Jumat, 01 Juli 2016

[ROUND 1 - 1A] 02 - ANITA MARDIANI | BRINGING NUKE TO A GUNFIGHT

oleh : Fachrul RUN

--
 
Volume #2: Bringing Nuke to a Gunfight


Previous Stories





Prologue



Rumah Klaus secara ajaib kembali berdiri. Wujudnya masih sama seperti sebelumnya, yakni bangunan dua lantai yang tinggal sisa separuh. Lokasinya pun tetap di tengah gurun gersang, diawasi makhluk tentakel dari awan. Tapi segala lubang, cekungan, dan kehancuran yang tercipta dari pertarungan Anita dengan Sharif hilang sepenuhnya. Tak hanya itu, jasad Klaus dan Wagner yang Anita tinggalkan di ruang altar pun turut lenyap, memberi gadis itu sedikit ketenangan di tengah kalut.


Anita duduk seorang diri di undakan ruang tengah. Kedua tangannya tertangkup dan kepalanya tertunduk. Wajahnya boleh tersenyum tipis, namun hatinya dicabik-cabik oleh sedih, sesal, dan rasa tidak berdaya.  


Seharusnya aku menyelamatkan mereka.


Salah satu kasus yang paling Anita benci hingga hari ini adalah saat ia menghadapi seorang gorgon di Paris. Makhluk itu berkeliaran di stasiun kereta bawah tanah di malam hari, dalam wujud wanita rupawan yang anggun. Seorang diri ia memburu dan menjebak orang-orang cantik atau tampan. Lalu, ia gunakan kutukan matanya untuk membuat mereka menjadi patung.


Anita dikirim untuk menangani makhluk itu karena kutukan tak berpengaruh kepadanya. Dia pun berhasil menang dengan mudah, sehingga para petugas Asosiasi Penyihir bisa mengobati para korban. Namun kebanyakan korban itu sudah terlambat ditangani. Setelah begitu lama menjadi benda mati, otak mereka bahkan sudah berhenti bekerja saat darah dan daging mereka dipulihkan.


Anita pun semakin disakiti oleh cerita dari para korban yang pulih. Kumpulan pria dan wanita malang itu menuturkan bagaimana kutukan gorgon mempertahankan kesadaran mereka, walau tubuh mereka menjadi patung. Setiap hari mereka berdoa agar diselamatkan, namun tak ada yang terjadi.

Kalau mereka saja sudah begitu menderita, bagaimana dengan mereka yang tak tertolong? Seberapa besar rasa putus asa menghantui di saat hari demi hari berganti, dan tak kunjung ada yang menyadari mereka manusia?


Sejak kasus itu, Anita lebih agresif menghadapi mereka yang bisa menggunakan sihir seperti kutukan gorgon. Ia bertekad akan menjadi dewi penolong saat tak seorang pun menyadari jeritan para korban. Bila ada yang dengan bodoh menggunakan sihir itu di hadapannya, ia pun akan melumat tanpa ragu.


Masalahnya, ia baru saja melihat kejadian seperti itu tadi, saat dirinya dikumpulkan bersama enam puluh orang di Museum Semesta.


Lima orang tak bersalah berdiri di tengah ruang galeri. Seorang pria berjas, yang Anita yakini sudah pernah ia lihat sebelumnya, menyampaikan kalau penampilan mereka tidak memuaskan. Ia bahkan tak menjelaskan apa yang dia maksud.


Lalu tanpa peringatan tubuh kelimanya bergetar. Dengan cepat ukuran mereka menyusut hingga tinggal enam puluh sentimeter saja. Kulit dan daging mereka berubah menjadi tanah liat. Dari manusia normal, kelimanya tiba-tiba berubah menjadi patung aneh. Meski begitu, terasa pancaran jiwa dari dalamnya, menandakan patung-patung itu masih hidup.


Yang lebih buruk lagi? Dewi Mirabelle yang seharusnya ia selamatkan pun terlibat dalam proses transformasi itu.


Mengingat kejadian itu membuat semua mulut Anita pahit. Nuraninya pun terluka. Baru terjadi ketidakadilan besar di hadapannya, dan ia tak bisa berbuat banyak. Pahlawan macam apa dia?   


Sebenarnya ia sudah berusaha. Detik transformasi terjadi, Anita mengubah lengannya menjadi tentakel dan mencoba menggapai Mirabelle serta kedua rekan sang dewi. Namun sebelum ia dapat meraih mereka, ia merasakan sesuatu menariknya, dan tiba-tiba saja ia kembali berada di sini. Ia seperti disegel di kehampaan supaya tak bisa mencegah apapun yang Mirabelle dan kedua rekannya lakukan. Bisa saja sekarang sudah lebih banyak orang diubah menjadi dekorasi jelek.


Diiringi suara dengung, sebuah portal hitam membuka. Kaki telanjang Dewi Mirabelle menapaki lantai rumah Klaus. Wanita berambut merah jambu itu masih mengenakan atribut khasnya, mulai dari helm, perisai, hingga tombak.


Lima mata Anita membuka. Ia tak menyangka Mirabelle akan mendatanginya setelah kejadian tadi. Akal sehatnya memintanya untuk diam dan bertanya baik-baik. Biar bagaimanapun, ia tengah berhadapan dengan seorang dewi. Tapi pemikiran logis itu telanjur ditelan oleh emosi.


"Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan?" tanya Mirabelle.


"Anda Dewi Mirabelle?" tanya Anita sebelumnya, beberapa saat setelah ia menyadari dirinya berhadapan dengan dewi yang ia cari. "Ada yang harus saya sampaikan."


Namun Mirabelle, meski ingin mendengar, mengatakan kalau ia belum bisa ngobrol dengan Anita saat itu. Ada hal penting yang harus Anita lihat, katanya. Lalu Anita pun diperlihatkan acara horor di Museum Semesta.  


Anita melenting ke arah Mirabelle. Pori-pori tubuhnya menyerukan lengkingan panjang.


Mirabelle tak menghindar. Ia juga tak mengangkat perisai dan tombaknya. Pukulan Anita pun mendarat telak di wajahnya tanpa halangan. Tapi, bukannya terpental atau tersungkur, tubuh sang dewi terurai lenyap.


"Sebaiknya hentikan itu, Anita Mardiani...." tubuh Mirabelle membentuk lagi sepuluh meter di belakang Anita. Tak terlihat memar akibat pukulan barusan. "Kamu hanya akan buang-buang energi bila menghadapiku sekarang."


Lengan Anita terayun ke belakang bagai cambuk, mengenai sisi kepala Mirabelle. Seperti sebelumnya, Mirabelle hanya lenyap sebelum membentuk diri lagi di atas undakan.


"Tenang?!" tanya Anita. "Kamu baru saja mengubah lima orang tak bersalah menjadi patung!" masih dapat ia rasakan jiwa mereka terkurung dalam wujud baru itu. "Kalau kamu mau aku tenang, kembalikan mereka seperti semula!"


Kembali, Mirabelle tak menghindar saat tinju Anita menghantamnya. Dia hanya tersusun ulang di belakang gadis itu, akhirnya membuat Anita sadar kalau ini memang tidak akan selesai-selesai.


"Bukan maksud saya untuk melimpahkan kesalahan, tapi pelaku kejahatan itu bukan saya."


"Lalu siapa?!" akhirnya Anita mencoba berdialog, tanpa melayangkan pukulan sembarangan.


"Ah ya. Kamu dilempar sebelum Zainurma sempat memberi penjelasan," sahut Mirabelle. "Transformasi terjadi atas perintah Kehendak. Kamu sudah melihatnya, bukan?"


Baru sekarang Anita mendengar istilah itu, namun tiba-tiba benaknya dipenuhi imaji tentang sebuah patung. Lebih tepatnya, patung raksasa berbentuk otak. Ia sempat melihatnya sesaat sebelum dirinya dilempar ke sini. Menurut ingatannya yang masih kacau, ia juga sudah melihatnya bahkan sebelum ia dikirim ke sini untuk bertarung dengan Sharif.


Tubuhnya bergetar. Ia juga mengingat sensasi yang menghantuinya saat ia melihat patung itu pertama kali: rasa takut. Seakan ia berdiri di hadapan salah satu Nama Terlarang. Ia telah menjatuhkan berbagai macam monster, termasuk makhluk separuh dewa. Namun bahkan ia pun merasa tak bermakna di hadapan patung itu.


"Dan kamu, seorang dewi, hanya diam saja melihat itu?" tanya Anita.


Mirabelle mengangkat bahu. "Dulu, aku mencoba mencegah hal-hal seperti itu terjadi. Setelah ratusan kegagalan, aku tahu betapa sia-sianya untuk mencoba. Kekuatan Kehendak absolut di sini."


Punggung Anita seperti berbuih. Lengan kanannya bahkan mulai terlihat ditumbuhi cacing, karena tentakel-tentakel yang menyusunnya bergerak liar. Rasa pahit itu masih ada. Tapi... apa yang bisa ia lakukan? Tetap memukuli Mirabelle?


Amarah sudah berangsur sirna dari mulut Anita saat ia kembali berbicara. "Dia itu apa?"


"Makhluk yang cukup kuat untuk memerangkap seorang dewi." Mirabelle mendengus.


"Aku memperkenalkan diri sebagai dewi, Anita Mardiani, tapi untuk sekarang jangan anggap aku sebagai makhluk agung. Pada dasarnya aku, Huban, dan Zainurma ini hanya budak dari Kehendak. Segala yang kulakukan bermuara ke keinginan makhluk bedebah itu." Bibir sang dewi membentuk senyum sinis. "Entah sampai kapan."


Sebenarnya, itu terdengar seperti upaya pelimpahan kesalahan. Namun Anita merasakan getir dan sedih dalam setiap kata Mirabelle, yang membuatnya sulit menganggap ucapan sang dewi sebagai kebohongan. Dan Anita pun mulai menyadari dirinya tengah berhadapan dengan sesama korban, bukan pelaku.


"Jadi, apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Mirabelle begitu yakin Anita tidak akan menyerang lagi.


"Saya ke sini untuk menyelamatkan Anda."


Tameng Mirabelle terangkat sedikit, menutupi mulutnya yang tertawa. "Maaf. Dapat kurasakan niat tulusmu, Anita. Tapi... sekarang kita sama-sama terikat ke Alam Mimpi."


"Memang." Malu rasanya Anita harus mengakui itu. Tapi melihat dirinya sekarang juga berada di sini, jelas ia pun telah dikuasai Kehendak. "Ada berapa banyak yang terpenjara di sini? Kamu tadi bilang sudah ratusan kali gagal menyelamatkan orang..."


"Seratus kali itu sebenarnya agak melebih-lebihkan. Tapi jumlah orang yang terperangkap di sini sekarang mencapai dua ribu, dan jumlah itu akan terus bertambah."


Itu hanya membuat Anita semakin gatal. "Dari kerumunan 60 orang tadi, ada lagi yang ikut jadi patung?"


"Tidak. Hanya mereka saja untuk saat ini."


"Untuk saat ini." Anita tidak menyukai penjelasan itu. "Jadi bagaimana saya bisa menghentikannya?"


"Untuk sekarang tidak ada. Jadi, kamu dan aku sama-sama hanya bisa mengikuti aturan Kehendak."


Satu tentakel menyeruak dari punggung Anita, memukul pelan pilar batu. Seakan ia belum merasa cukup berdaya saja setelah kejadian di Museum Semesta, sekarang ia mendengar pula korban di sini jauh lebih banyak dari dugaan. Ia ingin menyampaikan ini ke Klaus dan Wagner, namun ia tidak tahu bagaimana.


"Kamu salah satu umatku, Anita Mardiani?" Mirabelle mengalihkan topik.


"Maaf, memangnya kenapa?"


"Hanya penasaran. Kebanyakan pengunjung yang datang bahkan tidak mengenalku, tapi kamu justru ingin menyelamatkanku."


Anita menggeleng. "Bukan. Tapi banyak pemuja Anda yang mulai kehilangan akal, jadi saya dan Pak Guru diminta untuk mencari cara menyelamatkan Anda."


"Kehilangan akal ya..." Mirabelle mendengus. "Dulu, seorang rekanku pernah berkata: mungkin sebaiknya kita tak perlu berkomunikasi terlalu sering dengan para pemuja. Dewanya agama samawi saja bisa mengumpulkan banyak pengikut meski dia nyaris tak pernah berkata-kata. Umatnya pun sekarang menguasai dunia."


"Jadi... Anda tak keberatan pemuja Anda mulai menjadi gila?"


"Tentu keberatan. Mereka mungkin lemah, tapi aku sudah menganggap mereka sebagai anak-anakku sendiri. Hanya saja, mau bagaimana lagi? Kalau tahu aku bisa terjebak begini, aku akan melatih mereka untuk lebih kuat dan mandiri." Mirabelle memunggungi Anita. "Untungnya, aku menemukan cara untuk bebas."


Minat Anita pun bangkit. "Tunggu, tadi Anda bilang-"


"Tadi aku bilang, untuk sekarang tidak ada cara untuk menghentikan Kehendak. Tapi sebenarnya aku... atau lebih tepatnya, Zainurma-"


"Pria berkacamata hitam itu?"


"Ya, dia. Dia sudah menemukan cara untuk membebaskan diri, dan mungkin sekalian menyakiti Kehendak."


"Lalu? Bagaimana caranya?" Anita mengingat kembali ribuan jiwa yang seharusnya terperangkap di Museum Semesta. Tentakel-tentakelnya bergerak liar, tak sabar ingin mewujudkan itu.


Namun Mirabelle justru memadamkan dulu api harapan yang telanjur berkobar di hati Anita. "Aku belum bisa mengatakannya. Aku bahkan hanya membocorkan ini ke kamu karena kamu datang ke sini dengan niat yang begitu mulia."


Merasakan Anita kecewa, Mirabelle buru-buru menambahkan. "Tapi seharusnya ini akan cukup untuk menyelamatkan semua orang, termasuk semua korban yang telah telanjur terperangkap."


Kalau memang begitu, Anita ingin mendengarnya sekarang juga. Namun ia juga bisa memahami bila Mirabelle perlu menyimpan dulu taktik ini hingga saatnya tiba. Jadi, dengan berat hati Anita pun hanya dapat bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?"


"Untuk sekarang, kamu bisa membantu dengan melanjutkan berpartisipasi dalam Pameran Raya," sahut Mirabelle. "Kamu sudah menunjukkan bahwa dengan kekuatan yang berkurang pun kamu masih mampu mengatasi rintangan. Buktikan kekuatanmu dengan menjadi yang terbaik dari para kontestan, dan mungkin kami bisa melibatkanmu dalam rencana kami."


"Kontestan itu sesama pemimpi yang saya lihat di Museum?"


"Benar."


"Jadi, saya harus mengalahkan mereka seperti di Hunger Games? Karena kalau begitu saya tidak su-" teringat kalau ia berbicara dengan dewi, bukan manusia biasa yang bisa mengikuti pop culture, Anita buru-buru ingin mengoreksi. "Maksud saya-"


"Aku tahu apa itu Hunger Games, Anita Mardiani. Film itu tayang sebelum aku dipenjara di sini. Mungkin akan ada ronde di mana itu aturannya, tapi untuk yang sekarang sih tidak. Kau bahkan tidak harus menghadapi mereka," jawab Mirabelle. "Tapi kau tidak memiliki pilihan. Apapun aturannya kamu harus patuh. Bila kau menolak, Kehendak tingal mengubahmu jadi patung gurita."


Anita geleng-geleng. Ini benar-benar situasi sulit. Ia mulai merasa kalau Mirabelle hanya hendak membujuknya untuk menjadi gladiator dengan suka rela.


"Setidaknya, tak seperti kutukan gorgon, para korban itu tidak sadarkan diri kok. Aku menidurkan mereka," Mirabelle meyakinkan. "Saat ini, hanya itu yang bisa kulakukan."


"Anda ingin saya ngapain?" untuk sekarang, Anita memutuskan mengikuti dulu permainan Kehendak. Lagi pula, mungkin ia bisa memastikan tidak akan ada korban jiwa dalam kontes aneh ini.


"Ah. Seharusnya ini urusan si Zainurma. Ceroboh juga aku ini, malah menyampaikannya secara pribadi," ucap Mirabelle. "Yah, sudah telanjur. Kamu sudah memberi nama dombamu?"


"Ah?" Anita baru mengingat lagi keberadaan domba pemberian Ratu Huban. Makhluk itu tengah menatapnya dengan sorot bodoh. Mulutnya membuat gerakan mengunyah. "Memberi nama? Itu domba untuk saya?"


"Ya. Tidak apa kalau belum sih."


Anita menjulurkan tangannya dengan hati-hati, menyentuh kepala hewan itu. Ada rasa gembira kecil berkembang di dalam dirinya melihat hewan itu tidak takut. Kebanyakan binatang bisa merasakan apa yang tersembunyi di balik wujud manusianya, jadi mereka antara menyerang atau tunggang langgang setiap melihatnya. Tapi makhluk berbulu putih lembut itu begitu cuek kepadanya.


Domba itu mengembik keras. Tiba-tiba saja, tercipta portal dimensi tepat di samping Anita. Daya tarik portal itu mencoba menyerap Anita, namun bobot berat gadis itu menghalanginya untuk bergerak. Si domba sih hanya diam saja.


"Domba ini akan membukakan jalan menuju tujuan. Untuk misi, kali ini kamu diminta mengatasi konflik perang geng."


"Hah?" satu mata ekstra membuka di bagian depan mantel Anita. "Maaf, tak adakah skenario lain? Kekuatan saya terlalu besar untuk digunakan dalam konflik remeh begitu."


"Jangan meremehkan, Anita Mardiani. Kekuatanmu pun berkurang, bukan?" Mirabelle mengingatkan. Dan memang benar, Anita masih belum bisa menggunakan sihirnya hingga sekarang. Karenanya sejak tadi ia mencoba meninju, bukannya meledakkan, Mirabelle.


"Apa ini permanen?" tanya Anita, mencoba merapal sihir sederhana. Dia gagal lagi.


"Kalau kau tidak berusaha, mungkin begitu."


Setidaknya Anita masih memiliki tubuhnya. Ia takut menggunakannya maksimal, tapi dengan wujudnya yang sekarang pun ia dapat menangani gangster-gangster berkekuatan super dari alamnya.


"Jadi ya, tempat tujuanmu ini adalah lokasi perang geng. Selesaikan konflik antara mereka, dan dombamu ini-"


"Fluffy."


"Maaf?"


Anita mengelus bulu dombanya. "Namanya Fluffy." Ia baru memutuskan itu sepuluh detik lalu, tanpa pikir panjang.


"Oke. Setelah kamu selesai, maka Fluffy akan membuka gerbang kembali ke sini. Lalu kamu akan melanjutkan ke babak selanjutnya. Kamu bisa bekerja sama dengan pemimpi lain, kalau mau. Tapi jangan kaget kalau ada yang akan menghalangi jalanmu. Biar bagaimanapun, segala cara diizinkan untuk menyelesaikan konflik ini. Dan kepribadian para pemimpi berbeda-beda."


Jadi, ia tidak perlu membunuh siapa pun. Targetnya pun kriminal. Yang seperti ini sih masih bisa Anita patuhi tanpa masalah. Tapi ada satu yang tak dimengerti monster itu. "Kembali ke sini? Apa tidak ada tempat yang lebih baik?"


"Kebanyakan pemimpi membawa proyeksi alam nyata mereka. Karena kamu mulai terlibat Pameran Raya dalam keadaan bermimpi... ya... yang kamu peroleh pun bagian dari mimpi terakhirmu. Ini bukan salah kami."


Dari semua tempat yang bisa ia impikan, Anita malah menciptakan proyeksi dari rumah tak terurus Klaus dan alam kekacauan. Kalau benar begitu, Anita harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki markasnya ini.


Tentunya, ia bisa melakukan ini nanti. "Saya mengerti. Akan saya coba selesaikan secepat dan sebersih mungkin."


Mirabelle malah cemberut. "Jangan ragu membunuh, Anita Mardiani. Aku bisa memulihkan semua korban yang kamu jatuhkan."


"Heh. Saya bahkan tidak membunuh proyeksi menjijikkan Sharif. Kali ini pun saya tak akan menghabisi siapa-siapa."


"Yakin?" tanya Mirabelle, tersenyum penuh arti.


Anita menganggap senyuman itu sebagai sebuah tantangan. Jadi ia menjawab dengan penuh keyakinan, "Tentu saja. Bila Anda tidak percaya, Dewi, maka silakan lihat sendiri."


Dan Anita pun menapak keluar dari portal yang diciptakan Fluffy, meninggalkan Mirabelle bersama Fluffy di reruntuhan rumah Klaus.



Chapter 1


Mirabelle dapat mengetahui nama Anita sebelum gadis monster itu memperkenalkan diri. Sejak menyadari itu, Anita pun menduga kalau sang dewi, Ratu Huban, dan pria yang mereka panggil Zainurma, telah mengetahui seluk beluk kehidupannya juga.


Karenanya, saat ia melihat apa yang menantinya di balik portal, Anita ingin tertawa. Tidak mungkin ini kebetulan, pikirnya.


Ia berdiri di Jalan Ahmad Yani, Bekasi. Di belakangnya berdiri bangunan tiga lantai Mega Bekasi, yang disebut oleh penduduk lokal sebagai Giant karena logo supermarket itu berdiri besar-besar di atas. Jauh di seberang jalan, ada Gerbang Tol Bekasi Barat.


Di kanan depan, berdiri gedung Metropolitan Mall. Dari tempatnya berdiri, Anita juga dapat melihat logo kecil Bekasi Cyber Park, toko elektronik yang lokasinya tepat di samping MM. Kalau ia terus ke kanan, pada akhirnya ia akan sampai ke Summarecon atau Stasiun Bekasi. Kalau ia ke kiri, lalu menaiki tanjakan bukannya mengambil jalan putar balik? Ia bisa lanjut hingga ke Pekayon dan Jati Asih.


Anita memang sudah hafal daerah ini. Hariadi tinggal di area Jati Asih setelah rumahnya di Condet hangus terbakar. Setiap Wagner ingin mengajak Anita berjumpa dengan ayah angkatnya yang kedua itu, ia pun akan membawa muridnya melintasi jalanan ini. Anita bahkan masih mengunjungi Bekasi karena Hariadi dimakamkan di dekat sini.


Malam sudah menyelimuti kota. Mobil dan motor padat memenuhi jalan. Bau asap dan nyaring klakson mengusik seluruh indera penciuman dan pendengaran. Di kanan-kiri Anita, berdiri orang-orang yang membawa plastik belanjaan. Tak ada yang bereaksi walau gadis di samping mereka baru saja muncul tiba-tiba.


Seorang ibu yang menggandeng anak laki-lakinya menghentikan angkot merah bertuliskan angka 25. Anita tergoda untuk ikut naik, tiba-tiba merasakan hasrat berziarah. Kakinya terhenti tepat di samping kendaraan.


Dia datang bukan untuk mengunjungi makam ayahnya. Pasti ada alasan kenapa ia dikeluarkan di sini. Mungkin targetnya ada di dekatnya? Satu-satunya aktivitas kriminal yang pernah Anita temui di daerah ini hanya pencurian, tapi mengingat ini jalan ramai dan penuh mall, ia tak heran kalau ada kelompok preman tersembunyi di suatu tempat.


Terdengar dua letusan pistol dari arah Metropolitan Mall. Sontak, orang-orang di sekeliling Anita berlari berhamburan. Jeritan mereka berpadu, memekakan telinga.


Mobil-mobil, terutama angkot, mencoba mempercepat laju mereka walau jalanan padat. Terdengar beberapa suara tubrukan, namun tak ada yang menyerukan sumpah serapah atau meminta ganti rugi. Semua terlalu fokus untuk lari.


Anita bergerak melawan arus. Dengan hati-hati ia melewati kerumunan orang. Lalu ia turun ke jalan raya, menghindari kumpulan mobil. Tembakan itu datang dari arah Cyber Park, jadi ke sanalah kakinya melangkah.


Matanya dengan cepat menemukan sumbernya: tiga pria asing, dengan ciri fisik orang-orang Mediterania. Pria-pria berjas hitam itu seenaknya menggenggam pistol di depan umum, tak peduli kalau ada pos polisi di dekat sana.


Tiga pria itu tengah mengejar pemuda berjaket tudung warna biru. Darah menetes setiap si pemuda melangkah. Tangan kanannya terus-terusan memegangi pinggangnya.


Salah satu trio berjas tadi menembak lagi. Si tudung biru berhasil menghindar, namun peluru itu malah nyasar mengenai seorang ibu berjilbab. Sialan, umpat Anita dalam hati. Itu yang paling ia benci dalam situasi seperti ini: korban dari orang tidak berdosa. Di mana para polisi? Kalau mereka tidak mau membantu, berarti ia yang harus beraksi.


Si tudung biru terjatuh di trotoar Metropolitan Mall, sudah kelelahan untuk bergerak. Ketiga pria berjas serempak menodongkan senjata. "Berhenti!" teriak Anita, mencoba mempercepat langkah. Namun ketiga orang itu tak mendengarnya. Walaupun ia lompat dari posisinya, ia sadar ia tak akan bisa menyelamatkan pemuda bertudung biru itu.


"Cukup sampai di situ!" seru seorang polisi muda, tangannya membidikkan revolver tugas. Bila Anita bisa berekspresi alami, ia pasti sudah tersenyum lebar sekarang. Akhirnya ada polisi yang melibatkan diri menangani kejahatan terang-terangan ini.


Trio Mediterania itu hampir mengacuhkan peringatan tadi. Namun si polisi melepas tembakan peringatan ke langit. "Turunin pistol kalian, bule-bule brengsek! Kalau nggak, testis kalian tamat!"


Membidik testis. Keputusan yang tidak konvensional, pikir Anita mendengar itu. Gadis itu melanjutkan mendekati pusat konfrontasi, siap membantu bila dibutuhkan.


"Ini bukan urusanmu, Pak Polisi. Menjauh," salah satu pria Mediteriania memperingatkan.


"Ini urusanku!" dengan gerakan kepala, polisi itu mengisyaratkan satpam Metropolitan Mall untuk menyelamatkan si ibu yang terkena tembakan. "Enak aja kalian ini, petantang-petenteng bawa-bawa pistol, nembak-nembak kaya koboi. Mending kalau akurasi kalian bagus!"


"Orang ini membahayakan Don. Dia pantas mati. Jadi sebaiknya kamu minggir, sebelum kamu menyesal."


Don? Orang-orang ini mafia? Dan mereka mengakuinya begitu saja? Anita tidak habis pikir. Seluruh Jabodetabek tak bisa dikatakan sebagai wilayah suci, namun para penjahatnya seharusnya masih mencoba bersembunyi dari aparat.


"Liat seragam ini, mas-mas?" tanya si polisi. "Saya ini polisi. Kalian itu penjahat. Di sana, ada orang yang terluka. Persetan Don-Don kalian sakit hati atau kenapa, orang itu harus dibawa ke Rumah Sakit, bukan dieksekusi!"


"Kami sudah mencoba bicara baik-baik." Dengan enteng, pria Mediterania itu malah menodongkan senjatanya ke arah si polisi muda. Dua yang lain akhirnya menarik pelatuk untuk mengakhiri riwayat si tudung biru.


Setidaknya, si polisi muda sudah berhasil mengulur waktu. Anita berdiri di depan si tudung biru, membiarkan tubuhnya dihantam oleh empat timah panas. Dua pria yang menembak hanya mengangkat alis, mengira gadis itu hanya sosok bodoh yang membuang nyawa sia-sia.


Namun mereka berdua, juga rekan ketiga mereka yang menodong si polisi muda, terkejut menyadari Anita bahkan tidak bereaksi terhadap peluru di tubuhnya. Gadis itu bahkan dengan santai menapak maju ke arah mereka. Butir-butir panas yang menghajarnya diam-diam ia buang lewat kaki.


Polisi muda menembakkan senjatanya, mengenai bahu pria yang menodongnya. Pria buncit berambut hitam itu menjerit kesakitan dan jatuh berlutut.


Dua pria berpistol yang tersisa seharusnya membantu rekan mereka, namun Anita sudah telanjur mendekat. Sontak, keduanya pun mencoba mengosongkan magasin mereka untuk mengenai gadis itu. Mereka sempat meluncurkan lima tembakan, namun alih-alih menghindar, Anita malah mengorbankan dirinya untuk diterjang semua peluru itu, memastikan tak ada lagi korban peluru nyasar.


Kedua pria bersenjata menyadari mereka dalam bahaya saat semua peluru itu pun gagal menjatuhkan Anita.


Tangan Anita menampar satu pria berjas. Tubuh jangkung orang itu pun terlempar ke kiri hingga menghantam pagar.


Satu-satunya penembak yang masih berdiri menempelkan pistolnya ke dagu Anita dan menarik pelatuk. Pelurunya sukses menembus dagu Anita. Tentakel-tentakel di dalamnya bekerja sama memastikan butiran itu tidak keluar. Lubang yang tercipta bahkan langsung menutup tepat setelah ditembak.


"A-" pria itu melongo, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Namun belum sempat ia mengucapkan keterkejutannya, sentilan Anita sudah terlebih dahulu mengenai kepalanya. Tengkoraknya berguncang. Penglihatannya sirna. Tubuhnya jatuh telentang di trotoar.


"Brengsek!" pria yang ditembak si polisi muda mencabut pisau dari balik jasnya dan menikam Anita. Anita bahkan tak mengizinkan ada cairan tubuhnya yang menetes, membuat penyerangnya bengong tak percaya.


Anita menyentil juga kepala pria itu, dan orang itu pun ikut tak sadarkan diri.


Anita tidak lantas lega. Dia memastikan dulu semua lawannya masih hidup, hingga mereka dapat ditindak dengan baik oleh pihak berwajib.


Sambil mencabut pisau dari perutnya, Anita mengamati pria yang terakhir ia lumpuhkan. Luka tembak di bahu orang itu akan mempengaruhinya lebih lama dari sentilan maut yang diberikan Anita. Orang kedua yang ia jatuhkan masih terkapar. Tapi setelah Anita berjongkok memeriksa, ia pastikan pria itu masih bernafas.


Satu-satunya pria berpistol yang masih bisa bergerak hanya orang yang pertama ia tampar, namun laki-laki jangkung itu pun hanya dapat mengerang dan bersandar di pagar. Saat ia ingin bangkit, dia langsung jatuh telungkup.


Selesai, batinnya. Tak terlihat pula ada orang di kerumunan yang akan menyerang. Tapi ada persoalan lain yang harus ia hadapi.


Si polisi muda melongo. Polantas lain, pengemudi mobil, pemotor, dan bahkan pejalan kaki pun menatapnya dan terdiam. Mereka melihat Anita dicabik-cabik peluru tadi, namun kini mantel gadis itu pun bersih dari noda dan lubang. Bahkan pemuda bertudung biru yang Anita selamatkan pun menganga, tak percaya dengan apa yang disaksikannya.


"Kamu... tidak apa-apa?" tanya si polisi muda, masih terperangah. Di nama dada di seragam orang itu tertulis nama "Panji B."


"Ya. Tembakan mereka semua meleset. Payah juga."


"Tidak, tidak. Mereka menembakmu berkali-kali." Panji menemukan peluru yang Anita buang dari tubuhnya bergeletakan rapi di trotoar. "Kok bisa ada peluru di situ?"


Anita pun menyimpan dulu peluru yang tadi masuk ke dagunya, supaya si polisi muda tidak makin bingung.


Melihat darah si tudung biru mulai membentuk genangan kecil, Anita mendapat inisiatif. "Nanti akan saya jelaskan, tapi bisa tolong bawa dia ke Rumah Sakit? Dia akan tetap mati kalau tidak ditolong." Ia melihat lagi pria yang ditembak si polisi. "Meski jahat, mereka juga perlu ditolong. Kalau perlu, kepala mereka juga diperiksa. Saya rasa mereka gegar otak."


"Pasti, pasti. Tapi tolong jelaskan dulu. Apa yang-"


"Apa-apaan ini?!" rasa penasaran si polisi muda dipotong oleh hardikan keras. Seorang polisi senior, ditemani lima anak buahnya, datang mendekat. "Cepat tolong mereka!"


Anita mengira yang akan mendapat prioritas adalah si tudung biru, tapi ternyata tidak. Para polisi itu justru menolong para pria berpistol dulu. Si polisi senior malah ikut menodong Anita. Dua anak buahnya meraih gadis itu dari kiri dan kanan. Gerakan mereka begitu cepat, hingga pergelangan Anita diborgol tanpa gadis itu sadari. 


"Lho, Pak! Bukan mereka yang harus ditolong!" seru si polisi muda. "Dan kenapa pula Mbak ini diborgol?!"


"Diam kamu! Berani-beraninya kamu nodong anak buah Don Perfect! Kamu mau bapak ibu kamu di kampung dihabisi?!" seru si polisi senior. Lebih banyak lagi polisi berdatangan. "Bawa cewek bodoh itu dan si pemuda ke Don!"


"Tidak bisa begitu, Pak!" Panji masih protes.


"Sekali lagi kamu membangkang, saya bolongin kepala kamu di sini!"


Oke, ini tidak normal. Baru sekarang Anita mendengar soal si Don Perfect ini. Kalau memang ada organisasi kejahatan internasional yang bisa beraksi dengan begitu bebas, seharusnya ia sudah mendengarnya, atau bahkan melihatnya sendiri dalam kunjungan terakhirnya ke Bekasi.


Anita selalu berminat untuk bekerja sama dengan polisi, meski mereka terbukti korup sekalipun. Tapi walau taat aturan, ia tak bisa membiarkan si tudung biru diserahkan ke kelompok mafia, atau dibiarkan berdarah hingga kering di jalanan kotor ini.


Jadi ia sentak borgolnya hingga lepas. Polisi-polisi yang mengapitnya terkejut, namun mereka tidak berdaya saat Anita mendorong mereka hingga jatuh. Sudah bebas, Anita meraih si tudung biru, membawanya melompati pagar Metropolitan Mall, dan mulai berlari ke arah Kalimalang.


"Berhenti!"


Seorang polisi menembakkan pistolnya. Bidikannya jitu, tepat mengenai bahu walau ada jarak yang lumayan antara si polisi dan targetnya yang bergerak. Seperti sebelum-sebelumnya, yang Anita rasakan hanya dorongan lemah dan sedikit sensasi panas. Laju butiran panas itu pun ditahannya agar tak mengenai si tudung biru.


Kekuatan supernya sudah telanjur bocor, Anita melenting. Hanya dalam satu lompatan saja ia melayang tinggi dan jauh. Sebenarnya dia cuma ingin maju sepuluh meter saja, namun ia justru melewati jarak empat puluh meter, baru kehilangan ketinggian saat di lima puluh meter....


Turun, turun, turun! Anita mencoba mengendalikan arah mendaratnya. Kalimalang mengalir di depannya, siap menyambutnya. Jelas, korban gangster di dalam bekapannya tidak butuh mandi malam-malam.


Kaki Anita mendarat di rerumputan samping Kalimalang. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, namun ia dapat mengatur bobotnya supaya tidak benar-benar tercebur. Setelahnya, ia melanjutkan berlari.


Masih harus dilatih lagi, batin Anita melihat lompatannya masih belum sesuai kehendaknya.


Chapter 2


Rumah Sakit adalah tempat pertama yang akan diawasi polisi bila buruan mereka terluka. Karenanya, demi keselamatan si tudung biru, Anita menghindarinya. Padahal ada RS Mitra Keluarga di dekat MM. Ada juga RS Harum di Kalimalang, sesuai dengan arah larinya. Namun ia terpaksa berjudi mencari alternatif.


Memanfaatkan staminanya yang tidak akan habis, Anita meninggalkan kejaran para polisi dengan dua lompatan jitu. Dari Kalimalang, ia membopong si tudung biru memasuki gang sebuah komplek perumahan. Tubuh pemuda di tangannya kian menjadi dingin, mengingatkannya kalau waktunya terbatas.


"Heh. Kalau aku mati..." pemuda itu menatap wajah Anita. Walau sudah diajak lari-lari dan lompat-lompat, ia seperti menolak untuk pingsan. "Setidaknya aku mati di tangan seorang gadis cantik."


Mengingat yang dilihatnya bukan wujud asli Anita, pujian itu tidak membuat Anita senang. Namun gadis itu tetap terhibur menyadari pemuda itu masih hidup. Anita pun mencoba memperlihatkan senyum terbaiknya. Biarkan pemuda itu merasa senang, bila ternyata pertaruhannya ini gagal.


Anita menemukan tujuannya: Happy Pets, sebuah toko hewan peliharaan. Pemiliknya adalah Farad Bukhori, sahabat dari almarhum Hariadi. Bukhori bahkan pernah memberi pengobatan darurat kepada beberapa korban serangan makhluk kegelapan. Jadi, kemampuannya sudah teruji bisa menyelamatkan manusia.


Setelah memastikan tak ada polisi di sekelilingnya, Anita masuk. Ia disambut sorot mata lebar dari wanita berambut panjang di belakang meja konter. Bibir tebal wanita itu membuka, tadinya hendak mengucapkan salam, namun kini terlalu kelu untuk ditutup kembali.


"Permisi, saya mencari Pak Bukhori."


Wanita yang ia ajak bicara hanya memelototinya.


"Farad Bukhori? Dia pemilik toko ini, kan?"


"Tidak ada yang namanya Farad Bukhori di sini, Mbak. Saya yang punya tempat ini. Pemilik sebelumnya juga namanya Lintang Budiman, bukan Bukhori."


Anita memejamkan mata. Ia mengambil pertaruhan, dan dia kalah. Keberadaan mafia di area Bekasi sudah membuatnya curiga kalau ia bukan berada di Indonesia yang ia kenal. Ini membuktikannya. Ia antara dikirim ke proyeksi mimpi lagi atau dunia alternatif.


Yang jelas, tak ada yang bisa menolongnya di sini. Ia harus cepat cari solusi lain demi si tudung biru. "Terima kasih, maaf merepotkan!" kata Anita.


"Tunggu, tunggu." Wanita berbibir tebal itu mencegah Anita pergi. "Pemuda itu... tadi saya dengar ada cowok asing yang membuat masalah dengan mafia. Itu dia?"


"Sepertinya iya." Melihat rambut si pemuda yang merah, dia memang tak terlihat seperti orang lokal. "Dia dikejar bapak-bapak berpistol di depan MM."


Mendengar itu, si pemilik toko pun menghela nafas. "Kamu diikuti polisi?"


"Tidak. Tapi saya melewati beberapa orang dalam perjalanan ke sini. Bisa saja mereka melapor."


"Ya. Dan itu berarti aku akan melakukan tindakan bodoh," balas wanita berambut panjang itu. "Siapa pun yang berani menentang mafia adalah pahlawan. Bawa dia ke belakang, biar saya coba urus."


"Benarkah?"


"Ya. Silakan jagain dia, kalau kamu tidak percaya."


Baru Anita merasa tenang. Chairul Bukhori mungkin tidak ada di Bekasi yang ini, namun setidaknya ia tetap dapat memperoleh pertolongan dari tokonya.


Tentu, bisa saja ini hanya jebakan. Namun jebakan macam apa yang bisa mempengaruhi seorang shoggoth? Kecuali akan ada serangan mendadak dari unit sekelas Densus 88, pemuda itu aman. Minimal dia bisa menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Lebih bagus lagi kalau ia bisa selamat.


***


Juliana. Itu nama si penjaga toko. Wanita berbibir tebal itu menyempatkan memperkenalkan diri saat menangani luka si tudung biru. Anita membalas dengan menyebutkan namanya saat ia membantu Juliana mengangkat si tudung biru.


Pemuda itu ditempatkan di atas brankar. Tudung birunya dilepas, memperlihatkan rambut merah dan wajahnya yang tertutup. Ada dua belati tersarung di balik pakaian laki-laki itu, menandakan kalau dia pun bukan orang baik-baik. Tapi Juliana memutuskan untuk tetap menolong.
Kemeja kemerahan pemuda berambut merah itu pun disingkap agar Juliana dapat menanganinya dengan leluasa.


Awalnya Anita mengira pemuda yang ia tolong sekarat karena luka tembak. Ternyata tidak. Tembakan para gangster pasti begitu buruk, hingga Juliana bahkan tak menemukan adanya bekas goresan peluru. Satu-satunya luka yang diderita pemuda itu hanya tikaman belati di pinggangnya.  


Dengan perlengkapan yang benar-benar seadanya, Juliana memperingatkan Anita kalau dia tidak akan bisa menolong si tudung biru sebaik Rumah Sakit. Tapi dia tetap berusaha mati-matian. Dan tiga jam kemudian, saat penunjuk waktu klinik menunjukkan tengah malam, akhirnya kondisi pemuda berambut biru itu stabil.


Juliana duduk menyandar ke dinding. Kepalanya ia benamkan di antara kedua lututnya.


"Terima kasih," kata Anita. Hanya itu yang bisa ia sampaikan. "Kalau ada yang bisa saya bantu lagi..."


"Heh. Tidak perlu berterima kasih, Mbak. Itu Masnya tetap perlu dibawa ke RS yang bagusan. Kita... kita operasi dengan baju begini," dia menarik kaus longgarnya yang sekarang berdarah. "Dengan peralatan berobat hewan pula. Tolong jangan kaget kalau tiba-tiba Mas di brankar itu mengamuk karena rabies."


Memang prosedurnya sama sekali tak bisa dibilang higienis sih.


"Anda baru mengurus hewan rabies?"


"Tidak. Tapi dia masih bisa kena masalah lain, seperti toxoplasma gondii," Juliana terkekeh. "Mbak ini sebenarnya siapa? Nggak setiap hari ada yang mau nolong buruan mafia."


Anita ingin menjawab dirinya pahlawan super, tapi ia tahu itu norak. "Hanya orang biasa yang ingin berbuat baik."


"Orang biasa tidak akan sampai segininya." Juliana bangkit untuk mencuci tangan. "Orang biasa akan nunduk, berharap mereka nggak ikut kena konflik mafia-mafia brengsek itu."


"Bekasi dulu nggak kaya gini..." Juliana lanjut bicara. Wanita berbibir tebal itu menyeka tangannya dengan handuk. "Terus bangsat-bangsat di Little Italy itu memutuskan buat bikin cabang Goodfellas di sini, dan sekarang rasanya kita hidup di medan perang. Efeknya sampai kerasa ke Jakarta segala pula."


"Little Italy?" Anita membeo.


"Ya, kawasan orang Italia yang di dekat stasiun. Mbak baru pulang ke Indonesia atau gimana?"


"Uh... di mana Little Italy itu? Di dalam wilayah Summarecon?" Anita mencoba memikirkan tempat yang paling logis untuk menampung area bernama Little Italy.


"Summarecon apa? Summarecon BSD? Nggak ada wilayah Summarecon di sini, Mbak. Little Italy ya yang di dekat stadion Bekasi itu. Kalau mau masuk naik lewat jalan layang."


Anita mengangguk. Jelas ini memang Bekasi alternatif.


"Kalau dipikir-pikir, berhubung kamu sudah telanjur terlibat dengan mafia..." Juliana menatap Anita. "Mungkin kamu bisa membantu kami."


"Kami?"


"Polisi pun nggak mau membantu memerangi mafia. Jadi kami, rakyat jelata ini, ambil inisiatif sendiri. Saya dan adik saya adalah bagian dari perlawanan di sini."


Membantu perlawanan menghadapi penjahat. Itu bukan tawaran yang akan Anita tolak. "Hmm... sebenarnya, saya pun ke sini diminta untuk menyelesaikan konflik perang geng. Jadi kalau kalian butuh bantuan, saya akan mencoba."


"Kamu dikirim untuk menangani konflik geng? Siapa yang mengirimmu?"


"Saya tidak bisa menjawabnya, maaf." Lebih tepatnya, kalaupun dia menjawab jujur, Juliana tak akan percaya.


"Oke, tidak apa, tidak apa. Tapi kalau kamu memang ke sini untuk ngelawan mafia... yah, seharusnya bilang kek dari tadi. Sebentar, biar kuhubungi adikku dulu."


"Silakan."


Anita pun ditinggalkan sendiri di ruang klinik, bersama si tudung biru yang masih terlelap karena bius. Tapi keheningan tak berlangsung lama. Belum sempat Anita melamun atau merenung, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari dekat wastafel.


Pastinya itu ponsel Juliana. Tidak enak menyahut panggilan untuk orang lain, Anita memutuskan mendiamkannya.


"Panggilan untuk Anita Mardiani. Angkat teleponnya hoi!" Dering digantikan oleh suara pria berjas yang memberi pengarahan di Museum Semesta. Pria yang dipanggil Zainurma oleh Mirabelle. Kali ini, Anita tidak ragu-ragu untuk meraih dan mengangkatnya.


"Ya?"


"Sudah sampai di Bekasi, Anita Mardiani?" tanya Zainurma.


"Bekasi yang dihuni gangster? Sudah."


"Tahu apa yang harus kamu lakukan?"


"Hanya gambaran kasarnya."


"Sudah kuduga. Si Mirabelle itu diberi kesempatan dialog empat mata juga malah tidak menyampaikan yang terpenting," keluh Zainurma.
"Oke. Ada tiga pihak yang berseteru di sini. Dua pemain utamanya adalah kelompok mafia dari Little Italy. Satunya Don Perfect, orang kuno yang sudah lama mencengkeram kota ini dengan tangan besi. Tapi dia orang bijaksana yang tidak pernah lupa membalas budi. Kalau kamu menolongnya, kamu mungkin bisa memperoleh imbalan sebelum pulang."


Tiba-tiba, ada imaji yang memasuki benak Anita. Dia melihat seorang pria tua, berambut putih rapi. Wajahnya yang dipenuhi bekas luka dan ekspresinya yang keras dijamin akan membuat anak menangis.


"Saya melihat wajah seseorang. Ini ulah Anda?" tanya Anita.


"Mungkin iya, mungkin tidak. Yang jelas itu akan membantumu untuk mengetahui targetmu, kan? Lanjut. Kelompok satunya lagi dipimpin Lady Rock yang seksi dan kelewat progresif dalam membangun pasukan. Dia terlibat dalam perdagangan manusia, senjata, dan narkotik. Yang terakhir itu bahkan dibenci Perfect. Tapi, seperti Perfect, Rock juga tak pernah lupa membalas budi."


Anita kini melihat wajah seorang wanita berambut merah ikal. Bibir sensual wanita itu membentuk senyuman, sementara matanya memicing meremehkan.


Persetan dengan imbalan. Mendengar wanita itu terlibat dalam perdagangan manusia dan narkotik saja sudah membuat Anita ingin mencekik seseorang.


"Satunya lagi, yang bisa dibilang kuda hitam, adalah komplotan kecil-kecilan yang kebetulan kamu temui ini."


"Ah. Anda bisa melihat saya."


"Dari Museum Semesta, ini sih sepele."


"Kalau begitu gimana dengan dia?" tanya Anita, menuding pemuda bertudung biru yang terbaring di brankar. "Dia di pihak siapa?"


"Itu Nano Reinfield, pesaingmu sebagai pemimpi. Seharusnya sih kamu biarkan dia mati saja, dia mungkin akan melawanmu nanti..." Zainurma terkekeh.


"Oke." Jadi, sesama pemimpi. Anita tak menyangka itu. Mungkin karena Nano tak diberi kesempatan untuk menunjukkan kekuatannya.


"Misimu: selesaikan konflik antara ketiga pihak ini secepat mungkin."


"Itu maksudnya seberapa cepat?"


"Sebenarnya tidak ada batasan pasti. Tapi saat ini ada pemimpi lain yang ikut beraksi bersamamu, menyusun rencana untuk menyerang Perfect, Rock, atau kelompok perlawanan. Kalau penampilanmu dinilai tidak optimal, kami akan dengan senang hati mengubahmu menjadi patung. Bahkan shoggoth pun tak berdaya di hadapan kekuatan Museum Semesta."


Kembali Anita mengingat wujud Kehendak, membuatnya menggerutu pelan.


"Tapi, tak peduli aksimu memuaskan atau tidak, tak peduli juga kamu terlibat atau tidak, setelah konflik selesai maka kamu bisa kembali ke Bingkai Mimpi tempatmu berasal. Siap bertarung di ronde berikutnya."


"Terima kasih," sahut Anita hambar, sudah menduga "festival" ini tak akan selesai dengan cepat. "Jadi, selesaikan konflik secepatnya?"


"Ya. Secepatnya dan dengan cara paling menarik. Selamat berjuang, Nona Tentakel."


Panggilan Zainurma ditutup. Seketika itu pula, ponsel di tangan Anita lenyap tak berbekas. Gadis monster itu tertawa pelan. Pantas saja benda itu muncul mendadak. Padahal ia tak ingat Juliana memasuki klinik dengan membawanya.


Sekarang masalah utamanya: bagaimana menyelesaikan konflik mafia ini sebelum dirinya diubah menjadi patung.


Orang biasa akan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa menyelesaikan tantangan itu. Dan mungkin mereka hanya bisa melakukannya dengan mengecek laporan kelalaian membayar pajak para mafia, seperti yang dilakukan Elliot Ness untuk menangani Al Capone di film The Untouchables.


Tapi Anita bukan orang biasa, dan dia sudah memiliki gagasan harus melakukan apa. Ia bahkan bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan orang lain. Yang ia perlukan hanya info di mana para targetnya berada.


Pintu klinik membuka sedikit. Juliana menyembulkan kepalanya ke dalam. "Ke sini, biar si tudung tidur."


Mematuhi permintaan itu, Anita keluar meninggalkan Nano.


"Oke..." Juliana memandu Anita ke ruang depan tokonya. Di sana sudah ada seorang pemuda berjaket hitam yang menanti. "Perkenalkan, adikku-"


Tapi baik Anita maupun si adik tidak perlu saling berkenalan lagi. Mereka sudah berjumpa sebelumnya, walau kini pemuda kurus berambut cepak gaya polisi itu tak lagi mengenakan seragam. Itu si Panji B yang mencoba menolong Nano.


Chapter 3


Juliana, Anita, dan Panji naik ke lantai dua toko. Ketiganya duduk mengelilingi meja ruang tamu, menikmati suguhan teh yang disajikan. Mata Panji terus terkunci ke Anita, meski ia tak kunjung mengatakan apapun. Menanggapi itu, Anita menggerakkan mata di wajahnya ke arah lain, menjauhi sorotan Panji.


"Karena tembak-tembakannya di depan MM, sudah kuduga kamu sudah ketemu Panji sih," Juliana yang membuka percakapan. "Dia yang ngasih tau kamu buat ke sini?"

"Tidak," bantah Anita sementara Panji diam.


"Kalau begitu kamu hoki." Juliana menyeruput teh.


"Ya. Saya benar-benar mengira ini toko Pak Bukhori."


"Makannya, kamu hoki. Sudah salah toko, tapi tetap datang ke orang yang tepat."


"Kamu sudah ngobatin dia juga?" tanya Panji kepada kakaknya. Tangannya menuding Anita.


"Buat apa?" balas Juliana. "Yang luka kan si hoodie, bukan dia."


"Mbak ini..." Panji sampai harus menarik dan menghembuskan nafas, saking bingungnya dia. "Ditembakin sepuluh kali tadi. Salah satu seharusnya sudah menghancurkan rahangnya. Tapi dia tetap duduk santai di sini, minum teh."


"Kalau dia ditembak, dia harusnya berdarah-darah dong."


"Tapi dia memang ketembak," bantah Panji sengit.


"Ya kamu salah lihat kali. Nggak usah disinggung lagi deh, Mbaknya nggak nyaman nih. Orang baik-baik kok malah digangguin sih?" omel Juliana.


"Saya mohon maaf kalau saya ternyata mengganggu," ucap Anita.


"Lho bukan, bukan. Saya cuma penasaran. Apa kamu... apa kamu itu mutan? Alien?"


"Apaan sih Panji?!" bentak Juliana. "Sekarang kamu malah ngata-ngatain si Mbaknya juga?!

"Lho bukan gitu! Yang aku maksud bukan mutan atau alien jahat juga, tapi yang baik seperti Superman atau X-Men! Apa Mbaknya seperti itu?" Panji mencondongkan tubuhnya ke depan. "Karena kalau iya, Mbak akan bisa membantu kami."


"Apa-apaan sih?" Juliana terkekeh.


"Lho, ini benar, Kak. Kita sudah ada dokter, penembak jitu. Kalau memang Mbak ini Superman, rencana kita jadi lebih mudah."


Rasanya tak ada salahnya mengakui. Jadi Anita membuka telapak tangannya. Tentakel-tentakel dari dalam tubuhnya mengeluarkan dua peluru yang tersisa di tubuhnya ke atas permukaan meja. Panji sama kagetnya dengan Juliana melihat itu.


"Itu... itu peluru tadi." Panji mengenali satu butir sebagai peluru pistol polisi. "Jadi kamu benar-benar punya kekuatan super? Akhirnya, makhluk seperti kamu tak hanya dimonopoli oleh mafia saja."


"Saya punya kekuatan super, tapi jangan panggil saya Superman," kata Anita getir. "Hanya saja, ya, saya memang datang ke sini untuk mengatasi ancaman mafia dari Don Perfect dan Lady Rock," ia mengulangi nama yang diberitahukan Zainurma.


"Itu berarti kamu mengincar dua bos utama di Bekasi," komentar Juliana. "Jangan salah, kami juga mengincar mereka, tapi untuk sekarang mungkin lebih baik sabar."


"Ya, setelah kehebohan yang kamu lakukan di depan MM tadi, mungkin sebaiknya kamu membantu kami dulu. Ada beberapa letnan Rock dan Perfect yang harus kamu tangani." Panji lalu membabarkan satu persatu identitas mereka, namun Anita sudah tidak mendengarkan.


"Maaf," Anita menyela. "Tapi saya akan mengakhiri tirani Lady Rock dan Don Perfect malam ini juga. Bisa tolong sampaikan mereka di mana?"


"Kamu mau bunuh diri? Meski kamu kebal peluru pun mereka punya banyak anak buah!"seru Juliana.


"Dan rumah mereka ya di dalam Little Italy! Semua orang di dalam sana mungkin terlibat dengan mereka!"


"Ini akan selesai sebelum matahari terbit, Mas Panji," Anita menatap Panji. Sorot matanya yang terkesan mati mungkin tidak bisa membujuk, jadi ia coba suarakan kata-katanya dengan seyakin mungkin. "Dan tak akan ada baku tembak."


"Hmm..." Juliana mengusap dagu. "Kamu sudah punya rencana sendiri."


"Kurang lebih begitu."


"Kalau begitu, jangan serang kedua bos sekaligus," komentar Juliana. "Jangan salah, mungkin kamu bisa melakukan itu. Siapa tahu kamu bisa terbang, menarik mereka keluar dari rumah, lalu melempar mereka ke matahari. Tapi itu tidak akan bagus."  


Panji menggerutu pelan sebelum menimpali. "Kakak benar. Kelompok Rock dan Perfect sama-sama diperkuat banyak anak buah. Bila mereka hilang bersamaan, akan timbul kekosongan kekuasaan mendadak. Ini bakal berujung ke perang geng."


"Jadi, ini rekomendasi saya," Juliana menyambung lagi. "Serang Lady Rock. Sejak awal, situasi Bekasi memanas karena Mbak-Mbak yang satu ini dengan seenaknya mengabaikan tradisi. Dia itu loose cannon, nggak bisa diprediksi. Tapi kalau Rock hilang, maka setidaknya Perfect akan kembali main aman, seperti dulu."


"Dan minimal rekan-rekan jujur saya di kepolisian akan memiliki waktu untuk menangani Perfect dengan lebih konvensional."


"Benar," Juliana mengiyakan.


Anita tak punya alasan untuk peduli pada rencana ini. Setelah ia mengatasi Rock dan Perfect, Fluffy akan muncul membukakan jalan kembali ke reruntuhan rumah Klaus. Tapi... ia paham argumen mereka. Bila ia seenaknya sendiri, kondisi alam ini bisa jadi kacau setelah ia pergi. Padahal ia sudah yakin kalau ini dunia nyata, hanya berada di realita berbeda.


"Oke. Saya akan mencoba mengatasi Lady Rock." Semoga dengan begitu saja Kehendak akan puas, jadi ia tak diminta menangani Don Perfect juga.


"Apa yang Mbak butuhkan?" tanya Panji.


"Lokasinya saat ini. Turunkan saya di depan rumahnya, dan ini akan selesai dalam sepuluh menit."


"Itu agak terlalu meremehkan, tapi sepertinya Mbak sudah sangat yakin..." kening Panji berkerut. "Oke, bisa kita coba. Lady Rock ada di Little Italy kok. Rumahnya dijaga ketat, tapi menurunkan Mbak di luar rumah sih seharusnya mudah. Saya bisa jadi supir-"


"Supir apa!" bentak Juliana. "Kamu barusan nembakin anak buah Perfect, Dik! Kamu bakal didor sama keamanan begitu masuk! Biar aku saja yang ngurus, dengan mobil Pet Shop."


"Tapi kak-"


"Gak ada tapi! Kamu hubungi saja Pak Dino, bilang supaya pura-pura peliharaannya sakit."


Panji menatap memelas, tidak yakin dengan keselamatan kakaknya. Namun sorot teguh Juliana membuatnya menunduk.


"Bagaimana dengan senjata? Atau mungkin distraksi? Tunggu lima menit saja, saya bisa menghubungi rekan yang bisa membantu," Juliana menambahkan.


"Tidak perlu. Yang saya butuhkan cuma lokasi kok."


"Ah. Superman mah beda ya," Juliana terkekeh.


"Bisa tolong masukkan satu nama lagi dalam rencana gilamu, Nona Cantik?" ucapan dengan aksen aneh itu membuat Anita dan Juliana menoleh. Panji sampai merogoh pistol dinasnya karena kaget.


Nano Reinfield berdiri bersandar dalam posisi menyamping. Tangan kanannya memutar-mutar belati baja. Ia sudah mengenakan kembali kemeja dan tudungnya, meski kedua atributnya itu masih dikotori aroma darah.


"Lho, kamu seharusnya tidur!" tegur Juliana.


"Apa saya sudah bilang bibir Anda seksi?" kata Nano, seakan mengabaikan seruan tadi.


"Itu sih aku juga sudah tahu!" sahut Juliana ketus. "Dan kamu tetap harus tidur!"


"Tidak bisa sayangnya. Kita berdua di pihak yang sama kan, Cantik? Aku sempat dengar omonganmu dengan Zainurma di ponsel," kata Nano, menatap Anita. "Kita tak punya banyak waktu."


Ya, dia dan Anita sama-sama pemimpi. Jadi batasan "secepatnya" dari Zainurma tadi pasti berlaku untuk dia juga.


"Pihak yang sama apa?! Tadi kamu dilaporkan mencoba menyerang Don Perfect di rumahnya!" omel Panji. "Jangan-jangan kamu anak buah Lady Rock?"


"Ah, bukan, saya hanya menyerang Perfect karena tidak ingin menyakiti perempuan cantik," Nano mengakui. "Tapi, yah, setelah dipikir-pikir mungkin menyerang Lady Rock akan lebih baik."


Juliana dan Panji masih memberi Nano tatapan sangsi. Seakan sudah menduga kalau ia tak bisa meyakinkan kakak beradik itu dalam kondisinya sekarang, pemuda berambut merah itu mencoba bicara ke Anita. "Dengar, Nona..."


"Anita." Karena "Cantik" bukan kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya yang sejati.


"Nona Anita. Nona sudah menyelamatkan saya sekali. Saya tidak akan mengkhianati Nona. Izinkan saja saya membantu," Nano menyampaikan sambil berjalan. Saat ia cukup dekat dengan Anita, ia berbisik. "Jujur, saya juga tidak mau jadi patung tanah liat."


Anita memahami maksud Nano.


"Baik," Anita akhirnya mengalah. "Izinkan dia ikut."


"Terus luka di pinggangnya itu gimana?" tanya Julianna.


"Masih terasa sakit, Nona, tapi tidak cukup untuk memaksaku tetap tiduran. Dan jangan khawatir, saya tahu batasan kemampuan saya. Saya akan mencoba untuk tidak menghalangi jalannya Nona Anita, kecuali memang dibutuhkan," ujar Nano.


Juliana dan Panji saling berpandangan. Anita merasa kakak beradik itu ingin memastikan sekali lagi apakah mereka sebaiknya mengikuti rencana mendadak ini. Namun keraguan itu tak berlangsung lama. Belum sampai semenit, Juliana sudah berdiri.


"Ini bodoh dan semberono. Tapi pasukan kami memang berkurang drastis sejak penggerebekan bulan lalu, jadi kalau kalian bisa menyakiti Rock, kami akan sangat berterima kasih," Panji menyampaikan.


"Benar sekali." Juliana menyambar kunci dari meja buku. "Kuharap kamu memang sakti, Mbak Supergirl. Kalau rencanamu gagal, aku dan Panji akan dikejar-kejar besok."  


Superman. Untuk menyelesaikan persoalan seperti ini, tokoh komik ikonik itu hanya perlu melakukan tindakan yang dikatakan Juliana: terbang, jebol dinding, seret penjahat ke matahari. Metode yang dipikirkan Anita lebih unik.


Ia tak menjamin Lady Rock akan masuk ke bui dengan kewarasan utuh. Namun malam ini wanita mafia itu akan dapat diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku, entah sebagai kriminal atau orang sakit jiwa.


Chapter 5


Ternyata benar, Little Italy menempati lahan di mana Summarecon Bekasi seharusnya berdiri. Akses menuju ke area itu bahkan sama-sama harus melewati jalan layang di dekat Stadion Bekasi. Hanya saja, bendera Italia raksasa menggantikan tulisan besar-besar Summarecon Bekasi yang seharusnya tertera di jalur masuk.


Sensasi yang dirasakan Anita begitu mobil toko Juliana memasuki wilayah Little Italy pun sama: seakan memasuki kota lain. Saat orang yang terbiasa tinggal di Bekasi mencapai Summarecon untuk pertama kali, bisa saja mereka akan merasa norak melihat jalanan mulus yang tak dipadati mobil, danau buatan, dan bangunan-bangunan berdiri rapi di kanan-kiri.


Little Italy pun demikian, namun perbedaannya lebih ekstrim. Ini sih bukan seperti pindah dari Bekasi ke daerah elit. Ini seperti baru saja berteleportasi dari Bekasi ke Italia. Bangunan yang berdiri di kiri depan bukannya deretan ruko, melainkan gedung-gedung tiga lantai yang dipenuhi patung-patung era Renaissance. Ada menara Pisa tak jauh di depan, di tengah bundaran jalan, menggantikan struktur piramida terbalik.


Beda dengan Summarecon juga, ada pos penjagaan di depan. Sepasang pria berjas hitam menghentikan kendaraan. Dua-duanya membawa senapan. Melihat mereka dari lubang kecil di belakang mobil, Anita menyembunyikan diri di kotak kayu yang telah dipersiapkan untuknya. Nano sudah sejak tadi bersembunyi di kotak berbeda.


Anita memang bisa berubah wujud. Namun ia sudah memiliki rencana tersendiri untuk kemampuannya itu, hingga ia memutuskan untuk menggunakan persembunyian yang lebih mudah hingga dibutuhkan. Ia tak pernah nyaman meninggalkan wujud aktris sinetronnya ini.


Juliana membukakan pintu, mengizinkan salah satu pria bersenapan itu untuk menyapanya. "Ada keperluan apa malam-malam ke sini?"


"Peliharaan Pak Dino sakit lagi. Saya dipanggil untuk mengobati," jawab Juliana.


"Hmm. Mobilmu tetap harus kami periksa."


"Oh, silakan saja. Saya sudah dengar apa yang terjadi ke Don Perfect. Menyeramkan sekali. Makin bahaya saja Bekasi ini."


"Heh." Si penjaga hanya mendengus mendengar itu.


Pintu belakang van dibuka. Ada banyak dus dan kotak di belakang, sengaja dimasukkan oleh Juliana untuk membantu menyembunyikan Anita dan Nano.


"Berantakan sekali. Kotak-kotak apa ini?" tanya penjaga yang memeriksa.


"Makanan dan mainan hewan untuk acara pameran hewan di JCC besok. Cek saja kalau nggak percaya, Om Ganteng."


Satu persatu kotak dibuka. Anita juga mendengar gemerisik bungkus-bungkus makanan kucing diangkat. Ia, yang kini terkubur di bawah tumpukan Whiskas, bersiap-siap melumpuhkan pria itu bila ia memeriksa kotak yang salah.


Kotak yang berisi Anita dibuka. Tangan Anita hendak menggapai lengan si penjaga.


Pria itu hanya mengangkat sebungkus Whiskas, sebelum menutupnya lagi. "Aman!"


"Oke," penjaga yang di depan berkata. "Dan Pak Dino bilang dia juga sudah menanti dokter hewan. Jadi silakan lanjut, Nona."


"Terima kasih."


"Hanya saja, satu peringatan..." belum sempat Juliana menginjak pedal gas lagi, ia sudah dihentikan.


"Ya?"


Ada hening canggung, yang membuat Anita kembali bersiap-siap menyerang.


"Jangan bertindak mencurigakan. Kalau tidak..."


"Kalau tidak, kamu dan mobilmu ini akan lenyap tanpa jejak. Heheh," lanjut penjaga yang memeriksa bagian belakang van, sebelum menutup kembali pintu ganda mobil itu.


"Ah saya mengerti. Saya tidak akan melakukan tindakan bodoh kok, bapak-bapak sekalian. Saya tahu betapa perkasanya orang-orang Little Italy. Selamat malam."


Van melaju melewati pos pemeriksaan. Nano serta Anita pun menyeruak keluar, membuat makanan anjing dan kucing yang mereka gunakan sebagai kamuflase berhamburan.


"Aduduh..." Nano memegangi pinggangnya yang terluka.


"Kalian nggak apa-apa?" tanya Juliana, mendengar rintihan itu.


"Tidak, Nona. Tidak apa-apa. Terima kasih atas perhatiannya."


"Sudah dibilang kamu harusnya istirahat! Awas aja kalau nanti kamu beneran mati!"


"Ouch, tenang, saya tidak akan mengecewakan wanita cantik."


"Apaan deh cantik cantik. Dari tadi kamu juga manggil Anita cantik. Nggak bener banget."


"Tapi saya jujur. Kalian berdua memang cantik," Nano terkekeh, membuat Juliana mendengus.


Nano ganti bicara ke Anita. "Melihat kamu bisa menahan peluru, sepertinya kamu tidak kehilangan kekuatan apa-apa ya?"


"Tidak juga. Tadinya saya ini penyihir. Sekarang saya tidak bisa menggunakan sihir sama sekali," jawab Anita. Ia juga tidak menganggap keajaiban yang bisa dilakukan tubuhnya sebagai sihir.


"Oh. Hanya itu?"


"Untuk saat ini sepertinya iya."


"Kamu beruntung kalau begitu," komentar Nano. "Kukira aku juga cuma kehilangan satu-dua skill. Nyatanya tidak. Aku tidak bisa menggunakan airbend, kecepatanku berkurang, bahkan kemampuan memprediksi gerakan lawan pun surut. Rasanya tiba-tiba jadi bodoh, tahu kan?"


"Saya juga masih mengingat sihir-sihir saya, tapi saya lupa cara menggunakannya. Jadi sepertinya masalah kita serupa."


"Heh. Kita dikumpulkan untuk saling unjuk diri, tapi kekuatan kita justru disegel. Apa menariknya kalau begitu?"


Anita juga merasa jengkel. "Mungkin karena ada pihak tertentu yang sengaja membuat kita lemah, supaya kita bisa lebih mudah dikendalikan." Yang ia maksud tentu saja adalah Kehendak.


"Si kacamata hitam itu ya? Ya, dia memang mencurigakan," Nano malah mengira yang Anita maksud Zainurma. "Ngomong-ngomong..." matanya memicing. "Nona Anita tidak kenapa-kenapa?"


"Ya?"


Nano menunjuk pipinya. "Tadi pipi Nona seperti... uh... bergejolak."


"Oh. Ya. Tidak apa-apa kok." Anita mengingatkan dirinya kalau ia tak lagi berhadapan dengan anggota Asosiasi Penyihir.


"Oh, oke. Sepertinya saya cuma berhalusinasi," sahut Nano, tapi tatapannya masih menyorotkan curiga.


"Makannya kamu seharusnya istirahat!"


"Setelah ini saya akan istirahat Nona Juliana, tenang saja," balas Nano.


Van berbelok memasuki daerah perumahan. Suara musik rock terdengar, awalnya sayup-sayup namun semakin lama semakin kuat. Sumbernya terlihat tak lama kemudian.


"Mafia-mafia sialan," gerutu Joana, menghentikan mobil.


Penasaran kenapa Juliana mengumpat, Anita mencoba mengintip. Ia langsung mengerti. "Hmm. Seharusnya kamu menyampaikan ini, Tuan Nano."


"Hei, rumah si Don Perfect jauh dari sini. Aku juga tidak tahu si Rock sedang ngadain pesta," sahut Nano. "Tapi memangnya itu rumah Rock?"


"Benar. Itu rumah Lady Rock," jawab Joana. "Dan mungkin ini berarti kalian sebaiknya memikirkan ulang rencana kalian, apapun itu."


Rumah yang dimaksud Joana berdiri lima puluh meter dari posisi van. Bangunan besar berlantai tiga itu terang benderang. Halamannya yang luas dan dipagar tinggi dipenuhi warna-warni lampu. Musik rock remaja menghentak dari halaman belakang. Namun irama keras itu tak sepenuhnya dapat meredam riuh rendah sekumpulan orang berbicara dan bersenda gurau.


Walau Don Perfect baru saja diserang, tetap saja pesta tidak jelas ini dilaksanakan hingga larut. Lady Rock jelas wanita dengan nyali tinggi. Antara itu, atau ia memang ingin memancing amarah rivalnya.


Mobil-mobil mahal dipajang teratur di halaman depan, ada yang berasal dari Italia, Jerman, Jepang, hingga Amerika. Untuk memastikan kendaraan-kendaraan itu aman, banyak pria kekar berkeliaran sambil membawa senapan semi otomatis, siap menembak bila dibutuhkan. 


Biasanya, rute yang paling mudah untuk digunakan menyelinap adalah melalui halaman belakang. Namun bagian rumah itu digunakan untuk pesta, jadi sekedar melompati pagar untuk masuk jelas bukan keputusan tepat.


Pilihan yang tersisa bagi Anita adalah masuk dari pintu depan.


"Jadi, mau apa? Mundur? Atau kamu tetap mau diturunkan di sini?" tanya Juliana kepada Anita.


"Mari kita coba putari dulu rumah ini. Cari jalan lain," Anita menyahut.


"Sebenarnya sih aku tidak melihat jalan lain, tapi tidak masalah."


Van itu berbelok, menjauhi pengawasan dan barikade para penjaga. Juliana membawa Anita dan Nano melintasi deretan bangunan bertingkat, yang berdiri saling menempel.


Bangunan-bangunan itu menjadi dinding antara jalan yang mereka lalui dan jalan di sekeliling rumah Lady Rock. Tapi mereka tetap dapat melihat kondisi seberang melalui celah-celah lebar antara gedung.


"Oke..." Anita memberi isyarat kepada Juliana begitu van dapat melihat sisi utara rumah Lady Rock, tepat di dinding halaman belakang. Penjagaan di sana jauh lebih minim dibandingkan di sisi lain. Hanya ada dua penjaga berdiri di sana. Mudah untuk diatasi.


"Terima kasih, Nona Juliana. Silakan Anda kembali dan tunggu kabar dari saya." Anita membuka pintu belakang van dan melompat turun sebelum Juliana menjawab.


"Kamu mau masuk dari sana?! Kamu bakal ditembaki sebelum melewati tembok!"


"Saya akan berhati-hati."


"Yang bener deh, rencanamu itu apa sih?"


Nano ikut turun. "Terdengar nekat, tapi aku suka perempuan yang punya keyakinan kuat."


"Sepertinya Anda suka semua perempuan, Tuan Nano." Anita menutup pintu tanpa menimbulkan suara.


"Ketahuan deh."


"Hei!" Juliana menyembulkan diri dari jendela depan. "Yakin nggak butuh bantuan?"


"Tidak, terima kasih."


"Apa kamu bisa membagi sedikit saja rencanamu?"


"Rencana saya saat ini adalah memastikan Tuan Nano ini bisa melalui misi ini dengan selamat..." Nano menyengir mendengar itu, seakan mengatakan kalau dirinya tak perlu dilindungi. Luka di pinggangnya berkata lain. Anita lalu menambahkan, "Serta berharap kalau saya bisa menyamar masuk."


"Menyamar? Kamu bisa menyamar? Dengan apa?" tanya Juliana keheranan, tidak melihat Anita membawa peralatan apa-apa.


Anita tidak menjawab. Salah satu penjaga di dinding belakang pamit ke temannya dan beranjak pergi, meninggalkan satu orang saja di sana. Ini kesempatan emas yang tidak bisa dilewatkan. Jadi ia berjalan, melewati sisi bangunan pemukiman, menuju ke jalanan rumah Lady Rock.


Juliana tetap tak bisa membayangkan apa yang ingin Anita lakukan, tapi dokter hewan itu tetap mengacungkan jempol, mengharapkan yang terbaik. Nano yang membalaskan gestur tersebut.


Pria yang menjaga dinding belakang baru hendak menyulut rokok saat ia melihat Anita dan Nano berjalan ke arahnya. "Kalian mau ap-"


Senapan semi otomatis pria itu sudah hampir terangkat, namun Anita lebih cepat. Telunjuknya telah menyentil dan mengguncang otak sasarannya sebelum si penjaga sempat membuat suara tambahan. Anita lalu menyeret pria itu kembali ke celah antara bangunan di belakangnya, membuat Nano buru-buru ikutan mundur.


Anita membaringkan penjaga ke aspal. Ia tak tahu berapa banyak waktu yang ia miliki, jadi ia coba secepat mungkin menganalisa semua ciri fisik pria itu. Tinggi tubuhnya 180 senti, perutnya buncit, pinggangnya lebar, rambutnya pendek hitam, ada brewok di dagunya. Untuk pakaian, ia mengenakan kemeja flanel, kaus Megadeth – seakan ini masih tahun 90an, dan celana jeans.


"Kamu mau menyamar menjadi cowok?" tanya Nano. "Gimana caranya? Bisa buatkan penyamaran buatku juga?"


"Aku... bisa berubah wujud." Tadinya Anita ingin mengakui juga, "Aku adalah manusia shoggoth, dan ini bukan wujud asliku." Tapi ia tidak nyaman mengakui itu, dan ia rasa informasi itu pun kurang relevan.


Tidak ada reaksi berarti dari Nano.


"Tidak kaget?" tanya Anita.


"Sihir pengubah wujud bukan hal yang aneh. Di kampung halamanku pun ada yang seperti itu."


Senyum yang masih tertahan di wajah Anita menggambarkan perasaannya mendengar itu. "Sepertinya kampung halamanmu menyenangkan."


"Silakan kunjungi kalau mau. Aku akan dengan senang hati memandu."


"Tidak perlu sampai sebegitunya."


Anita mulai mencoba mengubah wujudnya. Mulai dari bentuk kepala. Susutkan rambut, hingga menjadi pendek. Ubah pipi menjadi tembam dan dagu dipenuhi brewok. Tinggikan sedikit tubuh, besarkan pinggang. Satu mata Anita melihat Nano terkesiap melihat wujud cantiknya berubah menjadi gumpalan hitam yang menggeliat-geliat. Tapi seharusnya ini akan selesai sebentar lagi.


Tubuh Anita membesar dan terus membesar. Dari 172 sentimeter menjadi 180. Dari 180 sentimeter menjadi 300. Lalu dari 300 berkembang lagi menjadi 600. Lebarnya pun kian berkembang.


Dengan sigap, Nano menyeret penjaga yang Anita lumpuhkan ke belakang. Dia dan si penjaga pun terhindar sebelum Anita menindih mereka.


"Nona Anita, apa ada masalah?!" tanya Nano.


Anita dapat mendengar pertanyaan itu, namun ia terlalu sibuk untuk menjawab. Ia tak mengerti apa yang terjadi kepada dirinya. Seharusnya, selama ia ia tidak berkembang lebih dari empat meter, ia dapat memanipulasi fisiknya tanpa masalah. Namun kini tubuhnya membesar tanpa terkendali. Tentakel-tentakelnya mencuat. Deretan mata berkembang keluar. Sekumpulan mulut membuka, memperlihatkan gigi-gigi tajam dan lidah yang menjulur.


Tidak, tidak, tidak, tidak... Anita merasa panik. Seharusnya tidak begini. Seharusnya ini hanya perubahan kecil. Namun, secara ajaib, ia seperti lupa cara mengendalikan transformasinya sendiri.


Matanya tumbuh satu demi satu. Semuanya melihat proyeksi dari Sharif, yang menyeringai lebar. Meski mulutnya tak bergerak, suara pria itu tetap terdengar. "Jadi, Nduk. Kamu ini apa? Apa kamu manusia yang memiliki badan monster? Atau monster yang berpura-pura jadi manusia?"


Anita mengenyahkan proyeksi tadi. Ia mencoba fokus mencitrakan wujud khasnya. Tapi tubuhnya terus membengkak, dan ia mulai merasa... lapar.


Nano Reinfield masih berdiri di belakang Anita. Masing-masing tangan pemuda berambut merah itu kini menggenggam belati. Anita akan senang bila pemuda itu lari, namun Nano justru terpaku di tempat dengan mata tak berkedip.


Juliana, yang tidak langsung pergi, ikut turun dari mobilnya dan mengamati wujud mengerikan Anita. "A-apa... ini bukan rencana kalian kan? Masa kalian ingin mengatasi Lady Rock dengan melepaskan monster?!" tanyanya. Tidak ada yang bisa menjawab.


"Ya Tuhan!" Penjaga kedua sudah kembali ke posisi, namun ia pun tertegun melihat ada monster tentakel yang menyembul dari gang bangunan di seberang jalan.


Tiga lengan ekstra tumbuh dari atas tubuh Anita. Dua berukuran raksasa, satunya lagi terlalu kecil hingga nyaris tak terlihat. Ada kaki menyembul dari sisi; posisinya yang aneh memastikan organ ekstra itu tak akan berguna. Dua mulut tambahan pun ikut menampakkan diri dan serempak menyerukan peringatan, "Lari!"


Nano, Juliana, dan si penjaga hanya bergeming. Si penjaga bahkan tidak menyuarakan peringatan; rasa takut mencengkeram pita suaranya hingga rintih ketakutan pun tak dapat keluar.


"Lari!" tetap Anita memohon.


Tetap saja mereka bertiga berdiri di tempat masing-masing. Begitu bodoh, pikir Anita melihatnya.


Mungkin akan lebih baik bila ia meraih ketiganya dengan lengan atau tentakelnya, lalu memeras darah mereka seperti jeruk. Gigi-giginya akan mengunyah sekaligus daging mereka, menikmati rasa besi dari darah yang menetes.


Mereka semua akan mencoba meloloskan diri, namun liur Anita akan melelehkan mereka bahkan sebelum mereka dicerna. Setelah itu jiwa ketiganya akan mencoba lari, tapi bahkan Anita pun akan menyerap dan mencerna itu juga.


Anita merangkak meluar dari gang. Tingginya berkembang cepat hingga mencapai enam meter, begitu besar hingga mereka yang berada di halaman belakang Lady Rock pun bisa melihatnya. Gadis itu bahkan mulai bingung kenapa ia harus menyamar, bukannya langsung masuk ke jamuan dan menyantap segala sesuatu di hadapannya.


Semua mulut makhluk itu menjerit serentak, merasakan kebebasan dari moral, nurani, dan nilai-nilai kosong yang selama ini mengikatnya.


***


Tanpa Nano Reinfield sadari, memandangi wujud monster Anita terlalu lama membuat sebagian rambutnya langsung mengering dan memutih. Ia baru menyadari ada yang salah saat darah mengaliri pipinya bagai air mata. Pandangannya pun sakit dan memerah.


"A... ah?" dengan kebingungan ia menyeka pipinya. Ia pernah berhadapan dengan banyak monster di negeri asalnya, tapi ini baru pertama kali ia melihat makhluk seperti di hadapannya. Awalnya matanya hanta menangkap Anita sebagai makhluk lendir raksasa yang ditumbuhi mata, lengan, dan tentakel. Namun semakin lama ia mengamati, semakin ia menyadari kalau itu hanya wujud paling mudah yang bisa diterjemahkan otaknya.


Apapun yang ia lakukan, ia tak bisa menahami seperti apa sebenarnya wujud asli Anita. Seharusnya, ia pun menerima kenyataan itu dan secepatnya lari. Juliana mungkin masih ada di van, siap membawanya pergi. Tapi rasa takut begitu menguasainya hingga ia bahkan tak mampu mengalihkan pandangan.


"Oke..." Juliana meraih Nano. Seperti pemuda berambut merah itu, Juliana pun mengalami pendarahan di mata. Sebagian rambutnya juga ikut-ikutan memutih. "Ini kesalahan terbodoh yang pernah kubuat!" tetap saja dia mencoba menyeret Nano kembali ke mobil.


Lalu Anita berteriak. Nano merasa seperti mendengar ribuan hewan sekarat memekik sekaligus, mengguncang gendang telinga dan menggetarkan tubuhnya. Tak mampu bertahan, Nano pun tumbang di jalanan diikuti oleh Juliana.


***


Pemimpi yang ada di area itu tidak hanya Anita dan Nano. Weiss Nacht berdiri di dekat rumah Lady Rock. Makhluk berwujud anak kecil itu tengah meminum sekotak susu sapi yang didapatnya dari mini market dekat sini. Matanya menatap kosong rumah sasarannya, sementara otaknya mulai menyusun cara untuk mengakhiri misi konyol ini dan secepatnya kembali.


Lolongan Anita ikut menghantamnya, menyadarkan kalau ada ancaman tak terduga di dekatnya.


Di rumah Don Perfect, Odin mendengarkan pengarahan Don Perfect dikelilingi oleh pengawal dan pembunuh pro yang bos mafia tua itu datangkan. Walau dia hanya orang asing yang muncul tiba-tiba pukul enan sore tadi, remaja jangkung dengan penutup mata itu berhasil meraih kepercayaan sang Don dengan melukai pembunuh berbelati ganda yang nyaris menghabisinya. Sekarang, Odin dipercaya untuk menjadi bagian dari kelompok yang akan menyerang balik Lady Rock, sosok yang diduga dalang dari penyerangan.


Walau ada jarak dua kilometer antara rumah Perfect dan Lady Rock, jeritan Anita tetap bisa didengar oleh semua penghuni kediaman bos mafia tua itu. Kata-kata terhenti, rencana yang sudah terbayang di kepala buyar.


Ada di antara mereka yang melihat peluang. Ada yang justru melihat ancaman. Namun semuanya menyadari bahwa mereka baru kedatangan bahaya yang lebih gawat dari sekedar gangster rival.


Chapter 6



Anita merayap maju. Ia dapat melihat halaman belakang rumah Lady Rock yang besar. Ada kolam renang panjang di sana, juga sistem pengeras suara yang terhubung ke satu unit laptop, buffet, hingga tiga peralatan barbekyu yang masih aktif. Sebuah layar putih membentang, memperlihatkan siaran ulang pertandingan sepak bola antara timnas Italia menghadapi Inggris.


Musik rock mungkin masih mengalun, tapi tak ada lagi yang mengobrol dan bersenda gurau. Kebanyakan tamu tumbang. Ada yang sudah terkapar kehilangan kesadaran, ada juga yang masih sadar namun menggelepar di rumput, terpengaruh ledakan suara dari Anita.


Kurang dari dua puluh orang saja yang masih mampu berdiri. Dan jumlah itu semakin berkurang saat para tamu dan tuan rumah melihat sosok shoggoth mendekat. Seorang pria tua berjas putih langsung memegangi dadanya dan menggelepar. Tubuhnya kejang-kejang. Enam orang lain turut tumbang bersamanya.


Tapi ada satu sosok yang tetap mampu berdiri tegak, walau telinga kanannya mengalirkan darah. Ia adalah seorang wanita jangkung yang mengenakan mantel bulu putih. Rambutnya ikal seleher dan berwarna merah. Kacamata hitam Versace tergantung di hidungnya, meski ini malam hari. Beberapa orang di sekelilingnya mulai mengira kalau kacamata itulah penyebab si wanita bisa bertahan, bukan kekuatan tekadnya yang besar.


Wanita itulah Lady Rock.


"Halo, makhluk aneh..." Lady Rock melangkah maju. Langkahnya anggun, tak menunjukkan takut. Cidera telinganya seakan bukan masalah berarti, walau tetesan darahnya mulai mengotori mantel. "Ada perlu apa denganku?"


Anita menjawab dengan jeritan kedua. Kekuatannya kali ini terfokus sepenuhnya ke depan. Jumlah orang yang masih berdiri setelah dihantam pekikan seram itu bisa dihitung dengan jari. Lady Rock bahkan hampir berlutut karena sakit, namun harga dirinya memberi kekuatan untuk bertahan.


"Lucio, shotgun!" jerit Lady Rock sekuat tenaga. Tangan kanannya bergerak meminta ke salah satu anak buahnya.


Pria berambut panjang yang dipanggil Lady Rock tidak mendengar seruan bosnya karena gendang telinganya pecah. Tapi ia tetap memahami gestur wanita itu. Dia pun melompat ke arah kursi, mengambil senapan, dan melemparnya.


Lady Rock mengokang senapan taburnya dan menembak. Butiran-butiran peluru menghantam tubuh Anita.


Perlawanan Lady Rock membangkitkan kembali keberanian para gangster. Yang sudah memegang senjata langsung membuka tembakan. Yang belum segera mengambil pistol rekan mereka yang tumbang dan ikut menyerang.

Tak hanya mereka saja, para pengawal yang berada di jalanan pun mengepung. Senapan, pistol, dan senjata api lain yang mereka miliki ikut menyalak.


Berbutir-butir peluru menembus tubuh Anita. Tentakel-tentakel kecil yang menyusun tubuhnnya mengeluarkan mereka lagi tak lama setelah masuk. Kumpulan matanya mengawasi sekeliling, memastikan siapa saja yang menyerangnya.


Tentakel Anita memanjang dan berayun. Meja, kursi panjang, payung, dan sistem suara terbang ke mana-mana. Sejumlah gangster pun ikut terpental hingga menghantam dinding. Yang sempat merunduk menghindari serangan itu hanya Lady Rock dan dua orang penjaga.


Penyerang yang menembakinya dari luar pun bernasib sama buruknya. Tentakel lain membentuk dari tubuh Anita, meraih mobil, dan melemparnya ke arah mereka. Yang mampu menghindari serangan itu lalu dilumat oleh tangan raksasa, hingga terbaring pingsan di aspal retak.


"Monster sialan!" Lady Rock mengokang lagi, namun salah satu penjaga tadi menyambarnya dan menariknya ke arah rumah, sementara rekannya tetap mencoba menembak. "Lepaskan aku, Fabian! Dia harus diberi pelajaran!"


"Kita harus mencari senjata yang lebih bagus, Lady! Senapan dan Uzi sudah jelas tidak mempan!" seru penjaga yang meluncurkan tembakan.


Tubuh Anita merontokkan dinding. Dia terus merayap maju, mengikuti jejak Lady Rock, tertarik dengan orang yang bisa menahan teror dari dirinya.


Bersamaan, tentakelnya menggapai orang-orang yang tak sadarkan diri. Ia merasa begitu lapar, dan kini ia tetap bisa menikmati jamuan besar sambil mengejar mangsa menarik. Liurnya menetes mengingat kembali betapa menyegarkannya unsur kehidupan yang terkandung di dalam darah.


Tapi masih ada sesuatu yang menggedor kendali tubuh sang shoggoth. Sesuatu ini mungkin tak dapat mencegah tentakel untuk meraih para gangster yang tak sadarkan diri, namun ia tetap mampu menahan tentakel-tentakel tersebut untuk tidak melempar "makanan" ke mulut. Sesuatu ini juga mengendalikan sedikit pergerakan shoggoth, agar menghindari dan menjauhkan para gangster dan tamu pesta dari tindihan.


Tetap saja, tak ada indikasi makhluk itu akan berhenti. Terus ia merayap hingga menjebol hancur dinding rumah Lady Rock.


***


Rochelle, sang Lady Rock, tumbuh besar sebagai penonton dari konflik klasik Mafia. Ia melihat para pemimpin ternama tumbuh dan berkembang di kota ini. Dia bahkan sempat menghadiri transisi pergantian kekuasaan antara Don Altobello dengan Perfect beberapa tahun lalu. Saat itulah ia bertekad untuk ikut "bermain." Ia menginginkan uang mereka, reputasi mereka, dan segala hal yang mereka miliki. Dan ia ingin mengambilnya dengan caranya sendiri.


Bukan hal yang mudah tentunya. Pada dasarnya, kehidupan mafia hanya bisa dinikmati oleh pria berdarah Italia atau Sisilia murni. Orang asal Indonesia, Irlandia, atau negara lain mungkin bisa ikut mengecap kenikmatan dengan bergabung. Tapi pada akhirnya mereka tidak akan menjadi made man dan posisi mereka di organisasi akan mandek.


Perempuan mungkin bisa menjadi pembunuh bila diperlukan, tapi peran seorang gadis di kelompok biasanya hanyalah menjadi istri yang patuh. Mereka bahkan tidak memiliki hak protes saat suami mereka meniduri para goomah, yakni wanita-wanita selingkuhan.


Rock adalah perempuan berdarah campuran Indonesia-Italia. Sejak awal dia tidak ditakdirkan menjadi mafia.


Jadi Rock menciptakan kekuatan sendiri. Dia datangkan bantuan dari luar negeri, biasanya dari Tiongkok atau Rusia. Mereka menjadi serigalanya di saat ia membunuh dan melenyapkan saingan. Ia pun dengan bebas merekrut tenaga bantuan lokal dan membiarkan mereka menjadi kaki tangannya. Bahkan ada yang menjadi orang kepercayaannya.


Pada akhirnya, geng yang terbentuk lebih mirip kelompok internasional ketimbang mafia Italia. Tapi kelompok itu kuat. Satu persatu pesaing mereka tewas. Ada yang menjadi beberapa bungkus sosis, yang diedarkan diam-diam ke seluruh keluarga di Little Italy. Ada yang mayatnya tak bisa ditemukan karena dibenamkan ke dasar danau buatan. Ada juga yang mengalami keracunan massal, beserta puluhan tamu tak bersalah, di pesta ulang tahun putra mereka.


Rock sudah sampai begitu jauh. Kini, hanya Perfect yang menghalangi jalannya. Ia tak akan membiarkan segalanya hancur karena ada makhluk lendir raksasa yang memutuskan menghancurkannya. Malah, mungkin ia bisa memanfaatkan monster itu.


"Bilang anak-anak untuk mencoba menangkap makhluk itu! Kalau Perfect yang mengirimnya, sudah seharusnya kita beri dia kiriman balik!" seru Lady Rock sekeras mungkin.


"A-akan kami coba, Lady! Tapi-"


Saat itulah dinding bata berterbangan ke mana-mana, salah satunya menyobek pelipis pengawal Rock. Tubuh lendir Anita bergerak masuk, sekalian menghancurkan ruangan lantai dua. 


"Makhluk keparat!" Rock memuntahkan senapan taburnya berkali-kali. Namun itu hanya menarik perhatian si monster.


Tentakel Anita mencoba meraihnya. Rock mendorong pengawal terdekat darinya, membiarkan pria itu digapai dan dibenturkan ke dinding.


"Mana sih anak-anak?!" seru Rock parau. Di sekelilingnya, ada pengawalnya yang tumbang di lantai. Tapi ia merasa sudah menggaji lebih banyak orang.


Seseorang menapak masuk dari pintu depan. Awalnya Rock mengira itu adalah anak buahnya, namun yang ia temukan malah seorang anak kecil berambut putih. Weiss Nacht telah datang.


"Minggir dari sana, Bocah!" Rock mengacungkan senapan ke Weiss. Satu-satunya pengawalnya yang tersisa pun ikut menodong.


Anak itu melesat. Matanya tertuju ke Lady Rock. Wanita seksi itu mencoba menembak... namun senapannya sudah kosong.


Merasakan bahaya, pengawal Lady Rock mendorong majikannya menjauh. Tinju si rambut putih mendarat di wajahnya, dan seketika itu pula deretan es kecil tumbuh dari dalam kepala pria itu, membunuhnya dengan brutal.


"Oke. Assassin lagi..." desah Lady Rock kesal, tak terkesan dengan pengorbanan si anak buah. Dengan santai ia berdiri. "Apa kamu satu kelompok sama dia?"


Tentakel melesat, hendak menghajar Rock. Sekali lagi Lady Rock merunduk, membiarkan saja tentakel itu membelit Weiss.  


"Jelas, kalian bukan satu kelompok. Heh."


Weiss mencengkeram tentakel yang membelitnya. Tentakel itu membeku menjadi es. Saat bocah itu meremas, tentakel Anita pun hancur dan dia terbebas. Prioritasnya masih memburu dan membunuh Lady Rock, namun belum sempat ia bergerak tentakel lain sudah terlebih dahulu menjerat kakinya.


Deru helikopter terdengar dari luar. Lady Rock menyeringai, yakin pertolongan sudah datang.


Wanita itu menapak ke halaman depan. Di langit, terbang satu unit helikopter tempur AH-64 Apache. Lampu sorot menyinari sisa rumah Rock dengan menyilaukan.


Tapi helikopter itu tidak datang untuk menyelamatkannya. Tanpa peringatan dua misil meluncur, menghantam dan meruntuhkan rumah Rock. Wanita itu terpental. Mantel bulunya terbakar dan kulitnya sobek-sobek. Tapi ia begitu tangguh, hingga ia mampu bangkit dan melepaskan mantelnya.


Sejumlah mobil sedan hitam berhenti di jalanan depan. Kali ini rasa gembiranya sepenuhnya sirna. Terutama setelah seorang pria tua dengan wajah penuh bekas luka turun. Di tangannya tergenggam senapan Thompson tahun 1928, yang Lady Rock ketahui masih bisa digunakan.


"Akhirnya, kesempatan ini datang," ujar pria Italia itu dingin, tak menyadari lawan bicaranya tak bisa lagi mendengar.


Ia sudah hampir menguasai segalanya. Rock ingin memohon agar dirinya diampuni, minimal supaya ia diberi waktu untuk menghimpun kembali kekuatannya.


"Kamu butuh budak seks?" tanya Rock gamblang. "Mungkin pelacur baru?"


Raut Perfect sudah menunjukkan jawaban tidak. Sia-sia saja mencoba membuat pria itu mengampuni dirinya setelah semua yang ia lakukan. Jadi Lady Rock mengacungkan pistol...


Sebilah belati sudah terlebih dahulu meluncur sebelum ada senjata tertembak. Belati itu menancap tepat di kening Rock. Darah menetes dari mata Lady Rock. Tapi bidikannya tetap tertuju lurus ke arah Don Perfect, menggoda para anggota geng Perfect untuk menembakinya lagi.


Perfect mengangkat tangan, mengisyaratkan kalau itu tidak perlu. Benar saja, Lady Rock pun ambruk.


"Kamu sudah menyelamatkanku dua kali malam ini..." Perfect merangkul pemuda di sisinya, yang satu matanya ditutup seperti bajak laut dan dadanya dibiarkan bebas seperti model pakaian antah berantah. "Katakan apapun maumu, dan aku akan mewujudkannya."


Pemuda itu, Odin, mengangguk.


Odin belum sempat mengatakan apa-apa saat tiga tentakel mencuat dari dalam rumah, meraih helikopter Apache sebelum kendaraan tempur itu dapat bergerak. Satu tentakel lagi menembus hancur jendela kokpit dan menarik turun pilotnya. Tentakel yang lain melempar helikopter hingga mendarat dan meledak di jalanan.


Anita menyeruak muncul dari reruntuhan. Reruntuhan melindunginya dari efek langsung ledakan. Sekali lagi ia menjerit, dan seketika itu pula belasan anak buah Don Perfect tumbang.


Perfect bersandar di mobilnya. "Telepon Bambang suruh kirim lebih banyak helikopter!" serunya kepada anak buahnya. Anak buahnya mematuhi, segera menghubungi Menteri Pertahanan.


Saat anak buahnya mulai menembak, Perfect melihat sekeliling. Ia dapati para penduduk Little Italy berhamburan keluar dari rumah mereka. Ada yang berusaha mati-matian menyeret sanak famili mereka yang tak sadarkan diri.


Monster itu memberi peluang baginya untuk membunuh Lady Rock. Sebenarnya, ia merasa berterima kasih. Tapi jelas sudah kalau makhluk itu hanya makhluk tanpa akal, yang akan menghancurkan segalanya bila dibiarkan begitu saja.


Perfect adalah seorang Don. Sesuai tradisi, ia menganggap dirinya sebagai kepala dari semua keluarga di sini. Saat mereka tertimpa masalah, pelindung utama mereka bukanlah TNI apalagi polisi. Ia dan anak buahnya yang wajib membantu mereka. Ia tak peduli ini sebenarnya masih daerah kekuasaan Lady Rock.


Maka Perfect pun memberi komando, "Hajar dia, boys!"


Chapter 7


Odin menghindari jangkauan tentakel dengan gerakan mulus untuk menjangkau belati dari kepala Lady Blake. Matanya yang bebas dari penutup menyapu sekeliling, mencari portal dimensi dan domba miliknya. Ia diminta menyelesaikan konflik. Seharusnya ia sudah mewujudkan itu saat ia membunuh Lady Rock, si pesaing Don Perfect. Monster tidak jelas yang muncul di hadapannya ini tak ada hubungannya dengannya.


Namun tak ada portal yang muncul. Tak ada domba menampakkan diri. Bahkan tidak ada panggilan dari ponsel ajaib. Antara monster di hadapannya ini adalah Lady Rock yang sejati, yang rasanya mustahil, atau tugasnya belum selesai. Satu matanya pun tertuju ke Don Perfect yang tengah memimpin penyerangan.


Memang harus menghabisi semuanya, ya? pikir Odin. Kalau kematian Perfect tidak juga membuka portal, ia harus keluar dari Little Italy untuk memburu Panji si pemimpin perlawanan. Ia harap ia tidak perlu melakukan itu. Repot sekali rasanya.


Perfect berlindung di balik mobil, ditemani penasihatnya. "Mana helikopternya?!" serunya.


"Pak! Kata Pak Bambang helikopternya tidak bisa melewati Bekasi!"


"Hah?!"


"Pak Bambang bilang ada selubung hitam di seluruh Bekasi, tidak ada yang bisa melintas!" 


Selubung hitam di seluruh kota. Mengingatkan Odin pada apa yang terjadi kepada Pomupeii setelah ia menuntaskan ujian di awal. Mengingat kota asalnya itu terserap bersamanya ke Alam Mimpi, Odin merasa kota asing ini pun akan ikut menyusul setelah pertempuran ini.


Rentetan tembakan para gangster gagal menyakiti Anita. Shoggoth itu mulai maju, membiarkan saja reruntuhan berjatuhan dari tubuhnya.


"Senapan tidak mempan!" Perfect menyampaikan hal yang sudah diketahui anak buahnya. "Keluarkan senjata yang lebih bagus!"


"Siap pak!"


Beberapa gangster mencoba membuka bagasi belakang mobil. Namun kendaraan-kendaraan itu terpental bersama anak buah Perfect saat Anita menyapukan tentakelnya.


Perfect dipandu oleh anak buahnya untuk menjauh. "Lupakan dulu TNI bedebah itu, panggil semua ke sini!"


"Kami sudah memanggil semua kru Bekasi, Pak!" sahut penasihat Perfect.


Deru mobil mendekat dari kejauhan, pertanda anak buah-anak buah Perfect memang sudah meluncur, mengabaikan saja ini wilayah musuh. Tapi bantuan ternyata tak datang dari mereka saja. Sesosok tubuh kecil keluar dari reruntuhan dan melompat ke belakang Anita. Tangannya menyentuh punggung shoggoth itu.


Anak itu mengucapkan sejumlah mantra yang tak Odin pahami. Seketika itu juga bagian yang ia sentuh membeku. Area esnya kian membesar, hendak menyelimuti seluruh tubuh Anita.


Sementara itu, satu anak buah Perfect sukses membuka bagasi belakang dari mobil yang terlempar. Ia mengeluarkan senjata yang bisa mengubah keadaan: RPG-7.


Tentakel Anita meraih Weiss dari punggungnya dan melempar bocah itu. Luncuran tak terduga itu terarah ke si pemegang RPG, membuyarkan sesaat konsentrasinya. Granat tetap meluncur, tapi dengan arah yang tak diharapkan.


Tubuh Anita yang kini terlalu besar tak dapat sepenuhnya menghindari granat yang diluncurkan roket itu. Sisi tubuhnya terkena. Ia menjerit saat sisi kiri tubuhnya meledak. Api kecil membakar sel-selnya di bagian itu. Pecahan tubuhnya berterbangan ke mana-mana.


"Aaaaaah!" yang menjerit bukan hanya monster raksasa itu saja. Mereka yang sial terkena serpihan tubuh Anita pun ikut merasa kesakitan. Seorang gangster menarik lepas gumpalan lendir yang mengenai sisi kanan wajahnya, memperlihatkan kalau gumpalan itu sudah menghancurkan membusukkan daging dan satu matanya.


Odin buru-buru mundur, menjaga jarak. Satu matanya tetap mengamati Anita. Monster itu tadi tidak bereaksi ditembaki, namun kini dia terlihat panik. Tentakel-tentakelnya mencoba memadamkan api, walau jelas itu membuatnya semakin kesakitan. Kalau saja dia dilumuri minyak dulu, mungkin serangan tadi cukup untuk membunuhnya, pikirnya.


"Enak nggak, gurita sialan?!" seru Perfect. "Suruh anak-anak ke gudang senjata, bawa semua peluncur roket dan granat yang kita punya! Monster sotong ini takut sama-"


"Uh-oh," Odin menggumam.


Sejak tadi, Anita cenderung statis. Ia jarang bergerak, membiarkan saja tentakelnya menggapai-gapai di sekeliling. Sekarang, meski api di sisi tubuhnya mulai padam, makhluk besar itu bergerak cepat ke depan. Ia melengking lagi, kekuatan suaranya lebih dahsyat, memaksa Odin, Perfect, dan para gangster serta penduduk Little Italy untuk menutup telinga. Lalu tentakel dan tangan yang tumbuh dari tubuhnya mulai bekerja.


Masih memulihkan diri dari hantaman suara, Odin tak dapat menghindar. Ada tangan raksasa yang muncul dari tubuh Anita dan menghantamnya telak, hingga punggungnya menghantam mobil. Telinganya sudah bermasalah, kini pengelihatannya ikut menjadi kabur. Keseimbangannya pun goyah tak karuan.


Di belakang Odin, Weiss bangkit. Ia pun kesulitan berdiri. Namun anak berambut putih itu mengangkat tangannya. Kembali mengucapkan mantera, udara di sekelilingnya menyala menjadi api. Ia mengabaikan saja jeritan dari gangster dan orang tak bersalah yang kebetulan berdiri di dekatnya.


Namun api itu hanya mengundang masalah. Anita dapat melihatnya. Lengan raksasa Anita pun nekat menembus dinding api itu dan melumat Weiss. Saat tangan kembali terangkat, anak kecil itu terkapar di cekungan aspal. Secara ajaib, ia masih terlihat bernafas. Namun lengan dan kaki kirinya tertekuk dengan sudut yang salah.


Odin membiarkan dirinya jatuh. Kelemahan Anita sudah tertebak. Sekarang saja monster itu masih kesakitan. Tangannya yang menembus pertahanan Weiss kesakitan, tak langsung dapat berubah menjadi tentakel maupun pulih instan. Tapi ini sudah bukan urusannya lagi.


Ia melihat Don Perfect merangkak, mencoba berlindung. Tangan kirinya memegangi jantungnya.


Odin bisa membiarkan saja si Don mati sendiri karena sakit jantung, atau dilumat oleh kekuatan besar Anita. Tapi ia takut itu akan dijadikan alasan untuk mengubahnya menjadi patung tanah liat. Jadi ia merangkak perlahan, mengincar untuk membunuh Don Perfect sekalian dan memastikan ia menyelesaikan misinya. Kalau kematian Lady Rock saja belum cukup untuk menyelesaikan konflik, maka tamatnya Don Perfect akan memastikannya.


Ia juga sudah tahu kalau ini tidak akan menjadi pertarungan terakhirnya di Pameran Raya. Kalau ia membunuh dua target langsung, mungkin justru si monster ini yang akan diubah menjadi patung.


Gangster-gangster berterbangan. Odin merayap dengan hati-hati, berusaha sebisa mungkin tak menarik perhatian. Ia sudah begitu dekat sekarang.


Satu tentakel menghujam tanah tepat di hadapannya. Ia kembali diam. Baru saat tentakel itu kembali terangkat, ia melanjutkan maju. Mobil-mobil bala bantuan Don Perfect sudah mulai berhenti di arah selatan. Setidaknya mereka mungkin bisa...


Lengkingan datang lagi. Lengkingan terkutuk itu... bahkan meski pendengaran Odin hampir lumpuh pun ia tetap dapat mendengarnya. Suara terkutuk itu kini terperangkap di dalam kepalanya, ingin membuatnya menancapkan belatinya sendiri ke otaknya.


Odin masih ingin hidup, jadi ia tahan hasrat bodoh itu. Saat Anita melempar mobil ke bala bantuan Perfect, ia melanjutkan merangkak. Jarak antara Perfect dengan dia hanya tinggal sepuluh meter.


"Tolong... aku..." pinta Perfect pada Odin.


Odin berlari. Belatinya terhunus. Jarak antara dia dan targetnya berkurang menjadi lima meter, empat meter, tiga meter...


Tubuh Perfect sudah dijangkau oleh Anita sebelum Odin dapat mencapainya. "Yang benar saja!" keluh pemuda itu. Ia melihat bagaimana Perfect didekatkan ke kumpulan mata monster ituDua mulut muncul sekaligus, membuka memperlihatkan taring. Perfect kejang-kejang, sebelum kemudian kaku, tak bergerak.


Dan Odin pun hanya bisa mengutuk karena keduluan.


Dua tentakel sekaligus hampir menghantamnya. Susah payah Odin berguling, menghindari masing-masing dengan tipis. Apa yang harus ia lakukan sekarang?


Jawabannya muncul tak sampai lima detik. Sebuah portal kebiruan membuka dari udara. Para gangster dan penduduk tak ada yang terkejut atas anomali itu, antara perhatian mereka telanjur terserap oleh Anita atau memang hanya Odin yang dapat melihat.


Ada dua portal lagi membuka. Satu berukuran raksasa, sepertinya ditujukan untuk Anita. Satunya lagi kurang lebih seukuran Odin. Odin sempat bingung mana yang harus ia lalui, hingga satu domba familier menapak keluar.


"Selamat telah menyelesaikan ronde satu Pameran Raya, Anepithými̱to Paidí!" seru domba itu dengan suara paling konyol yang pernah Odin dengar. Tapi ia menyebutkan nama asli Odin, jadi tak salah lagi itu memang dombanya.


Odin tidak yakin dirinya benar-benar akan dianggap sebagai pemenang ronde ini. Namun apa boleh buat? Lebih baik ia dikutuk menjadi patung ketimbang ia terus di sini, dihajar tentakel dan dipaksa mendengar lengkingan menyebalkan itu lagi. Ia pun berlari menembus portal. Kalau Little Italy harus hancur, silakan saja hancur. Ia sudah tidak peduli lagi. Baginya, perannya telah berakhir.


Chapter 8


Nano Reinfield berjalan gontai. Kehancuran mengelilinginya. Ia melewati seorang ibu yang tengah merangkul anaknya yang tak sadarkan diri. Rongsokan mobil bergeletakan dalam berbagai posisi di kanan-kiri. Orang-orang menjerit dan mencoba berlari, meninggalkan saja kerumunan sial yang hanya dapat terbaring tak berdaya di lantai.


Wujud Anita sudah berkembang lebih besar dari yang ia lihat terakhir kali. Tak terkalahkan, monster itu menghajar semua gangster seperti mainan. Para begundal itu bahkan mulai menyadari kalau mustahil mereka bisa menang.


"Evakuasi semuanya!" teriak seorang gangster berjas merah. "Evakuasi Little Italy! Biar kami menahan i-" hantaman tangan hitam sudah terlebih dahulu melumatnya sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya.


Para gangster memahami kata-katanya. Yang masih bisa mengakses mobil buru-buru menjauh, dengan terpaksa meninggalkan rekan mereka di sini. Padahal para gangster yang bertahan itu pun sudah pucat pasi. Tangan mereka gemetaran.


Nano sama takutnya dengan para pria itu. Namun ia mengamati tangannya yang bisa terjulur lurus tanpa bergoyang-goyang. Debar jantungnya normal. Bahkan nafasnya pun biasa saja. Sempat ia bertanya-tanya kenapa ia bisa begitu tenang...


Lalu ia menyadari alasannya. Ia sadar kalau yang dilihatnya ini bukan monster, melainkan seorang gadis yang mati-matian berjuang dengan dirinya sendiri.


"Seharusnya aku tidak mengirimnya ke sini..." Juliana mengikuti dari belakang. "Brengsek! Ini..." wanita berbibir tebal itu mengamati kehancuran di sekelilingnya. Ia tak masalah melihat para gangster berjatuhan seperti lalat, tapi ada orang biasa juga yang terkena. "Ini bukan yang kuinginkan!"


"Mundur, Nona Juliana. Biar saya yang urus."


"Memang apa yang bisa kita lakukan?! Lihat makhluk itu! Setelah Little Italy hancur, dia juga akan menghancurkan Bekasi!"


"Yah... saya percaya kalau ini bukan yang diinginkan Nona Anita." 


Nano menapak pasti, hingga sebuah portal terbuka tepat di hadapannya. Seekor domba melangkah keluar. Secara ajaib domba itu berbicara, "Nano Reinfield! Selamat, Anda telah menyelesaikan ronde satu!"


Berarti Lady Rock sudah mati? Persetan. Nano menapak ke samping, melewati dengan santai portal tadi. Baginya, masih ada yang harus diselesaikan. Dan tidak, ia tak membutuhkan belati gandanya.


Pertama ia memasukkan kembali belati yang bertuliskan namanya ke jaket. Kemudian ia pandangi belati keduanya, yang bertuliskan nama Dimara. Untuk terakhir kali, ia bertanya-tanya apakah layak ia mempertaruhkan diri. Namun ia ingat kalau Anita sudah melindunginya dari tembakan para gangster, dan niatnya pun kukuh.


"Pergi!" pinta Anita kepadanya, sebelum tubuhnya sepenuhnya menjadi monster. Mana bisa Nano mematuhi itu? Ada gadis yang sedang kesulitan di hadapannya.


"Kamu?!" salah satu gangster mengenali Nano dan menodongnya. Tapi rekannya memaksa pria itu untuk tidak menembak. "Jangan buang-buang peluru, pompinara!" tegur si rekan. "Kamu keduluan, faccia da culo! Bos sudah mati duluan tuh!"


"Jangan-jangan dia sekutunya monster itu?" tanya gangster lain.


"Kalau iya, bawa pulang monster brengsek itu!"


Nano juga mengabaikan mereka. Ia memasang senyum terbaiknya dan mencoba berbicara ke Anita. "Hei! Hei, Cantik!" dua belas mata memandangnya sekaligus. "Hei!"


Tentakel menjerat pemuda itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ini aku! Nano! Kamu menolongku, ingat?" belitan menguat. Nano mulai kesulitan bernafas. "Penyamaranmu... penyamaranmu keren. Atau ini bukan penyamaran ya? Heheh..."


Kini Anita meneriakinya. Telinga Nano berdarah. Saat ia bicara lagi, ia bahkan tak dapat mendengar suaranya sendiri. Namun tetap saja ia menyuarakan pendapatnya. Ia yakin Anita dapat memahaminya. "Lihat sekelilingmu, Nona Anita! Pertempuran ini sudah selesai! Misi kita selesai! Portal sudah terbuka!"


Tentakel membelit semakin keras. Darah mulai menetes keluar dari mulut Nano, menandakan ada organ dalamnya yang sudah rusak. Anita pun mulai menyeretnya ke salah satu mulut.


"Ini bukan dirimu kan, Nona Anita?!" tanya Nano, masih berjuang. "Aku mendengarmu tadi. Kamu... kamu mencoba untuk menangani konflik ini secepat mungkin. Kamu... kamu ingin menyamar jadi pengawal Lady Rock, lalu menjadi Lady Rock. Mungkin... mungkin kamu lalu ingin menandatangani deklarasi damai?"


Itu bukan rencana Anita, namun hanya itu yang terpikirkan oleh Nano. "Kamu tidak suka membunuh kan, Nona Anita? Dengan kekuatan ini, kamu bisa dengan mudah membunuhku. Tapi tidak. Kamu bisa membunuh tiga penyerangku, tapi kamu malah memastikan mereka masih hidup setelah menjatuhkan mereka. Kamu... kamu orang baik, Nona Anita. Lebih baik dari aku."


Melihat Anita dari jarak sedekat ini menyakiti otak Nano. Darah mulai mengalir dari matanya juga. Pandangannya bukan lagi menjadi merah, tapi menghitam. Ia ingin tertawa dan tertawa, untuk menyingkirkan teror di hatinya. Ia membayangkan wujud cantik Anita untuk membantunya bertahan.


"Jadi... akh..." lebih banyak darah keluar dari mulutnya. Keseluruhan tubuh Nano mulai menjadi dingin. Ia tak akan bisa bertahan lagi. Apapun yang terjadi, Nano memastikan ia bisa menyelesaikan kalimatnya. "T-tolong. Tolong sudahi ini."



***


Kepribadian Anita telah tersisih dalam-dalam, terutama sejak api dari rudal helikopter dan luncuran RPG membakarnya. Namun seruan Nano memanggilnya. Kali ini, pemandangan yang dilihat matanya ditanggapi langsung olehnya, bukan oleh insting buas shoggoth.


Melihat Nano terkulai lemas dalam bekapan tentakelnya sendiri, Anita pun hanya dapat menjerit di dalam hati. Tidak! Tidak! Tidak! Tidak!


Sekali lagi, ia mencoba untuk mengendalikan dirinya sendiri. Wujud shoggothnya tetap menolak seperti sebelumnya. Kembali, sisi buasnya menjanjikan kehancuran dan kematian; dua hal yang telah terpatri ke dalam genetiknya sendiri.


Namun Anita berjuang, mengubah kenikmatan yang sisi buasnya rasakan dari kehancuran di sekelilingnya menjadi rasa sakit.


"Ayo, Nak. Kamu bisa. Ini bukan dirimu," suara Hariadi terngiang di kepala Anita.


"...t-tolong sudahi ini," kata-kata Nano pun ikut terdengar. Dan Anita pun setuju. Memang ini saatnya untuk menyudahi semua ini.


Tubuh Anita menyusut. Ia menggelepar,  tentakelnya tetap terayun tak karuan, menunjukkan perjuangannya untuk melawan dirinya sendiri. Tapi kali ini ia lebih berhasil. Tubuhnya kian mengecil, kembali ke ukuran 170 sentimeter. Bagian atasnya mewujud menjadi kepala, bagian sisi menjadi lengan, bagian tengah menjadi torso, bagian bawah menjadi kaki. Kemudian tercipta pakaian yang membungkus tubuhnya.


Anita Mardiani telah kembali. Insting shoggothnya kembali tertekan jauh-jauh ke dalam dirinya sendiri. Dan kini, yang membekap lembut Nano hanya dua lengan saja.


"Heh. Kukira cara norak itu tidak akan berhasil..." Nano terkekeh.


Sebuah portal membuka dari belakang Anita. Fluffy menapak keluar dan mengembik, sebelum menyampaikan, "Ronde pertama selesai! Selamat, Anita Mardiani!"


"Ha... haha... aku berhasil ya?" Nano menyeringai dengan gigi kemerahan. Ia tak bisa melihat, tapi dapat ia rasakan yang membekapnya sekarang adalah tangan. "Portal... portalku di sana, Nona Anita. Gunakan itu untuk pulang." Ia juga tak mendengar kalau portal Anita sudah membuka di dekatnya.


Anita mengamati sekeliling. Masih ada warga sipil yang tertahan di sekelilingnya. Ada yang memegangi kepala dan tertawa gila, ada yang hanya bisa terbaring tak sadarkan diri, ada juga yang tergeletak di genangan darah.


Juliana berdiri di dekat reruntuhan rumah Lady Blake. Matanya membelalak lebar. Sorotannya memperlihatkan amarah hebat, namun bibir wanita itu tak dapat mengucapkan apapun.


Sekumpulan gangster mendekati Anita dengan senjata terbidik. Mereka masih ketakutan, tak mau begitu saja membuka tembakan.


"Sampai jumpa lagi, Nano Reinfield."


Anita melempar Nano ke portal yang seharusnya dilewatinya. Fluffy pun menghilang beserta portal, menyisakan dirinya di tengah bidikan para gangster.


Terkadang, ada saat di mana seekor hewan harus dibunuh. Anita memahami itu. Jadi ia rasa ia tak perlu berkonsultasi dengan Asosiasi Penyihir untuk yang akan ia lakukan.


Anita mengangkat kedua tangannya. "Gunakan peluncur roket atau bom!" serunya. "Hanya itu yang bisa membunuh saya. Dan jangan hanya ledakkan sekali! Hancurkan saya minimal dua kali untuk memastikan!"


Para gangster berpandangan kebingungan. Namun Anita tak bergerak, bahkan meski beberapa gangster benar-benar memungut peluncur roket dan granat yang berjatuhan di sekeliling mereka.


"Membunuh itu bukan masalah mudah, Nak," kembali terdengar kata-kata Hariadi. "Setiap orang punya kisah mereka sendiri, dan saat mereka mati, kisah itu akan berakhir. Mungkin mereka memang tak bisa diampuni, tapi biarkan hukum yang menentukan. Tak seorang pun bisa dibiarkan seenaknya menentukan hidup-mati manusia."


Anita sudah tidak peduli. Ia telah melukai begitu banyak orang. Pasti ada banyak yang mati karena ulahnya. Untuk kehancuran seperti ini, satu-satunya hukuman yang masuk akal adalah hukuman mati. Ia begitu menjunjung tinggi keadilan, hingga ia yakin keputusannya tepat.


Namun sebelum para gangster sempat menembak, sebuah portal membuka tepat di belakang Anita. Satu lengan menjulur dan dengan mudah meraih tubuh gadis itu, meski bobotnya mencapai 200 kilogram.


Portal menutup. Fluffy mengembik. Ia telah kembali berada di reruntuhan rumah Klaus, dalam pengawasan monster tentakel dari balik awan.


Mirabelle tersenyum menyambutnya. "Selamat. Kurasa itu penutup yang bisa memuaskan Kehendak."


"Nano..." Anita bangkit.


"Tenang, Nano Reinfield sudah kembali ke alamnya sendiri. Dia juga dianggap sukses melalui rintangan ini. Dan kamu, Anita Mardiani. Kamu berhasil membuktikan dirimu sebagai kontestan yang sangat kuat."


Kuat? Bila ia benar-benar kuat, maka ia akan bisa mengendalikan sisi shoggothnya sebelum ada korban yang jatuh. Tapi ia malah terlena, membiarkan dirinya menyakiti semua orang. Bahkan mereka yang tidak bersalah.


Anita pun berlutut. Dengan wajah tersenyum kaku, ia terisak. Genangan hitam mulai mengalir keluar dari seluruh tubuhnya, menggantikan air mata.


Mirabelle mungkin menganggap Anita menang. Tapi bagi Anita pribadi? Yang ia lalui barusan itu jelas-jelas kekalahan.


Extra


Maria Venessa sudah berencana untuk menjalankan rencana panjang. Wanita berpayudara besar dengan rambut panjang oranye itu menggunakan kemampuannya di ranjang untuk menggoda anggota mafia, supaya ia bisa memperoleh akses ke kelompok mereka. Setelah itu, akan terbuka jalan baginya untuk menyerang bos yang anak buahnya terjaring taktiknya.


Kini dia berada di kamar hotel. Di sekelilingnya, ada lima pria Italia telanjang yang terkapar tak sadarkan diri, tak dapat mengimbangi hasrat seksnya yang nyaris tak terbatas. Setelah mereka bangun, ia akan berpura-pura telah "rusak" supaya mereka memungutnya.


Tapi sekarang, di hadapannya ada dombanya. Portal dimensi terbuka di samping hewan itu, siap menyambutnya. Si domba pun berulang-ulang menyampaikan, "Ronde pertama telah berakhir! Selamat, Maria Venessa!"


"Uh... he-he, tapi aku belum sempat melakukan apa-apa, gimana dong?" Maria mencoba protes.


Jawaban si kambing hanya, "Ronde pertama telah berakhir! Selamat, Maria Venessa!"


"Apa itu artinya aku juga dianggap sukses? Bener kan? Aku nggak akan diubah jadi patung jelek, kan?" tanya Maria takut-takut. Mengingat sifatnya, ia takut dirinya malah sekalian akan diubah jadi alat bantu seks.


Tapi jawaban yang ia peroleh tetap sama, "Ronde pertama telah berakhir! Selamat, Maria Venessa!"


Dan Maria pun hanya dapat menepukkan tangan ke wajahnya.

21 komentar:

  1. IH WAW
    IH WAW SAYA KAYAK BACA NOVEL TERBITAN BARU BANG FACHRUL
    kayaknya emg ciri deh klo bang Fachrul itu klo bikin karakter cwek harus "Kuat" bin setronk. Kayak di Hailstorm sama Winterflame (tapi yg itu side-char sih, bkan MC jga)

    ada typo di "Mafia sialan" Joana mengerang
    Joana sapa? pas baca dibawahnya, Juliana rupanya (Ih waw kalo malem nyupir ganti gender jadi Joana) #Bukan

    Endingnya Anita terkesan dipaksakan bang, dipulangkan paksa.
    Weiss jga sekedar peramai aja jatohnya. (Eh enggak sih, anggapannya dia jga ngebantu bwat normalin Anita).

    Pace dkk dapet.
    This is truly Planet Bekasi, kerasa banget nuansanya meski ada Little Italy dkk.


    Da best lah. 10 Bang~

    OC: Kaminari Hazuki (Suda gugur)

    BalasHapus
  2. Ijin curhat, yah. jangan marah, kan lagi puasa ^_^ . Aku mau masukin beberapa yg kurang dari entri ini.

    1. Banyak bgt repetisi kata. Kalimatnya beneran gak indah. Kosakatanya kismiiin. Dikit" begini: dia stssttst, tapi/namun/hanya. Banyak kata 'pun' bertebaran. kata "pun" ada sekitar 132 buah. kata hanya sekitar 68 buah.

    2. Saltik Juliana jadi Joane. Ada beberapa typo.

    3. Banyak percakapan kurang penting. Misal di awal.

    5. Karakter lain cuman jadi figuran yg muncul sesekali. OC tamu dangkal, cuma nongol sebentar.

    6. Anita ngga berasa kesusahan, malah berkesan sok jagoan nyebelin. *ngga kesusahan di awal. menjelang akhir emang kena api tp ... MENJELANG AKHIR dan ga bikin dia luka nerarti. Nggak asik, menurutku.

    Byk yg bisa dipotong. Sisi positif cuma latar yg detil sama actionnya.
    Dengan amat sangat berat hati

    7 dari Mulan Kwok

    BalasHapus
  3. Altem - Po

    Sudut pandang pembaca awam disamakan dgn Anita, pembaca jg dibikin nebak2 sebenernya pemuda tudung biru itu reverier atau non playable character, yang mana ini poin bagus krn gak semua org bakal baca charsheet, dan tugas penulislah untuk mengupas tokoh, setting dan kondisi satu persatu. Eksekusi pencarian Anita tentang kondisi ini asik dan natural.

    Masalah kebetulan masuk toko jg dijelaskan dgn enak, nggak terlalu kerasa bahwa ada faktor bahwa Mas Fachrul lagi pengen cepet masukin Anita ke dalam situasi konflik dgn kenyataan bahwa tokoh2 di toko itu eh taunya punya peran dalam konflik. Yg lebih kerasa adalah bahwa di dunia nyata tu pertemuan yg nggak direncanakan itu bisa aja kejadian.

    Aksinya keren dan seru. Eksplorasi Lady Rock, Panji, Don Perfect dilakukan dengan keren. Sayang interaksi si Perfect sama Rochelle kurang banyak mnurutku, padahal kyknya bisa digali lagi tensionnya pas ngomongin butuh budak seks itu, banyak yg bisa mereka bahas kyknya.

    Weiss Nacht aksinya mantep tapi karakternya belum dikasih porsi maksimal, paling klo di charsheetnya masih samar, ya mgkn bisa dibikin motif atau alasan ngarang sndiri aja spy karakternya tergali.

    Nano juga bagus, meski abilitynya nggak ada yg keliatan tapi dia dapet spotlight sebagai hero klise yg emg dia ngaku itu klise, jadinya cukup fun bacanya.

    Tapi karakter yg paling kusuka selain Anita itu tentu saja Odin yang sharp, precise dan efisien. Asik bgt lah eksekusi2 tindakannya. Selain tentu saja si tokoh utama sendiri, Anita, yang pergolakan batinnya bener2 engaging. Apalagi perasaannya kyk terungkap dan dieksploit bgt di percakapan dia sama Nano yg manggil2 dia, dan apalagi pas sama Mirabelle yg lebih heartbreaking lagi.

    Perspektif Anita pas transisi dari sifat orang le sifat Shoggoth juga keren. Yang paling keren pasti sisi baiknya Anita yang memandang kekalahan dan kemenangan bukan dari setting misi tapi dari switch moralnya sendiri. Ini kena banget ke perasaanku, dan sekaligus bikin skeptis. Kyk yg udah kuobrolin di fesbuk, si Anita ini kenapa sih bisa segitu baiknya? Setauku, makhluk lovecraftian itu jiwanya ya darkness semua. Apa bapaknya yg begitu keren perkasa dan baik sampe nilai2 kebaikan itu ketanam kuat di masa kecil Anita? Apa bapaknya pake manipulasi memori atau sihir tertentu untuk ngubah viewnya Anita jadi kemanusia-manusiaan? Atau Anita sesungguhnya tu adalah cewek biasa yg di masa kecilnya maksa atau dipaksa terlibat dalam ritual utk manggil dan masukin shoggoth dari alam lain dan diinsert ke jiwanya, sehingga jiwa mereka bisa saling berkonflik utk megang kendali tindakannya dia sprt di entri ini? Gimana emangnya masa lalu shingga dia bisa punya sifat lawful good yg begitu besar dalam dirinya? Pertanyaan2 ini bisa Mas Fachrul kembangin untuk menggali masa lalu atau plot twist atau plot dan char development yg berhubungan dgn itu, sehingga ada perasaan bahwa kekuatan Anita juga bukannya gak bisa dilawan atau gak bisa backfire atau gak bisa dimanfaatin oleh lawan untuk ngalahin dia sendiri.

    ...Itu Vanessa ngapain di akhir parah lah.

    Panjang teuing. Nilai dariku 9

    BalasHapus
  4. ==Riilme's POWER Scale==

    Plot points : A
    Overall character usage : C
    Writing techs : B
    Enganging battle : B
    Reading enjoyment : A

    Ada satu typo, Joana ini maksudnya Juliana kah? Saya agak heran karena ke sana"nya panggilannya jadi Joana terus

    Oke, sebagai sesama yang nulis ngebut dan nembus 14k, saya ngerasa tulisan ini agak beda jauh sama tulisan saya sendiri, di mana kalo saya terpaksa bikin cerita fast-paced karena batas kata ga akan bisa ngimbangin banyaknya plot point yang pengen saya masukin, di sini King rasanya masih bisa taking the sweet time buat nge-flesh out percakapan dan kondisi yang berjalan di cerita, kayak Mirabelle-Anita di awal atau obrolan sama Panji-Juliana

    Entri ini juga keliatannya jadi semacem departure dari prelim Anita sendiri, karena di sini justru dia jadi sosok yang membahayakan semua, bukan malah melindungi. Konflik ini bagus, cukup ngebentuk karakter Anita, cuma menurut saya bayarannya adalah ga banyak battle atau intrik menarik selepas Anita berubah jadi monster tentakel. Semua mendadak jadi sibuk dan fokus ke Anita, udah ga penting lagi ngurusin soal turf war-nya

    Terus soal Weiss, Odin, sama Vanessa. Odin masih dapet pass karena emang terlibat, Vanessa saya rasa bagus karena sepanjang cerita ga muncul tapi di-mention di akhir, berasa ngasih efek komedik. Tapi Weiss rasanya emang cuma tempelan ya

    Walau begitu, all in all saya ngerasa entri ini lumayan solid dan punya kesan kontinuitas kuat. Semakin Anita melaju di turnamen ini, kayaknya makin banyak yang bakal kegali dari karakternya, dan itu lumayan menarik buat ditunggu

    ==Final score : B (8)==

    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  5. Liat entri ini saya jadi kepikiran mau ngambil setting A--karena kedekatan emosional mengingat itu setting lokal. Tapi sayang saya bkan orang Bekasi dan ngga tahu apa" soal planet tersebut. Wkwkwk. #sapaygnanya

    Maafin selingan ngga penting tsb di atas.

    Jadi langsung aja deh. Kesan pertama ya err ... saya ngerasa setuju sih sama mba di atas. Banyak bgt repetisi kata. Pola kalimatnya emang rada ngulang" gitu. Dikit" nemu tapi atau namun. Pun juga. Yha ngga masalah sih, cuma mungkin agak ganggu dikit gitu. .-. Tapi alhamdulillah ngga bikin badmood tulisannya.

    Anita cukup keliatan tekadnya yg patriotik--walau di akhir dia jadi gumpelan (jangan makan anak saya ya, An) Q_Q Tapi karakter lain kayak kurang kesorot--ngga biasa gitu. Kalo dulu kan Steele atau Nurin kalo battle royale OC" lainnya lumayan dpt jatah spot/pov. Apalagi kemunculan Nessa dan Weiss yang ... ya udah. Padahal Weiss dgn alkimianya, bisa aja ngasih semacam drama tambahan dengan bikin wibu Bekasi kegirangan #no

    Itu chaosnya Bekasi epik juga. Saya sih ngga tau spot" macam stasiun bekasi, summarecon, dll, tapi cukup kegambar di imaji gimana si momon shoggoth ngerusuh di sana. Peww.

    Omong", siapakah Mirabelle bagi kanon Anita? Jadi penasaran~~

    Err ... mungkin segini dulu buat sekarang. Saya bingung mau ngomong apa lagi.

    Saya jadi merinding sendiri bayangin OC saya kalo berhadapan sama Anita. Ntar jadi MC tokyo ghoul ;_;

    Jadi ... saya titip 9 \^^/

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  6. Sasuga King~

    Ini ceritanya panjang warbasyah, tapi sukses bikin saya nggak skimming, serta nggak bosan.

    Selalu ada kail yang membuat penasaran di tiap paragrafnya.

    Dimulai dari awal Anita tiba di Bekasi, lalu perjalanannya berusaha mengidentifikasi Bekasi barat.
    (Iya, saya tahu daerah penuh Mall itu, karena sering main ke sana)
    XD

    Pertemuannya dengan Panji juga alamiah, nggak ada unsur si dewa keluar dari sangkar.

    Interaksi antar karakternya saya suka, meski ini membuat alur menjadi slow paced. :3

    Lanjut ke battle, saya nggak bisa nebah kalo Anita ternyata bisa ceroboh juga, sampe wujud shogoth keluar gitu.

    Bagian itu saya jadikan plot refference di entry saya.
    :D

    Peran Odin terang banget, kedua setelah Nessa. Penggambaran karakter dia paling kontras di antara yang lainnya.

    Nano sama Anita wajib jadi OTP.
    XD

    Sayang si Nessa cuma jadi cameo aja, sibuk diperlakukan sebagai sex doll di tempat terpisah
    Q_Q


    Point : 9
    OC : Venessa Maria

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nano sama Anita wajib jadi OTP? :O

      Hapus
    2. Wajib (pake banget)

      Hapus
    3. +1 Like buat komennya Bebebs
      hahahah

      NanoNita is OTP

      Hapus
  7. bahasanya susunan kata-katanya membuat cerita mudah dipahami dan mengalir begitu saja. setiap adegan bisa disampaikan dengan bervariasi melalui permainan kata.

    interksi dg oc panitia yg sepertinya akan berkaitan dg konflik sesungguhnya alam mimpi jug bisa dimasukkan di sini.

    kalau baca ini serasa baca odin lewat sudut pandang berbeda dengan ending yang beda pula. jadi kedua entry serasa nyambung.

    tapi cerita ini beneran fokus ke anita aja ya. karakter lain cuma numpang lewat. saya bingung mau 9 atau 10.

    hmm...10 deh.

    BalasHapus
  8. aaahh kerennn.. >.<

    ceritanya keren dan bagus. scene Nano buat nyadarin Anita terasa menyentuh. nggak nyangka OCku bakal membuat terharu. Papa bangga padamu, Nano /terharu

    cuma OC tamunya nggak dikasih porsi lebih jadinya nggak terlalu penting di ceritanya. tapi selebihnya bagus banget.

    nilai dari saya 10/10
    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  9. Saya suka narasinya, ga terlalu berbelit dan langsung kebaca poinnya. Interaksi karakter & dialog juga ntapz. Saya langsung keinget scene ketika sandman ngamuk di film spiderman.

    Hanya saja...

    - Entah itu emang salah ketik atau sengaja, ada dua nama yang tiba-tiba "puputan"; namanya berubah drastis.

    - Bagian extra itu cuma buat nambahin Nessa yang ga ngikut ke narasi utama kan?

    Panjang, capek bacanya, tapi puas dengan ceritanya.

    Overall Score : 9

    At last, greetings~
    Tanz, Father of Adrian Vasilis

    BalasHapus
  10. Spotlight yg bener2 fokus ke Anita buatku cukup asik untuk membawa pembaca tenggelam ke dalam cerita yg intens. Awalnya terasa semua bakal terasa mulus2 aja, namun ternyata nggak, begitu perubahan wujud Anita malah error.

    Di sini mulai keliatan asiknya, rencana yg udah disusun manis sejak awal kini bener2 jadi chaos. Also, Lady Rock bener2 keren! Bisa bertahan sedemikian rupa dari Anita, eh taunya mati kena bacok. Antiklimaks banget sih buatku.

    Lalu kemunculan Weiss rasanya agak kurang digali, andai dia dapet spotlight dikit utk menjelaskan niatnya dalam menyelesaikan misi ini, pasti lebih menarik.

    Adegan terakhirnya heartwarming banget. Lalu di-whiplash dengan epilog dari Venessa, hahahahaha. Tapi aku nggak ngerasa itu ganggu kok, lucu aja.

    Dariku 9/10
    ~FaNa

    BalasHapus
  11. SUNNY: “Kebanyakan tanda koma tak pada tempatnya
    ‘Daripada’ bukan ‘dari’ saja karena membandingkan
    Anita pun menduga kalau sang dewi—Ratu Huban—dan pria yang mereka panggil Zainurma, telah mengetahui seluk beluk kehidupannya juga
    Mas-Mas (ratu huban diapit em dash)
    Butir-butir panas yang menghajarnya diam-diam ia buang lewat kaki (kalimat ambigu, di mana diletakkan tanda komanya? Apakah dia dihajar diam-diam atau ia diam-diam membuang peluru lewat kakinya?)
    Rumah sakit (huruf kecil mua kecuali kalo ada nama rs nya).”

    GHOUL: “hm yang lebih banyak koment si sunny ajah. Mungkin karna waktunya luang dan shui sedang ga pengen marah2. Maaf datang jauh-jauh hanya sempat koreksi ebi-nya aja. Hm apa nih bagian ngeriview ya? Kebiasaan ngoreksi ebi sih.”

    (ngasih 8 sambil nunggu kembalian) :=(D

    BalasHapus
  12. Oke, jatohin komentar di Anita duluuu~

    Lagi-lagi perkembangan drastis dalam sebuah entri. This one is kinda expected, tapi eksekusinya bagus.

    Build-up dialog-dialognya mantep. Dan sepertinya bang king memang ada tujuan tertentu ya sama Mirabelle? However, fokus latar dan OC yang lain memang jadi agak dikesampingkan demi development Anita yang se-drastis ini, kalau saya lihat.

    Perkara tidak semua karakter dapet spotlight saya rasa wajar sih. Itu tantangan membawakan banyak karakter dalam satu cerita.

    Dinamika Nano-Anita juga mantep, jadi membuat impact yang lebih buat Anitanya, dan perubahannya sebagai Shoggoth gak asal berubah aja :s

    Entri yang solid dan drastis dari bang King.

    Nilai 9 cukup lah ya ;)

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  13. Perincian settingnya epik dan natural. Hawa aliennya daerah Summarecon kerasa, meski di sini diganti sama Little Italy, tapi dasar elit dan beda dunianya tetep kena.

    Selain setting, narasinya juga mengalir. Jumlah words-nya sama sekali engga berpengaruh sama kenyamanan waktu baca. Konflik batin Anita di R1 ini juga engga kalah sama waktu di prelim. Berserk-mode yang menimbulkan kekacauan. Mungkin engga ya Anita punya kontrol penuh sama mode itu ke depannya? Cant wait. 9/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  14. Umi benci entry ini TQT
    Banyak, dan ga ngebosenin, as expected dari King T~T

    0-------------------------------------------------0

    Review Umi mulai dari sini

    Umi suka keseluruhan cerita. Umi suka. Perang batinnya Anita yang monster overall keren banget. Dan cerita ini bukan cerita yang penting jadi walau masuk di awal. Konfliknya ituloh, well build T~T

    Apa yang bisa ditambahin lagi dari cerita ini?
    Banyak, termasuk penggnunaan karakter. Untuk cerita yang masih punya banyak waktu untuk di build dan ukurannya 14k lebih, Ummi rasa, karakter kayak Odin, Nessa, Weiss masih bisa digarap lebih baik lagi. Mereka berasa cuma numpang di cerita yang well build.

    -----------------------------------------------------

    Nilai dari Umi 9

    BalasHapus
  15. dari awal entri ini enak banget diikutinnya. yg agak aneh paling pas anita lepas kendali, rasanya terlalu mendadak tanpa trigger yg kentara o_O ...atau saya miss sesuatu?

    yah tapi itu langsung teralihkan sama battle yg begitu intens. sentuhan2 kaya teriakan yg bikin tuli dan tatapan yg bikin gila itu juga bener2 terasa horornya >w<

    soal teknis ga ada masalah. konflik di little italy bekasi ini juga tergambar jelas kendati akhirnya kacau balau xD

    nilai: 8.5 = 9
    oc: castor flannel

    BalasHapus
  16. Satu lagi cerita yang tokcer buat jadi contoh nih,,dari awal sampe akhir mulus dan seru...bukan cuman berantem aje tapi nampilin kegundahan hati si tokoh Anita keren banget

    Ngerasa ada yang aneh sih soalnye ini kayak monster ngamuk doang terus semua jadi udah tau-tau beres aje..ini komplen aye soal berantemnye,,tapi kekurangan ini nih ditambal bagus bener sama pembawaan ceritanye yang menuju kesono,,sama pas udah beres berantemnye

    Aye juga sukak nih sama penggamabaran lokasinye,,ben3ran kebayang kayak Bekasi,,biarpun ade nyempil dikit kota itali gitu (rada-rada mirip bingkai mimpi si harum nih)

    Mungkin kesononye sianita bakal lebih jago ngendaliin dirinye,,terus bakal kebuka deh misteri Mirabel dan yang laen

    Ponten dari aye 10,,karakter aye Harum Kartini

    BalasHapus
  17. Komentar pertama : MUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAH

    Oke, I should stop laughing.


    ===

    Tapi serius deh bang, saya sudah expect bakal ada duel private, tapi justru Lady diserang pas lagi berpesta.
    Aahahahah anita korup. Tapi saya suka pas awal-awal dia ngingat soal bekasi, dan akhirnya jadi Bekasi paralel.

    Nano juga lumayan ngocol buat saya. Ngocol dan cool bersamaan. Masih luka aja berlagak cool gitu

    HAHAHAH

    Dan Odin kena 'tikung' wkwkwkw
    maaf saya ga bisa berhenti ketawa. Saya ngakak pecah waktu ada deskripsinya Odin hahaha hahahahahaha


    PS : Anita pilih siapa? Nano atau Panji?


    Sejujurnya entry ini kasih saya influence besar, dan karena saya seneng ngebunglon, saya kasih 9

    -Odin-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anita mah netral aja kaya swiss lah, wwww

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.