Kamis, 28 Juli 2016

[ROUND 1 - 1A] 17 - NANO REINFIELD | BIG TROUBLE IN LITTLE ITALY

oleh : Dwi Hendra

--


0 – Prologue


Aula dengan nuansa keemasan dengan karpet merah menghiasi ruangan yang bernama aula semesta. Nano agak takjub dengan ruangan ini. Sebab istana yang biasa ia tempati tidak semegah dan semewah ini. Namun ia tak sendiri. Ada sekitar 60 makhluk berbagai bentuk dan ras seperti manusia, alien, robot bermata satu, bahkan sampai kaleng besar yang ia tak tahu apa kegunaannya atau bahkan ia tak tahu jika dia salah satu seperti dirinya.


Semuanya tertuju pada suatu dinding yang menempelkan lukisan-lukisan aneh. Mereka lalu mengerubungi dinding itu, termasuk Nano. Ia melihat salah satu lukisan seperti dirinya bertarung di kota Odojilak dan membebaskan para warga yang berada di pemukiman kumuh. Ia baru teringat semua itu, namun yang membuat dirinya heran adalah kenapa kejadian yang ia alami bisa berada di lukisan itu.


Nano hanya menatap bingung dan ngeri saat melihat lima orang menjadi pot tanah liat yang buruk. Ia dan semua reverier terpental ketika wanita berbaju perang bernama Mirabelle menebaskan tombaknya di udara.


Semuanya tidak bisa berbuat banyak. Mereka dalam keadaan terlemah saat ini. Nano hanya bisa mengutuk perbuatan dua orang yang ada di depannya. Untuk saat ini ia dan lainnya hanya bisa patuh dan tidak mencoba untuk bertindak bodoh.


Sementara itu Zainurma berjalan meninggalkan kerumunan para reverier yang terpental. Ia yakin orang-orang itu akan memberikannya mahakarya, itu yang dipikirkannya. Ia pergi ke ruangan miliknya dan memastikan tidak ada orang yang mengganggu kesendiriannya. Zainurma mengeluarkan sesuatu—sebuah arlogi emas berlambang Klan Nurma—dari saku jas hitamnya. Matanya menatap lekat arloji itu dan menggenggamnya erat.


"Suatu hari... suatu hari nanti kebebasan akan kudapatkan," gumamnya pelan.


Ratu Huban datang sambil menari, memutar gagang payung permennya dan mengeluarkan kembang api warna-warni dari ujung gagang payung permen miliknya.  Pria berambut klimis itu menyadari keberadaan makhluk berkepala bantal ungu itu dan memasukkan arloji itu dengan cepat ke saku jasnya. "Sudah kau pulangkan semua reverier ke Bingkai Mimpi mereka?" tanyanya.


Ratu Huban berhenti melakukan tariannya dan memandang Zainurma tanpa bergerak.


"Hei, kenapa kau melihatku seperti itu?"


Ratu Huban tersadar dari lamunannya, "Ng. Apa yang Paman tanyakan tadi?" tanyanya.


Zainurma menepuk dahinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa kau dan Mirabelle sudah memulangkan para reverier ke Bingkai Mimpi mereka?"


"Tentu saja, Paman. Aku sudah memulangkan mereka semua."


Zainurma tersenyum puas. Ditatapnya berkas-berkas profil para reverier satu per satu. "Biarkan mereka membuat Mahakarya dengan cara mereka sendiri. Ayo Huban. Kita lihat bagaimana proses dan hasil Mahakarya dari para reverier."


"Baik, Paman," kata Ratu Huban lalu membuka sepuluh mimpi pertama dari para reverier.


* * *


Nano kembali ke Kota Odojilak—Bingkai Mimpi miliknya. Ia tak menyangka dirinya seperti dipermainkan oleh orang-orang aneh yang bisa mengabulkan impian. Bukan hanya dirinya, banyak yang seperti dirinya dipermainkan seperti itu. Terutama sebuah kaleng entah apa fungsinya nasibnya sama seperti dia—dipermainkan.


Ia melihat tempat di sekelilingnya. Semua sama seperti sebelumnya, bangunan berlantai tiga bergaya eropa abad pertengahan. Masyarakat berlalu lalang dan beraktivitas seperti biasa, namun anehnya tidak ada bar ataupun hiburan malam yang pernah ia lihat sebelumnya. Yang ada hanyalah sesaknya pasar dan kedai.


"Bukankah disini ada banyak bar dan rumah bordir? Kenapa sekarang tidak ada sama sekali?" Nano keheranan dengan apa yang terjadi.


Seketika ia teringat akan Natera—Adiknya. Ia segera berlari ke penginapan dimana ia dan Natera gunakan untuk bermalam di kota Odojilak. Sesampainya disana, Natera langsung memeluk dirinya dengan erat.


"Kakak kemana saja?" tanya Natera khawatir.


Nano melepaskan pelukannya. Senyum hangat terpancar dari bibir Natera. Ia membelai rambut adiknya dengan penuh kasih sayang.


"Kakak tidak tahu. Seolah ada dunia lain yang kakak masuki."


"Yang penting Kakak baik-baik saja," kata Natera.


"Oh iya, apa semuanya sudah selesai, Natera?"


"Entahlah, Kak. Semuanya berubah ketika kakak pergi. Tidak ada bar ataupun rumah bordir disini. Semua seperti berubah begitu saja."


"Mereka...," ucap Nano.


"Mereka?" Natera menatap bingung.


"Natera, ini bukan dunia kita. Ini semacam dunia mimpi dan kita berdua terjebak di dalamnya. Di dunia ini ada orang yang menjaga. Kau harus berhati-hati." Nano memperingatkan.


"Lalu bagaimana dengan Kakek Armes? Apa dia juga terjebak di dunia mimpi ini?"


"Sepertinya tidak. Kakek Tua itu sepertinya punya semacam kekuatan untuk datang dan pergi dari satu dunia ke dunia lain."


"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kak?"


"Sepertinya kita harus mematuhi pihak yang membawa kita ke dunia ini. Dan saat ini kakak seperti lupa menggunakan kekuatan kakak."


Natera menepuk bahu kakaknya. "Aku yakin kakak bisa mendapatkan kekuatan itu kembali."


"Terima kasih, Natera." Nano memegang tangan adiknya.


Natera lalu memandang sesuatu berwarna putih yang ada di samping Kakaknya. "Eh, apa yang ada di samping kakak?" tanyanya.


"Aku sampai lupa ada domba di sampingku."


"Domba?"


"Iya. Domba pemberian makhluk berkepala bantal bernama Ratu Huban."


"Ratu Huban? Apa dia seorang ratu di negeri lain?" tanya Natera antusias.


"Entahlah. Kelihatannya dia seperti anak kecil."


"Aku ingin bertemu dia, Kak." Natera merengek kepada Nano.


"Tapi rasanya mustahil menemui Ratu Huban. Kakak tidak tahu cara bertemu dengannya. Tiba-tiba dia datang, memberi sesuatu lalu menghilang."


"Oh iya. Apa kakak sudah memberi nama domba imut ini?"


"Aku belum memberinya nama."


"Nama apa ya yang cocok untuk domba ini?" Natera berpikir keras.


"Hmm.. bagaimana kalau Thunder?" Nano memberi saran kepada Natera.


"Terlalu tidak masuk akal kalau menamakan dia Thunder, Kak."


"Snow White?"


"Mbee!"


"Cloud?"


"Mbeee.."


"Sheep?"


"Mbbeee...."


"Herby?"


"Mbeee.."


"Mystery?"


"Mbeee.."


"Shaun?"


"Mbeeeee!!"


Domba itu makin mengembik keras seperti tidak setuju dengan nama-nama yang diajukan Nano dan Natera. Natera berpikir sejenak lalu ia tersenyum.


"Bagaimana kalau Putih?"


"Putih?"


"Iya. Kurasa nama Putih cocok untuk domba ini, Kak. Warna bulu domba ini putih bersih."


"Putih. Boleh juga."


Natera tersenyum dan membelai kepala Putih. Putih merasa senang karena perlakuan Natera. Nano hanya bisa tersenyum dengan kedekatan Natera dan Putih yang begitu singkat.


"Baiklah. Kakak ingin istirahat dulu."


Setelah beristirahat dan stamina kembali pulih, Nano pergi ke tempat tukang pandai besi. Ia memberikan sekantung uang dan berkata meminjam tempat sebentar. Si pandai besi bingung dengan kantung uang yang diberikan Nano.


Nano sedang mengasah kedua belatinya dengan sesekali mengamati ketajamannya. Sebuah gulungan kertas tiba-tiba muncul di samping satu belati yang sudah diasah. Ia berhenti mengasah belatinya dan langsung membuka gulungan itu.


Siap untuk mencapai tujuanmu, Nano Reinfield?
Kalau kau sudah siap, kau akan diteleportasi ke suatu kota bernama Bekasi.
Dan disana ada kejutan dan bahaya yang akan menunggumu.
Jadi tetaplah hidup..

Oh iya, pasti kau bertanya-tanya dengan apa kau bisa ke kota itu.
Dan jawabannya ada pada Domba yang diberikan Ratu Huban padamu.
Domba itu akan mengantarkanmu ke kota itu..


Nano menggulung lagi kertas itu dan menyimpannya di saku celana. Ia keluar dari tempat tukang pandai besi dan kembali ke penginapan. Ia mengambil Putih dan berjalan menuju tempat sepi dekat tepi hutan.


"Baiklah. Sepertinya itu takdirmu untuk mengantarkanku ke sana," kata Nano kepada Putih.


"Mbbeee? (ada apa?)"


"Aku tidak tahu bahasa domba. Apa yang harus kukatakan padanya?" tanya Nano pada dirinya sendiri.


Nano berpikir sejenak. Putih melihat Nano yang kebingungan dengan tatapan datar.


"Mbeee.. mbeee.. mmbbeee.. mbbee.. mbeeee?" Nano seakan ingin memberitahu sesuatu kepada Putih.


Putih semakin tidak mengerti dengan tingkah majikan barunya itu. Lalu Nano memperlihatkan gulungan kertas yang diterimanya beberapa saat lalu ke hadapan Putih. Putih seakan paham dengan apa isi dari kertas itu. Putih bergerak memutar searah jarum jam beberapa kali. Sebuah portal terbuka. Nano menutup mata dan menghela nafas perlahan memantapkan tekadnya. Kemudian Natera menyusul kakaknya yang siap melangkah masuk ke dalam portal.


"Kakak mau kemana?"


"Kakak harus melaksanakan tugas. Kau sebaiknya tinggal disini saja."


"Aku tidak ingin ditinggal disini. Aku ingin ikut bersama kakak," rengek Natera.


"Tapi disana sangat berbahaya. Kakak tidak tahu apa yang akan terjadi."


Natera hanya terdiam karena dia tahu kakaknya mengkhawatirkan dirinya. Nano melangkah mendekati portal. Ia kembali berhenti dan menoleh ke arah Natera.


"Aku akan segera kembali," ucap Nano dengan tersenyum
 
 
"Aku mengerti, Kak." Natera melambaikan tangan ke kakaknya.


1 – Misi Kedua di Kota Bekasi


Nano sudah sampai di depan Alfamidi di Jalan Raya Cibarusah dekat Wahana Sport. Ia melihat sekitarnya berusaha mengingat sesuatu yang bisa dia ingat di kota ini. Dan hasilnya nihil. Ia tidak mengenali apapun di kota ini. Kota ini beda jauh dengan kota di dunianya. Kota ini berdiri beberapa bangunan yang saling berjejal di pinggir jalan. Ia hanya terheran-heran dengan kota yang baru ia masuki ini.


"Bounasera. Sei italiano? (Selamat malam. Apa kau orang italia?)"


"Sì. (Ya.) Bisakah kau memberitahuku dimana ini?"


"Daerah ini bernama Little Italy. Anda baru pertama ada disini?"


"Emm.. ya.. begitulah," jawab Nano sekenanya.


"Kalau begitu, vieni con me. (ikut dengan saya.) Disana ada nonton bareng pertandingan sepak bola Italia melawan Spanyol."


Nano akhirnya mengikuti pria yang baru dikenalnya itu. Pria itu memasuki sebuah kedai dengan nama "Doniando Pizza and Spaggeti" di atas pintu masuk kedai itu.


"Ayo duduk disini." Orang itu menawarkan tempat duduk di sebelahnya.


"Kau siapa? Kenapa kau merasa seperti aku kenal denganmu?" tanya Nano penuh selidik.


"Kenapa kau tak mengenaliku, Nano Reinfield? Aku kesini hanya menyampaikan beberapa hal tambahan padamu." Orang itu memakai kacamata hitamnya dan memakai mantel bulunya.


"Zainurma!"


"Jangan sampai berteriak begitu. Aku masih bisa mendengar kok. Duduk saja dulu dan tenangkan dirimu."


"Apa yang kau inginkan?"


"Sudah kujelaskan tadi. Aku hanya ingin menyampaikan beberapa hal padamu. Disini kau harus menyelesaikan sebuah permasalahan. Ada dua kelompok mafia yang menguasai kota ini, La Roccia dan Perfectamundo. Dan ada polisi muda bernama Panji Budiman. Mereka ingin menyelesaikan masalah dengan cara mereka masing-masing. Tentukanlah kau ada di pihak yang mana. Dan tentu saja ada beberapa orang yang juga masuk di dunia alternatif ini. Kau bisa mengalahkan mereka jika mereka menghalangi tujuanmu."


"Lalu apa imbalanku setelah menyelesaikan masalah disini?"


"Entahlah. Mungkin kau dapat kekuatan baru untuk pertarunganmu selanjutnya," kata Zainurma lalu memakan sepotong pizza spicy beef. "Pizza ini enak sekali. Seharusnya kubawa ini ke ruanganku."


"Jadi seperti itu saja?"


"Iya seperti itu. Baiklah aku harus mengawasi kalian. Dan jangan jadikan ini sebagai tamasya. Buat Mahakarya terbaik untukku."


"Tapi Zai.."


Zainurma tiba-tiba menghilang dari pandangan Nano. Nano hanya bisa kebingungan mencari kemana Zainurma.


"Cazzo! (Sial!)"


Suasana menjadi riuh ketika siaran langsung pertandingan sepak bola Italia melawan Spanyol dimulai. Semua larut dalam sorak sorai yel-yel untuk mendukung timnas Italia berlaga. Semuanya khidmat dan ikut menyanyi lagu nasional Italia dikumandangkan di televisi. Lalu kembali sorak sorai ketika lagu nasional Italia selesai dikumandangkan. Nano teringat kembali kemeriahan tempat ini ketika dirinya mengikuti turnamen jalanan. Ia hanya tersenyum sendiri ketika mengingat hal itu.


Ia melihat ada sesuatu yang aneh ketika ada empat orang berjas hitam masuk ke kedai itu dan duduk di meja dekat jendela. Secara naluri Nano beranjak dari kursinya dan duduk di depan empat orang berjas hitam itu.


"Bagaimana transaksi dengan para pelanggan baru?"


"Sangat lancar. Sekarang La Roccia kehilangan sebagian pasarnya,"


Keempat orang berjas hitam itu tertawa hampir bersamaan. Pelayan memberikan beberapa botol bir dan pergi begitu saja.


Sementara itu, segerombolan orang berpakaian preman memasuki kedai itu. Semua yang ada di kedai itu seketika terdiam dan tidak bisa berbuat apa-apa. "Kami dari kepolisian! Diam ditempat dan tunjukkan identitas kalian!" seru salah satu dari gerombolan itu yang merupakan polisi berpakaian preman.


Semua yang ada di kedai itu mengeluarkan KTP dari dompet mereka dengan malas. Beberapa diantaranya mengeluarkan kata sumpah serapah kepada para polisi berpakaian preman itu. Affanculo! (Kalian brengsek!) Begitu kata yang terlontar dari mulut beberapa orang itu.

"Hei, apa kau punya KTP di dompetmu?" tanya seorang pria di dekat Nano.


"KTP?" Nano tidak mengerti apa yang ditanyakan orang yang ada di dekatnya.


"Itu kartu identitas di negeri ini. Kartu Tanda Pen—"


Salah satu polisi berpakaian preman itu menghampiri Nano yang duduk diam tanpa melakukan apa yang harusnya dilakukan.


"Mostrare la vostra identità! (Tunjukkan identitasmu!)"


Nano berusaha berdiam diri karena tidak tahu apa yang polisi itu inginkan.


"Hei, Bung. Tunjukkan saja kartu identitasmu atau kau akan mendapat masalah."


"Aku tidak tahu apa itu KTP atau apapun itu."


Si polisi itu naik pitam lalu mencengkram jaket hoodie milik Nano dan memaksanya untuk berdiri.


"Mostrare la vostra identità, idiota! (Tunjukkan identitasmu, idiot!)"


Nano berusaha melepaskan diri dari cengkeraman polisi yang kuat. Polisi itu makin geram dan mengepalkan tangannya akan menghajar Nano.


"Terpaksa aku harus menempuh jalur kekerasan."


Sebuah pukulan melayang menuju wajah Nano. Namun dengan sigap pemuda bertudung biru itu menangkap pukulan itu. Ia menghantamkan kepalanya ke kepala polisi itu. Polisi itu tersungkur ke tanah dan pegangan tangannya melemah dan terlepas. Polisi yang melihat hal itu langsung mengepung Nano yang kembali duduk dan menyilangkan kakinya di atas meja.


Salah satu polisi mendekati Nano dengan pukulan terbaiknya. Nano menghindari pukulan itu dengan menurunkan kedua kakinya dan menendang meja di depannya ke arah polisi itu. Polisi itu terkena meja dan jatuh tersungkur. Kedua polisi lain mulai menerjangnya. Ia berhasil menahan pukulan salah satu polisi namun polisi yang lain berhasil menendang tepat di perutnya. Ia terjerembab dan jatuh ke lantai. Seseorang menodongkan revolver miliknya ke depan wajah Nano.


"Sebaiknya kau ikut kami ke kantor polisi, Orang Asing." Panji Budiman dengan pakaian polisi lengkap.


Panji Budiman juga melihat empat orang berjas hitam yang tangan mereka sudah terborgol oleh Panji sendiri.


"Kita bawa dia dan empat orang itu ke kantor polisi." Panji memberi aba-aba ke sesama rekannya.


"Apa sebaiknya kita lepaskan empat orang disana?" tanya seorang polisi kepada Panji sambil menunjuk ke arah empat orang berjas hitam.


"Mereka itu anggota mafia Perfectamundo. Seharusnya kita masukkan mereka ke penjara dan kita adili seadil-adilnya," jawab Panji sambil menggeledah Nano.


Tapi polisi itu melepaskan borgol keempat orang itu dan membiarkan mereka pergi lari terbirit-birit.


"Hei, kenapa kau lepaskan mereka?" tanya Panji setelah mengetahui keempat orang yang ia tangkap dilepaskan begitu saja.


"Kenapa kita harus menahan mereka kalau orang itu lebih mencurigakan?" seorang polisi itu balik bertanya.


"Kalian.. ah dasar.."


"Sudahlah, Panji. Jangan sok jadi pahlawan. Kita hanya ditugaskan untuk patroli keamanan. Bukan mengejar anggota mafia," kata polisi yang lain.


"Apa kau ingin berurusan lagi dengan Kepala Polisi, Panji?" Polisi yang satunya lagi bertanya pada Panji.


Panji seperti menahan amarahnya. Harga dirinya sebagai polisi yang ingin membuat kota ini aman dan tentram serasa dicabik-cabik oleh rekannya sendiri. Nano bisa melihat itu. Panji menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah. Kita bawa dia ke kantor polisi karena tidak mempunyai KTP, melawan petugas dan membawa senjata tajam."


Nano dibawa keluar dari kedai itu dan dimasukkan ke dalam mobil polisi dengan tangan terborgol ke belakang. Panji masuk ke dalam mobil dan duduk di samping rekannya yang sudah menunggu di belakang kemudi.


"Hei, namamu Panji kan?"


"Kau tidak berhak bicara sebelum pengadilan mengizinkanmu!"


"Kau ingin menangkap para anggota mafia itu kan?"


Panji terpancing juga. Dengan hati-hati dan menjaga wibawanya, Panji menjawab pertanyaan Nano yang terduduk di kursi dengan tangannya masih terborgol.


"Aku ingin menangkap mereka semua. Termasuk pemimpin-pemimpin mereka. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan baik dari geng Perfectamundo maupun La Roccia. Penyelundupan senjata, penggelapan pajak, perdagangan manusia, bahkan sampai narkotika sudah kukumpulkan semua. Namun aku selalu gagal menjebloskan mereka ke penjara. Mereka licin dan sulit ditangkap."


Mobil itu melaju dengan cepat. Lalu lintas di Jalan Raya Cikarang Cibarusah ramai meskipun hampir larut malam. Nano hanya bisa memandang hiruk pikuk Kota Bekasi ini. Ia kembali teringat Natera. Ia tak ingin melihat adiknya tertangkap, seperti saat ia ditangkap oleh pasukan keamanan Kerajaan Wortz karena menyelinap masuk sampai ke kamar tidur untuk menemui Dimara waktu pertama kalinya.


* * *


Sesampainya di Polsek Cikarang Selatan, Panji Budiman membawa Nano ke dalam kantor polisi. Suasana di dalam kantor polisi sangat ramai. Semuanya sibuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Yang paling menyita perhatian Nano adalah seorang wanita berjilbab sedang diminta keterangannya oleh seorang polisi.


"Apa semalam saudari ada di tempat kejadian?" tanya Polisi itu.


"Betul sekali, Pak." Wanita berjilbab biru muda itu menjawab.


"Lalu apa yang terjadi pada malam itu?" Polisi itu kembali bertanya.


"Malam itu saya sedang pulang dari masjid setelah sholat isya. Di suatu jalan, saya dicegat empat orang. Saya ketakutan dan setelah itu saya tidak tahu apa yang terjadi. Yang saya tahu empat orang itu sudah terkapar keracunan."


Polisi itu mengetik setiap kata dari jawaban wanita berjilbab biru muda itu. "Terima kasih atas keterangan Anda."


"Sama-sama, Pak."


Nano dan Panji masuk ke ruangan kerja Panji. Nano didudukan sebuah kursi dan Panji duduk di kursinya lalu mengetik sesuatu di komputernya.


"Aku bisa membantumu."


"Bantuan apa yang bisa diberikan orang asing sepertimu?"


"Aku bisa menghentikan teror di kota ini."


"Membantuku? Jangan bermimpi kau!"


"Aku serius. Aku bisa membantumu. Asal kau bebaskan aku dan kembalikan belatiku."


"Kau berjalan di kota ini dengan membawa senjata tajam dan kau berkata ingin membantuku? Sudahlah. Lebih baik kau diam dulu di dalam sel."


"Tapi...,"


"Anita, bawa dia ke dalam sel!"


Seorang wanita berambut bob hitam bernama Anita membawa Nano menuju sel tahanan. Anita memperlakukan Nano dengan baik sementara Nano agak risih dengan borgol berada di tangannya.


"Hei, Saya percaya pada Anda," kata Anita membuka pembicaraan.


"Percaya padaku? Soal apa?" tanya Nano tidak mengerti.


"Soal menghentikan masalah di kota ini."


"Apa kau reverier sama sepertiku?"


Wanita berambut bob hitam itu tersenyum. Seperti ada sesuatu yang wanita sembunyikan dari Nano.


"Kenapa Anda menanyakan hal itu?" "Ah.. maaf jika gaya bicara saya terlalu formal. Kebiasaan sejak kecil."


"Hanya penasaran saja kenapa kau tahu ada permasalahan di kota ini," kata Nano membalas senyum. "Pasti kau dibesarkan dengan baik oleh orang baik."


"Anda bisa saja," ucap Anita ramah.


"Jadi, kapan kita bisa bertemu lagi, Wanita Cantik?" tanya Nano dengan gaya menggoda.


Wanita itu kembali memasang senyum manisnya. Bibir tipis panjangnya membentuk senyum yang menarik sekaligus menimbulkan tanda tanya. Ia membuka pintu sel dan menjebloskan Nano ke dalam sel.


"Maaf, Nano. Anda harus disini dulu." Anita pun pergi meninggalkan Nano.


Nano dijebloskan ke dalam penjara. Ia hanya menghela napas pasrah dan teringat wanita berambut bob hitam dengan kulit putih pucat itu ketika berada di dalam bui. Ia melihat ke sekelilingnya kemudian teringat petuah dari gurunya.


Tidak semua orang baik diperlakukan dengan baik, Nano
Kau harus bersabar
Angin itu datang dan pergi tanpa berbekas
Angin itu tenang dan tidak terpengaruh apapun
Damaikan jiwamu
Dan biarkan semuanya tersapu angin
Bagaikan debu yang tertepa angin
Kau harus damaikan jiwa dan pikiranmu, Nano


Ia duduk bersila dan menutup mata. Ia mengatur napas dengan teratur. Ia merasakan pergerakan udara di sekitarnya. Sedikit demi sedikit hembusan angin mengelilingi tubuhnya. Benda-benda di sekitarnya ikut terangkat ke udara.


"Nano.."


Seseorang datang dari kegelapan muncul dan berdiri di depan sel dimana Nano dipenjara. Seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun dengan rambut putih dan memakai topi fendora hitam.


"Siapa kau?" tanya Nano.


"Aku ditugaskan Mr. Perfect untuk membebaskanmu," jawab Weiss datar.


"Membebaskanku? Terdengar konyol buatku." Nano berkata dengan nada mengejek.


Weiss menggenggam gembok dan gembok itu berhasil dirusak. Nano kaget dengan apa yang Weiss lakukan.


"Siapa kau sebenarnya?" tanya Nano dengan keterkejutannya yang tidak bisa ia sembunyikan.


"Sudah kubilang aku hanya disuruh oleh Mr. Perfect untuk menjemputmu." Weiss kembali menjawab dengan tenang.


"Lalu bagaimana dengan orang-orang berseragam itu?"


"Maksudmu para polisi? Tenang saja. Mereka hanya pingsan dan akan siuman beberapa jam lagi."


Weiss Nacht melemparkan sesuatu ke arah Nano. Dua belati yang merupakan senjata andalan pria bertudung biru.


"Kurasa itu milikmu." Weiss melirik sepasang belati milik Nano.


Nano memasang kedua belati dan sarungnya di bagian belakang tubuhnya. Ia mengikuti Weiss yang berjalan dengan santai menuju pintu keluar Polsek Cikarang Selatan. Sesampainya di luar polsek, seorang perempuan berambut merah dan berpakaian maid berjalan mendekati Weiss.


"Semua sudah siap, Tuan."


"Terima kasih, Rubina. Kau sangat membantu."


"Wah, wah.. ada wanita cantik disini. Kenapa kau tidak mengenalkannya padaku?"


Weiss hanya terdiam.


"Hei, Manis. Apa kau perlu...." Nano tidak melanjutkan perkataannya karena Rubina mengacungkan pisau yang terbuat dari besi ke lehernya.


"Anda bisa maju selangkah lagi dan pisau ini akan menancap di leher Anda."


"Turunkan senjatamu, Rubina. Mr. Perfect memerlukan dia."


"Baik, Tuan."


Nano bersama Weiss duduk di belakang mobil pikap. Tudung biru tuanya berkibar dihembus angin saat mobil pikap itu melaju. Baru kali ini ia menaiki mobil seperti itu di tempat yang belum ia ketahui seperti Bekasi ini.


"Hei, Kau. Kenapa kau duduk di belakang? Kau kan bisa duduk dengan nyaman di bagian depan?"


"Aku ditugaskan untuk mengawasimu. Dan juga, aku harus menjaga persediaan susu milikku."


Nano melihat ada 6 drum besar berada di sampingnya. Dan berisi susu? Pastinya itu untuk persediaan dirinya dan orang banyak selama beberapa hari, pikirnya.


"Susu itu pasti untuk banyak orang, kan?"


"Tidak. Susu itu semuanya milikku."


Nano memilih tidak melanjutkan pertanyannya. Mobil pikap itu makin melaju ke arah selatan Jalan Raya Cikarang Cibarusah. Ia pernah menaiki kendaraan seperti ini saat bersama Dimara mengelilingi kota Minante. Namun kendaraan itu seperti kereta kayu pengangkut hasil panen.


Mereka berhenti di bangunan depan Rumah Makan Padesaan. Mereka memastikan dulu bahwa situasinya aman dan setelah itu masuk ke dalam bangunan itu. Mereka masuk ke sebuah ruangan khas mafia. Dengan meja panjang dan beberapa kursi yang terbuat dari bahan kulit.


Nano duduk di salah satu kursi itu dan melihat di sekelilingnya. Terasa begitu asing baginya. Weiss mengambil sebuah cermin yang berada di dalam tas selempang abu-abunya. Cermin itu diarahkan ke Nano.


"Mari mengenang masa lalumu, Nano Reinfield."


2 – The Past


"Kenapa kita menaiki kereta ini, Nano? Bukankah lebih nyaman kalau kita menaiki kereta kerajaan?"


"Aku bosan dengan kereta kerajaan. Lebih baik kita naik ini."


Dimara hanya bisa tersenyum dengan keputusan calon suaminya itu. Kereta pengangkut hasil panen itu makin bergerak menuju pelabuhan Kota Minante. Sesampainya di pelabuhan, Nano turun dari kereta itu dan membantu Dimara turun. Mereka berdua bergandengan tangan menyusuri jalanan pelabuhan terbesar di wilayah kerajaan Muarza.


"Kau tidak suka berdiam diri di dalam istana?"


"Aku memang tidak suka hanya berdiam diri dan mengurusi semua tugasku dari istana saja. Aku ingin melihat rakyatku secara langsung."


"Kau memang berbeda dari putera mahkota kerajaan lain."


"Maka dari itu kau memilihku kan, Dimara?"


Dimara hanya tersipu malu dan tidak menjawab pertanyaan Nano. Mereka pergi ke pasar ikan tidak jauh dari pelabuhan itu. Keduanya sangat senang terlihat dari senyum yang selalu terpancar dari dua sejoli ini. Lalu mereka pergi ke suatu bukit yang tidak jauh dari pelabuhan. Bukit yang mempertemukan Nano dan Dimara pertama kali.


"Nano." Dimara menoleh memandang wajah Nano.


"Ada apa, Dimara?" tanya Nano.


"Apa kau ingat waktu kita masih kecil? Saat itu kau selalu membuatku menangis setiap saat."


"Itu karena saat itu kau menggemaskan. Sekarang juga masih."


"Dasar gombal."


Keduanya tertawa tebahak-bahak. Nano membelai pipi Dimara dan Dimara hanya tersipu malu.


"Dimara, apa kau masih mengingat bukit ini?" tanya Nano tersenyum.


"Tentu saja aku ingat. Bukit ini tempat kita sering bermain waktu kecil dan juga mempertemukan kita kembali setelah 12 tahun tidak bertemu."


"Syukurlah jika kau masih mengingatnya."


"Aku selalu mengingatnya. Tidak sepertimu yang selalu lupa," keluh Dimara.


"Tapi aku berjanji padamu, Dimara. Mulai hari ini aku tidak akan melupakan apapun."


"Promessa? (Janji?)"


"Lo prometto, (Aku berjanji)"


Keduanya kembali pergi ke tempat pembuatan kapal. Dimara terkesima dengan kapal besar yang sedang dibuat di tempat itu.


"Itu akan jadi kapal kita bila sudah jadi nanti." Nano menunjuk kapal yang setengah jadi.


Dimara kembali terkesima dan mengkhayalkan bila kapal yang tengah dikerjakan itu selesai dan bisa mengarungi lautan.


"Dimara, tunggu disini sebentar. Aku ada urusan lain disini."


"Baiklah, Nano."


Nano pergi meninggalkan Dimara yang melihat-lihat sekeliling tempat pembuatan kapal itu. Di saat itu sedang ramai pekerja yang membuat kapal-kapal besar. Tiba-tiba kotak pengaman listrik meledak dan membuat percikan api. Semua yang ada di tempat itu menjadi panik dan saling dorong menyelamatkan diri. Dimara terkena dorongan dari orang-orang di tempat itu dan terjatuh. Api sudah menjalar hampir separuh tempat itu. Nano berlari ke tempat itu setelah tahu ada kebakaran dan Dimara ada di tempat itu.


"Nano, tolong aku!" teriak Dimara meminta bantuan.


"Bertahanlah, Dimara. Aku akan menyelamatkanmu." Nano berusaha menenangkan Dimara.


"Cepat, Nano. Tempat ini terbakar."


Weiss tersenyum melihat reaksi Nano yang terkena Memento Mori miliknya. Waktu sudah berjalan 2 menit. Tinggal 3 menit lagi untuknya agar jiwa milik Nano disedot secara sempurna.


Tanpa berpikir panjang, Nano menerjang masuk tempat pembuatan kapal yang terbakar. Asap dan api memenuhi tempat itu. Sesekali napasnya sesak karena menghirup asap. Namun ia paksakan demi menyelamatkan kekasih tercintanya. Ia terus berlari dari mencari sumber suara kekasihnya itu. Ia menemukan Dimara di dekat kapal besar yang separuhnya hangus terbakar. Ia tak pedulikan api yang mengenai kulit dan pakaiannya. Ia berlari menghampiri Dimara dan menyelamatkan kekasihnya. Ia menggendogn Dimara dan keluar dari tempat yang terbakar itu.


Malam harinya, Nano mengantar Dimara sampai ke kamarnya.


"Nano, menginaplah semalam disini."


"Aku tidak bisa, Dimara. Ada hal yang harus kuselesaikan."


"Apakah kau tidak bisa menundanya sampe esok? Aku merasa takut."


"Jangan biarkan takut menyelimuti hatimu."


"Tapi, Nano...," ucap Dimara.


"Tenang saja. Kau akan baik-baik saja. Akan kupanggil prajurit untuk berjaga di luar kamarmu."


"Aku harus pergi."-Nano membelai rambut Dimara-"selamat malam, Dimara."


Dimara tersenyum dan menjawab, "Selamat malam, Nano."


Nano beranjak dari kamar tidur Dimara. Ia harus kembali ke Istana untuk menyelesaikan beberapa urusan. Ia menaiki kuda miliknya yang sengaja ia titipkan di Istana Kerajaan Wortz untuk keperluan mendesak. Penjaga gerbang membukakan pintu gerbang untuk Nano. Namun setelah melangkah keluar dari gerbang istana, Nano merasa ada sesuatu yang membuatnya khawatir tentang Dimara. Seketika itu ia memutuskan untuk kembali masuk ke Istana dan memastikan Dimara baik-baik saja.


Nano mendapati beberapa prajurit terbunuh di tangga menuju kamar Dimara. Segera ia berlari menuju kamar Dimara. Dan benar saja, prajurit yang berjaga di depan kamar juga terbunuh. Ia langsung membuka pintu kamar Dimara. Di dalamnya sangat gelap. Terlihat cahaya kilat di luar dan suara guntur menyusul setelahnya.


Ia sangat terkejut ketika melihat kekasihnya terbaring kaku di lantai dengan bersimbah darah. Tatapannya menunjukkan ketakutan luar biasa dan mengarah ke balkon. Ia pun melihat ke arah yang ditatap Dimara sebelum meningal. Disana terlihat sesosok berpakaian hitam sedang memandang seluruh wilayah kerajaan Wortz.


"Siapa disana?" tanya Nano penuh amarah.


Sosok berpakaian hitam itu terkekeh dan tidak menjawab pertanyaan Nano.


"Apa kau yang membunuh Dimara?"


"Tak perlu kujawab pertanyaanmu. Kau sudah tahu jawabannya." Kembali sosok serba hitam itu terkekeh.


"Kubunuh kau!" Nano berlari ke arah sosok itu dan bersiap menyerang.


Sosok serba hitam itu menoleh dan menahan serangan Nano. Ia membuat Nano terpelanting membentur tembok. Darah segar keluar dari sudut bibir Nano. Nano mengeluarkan belati miliknya dan kembali menyerang sosok itu. Dengan mudah sosok itu menghindari tebasan belati dan seketika mencekik leher Nano. Nano merasa napasnya sangat sesak.


Tubuh Nano mengejang hebat dan Weiss tersenyum puas. Sudah empat menit sejak Nano terkena Memento Mori. Darah segar mulai mengalir dari sudut bibirnya.


"Belati yang bagus. Namun sayang, aku tidak suka mainan anak-anak seperti itu."


"Si-siapa k-kau sebe-narnya?"


"Bila kau ingin membunuhku, bunuh bayanganmu terlebih dahulu."


Sosok serba hitam itu melempar Nano dari balkon kamar. Nano merasakan tubuhnya meluncur dengan cepat ke bawah.


Tubuh Nano berhenti mengejang. Semenit terakhir sudah terlewat. Weiss sangat puas selama lima menit Nano terkena Memento Mori. Namun senyum Weiss memudar ketika Nano kembali sadar dan terlepas dari kekuatan Memento Mori milik Weiss.


"Kenapa kau bisa lepas dari Memento Mori milikku?"


"Jujur kuakui mainanmu bagus, tapi sayang kita akhiri sampai disini."


3 – Alchemist vs Dual Dagger Dancer


"Lumayan juga kau memakai cermin itu. Lain kali aku ingin mencobanya."


Weiss meletakkan cermin ke dalam tasnya dan mencium cincin di jari telunjuk dan jari tengah kanannya.


"Arnold, Rubina. Keluarlah."


Muncul dua orang berpakaian butler dan maid di depan Weiss. Seorang laki-laki berpakaian butler mengepalkan kedua tangannya sementara perempuan berpakaian maid mengubah patung perunggu yang ada di dekatnya menjadi pisau.


"Arnold, Rubina. Kalian tahu apa yang harus dilakukan."


"Baik, Tuan."


Arnold menerjang maju sementara Rubina mengambil kuda-kuda membantu Arnold dari jarak jauh. Nano mengeluarkan kedua belatinya dan menyilangkan ke depan. Ia mengamati pergerakan Arnold dan Rubina secara bergantian.


Arnold mengepalkan tangan kanannya dan melancarkan tinju ke arah Nano. Nano mengelak tinju dari Arnold ke kiri dan berpindah tempat ke belakang Arnold. Lalu ia menebaskan belatinya ke punggung Arnold. Dengan sigap Arnold memutarkan tubuhnya dan menangkis tebasan belati dengan tendangan kaki kanannya. Arnold melompat dan Rubina melempar pisau perunggunya ke arah Nano. Pisau perunggu itu menggores kaki kiri Nano karena terlambat menghindari lemparan pisau Rubina.


Arnold berlari maju dan melayangkan pukulan ke perut Nano. Alhasil Nano terlempar sejauh 2 meter dan mendarat di meja panjang. Arnold melayangkan pukulan ke bawah dan Nano menggulingkan badannya dengan cepat. Pukulan Arnold yang keras membuat meja panjang itu berlubang setiap kali ia melancarkan serangan. Nano melompat menghindari serangan Arnold namun lemparan pisau perunggu itu meluncur cepat ke arahnya. Tapi arah serangan itu meleset dan tidak mengenai bagian vital milik Nano. Hanya bagian lengan kanan yang tergores. Darah segar mulai mengucur dari lengan kanan dan kaki kiri Nano.


Nano berlari cepat membalas serangan Arnold dan Rubina. Ia berhasil menghindari setiap serangan Arnold dan meninju wajah Arnold. Arnold terjatuh ke lantai. Nano kembali berlari menghampiri Rubina yang sudah siap melempar pisau perunggunya. Pisau itu meluncur cepat ke arahnya namun ia bisa menghindar dengan mudah. Nano memutarkan tubuhnya dan menendang bagian perut Rubina. Arnold dan Rubina kembali ke cincin Weiss.


Weiss yang terlihat lemas berlari keluar dari ruangan itu. Nano mengejar Weiss sampai ke suatu ruangan seperti gudang. Ketika ia masuk ke ruangan itu, sebuah cambuk meluncur cepat ke arahnya. Ia menghindari cambuk itu dan berlindung dibalik pilar.


Ia mendengar suara seperti seseorang meminum sesuatu. Ia memejamkan matanya dan berusaha memproyeksikan tempat itu berdasarkan suara yang ia dengar. Ia mendapat bayangan ada tiga orang selain dirinya di ruangan itu. Dan diantara ketiga orang itu terdapat tong-tong berukuran besar. Seketika ia teringat Weiss membawa enam tong berisi susu. Dan ia ingat Weiss mengatakan kalau semua tong berisi susu itu miliknya.


"Tak kukira orang ini pengecut. Mungkin saja batang kejantanannya kecil."


"Terra, tolong jaga ucapanmu."


"Buat apa aku harus menjaga ucapan untuk seorang pengecut yang berani menantang Tuan kita?"


"Terserah apa katamu. Aku tak ingin kau menyesal," kata Rubina mempersiapkan pisau miliknya.


"Apa? Batang kejantananku kecil? Kupikir buah dadamu itu terlalu mengerikan. Mungkin batang kejantananku tidak puas bila kau melakukan Paizuri dengan buah dadamu yang mengerikan itu." Nano berteriak dari balik pilar untuk memancing emosi Terra.


Terra marah besar setelah mendengar teriakan dari Nano. Ia pun memutarkan cambuknya ke segala arah. Terdengar ledakan dan barang-barang beterbangan karena cambukan Terra.


"Terra, kendalikan emosimu. Jangan kau dengarkan kata orang itu."


"Tidak bisa! Dia sudah menghina aset berhargaku! Dia harus mati."


Nano menghembuskan napas pelan dan mengalirkan pengendalian anginnya ke belati kanan miliknya. Ia melihat dua perempuan berpakaian maid. Yang satu ia sudah melawannya, sedangkan yang lain seorang perempuan berpakaian maid dengan potongan minim mencambuk benda-benda di sekitarnya. Ia melempar belati yang sudah diberi kekuatan angin ke arah perempuan yang bernama Terra. Rubina menyadari kedatangan belati milik Nano dan mendorong tubuh Terra hingga terjatuh dan terhindar dari terjangan belati. Namun belati milik Nano tertancap dalam di salah satu tong yang berisi susu. Tong itu meledak dan menumpahkan isinya. Belati Nano masih tersangkut di bagian tong yang hancur itu.


"Ayo, gadis-gadis. Kita bersenang-senang hari ini." Nano memunculkan diri dari balik pilar.


Terra memutar cambuk miliknya dan Rubina menggenggam pisaunya. Nano berlari ke arah keduanya. Terra mencambuk ke arah Nano dan Nano menghindar dari cambukan. Rubina lalu melempar pisaunya. Kali ini Nano bisa menghindari lemparan pisau itu.


"Rubina, Terra. Jangan biarkan dia menyentuh tong-tong milikku. Tapi jangan sampai tong hancur."


"Baik, Tuan."


Nano menarik belati yang tersangkut di salah satu bagian tong yang hancur. Ia melihat dua perempuan berpakaian maid itu mulai berhati-hati dengan gerakan mereka.


"Kenapa kalian berhati-hati seperti itu? Apa kalian takut menghancurkan tong berisi susu milik Tuan kalian?"


Weiss melompat dan menerjang Nano dari belakang. Nano berputar dan menangkis pisau milik Weiss dengan salah satu belatinya. Weiss melompat mundur dan berdiri menjauh dari Nano.


"Tiga lawan satu? Apa itu adil?"


Ia menghela napas panjang. Baru kali ini dia dikepung hanya tiga orang namun menghadapinya seperti beberapa prajurit. Lalu ia melihat salah satu tong yang terjatuh dan tidak berisi.


"Sekarang aku sudah tahu kelemahanmu," Nano memutar belati miliknya. "Kalau kulempar belatiku ke salah satu tong milikmu, apakah akan hancur juga seperti tong yang tadi?"


Mereka empat bersiap dengan senjata mereka masing-masing. Nano berlari cepat ke arah Terra dan muncul di belakang Terra.


"Lumayan juga. Harusnya kutarik kata-kataku," kata Nano lalu meremas dua aset milik Terra.


Wajah Terra merah padam. Lalu memutar badannya dan melesatkan cambuknya ke arah Nano. Nano pun menghindar dan menjauh dari Rubina dan Weiss. Terra mengalirkan darahnya sendiri ke cambuk. Seketika cambuk Terra menjadi cambuk api.


Napas Nano tersengal-sengal. Paru-parunya memompa paksa dengan cepat membuat nyeri di ulu hati. Perlahan darah yang mengalir di lengan kanan dan kaki kirinya berkurang. Cambuk api milik Terra meluncur cepat siap menerjang Nano. Nano kembali bersembunyi di balik pilar. Terra mencambuk pilar itu tiga kali dan pilar itu meledak. Nano tersungkur karena efek ledakan pilar itu. Ia bangkit dan berlari ke arah tong milik Weiss. Terra melecutan tiga kali ke arah Nano, namun cambukannya meleset dan mengenai salah satu tong. Tong itu akhirnya meledak dan susu dari tong itu turun seperti hujan.


"Tinggal tiga lagi," kata Nano pada dirinya sendiri.


Sebuah pisau melesat cepat dan Nano tidak menyadarinya. Pisau itu berhasil melukai wajah dan membuah hoodie kanan Nano sedikit terkoyak.


Kombinasi cambuk api Terra dan pisau perunggu Rubina membuat Nano kewalahan. Staminanya terkuras karena selalu memaksa dirinya bergerak untuk menghindari kombinasi itu. Napasnya semakin tersengal-sengal.


Pisau milik Rubina melesat lagi. Tapi sekarang Nano bisa menangkis pisau itu dengan belati miliknya. Ia kembali berlari lurus melewati Rubina dan Terra. Rubina lalu melempar pisau miliknya dan menancap di salah satu tong berisi susu. Terra lalu mencambuk Nano dengan cepat. Nano menghindari cambukan itu dan membuat pisau milik Rubina menancap dalam. Akhirnya tong ketiga hancur.


Weiss berlari ke salah satu tong berisi susu dan langsung meminumnya. Nano mendekati Weiss dan menendang wajah Weiss hingga tersungkur. Ia menumpahkan isi semua tong yang tersisa. Rubina dan Terra bersiap menyerang namun Nano dengan cepat melemparkan kedua belatinya ke Rubina dan Terra tepat di jantung. Keduanya kembali ke cincin di jari kanan Weiss.


Weiss Nacht sudah lemah tak berdaya. Ingin rasanya Nano membunuh anak kecil yang sudah merepotkan dirinya ini. Namun ia urungkan niatnya dan akhirnya Weiss jatuh tersungkur.


4 – Mr. Perfect


"Kau hebat sekali bisa mengalahkan Weiss Nacht. Siapa namamu, Anak Muda?"


"Nano Reinfield. Dan pasti kau Mr. Perfect."


"Pengamatan yang bagus, Anak Muda. Aku salut padamu."


"Terima kasih. Tapi kalau kau kesini untuk mengajakku untuk bergabung denganmu, maaf aku tidak tertarik."


"Tidak seperti itu. Aku hanya tidak menyangka kau bisa mengalahkan anak seperti Weiss Nacht."


"Lalu apa maumu?"


"Hanya membujuk pemimpin La Roccia untuk bekerja sama denganku."


"Akan kupikirkan dulu. Biarkan aku keluar dari bangunan ini. Aku terlalu lelah."


Nano berjalan keluar bangunan mengacuhkan Mr. Perfect dan anggota Perfectamundo. Semua anak buah menodongkan pistol ke arah Nano karena menurut mereka Nano menghina Mr. Perfect karena tidak menghormatinya.


"Biarkan saja dia."


Semua anak buah Mr. Perfect menurunkan pistol mereka. Saat berada di luar bangunan, ada seseorang dengan motornya seperti menunggu seseorang. Orang itu membuka helmnya dan menunjukkan wajahnya. Dan ternyata orang itu adalah Panji Budiman.


"Mungkin aku butuh teman satu visi untuk menyelesaikan perang antar mafia yang terjadi bertahun-tahun."


"Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku takut Mr. Perfect akan menghabisi kita disini. Sekarang dia ada di gedung itu."


* * *


Nano, Panji, dan Anita berada di kontrakan milik Panji. Ketiganya berpikir keras cara menyelesaikan perang antar mafia.


"Aku tahu caranya."


"Bagaimana caranya, Nano?"


"Kita datangi saja geng La Roccia terlebih dahulu. Kita minta baik-baik agar mereka untuk menghentikan perbuatan mereka. Setelah itu baru kita hajar geng Perfectamundo."


"Terlihat seperti misi bunuh diri daripada misi penghentian perang antar geng."


"Apa kau bisa melakukan sesuatu, Anita?"


"Saya... saya...,"


Nano menyerang Anita dengan pukulan yang cepat. Tak disangka tentakel dari tubuh Anita menahan pukulan Nano. Nano mundur menjauhi Anita dan sedikit terkejut. Terlebih lagi Panji. Ia benar-benar terkejut.


"Maaf bila saya harus jujur mengatakannya. Singkatnya saya adalah monster yang bertubuh manusia."


Keterkejutan Nano seketika berubah menjadi ide brilian. Ia tersenyum ke Anita.


"Apa kau bisa berubah menjadi wujud lain?" tanya Nano penuh antusias.


"Kenapa kau menanyakan hal itu, Nano?" Panji bertanya kebingungan.


"Sebagian besar monster itu bisa berubah wujud. Benar kan, Anita?"


"Benar. Dan saya bisa melakukannya. Namun saya jarang menggunakannya karena saya takut lupa dengan wujud manusia saya seperti ini."


"Hebat. Kalian kemarilah. Begini ide yang terlintas di kepalaku." Nano menyuruh Panji dan Anita mendekat padanya.


"Begini idenya."


5 – Lady Rock


"Bos Lady Rock, ada kabar buruk!" teriak seorang anggota La Roccia berlari masuk ke ruangan milik Lady Rock. Napasnya tersengal-sengal.


"Cepat katakan!" Lady Rock kehilangan konsentrasinya saat membersihkan shotgun miliknya


"Ada dua orang yang mencoba masuk ke markas kita. Beberapa anggota berusaha menahan mereka. Tapi.."


"Tapi apa? Cepat katakan!"


"Tapi semuanya tidak bisa melawan mereka. Untungnya anggota kita hanya pingsan."


Lady Rock berdiri dari kursinya dan berjalan ke anggota yang melapor dengan membawa shotgun yang sejak tadi ia pegang.


"Hanya pingsan ya?" tanya Lady Rock lalu menodongkan shotgun ke kepala si pelapor


"I.. Iya, Bos. Mereka hanya pingsan," jawab si pelapor dengan gugup.


Lady Rock mengayunkan shotgunnya tepat di kepala si pelapor itu. Si pelapor itu tersungkur ke lantai. Lady Rock makin sering mengayunkan shotgunnya ke tubuh dan kepala pelapor itu.


"Hanya membinasakan dua orang saja kalian tidak becus. Dasar tidak berguna!" Maki Lady Rock.


"Arara, sepertinya kau ada masalah, Lady Rock?" Odin tersenyum dan memainkan pisaunya.


"Tentu kalian sudah tahu apa yang harus lakukan."


"Tentu saja. Sepertinya kedua orang ini sangat pemberani." Vanessa membetulkan box biola yang ada di punggungnya.


"Jangan kecewakan aku, Vanessa dan Odin."


"Serahkan saja pada kami." Odin dan Vanessa beranjak dari ruangan Lady Rock.


Sementara itu, Nano dan Panji bersembunyi di balik kontainer. Rentetan tembakan dari anggota La Roccia cukup membuat mereka kewalahan.


"Apa yang harus kita lakukan, Nano?" tanya Panji.


"Kita menyerah," jawab Nano santai.


"Menyerah? Apa kau sudah gila? Kita baru masuk ke sini dua jam yang lalu dan kau ingin kita menyerah." Panji tidak percaya dengan apa yang Nano bicarakan tadi.


"Sudahlah. Ikuti saja rencanaku. Kau terlalu banyak mengatur."


Nano dan Panji keluar dan mengangkat kedua tangan mereka ke atas.


"Kami menyerah! Jangan tembak kami."


Keduanya ditangkap dan digiring ke ruangan milik Lady Rock. Saat akan memasuki ruangan milik Lady Rock, mereka dipisah terlebih dahulu dan sepertinya Nano masuk terlebih dahulu. Nano didudukkan di kursi dekat Lady Rock.


"Jadi apa yang membuatmu datang ke markasku, hm?" tanya Lady Rock.


"Aku hanya tersesat dan tiba-tiba anak buahmu menembakiku." Nano membela diri.


"Itu karena kau mencurigakan, Sayang. Anak buahku tidak suka itu."


"Mencurigakan? Tentu saja tidak. Aku hanya tersesat dan anak buahmu menembakiku. Dan apa yang kulakukan itu hanya membela diri." Nano makin membela dirinya.


"Maafkan aku kalau begitu. Jadi apa yang kau lakukan disini, hm?"


"Tadi aku berjalan-jalan bersama temanku."


"Temanmu ya? Apa temanmu seorang polisi?"


"Bisa dibilang begitu."


"Temanmu sedang bersama dengan seorang gadis cantik. Jadi kenapa kau tidak menemaniku saja?" tanya Lady Rock sesekali meremas kedua aset berukuran E Cup miliknya.


Nano berdiri dan memeluk pinggang ramping milik Lady Rock. Seutas senyum nakal menghias bibir seksi perempuan berambut ikal kemerahan. Nano memeluk wanita itu dan merapatkan bibir mereka masing-masing. Lady Rock mencengkram bagian belakang jaket biru tuanya. Ciuman mereka terlepas dan napas mereka terengah-engah. Senyum nakal kembali menghiasi bibir Lady Rock. Dengan sedikit gaya nakal Lady Rock mendorong sedikit tubuh Nano dan berjalan ke arah belakang Nano. Nano hanya ikut tersenyum melihat tingkah Lady Rock. Lady Rock perlahan mengambil shotgunnya di pojok ruangan. Seseorang datang dari belakang Lady Rock dan menempelkan sesuatu di leher wanita itu.


"Jangan bergerak!" seru Panji menempelkan revolvernya di leher belakang Lady Rock.


Lady Rock terkejut sesaat lalu tersenyum dan berkata. "Jadi begitu siasat kalian. Pintar sekali."


"Bukan pintar, hanya sedikit beruntung polisi muda kita ini berhasil lolos dari teman Succubusmu itu." Nano tersenyum puas setidaknya beberapa dari rencananya berhasil


"Ternyata mengikutsertakan Anita membuahkan hasil," ucap Panji tidak bisa menyembunyikan kesenangannya.


"Tentu saja, Pak Polisi. Agak repot juga harus berhadapan dengan para perempuan disini." Nano duduk di meja milik Lady Rock.


"Tunggu apa lagi, Pak Polisi Panji. Kau tinggal tembak aku dan semua urusanmu akan beres." Lady Rock memberi saran kepada Panji.


"He-hei! Jangan menyuruh diriku! Memangnya kau siapa hah?"


Seketika tubuh Lady Rock memutar dan menendang tangan Panji yang sedang memegang revolver. Revolver itu terlempar dan kini Panji yang disekap oleh Lady Rock.


"Haduh. Dasar polisi amatiran." Nano menggeleng-gelengkan kepalanya.


"Sekarang apa yang akan kau lakukan, Polisi Muda?" tanya Lady Rock membelai pipi Panji.


"Hei, Nano. Tolong lepaskan aku dari perempuan mafia ini." Panji meronta dibalik sekapan Lady Rock.


"Hmm.. bagaimana ya? Aku lebih suka kau seperti itu. Hitung-hitung kau bisa berdekatan dengan seorang perempuan." Nano hanya tersenyum.


"Tapi tidak di situasi ini, Nano."


"Hei kalian berdua! Sudah selesai berdiskusinya?"


"Kau tenang dulu. Aku sedang berbicara dengan polisi amatiran ini."


"Hei! Siapa yang kau sebut amatiran hah?" Panji terpancing emosinya.


"Polisi yang tidak bisa membunuh sama saja amatiran kan?" Nano makin menyudutkan Panji.


"Sini kau!" seru Panji. "Heh, lepaskan aku!"


Panji melepaskan diri dari kuncian tangan Lady Rock. Hal itu membuat Lady Rock marah dan langsung meraih shotgun miliknya.


"Ayo kita lari dari sini!"


Nano menarik tangan Panji dengan cepat membuat mereka berdua terhindar dari tembakan shotgun Lady Rock.


"Sini kalian berdua! Berani-beraninya kalian mengacuhkanku!"


"Sepertinya kita membuat dia marah."


"Bukan kita, tapi kau."


"Baiklah. Aku yang salah. Ayo kita pergi dari sini sebelum tubuh kita penuh lubang terkena tembakan dari Lady Rock."


Mereka berdua melarikan diri dan menghindar dari tembakan dari shotgun Lady Rock. Tak lupa Panji mengambil kembali revolver miliknya yang terjatuh.


* * *


Sementara itu, Anita tersungkur terkena serangan Vanessa dan juga Odin.


"Mereka bodoh sekali meninggalkan temannya sendirian." Odin tersenyum puas setelah menghajar Anita.


"Kau benar. Mereka memang bodoh."


"Aku bisa menghajar wajah kalian berdua tanpa bantuan siapapun. Aku harus menghentikan masalah di kota ini secepatnya."


"Dasar wanita bodoh." Odin menendang kepala Anita dengan keras.


Anita kembali tersungkur terkena tendangan Odin.


"Vanessa. Kau bisa mencari temannya sekarang. Biar aku urus dia sendiri."


"Baiklah, Odin."


Vanessa pergi meninggalkan Odin dan Anita. Anita bangkit dan Odin sepertinya tidak terkejut.


"Ternyata kau kuat juga. Aku suka denganmu."


Odin melempar pisaunya ke arah Anita. Anita melompat menghindari lemparan pisau Odin dan menendang wajah Odin. Odin pun terjatuh.


Nano dan Panji berlari berusaha keluar dari tempat itu. Namun di tengah pelarian mereka, mereka terpisah. Panji berhenti berlari ketika Vanessa berdiri di depannya.


"Hai. Kenapa kau terburu-buru, Polisi Tampan?" tanya Vanessa mendekati Panji dan membelai pipi Panji.


"He-hei. Apa yang kau lakukan?"


"Kau gugup sekali. Ada apa?"



6 – Truth Between Two Gangs and Policeman


"Kenapa kau ada disini, Kakek Tua?" tanya Lady Rock yang melihat Mr. Perfect yang tiba-tiba ada di dekatnya.


"Aku kesini hanya ingin berbicara denganmu. Sudah 13 tahun kita tidak bicara sama sekali." Mr. Perfect membuka perbincangan.


"Tidak ada hal yang harus kita bicarakan." Ketus Lady Rock.


"Aku tahu kau masih marah padaku. Tapi apakah tidak ada yang bisa kita perbincangkan disini?"


Lady Rock diam tidak ingin menanggapi pembicaraan orang yang ada di hadapannya.


"Ah.. aku ingat disini kafe favoritmu sejak kau masih kecil. Dulu kau selalu memesan es krim dan froyo. Sekarang seleramu sudah berganti." Mr. Perfect tersenyum melihat Lady Rock.


"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Tua Bangka?" Lady Rock mulai kehilangan kesabaran.


"Tidak ada. Hanya sekedar minum kopi, berbincang dan menawarkan sedikit kerja sama."


"Kerja sama? Apa maksudmu?"


"Kita bisa kembali ke titik awal dan memulai semuanya sekali lagi."


"Jangan harap aku bisa percaya lagi setelah kau membunuh suamiku, Ayah." Lady Rock menggebrak meja pertanda kesabarannya sudah habis.


Mr. Perfect terdiam. Dinikmatinya kembali seteguk kopi espresso kemudian sesekali menghela napas panjang.


"Buat apa kau menangisi orang yang tidak berguna seperti itu? Dia bukan siapa-siapa."


"Kalau dia bukan siapa-siapa, kenapa dia bisa menguasai Little Italy bagian utara? Yang dulunya daerah kekuasaan musuh bebuyutan Ayah."


Rasa amarah bergejolak di dada Lady Rock. Sosok yang ada di depannya kini kembali terdiam.


"Dan Ayah tidak bisa menaklukkannya selama bertahun-tahun. Tapi suamiku bisa melakukannya selama lima bulan."


"Roselia, tolong dengar—"


"Tidak. Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari Ayah lagi."


Mr. Perfect menyeruput kopi espressonya yang mulai agak dingin. Ia duduk menyandar di kursi dan mengangkat kaki kanannya dan menyilangkannya di ata kaki kirinya.


"Apa kau tahu anak kecil yang dulu kau bawa itu? Anak dari suamimu."


"Sudah kubawa dia keluar dari kota ini. Setelah itu aku tidak tahu lagi keberadaannya."


"Apa kau tahu? Dia sudah menjadi polisi sekarang."


"Polisi? Bagaimana mungkin?" Lady Rock tidak percaya. "Sekarang usianya baru 18 atau 19 tahun."


"Dia itu sangat cerdas. Bisa saja terjadi. Kalau tidak salah anak itu bernama Panji Budiman, kan?"


"Panji Budiman? Jadi dia ada di kota ini?"


"Sepertinya tidak lagi. Mungkin dia sekarang ada di dekapan Vanessa, atau Odin, atau mungkin keduanya."


"Tidak mungkin. Aku hanya menyuruh mereka untuk menangkap saja. Tidak untuk—"


"Apa kau mengira Vanessa dan Odin menurut padamu lagi? Apa kau tak tahu siapa yang mengirim mereka padamu?"


"Jadi kau...."


"Aku yang mengirimkan mereka untukmu sebagai mata-mataku. Kukira dengan adanya mereka kau akan terpengaruh dan kembali padaku. Ternyata justru mereka yang hampir terpengaruh olehmu."


"Tak akan kubiarkan tangan kotormu memegang anak dari suamiku. Kau sudah melewati batas. Aku akan melindungi anggota keluargaku."


Handphone Lady Rock berbunyi. Ia berdiri dan berjalan menjauh dari Mr. Perfect dan mengangkat teleponnya


"Iya. Ada apa, Leonardo?"


"Gawat, Bos. Perfectamundo mulai menyerang dalam jumlah besar!"


Lady Rock melihat Mr.Perfect dengan tatapan benci.


"Terima saja penawaran dariku. Dan aku akan menarik anggotaku kembali."


Amarah Lady Rock kembali bergejolak. Kini ia benci dan mungkin ia tidak sudi menyebut orang tua yang ada di hadapannya itu sebagai Ayah.


"Kerahkan semua anggota yang ada! Kita pukul mundur Perfectamundo dari wilayah kita!"


Lady Rock menutup teleponnya dan kembali menatap Mr. Perfect dengan tatapan benci.


"Bila kau inginkan jalan kekerasan, kuladeni kekolotanmu!"


7 – Turf War Begin


Hari sudah menjelang pagi dan orang-orang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Namun aktivitas terganggu saat beberapa anggota Perfectamundo memberikan teror di sekitar Bank Artha Graha dan Bank DKI. Mereka menembaki orang-orang di sekitar dan merapok bank dan pegadaian yang tidak jauh dari situ. SPBU pun tak luput dari korban kekejaman Perfectamundo. Orang-orang lari menyelamatkan diri. Tidak sedikit warga sipil yang mati tertembak anggota Perfectamundo.


Sementara anggota La Roccia datang dan memukul mundur anggota Perfectamundo dari Bank Artha Graha dan SPBU. Beberapa mobil dari geng Perfectamundo datang membawa bala bantuan. Baku tembak tidak dapat dihindari.


Polisi-polisi yang berada di Polsek Cikarang Selatan hanya menonton saja berita terkini di televisi.


"Apa kita harus kesana dan menghentikan baku tembak kedua geng mafia itu, Pak?"


"Tidak usah. Tunggu keadaannya kondusif terlebih dahulu, lalu kita kerahkan polisi anti huru hara untuk menghalau dan menangkap beberapa begundal-begundal itu." Kepala polisi dengan santai menonton televisi dan makan bekal sarapan paginya dari istrinya.


Di tempat berbeda, Vanessa mendekap tubuh Panji dan tersenyum nakal mengundang birahi. Perlahan Panji mulai terpengaruh dengan feromon yang dikeluarkan oleh Vanessa. Vanessa menempelkan dua daging kenyalnya ke dada bidang Panji membuat Panji semakin bergairah. Vanessa mencium bibir Panji dan menyedot jiwa. Lady Rock datang dan menembakkan pelurunya ke arah Vanessa.


"Jangan sentuh anak tiriku!"


Vanessa bisa selamat dari tejangan peluru shotgun Lady Rock dengan box biolanya. Ia bersembunyi dengan cepat. Lady Rock mengamati setiap sudut ruangan dan memegang shotgun miliknya dengan waspada sewaktu-waktu Vanessa menyerang.


Vanessa menerjang Lady Rock hingga shotgun terlempar. Lady Rock bangkit dan menendang Vanessa. Vanessa menangkis tendangan Lady Rock dengan Box Biolanya. Pertarungan antara Lady Rock dan Vanessa berlangsung sengit.


Terdengar suara tembakan dari arah Panji. Panji yang tersadar menembak kaki kanan Vanessa hingga terjatuh lalu Lady Rock mengayunkan shotgun miliknya ke kepala Vanessa. Vanessa akhirnya jatuh pingsan.  Lady Rock menghampiri Panji yang tergeletak di lantai.


"Apa kau baik-baik saja, Panji?"


"Aku baik-baik saja."


"Syukurlah." Lady Rock memeluk Panji dengan penuh kasih sayang.


"Kau mirip sekali dengan Ayahmu, Panji," sambungnya.


Tiba-tiba muncul sesosok monster hitam bertentakel di Pos Koramil Lemah Abang dan terus membesar sampai setinggi 300 meter. Makhluk itu bergerak menuju ke wilayah baku tembak antara geng La Roccia dan Perfectamundo. Suasana baku tembak itu berubah menjadi tak terkendali ketika makhluk hitam tinggi itu merusak gedung-gedung di sekitarnya. Banyak korban tewas dari La Roccia dan Perfectamundo. Banyak juga yang melarikan diri dari makhluk itu namun akhhirnya tewas setelah terkena sabetan tentakel makhluk itu. Ada juga yang menembaki dengan senjata mereka. Namun tembakan itu tidak berpengaruh ke makhluk itu bahkan membuatnya lebih ganas. Makhluk itu bergerak ke selatan menuju Hotel Zurri Express Lippo Cikarang.


8 – Shoggoth

Makhluk Shoggoth setinggi 300 meter berhasil memporakporandakan Hotel Zurri Express Lippo Cikarang dan sebagian City Walk Lippo Cikarang. Sebagian besar anak buah Lady Rock dan Mr. Perfect menjadi korban kebuasan Shoggoth itu. Makhluk itu bergerak ke timur menuju Waterboom Lippo Cikarang.


Disaat Nano kehabisan ide menghentikan makhluk itu, sebuah bola api kecil meluncur ke arah makhluk itu. Makhluk itu menggeram kesakitan.


"Bola api itu. Mungkinkah?" tanya Nano pada dirinya sendiri.


"Kakak!" teriak seseorang yang suaranya tidak asing lagi untuk Nano.


"Natera?" Nano seakan tidak percaya adiknya berada di dunia alternatif ini.


Natera turun dari motor Panji dan berlari ke arah kakaknya. Nano menyambut adiknya dengan pelukan erat. Terdengar sesegukan dari Natera.


"Kenapa kau bisa ada disini, Natera?" tanya Nano. "Bukankah kau seharusnya ada di Bingkai Mimpi?"


"Aku juga tidak tahu, Kak. Setelah kakak masuk ke portal itu, tak sengaja aku juga ikut masuk. Dan ketika aku di tempat ini, makhluk bernama Ratu Huban meminta maaf padaku karena menarikku ke tempat ini. Namun kata seseorang yang satu lagi mengatakan kalau aku akan berguna untuk kakak." Jawab Natera panjang lebar.


"Zainurma. Akan kubuat perhitungan dengan kau nanti."


"Maaf, bukan maksudku mengacaukan reuni kalian. Tapi makhluk mengerikan itu semakin beringas."


Benar saja, gedung City Walk Lippo Cikarang rata dengan tanah dan makhluk itu mulai bergerak ke timur menuju Waterboom Lippo Cikarang.


"Bagaimana kita bisa mengalahkan makhluk itu, Natera?"


"Coba kuingat dulu. Sebelumnya aku melihat beberapa catatan milik Zainurma itu. Dan kulihat kelemahannya adalah api. Selain itu aku tidak tahu yang lainnya, Kak."


"Api ya? Bagaimana kalau kita lakukan itu, Natera?"


"Itu?" Natera seakan tidak percaya. "Tapi itu terlalu berbahaya, Kak."


Nano memegang bahu adiknya berusaha menyakinkan. "Kita harus melakukannya agar misi yang diberikan berhasil."


"Baiklah, Kak."


Keduanya tersenyum dan sejenak tertawa.


"Pak Polisi Panji." Nano memanggil Panji dengan sopan.


"Panggil Panji aja. Toh aku lebih muda darimu, Nano Reinfield."


"Bisa antarkan kami ke makhluk itu?" Nano memohon ke Panji.


"Ke makhluk itu? Apa kau sudah gila?" Panji tidak bisa menyembunyikan terkejutnya mendengar pertanyaan gila dari Nano.


"Lebih baik gila daripada harus mati disini."


Panji tidak mempedulikan apa yang Nano pikirkan. Ia membawa Nano dan Natera ke arah makhluk itu. Ia memacu cepat motornya di jalan Moh. Tamrin. Setelah dekat dengan makhluk itu, Nano dan Natera melompat dari motor Panji. Lalu Panji dengan cepat meninggalkan tempat itu.


"Apa kau siap, Natera?" tanya Nano.


"Ayo kita lakukan, Kak," jawab Natera.


Natera menutup matanya dan berkonsentrasi mengeluarkan mana dari kedua tangannya. Nano memakai tudung biru tuanya dan berlari mengelilingi Shoggoth. Tentakel milik makhluk itu berusaha menghalangi lari Nano. Sebuah tentakel mengenai punggung dan membuat Nano terjerembab.


"Kakak!"


"Fokuskan saja perhatianmu pada bola api yang kau buat. Kakak bisa mengatasinya."


Nano kembali berlari memutari makhluk itu dan juga menghindari setiap gerakan tentakel dari makhluk itu. Semakin kencang lari pemuda itu, semakin kencang pula pusaran angin yang ia ciptakan. Makhluk Shoggoth itu terlihat kesal karena tentakelnya tidak bisa menghalangi dan sekarang tubuhnya terangkat beberapa meter di atas permukaan tanah.


"Sekarang, Natera!"


Natera melempar sepuluh bola api berdiameter 50 sentimeter meluncur cepat menuju makhluk Shoggoth yang terperangkap pusaran badai milik Nano. Seketika pusaran angin berubah menjadi badai api yang membakar makhluk itu. Makhluk itu pun berteriak kesakitan. Nano kesulitan menghindar dari badai api itu. Natera yang melihat hal itu hanya bisa menangis melihat kakaknya masih terjebak di badai api itu. Namun seseorang berjalan pincang dan memegang bahunya berjalan mendekati Natera yang menangis. Tangisan Natera mereda begitu tahu kalau orang itu adalah Kakaknya, Nano.


"Kita berhasil, Natera."


"Apa kakak baik-baik saja?"


"Kecuali kaki kanan terkilir dan tubuh yang agak mati rasa, kakak baik-baik saja."


9 – Epilogue


Nano, Natera, dan Panji akhirnya sampai di Polsek Cikarang Selatan tempat Panji bekerja. Mereka terlihat sangat letih namun senang bisa menyelesaikan semuanya.


"Kalian tunggu saja disini. Saya akan segera membuat laporan tentang kejadian ini."


"Kak, bukankah tugas kita sudah selesai? Kenapa tidak ada sesuatu yang membuat kita kembali ke tempat kita?"


"Entahlah, Natera. Mungkin mereka sedang sibuk."


Terbesit sebuah ide dari Nano. Nano pun tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.


"Tunggu disini, Natera. Kakak ada sedikit urusan dengan Panji."


Nano berlari ke arah dapur dan menyiapkan dua gelas kopi hitam. Lalu ia bawa ke ruangan kerja Panji.


"Kopi?" Nano menawarkan kopi ke Panji.


"Ah, iya. Kopi hitam dengan sedikit gula."


Nano meletakkan secangkir kopi ke meja kerja Panji Budiman dan menambahkan sedikit gula.


"Akhirnya para mafia yang bermukim disini bertahun-tahun bisa dibereskan. Itu semua karena bantuanmu, Nano Reinfield." Panji mengambil salah satu gelas.


"Aku hanya menjalankan misi dari seseorang." Nano duduk santai mengambil gelas yang lain lalu meminumnya perlahan.


"Seseorang? Siapa dia?"


Nano meletakkan gelas ke meja. "Kau mungkin tak ingin tahu."


"Kopi buatanmu nikmat sekali. Tidak seperti buatan Pak Paijo."


Seketika itu Panji Budiman menguap beberapa kali dan matanya terasa berat untuk dibuka. Mengetahui ada yang tidak beres dalam dirinya, Panji budiman melihat Nano yang berdiri di sampingnya sambil terkekeh.


"Apa yang kau masukkan ke dalam kopiku, Nano?" tanya Panji sambil memegang kepalanya yang berat.


"Mmm.. hanya obat penenang. Tidak kuberi sianida kok, jadi tenang saja."


"Dasar kau.."


"Jangan marah dulu, Panji. Kan aku sudah menolongmu. Lagipula kau sudah lelah seharian ini. Kenapa kau tidak santai sejenak?"


"Kau akan membayar mahal semua ini, Nano. Kau akan dihukum!"


"Revolvermu bagus. Buatku saja ya?"


Nano mengambil revolver dan beberapa amunisi milik Panji. Setelah itu ia berlari menemui Natera.


"Natera, ayo pergi dari sini!"


Ia menarik tangan Natera dan keluar dari kantor polisi itu. Seketika sebuah portal muncul di hadapan mereka. Mereka masuk ke dalam portal itu.

--

>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 32 - NANO REINFIELD | FIRST CLUE FROM THE FAKE PARADISE
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 10 - NANO REINFIELD | PROTECT FROM NIGHTMARE

21 komentar:

  1. Fata - Po

    Ada bbrp poin yg mau kubahas

    - Konsep ceritanya cukup bagus. Tapi banyak adegan yg masih belum dinarasikan dgn baik, contohnya adegan di mana mafia bawahan Don dilepaskan oleh polisi dan Panji jadi kesal. Semestinya titik beratnya didetilkan di percakapan mafia dan polisi bahwa misalnya Don akan membayar polisinya, atau mafianya kasih uang sogokan atau kasih lencana penghargaan dari Don utk polisinya misal mafianya dilepas, atau mafianya mengancam bahwa para polisi yg berani menangkap bawahan Don, akan berada dalam bahaya berikut keluarganya. Kekesalan Panji juga terkesan selewat karena bagian "polisi melepas mafia pdhl mestinya ditangkap, dan polisinya mengatakan bahwa dilepasnya itu krn bawahan Don" kurang dieksplorasi.

    - Pertarungan lawan Weiss bagus karena memanfaatkan tempat dan menghancurkan botol2 susu yg disayang oleh Weiss, tapi kalau Nano mengerahkan kemampuan angin di sini, kemampuan itu nggak keliatan dalam deskripsi. Tiba2 tongnya meledak setelah Nano masukin kekuatan angin ke pisaunya. Kalau di penulisan, baiknya kasih efek visual atau auditori yg kerasa di pembaca misal "Nano melepas kekuatan elemennya, menyelimutkan angin yang terpusat sepanjang badan pisau sehingga timbul suara bersiul nyaring. Dengan satu lontaran dari Nano, pisau itu menembus udara lalu menancap di badan tong dengan partikel-partikel udara yang memadat. Weiss pun membelalak tak rela ketika tekanan udara secara magis menyeruak dari bilah pisau bagaikan dinamit kecil, meledakkan tong susu itu berkeping-keping." Ini contoh aja.

    - Metode mengalahkan Anita juga pakai elemen angin, mestinya kalau dirinci kekuatan anginnya Nano ngebikin tornado secara bertahap dalam narasi, cerita Nano akan lebih kerasa kualitasnya. Intinya, cerita Nano butuh adegan aksi yg lebih berproses.

    - Karakter dan masa lalu Nano cukup bagus, paling teknisnya ini yg perlu dipoles. Seperti apa Nano menghadapi Anita yg monster, apakah Nano pernah liat monster kyk gitu sblmnya? Kyk gimana sih perasaan orang yg ngeliat monster pertama kali dalam hidupnya? Kyk gimana sih org yang berinteraksi dengan Panji yg naif? Dsb. Ini karakterisasi Nano perlu diperdalam

    - konflik Rochelle dan Perfect itu twistnya bagus, tapi narasi antara dialognya perlu diperjelas supaya efek kagetnya lebih kerasa.

    Nilai dariku 7

    BalasHapus
  2. terima kasih atas kritik dan sarannya. kekurangan penulis masih terkait narasi. sekali lagi terima kasih masukkannya.

    BalasHapus
  3. endingnya radak aneh menurut saya. bukankah dengan lenyapnya mafia misi sudah selesai ya? karna nano sendiri berpihak ke panji. tp kok malah sampe harus bius panji segala biar misinya selesai?

    dr beberapa set sama yg sudah saya bc, di sini konflik diolah dg sedikit berbeda ya. ternyata yang mendasari konflik adalah permasalahan keluarga.

    trus pas panji, anita, nano diskusi, nano mendadak menyerang anita seolah dia sengaja dan tau wujud asli anita. tp kok nano sendiri malah ikut terkejut? jd ngrasa aneh juga wkt bc 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah selesai sih sebenernya, cuma agak diperpanjang sambil menunggu portal ke dunia mimpi kebuka. kan ceritanya portal ke dunia mimpi lama kebuka karena reverier lain udah duluan selesainya.

      hehe.. cuma terinspirasi dari Uttaran. awalnya sih mau kaya Pirate of Carribean yang pertama. tapi entah kenapa malah lari ke Uttaran (kebanyakan nonton sinetron india XD)

      aslinya Nano nggak tau kalo shoggoth itu anita. ada miss scene sih antara Odin vs Anita dan Anita jadi shoggoth.

      terima kasih atas kritik dan sarannya. bakal jadi masukkan buat ke depannya

      Dwi Hendra
      Nano Reinfield

      Hapus
  4. Ebuset, si domba mau dinamain Cloud~

    Scene Dimara yang dibunuh Nano... entah kenapa saya gagal meresapi pergolakan emosi Nano.
    ._.

    Dari semua entry yang ada, kayaknya Entry ini jadi satu-satunya yang lengkap membahas Weiss, sampe ke para pembantunya.
    Well done~
    :D

    Ebuset, si Nano... nakal juga ya, sampe Lady Rock pun ikut dia embat.

    Wogh, hubungan Lady Rock sama Mr. Perfect ternyata ngetwist juga~

    Btw, sepanjang cerita nama Nessa typo semua, wkwkwkwk

    Nama di Venessa mz, bukan Vanessa~


    Saya gagal paham sama conclusion cerita...
    ._.

    Point : 7
    OC : VEnessa Maria~

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenarnya Dimara nggak dibunuh Nano. Nano cuma liat Dimara dibunuh dan ada seseorang berpakaian serba hitam, mungkin dia pembunuhnya atau bisa saja orang yang berhubungan dengan cerita selanjutnya ._.

      sebenernya mau kompakan sama yang lain weiss jadi cameo, tapi entah kenapa malah lengkap banget ._.

      julukannya Nano selain Dual Dagger Dancer juga The Player alias playboy. cuma agak mengekspos ke Dual Dagger Dancernya. .-.

      maaf tidak fokus masukin namanya. mungkin karena terpaku sama weiss xD

      terima kasih atas kritik dan sarannya. bakal jadi masukkan buat ke depannya.

      Dwi Hendra
      Nano Reinfield

      Hapus
  5. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : C
    Overall character usage : B
    Writing techs : C
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Entri ini rasanya kontras ya. Di satu sisi tiap kali ada dialog seringnya berentetan pendek" tanpa dialogue tag, tapi begitu masuk ke narasi aksi atau paragraf deskripsi langsung jadi wall of text

    Beda sama entri segrup lainnya, entri ini ngabisin satu part sendiri cuma buat lawan Weiss. Tapi juga sama kayak entri lainnya, entri ini nge-resort buat bikin Anita jadi monster lagi. Apa mungkin karena terlanjur dicontohin begitu sama empunyanya ya

    Ceritanya sendiri sih ga berkendala apa", kendati masih agak datar dan kurang bumbu. Poin kayak hubungan trio OC tamu di setting ini bagus, tapi kurang impact. Sebaliknya kedatangan Natera malah berkesan tiba" buat saya karena last minute gitu munculnya

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  6. Kayaknya masalah battle udah diulas ama yang lain. Emang sih battlenya kerasa kurang tergambar jelas. scene yang mendadak terjadi tanpa penjelasan sebab agak menganggu sehingga plot pertarungan yang sebenernya bakal jadi battle yang seru jadi kerasa banyak jegalannnya.
    Oh ya, timing penggunaan narasi dan dialog mustinya harus diperhatikan lagi biar kagak terlalu kontras seperti yang dibilang mas sam. Terus juga ada dialog yang berasa gak nyambung feelnya kayak. Seperti “jaga tongnya. Tapi jangan sampai ancur” padahal yg tepat “jaga tongnya, dan jangan sampai ancur.” Kata tapi ini kan ditujuka buat kalimat majemuk yg memiliki arti kontradiksi. Kayak cantik tapi bodoh, cepat tapi lemah. Si weiss kan nyuruhnya cukup dijaga tongnya, jangan sampe ancur. Kecuali dia minta tongnya dijaga dan memperingatkan para maidnya jangan pernah menyentuh barangnya. Kesalahan penggunaan kata penghubung ini yang bikin kalimat terasa seperti ... terdengar aneh aja.

    Nilai 7

    BalasHapus
  7. Hmm, kalau saya bandingin ama entri prelim, tentunya ada perkembangan di bagian plot points ama konsepnya.

    Sayangnya eksekusinya kurang mulus, kalau menurut saya.

    Terutama, di bagian Anita jadi Shoggoth, saya rasa kayak terlalu terburu-buru di bagian situ. Yang kedua, Vanessa ama Odin endingnya kurang nendang, jadi sangat disayangkan juga.

    Adapun, inovasi Lady Rock, Mr.Perfect, dan Panji memberikan intrik yang menarik dan berbeda. Saya senang.

    Battlenya standar cerita-cerita shounen kalau menurut saya, tapi mungkin akan bisa dikembangkan lagi untuk kedepannya.

    Nilai dari saya 7 deh.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  8. mafai... mafiaa an.. dan such a twist yah kalo Lady rock itu emaknya panji, dan Mr Perfect itu mbahnya panji.. but still ntah kenapa saya gagal paham sm rolenya OdinNessa,, err yaap.. mereka jadi mata2ny mr perfect trs waktu battle somwhow rolenya odin berasa hilllang begitu saja.. setelah gebug2an sama anita yang tiba2 berserk.. maaf saya bner2 gagal paham..

    gaya narasinya buat saya gaak kaku dan adegan battlenya agak susah di pahami @3@

    disini 7 dari saya

    Airi Einzworth

    BalasHapus
  9. Waaaoww penulisan dan paragrafnya sangat rapih disini, enak sekali untuk dibaca. Pertahankan, karena membuat pembacamu nyaman itu sering membuat nilai plus bagi anda :D

    Untuk ceritanya pun asik untuk diikuti, namun ada beberapa spot yang adegannya tak ternarasikan dengan jelas (atau mungkin saya aja yang ga mengerti?) dan juga endingnya yang terkesan dipaksakan karena dengan runtuhnya salah satu pihak bukankah portal ke alam mimpi sudah terbuka? Heheheheheh :D

    Karena berhasil menanamkan kepuasan setelah membaca entri ini saya kasih 8

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  10. Cerita tentang Nano ya, pas baca bagian Dimara saya jadi keinget kisah cintanya di prelim.

    Secara keseluruhan sudah lumayan bagus. Plot terbangun cukup baik dan runtut. Emm ... Dari segi battle yang lebih interest yang pas lawan weiss itu ya. Lebih terasa keseruannya.

    Kemudian, kurang berimbang antara dialog dan narasi. Jadi yang bagian after battle itu saya lihat malah kayak semacam naskah skenario karena nyaris tanpa diksi. Selebihnya sudah oke.

    Nilai 7 yaa...

    MirorMirors / Tal

    BalasHapus
    Balasan
    1. soalnya udah janji di R1 ada flashback (karena memento mori-nya weiss) sama kisah cintanya Nano dan Dimara. makasi atas kritik dan sarannya.

      Dwi Hendra @Nano Reinfield

      Hapus
  11. Lumayan bisa belajar bahasa Italy.
    Seperti kata komentator lainnya adegan pertarungannya agak sulit dipahami.
    Tapi entri ini lebih baik dari punya saya

    Nilai 8
    Penulis Dadakan / Arca

    BalasHapus
  12. Saya tidak ada masalah dengan plot atau pertarungannya, tapi lebih ke narasinya, baik itu narasi pertarungan, atau narasi perilaku dari karakternya.

    I know, semua sudah bilang itu, tapi beneran, gaya narasi di sini seperti komentator bola...

    [Natera menutup matanya dan berkonsentrasi mengeluarkan mana dari kedua tangannya. Nano memakai tudung biru tuanya dan berlari mengelilingi Shoggoth. Tentakel milik makhluk itu berusaha menghalangi lari Nano. Sebuah tentakel mengenai punggung dan membuat Nano terjerembab.]

    Coba...

    [Bambang menguasai bola. Bola dioper kepada Parto dan dibawa ke tengah lapangan. Rendi berusaha menjegal Parto. Ah, Parto terguling saudara-saudara!]

    Mungkin saranku narasi pertarunganmu bisa diperhalus seperti ini:

    [Natera perlahan menutup matanya, kemudian ia berkonsentrasi untuk mengeluarkan mana dari kedua tangannya. Sementara itu Nano juga tak tinggal diam, ia mulai memakai tudung biru tuanya sebelum berlari memutari Shoggoth. Sayangnya makhluk itu juga berpikiran sama, beberapa tentakelnya berusaha menghalangi pergerakan Nano. Lalu sialnya lagi, salah satu dari tentakel tersebut berhasil menghantam punggung Nano hingga membuat pemuda itu terjerembab.]

    Maaf kalau contoh saya juga masih termasuk kaku, tapi saya yakin di antara kita semua di sini banyak yang lebih baik, kau bisa curi-curi ilmu dari tulisan dan gaya narasi mereka~

    Untuk saat ini saya hanya bisa beri 7 poin.

    Asibikaashi

    BalasHapus
  13. Nah kalo yang ini kebalikan dari punyaku, kaya akan dialog, saking kayanya perbandingan dengan narasi terlalu jauh. Mungkin karena itu bbrp bagian kayaknya kurang tersampaikan dengan jelas.

    Terlebih lagi dialognya kurang diksi sehingga terasa kurang hidup.
    "bla bla bla." selesai sampai di sana. Bukannya tidak boleh, namun di entri ini lebih dari setengahnya kek gitu. Mungkin lain kali bisa ditambahkan diksinya.

    "Kenapa Anda menanyakan hal itu?" "Ah.. maaf jika gaya bicara saya terlalu formal. Kebiasaan sejak kecil."
    Bagian itu kalau dilihat seklias ambigu. Antara dialog 1 orang yang dipisah yang seharusnya digabung, atau percakapan 2 orang di mana kurang enter :v

    7
    Samara Yesta~


    BalasHapus
  14. sedikit datar. bisa lebih baik lagi jadi tidak masalah~

    total:7
    OC: Mia

    BalasHapus
  15. waduuu
    wall of text di tiap deskripsi battle.
    dan itu bikin harus bca ulang 2-3 kali. agak berat bayanginnya.

    pas baca judulnya, aye mikir, jangan2 ini pake banyak hint dari film "big trouble in little china pula", tapi enggak menemukan hint apapun selain turf war. wwkwkwkwk

    endingnya malah ngerusak suasana ini.

    7 for this entri!

    oc: Wamenodo Huang

    BalasHapus
  16. Habis haha hihi di entrynya King, sekarang saya cuma komen "SERAH LU DEH,NAN. CAPEK GUE"

    Si nano terlalu santai, sampai yang saya liat di entry ini, yang bagus ya twistnya. saya jawdrop juga pas tau Lady anaknya Mr. Perfect ha ha ha.

    Diluar itu, yang bagus adalah penggambaran "Italy" di dalam Bekasi dan canon Nano sendiri.


    Titip 8 deh karena Nessa ga dipisahin dari Odin


    -Odin-

    BalasHapus
  17. Alur ceritanya bagus, udah terbentuk & aku lihat ada potensi mengembangkan alur yg penuh ledakan seru, saya bayangkan si Nano ini kayak Asassin di Asassin's Creed cuma dia lebih flamboyan.

    Cuma sayang, kok nggak imbang ya antara dialig dengan deskripsi tarungnya. Saya lihat banyak dialig yg sbeenarnya bisa dicut,karena nggak bermuatan foreshadow, menegaskan karakter si pembicara, hanya semacam dialog ornamen yg kurang/nggak berguna, gitu. Gaya dialog antara Nano, Panji,Natera juga sekilas masih kelihatan sama kecuali bahasa Italianya itu. Adegan tarungnya malah nggak dikembangkan, nggak dipenggal menjadi paragraf2 dengan detail yg bisa bikin greget. Malah jadi wall of text. Saya juga menyayangkan munculnya Panji, Lady Rock ujug2 aja nggak ada prelude atau pengenalannya.

    Nilai 7, sementara ini.

    Salam, Rakai A
    OC Shade

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.