Senin, 14 Maret 2016

[FBC] 037 - OTHEMA SPREED

OTHEMA SPREED
VERSUS
RENA CHRONOSS
TEN GALLON TANK
[Tantangan V10]
oleh: Wildan Hariz

---

OTHEMA SPREED - WABAH ARKAIS ALAM MIMPI


Alam Mimpi merupakan simbol ekspresi. Kebebasan daya cipta. Apapun dapat dibayangkan. Realita-realita ideal melayang. Mereka menunggu sang penarik benang. Visualisasi realita beragam di dalamnya. Realita kebahagiaan, kesedihan, amarah, kegilaan … semua layaknya tercampur sebuah kendi berdasar tak terbatas bernama Alam Mimpi.

Adalah Ratu Huban. Entitas riang gembira yang mampu berjalan ke sudut-sudut Alam Mimpi. Ia menyaksikan aneka kejadian di Alam Mimpi. Sampai suatu hari ia dikejutkan oleh keberadaan 'benda' yang belum pernah dilihatnya. Ratu Huban menemukannya di suatu bagian Alam Mimpi yang hampir tak terjamah. Tempat itu diselimuti warna-warni cahaya aurora. Hanya ada beberapa potongan tebing berumput jarang melayang.

Ratu Huban mendarat pada tebing itu, tebing yang paling luas datarannya. Sepatu but-nya berdecit saat mencapai dataran. Kepala bantal ungunya dimiringkan keheranan. Ia tak memiliki wajah—tak ada mata dan yang lainnya, bagaimanapun, tetap saja nampaknya ia dapat melihat keadaan di sekitarnya.

"Lagi-lagi aku salah membuka portal … aduuuh. Aku di mana lagi sekarang?" gumam Ratu Huban. Dalam balutan pakaian kuning, ia memainkan sebuah tongkat oranye sepanjang tubuhnya yang pendek.

"Tempat ini tak terlalu buruk," cahaya aurora menghibur Ratu Huban, "dan … waaaaaah! Benda apa ini?"

Di hadapan Ratu Huban yang tubuhnya kecil, samar-samar melayang sebuah benda besar. Ratu Huban terdiam agak lama, lantas tetiba panik melihat benda itu melayang menjauh dari tebing tempatnya berada.

"E-Eeeeh, eeehh! Mau kemana kau? Aku belum selesaiiii dengaaaanmuuu, heeeeeeiiii!"

Langkah-langkah kecil sepatu Ratu Huban adalah usahanya mencapai 'benda besar' itu.

"Hup!"

Berhasil. Ratu Huban berhasil menyangkutkan pangkal tongkatnya yang melengkung pada bagian tubuh benda besar samar itu. Permukaannya tak terlalu ramah untuk dipijak sepatu Ratu Huban. Aneh memang, beberapa bagian tubuh benda samar itu dapat disentuh benda padat seperti tongkat Ratu Huban. Banyak bagian yang tajam, persis baju zirah raksasa terbang bagi Ratu Huban. Bahkan ada satu bagian lain dengan ukuran lebih kecil yang melayang mengikutinya. Namun itu semua tak menjadi masalah bagi Ratu Huban. Ia panjat saja tubuh benda itu; demi berada di dekatnya, demi rasa penasarannya.

Demikianlah, Ratu Huban berada di atas benda melayang itu selama beberapa saat. Meski lambat, Ratu Huban menikmatinya.

"Hahahahaha. Naik benda ini ternyata menyenangkan! Naik domba putih juga menyenangkan! Kau punya nama? Eh eh eh?"

Tetiba benda itu bergetar hebat. Itu bukan karena pertanyaan Ratu Huban. Ada sesuatu yang menggerakan benda itu. Ada sesuatu dalam benda ini yang hidup. Ada sesuatu dari benda ini yang berfungsi. Keberadaan benda itu nampak semakin nyata. Tubuh kremnya yang transparan kian tak kasatmata.

Dimulai dari bagian bawah, terus ke atas sampai bagian kerucut atas. Itulah kepalanya. Terdapat dua lempeng visor di sana. Lambat laun getaran semakin teratur. Ratu Huban tak terlihat panik karena hal ini. Ia hanya berusaha menyeimbangkan diri dengan memanjatnya semakin tinggi.

Lempengan visor menyala merah. Benda itu mulai bergerak atas kehendak sendiri.

Benda itu adalah dirimu, Othema Spreed.

***

Itu kali pertama kau bertemu dengan Ratu Huban. Kau belum bisa bicara. Tapi itu bukan masalah. Toh bisa bicara pun kau tak punya hal tertentu yang ingin kau tanyakan sekarang ini. Visor merah merupakan indera pengelihatanmu. Cakram di belakang kepalamu membantumu mendengar. Sayang sekali kau tidak dilengkapi sesuatu sebagai indera penciuman.

Tapi semuanya tidak terlalu buruk. Tak banyak yang bisa dilakukan di sekitar. Kau tak butuh makan, meski butuh sedikit tidur. Ratu Huban sesekali mengunjungimu. Kali kedua, kali ketiga, dan seterusnya. Semata-mata untuk melampiaskan kebosanan saat Ratu Huban tak ada di sekitar, kau hanya bisa melayang ke sana ke mari.

Pada suatu waktu kau mulai bisa bicara. Mulai mempertanyakan bagaimana kau harus bertindak dan untuk apa kau ada di alam ini. Namun Ratu Huban tak bisa membantu banyak. Ia sendiri bingung mengapa kau bisa ada di alam ini.

"Jadi aku ini apa?" Kau bergumam. Ratu Huban hanya diam. Ditanya berapa kali pun ia tak tahu jawabannya.

Seringkali, ketika obrolanmu dan Ratu Huban mulai menjurus pada hal yang tak bisa ia jelaskan, Ratu Huban akan mengelak dengan jenaka. Namun tidak kali itu. Dengan nada yang ceria, kata-katanya memberimu sedikit harapan.

"Tenang saja. Nanti akan kutanyakan tentangmu pada seseorang."

"Maksudmu selain dirimu ada yang lain lagi?"

"Hahahaha. Tentu! Ada banyak makhluk di Alam Mimpi ini."

"Janji, ya."

"Iya, janji."

Ratu Huban lantas mengelusmu, "Sekarang ayo main!"

Demikianlah. Pertemuanmu yang kesekian kalinya ditutup dengan permainan sederhana. Saling kejar dan tertawa. Bagimu waktu terasa berjalan lambat meski kau tak begitu paham bagaimana cara waktu bekerja di alam ini.

Dalam kesempatan berikutnya, Ratu Huban datang lagi.

"Haaaaiii! Aku punya sesuatu untukmu!"

Ia membawa sebuah kotak. Saking semangatnya, ia sempat jatuh sebelum memperlihatkan kotak itu padamu lebih dekat. Kau nampak ingin membantunya, tapi ia sudah lebih dulu berdiri.

"A—aku sudah tanyakan pada Zainurma, katanya kau bisa coba gunakan kotak ini—kotak Laapar … eeh, Laplaaace. Ya! Laplace!"

"Siapa itu Zainurma?" tanyamu.

"Dia pengurus Museum Semesta. Di sana banyak sekali karya seni. Ah … andai saja aku bisa mengajakmu ke sana," Ratu Huban menggelengkan kepala bantalnya, "tapi bisa-bisa Zainurma malah memajangmu di sana."

"Maksudmu? Kenapa dia bisa-bisa memajangku di sana?"

"Yaaah. Kau kan unik dan besar. Aku takut dia menganggapmu barang antik yang bisa dia koleksi sesuka hatinya!"

Kau tak terlalu mengerti. Tapi kau yakin bahwa dikoleksi oleh seseorang bernama Zainurma itu adalah hal yang buruk. Tak ada alasan untuk tidak percaya pada Ratu Huban.

"Jadi bagaimana? Ayo kita coba. Aku harus mengembalikan ini tepat waktu. Dia selalu cerewet kalau koleksinya dipinjam."

"Ba—baiklah. Bagaimana cara kerjanya?"

"Begini …"

Ratu Huban menaruh kotak Laplace di dataran. Kemudian membuka tutupnya. Di dalam kotak itu ada semacam cermin berwarna violet. Ia kemudian memutarnya agar bayanganmu dapat terpantul. Ia berhasil. Kau dapat melihatnya. Itulah pertama kalinya kau melihat bagaimana rupamu sejak kebangkitanmu.

Menurutmu, rupamu sendiri agak aneh. Tak lebih dari kepala segitiga lonjong yang menempel pada sebuah zirah berongga, terbalut warna krem hampir seluruhnya. Kau nampak sangat hampa.

Yang lebih membuatmu terkejut bukanlah penampilanmu. Melainkan ingatan yang kembali pada dirimu setelah kau melihat tubuhmu sendiri.

HANCUR SEMUANYA!

"Suara siapa itu?"

MATI KALIAN!

"Itu kan … suaraku!?"

MEREKA DATANG!

INI ADALAH PENYUCIAN.

"Wujud kalian mirip denganku, tapi …"

ADA YANG TIDAK SENANG KITA BERADA DI TEMPAT INI.

"Siapa … siapa kalian!?"

"Kenapa kalian sangat berbeda!?"

ENYAHLAH!

"Kenapa kita hancur?"

"Kenapa kita berhenti bergerak?"

"Semua gara-gara api itu …"

API TAK BERASAP.
KITA SALING MENGHANCURKAN.

"Kenapa kita saling menghancurkan!?"

ADA YANG TIDAK SENANG KITA MENGHANCURKAN TEMPAT INI.

"Aku tidak mengerti."

KITA MEMANG SEPERTI ITU.

"GUUAAAAAHAHHAAAAAAAA!" teriakmu sekenanya. Ratu Huban mundur beberapa langkah karena terkejut. Kau terhuyung. Melayangmu oleng.

Ratu Huban mencoba menenangkanmu, "Ke-kenapa!? Tenanglah! Hei …"

Namun kau tolak, "BRRGGUUAAAAAARRRHHHHH! BI … Biiaarkaan … aku … sendiri …"

"Tapi …!"

Kau tolak keberadaan Ratu Huban. Kau berpaling.

Tubuhmu mengalami perubahan warna—sangat cepat dari warna satu ke warna lainnya.

Oranye.

Biru.

Cokelat.

Transparan.

Ungu.

Kelabu.

Putih.

Kembali ke oranye.

Dan begitu seterusnya.

Ratu Huban, tanpa berkata lebih banyak, hanya bisa membuka portal - meninggalkanmu. Tak lupa ia bawa kotak Laplace yang masih tergeletak di dataran.

Kau, yang disebut sebagai Othema Spreed, bukanlah benda mati. Kau adalah bagian dari Binn, makhluk-makhluk yang memporakporandakan sebuah planet. Kau sadar, bahwa sekarang kau adalah satu-satunya Binn terakhir. Semua yang lain telah hancur oleh sesuatu yang kau percaya sebagai "Api tak berasap" –sesuatu yang sangat kau benci, sangat ingin kau hancurkan.

Tabiatmu adalah menyukai kehancuran.

Kini kau melayang begitu saja. Masih ada sisa-sisa ingatan yang terproyeksi di benakmu atas efek kotak Laplace. Banyak hal yang kau lihat. Kebanyakan hal yang sudah tak asing bagimu. Sesekali ada perasaan rindu saat melihatnya.

Kau melayang begitu saja, meninggalkan dataran tempat kau biasa bertemu Ratu Huban.


***


Hutan di atas tebing menjadi latar bagi dua pasang manusia bertudung putih yang saling bertemu. Nyaris tak ada bunyi lain di sekitar hutan itu selain sayup-sayup bunyi bedebam dan suara nyaris berbisik kedua manusia itu.

"Di mana Lulu?" salah satu di antaranya bicara.

Dijawab oleh suara seorang pria, "Tenanglah, Rena. Dia ada di tempat yang aman,"

"Apa dia akan baik-baik saja? Aku … takut."

"Apa aku pernah bilang bahwa rambut putihmu sangat cantik—secantik dirimu? balas suara itu lagi sambil membelai rambut putih yang terjulur ke luar tudung. "Lulu kan anak kita. Ia akan tumbuh menjadi sangat cantik seperti ibunya."

"Kau mengatakannya setiap saat. Juga tentang Lulu."

"Kalau begitu jangan khawatir. Kau dengar?"

Kata-kata penenang itu hanya dibalas dengan anggukan pelan.

"Aku mencintaimu."

"Aku juga."

Dua pasang manusia bertudung putih larut dalam suasana haru. Si Pria Tudung Putih memeluk wanitanya. Kedua orang itu tak berkata banyak. Mereka hanya terlihat berpisah jalan. Seiring bunyi bedebam terdengar semakin keras, si Wanita Tudung Putih malah memilih jalan mendekati bunyi-bunyi itu. Pohon demi pohon ia lewati, sampai akhirnya ia terhenti oleh sebuah tebing yang memisahkannya dengan pemandangan yang sudah pasti mengoyak hatinya.

Para wanita menjerit dan menyaksikan suami-suami mereka berdarah. Para anak kecil menangis melihat ibu-ibu mereka mati. Bangunan-bangunan terbakar dan runtuh. Kota demi kota, desa demi desa—semuanya tak luput dari kehancuran. Semua terjadi selama beberapa minggu belakangan. Tanah ini seakan terkutuk.

Ini adalah tanah asal para Soul Summoner – Land of Chronoss. Atau lebih tepatnya, tadinya dikenal begitu. Si Wanita Tudung Putih dahulu lahir di sini. Bisa dibayangkan betapa murkanya ia memandang kampung halamannya hancur.

"Haaiii, ndreee! Awaaaaas! Di belakang, ndreeeee!"

"…." Si Wanita hanya diam mendengar suara aneh yang memperingatkannya, "Siapa di sana, ndree—!?"

Sontak ia menutup mulutnya, sebelum akhirnya bergumam.

"Apa-apaan ini, ndree … kenapa cara bicaraku, ndree …"

Si Wanita Tudung Putih menundukkan kepala. Angin tebing mengusap rambut putihnya lembut. Awalnya ia tidak menduga akan terjadi serangan pada tebing tempat dirinya berada. Tapi secara insting ia merasakan pergerakan di belakangnya. Sontak ia memelantingkan tubuhnya ke udara.

Benar saja. Embusan angin panas menghancurkan tebing. Kerusakannya sangat parah sampai-sampai dataran berumput jarang di bawahnya amblas. Batu-batu runtuh dari sisa tebing. Si Wanita Tudung Putih memilah dataran yang cocok untuk ia pijak agar tak terjatuh. Di bawahnya, ia bisa melihat sebuah benda aneh berguling, mengeluarkan suara "ndre" sayup-sayup.

Dua putaran salto ia lakukan, sebelum akhirnya ia dapat melihat sang penyerang dengan jelas.

Kau pelakunya, Othema Spreed.

Sudah berminggu-minggu kau berada di sekitar sini. Kerjamu hanya menghancurkan. Hari ini pun kau akan menghancurkan. Bagaimanapun, hari ini sedikit berbeda. Kau menemukan seorang manusia—yang sejauh ini kau tahu – hanya sedikit di antara mereka yang bisa menghindari seranganmu.

Jika bukan karena beruntung, pastilah mereka lebih mahir dari yang lainnya, pikirmu.

"Hm. Siapa namamu, manusia?"

Kau tahu makhluk-makhluk ini bernama manusia. Belakangan ini kau sangat menikmati reaksi-reaksi mereka saat kau hancurkan tempat tinggal mereka. Sebelum akhirnya kau mulai merasa bahwa lebih menyenangkan melihat mereka hancur tak bersisa dibanding sekedar menghancurkan bangunan-bangunan yang tak bergerak.

Si Wanita Bertudung Putih tak menjawab. Ia memperhatikan wujudmu yang lebih besar darinya. Visor merahmu menyala terang. Badan zirahmu berwarna merah. Kilatan lidah api mengiringimu. Bentukmu yang mengintimidasi, bagaimanapun, tak membuat wanita itu menunjukkan tanda-tanda gentar.

Alih-alih menjawab, ia malah balik bertanya.

"Apa kau yang menghancurkan tempat ini?"

"Ya. Semuanya. Sendiri. Terkesan?"

Wajah si Wanita masih tersamar jubah putihnya. Ia lantas mengumumkan dengan tenang, "Kalau begitu, cukup bagiku alasan untuk menghentikanmu di sini. Ayo bertarung."

"Bertarung? Maksudmu aku menghancurkanmu?"

"Dan ingat baik-baik. Yang akan menghentikanmu ini bernama Rena Chronoss."

Saat Wanita itu menyebut namanya, puluhan prajurit berzirah yang mendekati ukuranmu muncul tiba-tiba dari udara. Ada asap dan hawa panas yang memancar dari masing-masing prajurit. Mereka bersenjata lengkap untuk bertarung; dari mulai pedang, panah, kapak, halberd, sabit sampai perisai raksasa.

"Zirah dilawan dengan zirah," ujar Rena tenang. "Semuanya. Serang."

Tolakan demi tolakan dilakukan oleh kaki para prajurit berzirah pada dataran. Senjata mereka dipegang erat. Kau tak panik. Lagipula tak ada bagian tubuhmu yang mampu mengekspresikan perasaan itu ketika melihat para prajurit berzirah ini. Kau tak berpikir benda mati akan membuatmu takut. Bagimu, para prajurit berzirah ini tak lebih dari sekedar alat yang bahkan tak pantas untuk ditakuti.

Meski begitu, para prajurit menyerangmu dengan penuh tenanga. Tenaga mereka nyata. Demikian pula dengan sayatan demi sayatan yang mereka torehkan pada tubuhmu. Tusukan di sana-sini—meski belum mampu melubangi tubuhmu, tetap berpotensi menghancurkanmu. Badan zirahmu sungguh tak akan bertahan jika berlama-lama dihujam dengan pelbagai senjata yang menyertai mereka.

Ada beberapa prajurit yang berniat menembakan anak panahnya ke arah visormu. Itu merepotkan, pikirmu. Kau lantas bergerak lebih cepat ke arah depan menyamping untuk  menghindarinya. Sekaligus berusaha menabrak Rena dengan tubuh kerasmu. Sudah pasti wanita itu yang mengendalikan mereka semua.

Langkah-langkah mundur cermat diambil Rena, seakan ia mempunyai mata di balik tudung putihnya. Pengalaman bertarung memaksanya hapal dengan medan sekitar. Ia sangat waspada meski para prajurit masih melakukan serangan untuknya, dan posisimu masih berada tiga meter di depannya.

Tanpa sepengetahuanmu Rena telah memanggil seekor elang dan seekor harimau putih. Ia mengirim elangnya ke tempat teman-teman berjubah putihnya berkemah. Ia harus memberitahu mereka bahwa ia telah bertemu denganmu, sang penghancur. Dengan begitu bala bantuan akan datang. Rena tak mau repot ambil resiko dengan melawanmu sendiri. Sementara, harimau putihnya ia kirim ke suatu tempat di bawah tebing sana.

Memanggil banyak hal bukanlah tanpa resiko. Rena adalah seorang Soul Summoner. Jiwa-jiwa yang ia panggil mengkonsumsi tenaga mana-nya. Namun ia bisa memutuskan secara cepat dan tepat. Misalnya saja: keputusan untuk serangan selanjutnya.

"Api dilawan dengan air," gumam Rena lagi.

Seketika itu juga banyak hewan bermunculan atas efek sihir pemanggil Rena. Beberapa yang paling mencolok adalah keberadaan dua gajah yang menyemprotkan air ke tubuhmu. Juga beberapa ular air raksasa—hewan magis yang dapat mengembuskan napas air dengan tekanan luar biasa, walau mereka nampak tersiksa karena tak ada genangan air di sana.

Perlahan, prajurit berzirah yang mengerubungimu mulai Rena hilangkan untuk menghemat mana.

Rena tahu satu hal. Tubuhmu berunsur api. Rena percaya apa yang dilihat mata birunya.

Sayangnya ada satu hal pula yang Rena tak tahu.

Itu bukan kelemahanmu.

Asap menyelimuti tubuhmu. Rena tak dapat melihatmu dengan jelas. Hanya siluet yang ia lihat. Rena menganggapnya pertanda buruk.

"Kenapa? Sudah terkesan sekarang?" tanyamu retoris.

Tubuhmu berubah cokelat tua, menyerap semua air yang membasahimu. Kecuali yang menguap ke udara. Kali ini unsurmu adalah tanah.

Rena tak menjawab secara lisan. Ia menjawab dengan menghilang dari pandanganmu. Tiba-tiba bunyi retakan terdengar dari sisi kiri kepalamu. Dilanjutkan dengan beberapa benturan pada tubuhmu dari depan dan belakang. Kau sadar betul itu semua berasal dari Rena. Gerakan wanita ini sangat—sangat lincah.

Saking lincahnya, sampai-sampai, kau berpikir bahwa Rena ada dua.

Tunggu, batinmu. Mereka memang ada dua … tapi yang satu lagi berambut merah.

Ialah Lena Chronoss—satu lagi putri Fronzo, Raja Land of Chronoss. Rena baru saja memanggil jiwa kakak kembarnya. Kau yang tak tahu menahu tentang sejarah Land of Chronoss hanya bisa mengidentifikasi mereka sebagai kembar identik dengan perbedaan pada warna rambut.

Tendangan terakhir yang mengakhiri serangan beruntun dua kakak-beradik itu membuatmu terempas ke belakang. Pelakunya adalah Lena. Untuk alasan yang tak begitu kau mengerti, kau merasakan tekanan yang lebih kuat dari tendangan Lena.

"Hahahaha! Lawanmu kali ini kurang menarik ya, Dik. Cuma zirah besar. Tak ada yang istimewa."

"Jangan lengah, Kak Lena."

Rena bereaksi pada ucapan kakaknya yang bersungut-sungut. Kedua wanita kembar itu mendarat di dataran kacau di bawah tebing. Jurang-jurang cukup curam akibat seranganmu yang berhasil Rena hindari sebelumnya. Rena percaya bahwa kekuatanmu bukanlah kekuatan yang bisa diremehkan saat melihat jurang-jurang itu.

"Heh, jangan panggil aku 'Kak Lena', Adik bodoh … padahal aku sedang berusaha misterius di sini. Padahal kan kalau dia manusia, pasti di wajahnya akan tampak ekspresi bingung melihat kita yang serupa," canda Lena.

"Jangan mulai lagi, Kak …" Rena mengingatkan. Lantas ia merasakan keberadaan harimau putihnya yang telah ia panggil untuk mencari sesuatu di sekitar sini.

"To-Tolong aku, ndree …"

Di antara jurang-jurang, dari balik semak, seekor harimau putih sedang asyik menggigit tabung hitam yang dapat berbicara. Ujarannya diakhiri dengan "ndre". Rena baru sadar bahwa keanehan gaya bicaranya tadi ternyata mengikuti gaya bicara tabung ini.

"Kerja bagus, ndree," Rena mengelus bulu rahang si harimau putih sebelum akhirnya hewan itu menghilang. Nampaknya Rena tidak terlalu terganggu lagi dengan gaya bicara itu.

"Terima kasih, ndree.  Aku tidak suka digigit begitu. Jahat sekali, ndree! Eh … eh … tapi makhluk besar itu lebih jahat, ndree! Ratu Huban bilang dia sang Wabah Arkais! Namanya Othema Spreed, ndree!"

Tabung yang cerewet, memang.

"Othema Spreed, ndree?" tanya Lena memastikan.

"Iya, ndree. Kita harus cepat pergi dari sini, ndree!!"

"Sejak kapan aku punya kewajiban untuk membawamu pergi dari sini, ndree?" sindir Rena dingin.

"To-Tolonglah, ndree … aku tidak bisa menggelinding dengan lancar di dataran yang bolong-bolong oleh jurang begini, ndree … kalau aku jatuh ke jurang, aku bisa kerepotan naik ke atas lagi, ndree …"

"Apa itu terdengar seperti masalahku?" sindirnya lagi.

"Tolonglah … aku terpisah dengan kereta pendorongku, ndree! Aku janji akan berguna!"

"Kereta kuda, ndree? Kau semacam tabung bangsawan, ndree?"

Tabung itu tak membalas pertanyaan Lena. Terdengar seperti bunyi menelan dari dalamnya. Ketika Rena dan Lena berbalik ke belakang, barulah mereka berdua tahu alasannya.

Logam-logam menghujam Rena, Lena dan tabung itu dari udara. Kau yang tadi terempas sudah kembali melayang, mulai memburu Rena dan Lena meski dengan kecepatan lambat. Tidak tanpa serangan balasan berupa serpihan logam. Rongga pada tubuhmu berkedut. Warna tubuhmu kembali seperti semula—krem.

Lena dan Rena bereaksi dengan cepat, namun tidak berlaku bagi si Tabung Hitam. Rena dan Lena secara refleks berusaha melindunginya, sampai tangan Rena terkena sedikit serpihan logam yang diempaskan olehmu.

Rena agak terkejut. Bukan darah yang keluar dari torehan luka logam, melainkan tangan Rena mengalami perubahan sementara menjadi api. Namun untuk menyembunyikan kecemasannya, Rena bertanya padamu.

"Hei zirah. Apa untungnya ini semua bagimu? Kau tahu berapa orang yang sudah kau bunuh?"

"Untungnya bagiku? Aku merasakan kemewahan dari semua ini. Bagiku mereka hanya berhenti bergerak. Tak lebih."

"Kau hanyalah zirah rusak. Tak seharusnya aku mengajak makhluk tak bernurani sepertimu bicara. Kau bahkan tidak seharusnya berada di tempat ini—di Land of Chronoss," tambah Lena.

"Aku bukan sekedar makhluk. Aku adalah makhluk representasi kehancuran. Aku adalah Othema Spreed!"

Logam-logammu masih bertebarang, namun kau sudah berniat mengeluarkan embusan angin pemusnah seperti yang kau lakukan pada tebing dan bangunan sekitar. Untuk itu, kau butuh sesuatu yang melayang di belakang punggungmu—kau menyebutnya aligheed, supaya menempel pada punggungmu. Meningkatkan daya dorong melayang sampai 50%. Menempelnya aligheed memungkinkanmu menyerap lebih banyak udara, sehingga dapat mengempaskan udara sangat panas dari kedua batu penghisap yang ada di tubuhnmu.

Batu berselang tersebut kau arahkan ke depan untuk memusnahkan Rena, Lena, Tabung Hitam serta sisa-sisa benteng kerajaan Chronoss di belakangnya.

Bagaimanapun, mereka tak tinggal diam. Terutama Rena yang sekarang bergerak lebih cepat.

"Kau harus belajar—untuk tidak meremehkan—" Rena melakukan somersault dari cakram yang menjadi tempat ia berpijak, hanya untuk berhasil menancapkan sesuatu pada visormu.

"—salah satu senjata terkuat kerajaan Chronoss!"

Sebuah belati memecah visormu. Belati Bulan. Begitu para penduduk Chronoss memanggilnya. Padahal visormu cukup keras. Tenaga Rena pun tak seberapa. Tapi belati itu dapat menembusnya.

"UUGGGHHAAAAAAGHKK …."

Suaramu bergaung di antara puing-puing bangunan dan batu tebing. Kau tak menyangka pecahnya visor bisa sesakit itu. Kau pun melayang tak tentu arah, berusaha menyingkirkan Rena dengan merangsek membabi buta.

"Apa maumu sekarang, ndree!?" Rena masih bergelantungan mengganggu kepalamu, tanpa sadar akan lilitan selang dari Tabung Hitam di kakinya.

Pertanyaan itu kau tanggapi dengan penuh amarah " AAAARRRGH! Tak ada lagi yang kuinginkan selain membuatmu berhenti bergerak!"

Tanpa basa-basi, kau merangsek ke segala arah. Menyerap udara sebanyak mungkin melalui rongga tubuhmu akan menghasilkan embusan angin pemusnah yang semakin kuat. Rena dan Lena mencemaskan hal ini. Mereka menggiringmu ke dalam jurang yang kau buat sendiri.

Lena melihat ada sumber air di bawah jurang. Lantas ia memanipulasi air, mengubahnya menjadi enam ular air raksasa yang seperti dibuat oleh Rena. Empat ular itu melilitkan tubuhnya untuk mengekangmu. Dua lainnya menembakan napas air bertekanan tinggi dari depan dan belakang. Kemampuan Lena bisa jadi sangat mematikan jika sudah menemukan sumber air.

Tubuh logam rentan karatmu sudah pasti bukan tandingan tekanan air destruktif yang perlahan mengoyak lempengan zirahmu. Kau terlalu panik untuk merubah unsur tubuhmu menjadi unsur lain. Kau merasa sangat tersiksa.

Namun bagaimanapun kau tersiksa, rongga udara tetap melakukan tugasnya. Sehingga pada saat kau tak tahan lagi, embusan angin pemusnah terpancar dengan brutal tanpa arah yang jelas.

Naas bagi Rena, Lena dan Tabung Hitam. Mereka terempas ke luar jurang. Air berhamburan. Saling berbenturan dengan batu dan tanah keras jurang. Jurang pun runtuh. Menyisakan lubang besar ke permukaan. Tepat ke arah sisa-sisa benteng kerajaan Chronoss. Tepat ke arah ruang-ruang perlindungan bencana yang ada di sana, sehingga bisa dipastikan nasib buruk menimpa orang-orang yang ada di sana.

Masih ada tenaga embusan angin pemusnah yang tersisa. Kau yang baru saja membumihanguskan seperlima wilayah benteng sebuah kerajaan berusaha susah payah keluar dari jurang. Tapi Rena dan Lena Chronoss dari kejauhan tak memandangnya sebagai prestasi.

"Kau … "

Sebaliknya, itu hanya membuat dua wanita kembar menjadi lebih geram terhadapmu. Kedua tudung putih mereka sudah tak menyembunyikan wajah. Tatapan dingin mereka lebih jelas bermaksud tak akan membiarkanmu lolos atas hal ini.

Nalurimu tak terkendali. Tak pandang makhluk hidup atau makhluk mati. Semua kau serang dengan sisa tenaga embusan anginmu sampai kau sampai ke bagian tengah benteng, Rena dan Lena nampaknya tak bisa berbuat banyak dari kejauhan. Kumpulan tenaga sudah berkumpul lagi di dalam tubuhmu, siap untuk ditembakan.

Rena mengucapkan mantra sihir pelindung. Kedua bola mata hijaunya memancarkan ketakutan, agak tersembunyi oleh ekspresi datar.

"Shield Summoning!"

Sebuah perisai transparan seukuran dua kali tubuh Rena memantulkan seranganmu ke berbagai arah. Rena tahu ini akan sangat merepotkan baginya. Jadi ia tak mau ambil pusing. Langsung saja ia keluarkan pertahanan terbaiknya. Mata hijau Rena menatapmu dalam kebencian.

Lena tak nampak lagi. Rena terlalu kelelahan untuk mempertahankan keberadaan jiwa Lena. Mananya banyak terkuras. Bala bantuan yang ia harapkan tak kunjung datang. Ia pun berlutut kelelahan.

"Kau … kau pasti ," gumam Rena. Ia tersadar akan sesuatu saat nama kerajaan Barbatos terucap dari lidahnya, "Barbatos … kerajaan Barbatos!? Itu kan kerajaan yang menghancurkan tempat ini … berarti tempat ini sudah …!?"

"Tepat sekali. Rena Chronoss."

Kata-kata Rena di sela oleh suara sesosok gadis berkepala bantal. Saat itulah Ratu Huban muncul. Ia lantas melanjutkan berbicara, "Ini adalah mimpi idealmu, Rena Chronoss. Tempat ini seharusnya sudah hancur sejak lama. Sangat membahagiakan bukan bisa tinggal dan berkeluarga di sini? Aku saja sangat bahagia melihat kau bahagia seperti ini. Tapi seperti yang kau sadari sekarang, ini adalah mimpi idealmu."

Mata hijau Rena terbelalak melihat sosok Ratu Huban. Kepala bantalnya tak asing bagi Rena. Itu adalah bantal yang senantiasa ia rawat selama ini—ia tak paham sudah berapa lama sesungguhnya sejak ia bermimpi. Itu adalah bantal ungu yang hampir selalu menemani anaknya, Lulu Chronoss dalam setiap tidurnya. Bantal yang sampai harus berkali-kali Rena ambil diam-diam dari Lulu tatkala fokusnya sedang teralihkan untuk dicuci agar tetap bersih untuk anaknya.

Rena masih tak percaya.

Kepala Ratu Huban adalah bantal favorit Lulu.


***


Kau melayang masih tak tentu arah 28 hari lalu saat dua sosok terlihat di atas sebuah dataran silinder ungu. Satu adalah Ratu Huban, entitas yang berusaha kau hancurkan di lain hari kau bertemu dengannya. Satu lagi cukup unik; nampak berbentuk tabung lonjong berwarna hitam, dipasang diagonal pada sebuah rangka besi penyangga. Jaraknya agak jauh berseberangan dengan Ratu Huban.

"Sejujurnya aku pun tak ingin. Hanya saja ini sesuatu yang harus kulakukas. Ini kehendak Sang [Kehendak]. Jadi aku tak akan protes~"

"Apa aku akan menemukan kebenaran sejati jika mengalahkan mereka, ndree!?" tanya suara di seberang sana, kau sinyalir berasal dari si Tabung Hitam.

"Hohoho. Tentu. Yang harus kau lakukan sederhana, bukan!?"

"Ini sama sekali tidak sederhana, ndree … Aku tidak ingin menyakiti siapa-siapa, ndree …"

"Bedanya, kali ini kau boleh membunuh semuanya. Mengamuklah~"

Mendengar kata-kata itu, suara di seberang sana berubah panik, "Tu-Tunggu, ndree!? Bagaimana kau tahu tentang masa laluku, ndree!?"

Namun terlambat. Ratu Huban sudah tak lagi di sana. Bayangannya memudar ditelan aurora di langit redup yang bergeming. Tak ada lagi kata-kata yang dilontarkan oleh suara di seberang sana.

Kau hanya melayang di sana sejenak, lalu arus Alam Mimpi membawamu ke tempat lain, tempat dengan Ratu Huban di dalamnya..

"Aku tak suka caramu mennghasut.tabung itu tadi."

"Menghasut?? Ahahaha. Kosakatamu terbilang unik untuk makhluk yang baru sebentar menghabiskan waktu di Alam Mimpi." Ratu Huban tahu bahwa itu hanyalah pengaruh dari Alam Mimpi itu sendiri. Alam ini—sesuai namanya, bisa menyampaikan maksud makhluk yang tinggal di dalamnya dengan lebih jelas, secara sempurna seperti di dalam mimpi.

"Kau bohong. Bilang saja kau tidak suka padaku," sahut Ratu Huban.

"…."

Kau tak tahu mau membalas apa.

Rau Huban pun bergeming sejenak, sebelum mengumumkan, "Zainurma bilang Sang [Kehendak] menghendakimu menghancurkan. Jadi hancurkanlah~"

Ratu Huban mengayunkan tongkatnya.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

Pandangan visormu kabur.

Sejak saat itu hasrat kehancuran tak mampu kau bendung.

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

Kau sempat mendengar samar.

Sebuah nama yang dimulai dari huruf R.


***

Seorang wanita bernama Rena Chronoss mati tertusuk kaki tunggalmu yang tajam. Kau tak menyangka akan sangat mudah membuatnya mati saat ia berlutut kelelahan. Mengingat kecepatannya yang luar biasa, kau sungguh tak perlu repot jika ia diam. Ratu Huban hanya berdiri di sana menyaksikan kematian itu dengan ekspresi wajah bantalnya yang tak bisa kau tebak.

Kau mulai merasa ini semua salah.

"Aku Galondrreeeee! Pahlawan Battle of Realms NomiNate! Aku pembela kebenaran, ndree!"

Tabung Hitam berseru dengan suara agak bergetar. Ada bekas air mengalir di tubuhnya yang keluar saat ia melihatmu menusuk tubuh Rena Chronoss. Namun kau terlalu malas untuk meladeni. Padahal sedari tadi Tabung Hitam itu menembakan cairan asam, peluru-peluru dan gas yang melelehkan tubuh logammu. Bentukmu sudah tak karuan.

Kau merasa aneh. Kau sedang berada dalam posisi tak lagi merasakan sakit.

"Dapat! Darahmu kupegang kendalinya sekarang, ndreee …. Kau tak bisa—"

Sebelum tabung itu menyelesaikan deklarasinya, badanmu telak menabraknya. Ia terkejut. Pasti terkejut. Padahal jawabannya sederhana. Kau sama sekali tak memiliki darah.

Percuma.

Ratu Huban lantas mendekati si Tabung Hitam.

"Sssst. Mau kuberitahu kamu satu rahasia? Kamu bukan Galon loh," ujarnya dengan nada menggoda.

"A-Aku … bukan Galon, ndree!?" sahut Tabung Hitam tak percaya, "Jadi siapa aku, ndree?"

"Hihi. Lihat saja sendiri."

Ratu Huban mendorong Tabung Hitam ke hadapan sebuah es. Refleksi bayangan pada e situ menunjukkan wujud si Tabung Hitam sebenarnya. Badannya sesungguhnya sangat kecil. Ia berbulu. Wujudnya persis seperti tikus tanah, namun dengan ukuran setara dengan manusia anak-anak umur 6 tahun.

"H-H-Homolg, ndre … aku seekor Homolg, ndree?"

"Hahahaha! Lucu sekali kau tiba-tiba tahu dengan sendirinya. Kau memang Homolg dari awal, loh. Tak ingat? Sama sekali?" Ratu Huban memiringkan kepala ke arah kiri, mencoba menatap mata Homolg itu secara vertikal. Mata yang sebelumnya tentu saja takkan nampak dalam wujud tabung.

"HUAAAAAAA!"

Panik, si Homolg itu mengeluarkan gas bayangan. Kau tahu ini pasti kemampuan Tabung Hitam walapupun makhluk itu nampak sepeti tikus tanah. Seharusnya ini adalah kemampuan untuk mengalihkan perhatian dan melarikan diri. Kau gelengkan kepala pelan. Tak ada apa-apa di kanan-kiri. Kemana dia?

Di sana rupanya.

Kau mendapati Ratu Huban sedang berbisik pada si Homolg.

"Kau … Apa itu benar, ndree? Setsu? Yang mengatur semua ini, ndree?"

Tak terjawab. Pertanyaan terakhir Homolg itu sama sekali tak diacuhkan olehmu. Kau pun tak yakin dengan maksud kata-katanya. Tapi kau terlampau yakin untuk mengahcurkannya.

Embusan angin pemusnah dalam jumlah sedang berhasil kau empaskan tepat ke arah si Homolg dan Ratu Huban.

Ratu Huban menghilang; terhindar dari seranganmu.

Si Homolg menghilang; mati.

"Makhluk tak berguna," Kau bergumam seakan lirih, tak yakin dengan apa yang kau rasakan.

"Bravo, Othema Spreed."

Pertunjukan tumpah darah adalah alasan kau diberi selamat oleh Ratu Huban.

"…."

"…."

"Aku ingin menghancurkan lebih banyak," katamu kemudian datar.



***


Beberapa waktu berlalu.

Kau tak yakin berapa.

Ratu Huban yang biasa menghitung hari.

Kau tak peduli.

Pada suatu masa, kau beranikan berpendapat.

"Kau terlalu patuh pada entitas yang kau sebut dengan Sang [Kehendak] melalui perkataan Zainurma, Ratu Huban. Kau bahkan tak berani mengungkapkan mimpimu sendiri."

"…."

"Katakanlah, Ratu Huban. Apa mimpimu!?"

"…."

Tidak ada jawaban. Ratu Huban mengalihkan bahasan.

"Aku dan para makhluk mimpi lainnya akan terus berada Museum Semesta ke tempat lain untuk sementara. Sang [Kehendak] telah bangkit. Jadi kami akan sangat sibuk. Selebihnya berbuatlah sesukamu, Othema Spreed. Hancurkan semua-muanya pun tak apa …." Ratu Huban berhenti bicara sebentar untuk memandangi aliran-aliran warna di langit Alam Mimpi, "Aku takut bahwa ini berarti selamat tinggal." Nada Ratu Huban murung.

"Fakta bahwa aku tidak dapat menghancurkan kalian membuatku kesal," jawabmu dengan nada serupa.

"Senang bisa bermain denganmu, Othema Spreed."

Untuk kesekian kalinya kau arahkan lagi embusan angin pemusnah pada Ratu Huban. Namun ia sudah transparan ditelan portal. Sudah ada jutaan tempat setelah Land of Chronoss yang kau porakporandakan. Kau tak tahu ini di mana. Yang jelas kau arahkan saja embusan angin pemusnah sekenanya.

Ledakan.

Ledakan.

Ledakan.

Akhirnya di suatu titik bagian tubuhmu meledak. Diikuti dengan ledakan lainnya.

Satu.

Dua.

Tiga.

Kau tak merasa heran. Malah, kau merasa ini sudah seharusnya, Kau sudah lama.

Visor di kepalamu bereaksi. Kau menelisik tubuhmu yang kian cacat termakan ledakan. Setelah semua yang terjadi, kau tetap bertanya-tanya. Apa ini berarti kau tidak akan pernah cukup kuat untuk bertahan di alam ini?

Saat itulah suara-Ku mencapaimu.

Aku adalah Tuhan.

Segala pertanyaanku hanya retorika.

Atas perintah-Ku, pilar-pilar di sekitarmu runtuh. Hal yang sama terjadi pada gunung-gunung di ujung horizon. Bedanya, mereka tak hanya runtuh, tapi juga berhamburan ke segala arah. Kau dengan penuh rasa sakit berusaha menoleh hanya untuk mendapati batu-batu dan tanah beterbangan tak tentu arah.

Suara jiwamu meninggi tatkala ledakan demi ledakan menghancurkan bagian tubuhmu. Tak ada satu makhluk pun yang dapat mendengarmu. Aligheedmu tak terkecuali. Kau tak butuh itu lagi, lagipula. Kau sebenarnya berharap ledakan akan menghancurkan Alam Mimpi. Menghancurkan semuanya –harapan sederhanamu yang bagaimanapun, Aku melarangnya. Karena hal-hal tak akan lagi menarik. Tak peduli seberapa gigih kau hancurkan, seluruhnya dengan mudah akan Kuciptakan lagi.

"…."

Tak ada lagi suara atau bunyi yang terdengar. Tak ada lagi udara yang mengalir. Semesta yang disebut Alam Mimpi sirna bersama dirimu. Tak berbekas. Kau sudah selesai.

Kau tak perlu lagi berperan.

Sekarang, mimpi itu telah selesai.

11 komentar:

  1. FIRST!!! Oke, mulai review.

    Aw... Why did you become sooo evil Othema? You look so cute together with Huban XD

    Aku suka sama PoV yang dipakai di entri ini. PoV 1 dengan "aku" yang diganti dengan "kamu". Pembaca benar-benar merasa jadi Otohema waktu baca entri ini. Narasi juga mengalir lancar dan jelas, kecuali bagian akhir yang agak membingungkan, tidak mudah dicerna.

    Ada ketidak konsistenan dalam PoV, kadang berganti menjadi PoV 3 untuk menyorot karakter lainnya.

    Ini mengecewakan, waktu pertama baca charsheetnya Othema aku kira dia karakter badass yang mem-"Fusrodah" lawan-lawannya, tapi yang kubaca? Dia hanya diam, membiarkan Rena menyeranghnya habis-habisan, hanya menyerang balik sekali dua kali saja.

    Sorotan battle dilahap Rena. Galon terasa seperti figuran tidak beruntung yang kebetulan lewat, tak beraksi sama sekali.

    Overall enjoyment aku dapat dari bagian awal hingga tengah. Aku sarankan konsisten dengan PoV yang digunakan, silahkan ganti PoV sesuka hati, tapi beri transisi yang membuat pembaca paham PoV berganti.

    Nilai : 6

    OC : Begalodon

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai overlord. Thanks udah mampir!

      Saya juga kecewa setelah baca ulang. Pengen lebih panjang lagi pertarungan Othema Spreed ini biar memfusrodah dengan badass orang2(?) di alam mimpi ini. /plak. Kemampuan nulis saya belum mumpuni utk itu spertinya, malah cukup enjoy ceritain othema x ratu huban ;)

      Hahahaha. Iya nih. Maaf ya pov sengaja dicampur. Karena si Tuhan yang cerita. Ini sok-sokan coba eksperimen. Ternyata memang bakalan sulit kalo dicampur ya. TCOS juga saya bikin agak begini.

      Ingin juga eksplor relationship dengan galon karena notabene dia dan othema sama2 inhuman. Maafkan saya, 1550.

      Anyhow, nantikan kunjungan balik saya, sekilas kemaren baca, resepsinya bagus. Congrats!

      Hapus
  2. Let me love you, Othema ♥

    Yang paling kusukai adalah penggunaan PoV, dan pergantian antar PoV sama sekali tidak menggangguku (mungkin karena paham alurnya) #diinjeg

    Kisah masa lalu Othema dan kisah Othema x Ratu Huban lebih terasa daripada pertaruangannya dg Rena dan si Gallon. Kasian si Gallon kurang dapet perhatian dari penulis, padahal Mbak Rena mendapat perhatian

    9 untuk Othema karena usaha untuk menggunakan PoV "kamu" dan aku memang menyukainya

    kuharap di BoR 6 jg memakai PoV seperti ini

    OC : Rea Beneventum

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks Anastasia! Sukses juga buat Rea!

      Untuk BoR6 masih saya pertimbangkan povnya, masih ada kandidat karakter yang mungkin kurang cocok pov 2. Kita lihat saja nanti :))

      Hapus
    2. Thanks Anastasia! Sukses juga buat Rea!

      Untuk BoR6 masih saya pertimbangkan povnya, masih ada kandidat karakter yang mungkin kurang cocok pov 2. Kita lihat saja nanti :))

      Hapus
  3. Inovasi PoV aaaaaaaa

    alur cerita cukup mumpuni, cuma buat adegan action sendiri sayangnya kurang nendang. Dan transisi PoV sayangnya serasa gak halus. Maksudnya, di bagian awal wah udah oke nih PoV-nya. Mendadak pas cara penyampaiannya berubah, saya masih kurang ngeh itu ganti PoV. Tapi mungkin itu saya aja sih :x

    Dan karena lawannya kurang diolah dengan apik juga, ini jad hal yang disayangkan buat entri ini.

    Sebagai penutup dari sekian entri yang ada di FBC, saya berikan nilai 8 deh.

    Salam Super dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks enryuuusron! Sukses juga buat si ular robot!

      Hapus
  4. Well, berani menggunakan "POV2 nan mitos" itu sungguh perlu diacungi jempol. Namun resikonya tentu banyak. Saya sendiri merasa agak asing ketika 'dipaksa' menjadi Othema, pun dia bukan manusia melainkan makhluk serupa robotik ajaib. Dengan demikian proses identifikasi saya sebagai pembaca untuk masuk ke sudut pandangnya Othema menjadi lebih sulit. Resiko lainnya adalah penyajian narasi yang jadi terkesan monoton. Pembaca, yaitu saya, disuguhi deretan kejadian 'kamu begini, kamu begitu, kamu bilang ini mereka tampak begitu, dsb.' Kurang kerasa bumbu narasinya karena penulis terlalu berfokus pada POV mitos ini.

    Bagaimanapun, secara umum sebenarnya adegan pertarungannya sudah baik. Karakterisasi ndre-nya juga sudah dikejar, bahkan latar belakang Chronoss juga ditampilkan (sampai pada Lulu segala). Tinggal eksekusinya saja~

    Gitu aja komentar dari saya

    Poin 7+

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah. Thanks bang hewan. Ini saya juga rada ragu awalnya. Sebelumnya saya pake pov ini juga buat draft entri TCoS, yang notabene OCnya masih manusia, jadi lebih relatable. Tapi kalau kasus Othema ini sih beneran pemaksaan ya. Hahahaha.

      Hapus
  5. Ini...
    Asik...

    Seandainya ini bukan suara Tuhan, entah itu malah eksistensi lain mungkin twistnya asik.

    Kalau ini dibentuk jadi prosa, kayaknya bakal lebih sempurna.

    Dan ternyata Cata dan othema sesama penyelamat (penghancur) hahahahahahah.

    Aye suka, tapi karena ada tapi, aye kasi nilai 8.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks bang dhiko! Tos boleh lah ini Othema sama Cata. Hahaha.

      Hm, bener juga. Mungkin kalau Zainurma atau Sang Kehendak bisa jadi lebih menarik ya twistnya. Terlanjur pake narasi mind reading nih di awal. Jadi, Tuhan aja deh ;)

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.