menghadap bar. Berlari menerobos api di pintu masuk. Keluar tak lama kemudian sambil membawa laki-laki tua yang dibungkus selimut.

Dalam pecah tangis sukacitanya, si wanita paruh baya berterima kasih. Suaminya masih hidup.

Deruman tajam dari sebuah mesin di belakang mereka, memotong momen hangat itu. Satu dari lima pemuda ternyata masih sadar. Ia kabur menggunakan kendaraan berbentuk sepeda-motor metalik yang sangat canggih, tak beroda, mengapung seperempat meter dari jalan.

Bian berpikir sejenak. Menatap sekitar. Bangunan-bangunan futuristik, kebudayaan yang pupus, dan sekaratnya alam.

Ini semua sudah dimulai. Misiku di semesta ini. Pilih satu kubu, menangkan kubu itu.

"Maaf, Ibu," kata Bian, sopan, "bolehkah aku menitipkan sesuatu di sini?"—Bian menunjuk si domba—"Jika tidak merepotkan."

Wanita paruh baya itu mengangguk lemah, memperbolehkan.

Bian berterima kasih, mengambil beberapa langkah menjauh, lalu terbang melesat. Mengejar motor si pemuda.

Ya ... tidak ada yang perlu kusembunyikan di sini!

Intuisinya mengatakan, motor itu akan membawanya ke tempat yang penting. Pemuda berseragam yang ia kejar memang mengambil jalan utama menuju pusat kota.

Gedung-gedung kusam berwarna dasar ungu gelap, tumbuh berdesak-desakan. Jalanan yang tersusun dari seluas cahaya fosforesens mengular tak beraturan.

Tiga kapal raksasa terpakir di langitnya. Melayang dalam kesunyian samudra kelabu. Bian tak berkedip memperhatikan ketiga kapal itu. Sampai, sesuatu yang jauh lebih menarik berhasil mencuri perhatiannya.

Neraka padang pasir. Dan di muka padang pasir itu, tampaklah seekor cacing raksasa bersama beberapa makhluk serupa manusia.

Bian terbang ke sana.



***



Martha A. D.

Anatolia, pusat kota Distrik 3.

Sewujud nenek manis dan domba putih yang tertidur, terdampar ke dalam satu dari tiga kapal induk kubu pemberontak yang terparkir di langit kelabu.

Nenek itu adalah Martha.

Domba putih yang tertidur pulas di samping Martha, itu dombanya. Mamalia bersuara diva itu sudah mengantuk sejak membuat portal di pelataran Panti Unikorn Pelangi (PUP).

Martha, sekali lagi, saat ini terdampar di salah satu kapal induk kubu pemberontak dengan nama resmi "AGE".

Lebih spesifiknya, si nenek sedang berada di dalam kamar ganti khusus staf pria, atau robot sejenisnya. Ia langsung sibuk selfie menggunakan tongsis dan smartphone kecintaan.

Lalu tiba-tiba saja, Martha memekik manja seperti gadis-gadis labil, otot mulutnya yang tak memiliki kontrol seperti berpuluh tahun silam mengeluarkan liur non-intensional.

Alasannya, Martha sangat senang. Di salah satu jepretan fotonya, satu-dua keriputnya samar tersaput cahaya latar.

Otomatis, seisi ruangan membanting pandangan mereka ke sumber suara menjengkelkan itu. Martha tertangkap basah.

"Hola," sapa nenek cuek.

Sekumpulan pemilik kromosom Y, atau prosesor semacamnya, menatap Martha dengan kengerian tercampur murka.

Salah seorang dari mereka maju ke depan bangku metal si nenek.

"Cukup basa-basinya, Dora kedaluwarsa," ia menyalak. "Katakan, siapa yang menyuruhmu?"

"Apa? Kalian ingin ikut foto? Hihi~, sini." Martha agaknya salah dengar. Atau mungkin juga karena entitas bahagia cenderung berpikir positif. "Nenek jarang buka jasa wefie, tapi sekali-sekali boleh juga. Hihi~!" Si nenek mengangkat tongsisnya. "Bilang 'keju!' atau 'gigi palsu'~!"

Laki-laki dan robot di ruangan itu terkesiap. Mereka kira tongsis itu senjata.

"Apa kita ketahuan? Apa kita gagal?!" Salah satu robot menyuarakan kepanikan.

"Manusia berumur ini tampak berbahaya!" sahut yang lainnya. "Beri dia peti mati termurah!"

"Mungkin dia cuma hologram malware! Tapi buat jaga-jaga, saya setuju! Bakar!"

"Kubur dia sehari lebih cepat dari jadwal!"

Seisi ruangan menjadi ribut. Sementara si nenek sendiri rileks saja sambil foto sana-sini.

Keributan baru memuncak ketika akhirnya keputusan diambil. Salah satu robot mencabut senapan panjang dari punggung. Martha harus mati.

"Maaf, orang tu—"

Knock! Knock!

"—siapa di sana?" tanya si robot pemegang senjata. Pintu-otomatis yang berada di ujung ruang ganti ini diketuk oleh sesuatu.

Knock! Knock!

"Ya! Siapa di sana? Ruangan ini sedang dalam proses pemugaran!"

KNOCK! KNOCK!

Seisi ruangan—kecuali si nenek yang masih berfoto, dan domba putihnya yang lelap tertidur—sontak panik lalu merasakan takut. Ketukan di pintu-otomatis berubah menjadi gedoran kasar.

Dengan sisa program nyali di basis datanya, si robot pemegang senjata menyahut untuk terakhir kalinya, "S-s-siapa di sana?!"

Hening. Lalu terdengar geraman berat yang mengancam.

"This is Mbah Amut speaking. Please open the door, or paris."



***



Mbah Amut

Anatolia, pusat kota Distrik 3. Di dalam kapal induk AGE.

Koridor pada level bawah kapal induk ini tampak lengang. Belitan kabel dan pipa di langit-langit tak jarang menjatuhkan cairan; menciptakan suara menetes yang sangat vokal di dalam sunyi.

Mbah Amut—bersama muridnya yang bernama Nwu Ghé Llo, dan seekor domba putih—berdiri di bawah salah satu lampu yang berkedip, sambil berhadapan dengan sebuah pintu metal tanpa kenop.

Mereka ingin sekali membuka pintu itu. Tapi tidak sanggup.

"Perish, Mbah," kata Nwu sang murid. Membenarkan ucapan guru besarnya beberapa saat lalu. "Bukan paris."

Mbah Amut meringis di dalam gelap, lalu menyipitkan kedua mata ke sebuah lempengan baja tipis di kedua tangannya. Baja berisi bagan kapal, yang ia sobek dari dinding ruangan tempatnya pertama kali muncul setelah melewati portal.

"Liéur1!" gerutu si mbah. (1.Pusing!)

"Mungkin dicoba sandi pintunya pakai bahasa Korea, Mbah?" usul Nwu. "Sarangheyo?"

Si mbah menggeleng lemah. Bukan karena ia tidak bisa bahasa Korea. Mbah Amut merupakan guru besar Sekolah Pemikiran Kundalana, dan sudah hidup puluhan ribu tahun.

Ilmu pengetahuannya—meski lebih baik tak usah ditanya—bukan main luar-dalam hebatnya. Kejeniusan dan kebijaksanaannya tak memiliki obat sama sekali.

Jadi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah, pertama, firasat.

Di dalam bagan, menurut Mbah Amut, pada level ini seharusnya tingkat keamanan sangat ketat.

Kenapa? Karena kapal induk AGE ini memiliki bentuk keseluruhan seperti huruf W terbalik (singkatnya M), dan semua sistem kekuatan, mekanisme penting, tampak berpusat di bagian kaki. Tempat si mbah berdiri sekarang.

Lokasi penting, kok, sepi? Logika Mbah Amut langsung terusik. Ada apa ini?

Yang kedua, masalahnya, adalah si mbah sedang masuk angin.

"Ĕĕĕughh!" Mbah Amut berserdawa.

Usia, sayangnya, merupakan musuh terbesar mayoritas kehidupan. Si mbah merupakan contoh dari sekian banyaknya kehidupan yang menjadi matang-dewasa seiring waktu, pun semakin dekat dengan peristirahatan terakhir. Kenikmatan untuk bisa berada di titik terjauh ini harus berbanding lurus dengan segala keterbatasan.

Keterbatasan sistem imun, misalnya.

Masuk angin si mbah cukup parah. Mengganggu konsentrasi, sekaligus akal sehat. Peningnya bukan main, encok dan darah tingginya juga mulai mencari perhatian. Si mbah tak lagi bisa mendengar saran sekitar.

Diketuk lagi pintu tanpa kenop di hadapannya—satu-satunya pintu yang tampak berkehidupan.

Sampai akhirnya, tanpa disadari, ketukan itu berubah menjadi cakaran. Hantaman. Pintu tanpa kenop itu melesak metalnya ke dalam, kemudian terlempar dengan sangat gaduh.

Seketika, cahaya terang dari dalam ruangan menyambar penglihatan si mbah, Nwu, dan domba putih. Tudung si mbah tersingkap karena gerakan refleks menutup mata.

Di dalam ruangan, terlihat barikade puluhan manusia laki-laki bercampur dengan robot. Mereka semua sigap, galak, mengepung seorang nenek yang sedang asyik berdiri dan berpose di atas meja.

Tapi ketika para pejantan itu melihat sosok Mbah Amut di ambang pintu, tak ada yang tak menjerit. Mbah Amut memang sedang tidak fit, tapi penampilannya tetap saja mendefinisikan bahaya.

Seekor naga yang berdiri dengan dua kaki.

Si nenek, Martha, menyadari keributan itu. Ia langsung turun dari meja, memakai kacamata baca, lalu berjalan terseok-seok tapi kebut ke depan si mbah.

Keduanya berhadapan, bertatapan. Seratus lima puluh lima senti melawan dua ratus lima puluh senti.

"Hm, Nak," Martha buang napas sambil menggeleng. "Sengaja pakai kostum naga seram buat takut-takutin teman kamu, ya? Itu enggak baik, loh."

Mbah Amut merespons dengan serentetan batuk.

Pada saat inilah Nwu sadar kalau guru besarnya sedang sakit. Pikirannya terkoneksi. Alasan kenapa Mbah Amut mengincar sektor yang diduga paling ramai di kapal ini, ternyata untuk mencari pertolongan.

Nwu mewakili guru besarnya, mengatakan, "Nek, punya obat enggak? Minta."

Martha langsung mengaduk tas pinggangnya. Mengeluarkan minyak kayu putih.

"Biar Nenek balurin," kata si nenek, baik tapi tegas. "Tapi jangan di sini. Tuh, lihat, teman-teman kamu masih pada takut! Ayo ke ruangan lain."

Pergilah mereka. Mbah Amut, Nwu, domba putih Mbah Amut, dan Martha.

Menyisakan wajah-wajah bengong campur lega dari penghuni ruang ganti.

"Keparat," kata si robot pemegang senjata, "dinamoku nyaris copot. Siapa mereka sebenarnya?"

"Itu enggak penting," sahut koleganya. "Kita harus melanjutkan rencana. Kita sudah sedikit terlambat."

"Ya. Ayo semuanya, pasang sekarang." Si robot pemegang senjata menyampirkan lagi senapan panjangnya di punggung. Kedua matanya menyala merah. "Kita ledakkan AGE samp—"

"Permisi, anak-anak baik, hihihi~!" Martha menyelonong melewati kerumunan. "Permisi." Nenek itu mengambil domba putihnya yang masih tertidur, menggendongnya. Lalu berjalan keluar sambil bersiul sumbang.

"Terima kasih banyak, Nénék teh sudah mau ngerawat Mbah. Nénék buka malpraktik?" Terdengar sayup-sayup suara Mbah Amut, dan langkah-langkah menjauh.

Semua laki-laki dan robot di ruang ganti bernapas lega setelahnya.

"Kita beruntung. Kukira mereka mendengar rencananya."

"Ayo, pasang! Waktu adalah ledakan!"

"Dan, jangan lupa. Nyanyikan pelan ... Happy Holy Family~, senang setiap hari~!"



***



Merald

Pada waktu yang sama.

Anatolia, pusat kota Distrik 3. Di dalam kapal induk kubu pemberontak bernama resmi "MO".

"Katakan sekali lagi, kenapa Nona bisa tersesat sampai ke sini? Kenapa juga membawa seekor domba?" tanya petugas keamanan setengah robot. "Ini sektor terlarang untuk pihak luar."

Yang ditanya, menjawab sambil menangis tersedu. "A-aku enggak tahu. A-aku mau pulang."

"Jangan khawatir. Saya akan mengantar Nona, dan domba Nona," respons si petugas, tersenyum menenangkan. "Nona memiliki identitas? Nama?"

"Merald," jawab gadis berambut hitam panjang itu.

Mereka sedang berjalan melewati pintu masuk yang dilabeli "Laboratorium 4", ketika Merald tiba-tiba menarik belati panjang dari pinggang si petugas keamanan, kemudian tanpa babibu menancapkan belati itu menembus tengkorak pemiliknya.

"Terima kasih ganteng sudah mengantarku dari titik portal," ucap Merald pada sebuah jasad, ringan dan wajar. "Kayaknya laboratorium itu mencurigakan. Ayo, Raizen!"

Merald dan Raizen si domba berjalan ke depan pintu masuk Laboratorium 4. Pintunya ternyata terkunci rapat. Merald tersenyum. Ia suka ini.

Ditarik olehnya sebuah pisau pribadi yang terbuat dari tulang naga. Menggunakan senjata itu ia gores tangannya sendiri.

Ia fungsikan darah lukanya untuk menciptakan semacam lingkaran simbolis di telapak tangan kiri. Kemudian ia merapal, dengan sepenuh penghayatan jenaka:

"Sebagai Tuanmu, aku memanggil naga Rea di sisiku."

Mimpi buruk dimulai.

Terdengar suara pecahan kaca, lalu dari tikungan gelap tak jauh dari tempat Merald berdiri, seekor naga berwarna biru gelap merayap muncul.

"Kita kejar kebahagiaan kita, Rea," kata Merald kepada naganya. "Hancurkan pintu itu!"

Rea merespons, "Dengan senang hati, makhluk kecil."

Pintu Laboratorium 4 dihancurkan, diterobos.

Semua profesor berjas putih di dalam ruangan seolah tidak percaya terhadap penglihatan mereka. Ada Seekor naga, seekor domba, dan seorang gadis yang sedang berdiri di atas puing pintu masuk.

Lalu, Merald memerintahkan dengan lembut pada Rea untuk mencincang semuanya.

Sekelebat bayangan biru gelap segera mengacaukan seisi laboratorium.

Merald bersenandung di antara pembantaian yang berlangsung. Menari kecil bersama Raizen si domba.

Ia juga melihat-lihat seisi ruangan.

Di satu sudut tampak beberapa prototipe senjata. Dan di sudut lain, tampaklah seruangan kecil dari tabung kaca tebal.

Di dalam tabung itu terdapat empat gadis telanjang. Berdiri disokong oleh beberapa selang infus. Monitor dan panel rumit memagari kanan-kiri mereka.

Rea, seolah mampu membaca pikiran Merald yang belum sempat terucap, menyisakan satu profesor untuk ditanya-tanya. Profesor itu diremukkan kedua kakinya di antara rahang si naga biru, kemudian dilempar sampai terpelanting ke hadapan Merald.

Sandiwara dimulai. Merald janjikan pada si profesor semua jenis kebaikan dan pengampunan. Bagusnya, bagi mereka hipokrit pemuja mortalitas, jalan keluar dari kematian adalah hadiah terbaik yang bisa diberikan.

Profesor memberikan semua penjelasan yang harus Merald ketahui. Tentang empat senjata di dalam tabung kaca—misil pemusnah. Tentang keberadaan stik khusus yang digunakan untuk mengoperasikannya.

Setelah selesai, si profesor dipancung. Dan Merald memulai permainan barunya.

Ia berjalan ke depan layar utama yang sudah retak sana-sini; terhantam satu-dua potongan kepala di pembantaian tadi. Ia cabut stik pengendali empat senjata, mencari sidik jari beberapa profesor petinggi untuk mengaktifkannya.

Tak lama, layar menyala. Peta lengkap Anatolia terpampang. Merald menyeringai puas.

"Ke mana aku harus mengirim bom-gadis ini, ya?" ia menimbang. Tangan pada dagu. "Duh. Kompleks Menara di Distrik 1 kayaknya terlalu damai. Iya! Mereka butuh api! Luncurkan ke sana, ah!"

Perintah diproses.

Satu dari empat anak di dalam tabung diangkat oleh semacam mekanisme pengait. Dimasukkan ke dalam semacam roket kecil, lalu ditembakkan ke langit. Destinasi: Distrik 1, kompleks Menara.

"Ada yang datang, makhluk kecil."

"Manusia?" Kepala Merald miring ke kiri.

"Bukan."

"Menarik! Di mana mereka, Rea?"

Pertanyaan Merald tak membutuhkan jawaban. Dari balik dinding di ruangan sebelah, terdengar beberapa suara menggerutu.

"Myeengun? Hanya aku saja, atau di sini memang bau sekali?"

Suara wanita.



***



Asibikaashi

Anatolia, pusat kota Distrik 3. Di dalam kapal induk MO.

Asibikaashi—sesosok spirit berwujud wanita—berjalan menyusuri dinding perak steril milik Laboratorium 4 bersama Myeengun si serigala Arktik, Wiijishimotawaa Gookooko'oog si Burung Hantu Tua, dan seekor domba putih.

Mereka baru tiba beberapa saat lalu, dan segera mencari apa pun itu yang bisa dijadikan petunjuk perihal semesta sekarat ini.

Tapi tiba-tiba saja, dalam satu detakan jantung, semua elemen kejut seolah memuncak di dekat mereka. Meledak pada satu momentum yang paling tak disangka-sangka.

Dinding perak yang sedang mereka susuri seperti melunak, dibanjiri bercak-bercak membara, kemudian pecah.

Dinding Laboratorium 4 berlubang besar. Semuanya terjadi begitu cepat.

"Asibi!" panggil Myeengun, tajam.

Tanpa menoleh, Asibi di sampingnya mengangguk paham. Mereka sedang diserang.

Mengetahui situasi tersebut, secara teratur si Burung Hantu Tua bergerak ke sudut sambil membawa domba Asibi. Lalu keduanya berbaur dengan bayangan ketiadaan.

Tersisa Asibi dan Myeengun saja.

Dan si penyerang, bersama partner naganya. Merald dan Rea. Berdiri di ambang lubang berapi.

"Sebenarnya aku lagi malas menebak," Merald memulai santai. "Tapi pasti kau juga Reverier, kan? Hm, benar begitu sebutannya? Reverier? Yah, apa pun itu, gimana kalau kita belajar bekerja sama?"

"Bagaimana kalau belajar sopan santun?" dengus Myeengun. "Bicara baik-baik. Bukannya melubangi dinding."

Merald mengikik. "Ya ampun, Rea! Anjing besar itu mengajakku bicara!"

Asibi tak terlalu mengindahkan percakapan barusan. Gerak pandangnya sedang berjalan secepat kemampuannya menganalisa. Ia melihat isi Laboratorium 4 yang dipenuhi horor. Darah, mayat, organ tubuh.

"Tampaknya ada yang sibuk beberapa menit lalu," canda Asibi dengan rahang sedikit mengencang.

Merald menoleh cepat ke belakang kemudian menjawab manis, "Ah, biasa saja. Peregangan kecil buat nagaku. Ya, kan, Rea?"

"Begitu?" kata Asibi, lembut mematikan. "Oh, iya, untuk tawaranmu tadi. Hm, maaf sekali, tapi persetan dengan itu."

"Uuuw!" Merald merengut manja lalu berlari menyerang Asibi.

Rea menerjang Myeengun.

Asibi menghindari sabetan belati Merald, kemudian menahan satu lagi tangan penyerangnya yang hendak memukul menggunakan semacam stik.

Stik itu terlepas dari tangan Merald, jatuh ke pegangan Asibi.

"Tolong kembalikan itu!" pinta Merald cepat sambil cemberut berlebihan.

"Benda tidak penting seperti ini? Kau menginginkannya?" goda Asibi, memainkan stik di tangan. "Aha, ini dildo favoritmu, ya? Maaf, tapi penemu adalah pemilik, huh?"

Merald kembali menyerang. Asibi masuk ke dalam laboratorium.

Myeengun masih di koridor, membuat Rea bingung; serangan fisik atau semburan api naga biru itu tidak efektif sama sekali, tidak bisa melukai si serigala.

Puncaknya, keributan bertambah. Dari pintu masuk laboratorium, berhamburan petugas keamanan kubu pemberontak—yang otomatis semuanya langsung melolong seperti binatang terluka ketika melihat bekas-bekas pembantaian.

Tanpa komando, seluruh petugas menghujani keempat penyerang dengan beragam peluru. Meja-meja terbalik, kaca-kaca meledak.

Myeengun berlari ke arah Asibi yang berlindung di belakang brankas tebal, begitu pula Rea yang segera berbalik melindungi Merald dan Raizen si domba.

"Cherokees, 'Trail of Tears'?" canda Asibi pada Myeengun di antara desing tembakan.

Serigala itu menggeram. "Kautahu lelucon bisa benar-benar membunuh, kan?"

Asibi tersenyum kecil, mengusap puncak kepala serigala putih di sampingnya.



***



Namol Nihilo

Anatolia, pusat kota Distrik 3. Di dalam kapal induk AGE.

Namol, Puppis, Heppow, domba putih Namol, dan Bian, digelandang oleh tim khusus Akari ke ruangan Kilat Hitam.

Dalam beberapa menit ini, sudah cukup banyak yang terjadi.

Namol berusaha merunut kejadiannya satu-satu. Dimulai dari beberapa saat lalu, sesampainya ia serombongan di padang pasir neraka. Bertemu dengan si gadis berambut hitam pendek—yang setelahnya diketahui bernama Akari Karia—dan tim robotnya.

Saat itu Namol diserang karena dua alasan: Menginjak sepetak kebun pribadi Akari, dan dicurigai sebagai mata-mata oposisi.

Kejadian setelahnya adalah: kehadiran si pria yang turun dari langit.

Pria itu adalah Bian—atau Superman-pirang, menurut Namol yang sudah baca komiknya, dan pada saat itu belum kenalan sama Bian secara formal.

Bian dan Akari berunding, cukup lama. Tentang kesalahpahamannya dengan Namol, tentang misinya sebagai Reverier, dan tentang sebuah insiden pembakaran bar di wilayah imigran; yang katanya diprakarsai oleh lima pemuda berseragam sama.

Sama, seperti seragam Akari dan tim robotnya. Seragam kubu pemberontak.

Bian benar-benar berusaha menghindari kekerasan sebisa mungkin. Cara damai. Dan itu hal bagus. Sayang, hasilnya teramat kontradiktif.

Perkelahian tetap pecah. Yang menembak pertama adalah Akari dan timnya.

Puluhan peluru sedatif berhamburan di atas pasir. Namol selamat. Ia ingat Puppis memberinya sihir perlindungan peri—bahkan Heppow banyak membantu; menjadi perisai daging.

Bian juga selamat.

Tapi di tengah peristiwa itu, muncul satu lagi kesulitan. Sebuah badai debu—berwarna hijau pekat dengan sedikit kesan milyaran kristal yang tampak bertaburan.

Akari memerintahkan beberapa anggota tim robotnya untuk menciptakan dimensi pelindung. Perintah dilaksanakan. Namol benar-benar terkesima oleh teknologi mereka.

Debu hijau tak bisa menyentuh siapa-siapa, terhalang semacam kubus semitransparan.

Namol mendengar, badai debu itu disebut sebagai partikel Kajima. Polutan paling mematikan di semesta ini. Namol sempat menghirup hawa partikel itu sebelum kubus semitransparan berdiri.

Bagi si alien yang sudah cukup banyak mencicipi elemen, kesan pertamanya terhadap keberadaan partikel Kajima adalah ... mimpi, dan kematian.

Masalah itu teratasi, Akari bersama tim kembali fokus melumpuhkan Namol serombongan dan Bian.

Tak butuh waktu lama untuk melakukannya.

Setelah tak berdaya, Akari dan tim robotnya langsung mengangkut semua terdakwa ke kapal patroli. Lantas mengudara. Pulang ke kapal induk AGE.

Di sinilah Namol serombongan, dan Bian berada sekarang.

Di depan pintu masuk ruangan Kilat Hitam. Pemimpin sejati pemberontakan.

"Masuk," kata Akari, menyibak tirai kain sederhana.

Namol terakhir masuk. Ia masih terus memikirkan, tentang alasan kenapa Akari sampai bisa menembak duluan di padang pasir tadi.

Dan alasan itu adalah: laporan tentang keberadaan empat alien tambahan yang berhasil terdeteksi. Dua dari mereka bahkan dikonfirmasi sudah membuat kekacauan serius di kapal induk lain.

Total ada enam alien di Anatolia, yang muncul nyaris bersamaan.

Enam Reverier, pikir Namol, sudah berkumpul.

"Hey?" Akari masih menahan tirai, menatap Namol menggunakan setengah wajahnya yang mulus—setengahnya lagi berhiaskan luka perang. "Semuanya sudah masuk," desaknya. "Ayo."

Namol masuk.



***



Kilat Hitam adalah sosok yang sesederhana pintu masuknya. Ia merupakan laki-laki tampan yang super menyenangkan, tak tertebak usianya, dan cacat; sebagian tubuh, dan kedua kakinya tak ada.

Pada intinya, Kilat Hitam hanya mempertanyakan maksud kedatangan Namol dan Bian ke semesta ini. Setelah itu, sudah.

Kilat Hitam malah bercanda, memamerkan koleksi mainan robotnya seperti anak kecil. Akari mendesah gemas, lalu mengambil alih.

Namol dan Bian diminta mundur ke sudut tempat Puppis, Heppow, dan domba putih Namol berada. "Heppow suka manusia-puzzle ini!" bisik si cacing raksasa pada Namol.

"Kau kelihatan pucat," kata Kilat Hitam pada Akari.

"Um, kepalaku agak sakit hari ini, terlebih sewaktu di gurun tadi," respons Akari, berusaha terdengar acuh tak acuh. "Tapi tenang, paling cuma penyakit rutin. Satu-dua aspirin, sebuah suntikan, dan secangkir teh herbal pasti bisa mengatasinya."

"Hm. Berhati-hati dengan partikel Kajima, Akari," lanjut Kilat Hitam serius. Tapi lalu tawanya meledak ketika ia melanjutkan, "Soalnya wajahmu sudah enggak punya tempat buat dibikin jelek lagi! Bokong keras, kasihan kalau partikel itu harus bertemu denganmu!"

Akari cemberut, tapi lalu ikut tertawa dan balas meledek: "Dasar laki-laki tak berpenis!"

Mereka berdua sangat akrab.

Ruangan besar ini menjadi dua kali lipat nyamannya.

Terlebih, bila dicermati, ruangan Kilat Hitam minim sekali benda-benda futuristik yang dingin. Dindingnya dari kayu hangat, bantal-bantal memanjakan di sudut, gorden-gorden yang bergerak tenang di pintu balkon.

Akari kembali menghadap Namol dan Bian.

"Jadi," mulainya, "kalian berdua bahkan belum saling kenal?"

Namol dan Bian mengangguk, lalu saling berkenalan.

"Baik. Kalian akan dibebaskan setelah rapat," jelas Akari. "Sekarang ikuti dulu protokol tahanannya, oke?" Lalu ia beralih ke tim robotnya dan mengatakan, "Kita ke NEST."

Kilat Hitam melambaikan tangannya mengiringi kepergian Namol serombongan dan Bian.

Mereka mengudara lagi, singkat saja.

NEST merupakan kapal induk utama kubu pemberontak. Terparkir di tengah-tengah. Di antara kapal induk AGE (di kiri), dan kapal induk MO (di kanan).

Semuanya baru saja melangkah turun dari kapal patroli ke anggar pusat NEST, ketika kapal induk AGE di sebelah kiri mereka meletupkan beberapa ledakan besar.

Akari menoleh sangat cepat, sampai-sampai Namol mengira leher gadis itu pasti patah. Angin ledakan mengempaskan mereka semua. Suasana berubah gegap gempita. Seruan-seruan instruksi dan umpatan menggema di mana-mana.

Namol melihat Akari berdiri perlahan. Bergeming dengan kedua mata terbuka lebar.

Api ledakan merambat dari bagian kaki kapal induk Age; yang secara keseluruhan tampak seperti huruf M. Dan terus berantai-rantai ke atas. Ke ruangan Kilat Hitam di dekat puncak.

Tanpa aba-aba, Bian di samping Namol terbang melesat. Berusaha mendekati lantai Kilat Hitam berada. Tapi nihil hasil, pemuda berambut pirang itu terus-menerus terempas angin ledakan.

[ "Akari?" ] Sosok Kilat Hitam terproyeksi dari transmiter khusus di telinga kiri Akari. [ "Akari, kau bisa mendengarku?" ]

Suaranya terdengar tenang, dan tetap jenaka.

Kali ini Namol melihat Akari nyaris kehilangan pertahanan internalnya, gadis berambut pendek itu menggigit bibir. Menahan tangis.

[ "Akari kau mendengarku? Dengar, AGE akan hancur total. Aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa lagi di dalam sini. Semuanya hilang. Akari?" ]

"Aku mendengarmu, Presiden." Akhirnya Akari membalas, serak.

Citra Kilat Hitam tersenyum letih.

[ "Hubungkan aku ke jaringan publikasi, Jenderal Akari." ]

"Roger."

Satu baris air mata tanpa suara, mengalir di wajah Akari yang dingin. Ia menyambungkan koneksi Kilat Hitam ke bagian publikasi, agar semua personel dari kubu pemberontak di dua kapal induk yang tersisa bisa mendengarnya.

Koneksi untuk publikasi selesai diproses.

[ "Semuanya, ini hanya jenis neraka lain dari ratusan neraka yang sudah kita lewati selama ini. Bertahanlah karena kita sudah lama diperkuat." ] Kilat Hitam memulai, tegas. Nyaris sekejap, kebisingan yang ditimbulkan semua personel menyurut. Menyisakan hanya gemuruh suara ledakan saja. [ "Ini yang terakhir dariku. Tapi ini jelas bukan akhir dari mimpi kita. Semua persiapan telah matang, Hari Hujan berada di dalam jangkauan. Kita sudah sangat dekat." ]

Ledakan telah tiba di dua level sebelum lantai Kilat Hitam berada. Sekilas, Namol melihat beberapa sosok melompat dari salah satu jendelanya. Naga dan orang tua?

[ "Jadi dengar dan camkan!" ] Kilat Hitam menutup mata. [ "Meledaklah. Meraunglah! Wahai anak-anak sang surya! Bangunkan mereka! Berikan dunia harapan-harapan, setinggi dan seterang matahari! Ciptakan fajar tanpa perintah. Hari baru ... kita merdeka atau bersama-sama menuju kematian." ]

Hubungan terputus.

Kapal induk Age habis ditelan ledakan. Jatuh ke pusat kota di bawahnya. Kilat Hitam gugur.





Di antara Debu


Dua kapal induk yang tersisa—MO dan NEST—cepat-cepat mendapat instruksi untuk mengangkat sauh dan mengganti posisi mengambang mereka, menjauh sampai ke langit di wilayah padang pasir.

Mengantisipasi adanya insiden ledakan susulan, dan kerusakan kolateral terhadap pusat kota setelahnya.

Parahnya, Akari—yang belum pulih dari impuls keterkejutannya menyoal penolakan kematian Kilat Hitam—harus menerima beberapa kabar buruk lain sekaligus.

Karena sekarang, setelah Kilat Hitam tiada, Akari yang semula hanya berperan menggantikan posisinya di medan perang sebagai Raven, (menurut sistem yang ada) mau tak mau harus maju menjadi kepala pemberontakan secara penuh.

Setidaknya sampai rapat tingkat atas digelar.

Dan beberapa kabar buruk yang harus diterima Akari adalah:

Pertama, insiden ledakan juga terjadi di beberapa titik daerah pendukung oposisi. Semua bermotif sama, yaitu ledakan bom bunuh diri yang ditokohi anggota-anggota pemberontak palsu.

Kedua, sampai saat ini belum jelas siapa saja yang menjadi mata-mata di kapal induk AGE, atau hanya sekadar korban. Karena semuanya tewas. Dan semuanya terdata sebagai pemberontak generasi pertama yang setia.

Ketiga, beberapa divisi pasukan dari kubu oposisi sedang dalam perjalanan menuju pusat kota Distrik 3. Misi mereka diduga bukan untuk menggelar pertempuran, melainkan sekadar melakukan tindak pengamanan.

Namol melihat dari bagian teduh di anggar NEST—dan hanya bisa melihat saja—Akari yang tertegun setelah menerima semua laporan.

Heppow menangis dengan polosnya di belakang Namol. Cacing raksasa itu serius menyukai Kilat Hitam. Domba putih Namol melamun di atasnya. Sementara Puppis mencak-mencak, sambil sesekali mengutuk dalam bahasa peri. Merepetisi perintahnya pada Namol untuk melakukan sesuatu yang produktif.

Seperti Bian misalnya, yang langsung terbang turun membantu menyelamatkan penduduk dari api dan puing kapal.

Tapi sampai kumisnya tak lagi melingkar pun, Namol tidak akan bisa seperti itu. Karena sekeras apa pun ia mencoba, pola berpikirnya selalu berakhir di titik yang sama. Yang mengatakan, bahwa ia selamanya akan menjadi pecundang, dan masalah ini terlalu besar untuknya.

Namol menangkupkan kedua tangan berkulit cokelatnya ke wajah. Merasa bingung dan asing sendiri.

Sebentuk gelegak kekanakan lantas menyapanya dengan kikuk.

"Namol," kata Heppow, "izinkan Heppow ikut Akari, si temannya Kilat Hitam, terjun ke bawah buat berpentur—"

"Yang benar bertempur, dungu!" Puppis berbisik mengoreksi di samping si cacing, sambil memberi sikutan keras ke perut.

"—bertempur," lanjut Heppow, cemberut. "Boleh, Namol?"

Tidak langsung menjawab, Namol melihat ke arah Akari. Gadis berambut pendek itu sedang mengenakan semacam zirah robot yang besar dan keren.

Akari sendiri sudah mengambil keputusan. Setelah menyerahkan hak komandonya secara temporer pada beberapa petinggi terpercaya, ia akan turun ke bawah, berkonfrontasi dengan kubu oposisi yang akan segera tiba.

"Memang sudah jadi misimu juga, kan, buat pilih kubu di semesta ini?" sembur Puppis. "Ayo, dong, pilih! Beresin ini! Gerak! Keong bejat aja masih ada usaha buat cari rumah baru!"

Namol tertawa. "Baiklah. Kita turun. Tapi bukan buat membantu siapa-siapa. Karena ... entahlah. Aku belum berpikir untuk memilih kubu yang mana. Baru pemberontak juga, kan, yang kelihatan?"

"Ya, ya. Walau masalahnya kau memang tidak pernah berpikir, kepiting kikir," gumam Puppis.

Keputusan sudah diambil.

Hanya ada satu masalah minor lagi—sebelum mereka turun—yaitu: Namol masih kehilangan sebagian kekuatan Hellind-nya; termasuk kemampuan untuk menerbangkan apa pun yang ia sentuh.

Heppow dan si domba yang tidak bisa terbang jadi kesulitan untuk turun. Tapi Puppis segera mengurus itu. Si peri kecil mengusulkan: "Ambil saja satu kapal patroli milik pemberontak. Mereka lagi sibuk. Enggak bakal sadar."

Jadilah. Mereka berempat turun. Puppis, Heppow, dan domba Namol menggunakan kapal pinjaman—curian. Namol terbang di luar.

"Apa kubilang," kata Puppis di kursi pilot. Ia berhasil menguasai teknik penerbangan dalam kurun setengah menit saja. "Si pengecut itu cuma butuh dorongan."

"Heppow pasti akan melindungi Namol!" sahut Heppow, tubuhnya yang memenuhi setengah bagian kabin berkedut-kedut senang.

Si domba—yang sebelumnya dilempar ke bagian kargo—juga tampak senang, karena ia mendapat ruangan yang luas untuk dirinya sendiri.

Puppis tersenyum. "Itu memang alasan kenapa kita ada, cacing goblok. Melindungi dia."



***



Martha A. D. dan Mbah Amut

Anatolia, pusat kota Distrik 3. Di antara puing-puing kapal induk AGE, lautan api, gelimangan jasad, bangkai-bangkai transportasi, kekacauan jalan, patahan gedung pencakar langit, dan reruntuhan flat-flat penduduk.

Martha yang sedang menggendong domba putihnya, dan Mbah Amut yang sedang menggendong Nwu sekaligus dombanya sendiri, berdiri bersebelahan.

Mereka berhasil lolos di menit-menit terakhir insiden peledakan kapal induk AGE.

Kisah terangkum, Martha baru saja selesai membaluri Mbah Amut dengan minyak kayu putih—si mbah langsung membaik kondisinya berkat ketulusan nenek, puji syukur.

Saat itu mereka berada di level atas, di dapur; karena hanya ruangan itu yang agak kosong.

Lalu, tiba-tiba saja, muncul getaran, kebisingan, dan semprotan hawa panas dari bawah. Hal itu segera menjadi alarm bahaya yang dimanfaatkan si mbah untuk bersiap-siap.

Dibuka olehnya kaca dapur yang menghadap langsung ke langit kelabu. Digendong semuanya. Dibawa terbang, lalu diturunkan di tempat aman.

Di sini.

Di tengah-tengah kekacauan.

Sekaligus, di titik perpisahannya dengan si nenek. Karena jalan mereka berdua ternyata berbeda.

Martha tak terlalu memusingkan misinya sebagai Reverier untuk memilih kubu, nenek itu hanya ingin jalan-jalan, koleksi foto Anatolia, sambil bikin bahagia sekitar.

Sementara Mbah Amut sebaliknya. Si mbah sudah pengin cepat-cepat menyelesaikan misi yang tak relevan ini, dan pulang untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat.

Maka, Martha pun berlalu.

Sayang, perpisahan keduanya harus tertunda.

Nwu—murid si mbah yang wujudnya mirip preman penyakitan—menunjuk sekitar sambil setengah teriak, "Mbah, ada apaan itu rame-rame? Tawuran udah musim lagi?"

Keramaian yang dimaksud oleh Nwu adalah bertemunya dua kubu.

Kubu pemberontak, mengenakan seragam hitam dan celana loreng. Lalu kubu oposisi—atau kelak diketahui sebagai kubu poros bernama Happy Holy Family—yang mengenakan seragam putih.

Mbah Amut mengeluarkan napas berat. Ekspresinya rusuh.

"Gawat ini," gumam Nwu. "Si kerupuk alot—maksud saya si nenek itu, Mbah, si Martha, ya, namanya? Bisa-bisa dia kejebak di tengah keributan. Jantungan."

Mendengar itu, entah kenapa, dan tiba-tiba saja, si mbah jadi merasa terikat dengan si nenek.

Mungkin karena si mbah teringat kutipan: kematian orang tua sama seperti terbakarnya sebuah perpustakaan. Entahlah, si mbah juga kurang yakin. Yang jelas, jika muncul skenario terburuk, tetap bersama merupakan solusi terbaik untuk menang.

Jadi ... dalam satu lompatan, si mbah sudah kembali berdiri di samping Martha.

"Ada apa ini, Nak?" tanya Martha sambil memotret dua kubu. "Perasaan Nenek enggak enek—lha, yha iya lah, orang Nenek enggak masuk angin, hihi~!"

"Aduh ... Mbah juga kurang paham, Nék."



***



Merald dan Asibikaashi

Anatolia, wilayah imigran Distrik 3. Di dalam kapal induk MO.

Asibi dan Myeengun menatap keluar jendela. Kepada barisan kapal dan pasukan pemberontak. Semuanya bergerak menuju puing-puing kapal induk AGE di pusat kota.

Titik-temu antara kedua kubu.

"Kalau mau tahu lebih banyak, kita juga harus ke sana," kata Myeengun.

"Tapi, jetpack-nya cuma satu." Asibi melirik tas mesin yang ia pasang di punggung. "Hm? Bagaimana?"

Asibi menemukan benda itu beberapa saat lalu di Laboratorium 4, waktu ia melarikan diri.

Saat itu, ketika pasukan pengaman kubu pemberontak masih memberondong mereka dengan beragam peluru, tak disangka-sangka Merald memanggil dua naga lain.

Jadi, selama si gadis psikopat dan ketiga naganya membantai pasukan pengaman, Asibi dan Myeengun pelan-pelan menyelinap keluar.

"Jangan pertanyakan masalah kalau tak ada masalah, Asibi!" geram Myeengun. "Pakai jetpack-nya, aku akan mengikutimu dari darat."

"Ya, pakai jetpack-nya, Asibi! Namaku Merald, ngomong-ngomong." Merald berdiri di ambang pintu; di ruangan yang sama dengan Asibi dan Myeengun.

Gadis itu tersenyum. Raizen, si domba, bungkam di sampingnya. Sementara tiga naga berjejal, membungkuk di belakang. "Sampai mana kita tadi? Ah, iya! Kembalikan stik itu, Asibi. Kumohon, itu milikku! Kita bicarakan baik-baik, oke? Serang!"

Merald bergeser santai dari ambang pintu, ketiga naganya seketika masuk membabi buta.

Myeengun menyalak keras, "Sekarang, Asibi! Sekarang!"

Tanpa perlu disuruh lagi, Asibi langsung mengaktifkan jetpack. Ia terobos kaca jendela, langsung tancap gas, melesat menuju pusat kota.

Myeengun menyusul, terjun bebas, mendarat dengan sempurna di salah satu puncak gedung. Berlari mengikuti Asibi dari atap ke atap.

Merald menaikkan Raizen ke naga biru—Rea—lalu ia sendiri naik, dan pengejaran pun berlanjut. Tawa maniak meluncur dari mulutnya. Gairahnya memuncak mengetahui kekacauan besar telah menanti di depan sana.

"Hancurkan semuanya, ya!" perintah Merald.

Ketiga naga sontak mengaum ganas.



***



Namol Nihilo

Kapal patroli mendarat dengan cukup baik di atas reruntuhan flat penduduk. Namol sendiri mendarat dengan sempurna tak jauh di sampingnya.

Ia, Puppis, Heppow, dan si domba, kemudian langsung kembali merapat. Bersiaga.

Adalah Namol yang kedapatan latah setelah dikagetkan oleh sebuah teriakan.

"Namol! Oh, syukurlah!" Bian Olson turun dari langit. Wajah tampannya kelihatan sangat lelah dan berjelaga. "Namol, aku membutuhkan bantuanmu."

Permintaan tolong dari Bian cukup sederhana. Superman-pirang itu berencana menggunakan kapal patroli hasil curian Puppis. Untuk mengangkut penduduk yang selamat, dan membawanya keluar pusat kota.

Namol segera membantu penduduk naik ke kapal.

Kira-kira baru setengahnya—dari total penduduk yang berhasil diselamatkan Bian—naik ke kapal patroli, sesuatu sudah kembali jatuh dari langit.

Sesosok wanita yang mengenakan jetpack, dan seekor serigala putih.

Namol langsung menciut.

"Penampilan kalian," Bian memulai tenang, mengobservasi. "Bukan berasal dari semesta ini."

"Ya, benar. Aku, Asibikaashi, adalah Reverier. Myeengun bukan. Dia adalah teman baikku."

"Jangan macam-macam," timpal si serigala putih.

Namol dan Bian mengangguk paham.

Heppow kelihatan paling girang. "Ada serigala yang bisa bicara!" pekiknya polos.

"Oh ya? Dan kau itu cacing gede yang pakai kaus kaki, jadi enggak perlu berisik!" bentak Puppis.

"Bagus. Mereka berdua lebih jinak dari Merald," Myeengun mendesah lega (sengaja mengabaikan Heppow dan Puppis).

Lalu seolah teringat akan kenangan badai pembunuh, serigala putih itu menoleh tajam ke langit kelabu. "Merald!" semburnya. "Asibi, dia mengikuti kita tadi! Kit—"

"Aduh, rame juga di sini, Nék."

Perkataan Myeengun dipotong oleh geraman yang dalam dan sedikit ringkih.

Si penggeram—sewujud manusia naga—muncul dari balik puing-puing berasap bersama seorang nenek yang sedang menggendong domba, sesosok laki-laki sangar berkulit pucat, dan seekor domba yang berjalan sendiri sambil mengembik tak terkendali.

"Pasti lagi ada bubaran pabrik di sekitar mari," Nwu menukas acuh tak acuh.

"Wah, iya, hihi~!" Si nenek menyeringai. "Tapi enggak apa-apa deh. Di sini cahayanya bagus, Nak. Kita pasti bisa ambil beberapa foto lovely."

Namol semakin menciut.

Bahkan nyaris pingsan, ketika suara-suara baru kembali bermunculan. Kali ini yang datang adalah suara manis milik seorang gadis, dan suara gaduh yang mungkin hanya bisa diciptakan oleh mulut monster-monster berbahaya.

Dalam kasus ini, naga. Tiga naga, mengepakkan sayap mengerikannya di langit kelabu.

"Ta-da, Reverier!" sapa Merald, yang berdiri di punggung Rea si naga biru. "Semangat! Nyalakan lampu pestanya!"



***



Kekacauan.

Terlalu kacau.

Namol ingat melompat ke samping untuk menghindari semburan api salah satu naga Merald. Alien itu juga melihat Heppow digigit oleh naga hijau, dan balas menggigit.

Puppis konsisten berteriak di sampingnya. Tapi tidak ada satu pun kata yang tertangkap.

Namol seolah hanya memiliki penglihatan—kedua mata yang terbuka ngeri menonton pertempuran di sekitarnya. Sisa indranya lumpuh.

Bian menghantam naga biru Merald. Pukulan yang tak memberikan banyak pengaruh. Ia dihantam balik dengan sabetan ekor secepat kilat. Superman-pirang itu terempas menukik menghantam pecahan batu.

Merald segera mengganti target, mengejar Asibi dan serigala putihnya.

Sementara si manusia-naga tua—Mbah Amut—memilih untuk mengamankan rombongannya sendiri. Bersembunyi di antara patahan dinding.

Seiring waktu, keributan seolah menaikkan volume.

Namol, entah karena terlalu fokus pada kedatangan lima Reverier sebelumnya, benar-benar dibuat tidak sadar bahwa kedua kubu—pemberontak dan Happy Holy Family—juga sedang menggelar pertempuran.

Mereka bertabrakan di kompleks reruntuhan gedung yang hanya berjarak lima puluh meter dari tempatnya berdiri.

Hitungan detik, semuanya bercampur.

Bian berhasil dilumpuhkan oleh pasukan berseragam putih. Seluruh penduduk yang ia selamatkan—yang sudah berada di kapal patroli maupun masih di luar—kesemuanya tewas terkena imbas pertempuran.

Di langit yang semakin abu-abu, naga-naga Merald berjibaku dengan pesawat tempur kedua kubu. Finalnya, Merald bersama ketiga naganya terlempar sampai menabrak salah satu kapal besar.

Namol juga terlempar untuk kesekian kalinya. Kali ini karena dorongan ringan. Asibi pelakunya. Spirit-wanita itu mendorong Namol menjauh dari area baku tembak.

Risikonya, Asibi sendiri yang harus terserempet beberapa peluru.

Dalam jatuhnya, Namol melihat asap, langkah-langkah kaki, percikan ledakan, dan Mbah Amut beserta rombongannya. Mereka kesusahan.

Mbah Amut bersama Nwu, terpisah dari Martha. Si nenek tampak linglung. Sementara si mbah dan muridnya entah meneriakkan apa.

"Berdiri!" perintah tiga suara samar, tapi familier.

Namol berdiri sempoyongan. Mendapati Puppis yang setengah hangus, Heppow yang berdarah-darah, dan sebentuk robot hitam gagah—Akari. Ketiga sosok itu berdiri di dekatnya.

Lalu semuanya jatuh.

Pelesatan-pelesatan pedang bercahaya turun dari langit. Menghancurkan tim khusus yang berjaga di sekitar Akari, melukai Akari sendiri, menusuk Heppow yang tahan badan demi Namol, dan melenyapkan sihir peri Puppis.

Begitu gemuruh itu selesai, sesosok robot besar—perak berkilauan—mendarat di depan Akari.

"Kilat Hitam sudah mati," desis si robot perak.

Beberapa peluru ditembakkan. Akari tumbang.

Ketika si robot perak hendak beralih ke arah Namol, Heppow menabraknya sekuat tenaga. Robot itu terpental cukup jauh.

Sayang, kekaguman Namol harus dipotong oleh instruksi dari Puppis. Peri kecil itu berteriak sambil menunjuk sebuah kapal besar yang tampaknya masih berfungsi.

Untuk pertama kalinya, Namol mengerti rencana Puppis. Ia suruh Heppow mengangkut Akari ke dalam kapal. Ia teriakkan juga nama Asibi yang masih terbaring dijaga Myeengun. Meminta mereka untuk ikut melarikan diri.

Tak lama, semuanya sudah berada di dalam kapal.

Tapi sialnya, kapal itu tak bisa jauh mengudara. Hanya berputar tak menentu, sementara pertempuran masih sangat panas di permukaan sana.

Ditambah—Namol menelan ludah, merasakan sensasi mimpi dan kematian—partikel Kajima mulai bermunculan. Jika mereka jatuh, kepastiannya hanyalah tamat.

"Tenaganya enggak cukup," kata Puppis pelan. "Kita mungkin kelebihan berat. Hey, cacing idiot, keluarin dombanya."

Sebelum Namol menyadari maksud di balik perkataan si peri, Heppow sudah mengeluarkan domba Namol dari dalam kaus kaki. Lalu cacing besar itu tersenyum, dan melompat turun dari kapal. Namol berdiri, berteriak memanggil.

"Aku akan menjaganya!" Puppis meyakinkan, menahan Namol yang hendak terbang menyusul. "Kita berdua akan bertahan, bodoh! Pastikan saja keselamatanmu sendiri. Mengerti? Pergilah. Traperta!"

Puppis memanggil salah satu sihir perinya. Sihir untuk menghentikan pergerakan dan membekukan kemampuan khusus. Targetnya jelas, Namol.

Sementara kapal penyelamat terbang semakin tinggi, Puppis terbang semakin rendah—menyusul Heppow yang sudah mendarat lagi di medan pertempuran. Namol mematung di ambang palka; aman.

Sampai akhir ia hanya bisa melihat.





Enam Alien


Setelah memastikan tidak adanya keberadaan pemancar koordinat di dalam kapal penyelamat, Namol dan rombongan barunya bergantian turun. Duduk di luar.

Mode auto-pilot membawa mereka ke ujung padang pasir sebelah utara Distrik 3. Beruntung, ada sebuah hamparan reruntuhan kota purba yang bisa digunakan sebagai tempat persembunyian temporer.

Namol duduk berhadapan dengan Asibi yang sudah siuman. Mereka bersandar pada semacam pilar besi, berlapis kain compang-camping berwarna kusam, dengan lingkaran merah pudar di tengahnya.

Myeengun merebahkan dirinya dalam posisi melingkar di sebelah Asibi. Tampak lelah, tapi tetap waspada. Dan Akari, ia sudah dikeluarkan dari zirah robotnya, sekarang sedang bersandar di perut domba Namol. Kondisi gadis itu paling parah. Meski tidak ada luka luar, ia tampak seperti seseorang yang sekarat.

Ketika Namol bertanya, Akari hanya merespons dengan sangat lemah, sambil menekan alat bantu bicara di telinga kirinya, "Aku tidak pernah sesehat ini."

Namol menyuruhnya tidur. Tak lama, Akari memang langsung mendengkur lembut.

"Mereka sangat berani," Asibi memulai percakapan. "Dua temanmu di kapal."

"Ya," kata Namol. Celotehan Puppis dan tawa Heppow seketika terbayang, melintas. Sangat dekat, seperti berada di salah satu sudut tempat ini. "Mereka ... selalu berani."

Meski sulit menebak putaran waktu di Anatolia, sekarang setidaknya pasti sudah malam. Abu-abu langit lebih gelap. Suhunya turun drastis. Cahaya kehijauan yang bergerak di awan-awan, seperti aurora, memantulkan sinarnya ke bawah. Menembus kerangka menara, tempat para pelarian beristirahat.

"Apa yang akan kaulakukan nanti?" tanya Asibi. "Um, siapa namamu?"

"Namol—Namol Nihilo."

"Apa yang akan kaulakukan nanti, Namol?" Asibi mengulang.

"Mencari Puppis dan Heppow." Jawaban itu keluar begitu saja. "Ya. Begitulah."

"Bagaimana dengan misimu sebagai Reverier, um, Namol? Pilih kubu apa?"

Namol angkat bahu.

Asibi tersenyum, sambil mulai mengusap puncak kepala Myeengun.

"Aku juga belum milih," kata Asibi. "Lagi pula, enggak ditulis di pesan kalau kubunya cuma ada dua, kan? Pesan kita sama, kan?"

"Ya." Namol mulai berpikir, menatap langit. "Jangan-jangan memang ada banyak kubu? Dan perang yang lebih besar? Sial, seandainya nyawaku enggak habis-habis ...."

"Hipotesismu boleh juga. Tapi, maksudku itu, sebenarnya lebih kepada," Asibi menekankan, "penciptaan kubu baru."

Namol melongo sejenak. Lalu kebablasan.

Myeengun mendeham menahan tawa.

"Kita, Namol, bikin kubu baru. Itu maksudku. Bagaimana? Sudah terdengar cukup gila?"

Bohlam berkarat akhirnya menyala. "Oh, itu," kata Namol. "Tapi dari mana kita bisa mendapatkan pasukan?"

Asibi menggeleng pelan.

"Kita enggak butuh itu. Karena kubu yang kita ciptakan nanti enggak akan dibikin menang lewat jalur peperangan primitif. Tapi ideologi. Bagaimana?"

Namol berpikir sambil menggosok kedua tangan. Usul Asibi memang brilian dan masuk akal.

"Baiklah. Ayo bikin kubu baru."



***



Pagi setelah pertempuran, tiga distrik di Anatolia segera mendapatkan artikel seputar insiden besar kemarin.

-      Bom bunuh diri anggota pemberontak di sejumlah titik kota

-      Jatuhnya kapal induk AGE; pertempuran yang menyertainya

-      Sebuah misil anonim yang meledakkan nyaris seperempat kompleks Menara di Distrik 1

Penduduk seantero Anatolia mengecek itu melalui berbagai media. Semuanya seolah baru mengerti, betapa berbahayanya jalan yang mereka pijak di era peperangan.



***



Merald dan Martha A. D.

Anatolia, padang pasir selatan. Di atas kapal induk NEST.

Ruang interogasi dipenuhi isak tangis seorang perempuan. Merald, sedang memohon agar nyawanya diampuni.

Di pertempuran kemarin, Merald terlempar—pingsan—ke dalam kapal besar milik pemberontak. Jadi ketika pemberontak memutuskan untuk mundur, Merald ikut terbawa. Dan secepatnya diamankan.

Hasilnya, sekarang Merald direkrut. Dengan syarat, sekujur tubuhnya dipasangi beberapa panel khusus. Panel yang berfungsi sebagai pengendali.

Kapan pun Merald bergerak tidak sesuai koordinasi, kubu pemberontak bisa langsung membunuhnya.

Sampai perang final tiba, Merald diputuskan mendekam di penjara. Terikat total.

Dari balik selnya yang nyaris gelap, gadis itu tersenyum menatap jendela di ujung koridor. Barisan cahaya kelabu yang tercetak satu-satu sama sekali tidak menunjukkan kalau ini sudah pagi.

Di samping Merald, tampak Raizen yang membisu.

"Kita akan menghancurkan mereka semua, Raizen," gumam Merald, setiap silabelnya bergetar karena euforia.

Sementara itu, di ruangan lain.

Ruang perawatan.

"Sekali lagi, hihi~!" ujar Martha. "Awas, jangan sampai domba Nenek bangun! Anak muda, naik ke pinggulnya. Siap, ya? Pose-set, steady ... satu, dua, konde beruban~!"

Berbeda dengan Merald yang mendapatkan status tahanan dan prajurit bersyarat, Martha diberikan status setengah pahlawan dan prajurit sukarela.

Eposnya dimulai dari pertempuran kemarin. Waktu itu si nenek dikepinggirkan oleh kubu pemberontak—karena diduga sipil yang tersesat.

Sampai akhirnya orang tua itu ikut terbawa ke sini, diketahui tak memiliki indentitas, dan diinterogasi.

Bedanya dengan Merald, hasil interogasi Martha positif. Si nenek tidak punya dosa, malah kedapatan menyimpan foto-foto pemberontak palsu—pengkhianat—yang menjadi pelaku bom bunuh diri di kapal induk AGE.

Martha punya jasa.

Meski begitu, di balik keceriaannya, Martha juga merasakan kehilangan.

Di pertempuran kemarin, Mbah Amut mengambil minyak kayu putih dan KTP PUP miliknya. Apa alasannya? Mungkin hanya pencipta semesta yang tahu.

Martha hanya menerima fakta mencengangkan: terakhir terlihat, Mbah Amut sedang berada di kapal Happy Holy Family.

Akhirnya bermodalkan tekad untuk mengambil apa yang menjadi miliknya, Martha mengajukan diri sebagai salah satu petarung di perang final.

Ia memiliki firasat akan bertemu si mbah di medan tempur.

Awalnya tentu saja ditolak. Sampai ketika si nenek mendemonstrasikan kemampuan tongsisnya ... semua terdiam. Hanya bisa mengangguk setuju.



***



Bian Olson dan Mbah Amut

Anatolia, Distrik 1. Kompleks Menara bagian sentral, Menara Palisade. Pusat pemerintahan Happy Holy Family.

Bian berdiri melamun di balkon lantai delapan puluh dua, menatap lurus ke depan. Kepada pemandangan menara-menara hangus.

"Para pemberontak," ujar sebentuk suara serak nan dalam, "tidak pernah bisa membedakan kebebasan dengan kekacauan, perdamaian dengan peperangan. Mereka liar, buas, terluka, dan berbahaya."

Menoleh pelan, Bian mendapati sesosok berpenampilan robot berdiri berlatarkan interior metal ruangan ini.

Kepalanya tampak berparuh, seperti burung gagak. Sekujur tubuhnya berzirah. Bian mengenalnya. Robot itu bernama Saraph, sang Raven Putih.

"Sudah baca artikelnya? Jurnalis kami memiliki jemari setajam api pemotong." Saraph berguncang pelan, seperti sedang tertawa.

Bian mengangguk.

"Lalu apa keputusanmu, Bian Olson?"

"Aku setuju untuk bergabung," Bian menjawab tenang. "Tapi aku tetap akan bertarung dengan caraku."

"Jawaban yang bagus, Bian Olson," kata Saraph. "Lakukan sesukamu, selama itu bisa menghentikan agresivitas para pemberontak di perang final nanti." Saraph balik badan sambil melambaikan tangannya, hendak keluar. "Beristirahatlah."

"Tunggu, Saraph, kapan perang final itu terjadi?"

Tanpa menoleh, si robot berparuh tajam berujar dalam, "Hari Hujan. Hari peringatan di mana Ramalan Raven, menurut legenda, turun dalam bentuk wahyu ke benak orakel Shangri-la. Hm, itu sekitar dua hari lagi."

Pintu ruangan terbuka, bergeser otomatis. "Jadi, beristirahatlah."

Bian melamun menatap ruangan lengang setelah Saraph keluar.

Tiga sosok yang terjatuh di balkonnya dengan sangat berisik, sukses membuatnya terlonjak. Ketiga sosok itu adalah si mbah, dombanya, dan muridnya.

"Waduh! Maafin Mbah, ya? Licin pisan sih temboknya!" gerutu Mbah Amut sambil mengusap bokong.

"Kita ke sini mau pinjam garam," jelas Nwu pada Bian sambil mengusap-usap perban di kedua tangan.

"Garam? Oh, sepertinya di sini tidak ada." Bian tersenyum, memperhatikan sekeliling. "Lihat, hanya ada panel metal dan mekanisme canggih."

"Wogh, enggak ada garam juga, ya? Tsk!" Nwu bersungut-sungut.

"Yasudah, Nwu, relakan, ikhlaskan saja. Makan yang lain saja asal jangan daging," hibur si mbah, bijak. "Oh, iya, tadi teh ada si Saraph di sini? Mbah teh, punteun, enggak sengaja nguping."

Bian mengangguk. "Tidak apa-apa. Saraph hanya menanyakan keputusanku."

"Milih gabung juga?" Nwu nyengir. "Si Mbah milih gabung soalnya."

Lagi, Bian mengangguk. "Semoga ini benar-benar menjadi awal yang baik."

"Iya, ya ... kita mah cuma bisa percaya dan siaga saja sekarang," gumam Mbah Amut, sambil menekan sesuatu di balik jubahnya.



***



Beberapa jam yang lalu. Sebelum pagi.

Bian bersama Mbah Amut—yang tertangkap oleh pasukan Happy Holy Family di pertempuran Distrik 3—diinterogasi. Mereka berdua mulai saling kenal di sini.

Dan di sini pula, di ruang interogasi yang terang-benderang, keduanya diperkenalkan dengan hal-hal lain.

Mereka diperkenalkan dengan Saraph, dengan visi-misi Happy Holy Family, dan dengan sejarah kerusakan serta diskriminasi buta yang dibawa pemberontak.

Bagi Bian, yang sudah melihat langsung tindak kriminal pemberontak terhadap penduduk biasa, semua penjelasan tampak masuk akal.

Berlaku pula untuk Mbah Amut, yang sudah melihat dengan kedua matanya sendiri bagaimana pemberontak memperlakukan orang tua. Hal itu terjadi di pertempuran Distrik 3, ketika Mbah Amut terpisah dengan Martha.

Saat itu, kubu pemberontak mendorong si nenek menjauh, hampir terlihat seperti penculikan kasar di ingatan si mbah. Si mbah segera berusaha menariknya kembali.

Tapi sayang, dengan sangat-sangat kebetulan, encoknya keburu kumat. Sehingga yang tertarik hanya sebagian isi tas si nenek saja—minyak kayu putih dan KTP PUP.

Pada intinya, di mata Bian dan Mbah Amut, kubu pemberontak memang memiliki cukup banyak kesalahan.



***



Namol Nihilo dan Asibikaashi

Anatolia, reruntuhan kota purba di ujung padang pasir utara.

Pagi-pagi sekali, ketika yang tertidur baru saja beberapa kejap terbangun, Akari sudah berdiri. Akari meminta maaf pada semuanya.

Sesungguhnya, pertempuran di Distrik 3 kemarin tidak perlu terjadi kalau saja Akari tidak terprovokasi untuk menyerang lebih dulu. Ia gagal. Kematian Kilat Hitam berhasil membutakan jati dirinya, statusnya, dan kebaikan jangka panjang.

Namol dan Asibi hanya diam mendengarkan kata-kata maaf.

Sampai Akari selesai, barulah Asibi membahas tentang kemungkinan dirinya dan Namol membentuk kelompok baru. Asibi juga lantas meminta dengan sopan, tapi tegas, tentang kronologis dua kubu.

Akari menjelaskan semuanya.

Tentang perang ratusan tahun yang disebabkan oleh beradunya idealisme masing-masing. Tentang dua Raven.

Akari menceritakan semua alasan kenapa Saraph dan Happy Holy Family harus diturunkan dari takhta.

Tapi bukan hanya itu saja.

Ia juga mengakui ada banyak sisi gelap di kubunya. Salah satunya, diskriminasi.

Akari ingin sekali meniadakan itu. Karena mereka sudah sangat dekat. Mereka yakin Anatolia adalah titik penentu di bumi terkutuk ini.

Titik di mana peperangan berakhir.

Mungkin, itu jugalah yang menjadi kelemahan fatal kubu pemberontak. Karena ketika kita mencapai puncak keyakinan; bahwa kita bisa mengakhiri suatu hal, ketika itu pula kita semakin kuat—dalam artian rapuh dan terprediksi.

Saraph memanfaatkan itu, dan Akari terlambat menyadarinya.

Saraph memang menunggu pemberontak untuk mengerahkan kekuatan penuh. Untuk tak lagi bergerak di antara bayang gerilya. Menunggu semua lapisan terekspos, baru menghabisinya dari dalam sampai ke akar.

"Aku hanya menginginkan perdamaian dan kebebasan," gumam Akari. "Tapi sejauh ini, Saraph berhasil mengacaukannya."

Kebisuan merebak setelah Akari selesai.

Namol meringkuk sambil memikirkan Puppis dan Heppow; sebisa mungkin tak terlihat terlalu cemas.

Asibi melempar stik yang ia dapat dari Merald untuk menggoda Myeengun.

"Stik itu?" tanya Akari, tercengang. "Di mana kau menemukannya?"

Asibi menjelaskan pertemuannya dengan Merald di Laboratorium 4.

Setelahnya, Akari—sambil menutup mulut menyembunyikan kejut—menjelaskan fungsi stik itu. Seberapa pentingnya.

"Stik itu diciptakan untuk mengendalikan empat misil terbaik kami. Pemegangnya akan mendapat kontrol absolut," jelas Akari, pelan.

"Daya destruksi dan radiusnya sangat besar. Dan mengikuti saranku, bentuk misilnya disamakan dengan wujud gadis kecil, para pemberani. Representasi jiwa panas pemberontakan."

Asibi mengangguk-angguk, lalu berdecak. Kedua matanya melebar. Penjelasan perihal stik tadi telah mengilhaminya. Spirit-wanita itu menoleh ke arah Namol.

"Agenda pertama kubu netral kita," mulainya, ragu tapi antusias, "adalah mengundang keenam alien ke sebuah pertemuan."

Namol memiringkan kepala. Tidak mengerti.

Asibi memaklumi itu dan langsung beralih ke Myeengun. "Hey, bisa tolong cium keberadaan si Burung-Hantu Tua?"

Tanpa tanya, Myeengun menyanggupinya.

"Nah. Ayo, Namol. Kita mulai dari dombamu, oke? Fungsikan dia sebagai kurir yang imut."

"Oke," kata Namol. Memutuskan untuk mengikuti saja setiap perintah.

Ia dekati dombanya dengan takut-takut, ia buka pembungkam mulut makhluk berbulu putih itu, lalu menyuruhnya duduk. Saat ini, pandangan matanya secara tak sengaja bertemu dengan tatapan Akari.

Tatapan kesedihan? Amarah?

"Sudah baikan?" tanya Namol iseng.

"Aku enggak pernah sesehat ini," kata Akari, takjub. "Ini kejutan. Seharusnya, tanpa pengobatan, aku sudah mati tadi malam. Tapi aku hidup. Gejolak baru ini ... bersemayam di darahku. Terbangun. Ya. Ini adalah kebencian. Kebencian menjagaku agar tetap hidup."

Tidak tahu harus merespons apa, Namol tersenyum kikuk.





Rendezvous


Kami berdua memutuskan untuk menciptakan kelompok terpisah.

Datanglah ke reruntuhan kota purba di ujung padang pasir utara. Kita bicarakan baik-baik semuanya.

Sudah dua kali Namol membaca sepenggal salinan pesan singkat yang ditulis Asibi. Pesan yang kini sedang diantarkan kepada empat alien lain via kurir-domba-imut.

Domba Namol mengirim ke tempat Bian dan Mbah Amut, domba Asibi mengirim ke tempat Merald dan Martha.

Asibi melacak keberadaan keempatnya menggunakan bantuan si Burung Hantu Tua— Wiijishimotawaa Gookooko'oog, yang memiliki kemampuan pendeteksi.

"Kulakukan ini agar mereka tahu tentang konsep penciptaan kubu baru," kata Asibi setelah puas melihat ekspresi bingung Namol.

Ekspresi Namol mengendur, mulai mengerti. Lalu sedetik kemudian, ekspresinya berubah ngeri.

"Jangan khawatir," hibur si spirit-wanita, seolah bisa membaca pikiran alien culun yang berdiri di sampingnya. "Kalau mereka datang cuma buat cari ribut, kita masih punya stik ini."—Asibi memutar stik di tangannya—"Benda ini bisa dijadikan jaminan perdamaian. Kupinjam sebentar, ya, Akari?"

Akari mengangguk waspada.

Ketiganya berdiri bersebelahan di depan kerangka menara. Kepala mendongak ke langit kelabu, menoleh ke setiap arah mata angin.



***



Sudah lewat tengah hari ketika keenam alien kembali berkumpul.

Bian dan Mbah Amut turun pertama, datang dari langit utara bersama domba Namol. Disusul oleh Martha, datang dari langit selatan bersama dombanya sendiri dan domba Asibi—si nenek tiba dalam keadaan tertidur pulas.

Terakhir mendarat, adalah Merald. Gadis itu duduk di punggung naga birunya yang sibuk mengunyah. Beberapa puing kapal terlihat di antara gigi, dan cakar.

"Lelah," desah Merald dramatis. "Setelah menerima pesan dari domba ajaib, aku harus menggoda empat penjaga mesum supaya bisa keluar dari penjara!"

Akari menyimpulkan perkataan itu dengan cepat. Ia maju ke arah Merald menggunakan langkah-langkah besar, sebelah tangannya menarik katana biru yang tersampir di pinggang.

"Apa yang kaulakukan pada mereka?" tanyanya dalam satu tarikan napas, "Pecahan besi di mulut nagamu adalah komponen kapal teman-temanku. Apa yang terjadi? Jawab."

"Um, aku tidak melakukan apa-apa!" rengek Merald, manja. "Ka-kamu siapa memangnya?"

Akari tiba di depan rahang naga biru Merald, tak gentar sama sekali. Malah Namol yang gemetar, sementara Asibi mencoba menenangkan. Bian, di satu sisi, sudah bersiap melesat untuk memisahkan. Mbah Amut di sampingnya sibuk bersin.

"Namaku Akari Karia. Raven Hitam," desis Akari sambil memasang ancang-ancang memotong. "Pemimpin pemberontakan."

Merald menyeringai.

"Waw ... maafkan aku, Nyonya Pemimpin," cibirnya penuh ancaman. "Aku hanya keluar sebentar, kok. Habis ini pasti balik lagi ke penjara. Mau enggak mau, sih. Soalnya tubuhku dipenuhi bom. Silakan mengintip—"

"Ramai sekali, huh? Beruntung sekali aku, memutuskan untuk mengikuti kedua teman baruku ke sini! Bian Olson, dan ... Mbah Amut. Ya. Terima kasih."

Suara serak nan dalam itu berasal dari atas. Semuanya mendongak. Segera mendapati robot besar berwarna perak, mengambang tenang.

Saraph menatap keenam alien satu per satu, lalu Akari.

Asibi menyiapkan stik pengendali di tangannya.

"Kita mulai. Hanya perundingan." Spirit-wanita maju ke tengah-tengah hadirin sambil menunjuk langit. "Jika ada yang memulai perkelahian, misil yang sudah kusiapkan di atas sana akan kujatuhkan. Kita gugur bersama-sama."



***



Dari cakrawala kiri, badai kehijauan—partikel Kajima—tampak bergerak dengan cepat ke lokasi perundingan.

Sebelum perundingan itu sendiri benar-benar dimulai, Saraph sempat membuat Namol nyaris kencing di celana.

Robot perak berjalan menghampiri alien berambut oranye, kemudian menghadiahinya dengan sebuah cip. "Itu video untukmu," jelas Saraph, kalem. "Tonton nanti, oke?"

Perundingan dimulai setelahnya.

"Keadaan Anatolia sudah sangat merugikan untuk kubu pemberontak," Saraph buka suara pertama. "Pengeboman di setiap distrik menyurutkan dukungan penduduk."

"Kau, Saraph! Kau mengebom pendukungmu sendiri!" Akari menyalak. "Kami tidak pernah melakukan apa pun!"

"Diskriminasi yang diciptakan kubu pemberontak, wahai Akari Karia, akan menjadi makhluk artifisial yang sangat mengerikan! Jika saja ada yang cukup jenius untuk mewujudkannya."

"Martha!" interupsi Mbah Amut. Ia berdiri berseberangan dengan si nenek yang masih tertidur di atas rendengan punggung dua domba. "Bangun, atuh, Martha!"

Semua mengabaikan.

"Ada banyak sekali anggota pemberontak, dan lebih banyak lagi metode keadilannya," tegas Bian, sambil menatap Akari. "Mungkin kalian belum sanggup mengendalikan kekuatan itu."

"Kau mendukung kubu yang salah," desis Akari dingin. "Kau akan segera menyadarinya."

"Martha! Bangun, géulis! Waaaduh!"

Merald memajukan bibir. "Hm. Aku pribadi pendukung pemberontak. Jadi, ya, kusarankan kita berperang sampai salah satu kubu mati."

"Atau menciptakan kubu baru, dan tidak memenangkan kubu mana pun," sambar Asibi. "Kita hanya akan memenangkan rakyat dan perdamaian."

"A-aku setuju dengan usulan Asibi," gumam Namol, nyaris lirih. "Mu-mungkin—"

"'Raven akan gugur ketika ia berhasil. Keenam sayapnya patah. Perdamaian lahir setelah cahaya dan kegelapan berhenti bernapas.' Itulah nasib dunia yang ditakdirkan beberapa pasang kata. Ramalan orakel yang terkenal!" Saraph diam sebentar.

"Itulah," lanjutnya, "yang akan terus kita lakukan, atau masa depan lakukan. Karena pengertian hanyalah monster egois. Dan perdamaian tanpa keteraturan? Jangan bergurau. Bahkan surga tak diciptakan atas dasar seperti itu!"

Akari maju ke arah Saraph. Saraph mengangkat bahu, ikut maju. Asibi segera menyiapkan misilnya.

Sementara itu, Namol hanya menggigiti jari, ketakutan. Bian mengekor di belakang Saraph. Dan Mbah Amut masih sibuk membangunkan Martha.

"Hari Hujan, aku akan datang ke Distrik 1. Cara lama," geram Akari. "Semuanya selesai di sana."

Saraph membungkuk memberi hormat.

Lalu semuanya berlalu begitu saja.

Saraph pergi bersama Bian dan Mbah Amut—yang kelihatan sangat sedih karena gagal membangunkan Martha.

Akari pergi setelah berterima kasih pada Namol dan Asibi (tak lupa Asibi mengembalikan stik pengendalinya pada Akari; sambil memberi saran untuk selalu waspada terhadap gelagat Merald).

Merald sendiri bersikap sangat manis sambil mengajukan diri untuk membawa Martha—secara, ia tahu si nenek sudah terikat kontrak dengan pemberontak.

Tersisa hanya Asibi dan Namol.

"Bagaimana rapatnya? Kurang bagus?" kata Myeengun yang baru keluar dari dalam kerangka menara. "Salahmu karena menyuruhku untuk menunggu. Aku ini cukup diplomatis padahal."

Asibi mendengus. "Perang akan terjadi di Hari Hujan. Kita enggak bisa mencegahnya."

"Baiklah, lalu?"

"Aku akan pergi ke zona perang," Asibi menjawab. "Mencari informasi. Mengevakuasi semaksimal mungkin para penduduk yang sebenarnya tidak ingin terlibat."

Myeengun gantian mendengus. "Terdengar naif dan normal. Baiklah, kapan kita berangkat?"

"Sekarang. Hey, Namol, dombamu sudah di kapal, kan? Kita akan—ng, apa yang sedang kautonton?"

Bukannya menjawab, Namol malah jatuh bertekuk lutut di atas pasir. Ekspresinya kosong. Tangan kirinya melepaskan cip yang memproyeksikan sebuah video.

"Ada apa, Namol?!" Asibi berlari menghampiri, melihat proyeksi yang terus mengulang dua adegan singkat. "Itu ...," gumam Asibi, "yang tadi dikasih Saraph, kan? Apakah itu ... sungguhan?"

Namol tak merespons.

Partikel Kajima di cakrawala kiri semakin menderu dan mendekat. Asibi segera berusaha menarik Namol ke dalam kerangka menara, ke dalam kapal penyelamat.

Namol bergeming. Asibi memaksa dengan tenaga, Namol malah membuat dirinya menjadi antimateri. Tangan Asibi hanya menembus tubuhnya.

Tidak ada pilihan lain untuk Asibi. Ia harus meninggalkan Namol, atau mati bersamanya.

"Apa yang terjadi? Ada apa dengan alien berkulit gelap itu?" tanya Myeengun setibanya Asibi di kapal penyelamat. Badai partikel Kajima sudah mulai mengamuk di luar sana. Menelan Namol.

"Video itu menampilkan dua proses eksekusi mati." Asibi menutup mata, menunduk. "Hukuman mati untuk kedua teman Namol yang sempat kita lihat di kapal ini."

"Cacing dan peri?" tanya si serigala putih, pelan.

Asibi mengangguk dalam-dalam.

Di belakang keduanya, domba Namol mengembik parau sambil berusaha membuka pintu kapal.





Mimpi dan Kematian


Menggunakan kemampuan Hellind—antimateri yang meloloskan apa saja—Namol jadi mampu bertahan di antara badai partikel Kajima. Debu kehijauan itu seolah mengepungnya dalam amukan dan rintihan.

Semua yang tampak hidup langsung mengering dan lenyap setelah tersapu gelombangnya. Tapi si alien cuek saja. Tetap berjalan. Hampa, seperti boneka.

Puppis dan Heppow sudah mati dieksekusi, atau itulah yang terlihat di dalam proyektor. Saraph membunuh mereka.

Cacing besar dirajam dengan tombak berdesis. Peri kecil direndam di dalam kuali berisi api cair yang meletup. Namol menjerit lagi, menangis lagi.

Ia gagal melindungi mereka. Satu-satunya kepingan dari rumah.

Ia tak tahu lagi harus ke mana, atau melakukan apa. Saat ini, pikirannya tak memiliki awal atau akhir. Ia terjebak di dalam lorong gelap, sendirian. Berharap dinginnya sekitar segera membekukan tubuhnya, jiwanya. Ia ingin lenyap karena itu lebih baik daripada kesepian.

Sampai akhirnya, kedua kakinya berhenti melangkah.

Entah sudah berapa jauh dari reruntuhan kota purba. Yang jelas kini Namol berada di muka gua. Jauh di belakangnya, di hamparan padang pasir, badai partikel Kajima semakin mereda.

Ia nonaktifkan kemampuan Hellind-nya. Ia pukuli lalu dinding gua sampai buku-buku jarinya meneteskan darah.

Tolong.

Namol menoleh perlahan, merasa mendengar sesuatu.

Kau bertahan ketika aku ada. Tolong, terimalah kehadiranku seutuhnya. Dengarkan aku!

Belum sempat melakukan respons lebih jauh, Namol diserang oleh selurus partikel Kajima. Debu hijau itu merasuk lewat mulut, lubang hidung, telinga, dan mata. Namol menjerit seolah ia akan mati.

Tapi tidak.

Ketika kedua matanya kembali berfungsi, Namol baru menyadarinya. Ia bukannya mati, tapi hanya berpindah ke tubuh yang lain. Berdiri di tempat yang lain. Menyaksikan kebenaran masa lalu.

Sepotong kisah saudara kembar, Hajima dan Kajima, di Bumi-Utopia: Shangri-la.



***



Hajima dan Kajima merupakan putra mahkota di kerajaan utama.

Keduanya sangat dekat dengan figur seorang nenek—sang orakel.

Di istana, sang nenek biasa menceritakan banyak hal ketika hujan turun, salah satunya tentang Jepang (negara dongeng yang katanya pernah berdiri di tanah ini ribuan tahun silam). Dan, tentang ramalan dua Raven.

Raven Hitam, sosok malaikat bersayap enam, terlahir di bumi untuk menghancurkan semuanya. Sementara Raven Putih, sosok malaikat bersayap emas, terlahir di bumi untuk memperbaiki semuanya.

Dalam ramalan, Raven pertama akan muncul satu tahun dari sekarang.

Satu tahun kemudian, sebuah makhluk artifisial memang jatuh ke bumi. Tepat di depan istana kerajaan utama.

Makhluk artifisial berbentuk seorang gadis berambut pendek. Kelak dinamakan Akari Karia oleh si kembar.

Tapi sampai si nenek meninggal, dan Hajima dinobatkan sebagai raja—sementara Kajima penasihatnya, Raven yang kedua tidak pernah muncul.

Sedangkan perang memperebutkan wilayah sudah hampir menodai perbatasan setiap kerajaan di Bumi-Utopia.

Hajima mulai mengevaluasi ramalan neneknya. Tentang makhluk artifisial bernama Akari Karia yang saat ini dibekukan dalam tidur panjang di laboratorium. Juga tentang Raven kedua yang tak kunjung muncul.

Semuanya tidak masuk akal.

Hajima berpikir, mungkin sebenarnya ramalan sang nenek tentang dua malaikat hanyalah sebatas metafora. Dan keberadaan Akari Karia merupakan misteri lain yang tidak berhubungan.

Bermodalkan logika tersebut, Hajima memutuskan untuk melenyapkan kemungkinan adanya Raven kedua.

Ide baru segera terpintas di kepalanya.

"Untuk menghentikan perang, kita harus kembali ke awal permasalahan," jelas Hajima pada Kajima di serambi istana pada suatu sore. "Aku akan menciptakan mesin waktu."

Kajima tertawa. "Kau tidak pernah berubah. Selalu percaya tentang keberadaan malaikat."

"Hey!" Hajima tak terima.

Kajima tetap tertawa. "Ketahuilah, untukku, Raven tidak pernah menjadi figur malaikat. Kaulah figur malaikatnya. Hajima, sang Saraph! Kau selalu menjadi lebih baik dan nyata dibanding semua cerita. Kau memercayai hal-hal yang mustahil, dan kau selalu berhasil membaginya. Bahkan mewujudkannya. Kau bercahaya."

"Begitu?" Wajah Hajima memerah "Oh iya, kalau maksudmu Saraph yang artinya malaikat, harusnya Seraph."

Hari-hari berikutnya, sampai nyaris sekarat Hajima meneliti tentang mesin waktu. Mendekam di laboratorium. Bereksperimen menciptakan zirah futuristik. Atau menjelajah sambil menyamar untuk mempelajari materi-materi penting.

Hingga akhirnya, partikel khusus berhasil diciptakan.

Partikel yang mampu merusak hukum ruang dan waktu.

Sayangnya, ketika Hajima hendak mendemonstrasikan kekuatan partikel itu di hadapan Kajima, Akari Karia mengacaukan segalanya. Makhluk artifisial itu mengamuk di dalam laboratorium.

Pada saat inilah si kembar menyadari, ramalan dan cerita sang nenek memang benar adanya.

Sama seperti ketika zaman berubah, ketika bangsa manusia berjalan dan beradaptasi dengan waktu, semuanya juga memiliki penanda akhir. Penghancur.

Ada sesosok makhluk akhir zaman di masa ketika bumi masih memiliki negara bernama Jepang. Maka untuk Shangri-la sendiri, mereka memiliki Akari Karia. Sang Raven Hitam, yang diutus langit sebagai penanda.

Kajima terluka sangat parah di kekacauan laboratorium setelah melindungi Hajima yang nekat mengaktifkan partikel mesin waktu. Tanpa persiapan, dan beberapa serangan telak Akari ke mekanisme rumit temuan Hajima, partikel mesin waktu itu malah meledak.

Hancur menjadi sebuah lubang dimensi.

Hajima, Kajima, dan Akari, langsung tersedot ke dalamnya.

Lalu tiba di masa depan. Bumi-Distopia.

Akibat distorsi dimensi: selain tiba di tempat yang berbeda-beda, mereka juga mengalami beberapa perubahan fisik, sebagian bahkan kehilangan ingatan utuh.

Hajima terbangun sebagai zat abstrak di reruntuhan bawah tanah. Di samping zirah robot besar yang segera dijadikan wujud tetapnya. Sepintas ingatan mengatakan kalau namanya adalah Saraph.

Lalu Kajima.

Inti jiwa Kajima yang masih memiliki ingatan utuh, mengembara sebagai sisa partikel mesin waktu. Debu hijau yang tak jarang terdengar berbisik ketika melintas. Membisikkan namanya, atau cerita masa lalu. Dari situ jugalah penduduk sekitar melabelinya. Partikel Kajima. Polutan paling mematikan.

Sementara tubuhnya menjelma menjadi entitas anonim yang kelak dinamai Kilat Hitam.

Dan terakhir, Akari. Ia hidup setelah dirawat oleh tukang kebun. Dijadikan setengah robot. Ingatannya kosong, terkubur di dasar.

Menghitung waktu yang tepat untuk mengakhiri zaman ini. Malaikat penghancur yang menantikan keenam sayapnya.





Hujan


Bian Olson

Sudah hampir tengah malam ketika Bian tiba di wilayah imigran, Distrik 3. Kedua kakinya memijak tepat di depan pintu masuk sebuah bar setengah hangus.

Tanpa perlu mengetuk, seorang wanita paruh baya muncul membukakan pintu darurat. Katanya, ia memang sudah menanti-nantikan kedatangan Bian. Di samping si wanita tua, seekor domba putih menyembul. Mengembik menyapa.

Wanita itu menuntun Bian ke dalam. Berhenti di sebuah ruangan yang hangat dan nyaman. Mempertemukannya dengan seorang laki-laki paruh baya, yang segera mengucapkan banyak terima kasih.

Mereka lalu mengobrol di depan perapian modern.

Sampai akhirnya Bian pamit sambil membawa dombanya. Sepasang suami-istri tua itu ikut mengantar ke pintu depan, lalu bersikeras agar Bian mau datang lagi besok untuk makan siang sama-sama.

Bian tidak menjawab. Hanya mengangguk dan tersenyum, lalu mengucapkan selamat tinggal. Pemuda berambut pirang itu langsung mengudara, domba putih ia peluk erat-erat agar tak jatuh.

Makan siang bersama orang-orang baik, bukan ide buruk untuk dilakukan besok. Seandainya besok tidak turun hujan, dan ia tidak harus menghadiri perang terbesar antara dua kubu sebagai prajurit yang telah memilih.



***



Mbah Amut

Menara Palisade disibukkan dengan aktivitas militer. Prajurit Happy Holy Family dan bermacam mesin terus bergerak meski saat ini malam sudah melewati pertengahan.

Mbah Amut termenung di balkon ruangannya, sambil memperhatikan foto 2x3 Martha di KTP PUP. Mungkinkah besok mereka akan bertemu di pertempuran? Sebagai musuh? Si mbah geleng-geleng.

Sebagai murid spesial, Nwu berhasil menangkap kegelisahan guru besarnya. Ia menepuk pundak si mbah, lalu berinisiatif menawarkan jasa pijat.

Sambil menggebuki punggung si mbah, Nwu membuka obrolan random.

Tentang Martha, tentang dua totem yang ia temukan ketika keliling menara mencari garam, tentang ilmu pengetahuan, tentang Martha, tentang kehidupan sosial, dan tentang Martha.

Lalu, tentang kemungkinan-kemungkinan. Sebenarnya manusia seperti apa yang ada di dalam zirah robot-perak Saraph? Sampai ke ... kapan sekiranya mereka bisa kembali ke Vana, pulang, menjadi normal lagi kalau itu memungkinkan?

Gerimis mulai turun di luar sana.



***



Martha A. D.

Martha terbangun setelah mendengar rintik hujan mengetuk jendela ruangannya. Si nenek bangkit, lalu dimarahi oleh petugas NEST.

Kata petugas itu, Martha sempat menghilang pagi tadi, dan baru pulang menjelang sore.

Tentu saja, Martha tidak ingat tentang pertemuan dan perundingan para Reverier di reruntuhan kota purba. Tidak ingat juga kalau ia dibawa ke sana oleh domba putih—dombanya, yang kini sedang tertidur.

Si nenek hanya ingat kalau pagi tadi ia memutuskan untuk rebahan sebentar.

Petugas yang menjaganya otomatis mendesah, tidak mau memaksakan memori orang tua. Alih-alih, ia memberi informasi kalau penyerangan serempak akan dimulai segera.

Martha mengangguk siap. Ia sudah tak sabar ingin merebut minyak kayu putih dan KTP PUP-nya dari tangan Mbah Amut. Tak sabar juga untuk jadi pahlawan yang sanggup menyelamatkan banyak hal.



***



Merald

Cahaya fajar pertama terlihat dari jendela di ujung koridor. Kelabu dan basah. Di dalam selnya, Merald menyaksikan itu sambil bersenandung kecil.

Beberapa penjaga di sampingnya secara hati-hati melepas rantai yang membelenggu. Merald dibebaskan.

Gadis pemanggil naga itu diminta untuk menghadap Akari. Membahas posisinya nanti di peperangan.

Iya, dan menurut, adalah dua hal yang terus-menerus dijiwai Merald pagi ini. Baginya, tidak ada yang lebih indah dari hitungan mundur menuju kerusakan besar.

Setibanya Merald di ruangan Akari—ruangan tertinggi di kapal induk NEST—sorot kebencian dari beberapa anggota penting tak hentinya ia terima.

Beberapa penjaga mengelilingi pemimpin pemberontakan yang tampak pucat dan tak sehat. Tekanan final, tebak Merald.

Mereka lantas berbincang, mengonfirmasi ulang strategi.

Perang puncak tinggal beberapa jam lagi.



***



Asibikaashi

Hujan turun dengan stabil, membasahi Anatolia. Di pertengahan Distrik 1, Asibi berdiri di antara hujan itu sambil menyaksikan kapal evakuasi terakhir meninggalkan kota.

Dibantu domba putihnya, domba putih Namol, Myeengun, si Burung Hantu Tua, dan kelompok masyarakat yang peduli, ia berhasil mengamankan distrik ini. Membawa keluar penduduk yang tak ingin terlibat. Jauh dari radius perang final.

Para penduduk berterima kasih, lantas dengan senang hati bergantian menjawab berbagai pertanyaan Asibi seputar kehidupan di sekitar kompleks Menara.

Bahkan ada veteran mekanik yang menceritakan tentang zirah legendaris Saraph, dan jenis modifikasi terakhirnya yaitu penciptaan sepasang sayap emas—tidak bisa disempurnakan sampai saat ini, karena tidak diketahui apa materi yang dibutuhkan.

Dan soal hujan.

Hujan adalah mukjizat untuk dunia yang mati. Hujan juga sering disebut di dalam ramalan tua orakel Shangri-la. Hanya satu hari penuh selama satu tahun, hujan diprediksikan turun. Penduduk Anatolia menyebutnya Hari Hujan.

Hari yang kerap digunakan untuk menandai peristiwa-peristiwa penting.

Asibi memperhatikan hujan itu, merasakannya. Berharap Namol ada di sini, membantunya, menunggu akhirnya. Alien berambut oranye itu sebenarnya tidak perlu mati.

Adalah si Burung Hantu Tua yang merealisasi harapan tersebut. Secara tak sengaja, ia mendeteksi keberadaannya.

Namol ada di selatan, perbatasan distrik. Ia masih hidup, dan tidak jauh. Percaya tak percaya, Asibi serombongan segera bergegas.

Mereka berpapasan dengan ratusan armada kubu pemberontak yang melesat menuju kompleks Menara. Dua kapal induk NEST dan MO melayang di tengah-tengah formasinya.

Perang sudah dimulai.

Dentuman pertama dari pertempuran terdengar nyaring merayapi langit, beriringan dengan bertemunya kembali Asibi dan Namol di antara gedung-gedung raksasa.

Alien berambut oranye itu terengah-engah, tersenyum lemah.

"Kau berhasil selamat," kata Asibi, tersenyum. "Selamat!"

"Ya. Aku punya pemandu yang baik." Namol menegakkan tubuhnya, menelan ludah bercampur hujan. "Dan kurasa aku terlalu takut untuk menyerah."




Raven Hitam


Selesai menceritakan semuanya—tentang sepotong kisah masa lalu Hajima dan Kajima—Namol meminta Asibi untuk menarik kesimpulan.

Sambil berdiri di salah satu puncak gedung raksasa; menyaksikan bersama-sama puluhan formasi pertempuran dan ratusan lingkaran ledakan yang memecah-belah panorama hujan di sekitar kompleks Menara, Asibi bersedekap.

"Akari merupakan Raven Hitam yang ditakdirkan untuk menghentikan peperangan," Asibi memulai. "Tapi peperangan baru akan berhenti jika dunia itu sendiri dihancurkan. Dan fakta tentang enam sayapnya, serta selamatnya zaman Shangri-la dari penciptaan titik awal kehidupan ...."

Namol memucat. "Ja-jadi ... tugas terakhir Akari adalah penghancuran total?"

"Ya, Namol." Asibi mengepalkan kedua tangan. "Dan kita, keenam Reverier, mungkin adalah sayap kehancuran itu sendiri. Zaman memang tidak ditakdirkan mati di era Shangri-la, tapi sekarang. Ketika Akari, akhirnya, memiliki senjata finalnya."

"Tapi ... Akari hanya menginginkan perdamaian dan kebebasan," Namol berbisik lebih pada dirinya sendiri.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya lalu. "Masa kita harus pergi ke tempat Akari sekarang, memberitahukan soal takdirnya sebagai si penghancur? Berharap itu akan mengubah semuanya? Enggak. I-itu enggak mungkin. Kita enggak punya kubu. Kita cuma penonton yang menunggu semuanya dihancurkan."

Asibi tersenyum geli. "Hampir pintar, Namol. Kita pakai caramu!"

"Hah?" Alien paling goblok kebingungan. "Jadi kita benar-benar hanya akan menonton?"

"Bukan, Namol. Tapi yang bagian: kita datangi Akari, kemudian kita berharap."



***



Berangkatlah mereka ke medan perang.

Namol terbang, Asibi menunggangi domba putihnya—yang baru ia sadari ternyata mampu menumbuhkan sayap mini!

Sementara Myeengun bersama domba Namol berlari lewat jalur darat, dan menyusul terakhir si Burung Hantu Tua yang bergerak sembunyi-sembunyi seperti biasa.

Tiba di jantung peperangan, ledakan pertama menyambut mereka dari salah satu sisi menara. Puncaknya runtuh bersama puing-puing.

Domba Asibi meliuk di udara sambil mengembik pasrah. Namol berulang kali terempas gelombang ledakan tapi segera menstabilkan laju terbangnya dan terus maju mengiringi.

Target mereka adalah kapal induk NEST. Karena, kemungkinan terbesarnya, Akari berada di sana.

Asap hitam setelah kilatan cahaya. Rentetan peluru laser dari seratusan kapal tempur. Lebih banyak ledakan. Desau hujan dan gemuruh yang mengurung langit kelabu.

Namol kesepuluh kalinya menyumpahi keadaan kacau itu. Ia sangat yakin semuanya tidak akan bisa jadi lebih buruk. Dan ia harus salah.

Di antara kepungan beberapa menara, dan kapal-kapal yang tak hentinya mengebom, tampaklah sesosok raksasa tua yang sedang mengamuk.

Si nenek, salah satu alien! Namol mengingatnya.

Terbang semakin mendekat ke bawah kaki si nenek-raksasa, Namol melihat pertempuran yang dilakoni beberapa sosok familier.

Ada Bian sedang terbang memutari reruntuhan hangus, menghindari terjangan-terjangan naga. Seorang gadis yang menunggangi salah satu naga itu menjerit histeris—terlampau bahagia. Lalu ada manusia-naga tua, si mbah, tampaknya sedang sibuk menenangkan nenek-raksasa.

Domba Asibi terbang memepet Namol. Asibi langsung berujar cepat, "Kita harus memberitahukan pada Reverier lain soal identitas Akari yang sebenarnya!"

Namol setuju. Mengumpulkan enam Reverier untuk bertarung bersama di satu kubu. Mencegah kehancuran zaman.

Sayang, kenyataannya sangat bertolak belakang.

Tirai hujan terbelah ketika tinju nenek-raksasa menghunjam permukaan. Si mbah yang menjadi targetnya tipis saja terhindar dari maut. Namol yang terbang cukup dekat, sangat panik menghindari puing-puing yang terlempar, ia selamat dari itu tapi harus terempas rentetan gelombang ledakan dari langit yang lebih tinggi. Domba Asibi mendarat mencari perlindungan. Tak jauh di sebelah kirinya, Bian sempat mendorong salah satu naga ke bawah tinju si nenek, dan hasilnya sekarang naga itu berubah jadi daging remuk yang tak bergerak. Merald bersama sisa naganya meraung, mendarat di depan si Superman-pirang.

Keenam Reverier kembali menyadari keberadaan satu sama lain. Tercampur, bertempur.

Dan pada jeda ini—entah harus disambut bahagia atau ngeri—dari tempatnya terempas Namol melihat satu pertempuran spesifik di langit.

Pertempuran yang bahkan tak bisa ditangkap pergerakannya dengan mata biasa. Hanya tampak dua garis hitam dan putih yang bergerak zig-zag menembus menara-menara, meninggalkan ledakan besar dan getaran yang berdetak.

Momen beberapa detik itu berakhir dengan terjatuhnya garis putih ke pelataran menara tempat keenam Reverier berkumpul. Garis putih yang kini terlihat apa wujudnya: si robot-perak, Saraph.

Garis hitam turun menyusul, meretakkan pijakan. Garis hitam yang merupakan sosok Akari di dalam zirah robotnya.

Raven Hitam dan Putih berdiri di antara enam Reverier.



***



Kesempatan untuk berbicara dengan Akari akhirnya tiba. Namol terbang dari gedung tempatnya terempas.

Tapi Namol terlambat. Puluhan personel pemberontak lebih dulu turun dari beberapa kapal yang terbang rendah, mengamankan wilayah di sekitar pemimpin mereka.

Apa yang terjadi setelahnya sukses membuat Namol mematung di udara.

Tepat ketika anggota pemberontak membentuk barikade pelindung, Akari menembakinya. Membantai personelnya sendiri.

Kapal-kapal lain yang mencoba terbang rendah juga ditembaki sampai hancur.

Namol, memaksakan diri sampai melebih batas keberaniannya, memutuskan kembali melesat. Ke arah Akari, yang segera menoleh menyadari kehadirannya.

"Akari!" sapa Namol serak, masih di udara. "Dengarkan ak—"

Serentetan peluru kembali ditembakkan.

Namol mengumpat sambil bermanuver. Dalam putaran yang memualkan, ia melihat Asibi yang juga mencoba berkomunikasi dengan Akari.

Lalu Bian yang kembali bertempur dengan naga-naga, dan si mbah yang sibuk menghindari serangan-serangan kolosal nenek-raksasa.

Hujan peluru sukses dihindari, tapi sebaris laser meledak di depan wajah dan perut. Namol kembali terempas ke gedung yang sama.

Semacam rantai—yang berpendar hitam pekat—tampak menyilang di tubuhnya.

"A-apa? Apa ini?!"

Dan ternyata bukan hanya Namol saja. Secepat ketika ia berdiri untuk menyaksikan pertarungan, rantai hitam juga ditembakkan Akari dalam sebentuk peluru laser kepada lima Reverier lain.

Kelimanya kena telak.

Asibi terempas. Bian terjatuh dari langit. Merald dan naganya menabrak reruntuhan menara. Si nenek-raksasa dan si mbah terdorong kemudian mengaduh.

Rantai apa ini sebenarnya? tanya Namol, gemetar dan panik.

Akari di hadapannya sudah kembali meneruskan beradu serangan dengan Saraph. Pertarungan hitam dan putih yang berat sebelah.

Si robot-perak terbanting dan tertembak di detik yang sama. Dihantam, ditebas, dan diledakkan oleh persenjataan zirah robot Akari yang seolah telah diperkuat puluhan kali lipat.

Saraph selesai dibantai dalam hitungan beberapa detak jantung, lalu dibiarkan jatuh dan kalah bersama hujan.

Normalnya, Namol akan merasa senang atas kemenangan Raven Hitam. Karena perang seharusnya berakhir. Tapi sekarang, bahkan ia pun segera menyadarinya.

Skenario terburuk untuk akhir zaman ini baru saja dimulai.

"Hey, sebenarnya apa yang terjadi di luar sana?" tanya suara-suara di belakangnya. Beberapa embikkan terdengar mengiringi.



***



Myeengun, si Burung Hantu Tua, domba Namol, domba Bian, murid Mbah Amut—Nwu, dan domba si mbah. Itulah keberadaan-keberadaan yang muncul dari balik pintu di belakang Namol.

Untuk Nwu, dombanya si mbah, dan domba Bian, mereka memang diinstruksikan menunggu di gedung ini.

Si Burung Hantu Tua dan Myeengun lantas samar-samar mendeteksi keberadaan ketiganya. Mereka ke sini, berniat menitipkan domba Namol sebelum bergabung dengan Asibi di pertempuran.

"Jangan. Kalian semua tetaplah di sini," kata Namol, pelan. "Di luar sana berbahaya."

"Halah, gedung ini juga udah koma, you know?" sahut Nwu sambil berjalan memutari rombongan. Dua totem sebesar ember yang dikalungkan di lehernya bergemerencing gaduh. "Sama aja di mana juga," lanjutnya, "kalau waktunya mati ya mati."

Namol tercengang. Bukan karena ocehan Nwu. Tapi karena bentuk dua totem yang bergelantungan di leher pemuda pucat bertangan perban itu.

Bentuknya seperti peri kecil dan cacing merah muda yang mengenakan kaus kaki.

Sialnya, perbincangan tak sempat dilanjutkan.

Sebuah dentuman yang terlampau menulikan, merambat masuk ke seisi ruangan. Semuanya mengerang.

Namol segera berlari ke ambang lubang di sudut gedung, melihat apa yang terjadi. Ia langsung menelan ludah.

Si nenek-raksasa ditumbangkan oleh Akari. Bukan hanya itu saja. Akari saat ini seolah sedang mengisap seluruh keberadaan si nenek, menariknya menggunakan rantai hitam yang terkoneksi. Satu detik, wujud orang tua itu sudah lenyap total.

Akari berdiri semakin tegak. Zirah robotnya mendapatkan ornamen baru. Satu sayap hitam membara, menempel di punggung kiri.

Keenam sayap Raven Hitam ...! Namol merinding. Matanya segera liar mencari keberadaan Reverier lain, berharap mereka mampu menghindari tarikan rantai Akari.

Harapan itu pupus dalam hitungan setengah menit penuh ketegangan.

Mbah Amut, yang tampak tak terima si nenek Martha dilenyapkan begitu saja, maju secepatnya menerjang Akari. Semburan api selayaknya arus sungai ditembakkan, dan ditepis oleh sapuan sayap hitam.

Api meledak di langit, mengacaukan perang yang masih berkecamuk. Satu kedip mata kemudian, si mbah sudah ditarik rantai, diisap, dan diubah menjadi sayap kedua.

Nwu mengamuk tak terima akan nasib yang menimpa guru besarnya. Ia melompat keluar dari gedung. Berlari membabi-buta dan berhasil disingkirkan dengan satu dorongan.

Akari mengicar Asibi sekarang.

Si spirit-wanita segera berusaha berlari dan menghindar. Myeengun menggeram di samping Namol. Serigala itu lantas secepatnya turun berusaha membantu. Tapi tetap terlambat.

Merald lebih dulu menukik dari langit bersama naga birunya. Mendarat di depan Asibi, menghalangi jalur larinya. Kemudian Merald berteriak memerintah. Sekejap saja, dengan satu sabetan ekor naga biru, Asibi terlempar langsung ke depan sosok Akari.

Tanpa sempat berkedip, spirit-wanita itu sudah diisap dan dijadikan sayap ketiga. Myeengun melolong terluka.

Merald tertawa selayaknya maniak. Keempat naga yang tersisa kini diperintahkan untuk secepatnya menjatuhkan Akari. Dan secepat itu pula keempat naganya dilubangi dengan ratusan peluru hitam. Naga-naga tewas menyerpih. Tersisa hanya Merald, sekarat.

Akari langsung melempar rantai ke arahnya. Dan gagal.

Bian melesat menepis rantai itu. Walau terluka dan kehabisan napas, ia berdiri tegak di depan Merald.

Saat ini amarah murni jelas terpancar dari kedua mata Bian. Dan Namol, yang melihatnya, mengerti.

Kekacauan ini, kehancuran tanpa ampun ini, bagi sosok seperti Bian atau siapa saja yang memiliki nurani, sama saja dengan perwujudan suatu hal yang jauh lebih kejam dari neraka. Karena bahkan neraka memiliki janji manis di akhir penyiksaannya.

Jangan biarkan dia memiliki sayap-sayapnya! Hentikan sebelum terlambat!

Kedua mata Namol melebar ketika suara familier itu—suara Kajima—kembali terdengar di kepalanya.

"K-kau sudah kembali?" tanya Namol. "Maaf, apa kau sudah bisa keluar?"

Cegah dulu Raven Hitam, amankan sayap-sayap!

"Y-ya, Pak!" Namol kembali berfokus pada pertempuran.

Dan yang langsung ia saksikan adalah dua kekalahan sekaligus.

Bian tertusuk pedang besar Akari, yang juga menembus sampai ke belakang. Ke tempat Merald berdiri sempoyongan. Seperti satai, keduanya diisap. Dijadikan sayap keempat dan kelima.

Lari! Kau adalah sayap terakhir. LARI!

Namol menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah, lalu balik badan. Masuk lebih dalam ke reruntuhan gedung bersama tiga domba. Dombanya, domba si mbah, dan domba Bian.

Sementara itu di langit, badai partikel Kajima tiba. Bergabung bersama formasi peperangan yang masih berlangsung. Mereka yang belum menyadari bahwa arah pertempuran ini sudah berubah, memang hanya bisa meneruskan perintah-perintah lama.

Akari melesat seperti kilat hitam ke tengah-tengah itu semua. Lima sayap mengepak di punggung. Kelimanya lalu menguncup perlahan.

Awalnya, hanya setitik bola energi bercahaya yang tampak di puncak lima sayap. Tapi seiring detik dan atmosfer yang berdetak, setitik itu berubah menjadi selayaknya matahari kecil.

Akari menembakkan luapan energinya ke sekeliling Distrik 1.

Mereka yang ada di sana seolah baru mengerti dan diperkenalkan dengan definisi kehancuran. Energi yang ditembakkan Akari meledakkan cahaya putih-panas, membutakan, melumpuhkan, disusul gempa yang mengubah bentuk daratan di sekitarnya.

Tidak ada lagi Distrik 1 setelah serangan itu berhenti berdentum. Hanya ada gelimangan jasad serupa manusia-manusia bara, puing peperangan, reruntuhan gedung, sisa patahan-patahan menara, dan debu hijau yang menutupi sebagian langit kelabu.

Hujan masih turun demi menyaksikan semua itu.





Raven Putih


Keluarkan aku sekarang.

Pada celah kecil yang tercipta di antara puing-puing, Namol memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Semacam gas hijau yang segera termaterialisasi menjadi sesosok familier. Pemuda tampan—yang sangat mirip dengan Kilat Hitam—berbusana panglima kerajaan kuno.

Sosok masa lalu bernama Kajima.

Kajima menghela napas. Cemas sekaligus senang melihat Namol yang berdiri gemetar di hadapannya.

Bagaimanapun, berkat kemampuan Hellind Namol—antimateri dan memakan elemen—Kajima bisa mewarisi pengetahuannya tentang masa lalu, kemudian kini bebas untuk menyelesaikan ramalan.

"Maaf, tapi apa enggak bisa lebih terlambat lagi datangnya?" ketus Namol. "Kau menghilang setelah memanduku ke perbatasan tempat ini, dan baru kembali sekarang." Namol menelan ludah. "Setelah Akari mengisap lima alien!"

Kajima tertawa pelan. "Tidak sedikit tenaga yang kugunakan ketika menjelaskan padamu tentang semua kisah masa lalu. Maaf kalau aku terlambat pulih."

Namol membuang napas fruftrasinya. "Baiklah, sudahlah. Lupakan. Sekarang apa?"

"Pertemukan aku dengan Hajima," kata Kajima.

"Ha-hajima?"

"Maksudku Saraph."

Melihat ekspresi bingung Namol, Kajima melanjutkan. "Raven Putih harus kembali bangkit. Dia harus memperbaiki semua kekacauan ini."

"Saraph sudah kalah," bisik Namol was-was. "Dan aku membencinya karena dia sudah membunuh dua keluargaku."

"Maafkan dia untuk saat ini. Kumohon. Dan, ya, dia sudah kalah. Tapi kau belum." Kajima tersenyum. "Ayo. Aku punya ide untuk mengalihkan perhatian Akari."

"Apa?"

"Gunakan mereka." Kajima menunjuk sesuatu, tak jauh di belakang Namol.

Ketika Namol menoleh—

"Yho," sapa Nwu, lemah.

—ia nyaris menjerit.

"Kau?! Oh—"

Dan ternyata bukan hanya Nwu saja. Di celah-celah puing yang berdekatan dengan tempatnya bersembunyi, ada Myeengun juga, lalu si Burung Hantu Tua.

"Kenapa kalian bisa ada di sini?" Namol bertanya seperti baru saja tercekik.

"Karena hotel bintang lima sudah di-booking api ledakan! Bodoh, memangnya di mana lagi kami bisa sembunyi? McDonald?" Myeengun menggeram lemah.

Namol menunduk. "Ma-maaf."

"Baiklah." Kajima mengambil alih. "Langsung ke inti permasalahan. Kalian semua memiliki sesuatu yang berharga, yang diambil oleh Akari. Aku bisa membantu kalian untuk merebutnya kembali. Pertama, tentang pengalih perhatian. Ketiga domba yang ada di sini harus ...."

"Pssst," desis Nwu pada Namol. "Dia siapa, sih? Karakter tambahan?"

Namol berbisik ragu, "Namanya Kajima. Tukang taktik dari Shangri-la."



***



Tiga domba mengembik tak tahu malu sambil menerobos puing-puing. Embikkan yang mampu mengalahkan suara tetesan hujan ke sampah metal, angin di antara reruntuhan, dan gemuruh langit.

Akari—satu-satunya keberadaan yang tersisa di langit—segera mendapatkan posisi ketiga domba itu. Tanpa peringatan, ia mulai menembakinya.

Tiga domba berlarian menghindar.

Tepat ketika Akari menukik, Myeengun muncul di arah berlawanan. Serigala putih itu melolong meminta perhatian. Akari menoleh.

Belum sempat si Raven Hitam mengambil keputusan untuk mengejar yang mana, ia sudah kembali dikejutkan dengan kehadiran pengalih ketiga.

Pemuda pucat bertangan perban, Nwu, melompat-lompat di arah yang lain.

Serempak lalu, ketiganya berlari menjauh. Akari memutuskan untuk mengejar si pemuda.

Sementara itu, berpuluh meter dari lokasi pengalih. Si Burung Hantu Tua berhasil memainkan perannya. Terbang diam-diam, mencari keberadaan Saraph, dan ketemu.

Kajima merengkuh leher si robot-perak, mencari tanda kehidupan. Namol bersimpuh di sampingnya sambil menahan keinginan kuat untuk merusak rongsokan metal itu lebih jauh.

"Hajima? Kau mendengarku?" tanya Kajima. "Ini aku."

Kepala berparuh Saraph bergeser sesenti, menatap Kajima.

"Siapa?" tanyanya. Statis, dan lemah. "Pergilah. Biarkan aku gugur dengan tenang. Ratusan tahun mempertahankan keteraturan ... perdamaian hakiki. Cukup."

"Hajima, jangan sombong," kata Kajima sambil tersenyum. "Ini aku. Kau mengenali suaraku. Harus."

Saraph terdiam nyaris lima detik penuh. Lalu zirah peraknya bergetar tiba-tiba. Namol mundur dan terjatuh, mengira Saraph akan menyerang. Tapi tidak.

Getaran itu, si robot-perak seolah sedang menangis.

"Aku tidak mengenalmu," Saraph menggumam. "Tapi, ya. Ya! Aku tahu suara itu. Tidak. Aku menantikan suara itu. Ini tidak masuk akal. Kenapa—"

Kajima memotong.

Suaranya pecah, tubuhnya sedikit menggigil. "Di masa lalu, kau dan aku adalah saudara kembar. Satu-dua insiden terjadi, dan di sinilah kita sekarang. Dengarkan aku, Hajima—Saraph ... apa kau memang ingin berakhir seperti ini?"

"Apa maksudmu?"

Kajima menaruh sebelah tangannya di inti energi zirah robot Saraph. "Kita masih bisa menang melawan Akari. Dan ketahuilah, ini sudah bukan peperangan memperebutkan kekuasaan. Ini selalu lebih besar dari itu."

Kali ini Saraph terlihat ragu. "Mustahil," dengusnya. "Kemampuan Raven Hitam telah jauh melampaui perhitunganku. Dia tak terkalahkan."

"Aku setuju," kata Kajima, tenang. "Dia tidak bisa kaukalahkan. Hanya Raven Putih yang bisa."

Kajima berdiri, tubuhnya berpendar kehijauan di antara derai hujan. "Hajima," tegasnya, "kita bukan malaikat bersayap emas dalam ramalan. Kita hanya sepasang sayapnya. Sesuatu yang lebih besar dari kita semua, telah mengutus kita ke sini, demi hari ini."

Saraph tertawa pelan. "Sayap emas? Maksudmu, modifikasi akhir zirah legendaris ini? Yang sampai sekarang tidak diketahui apa materi penyusunn—" Suara lemah Saraph menghilang. Zirahnya bergetar tak terkendali.

"Hajima?!"

"Oh! Semua teori omong kosongmu," si robot-perak menggeram susah payah. Tapi entah kenapa, Namol mendapat kesan yang sangat kuat kalau saat ini Saraph sedang tersenyum. "Apa pun itu ... nyatakanlah."

Lamat-lamat, Kajima tertawa sambil menyeka kedua mata.

"Nyatakanlah!" Saraph mengulang samar. "Menangkan perang ini, makhluk asing. Dan temui aku secepatnya. Kau berutang banyak penjelasan. Ya ... ya. Ini cukup. Benar-benar hujan yang menjengkelkan—"

Saraph diam dan tak pernah bersuara lagi. Zirahnya terbuka, memperlihatkan kekosongan.

Kajima segera beralih ke si alien berambut oranye yang tampak kebingungan.

"Aku mendengar beberapa ledakan dari lokasi pengalih," ujarnya. "Mereka sudah terlalu lama menahan monster itu. Namol, masuklah ke dalam robot-perak ini."

"Ta-tapi—"

Kajima mendorong Namol masuk ke dalam zirah robot, kemudian menguncinya di sana.

"Selama ini, aku hidup sebagai partikel ciptaannya. Mengembara, dan merusak. Tapi aku juga mempelajari semuanya. Saraph selalu lebih kuat ketika berdekatan denganku." Kajima tersenyum, tubuhnya semakin memudar. "Dia sering menggunakanku sebagai salah satu persenjataannya. Tapi baru kali ini, Namol, dia benar-benar menerimanya tanpa ragu. Menerima seutuhnya. Keberadaanku. Meski sampai akhir dia tidak mengingat apa-apa—"

"Berjuanglah, Namol." Kajima menghilang, menjadi debu hijau yang terhirup masuk ke inti energi zirah robot Saraph. "Manfaatkan sayap emas yang kami ciptakan. Raven Putih tidak pernah terjatuh, muncul, di zamanku ... karena Raven Putih mungkin memang tidak pernah ada. Dia tidak diramalkan. Dia bisa menjadi siapa saja."





Hari Itu


Jika hidup selalu diiringi musik latar yang menyesuaikan, saat ini repertoar yang mengalun heroik-melankolis pasti sedang berkumandang menggetarkan di sekitar Namol. Satu-satunya alien yang belum dijadikan sayap, justru mendapatkan sayapnya sendiri.

Hal-hal yang ditakuti Namol—soal pengendalian sampai ke detail cara pengoperasian zirah robot futuristik ini—berhasil dilampaui dengan napas lega.

Namol seperti bergerak di dalam tubuhnya sendiri. Hanya saja dengan kekuatan dan pengetahuan yang diamplifikasi ratusan kali lipat.

Si alien melesat ke langit seperti meteor putih. Menembus hujan. Dari atas, ia melihat ke bawah.

Target segera dikunci. Lokasi keberadaan Myeengun, Nwu, dan enam domba (ya, ada tiga adisional makhluk berbulu yang membuat Namol sedikit bingung). Akari sedang menembaki rombongan pengalih itu dengan rentetan misil.

Semua pendorong roket—dan kedua sayap emasnya—beroperasi penuh ketika Namol memutuskan untuk menukik. Turun sambil meninggalkan beberapa dentuman di langit, mendarat tepat di hadapan Akari. Puing-puing beterbangan menerima kehadirannya.

Rombongan pengalih tercengang. Keenam domba mengembik bersamaan.

"Maaf terlambat," kata Namol. Suaranya bulat, mencoba terdengar keren. "Tenanglah, ada aku sekarang."

Tanpa a-b-c-d Akari menembaknya dengan dua misil. Kena telak. Namol meledak di tempat.



***



"Si bodoh itu!" geram Myeengun pada kobaran api ledakan yang mengurung Namol.

Nwu menimpali, "Duh, kebanyakan gaya!"

"Ma-maaf!" Namol merespons, tergagap ngeri. Seketika, api ledakan terbelah oleh kepakkan dua sayap emasnya. Namol menegakkan tubuh, memberi serangan balasan pada Akari.

Puluhan cip disebar dan bertransformasi secara magnetis menjadi android-android hibrida (manusia burung).

"Baiklah," lanjutnya pada tim pengalih. "Kalian menjauhlah."

Myeengun dan Nwu mengangguk paham. Mereka langsung pergi sambil menggembalakan keenam domba ke jarak teraman.

Di saat yang sama, Akari selesai menghabisi android-android hibrida.

"Dengarkan aku, Ak—"

Akari melesat ke depan Namol, pedang besarnya terhunus. Namol bereaksi cepat, mengaktifkan mekanisme pedang kembar dari kedua tangan.

Tebasan mereka berbenturan. Menciptakan ledakan dan getaran yang memuntahkan kedua Raven itu puluhan meter ke belakang. Masing-masing membersihkan segaris puing ketika terseret.

Tidak memberi jeda, Akari melompat ke udara. Menyerang Namol menggunakan satu sayap. Sayap yang berubah menjadi semacam cetakan hitam sesosok Asibi.

Asibi membentangkan kedua tangan, matanya berpendar. Seekor burung raksasa berkepala lima, yang memiliki ratusan ekor berupa ular-ular, muncul begitu saja di atasnya. Terbang dengan sangat cepat ke arah Namol.

Si alien sontak menjerit ketakutan sambil menembaki makhluk mimpi buruk itu menggunakan segenap peluru yang ada. Tapi tidak ada yang terjadi. Burung itu pun hanya terbang menembusnya, kemudian menghilang.

Ilusi? pikir Namol. Jantungnya masih memompa cepat. Tunggu, di mana Akari?!

Ketika Namol menoleh ke arah yang tepat, Akari di langit sudah menyiapkan serangan lain. Tiga sayap sekaligus, telah membentuk cetak hitam tiga sosok Reverier. Mbah Amut, Martha, dan Merald.

Cetak hitam Mbah Amut menyemburkan arus api yang berdesis. Martha berubah menjadi raksasa kemudian menembakkan segaris laser terang membutakan. Merald membebaskan banyak sekali serangan berelemen yang tercampur menjadi satu gelombang.

Kali ini, semua itu jelas bukan ilusi. Namol menyadarinya.

Ledakan besar yang terus memancarkan pusaran hawa panas, dan cerukan besar yang tak terlihat dasarnya, adalah hasil akhir ketika serangan tiga sayap Akari selesai mengamuk.

Namol melayang di tengah cerukan hitam itu. Kedua sayap emasnya digunakan sebagai perisai. Beberapa helai bulunya jatuh dan terpecah.

Hening sesaat.

Untuk Namol, inilah jawabannya. Akari sudah tidak bisa diraih dengan kata-kata. Entitas di hadapannya adalah Raven Hitam. Sesuatu yang ditakdirkan untuk menghancurkan zaman.

Dan tuganya, sebagai Raven Putih, untuk menyeimbangi kehancuran itu dengan penyelamatan.



***



Resolusi sempurna untuk tetap hidup dan bisa pulang ke rumah, menjadikan Namol sepenuh-penuhnya sosok ramalan yang bertarung di atas nama Raven Putih.

Kedua Raven meledakkan kekuatan penuh.

Inti energi di masing-masing zirah mereka berdesis bersemangat.

Dua garis dua warna menarikan tarian kehancuran di langit dan daratan. Hitam menembakkan ratusan persenjataan. Putih menahan semuanya. Alam-raya menjerit menyaksikan dalam diam.

Akari menembakkan sepuluh bola energi serupa matahari kecil, Namol menepisnya ke berbagai arah. Daratan di luar Distrik 1 tak berhenti diubah wajahnya oleh gedoran ledakan yang berkelanjutan. Langit dan hujan terbelah oleh embusan gelombang penghancur yang mampu mencabik berlian sekalipun.

Zirah hitam atau putih terkikis bombardir serangan satu sama lain. Hantaman telak Akari meremukkan sebelah sayap Namol. Namol membalas menebas satu kaki Akari.

Keduanya mundur mengambil jarak, melempar kilatan energi yang bertabrakan. Tanpa jeda, sangat cepat. Tumbukan-tumbukan yang meretakkan dimensi.

Namol terempas lagi ke sudut daratan. Bangkit lagi. Menahan lagi. Dari langit Akari menerjang lagi. Tak pernah berhenti menyerang. Menambah kerusakan kolateral.

Apakah sesuatu yang dilahirkan untuk menghancurkan, tapi lalu dia mati dan dihidupkan menjadi sosok yang menyukai perdamaian, ketika akhirnya dia kembali pulang ke jati dirinya semula ... menghancurkan segalanya. Apakah dia akan menangis menyesalinya?

Namol dan Akari mengakumulasikan serangan final.

Akari, bukankah hidup di satu garis yang telah ditakdirkan benar-benar menyebalkan? Aku bukan siapa-siapa untukmu, terlebih untuk tempat ini. Tapi aku akan membebaskanmu, memberimu perdamaian itu.

Di langit, kedua Raven yang sudah nyaris hancur kembali bertabrakan secara langsung. Hitam habis menyerpih, Putih menghilang di dalam cahaya. Inti energi mereka melebur menjadi aurora ledakan tanpa suara.

Kelak, mereka yang selamat akan mengingat dan mengenang momentum ini di satu hari tertentu.

Bisunya dentuman akhir Perang Raven yang menggetarkan seantero Anatolia.





Epilog pada Epitaf


"Namol?"

"A-akari?!"

Namol bangkit dari rebahnya. Sekujur tubuhnya serasa remuk, wajah kurang tampannya berdarah-darah. Setelah serangan terakhir selesai, dan kedua zirah Raven hancur, di sinilah mereka sekarang. Di puncak bukit berbatu, di tengah padang pasir yang dipenuhi kobaran api.

"Aku mendengarmu," Akari berbisik, bersandar di pundak Namol. "Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku menghancurkan kapal induk NEST. Mencari Saraph sendirian. Aku gila, Namol."

"Setuju," kata Namol pelan.

"Semua ingatan masa lalu ... takdirku." Akari mencoba berdiri. Ketika gadis berambut pendek itu nyaris jatuh, Namol memapahnya. "Apakah pemberontak menang, Namol?"

"Y-ya." Namol berbohong, dan payah. "Aku sempat melihat kapal-kapal mereka menjatuhkan puluhan armada Happy Holy Family. Mereka semua gugur setelah menang. Errr, jangan khawatir Akari. Semua akan baik-baik saja."

Tapi bahkan Namol pun tahu kata-kata itu hanya sekadar penghibur kosong. Akari tidak baik-baik saja. Tubuhnya mulai mengabur. Keberadaannya sebagai penanda akhir zaman, selesai setelah inti energi yang ia salurkan ke zirah hitamnya habis.

"Aku ingin sekali melihat kebunku." Akari menangis. "Untuk terakhir kalinya."

Namol memperhatikan lautan api di padang pasir sekitarnya, dan hujan yang terus berjatuhan dari langit kelabu.

"Akari," ucapnya, senang, "kita sedang berada di tengah-tengah kebunmu saat ini."

Akari memperhatikan apa yang Namol perhatikan. Kemudian ia mengerti dan tersenyum. Sedikit lagi, keberadaan Akari akan benar-benar menghilang.

Namol teringat nasib lima Reverier lain. Mereka masih menyatu dengan Akari. Apa mereka baik-baik saja?

Seolah bisa membaca apa yang mengganggu pikiran Namol, Akari berbisik, "Lima alien lain baik-baik saja saat ini. Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka setelah aku menghilang."

Kemungkinan memalukan tebersit di otak kecil Namol. Darah berkumpul di pipinya.

"Akari, aku sepertinya bisa menyelamatkan mereka. Tapi, um, ini akan sedikit aneh."

"Apa?"

Namol mengatakan jawabannya dalam satu kalimat cepat, "Aku-harus-menarik-mereka-langsung-dari-mulutmu!"

Tawa yang panjang dan manis keluar dari mulut Akari. Tapi itu saja. Tidak ada kalimat penolakan. Dan memang hanya itu saja, tidak ada kata-kata perpisahan lain yang keluar dari mulut Akari, bahkan setelah Namol selesai menciumnya.

Akari menghilang dan tak pernah terlihat lagi.



***



Namol terbang sendirian, kembali ke reruntuhan Distrik 1.

Alien itu memuntahkan lima bola hitam yang segera mewujud menjadi kelima Reverier. Semuanya tak sadarkan diri.

Myeengun menghampiri Asibi. Nwu menghampiri si mbah. Dan keenam domba kembali pada partnernya masing-masing.

Ada kekosongan yang tak bisa ditambal dengan apa pun, yang Namol rasakan saat ini. Melihat semuanya kembali saling temu. Reverier dan teman-temannya. Sementara ia sendirian. Di mana Puppis dan Heppow sekarang?

Domba Namol mengembik. Seketika, sebuah portal tercipta.

Tapi sebelum Namol sempat melangkah pulang, sesuatu membentur kepalanya. Lalu sesuatu itu jatuh di bawah kakinya. Dua totem berbentuk peri dan cacing berkaus kaki. Namol memungutnya kemudian menoleh, mendapati Nwu yang sedang tersenyum.

"Terima kasih udah nyelamatin si Mbah!" serunya. "Diterima, ya, hadiahnya. Tadi situ melototin dua benda itu kayak mau nelen saya soalnya. Ha-ha!"

Namol mengangguk.

Sambil berjalan melewati portal, alien berambut oranye itu tak hentinya berharap. Semoga kedua benda kecil ini memang mereka.

Semoga ia bisa memperbaikinya.







Dua

Selesai

>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 09 - NAMOL NIHILO | SATU
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 24 - NAMOL NIHILO | TIGA

12 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : A
    Overall character usage : A
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Saya suka banget struktur cerita entri ini. Dimulai dari pairing 2-2-2, terus ketemu semua berenam, pisah lagi di 3 kubu berbeda, dan terakhir kumpul lagi, plus Akari dan Saraph, buat perundingan terbuka. Mainan karakternya lumayan asik, kayak ngeliat bola yang terus dioper" dari satu pemain ke pemain lainnya.

    Sebagai sesama yang make setting ini, beda di antara entri kita lumayan kentara, terutama karena suasana chaoticnya lebih kegambar di sini, belum lagi ditambah bikin lore original Kajima-Hajima. Sub-OC kayak Heppow, Puppis, Nwu dan Myeengun juga bagusnya ga berasa sekedar tempelan dan berasa punya peran minimal ke ceritanya.

    Keluhan saya cuma satu, entah faktor lompat" pov yang intens atau cramming banyak poin dalem keterbatasan kata ini, tapi jujur saya sempet agak lelah bacanya dari tengah menjelang akhir. Masih cukup bisa dinikmati dan selesai sekali jalan, tapi sedikit lebih berat dari entri yang udah" aja.

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  2. Setelah baca entri ini, kesan yg saya dapet itu ... yea, plotnya ajib. Terutama cerita Hajima-Kajima, Akari, sampe Namol yg jadi raven putih. Eww, mbikin lore sendiri itu sesuatu yg biasanya sy abaikan. :')

    Yha soal narasi, ini entah kenapa agak kurang bisa dinikmati. Enakan prelimnya. Rasanya terlalu cepat penjelasannya dan sebuah adegan/battle itu tau" selesai begitu saja. Maklum sih begitu aj udah panjang sekali, apalagi kalo agak dislow paced ._.

    Dan karena narasinya yg cepet itu, karakter"nya walau cukup banyak kena ekspos bahkan secara rapi, tp ngga begitu kena. Kayak sifat" mereka keciri sih, cuma kayak masih permukaannya saja. @_@

    Saya cuma nemu tiga typo saja, tp lupa #abaikan

    Tp yha, saya salut banget ini entri bisa bawa banyak oc dgn porsi yg hampir merata bahkan sub ocnya (dan bukan sub oc sendiri doang tp plus punya orang juga). Guud~~ Dan yg paling bikin uwaw-uwaw adalah cerita originalnya itu.

    Sehingga saia titip 9.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  3. Entry yang ramai, haha.

    Setelah melihat cara sampean menyajikan dunia di Prelim, sebenarnya saya expect more. Tapi latar di sini terasa agak fuzzy, kurang terbangun. Biasanya mungkin saya nggak membahas soal penyajian latar, tapi karena sebelumnya saya baca latar sama di ceritanya Sam - yang dibangun dengan superb - jadinya agak kerasa.

    Saya juga bacanya nggak lompat-lompat, tapi ada beberapa bagian yang terasa kena potong. Kaya karakter yang tiba-tiba ditangkap off screen, meloloskan diri off screen, dan sejenisnya. APa ini cerita tadinya lebih panjang tapi dipangkas untuk memenuhi kuota?

    Tapi narasinya rapi dan enak diikuti. Tokoh-tokohnya yang sangat banyak sekali bisa disajikan dengan cukup baik. Pertempurannya pun terasa oke. Cerita ini menurut saya layak untuk mendapat nilai 8/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  4. Fata - Po

    - secara plot, masing2 karakter di entri ini udah punya peran yg saling mendukung dan membantu satu sama lain utk mencapai tujuan di stage ini yaitu menyelesaikan konflik

    - legenda malaikat dan sayapnya itu jadi latar belakang cerita yg sangat baik, karena jadi ada nuansa mitos dan magis di ceritanya

    - Tapi masing2 karakter nggak dapet kesempatan untuk bersinar karena mereka kayak cuma nimbrung aja dalam plot tapi seolah nggak punya motif masing2. Kecuali Asibi yg cukup kena spotlite pas ngusulin kubu netral. Dan Merald yg keliatan psychonya dikit2. Kalau kyk Martha kurang bersinar kocaknya, Namol sendiri pun kurang jelas sebetulnya sifat apa yg mau ditonjolkan darinya. Tapi Asibi pun kurang digerakkan untuk merealisasikan misinya itu pas klimaks, jadi kerasa nanggung

    - untuk konsep yg bagus yaitu perwujudan ramalan malaikat, eksekusi ceritanya kurang buildup. Latar belakang atau emosi perjuangan karakter, atau kejadian2 yg bisa jadi penjelasan memukau, di sini diringkas jadi narasi yang mengurangi impact

    - Akari keren soalnya jadi main villain yg bisa nembakin beam2 gitu, tapi ya itu. OC lainnya jadi kyk penghiasnya Akari aja pas di klimaks

    - btw tubuh antimateri tu setauku bukannya kayak hantu yg gak bisa disentuh, krn klo secara sains atau pseudosains, antimateri itu kan sesuatu yg bisa memusnahkan materi

    - Pertempuran akhirnya puitis dan manis

    Nilai dariku 8

    BalasHapus
  5. saya suka ini. dalam keterbatasan kata semua karakter dapat peran yang merata dan konflik dalam cerita bisa tergambar dengan jelas.

    alurnya juga enak diikuti. perpindahan setting dari tempat2 beda bisa dialirkan menjadi satu titik dengan lancar. sepertinya saya juga harus belajar dari sini.

    10

    BalasHapus
  6. Waduh, ujang Namol meuni édan ngalakon téh, euy.

    Mbah cuma bisa mangap-mangap aja baca lakonnya Namol yang satu ini.

    Soal pembagian karakter udah lumayan oké lah. Banyak kebagi, tapi pada akhirnya jadi nyatu lagi. Walau fokus lakon mémang kebagi, tapi bagi yang bisa ngikutin ini harusnya udah pas sih pembagian porsi sepotlét-nya. Fokus lakonnya juga lancar.

    Penjiwaan tiap karakter udah dapet, meski Nék Martha kurang peran sedikit sama Namolnya sendiri masih agak datar. Sedikit, sih. Ketutupan ama méwahnya cerita ama dialog-dialognya yang mumpuni.

    Tapi dari semua pembahasan ini, yang paling ditandai sama mbah adalah penggarapan cerita latarnya yang disulap jadi vérsi Namol sendiri. Anatolia ama Shangri-la, Hajima-Kajima, dan Akari yang jadi malaikat penghancurnya, waduh. Udah paling mantep, dah. Padahal, sebenernya, penulis yang nyumbang latar niatannya si Saraph ini yang jadi Jahat. Tapi bisa dibalik sama jang Namol. Hadé pisan.


    Mbah kasih nilai 10 buat lakon Namol. Bukan usaha ka-ka-én ya, ini murni karena mbah suka sama penggarapan latar yang disajiin Namol.

    TTD,

    Mbah Amut

    BalasHapus
  7. Loads and loads of character. Wah aku pusing.

    Pengulangan nama yg berlebihan jujur jadi turn off buatku. Mungkin ada baiknya untuk mengganti nama dengan deskripsi singkat kayak "Wanita berambut keriting", "Pria botak", atau semacamnya, untuk memperjelas karakter pada pembaca awam.


    Aku sama sekali nggak dapet gambaran bagaimana rupa Namol, dan semua OC (dan juga sub OC) lainnya. Jadi sampai akhir, aku nyaris nggak bisa ngeliat apa yg terjadi di entry.

    Selain itu, aku nggak menemukan sesuatu yg jadi ciri khas seorang karakter di sini. Spotlight tercecar kemana2 sehingga nggak ngasi ruang utk berkembang. Ada 6 karakter, belum lagi sub-OC, belum lagi OC tamu. Kurasa akan lebih baik apabila pake 1 POV utama, kayak entrynya Anita.

    Dan aku rasa bakal lebih keren banget klo kehancuran di sini digambarkan dari 1st POVnya Namol. It would be sooo epic, and i wanna know what inside his head, too.

    Konflik yg terjadi juga rasanya nggak terlalu melibatkan Reveriers (kecuali di bagian akhirnya, karena mereka semua jadi plot device). Bagian akhirnya aja yg bisa aku nikmati.

    World buildingnya keren, lore-nya diperdalam banget. Sayang karakter2nya kurang depth dan terkesan ngelakuin hal2 nggak penting yg makan kuota kata cukup banyak. Dialognya juga boros. Misal kayak ini :

    "Bertahanlah, tunggu di sini," kata Bian sambil memegangi pundak wanita malang di depannya.

    Aku rasa bisa disingkat, jadi kayak :

    Bian memegang bahu wanita malang di hadapannya dan memintanya untuk menunggu sejenak.

    Aku rasa bakal lebih bisa dinikmati (buatku) kalau aja nggak semua di-dialog-in. Selain boros kata, terlalu banyak dialog juga distracting. Belum lagi robot2 kroco yg juga kebagian dialog dinamonya mau copot. Itu trivial banget kan, dan nggak perlu2 banget karena nggak ada kaitannya dengan plot penting.

    Well, maaf klo nilainya subyektif. I tried to enjoy, but i couldnt :(
    Dariku 6/10
    +1 karena udah bikin lore yg keren.
    7/10

    ~FaNa

    BalasHapus
  8. nenek-nenek dikira hologram malware, terus sok akrab sama naga encok, wkwkwkwk

    Entry ini mengingatkan saya sama entry-nya Sam. Pertama, karena ada di grup dan settingan yang sama, ke dua... plot yang mencar, kemudian ngegabung di tengah-tengah itu terasa familiar (dalam artian bagus)
    Tapi minusnya, saya ngerasa kurang "Attach" sama mereka. Gak ada peran yang cukup menonjol, untuk bisa membekas di benak saya.

    btw, Akari jadi orang jahat.
    Q_Q

    Tapi saya agak kurang bisa ngikutin gimana author dengan gampangnya mengubah sudut pandang penceritaan dari satu karakter ke karakter lain, dalam pace yang lumayan cepat.

    Namol jadi gagak kena bleaching ._.

    Banyak karakter yang numpuk, serta pemberian spotlight yang "diusahakan" setara antar satu sama lain, tentu berakibat pada membengkaknya jumlah kata. Ini saya bisa pahami, tapi IMHO... lebih baik fokus ke si Namol aja dah.

    Tapi ngeliat banyaknya point yang disampaikan di sini, rasanya emang plotnya sendiri cukup kompleks untuk bisa disajikan dalam batasan 15k kata. Ini udah kayak BvS Dawn of Justice, yang pengen ngejejalin banyak ide, namun terkendala dalam waktu tayang yang cuma dua jam aja.

    Point : 7
    OC : Venessa Maria

    BalasHapus
  9. Saya lebih bisa menikmati entri ini daripada pas prelimnya. Plotting disini bener-bener keren, main karakternya oke, semuanya bisa berhubungan.

    Well, bingung juga nerusin komennya karena agak males scrolling ke atas dengan entri yang panjang. Tapi mungkin memang itu yang mengganggu saya di entri ini.

    Saya terkesan sub-oc bisa punya peran di plot nya. Konflik beruntun yang menarik itu bisa sedikit menutupi rasa lelah dan bosan saya ketika baca entri ini.

    Dan endingnya, wah...
    Btw, that kiss scene..
    Kasihan Heppow sama Puppis.. :'(

    Overall Score: 8

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
  10. Ahhhh... Banyak banget karakter yang dikeluarkan dalam entri ini. Saya tahu kalau itu memang tak bisa dihindari, tapi karena perpindahan antar karakternya yang terlalu cepat malah membuat saya jadi pusing.

    Secara alur cerita sih, bisa dibilang keren dengan plotnya yang lumayan wah.

    Mau komentar apa lagi ya? Jujur aja, saya baca entri ini harus berhenti dulu, buat memproses peran OC yang muncul dalam entri ini.

    Seperti kata Mas Her, tak semua orang baca charsheet ataupun latar punya yang lain. Dan saya salah satu orang itu. Jadi, ketika penggunaan karater banyak yang tidak dibarengi dengan detail memumpuni bisa membuat saya kepalang.

    Dan terakhir, saya malah kurang berkesan sama Namol sendiri.

    Nilai: 8

    OC: Satan Raizetsu

    BalasHapus
  11. Dari s3jumlah cerita yang aye baca,,kayaknya ini trik yang paling populer ye buat ngegarap banyak karakter sekaligus? Dikenal-kenalin dulu gitu terus dibagi-bagi porsinye,,seimbang gitu.kayaknye ini bisa aye praktekin nanti, eheheh

    Kalo soal karakater yang kebanyakan,,aye juga susah ngecernanya Bang,,,apalagi ceritanye juga dikasih panjang bener kayak begini. Tapi walaupun begitu,,Bang,,,keseluruhan cerita udah dirangkai bagus bener. Berabtemnye asik

    Ponten dari aye 9 aje ye? Karakter aye Harum

    BalasHapus
  12. Bebek... hahahaha kamu berhak dapat Achievement penulis dengan banyak kata ya. [Somehow I glad Bang Her netapin batas kata biar ga bocor]


    Oke, go to review.

    Ya ampun, masih unyu-unyu kayak Prelim aja Namolnya uuuuu
    Terlebih lagi saya dibuat ngakak. Kayaknya emang si author doyan eksplor OC ya, sampai semua kebagian jatah begitu. Bener-bener satu orang dapat porsi 20% di dalam grup,belum lagi sub-sub OCnya Namol (berarti bukan 20% ya?)

    Yah, saya ga berhenti senyum meski scene-nya battle lawan Akari--eh Raven Hitam. APALAGI ENDINGNYA MEREKA KISSING #tabok
    aaa


    terlalu manis

    diabetes diabetes
    muka saya merah


    Titip 8 bek

    /////////////////


    -Odin-

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.