Minggu, 06 Maret 2016

[FBC] 021 - FATIMA DHU AL-QARNAYN

FATIMA DHU AL-QARNAYN
VERSUS
FATANIR
ROGER DANIEL
[Tantangan NV2]
oleh: Zoelkarnaen

---

That Damn Dream's Damsel


Jam dinding berdentang dua belas kali saat pintu kantor Biro Investigasi milik Dale mendadak terbuka, deru badai pasir pun bergemuruh mengiringi mengiringi masuknya sosok wanita bertubuh tinggi dan besar. Dari tangannya ia melemparkan sebuah karung yang berlumuran darah, lalu tanpa basa-basi ia segera merebahkan dirinya di atas sofa ruangan kantor tersebut.

Sementara itu di sisi terjauh ruangan dekat jendela, seorang pria paruh baya yang sebelumnya sibuk mengetik sesuatu kini berhenti sejenak. Pria itu menghela napas panjang seraya memijat keningnya sendiri.

"Fatima, bisa tolong jelaskan kepadaku, apa maksud dari semua ini?" tanya pria yang bernama Dale itu akhirnya.

"Itu buronan targetku," jawab Fatima langsung. "Kau tahu, pekerjaan yang kau berikan kepadaku minggu lalu, yang kliennya adalah pihak kepolisian?"

"Ya-ya aku tahu, karung kecil itu pasti berisi potongan tangan dan kepala dari si keparat malang, tapi bukan itu yang kutanyakan. Kenapa kau datang ke sini di tengah badai pasir, lalu mengotori karpet baruku dengan darah buronan?"

Dale pun berdiri sambil menunjuk ke mejanya. "Lihat ini, lihat ini semua! Mejaku, kopi ku, dan berkas-berkas yang baru saja kuketik, semuanya bertaburan pasir!"

"Brewok manja, jangan bawel, ah!" hardik Fatima yang kini berguling di sofa memunggungi bosnya. "Kalian bangsa Eydis terlalu banyak mengeluh, memangnya kau pikir semua orang yang kau temui itu dari bagian pengaduan?"

Biasanya Fatima akan lebih tahan dengan segala keluhan yang dimuntahkan Dale, tetapi rasa lelah yang ia rasakan saat ini membuatnya malas melayani segala ocehan si brewok itu. Hanya tidur nyenyak yang ia inginkan di siang hari berbadai ini.

Baru saja Fatima akan memejamkan kedua matanya, pintu ruangan kantor kembali terbuka, membawa deru dan debu masuk bersama dua sosok berjubah. Beruntung Fatima belum sempat melepas masker logam yang melindungi mulut dan hidungnya, atau saat ini mungkin ia sedang terbatuk-batuk seperti Dale.

Berusaha tak mengindahkan rentetan omelan Dale yang seperti senapan mesin, Fatima melepas rompi lalu memakainya untuk menutupi kepala. Fatima menduga kalau kedua sosok yang masuk barusan pasti Marreth dan Mirreth, putri kembar si bos.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Fatima terlelap, rasa penat yang dirasakan menyeretnya semakin jauh dari alam sadar. Suara omelan yang bercampur canda dan tawa pun terdengar semakin redup.

***

Aroma yang harum namun asing tercium, menyeret kesadaran Fatima kembali ke tubuhnya. Tetapi apakah benar ia sudah terjaga? Karena saat ini yang ia saksikan hanyalah hamparan padang bunga yang tak berujung dan berwarna putih.

Fatima bangun dari tidurnya namun tak lekas berdiri, ia duduk terdiam dan mencoba memahami di mana dan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Beberapa kali ia memijat pangkal hidungnya, mencoba menyadari apakah saat ini ia sedang bermimpi.

Kemudian perlahan ia pun mulai bangkit, tak lupa memungut pedang lengkung dan revolver miliknya yang tergeletak. Baru satu detik ia mengalihkan perhatiannya dari hamparan padang bunga di sekelilingnya, tiba-tiba saja muncul makhluk besar berbulu putih di hadapannya. Sosoknya mirip seekor anjing, namun tubuhnya jauh lebih besar dan ia memiliki sepasang tanduk di kepalanya.

"Yaj'u?" gumam Fatima menyebutkan nama makhluk itu. Makhluk dari legenda rakyat Marthia,makhluk yang  melambangkan kebijaksanaan.

Makhluk yang dinamakan yaj'u tersebut kini mendekati Fatima, namun ia hanya memutari wanita itu tanpa menyentuhnya . Seolah yaj'u tersebut menyadari kewaspadaan Fatima walau ia tak sedang memasang kuda-kuda bertarung.

Beberapa putaran kemudian, yaj'u tersebut mulai berjalan menjauhi Fatima. Namun ia berhenti untuk menoleh setelah beberapa langkah, seolah ia ingin Fatima mengikutinya. Tentu saja Fatima mengikutinya, karena ia penasaran dengan apa yang terjadi dengannya hingga ia bisa sampai di tempat aneh ini.

Dengan langkah sedikit zigzag Fatima mengikuti yaj'u, berusaha sebisanya agar tidak terlalu banyak merusak hamparan bunga yang ia lalui. Karena ia tidak tahan membayangkan kalau bunga-bunga itu rusak semua, bayangkan berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari hamparan bunga tersebut.

Kini pikirannya pun melayang, mulai dari memikirkan cara klaim tanah ini, sampai berbagai cara memanfaatkan semuanya agar bisa menghasilkan uang. Mulai dari menjual bunga-bunga tersebut, sampai ke membuka lokasi wisata di tempat ini.

Selain itu semua, Fatima juga mulai memikirkan cara membudidayakan bunga-bunga di tempat ini. Mungkin setelah ini ia harus banyak membaca soal botani.

Yaj'u menghentikan langkahnya dan langsung berbalik menghadap Fatima, tentu saja ia juga berhenti, namun matanya tetap lekat mengawasi makhluk legenda yang berbulu putih tersebut.

"Sekarang apa?" tanya Fatima kepada yaj'u di hadapannya.

"Sekarang katakan, apa hal yang paling kau inginkan dalam hidupmu?" bisik suara seorang gadis kecil dari belakang Fatima.

Bagi Fatima suara tersebut merupakan sebuah ancaman, karena biasanya ia akan dapat merasakan kehadiras seseorang yang mengendap di belakangnya. Tetapi tidak kali ini, dan hal ini mengganggunya. Fatima pun berbalik dan langsung menodongkan  pistolnya.

Sayangnya bukan wajah penuh ketakutan apalagi terkejut yang menyambut ujung laras revolver milik Fatima, akan tetapi sebuah bantal. Lebih tepat kalau wajah yang tertutup bantal, tunggu, seluruh kepalanya tertutup bantal. Malah Fatima yang terkejut hingga nyaris menjerit.

"Jahat sekali memperlakukan anak-anak seperti ini!" dengus Fatima seraya mendekat dengan pedang terhunus. "Tunggu sebentar, gadis kecil, akan kulepaskan bantal itu dari kepalamu!"

"Tunggu, tunggu! Tahan dulu!" seru si gadis kecil dengan panik. Kedua tangannya terentang ke depan, sementara ia melangkah mundur dengan tergesa. "Kepalaku tidak tertutup bantal, ini adalah kepalaku!"

"Ya tentu saja, dan yaj'u itu makhluk nyata," timpal Fatima sebelum ia menoleh ke arah yaj'u yang tengah duduk di sebelahnya. Kini giliran Fatima yang terdiam. "Pokoknya biar kucoba dulu melepaskan bantal itu darimu," lanjutnya lagi sambil mengayun-ayunkan pedang di tangan kirinya.

Sekali lagi si gadis berkepala bantal mencoba menghindar, sayangnya tubuh Fatima lebih besar dan jangkauannya lebih jauh dari langkah kecil gadis tersebut. Rasa panik mulai menghigapi gadis itu, terutama saat Fatima mulai menarik kepala bantalnya dan hendak mengiris dengan pedang di tangan.

"FAST FORWARD!" pekik si gadis kecil seraya menjentikkan jari. Seketika itu pula tubuh Fatima lenyap dari hadapannya.

"Sungguh kontestan yang merepotkan. Kenapa pula orang sepertinya bisa ikut terpilih untuk masuk ke tempat ini?"

Sebelum beranjak pergi, si gadis kecil berkepala bantal menyadari sesuatu, atau sesosok makhluk yang masih terduduk diam di dekatnya. Makhluk berbulu putih yang sebelumnya berjalan ke tempat ini bersama kontestan barusan.

"Eh, kau siapa?"

***

Sebelumnya Fatima sedang tidur di kantor Dale, berikutnya ia tersadar di sebuah padang bunga, lalu kini ia kembali berpindah tempat. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia sudah berkali-kali menampar wajahnya sendiri, namun rasa sakitnya terasa cukup nyata. Ia pun mulai meragukan kalau semua ini hanya sekedar mimpi biasa.

Mari kita kembali fokus pada tempat Fatima kini berada.

Fatima yakin kalau barusan ia sedang memegang kepala si gadis bantal di sebuah padang bunga, tapi saat ini ia dikelilingi tembok logam yang mengeluarkan suara dengungan halus. Sebuah ruangan, tapi ia juga dapat merasakan sedikit gerakan di bawah kakinya. Bukan, bukan hanya lantainya, tapi seluruh ruangan logam tempatnya berada sedang bergerak.

Seluruh dinding, lantai, dan bagian langit-langitnya terbuat dari logam. Ada dua buah pintu yang terletak di hadapannya dan sebelah kiri ruangan. Tak ada jendela, satu-satunya sumber pencahayaan adalah lampu berbentuk persegi yang menempel di langit-langit.

Setelah memutuskan pintu mana yang ia akan coba lalui, Fatima segera menuju ke pintu yang lebih besar di hadapannya. Namun belum sampai ia ke sana, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka.

"Yang Mulia sudah menunggumu di anjungan, silakan ikuti saya," pinta seorang pria berseragam militer yang baru saja masuk.

"Wow, tunggu dulu, ganteng, ibuku bilang kalau aku tidak seharusnya mengikuti orang asing begitu saja," jawab Fatima yang tak berniat ikut tanpa penjelasan. "Sebelumnya kau harus jawab dulu beberapa pertanyaanku."

"Silakan tanya."

"Siapa namamu, berapa nomor teleponmu, apa kau sudah punya pacar atau istri, dan apa saja aset yang kau miliki saat ini?"

"Maaf sebelumnya, tapi saya gay," jawab pria berseragam militer itu seraya tersenyum.

"Sayang sekali, kau melewatkan banyal hal yang menyenangkan," goda Fatima sambil meremas dadanya sendiri.

"Tidak tertarik. Sekarang silakan ikuti saya."

"Ya-ya, silakan tunjukkan jalannya," balas Fatima yang kini mengekor di belakang pria itu.

Cukup lama Fatima dibawa berjalan melalui lorong-lorong sempit yang nampak seperti bagian dari kapal selam. Sempitnya lorong yang dilalui bukan satu-satunya yang ia benci saat ini, di beberapa bagian bahkan ia bahkan harus berjalan sambil merunduk akibat tinggi tubuhnya yang melebihi normal. Sampai akhirnya mereka tiba di ruangan yang cukup luas dan separuhnya terdiri dari jendela.

Jendela yang hanya memperlihatkan langit dan awan.

Tempat Fatima berada saat ini bukanlah kapal laut, melainkan kapal perang udara. Benda ini mirip dengan kapal perang antar-bintang milik orang-orang Midgard, hanya saja dari desainnya benda ini tidak dirancang untuk keluar dari atmosfer planet.

Lalu tepat di tengah anjungan tersebut, berdiri sebuah singasana megah yang menghadap arah depan. Sementara itu, di sekeliling ruangan terdapat puluhan meja kendali beserta para operatornya masing-masing. Si pria berseragam membawa Fatima memutari anjungan hingga ia menghadap si empunya singgasana, kemudian pria itu berlutut di dekat singgasana tersebut.

Tentu saja saja Fatima tidak mengikuti pria itu berlutut, mana mungkin ia berlutut begitu saja di hadapan seorang pria necis yang tak jelas asal-usulnya.

Pria yang dipanggil sebagai pangeran itu kelihatan sudah tidak muda lagi, mungkin usianya sekitar empat puluhan. Ia memiliki kumis tebal dan berkacamata, matanya yang biru cerah nampak kontras dengan rambutnya yang pirang. Pakaian yang ia kenakan berwarna biru laut dengan bordir keemasan di beberapa bagiannya, celana panjanganya berwarna putih bersih dan sepatunya yang terbuat dari kulit berhiaskan berbagai ukiran.

"Jadi, siapa yang mau menjelaskan kenapa aku di sini dan apa mau kalian?" tanya Fatima sambil berkacak pinggang.

"Di hadapanmu adalah Yang Mulia Anders III, Pangeran pertama dari kerajaan terbesar di dunia ini! Tolong jaga sikapmu!" hardik pria ganteng yang barusan membawa Fatima ke anjungan.

"Maaf, ganteng, tapi dia juga punya mulut. Biar dia jawab sendiri pertanyaanku," balas Fatima sekenanya.

"Ohoho, aku suka sikap gadis raksasa ini, dia punya nyali," sang pangeran yang bangkit dari singgasananya ikut berbicara. "Kita lihat saja nanti, apa nyalinya lebih besar dari mulutnya?"

"Boleh saja," Fatima menyambut tantangan sang pangeran. "Tapi asal kau tahu, besarnya nyaliku berbanding lurus dengan bayaranku," lanjutnya lagi sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.

"Bagaimana kalau aku memberimu gelar kehormatan sebagai pahlawan kerajaan?"

"Aku hanya menerima bayaran berupa emas atau batu permata. Tidak ada yang namanya berkerja cuma-cuma, kecuali babi bisa terbang."

"Berarti kita sepakat," ucap sang pangeran tersenyum.

"Hah?"

Baru saja Fatima mau melakukan konfirmasi soal kata-kata sang pangeran barusan, mendadak alarm di sepenjuru kapal meraung keras.

"Yang Mulia, ada kawanan babi terbang dari arah jam sebelas!" teriak salah satu operator radar di anjungan.

"Ubah arah haluan tiga puluh derajat ke bawah, naikkan perisai di enam puluh persen, dan jalankan tenaga pendorong di tujuh puluh persen! Sampaikan perintah ini juga untuk seluruh armada di belakang!"

"Wow, tunggu dulu," sela Fatima di tengah kericuhan anjungan tempatnya berada. "Kawanan babi terbang?"

"Ya, babi kan memang bersayap,wajar kalau mereka terbang berkelompok" jawab sang pangeran dengan entengnya. "Memangnya selama ini kau tinggal di gua?"

"Yang Mulia, sebagian kawanan babi berubah arah, kita tak akan sempat menghindar lagi!"

"Bersiap untuk benturan!"

"Anggaplah babi memang bisa terbang, kenapa kapal perang ini malah menghindar? Memangnya kalian tidak punya senjata, kenapa tidak menembak mereka saja?"

"Nona…"

"Fatima."

"Nona Fatima, apa kau gila? Babi terbang itu bisa meledak kalau ditembak, dan aku tidak ingin kehilangan armada perangku di tempat ini hanya gara-gara kawanan babi!"

"Oh, oke, lupakan saja pertanyaanku barusan," balas Fatima yang masih tak habis pikir. Babi terbang yang bisa meledak jika ditembak? Tempat lelucon macam apa ini?

"Bersiap untuk benturan!" sekali lagi operator radar berteriak, semua orang di anjungan pun berpegangan pada kursi mereka masing-masing. Terkecuali Fatima, dengan terpaksa ia berpegangan pada singgasana sang pangeran.

Guncangan keras mulai terasa satu persatu, beberapa dari babi terbang tersebut bahkan menghantam dan membuat retak kaca anjungan.

"Babi militan keparat, sepertinya mereka memilih untuk memihak Raja Iblis!" raung sang pangeran dengan geram.

"Kenapa babinya bisa jadi militan? Kenapa babi jadi keren di dunia ini? Kenapa pula benturan babi bisa mengguncang sebuah kapal perang? Ini tidak masuk akal!" Fatima bertubi-tubi mengajukan pertanyaan sambil mencengkeram kerah seragam sang pangeran.

"Tenanglah Fatima,tenanglah dan dengarkan aku" bisik sang pangeran dengan suara lirih. "Kalau serangan para militan babi terang ini terus berlanjut, armada perang kami tak akan mampu bertahan. Tolong kabulkan permintaan terakhirku ini. Ambil gelang ini, gelang ini dapat membawamu langsung ke istana Raja Iblis. Pergilah dan ambil calon istriku dari sana."

Pangeran Anders III pun memasangkan sebuah gelang logam di lengan kanan Fatima, kemudian ia menekan sebuah tombol di sana sebelum Fatima sempat menyuarakan protesnya. Fatima pun menghilang, tepat saat seekor babi bersayap berhasil menerobos tebalnya kaca anjungan kapal.

***

Tidak bisa dipercaya, lagi-lagi Fatima kembali berpindah tempat. Kali ini ruangan tempatnya berada seluruhnya terbuat dari batu, sepertinya ini adalah salah satu ruangan di sebuah kastel. Saat ini Fatima sudah benar-benar tak peduli lagi, ia hanya ingin agar semua omong kosong isi secepatnya selesai. Dan kalau ia harus menyelamatkan seorang putri raja dalam prosesnya, maka ia akan melakukannya secepat mungkin.

Dengan pedang terhunus di tangan kiri, dan revolver yang siap memuntahkan timah panas di tangan kanan, Fatima menendang pintu ruangan lalu keluar. Namun seorang wanita berpakaian pelayan yang berada tepat di luar ruangan memberinya peringatan.

"Sssst, Nona bisa tenang tidak? Ini kastel, bukan pasar!"

"Ah iya, maaf," balas Fatima sambil mengusap bagian belakang kepalanya. "Ngomong-ngomong, apa kau tahu dimana letak tawanan Raja Iblis?" lanjut Fatima yang bertanya dengan santainya.

"Oh, kalau kau mau tahu di mana kamar putri raja itu, saya baru dari sana untuk mengantar makanan. Kamarnya ada di menara. Dari tempat ini kau tinggal berjalan lurus saja ke arah belakang, lalu di pertigaan kedua kau belok kiri sampai mentok."

"Ada berapa penjaga di sana?"

"Setahuku hanya dua, sisanya sedang mogok minta kenaikan UMR dari Raja Iblis."

"Kau tidak ikutan?"

"Maaf, tapi kami pelayan bukanlah bagian dari serikat serdadu."

"Oh, kalau begitu saya permisi dulu," Fatima mengucapkan selamat tinggal kepada pelayan itu sambil berlalu.

Kalau saja tugas ini memang semudah yang Fatima bayangkan, mungkin saat ini ia sudah mencari jalan keluar dari kastel bersama target yang harus diselamatkan. Nyatanya keadaan saat ini tidak semulus yang ia bayangkan.

Pada pertigaan pertama saja, Fatima sudah bentrok dengan dua prajurit yang memakai masker gas. "Sedang mogok dengkulmu," rutuk Fatima akan keterangan si pelayan yang tidak akurat.

Belum sempat kedua prajurit tersebut melepaskan pengaman di senjata mereka masing-masing, Fatima sudah lebih dulu melepaskan dua timah panas yang bersarang di kening mereka. Namun meski kedua prajurit tersebut sudah tak bergerak lagi, masih ada satu atau dua hal yang mengganggu Fatima dari sikap keduanya.

Tak ada satu pun dari mereka yang berteriak meminta bantuan, reaksi mereka terlalu terlambat, lalu saat mereka tertembak dan jatuh bunyinya seperti logam.

Fatima pun berlutut di dekat salah satu prajurit yang tewas itu, kemudian ia melepas topeng gas yang dikenakan jasad tersebut. Yep, sesuai dugaannya. Kedua prajurit tersebut bukan makhluk hidup, di balik masker gas dan seragam itu hanya ada rangka logam. Selain itu ada sebuah transmiter kecil di bagian kepalanya, yang membuktikan kalau prajurit logam ini dikendalikan dari jarak jauh.

Fatima kembali berpikir, mungkin keterangan si pelayan tak sepenuhnya salah, dan hanya ada dua orang yang menjaga sang putri di menara. Tapi meski hal tersebut benar, ia tetap harus berhati-hati.

Tapi sebelumnya…

Fatima mulai menelanjangi dan mempreteli kedua prajurit logam yang telah mati itu, dengan seksama ia mulai mencari suku cadang yang kira-kira bisa dijual nanti.

***

Sementara itu di ruang teratas menara Raja Iblis.

"Anjing! Kalah lagi, gue nyet!" maki seorang pria kribo sambil bangkit lalu menendang kursinya sendiri.

"Sudah kubilang, Afro-san, kau bukan tandingan Tuan Putri kalau mau bermain catur," canda seorang remaja berambut hijau di dekatnya sambil tertawa.

"Berisik, nyet! Emang elu bisa ngalahin dia main catur?"

"No comment."

"Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar lagi," sang putri menengahi. "Bagaimana kalau kubuatkan teh lagi?"

"Uhm, terima kasih."

"Kopi gak ada, Mbak?"

Roger Daniel, begitulah nama remaja cowok yang berambut hijau itu. Saat ini ia sedang duduk bersila di lantai, matanya serius sedang memperhatikan monitor laptopnya. Ada empat pasang tampilan dari kamera jarak jauh di sana, namun sepasang di antaranya telah menghitam.

Sementara itu si kribo yang dipanggil Fatanir itu juga tengah sibuk, ia sedang mengatur posisi kaki senapan mesin agar bisa menghadap pintu ruangan. Soal dari mana dan bagaimana ia bisa merakit sebuah senapan mesin canggih di ruangan itu, semuanya merupakan misteri Ilahi.

"Woi, rambut ijo, gimana? Apa udah ada tanda-tanda musuh?"

"Sudah dua sentinel milikku mati, kurasa saat ini dia hampir sampai di pertigaan kedua sebelum menara ini," jawab Roger yang masih mengutak-atik laptopnya. Saat pula dua lagi tampilan kameranya mati. "Uhm, ralat, dia sudah sampai ke pertigaan terakhir, dan saat ini sentinelku tinggal dua yang kutempatkan di dasar menara."

"Ih najis, gak guna banget sih robotnya!"

"Lalu kenapa kau tidak membuatnya sendiri?"

"Ogah, males. Oh iya, ngomong-ngomong, Mbak, sebaiknya situ ke balkon gih, ngumpet di belakang tembok aja biar gak kena peluru nyasar," saran Fatanir kepada sang putri.

Hening pun menyelimuti ruangan menara cukup lama, namun musuh yang dinanti tak kunjung datang. Roger juga merasa heran, kenapa sepasang sentinel terakhir miliknya tak kunjung diserang? Apa yang menahan sang musuh hingga ia bergerak begitu lama?

Remaja berambut hijau itu pun melirik ke arah balkon, bertanya-tanya apakah musuh akan menyelinap dan menculik sang putri dari sana.

"Hei Tuan Putri, kau masih di sana?"

"Iya!" sang putri membalas teriakan Roger.

"Ah, bersiaplah, dua sentinel terakhirku sudah mati!" seru Roger kepada Fatanir.

"Oke sip!" Fatanir langsung bersiap berdiri di belakang senapan mesin rakitannya. "Ngomong-ngomong berapa menit dia bisa sampe sini?" tanyanya lagi sambil mengokang senjata.

"Lima sampai enam menit kalau dia sprint sampai ke atas sini."

"Apa itu dia yang disebut-sebut pangeran?"

"Entah, tak satupun kamera sentinelku yang memiliki gambar jelas, semuanya buram," jawab Roger yang masih mencoba memutar ulang video detik-detik kematian robot miliknya.

Sama seperti sebelumnya, dugaan Roger meleset. Lima belas menit berlalu namun si musuh tak kunjung datang, tentu saja hal ini semakin membuat penasaran Roger. Kenapa prediksinya salah lagi?

"Lama, coy."

"Sabar, dan jangan lupa perhatikan balkon tempat tuan putri berada. Siapa tahu ia muncul dari sana."

"Bacot, gak usah dikasih tau juga gue udah tau!"

Akhirnya terdengar suara ketukan dari balik pintu.

"Siapa?" tanya Roger.

"Room service," jawab suara seorang wanita dari balik pintu.

"Ya kali pake ditanya!" timpal Fatanir mulai menarik pelatuk. Laras senapan mesin Fatanir pun mulai berputar, disusul suara dengungan keras sebelum ratusan proyektil dimuntahkan hingga pintu ruangan di hadapannya tak berwujud lagi.

Dari balik tembok tempat pintu ruangan sebelumnya berada, Nampak ujung sebuah pedang melambaikan sapu tangan berwarna putih. "Time out! Break! Break!"

"Boleh aja," sahut Fata sambil mengeluarkan cokelat batangan dengan bungkus merah. Kemudian ia mematahkan cokelat itu menjadi dua sebelum memakan isinya.

"Keluar dari sana dengan perlahan, angkat tanganmu hingga kami bisa melihatnya!" lanjut Roger sambil menodongkan lengan kiri mekanisnya ke arah lubang tempat pintu sebelumnya berada.

Sosok tinggi Fatima pun keluar perlahan dari balik tembok, kedua tangannya yang memegang revolver dan sebilah pedang lengkung terangkat. Matanya awas mengamati sekeliling ruangan dan kedua orang yang berada di sana, terutama pria kribo yang berdiri di balik senjata gatling dengan tiga kaki tertanam di lantai.

"Namaku Fatima."

"Gak nanya," pungkas Fata sambil ngupil.

"Baiklah, Fatima, silakan lemparkan senjatamu ke pojok sana," Roger memberi perintah sambil menunjuk sudut ruangan di kanan Fatima.

Namun alih-alih melakukan seperti yang diperintahkan Roger, Fatima malah melemparkan kedua senjatanya ke dua sudut di kanan dan kirinya. Melihat gelagat tak baik dari lawannya itu, Roger pun mundur sementara Fata kembali menarik pelatuk senjatanya.

Fatima sedikit mencondongkan tubuhnya ke kiri, untuk kemudian mendadak berlari ke kanan memungut revolvernya. Fata yang terkecoh dengan gerak awal Fatima pun terlanjur melakukan antisipasi dengan menyemburkan peluru ke arah yang berlawanan dari arah larinya wanita itu, alhasil rekoil dari senjatanya sendiri membuat Fata kesulitan memutar balik arah tembakan senapan mesinnya.

Sebelum Fata berhasil memutar balik arah tembakannya, Fatima sudah berlari dan melompat ke arahnya.  Namun saat Fatima masih melayang, Roger menghadangnya. Semburan api muncul dari siku sebelah kiri remaja berambut hijau itu, yang disusul sebuah pukulan keras berkecepatan tinggi yang mendarat di pipi kanan Fatima.

Suara logam beradu terdengar bersamaan dengan percikan api tercipta saat tinju kiri Roger menghantam masker baja milik Fatima, tubuh wanita yang keterlaluan tinggi itu pun berputar beberapa kali di udara sebelum akhirnya menghantam Fatanir. Senapan mesin rakitan yang digunakan Fata pun sampai terlepas dari ketiga kakinya yang tertanam di lantai.

Belum cukup sampai di sana, Roger memunculkan sebuah gagang dari lengan kirinya, kemudian ia melepaskan lengan kiri tersebut dari persendiannya. Sayangnya gerakan Fatima lebih cepat, wanita itu sudah lebih dulu bangkit, memungut revolver miliknya, untuk kemudian menembak lengan kiri Roger hingga terpental.

"Bocah sialan!" raung Fatima yang kini menodongkan revolvernya ke kepala Fata di dekatnya.

Masker baja yang dikenakan Fatima terpental entah ke mana akibat pukulan Roger, dan kini wajahnya terekspos. Bekas luka menganga mulai dari bibir bagian kiri sampai ke ujung belakang rahang, membuat deretan gigi bagian kirinya terlihat jelas. Tentu saja hal ini tidak bagus bagi Fatima, karena tanpa masker itu bagian dalam mulutnya akan cepat kering dan membuatnya tidak nyaman.

"Elu salah kalo lu pikir udah menang," cetus Fata bangkit dari lantai. Di saat yang bersamaan, revolver milik Fatima tiba-tiba saja semua bagiannya terpereteli.

"Oh, dan kalian pikir kalian bisa menang kalau bertarung secara fisik denganku?" tantang Fatima yang juga bangkit tepat di sebelah Fatanir.

"Kita bakalan mati semua kok," jawab Fatanir dengan entengnya.

"Aku sependapat," lanjut Roger yang melirik ke arah belakang tempat lengannya terpental barusan.

Tersungging sebuah senyuman di bibir kanan Fatima. "Oh, silakan jelaskan."

"Kau sudah merasakan pukulanku barusan, dan pilihan logisnya adalah membunuhku sebelum aku mendapatkan lenganku kembali. Lalu setelah itu kau akan mengincar tuan afro, tetapi kau masih belum mengetahui kemampuannya. Jadi apapun pilihan yang kau ambil; entah kau memilih untuk langsung menyerangnya atau melemparkan jasadku untuk menyerangnya, dia pasti akan dapat melukaimu. Tentu saja kau akan dapat membunuh tuan afro di sana setelahnya, karena aku ragu dia memiliki kemampuan untuk membunuhmu dalam satu serangan saja."

"Itu berarti aku yang menang bukan?" timpal Fatima seraya tertawa.

"Kalo lo pikir luka lo nanti cuman goresan doang, coba aja," tantang Fata sambil mengusap roda gerigi berwarna emas di dadanya.

Fatima pun tertawa. "Kau tahu, bocah, kalau orang lain yang kau hadapi trikmu ini mungkin akan berhasil. Kalian berharap aku menyerang si kribo ini lebih dulu, bukan? Itu tak akan terjadi, bocah, karena dari caramu menghadapiku barusan, aku yakin kalau kau memiliki beberapa cara atau senjata untuk menghabisiku dalam satu serangan saja."

"Terus elo pikir gue nggak?"

"Oh aku yakin kau juga bisa, tapi justru di situ intinya," lanjut Fatima sambil berjalan mundur menuju balkon. "Kalian berharap aku menyerang salah satu dari kalian, agar satu orang sisanya dapat menghabisiku dengan satu serangan saja."

Sambil bersandar di pagar balkon menara, Fatima melambaikan tangannya kepada sang putri yang bersandar di tembok membelakangi ruangan tempat Roger dan Fata berada. "Hai, cantik."

"Hai," jawab gadis belia itu seraya tersenyum dan membalas lambaian tangan Fatima.

Fatima pun memalingkan muka, berusaha menyembunyikan bekas luka di sisi kiri wajahnya. Karena dari ekspresi dan sorot mata sang putri, jelas terpancar ada rasa tak nyaman saat ia melihat bekas luka pada wajah Fatima.

"Aku mengerti," cetus Roger yang ikut keluar menuju balkon bersama Fatanir. Remaja itu pun memasang kembali lengan kirinya. "Daripada harus memilih untuk melawan salah satu dari kami, kau memutuskan untuk menyandera tuan putri dan langsung menculiknya."

"Menyelamatkannya," ralat Fatima.

"Biji matalu meleduk! Justru elu yang mau nyulik!"

"Hah?"

"Tunggu, siapa yang memerintahkanmu untuk menyelamatkannya?" tanya Roger yang kini sama bingungnya dengan Fatima. "Karena setahuku beliau adalah putri dari raja pemilik istana ini," terang Roger seraya melirik ke arah sang putri.

"Wow, tunggu dulu, lalu kenapa pangeran Anders memintaku untuk menyelamatkannya dari istana Raja Iblis?"

Roger dengan tangan kiri mekanisnya pun mulai menuliskan dua kata di tembok; yang pertama adalah "Iblis", dan yang kedua adalah "Ibh Leeze".

"Ini yang kau pikir," jelas Roger menunjuk kata yang pertama. "Dan ini adalah nama kerajaan tempat kita berada," lanjutnya menunjuk kata yang kedua.

Bersamaan dengan penjelasan Roger barusan, Fatima pun mulai mengingat-ingat kata-kata dari pangeran Anders sebelum ia dikirimkan ke istana ini.

"Gelang ini dapat membawamu langsung ke istana Raja Iblis. Pergilah dan ambil calon istriku dari sana."

Tidak ada kata-kata soal 'menyelamatkan' dari perintah sang pangeran, dan tentu saja seorang raja dari kerajaan Ibh Leeze pasti akan disebut sebagai Raja Ibh Leeze. Oh, kalau saja ada lubang di lantai, Fatima pasti membenamkan kepalanya di sana sedari tadi. Sudah tidak dibayar, bikin malu pula.

Si necis sialan itulah penculiknya, dan Fatima nyaris saja menjadi kaki tangannya.

"Jadi sudah jelas bukan, siapa yang salah?" Roger pun tersenyum bangga.

"Sekarang sujud, minta maaf terus jilat sepatu mahal gue!"

Fatima pun mendorong tubuh Fata hingga ia bersandar di tembok, lalu dengan satu tangan terentang ke tembok di sebelah kepala si kribo dan satu tangan lagi menyentuh dagunya, Fatima berbisik, "Bagaimana kalau yang lain saja yang kujilat?"

"Ntar kalo bulan bisa ngomong," Fata balas berbisik sambil melengos lalu pergi.

"Kribo bangsat!"

"Jadi bagaimana sekarang?" tanya Roger lagi, masih dengan senyum bangga yang sama.

"Karena tidak ada korban jiwa, semoga kalian merasa cukup dengan permintaan maafku."

"Aku kehilangan beberapa pasang sentinel—"

"Tidak ada ganti rugi materi! Mending kita lanjut saling bunuh saja kalau kau bersikeras! Benda yang kuambil dari robotmu juga hak milikku, karena itu salah mereka sendiri yang mau menyerangku duluan!" sembur Fatima sambil melindungi kantung-kantung rompinya yang terlihat agak menggembung.

Belum juga mereka berdamai, suara dentuman yang disusul hantaman angin bercampur debu melewati balkon menara tempat mereka berada. Ditambah lagi, seluruh isi kastel sepertinya ikut terkena getaran barusan.

Sementara Fatima dan Roger masih rebut soal ganti rugi, bibir monyong si kribo yang melongo semakin terlihat monyong. Bukan karena dimonyong-monyongkan ingin selfie, tapi karena Fata melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di latar pemandangan balkon menara itu.

"Woi, elu semua musti liat itu! Ada G*ndam!" tunjuk si kribo ke arah robot besar setinggi lima puluh meter, tinggi yang sama dengan balkon menara tempat mereka bertengger.

Sementara si robot raksasa berjalan semakin mendekati menara, Fatima mulai mundur perlahan. Karena semua ini sudah bukan urusannya lagi. "Kuserahkan sisanya kepada kalian," seru Fatima sambil berlari masuk ruangan, untuk kemudian keluar lagi dari sisi lain ruangan menuju tangga.

Tentu saja Fatanir dan Roger tak akan membiarkan itu terjadi, mereka berdua saling bertukar pandangan lalu mengangguk.

"Maafkan kami, Tuan Putri," Roger berkata sambil melepas kalung emas bertahtakan berlian dari leher sang putri, untuk kemudian ia lemparkan kepada Fata.

"Woi, cewek matre!" teriak Fata sambil mengangkat tinggi kalung milik sang putri di tangannya.

Fatima yang sudah nyaris sampai tangga pun balik lagi untuk mengintip dari balik tembok, lalu dengan cepat ia berlari menuju si kribo dan memegang kalung milik sang putri. "Elu tau apa yang musti lu lakuin, kan?" bisik Fatanir sebelum membiarkan kalung di tangannya berpindah.

Setelah itu Fatima keluar menuju balkon menggandeng sang putri, sementara Fata dan Roger mundur perlahan masuk ke ruangan. Si robot besar yang kini sudah tiba tepat di dekat balkon menara pun berhenti, lalu benda itu mulai merentangkan telapak tangannya yang terbuka ke arah Fatima.

"Kemarilah, Fatima," pinta suara pangeran Anders melalui pengeras suara robot. "Dan bawa calon istriku itu."

Dengan lengan kanan yang tertutup zirah pemberian Fata, Fatima malah mengacungkan jari tengah ke arah si robot raksasa. Kemudian is menarik pinggul sang putri untuk memeluknya.

"Apa yang kau lakukan, pengkhianat?" teriak sang pangeran yang terdengar sudah mulai kehilangan kesabarannya.

"Apa yang kulakukan? Menyelamatkan seorang putri raja dari menara Raja Iblis tentunya," jawab Fatima yang melompat dari balkon sambil memeluk sang putri. Bersamaan dengan itu, dari dalam ruangan terlihat lengan mekanis Roger meluncur seperti roket tepat ke si robot raksasa.

Suara ledakan keras mengiringi jatuhnya Fatima dan sang putri dalam pelukannya, menara mulai runtuh bersamaan dengan tumbangnya si robot raksasa yang kini berlubang di dadanya. Lalu sekitar dua puluh meter sebelum Fatima menghantam tanah, ia menembakkan alat pengait yang terikat langsung ke zirah lengan pemberian Fata. Dengan itu Fatima berhasil menurunkan kecepatan jatuhnya, hingga ia berhasil mendarat dengan mulus.

Melihat reruntuhan bagian atas menara yang mulai berjatuhan, Fatima tak membuang waktu dan mulai membopong sang putri untuk kemudian membawanya berlari menjauh. Fatima terus berlari sampai akhirnya ia tiba di gerbang utama kastel, dan di sana Fata juga Roger sudah menunggunya. Melihat sebuah hoverbike di dekat si kribo, Fatima pun merasa tak perlu bertanya bagaimana cara mereka meloloskan diri dari menara yang runtuh barusan.

"Misi selesai," ucap Fatima seraya menurunkan sang putri dari gendongannya.

***

"Apanya yang misi selesai?" tanya wajah brewok yang menyambut Fatima saat ia membuka mata.

Fatima pun bergegas bangkit dari sofa dan menyundul kening Dale, lalu tanpa menghiraukan si brewok yang berguling di lantai sambil memegangi kepalanya, ia mulai menggeledah seluruh kantung di celana dan rompinya. Dan setelah menyadari kalau semua barang-barang yang ia dapatkan tidaklah nyata, Fatima meraung sambil meninju sofa berulang-ulang.

"Dasar putri mimpi sialan!"

"Kau kenapa sih?" Dale bertanya kepada Fatima yang kini berjalan tergesa menuju pintu keluar.

"Bacot, brewok!" raung Fatima lagi, sebelum ia keluar dan membanting pintu.

4 komentar:

  1. Tumben ngeliat bang Zoel ngebanyol gini. Pas awal" masuk lumayan banyak juga momen kocaknya, dan ternyata kita ditipu ya, ujung"nya bukan nyelamatin puteri dari 2 entran yang dilawan. Tapi okelah, selama enak dan lancar dibacanya sampe akhir, saya enjoy aja
    .
    Nilai 8

    BalasHapus
  2. OC: Ghoul :=(D

    Pas baca baris pertama kubertemu dengan kata “Mengiringi” 2 kali. Kenapa? Kenapa?!

    Prolognya bagus dan meramu imaji tuk nerusin ngescroll ampe ke ujung.

    Lucunya saat ketemu kepala bantal hahahaha. Bakal jadi horor ya kalo kepala bantalnya Ratu Huban dicopot, langsung ceritanya habis.

    Sekadar bukan sekedar

    Dialognya lucu-lucu n antimainstream.

    Plotnya bagus, aku suka. Dialognya juga ga kaku. Tapi komenku jadi kaku karna baru bangun tidur.

    Aku sisipkan angka 9 aja ya di sini

    BalasHapus
  3. Hore entri gendeng lagi.

    Namanya kalau joke pasti hit or miss, tapi kena ke saya semua ternyata. Sukses menggelitik perut saya sampe haha hihi.

    Twist ceritanya gak saya sangka wkwkwk.

    Ya gak pake panjang lebar lagi sih, karena entri serius setengah gendeng udah tau lah kayak gimana pembawaannya.

    Jadi langsung aja kasih 10 dari saya.

    Salam hangat dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus
  4. Yang pertama saya puji adalah reaksi Fatima begitu melihat Ratu Huban. Dari sekian banyak entri FBC yang saya baca, pemikiran Fatima yang ingin mencopot bantal di kepala Ratu Huban adalah pemikiran spontan yang logis. Kebanyakan peserta lain cuman heran aja melihat wujud aneh dari kepala Ratu Huban. Tapi baru kali ini ada yang seperti ini.

    Kedua, mungkin Fatima ini jiwa bisnisnya tinggi sekali. Kayaknya apapun bisa kepikiran buat dieksploitasi jadi ladang duit dalam kepalanya. Jadi kebayang Paman Gober dan Tuan Krab ._. Dan kalau dipadukan dengan badannya yang tinggi besar, sifat matre Fatima ini bisa sangat sangat mengintimidasi

    Udah, gitu aja. Lumayan jarang ngelihat Om Jul bikin narasi POV3 dan banyak lawakan. Terutama yang paling saya suka itu di bagian "Kenapa babi jadi keren di dunia ini?"

    Ponten 8++

    - hwewan -

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.