Minggu, 13 Maret 2016

[FBC] 027 - DREYANATA

VERSUS
MAHESA WERDAYA
MIMA SHIKI REID
[Tantangan V10]
oleh: J. Fudo

---

MONSTER

"Hihihi!"

Aku terbangun di tengah hitam, hampa.

Mataku melihat sekeliling. Langit gelap, tanah pun tak tampak. Sunyi, hanya aku dan pakaian tidurku. Kusebut pakaian tidur tapi sebenarnya kaos putih dan celana olahraga warna biru.

"Lalala~"

Suara itu lagi.

Tadi tawa, sekarang senandung gembira.

"Hupla!"

Sesosok gadis mendadak muncul di hadapanku, mencoba mengejutkanku. Aku hanya diam, tak berlaku. Diriku hanya seonggok raga tanpa emosi. Terkejut? Tidak sama sekali.

Pandanganku kini beralih ke gadis kecil yang sepertinya tengah merajuk itu. Kulihat kepalanya yang unik, berbentuk bantal dengan warna ungu. Menyerupai pakaian hujan, ia mengenakan parka terusan warna lemon dengan sarung tangan dan boot kuning kehijauan.

"Hei, kau melihatku?" panggilnya, diikuti anggukku.

"Kau ...punya impian yang menarik." lanjutnya, "Tapi aku baru saja melihat impian seseorang yang sangat tangguh. Kau tidak tertarik, Dreyanata?"

Aku diam.

Tidak ada penasarannya aku soal ketahuannya dia akan namaku. Tidak pula aku ingin tahu apa yang dimaksudnya impian. Aku seonggok raga tak berkehendak, bukan?

"Seorang pria muda ahli panah yang pernah berjuang demi sebuah dimensi emas, serta seorang ibu perkasa yang sempat bertarung demi mendapatkan sebuah kotak ajaib di dunia digital.

"Mahesa Werdaya dan Mima Shiki Reid. Kalahkan mereka dan kau akan bangun.

"Apa kau berani bermimpi untuk menerima tantangan ini?"



MIMPI 1 – Mahesa dan Mima


BLARR!!!

Sebuah gedung runtuh, tepat di belakangku.

Entah sejak kapan aku berada di tengah sebuah kota yang dilanda pertempuran. Bebatuan dari pencakar langit menyusul berjatuhan. Hancur, bertubi-tubi menghantam tanah seperti hujan. Kota ini seperti mati, tak berpenghuni. Kekacauan seperti ini seharusnya membuat penduduk berlari, kabur dan melindungi diri.

Duar!

Di atas.

Aku mendongak. Di atap sebuah gedung aku bisa menyaksikan suatu pertempuran sedang berlangsung. Tembakan dan ledakan bertubi-tubi terdengar menggelegar. Tiap satu gerakan, satu gedung berantakan. Tiap terdengar ledakan, satu rumah diratakan.

Jumlah sang petarung, kau tahu?

Dua.

Ya, hanya dua orang di sana.

Agak susah karena jauh, tapi aku tahu yang seorang adalah pria muda sementara lawannya adalah seorang wanita. Si pria muda mengenakan baju merah, dengan busur di tangan kanan. Si wanita tampak mengenakan pakaian biru dan bersenjatakan pistol serta sebuah tongkat pendek, atau baton, di tangan kanannya.

Mahesa dan Mima, sepertinya.

"Meow..."

Aku menoleh, mendapati seekor kucing kecil yang terjepit di antara reruntuhan. Sang ibu berusaha menolong, tapi tiada hasil memuaskan.

BLARRR!

Tiba-tiba area pijakanku menghitam, memperlihatkan bayangan sesuatu yang besar. Aku mengangkat kepalaku, memastikan.

Ah, runtuhan raksasa.



Zung...



"Latugedi."



Sekejap kemudian tinjuku telah memukul hancur batu itu. Kepalanku mengandung api, memberikan tenaga lebih bagi diriku.

Api itu padam. Tanganku lalu menyibakkan rambut ke samping kanan menjadikan jelas pandangan. Kini rambutku menjadi beraksen kuning dengan model menyamping.

Ah, tubuhku tidak dalam kendaliku.

"Daya Suryanata, Salirageni."

Tangan menjadi merah seolah bara yang terbakar. Ditempelkannya tapak ke batu yang membuat kucing terjebak. Sekali dorong, dua kali, tiga kali, dan reruntuhan pun terangkat.

Kucing itu dan ibunya lalu pergi meninggalkan diriku setelah mengeluskan tubuhnya pada kakiku. Reruntuhan itu dijatuhkan kembali, berdebum menghantam tanah.

"Apakah mereka yang harus kita kalahkan?"

Dia yang merasukiku menggerakkan ragaku untuk melihat ke atas. Saat aku dirasuki, tak mampu aku memegang kendali. Dari dalam aku hanya bisa mengawasi. Peranku hanyalah seorang penonton yang tak bisa berinteraksi.

"Bagaimana cara saya untuk pergi ke sana, ya?"

'Kak Sur, biar aku saja~!' sebuah suara dalam benak menyahut.


Zung...


Berganti.

'Hei, kenapa kamu memaksa masuk begitu saja?'

"Tenanglah, Kak~ Aku, Thorizu, akan mewakili Kak Suryawa~" ucapnya yakin, "Lagipula Kak Suryawa tidak akan bisa mencapai atas sana~ Biarkan aku bermain dengan mereka, tampaknya tangguh semua, hihi~"

Suryawa, ruh pengendali api yang tadi merasukiku, tidak bisa menjawab. Akhirnya ia memutuskan untuk diam dan kembali ke dalam. Lagipula Thorizu benar, yang mungkin bisa mencapai langit sana hanya kemampuan dirinya.

Thorizu lalu mengibas rambutku seperti anjing kebasahan. Ia melakukannya hingga rambutku jadi berantakan. Jika dirasuki suryawa membuat rambutku kekuningan, maka Thorizu bisa mengubahnya menjadi kelabu sepenuhnya.

Mataku lalu menatap jauh, bersama Thorizu. Aku bisa menyaksikan pertarungan luar biasa menghiasi angkasa. Pertukaran serang yang begitu seru dan membabi buta, mengacaukan kota dan jalan raya. Aku jadi bisa melihat karena saat Thorizu masuk, kemampuan segala indra termasuk penglihatan terpacu juga.

Di atas sana tampak Mahesa menempelkan tangan kiri di gelang emas kanannya. Ia lalu menariknya ke belakang, memunculkan busur dan anak panah dari ketiadaan.

"Astra Sarotama. Ayatana."

Mahesa melesatkan berpuluh anak panah nyaris tanpa jeda ke arah Mima. Mima yang dibidik segera menangkisnya. Ia melakukannya hanya dengan memainkan dan memutar sebuah tongkat kecil, atau baton. Sekejap kemudian Mima melangkah, bergerak mendekat sambil menghindari panah. Mima melompat-lompat dan berputar demi menghindari Mahesa.

Bum!

Pantas kota ini hancur. Lihat saja, tiap satu panah melesak satu gedung luluh lantak.

Mima kemudian melempar sesuatu dari sakunya. Garpu. Lengan kanan penyandang busur kena, menghentikan gerak Mahesa. Sedetik berikutnya ia sudah berada di depan Mahesa.

Mahesa, menyadari Mima, segera menjatuhkan diri ke belakang berupaya menghindari pertarungan jarak dekat. Mima yang melihat itu langsung merenggut kaos Mahesa dengan tangan kanan dan menangkap lengan kanannya dengan tangan kiri.

Banting.

Atap beton seketika retak terkena punggung Mahesa. Lengan kanan di kunci dengan bantuan kaki, Mahesa tak mampu berdiri. Mima membidik, pelatuk siap ditarik.

Mahesa gesit, dalam sekedip mata ia mampu mencabut pistol miliknya dengan tangan yang bebas. Peluru ditembakkan pada ujung pistol Mima, membuat bidikan beralih dari asalnya.

Gedung itu tiba-tiba bergetar.

BLARR!

Mahesa cepat berpindah tempat begitu pijakannya tak lagi berbentuk. Ia melompat ke gedung sebelah disusul Mima yang pergi ke gedung lain di seberangnya. Begitu mendarat, Mahesa membidik.

"Ayatana."

Mima yang baru memijak, tak sempat mengelak. Mima lalu mengayun baton, memukul bagian ramping agar tak terkena mata panahnya.

Panah tersebut berubah arah, meledak mengenai bangunan di sampingnya. Belasan panah lainnya menyusul. Beruntung, Mima berhasil menangkis semuanya meski berakibat bangunan-bangunan di sekitar porak poranda.

Trang!

Keduanya diam sejenak, mengambil napas setelah panah terakhir diluncurkan.

Mereka kemudian berdiri, tegak menantang mentari. Mahesa menarik busur, Mima mengangkat pistol. Keduanya saling membidik. Di bawah langit yang terik, mataku mendelik.

"Ah~ ini dia kesempatanku~"

Thorizu berlari ke tengah, di jalan sempit antara dua gedung. Mata terus memandang ke atas, menanti saat yang tepat.

Dor!

Peluru meluncur, panah lepas dari busur. Gesit, Mima malah bergerak maju mendekati panah itu. Mahesa? Tetap tenang di posisinya. Dari tempatku, aku bisa menangkap bayangan peluru melewati tubuhku.



Omong-omong, aku belum memberitahukan kekuatan Thorizu selain pacu indera, bukan?



"Hihi~ Kejutan!"


Duak!


Thorizu adalah dia yang bergerak dalam malam. Dialah ruh yang bergerak dalam bayang.



MIMPI 2 – Thorizu


"Huhehehe~"

Thorizu, memanfaatkan gerak bayang peluru, akhirnya berhasil muncul di atas gedung tempat keduanya beradu. Mahesa tersungkur karena kemunculan Thorizu ditandai dengan tendangan ke pelipis, tepat setelah Mahesa bergeser untuk menghindari tembakan.

Mima?

"Heaaaa!"

Wanita itu menerjang dengan pisau menghunus, mengincar tubuhku yang kurus.

Tusukan ke depan, ke ulu hati. Thorizu menghindar ke samping, membuat pisau itu menyerang hampa. Tak cukup, Mima membalik gagang pisaunya. Ia bergerak berputar, mengincar leherku yang kini ada di kanannya. Thorizu panik, memundurkan kepalanya ke belakang dan mendarat dengan posisi kayang.

Kulihat Mahesa di belakangku, membidik.

Syut...bum!

Sebelum kena Mima telah melompat jauh ke belakang, menghindari ledakan yang melubangi atap gedung. Mahesa segera berlari ke samping, bergerak sambil melepaskan anak panah yang mengincar nyawa Mima. Mima ikut bergerak ke arah berlawanan, menghindari panah yang mengikuti lajunya.

"Hup! Aku menangkapmu, Nyonya Tua~"

Thorizu memunculkan tubuhku dari bayangan Mima di bawah, menangkap kaki untuk hentikan langkah. Panah Mahesa mendekat. Beruntung, dengan menggunakan pinggiran pisau Mima bisa menepis dan mengubah jalur panah, meledakkan area sekitarnya.

Mima lalu mencabut pistol, diarahkan ke bawah.

Thorizu yang tahu dirinya hendak dibidik, mendorong tapak kaki Mima. Tembakan meleset. Mima yang memang berada agak di pinggir, kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke bawah.

"Hueee~ Aku tidak bermaksud membunuhmuu~"


Tapi aneh.

Dari tubuh Mima tampak aura warna ungu, kian lama kian pekat.


DRUAK!


Mima berhasil mendarat tanpa luka. Jangankan luka, jalan raya malah hancur karena pijakannya.

"Hup!"

Mahesa menyusul, terjun tanpa ragu.

Thorizu tercengang, ia tidak bisa sepenuhnya percaya dua insan yang tadi bersitegang bisa jatuh dari gedung pencakar langit tanpa luka yang berarti.

'Saya sudah menduga ada yang aneh dari mereka.' bisik Suryawa dari dalam.

"Tapi kita tetap harus mengalahkan mereka, bukan?"

'Bukan itu yang...'

"Sudahlah, Kak~ Kau terlalu kuatir~"

Suryawa diam, tak melanjutkan. Agaknya ia tak suka melawan keegoisan Thorizu. Suaranya tak lagi terdengar saat Thorizu mengambil batu dan melemparnya ke bawah.

Sementara itu, bola mata Mahesa dan Mima menjadi kosong tanpa iris. Putih tak ada, hanya ungu yang mewarnai mata.

"Hei~" Thorizu mendadak muncul, menggunakan bayangan batu yang tadi dilemparnya.

"Kalian berdua masih bisa bermain, kan~?"


===


"Lalala~"

Seorang gadis kecil berparka warna lemon terlihat melangkah dengan riang. Kepala bantalnya bergoyang-goyang, menggelikan.

Dialah Ratu Huban, sang penjelajah mimpi.

Ia berjalan di tengah padang rumput berwarna jingga dengan bunga-bunga hijau menghiasinya. Di sampingnya tampak sungai susu vanilla dengan jembatan kayu manis. Huban menyeberanginya, menikmati semesta mimpi yang merupakan tempat favoritnya.

Aku membetulkan letak arloji klan Nurma milikku sebelum berjalan mendekat. Tercium di hidungku semerbak bau madu campur susu. Saat aku membuka mulutku, bisa sedikit kurasakan manis terkecap lidah.

"Ratu Huban," panggilku saat aku sudah berada di depannya, "Sedari kemarin kamu mempertemukan orang-orang dari mimpi ke mimpi, bukan?

"Apakah kamu pernah menemukan kejanggalan di alam mimpi?"

Tidak dijawab. Ia masih bersenandung, tampaknya suaraku tak didengar.

"Ratu Huban!" kali ini aku berdeham, sedikit berteriak.

"Ng? Tuan Zainurma? Tadi kau bilang apa?"

Aku menghela napas, sebelum akhirnya mengulang pertanyaanku kembali. Huban merespons dengan memiringkan kepalanya diikuti gelengan kepala tanda tak paham.

"Ada apakah gerangan? Maaf, aku barusan sedang melihat mimpi yang menarik."

Sang [Kehendak] berguncang.

Kalau saja aku bisa mengatakannya. Aku tak yakin, tapi informasi ini kurasa penting untuk aku bisa lepas dari kekangan sang [Kehendak]. Aku perlu tahu hal seperti apa yang bisa membuat sang [Kehendak] berguncang. Tak mungkin kupercayakan hal ini pada Huban begitu saja.

Akhirnya aku berlalu pergi setelah mengucapkan terima kasih.

Ada yang terjadi dan aku perlu mengetahui.


===


"Rantai."

Thorizu berusaha bergerak, tapi ikatannya begitu kuat. Rantai besi yang membelit tubuhku itu ujung lainnya dipegang Mahesa erat, membuat Thorizu makin sulit bertindak. Mima melihat celah, diterjangnya sang pemanah.

Mahesa menyadarinya. Ia menarik tubuhku dan mengayun rantainya, hendak membenturkanku pada Mima.

"Daya Thorinata, Kulaing Dalu~"

Trang!

Thorizu menghilang, lagi.

Kosong, pisau Mima hanya membentur rantai. Mahesa menyadari Thorizu bersembunyi di mana, melepas rantai dan menjauhinya.

Mahesa merentangkan busur.

"Thorinata, Socacetha!"

"Ayatana!"

Sebatang anak panah dilesatkan, mengincar Thorizu yang melompat dari bayang rantai. Sekeliling mata Thorizu menghitam, penglihatan menajam. Ia menggerakkan tangan kanannya berotasi dari samping kiri ke depan, menyentuhkan jari ke bagian tangkai anak panah.

Duar!

"Hihi~ Berkat wanita tua itu aku mengerti cara melawan panahmu~"

Thorizu lalu melayangkan tinju, mendarat di pipi. Belum sempat mendarat, di kiri Mima muncul siap melayangkan tapak. Mahesa yang masih tegak berpijak, mengangkat pistol di tangan kiri.

Mima menyerang perutku, mendorongku agak jauh. Hampir bersamaan, tangan kiri Mima ternyata digunakan untuk memukul pergelangan Mahesa dari bawah sehingga pistolnya terlepas. Tangan kiri Mahesa masih di atas, tangan kanan Mima menotok ulu hatinya. Siku kanan diangkat, menyerang jantung. Sekejap kemudian tangan kanan turun dan menggenggam pergelangan kanan Mahesa, siku ditangkap tangan kiri lalu diangkat hingga menyentuh muka.

Mahesa sepertinya merasa dirinya dalam bahaya, sengaja menendang sebelah kakinya sendiri dan menjatuhkan diri ke samping. Arah gerak Mahesa berubah, pegangan Mima otomatis terlepas.

Mima oleng.

Thorizu yang menyadarinya segera menjegal sebelah kaki Mima, membuatnya terjungkir. Mima gesit, bukannya terjatuh malah berguling ke depan. Thorizu mendekat cepat, hendak melayangkan tinju padanya.

Tinju tertahan, Mima berhasil menangkis tepat waktu. Sedetik berikutnya terjadi pertukaran serang, tangan kosong saling bertemu. Mahesa melihat kesempatan, mengumpulkan energi dan melesatkan sebatang panah ke arah kami. Mima melihat, direnggutnya kaosku dan diputarnya tubuhku menutupinya.

"AAGH!"

Punggungku kena.

Tembus, mata panah tampak di bagian dada. Satu, dua, tiga. Semua panah lainnya menyusul, menembus tubuhku begitu saja.

Mima melempar tubuhku ke samping, membuangnya setelah dipakai melindungi diri. Thorizu mengerang kesakitan. Ia batuk darah, ingin menangis tapi tak bisa dilakukan.

'Thor! Thorizu!!' Suryawa panik, 'Kamu gegabah, kita semua juga akan mati kalau tubuh ini mati!'

"Hhh...a...tahu...kkas..." Thorizu terbata, ia hanya bisa memerhatikan Mima dan Mahesa yang kembali bertarung.

Tubuhku akan mati.




'HEH!! LEPASKAN AKU!! KALIAN MEMBUTUHKANKU!!'




Suara yang lantang terdengar. Bukan Suryawa, tapi dari dalam juga.

'Tidak, kamu...'

'Tidak ada cara lain, YA KAN?!' potong suara itu, 'Hanya aku, Anggariz, yang bisa menyelamatkan tubuh itu. HANYA AKU!!'

'...'

"K-kasss...sur..."

'Apa boleh buat.' kata Suryawa menyerah, 'Tapi jangan sampai kau....'

'BANYAK OMONG KAU, BRENGSEK! CEPATLAH!'


Zung...


"HAHA,

"SEKARANG SIAPA YANG MAU KUBUNUH, HAH?!"



MIMPI 3 – Anggariz


Anggariz berdiri lalu mengikat rambutku, dikuncir kuda. Dengan dirinya, rambutku kini memiliki aksen hijau tua. Ia tampak tak terpengaruh dengan panah di dada. Diusapnya bibir yang sempat memuntahkan darah, lalu ditariknya semua mata panah Mahesa.

Luka tertutup sempurna.

Ia menatap ke arah Mahesa dan Mima yang sedang bertempur.

"HEH, BAJINGAN TENGIK!" umpat Anggariz, "KALIAN AKAN TAHU RASANYA MENGABAIKANKU!"

Anggariz melempar sebuah bola kecil ke tanah, lalu melompat.

"Daya Angganata, Ingarsawit!"

Bola kecil itu, yang sebenarnya adalah biji, tumbuh menjadi pohon raksasa yang ditunggangi oleh Anggariz. Pohon itu bergerak tumbuh miring ke depan, menerjang ke arah Mahesa dan Mima.

Keduanya mundur, menyadari serangan tiba-tiba. Anggariz, melihat itu, segera melompat dari pohon ke arah Mahesa.

"Kajeng Kangatos!"

Dari tangannya, Anggariz membentuk pemukul raksasa dari pohon. Ia membantingkannya sekuat tenaga yang dihindari mudah oleh Mahesa... atau tidak?

Duak!

Dari sisi pohon, tumbuh dahan kayu yang keras menghantam perut Mahesa. Ia terpental dan terjatuh lumayan jauh.

Mima dari belakang mendadak melompati pohon yang tadi digunakan Anggariz. Dari ketinggian itu ia mencabut dan melempari Anggariz dengan garpu. Menyadarinya, Anggariz menumbuhkan pohon di depannya untuk menghalangi.

Gagal.

Lemparan Mima begitu kuat hingga kayu pohon itu hancur terbelah dan tembus hingga nyaris mengenai tubuhku. Beruntung, tubuhku hanya tergores tipis karena Anggariz masih sempat menghindar. Anggariz lalu maju menyerang Mima yang telah mendarat.

"KURANG AJAR KAU, WANITA JALANG!"

Adu tangan kosong kembali terjadi. Mereka saling bertukar serang, tangkis, dan tinju. Tapi bukan Anggariz jika ia bermain adil. Diam-diam dijatuhkannya beberapa biji tanaman ke tanah selagi mereka bertanding.

"Pringatos!"

Dari bawah kaki tiba-tiba tumbuh bambu-bambu dengan ujung lancip, mampu menusuk Mima jika ia tak segera melompat ke belakang. Satu pohon tumbuh di bawah, mendorong naik sehingga lompatan yang diraih Anggariz menjadi lebih tinggi. Anggariz memasang biji, hendak menghantam dengan pohon lagi.

Jrep!

"AGH!"

Seperti pemburu yang mengincar elang di tengah perburuannya, Mahesa berhasil mengenai tubuhku di saat konsentrasi Anggariz tertuju pada Mima. Dari samping panah tertancap, tepat di bagian leher. Seketika Anggariz terjatuh, membiarkan Mima batal terkena serang.


Tapi tak lama.


Hanya butuh dua detik bagi bekas lukanya untuk tertutup sempurna setelah panah dicabutnya.


"KALIAN TIDAK AKAN BISA MENGHABISIKU!!" teriaknya.


"TIDAK, SELAMA AKU BISA MENGENDALIKAN KEKUATAN BUMI DAN ISINYA!!"


===


"Sang [Kehendak], apa sebenarnya yang kau inginkan?" ujarku geram selagi berjalan meninggalkan ruangannya.

Di sini, di lorong yang kulewati terdapat ribuan lukisan yang indah bukan kepalang. Karpet merah panjang menghiasi ruangan. Tidak ada lampu tapi tempat mulia ini selalu terang benderang.

Ini adalah lorong untuk pergi dan kembali dari ruangan sang [Kehendak], entitas yang mengurungku di semesta ini. Baru saja aku kembali dari tempat [Kehendak], meninjau perkembangan kondisi keparat itu.

"Aku tidak mengerti, sudah seharian ini tak ada karya baru dari jagat mimpi." ucapku pada diri sendiri, "Sekalipun ada, hanya ruang <Abstraksi Ketakutan> yang diisi."

Aku terus berjalan, hendak pergi ke ruangan yang baru saja kusebut untuk memastikan. Namun kemudian langkahku terhenti oleh sosok yang menghadang, wanita rupawan yang mengenakan gaun layaknya dewi dengan tambahan perlengkapan perang menghiasi.

Cih, Mirabelle.

"Ada apa, Tuan Zainurma? Kau tampak kebingungan."

"Tidak apa-apa." jawabku, "Aku hanya ingin mencari sesuatu."

Kuawasi mata birunya yang memandang datar ke arahku, tak ada tanda-tanda ia meragukanku. Bagaimanapun, aku tak ingin kejadian ini didengar dulu oleh siapapun. Mirabelle sedikit menyibakkan rambut merah panjangnya sebelum berkata lagi.

"Jika ada yang Tuan inginkan dariku, Tuan Zainurma tahu di mana bisa mencariku."

Ia kemudian berbalik pergi, meninggalkanku sendiri di sini.

Aku harus segera menemukan biang masalahnya.


===


Porak poranda.

Gedung dan rumah sudah tak berupa. Di kanan kiri hanya reruntuhan belaka. Memang ada pohon dan rimbun daun, tapi tetap tak ubahnya kota yang tak bernyawa.

Sudah cukup lama pertarungan berjalandan masih tak ada hasilnya. Mahesa dan Mima segar bugar sementara Anggariz sudah mencapai batasnya. Seolah tak ada lelah, mereka tetap memasang kuda-kuda.

"Cih, bagaimana bajingan keparat ini bisa punya tenaga tak terbatas?" ucap Anggariz terengah.

'Angga, coba kamu perhatikan aura mereka.' sela Suryawa.

"Ya, aku tahu. Ungu, bukan?"

'Iya, sepertinya itu sumber masalahnya.'

"Tapi apa yang harus kulakukan, keparat?"


"Aji Danurwenda..." Mahesa mendadak membisikkan sesuatu. Ia mengangkat tangannya, membidik.

"Rantai."

Lagi, Mahesa melesatkan panah rantai. Kali ini dua kali, ia berusaha menangkapku dan Mima. Mima refleks berlari menghindar, sementara Anggariz melindungi diri dengan menumbuhkan sebatang kayu.

Belok.

Panah itu berbelok mengejar Mima dan Anggariz, tak peduli bagaimana jalur gerak kami berdua. Tak ayal, tubuhku tertangkap olehnya. Kami berdua terbelit rantai, tak mampu bergerak bagaimanapun upayanya.

Tampaknya Mahesa hendak mengakhiri semua.

'Anggariz!' panggil Suryawa, 'Gelang berpendar, waktumu tak lama lagi!'

Ah, pergelangan tanganku berkelip. Sudah tiga puluh menit, tanda bahwa energi satu ruh menjelang habis dan harus segera kembali ke dalam.

"Astra Sarotama. Ayatana."


'Anggariz, ganti!'


Zung...


"Sanglatu."

Suryawa segera melepaskan api raksasa. Panah Ayatana yang mendekat dibakar habis olehnya. Tapi naas, mata panah Mahesa masih meluncur meski tangkainya tak lagi berwujud.

Tubuhku terkena ledakan.

Suryawa terlempar agak jauh dari sana, merasakan sakit yang luar biasa. Beruntung, rantai yang membelitnya itu malah mengurangi efek gaya ledak yang dirasakannya.

"Ugh... Thorizu tak mampu dan energi Anggariz telah mencapai batas.

"Sekarang giliran saya."



MIMPI 4 – Suryawa


"Tidak! Ini buruk!"

Aku mendengar teriakan dari luar ruang <Abstraksi Ketakutan>, menyadarkanku yang tengah konsentrasi mengobservasi. Suara Ratu Huban, berarti dia sedang di museum semesta.

Aku beranjak, khawatir ini ada hubungannya.

"Ada apa?" tanyaku setelah keluar dan mencarinya yang ternyata berada tidak jauh dari sana.

"Petarungku," ujarnya tergopoh, "petarung mimpiku! Mereka akan mati! Mereka tak bisa di sana! Mereka mati!"

"T-tenanglah, Huban!" ucapku turut panik, "Jelaskan satu per satu."

"Ng? Kau bilang apa barusan?"

"Kubilang, jelaskan satu per satu. Tenanglah dulu!"

"Petarung mimpiku, Tuan Zainurma. Petarung mimpiku dikendalikan sesuatu. Mereka akan mati jika memaksakan batas melewati kapasitas. Bahkan portal mimpiku tertutup, aku tidak bisa mendatangi mereka."

Aku diam.

Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan hal yang membuat sang [Kehendak] berguncang.

"Kamu tetap awasi mereka, aku akan melihat apa yang bisa kulakukan."


===


Blam!

Api Suryawa ditembakkan, ditangkis sempurna oleh Mima. Mima hendak mendekatiku, tapi terhalang oleh panah Mahesa yang terlanjur mengincarnya. Mima lalu menembakkan pelurunya, berbenturan dengan panah Mahesa.

Ledakan.

Asap mengepul hasil tabrakan peluru dan panah ledak. Pandangan kabur mengacaukan arah gerak. Suryawa bergerak mundur menjauhi kepulan asap.

Sekejap kemudian Mima tampak melompat keluar dari asap juga, hampir bersamaan dengan Suryawa. Ia melihatku, dicabutnya pistol dan dilepaskannya satuan peluru.

"Letuplatu."

Suryawa mengeluarkan api dari tapak yang dimampatkan, menciptakan gaya dorong yang membuat tubuhku mundur dan menghindari peluru dalam sekejap.

Asap mulai menghilang, tertiup angin saat Suryawa hendak berlari menyerang balik Mima. Mahesa mendadak terlihat melompat tinggi dan menembakkan tiga panah rantai ke depanku secara diagonal hingga menancap ke tanah. Salah satu rantai itu mendarat tepat berada di depan leherku menghentikan gerak Suryawa.

Belum sempat Suryawa bereaksi, Mahesa mendorong daguku dengan rantai yang paling dekat dengan leher saat dirinya mendarat ke bumi. Keseimbangan Suryawa kacau. Dibantu dua rantai lainnya, Suryawa terjatuh hingga tubuhku terkunci di tanah.

Mahesa menginjak rantai, menahannya agar Suryawa tetap bergeming.

"Astra Sarotama."

"Daya Suryanata, Genipora!"

Lepas.

Dengan meningkatkan panas tubuh, Suryawa berhasil mengeluarkan energi lebih untuk membebaskan diri. Namun belum sempat bersantai, panah sudah di depan mata. Suryawa bergerak ke samping, bermaksud menghindar.

Ini yang Mima incar. Dari belakangku ia telah menanti dengan pisau di tangan, siap menusuk tubuhku yang rentan serangan.

Duak!

Tangan Mima berhasil ditahan.

Dengan tubuhku telah mencapai batas lelahnya, Suryawa berusaha melawan kekuatan Mima yang seolah tetap bugar selamanya. Mima berusaha mendorong, hendak menusukkan pisaunya pada leher Suryawa.

Mata Mima menyala ungu.

Sekali sentak, Suryawa terdorong. Namun Suryawa gesit, bergerak memutar dan berbalik agar Mima terdorong gravitasi sehingga dirinya jatuh ke bawah. Suryawa bergerak lincah, mengunci gerakan Mima dan membuatnya tengkurap.

"Eh?"

Suryawa menarik kepala ke belakang, menghindari anak panah yang meluncur tiba-tiba. Ia segera melompat ke belakang, berusaha agar tak terkena sisa panahnya.

"Ada sesuatu di leher Nona Mima." ujar Suryawa, "Jangan-jangan Mahesa juga memiliki benda serupa.

"Cholotlatu!"

Suryawa membuat ledakan di bawah kaki, melontarkan tubuhku jauh ke depan. Mahesa melihat, membidikku yang terbang ke arahnya. Suryawa segera membentuk bola api di sekitar tubuhku, menyelimuti dan melindungi diri dari panah yang menyerbu.

Mendarat, Suryawa melayangkan tinju api kepada Mahesa. Mahesa gesit, segera menarik busur untuk menciptakan panah.

"AAAAAGH!"

Belum sempat tinju Suryawa kena, Mahesa berhasil menancapkan mata panah tanpa dilontarkan. Lengan kanan terluka. Mahesa lalu menendang bagian samping perut, melempar tubuhku agak jauh dari letak semula.

Suryawa mencabut panah, mengaduh kesakitan.

"Ugh, sudah kuduga." kata Suryawa terengah, "Terdapat benda mirip jamur di tengkuk mereka."

Di depanku, aku melihat Mima dan Mahesa beradu serang kembali. Panah lawan peluru, rantai menahan garpu. Melihat itu Suryawa menarik napas. Bertahap ia mengumpulkan panas dalam tubuh.

"Salirageni Latudiri."

Suryawa melesat.

Ditandai dengan warna tubuh memerah bak direbus, kemampuan ini meningkatkan pembakaran energi dan laju darah di tubuh untuk memaksa diri menembus batas. Gerak kilat, Suryawa menyerang Mahesa. Kedua tangan terkepal dipertemukan, dibantingkan ke punggungnya.

Mima menembak dari sisi, tak pedulikan Mahesa yang terbentur bumi. Suryawa yang gesit sanggup menghindari tubian peluru. Ia lalu melompat, berputar dan mendarat tepat di belakang Mima. Dijepitnya jamur di tengkuk dengan dua jari.

Sekali cabut, ditariknya sekuat tenaga.

"Keaak!"

Akar jamur itu ternyata panjang berlarik, seolah pembuluh darah seluruhnya tertarik. Benda ungu itu seperti menjerit kesakitan sebelum berhenti bergerak dan terbujur kaku di tanah.

"A-apa yang terjadi? S-siapa engkau? Pria muda...."

Mima sadarkan diri. Ia terhuyung, mengundang Suryawa untuk segera bergerak menangkapnya.

Pingsan.

"Beristirahatlah dulu, Nona." ujar Suryawa seraya memadamkan Daya Suryanata miliknya, kembali ke wujud semula.

"Berarti benar, ada sesuatu di tengkuk yang mengendalikan mereka." lanjutnya, "Tinggal kamu, Mahesa."

Suryawa berdiri setelah membaringkan Mima. Mata melihat ke arah Mahesa yang sedang menarik busur ke arahku.

"Ayo kita selesaikan."


===


"Ya, selesaikanlah. Aku tak mau petarung mimpiku mati, huhu..." keluh Huban saat aku menghampirinya.

Ratu Huban sedang melihat sebuah lingkaran jingga besar di depannya, semu dan melayang-layang. Di tengahnya tampak sosok pria kurus dengan rambut hitam kekuningan sedang bertarung melawan seorang pria muda yang bersenjatakan busur panah.

Aku mencoba menepuk pundah Ratu Huban setelah beberapa kali teguranku tak didengarnya.

"Huban," panggilku disambut tolehan, "kamu benar-benar tidak bisa memasuki portal mimpi?"

"Tidak, Tuan Zainurma." jawab Ratu Huban, "Aku mencoba memaksa masuk tapi tak sanggup."


===


"HEAAA!"

Suryawa dan Mahesa berseteru. Ribuan panah dilesatkan oleh Mahesa sambil berlari ke samping, menjadikan tubuhku incarannya. Suryawa yang tak mau mengalah menggunakan tinju-tinju apinya untuk menghalau panah itu.

Suryawa kemudian melompat, hendak mendekat.

"Astra Sarotama. Rantai."

Tubuhku terikat saat masih di udara. Sekali ayun cukup bagi Mahesa untuk membantingku ke tanah. Sekejap kemudian ditariknya tubuhku, mendekat ke arahnya. Sentakannya kuat sehingga tubuhku terbang. Mahesa menarik busur, menciptakan panahnya lagi.

Suryawa panik. Ia segera merubah jalur jatuhnya dengan menciptakan ledakan api. Panah meleset meski tubuhku cepat terbanting ke tanah.

"Ugh...," erang Suryawa, "Ajian Salirageni Latudiri terlalu menguras energi, tapi tak ada cara lain."

Suryawa kembali mengaktifkan ajian yang baru saja disebutnya. Ia lalu bergerak cepat ke arah Mahesa setelah melepaskan rantai yang mengikat. Aura ungu memekat tepat sebelum Suryawa mendekat.

"Jangkah Agya."

Suryawa melayangkan tinju-tinju api, tapi tak satu pun bisa terkena. Entah bagaimana gerak langkah Mahesa seolah bisa membaca arah serang Suryawa. Mahesa menciptakan busur, tiba-tiba membidik Suryawa dari belakang.

Bum!

Suryawa terlempar, tubuhku terguling.

Suryawa langsung berbalik dan menatap Mahesa dengan menahan rasa sakit. Aku bisa melihat Mahesa mengangkat tangan kirinya ke atas. Aku baru sadar, tapi sepertinya sedari tadi bibir sang pemanah itu komat-kamit entah apa yang diucapkannya. Kulihat energi berkumpul di atas telapak, membentuk piringan. Kian lama kian besar, piringan itu kini bahkan lebih besar daripada diriku.

Sepertinya Mahesa hendak mengakhiri semuanya.

"Cakram Candraputra. Aji Danurwenda."

Dilemparnya cakram tersebut ke arahku. Miring, cakram itu membelah sempurna tanah aspal dan reruntuhan yang dilewatinya. Suryawa refleks melompat ke kiri, menghindar.

"Agh!"

Berbalik, pisau energi itu berputar dan mengiris pundakku. Beruntung Suryawa menyadarinya sesaat sebelum terkena sehingga irisan di pundak tak terlalu dalam.

Namun celaka, Cakram Candraputra kembali melakukan gerak bumerang.

Seolah hidup, benda tajam itu mengejar tubuhku. Suryawa berkali-kali berusaha menghindar, namun cakram itu tetap bisa sedikit mengenai tubuhku akibat lelah mendera.

Syut... jleb!

Tanpa diduga, Mahesa berhasil menancapkan panah ke pelipis. Gerak Suryawa terhenti. Segera setelahnya sang cakram menyusul, mengiris tubuhku diagonal. Tubuh tak terbelah, tapi tetap saja memuncratkan banyak darah.

Aku akan mati.

Deg!

Gelangku mendadak berpendar.

Deg!

Terus berkelip, makin lama makin cepat.

Deg!

Aku bisa merasakan, jantungku turut berdetak makin kencang. Sakit tak kurasakan, hanya...


---


---


---


MIMPI 5 – Epilog


"Auw!"

Mataku terbuka.

Aku mendengar suara mengaduh kesakitan, entah siapa. Tubuhku terbaring tak berdaya, tak mampu bersuara. Hanya lemas, seolah energi habis terkuras. Kenapa?

"Hai, kau masih hidup?"

Ratu Huban.

Mendadak ia memperlihatkan kepala bantalnya di depan wajahku dari sebelah kiri. Tak kujawab karena untuk mengangguk pun aku tak bisa. Samar-samar kudengar sengguk tangis di sela bicaranya.

"Kirim saja dia kembali, kita tak bisa berbuat banyak untuknya."

Di sebelah kananku tampak pria berambut rapi yang baru saja berkata tegas pada Huban. Kacamata gelap menghias wajahnya, menambah kesan mafia bersama jas hitam yang dikenakannya.

"Iya, apa boleh buat." Balas Huban, "Aku akan mengirimnya, Tuan Zainurma."

Ratu Huban mengetukkan tongkat lengkung miliknya ke udara, memunculkan cahaya-cahaya jingga menyelimuti tubuhku.


Hangat.


Hangat?


---


Kriiiing!

Ah,

aku terbangun.


===


Melelahkan.

Setelah Dreyanata, Huban mengirim kembali Mima yang pingsan tak berdaya ke alam nyata. Dua insan ini beruntung, masih sempat bangun dan lepas dari semesta mimpi. Melihat kondisinya, mereka berdua bisa saja mati sia-sia.

Namun tidak dengan Mahesa.

Ratu Huban menangis di pinggir seonggok raga yang tergolek lemah. Seolah hendak memberitahukan keanehan pada kami, warna kulit Mahesa tampak begitu pucat dengan pembuluh darah tampak menonjol berwarna keunguan. Bibir Mahesa sendiri membiru dengan bagian sekitar leher berwarna ungu gelap.

"Sudahlah, Huban." kataku, berusaha terlihat menghibur, "Tak ada yang bisa kita lakukan lagi bagi pria muda ini. Mati adalah takdirnya."

"T-tapi bukan keinginanku...," tangis menderu, menghentikan kata-kata.

"Lakukan saja apa yang harus kamu lakukan."

Huban mengangguk di sela sengguk. Ratu Huban lalu membuka portal mimpi dengan ketukan tongkatnya. Tubuh Mahesa tampak melayang, bergerak memasuki portal dengan diikuti Huban.

Sementara itu aku melangkah ke arah 'jamur' yang berasal dari Mima. Kuambil tisu dan kupungut sebagian, siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu darinya.

Ya, sampai sekarang aku masih tidak bisa menemukan apa yang membuat sang [Kehendak] terguncang.

Aku masih penasaran.

"Tuan Zainurma, apa yang anda tunggu?"

"Tunggu sebentar, aku ke sana."

Aku kemudian melangkah mendekati portal, hendak meninggalkan semesta mimpi berwujud kota yang telah porak poranda. Tak kusangka pertempuran antar tiga petarung ini mampu menghancurkan kota sedemikian rupa. Pun sejujurnya aku masih tak percaya akan apa yang kulihat sebelum portal akhirnya terbuka, setelah sang cakram membelah Dreyanata.


Satu hal yang aku yakin pasti.


Monster itu ada.




TAMAT... ?























"Tuan, Mahesa berhasil kita musnahkan, tapi Mima selamat."

"Bagus, setidaknya satu mimpi besar tumbang. Sekarang berikan daftar mimpi berikutnya yang bisa kita hancurkan!"

"Hm... Mimpi seorang pria berambut putih yang memiliki kekuatan membuat lubang, mimpi seorang anak pemalas dari dunia Summoner untuk menyembuhkan adik kembarnya, mimpi bajak laut bertopi jerami untuk menjadi seorang raja, dan ada juga mimpi seorang pria pesulap biru untuk menemukan sesuatu yang hilang darinya. Kira-kira yang mana, Tuan?"

"Kalau begitu, yang itu saja!"


TAMAT

11 komentar:

  1. ini entri di mana MC gak ngapa"in selain jadi penonton yang menyaksikan para personality mengambil alih tubuhnya setiap bertindak

    untuk karakterisasi Dreynata, saya ngrasa dia itu "supersane", ngliat dunia apa adanya. good netral? maybe. saya aja susah mendefinisikan wataknya.

    Zainurma dinotis!

    plotnya sendiri cukup unik. ratu huban kerasa jadi feminim pas nangisin Mahesa. Si Mima selamat?! WtF

    namun sfx jadi batu yang siap bikin reader tersandung. jadi saya kerasa ngganggu waktu nikmatin. but, actionnya kerasa banget.

    nilai 8

    Adam Cainable

    BalasHapus
  2. sudut pandang orang pertama ya, fufufu

    aku hampir kehilangan fokus di akhir2, ini 'aku' dreyn atau zainurma =w=" tapi yah, masih fudo yang sama, style yang sama, dan nggak membingungkan.

    rapih.

    good battle scene (aku mah apah...)

    nilai 8 dari bunda~

    betewe, aku pilih mimpi bajak laut bertopi jerami buat yang selanjutnya dong

    BalasHapus
  3. Bener kata Nobu, eh, Agung, Dreyanata kayaknya udah pasrah tubuhnya diapa-apain, dia woles aja (?)

    Soal cerita, ini jadi semacam prolog tentang apa yang terjadi nanti di BOR. Selain juga cerita ini jadi perkenalan ability-nya si Surya, Thor & Angga, hehe

    Nilai 8

    Bajak Laut Topi Jerami susah lisensinya XD

    BalasHapus
  4. Bener kata Nobu, eh, Agung, Dreyanata kayaknya udah pasrah tubuhnya diapa-apain, dia woles aja (?)

    Soal cerita, ini jadi semacam prolog tentang apa yang terjadi nanti di BOR. Selain juga cerita ini jadi perkenalan ability-nya si Surya, Thor & Angga, hehe

    Nilai 8

    Bajak Laut Topi Jerami susah lisensinya XD

    BalasHapus
  5. Komen ke sini. Nuntasin hutang.

    Kesan saya untuk cerita ini adalah:

    1. Wah, beberapa saran saya rupanya direalisasikan. Jadi terhura.

    2. Lumayan mulus dalam pemakaian sudut padnag ornag kedua, walau di awal sedikit "miss". Waktu Thorizu tiba2 nyeletuk ke Suryawa. Kesannya dia bukan ada dalam kepala Dreyanata, tapi berada diluar.

    3. Masih berkaitan dengan poin kedua, saya rada tersendat karena ketika percakapan si trio kwok-kwok gak dibuat italic atau cetak miring. Kesannya mereka ngobrol diluar kepala atau tubuh si Dreyanata. Dan ini juga membuat goyah pemakain sudut pandang orang pertama sebagai pengamat yang dipakai.

    4. Sfx yang digunakan juga bikin baca jadi tersendat. Beberapa bikin atmosfir kerasa (walau saya lebih suka jika dijabarkan dengan deskripsi). Dan sisanya bikin saya "terjengkang". Ibarat lagi asik tidur di kursi sambil menumpangkan dua kaki di atas meja, dan mendoyongkannya, lantas tiba2 kekencengan dan jatuh.

    5. Sisanya, cukup puas dengan adegan tarungnya, dan sebagainya, dan seterusnya.

    Nilai... 7,5 ... bulatin jadi 8 aja~

    OC: Fionn Coileain na Claonai (W.O)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu poin kedua maksdunya sudut pandang orang pertama, bukan kedua~

      Hapus
  6. Mahesa... Mahesa... ❤

    PoV 1 yang dipake rapi, alurnya juga rapi, enak dibaca, Mahesa juga tampan. Paling keren di bagian pertaruangannya. Disajikan dengan lembut dan menggebu-gebu. Tulisannya rapih

    Bingung mau ngomong apalagi, pokoknya puas membacanya

    6 untuk Drey + 2 karena Mahesa tampan #diusir
    OC - Rea Beneventum

    BalasHapus
  7. Sayang Drey ini tidak naik kereta sama tak bisa jadi ksatria bertopeng. Padahal lengkap dah kalau udah begitu.

    Entrinya udah oke, dan entri ini juga yang saya rasa pertama kali menggunakan elemen kanon panitia dengan apik, dalam artian dieksekusi dengan pas dan dikembangkan menjadi lebih baik.

    gak banyak omong lagi, saya beri 8 untuk entri ini.

    Salam sejahtera dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi

    BalasHapus
  8. OC: Ghoul :=(D

    Prolognya kaku, dialog kaku. Typo lumayan bikin terjungkal-jungkal

    Alurnya cepat banget!

    Idenya bagus sih, hanya aja plotnya…

    7 sih karna diksinya kurang kreasi tapi karna idenya bagus angka 7-nya punya adek—namanya angka 8…

    BalasHapus
  9. Ini entrinya lumayan rapi. Paling nemu gangguan sedikit, kayak dialog yang akhirannya pakai titik, padahal harusnya koma. Kayak: "Tidak apa-apa." jawabku. Mestinya "Tidak apa-apa," jawabku.

    Saya tipe orang yg susah menikmati battle yg terus-menerus. Jadi, tbh, agak lola pikiran saya mencerna adegan per adegan. Dan ini entri dari awal bak-bik-buk melulu. Gak ada feel-nya (Dreyn memang emotionless, sih. At least saya ngarep dari tokoh lainnya. Hehe). Untung ada sudut pandang Zainurma. Jadi bisa istirahat dari full battle. Tapi battle-nya sendiri saya akui memukau.

    Endingnya semacam pembukaan buat BoR VI. Dan ada cameo One Piece, hehe~

    Ya udah lah, gak pakai basa-basi lagi saya titip 8~

    OC: Rebecca Friedmann, WO dengan gemilang

    BalasHapus
  10. Saat saya membuat tantangan annihilate a town/kingdom itu dalam bayangan saya adalah memporak-porandakan kota/negeri beserta penghuni ataupun warganya sih. Menghancurkan kota yang kosong nggak terasa terlalu dramatis, menurut saya. Tapi yah ... biarlah. Setiap penulis bebas menginterpretasikan tantangan yang dia ambil berdasarkan bayangannya sendiri.

    Poin kedua, wajar kalau entri ini membuat stres penulisnya. Saya yang membaca pun agak stres mengikuti pertarungannya. Monoton sekali. Dari awal sudah bak-bik-buk. Pembaca belum diajak untuk mengenal siapa itu 3 penghuni tubuh Drey, tahu-tahu sudah disuguhkan mereka bertarung menggunakan kekuatan ajaib mereka satu demi satu. Mahesa dan Mima sudah bertempur pula. Dan yang paling mengganggu bukan sfx-nya, tapi pola jurusnya. Sepanjang cerita polanya selalu itu. Karakter mendialogkan nama jurusnya. Lalu paragraf berikutnya adegan si karakter melakukan jurus itu. Karakter lain ikut mendialogkan nama jurus miliknya dan juga dilanjutkan pada paragraf berikut dengan adegan jurus tersebut. Pembaca butuh variasi, menurut saya.

    Dan satu lagi yang bisa saya sarankan adalah "take time". Maksudnya, suatu jurus itu bukan cuman diucapkan dan dilakukan seketika saja. Ketika misal seseorang mau memanah, ada tahap-tahap gerakan yang bisa dieksplor untuk dijadikan narasi yang apik. Pertama, dia bisa menyiapkan dulu anak panah dan busurnya. Kemudian dia meletakkan anak panah itu seraya menarik tali busur. Mata menutup sebelah, fokus membidik. Konsentrasi, terus melihat pergerakan lawan. Kemudian pada saat yang tepat barulah anak panah itu benar-benar dilepaskan.

    Jadi, bukan hanya begini: "Panah sakti." Mahesa menembak.

    Pendetailan adegan ini penting untuk membangun tensi dan membawa pembaca masuk menghayati aksi demi aksi para karakter yang berjibaku. Tentu saja tidak semua adegan harus digambarkan dengan mendetail. Tapi tak ada salahnya toh jika adegan penting diberikan porsi yang lebih?

    Ponten 7-

    - hewan -

    PS: plot Zainurma-nya menarik juga

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.