Sabtu, 03 September 2016

[ROUND 2] 05 - KURO GODWILL | THE NIGHTMARE IS THE REAL ONE

oleh : Chou-3

--




Dalam sebuah bangunan, gerbang utama dari tujuh gerbang yang menjadi pembatas dari sebuah negeri dengan negeri luar, dua puluh penyihir terkuat negeri itu berkumpul. Sepuluh dari mereka menjaga sebuah raga yang terbaring membentuk lingkaran sihir.

Sementara sepuluh lainnya beristirahat, berjaga jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi, menggantikan sepuluh penyihir yang mulai kelelahan menjaga raga selama dua puluh empat jam. Pergantian terus dilakukan untuk menjaga stamina.

Seorang pemuda berada di tengah-tengah lingkaran sihir yang dibentuk oleh sepuluh penyihir itu, berusaha mencabut sebuah keris di dada kiri raga yang terbaring.
  Sudah hampir satu minggu mereka melakukan itu namun tak kunjung berhasil. Dengan penuh hati-hati pemuda itu melakukan tugasnya karena kehancuran negerinya adalah taruhannya. Ia satu-satunya di antara mereka yang tidak istirahat sama sekali.

Begitu benda itu tercabut, hempasan cahaya membuat pemuda itu terlempar dari tempatnya menabrak barrier dan membuatnya pecah seketika. Sepuluh penyihir yang masih terjaga langsung membentuk sihir pengekang secara bersamaan. Dibantu penyihir lain yang sedang beristirahat mengaktifkan kembali barrier yang terbuka.

Kondisi mengharuskan mereka tetap waspada meskipun sedang beristirahat. Mereka tak boleh lengah sedikit pun.

"Tuan Muda Leonheart!" pekik salah satu penyihir.

"Anda tidak  apa-apa?" tanya penyihir lainnya sembari membantunya berdiri.

"Sialan. Kalau saja kita bisa mencegah ini terjadi."

"Sudah seminggu penuh Anda tidak istirahat. Sebaiknya Anda kembali ke istana."

"Tidak. Kurasa di sini lebih membutuhkanku,"

"Percayakan pada kami. Sebaiknya Anda istirahat dulu. Yang Mulia pasti akan khawatir jika Anda terus begini..."

"Dia benar, Rere. Jangan memaksakan diri!" sahut seseorang yang baru datang. Rere adalah panggilang yang ia gunakan terhadap pemuda bernama Leonheart itu.

Mungkin hanya dialah yang menggunakan sebutan itu untuk memanggilnya. "Kau bahkan melupakannku," lanjutnya.

Lahir di tahun dan hari yang sama, begitu pula satu raga lain yang sedang terbaring. Dipersatukan di tempat yang sama meski lahir dari tempat yang berbeda. Entah misteri apa yang ada dibalik tanggal sepuluh Oktober.

"Sean?!"

"Istirahatlah. Biar kugantikan tugasmu," ia berjalan mendekati para penyihir lain yang sedang sibuk mempertahankan lingkaran sihir, "yang perlu kita lakukan sekarang adalah menarik jiwanya kembali secepat mungkin, bukan?"

Ia memasuki lingkaran sihir, menarik nafas dalam-dalam, mengeluarkannya secara perlahan, dan memulai ritual pemanggilan jiwa.

Derap langkah berlari terdengar memasuki ruangan.

"Berita darurat!" teriak seorang prajurit dari beberapa tim pengejar yang baru saja memasuki ruangan, "Kami menemukan mayat beberapa penyihir di wilayah  Grensvacia. Namun ada dua penyihir yang tidak bisa kami temukan."

"Jadi mereka berhasill lolos? Tetap lakukan pencarian!"

Grensvacia atau yang lebih dikenal dengan perbatasan kosong adalah bagian terluar yang terpaut jauh dari gerbang-gerbang yang menjadi pintu masuk. Sebuah perbatasan yang menjadi poros terluar Xaverius, perbatasan langsung dengan negeri luar.

Seperti namanya, di sana terkumpul energi kekosongan, mereka yang tidak tahu apa-apa atau siapapun yang terlalu lama terjebak di sana akan mulai kehilangan jati diri, ingatan mereka. Dan semakin mereka kembali ke kekosongan maka mereka juga akan kehilangan eksistensi mereka, berubah menjadi partikel-partikel cahaya yang memenuhi tempat itu.

Tak sembarang orang yang bisa melewati perbatasan itu. Perbatasan itu pula yang membuat Xaverius tak terlihat oleh manusia biasa.

Di saat bersamaan gempa kembali mengguncang negeri 'pelindung' itu. Beberapa ada yang jatuh tersungkur karena guncangan yang cukup kuat datang tiba-tiba.

"Lagi?" Leonheart menoleh ke arah Sean yang masih fokus. Guncangan ini tak mempengaruhinya. Kemampuan Sean menstabilkan kondisi secara otomatis tak diragukan lagi. Kemapuannya tersalurkan ke setiap penyihir yang sedang bertugas dan membuat mereka tetap bisa fokus dengan tugas mereka.

Begitu guncangan mulai reda lagi-lagi datang seorang pembawa berita baru yang dengan tergesa-gesa memasuki ruangan.

"Tuan Muda, GAWAT! Terdapat lubang hitam yang terus meluas di bumi."

"APA?!"

Apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia mulai bertanya-tanya. Begitu banyak masalah beruntun yang terjadi hingga ia tak punya waktu untuk mengistirahatkan pikirannya.

Sepertinya entitas tak terlihat itu tak hanya mengincar Xaverius.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗



Alam mimpi terus bergerak. Mengisi kekosongan dengan kehidupan-kehidupan yang mulai bermekaran di berbagai sudut alam tersebut. Secara acak keabstrakan mulai menampakkan bentuknya, mewujud dalam keindahan multikultural.

Hari terus bergulir seiring bergulirnya hari di dunia nyata. Mungkin hitungan waktunya sama, mungkin juga berbeda. Tak ada yang mengetahui kebenaran misteri tersebut.

Petualangan pertama pemuda berambut warna-warni di realm malaikat telah berakhir. Ditandai dengan diundangnya dia dan para reverier lain di sebuah tempat yang cukup luas menyerupai sebuah kuil dengan patung-patung besar berjajar di kanan-kiri. Di sana diperlihatkan bagaimana alam mereka yang menjadi tempat pertarungan saat mereka ditandai mulai terhisap ke alam mimpi. Meninggalkan kekosongan mencekam di alam sesungguhnya.

Satu hal yang membuat pemuda itu begitu tertegun. Hatinya gelisah, gundah ia membuat orang-orang yang ia selamatkan terlibat dalam permasalahan ini. Tak hanya itu, terhisapnya dunia nyata ke alam ini berarti korban tak bersalah dan tak tahu apa-apa akan semakin bertambah.

Satu hal yang ia yakini jika ia ingin menyelamatkan semuanya. Ia harus menang dalam turnamen ini. Menang dengan tanpa mengorbankan siapapun, tentulah sebuah pemikiran yang membuatnya bimbang. Membuatnya terjebak dalam dilema.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗



Minggu, 14 Agustus
Tokyo, Shinagawa-ku, Higashi Gotanda 5-2-9

Tanpa perlu basa-basi, si Domba menyeretnya begitu saja setelah Ratu Huban memberikan perintah. Kini pemuda berambut warna warni bernama Kuro Godwill itu ditinggal sendirian dalam ketidak tahuan di tengah-tengah keramaian.

Lapangan membentang di depan gedung gagah kenegaraan berlambangkan burung garuda yang menolehkan kepalanya ke arah kanan.

Pelatihan baris-berbaris sedang dilaksakan dengan ketat di lapangan KBRI (Kedutaan Besar Republik indonesia) di Jepang. Pelatihan sangat keras dilakukan demi mengibarkan sang Saka merah putih dengan sempurna.

Suara pelatih dan komando barisan sangat lantang terdengar. Derap sepatu berbunyi secara kompak. Kuro terjebak di sana dalam kebingungan.

"Hei Kau! Apa yang kau tunggu? Sebentar lagi giliran pengibar!" diseretnya Kuro yang masih bengong melihat sekitarnya. Seolah mereka tak merasa asing dengan kehadiran si Pemuda yang terlalu tiba-tiba.

"Hah?!" tanda tanya dalam kepala Kuro semakin bertambah. Mungkin saja sang Kehendak juga telah mereset otak mereka.

2, 3 hari telah berlalu. Pelatihan berat telah usai, sang Saka berhasil dikibarkan tanpa cacat sedikitpun. Suasana keseriusan membuat Kuro tak bisa meninggalkan tempat itu begitu saja. Hingga ia akhirnya terpaksa mengikuti semuanya hingga akhir, hingga sang Saka berkibar di ujung tiang tertinggi, di langit biru negeri tetangga.

Tetesan air mata, suara tangisan bercampur senyuman bangga menghiasi wajah setiap jiwa begitu sang Saka berhasil dijunjung.

Kerja keras, Kekentalan, keakraban, keramahan, kekeluargaan terasa dalam jiwa-jiwa setiap orang yang ada di sana. Setelah sekian lama ia tidak berinteraksi dengan manusia-manusia di bumi secara langsung. Bahkan ia sendiri lupa bagaimana rasanya.

Bukan. Tapi ia sengaja melupakannya karena tak ingin mengenang pengalaman pahitnya.

Namun kali ini sebuah pelajaran berharga ia dapatkan dari memahami sebuah tindakan sosial. Sebuah kenangan yang patut diingat.

Kini saatnya Kuro pergi meninggalkan tempat itu mencari dombanya yang menghilang.



≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗



Aichi-ken, Nagoya-shi.

Kuro mengeluarkan smartphone-nya dan mulai berjalan. Smartphone itu adalah pemberian ibu si Kembar agar mudah berkomunikasi.

Ia membuka google maps untuk melihat lokasinya berada. Tata letak bumi benar-benar telah kacau. Jika berjalan ke depan ia akan sampai ke Aichi, Nagoya dalam 10 menit, dan 7 menit ke Nagano jika ia langkahkan kakinya ke arah kanan.

Coba pikir, bagaimana mungkin jarak yang seharusnya ditempuh selama 2 jam 40 menit dengan kereta bawah tanah®JR®shinkansen bisa ditempuh dengan jalan kaki dan hanya 10 menit?

"Huh," Kuro hanya bisa menghela nafas, "sepertinya google maps pun juga kacau," keluhnya sambil memutar-mutar smartphone-nya.

Ia harus segera menemukan dombanya, karena ia tak tahu kapan babak berikutnya akan dimulai.

Sepanjang perjalanan ia melewati AEON, Seven Eleven, Lawson, tapi tak juga sampai di tempat tujuannya. Ia coba langkahkah kakinya ke arah lain, melewati Bulan Bali (restoran masakan Indonesia).

"OASIS.....SKYLE Building.....HMV...Italian restaurant...Gusto..." sesekali ia dongakkan kepalanya membaca tulisan tempat-tempat yang ia lewati mencoba menghafal jalan.

Ia semakin bingung harus berjalan kemana, kini ia terhenti di depan sebuah maid cafe. Ia istirahat sejenak, di samping sebuah jihanki (sebuah mesin penjual otomastis, kita bisa membeli minuman yang ada di mesin tersebut dengan memasukkan koin  10, 50, 100, 500 atau lembaran uang 1000 yen)

Setelah perjalanan hampir 2 jam akhirnya ia sampai ke rumahnya. Sepertinya membaca peta melalui google maps pun juga bukan keahliannya. Jarak yang harusnya bisa ditempuh 10 menit, membutuhkan waktu lebih lama. Ya, tetap saja ia tersesat meskipun sudah memegang peta.

"Aku pulang."

"Selamat datang kembali," sambut ibu si kembar, "Yuuha, dan Yuuga masih mengikuto summer camp. Jadi istirahat saja dulu, kamu pasti lelah, atau mau makan dulu?"

"Tidak, terimakasih. Hmm...apa Mouton pulang ke sini?"

"Oh. Dia ada di atas, mungkin sedang tiduran dengan Zweite."

Kuro langsung bergegas naik ke lantai dua ke kamarnya. Memperhatikan seekor domba yang sedang meringkuk di samping tempat tidurnya.

Ada sesuatu yang berbeda dari domba itu. Lalu ia mengalihkan perhatian ke ranjangnya. Sebut saja kembarannya, sedang berbaring di sana. Ia langsung mendekatinya.

"Zweite!! Apa yang kau berikan pada Mouton? Kenapa ukurannya bisa sebesar ini? Dan dan ada apa dengan sayap itu?" Kuro mengguncang-guncang tubuh Zweite yang sedang tidur, begitu melihat domba yang ukurannya menjadi tiga kali lipat dari pertama ia mendapatkannya.

"Berisik! Kalau gemuk bagus dong? Bisa dijadiin sate domba," celetuk Zweite kesal, tak suka istirahatnya diganggu, ia lontarkan api ke arah domba.

Si Domba menghindar dan api mengenai dua mahakarya yang terpajang di kamar Kuro.

"WAAA!!! Mahakaryanya!! Apa yang kau lakukan?" Kuro panik, sptontan ia memegang kepala dengan kedua tangannya dan membelalakkan mata. karya yang dipinjamkan sang Kurator terbakar. "Air-air," ia celingukan mencari air.

Di tengah kepanikan itu Mouton si Domba memuntahkan air memadamkan api sebelum terjadi kebakaran yang serius. Kuro langsung melongo. Tubuhnya lemas seketika. Masalahnya bertumpuk jadi empat kali lipat.

"A-Apa yang harus kulakukan?" ucapnya dengan nada datar tak bertenaga, melihat karya bekas terbakar dan basah penuh dengan air yang masih menetes. Entah itu air liur atau apa. Keringat dingin mengucur tak kalah deras, memikirkan apa yang akan terjadi jika sang Kurator tahu akan hal ini. Tentunya ia tak ingin penduduk bingkai mimpinya dihukum karena ini.

Sebuah buku langsung melayang tepat mengenai kepala Kuro.

"Apa yang kau lakukan? Dan kenapa kau masih dalam wujud seperti itu?" teriaknya kesal. Menatap Zweite yang tak bisa membaca suasana, sembari mengambil buku yang dilempar Zweite.

"Aku bosan menjadi benda tak bergerak. Aku ingin bebas sejenak."

"Sveto Kendea Carta," ia membaca sampul buku yang ia pungut tadi yang merupakan pemberian malaikat Barakiel dan Enzeru. Buku yang berisi mengenai SayfEl Elyon, pedang suci yang diciptakan Tuhan. Tak hanya itu, di dalamnya juga tertera bagaimana cara mempelajari pengendalian elemen.

Ia membaca cepat buku itu. Mempelajari apa yang pernah ia kuasai tidaklah memakan banyak waktu. Hanya sekilas pandang dan semua bisa ia kuasai kembali.

"Ok. Aku mengerti," senyum terukir di wajahnya, ia menutup kembali buku yang ia baca.

[Firgren]

Api berwarna hijau kembali membakar dua karya yang sempat dibakar oleh Zweite dan disiram air  oleh Mouton.

PRAANG!

Suara kaca pecah terdengar. Seorang bocah cilik berkepala bantal ungu memakai jas hujan berwarna kuning, sebut saja Ratu Huban masuk melalui jendela yang pecah.

BLETAK-BLETAK

"Aw,"

"Apa yang kau lakukan Kuro-chan? Nanti Paman Nurma bisa marah," Ratu Huban memukul-mukul Kuro dengan tongkat permennya, "Jangan dibakar..."

"Bukan. Coba lihat baik-baik dulu,"

"Oh," Ratu Huban berhenti memukul Kuro, ternyata tidak terjadi apa-apa setelah api hijau itu padam.

Ya, firgren adalah sebuah api berwarna hijau yang bisa mengembalikan apapun yang hancur atau rusak ke dalam bentuk semulanya. Bahkan benda yang sudah menjadi abu pun bisa kembali utuh.

"Aku hanya ingin mengembalikannya seperti semula. Tadi Zweite membakarnya."

"APA?!" gunung api kecil langsung terbentuk di atas kepala Ratu Huban dan meledak. Erupsinya tidak mengeluarkan maghma  melainkan menyemburkan permen dan coklat-coklat yang menyiprat ke mana-mana. Ekspresi terkejut Ratu Huban tergambarkan dalam berbagai bentuk.

Tak lupa Kuro langsung menggunakan prison wind, sebuah barrier transparan terbentuk dari angin untuk melindungi dua karyanya dan dirinya sendiri dari cipratan coklat yang meledak.

Mendengar keributan, ibu si kembar langsung naik ke atas dan,

"Apa-apain ini? Kenapa kalian ribut-ribut?" ibu si kembar berkata dengan nada marah, menatap tajam, "Jika kalian ingin berkelahi, KELUAR DARI SINI!!!" bentak sang Ibu.

Kemarahannya meledak melihat kamar yang jadi berantakan. Mereka pun di usir dari rumah karena membuat kekacauan.

"Sial. Gara-gara kalian aku juga kena," gerutu Zweite sepanjang jalan. Ia hanya ingin istirahat dengan tenang sebelum masalah besar kembali melanda.

Namun gerutuan Zweite diabaikan oleh Kuro. Kini mereka telah berada di sungai, tempat pertama kali Kuro sampai di bingkai mimpi itu.

"AAAH. Sudahlah. Ayo mandi Mouton. Tubuhmu penuh coklat,"

"Mbeek,"

"Hei Ratu Huban, bukankan kalian bilang bingkai mimpi ini terbentuk dari bingkai mimpi terakhir sebelum kami memasuki museum semesta?

"Yaps."

Kuro masih menatap ke langit memperhatikan awan, entah apa yang ia cari dari awan-awan yang berarak di langit biru itu. Ratu Huban masih setia menemaninya duduk di sampingnya. Memantau setiap ekspresi yang muncul dari sosok yang ada di sampingnya itu.

"Lalu kenapa Xaverius tidak ada?"

"Xaverius?"

"Aku ingat, harusnya di sana ada Xaverius," ucap Kuro sambil menunjuk ke arah bekasnya melawan sang Dewa sebelumnya.

"Ah iya," Ratu Huban mengingat sesuatu mengenai semesta, Kuro berasal, "sepertinya dunia asalmu itu menolak interaksi dengan alam ini."

"Apa maksudmu?"

"Entahlah. Seharusnya secara otomatis semestamu juga tertarik ke alam ini karena menjadi bingkai mimpi pertarungan. Tapi ada yang menghalangi proses itu jadi Xaverius tak bisa terbentuk lagi di sini. Bahkan kehendak 'sang Kehendak' pun ditolak mentah-mentah." Jawabnya sambil berlari-lari, menari-nari mengitari Kuro. "Hmm...alam yang menarik. Hihihi," lanjutnya sambil cekikikan.

Kuro tertunduk lesu. Ia lega setidaknya orang-orang di semestanya selamat dan korban tidak bertambah, di sisi lain seolah satu harapannya untuk menemukan jawaban dari pertanyan-pertanyaannya sirna.

Ia masih bertanya-tanya kenapa para malaikat itu menyebutnya sebagai 'Putera Tuhan'?. Mungkin karena darah dewa yang mengalir dalam tubuhnya. Di sisi lain darah siluman dan manusia juga mengalir dalam tubuhnya. Pantas saja di awal malaikat-malaikat itu hampir membunuhnya.

Akan tetapi pemikiran seperti itu tak akan pernah terpikirkan oleh Kuro. Pengasuhnya menyembunyikan rapat-rapat identitas Kuro yang sesungguhnya. Bahkan sampai mereka berpisah, tak satu katapun tentang identitasnya yang disampaikan. Hanya surat-surat dari kedua orang tua yang tidak pernah ia temui diberikan kepadanya bersama sepasang pedang kembar.

Ratu Huban memperhatikan wajah Kuro yang terlihat sedih meskipun ia tak memiliki mata. Namun kepala bantalnya bisa meproyeksikan setiap ekspresi makhluk yang ia lihat. Lalu ia kembali bertanya.

"Memangnya ada apa dengan Xaverius? Bukankah di sini kau juga mendapat tempat tinggal?"

"Ada sesuatu yang ingin kuambil."

"Hmmm...apa itu? Mungkin bisa kubantu?" Ratu Huban kembali berjongkok menatap Kuro.

"Sebuah kotak, tempat pedang pertama kali aku menerimanya. Di dalamnya ada surat-surat dari ayah dan ibu," jelasnya sambil menggerakkan ke dua tangannya memperagakan seberapa panjang kotak tersebut.

Ratu Huban tetap mengamati reverier yang ada di depan kepala bantalnya itu. Mungkin dia merindukan orang tuanya dan merasa kesepian, begitulah pikirnya.

"Ok. Akan kubantu! Pejamkan matamu dan bayangkan pertama kali kau mendapatkannya. Aku tak bisa mengambil dari semesta aslimu tapi setidaknya dari mimpimu aku bisa membawanya ke sini. Meskipun bukan asli tapi masih tetap sama seperti yang asli."

Kuro memejamkan matanya dan mulai menjatuhkan kesadarannya sesuai perintah Ratu Huban.

Ratu Huban memutar-mutar tongkat permennya bersiap membuka portal. Tiba-tiba kilatan cahaya datang dari atas, megikat tubuh Kuro. lingkaran cahaya terbentuk di sekitar Kuro.

"Eh? Lho? Apa ini?" Ratu Huban terheran-heran dengan yang ia lihat. Cahaya itu seolah mulai menarik tubuh Kuro. "Pergi! Jangan makan Kuro," Ratu Huban memukul-mukul tongkat permennya ke cahaya itu.

"Itu...." Zweite yang sedang memandikan Mouton langsung beranjak, lari mendekati Ratu Huban, ia mengangkat tubuh mungil Ratu Huban.

"Jangan ganggu! Biarkan seperti itu," perintah Zweite.

"Tapi-tapi Kuro-chan...." Ratu Huban terus memberontak, "kalau kita tidak melakukan sesuatu Kuro akan..."

"Semua akan baik-baik saja. Biarkan saja," tukasnya.

Ratu Huban tetap saja khawatir dengan reverier yang satu itu, ia memukul Zweite dan melemparkan tongkat permennya ke arah Kuro. Seketika sebuah hempasan terjadi bersamaan dengan munculnya sebuah kotak di depan Kuro. Cahaya-cahaya itu mulai menghilang.

Karena hempasan tadi Zweite dan Ratu Huban tersungkur. Ratu Huban yang masih dalam gendongan Zweite menindih tubuhnya.

"Ugh. Gara-gara kau kesempatan pulang jadi hilang. Cih," Zweite berdecak kesal.

"Pulang?"

"Tadi itu sihir pemanggil jiwa," jawabnya, "kalau saja kau tidak mengganggu, kami sudah pergi dari alam terkutuk ini." Lanjutnya dengan nada sinis dan kesal.

"Wah, semesta kalian hebat juga ya. Ada yang seperti itu. Nggak cuma menentang sang Kehendak. Keren-keren," di kepala bantalnya bermunculan bunga-bunga dan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip mengungkapkan ekspresi kagum si Kepala Bantal yang tak bermuka kala itu. Zweite hanya memandang sinis.

Kuro membuka matanya. Ia tak menyadari apa yang baru saja terjadi. "Terima kasih Ratu Huban," ia membuka kotak itu dan mulai membaca kembali suratnya.

"Boleh aku ikut membaca?" ucapnya penasaran, ia mengambil tongkat permennya dan mendekati Kuro.

"Ya, tentu saja. Tak ada yang perlu dirahasiakan dari surat-surat ini."

Ratu Huban mulai membuka surat milik Kuro satu per satu. Isinya menarik, kebanyakan tentang masa kecil Kuro. Membaca setiap kalimat yang dituliskan dalam surat itu membuat Ratu Huban berpikir bahwa ayahnya orang yang aneh dan overprotektiv dengan puteranya, mungkin bisa dibilang son complex?.

 Hanya saja satu yang membuatnya merasa aneh, kenapa ia tega meninggalkan putera semata wayangnya di usia sepuluh tahun?.

Berbeda dengan surat-surat ayahnya yang penuh emosi dan ekspresif. Surat dari sang ibu lebih berisi tentang nasihat-nasihat dan beberapa permintaan maaf karena meninggalkannya sejak bayi. Ada alasan yang belum bisa ia jelaskan saat ini yang mungkin akan dijelaskan di surat-surat berikutnya.

Dari semua surat yang sudah dibaca tak ada satupun yang menjelaskan siapa sebenarnya mereka. Hanya curahan kasih sayang yang disampaikan melalui goresan tinta.

"Ugh, yang ini nggak bisa di buka,"

"Berarti belum waktunya,"

"Memangnya surat ada masa berlakunya?" tanyanya penasaran.

"Surat-surat ini seperti hadiah ulang tahun bagiku. Setiap surat bisa di buka dihari yang telah ditentukan, kado yang sangat berharga," senyum mengembang di mukanya begitu menjawab pertanyaan Ratu Huban, "mereka sengaja mempersiapan semua ini untukku, meski kami tidak bisa bertemu. Dari semua surat yang kubaca setidaknya aku tahu mereka menyayangiku. Kemarikan surat itu!"

Ratu Huban menyerahkan surat yang tidak bisa dibuka itu kepada Kuro. Namun begitu Kuro memegangnya segelnya terbuka. Ia terdiam sejenak.

"Semuanya masing-masing ada dua puluh, berarti usiamu sekarang dua puluh tahun ya?"

"Aneh. Sekarang masih bulan Agustus, kan?" alis dikeningnya semakin mengkerut membuatnya terlihat hampir menyatu di tengah.

"Iya. Wuoh. Sepertinya bisa dibuka ya? Apa hari ini ulang tahunmu?" tanyanya dengan semangat, "Selamat! Berarti sekarang usiamu dua puluh satu tahun?"

"Bukan. Harusnya hanya bisa dibuka tanggal sepuluh Oktober....."

"Hmmm...itu tidak penting, ayo baca saja isinya!" Ratu Huban lebih tertarik dengan isinya. Bersama mereka membuka surat itu. Terdapat beberapa lembar surat.

≛≚≚≚≛

Dear putra tercintaku,
kali ini kau pasti penasaran kenapa suratnya bisa dibuka lebih awal dari surat-surat sebelumnya, bukan?(・∀・)
Ah tidak-tidak, itu pun kalau kau mencoba membukanya. Kalau tidak tetap saja akan terbuka di hari ulang tahunmu. Hoho, sepertinya ayahmu ini bisa memprediksi apa yang akan kau lakukan. Yeah, namanya juga seorang ayah pasti punya insting tentang putera kesayangannya.

Apa kau sudah punya wanita yang kau sukai? (。・ω・。)ノ♡
Jika  sudah, lansung nikahi dia!
Aku ingin melihatnya, aku juga ingin melihat cucuku TTATT (/ω\)

Ok. Tak perlu basa-basi lagi. Sebenarnya 17 Agustus adalah hari spesial bagi ayah. Hari dimana ayah bertemu pertama kali dengan ibumu. Kau pasti penasaran dengan ibumu kan? Iya kan? Dari foto yang ayah lampirkan sekarang kau bisa tahu seperti apa ibumu. Cantik kan? Seperti bidadari turun dari surga. Ah bukan seperti lagi. Tapi dia memang bidadari sungguhan. Ayah sendiri jatuh cinta pada pandangan pertama. ♡♡♡
≛≚≚≚≛

"Kau tidak risih punya ayah alay seperti ini?"

"Aku tak pernah bertemu dengan beliau,"

"Kau akan menyesal jika bertemu dengannya," tambah Zweite.

".....,"

Mereka pun melanjutkan membaca.

≛≚≚≚≛
Hmm...kurasa sudah saatnya kau mengetahui semuanya. Usiamu sudah cukup matang untuk menerima kenyataan. Sebenarnya ayah tidak ingin menceritakannya tapi apa boleh buat takdir berkata lain. Keinginan ayah membesarkanmu sebagai anak biasa-biasa saja gagal.

Dari sini ayah akan menceritakan semuanya. Termasuk semua yang sengaja ayah sembunyikan darimu. Tentang siapa sebenarnya ibumu, dan orang seperti apakah ayahmu ini.
≛≚≚≚≛

⊜⊜✜⊜⊜


⊜⊜✜⊜⊜




Begitu selesai membaca lembar kesepuluh itu, Kuro membelalakkan mata, tangannya yang masih memegang kertas bergetar.

Perjuangan sang ibu yang berusaha melahirkannya, perjuangan sang ayah yang berusaha mempertahankannya agar tetap hidup. Semua masih terbayang jelas di otaknya.

"Jadi....aku....aku ini memang pembawa masalah...?" tangannya mulai meremas kertas yang ia pegang, tetap gemetaran, "Karena aku, ayah...dan...ibu..."

"Bukan. Bodoh!" Zweite memukul Kuro, ia menghela nafas, "Hah, kenapa pikiranmu masih sempit juga sih?"

"Ta-tapi karena aku ibu...,"

"Dengar! Kalau dewi Zhu mendapat hukuman, itu salah dia sendiri kenapa jatuh cinta pada pria bodoh itu. Tentunya dia tahu konsekuensi atas tindakannya. Kau adalah bukti cinta mereka. Kalau mereka tidak menginginkanmu, mana mungkin dia melahirkanmu. Pastinya sudah digugurkan. Dan lagi pria bodoh itu tidak akan mengirim Key dan juga aku untuk menjaga puteranya yang labil ini." Jelasnya panjang lebar dengan nada ketus.

"Kalau kau menuntut penjelasan lebih tentang pria bodoh itu. Tunggu saja surat berikutnya." Tambahnya.

"Huu huuu. Perjuangan yang sangat berat. Zweite jangan marah-marah dong. Kasian Kuro." Komentar singkat Ratu Huban sambil mengkerutkan kepala bantalnya.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗



Planet Niksaw, Kekaisaran Nagart

Selagi mereka masih sibuk membaca surat dan Ratu Huban lupa akan tugasnya untuk menyampaikan segera dimulainya babak berikutnya, mari kita intip kehidupan damai di bukit nan sejuk dan alami sang Dewa Arak Kolong Langit, serta kedua muridnya.

Harusnya di atas bukit udaranya memang segar tapi, bukannya aroma dedaunan dan tanah sepanjang hidung menghirup oksigen,  melainkan aroma arak tercium dimana-mana, membuat orang yang tidak terbiasa dengan aromanya langsung muntah seketika begitu memasuki bukit itu.

2, 4, 6, 8 ember gerobak muatan. Merah, hijau, coklat, biru. Murid yang berguna dengan watak yang berbeda, keliling lautan arak yang jauh, naik-turun bukit, Roan dan Sidya.

Ok, ini bukan lagu Thomas and his Friends. Tapi seperti itulah kondisi mereka saat ini.

Marikh, atau yang akrab disebut dengan julukan Dewa Arak, sedang tiduran di atas pohon, sambil sesekali meneguk arak dari botol kesayangannya.

Sementara kedua muridnya, yang satu seorang puteri kaisar berusia sepuluh tahun dengan dandanan seperti laki-laki bernama Sidya, dan satunya lagi seorang laki-laki berumur dua puluh tahun bernama Roan sedang berlatih sesuai instruksi gurunya.

Mereka naik-turun bukit membawa arak dengan ember dari lautan arak. Sidya membawa dua ember berukuran sedang. Roan membawa dengan gerobak yang sekali jalan bisa mengangkut lima ember ukuran besar. Mereka sudah berlatih sejak pagi dan Ratusan ember berisi penuh dengan arak sudah terkumpul di halaman yang luas itu.

Entah akan diapakan oleh guru mereka arak-arak itu.

"Guru! Kami sudah selesai mengangkut arak. Ayo kita cari makan!" teriak Sidya dari bawah.

"Etika rimba persilatan nomer delapan,"

"Balas dendam! Penting jika orang yang kau balaskan dendamnya juga penting bagimu!"

"Nomor satu!"

"Jangan gunakan trik kotor!"

"Bagus. Jangan sampai lupa semuanya." Marikh bersalto turun dari pohon, "Ayo kita makan."

Mereka pun beranjak pergi menuruni bukit. Sebenarnya Marikh malas bertemu dengan orang-orang primitif aneh yang suka menari-nari yang tinggal di bawah bukit. Namun apa boleh buat.

"Guru, lalu untuk apa arak-arak itu diangkut keatas? Apa guru ingin mandi arak?" tanya Sidya penasaran dan sesekali melirik ke arah ember-ember arak yang tadi ia angkut.

"Kalian sudah melakukan sebanyak itu tapi masih tidak sadar juga?" tegasnya.

"Kami tidak mengerti guru. Apa ini untuk memperkuat fisik kami?" tanya Roan.

"Lebih dari itu. Harusnya kalian sadar. Bukankan kusuruh kalian agar tidak menumpahkan barang setetes pun selama perjalanan? Dan kalian berhasil? Coba renungkan baik-baik dan tingkatkan kepekaan kalian."

"Guru tidak mabuk kan?" Sidya berlari mendahului gurunya dan menatapnya.

"Mana mungkin aku mabuk. Aku baru minum sebotol hari ini."

Setibanya di kaki bukit, mereka bingung mau melangkahkan kaki mereka kemana.

"Roan, pinjam tongkatmu!" marikh mengulurkan tangannya ke arah Roan.

"Ini guru,"

"Dengan ini kita akan menentukan arah kita pergi," Marikh mendirikan tongkat Roan dan melepaskannya. Membiarkannya jatuh ke sembarang arah. Tapi tongkat itu tumbang ke arah depan.

"Hmmm," gumam Marikh sembari menatap lurus.

"Tapi guru, di sana kosong, tidak ada apa-apa," Sidya mengerutkan alisnya dan memanyunkan mulutnya. "Ah! Bagaimana kalau ke kanan saja? Sepertinya di sana ada toko-toko baru dan lebih menyenangkan," sarannya sembari menunjuk ke arah kompleks pertokoan.

"Ok. Kita ke sana. Sepertinya si Baban benar, bingkai ini jadi semakin luas."




Lagi-lagi mereka dihadapkan dengan pilihan yang membingungkan. Terlalu banyak toko dan huruf yang tak bisa dibaca.

"Da....song.....Ngggg....tai...wan...liaoli," Sidya yang puteri kerajaan berusaha membaca huruf-huruf itu.

"Jadi kemana kita harus masuk?"

"Pinus besar saja guru, mungkin porsinya banyak makanya namanya pinus besar (dasong)," sahut Sidya dengan semangat.

Begitu mereka membuka pintu, bunyi lonceng terdengar dan senyum hangat menyambut mereka.

"Irasshaimase,"
(selamat datang)

"IrasshaiMBAKE," balas Marikh dengan tampang konyol yang sebenarnya tidak mengerti apa yang dibilang oleh pelayan wanita itu.

"Nanmei sama desuka?"
(untuk berapa orang?"

"Nggg.."

"Kin'en no tokoro, yoroshii deshouka?

"Guru, dia bicara apa? Aku tidak mengerti" bisik Sidya yang bersembunyi di belakang gurunya, ia memegang erat baju gurunya itu.

"Ini dimana sih? Kok bahasanya jadi aneh?" ganti Roan yang berbisik.

"Panggil Ratu Tuban, jangan-jangan kita tidak sedang di bingkai mimpi kita? Ini gimana caranya ngaktifin pernerjemahan universal?"

Sementara itu sang pelayan masih menunggu dengan senyum.

"Ja-jadi kita tidak sedang di Nagart? Tapi guru, kita tidak menunggangi Ba waktu kemari, jadi mana mungkin kita.."

Ba adalah nama yang diberikan ke domba pemberian Ratu Huban yang bisa melintasi portal antar semesta di alam mimpi.

"Mereka bersamaku," seorang laki-laki berpenampilan ala mafia memanggil dengan mengangkat tangannya dari tempatnya duduk.

Mendadak penerjemahan universal langsung berlaku.

"Ah, kalau begitu, silahkan kemari."

"Ngg..," Marikh memegang dagunya dan memejamkan matanya, gaya ala orang sedang berpikir.

"Ah paman-paman yang waktu itu, ya?" Sidya ingat pernah melihatnya sekali seusai gurunya mengalahkan naga.  

"Ah, JAE-KURMA!" teriak Marikh sambil menunjuk orang yang ada di depannya.

"Zainurma." tegasnya membenarkan dengan nada sinis, satu reverier ini masih saja menyebut nama panitia seenaknya, "Aku tahu kalian sedang lapar, jadi kali ini aku akan berbaik hati,"

"Jadi benar, ini di bingkai mimpi lain?"

"Iya. Bingkai mimpi kalian ada di seberang. Jika kalian bisa ke sini itu artinya sebentar lagi akan dimulai."

"Ho, jadi tidak perlu pakai domba lagi untuk pindah dimensi?"

"Kali ini tidak. Ngomong-ngomong kalau kau mau makan, aku sarankan pesan hitsumabushi saja, lalu tebasaki. Itu makanan khas di sini. Terutama hitsumabushi.

"Tebasaki....ini kan sayap ayam?" Sidya masih membolak-balik menu yang ada.

"Iya memang. Itu enak, kalian tidak akan menyesal, bumbunya yang gurih dan dagingnya yang lembut sampai ke tulang, dijamin puas."

"Terus apa itu hitsumabushi?"

"Semacam makanan belut panggang yang ditaruh diatas nasi, ini yang terlezat."

"Paman kok kayak sales ya, tahu macam-macam," celetuk Sidya sekenanya.

"Jangan lancang. Itu lah kemampuan seorang Kurator, punya pengetahuan yang luas."

Mereka pun memesan sesuai saran Zainurma dan melanjutkan obrolan.

"Jadi Zai, kapan ronde dua akan dimulai?"

"Sekarang sudah di mulai,"

"Kenapa tidak bilang dari tadi?" Marikh mendadak berteriak, makanan yang ia kunyah muncrat kemana-mana, "Berarti kita telat? Lalu tempatnya dimana?"

"Di sini." Jawabnya sembari menyeringai, ia berdiri dari tempat duduknya, "Selamat bersenang-senang di Ronde kedua dan selamat tinggal." Zainurma melangkah meninggal tempat makan itu, tak lupa ia meninggalkan sekantung uang di atas meja sebagai hadiah dimulainya ronde dua.

"Woi tunggu! Apa maksudnya di sini? Dan dimana lawanku?"

"Guru, ada surat di dalam kantung uang ini,"

"Apa isinya?"

"Kalahkan pemilik bingkai mimpi ini sesegera mungkin atau laut arakmu akan musnah,"

"Ayo kita pulang." Marikh yang selesai makan langsung berdiri dan beranjak pergi.

"Loh? Nggak langsung nyari aja, guru?"

"Kita ambil Ba dulu,"

Sebelum mereka beranjak dari tempat duduk, sebuah hidangan penutup dan sake di sodorkan ke meja mereka. terselip sebuah memo kecil. Marikh membaca isi memo itu.

Setelah itu mereka pun langsung meninggalkan kedai makanan itu dan kembali ke Nagart. Ada yang terlihat aneh begitu mereka memasuki Nagart. Terlihat Naga-naga dan burung phoenix bermunculan, mengejar warga yang histeris dan ketakutan. Sesekali proyeksi-proyeksi makhluk tersebut hancur menabrak bangunan kemudian terbentuk lagi. Kejadian itu terus berulang. Mereka memperhatikan dari jauh.

"KYAAA!" teriak Sidya sembari memejamkan matanya menyilangkan kedua tangannya dalam posisi bertahan.

Seorang warga Nagart berlari melintas ke arah mereka, burung phoenix yang mengejar warga itu menembus Sidya.

"A-Apa yang sebenarnya terjadi...?,"

Pandangan Roan dan Marikh mengikuti arah berlarinya warga tersebut. Marikh memperhatikan sembari meneguk arak tepatnya sake yang ia borong dari kedai tempat ia makan tadi.

"Ng...arak dari bingkai sebelah ternyata enak juga," ia meneguk tiap botol hingga tetes terakhir kemudian membuang botolnya sembarangan.

Dari atas bukit terdengar surara embikan mendekat dengan kecepatan tinggi. Domba itu membawa meriam.                                                                                                                          

"Domba pintar, hiks, ternyata kau tahu juga aku sedang mencarimu," Marikh membuka satu botol lagi dan meminumnya hingga habis, "Kalau begitu ayo kita cari bocah terrier dari sebelah,"

Sidya masih terpaku melihat keanehan yang terjadi di Nagart. Penduduk berlari kesana-kemari, kondisi semakin kacau, bahkan teriakan mereka terdengar hingga tempat mereka berdiri. Tak hanya itu, Nagart semakin terlihat suram dan kelam, membuatnya bergidik merinding.

"Ayo murid-muridku, saatnya bertualang,"

Mereka pun kembali memasuki bingkai mimpi yang bersandingan dengan bingkai mimpi mereka.

Rupanya tidak hanya Nagart saja, semakin mereka memasuki bagian terdalam bingkai mimpi itu, mulai terlihat keanehan serupa dengan apa yang terjadi di Nagart, kepulan asap membubung, gedung-gedung retak, terbelah menjadi dua, hancur, luluh lantak. Suara ledakan-ledakan menyusul setelah guncangan-guncangan dahsyat yang acap kali terjadi secara tiba-tiba, langit gelap halilintar menggelegar, suara listrik konslet dan kebakaran mebuatnya terlihat tambah mengerikan.

Kondisi itu menyulitkan perjalanan mereka mencari pemilik bingkai mimpi.

Terkadang muncul pula pesawat-pesawat tempur yang menjatuhkan bom nuklir dan membuat ledakan berdebum keras meratakan daratan. Semua itu hanyalah ilusi, namun ketakutan terasa begitu nyata. Jeritan, tangisan, rintihan, doa-doa memohon perlindungan diteriakkan.

"Hidup Kaisar!!"

Warga bahkan terkadang meneriakkan hal-hal absurb.

Di sanalah tempat tinggal para veteran perang dunia, mereka yang sempat merasakan gempa dahsyat yang pernah menghancurkan negeri itu, yang pernah merasakan tsunami melanda negeri itu.

Ketakutan mereka berpadu menjadi satu yang mewujud dalam ilusi yang menjadi nyata. Tragedi maut kembali terjadi dalam bentuk mimpi buruk.

Sidya semakin ketakutan menyaksikan apa yang ia lihat sepanjang perjalanan. Ternyata kondisi di sini lebih parah dari apa yang ia lihat di Nagart, ia memegang erat baju gurunya yang mulai berjalan sempoyongan karena mabuk. Sudah hampir sepuluh botol ia teguk sepanjang perjalan.

"Hahaha. Ini keren. Seperti melihat film 3D. Efek suaranya wow banget, sensasinya...ciamik, siapa sih sutradaranya?," Marikh terkekeh menikmati perjalanan, berbanding terbalik dengan Sidya yang ketakutan.

Roan hanya mengamati setiap jalan yang mereka lalui, memperhatikan baik-baik siapa tahu mereka berpapasan dengan orang yang sedang mereka cari.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗


Sampai beberapa menit yang lalu Kuro, Zweite, Ratu Huban, serta Mouton berada di sungai, membaca surat terbaru dari ayah Kuro. Sedikit  dari pertanyaan-pertanyaannya terjawab melalui lembar-lembar pesan dari masa lalu itu.

Seuasainya, segera ia rapikan kembali surat-suratnya, ia juga memasukkan Sveto Kendea Carta juga Sayfel Elyon ke dalamnya.

Karena ada yang ia sadari, sesuatu tak berjalan dengan semestinya. Langit begitu cerah tapi suara halilintar menggelegar terkadang terdengar begitu memekakkan telinga.

Ia coba tengadahkan kepalanya ke langit, dan memang dari jauh terlihat awan hitam bergumul, warnanya merah gelap, kilatan cahaya kadang terlihat. Seperti bohlam yang sudah waktunya diganti.

"Hm, sudah mulai ya?" Ratu Huban menyadari sesuatu bersamaan dengan itu smarthphone Kuro berbunyi. Sebuah line video call dari sang Kurator.

"Sepertinya si Kepala Bantal lupa dengan tugasnya. Hah. Karena aku sedang sibuk jadi singkat saja. Dan dengar baik-baik. Ronde kedua telah dimulai. Tentunya kau bisa merasakan tanda-tandanya. Lawanmu adalah reverier yang bisa masuk ke bingkai mimpimu. Kau bebas melakukan apapun untuk mengalahkannya. Kalahkan sebelum kondisi bingkai mimpimu semakin memburuk....."

Mendadak video call langsung terputus. Berkali-kali smartphone Kuro bergetar dan berbunyi seperti alarm jam beker. Berkali-kali pula suara operator perempuan terdengar. Tentu saja dia kaget dengan apa yang terjadi karena ini pertama kalinya dia mengalami hal seperti ini.

Lalu di layarnya muncul pemberitahuan,

KYUUKYUU JISHIN SOKUHOU
_____________________

Xxxx/08/17 17:35
Nagoya de jishin hassei.
Tsuyoi yure ni sonaete kudasai.
 (Kishouchou)


 Peringatan Gempa Darurat
_____________________

Xxxx/08/17 17:35
Akan terjadi gempa di Nagoya
Bersiaplah untuk guncangan yang kuat.
(Badan Meteorologi)


"Ah! Sepertinya sudah waktunya aku pergi. Paman Nurma juga sudah menyampaikan pesannya. Semoga sukses dan sampai Jumpa!"

Ratu Huban menghilang bersama dengan portal yang ia buat.

Lagi, sebuah babak yang meninggalkan pertanyaan besar dimulai.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗


Sementara itu di museum semesta, sang Kurator yang teleponnya mendadak terputus bertemu dengan sosok yang tidak terduga.

"Sepertinya menyenangkan sekali mempermaikan jiwa mereka,"

Sontak sang Kurator langsung memutar kursinya, ke sumber suara.

"Kau....," ia ingat pernah melihatnya di salah satu bingkai mimpi reverier, "seingatku sang Kehendak tidak merekrut staff tambahan,"

"Aku hanya ingin mengambil yang seharusnya menjadi milikku,"sosok itu menyeringai, "dan aku akan sangat bersyukur jika kalian bisa melenyapkan sisa-sisanya," lanjutnya.

"Kau ini dewa yang penuh percaya diri sekali," balas sang Kurator dengan seringai yang tak kalah sinis.

"Aku tak punya banyak waktu bermain-main. Terima kasih sudah menunjukkan tempatnya." Sosok yang di sebut dewa oleh sang Kurator pun menghilang setelah melambaikan tangannya.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗

Kuro dan Zweite segera berlari pulang ia khawatir terjadi sesuatu dengan keluarganya, Mouton mengikuti dari belakang.

"Eh kalian sudah pulang? Maaf tadi ibu marah-marah,"

Kuro merasa lega melihat ibu si kembar baik-baik saja. Lalu mereka langsung beranjak pegi lagi.

"Loh? Udah pergi lagi?"

"Maaf. Ada sesuatu yang harus kami selesaikan." Jawabnya tergesa-gesa.

Mereka memasuki wilayah perkotaan. Ternyata kondisi yang terjadi berbeda-beda. Tempat ini memang terpisah lumayan jauh dari rumah tempat tinggal si kebar.

Di sini kekacauan sangat terlihat. Ada yang histeris tanpa alasan. Ada pula yang meringkuk, memojok di sudut gang maupun di bawah pohon. Mereka semua terlihat ketakutan dan seperti telihat stress yang menumpuk. Terkadang muncul pula makhluk-makhluk aneh.

Misalnya saja, yang saat ini ada di depan mata Kuro. seekor/seorang/ entah kata sebut apa yang cocok untuk satu Titan yang telanjang bulat, otot-ototnya terlihat seperti kulit tubuhnya terkelupas. Rahang giginya terlihat tanpa penghalang, raksasa setinggi 10 meteran itu sedang mengejar seorang remaja yang berlari ketakutan, kemudian lenyap begitu saja dan digantikan dengan gozila.

Kondisi ini membuat bingung Kuro. Kalaupun ingin menolong mereka, ia tak tahu harus bagaimana. Karena jika ada makhluk aneh muncul, makhluk itu akan muncul dan lenyap sewaktu-waktu dan ketika Kuro coba menghadang atau melawannya, makhluk itu menembus tubuhnya begitu saja. Seolah hanya yang dikejarlah yang bisa bersentuhan langsung dengan makhluk itu.

Ia tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mereka. ia juga tak tahu disebut apakah semua yang terjadi ini.

Ia terus berjalan, berharap segera bertemu dengan orang yang dimaksud sang Kurator. Akan tetapi, ia sendiri juga tidak tahu harus bagaimana jika sudah bertemu.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗



Nagoya-shi, Kita-ku, Tsuji-chou.

Sementara itu, rombongan Dewa Arak dengan tujuan yang sama juga sedang berkeliling di bingkai mimpi milik Kuro. Susah juga menemukan reverier di bingkai mimpi yang cukup luas.

Satu yang mereka pikirkan, semoga yang di cari tidak sedang di Nagart, akan lucu jika demikian. Mereka tidak akan pernah bertemu karena saling mencari di tempat yang benar-benar berdeda.

Akhirnya mereka pun sampai di tempat yang masih cukup tenang, sepertinya wabah 'kekacauan' itu belum menjangkau wilayah ini. Lalu mereka pun bertanya kepada seorang nenek-nenek yang sedang duduk di depan rumah.

"Maaf nek, kami sedang mencari orang ini, dia mebawa domba putih.." tanya sidya sambil menunjukkan foto kepada nenek-nenek itu.

"Apa domba?" karena nenek-nenek itu sudah rabun dan pendengarannya juga tidak terlalu baik, dia hanya menjawab setahunya saja, "Kalau kalian jalan lurus lalu di pertigaan depan belok kanan, masuk saja ke kuil itu, di sana ada domba,"

"Terimakasih nek,"

Mereka pun melanjutkan perjalan sesuai petunjuk si nenek. Dan benar mereka menemukan domba.

"Woi domba! Katakan dimana pemilikmu!" tanya Marikh sambil menuding-nuding domba di depannya.

"Sepertinya guru benar-benar sudah mabuk," Sidya hanya bisa menghela nafas.

"Ini memang domba, tapi patung, bukan domba sungguhan. Guru, coba perhatikan baik-baik!" ujar Roan.

"Ho, jadi domba milik reverier bingkai mimpi ini bisa berubah jadi batu?" Marikh mulai ngawur.

Kalau sudah begini, kedua muridnya hanya bisa menepuk jidat.

"Dan kenapa dombanya bisa dua? Sementara kita cuma dikasih satu saja? Latu Dufan curang, pelit..." Marikh masih saja melanjutkan celotehan tak jelasnya dengan mata yang agak sayu.

Seperti kata Roan, domba tersebut hanyalah sebuah patung. Mereka tiba di Hitsuji Jinja (Kuil Domba).

Roan langsung menyeret gurunya itu keluar dari kuil sebelum kepala pendeta menegur mereka. mereka pun melanjutkan perjalanan.

Mereka terus berjalan, menaiki bukit, memasuki hutan. Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Yang pada akhirnya setelah perjalanan panjang mereka sampai di Heiwa Kouen (Taman Perdamaian), Chikusa-ku melewati ichimanpo ko-su (10thousands steps course), dan mereka pun beristirahat sejenak di sekitar Nijitou (Menara Pelangi).

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tak perlu bersusah payah lagi. Sidya yang sedang melihat-lihat pelangi di dalam menara pelangi melihat dua orang pemuda kembar bersama seekor domba sedang berjalan begitu ia menoleh.

 "Kakak, coba ke sini!" panggilnya, ingin Roan juga memastikan.

"Ada apa?"

"Itu, lihat! Dia reverier yang dimaksud paman mafia kan?"

"Guru! Guru ! Kami menemukan reverier." Roan langsung berlari memberi tahu gurunya.

"Apa? jadi rapper? Sejak kapan kau bisa nyanyi?"

"Duh, bukan rapper, tapi reverier pemilik bingkai mimpi ini." Tegas Roan.

"Oh reverier," Marikh masih menanggapi dengan santai, "ah? Eh. Bilang dari tadi dong."


Sementara itu, Sidya berusaha menghentikan kedua pemuda yang dianggapnya sebagai reverier.

"Kakak kembar di sana!" teriaknya sambil berlari mendekat.

Namun yang dipanggil tidak merasa karena tidak menggunakan nama mereka.

"Kakak kembar yang membawa domba!" sekali lagi Sidya mencoba menghentikan dua pemuda yang terus berjalan itu.

"Kau dengar suara, Zweite?"

"Bodo amat, emang yang di panggil kita?"

"Sepertinya suara tadi menyebut domba juga,"

"Akhirnya terkejar juga," Sidya menarik baju Kuro dari belakang.

Kuro pun langsung reflek menoleh ke belakang, ada anak kecil yang masih memegangi bajunya.

"Adik kecil, kenapa malam-malam jalan sendiri?" ucapnya dengan suara lembut sambil mengelus-elus rambut anak yang memegangi bajunya. Ia berjongkok menyetarakan tingginya dengan si anak kecil.

"Aku tidak sendirian, namaku Sidya putri kaisar kerajaan Nagart, aku ke sini bersama guruku,"

"Bagus, Sidya."

"Anda guru anak ini? Saya pikir dia sedang sendirian, sebaiknya Anda segera pulang, tidak baik membawa anak-anak di malam hari. Dan lagi ada hal-hal aneh yang sedang terjadi...."

"AYO KITA SABUNG DOMBA!" potong Marikh dengan suara lantang.

"Hah?"

"Yang ada sabung ayam, Guru" Sidya melirik gurunya.

"Kau masih kecil, tidak mengerti apa itu makna sabung sesungguhnya, karena itu belajarlah lebih dalam lagi!"

"Siap, Guru." Di saat seperti ini Sidya tidak tahu harus menanggapi omongan gurunya dengan serius atau menanggapinya sebagai ocehan orang mabuk.

"Tunggu! Apa maksudnya dengan sabung domba?"

"Ternyata kau masih awam juga, anak muda. Jadi singkatnya, kita adu domba. Domba yang sudah tidak bisa melawan dianggap kalah. Permasalahan selesai, babak ini pun selesai."

"Setuju." Setidaknya dengan begini tidak akan ada korban lagi, begitulah pikir Kuro. "Aku percaya padamu Mouton, kuserahkan semua ini padamu." Lanjutnya sambil memegang dombanya.

Kedua domba saling berhadapan, bersiap memulai pertandingan.

"Mbek," Ba mengembik
(Kenapa malah kita yang disuruh bertarung? Harusnya kan mereka.)

"Mbek," Mouton balas mengembik.
(Kita jalankan saja perintah dari tuan kita. Aku tidak akan kalah darimu karena aku memegang kepercayaan tuan)

"Ba cepat serang dia! Jangan diam saja, balas ejekannya!"

Kedua domba pun mulai bertarung, mereka saling menyerudukkan tanduk mereka. Ba, mundur mengambil ancang-ancang. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berlari ke arah Mouton. Mouton terbang menghindari serudukan Ba.

Dari atas, Mouton menukik ke bawah, menjatuhkan tubuhnya ke arah Ba. Ba berguling menghindar. Lubang cukup dalam tercipta begitu Mouton menghantam daratan.

"Semangat Ba! Jangan mau kalah!" teriak Sidya dan Marikh kompak.

"Mouton, berjuanglah! Ingat impian kita! Menjadi domba nomor satu!"

"Hahaha. Memangnya domba punya impian?"

"Hei, Kau! Kau, tidak bosan melihat dua orang bodoh ini membuang waktu?" Zweite yang bosan memperhatikan adu domba itu, mencoba mengajak bicara Roan yang masih tenang, berbeda dengan adik seperguruan dan gurunya.

"Aku?"

"Iya kau. Siapa lagi? Kalau Kuro tidak di sini. Sudah kubunuh kalian semua. Begitu lebih cepat. "

"Aku juga. Tidak akan membiarkan itu terjadi. Kau ini sangat menyayangi saudara kembarmu ya?

"Hah? Siapa bilang dia kembaranku?"

"Kau ini aneh sekali. Kau begitu ingin melindungi saudaramu. Tapi tak mau mengakuinya," tanggap Roan yang masih tidak menyadari bahwa Zweite hanyalah sebuah pedang.

"Aku benci turnamen ini. Pada akhirnya aku yang harus membersihkan sampah-sampah yang disisakan."

"Apa katamu? Turnamen sampah?" tanya Zweite.

"Bukan. Bukan aku yang bicara..."

Roan dan Zweite bersamaan menoleh ke belakang. Adu domba mereka terusik oleh datangnya sosok yang tak diundang.

"Pergi dari sini! Ini bukan tempat yang bisa kalian isi dengan impian kalian seenaknya dan meninggalkannya begitu saja!" ujar sosok berkepala mata dengan tubuh yang tersusun dari rangka tulang. Ia memakai jubah berwarna ungu dan membawa tongkat. Oneiros namanya, sang penyeimbang alam mimpi. Di depannya terdapat beberapa domba berwarna hitam.

"Kalau bisa. Sudah dari awal kami meninggalkan tempat ini." Jawab Zweite.

".....ayo domba-dombaku, usir mereka!"

Marikh dan Kuro yang terlalu fokus menyemangati domba mereka, belum menyadari kedatangan Oneiros.

Roan dan Zweite menghindar dari domba-domba hitam yang bergergerombol menuju arah mereka. Zweite yang sempat bersentuhan merasakan ada yang aneh. Sesuatu seperti tertarik darinya.

Seekor domba hitam mendekati Sidya yang sedang bersemangat memberi dukungan ke Ba. Mendadak Sidya terdiam begitu domba hitam itu menjilat-jilat tangannya. Pandangannya menjadi kosong.

Zweite yang memperhatikan langsung menggunakan elemen anginnya menjauhkan setiap domba hitam yang mendekati Kuro. Roan langsung memukul domba hitam yang menjilati Sidya dengan tongkat kayunya. Domba berubah menjadi bentuk abstrak. Sidya terbebas, tapi masih terlihat linglung.

"Hindari domba hitam itu!" teriak Zweite.

"Loh? Dombanya jadi tambah banyak?" Marikh mengucek-ucek matanya lalu kembali meneguk sebotol sake ditangannya.

"Domba hitam?" Kuro mendekati dombanya.

"Lebih baik kita segera menjauh dari sini, itu domba-domba pemakan mimpi,"

"Eh? Apa? Loh kok kau bisa bicara?" Kuro terkejut dengan Mouton yang mulai mengucapkan kata-kata.

"Kalian tidak akan bisa menyerang domba-domba itu. Kalau tesentuh bisa memakan habis impian kalian dan otomastis kalian bisa gugur dari turnamen ini."

Zweite mengurung satu per satu domba dengan kubus udaranya kemudian menghancurkannya.

Melihat semua itu, mata Oneiros perlahan-lahan berubah menjadi merah.

"Wah, sepertinya matamu iritasi ya? Makanya punya mata jangan terlalu belek," celetuk Zweite.

Mata Oneiros semakin merah dan tiba-tiba dari dalam matanya muncul seekor serigala yang langsung menyerang Zweite. Zweite mencoba menyerang serigala tersebut namun serangannya tidak mempan. setiap terkena serangan selalu saja hewan itu terabstraksi kemudian terbentuk kembali. Begitu pula domba-domba yang tadi ia hancurkan.

[Reinigung]

Zweite menyerang tubuh penggunanya dengan api penetral. Mata merah Oneiros berubah normal kembali dan serigala itu menghilang.

Zweite membuat dinding api, mengekang seluruh domba hitam kemudian menyerang Oneiros dengan bola api. Tubuh Oneiros pecah menjadi bola-bola mata kecil berwarna ungu.

"Begitu rupanya...." gumamnya memahami situasi, "Kuro, pergi dari sini! Biar kuurus si Bola mata dan domba-dombanya," lanjutnya berteriak dengan suara keras.

Roan yang melihat api membara di depannya, langsung memundurkan langkahnya. Ia membelalakkan mata dan kemudian terjatuh. Ingatan pahit nan mengerikan tentang kebakaran di masa lalunya kembali menyeruak.

"Kakak, tidak apa?" Sidya yang baru sadar mendendekati Roan.


Setelah mendengarkan ocehan domba Kuro, Marikh menaikkan kedua muridnya ke punggung Ba dengan posisi Sidya di depam, Roan di tengah, Marikh di belakang. Kerena Roan masih terpengaruh dengan rasa traumanya. Mereka langsung melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan tempat itu.

"Kuro, cepat naik ke punggunggku, kita susul mereka,"

Kuro pun juga menaiki punggung Mouton, menyusul Marikh yang sudah melesat sendirian, meninggalkan Zweite melawan si Bola mata sendiri.



Nagoya-shi, Naka-ku, Chiyoda 5-23 
Setelah melaju kurang lebih 15 menit mereka pun sampai di Tsurumai Kouen. Sebuah taman yang cukup luas, di pusat taman tersebut terdapat air mancur yang menyerupai kubah masjid, di sekelilingnya terdapat bunga warna-warni bermekaran. Warna ungu hatsukoisou, merah putih ivy geranium, kuning allamanda, berpadu menghiasi malam.

Kilau percikan air yang memantulkan cahaya rembulan kala itu menambah keindahan malam dalam kesunyian. Meskipun di sisi lain negeri itu sedang menyebar wabah kekacauan yang disebut 'mimpi buruk'.

Pelarian yang sia-sia.

"Kita bertemu lagi,Kuro," sapanya dengan seringai tajam.

"Anda...."

"Siapa lagi ini?"

"Mari selesaikan urusan yang sempat tertunda,"

Mendadak tanah yang mereka pijak bergetar, tanah-tanah lancip emncuat ke atas mengurung Kuro.

Tanah yang melayang membentuk lancipan mulai menyerang Marikh dan murid-muridnya. Marikh berusaha menangkis dengan tongkatnya.

[Mmaagha][Prison Wind]

Kuro menancapkan pedang berlapis apinya ke tanah. Menyebabkan gempa yang cukup dahsyat membuat kurungannya langsung hancur. Secara bersamaan ia menggunakan barrier terbentuk dari angin untuk melindungi Marikh dan kedua muridnya.

"Saya tidak tahu apa yang Anda inginkan dari saya, tapi jika Anda membenci saya karena ayah saya. Saya mohon maaf."

"Maaf? Hahaha. Maaf saja tidak cukup. Dia tak hanya membuatku merasakan hukuman yang menyebalkan, tapi dia juga merebut kepercayaan raja langit dariku, juga dewi Zhu yang harusnya menjadi milikku. Apa kau pikir kata maaf dari bocah sepertimu bisa menggantikan semua itu?"

"Hei, hei. Kita tidak sedang nonton drama kan? Kenapa mendadak jadi begini?"

"Apa kita akan tetap diam saja, guru?"

"Kau ingat peraturan rimba silat nomor dua?"

"Masalah orang lain bukan urasanmu! Beda cerita jika ia manusia berharga bagimu"

"Bagus. Kita cuma penonton sekarang. Lagi pula dinding transparan ini menghalangi kita..." Marikh duduk sambil mengetuk-ngetuk angin di depannya.

Kuro menyerang sang Dewa dengan badai api. Sang Dewa menghadapi badai api yang dibuat Kuro dengan pusaran air yang tak kalah besar. Kedua pusat badai bertabrakan, api padam, cipratan air menetes seperti hujan, membasahi daratan.

Pertarungan yang berat sebelah. Di lihat dari sisi mana pun tak ada celah yang bisa dimanfaatkan Kuro untuk menang. Setiap serangannya selalu saja dihindari dengan mudahnya.

Ditambah kebiasaan Kuro yang selalu memperhatikan keadaan sekitarnya dan memasang barrier untuk mencegah banyaknya korban berjatuhan membuat tenaganya cepat terkuras.

[Almaranwyr]

Sebuah monster pemisah jiwa raksasa terbentuk diangkasa. Wujudnya menyerupai malaikat maut, berjubah hitam, dengan tubuh kerangka dilapisi cahaya kemerahan, rantai-rantai menjulur dari dalam tubuhnya, beberapa membentuk enam sayap di punggungnya.

"Kali ini tidak akan ada yang mengganggu lagi," sang Dewa menyeringai.

Rantai-rantai itu mulai mengejar Kuro. menggeliat-geliat dengan kecepatan tinggi. Kuro berusaha menghindara serangan dari rantai makhluk itu, berlari zig-zag, melakukan manuver-manuver dari kejaran rantai yang terlihat begitu hidup. Rantai-rantai yang menghantam daratan, menghancurkan tanah, membentuk lubang-lubang seperti bekas jatuhan meteor.

Rantai yang terus bergerak dan semakin banyak, mulai menutupi daratan. Tak ada tempat lagi bagi Kuro untuk menghindar. Ia coba menangkis cambukan rantai yang datang dengan pedangnya, namun cambukan yang datang beruntun dan terlalu cepat tak dapat ia tangkis dengan sempurna, pedangnya terlempar jatuh. Cambukan terakhir yang mengenai tubuhnya membuatnya terpelanting menabrak pohon dan terjatuh di daratan yang sudah penuh dengan ratai.

Rantai-rantai itu mencoba melilit tubuh Kuro. Ia pun menggunakan SayfEl Elyon yang masih ia sematkan di punggungnya untuk memotong rantai-rantai itu. Ia mulai bangkit.

[Diffirergyd]

Sayfel Elyon yang tadinya terlihat seperti katana biasa berubah menjadi pedang di lapisi api. Sebuah tebasan menyilang ia lakukan. Bersamaan dengan tebasan itu semburan api membakar rantai-rantai yang mulai berdatangan.

Penggunaannya di luar real malaikat membuat fungsi dari pedang tersebut menjadi terbatas, Kuro tak bisa menggunakan setiap jurus yang tertanam pada pedang tersebut secara beruntun.

Dan sepertinya efek menggunakan kekuatan elemen secara bersamaan dengan Zweite mulai mempengaruhinya. Pandangannya mulai kabur.

"Tak kusangka kau sudah cukup berkembang dari sebelumnya, bahkan bisa menghancurkan rantai Rhanwyr,"

Kuro menatap sang dewa dengan nafas tersenggal-senggal.

"....."

Sementara itu kekacauan di bingkai Kuro semakin memburuk. Teriakan-teriakan histeris yang cukup keras mulai terdengar dari rumah sakit yang berada di dekat taman itu. Membuat malam semakin mencekam.

Guncangan mulai terjadi lagi, membuat pengendara mobil semakin terombang-ambing, mereka menabrak pohon, marka jalan, ada pula tubrukan-tubrukan antara bus dan truk. Suara nyaring kaca-kaca gedung mulai berpecahan terdengan beruntun dari gedung ke gedung.

Sidya tambah ketakutan. Kekacauan itu membuat fokus Kuro menjadi goyah. Yang membuatnya dengan mudah tertangkap jeratan rantai Almarhanwyr, makhluk raksasa pemisah jiwa.

Jeratannya semakin menguat. Tubuh Kuro mulai terangkat ke atas, membuatnya tak bisa bergerak, dan Sayfel Elyon yang berada di tangannya terjatuh.

Sang Dewa mulai merapalkan mantra pemisah jiwa.

Rzecsy niebie powrot do nieba
Rzecsy ziemi powrot do ziemi

"AAAAAAARRRRGGHHH", Kuro mengerang kesakitan. Jiwa yang ditarik secara paksa terasa seperti dicabik-cabik ribuan pedang.

"Sebentar lagi darah itu akan menjadi milikku. Hahaha," sang Dewa tertawa senang, rencananya kali ini berjalan lancar.

Perlahan mulai terlihat, tubuh Kuro berganda menjadi tiga. Bukan karena menggunakan jurus bayangan atau doppleganger, melainkan sosok-sosok jiwa yang terpisah mulai menampakkankan wujudnya. Jiwa dewa, manusia, siluman (Kuro berambut orange, hitam, dan putih) berjajar diangkasa.

"Sidya tutup matamu!"

"Kenapa guru?"

"Sudah, tutup saja!"

Sebuah perintah yang sudah pasti akan dikatakan oleh Marikh. Karena dua sosok Kuro yang baru muncul tidak berbusana.  Sementara Sidya adalah seorang gadis.

Marikh langsung memasang kuda-kuda begitu sang dewa menoleh ke arahnya.

Bersamaan selesainya proses pemisahan jiwa, perisai yang mengekang Marikh dan kedua muridnya juga hancur.

"Aku tak punya urusan dengan kalian, kalian tak perlu waspada seperti itu."

"Kau menyerang kami diawal,"

"Hm. Ini kesempatanmu jika ingin membunuh bocah itu," sang Dewa mendekat dengan mata tajam dan senyum iblisnya ia mengatakan apa yang ada dalam pikiran Marikh.

"Bagaimana bisa," Marikh tertegun, ia tak tahu yang sedang ia ajak bicara sekarang adalah seorang dewa. Dan memang benar sempat terbesit dalam pikirannya tentang janji yang tertulis dalam secarik kertas memo di kedai makan yang disampaikan sang Kurator bahwa ia akan menghidupkan kembali keluarganya jika ia membunuh reverier yang menjadi lawannya kali ini.

"Kau tertarik dengan janji yang diberikan pria klimis itu, bukan? "

Marikh masih terdiam dalam keragu-raguan.

"Aku tak akan menghalangimu. Urusanku sudah selesai di sini." Lanjut sang Dewa. Ia pergi membawa dua jiwa Kuro dan meninggal mereka.

Marikh mendekati tubuh Kuro yang terkulai lemas dan tergeletak di tanah. Ia pandang lekat-lekat tubuh itu. Perlahan ia angkat tongkat panjang umurnya, ia arahkan pada jantung pemuda yang tak berdaya itu.

Pikirannya sudah dikuasai keinginannya bersama kembali dengan anak dan istrinya. Meski menyerang musuh yang tak berdaya bukanlah kepribadianya. Ia sudah tak peduli tentang hal itu.

"Jangan lakukan itu!" bisik sang dewa arak.

"Siapa kau?"

"Jangan bilang kau lupa denganku? AKULAH DEWA ARAK sesungguhnya, Na-ra-ca,"

"Hmm, pasti aku sedang bermimpi. Tidak ada sia siapa di sini..." Marikh celingukan mencari pemilik suara.

"Aku tak bisa menampakkan wujudku sekarang. Sudah berapa botol yangkau minum hah?"

"1...5..."

"Sebagai dewa yang bijak dan agung, yang jelas sudah keperingatkan kau. Kalau kau masih ngeyel ingin membunuhnya, yasudahlah. Sekarang bersiaplah!" dengan nada agak sinis Naraca.

"Hoo, berarti sekarang aku direstui? Sudah dari tadi siapnya," jawab Marikh dengan nada yang agak teler ala orang mabuk.

"Bukan. Terimalah ini," dalam setiap dialog yang diucapkan Naraca, sebenarnya ia sedang menggunakan jurusnya, ia bersiap memberikan sesuatu kepada Marikh.

Tiba-tiba air terjun arak mengguyur Marikh, ditangan kirinya muncul buah persik dan sebuah kantong uang tergantung di pergelangan tangannya, yang entah apa yang ada di dalamnya.

"GWAAA! Kalau kau mau menghujaniku bilang dong! Dan untuk apa benda ini?" Marikh masih memandangi benda yang ada di tangan kirinya, "Ah sudahlah tak baik buang-buang waktu. Dan dengan ini ronde dua berakhir. Hahaha," marikh terkekeh-kekeh begitu meancapkan tongkatnya tepat mengenai jantung Kuro. Darah muncrat mengenai mukanya. Sepertinya Marikh sudah kerasukan setan.

Tawanya terhenti ketika api yang entah dari mana mendadak membakar tongkat Marikh yang masih ia pegang. Karena terkejut Mrikh melemparkan buah persiknya bersamaan dengan itu ledakan yang menghempaskan api menghancurkan segala yang ada disekitarnya terjadi. Marikh terpelanting. Beruntung baginya dan murid-muridnya. Buah persik yang terlempar membentuk perisai bungan teratai yang melindungi mereka dari ledakan.

Seekor naga api raksasa muncul di hadapan mereka, Drakenfir. Roh naga legendaris yang pernah memporak-porandakan bumi dan membuat langit gencar beberapa puluh tahun silam.

Dengan hancurnya tongkat atau toya sakti Marikh, kutukan terjadi. Langit malam yang gelap meski tadinya diterangi oleh cahaya rembulan, berubah menjadi semakin gelap. Awan-awan halilintar muncul, kepekatannnya menambah wabah kekacauan di bingkai mimpi itu semakin parah. Banyak penduduk yang mati karena ledakan maupun tidak mampu menghadapi mimpi buruk mereka.

Kutukan dari toya sakti mewujud dalam bentuk ilblis Dagon atau yang lebih dikenal dengan makhluk pembalas dendam yang akan menghancurkan apapun.

Dua makhluk ilahiah setinggi gedung 30 lantai itu saling bertarung. Drakefir menyemburkan api ke segala arah. Dagon menyerang dengan asap ilusi. Namun ilusi sama sekali tidak mempan terhadap Drakenfir. Drakenfir mengayunkan cakarnya meratakan gedung-gedung yang terbakar.

Ledakan tadi sampai ke tempat Zweite yang masih berusaha menahan Oneiros. Dan karena ledakan itu juga. Tubuh oneiros dan domba-dombanya terabstraksi. Zweite memanfaatkan kesempatan itu untuk lari menuju ke tempat Kuro berada.

"Tidak mungkin, bagaimana bisa....?" alis Zweite mengernyit. Tangannya menggenggam semakin erat. Keseriusan terlihat pada raut mukanya. Zweite yakin kalau hanya melawan si Paman pemabuk itu saja Kuro tidak akan kalah, tapi sepertinya hal yang sebaliknya terjadi.

Hal yang paling tidak ingin ia harapkan terjadi, kini telah terjadi. Tentu saja ini membuat amarahnya meledak bersamaan dengan perasaan gelisah. Ia terus berlari, sesekali melihat jam tangan yang ada di tangan kanannya.

Zweite tiba tepat di saat Dagon dikalahkan. Ia mengatur nafasnya berjalan mendekat seraya merapal mantra.

The beginning is word, word is God
Thou, sawest, and behold a great power
Thou art the spin of this gear
Which move the wheel of time in all universe
Time for anymatter under heaven
Time to be born and die


Cahaya lingkaran sihir mulai terbentuk perlahan di sekitar tubuh Kuro. pilar-pilar cahaya mulai menghalangi pergerakan Drakenfir.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

My soul is Thine
And so is my bone
The key which set the time in motion
The sun and the moon switching



Perban di tangan kiri Zweite terbuka, segel yang hampir sama dengan milik Kuro bersinar. Lingkarang sihir semakin melebar.


I deserve the power of my body
Thee power, God of tme

Break the rotation and seal the time

[Time Cracker]


Sebuah pengendalian waktu diaktifkan. Lingkaran sihir secara penuh mengekang Drakenfir yang masih meronta-ronta. Muncullah sesosol yang berwujud lelaki gagah dengah tubuh kekar membawa seruling, berpenampilan seperti tokoh-tokoh dalam pewayangan, kakinya adalah kaki burung, Kinnara.

Makhluk itu membawa seruling, lalu ia pun mulai memainkannnya. Lantunan melodi membekukan Drakenfir seketika. Percepatan waktu dimulai.

Proses regenari segel rinnetensei yang seharusnya memakan waktu satu jam untuk pulih kembali, bisa dipercepat hingga hanya perlu lima menit saja. Setelah rinnetensei beregernasi secara sempurna. Drakenfir kembali terhisap ke dalam tubuh Kuro. Bekas tusukan yang ada pada dada Kuro juga menghilang.

Satu yang Zweite harapkan. Semoga Kuro bisa tersadar kembali atau ia akan...

"Akhirnya aku bebas. Khukhukhu." Kuro mulai bangkit.

"Tidak!" Zweite langsung membelalakkan mata. Hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. "Aku tidak suka mimpi buruk ini,"

"Hm, apa yang bisa ku lakukan dengan tubuh ini? Si dewa brengsek itu mengambil beberapa kekuatanku. Sialan," Kuro melirik Zweite, "Kau, bisa membuka segel ini kan?"

"Hehe. Bisa pun tak akan ku lakukan," Zweite benar-benar kehabisan tenaga. Ia menggunakan sebagian besar tenaganya untuk melakukan time cracker. Senyum sinis ia torehkan sebelum akhirnya kembali menjadi sebuah pedang.

Marikh hanya memandang terkejut.

"Kau? Bagaimana bisa?"

"Ah terimakasih. Berkat kau aku terbebas." Seringainya sembari mengambil pedangnya. "Hmm, dimana kedua pedangku yang lain?"

"Maksudmu ini?" Sidya mengambil pedang yang ada di dekatnya.

"Jangan sentuh!" teriaknya.

Namun Sidya sudah terlanjur mengambil pedang itu. Seketika tubuh Sidya langsung berubah menjadi cucuran darah sebelum akhirnya menghilang. Nasib malang bagi bocah itu, ia tak tahu yang ia ambil adalah SayfEl Elyon. Sebuah pedang yang akan mengembalikan tubuh pemegangnya dan kemudian melenyapkannya tanpa bekas, kecuali sang Pemilik.

"Sidya!!" Roan dan Marikh berteriak bersamaan melihat tubuh Sidya yang menghilang di depan mata mereka.

"Apa yang kau lakukan pada Sidya?" Marikh mulai marah. Murid berharganya direnggut begitu saja.

"Kan sudah kubilang jangan sentuh, salah sendiri." Dengan acuh tak acuh Kuro menjawab.

"Keparat!!" Roan menyerang dengan tongkatnya.

Kuro menangkis serangan Roan dengan pedangnya kemudian menendang Roan hingga jatuh tersungkur.

"Kau tidak akan kumaafkan." Marikh mengepalkan tangannya erat, meluncurkan sebuah tinju, namun berhasil dihindari.

Marikh kembali melakukan sliding untuk menjegal Kuro, lagi-lagi gerakan Marikh bisa dihindari, Kuro melompat kemudian menebaskan pedangnya dari atas. Marikh berguling kesamping untuk menghindari tebasan. Pedang Kuro mengenai tanah.

Dari belakang Roan langsung menyerang dengan tongkatnya. Ia mengaktifkan tehnik membuka gerbang, mencuri emas yang membuat gerakannya semakin gesit dan lincah.

Gerakan Roan mampu mengimbangi kelihaian berpedang Kuro, tak jarang mereka beradu pukul juga. Dan kadang ia menangkis pedang Kuro dengan teknik toya rakhjatnya. Tongkat kayu yang dilapisi dengan hawa murni membuatnya tak mudah patah meskipun bersentuhan dengan sisi tajam pedang.

"Ambil sesuatu dari kantong itu,"

Naraca berbisik lagi ke Marikh. Namun marikh tak terlalu mendengarkannya, ia malah menggunakan teknik 32 angkara iblis naracanya.

"Jurus naga api penghancur langit," Marikh maju menyerang Kuro dengan tangan yang sudah berlapis hawa Murni.

Dua lawan satu.

Kuro berusaha menghindari Marikh yang datang dari arah belakangnya membuat serangan Marikh hampir mengenai Roan. Marikh berputar balik menggerakkan 32 tapaknya ke arah Kuro.

Kuro mengayunkan pedangnya. Marikh memukul pergelangan tangan Kuro. Pedangpun terjatuh. Marikh terus menggerakkan tangannya. Mencoba menotok aliran energi pada tubuh Kuro. Kuro menahan dengan telapak tangannya. Marikh terus mendesak mundur.

Marikh mengkombinasikan jurusnya itu dengan tehnik penyingkir naga hitam. Sebuah teknik yang mampu menghilangkan energi tiap bagian tubuh yang terkena tapak tangan yang sudah dialiri hawa murni.

Serangan Marikh yang bertubi-tubi tak semua bisa ditangkis. Serangan mengenai perut Kuro. Lalu dengan tenaga penuh Marikh memukul Kuro hingga terjatuh.

Sayangnya Kuro terjatuh tepat di dekat Sayfel Elyon berada, ia langsung mengambil pedangannya.

"Beruntunglah kau, aku belum terbiasa dengan tubuh ini," Kuro bangkit setelah memuntahkan darah dan tersenyum.

"Apa maksudmu bocah sok keren dan sombong?" Marikh mundur, perhatiannya teralih pada pedang yang dipegang Kuro, "Pedang itu...."

"Sudah kubilang ambil sesuatu dari kantong!" Naraca mulai agak jengkel karena Marikh tak mengindahkan nasihatnya.

"Memangnya ada apa dengan kantong ini hah? Memangnya ini kantong ajaib doraemon?" sembari merogoh kantong.

Sebuah bola berwarna biru berada di tangan Marikh begitu ia mengeluarkan tangannya dari kantong.

"Heeee? Ja-jadi ini benerang kantong doraemon? Bilang dari tadi dong? Tapi aku nggak butuh bola mainan ini,"

"Jangan salah. Itu bukan sembarang bola, coba rasakan baik-baik!"

Aliran hawa murni yang sangat besar ia rasakan dari dalam bola. Ia langsung melempar ke arah Roan yang kelelahan setelah melakukan teknik yang memakan sangat banyak  energi berada di dekat Meriam induk merak. Marikh berusaha menjauhi Kuro.

Roan yang memahami perintah gurunya langsung memasukan bola hawa murni itu ke dalam meriam. Ia mengunci targetnya dan menembakkannya.

[Gaisma Scheld]

Sebuah perisai cahaya langsung diaktifkan oleh Kuro. Perisai itu melindunginya dari tembakan meriam.

Tembakan itu menghancurkan pohon yang berada dekat dengan Kuro juga meretakkan permukaan.

"Kau tau? Sudah lama aku tidak minum darah manusia. Waktu itu aku tergoda dengan darah bocah ini. Aromanya yang begitu manis, sudah pasti akan membuat setiap iblis yang mendekatinya bisa langsung takluk. Benar-benar darah terlezat yang pernah ada. Sayangnya Dewi sialan itu malah mengurungku." Jelasnya sembari menjilat sisa darah Sidya yang masih menempel di pedangnya, matanya menatap tajam ke arah Marikh dengan senyum iblis, gigi tarinya terlihat.

"Oi.oi. Apa aroma arak membuatmu mabuk? Dasar lemah," ejek Marikh yang semakin tidak paham dengan ocehan bocah yang tadinya berambut warna-warna kini berambut hitam legam.

"Rupanya di sini kalian. Cepat pergi dari sini!"

[Stoirmraseri slaisar]

Sebuah tebasan vertikal menciptakan badai angin yang berpencar ke lima penjuru menghancurkan wujud domba-domba hitam dan Oneiros.

"Aku tidak butuh pengganggu." Ucap Kuro.

Namun lagi-lagi tubuh yang hancur itu berusaha menyusun kembali tubuhnya menjadi satuan utuh.

Marikh mengambil sesuatu dari kantongnya,

"Eh?" ia menekuk kepalanya ke samping tanda tidak paham dengan benda yang ada di tangannya.

"Itu bulu kerasakti," kata Naraca, "lempar saja!" lanjutnya

Begitu di lempar tiga sosok berwujud seperti Marikh muncul. Lalu ia kembali mengambil sesuatu dari kantongnya dan tongkat emas ia dapatkan.

"Kalau ini tongkat apa?"

"Itu tongkat Nabi Musa. Ah. Bukan. Maksudku tongkat Kera sakti,"

Marikh hanya bisa terdiam, dari tadi yang muncul hanya benda-benda aneh saja, pikirnya. Tapi tak masalah selama itu masih bermanfaat.

"Roan pakai ini!" Marikh memberikan kantong yang menggantung di tangan kirinya kepada Roan.

"Siap guru!" dengan kantong itu Roan mengambil bola-bola hawa murni untuk mengaktikan meriam induk merak, dibantu tiga sosok duplikasi Marikh, menghadang rombongan domba hitam dan Oneiros.

Sementara Roan menghadang Oneiros, pertarungan sengit antara Kuro dan Marikh berlangsung. Bunyi besi yang saling berbenturan menghiasi malam purnama.

Marikh memanjangkan tongkatnya membuat Kuro terdesak mundur, ia terhimpit bangunan dan tongkat Marikh yang mendadak menjadi besar.

Lalu tongkat itu berubah menjadi ular yang sangat besar melilit tubuh Kuro hingga ia tak bisa bergera.

[Bwysfil Subjugator: Activated]

Mata merah Kuro menyala, memandang ular raksasa dengan mulut menganga siap menyantapnya. Mulutnya terbuka lebar, taring yang penuh dengan bisa meneteskan lendirnya, lidahnya menjulur-julur.

Begitu mata ular dan mata Kuro bertatapan, ular tersebut langsung menjinak, lilitannya meregang, ia mulai tertunduk.

Marikh yang menyadari keganjilan itu langsung menarik kembali tongkatnya, merubah ular kembali menjadi tongkat. Ia meneguk arak dari botol saketihnya.

"Dengan ini semuanya selesai." Kuro maju dengan pedang yang sudah di lapisi api.

 Marikh mencoba menangkis tebasan menyilang dengan tongkat emasnya, naasnya tongkat Marikh langsung melebur dan lenyap tanpa bekas.

Semburan api dari pedang itu menghaguskan Marikh tanpa sisa.

Bukan. Sebelum sempat mengenai Marikh, Naraca, dewa arak yang hanya berada di pikiran Marikh mengambil wujudnya untuk melindungi Marikh, dia lenyap seketika. Marikh terluka cukup parah namun selamat.

Ia menggunakan menggunakan tehnik menutup gerbang merah untuk menyembuhkan luka-lukanya.

"Aku tidak akan kalah di sini. Aku pasti akan membalaskan kematian Sidya." Dengan tenaga yang tersisa ia berusa bangkit. Ia mengumpulkan tenaga dalam yang tersisa, memusatkan ke tangannya membentuk pusaran bola hawa murni.

Ia berlari mendekati Kuro, akan tetapi sebelum sampai, serangannya dibelokkan. Tangannya membentur tanah, membuat permukaan yang terkena tenaga dalam itu retak membentuk kubah cukup besar. Kuro memukul tengkuk Marikh hingga ia pingsan.

"Aku kehilangan selera membunuhmu. Sepertinya terlalu lama di tubuh ini membuat persona bocah ini mempengaruhiku."

Roan yang tak mampu menahan Oneiros, inspirasinya diserap habis oleh domba hitam milik Oneiros disaat bersamaan muncullah Ratu Huban dan Zainurma.

Portal hitam yang dibuat Ratu Huban menyedot Oneiros dan domba-dombanya, membuat mereka terusir dari bingkai mimpi tersebut.

"Wah-wah, sepertinya kita kedatangan satu lagi reverier baru Huban,"

"Ugh. Aku tidak suka ini. Aku lebih suka Kuro yang biasanya,"

"Tidak, tidak. Daripada Kuro mungkin lebih tepat dipanggil, Arad,"


≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗


≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗



Sementara itu, sang Dewa yang membawa pergi kedua jiwa Kuro yang lain dihadang oleh sebuah patung raksasa sebelum ia berhasil keluar dari alam mimpi. Dari perjalanan bebas di angkasa, mendadak mereka tiba di sebuah museum.

"Tak kusangka dari satu reverier bisa menjadi tiga reverier. Semua yang ada di alam ini adalah milikku. Beraninya kau mencuri properti museum semestaku."

Sang Dewa hanya tersenyum sinis. Ternyata tidak mudah meninggalkan alam itu tanpa tantangan. Membuatnya terpaksa mengambil kesepakatan dengan patung otak raksasa itu.

≗≗≗≗⊜⊜✜⊜⊜≗≗≗≗
≔✠≕
R2=End
≔✠≕


>Cerita sebelumnya : [ROUND 1 - 7G] 11 - KURO GODWILL | APOCALYPSE―REVOLUTION?
>Cerita selanjutnya : -

15 komentar:

  1. Tiga entri dan saya ga ngeh kalo Kuro ini hidup di negeri Jepang modern. Selama ini imej yang kebayang di saya dia tinggal di dunia fantasi dengan setting ala Eropa gitu. Apa itu yang namanya Xaverius? Saya malah nangkepnya dunia ini kecampur antara dewa" langit sama bumi yang normal

    Oot, gimana caranya itu ngehide text di part yang 21st letter?

    Lel, ini kenapa malah jadi adu domba dah (literally)

    Sepanjang entri kayaknya banyak typo kata yang ga selese diketik, kayak 'meninggal', 'regenari', dst

    Lagi" saya miss, dewa yang narik jiwa Kuro ini siapa ya? Kenapa pas sadar lagi Kuro jadi kayak beda orang? Dan Drakenfir ini apaan lagi? Entah kenapa banyak hal dari Kuro yang susah saya cerna sampe sekarang. Meski entri kali ini lebih gampang dibaca daripada sebelumnya, tapi tetep aja sepanjang baca nimbulin banyak tanda tanya yang ga langsung kejawab

    "Aku tidak akan kalah di sini. Aku pasti akan membalaskan kematian Sidya."
    ^satu paragraf kemudian langsung kalah cuma karena dipukul di tengkuk, lel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah membaca. Mungkin pemaparan setting sy kurang jelas. Semesta asal Kuro memang XAVERIUS tp binkai mimpinya bukan. Bingkai mimpinya adalah BUMI. Dan memang waktu prelim kedua alam tersebut menjadi bingkai. Namun, begitu bingkai mimpi terbentuk scr sempurna xaverius menghilang, jd tidak ada xaveriuse di bingkai mimpinya.

      Karna banyak entri mungkin susah diingat tapi dia dewa yg sama yang muncul di prelim. Kalau ada flashback lebih kebelakang mungkin akan lebih jelas identitasnya. Tapi maaf tidak menjelaskan semuanya.

      Ada beberapa yang memang saya sengaja tidak saya jelaskan di episode2 yang sudah saya tulis karna sudah saya rencanakan demikian. Semua akan jelas pada saatnya. Dan saya akan terus belajar bagaimana menulis dg baik. Biar lbh mudah dtrima.

      Maaf sudah membuat pertanyaan yang nggak langsung terjawab. Maaf juga sudah bikin ending dadakan.

      Btw. Masalah pergantian karakter sudah saya sebut di ending.

      Kalau yang part 21 saya request ke bang heru.

      Hapus
  2. Misi, mau komentar di entri Kuro nih.

    Hmm, gimana ya, ngeliat entri R2 Kuro saya malah jadi agak kecewa kalau dibanding entri R1 dan Prelim. Kenapa?

    Padahal dari segi narasi dan deskripsi, ada perkembangan yang saya rasa cukup signifikan, dan itu jelas hal yang bagus. Penataan adegan dan penokohan saya rasa juga jadi lebih oke dan menghayati.

    Tapi kenapa saya kecewa? Karena perkembangan plot Kuro malah jadi tidak jelas kalau menurut saya.

    Memang, untuk menggaet minat pembaca, pasti diperlukan misteri-misteri dalam cerita biar penasaran. Tapi saya rasa jangan terlalu kebanyakan misteri yang belum dijawab, seenggaknya, jangan dibiarkan mengawang dengan misteri plot yang lebih membingungkan.

    Saya ngerti itu hal gampang-gampang susah dalam sebuah kanon yang terbatas tenggat waktu dan jumlah kata. Tapi seenggaknya, saya lebih berharap Kuro bisa lebih konklusif dengan revelationnya, bukan membingungkan.

    Tapi, latar dan percakapannya, selipan-selipan penghiburnya, serta pertarungannya bisa saya acungi jempol. Mbak Cho sudah menunjukkan level up yang signifikan dalam tiga entri.

    Segitu dulu kayaknya, suara vote saya menyusul ;)

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih mbah dan mas enryuu sudah mampir.

      Maaf sudah bikin plotnya tambah nggak jelas dan bingungin. Nanti kalau saya bikin cerita baru, saya usahakan fokus di satu jalur yang lebih jelas. Semoga saya bisa membuat yang lebih bagus lagi.

      Maaf sudah mengecewakan dan sampai jumpa tahun depan.

      Hapus
  3. GHOUL: “Kurooo…!!!”


    KURO: “Ghoul?! Kau masih hidup??? Nangnya!!!”


    GHOUL: “Iya, masih hidup buat ngevote. Silakan, Mum…”


    @_@:
    “Ehem! Sebelum ngevote, kupengen kasih surat tilang dulu dikit…

    Aku suka penulisannya karena typo yang kutemukan dikit dan lay outnya cukup rapi, belum lagi art worknya yang semakin bikin betah membacanya…

    Tulisan ‘Realm’ dimiringkan tulisannya, begitu pun kata ‘alay’…

    Para reveriers (pake huruf ‘s’, kan jamak).

    Terisap bukan terhisap…

    2, 3 hari telah berlalu (ga boleh pake angka di awal kalimat, angkanya harus dikalimatkan jadi ‘dua-tiga’ hari…).

    Hm, setelah itu, typo lainnya masih bisa dimaafkan. Dengan begini, kami ngevote buat…”


    GHOUL:
    “KUROOO!!! Secara alur, enak disimak, belum lagi typonya tak sebanyak entri tetangga. Jalan ceritanya mendaki penuh kehalusan, jadi tak ada kesan terburu-buru di entri, tak seperti di entri lawan yang kesannya terburu-buru. Ya, meski kuakui agak sedikit membosankan sih. Tapi sudah cukup bikin penasaran karena ada surat bisa dibuka dan kagak itu, itu cukup unik dan menggali buatku yang doyan misteri. Fantasynya kental dan menghibur. Ga bikin sakit mata membacanya. Yang bikin plus yah gambarnya hehe…”

    :=(D

    BalasHapus
  4. (+) Art sampean masih bagus, seperti biasa '3') b

    (+) Narasinya terasa lebih bersih dibandingkan dengan yang saya temukan di prelim. Lebih mudah untuk diikuti jadinya.

    (+) Cara sampean menyajikan Marikh bagus.

    (+) Waktu konfliknya mulai, ketegangannya cukup terasa.

    (-) Konfliknya mulainya cukup lambat :-?

    (-) Karakternya Kuro terasa agak flat. Ini terutama terasa karena Marikh yang kamu tulis pun terasa lebih menarik dari si Kuro.

    (-) Saya lebih suka jalan pertarungan, laju konflik, dan akhir di canonnya Marikh.

    Hmmm, Kuro ini karakter yang menarik, tapi sepertinya penggambarannya justru masih belum maksimal.

    Skor: 75/100

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  5. Dibanding prelim dan r1, entri kuro yang sekarang jauh lebih rapi dan nyaman di mata. Bukan apa-apa sih, tp formatnya udah gak kayak yang sebelumnya. hehehe.. nice job
    Hanya saja fokus ceritanya sedikit kurang terarah. Jujur dahi saya mengerut pas kuro jadi paskibra. For what? Klo latihan pedang mungkin bakal bisa dinalar. Ceritanya bakal lbh baik klo apa yang dilakukan kuro itu semuanya berhubungan dengan turnamen.
    Saya setuju dengan mas yus dan mas sam. Mengenai peletakan misteri memang perlu diperhatikan sebab musababnya. Pada dasarnya tujuan pemaparan misteri emang harus bikin pembaca penasaran tapi gak bingung. Emang susah-susah gampang cos ane pernah failed di ronde sebelumnya mengenai materi itu.
    Tapi emang alangkah baiknya, misteri dijelaskan dengan penjelasan yang memuat misteri lain. Jadi pembaca juga terpuaskan dan juga bakal menantikan jawaban yang akan dimuat dironde selanjutnya

    BalasHapus
  6. Hebaaaaatt, disetiap part nya ada ilustrasi itu ide yang sangat bagus dan sebuah nilai plus untuk Kuro... Art yang sangat bagus didukung dengan narasi yang mudah diikuti, saya sangat nyaman membaca karya anda :D

    Meski begitu banyak cara tulis yang salah seperti yang sudah diutarakan oleh mas Ghoul di atas (meski tidak mengganggu membaca sih, hanya saja untuk acuan kedepannya saya tekankan lagi) , tapi disebelah itu art serta narasi yang mudah dibaca ini menutupi kok.

    Selain itu entri ini berhasil membuat plot yang bikin saya penasaran akan potensi plot tersebut kedepannya, semoga saja bisa dilanjutkan.

    Vote menyusul yaak.

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  7. Pertama-tama, ilustrasinya keren-keren. Nggak Kuro-nya, bahkan Marikh dan dua muridnya juga.

    Entah kenapa saya kok suka sama selipan Kuro jadi paskibraka, juga penjelasan tempat-tempat di sekitar dia yang di kayaknya di deskripsikan dengan apik karena pengalaman sendiri, ya gak? /slap/
    Meski ya, kok di prelim gambaranku bingkai mimpinya Kuro itu mirip-mirip punya Mirabelle - kedewa-dewaan(?), eh r2 Harajuku(?)

    Selain itu, yang saya suka adalah pembawaan karakter lawan + Ratu Huban di sini. Kerasa klop(?) sama aslinya gitu.

    Tapi, jujur, agak bingung pas battle-nya. Kuro begini, Marikh begitu, tiba-tiba ganti arah(?), atau saya aja ya. /slap/

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  8. Ilustrasinya bagus2 oi, buka kommish ndak *plakk

    Oke, Kuro menarik sebagai karakter, dan penggambaran Matikh juga lumayan... saya senyum2 lihat gaya dialog Mariks saat ketemu Kuro. Penulisan juga rapi... masih bisa diikuti meskipun saya agak miss di beberapa nama "Drakenfir" misalnya. Sepertinya itu karena saya nggak mbaca entry Kuro dari awal... nevermind lah.

    Kekurangannya diaini mungkin di diksi dan narasi, kurang greget dan terasa datar, terasa terlalu deakriptif-kronologis, suasana batin oara tokoh, detail pertarungan yang bikin greget (darah muncrat, keringat yang menetes, raga yang tertarik, jiwa yang tersiksa ditarik paksa)... hal2 semacam itu ya g terasa masih kurang... tapi aaya akui memang untuk itu butuh jam terbang sih, dan masa depan Kuro masih panjang...*eh

    Anyway, good job ! Vote tunggu dulu ya...

    Regards,
    Rakai A
    OC Shade

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah menimbang dan berpikir...

      Diksi narasi: Marikh.
      Penuturan cerita Marikh lebih luwes... meskipun entry Kuri cenderung ke arah tell, masih bekum diimbangi penggunaan diksi yang variatif. Semoga tahun depan tetap ikut BoR buat melatih ini.

      Canon & chara development; Kuro.
      Saya lebih penasaran Kuro dan keterpecahan jiwanya kemana dan bagaimana, sebab entry Marikh untuk canonnya masih jatuh ke mainstream

      Alur & plot: Marikh.
      Mungkin ini masalah selera saja sih, alur Kuro memang sangat kronologis, tapi jadi miskin variasi. Sedang Marikh melibatkan berbagai sisi termasuk dari segi oara subOC nya, sehingga terasa lebih lengkah menyumbang keutuhan cerita.

      2-1, vote Marikh.

      Tetap menulis ya, Cloud.
      Kuronya keren...

      *terima kommish ndak? *plakkk

      Hapus
  9. Ahehehe... Kayaknya bukan hanya saya yang karakter utamanya kegeser sama lawannya. Beberapa komentar di atas sudah membahas, tapi saya ulang lagi sekalian, karakter Marikh ditarik lebih banyak di sini daripada Kuro sendiri.

    Kekurangan dari Entri ini sudah dipaparkan yang lain, terutama soal narasi yang kurang greget, tapi menurut saya sudah menarik, terutama bagian battle dimana detailnya dikupas detail. Yang kurang mungkin dibagian elaborasi/penjelasan soal setting.

    Ehm... saya nggak bisa komentar banyak...

    Sekian~
    OC : Nora

    BalasHapus
  10. Wooh. All out banget ya nih. Gambar-gambarnya jadi penyegar buat istirahat di sela part.

    Seneng ngukutin canon Kuro ini karena kerasa peningkatannya di setiap ronde. Hanya memang problemnya di tataan plot yang terkesan membludak yang bikin keliatan kurang terstruktur. Overall ketegangan battlenya mah kerasa.

    Terus itu apa ada tongkat nabi musa sama bulu kera sakti www

    Irashaimbakeee best

    Apa lagi ya. Oh, misteri dewa yang mengitari Kuro masih bisa tersaji lebih apik andai ada hint lebih lanjut. Cukup bikin penasaran

    PUCUNG

    BalasHapus
  11. daaaaaan, bukan hanya anita dan stalla.
    kali ini kuro juga ganti orang.
    / :v \

    + aye suka dengan pembukanya.
    apalagi tautan suratnya. cakep. hangat. aye keingat entri Fapi yang aye bikin bor V.
    + settingnya tergambar jelas.
    + jadi paskibra

    - banyak banget ini typonya.


    daaan, DUA DEWANYA BIKIN RUNYAM DEH. kok malah dewa2nya yang bikin plotnya berasa belok gini.

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.