Minggu, 06 Maret 2016

[FBC] 022 - ELEANOR TIFFANY

ELEANOR TIFFANY
VERSUS
ROGER DANIEL
MLIIT
MIMA SHIKI REID
[Tantangan NV6]
oleh: Lazuardi Pratama

---

Suatu Hari dalam Drama Dinihari

Pada suatu hari, aku bermimpi mimpi yang tidak lazim. Biasanya aku bermimpi soal Papa Jack yang kehilangan giginya dalam balapan sepeda roda tiga. Atau soal seorang perempuan yang rasanya kukenal dekat, tapi wajahnya tidak ada, yang melenguh menggairahkan karena kunaiki pinggulnya. Biasanya mimpi-mimpi itu hanya sekejap saja muncul, hingga kemudian aku terbangun karena suara Harley Davidson milik Uncle Penny yang digeber setiap pagi.

Malam itu aku baru pulang dari kedai kopi. Akhir-akhir ini punggungku agak gampang encok setelah menendang pantat orang.

00.56 waktu setempat.

Aku langsung rebah di sofa butut berwarna merah. Dulu merahnya seperti merah lipstik janda-janda di kelab malam Grab and Grape. Tapi sekarang, ia sudah agak gelap karena daki—ya, ini ulah Captain, anjingku, walaupun sebenarnya dakiku turut berkontribusi. Beberapa busanya sudah menyembul di beberapa bagian. Captain suka memainkan itu kalau dia bosan. Apa mungkin dia juga yang membuat busa itu keluar dari sofa?

Aku menatap anjingku itu tertidur di karpet ruang tamu. Tapi dia kemudian beranjak terkejut. Aku pun juga terkejut, sebab kulihat dengan mata kepalaku sendiri seorang gadis seksi berkepala bantal. Bantal? Ia berdiri di belakang pintu depan memegang semacam sekop. Captain lekas menyalak lantas menggigit sekop yang gadis kepala bantal itu pegang.

Aku sebenarnya cukup terkejut. Tapi ini mungkin halusinasi. Belakangan aku sering melihat gambar Yesus di dinding yang kotor. Atau Bunda Maria di permukaan kue bolu. Kali ini mungkin malaikat maut yang datang menjemputku. Malaikat maut berkepala bantal? Mungkin inilah saatnya aku kalah dari penyakit sialan ini. Tapi gadis malaikat maut berkepala bantal itu seksi sekali dengan bikini merah mudanya.

Aku jadi semakin mengantuk. Ini mungkin sakaratul maut.

Gadis itu itu melemparkan sekop kecilnya ke dapur sambil menyumpah serapah. Captain dengan bodohnya mengikuti.

Kurapal puji-pujian pada Tuhan.

Gadis itu melesat ke arahku. Dekat sekali hingga kemudian...

...aku terlelap.

Kalau aku tidak jadi mati, mungkin ini mimpi basah. Pada kenyataannya, aku memang tidak mati.

***

Entah kenapa tiba-tiba aku merasa harus menendang pantat orang. Hah, dari mana keinginan ini? Oh, well, kurasa kalian pun juga tidak perlu tahu, sebab aku pun juga tidak tahu.... tapi, yang yang terpenting adalah aku ingin segera menendang pantat orang sekarang.

Aku membuka sebelah daun pintu dari sebuah kedai minum. Terbaca pada papan penunjuk nama di atas pintu: Tavern of the Black Alley. Kutaksir pemilik kedai pasti penyembah setan atau penggemar berat Rammstein.

Tiba-tiba di luar turun hujan ketika aku masuk ke dalam kedai. Lebat sekali dengan petir menyambar-nyambar. Kaca pintu bergetar karena geledek. Kedai ini tampaknya sudah mau tutup.

Seorang bartender berdiri membelakangiku di balik meja bar. Kedua tangannya bergerak di depan perutnya, ia mungkin sedang menggosok cangkir yang tidak kotor. Tipikal.

Di depan meja bar itu, dengan kursi-kursi tanpa sandaran, duduk dua orang... tidak... tidak... Oh Tuhan! Itu seekor kodok besar! Apa dia boneka? Cosplay?! Mereka duduk berjauhan, seorang wanita di ujung kiri dan si kodok besar itu di sebelah kan.... ah tai! Kodok itu bergerak.

Bartender tadi itu lekas berbalik menyambutku ketika aku datang. Ia tidak mengatakan kedai ini segera tutup. Baru kusadari tidak ada jam dinding di sini. Ia mempersilakan aku mengambil tempat duduk.

Si bartender tersenyum hambar ketika mataku melirik-lirik pada kodok bergerak itu. Senyum itu bukan senyum meminta maaf atau merasa bersalah, tapi senyum karena kewajaran atas sesuatu. Sembari mata tetap menusuk tajam si kodok itu, aku mengambil tempat duduk tepat di tengah mereka.

“Bourbon, tolong,” ujarku pada bartender.

Kulirik wanita di sebelah kiriku, rupanya ia sedang menangis. Wajahnya tertutup rambut hitam yang legam. Ia kelihatan cantik dari sini, mirip Faye dalam Cowboy Bebob, kartun masa kecil.
Kulirik bartender, ia malah menaikkan bahu.

Jadi dengan semangat kejantanan dan didukung oleh niat yang mulia serta prinsip menolong sesama, aku mengambil kursi tidak jauh dari si wanita. Si kodok melihatku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Kau harusnya mengerti aku, air wajah kodok berbeda dengan manusia.

Kuberitahu kepadamu, kawan, dalam keadaan seperti ini, wanita ingin didengarkan. Jadi kuselipkan dulu kata-kata andalanku di balik lidah. Aku meletakkan tangan di atas meja, kemudian menghembuskan napas panjang.

“Laki-laki itu semua sama saja!” kata si wanita sesenggukan. Suaranya seperti artis Hollywood Margot Robbie, seksi dan tajam. Mendengar itu aku menarik napas lagi, tapi tidak sepanjang yang pertama.

“Si kurap sialan itu selingkuh lagi. Dasar kodok bantet!”

“Aku tahu aku salah, sayang, tapi tolong dengarkan penjelasanku dulu.” Si kodok di ujung kanan sana tiba-tiba menimpali. Suaranya mirip Daniel Craig. Anjay! “ Tolong jangan panggil aku kodok bantet, kau mempermalukan aku di depan umum, dan hei, tuan....”

“Eleanor Tiffany. Leanor saja cukup,” jawabku.

“Ya, Leanor, tolong jangan campuri urusan keluarga kami,” kodok itu memperingatkan.

Si wanita cantik itu kemudian menangis tersedu-sedan. Hujan di luar masih lebat, dalam pekat, dan gelap. Tiba-tiba terdengar suara petikan gitar, dari sudut kedai yang kosong.

This is my least favourite life

The one where you fly and I don’t

Itu suara seorang wanita. Ia seperti anak emo, tapi tanpa celak di mata. Celana jeansnya bolong di lutut dengan tank top putih. Ia memetik gitarnya sambil memejamkan mata. Entah dari mana datangnya dia, sebab dari tadi sepertinya tidak ada setelan panggung.

“Sudah berapa kali lelaki itu menipuku,” kata si wanita cantik, masih sambil menangis.

Aku tidak mengacuhkan si kodok, malah kemudian mengambil tempat duduk di sebelah si wanita cantik. Si kodok melihat tindak-tandukku kemudian melemparkan tangannya ke atas sambil menyumpah.

“Ini sudah kedelapan kali dia tertangkap basah bersama wanita lain. Aku tidak tahu ada berapa kali lagi yang aku tidak tahu. Aku sudah berusaha semampuku menjadi istri yang saleha untuk dia,” wanita itu mengusap ingusnya dengan sapu tangan, kemudian menyelipkan sejumput rambut di daun telinganya. Itu membuat sebagian wajahnya kelihatan. Dagunya tajam, pipinya tirus, dan matanya hijau. Ceraikan saja suamimu, ikutlah denganku, nanti kubawa kau ke tempat yang cuma kita berdua punya. Aku tersenyum bejat.

A kiss holds a milion deceits

And a lifetime goes up in smoke

“Ini hari ulang tahun pernikahan kami yang kedelapan. Aku sudah menyiapkan kue buatanku dan mendekor rumah agar dia senang. Apa mungkin menurutnya kueku tidak enak? Tapi sampai sejam yang lalu dia tidak datang-datang, jadi kubuang semua kue dan dekorasi itu ke depan rumah, lalu minum-minum di sini... aku tidak salah kan kalau aku minum-minum sekali ini? Tapi apa yang kutemukan di sini? Si kurap itu duduk semeja dengan wanita lain!”

“Aku tidak masalah dia duduk dengan wanita lain. Maksudku, setiap pria berhak duduk dengan wanita lain, entah itu masalah pekerjaan atau bisnis, tapi tidak di hari ulang tahun pernikahan kami, di sebuah bar, sampai larut malam!”

Si wanita berwajah manis ini kemudian meledak tangisnya. Aku ingin menawarkan sapu tanganku, tapi setelah kupikir-pikir tidak usah. Sapu tangan ini lebih sering kupakai mengelap bagian-bagian yang tak perlu kusebutkan di sini.

Bagian-bagian motor maksudku.

This is my least favourite you

Who floats far above earth and stone

Jadi kuminta sapu tangan dengan kode mata pada bartender. Ia malah memberikan serbet. Bajingan tidak pengertian. Tapi si wanita bermata cantik itu menerima serbet itu dan mengelap ingusnya.

The night that I twist on the rack

Is the time that I feel most at home

Si kodok itu kemudian memukul meja dengan kedua tangannya. Tangan itu lebih baik kita sebutkan kaki, sebab binatang itu berkaki.

“Tuan, tolong menjauh dari istriku...”

“Jangan sebut aku istrimu!”

“Keluarga kami sedang dalam turbulensi, aku harap tuan menunjukkan sedikit respek dengan tidak mencampuri urusan kami.”

“Oke, oke, tuan kodok, kukira aku tidak sepenuhnya mencampuri urusan keluarga orang lain, sebab menurutku, tidak ada yang berhak membuat wanita cantik menangis, kau tahu, pasti ada yang tidak beres, jadi maafkan intuisiku, tuan,” aku bilang.

“Terima kasih atas pengertiannya, tuan,” kata si kodok. “Sebaiknya kita pulang, Mima. Kau tidak perlu membawa Roger ke sini.”

Aku tidak memperhatikan bila ternyata ada seorang anak di sini sebelum si kodok menyebutkannya. Kualihkan sudut pandanganku pada sebuah set kursi dan meja di pojok kedai. Anak itu sedang bermain papan permainan dengan khusyuk. Ia seperti tidak terpengaruh oleh pertengkaran ini.

We’re wandering in the shade

And the rustle of fallen leaves

Sekonyong-konyong Mima melempar kursi yang ia duduki pada si kodok. Tapi untungnya lemparan itu tidak akurat. “Diam kau tukang selingkuh! Bajingan impoten! Seharusnya aku tidak pernah menikah denganmu!”

Peristiwa ini terjadi begitu cepat.

“Kau yang awalnya menginginkan kita menikah, wanita tak tahu diri!”

“Jangan kau berpura-pura bodoh, babi! Kalau tidak karena kecerobohanmu malam itu...,” Mima mengusap-ngusap ingusnya yang sudah bercampur dengan air mata.

“Dengar, dengarkan aku, Mima,” si kodok mengangkat kedua tangannya ke depan, berusaha menenangkan suasana. “Kita tidak perlu sampai seperti ini. Oke oke ini salahku. Aku minta maaf.”

“Simpan permintaan maafmu itu di neraka, sampah! Aku akan mengajukan cerai!”

“Mima, Mima, sayangku, sudah berapa kali kuberi tahu, wanita yang kutemui tadi itu teman sekolahku dulu. Dia baru datang dari luar kota dan sedang mencari hotel di sekitar sini. Kau harusnya mengerti.”

“Di hari ulang tahun pernikahan kita?! Kau bisa saja memberinya arah jalan menuju hotel, tak perlu sampai minum di kedai, kan?!”

“Mima... Mima... aku punya penjelasan.”

“Ah, babi kau!”

Mima membenturkan kepalanya ke meja bar. Si kodok tertunduk lesu. Si bartender diam-diam memungut kursi yang dilempar Mima tadi.

“Whoa... whoa... tolong maafkan aku lagi, tuan kodok, aku tidak bermaksud menyela atau mencampuri urusan kalian lagi, tapi... eum... menurutku pertengkaran ini tidak baik bagi Roger, dia anak kalian, bukan?”

“Dia tuli,” ujar si kodok, masih tertunduk lesu.

A bird on the edge of a blade

Lost now forever, my love, in sweet memory

Aku mengangkat kedua tanganku di atas bahu, berusaha keluar dari situasi yang rumit ini. Si kodok kemudian berusaha mendekati Mima, tapi ditolak mentah-mentah. Si bartender menggosok-gosok cangkir yang tak kotor. Sementara aku, menyingkir ke sudut ruangan. Anak bernama Roger itu menarik perhatianku. Kulirik kedua orang tua mereka, tak sadar kalau aku perlahan-lahan mendekati anaknya. Saat kami sudah dekat, kulihat Roger ternyata bermain ular tangga.

Aku mengambil posisi duduk di seberangnya. Dia tuli, tetapi kurasa dia menyadari kehadiranku. Ia mendongak, kemudian tersenyum. Ia lalu mengambil sebuah catatan dari tas lusuhnya, kemudian menulis sesuatu dan menyodorkannya padaku untuk kubaca.

“Maafkan mereka, tuan, mereka sering bertengkar, tapi papa dan mama sayang sama Roger.”

Aku melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Ingin kukatakan tidak masalah, tetapi ia pasti tidak dapat mendengar. Ia kemudian mengambil kembali catatan itu, lalu melempar dadu, menggerakkan bidaknya, kemudian menulis lagi:

“Kau tahu, tuan, apa yang aneh dari ular tangga?”

Aku menggeleng.

“Pak Guru bilang ular makan dari mulut, tapi di permainan ini mereka justru makan dari ekor, kemudian buang air dari mulut. Aneh, bukan?”

Anak ini benar. Aku tidak pernah memperhatikan hal itu sebelumnya. Kupikir kalau peraturan ular tangga menghendaki kita kembali ke posisi bawah karena kena buntut ular, maka kita harus ikut.

“Mungkinkah ada ular yang memakan makanannya lewat ekor, tuan?”

Aku berpikir sejenak, lalu menggeleng.

“Tangga ini juga aneh, sepengetahuanku papa selalu pakai tangga tegak lurus ketika membetulkan antena televisi, kira-kira kenapa kita bisa naik padahal tangganya miring?”

Aku memperhatikan ular tangga yang ia mainkan. Dari empat bidak yang tersedia, ia memainkan tiga bidak warna kuning, biru, dan hijau. Aku mengangkat bahu.

Ia mengambil kertas catatan itu tadi, lalu menulis lagi: “Dulu kupikir papa itu ular dan mama itu tangga. Papa selalu jahat pada mama, mama jadi sedih, tapi mama sering marah-marah dan menangis, mereka selalu bertengkar dan tidak pernah baikan.”

“Tapi papa tidak jahat sama Roger, mama juga kadang lupa main sama Roger karena selalu sedih,” Roger kemudian terdiam sejenak. “Roger ingin main ular tangga bareng papa dan mama.”

Aku terperangah, sementara Roger melanjutkan permainannya. Kuperhatikan Roger melempar dadu dan menggerakkan bidak-bidaknya secara berurutan sambil mendengar pertengkaran ayah dan ibunya. Penyanyi di sudut lain bar ini bernyanyi sambil menyayat hati. Aku tertegun.

The station pulls away from the train

The blue pulls away from the sky

The whisper of two broken wings

Maybe they’re yours, maybe they’re mine

This is my least favourite life

The one where I am out of my mind

The one where you are just out of reach

The one where I stay and you fly

Aku tidak tahan lagi.

Kuraih pistolku dari sarungnya, lalu kutembakkan ke langit-langit. Mima dan kodok itu kaget sambil mengarahkan perhatian penuh padaku. Si bartender juga berhenti mengelap cangkir yang tidak kotor itu, sebab telah pecah jatuh ke lantai.

Jesus! Mimpi apa ini?!”

Aku bergegas menuju pintu. Aku mau pergi dari sini. Hujan di luar masih lebat, tiada tanda-tanda akan berhenti. Kubuka pintu bar tapi keadaan di luar membuat aku terpana.

Di luar tidak hujan, tapi... entahlah... semuanya warna abu-abu. Tidak ada jalanan aspal, trotoar, air hujan, ataupun geledek. Tidak ada suara-suara barang sekecilpun. Semuanya abu-abu, datar dan senada selepas dari pintu bar.

Aku berbalik, hendak mempertanyakan semua hal. Tapi Mima, wanita cantik itu, si kodok bantet, dan si bartender kurang kerjaan sudah lenyap. Panggung beserta penyanyinya juga menghilang. Semua tampak seperti bar tanpa orang-orang tadi. Roger! Iya, Roger! Kualihkan pandanganku ke pojokan kanan, melewati ujung mataku. Roger masih di situ, dengan ular tangganya, tapi dia tersenyum lebar, bibirnya melintang dari telinga ke telinga.

“Ah, tai.”

Kutembak dia membabi buta. Sekonyong-konyong dia menghilang.

I’m wandering in the shade

And the rustle of fallen leaves

A bird on the edge of the blade

Lost now forever, my love, in a sweet memory

Aku terbangun di pagi hari karena jilatan lidah Captain. Peluh membanjiri pakaianku. Tadi itu mimpi aneh. Tapi masa bodoh, saatnya memberi makan anjing yang kelaparan ini.



Catatan: Lirik berasal dari lagu My Least Favourite Life yang dipopulerkan Lera Lynn. Lagu ini juga dinyanyikan dalam seri True Detective oleh HBO.

13 komentar:

  1. www apa pula ini laz, kacolah, ada pula istri saleha minum2 di bar :v
    anyway, secara cerita saya sih ngerti, cuma rasanya asal lewat gitu aja, OCmu mimpi dan udah gt aja, ga ada sesuatu yg engaging buat melek dan penasaran. Yang saya dapatkan adalah kesan santai, ringan, dan weird...yah, selayaknya mimpi, walau sebenarnya ga ada poin battlenya di sini. Semua building OCnya beneran jadi useless walau ya, ini bisa dibilang sesuai dengan tantangan OOCnya sih, tapi ya jadi ga ada serunya.

    Overall sih enak dibaca walau engga terlalu membekar.
    Poin dari saya 7 ya~

    BalasHapus
    Balasan
    1. membekas :v what the dimas, bisa2nya s jadi r :v

      Hapus
    2. Iya juga ya, saya baru sadar ternyata saya nggak ngasih banyak porsi karakter saya di sini. Paling sih ngasih tau aja gimana cara Leanor berpikir. Tengkiu dims :*

      Hapus
  2. eh iya
    OC: Emoar Cyanith

    BalasHapus
  3. euh. ini... bagaimana, ya. Ada nuansa yang beda di entry ini. ringan, nggak ada konflik, selain interaksi Mima sama kodok dan Roger yang jadi anak mereka. Namanya mimpi ya boleh-boleh aja ya, apapun bias terjadi. Yang mearik di sini adalah dunia batinnya Eleanor, kayaknya ia tipe easygoing dan sudah coping ama penyakitnya...

    saya titip 8 deh, karena meyuguhkan sesuatu yang beda.

    Rakai A
    OC: Mima / franka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks kak. Sebenarnya Leanor ini benci banget sama penyakitnya. Tapi dia enggak mau kalah.

      Hapus
  4. Saya baca entri ini sering ketawa-ketiwi. Narasinya ngalir banget, sama bikin senyum-senyum. Top lah. xD

    Tapi ya itu. Ga ada konfliknya jadi saya kayak ngerasa ini bukan BoR, tapi nuansa cerpen terjemahan yang ringan (saya doang barangkali?).

    Titip 7. OC: WO~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya lelah dengan konflik wkwkwk. Ah tapi iya juga ya, agak-agak terjemahan gitu, mungkin karena terbawa latar belakangnya Leanor yang kebarat-baratan. Thanks btw kak. FBC boleh WO, tapi pas prelim nanti jangan :p

      Hapus
  5. Ceritanya ringan dan mengalir tidak alami. Ada kejutan2 seperti ternyata ada Roger yang sedari tadi di sana, lalu Roger tuli. Pendeskripsian Mama Mima baguuussss, Mama Mima jadi cantik meskipun masih galak

    Baca ini ketawa- ketiwi sambil nunggu hujan #curhat
    kukira OOC ini ada pertandingannya, rupanya drama keluarga. Tapi bagus dan rapih

    7 untuk Mas Eleanor yang terjebak di tengah drama keluarga berencana
    OC Rea Beneventum

    BalasHapus
  6. OC: Ghoul :=(D

    Dini hari (dipisah gak disambung)

    Pada suatu hari T0T

    Pake em dash (--):
    ulah Captain—anjingku—walaupun sebenarnya dakiku turut berkontribusi
    Suaranya seperti artis Hollywood Margot Robbie—seksi dan tajam

    Mengelap bagian apa? >.< oshiete… oshiete…

    Diksinya masih kaku-kaku sapu lidi.

    Alurnya lamban di bagian prolognya. Kayak percakapan biasa sehari-hari, jadi ga nemu sesuatu yang nyambar getuh kesannya—sesuatu yang bikin aku ngecopas dialog yang lain daripada yang lain.

    So I break it… 7

    BalasHapus
  7. Pas pertama liat entri ini, narasinya bagus.

    Saya jadi hanyut pas baca ini. Tapi ini serasa nonton telenovela atau sitkom dunia barat. Konfliknya nyaris ga ada berantem secara fisik.

    kasih 8 deh. Saya ngarepnya ada berantem dikit, tapi ya karena cukup menghibur ooc-nya jadi maklum lah

    Salam hangat dari Enryuumaru bersama Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus
  8. Tunggu duluuu itu si kodok maksudnya Mliit? Kenapa Mliit jadi kodok? Tidaaaaakkk!!!

    Narasinya sendiri menarik diselipi jokes. Tapi gimana ya aku rada bingung ma endingnya.

    Dan Mliit jadi kodok? Tidaaaaakkk!!!

    Sebenernya mau kasih 10 karena munculin Mliit tapi malah jadi kodok jadi kukurangi jadi 8 aja...

    :'(

    BalasHapus
  9. Luar biasa ._. tapi ya gitu aja. Sayang sekali Mliit akhirnya nggak pernah muncul. Mungkin bakal lebih kerasa ada klimaksnya kalau saat si Leanor tadi menembakkan pistol nggak cuman ke langit-langit. Tadinya saya kira dia bakal nembak si kodok. Tapi ternyata semua sudah berakhir dengan mulut Roger melebar kayak setan .__.

    Bagaimanapun, saya kepengen terus baca cerita aneh kayak gini sih di BoR6. Setidaknya satu yang kayak begini dibutuhkan untuk memberikan warna~

    Ponten 6++

    - hewan -

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.