Jumat, 22 Juli 2016

[ROUND 1 - 1A] 08 - ODIN | DREAM 01. A MASS ENCOUNTERS

oleh : Dee

--
Warning : Harsh Language, no sexual scene (maybe) but some scene may be not suitable for under 18 years old.  Out of Character is slightly inevitable
(Round 1 Setting starts from Part 03)


"Who shot you ?"  | "No one. No one has shot me."  - Frank Gusenber (Deceased Member from Morran Gang, February 14, 1929)


Whatever in front of your eyes, may trick you.



Part 01. Beginning of a Dream

Ruang Pameran, Museum Semesta

Ruangan tempat Odin berada kini sangat kontras dengan tempat yang ia tinggalkan. Nuansa emas dan merah yang menjadi interior utama mengingatkan Odin pada lukisan Olympus yang pernah ia lihat saat menjajakan lukisannya di pasar kesenian Pomupeii beberapa tahun silam. Sayangnya, ruangan tempat Odin berada sekarang hanyalah sebuah galeri biasa, setidaknya terlihat seperti itu, jika tidak melihat dengan seksama lukisan-lukisan yang tergantung di dinding ruangan dan 'mengelilingi' para pengunjung.

Ya. Bukan hanya Odin yang berada di tempat itu. Ada pria berjubah yang menjemputnya, beserta dengan wanita berkepala bantal dan satu wanita lagi. Tidak hanya mereka, ada puluhan makhluk yang berkumpul di tengah ruangan. Mulai dari robot sampai naga, sesuatu yang hanya Odin dengar dari cerita orang-orang di Pomupeii. Odin tidak jelas mendengar ucapan pengunjung yang lebih mirip dengungan, namun perlahan ia bergerak, mengikuti makhluk-makhluk yang ada di sekelilingnya : memperhatikan lukisan-lukisan yang terdapat di sana.

Mata hijau milik Odin membesar saat ia menemukan sebuah lukisan yang menggambarkan dirinya sedang membunuh Tuan.

Apa? Sejak kapan?

Dada Odin kembali sesak mengingat kejadian yang bahkan belum berumur seperempat hari tersebut. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Tuan merencanakan kematiannya sendiri. Odin menggenggam erat tangannya agar tidak gemetar. Ia tidak ingin kematian Tuan menjadi sia-sia karena emosinya yang masih belum bisa sepenuhnya ia kendalikan. Jika Tuan menginginkan kematian ada di tangannya, maka itulah yang akan Odin wujudkan. Satu helaan napas berat mengakhiri gundah Odin dan ia kembali menatap lukisan tersebut.

Dari ucapan pria berjubah dan wanita di sebelahnya, Odin jadi paham bahwa bukan hanya dirinya yang diimingi-imingi dengan pengabulan mimpi. Puluhan makhluk yang berada di ruagan ini sama seperti dirinya, memiliki impian mustahil yang ingin dikabulkan. Tak berapa lama usai pria tersebut mengucapkan sesuatu tentang kualifikasi, ruangan itu bergetar. Odin berpegangan pada dinding, sementara beberapa diantara mereka mulai panik. Suasanya diperkeruh dengan erangan dari beberapa makhluk sebelum tubuh mereka berubah bentuk menjadi guci tanah liat.

Getaran berhenti, namun darah Odin belum berhenti berdesir. Odin membayangkan bahwa ini adalah 'harga' yang harus ia bayar apabila ia gagal. Bukan hanya impiannya tidak terkabul, tapi juga dirinya akan terlahir sebagai guci tanah liat yang tidak terlalu indah. Beberapa pengunjung melayangkan protes pada sang pria berjubah, bahkan mereka mulai bergerak untuk menyerang pria tersebut. Sayangnya, tindakan sigap sang pria yang mengayunkan tongkat plum miliknya berhasil mengempaskan pengunjung ke segala arah—termasuk Odin—dan meredam ketegangan.

"Dengar, aku bukan musuh kalian. Huban akan mengantar kalian pulang ke dunia kalian masing-masing dan silakan menunggu disana untuk instruksi selanjutnya," sahutnya tegas.

 Pengunjung yang terempas perlahan berdiri dan menggeram, namun sebelum situasi kembali memanas, si wanita berkepala bantal bernama Huban dengan nada cerianya membimbing mereka untuk kembali pulang. Para pengunjung museum yang marah hanya bisa menuruti bimbingan Huban. Tubuh mereka sudah terlalu lelah untuk bertempur melawan sang pria. Odin juga sama. Ia hanya ingin pulang dan beristirahat. Sejenak, saat menunggu antrian untuk keluar pintu, Odin menolehkan kepala untuk melihat ruangan museum secara keseluruhan. Keringat dingin membasahi tengkuknya, dan jantungnya terasa seperti diremas padahal ia hanya sekilas melihat ke arah patung yang berada di ujung ruangan.

"Ayo."

Ucapan Huban membuat langkah Odin yang tertahan kembali normal. Beruntung sebuah kekuatan menariknya kembali pulang, dan melepaskan tekanan yang membuatnya ingin muntah.


=====================================================================


Part 02. A Broken Bond

Closed District, Pomupeii

Suara domba mengembalikan kesadaran Odin sepenuhnya ke alam nyata. Domba yang diberikan Huban beberapa jam lalu tersebut memanjakan kepalanya pada dagu Odin dan berhenti saat pemuda berambut coklat keemasan itu menepuk kepalanya. Sesekali Odin menoleh ke belakang, memperhatikan tempat kedatangannya. Tidak ada apapun di sana. Bahkan tidak ada jejak portal yang tersisa

Odin menghela napas. Memperhatikan bekas pertarungan sebelumnya dengan Tuan. Tidak ada jasad, hanya ada jejak darah yang belum sepenuhnya mengering. Tak jauh dari situ, sebuah jasad hanya ditutup koran oleh beberapa orang yang sebelumnya berkumpul.

Rom.

Lelaki pertama yang mencintai Odin sejak dalam penjara bawah tanah rumah Tuan 6 tahun lalu. Lelaki bodoh yang mengorbankan nyawa demi dirinya. Odin merasa beruntung, setidaknya atas tindakan Rom, dirinya masih bisa hidup hingga hari ini. Ia menyunggingkan senyumnya dan mulai berlalu dari tempat itu. Tubuhnya terasa lengket, bahkan darah kering yang menempek di wajah dan rambutnya terasa berminyak setelah bercampur dengan keringat.  Ia butuh mandi.

Odin berjalan dengan hati-hati. Sesuai dugaannya, rumah Tuan kini dipenuhi oleh para bawahan Tuan serta para agen perdagangan dan oknum berwajib yang menjadi mitra kerjanya selama puluhan tahun ini. Ya, sedikit mengenai Tuan, dirinya bukanlah orang biasa. Tidak ada yang tidak mengenal Tuan. Tuan merupakan seorang pengusaha tempat hiburan dan penyalur para pekerja anak yang mempunyai nama dan kredibilitas bagus di Pomupeii.


Odin memilih memutari wilayahnya, berusaha agar tidak disadari oleh para hadirin yang 'merayakan' kematian Tuan. Rencanya ia akan mandi, mengambil baju, dan menghilang dari rumah ini. Ia tidak ingin menjadi bulan-bulanan bagi bawahan Tuan yang tidak tahu bahwa sebenarnya ia membunuh atas perintah sang pemilik nyawa. Odin merasa beruntung karena memiliki domba pengertian yang bahkan tidak mengembik saat dirinya akan membuka tutup manhole dan menyelinap masuk. Sayang, keberuntungannya memiliki domba tidak bisa melenyapkan  kewaspadaan Jordan, salah satu anak buah Tuan yang paling lama mengabdi, karena pria tinggi besar itu kini meletakkan ujung pistol di tengkuk Odin dan membuat gerakan pemuda itu terhenti.


"Ho, pantas kucium bau busuk di sekitar sini. Ternyata masih ada tikus berkeliaran."


Odin terkekeh tanpa berbalik. Tangannya ia angkat ke udara. "Sepertinya kau masih hidup, Jordan."


"Masih berani kau muncul di sini, bocah tengil?"


Odin menelan ludah. Suara putaran yang ia dengar dari belakang kepalanya bisa menjadi sebuah pertanda buruk. Ia tahu Jordan adalah anak buah Tuan yang paling serius. Sama seperti Odin, ia juga mencintai Tuan layaknya orang tua sendiri.

"Aku tidak mendengar jawabanmu. Apa lidahmu telah dicuri kucing, Odin?"

"Kau buta ya? Sebaiknya kau membuka kacamata hitammu yang selalu kau kenakan biar kau bisa lihat bahwa hanya ada domba di sini, tidak ada kucing." Sedikit tertawa sebelum Odin melanjutkan ucapannya. "Sebelum kau mengirimku ke tempat Tuan, bagaimana kalau kau mendengar ceritaku terlebih dahulu?"

"Cerita?"

"Kau pasti tahu siapa yang mengirimkan Tuan ke akhirat, bukan? Aku punya motif dan bisa kuceritakan kalau kau mendengar. Jika setelah kau mendengar motifku dan masih tidak mempercayainya, kirim aku ke neraka. Ke tempat Tuan berada."

"Huh, soal itu? Kau ceritakanlah pada mereka…." Jordan menurunkan senjatanya dan menyarungkannya kembali. "….Tuan."

Odin berbalik dan ia mengernyitkan alis menatap Jordan yeng sedikit membungkukkan badan di hadapan Odin. Pemuda bermata hijau itu mencoba menerka apa yang terjadi di hadapannya. Ia berdehem sejenak sebelum akhirnya membuka suara,

"Biarkan aku mandi terlebih dahulu."


***


Odin tidak habis pikir mengapa sikap Jordan seperti itu terhadap orang yang telah membunuh orang yang memberinya 'kehidupan'? Apa Jordan sudah tidak bisa merasakan emosi apapun bahkan kepada Tuan? Odin mengintip dari balik kamar mandi, dan Jordan berdiri di samping tempat tidurnya, mempersiapkan pakaian. Ditunggu beberapa lamapun Jordan tidak beranjak, dan Odin mulai kedinginan. Sepertinya ia tidak ada pilihan lain.

"Ini…apa?" Odin memperhatikan tumpukan pakaian yang berada di atas tempat tidurnya.

"Pakaianmu sebagai Tuan baru keluarga ini."

"Tuan….baru?" Odin  mengernyitkan alisnya. Ia tidak diberitahu apapun tentang menjadi Tuan baru. Terlebih lagi, apa mereka tidak marah padanya karena telah membunuh Tuan yang memimpin keluarga ini?

Jordan mulai menjelaskan bahwa ia tahu motif Odin membunuh Tuan dan bercerita mengenai sistem pengangkatan di keluarga ini. Sama seperti sistem kerajaan yang menyatakan bahwa penerus adalah anak dari pemimpin sebelumnya. Hanya bedanya, pada keluarga ini harus dibuktikan dengan adu kekuatan yang disyaratkan oleh pemimpin sebelumnya. Dengan kata lain, sang anak harus membunuh orang tuanya sendiri. Tuanpun begitu. Ia membunuh orang tuanya dan ia memutuskan tidak ingin menikah dan memiliki keturunan agar tidak dibunuh oleh anaknya sendiri.

"Tapi kenapa Tuan memungutku kalau begitu? Bukannya dia bisa mati karena sistem kalian yang seperti ini?"

Jordan terkekeh sembari melepas kacamata hitamnya. "Kita sama, Odin. Kita sama-sama dipungut karena kita spesial, meskipun aku tidak tahu apa keistimewaanmu. Dulu ayah Tuan juga memungutku dan melatihku bersama Tuan. Mungkin Tuan memungutmu dan menjadikanmu anak karena ia lelah. Ia sering cerita padaku. Lagipula kau dapat sebuah misi dari Tuan kan?"


Odin terbeliak sesaat karena ia baru tahu bahwa di balik kacamata hitam Jordan hanya ada sepasang mata yang dijahit. Pantas saja tidak ada yang mampu melawan Jordan di tempat minim cahaya.

"Lalu apakah kau membunuh ayah Tuan?"

Jordan menggeleng. "Aku bukanlah penerus, karena ada Tuan. Sedangkan kau, Tuan tidak memiliki anak. Kau paham kan?"

"Oh." Ia berjalan mengambil pakaian yang disiapkan Jordan dan mulai mengenakannya. Mantel yang biasa dipakai Tuan saat menghadiri acara penting. "Tunggulah di bawah. Ada yang akan aku sampaikan."

Jordan mengangguk dan memohon diri untuk kembali ke ruang keluarga dimana jenazah Tuan disemayamkan dalam peti sebelum dibakar.

***

Suasana sangat hening saat Odin memasuki ruangan dengan mengenakan pakaian kebesaran Tuan. Rasanya seperti semua orang menahan napas dan membiarkan Odin melangkah mendekati mayat Tuan.  Sekilas Odin melirik ke bawah, menatap lurus pada wajah Tuan yang telah memejamkan mata di dalam peti.

"Selamat malam, para hadirin." Odin membuka suara dan menatap lurus ke seberang ruangan. "Aku yakin kalian sudah tahu kenapa Tuan yang sangat kalian kagumi ini mati. Ya, aku telah membunuhnya, atas permintaan darinya."

Tidak ada yang berkomentar.

"Aku yakin diantara kalian ada yang tidak terima, terlebih lagi, aku hanyalah bocah. Apa sih yang bisa dilakukan bocah 15 tahun pada bisnis keluarga ini? Sayangnya, kalian tidak punya kuasa untuk membantah kehendak egois laki-laki yang sekarang tidak bisa apa-apa ini."

Terdengar tarikan napas menahan amarah.

"Oleh karena itu sebagai pemimpin baru keluarga ini, aku ingin mengumumkan tiga hal. Pertama-tama, Jordan!"

Yang dipanggil hanya mendekat tanpa bersuara. Odin segera melepaskan mantel yang ia kenakan dan meyampirkannya pada bahu Jordan, membiarkan bagian atas tubuhnya tidak tertutup sehelai benangpun.

"Mulai sekarang, pimpinan keluarga ini adalah Jordan. Dia sudah lama berada di samping Tuan, melebihi aku, jadi dia sudah paham benar bagaimana cara keluarga ini bekerja. Kedua, untuk saat ini aku menghapuskan sistem pergantian pemimpin yang biasa diterapkan oleh Tuan. Jordan jelas bukan anakku dan aku tidak mau mengangkatnya sebagai anak. Jadi aku memilihnya karena memang itu mauku. Terakhir, setelah kalimat ini kuselesaikan, aku akan pergi dan memutuskan tali dari keluarga ini.  Aku sudah selesai berurusan dengan segala sesuatu, dan Tuan yang memperkerjakanku telah mati, jadi aku sudah tidak ada keperluan di sini. Terserah jika kalian menganggapku musuh atau apa di kemudian hari, aku tidak peduli. Aku punya urusan sendiri."

Odin menelan ludah dan tanpa mengucapkan apapun lagi, ia melenggang pergi dari ruang keluarga dan pergi ke kamar untuk mengambil barangnya. Beberapa orang beranjak dan mulai mengejar Odin, ingin menghajarnya, namun dihentikan oleh Jordan yang segera menjalankan perannya sebagai ketua keluarga yang baru.

Usai mengenakan bolero dengan kerah bulu kesayangannya, Odin membawa tas dan melangkahkan kaki menemui domba yang telah menunggu di luar pagar. Apa yang dilakukannya malam ini mungkin menjadi kontroversi, namun ia tidak mengatakan tiga hal tersebut tanpa berpikir. Ia tidak ingin mengambil peran Tuan karena ia HARUS mewujudkan mimpi untuk membangkitkan ibu kandungnya, dan ia tidak ingin dibunuh oleh penerus keluarga yang baru. Lagipula orang bodoh mana yang mau begitu saja menerima sistem seperti itu? Ah well, sang Tuan menerimanya.

Odin menghentikan langkah di depan sebuah gedung tinggi yang didominasi warna merah. Gedung tempatnya tumbuh bersama sang ibu, dan tempat terakhir yang ia datangi sebelum menghabisi nyawa wanita yang sebenarnya ia pikirkan sejak enam tahun lalu. Mulai hari ini dan seterusnya, ia akan menumpang di sini. Ia benar-benar serius ingin memutuskan ikatan antara 'keluarga' Tuan. Selama ini Odin hanya tahu bahwa dirinya hidup untuk Tuan, dan tanpa Tuan, maka ia tidak ada urusan dengan keluarga itu lagi. Lagipula bukankah Tuan sudah bersusah payah menjadi orang bodoh dengan mengorbankan nyawanya sendiri? Bukankah tidak sopan jika ia harus menetap di rumah itu dan menjadi 'manusia' yang menerima takdir yang diberikan oleh keluarga itu padanya? Selama ini dirinya telah dilatih untuk tidak memikirkan rasa bersalah terhadap keluarga korban yang ia bunuh. Bukankah Tuan selalu mengajarkan hal itu?

"Selamat mal….am…"

Suasana di dalam wisma agak sedikit ramai. Bahkan resepsionis tidak berada di tempatnya. Beberapa wanita pemuas nafsu masih berusaha menyembunyikan matanya yang sembab akibat terlalu banyak nangis.

Ah, ya. Lolita..

Odin hampir melupakan wanita yang ia pikirkan sejak usia sembilan, dan ia bunuh beberapa jam lalu karena menghalangi pekerjaannya. Menyesal? Tidak. Meski hampir enam tahun Odin melukiskan perasaannya pada kanvas, namun sebuah pengkhianatan akan menjadi akhir segalanya. Odin tidak suka dikhianati dan sangat jelas tergambar di wajah Lolita saat Odin menunjukkan foto orang yang ia cari. Lolita mengenal sasarannya, namun berusaha menyembunyikan. Odin tidak suka.

"Setidaknya, ia sudah kubawa ke puncak surga, kan?"

Seorang wanita tergopoh-gopoh melewati koridor pertama dan berhenti dengan terengah-engah di hadapan Odin. Wanita yang menjadi ketua wisma, sahabat ibunya sendiri, Maria.

"Maaf ya Odin, malam ini belum ada pekerjaan untukmu." Maria menyeka dahinya yang basah dengan keringat.

"Anu, malam ini kalau bisa aku ingin menginap di sini. Tapi sepertinya sedang repot ya?"

"Lolita meninggal."

"Oh, baiklah. Aku tidur di sini saja. Terima kasih atas infonya, kak," sahut Odin sekenanya sembari menunjuk sebuah ruangan kecil di samping meja tamu. Datar. Ia sudah tahu, dan ia sendiri tidak menyesal, jadi tidak ada gunanya berpura-pura sedih, bukan?

Sepeninggal Maria ke dalam ruangan utama dengan bingung, Odin menghela napas dan iseng mengobrak abrik kotak surat yang isinya belum didistribusikan. Tidak ada surat untuk dirinya, tentu saja—jika si domba yang bersamanya tidak mengembik dengan heboh dan mengacak-acak surat yang sebelumnya telah ia kembalikan ke tempat seharusnya.

"He-hei!!"

Sebuah amplop berwarna merah keemasan ditemukan oleh Odin dari dalam kumpulan surat yang berserakan. Padahal sebelumnya ia sangat yakin amplop itu tidak ada disana, apalagi amplop itu bertuliskan nama aslinya. Tergesa, Odin membuka amplop itu dan membaca surat di dalamnya.

Selesaikan konflik di Little Italy, Bekasi, Indonesia.

Odin melengos. "Konflik? Little Italy? Aku tidak ped—"

Domba yang sedari tadi memerhatikan Odin membaca surat secara tiba-tiba menariknya bahkan sebelum dirinya selesai mengucapkan kalimat. Odin hanya bisa pasrah karena domba yang mengikutinya memiliki kekuatan tarik yang tidak biasa.

***

Ingin rasanya Odin mencincang tubuh si domba yang sukses membuat dirinya menjadi tontonan warga sekitar. Domba itu baru berhenti saat mereka tiba di daerah tertutup yang menjadi 'pintu' penghubung dunia Odin dengan dunia di luar sana.

"Oi, serius nih? Sekarang?"

Sebuah lingkaran yang mirip seperti yang ia lihat di pintu keluar museum menjadi jawaban atas pertanyaannya.

=====================================================================


Part 03. Deal

Jl. Tegal Gede-Little Italy, Bekasi, Indonesia

Portal membuka di sebuah gang gelap yang tak dikenal Odin. Rupanya waktu di dunia baru dan di Pomupeii adalah sama, yakni malam hari. Berbeda dengan Pomupeii, wilayah ini—hampir—dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit yang gemerlap, seperti kota hiburan yang tidak pernah tidur. Odin berjalan pelan menyusuri gang tersebut hingga jalan besar.

Hampir saja Odin tertabrak mobil yang melaju dengan seenaknya saat ia tiba di tepi jalan utama. Setengah merutuk dan menyeka keringat dingin yang melewati tengkuknya, Odin melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat makan yang berada di seberang jalan dengan hati-hati. Ia harus ingat bahwa di tempat ini kendaraan bukanlah hal langka. Ia bahkan bisa melihat kendaraan roda dua dan empat yang tidak sedikit jumlahnya berlalu lalang di jalan besar yang ada di hadapannya.

Kedai yang dituju Odin mirip seperti kedai yang dikelola Rom dulu. Neonnya berwarna-warni, dentuman musik yang seperti tidak ingin kalah dengan deru kendaraan dan beberapa pabrik yang masih beroperasi di sekitar, ditambah lagi dengan adanya dua pria berbadan gempal yang bertugas sebagai penjaga. Odin hanya berharap pemilik tempat ini tidak menjalankan bisnis kedai yang sama seperti yang Rom jalankan.

"Permisi…?" Odin menyapa kedua penjaga kedai yang terlihat seperti mengantuk—atau bosan—karena shift malam mereka.

"KTP." Salah satu pria besar itu menagih sesuatu pada Odin.

Sayangnya pemuda itu hanya mengernyitkan alis.

"KTP!" ulangnya lagi.

Odin sendiri tidak paham apa itu KTP, namun pria di depannya tidak juga menurunkan tangannya yang terngadah. Ia menyerahkan apapun yang berada di saku depan celananya.

Pria di hadapannya justru membuang benda itu dan mencoba mengahajarnya. Namun dengan sigap ia melompat ke belakang sembari mengeluarkan pisau lipat miliknya. Apa salahnya memberikan kondom bekas? Bukankah pemuda itu meminta sesuatu pada Odin? Dan yang di sakunya hanyalah tiga buah kondom bekas pakai. Entah pada pasangan yang mana.

Tindakan Odin yang menghunuskan pisau lipat justru memancing pria satunya untuk bertindak juga. Suara letusan senjata api terdengar, dan hampir saja tubuh Odin berlubang jika ia tidak lihai menghindar. Beberapa warga, termasuk pengunjung kedai dan pengendara mengintip adegan 'tembak-tembakan' yang dilayangkan oleh penjaga kedai terhadap pemuda yang sedari tadi berlari menghindar. Beruntung peluru-peluru tersebut hanya menyerempet kulit serta bajunya, bukan melubangi tubuhnya. Beberapa pengunjung berdecak kagum melihat Odin yang berlarian di atap toko dan bahkan tidak sedikit membuat jendela toko-toko sekitar berlubang akibat terkena peluru nyasar.

Sebuah mobil Rolls Royce Phantom berwarna merah berhenti tepat di depan kedai. Wanita berambut merah dengan syal berbulu keluar dari dalamnya sembari membawa shotgun, langsung memuntahkan isinya pada penjaga yang masih mencecar Odin dengan tembakan beruntun. Siapapun wanita itu, setidaknya ia menyelamatkan nyawa Odin malam ini, karena Odin sendiri tidak yakin bisa terus menghindar dari serangan peluru kedua penjaga tersebut. Warga yang berkerumun pun ikut bubar setelah wanita tersebut memelototi mereka.

"La-Lady…" Kedua penjaga tersebut terseok mendekati sang wanita, namun dengan sigap sang wanita menghantamkan shotgun ke kepala penjaga tersebut. Sedikit sempoyongan, penjaga tersebut menjelaskan. Bergantian. Sementara Odin hanya melihat dari jauh. Ia bermaksud ke kedai untuk makan dan mencari informasi.

"Bagas, bawa pemuda itu ke dalam mobil!" Wanita tersebut menunjuk Odin dan kembali masuk ke dalam mobil. Perlahan ia menurunkan kaca jendela mobilnya, memperhatikan kedua penjaga yang masih berusaha menghentikan pendarahan di betis mereka. "Kalian ke rumah sakit sana. Minta Irwan atau siapa kek gantiin kalian. Lain kali mikir sebelum bertindak. Kalian mau ganti kerugian toko yang kalian lubangi, heh?"

Kedua penjaga terluka itu hanya mengangguk-angguk sedangkan Bagas, sang supir yang tadi diperintahkan membawa Odin, kini telah kembali. Tentu saja dengan melemparkan Odin ke dalam mobil, tepat di kaki sang wanita berambut merah yang mengokang senjatanya, dan kendaraan kembali menyusuri jalan kota.

"Jadi, apa dosamu, anak muda?" tanya wanita tersebut sembari mengangkat kepala Odin dengan ujung kakinya.

Pemuda yang ditanya hanya diam saja. Mata hijaunya menatap lurus.  Ada perasaan getir dan dingin di tengkuknya.

"He.. Kau bisu atau tidak ingin menjawab? Katakan padaku, apa si bau tanah itu yang menyuruhmu menyusup ke kedaiku?!" Kali ini wanita itu meletakkan moncong senjatanya di leher Odin.

"Bukan." Odin menelan ludah dengan berat. Ia sendiri tidak tahu siapa yang menyuruhnya ke sini. Namun jika ingin menetapkan tersangka, kemungkinan besar pria bermantel dan berkacamata yang ia temui di museum adalah orang yang paling bertanggungjawab atas situasinya saat ini. "Aku hanya mencari info."

"Ho.. menarik. Info apa?"

"Bisakah kau turunkan senjata itu dari leherku? Lalu kita akan membicarakannya."

Wanita itu mendngus. Tertawa melalui napasnya. Perlahan ia menurunkan moncong senjata dari leher Odin. Sangat terlihat jelas di wajah pemuda bermata hijau sebuah ekspresi lega.

"Jadi, siapa yang menyuruhmu?"

Odin terdiam sejenak. "Sebelum aku memberikan jawabannya, anda siapa?"

Satu hantaman shotgun dirasakan Odin di wajahnya. Jika ia tidak dengan segera melindungi hidungnya, mungkin saat ini ia akan pergi ke rumah sakit dengan hidung patah.

"Katakan padaku, bajingan!" Wanita berambut merah itu hendak menghantam kepala pemuda yang masih sibuk tertunduk memegangi hidungnya yang berdarah, namun tangan sang pemuda menahannya.

"A-aku bekerja untuk Tuan," jawab Odin sekenanya. Ia sendiri tidak bisa menjelaskan tentang pria museum pada wanita di hadapannya.

"Tuan?"

Odin menjelaskan bahwa ia adalah bawahan seseorang dan memiliki misi untuk menyelesaikan konflik—yang dalam penjelasan Odin diketahuinya dari rumor—di sekitar sini. Instingnya mengatakan bahwa wanita ini bukan wanita sembarangan. Salah ucap, bisa-bisa tubuhnya jadi bubur daging. Entah kenapa aura yang dikeluarkan oleh wanita berambut merah ini lebih menusuk daripada aura yang dikeluarkan Tuan.

"Konflik, huh? Sebenarnya aku agak nggak percaya dengan apa yang kamu ucapkan. Soal Tuan dan misi—apapun itulah. Begini saja, bagaimana kalau kau kuturunkan di Kalimalang, dan kubiarkan kau hidup selama tidak mendekat ke kedaiku lagi. Mendengar ceritamu, suasana hatiku agak baikan."

"Kalimalang?" tanya Odin.

"Kau bukan orang sini, ya? Kalimalang itu sungai—"Ucapan Bagas terhenti karena pukulan dirasakan di tengkuknya, dan membuatnya sempat keluar jalur.

"Siapa yang mengijinkanmu bicara? Kau ingin kuledakkan di sini?" cetus si wanita.

Odin menelan ludah. Ia punya kenangan dengan perairan dan mafia. Ia masih ingat, saat dibawa oleh Tuan lima tahun lalu, dirinya menjadi saksi kematian dealer yang tidak bisa membayar pinjaman pada Tuan. Sama seperti kondisinya hari ini, dealer itu diajak bicara di dalam mobil, meminta perpanjangan waktu untuk ke sekian kalinya. Seperti wanita berambut merah, Tuan juga berkata akan melupakan hutang si dealer dan menurunkannya di pelabuhan. Tidak ada yang aneh saat itu, namun saat mereka tiba di pelabuhan, dan dealer tersebut melangkahkan kaki menjauhi mobil, anak buah Tuan melubangi kepalanya dari belakang. Sejauh yang bisa Odin ingat, itu adalah kali pertama dirinya melihat Tuan bekerja.

Dan kali ini nasib dealer itu tidak akan menimpa dirinya kalau ia bisa lari sebelum tiba di Kalimalang.

"Tidak mau," sahut Odin. "Aku belum boleh mati. Aku masih punya misi."

"Heh." Wanita itu melengos dan mengarahkan moncong shotgun­-nya pada dada Odin yang terbuka.

Odin lebih sigap. Ia lebih cepat menendang senjata itu sebelum sang wanita menekan pelatuk  agar moncongnya mengarah ke atas dan mengeluarkan peluru di sana. Dalam mobil memang sempit, namun setidaknya Odin berhasil membuat atap mobil yang berlubang, bukan dadanya.  Bunyi 'klik' terdengar saat Odin sibuk memfokuskan diri pada sang wanita, dan sebuah letusan terdengar. Hampir saja pahanya berlubang akibat ulah Bagas, seandainya Odin tidak mengangkat kakinya untuk menendang kepala pria yang sedang menyetir tersebut. Masih bertumpu pada tangannya, tendangan Odin berpindah pada si wanita. Meski hanya bisa menendangnya hingga bertubrukan dengan pintu mobil, setidaknya Odin berhasil memisahkan wanita itu dengan senjatanya. Dan sebelum sang wanita mengambil senjatanya kembali, sebilah pisau lipat mendarat di lehernya.

"Jangan coba-coba!"

Mobil yang sedari tadi keluar jalur—tepatnya sejak Odin menendang kepala Bagas—akhirnya berhenti setelah menabrak sebuah hydrant di pinggir jalan. Odin hampir jatuh ke depan, namun tangannya tidak ia pindahkan dari leher si wanita.

"Oke, oke, kamu lulus." Wanita tersebut tergelak sembari mengangkat tangan, namun Odin masih belum menurunkan tangannya. "Aku hanya mengujimu, melihat apakah kamu cocok untuk kutugaskan di keluarga ini."

Odin memicingkan matanya dan mengambil shotgun yang terjatuh menggunakan kaki. Satu hal yang berada di benak Odin : Jangan percaya mafia. Wanita berambut merah itu merapikan syal bulunya dan memandang Odin sembari tersenyum. Ia bersikap seolah tidak peduli jika Odin terus waspada terhadapnya.

"Kau bilang kau punya misi untuk menyelesaikan konflik, kan? Bagaimana kalau aku membantumu? Kau bersihkan pihak oposisi dan Don Perfecto, lalu aku bisa mengambil alih wilayah mereka sehingga tidak terjadi konflik lagi."

"Don Perfecto? Oposisi?"

Wanita itu membuka jendelanya dan menunjukkan pada Odin sebuah portal yang disebut sebagai batas wilayah. Ia mengatakan bahwa wilayah di belakang portal tersebut adalah milik pria tua bernama Don Perfecto, dan wanita itu ingin menguasainya. Lalu ia juga menyebutkan oknum polisi yang sok membela kebenaran dan tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Don maupun dirinya.

Odin mendengarkan dengan seksama dan ia mulai paham konflik yang terjadi di daerah ini. Wanita berambut merah yang ia belum ketahui namanya ini sepertinya ketua sebuah organisasi dan dirinya ingin memperluas wilayah kekuasannya. Sayangnya di lain pihak, ada pria bernama Don Perfecto yang juga memiliki minat yang sama. Odin sudah bisa membayangkan apa yang terjadi jika kedua member organisasi ini bertemu. Pasti akan ada kejadian adu tembak atau tawuran seperti yang sudah-sudah, terlebih lagi minat mereka sama : penguasaan wilayah. Dan di luar kedua organisasi ini, terdapat sebuah pihak yang menentang keduanya. Mungkin mereka adalah pihak-pihak yang lelah akibat masalah yang ditimbulkan oleh kedua organisasi ini. Beruntung di tempatnya dulu, Tuan berhasil mengatasinya.

"Dua ratus juta, bagaimana?" tawar Odin tiba-tiba.

Wanita berambut merah membelalakkan matanya. "Kau minta bayaran?"

"Kau ingin aku menghabisi pihak oposisi dan Don Perfecto yang tidak ingin menyerahkan wilayahnya padamu kan? Kau kira itu gratis?"

"Bukankah aku membantu misimu?"

"Membantu?" Odin melengos tertawa. "Misiku hanya menyelesaikan konflik. Dan mendengar ucapanmu tadi, aku bisa berada di mana saja aku mau. Jika kau tidak setuju membayarku, aku bisa pindah ke sisi Don dan merebut wilayahmu, atau aku bisa berada di pihak oposisi dan menghancurkan kalian berdua. Selama mereka bisa membayarku, aku tidak keberatan bekerja untuk mereka. Jadi jangan besar kepala, selama kita tidak terikat, aku bisa melakukan apapun terhadapmu."

Wanita itu menggerutu pelan. "Baiklah. Dua ratus juta kan? Lima jam dari sekarang, aku akan bertemu dengan Don. Ia berniat untuk negoisasi. Jika kau dapat menghabisi  Don di hadapanku, dua ratus juta milikmu. Bagaimana?"

"Tawaran yang menarik. Baiklah, kita sepakat." Odin menyunggingkan senyumnya.

"Aku minta nomor ponselmu."

"Ponsel?"

Wanita berambut merah itu mengernyitkan alisnya. "Hari gini belum punya ponsel. Kamu hidup di zaman apa sih?"

"Aku berasal dari Pomupeii dan tidak tahu apa itu ponsel."

"Lalu bagaimana aku menghubungimu, goblok?"

"Jangan panggil aku goblok. Aku punya nama. Kau jangan cemas, aku tidak akan mangkir. Saat kau bertemu dengan Don, aku akan menghabisinya. Aku tahu dimana 'tuanku' berada." Perlahan Odin membuka pintu mobil dan keluar membawa shotgun milik wanita yang masih merutuk di dalam. Meski ia tidak tahu cara menggunakan shotgun, setidaknya ia mengurangi resiko ditembak saat berusaha menjauh. "Oh ya ngomong-ngomong, namaku Odin."

Usai membanting pintu, Odin melenggang pergi ke arah utara. Ia tidak ingin tertangkap oleh anak buah Don maupun pihak oposisi saat ini. Tujuan satu-satunya adalah kedai yang batal ia masuki saat baru pertama tiba. Setidaknya kali ini ia bisa masuk tanpa menyerahkan apapun yang mereka sebut sebagai KTP. Odin sangat yakin ia bisa menjual nama tuan barunya pada kedai itu, mengingat sang wanita menyebut kedai sebagai properti miliknya. Selain itu, lapar yang sempat hilang karena perasaan mencekam ketika bersama sang wanita kini kembali.

Di dalam mobil, Bagas mengangkat kepala dari kemudi.  "Lady, apa kau serius mempercayai bocah itu dan bahkan membayar harga yang begitu tinggi?"

"Huh, akhirnya kau bicara juga." Wanita itu mendekat, dan mengelus pipi Bagas dari belakang kursi. "Apa kebodohan anak tadi  menular padamu?"

Bagas melirik sekilas dan melihat bagaimana wanita tersebut menyelipkan sebatang rokok yang menyala di sela jari sebelum mengelus pipinya. Salah gerak, bisa saja bara rokok tersebut berpindah ke matanya.

"Ti-tidak, Lady…"

"Aku akan memanfaatkan anak itu untuk menghabisi si bau tanah. Lumayan ada tenaga tambahan." Wanita yang dipanggil Lady ini kembali pada posisi duduknya dan kembali menghisap rokok di tangannya. "Telpon Arman, suruh jemput aku disini!"

Bagas mengangguk dan menekan tombol di ponselnya untuk menghubungi Arman. Ia tidak ingin membuat mood tuannya makin berantakan.

 ***

Odin berjalan menyusuri Jalan Raya Industri,  melintasi sebuah gedung besar bernama Cikarang Square. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya sebelum ia membuang shotgun yang sedari tadi ia pegang.

"Permisi…" Sebuah suara wanita di jalan segitiga yang berada di samping Cikarang Square menghentikan langkah Odin.

Setengah waspada, Odin menoleh ke arah suara, dan sosok wanita beraroma jeruk hadir di hadapannya.

=====================================================================


Part 04. Venessa Maria

Jl. Raya Cikarang Cibarusah-Little Italy, Bekasi, Indonesia

Gadis berambut oranye itu menurunkan tas biola yang ia bawa dan mengangkat tangannya ketika tiba di portal perbatasan wilayah.

Pemeriksaan rutin untuk siapapun yang melintas.

Tak ditemukan sesuatu yang mencurigakan, gadis itu dipersilakan lewat. Namun sang gadis bukannya langsung masuk, ia justru menghampiri orang-orang yang berada di pos penjagaan.

"K-kau mau apa?" tanya penjaga yang memiliki banyak bulu di wajah dengan gugup. Ada perasaan aneh saat gadis itu mendekati dirinya.

"Um, permisi… Apa kalian tahu dimana markas Don Perfecto?"

Sebuah pistol diarahkan di belakang kepala sang gadis. Membuatnya reflek mengangkat tangan.

"Kau siapa? Mata-mata dari Lady Rock?"

"La-Lady Rock? Siapa itu?"

"Jangan pura-pura bodoh!" Nessa dapat mendengar suara putaran di belakang kepalanya. "Orang luar yang tak memiliki tanda pengenal tiba-tiba menanyakan soal markas Don? Antara orang gila atau mata-mata, dan yang jelas kau bukan pilihan yang pertama."

"A-aku ada keperluan." Gadis itu memejamkan mata, menjaga agar dirinya tidak terlihat gemetar. "Aku masih baru di sini, dan kudengar Don membuka café di ujung jalan sana, makanya aku mau bertemu langsung dengan Don. Aku sedang mencari pekerjaan."

Ia tidak sepenuhnya bohong. Sebelum melewati portal ini, ia memang tersesat hingga ke café yang baru dibangun di ujung jalan sana. Ia juga sudah menanyakan soal kepemilikan dan ditunjukkan jalan menuju portal. Namun dibalik itu, ia memiliki misi lain yang harus ia kerjakan.

Pemuda yang mengacungkan pistol di kepala sang gadis kini mengembalikan senjata itu di sarungnya. Sang gadis menurunkan tangan dan berputar.

"Tidak punya tanda pengenal bukan berarti aku tak punya nama. Namaku Nessa. Jadi, maukah kau mengantarkanku ke tempat Don Perfecto berada?"

Kedua penjaga tadi saling berpandangan satu sama lain. Entah kenapa mereka merasa gerah dan berulang kali menelan ludah hanya dengan berdekatan dengan gadis bernama Nessa ini.

"Aku saja yang antar, bagaimana?" tanya penjaga yang memiliki bulu wajah.

"Enak aja. Aku aja yang antar gimana? Aku agak nggak enak tadi nodongin pistol di kepalanya." Penjaga yang satunya menimpali.  "Kita nggak mungkin antar dia berdua. Harus ada yang jaga di sini."

"Ya kamu aja yang jaga."

"Kamu mau enaknya sendiri ya?"

Nessa tertawa centil. "Yang manapun aku tak masalah, selama aku bisa ke markas untuk pekerjaan."

Yang menodongkan senjata tadi bergegas mengambil mobil yang mereka parkir tidak jauh dari situ, dan bersiap mengantarkan Nessa ke markas.

***

Famiglia café, Jl. Raya Cikarang Cibarusah-Little Italy, Bekasi

Suasana café tergolong lengang. Hanya beberapa pria yang cukup berumur namun tetap gagah yang bermain domino di meja dekat pintu. Gelas-gelas bekas bir masih berserakan di meja yang berada di sebelahnya. Jika Nessa ingin membandingkan, kedua penjaga portal tadi masih tergolong muda daripada pria yang berada di dalam tempat ini.

"Loh, Lex. Sama siapa nih?" tanya seorang pria berkacamata yang muncul dari belakang counter  dan sedang mengeringkan beberapa gelas sebelum menggantungnya di sebelah lemari minuman.

"Don mana?" tanya pria yang mengantar Nessa. "Anak baru ini, mau kerja di tempat baru."

"Barusan balik. Ada janji sama si nenek lampir katanya. Entah apa yang direncanakan orang itu. Gue pribadi sih pengen turun langsung, tapi, akh sial."

Pria yang berada di balik counter menggerutu melihat kaki kanannya yang digantikan oleh besi. Clash dengan kubu Lady Rock mengakibatkan beberapa anggota klan Don Perfecto cacat ataupun meninggal.

Alex menoleh pada Nessa yang memandang bingung. "Sori, kayaknya Don sudah pulang. Jadi gimana nih, mau coba lagi besok, atau—"

"Bo-bolehkan aku numpang tidur di sini barang semalam?" tanya Nessa dengan rona yang dibuat-buat. Sedari tadi ia mengeluarkan feromon untuk memancing pria-pria di sekelilingnya. Ada hal yang membuat birahinya terpacu dan kalau boleh jujur, Nessa sudah cukup menahannya daritadi.

Alex memandang sekitar sebelum memandang paha Nessa yang dirapatkan seperti menahan sesuatu. Udara di sekelilingnya terasa panas, dan Alex merasa haus.

"Sebenarnya ada kamar kosong sih di lantai dua. Ka-kalau kau tidak keberatan, so-soalnya dulu dipakai buat para wanita—kau tahulah…"  Alex merasa gugup. Ia memandang Nessa sebagai godaan terbesarnya. Ia sedang bertugas, tidak bisa jika harus menjelajahi surga dunia bersama Nessa, tapi Nessa hampir tidak bisa ditahan begitu saja.

"Tidak masalah. Tapi aku agak takut kalau tidur sendirian, bagaimana kalau kau temani aku?"

Setan penggoda itu berwujud wanita berdada besar. Bagian lain diri Alex ingin meledak mendengar ajakan penuh desahan seperti itu.

"Bawa teman-temanmu juga boleh…" Nessa mengelus pipi Alex sebelum bergerak ke ujung bar. Ada seseorang yang menarik perhatian Nessa karena penampilannya yang sangat berbeda dengan pria-pria yang berada di sini.

"Itu anak baru. Don membawanya tadi sore." Pemuda di belakang counter menimpali. "Tertarik?"

"Sedikit." Nessa hanya tertarik pada kemungkinan anak itu seperti dirinya, sama-sama pemimpi yang dikirimkan ke dunia ini untuk menyelesaikan konflik.

"Anak muda memang masih berstamina sih."

Nessa berbalik menatap Alex. Ia baru sadar bahwa rata-rata pria yang berada di café ini memiliki umur yang dapat dikatakan mapan dalam berkeluarga. Bukan tidak mungkin sebagian besar dari mereka—jika tidak semuanya—telah berkeluarga ataupun pernah berkeluarga. Walau tidak menutup kemungkinan ada yang masih membujang di usia 'mapan.'

"Ah siapa bilang. Umur nggak menjamin stamina kok." Nessa mengedipkan matanya pada pria counter dan kembali merangkul lengan Alex.

"Wah nona manis yang disana, kau belum pernah coba rasa anak muda ya?" tanya pemuda bertudung biru yang tiba-tiba berbalik.

"Apa kau mau menunjukkan rasanya padaku?" balas Nessa sembari mengedipkan sebelah matanya.

Pemuda bertudung itu menyesap minumannya sebelum menggelengkan kepala. "Mungkin lain kali. Aku tidak ingin mencari masalah dengan kekasihmu."

Nessa terkikik dan mengajak Alex serta pria-pria lain yang berada di dalam café untuk menjelajah surga bersamanya.

=====================================================================

Part 05. Weiss Nacht

Jl. Kp. Cibatu-Little Italy, Bekasi, Indonesia.

Sebuah lingkaran aneh muncul di depan café baru yang berada di daerah kampung Cibatu. Empat pria yang baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka untuk mempersiapkan pembukaan akbar café tersebut sontak terkejut ketika melihat empat sosok yang keluar dari dalam lingkaran.

Tiga orang wanita, satu orang pria yang berperan sebagai pelayan dan seorang anak kecil.

"Sepertinya kita sampai, Tuan." Pelayan tersebut memandang ke sekeliling dan melihat sekilas sosok empat pria yang masih tercengang. "Dan kita sudah membuat heboh orang-orang ini."

"Jadi, sebaiknya kita kemana? Kita harus mencari konflik dan menyelesaikannya, kan?" tanya wanita yang mengenakan pakaian layaknya pelayan Perancis.

"Aku mau susu." Weiss menghela napas dan mulai melangkah.

"Eh? Konfliknya gimana?"

"Tidak peduli," sahut Weiss dengan nada bosan.  Ia membalikkan badan, mencoba pergi ke arah pemukiman.

"Tuan, tunggu dulu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, tapi kita semua baru sampai di sini, dan daerah ini begitu asing. Saya rasa tidak ada salahnya kalau kita bertanya pada warga sekitar di mana tempat orang menjual susu," usul wanita yang lain.

Weiss menghentikan langkah. Ucapan Rubina ada benarnya. Mereka semua  merupakan pendatang yang asing di dunia ini. Jelas ini bukan Planet Alkhemen. Tidak ada dataran bersalju di sini, dan bodoh rasanya kalau ia tidak waspada dengan sekitar.

"Tuan," sapa pria berbaju pelayan. "Di sana ada beberapa orang. Aku sih tidak yakin mereka dapat membantu, tapi boleh coba saya tanyakan?"

"Silakan, Arnold."

Pelayan yang bernama Arnold tersebut mengangguk dan menghampiri keempat pria yang masih mematung setelah melihat fenomena di hadapannya.

"Selamat malam, Tuan-Tu—"

"Siapa kamu?" tanya pria berumur di awal empat puluhan dengan kacamata yang langsung menodongkan pistol ke arah Arnold. Tangannya gemetaran.

"Ah, sepertinya mereka tidak bisa men—"

Belum selesai Arnold melapor pada Weiss, sebuah tembakan dilepaskan oleh pria berkacamata itu dengan panik. Namun dengan sigap Weiss menangkap peluru itu dan mengubahnya menjadi sebuah bola padat yang langsung menyerang sang penembak.  

"Don't you dare to touch my family ever again."

Weiss tidak menggubris ketiga pria lain yang menggeram marah padanya. Ia tidak ingin menimbulkan perkelahian tidak berguna, dan ia merasa tidak memulai masalah dengan ketiga pria yang berada di hadapannya. Weiss berbalik, tidak mengindahkan amarah yang mulai mengalir di udara.

"DASAR MONSTER!!"

Suara tembakan kembali terdengar.

"Kalian tidak mengerti apapun ya?"

Sama seperti sebelumnya. Weiss dengan sigap menangkap peluru-peluru itu dan mengembalikannya pada penembak dalam bentuk bola padat yang menembus tubuh mereka masing-masing.

"Dah, beres. Ayo cari susu."

Kelima orang itu kembali berjalan, meninggalkan empat onggok tubuh yang berlubang di atas aspal.

***

"Penasaran ya gimana café baru kita." Seorang pria tertawa sembari mengendarai jip berwarna coklat.

"Nggak masalah nih, kita mangkir dari pos gini?"

"Tenaaaang. Malam ini kan pertemuannya? Don bilang kita jangan dekat-dekat para bencong itu dulu."

Suara tawa yang membahana di atas mobil jip berganti menjadi sebuah keheningan karena terkejut melihat tubuh empat teman mereka bersimbah darah di atas aspal.

"Bencong-bencong kurang ajar! Telepon Hendro, kita balas perbuatan mereka malam ini."

Pria tersebut memutar kemudi dan melaju dengan kecepatan tinggi, menuju sebuah kedai milik sang Lady.

=====================================================================

Part 06. Anita Mardiani

Daerah Oposisi, Jl. H. Ramin-Little Italy, Bekasi, Indonesia

"AWAS!!!" Seorang wanita berambut pendek segera berlari ke tengah jalan dan  mendorong keluarga yang menyeberangi jalan tersebut, menyelamatkan mereka dari mobil berkecepatan tinggi yang melintas.

Bahkan bukan hanya wanita itu saja yang berteriak. Seorang polisi muda yang sedang berjaga di pos pinggir jalan juga reflek meninggalkan posnya dan berlari ke arah jalan raya—sayang kalah cepat.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya wanita tersebut.

Kelima orang yang baru saja ia dorong perlahan bangkit dan menepuk pakaian mereka.

"Kami tidak apa-apa, terima kasih banyak." Rubina membungkuk sedikit sebelum mengikuti Weiss meninggalkan tempat itu untuk mencari kedai yang menyediakan susu.

Sang wanita penyelamat hanya tersenyum kemudian menatap jalanan yang dilalui orang-orang tadi.  Sementara sang polisi muda mendekatinya dengan heran. Ia ingat betul mobil tadi sempat menyenggol tubuh sang wanita, namun wanita tersebut tidak tampak terluka.

"Kamu… nggak apa-apa?

Wanita tersebut menepuk lutut dan sikunya. "Tidak, aku tidak apa-apa kok, err—Mas Panji."

Panji sempat terkejut darimana wanita ini mengetahui namanya. Namun ia segera mengingat name tag yang berada di bajunya.

"Kau yakin, em—Mbak…"

"Panggil saja aku Anita, dan ya seperti yang kau lihat aku baik-baik saja."

Anita sedikit keheranan sebenarnya. Ia dikirim untuk menyelesaikan konflik, tapi mengapa—sepertinya—ia dikirim ke tempat ia pernah hidup sewaktu kecil dulu? Ditambah lagi suasananya adem ayem begini.

"Ada apa?" tanya Panji yang heran melihat Anita celingukan.

"Er, apa ini daerah Bekasi?"

"Ah ya. Lebih tepatnya ini daerah Little Italy sih."

"Little Italy?" Anita tidak pernah mendengar nama itu sejauh yang ia ingat dalam memori masa kecilnya.

"Iya daerah ini. Namanya Little Italy."

"Sejak kapan namanya berubah?"

"Maksudmu? Namanya sudah seperti ini sejak dulu kok."

Anita mengernyitkan alis.  Apa boleh ia menyimpulkan bahwa ia sekarang berada di Bekasi dimensi lain? Karena beberapa gedung mirip dengan Bekasi yang ada di dalam ingatannya namun soal Little Italy ini benar-benar baru ia dengar.

"Kau beruntung tiba hari ini. Di saat mereka semua sedang 'gencatan senjata' untuk sementara waktu." Panji kembali memancing rasa ingin tahu Anita.

"Maksudnya?"

"Gampangnya sih, wilayah sekarang menjadi wilayah perebutan organisasi bernama La Roccia dan Perfectamundo. Padahal dulu kedua organisasi ini bisa terbilang akur. La Roccia menguasai wilayah utara dan Perfectamundo menguasai wilayah selatan. Namun semua berubah ketika anak dari ketua La Roccia menggantikan posisi ayahnya untuk memimpin La Roccia… Setidaknya itu yang kudengar dari para senior. Aku juga masih baru di satuan ini."

Apakah ini konflik yang harus dituntaskan Anita?

"Perang antar organisasi, ya?" gumam Anita. "Lalu bagaimana dengan sipil yang lain? Apakah mereka wajib masuk ke dalam organisasi yang kau sebutkan tadi?"

"Beberapa yang melawan kedua organisasi tersebut tinggal di wilayah kecil ini. Kami menamakannya pasukan oposisi."

Anita mengangguk. "Dan soal gencatan senjata tadi?"

"Dibilang gencatan senjata juga sebenarnya mereka hanya menunggu sampai malam ini. Seperti yang diumumkan, katanya akan ada pertemuan besar dan kedua organisasi ini akan mencapai kesepakatan. Tapi apa yang kita bisa harapkan dari kedua organisasi yang selalu melemparkan tembakan?"

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?"

"Tengah malam nanti, mungkin aku akan membereskan mereka. Entahlah, terkadang berjuang sendirian membuatku skeptis, dan mengajak sipil dari kelompok oposisi juga bukan tindakan yang tepat."

Anita mendengarkan ucapan Panji dengan seksama. Ia merasa Panji seperti dirinya.

"Loh, anggota polisi yang lain kemana? Masa cuma kau sendiri?"

Panji tertawa. "Ada kalanya hukum bisa dibeli, An."

Polisi korup. Dengan mudahnya dibayar untuk membela kejahatan dan berpihak pada mereka yang memikirkan diri sendiri.

"Kalau gitu, akan aku bantu," sahut Anita.

"Bantu? Tidak, tidak. Aku tidak bisa membiarkan sipil untuk membahayakan diri mereka sendiri."

"Lalu kau akan membahayakan dirimu sendiri? Tenanglah aku punya ide."

Panji terdiam. Ia tidak bisa membalas ucapan Anita.

=====================================================================

Part 07. Another Assassin?

Kedai Neon, Jl. Raya Industri-Little Italy, Bekasi, Indonesia

"WOI, KITA DISERANG!" Lukas tergopoh-gopoh masuk ke dalam kedai sembari membanting pintu. Semua yang berada di dalam—termasuk Odin—langsung menoleh. 

"Diserang gimana?" tanya Bagas.

"Lo nggak denger  apa dari tadi bunyi ledakan? Itu anak buah Don ngelemparin kedai di deket portal." Lukas mencelos.

"Eh seriusan lo?"

"Yaelah. Gue kesini juga gara-gara butuh orang. Mereka pake dua jip, sementara cuma Arga dan Jefri yang jaga di sana."

Bagas menekan ponselnya dan menempelkannya di telinga, menunggu tersambung. "Lo kenapa nggak nelpon aja sih?"

"Pulsa gue abis." Lukas menutup pintu mobil, sementara Bagas memilih mobil lain sembari memberitahukan kondisi kepada Lady.

Odin yang sedari tadi hanya duduk dan menikmati minuman, kini beranjak mengejar Bagas. Jelas ada yang salah. Ia masih ingat betul waktu yang diberikan pada Lady mengenai pertemuannya dengan Don. Seharusnya masih sembilan puluh menit lagi, namun jika saat ini terjadi penyerangan di kubu Lady, dan pelakunya anak buah Don, bukankah Don telah mencuri start?

"Bangsat," rutuk Odin sembari menaiki mobil yang akan dikemudikan Bagas. Ia merasa kecolongan. Bisa-bisa Lady tidak membayarnya dan ia tidak bisa keluar dari dunia ini.

"Lady sudah aku beritahu, pegangan." Bagas meletakkan ponsel di saku celananya dan membawa mobil hitam ini melaju membelah jalanan Bekasi.

***


Portal, Jl. Raya Industri – Little Italy, Bekasi, Indonesia.

Suara tembakan masih terus terdengar. Bahkan ketika mobil Bagas datang, kedua belah pihak masih terus menembakkan butiran-butiran peluru, ditambah dengan latar sebuah kedai lain milik Lady yang terbakar. Beberapa orang menjadikan batang pohon dan mobil parkir yang telah dipenuhi lubang peluru sebagai dinding pertahanan.  Namun ada dari beberpa yang mengalami luka tembak hingga tidak bisa bergerak, baik dari pihak Don maupun Lady.

Bagas memarkirkan mobilnya agak jauh dari lokasi baku tembak. Ia membuka bagasi dan melemparkan beberapa senjata laras panjang pada penumpang mobil tersebut, termasuk Odin. Dengan tegas Odin menolak, ia tidak mengatakan bahwa ia—entah bagaimana—kehilangan kemampuan untuk menembak, ia hanya menjelaskan bahwa spesialisasinya adalah menggunakan pisau dan dalam pertarungan jarak dekat.

Bagas mendecak. Bagaimana mungkin Lady Rock menyewa amatiran seperti ini?

"Sasaranku cuma Don. Sampai aku berhasil membunuhnya, usahakan diri kalian tetap hidup ya." Odin menepuk pundak Bagas dan pergi mengintai di tempat yang agak jauh dari lokasi. Melihat arah mobil-mobil jip itu diparkirkan, Odin bisa mengira-ngira dari arah mana Don Perfecto akan muncul.

Bagas mengokang senjatanya. Jika saja Odin tidak secara langsung memiliki perjanjian dengan sang Lady, mungkin ia akan mengeluarkan peluru di kepala bocah berambut keemasan tersebut. Sudah amatiran, tengil pula. Bagas hanya membuang kesalnya dengan decakan, kemudian berlari untuk bergabung dengan teman-temannya melawan anak buah Don.

"Bangsat kalian!! Jangan harap kalian bisa pulang dengan utuh!" teriak Bagas dari balik pohon yang ada di seberang kedai.

"Kalian yang bangsat. Nyerang wilayah kami seenaknya."

"Kita nggak ada nyerang situ woi." Lukas menimpali. "Sudah jelas kalian yang nyerang kedai kita di sini."

"Halah. Ular kalian semua!!"

Berondongan senjata dilanjutkan. Negoisasipun bukan jalan keluar. Bagas berpikir sejenak. Ia tahu orang-orang Lady bukan orang bodoh yang cari masalah tanpa memikirkan akibat. Ia sangsi pada ucapan anak buah Don yang terkesan mencari alasan untuk memecah perang, namun jika ucapannya benar, maka ia mencurigai satu orang.

Odin, sang pendatang.

***

Sebuah mobil Porsche hitam dan sebuah jip melintas dari arah barat dan berhenti agak jauh dari tempat kejadian.

"Orang kita cuma segini?" tanya pria berumur yang memegang The Thomson '28. Aura yang sama dengan milik Tuan terpancar dari pria tersebut, sama seperti aura yang terpancar dari Lady. Odin yakin, orang inilah yang Odin cari.

"Maaf Don, orang kita yang ada memang cuma segini. Yang lain entah dimana, dihubungi pun tidak aktif." Pria di sebelahnya terlihat sibuk mengeluarkan senjata dari bagasi.

Don hanya menghela napas dan melangkah mendekati zona merah.  Ini adalah saat bagi Odin untuk menyelesaikan misi yang diberikan Lady. Odin berlari mendekati arah pria yang mengangkat senjatanya ke udara. Di tangannya, sebilah pisau terhunus dengan sempurna. Hanya dengan satu ayunan, ia yakin bisa melukai leher pria yang bahkan tidak mengawasi daerah belakangnya.

"Matilah."

Bunyi logam yang berbenturan membuat Don menoleh. Pemuda yang ia rekrut tadi sore kini berhadapan dengan pemuda lain yang memiliki rambut berwarna keemasan. Dari gesturnya, Don tahu bahwa pemuda bertudung biru yang ia rekrut sedang melindunginya dari serangan si pemuda emas. Apalagi Don melihat sebilah pisau terhunus di tangannya.

Odin melompat mundur. Ia sama sekali tidak memperkirakan kehadiran pihak lain yang seenaknya menghalangi apa yang ia lakukan. Dari  pakaiannya, Odin tahu bahwa pemuda yang kini sedang dipuji-puji oleh Don adalah pemimpi yang sama dengan dirinya, dan mungkin memiliki misi yang sama. Ia jelas bukan anak buah Don yang notabene mengenakan pakaian formal, ataupun anak buah Lady yang mengenakan kemeja sutra.

Siapapun orang ini, harus Odin lenyapkan karena telah menghalangi misinya.

Odin menumpukan badan pada kaki kanannya sebelum melesat ke arah si tudung biru. Satu putaran badan, dan serangan Odin berhasil ia hindari. Don menyunggingkan senyum melihat kedua 'bocah' tersebut bermain 'thrust and dodge'. Ia membalikkan badan, membiarkan bocah-bocah bermain dengan dunia mereka sendiri sedangkan ia memiliki masalah dewasa yang harus diatasi.

"Bajingan! Jangan lari kamu, Pak Tua!" Odin melompat, melewati pemuda bertudung biru dan mengejar Don. Namun lagi-lagi si tudung biru mengganggunya. Satu jegalan saat Odin mendarat dari lompatan sukses membuat wajahnya berciuman dengan aspal.

"Kau!" Kali ini seruannya ditujukan pada si tudung biru yang asik bersiul. "Kenapa kau menghalangiku, huh?"

"Kenapa aku tidak bisa menghalangimu?"

Jawaban yang membuat darah Odin mendidih sampai ke kepala. Tidak, tidak, ia harus tenang. Ia diajarkan untuk tidak emosi dalam keadaan apapun. Tidak, tidak boleh.

"Apa maumu?"

"Bernegoisasi denganmu, bagaimana?"  Si tudung biru menyarungkan kembali pisau bertuliskan 'Nano' di hadapan Odin.

"Negoisasi?" Odin meludah. "Apa yang mau kamu negoisasikan? Kau hanya penganggu."

"Gimana kalau kita bermain-main saja? Lupakan misi dan kita berbincang. Sebagai sesama reveriers, tentu saja."

Segala yang dimiliki pemuda yang ia yakini bernama Nano sangat menjengkelkan bagi Odin. Cara bicara dan gestur tubuhnya seolah memperolok Odin dan apapun yang Odin lakukan.

"Kalau aku tidak mau? Aku sama sekali tidak tertarik dengan bualan omong kosongmu."

"Wah, wah, susah juga. Kalau bisa sih aku nggak pengen berantem."

"Kalau begitu, enyahlah!" Odin meninggikan suaranya.

"Itu juga nggak bisa. Kau tahu sendiri kan kalau konflik di sini nggak selesai, kita nggak bisa pulang?"

Pertanyaan bernada mengejek cukup membuat kesabaran Odin habis. Tanpa pertanda apapun, Odin melesat dan menghunuskan pisaunya pada Nano, sayang pemuda itu cukup reflek untuk menghindar meski tangannya masih tetap ia letakkan di dalam saku celana. Cara Nano menghindar mengingatkan Odin pada dirinya sendiri. Jika dugaannya benar, mungkin Nano sama seperti dirinya. Seorang pembunuh yang bekerja pada orang lain.

"Cih." Odin mendecak. Ia mengatur napas dan melipat pisaunya ke dalam saku. "Kau bilang kau ingin berbincang kan?"

"Oh, akhirnya kau mau berbincang denganku?"

"Habisnya kau menghindar terus sih. Bikin capek aja. Jadi gimana, mau bincang-bincang atau tidak?"

"Hahaha, habis kalau kena pisaumu sepertinya sakit. Hm, gimana kalau kita bincang-bincang di sana aja?" Nano menunjuk pada sebuah gedung kosong yang berada di seberang jalan. Odin menimbang, mewaspadai jika itu adalah jebakan yang dipasang. Ia tidak bisa gegabah. "Yah, kecuali kalau kamu mau tetap berada di sini dan kemungkinan terkena peluru nyasar sih ya silakan aja. Aku sih nggak mau."

Nano bergerak menuju gedung kosong di seberang, meninggalkan Odin yang masih terlihat gusar di tengah jalan. Dengan perasaan tidak suka, Odin mengikuti langkah Nano masuk ke dalam gedung kosong tersebut. Sementara itu, di zona merah, adegan baku tembak masih berlanjut. Anak buah Lady masih belum mau mundur meski Don telah menembakkan tiga kali tembakan peringatan ke udara, membuat Don akhirnya turun tangan.

***

"Lalu apa yang mau kau bicarakan? Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu terus-terusan di sini." Odin membuka percakapan segera setelah mereka berdua tiba di dalam gedung. Ia bisa saja pergi menyusul Don ke zona merah dan menyelesaikan misi yang diberikan Lady, tapi pertimbangan terkena peluru dan diganggu oleh Nano membuat Odin memutuskan membunuh Nano terlebih dahulu.

Jika saja ada sesuatu yang bisa memisahkan Don dari zona merah dan membunuh Nano—apapun itu.

"Kenapa kau terpilih menjadi seorang reverier? Mimpi apa yang kau inginkan, er—aku tidak tahu namamu." Nano menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Kenapa kau menghalangiku menyelesaikan misiku. Kau tidak ingin pulang?" Odin balik bertanya.

"Sejujurnya aku tidak suka berkelahi."

"Lalu kenapa kau tidak mati saja? Keberadaanmu menggangguku, kau tahu?"

Nano mengangkat bahu sembari tersenyum. Tangannya masih ia letakkan di saku. "Aku tidak bisa mati sekarang. Ada gadis manis yang menunggu kepulanganku, kau tahu. Sebesar ini loh."

Odin  jijik dengan sikap Nano yang tiba-tiba menggerakkan tangan di depan dadanya, menggambarkan besaran dada wanita yang ia maksud.

"Kalau gitu jangan ganggu. Biarkan aku menyelesaikan misiku."

"Hm, kalau itu, gimana ya?"

Odin menghela napas dan maju menghampiri Nano yang melonggarkan pertahanan karena Odin tidak mengeluarkan senjata apapun.

"Ap—"

Odin menghantamkan kepalanya ke dagu Nano dan sukses membuat si tudung biru songong memegangi wajah dan mengeluarkan pisau miliknya.

"Nah gitu dong. Kan jadi enak kalau mau ngehajar." Odin mengeluarkan tangannya dari saku dan menghunuskan pisaunya pada Nano.

Suara dua buah logam yang beradu menggema di seluruh bagian ruangan gedung kosong tersebut. Yang dihadapi Odin bukanlah 'pembunuh' biasa. Dari caranya mengendalikan pisau, Odin tahu berapa lama Nano 'bekerja sama' dengan senjatanya. Sama seperti dirinya dan si pisau lipat yang tak pernah lupa ia asah.

"Maaf ya, bocah sialan." Odin memutar badannya dan sebelum menggoreskan pisau di wajah Nano. Sayang hanya mengenai bagian bawah matanya.

"Maaf ya aku membuatmu meleset." Nano tertawa singkat sebelum menerjang Odin.

Odin melompat ke belakang dan melemparkan pisaunya ke arah Nano yang reflek menghindar ke palang kayu yang berada di langit-langit.

"Ups, hampir aja," sahut Nano yang membuat emosi Odin tergelitik.

"Cih. Sayang sekali ya."

"Iya, sayang sekali…"

Odin berlari ke arah tumpukan ubin yang berada di ujung ruangan dan melompat ke arah palang kayu, menghampiri Nano yang berjaga di ujung satunya.

"Kenapa tidak kita selesaikan saja sekarang?" tanya Odin dengan seringai yang menandakan kesabaran anak itu telah habis.

"Huh, boleh saja." Nano menyunggingkan senyumnya, menyembunyikan perasaan menusuk yang ia rasakan saat melihat sorot mata Odin.

Odin tidak mengambil ancang-ancang, ia hanya menerjang sedangkan Nano dalam posisi bertahan. Nano masih mencari celah dimana ia bisa menusuk dada Odin yang terbuka. Odin sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bergerak. Jika tangannya ditarik, maka kakinya yang menyerang. Sedangkan di lain pihak, Odin menunggu Nano kehilangan keseimbangan di atas palang dan mengalami patah leher akibat terjatuh, hingga ia tidak perlu bersusah payah membunuh si tudung biru.

"Sampaikan salamku pada penghuni neraka!" seru Odin sembari tertawa da mengangkat tangannya. Sayang, sebuah getaran cukup besar sukses membuat keduanya terjatuh dan menggagalkan tindakannya.

"Sialan!"

========================================================================

Part 08. Appocalypse

Odin dan Nano masih merasakan getaran yang mengguncang gedung tempat mereka berada.

Gempa? Di saat begini?

Suara pekikan tinggi mulai terdengar. Beberapa kaca pecah, dan gendang telinga terasa diketuk oleh sesuatu. Pedih. Setelah gempa, kini apa lagi yang mengganggu mereka? Orang memekik?

Odin dan Nano berlari ke arah jendela sembari memegang kedua telinga mereka.  Getaran masih mereka rasakan dan beberapa bagian langit-langit gedung perlahan runtuh di belakang mereka. 

Pekikan itu kembali terdengar, diikuti suara debuman dari gedung sebelah. Di hadapan mereka, sesosok makhluk bertentakel sedang 'menyapu' jalan. Gurita kah? Makhluk apapun itu, ia sedang mengamuk.

Odin memperhatikan gedung-gedung di sekeliling.

Hancur.

Ia memperhatikan langit, dan melihat sebuah tentakel raksasa terayun ke arah gedung tempatnya berada sekarang. Odin melompat keluar melalui bingkai jendela yang sudah tidak memiliki kaca, meninggalkan Nano di dalam gedung. Ia tidak peduli jika Nano harus mati karena ulah monster besar ini. Ia malah sangat terbantu. Yang penting sekarang, baginya adalah keselamatannya sendiri.

Kekacauan di luar gedung benar-benar tergambar dengan jelas. Kedua belah kubu menghentikan adegan baku tembak yang sebelumnya mereka lakukan. Kini semua berfokus pada monster tak diundang yang datang dan menyapu bersih apapun yang ia lewati.

Beberapa yang menembakinya melemparkan senjata mereka tatkala sang monster memekik. Mereka menutup telinga, bahkan sebagian dari mereka mulai gila karena mata dan telinga mereka mengeluarkan darah.  Odin melakukan hal yang sama. Ia ingin menyerang monster gurita itu secara langsung, namun pekikan dan hantaman tentakelnya pada gedung serta mobil di sekitar Odin cukup membuat langkah Odin terhenti.

Odin menoleh ke sekitar, hampir tidak ada tempat yang bisa ia gunakan untuk mengendap-endap. Gedung tempat ia bersembunyi sebelumnya sudah hancur hampir seluruhnya. Odin tidak bisa kembali dan ia juga tidak melihat sosok Nano di sana.

"Anita!" sebuah suara samar-samar ia dengar dari belakangnya. Telinganya dipenuhi denging. Odin menoleh ke asal suara. Seorang polisi muda berlari ke arahnya dan meneriakkan nama seorang perempuan.

"Anita! Berhenti!" Polisi muda yang melintas di hadapan Odin masih terus berteriak meski telinganya perlahan mengeluarkan darah. Pandangannya tidak lepas pada monster yang masih mengamuk di tengah kota.

Polisi muda dari pihak oposisi yang diketahui bernama Panji tidak menyangka 'ide' yang dibicarakan oleh wanita bernama Anita yang ditemuinya beberapa jam lalu adalah hal ini. Kecurigaannya terhadap sosok Anita yang nekat terjun ke tengah jalan dan bahkan tidak terluka—ataupun merasa sakit—meski sempat diserempet oleh mobil berkecepatan tinggi terjawab sudah. Seeing is believing. Jika ia tidak melihatnya sendiri, ia sendiripun tidak akan mempercayai bahwa monster dan alien memang ada di dunia ini.

"Anita, berhentilah! Yang kau lakukan sekarang justru menghancurkan semuanya!"

Anita—monster itu—memekik. Berulang kali ia menghantamkan tentakelnya dengan panik. Entah apa yang ada di pikiran Anita saat ini, terutama setelah ia mendengar teriakan Panji. Seperti peliharaan yang lepas kontrol namun masih bisa mendengar ucapan tuannya.

Odin berlari ke arah Don dan anak buahnya yang masih fokus menembaki Anita. Sudah tidak ada Nano, jadi sudah saatnya ia menyelesaikan misi dari Lady dan pergi dari sini—setidaknya itu yang dipikirkan oleh Odin jika ia tidak melihat sosok pemuda berrambut merah dengan sebilah pisau di tangan yang tiba-tiba muncul di hadapan Odin.

Nano!

"Hai, lama tak jumpa." Nano mengenakan tudung biru di kepalanya. Entah menyembunyikan luka yang ia terima dari hancurnya gedung kosong atau memang sudah gayanya.

"Cih." Odin mendecak. "Jangan halangi aku, bodoh. Aku perlu bicara dengan tuanmu. Dasar anjing nggak punya otak."

Entah tidak mengerti ucapan Odin yang terlalu cepat, atau telinganya sudah mengalami kerusakan yang parah, Nano justru menghunuskan pisau dan mengarahkannya ke dada Odin.

"Brengsek. Kamu mau kita semua mati gara-gara tuh monster, hah?! Aku mau bicara sama Tuanmu! Memangnya kamu punya apa buat menghentikan monster itu, heh?!!!"

Teriakan Odin didengar oleh Don yang berdiri tidak jauh dari situ. Pria tua yang mengenakan fedora tersebut mendekat, ia melepaskan sumbat kuping yang ia kenakan agar bisa mendengar Odin lebih jelas.  Satu yang ia ingat mengenai Odin, adalah bocah ini ingin membunuh dirinya.

"Tadi…apa katamu? Kau ada perlu denganku, kan?" tanya Don memastikan.

Odin masih menutup telinganya, namun ia dapat membaca bibir Don. "Tembakan tidak akan mempan terhadapnya. Berapa jumlah peledak yang anda punya? Kemungkinan besar makhluk ini tidak mempan terhadap timah. Aku pernah lihat di televisi kalau monster seperti ini tidak tahan terhadap api."

Don memandang Odin dengan seksama, dan Odin tidak melepaskan pandangannya dari Don. Pria tua itu membetulkan letak fedora dan menoleh ke anak buahnya yang hanya tersisa beberapa.

"Bawa lebih banyak C4 ke sini!"

Suara khas mobil Rolls Royce Phantom berwarna merah terdengar dan berhenti tepat di dekat Odin berdiri. Dari dalam, wanita bersyal bulu telah siap mengarahkan senjatanya ke arah Anita. Berulang kali iya berteriak sembari menembakkan shotgun yang ia pegang.

"Babi! Brengsek! Bangsat!! Beraninya kau ngebunuh anak buahku, hancurkan gedungku, matilah kau!!"

Senada dengan Lady, Anita balas memekik dan mengayunkan tentakelnya tepat di depan Odin, Don, Lady, Arman, serta Nano. Membuat kelimanya terempas ke segala arah. 

"Dasar nggak pengalaman. Tuh monster kagak mempan sama senjata lo." Don bangkit dan mengambil fedoranya yang terjatuh tidak jauh. Terseok ia mendekati Lady sembari menutup telinganya yang mulai mengeluarkan cairan merah.

Hampir semua yang mati di tempat ini memiliki kondisi yang sama. Entah tertimbun puing gedung yang hancur, gepeng karena dihantam tentakel, atau mengeluarkan darah dari semua lubang di tubuh mereka. Bahkan Panji yang sedari tadi coba menenangkan Anita kini harus bersimpuh di tengah jalan dan berkali-kali muntah darah dari mulutnya.

Pekikan Anita semakin menjadi. Ia menangis? Atau panik? Atau marah?

Suara tembakan terdengar, dan Don Perfecto bersimpuh pada kakinya sendiri. Rasa sakit yang diderita Lady dilampiaskannya dengan mengarahkan shotgun pada lutut Don yang berada di dekat dirinya terbaring. Lady mengutuk kehadiran monster yang merusak wilayahnya, dan kini musuhnya mengasihininya yang terbaring.

Hidup ini brengsek, baginya.

"Siapapun! Siapapun! Bunuh monster itu, cepat!!!!"  Lady berteriak marah. Senjata kebanggaannya tidak berarti apa-apa di hadapan mollusca setinggi lebih dari lima meter yang masih memekik tersebut.

Odin segera menutup telinga dan mendatangi Arman yang bergelung di atas aspal yang pecah.

"Oi, masih hidup nggak kamu? Bilangin Lady deh, menyingkir dari sini kalau mau hidup. Aku nggak mau kena tembak kayak bapak tua itu."

Arman mengerang. Telinganya berdenging parah hingga ia tidak bisa mendengar suara lain selain dengingannya sendiri. Odin juga merasakan hal yang sama. Ia tidak ingin mati di sini, dan alat peledak yang ia minta pada Don belum juga tiba. Entah sampai kapan ia bisa menahan rasa sakit dan sepertinya ada sesuatu yang ingin keluar dari tubuhnya.

"Don!" Dua orang anak buah Don tergopoh-gopoh membawa satu peti berisi benda-benda plastik yang disebut sebagai C-4.

"Sudah, taruh di bawah monster itu sana, cepat! Sebelum ia sadar!!" seru Don sembari menunjuk-nunjuk Anita yang memutar kepala—atau badan—ke arah yang berlawanan. Perlahan ia bergerak mendekati Panji yang terkapar di tanah.

Anak buah Don sudah tidak bisa mendengar, namun mereka masih bisa mengerti apa yang Don inginkan. Agak kepayahan mereka berlari menuju ke bagian belakang Anita usai memberikan sebuah remote control pada Don. Sayang, seperti memiliki mata, tentakel belakang Anita menghempaskan kedua anak buah Don beserta peti yang mereka bawa.

Sementara itu, Odin merebut remote control  dari tangan Don dan melemparkannya ke Nano sebelum ia membopong Don, membawanya pergi.

"Tenang, jarakmu aman kalau kau ledakkan dari situ. Aku akan bawa Don pergi dari sini."

Odin menjauh, bersembunyi di balik gedung yang hampir terbakar seluruhnya. Sedangkan Arman menyeret tubuh Lady yang pingsan ke belakang mobil. Hanya tinggal Anita, Nano, dan dua anak buah Don yang masih memunguti peledak yang berserakan.

Anita kembali memutar badan dan mengangkat tentakelnya. Sebelum monster itu menciptakan retakan yang bisa membelah jalan dan melemparkan mereka semua ke perut bumi, Nano menekan tombol remote control yang diberikan Odin padanya.

Suara keras dentuman yang bercampur dengan pekikan—atau erangan—dari sang monster menjadi penutup perselisihan yang terjadi malam ini. Anita menggeliat sebelum akhirnya menjadi serpihan daging yang terhambur ke segala arah.

"Hahahahahahaha!!" Nano tertawa di sela-sela suara daging yang masih belum sepenuhnya terbakar. "Kita menang! Kita menang! Kita menang!"

Mimpi buruk ini akhirnya berakhir. Nano bersyukur setidaknya ia tidak ikut meledak sepeti kedua anak buah Don. Ia beruntung hanya terkena serpihan daging si monter. Serpihan daging bisa dibersihkan, yang penting dengan matinya monster, atau kalahnya Lady Rock, Don Perfecto bisa dengan tentram memimpin seluruh wilayah demi keluarga  Perfectamundo. Setidaknya itu yang Nano pikirkan, sebelum ia merasakan rasa sakit dan lega luar biasa pada tangannya, seolah tidak ada apa-apa di sana. Ya, tangan—dan bagian tubuh lain—milik Nano yang terkena serpihan daging Anita perlahan membusuk dan lepas dari tempatnya.

Nano mengerang. Ia berulang kali menyingkirkan serpihan daging yang menempel di badan dengan sisa-sisa tenaganya sebelum akhirnya tubuh itu tidak bergerak, seutuhnya.

Di belakang gedung yang terletak agak jauh dari situ, Odin menghela napas. Semua gangguannya telah dibereskan. Kini hanya tinggal ia dan Don Perfecto yang tidak bisa jalan dengan sempurna. Odin menoleh pada pria tua yang duduk di sampingnya.

"Terima kas—"

Seringai Odin memutus ucapan Don, bersamaan dengan hampir putusnya kepala Don dari leher.

***


Odin bersenandung menyeret kepala Don yang tidak putus sempurna melewati jalanan yang luluh lantak karena ledakan Anita. Mayat-mayat bergelimpangan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah membusuk karena terkena serpihan daging sang monster gurita. Sekilas Odin memandang tubuh bertudung biru yang tidak bernyawa sebelum berhenti di depan Arman yang menyembunyikan Lady dari ledakan.

"Misiku selesai."

Odin menyerahkan Don kepada Lady yang masih terbaring di atas aspal. Pandangannya kosong menerawang. 

"Sampai kapan kamu play dead begitu, heh? Bayaranku, mana?!"

"Odin!" Arman berteriak. "Aku akan membawa Lady ke rumah sakit. Kau bisa mengambilnya di sana."

=====================================================================

Part 09. Broken Deal

Ruang VIP RS Mitra Keluarga Cikarang, Little Italy, Bekasi, Indonesia

Odin masuk dengan persetujuan Arman yang berjaga di depan pintu. Di hadapannya kini, terbaring wanita berambut ikal tanpa syal bulu kesayangannya. Sekeliling wajahnya diperban, dan ia didiagnosa mengalami rusak pendengaran. Wanita yang dikenal sebagai pemimpin keluarga La Roccia itu hanya melirik ke arah Odin sebelum mendelik.

"JANGAN KAMU KASIH UANGKU SEPESERPUN PADA DIA!!" Lady Rock mulai berteriak dan menunjuk-nunjuk Odin.

Odin tersentak. Apa-apaan?!

"DIA YANG BIKIN AKU TULI! JANGAN KASIH UANGKU KE DIA. HAHAHAHA!!"  

Arman yang semula berjaga di depan pintu kini berpindah di dalam. Ia berusaha menjelaskan kepada Odin mengenai situasi yang dialami oleh Lady Rock. Odin melengos, ia tidak peduli bahkan jika Lady Rock harus menjadi orang gilapun, ia tidak akan ambil pusing. Urusannya hanya satu, setelah misi yang diberikan oleh Lady selesai, ia akan meminta bayaran. Sesuai apa yang ia lakukan sekarang.

"Kamu gila ya? Siapa yang mau kasih bocah tengil kayak kamu? Bego kalau kamu percaya. Hahahaha."

Odin tidak menghiraukan ucapan Lady yang ia yakini sudah tidak bisa mendengar lagi. Perhatiannya tertuju pada Arman. Namun pria ini masih bersikeras akan membayar jika Lady telah menyetujui.

"Lebih baik kau membayarku, atau kau akan merasakan nasib yang sama dengan Don."

"Haha, memangnya dengan apa kamu bisa membunuhku? Pisaumu sudah aku sita, kan?" Tawa Arman berhenti tatkala ia merasakan dinginnya logam menyentuh lehernya.

"Kejutan," bisik seorang wanita yang memegang pisau di belakang Arman. "Aku tidak tahu kamu bodoh atau terlalu percaya diri sampai-sampai meninggalkan benda ini di meja luar."

Odin tertawa. "Wah, kita bertemu lagi. Untung kamu tidak tersesat ya… Nessa."

Nessa balas tersenyum. "Seprtinya kau mengalami masalah, Odin."

Arman yang berada di antara keduanya bergerak mencoba melarikan diri, namun Odin lebih sigap untuk menahan tangan Arman sementara Nessa mendekatkan mata pisau pada kulit hingga menyentuhnya. Menciptakan sensasi perih yang membuat Arman setuju untuk memberikan cek pada Odin.

***



"Terima kasih sudah membantuku ya, jumlah anak buah Don sangat-sangat berkurang." Odin tertawa lebar saat mereka tiba di luar gedung rumah sakit.

"As you please, sir." Nessa mengangkat rok dan menekuk lututnya sedikit.

"Tapi aku penasaran deh. Gimana cara kamu nyingkirin mereka? Bukannya kamu nggak suka membunuh?"

"Aku memang nggak suka membunuh. Tadi aja waktu di dalam, aku juga gemetaran. Tapi acting-ku meyakinkan, bukan?" Nessa terkikik. "Lagipula mereka cuma kubawa ke surga kok. Sampai mereka lupa cara untuk membuka mata di saat tugas memanggil."

Odin tersenyum. Meski anak-anak buah Don masih ada yang belum mati, namun Odin yakin sudah tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Apa yang bisa dilakukan anak ayam yang kehilangan induk, sih?

"Kerjamu bagus, Nessa. Akhirnya bayaran telah aku dapatkan. Ternyata hanya selembar ini saja ya…" Odin mengayunkan cek di depan wajah Nessa.

"Bayaranku, mana?" Nessa menengadahkan tangan.

"Aaaa itu… Hm, rasanya ada yang salah. Aku hanya diberi sebuah kertas dengan nominal. Kalau kubagi ke kamu, aku tidak tahu cara membaginya. Kamu juga sama sepertiku, kan?"

Nessa mengernyitkan alis. "Sama sepertimu?"

"Seorang pemimpi, reveriers, atau apalah itu. Kalau memang iya, aku akan membayarmu saat kita bertemu lagi, anggap saja aku ada hutang kepadamu. Aku akan menanyakan perihal kertas ini dulu pada si kepala bantal. Kita ingin ini menjadi uang kan?"

Nessa memainkan bibirnya. Menimbang-nimbang apakah Odin akan menipunya atau tidak. Seandainya Nessa bisa mencuri cek itu dari Odin, mungkin tidak ada masalah.

"Hm, boleh." Nessa memeluk wajah Odin  dan mengecup bibir pemuda itu. "Asal kau memberiku sesuatu."

Odin paham maksud Nessa, dan ia merasa bersyukur ia tidak perlu menggunakan mata kanannya untuk menggoda Nessa karena gadis itu menawarkan diri pada kematiannya sendiri. Odin memang ingin melenyapkan Nessa, meskipun ia memiliki sebuah ketertarikan pada gadis dengan warna rambut yang senada dengan dirinya. Sayang, rasa tamak ingin memiliki semua bayaran masih menggerogoti hati Odin.

Odin merasa bersyukur ia memiliki kemampuan untuk melenyapkan nyawa musuhnya melalui kenikmatan dunia yang menyenangkan baginya. Lebih bersyukur lagi, korbannya sendiri yang menawarkan nyawa padanya.

Ciuman Odin turun pada tulang selangka Nessa sebelum mengarah ke payudara besar gadis tersebut. Tangannya sudah bermain pada liang kemaluan Nessa yang basah. Ada sesuatu dari diri Nessa yang membuat selangkangannya berdenyut. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan kenikmatan seperti ini.

[ Odin, hentikan! ]

Sebuah kekuatan dari dalam diri Odin menariknya dan menghentikan tindakannya terhadap Nessa. Odin sendiri masih belum paham kenapa makhluk tersebut susah payah memisahkannya dengan Nessa.

"Kenapa? Kok berhenti?"

Odin mencari alasan yang baik. Ia tidak mungkin mengatakan eksistensi makhluk lain—yang seenaknya menghilang maupun muncul—di dalam dirinya.

"Aku mendengar dombaku mengembik. Sepertinya misiku disini sudah benar-benar selesai." Odin mengangkat bahu dan mengecup bibir Nessa.

"U-uh.. Jadi… see you next time?"

Odin mengangguk dan melambaikan tangan sebelum berbalik badan. "See you next time."

Sebenarnya domba Odin sudah mengembik sedari tadi, namun Odin masih enggan untuk pergi ke portal yang muncul di ujung lorong. Portal menuju Pompeii, daerah asalnya.

[ Kau, berhati-hatilah dengan gadis itu. ]

"Kenapa?"

[ Ada sesuatu yang tidak kusukai darinya. Kau berteman boleh, tapi jangan berhubungan badan dengannya. Atau kau akan mencelakai dirimu sendiri. ]

"Sejak kapan kau peduli padaku, heh? Lagipula, kemana saja dirimu kemarin? Sekarang muncul, tau-tau menceramahiku."

[ Aku terus berada di dekatmu kok, dan bicara padamu. Tapi kau tidak merespon apapun terhadapku ]

Odin mengernyitkan alis. Justru ia yang tidak mendengar suara dari sosok yang tinggal di dalam dirinya. Rasa penasarannya ingin ia ungkapkan, sayang harus ia tunda karena domba yang ia tinggal di Pomupeii telah menyambutnya.

Ia sudah pulang.


E N D     ?
=====================================================================


Hidden Part. Secret Deal






--
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 05 - ODIN | DREAM 00 : THE LAST TARGET
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 17 - ODIN | DREAM 02. NIGHTMARE

27 komentar:

  1. That feeling, ketika author lain lebih mengenal OC saya luar dalam ketimbang pengarangnya sendiri.

    -="Tidak masalah. Tapi aku agak takut kalau tidur sendirian, bagaimana kalau kau temani aku?"=-

    Saya ngakak poll, wkwkwkwk
    Seducing ability Nessa benar-benar kepake banget di sini. Sesuatu yang bahkan nggak saya garap.
    XD

    Ini battle Odin sama Nano kenapa kerasa aura bromance gini? Mereka berantem tapi saling melempar senyum lengkap dengan kalimat mesra, wkwkwkwk

    Lanjut ke bagian utama.
    Dar der dor battle, terus diganggu sama Anita... seharusnya terasa chaos. Tapi entah kenapa, kesan kacau yang pengen disampaikan kurang terasa.
    Mungkin karena bagian Anita melengking kurang mengena. Saya bahkan gak ngeh kalo semua orang dibuat tuli karenanya.



    ------------------

    Yang terakhir....

    OTP Odinessa kurang porsi..!!
    **Flip table**

    Masa cuma ciuman aja?

    Aaaaaaaaa~.... kuciwa beraaaaaaaat....

    Kurang itu foreplay-nya, cuma digosok-gosok doang selangkangan si Nessa.

    Si Nessa-nya juga pasif, nggak nyerpis kayak biasa.
    Q_Q

    **Rage sampe jadi Super Saiyan 4**



    **terus buka secret part**

    ....

    **Mendadak berubah tenang**

    ..

    Aaaah... charm keduanya pas. Sayang sekali mereka cuma saling menggoda aja, tapi itu cukup.

    ._.


    Point : 8
    OC : Venessa Maria

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkwkwkw
      Di canon saya sih si Odin dan Nessa saya anggap baru ketemu ini dan masih tarik ulur karena kalau nyubles bisa mati kan?

      saya belum gali si Incubus sih (kalau di entrymu kan dia ngendaliin Asmodeus) wkwkwkw


      Thanks udah mampir ya sayang <3

      Hapus
  2. dari awal sampe akhir enak diikuti. btw, terngadah apa ya?


    weish nya lucu, imut. jd dia nggak nglaksanain misinya. berarti dia bkal ke jebak di situ selamanya dong?

    pertarungan odin dan nano serasa pertarungan sesama bocah. saya menikmatinya.

    tp saya nggak kuat baca menjelang akhir dan nggak mau bayangin. mental belum kuat jd buru2 saya slsain. tp ok2 aja kok crtanya.

    9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena ini misi grup, jadi klo ada yg g ngerjain tapi konflik kelar rasanya g masalah deh. tetep keitung kelar www

      karena mereka masih bocah ya ampuun... Odin masih 15 www


      thanks udah mampir

      Hapus
    2. btw tengadah itu terngadah

      Hapus
  3. Very well written. Pembangunan konfliknya sangat solid. Apalagi pembangunan karakternya. Saya bisa semakin membayangkan penokohan Odin.

    Permulaannya mungkin terasa lambat, tapi cara penyajiannya bikin saya nggak terdorong untuk ngeskip. Isinya juga cocok untuk membangun karakter odin dan menyajikan misi.

    Battlenya yang mungkin terasa kurang. Saya ngerasa battlenya terjadi terlalu cepat, dan berakhir dengan begitu saja. Kalau aja battlenya disajikan dengan lebih baik, saya ngga akan keberatan ngasih 9.

    Untuk yang ini saya berikan nilai 8.

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ga akan beralasan aneh-aneh soal battlenya, saya akuin emang kurang engaging.

      thanks king udah mampir

      Hapus
  4. Fata - Po

    Kyk yg sempet kubilang di fesbuk, perasaanku agak campur aduk pas baca entri ini. Krn buatku,entri ini punya poin plus dan minus yg sama2 menonjol

    - plotnya sangat rapi. Meski ada petualangan di Little Italy yg punya alur utama, tapi di Bingkai Mimpinya Odin malah ada cerita yang juga terus berjalan dan isinya tentang keluarga mafia juga. Aku baru nemuin kanon yg dunia asalnya tetap dibangun bahkan setelah BoRnya sendiri berlangsung. Ini kalau petualangan Odin terus dikembangin sampe dua alur ini terus berdiri solid, pasti cerita Odin jadi luar biasa.

    - Jordan punya ciri khas yg keren banget, matanya dijahit. Aku usul deh Jordan jadi salah satu sub-OC Odin yg dibawa ke turnamen

    - Siasat mafia si Lady Rock yg pura2 mau nurunin Odin di kalimalang itu juga kerasa sebagai konsep pemikiran mafia bgt, begitu tau flashback tentang tuan.

    - Dialog Nano sama Odin bagus dan pertukarannya berasa tengil. Si Nano mencuri perhatian di sini.

    Minusnya:

    - karakter Don Perfect sama Lady Rock kurang digambarkan mafia bgt. Kesan aura yg seperti Tuan-nya nggak dieksplorasi melalui tindakan atau pemikiran mereka, kata2 mereka juga terkesan indonesia bgt tanpa kesan Little Italynya. Emang sih ini Bekasi, tapi kalo dibayangin orang italia ngomong "Lo goblok" dsb kayaknya malah ngurangin kesan kharismatik.

    - Narasi pertarungannya berasa kayak narasi pas kegiatan sehari2. Pas tarung di mobil itu konsepnya seru krn ruang sempit, tapi eksekusinya sering pakai kalimat yg kepanjangan sehingga terlalu banyak keterangan waktu atau info yg kalau diskip itu justru akan bikin tarungnya makin seru dan dramatis. Adu pisau antara Odin-Nano itu konsepnya mantep bgt tapi adegan thrust and dodgenya berasa kurang dirinci tahap demi tahap tarungnya. Ngeslash ke mana, ngehindar ke mana, meliuk ke mana, apa ada yg kena duluan, rasa sakitnya Odin, pose tangan Nano yg di saku, sebagian besar kurang dramatic impact sehingga belum kerasa bahwa ini adalah laga, tapi justru kyk yg diskip. Poin ini poin minus utama dariku. Mdh2n nanti Mas Dee bisa eksplorasi tentang metode2 nulis action lagi, krn Odin kan action bgt orgnya.

    - secret ending kurasa kurang pas. Kurasa lebih baik diselipin di cerita utama, karena di sana justru ada adegan yg menjelaskan kenapa Vanessa bisa kerjasama ama Odin di akhir klimaks Broken Deal.

    Berdasarkan kegalauan di atas, nilai dariku 7.

    BalasHapus
    Balasan
    1. MUEHEHEHEHE SAYA SENANG BIKIN PAK PO GALAU

      1. saya coba nyajikan itali rasa indonesia pak, mafia lokal alias preman sih jatohnya ehehehe

      2. ini asya ga bisa alasan banyak, karena ya saya akui battlenya sendiri kurang engaging.

      .

      Kayaknya untuk sementara Jordan masih saya biarkan memimpin keluarganya sendiri di Pomupeii sementara Odin masih terikat dengan 'Museum Semesta'

      Mengenai Plot, sebenarnya involve-nya Odin di keluarganya ini ya sebagai Goodbye. Harapan asya sih biar ke depan saya ga usah terlalu mention masa lalu Odin dan keluarga yang dia tinggalkan

      tapi bisa juga dibikin Odin dan jordan ngopi bareng pas lagi break, gt. cuma say hi kayak rekan lama.

      Makasih sarannya dan makasih udah mampir Pak Po

      Hapus
  5. Entri Mas Dee kali ini solid banget.

    Perkembangan, latar, segala macamnya udah ditulis dengan baik. Walau, kalau menurut saya pribadi, eksyennya kurang. Tapi saya senang interaksi antar karakternya yang hidup. Saya jadi enjoy banget bacanya.

    Dan seperti di entri Venessa, Odin juga memperlihatkan bahwa mereka sudah besanan untuk jadi tim (e)roket.

    Saya ga bisa komentar lebih jauh lagi karena di mata saya entri ini udah solid dan enjoyable.

    Nilai dari saya 8 buat Odin.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam sejahtera mbah amut, maaf saya ga mampir balik,lagi di dokter dah mulai susah OL T_T

      Makasih banyak udah mampir, kalau saya lolos saya kasih mbah review duluan yaaa

      Hapus
  6. Wah entrynya asik banget buat diikuti. Pertarungan di dalam mobil itu intens banget hahaha. Waktu lawan Nano juga asik, rivalry-nya berasa banget.

    Anita berubah ini tribute ke entry aslinya ya. Well, kehancurannya nggak seintens entry aslinya yg fokus dari sudut pandang Anita. Aku ngerasa klo entry ini melengkapi spotlight Odin yg minim di entry Anita.

    Sayangnya, Weiss di sini malah nyasar nyari susu ya? Hahahaha. Padahal waktu baru muncul agak ngarep dia bakal terlibat salah satu pihak. Eh taunya cuma numpang lewat doang. Padahal udah sok keren pake nangkepin peluru segala wkwkwkw.

    Ceritanya udah asyik buat dibaca, karakterisasi udah mantap, secret chapternya kirain bakal adegan ena-ena, eh cuma perkenalan doang. Siyal.

    Kasi 8/10 dulu deh, nanti kalo banyak adegan ena-enanya bakal nambah lagi /eh

    ~FaNa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha makasih dah mampir

      Ena2nya ditunda aja ya. Ini suicide kalau Odin ena ena sama nessa #plak

      Gini2 Odin gentleman. Bukan plot doujin yang baru ketemu langsung cus #plak

      XD

      Hapus
  7. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : C
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Baca ini berasa kayak baca entri Anita, tapi versi Odin

    Satu hal yang saya suka dari entri ini adalah gimana dalam sekilas pandang keliatannya banyak wall of text dengan paragraf padet, tapi pas dibaca ternyata lumayan lancar juga. Tadinya saya kira entri ini bakal lama di pembukaan sebelum ke Bekasi, tapi ternyata ngga juga. Cuma saya heran, kirain Odin diangkat jadi Tuan bakal ada relevansinya ke tengah cerita, tapi ternyata ngga ya

    Semua karakter sampe ke Bekasi dengan porsi entrance yang pas, dan fokus ke Odin juga ga ilang sepanjang cerita. Tapi Anita jadi monster itu berasa tiba", kayak cop-out ngambil dari entri Anita sendiri terus diterusin di sini, kalo yang saya tangkep. Terus entah ga sengaja keskip atau apa, Weiss emang sengaja ga ikut ambil bagian di sini ya? Dan dari kapan Odin-Nessa kerja sama? Saya agak miss di situ

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. I hate you when you found it :))

      ya, saya akui saya influenced by King. Err----

      Kalau Weiss emang cuma numpang lewat doang
      dan Nessa-Odin kerjasamanya saya jelasin di hidden part

      Makasih udah mampir kak

      Hapus
  8. Saya cukup suka entrinya. Tata bahasa disini terkesan serius dan lebih rapi tulisannya.

    My fav part? Bond antara Odin dan Nessa disini, walaupun ga tau sebutan 'bond' cocok buat mereka atau engga disini.

    Entah kenapa, saya ga terlalu bisa menikmati entri ini secara keseluruhan. Saya kesulitan buat memproyeksikan beberapa bagian narasi, terutama ketika battle. Yah, jujur aja ada beberapa istilah yang saya ga tau disini.

    Overall Score: 8

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir, Tanz.

      Istilah mana yang ngga diketahui? jadi kalau lolos buat jadi pengingat saya sendiri untuk bikin footnote

      Hapus
  9. Satu kekuatan dari entry ini adalah hubungan antar karakter. Sayang ga semua masuk di entry ini (menurut komen temen2 sih), tapi saya udah suka dengan hubungan antar karakter.

    Narasi yang oke juga bikin kenikmatan pembaca naik, sayang satu : hubungan sebab akibat dari setiap kejadian agak hit and miss. Ada yang pas ada yang berasa 'lho kok?'.

    Nilai dari William : 9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hit dan missnya gimana rai? Boleh dong dijelasin heuheueheueu


      Thanks udah mampir

      Hapus
  10. Salam, Odin, kita ketemu lagi. Jadi setelah bunuh Tuan sekarang kau main-main sama mafia, ya. Pertama sebelum lupa, itu adegan sama Nessa kentang banget haha.

    Dari awal sampai akhir saya asik ngikutinnya: acara serah-terima jabatan yang berakhir mulus tapi masih ditunggu kelanjutannya, duel Odin dan Nano yang gereget, sampai ke battle utama yang chaos dan transaksi di akhir (balik lagi ke kentang).

    Setting jajanan bekasinya juga lumayan tersirat, atmosfernya jelas, ditambah penyikapan karakter-karakter lain yang cukup menyatu dengan tempat asalnya.

    Long story short, saya suka ini. 9/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehuehueheueheuu saya meminimalisir adanya sesuatu yang bangkit karena nessa sendiri sudah full anu anu ya

      Sorry kalau kentang xD
      masih awal masih kentang

      besok2 jadi ayam bakar


      Thanks udah mampir

      Hapus
  11. nggak jauh beda sama prelim yah. kamu memang sangat menonjol dalam menggambarkan Odin sedemikian rupa. meski tetap saja saya belum bisa bayangin kalau Odin itu masih bocah :D

    cerita kamu memang cukup berwarna. setiap OC lain kamu berikan porsinya masing-masing. meski buat saya itu jadi berasa lama banget bacanya. dan, saya jadi belajar, sebagai pembanding dengan entri saya. mungkin yang dimaksud entri BoR itu seperti entrimu ini. Yang memasukan oc peserta segrup, memberikan sedikit ruang dan porsi. catatan penting buat saya kalau lolos.

    well, dari segi alur sudah cukup bagus dan rapi. pendeskripsian tempat, karakter tergambar dengan baik dan cukup mudah dipahami.


    saya suka endingnya. tidak ada adegan ehem ehem seperti di prelim. ending yang menggantung dan membuat kesal pembacanya. itu cerdas.

    8 dari saya.
    MirorMirors/Tal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehem-ehemnya ditunda sampai sah oleh perjanjian wehehehehe

      Makasih sudah mampir ya.

      {Don worry, Odin bocah cuma di muka dan umur #plak)

      Hapus
  12. nice
    alurnya bagus kok. karakter2 OC oke, cuma rada ga nangkep kenapa org macam lady dan don bisa jadi kepala keluarga yg besar. kharismany ketutup ma yg lain2.
    bagus, cmn mngkin ga bisa favorit krn... dari dulu ga tertarik dg erotika. ini cmn selera pribadi...
    total: 8
    OC: Mia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahah iya saya kurang nonjolin

      makasih ya udah mampir

      Hapus

  13. There's a bitch in here.. Oh dude, c'mon.. Kalau Satan pasti gak akan kegoda. Mungkin kali ya..

    Well serasa di film-film laga Indo yang dipaksa pakai setting luar. Tak terlalu spesifik, tapi begitulah ciri khasnya.

    Kalau menurut saya, pakai kata yang dicampur dengan aksen Indonesia malah bikin bagus. Memang kalau dijadiin mafia khas italia gak kerasa, tapi.. ayolah, ini mafia khas Indonesia.

    Well, gak ada lagi. itu aja.. asik kok

    Nilai: 9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Satan punya sex drive ga? Hahahaha

      Setuju sih, makanya bikin mafia rasa Indo. Indo ini kan hobinya ikut2an, tapi dimodif.
      Saya bikinnya tren orang indo ke Italy-Italy-an tapi masih indo juga orz


      Thanks dah mampir

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.