Kamis, 08 September 2016

[ROUND 2] 07 - VENESSA MARIA | REUNION





oleh : Saya Maria Fransiska

---


Reunion
Prolog


Jantung Maria berdesir keras, dadanya terasa seperti diperas hingga seisi darah terkuras. Kelopak mata gadis itu terbuka lebar, memelotot tajam memandangi ukiran langit-langit ruangan. Posisinya terkulai lemas dengan tangan menjuntai bebas.

Bongkahan payudara di dada terlihat naik turun. Mulutnya setengah terbuka, berusaha menggapai oksigen dari udara yang lembab. Napas gadis itu memburu tak karuan. Keringat dingin bahkan mengucur deras bagai disiram air hujan.

Lengannya bergeser pelan, berusaha meyakinkan diri bahwa dia tidak dalam kondisi lumpuh total. Kain seprei terasa lembut menyentuh kulit. Terpaan angin dingin dari penyejuk ruangan membuatnya bergidik.

Kala itu barulah Maria sadar, dirinya sedang berada dalam kondisi telanjang tanpa sehelai pun benang.

 “Apa... yang sudah terjadi?” Gadis itu bertanya pada diri sendiri. Ia berada di kamar hotel. Tak peduli berapa kali Maria memejamkan mata, pikirannya tetap tak bisa menjelaskan alasan kenapa dirinya bisa ada di sana.

“Uhhmm...” Seorang pemuda berusia lima belas tahun menggumam pelan, membuyarkan lamunan Maria. Sosok itu memiliki warna rambut Jingga, sama dengannya. Sedari tadi dia tertidur pulas di sampingnya.

Maria tentu saja terkejut, suaranya setengah memekik, “Kamu siapa?” Jemarinya dengan segera menarik selimut untuk menutupi bagian dada.

Pemuda itu ikut-ikutan kaget, “Lho, kamu sendiri siapa? Aku di mana?” Wajahnya latah berubah panik.

Maria kemudian menghela napas sejenak, berusaha mencerna situasi tempatnya berada, “Kita semalam nggak habis mabuk-mabukan kan? Nama aku Maria.”

“A—aku Odin...” Pemuda itu memeriksa kondisi di sekeliling. Dia mendapati gadis cantik duduk tanpa busana di hadapan mata. Kondisinya sendiri juga sama-sama telanjang seperti bayi baru lahir. Apa itu berarti keduanya baru selesai melakukan senggama?

Di lain pihak, Maria malah terlihat canggung. Pemuda (ganteng) di hadapannya terus melayangkan tatapan kebingungan, seakan menuntut sebuah kejelasan, “A... ada apa?”

Odin mengendus bau sperma di tubuh Maria. Benar rupanya mereka telah berhubungan badan. Hal itu semakin menambah keanehan. Sedikit pun ia tak ingat apa yang hingga berakhir di sana. Pemuda itu lantas membuka mulutnya sejenak, berusaha mengucap walau ditahan keraguan, “Kamu... nggak  mati?”

Maria mengerutkan alis, setengah tersinggung mendengarnya, “Haaaaa??? Aku masih hidup kok.”

“Eeeeuh... justru itu yang aneh. Siapa pun yang bercinta denganku pasti akan berakhir hidupnya.

Maria gagal mencerna maksud ucapannya, “Terserah kamu deh mz, aku mau ganti baju dulu.” Lengannya menggapai pakaian kusut tak jauh dari posisi duduknya.

Odin tak mengucap apapun meski Maria beranjak pergi dari sana. Ia hanya terkesima akan kemolekan lekuk tubuh gadis itu. Wangi jeruk semerbak tercium jelas hanya lewat kehadirannya saja.

...

Lampu jalanan berpendar menghiasi gelapnya malam. Gemerlap cahaya menguntit dari tiap jendela pada gedung-gedung tinggi. Hiruk-pikuk perkotaan masih tersisa meski sang mentari tak lagi menyinari.

Sebuah patung dewi berdiri kokoh di tengah kota. Berwujud perempuan berambut panjang hingga menyentuh paha. Orang-orang terlalu menghormati dewi itu hingga menjadikannya objek pemujaan.

Pikiran Maria masih belum bisa menjawab beragam tanda tanya. Kenapa dirinya bisa berada di sana? Apa dia mengalami Amnesia? Tapi batinnya masih bisa memanggil segala kenangan tentang dirinya.

Dimulai dari perjalanan hidupnya sebagai kupu-kupu malam. Lalu berpetualang mengikuti turnamen hidup mati di alam mimpi. Berulang kali ia mati, namun masih bisa hidup kembali. Itu karena segalanya tak lebih dari ilusi.

Para pejalan kaki di sekelilingnya, mobil-mobil—lengkap dengan suara klakson nyaring—berlalu lalang memenuhi jalanan. Semilir lembut meniup tipis ke belakang telinga, mengantar dinginnya angin malam. Serangga kecil berputar di lampu penerangan. Semua itu sebenarnya tidak nyata. Dirinya berada dalam bingkai mimpi, tak lebih dari konstruksi alam bawah sadar saja.

Tapi setidaknya, di alam mimpi ini dia bisa tinggal bersama ibu dan saudarinya. Meski di dunia nyata dirinya tengah mengasingkan diri, di sini ia bisa bebas berinteraksi dengan mereka. Nely ibunya, mau menerima dia apa adanya, meski keberadaan Maria dicap sebagai anak haram yang bisa mencoreng nama baik kerajaan.

Maka ke sanalah Maria berangkat, menuju kediaman kerajaan di mana ia seharusnya berada. Segalanya memang tak lebih dari ilusi saja. Oleh karenanya seluruh fitur mimpi ini dirasa menyenangkan bagi Maria. Tak ada hal buruk yang akan terjadi padanya.

Sebuah pemikiran naif.

Yakin sekali ia di bingkai mimpi ini tak akan ada ancaman baginya. Gadis itu lupa akan bagaimana cara untuk bersikap waspada. Berjalan melewati gang sempit nan kumuh pada malam hari merupakan tindakan berbahaya. Ada banyak penjahat sibuk mencari mangsa. Maria malah tak mengindahkan para tunawisma di kanan kirinya. Tak peduli akan bagaimana mereka melayangkan pandangan tak bersahabat.

Maria sukarela mengantar dirinya sebagai korban yang siap diperkosa. Potongan pakaian gadis itu terlihat menggoda, terutama pada belahan di antara dua payudara. Kurva tubuhnya juga indah di mata. Perempuan manapun pasti iri melihat perut rata—tanpa timbunan lemak—milik Maria. Dan bokongnya ... lelaki macam mana yang tak akan menelan ludah melihat gumpalan itu? Terlebih wangi gadis itu senantiasa membangkitkan gairah siapa pun yang mengendusnya. Feromon pembangkit hawa nafsu tanpa disadari menebar aktif memenuhi udara.

Maka dari itu, bukan hal aneh lagi apabila sekelompok gelandangan datang menyerangnya. Mereka tak sanggup menahan kehendak bejat di kepala.

Salah satu dari mereka menyergap dari belakang. Gelandangan itu memeluk erat sementara dua tangan menggerayangi payudara.

Mulut Maria gagal mengeluarkan suara. Mau panik dan menjerit pun ia tak sanggup. Sosok lain begitu sigap menyumpal mulutnya.

Bokong Maria bisa merasakan tonjolan keras dari balik celana. Napas bau mereka menandakan hilangnya akal sehat ditelan oleh nafsu membara. Gadis itu sebenarnya tak terlalu keberatan andai diperkosa saat itu juga. Anggap saja itu sebagai makan malam untuk mengisi energi di hari selanjutnya.

Tapi ia tak pernah menduga, bahwa orang-orang ini akan bertindak kasar hingga memukulinya. Gadis itu ditampar berulang kali, seraya pakaiannya dirobek dengan paksa. Dirinya diposisikan seperti seekor anjing. Kemaluannya dihujam tanpa ancang-ancang. Para pemuda itu mencengkeram pinggulnya dari belakang, seraya menancapkan penisnya dalam-dalam.

Gadis itu menjerit kesakitan, tatkala bokong bulatnya ditampar berulang kali hingga kemerahan. Ia juga tak mengerti, kenapa pemuda satu lagi harus menghajar pipinya sebelum meminta dioral. Tanpa disuruh pun ia pasti akan menjilati penis yang disodorkan tepat di depan wajah. Kenapa Orang-orang ini begitu beringas padanya? Apa mereka mendapat kepuasan seksual dengan cara menyiksa partnernya? Beragam pukulan disarangkan tepat di wajah. Paras cantik gadis berambut Jingga itu dirusak hingga penuh dengan luka lembam.

Beragam caci maki terdengar memenuhi telinga. Baru kali ini Maria merasa tak berdaya, hingga merasa seperti alat tak berguna. Ia tergolek lunglai dalam posisi telanjang penuh luka.

Pemuda pertama yang menggagahi dirinya sudah terduduk lemas hilang tenaga. Kini giliran pemuda lainnya memuaskan niat bejat untuk bersenggama. Pemuda ini yang sedari tadi menyiksa Maria. Dalam posisi misionaris, ia menindih kuat demi menujukan dominasi sebagai seorang pria.

Hanya saja, sikap dominasi itu dilakukan melewati batas. Jemari pemuda itu menggapai leher Maria, lalu mencekiknya sekuat tenaga.

Napas Maria tercekat, lengannya berusaha melepaskan diri walau berakhir sia-sia. Tak peduli bagaimana ia meronta, mencakar wajah sang pemerkosa. Gadis itu tetap kalah tenaga. Dadanya kembung kempis berusaha menarik oksigen. Bibir gadis itu terbuka sedikit kepalanya menengadah tinggi untuk menggapai udara, “Huk... hhhhhh....”

“Mati loe anjing, lonte sampah gak berguna!” ucap pemuda itu.

“Udah matiin aja bro, ntar mayatnya buang ke kali bawah tanah. Biar gak ketahuan,” sahut yang lainnya.

Paras Maria meringis ketakutan. Dihantam teror tak berkesudahan, air matanya terlihat bercucuran. Orang-orang ini berniat untuk mengakhiri hidupnya. Padahal ia tak sedikit pun melakukan perlawanan, tapi kenapa orang-orang ini begitu tega padanya?

Pemuda terakhir itu menumpahkan muatan sperma ke dalam rahim Maria. Tenaganya diserap Maria secara sempurna hingga ia tumbang tak berdaya.

Untuk sesaat Maria merasa lega. Orang yang berniat membunuhnya kini tak sadarkan diri. Ia kira segalanya akan berakhir di sana.

Namun lagi-lagi ia salah.

Tak sedikit pun Maria sadari, bahwa sedari tadi terdapat tunawisma lain dengan sabar berdiri rapi. Wajah mereka sama-sama terlihat beringas, siap untuk melukai.

“Ya Tuhan...” ucap Maria dengan suara bergetar. Ia benar-benar memasuki gang kumuh berisi banyak sekali gelandangan.

Orang-orang berpakaian penuh tambalan memeriksa dua pemuda tadi. Mereka sama sekali tak menemukan denyut nadi.

Marah, geram, gelisah, heran, semuanya bercampur padu hingga menciptakan adonan berupa anarki ketidaktahuan, “Apa yang kau lakukan?!”

Orang-orang ini semakin cemas, “Dia setan! Dia pasti setan. Kau pernah dengar setan bernama Succubus? Itu pasti dia!”

“Bunuh setan itu! Bakar!” gelandangan lainnya datang memprovokasi.

Dibakar oleh rasa takut dan kedunguan, orang-orang ini sukses menangkal feromon dari tubuh Maria. Hasrat untuk menunaikan nafsu hilang tertelan kemarahan. Mereka datang mengerubungi, lalu melayangkan beragam pukulan dan tendangan.

Kenapa? Kenapa jadi begini? Apa salahku? Ada apa dengan orang-orang ini?

Maria tak sedikit pun sanggup melakukan perlawanan. Sakit di sekujur tubuh menghentikan tiap pergerakan. Bibirnya pecah, hidungnya mengeluarkan darah. Gadis itu menerima amuk masa atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Kondisinya terlampau lemah hingga pandangan pun ikut memburam.

Berikutnya, Maria mendapati dirinya tengah diangkat oleh orang-orang ini. Sebuah tali dilingkarkan pada lehernya.

Apa yang terjadi..?

Dalam satu tarikan, tubuhnya terangkat tinggi.

Simpul tali begitu erat menjerat leher. Gadis itu digantung dalam kondisi tanpa busana. Kakinya mengayun berusaha mencari pijakan, sementara kedua lengan berusaha melepaskan diri. Semakin berat bobot Maria, semakin kuat ikatan itu mencekiknya.

Sesak, rasanya sesak sekali. Gadis itu menangis tanpa suara. Batinnya meringis mengharap pertolongan. Rasa takut meneror ke dalam raga. Sekuat tenaga ia menarik napas, tak ada udara yang bisa melewati tenggorokannya.

Tubuhnya menegang. Tinggal beberapa detik lagi hingga ajal datang menjemput. Pipinya basah oleh kucuran air mata.

“To...long...”

...


...

Kesadaran Maria terasa semakin mengawang. Telinganya berdengung kencang, sementara pandangan mata kian memburam. Tubuhnya tak lagi bergerak.

..


“Hentikan!”

Seseorang datang memecah suasana. Maria tak bisa menangkap apa yang terjadi. Sorot matanya kosong menatap angkasa. Jeratan leher ini menekuk lehernya hingga menengadah tinggi.

Beragam keributan terjadi di sekelilingnya. Suara jeritan terdengar memenuhi udara. Seseorang sibuk membantai orang-orang di sana.

...

“Maria..!” seseorang berteriak memanggil namanya.

Akan tetapi rasa lelah terlampau kuat mencengkeram kesadaran Maria. Tubuh gadis itu serasa ditarik jauh menuju kegelapan di bawah sana.

...

“Maria..!”

Ah... siapa pemuda ini? Dia begitu gigih menyelamatkan Maria.

...

Gadis itu lambat laun membuka kelopak mata. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Odin yang sedang mencium dirinya.

Tidak, tidak... itu bukanlah ciuman. Pemuda itu sedari tadi melakukan CPR padanya. Berulang kali ia menekan dada Maria, lalu meniup udara lewat mulut ke mulut untuk memberikan respirasi buatan padanya.

Pandangan Maria terlihat sayu. Mulutnya terbuka pelan seraya mengucap lirih “Odin...”

Raut khawatir Odin mencair, hingga tergantikan dengan ukiran ekspresi bahagia. Rasanya senang sekali setelah menerima hasil dari usaha resusitasi ini. Gadis itu selamat setelah beberapa menit dijerat tali gantungan.

“Maaf aku sudah melupakanmu...” Odin mengukir wajah teduh menyejukkan, “Si Hewan... maksudku Zainurma sialan itu pasti telah melakukan sesuatu. Aku bahkan tak sedikit pun mengingatmu ketika menjalani misi di Little Italy.”

Maria menggelengkan wajah. Segala kenangan pada ronde sebelumnya mengalir deras memasuki kepala. Pemuda yang sedang memangkunya ini adalah cinta pertamanya. Jelas sekali tergambar imaji perjuangan mereka di ronde sebelumnya.

Keduanya saling menempelkan kening, seraya mengukir senyum bahagia.

“Terima kasih,” ucap Maria lirih, “Terima kasih sudah menyelamatkanku.”






Part 1 of 7



Paparan kristal penyembuh berpendar redup dalam ruangan yang temaram. Kesibukan perkotaan terlihat samar dari jendela ruangan.

Tiga hari Maria dirawat di rumah sakit. Tiap hari Odin setia menemani di sampingnya.

Tayangan televisi seperti biasa mengabarkan berita tentang keluarga kerajaan. Vas bunga di samping kulkas terlihat basah memantulkan binar mentari sore hari. Kedua domba Odin dan Maria sibuk bercinta di pojok ruangan dekat lemari.

“Kita... masih ada di bingkai mimpi?” ucap Maria ragu. Hal buruk yang terjadi padanya terasa begitu nyata sekali. Apa tak ada batasan untuk membedakan realita dengan alam mimpi?

Odin menggelengkan kepalanya, “Aku juga belum mendapat kepastian mengenai ronde dua. Semoga saja kita tidak berhadapan di pertarungan selanjutnya.”

Maria mengukir senyum lembut, “Andai itu terjadi, aku rela merenggut nyawaku sendiri sebagai pijakanmu untuk berlanjut menuju ronde selanjutnya.”

“Lalu sekuat tenaga aku akan mencegahnya. Aku tahu titik lemah manusia. Aku bisa bunuh diri lebih cepat, semata agar kau bisa hidup lebih lama.”

Maria tertawa kecil, “Ini bukan kisah Romeo dan Juliet.”

Odin beranjak mendekati. Pemuda itu mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Maria. Agak lama keduanya saling bertaut mesra. Jemari Odin tiada henti menyisir rambut Maria yang berwarna Jingga. Perasaan rindu berbalut sayang begitu sesak memenuhi hati. Ini pertama kalinya Odin merasakan bahagia ketika bermesraan dengan seorang wanita. Keduanya rela mengorbankan apapun demi keselamatan kekasih hati.

Dua domba di pojok ruangan menghentikan aktivitas mereka. Hewan peliharaan itu mengembik tanpa makna. Hanya pemilik masing-masing yang paham ucapan itu. Walau garis besarnya tetaplah sama.

Ronde dua hendak dimulai.

“Maaf Maria, aku harus pergi. Ronde dua ternyata dimulai di bingkai mimpi kita masing-masing.”

Maria hanya menjawab dengan senyum lirih. Sedih sekali rasanya harus berpisah kembali dengan pemuda itu, “Semoga berhasil Odin...”

“Kau juga, berhati-hatilah... Maria. Kita akan bertemu lagi.”

Sebuah dinding mistis muncul dari udara kosong. Portal itu bergerak maju hendak menelan keberadaan Odin. Tiap senti permukaan tubuhnya bercerai berai berubah menjadi serpihan cahaya lembut. Tak ada rasa sakit dari proses perpindahan dimensi itu. Yang ada hanyalah kesedihan akan sebuah perpisahan.

Odin lenyap bersama dengan dombanya. Sampai akhir pun telunjuk pemuda itu masih teracung demi menggapai Maria.

Maria masih terduduk di kasur rumah sakit. Lengannya masih jelas mengingat sentuhan terakhir di penghujung jemari. Napas gadis itu lantas mengembus pelan, seraya pandangannya teralihkan ke luar jendela, “Nah... sekarang apa yang harus kulakukan?” Ia tak punya kemampuan apapun untuk melawan peserta lainnya. Pada Ronde terakhir pun dia berhasil selamat hanya mengandalkan keberuntungan saja.

Selamat?

Tidak, dia salah. Maria sama sekali tak selamat di ronde satu. Dia mati di kala itu.

Apa itu berarti mati tak menjadi masalah?

Itu juga tidak benar. Karena makhluk hidup manapun tak pernah menginginkan kematian.

Mati…

Teringat kembali kejadian tiga hari lalu. Kali ini rasa takut datang berkecamuk meneror sanubari. Keringat dingin mengucur membasahi dahi. Rasa mual serasa menohok lambung dan ulu hati.

Kenapa baru sekarang aku merasakan ini?

Batinnya menerawang jauh, memutar kembali saat-saat hina ketika sedang diperkosa. Pipinya remuk dihajar berulang kali, siku lengan kiri Maria bahkan terlepas dari sendi. Beragam goresan di kulit mengeluarkan darah beserta kepedihan. Harga dirinya tak lagi berarti.

“Aku.. tidak mau mati…” ucap gadis itu seraya menjambak rambutnya sendiri. Sungguh aneh, kenapa baru sekarang ia diserang perasaan begini? Apa keberadaan Odin begitu hebatnya hingga sanggup meredam trauma ini? Maria kembali bergidik ngeri, rasa sakit di kala itu muncul kembali.

Tenang-tenang… ini hanyalah alam mimpi. Segalanya tak nyata sama sekali.

Tapi mau bagaimanapun juga, segala teror dan penderitaan itu terasa seperti sebuah realita.

Jadi mana yang benar? Aku takut… aku tak ingin terlibat lebih jauh dalam turnamen konyol ini.

Sendirian di ruangan gelap, gadis itu meringkuk memeluk bantal selagi berlindung di balik selimut.

Odin… tolong selamatkan aku. Aku ingin keluar dari turnamen konyol ini.

Tangis kecil pecah walau suaranya nyaris tak terdengar. Waktu berlalu begitu cepat tanpa disadari. Dentang jarum jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam.

Lampu penerangan di ruangan itu padam begitu saja. Matanya gagal menangkap apapun, ruangan itu berubah menjadi gelap gulita. Suasana begitu senyap tanpa sedikit pun suara.

Ada yang aneh.

Kondisi ini terlampau hening. Suara detak jarum jam bahkan absen dari telinga Maria. Gemuruh kecil pendingin ruangan terhenti dari tugasnya.

Padahal handphone bisa dijadikan sebagai penerangan darurat, tapi tak ada yang menyalakan cahaya apapun di luar sana. Seakan kota ini mendadak sepi tak berpenghuni.

Cahaya berwarna ungu kemudian berpendar temaram dari angkasa. Maria bisa samar-samar melihat sekeliling berkat pantulan redup yang menyelinap lewat jendela. Gadis itu lantas memberanikan diri untuk memeriksa.

Jauh di angkasa sana, sebuah dinding mistis tercipta menutupi kota. Permukaannya mengeluarkan pantulan cahaya bak gelombang air di lautan. Cahaya yang sama yang kini menyinari kegelapan di bawahnya.

Kota Twilight ini dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Hal itu menyulitkan Maria untuk melihat batas cakrawala. Ia tak tahu sejauh mana selubung semi transparan ini mengakar menuju tanah.

Ini mungkin fitur dari ronde dua.

“Uiiik… uuuiiikkk..” (Maria, kau harus fokus. Perjuangan kali ini tidak hanya tentang dirimu saja, melainkan untuk menyelamatkan kota ini dari kehancuran.)

Domba itu mengucap sesuatu untuk memberikan semangat.

Maria melayangkan tatapan tak sedap, “Memangnya aku peduli? Lihat apa yang kota ini sudah perbuat padaku. Kalau pun harus hancur, maka biarlah itu terjadi.”

“Uuuiiikkkk… uik, uikkkuikkkk,” (Kau mau menyerah? Nasibmu nanti akan lebih parah dari pada kematian. Keberadaanmu akan digerus hingga menjadi sebatas tembikar.)

Jantung Maria berdesir mendengarnya. Rasa takut kembali menjalar di pikiran, “Lantas apa yang harus kulakukan?”

“Uiik, uiik… uik,” (seperti biasa, kalahkan musuhmu, atau orang-orang di kotamu akan terbunuh seiring dengan berakhirnya tenggat waktu.)

Didorong sejumput keberanian, gadis itu pergi ke luar ruangan. Ia harus mencari baju baru, baju pasien ini terlalu tipis, sementara udara malam pasti terasa dingin.

Tak ada seorang pun di lorong rumah sakit. Penerangan yang seadanya memaksa Maria untuk ekstra siaga. Tempat ini mendadak saja kosong tak berpenghuni.

“Uiiik, uiiik,” (Jangan takut, aku ada di sampingmu)

Setidaknya Dombe masih setia menemani.

Tiba di Nurse Station, Maria tak bisa menyembunyikan rasa heran akan pemandangan di hadapannya. Alih-alih menemukan seorang perawat, di balik meja resepsionis itu dia malah terdapat sebuah peti mati yang diposisikan berdiri. Bagian sudutnya  mengeluarkan cahaya temaram berwarna ungu, persis seperti warna selubung di angkasa.

“Jangan-jangan...” gadis itu bergegas cepat, pergi menuruni tangga. Ia ingin memastikan sesuatu dengan pergi keluar menuju jalanan.

Di sana, terdapat banyak peti mati dalam posisi berdiri. Seakan tiap benda itu merepresentasikan seorang manusia yang sedang berjalan.

Lebih jauh memerhatikan, mereka yang ada di dalam mobil pun tak luput dari keanehan. Peti mati itu membungkus tubuh mereka mengikuti posisi duduk.

Napas Maria masih memburu setelah cukup lama berlarian. Mulutnya menggumam pelan, “Dark Hour...







Part 2 of 7


“Namol bangun! Heppow lapar...!” Seekor cacing tanah mengucap keras hingga membangunkan sang Majikan.

Napas Namol tercekat, lengannya  menggapai ke angkasa. Cacing barusan menindihnya dari kaki hingga ke perut.

Iya, cacing itu seperti hewan mutan. Ukurannya tak wajar, jauh dari kata normal. Bobotnya saja bisa mencapai ratusan kilogram. Dan yang lebih gilanya lagi, dia bisa bicara.

“Cacing sialan, sadar diri dong tubuhmu itu berat!”

Sesosok peri kecil terbang bebas di ruangan, “Heppow nakal! Nanti Namol bisa mati.” Peri itu berusaha menarik cacing raksasa yang menindih, “Awas iiiiih!”

“Aaaaaaa...” Namol memejamkan mata, berusaha melepaskan diri.  Meski pagi hari ini terasa begitu menyebalkan, tapi setidaknya dia bahagia bersama dua rekannya ini.

Hanya saja suasana itu mendadak terhenti digantikan dengan kekosongan nan sunyi.

Mata Namol terbuka lebar, menatap lampu kamar yang mati. Ruangan itu gelap. Pria itu mendapati dirinya masih sendiri. Keributan di pagi hari ternyata tak lebih dari sekadar imaji. Yang jelas, sekarang masih malam hari.

“Mimpi di dalam mimpi...” gumam Namol lirih. Ia menutupi wajahnya sendiri, bersedih akan kedua rekannya itu.

Domba pemberian Zainurma mengembik  memberi tahu akan dimulainya ronde dua. Tremor kecil terasa jelas di lantai rumah, “Gempa?”

Didorong rasa penasaran, maka disingkaplah tirai jendela. Dari sana, Namol bisa melihat sekelumit perubahan di batas cakrawala. Langit gelap di atas sana memiliki dua bulan.

Bingkai Mimpi Namol berpindah tempat menuju realita yang berbeda.

Tanpa kesulitan berarti, pria itu terbang melayang tinggi untuk mengumpulkan informasi. Sebuah Kota diisi beragam bangunan tinggi terlihat terpatri sejauh lima puluh kilometer. Namol sempat salah mengira bahwa kota itu adalah New York.

Lalu ada satu hal lagi yang terasa mengganggu. Sebuah selubung misterius muncul dari ketiadaan di langit kejauhan. Semacam gelembung tipis semi transparan menyekat dua kota itu dari dunia luar. Apa ini berarti Ronde dua akan melibatkan dua kota yang saling berhadapan?

Namol mengerutkan alisnya, berusaha berdamai dengan rasa takut di dada, “Se- sekarang kita harus berperang?”

Domba di samping Namol terbang setelah mengikat diri pada Jetpack. Hewan itu mengembik memberi keterangan tentang syarat dan ketentuan Ronde dua.

“Tak perlu pergi berperang? Aku cukup membunuh Reverier yang tinggal di sana?” Pria itu menelan ludah, “Kuharap dia orang yang lemah.”

Selayaknya seorang Superman, Namol memosisikan dirinya seperti kapal terbang, lalu melesat cepat menuju kota di kejauhan.

...

“Peradaban di sini mirip seperti kota di Bumi.” Namol memeriksa segala sesuatu. Ia hanya bisa heran terhadap begitu banyaknya peti  mati, “Apa yang terjadi di sana? Kenapa banyak peti mati dalam posisi berdiri?”

Pria itu mengucap apapun yang mengganggu pikiran. Biasanya ada dua rekan yang setia menanggapi beragam celotehannya. Namun kali ini, hanya keheningan yang bisa ia jadikan jawaban.

Di atas puncak gedung tertinggi, terdapat sesosok gadis tengah berdiri sendiri. Dia sepertinya sibuk mengamati kota tempat Namol berada. Gelapnya suasana membuatnya tak sadar akan keberadaan Namol yang melayang di angkasa.

Walau dipenuhi keraguan, Namol memberanikan diri untuk datang menghampiri.

Gadis itu tak beranjak sedikit pun dari hadapan Namol. Pandangan yang sedikit terbelalak hanyalah satu-satunya petunjuk akan keterkejutannya. Hebatnya, dia masih bisa mempertontonkan ketenangan. Hal itu terbukti dari ucapannya yang lembut, “Halo mz.

Wajah Namol berubah canggung, “Eeeeuh... halooo...”

Senyum kecil terukir di mulut seksi gadis itu. Akan tetapi, sedetik kemudian raut wajahnya berubah menyiratkan kegundahan, “Aku asumsikan kamu sebagai Reverier yang menjadi lawanku.” Lengannya terkepal menahan rasa takut.

Namol menatap domba di samping Maria. Gadis itu pasti mengasumsikan hal barusan setelah mendapati domba miliknya sibuk melayang di angkasa.

“Uuuhmmm... i-iya..” jawab Namol canggung. Perhatiannya berulang kali teralihkan oleh belahan payudara di dada gadis itu, “Na-nama kamu... Maria kan?” Rambut panjang berwarna jeruk matang membuat gadis itu cukup mencolok ketika berada di Museum Semesta.

Maria menjawab dengan sebuah anggukan.

Mendengar itu, Namol lantas menurunkan kewaspadaan. Sepanjang yang ia tahu, Maria merupakan salah satu Reverier yang tak memiliki kemampuan untuk bertarung,

Keduanya mematung tak bersuara. Kebisuan itu terasa nyata, terlebih dengan absennya embusan udara. Waktu seakan terhenti bagi keduanya.

“Uuuuhhhmmm...” Namol menjadi canggung, “Apa sekarang kita harus saling bunuh-bunuhan?”

Maria menggelengkan kepala. Sejuta kegundahan di wajah sesungguhnya merupakan perwujudan dari rasa takut di kepala. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menunjukkan bahwa ia tertekan dengan situasi yang ada, “Aku... tak mau bertarung. Aku ingin keluar dari turnamen konyol ini.” Wajahnya menengadah, menatap jauh ke dalam jiwa Namol, mengharap pertolongan dari lubuk hati paling dalam, “Kumohon, bantu aku.”

“Dengan cara apa?” Namol sendiri dibuat kebingungan. Hanya kematian salah satu dari mereka yang bisa mengakhiri ronde dua, “Jangan bilang kau menyuruhku untuk mati. Kalau itu aku tak mau.”

Maria menggelengkan wajahnya, “Tentu saja tidak. Yang jelas, aku tak mau membunuh siapa pun demi acara aneh ini.”

Sebenarnya dari tadi Namol sudah memikirkan sebuah jalan pintas. Niat buruk terbesit berulang kali, meminta konfirmasi untuk dilakukan. Gadis di hadapannya bisa ia kalahkan kapan pun ia mau. Tapi entah kenapa, ada semacam perasaan aneh yang datang mengganggu.

Napasnya memburu. Kemaluannya menegang. Keringat dingin mengucur seraya pandangan berubah gamang. Organ reproduksi di antara selangkangan serasa ingin meledak. Berada di dekat Maria membuat birahinya naik tanpa sebab. Pemikiran Namol serasa meleleh. Andai pria itu tak bisa menahan diri, perempuan di hadapannya tentu sudah ia terkam dari tadi.

“Maria...” pria itu mengucap nama Maria selembut mungkin. Pria mana pun tak akan tega melihat gadis lemah tak berdaya, menangis ketakutan meminta pertolongan. Meski Namol mengenal dirinya sebagai seorang pengecut, tapi itu tidak menjadikannya sebagai seorang brengsek tak kenal sopan santun. Ia tak akan menyerang lawan lemah tak berdaya.

Maria tak lagi bisa menahan diri. Ia gagal berpura-pura menjadi perempuan pemberani. Aktingnya luntur bersamaan dengan kucuran air mata yang membasahi pipi. Gadis itu paham betul, siapa pun lawannya di pertarungan ini, mereka pasti memiliki kemampuan super untuk bisa membunuhnya dengan berbagai cara. Ia sadar, nyawanya sedang berada di ujung tanduk.

“Tenanglah... aku tak akan menyakitimu.” Entah didorong keberanian dari mana. Namol sanggup berjalan mendekati, menyeka air mata gadis itu, lalu mengusap rambutnya penuh arti.

Maria menengadahkan kepalanya, seakan menuntut penjelasan dari ucapan barusan. Apa itu berarti permusuhan ini terhenti sampai di sini?

Namol menjawabnya dengan sebuah kecupan. Pria itu seperti sedang kerasukan. Ini bukan dirinya yang biasa. Ia tak akan pernah bisa melakukan hal seperti ini pada wanita. Apa ini salah satu efek dari feromon Maria? Namol harus bisa menyudahi ini, ia tak boleh terjerat tipu daya seorang Succubus. Gadis itu mungkin memiliki rencana tersendiri lewat cara membangkitkan nafsu birahi.

Namun bibir sensual Maria seakan memiliki daya tarik tersendiri. Tanpa disadari, mulut keduanya saling terpatri, menyatu dalam beragam kecupan. Lidah gadis itu terjulur keluar, bertaut dengan jilatan kecil dari pria berkulit cokelat. Ciuman itu berhasil membangkitkan gairah yang menggelora. Namol dengan beringas meremas payudara Maria, sementara gadis itu sibuk mengelus batang kejantanan. Keduanya lupa bahwa seharusnya mereka saling bermusuhan.

Tiap helai pakaian berhasil ditanggalkan, keduanya bergelut berusaha saling memuaskan. Lantai licin sama sekali tak menjadi penghalang. Namol begitu fokus menelusuri belahan dada berukuran tak wajar. Gumpalan kenyal itu lebih besar dari kepalan tangan. Tak pernah bosan ia mengaduk, meremas, serta meresapi tekstur lembut dari dada seorang perempuan. Jempol pria itu memilin kecil puting merah muda yang sudah menegang.

Punggung Maria menggelinjang, pikirannya serasa mengawang. Ia tak menyangka Namol begitu lincah nan berpengalaman. Gadis itu menjerit pelan, tatkala tiga ruas jemari sibuk menggaruk bagian dalam lubang kewanitaan. Partnernya kali ini paham di mana letak kelemahan hanya lewat beberapa percobaan. Hal ini membuat Maria terlihat seperti sedang dirasuki setan. Beragam cacian beserta umpatan terlontar sebagai wujud ekspresi dari sejuta kepuasan. Pinggul gadis itu terangkat sedikit, melepaskan semacam energi lewat proses orgasme. Semburan kecil terasa hangat membasahi jemari Namol.

Skor 1 – 0 untuk Namol. Dia tersenyum puas melihat lawannya terkapar tak berdaya. Gadis itu tergeletak pasrah, siap untuk dieksekusi. Kejantanannya sudah mematung tinggi sedari tadi. Tak sabar rasanya  merasuk ke dalam lubang surga duniawi.

Maka disingkaplah kedua paha Maria, seraya pandangan gadis itu terlihat gamang. Samar mulutnya mengucap sesuatu, “Jangan di lubang yang itu...”

Gerakan Namol terhenti, seraya jemarinya memegangi kedua lutut Maria, mendadak saja ia berubah bimbang. Apa maksudnya berkata ‘jangan lubang yang itu?’

Jadi harus di mana Namol menancapkan penisnya?

Vagina?

Celah sempit itu basah oleh pelumas alami. Lubang kewanitaan Maria seakan tak sabar untuk dimasuki. Namol tak mau berpikir panjang, terlebih pikirannya sudah tenggelam digerus nafsu birahi.

Maka ditancapkan saja batang kejantanannya dalam-dalam. Sensasi kepuasan ini sungguh tak tertandingi. Rasanya hangat nan nyaman. Dinding peranakan itu mencengkeram kuat seakan memiliki kehendak tersendiri. Penisnya serasa diremas, diurut, serta disedot tanpa henti. Diam menancap saja sudah seperti ini, lantas seperti apa kira-kira jika Namol mulai menggerakkan pinggulnya?

Bokong pria itu mundur sedikit, mencabut perlahan batang keras yang menusuk dalam. Mulut Namol tampak setengah terbuka, melenguh tanpa suara. Pria itu begitu khidmat meresapi gesekan lezat dari dinding vagina. Celah sempit itu bertindak selayaknya vakum, menarik kembali penis yang keluar, tak rela untuk ditinggalkan.

Dorongan kecil kembali dilakukan. Namol memberikan penekanan. Gerakan itu diulang-ulang hingga terlihat seperti pompaan.

Payudara Maria berguncang, tubuhnya bergejolak di tiap kali Namol mengentak selangkangan. Desahan lirih memecah dinginnya malam. Lenguhan keduanya bersatu padu menggali kenikmatan.

Namol sungguh tak tahan. Baru kali ini ia merasakan sensasi seperti ini. Pikirannya serasa terbang menembus awan. Senjatanya semakin menegang hendak menumpahkan muatan.

“Maria... Maria..!” Pria itu mendekap Maria erat. Pinggulnya menegang menancapkan penis dalam-dalam, “Aaaaaaa...!”

Tumpahan sperma datang membanjiri lubang peranakan. Beberapa darinya bahkan menyelinap menetes keluar, sedetik setelah Namol mencabut batang kejantanan.

“Huh..? Aaaah..?” Detik itu, barulah Namol sadar. Dia sudah membuat kesalahan besar. Tubuhnya mendadak lunglai. Menggerakkan jemari pun ia gagal. Rasanya seperti habis dipatuk ular kobra. Seluruh syaraf di tubuh Namol berhenti bekerja. Detak jantung pun ikutan absen dari tugasnya.

Maria perlahan bangkit, menatap seonggok jasad tak bernyawa di hadapannya. “Maaf mz... sudah kubilang, jangan di ‘sana’. Lubang itu khusus untuk Odin seorang.”

“Ma...ria....” Namol mengucap nama itu dengan napas terakhirnya.

Keheningan kembali datang. Maria menangis dalam hati. Tak seharusnya ia melakukan ini. Sekarang ia menang, dan kemungkinan besar diikutsertakan ke ronde selanjutnya. Padahal ia berniat untuk melarikan diri.

Gadis itu kemudian mengangguk pelan, berusaha melakukan pembenaran, “Setidaknya, aku bisa bertemu kembali dengan Odin.”



========================


Tubuh Namol terentak. Pikirannya sempat mengawang beberapa saat. Kewaspadaannya entah kenapa meningkat. Di hadapannya, Maria sudah telentang pasrah siap dieksekusi. Ia sempat bimbang hendak menggarap lubang yang mana.

Apa yang terjadi? Sesaat barusan ia mendapat sekelebat imaji berupa hawa kematian. Tak jelas memang, tapi firasatnya memperingati akan bahaya yang datang.

Maria dikenal sebagai seorang Succubus. Lubang kewanitaannya merupakan senjata untuk menguras energi lawan. Haruskah ia melanjutkan percumbuan ini?

“Hhhh...” Napas Maria serasa tertahan, “Jangan di lubang yang sana mz. Berbahaya...” Lengannya menggapai jauh ke bawah, seraya jari telunjuk melesak sedikit ke dalam lubang anus, “Kau bisa mati. Gunakan yang ini saja, ini aman...”

“Tunggu dulu...” Namol merogoh kantong celananya yang tergeletak. Ia mengambil sebatang kondom dari sana. Dia bukannya tak percaya pada Maria. Hanya saja tak ada salahnya untuk bermain aman bukan? Pria itu lantas menancapkan ujung penisnya secara perlahan.

“Ukh...” cengkeramannya begitu kuat, namun licin mengenakkan. Pelumas buatan dari kondom membantu penetrasi dengan sempurna. Pangkal perutnya bahkan berhasil menabrak belahan bokong Maria dalam satu entakan. Lubang anus itu pasti sudah terlatih untuk situasi anal. Dindingnya bahkan bisa mengerut di saat yang tepat ketika hendak menarik keluar, memijit sang pelir seakan memaksa untuk memuntahkan muatannya.

Jemari Namol mencengkeram pangkal paha sebagai tumpuan,sementara pinggulnya memompa tanpa kenal lelah. Rambut Maria tergerai jatuh bergoyang-goyang. Belahan indah bokong gadis itu berulang kali terkena hantaman.

Lalu tibalah saatnya Namol mencurahkan seluruh tenaganya. Dalam satu gerakan mengejan, ia menyemprotkan seluruh cairan kental jauh ke dalam lubang kenikmatan.

Napas Namol serasa tertahan. Tubuhnya letih luar biasa, tapi ia puas sekali. Tubuhnya telentang menatap angkasa. Cahaya temaram berwarna ungu mengguyur rambut keritingnya.

Maria bangkit setelah mengumpulkan sejumput tenaga. Matanya menatap lekat pria yang terkapar tak berdaya. “Aku belum tahu siapa namamu.”

“Namol... Namol Nihilo.”

Maria menimbang sebuah keputusan. Mulutnya lantas berucap pelan, “Namol... Saat ini kau sedang tak berdaya. Aku bisa saja bertindak curang membunuhmu demi meraih kemenangan.”

Jantung Namol berdesir mendengarnya. Memang benar, sekadar bangkit pun ia sungguh merasa kesulitan. Apa itu berarti ia jatuh ke dalam perangkap Maria?

Gadis itu menggelengkan kepala, “Tapi tidak. Aku tidak sudi membunuh untuk turnamen ini. Kita pasti bisa menemukan cara untuk keluar dari ini.”

.............






Part 3 of 7


Matahari mengintip pelan dari balik cakrawala. Maria menyeruput teh manis seraya duduk di pelataran rumah. Wajahnya tak pernah bosan menatap bingkai mimpi tempat Namol berada. Semalam ia menginap di sana.

Bingkai mimpi ini bisa disebut area berisikan pusaran gelap. Tempat itu terasa abstrak. Gemerlap cahaya bintang menguntit temaram dari banyaknya bangunan tak tentu rupa. Tiap gedung, pohon, maupun rintik air melayang bebas seakan menolak gravitasi. Tak ada tanah yang bisa dijadikan sebagai fondasi. Jalanan beraspal menjadi satu-satunya titik penghubung antar lokasi.

Jika dilihat dari kota Twilight, bingkai mimpi Namol terlihat bagai cekungan gelap tanpa dasar.

Penghuninya tak hanya manusia berkulit putih saja. Pandangan Maria sesekali menangkap keberadaan pesawat aneh berbentuk piring terbang. Beberapa pejalan kaki bahkan berwujud gurita berdiri dengan dua kaki.

Oh tidak, tentu saja mereka tidak seperti yang kalian bayangkan. Mereka tidak mirip Squidward.

Namol datang membawa sepotong roti Sandwitch. Ia memberikannya pada Maria seraya ikut menikmati panorama.

“Padahal ada  matahari di sini, tempatku berpijak tersinari dengan sempurna. Tapi kenapa segalanya tetap terlihat gelap seperti di malam hari?”

Namol menghela napas sejenak, bersiap memberikan penjelasan panjang nan membingungkan, “Sesungguhnya... Aku sendiri tidak tahu.”

“Jah...” Maria memasang wajah malas. Gadis itu lantas mengganti topik, “Siapa yang memegang pemerintahan di sini? Manusia atau alien?”

“Dua-duanya.”

“Haaaa? Terus gimana kita menjelaskan semuanya?”

Namol menggaruk-garuk kepala yang tak terasa gatal, “Serahkan urusan itu kepadaku. Kau sebaiknya memperingati ratu kerajaan di kot—...”

Belum sempat keduanya selesai menyusun rencana. Namol harus terkesiap akibat melihat sebuah armada melayang di kejauhan, “Uuumhhh... Sepertinya kita terlambat. Itu armada perang negeri Regaia.”

Maria menoleh, mengarahkan pandangannya menuju cekungan besar berisikan lubang hitam. Di sana muncul sebuah pesawat raksasa berbentuk piringan terbang, “Nah lho, kenapa nggak dari semalem atuh kita ke sananya.”

“Yeee, memangnya siapa yang ngajak ngewe kayak kelinci sampe semalem suntuk?” Namol balik menyalahkan.

Maria  menggigit bibirnya sendiri, “Maaf, aku semalam khilaf.”

“Terus sekarang gimana?”

“Kita balik lagi ke kota Twilight. Aku punya hubungan khusus dengan anggota kerajaan. Semoga kita bisa meyakinkan agar tidak terjadi peperangan.”

“Kalo begitu ayo!” Namol mempersilakan Maria untuk memeluk punggungnya. Pria itu lantas terbang tinggi seperti seorang Superman.

Domba milik Maria mengikuti tindakan majikannya. Ia mengencangkan sabuk pengaman, melakukan tandem pada Domba Namol yang mengenakan Jetpack.

Keduanya terbang tinggi menembus awan, Maria begitu erat memeluk Namol dari belakang. Tanpa sadar gadis itu malah menyerap tenaga sang tumpangan.

Tak ayal, keduanya menukik jatuh tepat di perbatasan.

”Tahu begini mendingan aku naik Jetpack dombamu seperti semalam,” gerutu gadis itu ketus.

“Ma—maaf.”

Di kota Twilight, terjadi kegaduhan akan munculnya pesawat alien di kejauhan. Maria tak bisa membiarkan Namol terbang hilir mudik seperti seorang hantu, itu terlalu berbahaya.

Maria berlari menghampiri salah satu mobil yang terparkir. Gadis itu melepas sepatu hak tinggi, lalu memukulkan ujung runcingnya untuk memecahkan kaca samping. Tanpa kesulitan berarti ia membuka pintu yang terkunci dari dalam.

Namol terkesiap. Ia tak pernah menyangka Maria handal dalam melakukan tindakan kriminal, “Maria, apa yang kau lakukan?”

Bacot kamu mz, buruan masuk,” perintah gadis itu. Dengan sigap ia melepas kabel di balik setir, lalu menyalakan mesin mobil lewat cara merangkai ulang rangkaian elektriknya. Batin gadis itu terus-menerus menampik delusi, “Anggap aja ini GTA... ini GTA... ini GTA... Toh semuanya nggak nyata.

Maria menoleh pada kursi belakang. Kedua kambing sudah terlihat aman lengkap dengan sabuk pengaman. Deru suara mesin mengaum keras, menggelegar lewat knalpot racing. Lewat satu pijakan gas di kaki, ban mobil pun berdecit sebagai awal dari aksi. Kepala Namol terbentur kursi tempatnya duduk akibat dorongan akselerasi.

Mobil Mewah bermerek Audi mengantar keduanya menuju istana di tengah kota. Sepanjang perjalanan suara jeritan Namol terdengar keras membahana.

Di atas langit-langit kota, terdapat beberapa pesawat VTOL[1] pembawa pasukan kerajaan. Mereka semua pergi menuju dataran kosong yang memisahkan dua bingkai mimpi.

“Tidak tidak tidak, kenapa mereka malah memulai perang terlebih dahulu?!” Maria berubah panik. Ia tak menyangka, pihak kerajaan akan merespons secepat ini.

Namol memutar kepala sejenak, “Kurasa wajar bagi pemimpin manapun untuk menjawab pengerahan militer dengan aksi militer lainnya. Hal itu penting untuk memberikan efek pencegah, sekaligus sebagai bentuk perlawanan. Kau pasti akan menghunus pedang, andai melihat seseorang mencurigakan datang mendekat mengacungkan senjata, bukan?” Pria itu menumpahkan analisis penuh dengan ketenangan.

Detik berikutnya Namol kembali menjerit seperti anak perempuan.

Mobil yang mereka naiki terhenti di hadapan tangga lebar. Sejenak Maria menatap patung sesosok dewi berambut panjang di tengah bundaran.

Keduanya dengan segera dihadang oleh pengawal kerajaan, “Aku ingin bicara dengan mama!”

Pengawal itu membentak setengah kebingungan, “Mama? Memangnya siapa ibumu?”

Maria berubah heran, “Siapa kau bilang? Tentu saja Nely, ratu dari kerajaan ini. Kau tak kenal siapa aku?”

“Orang gila! Datang-datang mengaku sebagai anggota royalti.”

Apa yang terjadi? Kenapa mereka tak mengakui Maria sebagai anak dari Nely? Apa mereka hilang ingatan? Bukankah di ronde sebelumnya ia sudah berkumpul kembali dengan Nely dan Siska adiknya?

“Sebaiknya kau cepat pergi. Yang mulia tidak ada waktu untuk meladeni kalian.”

Namol menyentuh pundak Maria, “Kau yakin sedang tidak bermimpi?”

Maria semakin kebingungan. “Aku memang anak haram, seumur hidupku aku mengasingkan diri agar tidak mencoreng nama kerajaan. Tapi di ronde sebelumnya aku berhasil menemukan resolusi atas segala masalah itu. Mereka sudah menerimaku kembali sebagai anggota kerajaan.”

Lantas apa yang terjadi?

“Kecuali...” gumam Maria pelan. Beragam hipotesis memenuhi kepalanya. “Kecuali segala pengalamanku di ronde satu dan preliminary, memang murni terjadi di alam mimpi.”

“Maksudmu ini semua adalah dunia asli?” Namol ikut-ikutan mengerutkan alis.

Maria balas menatap Namol, seakan ingin memberikan konfirmasi, “Kalau begitu, bisa kau jelaskan kumpulan armada di luar perisai yang menutupi kota ini? Kenapa bingkai mimpimu ditempel di duniaku, sementara bagian luarnya diberi sekat tak tertembus?”

Namol menajamkan pandangan pada arah yang ditunjuk Maria. Dari balik birunya langit, memang terdapat armada kapal militer melayang memenuhi angkasa. Kapal induk berteknologi tinggi itu tak sanggup menembus batas pelindung yang menghalangi. Kekuatan pemukul dari seluruh negeri tertahan di perimeter terluar. Mereka tak bisa memberikan bantuan untuk bertahan dari serangan negeri Regaia, tempat Namol berasal. Itu juga menjelaskan kenapa jalan tol menuju luar kota begitu macet dipenuhi kendaraan. Mereka yang hendak mengungsi keluar tertahan oleh dinding mistis semi transparan.

Kota ini dikurung sempurna, seakan menahan segala bentuk intervensi dari luar.

Sekarang Maria berubah ragu. Apakah ibunya di dunia nyata akan tetap mengakuinya sebagai anak? Seperti halnya pengalaman dia di semesta mimpi.

Gadis itu buru-buru menggelengkan kepala. Tidak— tidak, sekarang bukan saatnya untuk ragu. Maria harus memberi tahu kebenaran soal Battle of Realms. Ia tahu ibunya amat membenci turnamen ini. Dengan bantuannya, ia yakin bisa melepaskan diri dari kontrak sebagai peserta pertarungan hidup mati.”

Maka dari itu, gadis itu berubah nekat menerobos barisan penjaga. Ia berlari secepat mungkin menaiki tangga.

Namol bahkan belum sempat bereaksi, sebelum akhirnya ia ikut terjerumus ke dalam kekacauan. Tak lebih dari sepuluh detik sejak keputusan nekat Maria, keduanya dipaksa untuk diam di tempat.

Mereka ditodong oleh serangkaian pedang sihir terbang mengitari. Lewat satu perintah singkat, kumpulan senjata tajam itu bisa melesat terbang, menancap ke dalam tubuh. Namol tak ingin ambil risiko. Ia bisa saja melakukan teknik menghilangkan diri. Tapi itu tak menjadikannya terbebas dari serangan. Jika rangkaian pedang itu terbang serampangan, kemungkinan besar dirinya juga bisa terkena salah satu sabetan.

Petualangan itu pun terhenti sampai di sana. Baik Namol dan Maria sukses dijebloskan ke ruang tahanan istana.



Part 4 of 7

Para penjaga tak ada waktu untuk mengurusi keduanya. Mereka terlampau sibuk menangani beragam kegaduhan di luar. Samar terdengar suara letusan senjata, juga jerit pilu kesakitan.

“Hey, apa yang terjadi?” Maria bertanya pada salah satu penjaga.

“Diam saja kau di sini,” hardik sosok itu. Dirinya pergi ke luar ruangan untuk memeriksa keributan.

Ruangan itu bukanlah penjara sungguhan, melainkan hanyalah kamar luas dengan tiga blok sel berjeruji besi. Di sana terdapat sofa, lengkap dengan meja dan televisi.

Breaking News tengah memberitakan proses penyerangan alien di luar batas kota. Gadis itu memeriksa dengan seksama apa yang terjadi.

Dikabarkan prajurit pelindung kerajaan musnah tak tersisa. Tanpa bantuan dari kekuatan utama, mereka hanyalah segelintir tentara dengan perlindungan ala kadarnya. Perang ini sejak awal tak berjalan dengan adil. Negeri Regaia datang dengan kekuatan penuh, sementara penahannya tak lebih dari polisi dan pelindung istana saja.

Medan perang berupa dataran luas berumput seakan dijadikan arena pembantaian saja. Armada militer di luar selubung penghalang tak bisa berbuat apa-apa. Tak peduli bagaimana kerasnya mereka mencoba, dinding penahan itu tak bisa ditembus sama sekali. Beragam meriam serta sihir penghancur gagal melenyapkannya.

Berita itu kemudian terfokus pada kemunculan Nely di atas bangunan tertinggi. Wanita berambut biru itu sibuk merapal mantra seraya lengannya teracung tinggi. Sebuah tombak bercahaya, diselubungi petir keemasan berhasil termaterialisasi.

Lewat satu lemparan singkat, melesatlah tombak itu menuju kapal alien di kejauhan. Meski ukuran proyektilnya tergolong kecil, namun daya rusaknya jauh lebih bertenaga dari sebuah nuklir.

Alam dibuat bergemuruh, suara ledakan terdengar menggema hingga tremor melanda tiap penjuru kota. Beragam hiasan di atas meja jatuh terkena goncangan gempa.

Pesawat alien berukuran raksasa di kini terbelah menjadi dua. Dentuman besar terdengar jelas hingga menggetarkan kaca.

“Mama! Kamu salah, mereka bukan musuh kita!” Maria berubah panik. Gadis itu mencengkeram jeruji besi yang menghalangi.

Di hadapannya, terdapat Namol yang berhasil meloloskan diri.

“Eh?”

Namol menepuk dadanya menyombongkan diri, “Kamu gak sabaran banget sih, sini saya keluarin dulu dari sana.”

Lewat satu sentuhan kecil di lengan Maria, pria itu berhasil mengubah wujud solid gadis itu hingga seperti sesosok hantu. Tubuhnya dengan mudah menembus besi keras.

“Kenapa nggak bilang kalau kamu bisa melakukan ini?” Maria mulai menyalahkan Namol atas situasi ini.

“Kamu sendiri nggak nanya. Lagi pula, coba tebak siapa yang menyebabkan kita berada di sini? Semua ini akibat kesembronoanmu itu nona. Andai saja kamu lebih bersabar, kita bisa menyusun rencana yang lebih sempurna...”

Seumur hidup, baru kali ini Maria ditonjok oleh kesalahannya sendiri. Wajahnya sedikit tertunduk menahan malu, “Kau benar, maafkan aku.”

“Sekarang gimana? Kotaku hancur tuh.”

“Bantu aku menemui ibuku. Jika dijelaskan duduk perkaranya, dia pasti mengerti. Negeri Regalia bukanlah musuh sesungguhnya. Kita berdua adalah korban dari turnamen bodoh ini.”

“Sempurna.”

Keduanya bergegas melarikan diri dari sana, hanya untuk disambut oleh muntahan peluru nyasar dari kontak tembakan di jalanan. Maria menjerit panik ketakutan, sementara Namol dengan siaga menarik gadis itu untuk bersembunyi di balik pagar taman.

Deru senapan mesin terdengar memekakkan telinga. Serpihan beton jatuh mengguyur dari bagian yang ditumbuk peluru nyasar. Tak pernah ada yang menyangka, pasukan dari bingkai mimpi Namol bisa merangsek sejauh ini dalam hitungan jam saja.

“Sekarang gimana?” Pria itu berusaha menunjukkan ketenangan. Raut wajahnya berubah bimbang seraya menganalisa, “Nely ibumu, sibuk bertahan dari beragam pesawat penyerbu. Dia tak punya waktu maupun kesempatan untuk menyisir jalanan, mengusir orang-orang ini.” Jalan di depan mereka hanyalah area terbuka tanpa tempat untuk berlindung. Siapa pun yang berdiri di sana, pasti akan menjadi sasaran empuk. “Mustahil kita bisa menerobos baku tembak ini.”

Rentetan senjata api kemudian mendadak terhenti. Entah apa yang terjadi. Rasa penasaran memenuhi pikiran. Namol memberanikan diri untuk mengintip ke arah baku tembak.

Semua orang di luar sana terlihat menengadahkan kepala.

“Maria...” Telunjuk pria itu teracung ke atas.

Maria perlahan melepaskan kedua tangan dari kepala. Wajahnya ikut menengadah tinggi. Di hamparan langit biru itu, terlihat jelas sebuah keretakan raksasa diselingi sinar menyilaukan. Mata gadis itu terbelalak saking takjubnya. Bentuk pecahan di sana terlihat mirip serabut akar—berupa kilat cahaya menyebar ke segala arah—seakan berusaha memenuhi seisi angkasa.

Gemuruh hebat terdengar sayup di kejauhan, disusul dengan terdengarnya gedebum petir menggelegar. Suara itu begitu keras, hingga memaksa semua orang merapatkan telapak tangan pada sisi kepala. Itu dilakukan demi melindungi gendang telinga. Mereka semua merintih kesakitan, tak kuasa menahan suara memekakkan.

Cahaya terang telah menggantikan langit kebiruan. Segala sesuatu berubah menjadi amat menyilaukan. Pupil mata tak sanggup untuk menyesuaikan. Tak ayal, semua orang sontak memejamkan mata; berusaha menjaga pandangan dari kebutaan.

Hening—

Tak seorang pun bersuara. Alam seolah membisu entah untuk berapa lama. Maria perlahan membuka kelopak mata, berusaha mengatur pupil agar bisa terbiasa dengan tingkat cahaya. Segala sesuatu terlihat putih benderang.

Bayang bangunan beserta pepohonan di sekitar seakan muncul dari balik cahaya, menyibak keberadaan benda-benda lainnya. Sinar itu berubah redup, menyisakan cahaya temaram, mengubah suasana secara drastis, seakan hari sudah malam.

Semua orang berubah risau, mata mereka terbelalak lebar. Tak seorang pun dari mereka absen untuk menengadahkan kepala, menatap ngeri kemunculan sesosok makhluk raksasa di atas sana.

Bayang-bayang gurita dengan tentakel sejauh ratusan kilometer, menguntit dari pecahan dimensi di atas sana. Sulurnya meliuk-liuk melambai. Ukuran tubuhnya sungguh di luar nalar manusia. Dia seakan berusaha menyelinap masuk ke dalam realita.

Takjub
Ngeri
Panik

Monster seukuran godzilla—dalam posisi terbalik tepat di angkasa—Jelas bukanlah sebuah pemandangan yang biasa dilihat sehari-hari. Berbagai reaksi mulai terlihat dari dua kubu yang berseteru. Mereka perlahan ragu untuk melanjutkan perselisihan itu.

“Cthulhu...” ucap Maria dengan suara bergetar. Kenapa monster itu ada di sini?

 

“Namol Nihilo...”



Pria itu terentak kaget, suara sang Cthulhu menggema begitu keras hingga memecahkan kaca jendela.



“Venessa Maria...”



Maria ikut terkesiap. Makhluk itu sepertinya mengincar dua Reverier yang semestinya sedang bertarung.



“Kembalikan Dombaku...”





Maria sulit mencerna maksud dari makhluk raksasa itu, “Domba?”



“Ah iya, di mana kedua domba kita?” Namol menepuk keningnya sendiri, baru sadar akan keteledorannya selama ini.”



“Jadi makhluk sebesar itu hanya mengincar Domba kita?” tanya Maria.



“Mungkin dia penggembala aslinya. Atau mungkin saja domba kita membawa Holy Grail.”



“Ini bukan waktunya untuk bercanda.”



Belum selesai keduanya menyimpulkan maksud tuntutan sang Cthulhu. Udara perkotaan perlahan berubah bertutupkan kabut tebal. Jarak pandang menurun drastis hingga sejauh lima meter saja.



Suara baku tembak kini terhenti total. Telinga Maria bisa mendengar suara jeritan bercampur dengan lenguhan. Jumlahnya ada banyak, bahkan membentuk gemuruh keras, menggema memecah keheningan.



 “Jangan bilang kalo itu Zombie...” gumam Maria.



Sesosok prajurit terlihat datang menghampiri. Caranya berlari terlihat janggal,  terlebih dengan posisi dua tangannya yang terangkat seakan hendak menerkam.



Maria mengacungkan jemarinya seraya berkacak pinggang. Mulutnya setengah terbuka, terkesima oleh betapa tepatnya dugaan barusan, “Oke fix, yang satu itu zombie.” Kabut asap ini sepertinya menyebabkan kegilaan massal, hingga menciptakan wabah pandemik.



Tanpa dikomando, keduanya sontak berlari untuk menyelamatkan diri.



“Kau tidak khawatir dengan ibu dan keluargamu?



Maria menggelengkan kepalanya, “Aku tak begitu memedulikan orang yang tidak kukenal. Lagi pula, ibuku tampaknya baik-baik saja. Kau lihat kilatan petir di lokasinya berada?”



Namol menoleh sejenak, memperhatikan rentetan deru ledakan di penghujung kota.



“Itu ibuku, dia bisa melawan kabut asap ini. Ratu Exiastgardsun bukanlah orang lemah.”



Keduanya terus berlari menyusuri jalanan. Suara tembakan senjata api terkadang tercipta disertai kilatan cahaya. Kabut ini akan membiaskan cahaya apapun yang terlampau terang. Tak semua orang terkena efek kabut ini. Ada banyak penyintas yang berusaha menyelamatkan diri.



Kabut ini terasa seperti mimpi buruk. Para mayat hidup itu muncul secara mendadak dari balik kabut.



“Seberapa jauh kita menuju tempat Nely?” Namol bertanya.



Maria memerhatikan sekeliling, berusaha mencari tahu lokasinya saat ini. “Sekitar delapan blok dari sini.”



 “Itu terlalu jauh untuk ditempuh berjalan kaki.”



Gadis itu menggerutu kecil, “Ada saran lain? Kau tahu sendiri kemampuan terbangmu itu tak bisa diandalkan.”



Sebuah kilatan cahaya membuyarkan pembicaraan keduanya. Sinarnya begitu terang, ribuan kali dari teriknya sang mentari. Kabut ini menambah buruk efek membutakan. Hasilnya, baik Namol maupun Maria, sama-sama memejamkan mata berusaha melindungi pandangan.






Part 5 of 7



Dentuman besar terdengar sedetik kemudian. Gemuruh hebat datang melanda, seakan berusaha menyalip kilatan cahaya yang terlebih dahulu menyapa. Detik itu, barulah Maria sadar apa yang sebenarnya terjadi.



Sapuan angin menyibak bersih kabut yang menutupi. Datangnya begitu cepat seperti amukan badai. Rambut gadis itu terkibas. Pandangan pun kembali jelas tanpa halangan.



Formasi asap raksasa berbentuk jamur terlihat mengawang tinggi. Sisa ledakan bergerak naik ke lapisan stratosfer. Bom Nuklir telah diledakkan.



Maria menajamkan pandangannya. Asap sisa ledakan nuklir berhasil menembus dinding mistis tanpa tertahan sedikit pun. Itu artinya, benda dalam wujud tak solid bisa melewatinya tanpa kesulitan apapun.



Sang Cthulhu kini turun menapaki bumi. Tentakel panjangnya merobohkan bangunan seperti anak kecil menghancurkan istana pasir. Sosoknya terlihat seperti manusia raksasa berkepala gurita. Detonasi nuklir—usaha pihak Regaia—untuk melukai sang monster berakhir dengan kegagalan.



Akan tetapi Nely masih belum menyerah.



Cuaca berubah mendung entah sejak kapan, terik matahari gagal menyinari daratan. Awan di angkasa berputar sebagai basis untuk lonjakan sengatan. Lewat satu ayunan telunjuk, Nely memerintahkan tumpukan arsenalnya untuk melecutkan sengatan listrik selayaknya rintik air hujan.



Suara sambaran petir terdengar menggelegar hingga menciptakan gemuruh menyeramkan. Kilatan cahaya memenuhi angkasa. Sang Ratu masih berjuang keras untuk mengusir monster raksasa.



Seorang magus tak akan pernah bisa bertarung sendirian. Ia butuh semacam pengalih perhatian. Proses merapal mantra membutuhkan waktu  yang lumayan panjang. Itu sebabnya sedari tadi Maria hanya mendengar satu atau dua ledakan di tiap menitnya.



Kali ini, Nely dihantam oleh salah satu tentakel berukuran lebih kecil. Tubuh wanita itu terpental begitu jauh, hingga akhirnya ia mendarat di dekat patung depan kastil. Mulutnya masih sempat merapal mantra untuk memperlambat kecepatan. Tubuhnya menubruk beberapa lingkaran sihir sebelum akhirnya terhenti di depan patung.



Patung megah dikelilingi oleh bundaran persimpangan jalanan. Obyek itu menjadi pujaan penduduk kota. Seorang dewi bernama Fiani Memoria, ibunda dari Nely. Wanita itu  berusaha bangkit seraya wajahnya menengadah mengharap pertolongan. Mulutnya meracau lirih, “Bantu aku... mama...”



Alih-alih kedatangan mama, suara yang Nely dengar justru berada di luar dugaannya.



“Ibuu!” Seseorang berseru.



Wanita berambut biru itu menoleh, mendapati keberadaan Maria tengah berlari menyongsong dirinya. Sorot mata Nely sontak berubah, terkesiap tak percaya, “Nessa? Itu kau nak?”



Maria membuang rasa takut jauh-jauh. Sudah lama sekali sejak terakhir mereka bertemu. Gadis berambut jingga itu datang seraya melebarkan kedua tangan. Ia memeluk sang bunda seraya meluapkan beragam rindu di dada. Ini pertemuan pertama mereka di dunia nyata. Nely di sini adalah entitas asli, bukan konstruksi dari alam mimpi.



Nely membelai rambut gadis kesayangannya. Sejenak ia melenyapkan kewaspadaan, demi meresapi pelukan pembuka. Bertahun-tahun lamanya mereka terpisah.



Air mata Maria meleleh tanpa disadari. Mulutnya berusaha mengucap walau sedikit terisak, “Ibu, maafkan aku.” Gadis itu membenamkan wajahnya di dada sang bunda, “Maafkan aku...” Maria selalu merasa bahwa keberadaan dirinya tak lebih dari beban dan aib. Itu sebabnya ia nekat kabur dari istana, menghilang tanpa jejak memulai hidup menyendiri.



Senyum kecil mengembang di wajah Nely. Raut ekspresi keibuan itu terlihat begitu teduh. Lengannya tiada henti mengelus lembut Maria, seakan berusaha menerangkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.



Namol agak canggung, tatkala sorot mata Nely berpindah padanya.



“Kau yang bernama Namol Nihilo?”



“Be—betul,” jawab Namol agak terbatas, “Aku salah satu reverier yang seharusnya melawan Maria.”



Sedetik setelah mendengarnya, raut wajah Nely menegang. Sang Cthulhu juga sempat memanggil nama Namol dan Maria, “Reverier? Melawan Maria? Jangan bilang kalau...”



“Aku terseret turnamen hidup mati bernama Battle of Realms...” Maria memotong ucapan Nely. Gadis itu melepaskan pelukannya setelah merasa sedikit tenang, “Aku takut... mereka tak bisa melepasku begitu saja. Di pertarungan sebelumnya aku bahkan merasa bahwa aku sudah mati. Dan sekarang aku dipaksa bertarung dengan teman yang kusayangi.”



Namol menggigit bibirnya sendiri, ketika menyadari ia dianggap tak lebih dari teman.



“Jadi semua kekacauan ini, tak lebih dari latar dunia di mana kalian seharusnya saling membunuh?” Nely dengan cepat menyerap seluruh informasi. Wanita itu paham betul dengan Battle of Realms, ia memiliki segudang pengalaman buruk dengannya.



Suara auman raksasa membuyarkan percakapan ketiganya. Nely lengah karena dipertemukan kembali dengan anaknya. Ia gagal mengantisipasi akan pergerakan monster raksasa bertentakel.



Salah satu sulur raksasa mendorong sebuah gedung hingga hancur berserakan. Serpihan puingnya melesat beterbangan. Siapa pun yang terkena hantaman, bisa dipastikan akan menemui ajal menyakitkan. Para zombie yang menghalangi diubah menjadi daging giling hingga darah mereka tumpah ruah ke jalanan.



Nely dengan sigap melakukan reaksi. Lengannya terangkat sebatas dada menyiratkan gestur untuk menahan, “Praesidio!



Sebuah perisai semi transparan tercipta dalam jeda nyaris seketika. Bentuknya melengkung seperti parabola terbalik. Ukurannya lumayan besar, cukup untuk melindungi patung dewi Memoria di belakang Nely.



Maria menyadari sesuatu, perisai Nely terlihat mirip dengan sekat raksasa yang mengisolir Kota Twilight dan Regaia. Pikirannya berputar cepat.



Apa itu berarti gelembung raksasa itu sama-sama terbuat dari sihir?



Sang Cthulhu bergerak semakin beringas. Monster raksasa itu jelas mengincar Maria. Gadis itu sontak menoleh pada Namol, “Bingkai mimpimu kan berisi peradaban maju, apa di sana tidak ada robot raksasa untuk melawan Kaijuu?”



Namol memiringkan kepalanya, “Kamu ngomong apa? Nuklir tadi itu senjata terkuat dari Pentagon. Lalu kapal induk, City Destroyer sudah dimusnahkan oleh ibumu. Negeri Regaia tak bisa melakukan apapun.”



Gedebum ledakan terdengar keras hingga menciptakan empasan dinding udara. Sang Cthulhu sudah berdiri tiga blok dari posisi Maria. Gedung-gedung pencakar langit bahkan hanya menutupi setengah dari tubuhnya. Monster itu menggerus perkotaan, merubuhkan bangunan di tiap senti pergerakan.



Raut wajah Maria menegang, “Kita harus menghentikannya.”



“Ide bagus, tapi bagaimana caranya?” sahut Namol.



Nely mendecakkan lidahnya, bingung harus berbuat apa. Ada satu strategi yang terlintas di benak wanita itu, tapi ia sungkan untuk mengutarakannya, “Monster raksasa itu mengincar kalian?”



“Sepertinya begitu, mama.”



Ekspresi Nely biru terlihat canggung, “Maaf, tapi bisakah kalian pergi menaiki kendaraan, bertindak sebagai pengalih perhatian? Aku butuh waktu lima belas menit untuk merapal mantra kuno. Semoga saja sihir satu itu bisa menghabisi makhluk itu.”



“Kendaraan? Tapi jalanan di sini dipenuhi zombie serta reruntuhan.” Maria menyapu pandangan ke sekeliling. Apa dia harus mencuri motor untuk melakukan aksi bodoh seperti di film Action?



“Tidak perlu,” potong Namol. Pria itu mengacungkan jari telunjuknya ke salah satu sudut jalanan.



Di sana muncul Dombe ditemani Domba Namol. Dua hewan peliharaan itu terlihat lincah meluncur cepat. Semacam sepatu roda menempel di keempat kaki mereka. Namanya Air Trecks, atau bisa juga disingkat menjadi AT.



Dombe melompat tinggi, menyusuri tembok, lalu menolak pijakan kaki untuk mendarat di sebuah kabel telepon. Hewan itu secara ajaib bisa menyeimbangkan diri, seraya tubuhnya melesat cepat selayaknya kereta api melekat pada relnya.



Berulang kali Maria mengucek matanya. Dari semua hal aneh yang ia alami, melihat domba menggunakan sepatu roda merupakan pemandangan paling tak masuk akal baginya. Menaiki mereka tentu akan menjadi tindakan terbodoh dalam hidupnya.



“Kita bisa menunggangi mereka!” Namol setengah berseru, berhasil mendapatkan sebuah ide brilian.



Maria sontak terkesiap, “Eeeeeee???”



Namol duduk di atas domba miliknya seperti pria sejati menunggangi motor Harley-Davidson.



“Maria, apapun yang kau rencakan, lakukan sekarang juga. Cepat pergi dari sini!” seru Nely.



“I-iya bu!” jawab Maria tergagap. Agak ragu gadis itu menaiki Dombe.



Seperti biasa hewan peliharaan itu melengking mengeluarkan suara babi, alih-alih mengembik seperti seekor domba, “Uiiik, uiiik...!”



Maria nyaris terjengkang ke belakang, andai ia tak berpegang erat pada tali kekang. AT dombe berakselerasi penuh tenaga. Domba itu mampu mencapai kecepatan 100km per jam dalam waktu tiga detik saja.



“Yahoooooo!!” Namol berseru kegirangan. Ia mengayun-ayunkan lengannya seperti seorang matador. Ia merasa menang, karena manuver domba miliknya terasa begitu menantang.



Berbeda dengan menyetir mobil pada kecepatan tinggi. Kali ini Maria menjerit ketakutan di tiap kali Domba melompat tinggi, lalu melesat pada dinding seakan menentang hukum gravitasi. Menunggangi dombe tidak bisa disamakan seperti seseorang yang menaiki motor.



Strategi pengalih perhatian itu berhasil. Sang Cthulhu maha agung mulai berbelok dari tujuan awalnya. Dia mengejar Namol dan Maria yang berlarian menaiki domba (bersepatu roda.)




Part 6 of 7



Tanpa gangguan berarti, Nely memulai rangkaian inkantasi panjang, “Veni foras ! Hanc olim veteres potestas tua in tenebris continentis.”



(Come forth! O the dark ancient power that once protect this continent...)



Sebuah garis melingkar tercipta di seluruh penjuru kota. Tanah, gedung, pepohonan, pagar, tembok, jalan, semuanya tak luput dari pendaran cahaya. Rangkaian tulisan kuno bergerak acak untuk kemudian tersusun serempak, membentuk formasi sebuah lingkaran sihir raksasa.



“Uhm.. Maria, kurasa kita harus segera keluar dari area lingkaran sihir ini.” Namol memerhatikan sekeliling, ia mendapat firasat buruk dari ukiran asing yang berpendar lekat pada beragam material.



Dua Reverier itu lantas berbelok arah, seraya menghindar dari ratusan lingkaran sihir lainnya. Masing-masing ukiran itu terbentuk secara simetris, mirip dengan proses mengembangnya kepingan salju.



Suhu udara menurun secara drastis. Kaca di gedung sekeliling pecah akibat perubahan temperatur yang begitu mendadak. Namol dan Maria seakan dikejar oleh hawa pembeku tak kasat mata.



Berita baiknya, langkah sang Cthulhu mulai tersendat ditahan oleh area yang membeku. Monster itu meraung kesakitan, setelah kakinya berubah kaku. Bunga es terlihat mengukir jelas di permukaan tubuhnya.



Ignis infernalis , Quid nox tonitrua caelo in terra ... Shaker praecepero tibi tradere hostibus imminere ingentem stragem tuum.



(Hell Fire, Frozen Night, Thunder Sky, Earth Shaker ... I shall command thou to deliver a massive destruction upon the enemy that threaten our land.)



Di tengah lingkaran sihir itu, muncul sejumput bara api menampakkan diri dari udara kosong. Lama-lama ukurannya semakin membesar, hingga menimbulkan kebakaran hebat. Sekujur tubuh Cthulhu kini diselimuti sihir api tingkat tinggi. Panasnya bahkan melebihi permukaan matahari. Bangunan di sekeliling bahkan terlihat meleleh. Area serangan seakan diubah menjadi kolam magma.



Dan serangan itu tak terhenti sampai di sana. Pusaran awan gelap di angkasa masih menyimpan stok energi siap untuk dilepaskan. Bagian permukaannya berisikan tirai listrik memancar, seakan tak sabar untuk segera menyambar.



Angin seakan enggan bertiup lebih lama. Tercipta semacam jeda kekosongan sebelum pertunjukan utama datang menyapa.



DUAAAARRRR..!!



 Sungguh, siapa pun pasti akan dibuat tuli karenanya. Suara dentuman itu amatlah memekakkan telinga. Maria dibuat merintih karenanya. Semacam dinding udara panas mengempas dombe yang ia naiki. Gadis itu tersungkur jatuh hilang keseimbangan.



Keheningan yang tercipta tak dibiarkan berlanjut terlalu lama. Nyatanya proses pembakaran masih terjadi tanpa ada niat untuk berhenti. Monster raksasa itu mulai ambruk setelah dihantam serangan petir barusan.



Area yang ditandai terlihat seperti pemandangan di neraka. Nely harus menanggung beban penyesalan, atas matinya warga tak berdosa yang kebetulan berada di sana.



Namol berusaha membantu Maria untuk segera bangkit. Ia punya firasat bahwa serangan Nely belum berhenti sampai di sana. Wanita itu akan mengerahkan kemampuan penuh untuk melenyapkan monster yang sudah mengobrak-abrik kotanya.



“Ibumu sudah gila? Dia akan menghancurkan segalanya.”



Maria menjawabnya dengan senyum bangga, “Semua keturunan Goddess of Memoria memang memiliki kemampuan sihir berskala bencana seperti ini. Kecuali aku tentunya.”



Dalam dunia sihir, faktor keturunan adalah inti dari segalanya. Seluruh akumulasi energi, serta mantra baru yang dipelajari selama satu generasi, akan diwariskan pada generasi sesudahnya. Akan tetapi, di tiap keturunan mereka hanya ada satu orang yang berhak mendapat warisan. Dalam keluarga Nely, warisan itu diturunkan kepada Siska, adik dari Maria.



Radius lingkaran sihir semakin melebar di tiap detik yang berlalu. Kali ini, muncul semacam badai hurricane menyusuri diameter terluar.



Tenebrae nivis !



(Snowstorm of Darkness!)



Aura kelam lambat laun muncul memenuhi angkasa. Pergerakan aura itu sekilas terlihat seperti kumpulan jiwa gelap nan terkutuk.



Namol dan Maria kembali memacu domba masing-masing. Mereka berhasil keluar menembus dinding badai yang berotasi. Siapa pun yang berada di dalamnya, tak akan bisa melihat cahaya dari luar. Di sana gelap sekali. Satu-satunya penerangan hanyalah merah bara api.



“Sekarang apa?”



Maria menggelengkan kepalanya. Badai yang menutupi perlahan menyusut tanpa sedikit pun mengurangi intensitas rotasi.



Zzzzaaappp..!



Serasa melihat adegan anti klimaks. Tak ada ledakan megah yang tercipta setelahnya. Pusaran kegelapan tadi berfungsi selayaknya kantung kresek. Fungsinya untuk memampatkan seluruh massa ke dalam satu kumparan kecil saja. Monster Cthulhu raksasa kini hilang tak berbekas, beserta seluruh bangunan di sekitarnya. Awan mendung di angkasa perlahan memudar, tergantikan dengan latar biru bertutupkan sekat yang mengurung.



“Berhasil?” Maria mengerjapkan mata berulang kali nyaris tak percaya.



“Eeeuh... Sepertinya begitu,” jawab Namol seraya memeriksa sekeliling.



Domba Maria mengembik mengucap sesuatu,“Uiiik, uiiiikkk...” (Hebat sekali, Oneiros berhasil dikalahkan. Mungkin Nely bisa melakukan sesuatu atas perisai sihir raksasa yang mengurung seisi kota.)



Secepat mungkin keduanya bergegas menuju Nely. Maria ingin mengonfirmasi satu hal. Jika selubung semi transparan di angkasa sana memiliki karakteristik sama dengan perisai sihir biasa. Apa itu berarti mantra dispel tingkat tinggi bisa menghancurkannya? Rasanya tak sabar hingga ia bertemu kembali dengan sang Bunda.



Namun pertanyaan Maria harus menunggu untuk waktu lainnya. Gadis itu harus memekik kaget atas ibunya yang sudah tergeletak tak sadarkan diri.



“Ibu! Apa yang terjadi?!”



Nely perlahan membuka kedua matanya, “Hhhh... Kau tak usah khawatir nak, ibu Hanya sedikit kelelahan.”



“Ibumu berjuang mati-matian sendirian. Wajar saja jika dia sampai tumbang seperti ini.” Namol mengambil sebotol air minum dari reruntuhan toko kelontong terdekat, lalu memberikannya pada Nely.



Wajah teduh sang bunda kemudian berubah siaga. Nely memaksakan diri untuk bangkit seraya pandangannya menjurus jauh ke batas cakrawala, “Dia belum mati...”



Maria ikut menoleh ke arah yang ditatap Nely, “Hah? Siapa?” Matanya gagal menemukan hal mencurigakan.



“Monster tadi—...” Ucapan Nely terpotong. Bumi tempat mereka berpijak bergetar perlahan.



Barulah detik itu Maria tersadar, bahwa sosok monster raksasa sama sekali tak bisa dikalahkan.



Bayang gelap terlihat memanjang jauh seraya matahari kian condong ke ufuk barat. Sang Cthulhu kembali bangkit tanpa luka di tubuhnya. Permukaan monster itu tetap berwarna gelap selayaknya siluet saja. Monster itu tak sudi memantulkan cahaya mentari.



Napas Nely terasa berat sekali. Untuk berdiri pun dia kesulitan. Maria bahkan memergoki lutut ibunya yang bergetar.



“Praesid....” Belum sempat satu rapalan selesai diucap, wanita itu mendadak jatuh terjerembab.



Maria berubah panik, “Mama..!”



Perempuan berambut biru itu terlihat merintih dipenuhi letih, “Nessa... Maafkan mama yang lemah ini.”



Nely sama sekali tak sadar, kemampuannya diserap perlahan oleh keberadaan Maria.



Maria menggelengkan wajahnya, tak mau menerima kenyataan. Sang monster Cthulhu kini berdiri sekitar dua puluh meter dari mereka. Tubuh raksasanya mengerdilkan segala sesuatu. Maria bahkan harus menengadahkan kepala tinggi, hanya untuk menatap balik sorot pandang di atas sana.



Sosok raksasa itu seakan memberikan jeda untuk merenungi seluruh perjalanan hidup. Kakinya terangkat tinggi, bersiap untuk melumatkan tiga orang di bawahnya.



Namol bisa saja melarikan diri dari sana. Ia punya segudang kemampuan berguna untuk mengantarnya keluar dari situasi ini.



Tapi tidak. Pria itu sudah meninggalkan rasa takut serta membunuh hasrat untuk menjadi seorang pengecut. Ada dua perempuan di belakangnya yang harus ia lindungi. Harga dirinya sebagai seorang pria melarang dia untuk pergi.








Part 7 of 7



Telapak kaki raksasa itu meluncur jatuh hendak melumat. Ketiganya hanya bisa pasrah menanti ajal yang kian mendekat.



Sebuah imaji memenuhi kepala  Namol. Bayang singkat sesosok gadis cantik berambut biru terlintas dalam benaknya. Sosok itu bukanlah Nely. Keberadaannya jauh lebih agung dari tingkatan seorang ratu. Senyum kecil terukir dalam balutan cahaya menyilaukan.



Gedebum hantaman terdengar keras.



Keheningan terjadi secara nyata, waktu terasa berhenti seketika. Masing-masing terkesiap menatap sesosok ilahi berdiri dengan dua kaki.



Seorang gadis muncul di hadapan mereka. Lengannya terangkat demi menciptakan lapisan pelindung di atas kepala.



Dorongan energi kinetik ditolak dengan sempurna. Ribuan ton bobot dari kaki yang menginjak dimentalkan balik hingga menciptakan efek residu berupa suara dentuman hebat. Desakan udara disertai disertai serpihan beton mengoyak bangunan sekeliling hingga pecah berkeping-keping. Baik Namol, Nely, maupun Maria tertipu karena mengira telah mati diinjak. Akan tetapi, mereka selamat berkat kekuatan misterius yang entah datang dari mana. Tiap pasang mata kompak menatap sosok penyelamat di hadapan.



Rambut biru tergerai sebatas pinggul. Kulitnya bening seputih salju. Dia mengenakan baju dengan setelan biru, lengkap dengan kain penghangat pada kedua lengan.



Wajahnya menoleh pada Nely, melontarkan senyum manis nan menyejukkan. Rok mini sebatas paha bergerak-gerak ditiup angin senja.



Ekspresi Nely begitu terperangah tak percaya. Mulutnya setengah menganga, “Ma... mama?” Air mata mengucur perlahan. Perasaan Nely begitu bergemuruh, rasanya sesak sekali. Ia begitu kangen dengan sosok ibu yang sudah tiada sejak lama.



“Kulihat anakmu tumbuh sehat dan cantik seperti ibunya.” Suara gadis itu terdengar sejuk sekali. Tak ada yang menyangka bahwa sosok itu sebenarnya adalah Nenek dari Maria. Namanya Fiani Memoria, sosok legendaris yang pernah menyelamatkan dunia dari kehancuran.



“Aku memiliki satu anak lagi, namanya Maria Fransiska. Dan dia jauh lebih mirip denganmu ibu...”



Senyum hangat kembali Fia berikan kepada anaknya.





**********







Di museum semesta...



Zainurma terlihat resah. Pria itu menggeram kesal ketika melihat kedatangan sesosok Divine Being mengganggu turnamennya. Sejak awal ia sudah memiliki firasat buruk tentang pertarungan Namol melawan Maria. Alih-alih merajut dua bingkai mimpi, yang terjadi malah sebaliknya. Dua orang itu terlempar ke dunia nyata. Bingkai mimpi Namol bahkan terubah menjadi sebuah realita. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi hal itu, Zainurma meminta bantuan Ratu Huban untuk menciptakan selubung kokoh. Gunanya untuk mengamankan turnamen, sebagai antisipasi atas berbagai kemungkinan intervensi dari luar.



Dan ketakutannya menjadi kenyataan.



Buru-buru pria itu bergegas. Tak lupa ia ajak Mirabelle dan Ratu Huban untuk ikut bersama dirinya.





************





Fia membuka telapak tangan. Secercah sinar berpendar terang di tiap jemarinya, “Artemis...” ucapnya singkat.



Ratusan proyektil bercahaya menyeruak keluar seperti lebah keluar dari sarangnya. Tiap lajur energi itu mengejar sang Cthulhu seperti misil memburu targetnya.



Rentetan suara dentuman melubangi tubuh monster raksasa secara acak. Ledakannya tergolong kecil, namun amat kuat hingga sanggup menciptakan luka parah di berbagai tempat.



Namun seperti sebelumnya, monster itu kembali pulih seolah tak terjadi apapun.



“KALIAN TAK AKAN BISA MENANDINGI KEMAMPUAN SANG KEHENDAK.”


Ucapan monster itu terdengar amat mengintimidasi. Suaranya parau menggema, mengirim getaran hebat di tiap susunan katanya.

Akan tetapi, Fia tak sedikit pun kehilangan ketenangan di wajahnya. Alih-alih merasa tertekan, ia malah tergelitik penasaran, “Sang Kehendak? Yang jelas kau hanyalah makhluk curang yang menyembunyikan diri pada celah dimensi alam ini.”

Gadis itu mengangkat tangan kanan, memamerkan jari telunjuk mengacung tinggi. Udara dingin berembus dari bawah tempat Fia berpijak. Tiap helai rambutnya yang panjang tergerai indah disapu angin. Mulutnya mengucap satu rapalan singkat,

Dispel ... Simoni!

Sebuah bangun berbentuk bulat tercipta secara instan pada telunjuk gadis itu. Cahayanya berpendar semakin terang di tiap detik yang berlalu. Siapa pun yang menatapnya dipastikan akan mengalami kebutaan.

Sinar menyilaukan itu kemudian berubah temaram.

Tak ada apapun yang terjadi. Namol dan Maria hanya saling bertukar pandang. Masing-masing berusaha menerka apa efek dari sihir barusan.

“Nely, kerahkan seluruh armada militermu.”

Seakan mendapat sejuta pencerahan, mulut Maria terbuka lebar hingga membentuk huruf O, baru sadar akan absennya selubung raksasa yang menutupi alam sekitar.

“Monster itu tak lagi Immortal. Aku sudah menarik tubuh aslinya ke dalam realita.”

Ratusan airship yang mengepung terlampau gatal untuk bisa menahan diri. Secara serentak mereka mengirim ribuan salvo tembakan berdaya ledak tinggi. Beragam jenis proyektil itu datang mengepung dari angkasa, datang menghujam selayaknya air hujan.

Rentetan dentuman terdengar riuh memenuhi udara. Tiap tembakan yang dilepaskan memiliki akurasi tinggi. Nyaris tak ada proyektil yang gagal mengenai targetnya.

Sang Cthulhu kini tak bisa lagi menyembuhkan diri. Keberadaannya solid hingga bisa dilukai. Serangan penuh seluruh armada militer membuatnya tak berkutik sama sekali. Tubuh besarnya ambruk memeluk bumi.

Belum sempat semua orang merayakan kemenangan ini. Mereka lagi-lagi harus dikejutkan oleh kedatangan sang panitia.

Zainurma, Ratu Huban, serta Mirabelle terlihat memunculkan diri dari debu bekas ledakan. Mereka berjalan beriringan dengan wajah masam penuh hawa permusuhan.

“Pengganggu turnamen, harus dilenyapkan.”

Fia sedikit memasang wajah berang, “Turnamen katamu? Jangan bilang ini bagian dari Battle of Realms?”

Sosok wanita berkepala bantal tertawa cekikikan, “Tak ada gunanya kita bertukar kata. Toh kau akan mati sekarang juga.”

Mirabelle, sosok perempuan berbaju zirah dengan senjata tajam di tangan melesat terlebih dahulu. Ia mengayunkan pedang terhunus, berniat untuk memenggal Fia.

Letupan energi tercipta satu meter tepat di hadapan Fia. Cahaya menyilaukan tercipta dari ketiadaan, bersamaan dengan munculnya sosok pria berpedang.

Suara dentingan logam terdengar nyaring memekakkan telinga. Serangan Mirabelle terhenti sampai di sana. Pria berambut cokelat kemerahan datang mengerem laju pedangnya. Dengan terpaksa Mirabelle mengambil jarak seraya memasang kuda-kuda waspada.

Gunblade perak terayun bebas di tangan sosok itu. Jubahnya berkibar tertiup angin.

“Leon...” ucap Fia berseri-seri.

“Papa..!” Nely lagi-lagi terpekik. Wanita itu berubah sikap. Tingkahnya terasa seperti seorang gadis remaja.

Sementara itu Maria malah terperangah mendengar ucapan ibunya, “Papa? Tunggu dulu, dia kakekku?”

“Anjir, berasa tua banget ya gue dipanggil kakek,” canda pria itu seraya menggaruk kepala.

Di lain pihak, Zainurma semakin berang melihatnya, “Siapa lagi ini? Kalian terus menerus mengganggu jalannya turnamen.”

Wajah santai Leon berubah angker ketika mendengarnya, “Turnamen?” Pikirannya berusaha menebak, “Battle of Realms?” Pria itu memberikan reaksi yang sama seperti Nely dan Fia.

Namol memberanikan diri untuk bertanya, “Anu... kalian semua tahu Battle of Realms?”

Ketiganya menjawab bersamaan, “Tentu saja.”

“Kami memiliki pengalaman buruk dengan turnamen sambung ayam itu.” Leon bersiaga, hilang sudah ketenangan yang sedari tadi datang bersamanya.

Seolah mendapat angin segar, Maria kemudian melangkah maju seraya mengunci pandangan pada Zainurma. “Aku, Venessa Maria. Dengan ini menyatakan diri mundur dari turnamen ini. Aku tak ingin lagi disiksa oleh turnamen hidup dan mati.”

“Keputusan yang bagus, Ven...” ucap Leon.

“Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan. Sang Kehendak tak menginginkan itu.”

“Tak ada jalan keluar?” tanya Namol.

Zainurma menggeleng kepalanya perlahan, “Yang ada, hanyalah kematian.”

Tak ada ruang untuk bernegosiasi. Dua kubu lantas bersiap untuk memulai konfrontasi.

“Kyahahahaha, apa kalian sungguh berpikir bisa mengalahkan kam—” Ucapan Ratu Huban terhenti.

Sembilan batang es tajam menancap di tubuhnya. Fia sanggup menciptakan benda itu dari ketiadaan, lalu melemparnya cepat dari arah manapun yang ia inginkan.

Tubuh Ratu Huban terlihat memudar, lalu termaterialisasi kembali di tempat yang sama tanpa sedikitpun luka, “Biar kuberi tahu yah, kami semua memiliki kemampuan abstr—...“

Fia kembali tak memberikan kesempatan untuk menyelesaikan ucapan. Telunjuknya mengirimkan sebuah kejutan sinar menyilaukan, perwujudan dari sihir dispel untuk menangkal trik para ‘panitia’.

Hanya Mirabelle yang merasakan keanehan itu. Perempuan pejuang berbaju zirah itu sontak menghindar sedetik setelah merasakan marabahaya.

Leon datang menuju lokasi mereka seraya mengayunkan gunblade sekuat tenaga.

Didorong insting bertahan hidup, Zainurma menjatuhkan dirinya sendiri, tak peduli meski tebasan horizontal Leon masih berjarak lima meter dari posisinya berdiri.

Syuuut!

Leon bahkan harus menahan gunbladenya sendiri agar tidak terlempar hilang keseimbangan. Ayunan itu begitu kuat hingga sanggup membelah udara tanpa menimbulkan riak di antaranya.

Waktu seakan melambat di tiap detiknya. Tawa Ratu Huban terhenti sampai di sana. Setengah tubuhnya terbelah menjadi dua. Bersamaan dengan gedung dan reruntuhan sekitar yang terangkat tiga puluh sentimeter dari udara.

Tiang jalanan, dinding bangunan, pepohonan, pagar, hingga kursi terpotong dalam garis horizontal. Segala sesuatu seakan dipisah paksa oleh satu garis lurus saja. Satu ayunan Gunblade Leon cukup untuk membabat tiga blok kota.

Jantung Mirabelle berdesir kuat. Tatapan buas haus darah itu kini terarah padanya. Belum sempat bagian atas tubuh Ratu Huban jatuh menyentuh lantai, Leon sudah menjejak kakinya untuk melesat cepat, hingga akhirnya tiba tepat di hadapan mata.

Mirabelle masih sempat menyilangkan pedangnya, berusaha menolak agar tubuhnya tidak ikut dibelah menjadi dua.

Akan tetapi bobot ayunan Leon terlampau kuat untuk bisa dihentikan. Alih-alih sukses menahan, gadis itu malah terpental jauh hingga menubruk sekumpulan reruntuhan. Pedang miliknya bahkan pecah setelah menangkal serangan barusan.

“Serang!” Nely memerintahkan armada militer untuk menggempur lewat serangan altileri. Puluhan Airship tanpa disadari sudah melayang di langit setempat.

Reruntuhan tempat Mirabelle dihantam keras hingga hancur berkeping-keping. Siapa pun tak akan selamat dari ledakan macam itu. Maria bahkan bisa melihat sepotong tangan tergeletak bersimbah darah di salah satu sudut bebatuan.

Kini tinggal Zainurma berdiri sendirian. Wajahnya menyiratkan sejuta kengerian. Kepanikan menguasai sanubari, diteror oleh ketakutan akan kematian itu sendiri. Ia tak akan pernah menang melawan keluarga Maria.

Inilah taring dari kerajaan Lionearth sesungguhnya.

“Ma—maafkan aku...”

Leon mengucap pelan, memberikan ancaman, “Aku salah satu dari Heroic Spirit bertipe guardian. Aku tidak tahu siapa kau, dan di mana alam semestamu berada. Tapi camkan ini.” Pria itu mendorong telunjuknya pada kening Hewanurma, “Jika kau kembali berai berbuat macam-macam pada siapa pun di duniaku. Akan kutemukan kau, dan akan kubunuh kau beserta seluruh panitia di dalamnya.”

 “A— aku mengerti...” Pria itu lantas melayangkan tatapan singkat pada Namol, “Akan kuanggap Namol memenangkan pertarungan ini, seraya kuhapus Maria dari seisi turnamen. Anggap saja dia tak pernah singgah di sana.

“Ah...” pria berkulit gelap itu mengerti. Kakinya melangkah bergerak menjauhi, “Maria, kurasa kita akan segera berpisah. Semoga hidupmu tenang di sini.”

Ada semacam rasa ketidakpuasan di wajah Maria. “Kau tidak mau berhenti juga?”

Namol menggelengkan kepalanya, “Maaf, tapi aku ada tujuan tersendiri yang harus dicapai.” Pria itu sejenak menatap batas cakrawala, tempat di mana bingkai mimpi Regaia berada, “Semoga suatu saat kita bisa bertemu kembali.”

Maria hanya bisa menatap sedih sahabat seperjuangannya itu.

Cahaya senja perlahan memudar tepat berada di belakang Namol berada. Pria itu berubah sirna bersamaan dengan tenggelamnya sang surya. Senyum kecil darinya terpatri jelas dalam benak Maria.

.....







“Epilog”

“Eeeeeeehhh!? Jadi Venessa Maria ini cucuku?” Leon terkejut hingga setengah berteriak. Model rambut yang menutupi sebelah mata terentak sesaat ketika ia terkejut mundur. Leon hanya bisa mengingat saat terakhir ketika Nely hamil di Battle of Realms V. “Tidak kusangka cucuku sudah tumbuh hingga dewasa seperti ini.”

“Lah, kok kamu baru sadar sekarang? Bukannya tadi sempat bilang berasa tua gegar dipanggil kakek?” Maria menjawab ketus.

“Kirain kamu cuma bercanda, hahahaha~,”

Suasana kembali hening. Langit berubah gelap. Gemerlap bintang sudah mengintip di atas kepala, walau bias kemerahan masih tersisa di sudut barat daya.

Leon menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Kurasa waktu kami berdua di sini sudah mau habis... Kalau begitu, jaga diri kalian berdua ya. Sampaikan salamku pada Siska. Sayang sekali dia sedang tidak ada di sini.”

“Tunggu dulu, kalian mau pergi lagi!? Secepat ini?” Nely berusaha mencegah. Kepedihan mulai mengisi relung hati.

Fia melempar senyum teduh untuk menenangkan, “Di balik pertemuan pasti akan ada perpisahan. Waktu kami di dunia ini sudah lama habis. Ini waktunya generasi kalian untuk membangun dan meneruskan perjuangan kami, selaku leluhur kalian.”

Leon lalu mengalihkan pandangan pada Maria, “Oh iya, aku bertemu dengan ayahmu. Dia hidup bereinkarnasi sebagai manusia biasa di salah satu semesta damai, aktif di facebook dengan sebutan Dimas Pamungkas, dan baru saja lulus perkuliahan.”

“Pa-papa..!” bentak Nely tak terima. Wajahnya menunjukkan rona kemerahan, “Aku sudah lama selesai dengan orang itu. Suamiku Asep sekarang.”

“Oh iya, hahaha... hidup bahagia ya kalian.”

Nely kembali meneteskan air mata. Gadis itu begitu erat memeluk kedua orang tuanya. Hati kecilnya menjerit keras, tak ingin kembali berpisah dengan kedua orang tua.

“Selamat tinggal semuanya.” Leon mengucap lembut, seraya mengusap rambut Nely.

Lenyap.

Leon dan Fia hilang dari pandangan begitu saja. Nely bahkan sempat hilang keseimbangan akibat mendadaknya kepergian mereka. Semuanya terjadi dalam sekejap saja.

Perempuan itu menangis sejadi-jadinya. Maria hanya bisa menenangkan sang bunda, seraya bertanya-tanya akan hidup kakek dan nenek semasa hidupnya. Ia tak mengenal mereka, jadi pertemuan barusan tak lebih dari peraduan takdir dengan orang asing saja.

Pikiran Maria mengawang ke angkasa. Di dalam benaknya terbayang Odin yang entah sedang berjuang entah dalam bentuk apa. Ia mungkin tak akan bisa bertemu kembali dengan kekasih hatinya itu.

Benar seperti apa kata neneknya. Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Oleh karenanya, ia harus menyimpan segala kenangan dengan pria itu ke dalam relung hati paling dalam.

“Yah, setidaknya kehidupan sehari-hariku bisa kembali seperti semula.”










Fin....






..








..




>Cerita sebelumnya :  [ROUND 1 - 1B] 04 - VENESSA MARIA | RAID AT TENET CHRUCH
>Cerita selanjutnya : -


[1]Vertical take-off and landing, pesawat tanpa baling-baling yang sanggup terbang dan mendarat secara vertikal selayaknya helikopter.

8 komentar:

  1. This is the final entry of Venessa Maria. Therefore I, the author of this story, hereby announced that she's resigned from this tournament.

    All vote shall go to Namol, thank you for your consideration upon reading this scribbles.
    m(_.._)m

    BalasHapus
  2. Bagian" awalnya rasanya peak tulisan bang Ichsan, mungkin karena ngeeksplor perasaan dan sudut pandang karakter bersangkutan ke apa yang sedang terjadi

    Kenapa Oneiros muncul dalam sosok Cthulhu?

    Saya ga tau apa penulis masih punya niat ikut di tahun" berikutnya ngeliat kebencian karakternya sendiri sama turnamen ini, dan karena Nessa ga diniatin maju, saya anggep entri ini sekedar pengen nutup mata rantai keluarga yang tiga turunan ikut turnamen Battle of Realms. Settingnya yang entah gimana pindah ke dunia nyata juga ngenihilin apapun yang kerasa ganjil di entri sebelumnya. Cuma ini bikin pertanyaan yang sama kayak entri Men : kenapa beda penyelenggara bisa sama nama.

    Saya punya ide sendiri sih soal ini, dan sejujurnya scene keluarga Nessa vs panitia itu sesuatu yang sempet kepikiran mau saya jalanin juga......kalau saya bisa sampe final. Lumayan ada referensi yang berani undur diri cuma buat bikin entri begini

    BalasHapus
  3. Saya mau komen entri Venessa, meskipun saya tahu Nessa resign dari turnamen ini.

    Harus saya acungi jempol, bang Ichsan walk out dari turnamen ini dengan cara yang elegan, membuat entri perpisahan yang sangat berkesan. Mengakhiri prahara keluarga cemara dengan para panitia <(")

    Saya harus setuju sama mas Sam. Entri ini seperti "Mahakarya" Nessa yang terakhir. Peak Performance.

    Akhirnya saya rasa terlalu cepat dan rasanya begitu saja. Namun konklusi cerita ini cukup memuaskan juga. Saya bisa tersenyum untuk Nely dan Nessa pada akhirnya, setelah mereka cukup menderita ;-;

    Godspeed keluarga cemara. Apakah drama ini berlanjut tahun depan? Atau membuka babak yang baru?

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  4. GHOUL (sambil bawa bunga sakura dan nge ting-tong):
    “Asik!!! Ngapel di entri Venessa. Jangan khawatir, aku akan selalu ngedukung Nneng…


    @_@:
    “Ghoul, ingat tujuan kita datang bukan buat pedekatein OC itu. Kita datang buat ngevote! Minggir, Mum mau ngebantai entri ini dulu…”


    GHOUL:
    “Iya, Mum. Tapi ngamuknya jangan kenceng-kenceng, ya. Kan malu didenger tetangga…”


    @_@:
    “Entri ini bagus dan menghibur, tapi menyedihkan juga sih. Keliatan banget melownya, hiks… duh terbawa suasana Thapki neh…

    Penulisan ‘Jingga’ napa diawali huruf besar???

    Eh mangnya Sperma bisa diendus?

    Typo2nya lumayan meski tak mencekam. Haha, apaan sih…

    Hm, aku sangat menikmati entri ini plus OC-nya yang kece badai membuat pengen ikutin terus. Namun saja sayangnya… aku… aku…”


    GHOUL:
    “Maaf, Nes. Aku juga tak bisa membohongi perasaan ini kalau hatiku jatuh pada entri… NAMOL! Padahal awalnya kupikir kaulah pilihan hatiku, namun setelah ada entri lawan masuk, hatiku… hatiku tiba-tiba saja bergeser padanya. Prolog entri Namol sangat ajaib dan bikin penasaran terus menggalinya, belum lagi adegannya dibawakan sebegitu dramatis dan lain daripada yang lain. Yah, ada sebuah keunikan tersendiri di entri lawan yang membuatku berpaling darimu. Entri yang secara fisik membuatku lebih bergairah lagi mengeksplorasinya. Hm, bye. Move on lah dariku karena aku lebih memilih lawan.”

    (lagu anandhi pun berkumandang sendu) :=(0

    BalasHapus
  5. Saya baru bisa komen setelah baca sekian lama... dan ketika masuk ke page ini, saya jadi agak sentimentil gimana gitu membaca judulnya "Reunion"... dan pengunduran dirinya bang Ichs. Saya sempat juga mikir untuk WO secara elegan dengan melakukan hal yang sama, tapi raaanya saya masih pingin coba terus dan akhirnya rasio saya mengalah dengan egoisme itu.

    Anyway bang Ichs, kisah ini ditutuplah sudah dengan gappy end (menurutku) karena mereka berkumpul. Sebuah Reuni. Sebuah pertemuan...yang entahlah, klan Leonhart berkumpul kembali, barangkali untuk bersiasat menggempur BoR selanjutnya ...? (Semoga, hehehe).

    Apapun, good job Mas Ichs, Venessa, dan Leon... kapan2 kita bikin keluarga Reid reuni dengan keluarga Leon... hehehehe

    Regards,

    Rakai A
    OC Shade

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh ya aku ttap ngarep mas Ichs bisa tetap komen di entry kita2 selanjutnya... pokoknya selalu ditunggu deh

      Hapus
  6. Venessa Maria

    Pertama, makasih banget udah bawain Namol dengan sangat dia. Baca keseluruhan entri ini bisa saya ibaratkan sama makan creme brulee yang lembut di akhir pekan, penghujung senja, terus minumnya soda fruit punch. Memuaskan, menyentuh dalam artian positif, dan menyegarkan. Saya suka waktu Maria lagi sama Odin, hubungan mereka terasa terlalu nyata dan tragis. Terus masuk ke perang besar yang dideskripsikan dengan sangat efisien dan ngena, hal yang belum bisa saya lakuin sampai sekarang. Author juga berhasil nyelipin keceriaan Namol dan Maria di antara ketegangan situasi; saya terhibur di sepanjang dialog mereka (salah satunya, kata kunci: kelinci, haha XD). Sampai semuanya ditutup dengan sangat kuat, dengan kehadiran mereka-mereka yang emang udah hafal banget sama BoR (ya, mereka beneran kuat, dari segi karakter dan momentum kedatangannya yang relevan). Saya bakal ga puas banget kalo keluarga itu sampai ternyata kalah sama panitia. Last but not least, cerita Maria ini masih sangat bisa banget diterusin.

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  7. Edan skala battlenya. Masukin Cthulu, zombie...

    Sempet kerjasama sama Namol juga ya.

    Somehow saya udah ngeduga bahwa nama domba yang akan diterima maria adalah dombe. Lengkap dengan suara uik uiknya.

    Hmm ini mirip sama kayak di entri saya dan bang dhiko, jadi berkaitan dengan BoR sebelumnya. Cuma bedanya di entri saya nggak pernah nyebutin bahwa yang dijalani Pucung sekarang ini adalah BoR.

    Leon keliatan lebih leluasa murka untuk ngejaga keluarganya mungkin karena sudah terbebas dari kekangan panitia dan sistem BoR yang lalu ya. Si Dimas dimention juga. Tapi sepertinya saya udah lupa, gimana ceritanya Asep jadi istri Nely sekarang...

    Sayang sekali harus berakhir di sini. Adegan seks sama alien kayak Namol kok bisa bikin ngaceng juga ya. Apa-apaan ini.

    On a side note, bisa ctrl+f "payudara" untuk menemukan enaena

    Punya Maria gede sehingga sulit untuk tak terbayangkan.

    Yah tapi udah dibawa pulang keluarganya ni. Cry.

    Overall kasih skor 87 karena udah tau duluan kabar resignnya, huhu.

    See you around.

    PUCUNG

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.