Sabtu, 05 Maret 2016

[FBC] 018 - EDMUND


EDMUND
VERSUS
RENA CHRONOSS
[Tantangan NV1]
oleh: Kevin Arnando
---

"Apapun yang Terjadi, Jangan Narkoba"



1
Ada empat hal menarik di bar itu malam ini; kakek-kakek tuli, seseorang dengan lubang besar dan darah di kepalanya, wanita cantik, dan bunyi ledakan di luar. Gemuruh ledakan yang terdengar berulang-ulang. Begitu nyaring hingga gelas-gelas yang ditata di rak kaca bergetar setiap kali bunyi ledakan itu muncul.

Kakek-kakek tuli itu, karena dia tuli, masih santai menuangkan bir untuk dirinya sendiri. Anak muda jaman sekarang, pikirnya, menyelesaikan masalah dengan kekerasan bukanlah cara yang benar. Lalu dia membolak-balik halaman majalah porno.

Sepelemparan batu dari tempat duduk si kakek, Edmund baru saja melepaskan tembakan demi tembakan. Dia berdiri di tengah jalan dan sedang mengisi pelurunya. Semua suara lenyap saat dia berhenti menembak, hanya desau angin samar-samar.

"Pertamanya aku memang nggak tahu kalau kamu itu perempuan. Tapi, aku nggak nyangka kalau kamu sejenis gituan."

Ed mengacungkan revolvernya ke atap sebuah bar tua. Tidak ada apapun di sana. Sepersekian-detik berikutnya, sebuah sosok mendaratkan kaki di situ, tepat ketika Edmund menekan keras-keras pelatuknya. Untuk beberapa saat yang terasa memuaskan, dia mengira tembakannya mengenai sasaran.

Ternyata tidak. Pelurunya menembus udara kosong. Ed memang berhasil menebak langkah berikutnya dari perempuan itu. Tapi, lagi-lagi sosok tersebut menghindar sedikit lebih cepat.

"Rena Chronoss," gumamnya. "Jadi, gimana versi ceritamu?"

Dengan satu lompatan kilat, perempuan bertudung itu bergerak turun.

"Tidak ada hubungannya denganmu," katanya. Tanpa nada suara yang menunjukkan ekspresi apapun. Tudung kepalanya hanya menampakkan sedikit bagian dagu yang sepucat bulan. Kemudian, hampir-hampir berbisik, "Aku hanya ingin bertahan hidup."

"Bertahan hidup," ulang Edmund. "Rupanya putri kerajaan bisa juga mikirin hal paling jelata kayak gitu."

Dia membelokkan pistol, langkah yang benar-benar disesalkannya. Ed merasakan logam dingin menancap di dalam perut. Bermodal kecepatan trengginas, Rena telah berdiri di belakang Edmund seraya mendorong belatinya melesak lebih dalam ke pinggul pemuda itu.

Ed mencengkram keras lengan Rena tanpa menoleh ke belakang. Yang membuat gadis itu cukup kaget. Kebanyakan korban yang dia temui tidak sempat melakukan gerakan tak terduga seperti sekarang. Sepanjang pengalamannya, orang yang kesakitan tidak banyak memberi perlawanan.

"Keparat!" jerit Edmund. "Jangan sampai kena Yang Mulia Pelé!"


2
Keadaan di luar jendela bus itu nyaris tidak kelihatan sama sekali sebelum pemuda berambut gimbal, berkulit coklat, Milanisti, dari Jamaika tersebut mengelap debu yang menempel di permukaannya. Dia melihat keluar. Gelap. Hanya batu-batu dan pasir beterbangan ditiup angin. Seolah di tempat ini pernah terjadi perang dan terhenti begitu saja karena seluruh pasukannya desersi.

Dia baru akan nyimeng ketika bus mendadak berhenti di persimpangan jalan, ketika Edmund menyadarinya. Tai lah, dia bilang. Sang Supir tidak berkata apa-apa. Penumpang lain juga tidak. Sebenarnya, dialah penumpang terakhir di bus itu. Ed baru turun ketika kondektur menyuruhnya turun.

"Boleh saya tahu sekarang saya ada di mana?" tanya Ed pada kondektur dari pintu bus. Tapi tidak ada yang menjawab. "Apa semua kebisuan ini protokoler?"

"Err …," sebelum menyelesaikan kalimatnya, pintu bus segera tertutup dan sang supir terburu-buru melanjutkan perjalanan.

Ed mendecakkan lidah. Orang kota.

Saat berbalik, yang dia lihat di hadapannya adalah bangunan-bangunan tua dan jalanan utama yang belum diaspal. Beberapa lampu di pertigaan menghindarkan kota ini dari kegelapan total. Tidak ada seorang pun yang terlihat di kanan-kiri jalan. Tetapi, samar-samar Ed bisa mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam sebuah toko buah-buahan di dekatnya. Serta suara tv dari kios cukur rambut keliling. Jadi dia beranggapan bahwa dia tidak sendirian di sini. Bagaimanapun tempat ini tampak seperti Jefferson, pikirnya, tetapi terlambat limapuluh tahun.

Edmund menyalakan ganja yang telah dilinting di atas kertas papir, menghisapnya pelan-pelan. Lalu mulai menyusuri tempat itu.

Rena Chronnos.

Langkahnya terasa benar-benar ringan. Seakan-akan dia sedang berjalan di planet lain yang hanya seperenam gravitasi Bumi.

Kira-kira setengah jam berjalan sendirian di malam yang hening itu. Edmund melihat siluet orang lain di pinggir jalan. Suasana kota yang minim pencahayaan membuatnya sulit melihat dengan jelas, ditambah asap pekat yang mengepul dari hidungnya. Tetapi, lima langkah sebelum mencapai sosok tersebut, Ed mampu menyimpulkan: anak kecil, jongkok, sedang mengais tanah, kurang kerjaan.

Sudut matanya diam-diam menangkap apa yang sedang dilakukan anak itu. Dia sedang menggambar kue ulangtahun di permukaan pasir. Lengkap dengan delapan batang lilin.

"Bagus buatmu, Nak," gumamnya.

Ed mengira anak itu tuli dan bodoh. Tetapi, ketika Edmund mulai berjalan meninggalkannya. Anak itu menyapanya.

"Tidak ada sekolah sihir buatmu. Maaf.[1]" Edmund melambaikan tangan tanpa berbalik.

"Bukan begitu, Tuan Orang Asing," sergah si anak cepat-cepat. "Aku hanya ingin tahu, meskipun kemungkinannya kecil, apakah kau punya sedikit uang untuk disisakan? Ini hari ulangtahunku."


3
"Ya, aku tahu. Hari ini kamu ulangtahun. Udah jelas."

"Jadi, apa hari ini anda sedang merasa bermurah hati? Sedikitnya, Tuan Orang Asing yang baik budi ini bisa mengajakku minum-minum." Anak itu menunjuk ke arah kedai bir bergaya Wild West yang berdiri di seberang jalan. Di depannya terpampang plang besar bertuliskan: "Caldwell's: mari minum dan lupakan urusanmu sejenak, apapun itu, meskipun benar-benar penting, karena, kautahu, kebahagiaan di atas segalanya."

Ed menghisap rokok ganjanya, lalu menghela napas. "Tidak, Nak. Tidak hari ini. Aku sibuk."

"Sekali ini saja, Tuan, kumohon. Ini ulangtahunku."

Edmund menghentikan langkah dan mengeluarkan sesuatu dari balik kaos. Saat dia menghampiri anak itu lagi, Ed melihat wajahnya berbinar-binar.

"Di mana orangtuamu?" tanya Ed.

"Mereka punya anggur terbaik di county, Tuan. Tidak, di seluruh negara bagian. Anda tidak akan menyesal."

"Orangtuamu, Nak."

"Anda tahu mereka menyimpan persediaan anggur sejak pertempuran di Cornwall tahun 1908, orang sini bilang kalau itu hanya trik jualan mereka saja, tapi aku yakin keluarga Caldwell tidak pernah berbohong, anggur mereka berumur sangat tua!" limabelas menit berikutnya, anak itu masih memuji kebaikan hati seluruh nama yang ada di silsilah keluarga Caldwell hingga kakek buyut mereka. Edmund tetap mendengarkan sampai dia menyalakan lintingan keduanya hari ini lalu teler. "Mati, Tuan. Mereka sudah mati."

"Dua-duanya?"

"Tidak. Ayahku, ya. Dia punya tumor. Ibuku menikah lagi dan pindah."

Edmund mengepulkan asap tebal dari mulut. Lantas mengeluarkan pistol Colt 36 dan membidikkannya, siap meledakkan kepala anak itu.

Anak laki-laki tersebut kaget bukan kepalang. "K-kenapa, Tuan? Apa maksudnya?"

"Cinta, Nak. Cinta jawabannya."

"A-aku nggak ngerti."

"Bob Marley yang bilang."


4
"Kamu itu korban cinta," kata Ed dengan mata merah iritasi karena asap.

Sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangan, anak itu memohon pada Edmund. "Kenapa, Tuan? Tolong jangan tembak kepalaku!"

"Orangtuamu," sambung Ed. "Mereka mencintai satu sama lain, atau paling nggak mungkin cuma salah satunya aja, yadda … yadda … terus, lahirlah kamu."

"Lalu apa salahnya? Aku tidak mengerti!"

"Kamu memang nggak perlu mengerti," Ed menempelkan moncong senjata di kening anak laki-laki di depannya. "Kamu adalah manifestasi cinta. Karena itu kamu ada. Jadi, nggak perlu sedih. Kenyataannya adalah kamu nggak layak hidup kayak begini. Tidak dengan hidup menderita dan mengenaskan begini," kata Ed. "Cinta, Nak, dia menciptakan sekaligus menghancurkan."

Ed menengadahkan kepala mencoba mengingat darimana dia mendapat kalimat itu. Tidak mungkin di Segala Cara Mengamati Gunung Berapi, Disertai Proyek Praktis. Pasti adanya di buku lain. Tapi dia tidak ingat.

"Aku sungguh-sungguh minta maaf, Tuan." Anak itu mulai menangis dengan keras. "Anda tidak perlu mentraktirku minum. Aku tidak menginginkannya lagi sekarang. Tapi tolong jangan bunuh aku!"

"Kenapa? Dan tolong jangan menangis."

"Heh? Tidak tahu! Aku tidak tahu! Jika ada orang lain yang tidak memohon ampun ketika seseorang menodongkan pistol di kepalanya, aku akan menjadikannya panutanku."

Dalam jeda antara racauannya, yang nyaris tidak didengar Edmund, anak itu berbisik lirih,

aku masih mau hidup

Ed menghirup napas dalam-dalam, lalu mulai menurunkan pistolnya dari kepala anak itu. Kemudian, dia duduk menyandar di sisi dinding sebuah bangunan yang tampak seperti bekas gedung bioskop kota. Dia cukup kelelahan setelah berjalan cukup jauh. Setelah mengelap ingus, anak itu mengikutinya duduk.

"Hisap, nih," Ed menyodorkan sebatang rokok. "Ini dibuat dari herbal ajaib. Dengan ini kamu bisa hidup setahun lagi, paling sedikit."

"Terimakasih."

"Sama-sama. Ceritakan soal keluarga Caldwell yang hebat itu. Mereka menang adu poker atau apa?"

"Perang, Tuan, mereka ikut perang." Sambil menghisap daun ganja, si anak kecil mulai bercerita panjang lebar pada Edmund. Setelah beberapa lama, dia mulai happy.

"Ya, Tuhan, apa itu gajah terbang?" tunjuk si anak ke langit.

"Sepertinya begitu. Memang kenapa?"

"Mereka 'kan bukan hewan nokturnal."

"Memangnya kalau malam-malam kamu kelaparan, kamu bisa tidur?"

"Benar juga."

"Kamu belum memberitahu namamu," Kata Ed.

"Rudolf von Schaftteinhoff, Tuan. Rudolf tidak masalah."

"Oke, tukang palak, tapi ingat; cuma segelas."

Ed segera berdiri dan berjalan menuju bar di seberang jalan. Tidak ada gunanya juga jika begini terus, pikirnya, barangkali di tempat itu seseorang tahu sesuatu mengenai Rena Chronnos.

"Ngomong-ngomong," gumam si anak, "anda tadi mengatakan sesuatu tentang Rob Barney, boleh saya tahu dia siapa?"

Edmund melepaskan satu peluru yang bersarang di pundak anak itu.

"Itu buat kamu karena nggak kenal siapa Bob Marley."


5
Bartender masih sibuk mengelap gelas kaca sambil membelakangi Ed ketika dia berteriak, "Tidak ada yang seperti itu di sini. Siapa tadi namanya, Lina Inverse?"

"Rena Chronnos."

"Tentu saja Rena Chronnos, kau pikir aku ini tuli, heh!"

Rudolf menenggak gelas birnya. Dia bergumam pada Edmund yang duduk di sebelah. "Dia memang bicara keras, Tuan, tak perlu khawatir. Tuan Caldwell tertembak di bagian telinga ketika dia masih seorang prajurit pembela Perserikatan."

"Aku tidak khawatir," jawab Ed.

"Kalaupun tahu, aku tidak akan pernah mengatakan apapun padamu, nigga," lanjut Caldwell. Selain mengalami gangguan pendengaran, Tuan Caldwell rupanya juga rasis. Meskipun sebenarnya Ed bukan sepenuhnya keturunan negro, tetapi campuran latin. Walau kulitnya tetap gelap juga.

Rudolf kembali berbisik, "Dia tidak akan bicara banyak pada orang asing sepertimu. Itu melukai filsafat hidupnya."

"Aku bisa mendengarnya sendiri, keparat. Aku nggak tuli kayak dia."

Edmund memperhatikan sekeliling. Tempat ini tidak memenuhi semua cerita mengagumkan yang dikatakan anak itu. Hanya ada lima kursi yang terisi. Termasuk Rudolf dan Edmund. Lainnya adalah seorang perempuan tua, gadis muda, dan seseorang dengan penutup kepala yang duduk sendirian di pojok.

Lima lampu minyak—empat jika dikurangi lampu rusak di sudut kedai yang ditempati seseorang bertudung itu—yang di pasang di seluruh penjuru kedai tidak cukup menerangi setiap tempat. Gelapnya malam melingkupi lampu-lampu murahan yang terpasang di sangkar perunggu, menjadikan tempat ini remang-remang.

Rudolf tampaknya tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. Dia mulai mabuk ganja. Tuan Caldwell nyaris selalu membelakangi Edmund. Perempuan tua dan gadis muda yang duduk berdampingan sibuk dengan urusan mereka sendiri.

"Anggur yang bagus, Tuan Caldwell," Edmund bilang untuk membuka percakapan.

"Yang anda minum itu wiski, Tuan," timpal Rudolf. "Kalau itu dari gandum."

"Makasih buat trivianya, Jarvis."

Edmund menyalakan selinting lainnya lagi. Lalu, dia membalikkan kursi dan mengangkat gelas ke arah seseorang yang duduk di pojok kedai. Sosok berpenutup kepala yang daritadi diam membisu.

"Gimana kalau kita minum bareng, Tuan Misterius?"

Karena tersentak dengan panggilan Ed, tudung yang dikenakannya bergerak-gerak.

"Kuanggap itu sebagai tidak," Edmund menarik revolver 44-nya dan melepaskan tembakan ke arah sosok berjubah itu.

Semua orang membeku di tempatnya. Tuan Caldwell seolah-olah mendapatkan kembali pendengarannya yang hilang. Sosok bertudung itu, kini tertelungkup di atas meja. Darah mengalir dari lubang di kepalanya, menggenang di atas meja, lalu menetes ke lantai.


6
"Ya ampun. Ini klise di atas klise." Edmund menarik kepala yang terkulai di meja itu dengan tangannya. "Semoga di kehidupan berikutnya kamu bisa mempertimbangkan metode penyamaran yang lebih baik, Rena."

Rudolf, yang sejak tadi memperhatikan semua runtutan kejadian itu, meletakkan gelas birnya. Tampaknya dia mengalami trauma ringan.

"Maaf buat itu, ya. Harusnya kamu tetap fokus sama minumanmu tadi."

Tanpa sepengetuan Ed, wanita tua dan gadis muda yang duduk di ujung kedai berlari menghambur ke arahnya. Dia refleks menyiapkan senjata. Tetapi, yang terjadi ternyata dua perempuan itu memeluk erat mayat di depan mereka. Dan seorang di antaranya mulai mengeluarkan suara tangis meraung.

"Kakeeekk!"

"Suamiku!" seru salah satu wanita yang jauh lebih tua. "Penjahat bajingan! Kenapa kau membunuh suamiku?"

Di sela-sela tangis dan jeritan, Edmund melihatnya. Di balik tudung yang kini sedikit tersampir, dia melihat wajah seorang laki-laki sangat tua dengan kulit dipenuhi bercak-bercak merah mengerikan.

"Eh?"

"Sebentar-sebentar, dia ini Rena, kan? Rena Chronoss? Maksudku, dia memang tidak kelihatan seperti anak raja. Tapi dia Rena, kan? Tolong bilang dia Rena."

"Apa yang kau omongkan itu?!" Wanita tua itu berteriak. "Dia suamiku!"

"Lalu kenapa dia nggak duduk sama kalian? Dia tahu gerak-geriknya benar-benar mencurigakan."

"Kakekku sakit! Dia mengidap penyakit turunan yang menyebabkannya tidak bisa terkena cahaya walaupun sedikit saja."

Gadis muda yang berdiri di depannya itu bangkit dan meninju telak wajah Ed. Dia meneriakkan sesuatu yang tidak kedengaran jelas karena di setiap kata-katanya selalu diiringi makian kasar. Edmund benar-benar kebingungan. Perintah Huban sudah sangat jelas; temukan Rena dan pastikan dia mati sebelum dirinya akan dikembalikan ke dunia asalnya. Jika mayat di hadapannya sekarang adalah Rena yang dimaksud, seharusnya dia sudah terbangun dari tidurnya sejak tadi. Ed benar-benar merasa bersalah.

"Aku … akan kubayari minumannya," katanya.

Edmund lalu duduk kembali di depan meja bar. Dia baru bisa duduk setelah memukul kepala si gadis dengan gagang pistol hingga tak sadarkan diri. Perempuan itu berusaha mencekiknya sampai mati tadi jika dia tak menghentikannya. Ed menghisap rokok dan menunduk. Saat dia mengangkat kepala, Tuan Caldwell menatapnya lekat-lekat dari seberang meja.

"Apakah menemukan Rena benar-benar penting bagimu, hingga kau harus membunuh orang lain?"

Edmund melengos, "Kau bisa bilang begitu."

"Dan mengapa alasannya, jika kau tak keberatan?"

Ed merasa terganggu dengan tingkah laku yang ditunjukkan Caldwell secara tiba-tiba. Kemana semua kesopanan ini sepuluh menit tadi? Mungkin peluru dan cucuran darah meruntuhkan benteng kecongkakan alamiahnya.

Edmund enggan menjawab.

"Rena," mulai Caldwell. "Dia bekerja di sini. Gadis yang baik. Keluarganya mati semua. Anak malang."

"Maksudmu anda mengenal dia?" tanya Ed.

"Kau bisa bilang begitu. Dia datang ke Caldwell's suatu malam mencari pekerjaan. Tetapi kukatakan dengan jujur jika aku tidak bisa menerimanya; kami tidak punya cukup uang untuk membayar pegawai. Tapi dia terus memaksaku.

"Kautahu, dengan pembawaannya yang necis itu, kadang-kadang dia membuatku takut. Rena mengatakan kalau dia tidak mencari uang. Aneh sekali, bukan? Tidak mencari uang, heh, memangnya kenapa orang-orang bekerja. Tapi itu bukannya urusanku sama sekali."

"Lalu anda menerimanya?"

"Yah, tempat ini sepi, dan satu-satunya yang menyelamatkan barku dari kebangkrutan adalah gadis itu. Dia bekerja tetap sebagai penari telanjang di sini," jawab Caldwell. "Kecantikannya banyak membantu. Sesekali, jika mood-nya lagi baik, dia menerima short-time."

"Oh."  Pemuda itu menggaruk-garuk kepala.

"Biasanya, di jam ini Rena pergi belanja kebutuhan harian untuk besok."

"Lalu kapan dia pulang?"

"Biasanya di saat-saat sekarang ini sambil membawa keranjang belanjaannya. Atau mungkin yang lebih tepat, dia baru saja kembali," Caldwell menunjuk satu keranjang besar berisi roti mentah, sekantung kentang, dan selembar kain potong di sudut meja bar.

Edmund hendak berbalik tetapi terhenti ketika merasakan ujung lancip menancap di batang lehernya hingga mengeluarkan darah. Dia baru akan menggenggam revolver yang disembunyikan di balik ikat pinggang, dan hampir menariknya sebelum dihalangi Rena.

"Kita urus di luar, Jagoan."


7
"Babi kamu." Ed memutar kepala dan melihat ke punggungnya. Robek. Pemuda itu menangis sesunggukan. Rajah bermotif karikatur Pelé sekarang tak beraturan. Darahnya menutupi permukaan tato itu dan membuatnya tidak tampak jelas lagi.

Maafkan saya, O Rei.[2]

Beberapa detik sebelum itu, Ed menahan gerakan kilat Rena Chronoss dengan memegangi tangannya, lalu menyikut ulu hati gadis itu kuat-kuat. Di hadapannya, Rena tampak terengah-engah. Dadanya naik-turun dengan cepat. Ed menduga dia kesulitan bernapas.

"Nggak ada yang boleh macam-macam sama Sang Dewa."[3]

Rudolf berbisik pada Caldwell, "Taruhan lima gelas, Tuan, si orang asing pasti menang."

"Buat jadi sepuluh. Rena-ku tidak punya tandingan."

Di balik penutup kepalanya, tanpa diketahui oleh siapapun juga—baik itu Caldwell, Rena Chronoss merasakan ingatan lama berkejaran kembali ke otaknya. Bertahun-tahun lalu, dia adalah seorang pemburu harta yang bertarung untuk hidup dan mati, atau begitulah mereka menyebutnya. Tetapi baginya semua itu tidak mempunyai arti apapun. Tentu, dia tidak tertarik pada harta luar biasa yang digembar-gemborkan, tetapi dia mengingat semua pertarungan itu, darah, serta lonjakan adrenalin yang dia pernah rasakan sekali waktu.

Ujung indranya menangkap gerakan tersembunyi Edmund. Orang ini, pikirnya, dia tidak pernah belajar. Dengan mudah Rena berkelit ke samping untuk menghindari peluru Edmund.

"Apa yang membuatmu menyanggupi permintaan Huban?" dia bilang.

"Ah," desah Edmund. "Apa yang paling aku inginkan," katanya, "aku cuma mau hidup. Seseorang bilang begitu padaku tadi."

"Uang? Kekayaan melimpah? Kukira itu satu-satunya alasan orang sepertimu mau hidup."

"Bagaimana denganmu?"

Rena mengabaikan pertanyaan Edmund. Yang membuat laki-laki itu jengah.

"Aku mengerti. Jadi penari striptis adalah mimpimu sejak kecil, ya?

Ed mengira kata-katanya akan menyulut emosi musuhnya. Tetapi Rena tidak mengatakan apapun. Dia tidak dapat menerka raut wajah Rena karena tak bisa melihat secara langsung wajah perempuan itu. Gaya bicaranya juga benar-benar dingin seolah tanpa hasrat.

"Akan percuma bila kujelaskan. Semua tidak ada artinya."

Diam-diam Rena berusaha mengulur waktu. Rupanya rencananya berhasil. Di belakang Ed sekarang berdiri prajurit magis yang senantiasa mengawal perempuan itu. Rena memanggilnya dari ruang dimensi berbeda ketika Edmund mengisi peluru senjatanya. Dia menyimpan keahlian ini. Dan dia menunggu saat ini tiba, ketika sosok setinggi dua meter itu mengayunkan pedang lengkungnya ke kepala Ed.

Pemuda gimbal itu sempat menghindar karena Rudolf Oppenheimer—atau sesuatu seperti itu, meneriakinya. Pedang besar menghantam tanah dengan keras. Debu pasir beterbangan. Ed merasa wajahnya berdarah dan kebas. Dia tidak yakin apakah kupingnya masih menempel di tempat.

Setelah keributan mereda dan debu-debu menyebar ke segala arah, Edmund dapat melihat dengan jelas, seorang laki-laki besar lengkap dengan baju besi, serta pelindung kepala yang dihiaskan sepasang tanduk rusa.

"Harus … lindungi … Putri Fronzo."


8
Huban tidak pernah bilang apa-apa soal ini. Penipu surealis itu memang sialan, batin Ed.

"Hadapilah Anak Bungsu Raja, heh? Tidak ada yang bilang padaku kalau bekingannya Jendral Sekigahara."

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, prajurit raksasa itu mencekik Ed dan mengangkatnya ke udara.

"Harus … lindungi … Putri Fronzo." Ceracaunya tanpa henti.

Yang berikutnya diketahui pengedar narkoba itu adalah, tubuhnya melayang dengan cepat, lalu menghantam pagar luar Caldwell's Bar hingga membuatnya hancur berkeping-keping. Dan terus terlempar hingga dinding kedai. Ed merasakan bahu kirinya bergeser.

Rudolf berlari menghampirinya, "Bahu kiri anda bergeser, Tuan!"

"Apa yang kamu lakukan, Jarvis, kenapa masih ada di sini?!"[4]

Susah payah Edmund berdiri, mengambil pil putih dari kantung celana, dan menelannya. "Ini disebut pil anjing, atau penghilang rasa sakit." Dia mendorong bahunya yang patah menggunakan tangan kanan, krak! lalu memutar-mutar sendinya. Obat yang diminumnya memang tidak bisa menyembuhkan tulang yang patah, tetapi sanggup meredakan siksaan rasa sakitnya sehingga dia masih mampu bertahan.

"Menjauhlah dari sini, temukan Mama. Mulai sekarang semuanya bakal serius."

"Tapi saya nggak tahu di mana Mama saya, Tuan."

Edmund menembaki prajurit bayangan tersebut. Dia membidik bagian tubuh yang tak terlindungi. Tetapi sosok besar itu tak merasakan apa-apa. Dia seolah hidup, tapi tak benar-benar hidup. Ed membuang ludah.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, tanpa diketahui Ed, Rena Chronoss mulai limbung ke tanah. Dia tidak bisa merasakan keseimbangannya lagi. Pandangannya terus tertuju pada Edmund, khawatir kalau laki-laki itu menyadari celah ini. Tapi prajurit magisnya—yang dulu merupakan pengawal pribadi Yang Mulia Fronzo, ayahnya, masih menyita perhatian Ed.

Kesehatannya memang terus menurun akhir-akhir ini, dan dia terus menyembunyikannya. Dalam keadaan biasa, serangan pertama Rena tadi sudah lebih dari cukup untuk menghabisi Ed. Terus-menerus berkelit dari terjangan senjata pemuda itu membuatnya cepat keletihan.

"Kenapa kau nggak mati?!" Peluru berdesingan merobek udara malam. Menghantam pelindung besi pengawal Raja Fronzo. Sebagian telak menembus lapisan daging makhluk itu. Tetapi dia tetap bergeming.

"Harus … lindungi … Putri Fronzo."

Lewat satu tebasan penyelesaian, prajurit hantu itu berniat menghancurkan leher Edmund dengan serangan tunggal. Pemuda itu nyaris kehilangan kepalanya jika saja dia terlambat melompat. Pedang besar tersebut membelah tiang kayu teras kedai Caldwell. Teras bar tua itu runtuh berantakan.

Tubuh Ed mengejang. Darah mengalir dari kepalanya. Itu ketiga kalinya dia hampir mati dalam beberapa menit terakhir. Dia melihat ke arah kedai, dan menyadari seseorang tertimbun di antara puing-puing kayu dan paku; anak kecil—Rudolf Scneinderlin, atau sesuatu yang mirip. Tiba-tiba, dia merasakan lengan besar melingkari lehernya. Raksasa itu menjepit leher Edmund menggunakan sikut.

"J … Jarvis … s … jangan mati dulu."

Lengan kekar yang meliputi batang leher Ed semakin erat. Matanya mendelik ke langit mencari-cari sesuatu, tapi entah apa. Dan mulutnya mengeluarkan suara desisan tak jelas. Setiap detik yang terlewat itu terasa paling menyiksa dalam hidup Ed. Tanpa perlawanan fisik berarti, yang dia lakukan hanyalah mencakar-cakar kulit tangan prajurit itu.

Ketika dia berontak sekuat tenaga, sesuatu terjatuh ke tanah dari kantung celananya. Pil koplo. Sebelum pingsan, samar-samar Ed melihat Rena Chronnos memungut bungkusan plastik kecil itu dari tanah. Lalu semuanya memudar ….


9
Pandangan Edmund begitu gelap. Dia tidak tahu dimana dia berada sekarang. Seakan-akan tubuhnya baru saja terdorong masuk ke lubang hitam dan yang bisa dia lihat hanya warna-warna kehitaman yang pekat. Kupingnya mendengar bunyi dengung yang aneh.

"Untuk mengalahkan Charizard, kamu harus menggunakan serangan tanah," kata Abraham Lincoln.

"Percuma bodoh, dia itu tipe terbang."

Laki-laki itu melihat dirinya duduk di sebuah ruangan gelap. Seperti kamar belakang sebuah tempat judi murahan di kota. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba terasa nyaman. Dia menyaksikan kedua teman baiknya, Lincoln dan Jim Morrison berdebat sengit tentang siapa yang benar. Lalu dia tertawa.

"Kenapa dia tertawa?"

"Kau punya sesuatu untuk dikatakan?"

"Hm?"

"Kau punya sesuatu untuk dikatakan? Kau mendengarku?"

"Apanya?"

Suara ketukan palu menyadarkan Ed dari lamunan. Dia melihat tubuhnya—masih utuh. Dia memegangi kepalanya, ternyata tetap kering. Hanya sedikit berkeringat karena cuaca panas. Dia duduk di sebuah kursi sempit di tengah-tengah ruangan yang luas.

"Anda punya sesuatu untuk dikatakan, Mr. Edmund?"

Di depannya, Hakim Dixon tengah menatap dirinya. Jemari keriput pria tua itu gemetaran ketika dia mengusap rambut keningnya yang sudah jadi uban. Pastilah sudah banyak orang yang melihat wajahnya untuk terakhir kali sebelum mereka dihukum tembak.

"Saya katakan sekali lagi, Mr. Edmund—ah, siapa tadi nama belakang anda. Anda punya sesuatu untuk dikatakan, sebelum semua ini berakhir?"

"Dimana Atticus ketika kau membutuhkannya?"[5]

"Maaf?"

Ed melihat ke sekeliling. Dia sedang berada di kursi pesakitan. Di samping kursi besar Dixon, para juri menatap dirinya dengan muka dingin. Raut wajah itu mengingatkannya ketika seseorang mengucapkan belasungkawa atas kematian seseorang lainnya. Edmund menyunggingkan senyum. Bagaimana orang bisa melihatnya dengan cara seperti itu padahal dia sendiri belum mati?

"Anda bisa membantu kami dengan membuatnya sedikit lebih mudah, Mr. Edmund. Sedikit saja."

"Cinta, Yang Mulia," kata Ed.

"Maaf?"

"Dia menciptakan sekaligus menghancurkan."


10
Oleh sebab rasa ngilu yang menyayat di kakinya, Ed terlonjak bangun. Dia melihat Rena berjongkok di depan selangkangannya. Sangat dekat. Gadis itu menyeret sebilah pisau kecil di sepanjang kulit paha Edmund. Dari atas ke bawah. Ed bisa melihat dagingnya yang terbelah. Darah mengucur dengan cepat.

Saat dia mencoba berteriak, suaranya tertahan. Ed menyadari mulutnya dipenuhi gumpalan kain. Dan dia mengenali aroma kain ini. Celana dalamnya.

"Hmmmpphhhhhhhhhhhhhh!"

Rena Chronoss berjalan menjauhinya, menuju sudut ruangan yang dipenuhi ornamen-ornamen kerajaan dan senjata tajam. Dugaannya, ini adalah tempat persembunyian gadis itu.

"Gagang belati ini," desah Rena. "Bulat dan lonjong. Aku penasaran apa dia memiliki 'fungsi' lain." Lalu dia menjilati senjata itu.

"Hmmmmpphhh! (lepaskan aku!) Hmmmmmppphhhh (katakan kalau kau tidak meminum semua pil koplo di bungkusan itu), Hmmmmpppkkkhh, hmmppkkhhhh! (ayo bilang tidak, tolong bilang tidak!)"

Jeritan memelas Edmund tidak ada artinya lagi di telinga Rena. Malahan dia menikmatinya. Baginya, semua itu adalah lenguhan yang timbul sebagai reaksi atas kenikmatan seksual. Ed mencoba meraih revolver-nya yang tersembunyi di balik kaus. Tapi kedua tangannya terikat kuat di gagang kursi.

"Kautahu, kadang-kadang aku lebih suka dimaki-maki sambil melakukannya," Rena mendekatkan wajahnya pada Edmund dan melepaskan celana dalam yang menyumpal mulutnya. "Aku suka ketika bocahku mengucapkan kata-kata kasar."

"T-tapi …," lirih Ed, "sebenarnya aku masih perjaka."

"Tak apa. Mereka tidak menyebutku Rena "si penghancur perawan" Chronoss tanpa suatu sebab." Ed sudah siap menerima takdirnya. Dia memejamkan mata.

Saat gadis itu bersiap mencambuki bokong Ed, pintu depan tiba-tiba jebol. Gentong kayu yang entah dari mana asalnya menggelinding masuk. Edmund melihat dari dalamnya menetes sejenis cairan berbau amat menyengat—minyak. Dan perkiraannya tepat, benda itu meledak dan melemparkan Rena ke dinding. Kamar itu porak-poranda. Api menjalar dengan cepat ke seluruh penjuru. Menghanguskan apapun yang dilewatinya.

Di balik asap yang mengepul, Ed melihat seseorang berlari menghampiri dia.

"Jarvis?!"


11
"Tuan mengubah gadis anggun itu menjadi mesin seks mematikan."

Ed menyadari Rena yang terbaring tak sadarkan diri di belakangnya, lalu menyuruh Rudolf supaya membuka tali yang mengikat tangan dan kedua kakinya lebih cepat. "Nggak ada waktu lagi!"

"Aku kesulitan melepas yang satunya!" pekik Rudolf. Tanpa mereka sadari, Rena telah bangkit.

Kemudian mimpi buruk itu datang, prajurit pengawal kerajaan berlari ke arah Ed dan anak itu. Nafsu membunuh menguar ke udara. Edmund menendang perut Rudolf dan membuatnya terpental jauh. Membuat tebasan pedang tentara bayangan milik Rena meleset.

"Harus … lindungi … Putri Fronzo."

Ed berusaha melepaskan ikatan di tangan kirinya ketika melihat Rudolf kepayahan menghindari sabetan si raksasa. Makhluk itu menyerang membabi buta. Dia menghancurkan meja kayu, mematahkan lampu minyak, dan membuat nyala api makin liar. Kobaran api menjalar di baju besi prajurit tersebut yang ditumpahi minyak.

Akhirnya, Edmund berhasil membuka simpul terakhir yang mengikat lengannya. Tetapi ketika dia menengadah, sosok besar setinggi dua meter berdiri di hadapannya; terbakar api, dan kelihatan benar-benar marah, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke langit. Ed menarik pistolnya tetapi semua sudah terlambat, Rudolf muncul lebih dulu dan menjadikan dirinya tameng hidup. Badan anak itu tertembus baja tajam sampai ke tulang rusuknya.

"Rudolf Beckenbauer!" pekik Ed. Lantas menggendong tubuh Rudolf dan membawanya kabur.

Ketika prajurit suruhan itu hendak mengejar mereka, Rena menghalangi.

"Jangan!"

Lalu dia muntah-muntah.

Ed berlari menyusuri Jefferson sambil menggendong badan Rudolf. Dia mulai kehilangan arah. Kedai Caldwell tidak terlihat di manapun juga, atau jalanan kota yang tadi dia lewati. Mendadak tempat ini menjadi sangat asing baginya. Darah merembes dari luka anak itu dan membasahi lengan Edmund, dia tidak menyukai hal ini.

"Rasanya aku mulai bisa melihat surga dari sini, Tuan."

"Jangan becanda, Nak."

Mereka sampai di pemukiman tua. Edmund hanya sanggup membawa Rudolf memasuki sebuah tempat yang kelihatannya seperti bekas bangunan gereja. Kakinya kram. Tapi dia lega karena berhasil lolos. Setelah mendobrak pintu, dia menggendong Rudolf masuk. Lalu membaringkannya di lantai kayu tempat itu.

Ed memeriksa luka Rudolf. Lubang besar yang menganga lebar. Tak ada harapan.


12
Dari dalam saku, Ed mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya dengan korek, lantas mengembuskan napas perlahan-lahan. Itu ganja yang terakhir. Dia menghisapnya bergantian dengan Rudolf.

Langit-langit bangunan gereja itu sudah berlubang-lubang. Sepertinya sudah lama tak ada yang berniat memperbaikinya. Dari lubang di langit-langit tersebut, mereka bisa melihat bintang-bintang dan kegelapan. Hanya kegelapan.

Ed membaringkan diri di sebelah Rudolf. Darah kental menggenang di lantai di bawah mereka.

"Seseorang harusnya berpikir untuk membetulkan tempat ini, ya 'kan?" tanya Rudolf.

"Menurutku juga begitu."

Ed melihat ke atas, mereka berada tepat di lantai bawah menara gereja. Di atas kepala mereka, ada sebuah lonceng berkarat yang sudah bertahun-tahun tak pernah digunakan.

"Untuk apa benda itu, Tuan?"

"Nggak tahu. Merayakan sesuatu, mungkin."

"Seperti apa?"

"Kelahiran, kematian, hari libur. Apapun yang bisa dirayakan."

"Orang mau mati bisa dirayakan?"

"Kedengarannya kejam. Ya, bisa."

"Anda tahu, saat ini, entah kenapa perasaanku benar-benar damai. Aku tidak yakin apa itu karena kita berada di tempat seperti ini, atau kenyataan bahwa aku akan mati sebentar lagi."

"Itu efek ganja, Jarvis."

"Begitu?"

"Begitu."

Rudolf mengoper rokoknya pada Edmund.

"Berada dalam keadaan seperti ini, melihat ke langit, kurasa aku mulai bisa melihat Tuhan, Tuan."

"Benarkah?"

"Ya."

"Seperti apa dia?" tanya Ed.

"Yah, kautahu, dengan janggut putihnya yang panjang, wajah yang selalu bersinar, dan aura kedamaian yang memancar di sekelilingnya."

"Itu Bob Marley."

"Benarkah?"

"Ya."

"Dia pasti benar-benar orang hebat karena orang hebat seperti anda memujanya."

"Lebih dari itu. Kakekku pernah cerita, waktu Bob sekarat di gurun, dia melihat asap membumbung ke langit. Dia mengira itu asap dari pipa bong. Karena dia kehabisan ganja, dia mendekatinya. Tapi rupanya itu adalah cara orang Indian mengirim pesan. Lewat asap. Bob Marley jadi orang pertama yang berteman dengan Suku Indian."[6]

Tiba-tiba, Ed melihat besi berkilat jauh di atasnya. Dan lonceng menara itu mulai meluncur ke bawah. Laki-laki itu segera menghindar, tapi tidak dengan Rudolf. Edmund yakin betul dia mendengar suara tulang-belulang yang hancur ketika lonceng besar itu menghantam tanah.

Monster itu muncul dari balik kegelapan. Berdiri di atas lonceng yang telah jatuh. Ed dapat melihat sisa-sisa engsel rusak yang menahan benda itu tetap berada di puncak menara. Pengawal kerajaan itu sudah mematahkannya.

Edmund menarik pelatuk pistol kaliber 44, dan melepaskan satu tembakan putus asa. Yang tentu saja tidak menghasilkan apapun. Makhluk itu merayap mendekati dia. Berjalan terseok-seok. Sekujur tubuhnya menghitam dipenuhi luka bakar.

Semuanya selesai di tempat ini, pikir Edmund. Sekarang, dia tidak akan mendapatkan kebebasan itu. Hal yang dia impi-impikan. Bagaimana dia akan mati, di dalam gereja ini atau di hadapan regu tembak penjara, itu tinggal menunggu waktu.

Tubuh Ed merosot pasrah. Dia membenamkan senjatanya. Makhluk ini memang berbahaya, tetapi sosok yang berdiri di belakangnya seribu kali lebih mematikan. Mendadak, ketika prajurit pengawal itu hampir mengayunkan pedangnya menyentuh kepala Ed, dia mengingat sesuatu.

Rena Chronoss.

Dia belum melihatnya di sini. Di mana dia?

Menggunakan lutut kirinya sebagai tumpuan, Edmund mengelak ke samping. Dia membanting tubuhnya keras-keras ke tanah. Dan berlari menuju bagian sayap kiri bangunan tersebut. Menuju titik sentral bangunan ini.

Dia pasti ada di sana, batin Ed. Harus ada.

Laki-laki itu mendorong pintu kapel, dan masuk. Di dalam, dia melihat seseorang berjubah yang tengah khidmat memanjatkan do'a.

"Tentu saja."


13
Kapel tersebut hanyalah ruangan kecil tanpa penerangan. Semua lilin sudah dimatikan karena fajar mulai turun. Di balik jendela, laki-laki itu bisa melihat cahaya berwarna oranye. Pagi.

Dia mengisi ulang kamar pelurunya sambil tetap memperhatikan Rena. Jubah gadis itu hangus dilalap api. Edmund menunggu gadis itu menyelesaikan apapun yang sedang dia lakukan saat ini.

"Alasan kenapa kamu nggak mengizinkan pengawalmu mengikutiku tadi," kata Ed. "adalah karena kamu nggak bisa membiarkan dia berkeliaran sendirian 'kan? Kamu harus selalu menjaga jarak tertentu dengan makhluk itu karena suatu alasan. Dan sekarang kamu di sini dengan monster itu dalam jarak kendali yang aman.

"Kesimpulannya adalah, kemampuan spesialmu itu punya batasan."

Pikirannya, Putri Raja itu memilih tempat ini untuk memantau pergerakan Ed secara leluasa sekaligus sebagai penambah efek dramatis. Sebuah kapel tua.

Lengan kiri Ed mengarahkan ujung revolver-nya ke punggung Rena. Tepat ketika gadis itu mulai berdiri. Serpihan abu berjatuhan dari tepi jubahnya. Lalu hancur tertiup angin sebelum mencapai tanah.

"Aku berdoa untuk ayahku," dia bilang.

Kecepatan Rena benar-benar berada jauh di atas reaksi Ed atas lengannya sendiri. Edmund tahu itu. Dan dia berusaha memikirkan sesuatu. Perempuan ini bisa menebak apapun yang baru melintas di kepala Ed lalu membalasnya dengan respon kilat.

Sepanjang duapuluh tahun hidupnya yang sudah terlewati, Edmund tetap tidak percaya bahwa seseorang mampu melebihi kecepatan peluru. Dan dia masih berencana untuk mempertahankan ide itu, paling tidak untuk saat ini.

Sesaat ketika dia mengangkat revolvernya, Rena membelok ke samping. Ke arah jendela. Lalu, Ed melakukan apa yang belum pernah dilakukannya hingga sekarang. Menembak tanpa membidik. Dia menarik Colt 36 dari belakang celana dan menembak sampai semua pelurunya habis. Rena kabur.

Ed mengejarnya sampai ke jendela. Dia tidak yakin jika pelurunya mengenai sasaran tetapi sedetik lalu Rena menubruk kursi-kursi jemaat sebelum melompat ke luar.

Ada sesuatu yang benar-benar mengganggunya tadi. Waktu dia untuk pertama kali melihat wajah utuh Rena Chronoss.


14
Edmund mengikuti jejak kaki Rena Chronoss yang tidak beraturan. Tampaknya dia kesulitan berjalan. Ed mendaki bukit di belakang gereja sampai ke puncak. Di atas, dia menemukan Rena duduk di bawah pohon sambil meniup seruling.

Jubah gadis itu sudah ditanggalkan. Sekarang dia hanya mengenakan baju berlengan panjang, yang tidak digulung, tetapi tetap memperlihatkan bagian kulitnya. Edmund bisa melihat dengan jelas sekarang, kulit gadis itu, dipenuhi bercak-bercak merah mengerikan. Mirip seseorang yang dia temui tadi.

Titik-titik di tubuh Rena Chronos semakin menyebar ketika cahaya matahari menerpa kulitnya. Tetapi agaknya dia tidak mempermasalahkan hal itu. Meski berusaha keras menahan sakit, Rena tetap memainkan seruling.

"Jadi, bagaimana kamu bisa ketularan kakek-kakek itu?"

"Profesiku 'kan penari telanjang di bar," kata Rena.

"Maksudnya kamu udah bersenggama sama dia?! Dia salah satu pelangganmu?!"

        Gadis itu mengangguk.

        "Tapi kenapa?"

Rena enggan menyahut. Ed duduk di sampingnya, walaupun agak jauh.

"Ketika ayah dan kakak perempuanku mati, aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Seolah-olah seseorang mengambil inti bagian dalam diriku, lalu membuangnya. Dan hanya meninggalkan tubuhku sekarang yang tak lebih seperti cangkang kosong. Satu-satunya hal yang kutakutkan waktu itu adalah jika kemarahanku perlahan-lahan menghilang. Hingga aku mulai memikirkan hal lain selain balas dendam."

Matahari menanjak lebih tinggi di langit, tetapi Rena Chronoss masih bergeming di tempat. Kulitnya melepuh. Sebagian meleleh ke tanah. Di pundaknya, darah merembes membentuk sebuah lingkaran kecil di baju. Salah satu peluru Edmund entah yang mana berhasil melukainya.

"Kupikir aku bisa menuntaskan dendam itu. Meskipun di dalam Mimpi. Tapi ternyata tidak, aku menemukan hal lain."

Edmund belum berniat ingin tahu. Dia menyaksikan matahari terbit. Yang dia tanyakan adalah irama seruling Rena Chronoss.

"Ini nyanyian kebebasan," kata Rena, "Mereka melantunkan ini ketika seorang budak kedapatan mencuri uang, tetapi di pengadilan Si Tuan Tanah mengijinkan dia memilikinya, sehingga dia tidak jadi dihukum gantung."

"Ah, pernah dengar kayaknya. Semacam kredo life is worth much more than gold, ya?"[7]

Edmund meninggalkan dia sendirian. Di atas bukit, dia bisa mendengar Rena Chronoss masih memainkan repertoar-nya. Yang semakin lama semakin melemah, sebelum hilang sama sekali.


15
"Edmund, Edmund, Edmund."

"Bantal, Bantal, Bantal."

"Jadi, hari ini apa kegiatanmu?"

"Nggak banyak. Jalan ke pojok satunya, balik lagi, jalan lagi, tiduran, neriakin Kepala Sipir perempuan."

Ratu Huban melompat ke pembatas sel yang terletak di tengah-tengah dinding. Tidak ada cukup ruang untuk duduk di situ. Tetapi dia berusaha meletakkan pantat kecilnya supaya bisa merasa nyaman sembari menghisap pipa bong[8] pemberian Edmund. Setengah teler, Ratu Huban memperhatikan Edmund yang berbaring di kasur penjara dengan mata setengah terpejam.

"Fuuhh …" asap berembus dari hidungnya. Dia pro. "Mantap."

"Kamu pasti berpikir kalau tempat tidur ini sekeras batu. Kuberitahu sesuatu: kamu benar."

"Tidak juga, kok," kata Ratu Huban. Menjepit pipa kenikmatan itu di antara jari telunjuk dan jari tengah. Mata ajaibnya memindai setiap sudut kamar tahanan. Tiba-tiba, dia melihat setumpuk buku teronggok di samping meja sederhana—satu-satunya hal lain di sel itu selain kasur yang ditempati Ed, lalu melompat turun dan mengambil sebuah judul, God Forgives; Tuhan Memaafkan. Dia tidak melihat hal itu kemarin ketika dia mengunjungi Edmund.

"Kau suka membaca, ya, Eddy?"

Meski dengan mata tertutup, pemuda itu sepertinya menyadari apa yang dilakukan Ratu Huban di sampingnya.

"Nggak kalau untuk buku yang kamu pegang itu," kata Ed. "aku lebih suka biogafinya Jimi Hendrix, kalau ada."

Edmund bilang, pihak penjara tidak menyediakan apapun sesuai dengan kebutuhan tahanan. Hiburan misalnya. Mereka menyediakan buku motivasi yang tidak akan pernah disentuh Edmund atau narapidana lain, atau sejenis novel yang menceritakan tentang seorang tahanan bekas pemerkosa yang menyesali perbuatannya, lalu setelah keluar dari penjara dia meminta maaf dan menikahi korbannya itu. "tapi mau gimana lagi. Begitulah cara kerja penjara. Mereka nggak nyediain apapun, atau mereka nyuruh kita baca buku gituan yang malah bikin kita tambah menderita."

Seminggu sebelum itu, jauh setelah Hakim Dixon membacakan tuntutannya, Ratu Huban muncul di sel Edmund. Ketika dia tahu jika Ratu Huban bisa keluar masuk penjara secara leluasa tanpa sepengetahuan sipir, hal pertama yang ditanyakan Ed adalah apakah makhluk ganjil itu bisa membawakannya cimeng karena dia mulai melihat hal-hal aneh seperti manusia berkepala bantal yang muncul dengan misterius. Dia merasa baru bisa berpikir normal setelah nyimeng.

Sendirian di penjara dan hanya ditemani Ratu Huban yang rutin mengunjunginya membuat mereka berdua mulai akrab.

Kata Ed, "Sebelum aku mati. Aku mau bilang terimakasih dulu. Soalnya cuma kamu yang sudi mengunjungiku di penjara, dan mungkin sekalian jadi yang terakhir."

"Sebenarnya tidak juga, kok. Waktu itu setelah kamu memberiku selinting cimeng, esoknya aku merasa badanku kesakitan setibanya di rumah. Lalu aku kembali lagi ke sini untuk meminta lagi, kupikir aku sakaw."

"Aku tahu, kok," Edmund duduk di bibir ranjang. "tapi tetap mau bilang terimakasih."

Pemuda itu berjalan menuju pintu sel, lalu menyandarkan keningnya di bilah besi itu. Dia menatap keluar—ke tembok batu yang sama yang selalu dilihatnya setiap hari, setiap jam, setiap detik.

"Katakan, Eddy." Ratu Huban berjalan ke sisinya. "Apakah kau pernah bermimpi?"

"Tentu saja."

"Mimpi seperti apa?"

"Mimpi tentang kebebasan."

"Mimpi tentang kebebasan?"(*)




[1] Harry Potter references
[2] "O Rei", julukan yang berarti "Raja"
[3] Salah satu julukan Pelé
[4] Artificial Intelligence yang membantu Tony Stark dengan menyampaikan data-data (Iron Man)
[5] Merujuk ke Atticus Finch, tokoh pengacara dalam To Kill A Mockingbird, novel Harper Lee
[6] Rip-off Lewis and Clark Journals, July 20, 1805. Yang di dalamnya termasuk penemuan metode mengirim pesan "Smoke Signal" suku Indian Amerika oleh beberapa kru kapal
[7] Dalam lirik lagu "Jamming", Bob Marley
[8] Alat yang biasa digunakan untuk menghisap marijuana, ganja

6 komentar:

  1. Melihat Ratu Huban yg bolak balik datengin Edmund,
    jadi inget filmnya Tom Hanks yg Green Miles, eh atau film apa gtu yg mana salah satu penghuni penjaranya gak mau bebas. Tapi ngebantu MCny utk keluar.

    Bener2 anak Reggae/Lord of Nyimeng.
    Saya bener2 belajar kultur para gimbal tukang linting ganja.
    Salut deh.
    Paling suka bagian "Jangan kena Yang Mulai Pele" ama langsung nge-dor bocah cma krn ketidaktahuan si bocah terhadap Bob Marley.
    Curiga jangan2 si Edmund rela masuk occult si Bob Marley deh :")

    Saya malah gak fokus berantemnya, malah terfokus ama lore Reggae yg kental didalem ni entri.

    9 Deh krn saya dapet ilmu banyak.
    (Aslinya 10 cma 9 krn ngincer Rea Chronoss :P

    BalasHapus
  2. errr awalnya enak dipahami, tapi lama lama jadi bingung sendiri. Pertarungannya kurang terasa dan lebih menonjolkan Edmund da kultur di sekelilingnya

    tapi membawa aroma segar dalam FBC ini, narasi yang ditampilkan bagus dan mengalir meski bingung tadi. karakter Edmund oke punya, tipe orang yang kayaknya baik hati tapi ternyata bisa membunuh siapa saja tanpa alasan kuat

    7 untuk Edmund dan bocah yang berulang tahun
    OC Rea Beneventum

    BalasHapus
  3. OC: Ghoul :=(D

    Ehem-ehem! Prolognya keren karna tahu2 dah konflik segala. Baguslah karena gak klise…

    Mengalir kayak film diksinya, jadi bisa dibayangin—diimajining oleh benak masing2.

    Istilah2 yang digunakan tu apa???

    TV (huruf besar mua, hem… 2 huruf saja, tapi diangkat aja deh, daripada gak ada yang bisa dikritikin.) Anda (A besar cus sapaan).

    Diksi bagus, luv it. Dialognya gak kaku, diksi dialognya berkesan karna penyampaiannya ga mainstream misalnya saat ultah si bocah dll.

    Tapi Judulnya kurang bagus, terdengar klise. Kurang mancing perenang2 sosmed kayak aku, tapi karena aku baca entri secara berurutan, ya udah, ternyata entrinya ga mengecewakan. Sukurlah!

    Ini nih adegan tak terduga di mana2—ga terbaca di benak si anu, si doi, dan si dia…

    Kalo ditembak napa gak ada sound efeknya??? DOR! (Biar aku aja… biarlah aku)

    Ada hikmahnya ya bunuh orang, ditraktir orang yang dibunuh itu. Duh, bikin aku insane bagian yang ini!

    Karakter tokoh utamanya anti mainstream banget hehe. Suka ama karakternya, untung bisa kenelen di sini.

    Aku gak khawatir baca entri ini sambil nyabu n melayangkan NINE lashes for him…

    BalasHapus
  4. NGEFLAAI BRRAAAAAAIIII

    Ini entri kayaknya lebih ke humor sosiokultural dibanding berantem-beranteman. 420 dimana-mana. Dan ini asli entri mabok banget, saya juga sampe mabok bacanya wkwkwk.

    Pembawaan udah bagus lah, tapi ya itu, ini kebanyakan nyimeng jadinya malah humor gelap.

    kasih 8 deh. Kalau aja adegan battle-nya lebih menonjol dan solid, saya bisa kasih lebih lagi :x

    Salam hangat dari Enryuumaru, Zarid Al Farabi lagi nyimeng di pojokan.

    BalasHapus
  5. ada beberapa bagian gak nyerap ke otak
    pas bahu anak ditembak, anak tersebut masih bisa bergerak tanpa kesakitan?

    terus ini environment kill, kukira bakal digenjot pake gunung batu, nyatanya ngakk
    yang ada malah adegan mau di *** tapi gak jadi :v

    udah berantem-berantem, tiba-tiba bisa duduk baikan berbicara ~_~

    seharusnya tantangan ini kan memanfaatkan lokasi untuk membunuh lawan, saya pribadi gak nemuin cara itu, malahan lawannya kena penyakit mati sendiri LOL~

    cuma bisa kasih 6
    OC: Samara yesta

    BalasHapus
  6. Hmm ... nuansanya kental sekali. Dan saya melihat penggunaan teknik flashback jadi lumayan sering dipakai di entri FBC ini. Dibuka dengan langsung berantem, lalu di tengah/di akhir cerita baru ada adegan pertemuan dengan Ratu Huban. Kerasa aneh aja melihat Ratu Huban nge-fly. Dia ngisep dari mana? .__. Ah, satu lagi mungkin, sejumlah leluconnya kadang membuat saya nge-blank. Gaya lelucon dalam dialognya mirip film-film Amrik.

    Adegan dan narasinya mengalir enak untuk dibaca dan dinikmati. Tapi perpindahan setting waktunya kurang mulus. Bagaimanapun, secara keseluruhan battle-nya sudah cukup intens. Meskipun agak mengawang-awang di latar belakang ceritanya Rena Chronoss yang baru dimunculkan menjelang akhir.

    Ah, dan seperti kata komentator di atas saya, environmental kill-nya kurang terasa. Secara teknis memang masih bisa masuk, sih ... tapi itu environmental kill yang lebih ke sosial dan efeknya lama.

    Ponten 8-

    - hewan -

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.