Sabtu, 03 September 2016

[ROUND 2] 06 - TAKASE KOJOU | WHITE ASH


oleh : Nakano

--
 

 “Ah, taik.” Ucap Sieg, setelah belasan kali mengumpat di depan layar telepon genggam. Entah game apa yang membuatnya kesal, hingga lelaki berambut putih itu tega membanting ponselnya sendiri.

Sudah sekitar 12 jam Takase meninggalkannya di bingkai mimpi, dan separuh dia habiskan untuk mencari markas Phantom - rumahnya sendiri, yang masih misteri di
mana letaknya. Seperempatnya, untuk berjalan kembali ke supermarket tempatnya menaruh jas. Terlalu panas menggunakannya di siang hari.

Supermarket bernama ‘Indoapril’ Sieg jadikan rumah sementara. Tak masalah harus tidur di lantai kalau kau punya ratusan jenis konsumsi dan barang-barang untuk digunakan dengan gratis. Ia bahkan mengambil uang yang Takase taruh di kasir dan menganggapnya konyol. CCTV? Sudah ia tebas dengan katana.

”Si brengsek itu mana, sih!?”

Akhirnya penasaran juga dia ke
mana perginya si Tukang Palu. Mengintip padang rumput lewat jendela, kebetulan yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Menunggang domba dengan perempuan cantik di belakangnya. T-tunggu.....siapa?

“Saus tartar!”

Sieg bergegas keluar, walau pintu kaca bersistem infrared yang lelet terbukanya membuat si rambut putih jatuh menabrak. Sambil memegangi wajah memarnya yang bau kotoran burung, ia melanjutkan larinya. Tapi, baru beberapa meter di depan Indoapril, tanah bergetar hebat.

”G-gempa bumi!!”

Sieg reflek merunduk menutupi kepala. Bangunan di sekitar berguncang-guncang pelan seperti mesin blender, membuat bola matanya yang melihat ikut bergetar. Beruntung, gempa tadi berlangsung singkat. Berdiri perlahan, Sieg memasang ekspresi penuh pertanyaan.

‘Sempat-sempatnya’, batin Sieg.

Saat itu juga ia lupa mengenakan jasnya, pasti tertinggal di sebelah tumpukan majalah dewasa yang dijadikannya bantal. Adalah kewajiban tampil gagah di depan calon istri, hehehe.

Sialnya, nasib buruk belum berhenti. Tepat saat ia mengambil jasnya, empat pemuda berseragam biru muncul dari udara kosong, menatap Sieg kebingungan.

”Eh?” Sieg kaget.

Delapan mata karyawan itu menangkap benda-benda dan bungkus minuman berserakan di lantai, juga mesin kasir yang kosong.

”T-total berapa?” Celetuk Sieg, mulai berkeringat. Terlihat dua security tinggi besar berjalan mendekat. “beli pulsa sekalian, deh!” lanjutnya, panik.

***


[White Waltz , 3:01-3:39]
[4 Steps to be a sleaze]

[Step 1 : Fall for a guy with good looks]


”K-kenapa kau membawaku? Di
mana ini!?”

Lim memekik keras. Sejujurnya, ingin ia guncang sekuat tenaga badan lelaki bermantel hijau di depannya. Hanya saja, pemandangan masa depan di sekitar sudah menculik perhatiannya terlebih dulu. Sama seperti dirinya, diculik.

Takase sendiri sedang bengong. Jarang-jarang ia berpikir keras seperti ini. Bingkai mimpi dewi perang, dan semesta para Reverier yang gugur, diluluh lantakkan Sang Kehendak. Rupanya dirubah jadi tanah liat belum cukup. Ia sendiri cukup dibuat pusing dengan Marikh yang berteriak, ‘kalian sudah mati!’ saat diseret dombanya ke portal. Juga Harum, yang bukannya berpakaian ala pendekar Cina, malah memakai jas dan kacamata hitam seperti agen rahasia. Huban bilang, realita dan mimpi tiap-tiap peserta berbeda. Takase tak terlalu mengerti, namun ia juga bukannya tak paham sedikitpun. Lagipula, di
mana Seno? Apa karyanya begitu buruk hingga dijadikan patung Haniwa bahkan sebelum mereka sampai di Museum Semesta?

”Takase!”

Yang disentak menoleh cepat ke belakang. Wajah Lim yang menahan marah nampak imut, merah padam dan pipi menggembung. Takase yang berusaha menahan tawa mengucap, “aku cuma minta bantuan sebentar, kok.”

”Bantuan?”

”Iya,” Takase membalik badannya, menimbulkan suara gesekan antara celana jeans dan bulu Izzy yang enak didengar telinga. “begini, kami para Reveriers kehilangan inspirasi. Zainurma berkata begitu. Dan, gaya bertarungku selama ini mirip-mirip dengan-”

”Prinsip Merak Merah?” Sela Lim.

”Ya.”

”Tapi, kau kan pengguna palu?”

”Gerakan akrobatik. Keluwesan gerakanmu saat menggunakan Merak Terbang, itu miripnya.”

Lim mengangguk. Kalau gerak akrobatik sih, memang cocok dengan fitur badan Takase yang kurus, ramping.

”Juga kecepatan tanganmu untuk teknik, kepekaan-”

”Kepakan!”

”Kepakan sayap pembelah lautan. Aku bisa melempar paku dan mengayun palu lebih cepat. Bukan hanya inspirasi kembali, tapi juga lebih hebat!” Ucap Takase, memaparkan idenya dengan mata berbinar-binar.

”Tapi, bagaimana caraku pulang!?”

”Gampang. Izzy!”

Dengan satu embikan, sebuah portal terbuka. Izzy melompat ke
sana, Takase dan Lim langsung kembali ke kedai Tiantang.Di Liam.

”Sudah kan?”

”Praktis juga.”

Para pendekar Naga Hitam dan Merak Merah yang
tampak sedang melakukan kerja bakti di kedai cepat-cepat menerjang ke arah Izzy dan dua orang yang menumpanginya. Yang dikejar keburu pulang.

Sesampainya di Bingkai Mimpi Takase, Lim berkata kalau ia setuju. “Lagipula, ini bentuk balas budiku. Aku juga belum mengucapkan terima kasih pada Harum dan Seno, pertemukan ya.” Ucap Lim.

”Oke.” Jawab Takase singkat. Walau dalam hati, ia sebenarnya ragu hal itu bisa terjadi, terutama perihal Seno. Baru kali ini tokoh figuran dikhawatirkan, ya.

***


[Step 2 : Use an earring in only one ear]

Beberapa menit lalu, hutan ini masih sunyi. Luas dan penuh binatang kecil, dengan sungai memisahkan perbatasan antara Kerajaan Conqueror dan Kerajaan Tutelage. Padahal, seharusnya tidak begitu.

”Regiiiiiis!!!”

”Shinmaruuuu!!!”

Kedua lelaki berseragam SMA itu adu pedang. Harfiah, lho ya. Saling sabet-menyabet, tebas menebas, belum satu
pun kena atau dikenai. Regis, ketua organisasi siswa intra akademi Kerajaan Conqueror dengan seragam merah mulai merubah pola serangannya. Shinmaru, ketua ekskul anggar Akademi Kerajaan Tutelage ikut serta menunjukkan kebolehannya.

Di sekitar mereka, siswa-sisw
i lain juga bertarung, semua dengan gaya bertarung sendiri-sendiri. Jarak dekat, menengah, jauh. Taktik dan sedikit improvisasi, pertempuran berlangsung sangat sengit.

”Argh!!”

Seorang siswi dari pihak Tutelage mengerang, terkena lesatan anak panah di betis. Dua-tiga murid langsung mundur untuk memberi pertolongan pertama. Dampaknya, para murid Conqueror yang kehilangan lawan langsung mengincar kepala Shinmaru.

”Roaming to Shinmaru’s gang!”

”DEFENDING MID!!!”

Racauan konyol diserukan lantang, kontras dengan adegan penuh pertumpahan darah dan kekerasan semacam ini.

”Mengakulah, pangeran. Semua ini ulah kalian, kan!?” Tanya Shinmaru, menghindari tusukan yang mengarah ke dadanya dengan melompat ke samping.

”Kau pikir aku tahu!?” Tukas Regis kesal. Justru menurutnya ini perbuatan Tutelage, entah apa tujuannya.

”Konyol. Sebagai anak raja, seharusnya kau sadar betapa busuknya visi-misi ayahmu!”

”Kau pikir kau siapa, beraninya menilaiku!” Bantah Regis lagi, mengutip perkataan seseorang.

Kejadian yang mereka rujuk dengan ‘ulah’ dari tadi adalah peristiwa menakutkan yang tak bisa dianggap kecil. Seluruh pulau kehilangan cahaya, semuanya menjadi hitam. Awalnya, mereka kira ini gerhana mendadak. Tapi, tak hanya langit, semua yang berada di darat pun menjadi hitam. Bangunan, manusia, bahkan sesuatu seperti api. Gelap, lebih gelap dari hitam. Lalu, dari bumi, pulau tersebut lenyap. Dipindahkan ke alam mimpi.

Tentu mereka tak tahu apa yang terjadi. Tapi, ketika sampai di
sini semua bangunan menjadi acak letaknya. Seperti rubik komplit yang diputar-putar hingga susunan warnanya berantakan.

Sementara itu, dalam laboratorium serba hitam kerajaan Tutelage, beberapa guru mulai berunding. Sambil melihat keadaan kota melalui monitor, mereka berlomba membuat hipotesis.

”Puzzle warna apa yang menyebabkannya?” Shinjiru Ryouga, guru renang akademi menjeplak.

”Dilihat dari barrier yang mengitari garis pulau, emas.” Balas Ayanami, guru biologi akademi. Spesialis bab reproduksi.

”Itu bukan barrier, tolol. Itu lebih mirip langit, atau udara kosong.....” Bantah Ryouga.

”Jadi.....Puzzle benar-benar bisa melakukan hal gila semacam ini?” Potong Akasha, nampak baru ta
hu akan hal ini. Ngomong-ngomong, dia guru tari modern.

”Sayangnya, semua ini bukan ulah puzzle.”

Tiba-tiba, seorang remaja bersurai hijau terang masuk ke ruang laboratorium. Dengan headset merah terkalung di leher, kaus single, celana pendek hitam, dan sepatu olahraga, takkan ada yang mengira kalau dia adalah ilmuwan.

”P-profesor Pi-One!” Seru Akasha, kaget.

”Kakak!” Panggil Ayanami riang.

”Hai ganteng.” Sapa Ryouga.

Pi-one membalas sambutan-sambutan itu dengan senyum berbentuk huruf ‘w’. Berjalan mendekat, ketiga guru membuat ruang lebih, kalau-kalau sang profesor ingin mengecek monitor. Menyadari bahasa tubuh ketiga guru di depannya, Pi-one menggeleng.

”Sudah lihat langsung? Yah, kau memang suka jalan-jalan ‘sih.” Sindir Ryouga.

”Opini kakak, adakah?” Tanya Ayanami, menatap sang kakak-kakakan penuh harap.

Setelah mengeluarkan suara ‘hmm’ dari mulutnya, Pi-one meraba anting-anting hitam di telinga kirinya. Kebiasaannya ketika sudah menyelesaikan beberapa kalimat penjelasan yang mudah dicerna, bahkan untuk orang super-awam seperti Akasha.

”Yang jelas, puzzle kekuatannya tidak sebesar ini kalau hanya sebuah. Kalaupun ini memang Puzzle, seharusnya radar kita menangkap sekitar tiga belas Puzzle, tapi hanya enam. Milik kita dan mereka,” jelas Pi-One, merujuk kerajaan Conqueror. ”kalau bukan ilusi, ini sihir area. Kalian tahu, Puzzle hitam atau ungu.”

Ralat, walau Akasha awam, dia tahu kalau jumlah puzzle ada 13. Semua diwakili warna tertentu dengan kekuatan magis yang bervariasi.

”Jadi.....bukan kuning?”

Pertanyaan Akasha Pi-one jawab dengan anggukan santai. Hampir sang profesor menyumpal telinganya dengan musik dari headphone, sampai guru lain datang masuk. Dengan setelan gaun putih-cokelat, tubuh pendek sang guru tertutup buku dan dokumen yang bertumpuk-tumpuk, bergoyang kecil setiap kali ia bergerak. Begitu juga dengan rambut twintail peraknya yang dibuat melingkar-lingkar seperti bor.

”M-maaf terlambat. Dokumen-dokumen banyak sekali, sama seperti perjuanganku yang dia campakkan.”

Suara manis itu masuk ke telinga Akasha. Mengerlingkan pandang, matanya bertemu dengan pupil merah sang guru. Wajahnya yang putih bersih merona merah, membuat Akasha salah tingkah, menundukkan kepalanya secepat kilat.

”Nah, Nakano. Letakkan saja di mejaku.” Perintah Pi-one.

“Baik, profesor. Eh, tapi jangan terlalu baik sih. Nanti kena friendzone.” Ucap Nakano.

”Sudah, pergi sana.”

”Ih, jahat. Sama kayak dia yang nolak cintaku.” Balas Nakano sebal, menggembungkan pipi selagi berjalan menuju meja Pi-one.

”Siapa sih, yang menolak cintanya?” Bisik Akasha pada Ryouga.

”Entahlah, wanita yang benar-benar cantik.”

”Dia lesbian!?” Bisik Akasha, lebih keras.

”Sejak kapan Nakano jadi perempuan?”

Tumbuhan spesial Akasha langsung layu.

Sementara Pi-one, ia tak bisa menahan tawanya melihat murid-murid Conqueror, maupun anak didiknya sendiri. Saling melukai, untuk sesuatu yang belum tentu mereka dapatkan.

”Jadi, untuk kekuatan besar......kalian rela membunuh?” Bisiknya lirih, menyeringai. “baiklah, aku mau ke taman kota dulu.”

Pi-one pun meninggalkan ruang laboratorium. Di monitor terlihat pihak Tutelage tersudut, kalah jumlah. Satu demi satu bergegas meninggalkan hutan.

I’m retreating....” Ucap Shinmaru lirih, kabur sambil memengangi luka parah di bahunya. “good game.”


***


[Step 3 : Fall for ‘my’ good looks]

Takase sedang menarik sejumlah uang di ATM. Ternyata memang, setiap mereka menyelesaikan tantangan, Bingkai Mimpi diperluas. Tapi, kali ini orang-orang di pulau muncul. Tak sunyi seperti kota mati lagi. Takase tak terlalu kaget, malahan senang. Kenapa tidak? Restoran-restoran jadi buka semua.

Tak cuma restoran tentunya, variasi bangunan bertambah, termasuk bank. Takase menemukan kartu kredit Sieg di dalam mantel, bersanding dengan jajaran makanan ringan.

”Kertas-kertas itu.....uang?” Tebak Lim.

”Ya,” jawab Takase, menghitung hasil curiannya. “sebelum ronde dua dimulai si Zainurma, ayo kita belanja.”

”Belanja apa?”

”Yah, kudapan tentunya. Dan baju untukmu.”

”B-baju? Tidak usah, yang sekarang masih nyaman kok.”

Bukan itu masalahnya. Lim menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena manis rupa, pakaian wuxia-nya seakan salah zaman, plus berwarna mencolok. Mencuri banyak perhatian dan bisik-bisik menyindir. Bahkan, beberapa orang menganggap Lim cosplayer yang tak kenal tempat.

”Tenang, nanti kamu pilih sendiri baju yang kamu suka.”

”Y-ya sudah.” Lim pasrah, lebih baik ia menurut.

”Jangan yang mahal tapi.”

Lim menghela nafas.

***

Kini, mall beroperasi lagi. Kembali seperti sedia kala. Keributan karena pulau menjadi hitam seluruhnya kemarin tidak terlalu kentara.

’Paling kerjaan dua kerajaan sihir itu,’ pikir para penduduk pulau.

Mantel hijau panjang Takase dilepas si empunya. Hanya selembar kaus ungu yang jadi atasannya, lagipula gerah terus-terusan memakai mantel. Lim yang berjalan di sampingnya tak dapat menahan rasa ingin tahu. Puluhan pertanyaan sudah terlontar dari mulutnya. Dan masih berhitung.

”Benda ini, apa fungsinya?”

”Itu mesin cuci, untuk mencuci.”

”Bagaimana cara kerjanya?”

”Masukkan saja pakaian kotornya ke dalam. Lalu dia akan berputar-putar diguyur air deterjen.”

”Deterjen?”

”Bagaimana menjelaskannya, ya? Jelasnya deterjen itu sabun untuk membersihkan pakaian. Contohnya Rinso.”

“Kalau yang ini?”

”Itu kulkas. Untuk mendinginkan makanan.”

”Bukannya makanan lebih enak kalau panas-panas?”

”E-eh....”

Walaupun wawasan belum luas, pintar tidak bisa diobati. Takase sendiri bingung mau menjawab bagaimana, toh panas atau dingin dia lahap semua. Kecuali basi.

”Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?”

Sambutan konvenien penjaga toko masuk ke telinga Takase dan Lim. Mereka mengabaikannya, tak sabar melakukan audisi baju baru. Deretan kaus oblong yang siap dipilih Lim tilik satu per satu. Takase yang berada di belakangnya sibuk melihat kumpulan jaket di etalase.

”Takase, aku mau yang ini.” Ucap Lim, menutupi mulut hingga perut dengan T-shirt putih bergambar wajah panda.

”Oh, cocok untukmu. Harganya murah.” Balas Takase.

”Tidak kekecilan?”

”Yang kekecilan itu dadamu.”

Kepakan sayap pembelah lautan mendarat di mulut Harsh Hammerman. Tenaga minimum, sih.

***

Sieg kini tengah melakukan pelarian. Syukurlah inspirasinya kembali. Kemampuannya berlari lebih cepat enam tingkat di
atas manusia pada umumnya pulih. Begitu pula dengan kemampuan membuat Speed Clones, alias duplikat diri yang tercipta karena percepatan.

Sorakan yang menyerukan ‘pencuri!’ sayup terdengar di belakang, Sieg langsung menggunakan sebuah Speed Clones untuk berjalan mengarah ke mereka, mengecoh. Gerombolan orang yang mengejarnya lantas menangkap klon tersebut, bertabrakan saat klon-nya hilang.

”Maaf!” Seru Sieg.

Larinya terhenti ketika berpapasan dengan gang buntu. Ujung dari gang kecil penuh kelok. Bukan masalah besar, cukup dengan tiga Speed Clones bertumpuk menggendong tubuh asli, Sieg mampu memanjat hingga puncak. Di atas sana, ia menatap sekeliling, mencari-cari Takase.
Sayangnya, tak satupun mantel hijau tertangkap pandangan. Apalagi palu yang ditenteng, atau wanita pesilat yang aduhai rupanya tadi.

”Sialan, kemana!?” Sieg berteriak dalam hati.

Beberapa detik melamun, sesuatu yang ganjil masuk ke pandangannya. Seekor elang, dengan iPad dalam cengkraman cakarnya terbang. Arah? Sieg.

”E-eh.....”

Elang tersebut melonggarkan cakarnya, otomatis iPad tersebut jatuh. Sieg reflek menangkapnya, rezeki.

”Halo!”

Ratu Huban muncul di layar. Dengan ceria, ia berputar ala tari balet, lalu melambai.

”Lho, kak Takase mana?” Tanya Huban, celingukan.

”Aku juga mencarinya dari
tadi!”

Huban langsung berjalan meninggalkan layar. Barang sedetik, ia kembali lagi.

”Aku habis tanya Om Zainurma, katanya dia ada di Mall!”

”Kencaaaan!!!?” Sieg menggeram. Tanpa babibu, ia melesat ke arah pusat perbelanjaan terbesar di pulau. Yakin si Takase di
sana.

”K-kak....tolong beritahu kalau ronde dua akan mulai.....” Ucap Huban pelan, tak yakin suaranya didengar oleh Sieg yang, yah, sedang mengamuk.

***

Keluar dari ruang salin, Lim menunjukkan pakaian barunya.

“B-bagaimana?” Tanya Lim, malu-malu.

T-shirt bergambar panda ia balut dengan jaket pilihan Takase. Pink, dengan garis-garis putih vertikal dari pundak ke ujung pinggang. Walau sedikit besar, tidak membuatnya terlihat seperti pelantun hip-hop. Malah, menambah kesan ‘mungil’ yang benar-benar imut.

”Bagus! Cantik sekali! Manis!”

Lim tak terlalu puas dipuji begitu, karena yang memujinya adalah si ibu-ibu penjaga toko. Entah mengapa, pendapat yang paling ingin ia dengar adalah dari Takase, yang sedang bersusah payah membuka bungkus permen.

”H-hei......cocok, tidak?” Ucap Lim, suaranya lemah.

Takase melihat sekilas, lalu mengacungkan jempol. Lim menjitaknya.

Urusan baju beres. Sekarang tinggal celana.

”Mbak’e suka silat, ya? Pakai celana ketat saja mbak’e.” Usul penjaga toko.

”Sesat.” Umpat Takase.

”Yah, lebih leluasa kan, memakainya?” Kata Lim, berpikir positif.

”Saya dengar mbak’e diejek dada rata sama laki-laki itu. Pake celana ketat kan bisa nonjolin aset wanita yang lain, pantat semok mbak’e.”

”Eeh!?” Lim merona merah pipinya. Andai si penjaga toko bukan ibu-ibu yang sudah keriputan, pasti akan ia suruh Takase membawanya ke pengadilan.

”Oh, tak terpikir.” Batin Takase.

”Jadi, mau tidak?” Tanya si penjaga toko, bersiap menunjukkan rekomendasinya.

”Bagaimana, ya?” Lim berpikir sejenak, menempelkan ujung telunjuk ke dagu. “baiklah, selama kau yang bayar.” tambahnya, mengedipkan mata ke arah Takase.

***

Bebatuan dan lahar menjadi latar dari adegan itu. Seorang penggembala yang sedang merenung, duduk di
atas batu melihat domba-domba hitamnya yang tengah saling menyeruduk pelan, entah sedang apa.

Bola matanya yang besar berputar pelan ke kanan dan ke kiri. Kalau saja ia memiliki gigi, mungkin ia akan menggemelutukannya. Sayang, kepalanya adalah bola mata besar itu sendiri. Dengan badan yang cuma tulang dari atas ke bawah, ia nampak seperti kerangka bocah berumur delapan tahun.

”.....usir.”

Keputusan sudah tercapai. Bersamaan dengan jubah ungu di pundak diterpa angin, ia berdiri. Semacam jaring bergagang besar dia sejajarkan dengan postur tubuh, Dreamcatcher sebutannya.

”Akan kuusir mereka.”

Oneiros namanya.


[Step 4 : Be a sleaze]
---
[2 - White Ash]

Sepasang teman itu berjalan keluar dari mall dengan wajah bahagia. Lim dengan pakaiannya yang serba baru, serta Takase dengan struk pizza sepanjang ular phyton. Rasa-rasanya, ia akan kenyang untuk sebulan ke depan. Rasa-rasanya saja.

Izzy yang tengah meneguk air jernih dari sungai mengembik riang ketika Takase dan Lim sudah selesai belanja. Lari menyeruduk kaki si tukang palu. Bukan sesuatu yang menggemaskan.

”Bagaimana menurutmu, Izzy?” Tanya Lim, memamerka
n Adidas putih-pink yang membalut kakinya.

”Mbek mbek mbek, mbek.” Jawab Izzy.

”Celananya juga cocok, kok.” Kata Takase, melirik bokong sintal Lim.

”Makasih.” Ucap Lim, tersenyum. Menjewer daun telinga Harsh Hammerman.

”Akhirnya ketemu juga.”

Tiba-tiba, seorang remaja berkacamata mengucap lantang. Setelah merapikan sedikit rambut ikal oranyenya, pemuda itu merangsek maju. Benda hitam serupa remot TV di tangannya mengeluarkan bilah laser. Seperti Lightsaber.

”Jedi?”

Takase langsung menarik Tengoku dari sabuk Merak Merahnya, menangkis tebasan remaja tersebut. Api kecil terpercik sedikit-sedikit sebab gesekan kepala palu dan pendar cahaya pedang laser.

”Hm? Bukan besi? Biasanya langsung terbelah dua.”

Ia menarik Lightsaber
-nya, memberi serangan-serangan lanjutan. Tusukan dan tebasan Takase hindari dengan melompat ke samping, dan ia tangkis dengan palu kalau tak sempat. Menemukan celah, sang remaja berambut oranye mengarahkan tendangan ke arah Takase yang tengah merunduk. Lim berusaha ikut menyerang, namun ia takut terkena sabetan atau tumbukan nyasar.

Titik koordinat pertarungan mereka makin lama makin mundur, hingga Takase dan Lim masuk kembali ke dalam Mall yang ramai. Sang remaja menjatuhkan tasnya di lantai, lalu kembali mengantarkan serangan beruntun, masih dengan senjata yang sama.

Adegan saling tangkis membuat keributan di dalam Mall, alias teriakan terkejut dari pengunjung sekitar. Yang ada di lantai atas malah memilih menonton seakan ini adalah pertunjukan gratis.

”Cih, lihat apa kalian!?” Seru Castor geram, menendangkan kakinya ke arah Takase.

Takase menahannya dengan gagang palu, namun terdorong 2,5 meter ke belakang. Sebelum remaja itu menerjang maju lagi, Takase menghantam lantai di sebelahnya.

Go Down.” Ucapnya.

Nwod og.” Balas sang remaja.

Teknik Takase dipatahkan. Tidak ada yang terjadi. Takase melongo. Setelah nama jurusnya diucapkan terbalik, langsung tidak bekerja.

”Kesalahan besar mengucapkan rapalan mantra di depan seorang Decryptor, amatir.”

Ejek pemuda itu, melompat maju. Sayangnya, Takase menghantam lantai di depannya, tanpa mengucapkan apapun. Sang remaja pun terjengkang, kakinya tertarik kuat ke lantai dan menempel. Lebih detil, sepatu lukisnya yang bergambar wajah monster-lah yang jadi magnet.

”Jujur saja, aku baru tau itu termasuk mantra. Bukan nama biasa.” Ujar Takase. Daripada sihirnya dinetralisir lagi, lebih baik tidak menyerukannya.

”Kau pikir aku akan percaya?” Remaja itu menghunuskan pedang lasernya ke arah leher Harsh Hammerman. Reflek Takase merunduk, dan disusul dengan tusukan lain mengarah ke tengkuk. Takase lanjut berguling ke belakang, melihat ubin yang retak, jadi korban.

”Mundur Lim!” Seru Takase. “cari Sieg, naik Izzy!”

Perintah Takase langsung Lim turuti. Sementara itu Takase waswas, memperkirakan gerakan si jaket ungu selanjutnya. Ia takkan gegabah langsung mengayunkan palunya kearah kacamata si cowok bejaket ungu ini.

”Lapor, penyalahgunaan senjata di lantai satu....”

Segerombolan security pun mulai berdatangan. Dengan walkie talkie di tangan, bersiap menangani sepasang kriminal berumur 19 tahun di daerah pengawasannya.

Ingin Takase mengusir mereka, namun, gerakan selanjutnya dari si Jedi adalah mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Permen karet.

”Mau makan? Di saat seperti ini?” Batin Takase, ikut mengeluarkan bakpao dari saku celana.

Tetapi, hal yang terjadi selanjutnya tidak terduga. Ia meremas permen yang masih terbungkus itu, membentuknya menjadi bola sebesar kelereng. Kemudian, sesuatu yang berwarna merah dan berganti-ganti dengan cepat polanya muncul disana. Dan, dilemparkan ke Takase.

”He?”

Jatuh di lantai, bola permen karet tadi bergulir. Takase melihat keanehan di
sana. Kumpulan numerik merah, berhitung mundur.

....000.00.04....
....000.00.03....

”I-ini!”

”I-itu!”

Takase dan para Security
lari. Firasatnya buruk dan kelihatannya tidak salah.

”Dia pengguna sihir!! Semuanya tinggalkan tempat ini!!”

Seruan sang security membuat semua pengunjung mall berhamburan, takut akan ledakan besar yang akan mengenai mereka jika tak cepat-cepat menggerakkan kaki.

Dan, ledakan terjadi. Tidak menimbulkan suara yang menggelegar, karena ledakannya sendiri sangat kecil. Sebatas petasan tikus. Sang remaja terpingkal, hampir kacamatanya jatuh saking kerasnya ia ter
gelak.

”Kalian mengira akan meledak hebat, ya? Rupanya cuma meledak begitu saja, antiklimatik.”

”Ya, mengingatkanku pada lukisan seseorang di museum.” cibir Takase.

”Heh, sayangnya kalian yang lari ke
arah sana sudah masuk perangkap.”

Ucapan sang remaja menimbulkan tanda tanya besar di otak Takase dan kumpulan satpam tersebut. Mereka bertukar pandang, setelah itu melihat ke bawah, di
mana tas yang dipasangi roket tergeletak. Jetpack. Dan, penghitung mundur kecil ada di sana.

....000.00.03....
....000.00.02....
....000.00.01....

***

Flas Atgora, bangunan yang mengapung jauh di atas sana. Kediaman Overlord Arglid.

Mayoritas penduduk Kota Amseraid menuding sang Overlord-lah pelaku dari keganjilan yang mereka alami kemarin malam. Namun, yang dituduh tidak bergeming sama sekali, seakan-akan ia tuli, atau malah sedang meninggalkan singgasananya sekarang.

Pierre dan Eileen, sepasang sahabat yang dibesarkan dan menempuh pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas di Amseraid pun mulai khawatir akan terjadi sesuatu pada kota mereka. Insiden-insiden baru-baru ini sudah menewaskan ratusan jiwa. Dan sekarang.....

Dalam kafe Crashing Cheetah mereka berdua duduk. Menyeruput Milkshake St
rawberry, dua remaja tersebut mencoba untuk menjadi setenang yang mereka bisa, meski dilatari kerusuhan tiada henti.

Eileen nampak gundah. Empati juga membuat hatinya iba melihat pemilik kafe, menahan tangis saking tak kuat beradaptasi dengan keadaan kacau ini. Walau menyandang gelar entrepreneur sukses, ia tetaplah wanita berusia 21 tahun biasa. Memerlukan dekapan menenangkan dari orang tuanya, yang telah lama tiada.

Pierre justru lebih khawatir melihat Eileen. Cewek itu terpisah dari ibu, ayah, kakak, dan dua adiknya. Hanya Kota Amseraid, hanya kota ini yang tertinggal. Terpisah dari bagian benua lain karena semacam kehampaan sewarna emas. Mungkinkah, ini ulah dari Psi atau sihir seseorang?

Psi, magic, Pierre membenci semua itu. Dari lubuk hati ia berharap tak memiliki keduanya, begitu pula dengan Eileen. Belum diketahui, dan semoga tidak akan pernah.

”Hei,” Panggil Pierre. Mata Eileen belum menatap sang lelaki. “kau tahu, berbahagialah. Kau yang sedih bukan favoritku.”

Eileen mengabaikan ucapan itu, menerawang. Entah siapa yang dibayangkannya.

”Kau tahu.....” Eileen berusaha mengatakan sesuatu. Matanya tiba-tiba mulai berair. Pierre reflek memegang tangannya. Yang, langsung dilepas oleh Eileen, dengan tidak kasar sama sekali.

”Aku paham, mungkin aku bukan orang tuamu, saudaramu, keluargamu, pacarmu, atau orang yang kau suka,” Pierre mendadak ingin menangis, tapi ia menahannya. Ia harus tegar di hadapan Eileen. Bukan waktunya berlaku menyedihkan. Pierre ingin menjadi pundak yang dapat Eileen sandari.

”tapi, karena tinggal aku, aku akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan melindungimu.”

Eileen menatap lamat-lamat sosok di hadapannya. Air matanya mulai menetes, namun segera digantikan oleh senyuman. Matahari setelah hujan, terbit dengan indah.

”Dan aku memaksa.” Tambah Pierre, bergurau.

“Aku membencimu, Pierre.” Ujar Eileen, lantas tertawa.

Mereka pun memutuskan untuk lanjut berjalan. Takkan dapat apapun kalau cuma berdiam diri di
situ.

”Terima kasih.” Kata Pierre, mengeluarkan sejumlah uang kertas dari dompet.

”Sama-sama, ganteng. Ini kembaliannya.” Ucap kasir, menyodorkan lima keping koin perak di telapak tangan.

Saat Pierre akan meraupnya, yang jemarinya rasakan bukanlah kerasnya uang logam atau kulit manusia, melainkan sesuatu seperti serbuk. Dan, perasaan itu terjawab saat suara gemerincing koin jatuh di lantai masuk ke telinga.

Si kasir pun terkejut akan perasaan aneh di tangannya. Rupanya, tercipta sebuah lubang disana. Bagai arang yang perlahan menjadi abu, kini bagian tubuh mulai terkikis.

”Apa yang-”

***

Di dalam mall, di
mana toko roti, toko baju, toko alat elektronik, dideretkan, menjadi sepaket.

Dia menyentuhnya.

Takase menyentuh penghitung mundur di jetpack itu. Angka-angka yang berganti-ganti cepat terhenti, lalu lenyap. Melihat hal tersebut, sang remaja sedikit kaget. Cara untuk ‘defuse’ dari ‘Tick Bomb’ miliknya ditemukan begitu saja, spontan.

”Bagaimana kau bisa tahu, biadab?” tanya sang remaja, kembali mengeluarkan permen karet dari saku.

”Yah, kukira serupa dengan tombol off pada alarm.” Balas Takase, singkat dan jelas. “ngomong-ngomong, siapa namamu?” lanjutnya, memberi isyarat agar para security lebih baik ikut kabur.

Sang remaja tersenyum seperti kucing. Langsung saja ia melempar permen karet yang sudah dipasangi penghitung mundur. Takase dan para satpam lari. Ledakan dengan radius sekitar tiga meter tercipta, membuat kawah di lantai.

”Cepat, kabur!!” Perintah Takase. Percaya tak percaya, gerombolan satpam langsung menurut, lari tunggang langgang.

”Ah, membosankan. Lebih banyak yang mati lebih seru, kau tahu?” Ucap sang remaja, lagi-lagi tersenyum seperti kucing.

”Jack?” tebak Takase.

Hampir saja Castor tertawa mendengar dugaan si tukang palu. Ya, itu namanya, Castor. Castor Flannel. Tapi, ia sama sekali tak berniat memberitahukannya kepada lawannya di ronde ini. Toh, tidak ada untungnya. Takase Kojou hanyalah batu loncatan yang akan ia pijak, untuk melaju ke depan. Setidaknya, itulah makna yang dia tarik dari pengunguman Zainurma via MMS.

”Michael Bay?”

Terkaan kedua benar-benar konyol. Castor bahkan tak ingin tertawa. Lantas, ia mencabut Buzzshooter dari buckle-nya.

”Hm, jangan-jangan kau terminator?”

Kilatan plasma biru ditembakkan dari senjata laras pendek tadi. Secepat mungkin Takase bermanuver ke kanan, hampir memiliki tubuh gosong kena sengat.

Buzzshooter Castor sanggup membuat mahluk setinggi lima meter kolaps, apalagi laki-laki cungkring macam Takase.

Hal lain yang Castor sadari, sepatunya ternyata sudah tak menempel kuat di lantai. Sudah sejak beberapa detik lalu.

”Jadi, sihirmu hanya bekerja sekitar lima detik?” Castor menyeringai. “sekarang, kita impas.” imbuhnya, memberi tembakan susulan.

Harsh Hammerman melompat ke kanan menghindar, Castor menyejajarkan laras senjatanya dengan posisi baru sang target. Tiga kali tembakan berikutnya, Takase cuma bisa lari atau loncat agar terhindar dari laju cahaya intens tersebut. Sekarang si tukang palu tahu Castor tidak hanya bisa meledakkan benda, tapi juga lihai menembak.

”Waktu kecil pasti ketagihan main FPS, makanya pakai kacamata.” Celetuk Takase, mengangkat palunya.

Castor siaga, siap menarik pelatuk kapan
pun. Takase menerjang maju, mengayunkan palunya. Castor melompat ke belakang, menembakkan plasma biru. Sialnya, tak tepat sasaran. Dapat ide, Takase mengubah targetnya dari perut Castor menjadi kakinya saja. Tapi, meleset.

Sang Tukang Palu berputar 360 derajat, membuat kepala palu bergesekan mulus dengan ubin menimbulkan suara kuat. Castor loncat, di udara membidik kepala Harsh Hammerman. Rasa bahaya menjalar di punggung, Takase bermanuver ke depan. Untuk kesekian kalinya ia lolos dari lintasan laser buzzshooter - yang baru saja mengenai lantai. Andaikata ia memakai mantel, sudah pasti bolong bagian bawahnya.

”Kuh, ARG sial, waktunya isi ulang.” Eluh Castor, menyarungkan senjatanya.

”ARG?” Tanya Takase.

Automatic Recharge- Hei, kau tak perlu tahu.”

Sejujurnya, Cas menganggap lawannya kali ini lumayan, walau tak terlalu mengkhawatirkan. Bahkan kemampuan persepsinya - Territory, yang lebih hebat berkali-kali lipat di
atas manusia bisa, sulit mengikuti gerakan kepala palu, juga penggunanya.

Mengenai A.R.G
(Automatic Recharging Generator), artinya adalah senjata-senjata futuristik yang dilengkapi generator untuk mengisi kembali energi secara otomatis tanpa batas. Buzzcutter, senjata yang awalnya dijelaskan penulis sebagai Lightsaber waktu isi ulangnya 5x waktu yang terpakai. Dalam mode cool down, bentuknya seperti remot TV.

Lalu, Buzzshooter. Pistol hitam yang bisa menembakkan laser itu adalah satu dari sekian banyak model. Cuma bisa menampung enam kali tembak dalam satu waktu, dengan tiap slot butuh lima menit untuk terisi kembali.

Beserta tick bomb dan sihir magnet tukang palu, Castor Flannel berada dalam ‘pertarungan interval’. Sebijak mungkin ia me-manage setiap jeda, maka kemungkinannya menang akan makin tinggi.

Hanya saja, selagi Cas bergumam sendiri, seorang lelaki berambut putih tiba. Sieg. Dengan nafas terengah-engah, ia berseru, ”Ayo, kita hajar dia!”, datang-datang sudah berisik.

”Mana Izzy? Mana Lim?”

”Tidak tahu, siapa Lim?”

”Lagipula, darimana kau tahu dia musuhku?”

”Ah, Huban yang bilang. Untung sekarang bertarungnya di bingkai mimpi sendiri, kalau tidak aku ditinggal lagi.”

”Hehe.”

”Tak usah tertawa..... Dan aku dihubungi dengan iPad yang dibawakan elang ini.”

”Pffft.....kau terlalu banyak baca komik strip Indonesia, uban tolol.”

”Oooh, bala bantuan?” Kata Castor, mundur teratur. “kurasa Dynamite - dombaku sedang kencing sembarangan di suatu tempat, sebentar ya. Kalian berdebatlah dulu.” Castor ambil langkah seribu. Melihat tindakan ini, Takase yang pertama kali mengejar.

”Berhenti lari dan lawan aku, pendek!”

”Kau yang seharusnya berhenti, supaya aku tidak tertangkap.”

”Mana mau!?”

”Yang berhenti itu kalian berdua.”

Tiba-tiba, suara seorang bocah delapan tahun masuk ke telinga kedua Reveriers. Tubuhya yang kerangka dan menyandang jubah ungu benar-benar ganjil. Sebuah bola mata menatap tajam Takase dan Cas, tanpa berkedip atau apapun. Lagipula, bola mata tersebut adalah kepalanya sendiri.

Oneiros.

Berdiri di atas booth Rotiboy, Oneiros memandu domba-dombanya yang berjumlah puluhan menampakkan diri, unjuk bulu. Namun, domba-domba ini berbeda dengan pemberian Huban. Mereka hitam. Izzy bersiaga, antara takut dan siap bertarung. Mendengus, tanduknya berayun ke kanan dan ke kiri, tak bisa diam.

”I-izzy?” Panggil Takase, tak pernah melihat peliharaannya seperti itu.

”Kukira reverier yang harus kulawan cuma satu?” Tanya Castor.

”Jangan samakan aku dengan kalian, para perusak alam mimpi!!” Oneiros berteriak berang. Andai ia memiliki gigi, taringnya akan terlihat. Kaki mungilnya mendarat di salah satu domba, lalu dengan sebuah ayunan, puluhan hewan bertanduk tersebut melesat maju. “Serbu!”

”Ng.....panitia?” Ucap Sieg, menyalakan iPad.

***

Kalian tak punya pilihan lain?

Dari seberang telepon, seseorang tertawa renyah. Hal tersebut membuat para penel
epon - satpam Mall - menggertak giginya. Menahan marah.

”Tolong, ini diluar kendali kami para satpam, juga polisi. Kau tahu kan, tentara-”

Memohonlah.

Sang satpam menghentakkan kakinya ke tanah, murka. Dengan segala ego, gengsi, atau bahkan harga diri, ia lepas sementara. Entah berapa kali ia menelan liur, sebelum akhirnya berkata.

”Tolong kami. Kumohon.”

Tawa yang jauh lebih keras menjadi respon dari permintaan sang satpam. Lalu, sambungan diputus. Sang satpam serta merta membanting telepon itu ke lantai, hancur lebur. Kawannya tak terlalu terkejut melihat hal ini.

”Tunggu saja sampai kami lebih kuat, Tutelage!!!”

***

Di ruang tamu dengan tembok biru muda, seorang kakek tengah duduk di karpet oranye berbentuk oval, dengan sang cucu dalam gendongannya. Mulut si kakek bergerak-gerak, mendongeng.

”Lalu, mereka mematikan lampu dan mengunci pintu. Tamat.”

”Lagi kek! Lagi!” Ucap sang cucu, penasaran.

”Sebentar, kakek cari di website lain.”

Tiba-tiba, dentum ledakan terdengar hebat, bersamaan dengan hancurnya dinding. Puing-puing yang melesat untungnya tidak mengenai siapapun, hanya mengotori lantai dan menghancurkan perabotan saja. Selain itu, rupanya ada seorang lelaki yang membawa palu ikut serta terlempar ke dalam rumah.

Kakek melongo.

Belum sempat bibirnya menutup, sekitar tiga domba hitam mendatangi si Tukang Palu, menyerangnya. Yang diserang hanya bisa mengayun-ayunkan palu, menjauhkan domba-domba kelam agar tak menjangkaunya.

Kakek mengangkat telunjuk pelan. Hendak mengatakan kalimat yang masih kacau susunannya di otak. Tapi, lagi-lagi ia dibuat bisu ketika mahluk berkepala mata masuk, berseteru dengan lelaki berkacamata dengan pedang laser di tangan.

”Kek, pinjam ya.” Ucap Takase, mencomot pisau dapur yang entah bagaimana ada di sebelah televisi. Lantas ia melemparnya ke arah pupil Oneiros, dimana sang target langsung berubah menjadi ratusan bola mata ungu, kembali menyatu di tempat lain.

Sekarang, cucunya melongo.

”Surti! Sudah berapa kali kamu naruh piso di sana!?”

”Maaf, kek!” Sahut Surti yang sedang mencuci piring di dapur.

”Maaf-maaf! Aku tak butuh maafmu, jika kesalahan yang sama terus kau ulang lagi dan lagi. Aku tak mau janji palsu!!” Seru kakek geram, mewek.

***

Sementara itu, Lim dan Izzy tersasar. Lim lupa tadi, menanyakan siapa itu Sieg. Dikasih perintah menurut saja, padahal tidak detil. Walau begitu, kelihatannya Izzy mengenal orang yang Takase sebut, sehingga dia berlari mencari sendiri. Dengan Lim naik di atasnya.

”Domba, ayo kembali ke bangunan tadi. Kita berikan jubah hijau berisi.....uh....paku dan cemilan?” Lim membolak-balik mantel Takase, lalu mencium baunya. “eh, apa yang kulakukan!?” Batinnya, malu. Izzy mengembik, geleng-geleng. “Cinta monyet.” Batin si domba.

”Dan hei, dimana kita?”

Ya, mereka tersasar ke Amseraid. Berbeda dengan kota tempatnya keluar dengan Takase dari portal, kota yang ini sedikit lebih modern. Dengan dominasi warna abu-abu, putih, dan biru pada bangunan, dan bendera berjejeran di tepi jalan.

Lim sempat menoleh ke atas, mendapati bangunan besar yang terapung. Ingin ia bertanya apa itu, tapi si Tukang Palu tidak ada di sisinya. “Ya sudah, ayo kita ba-”

”N-nona, tolong!”

Merasa terpanggil, Lim menoleh ke belakang. Gadis itu kaget setengah mati, melihat seorang pemuda sedang menggendong lawan jenisnya. Yang lengan, dan betisnya, lambat laun hancur menjadi abu. Pierre dan Eileen.

***

Sieg sedang memegangi iPad di tangan kanan, dan katana di tangan kiri. Ia mencoba menghubungi Huban lagi dengan alat elektronik pemberian elang tersebut, sementara menebas domba-domba hitam yang sudah ia pancing untuk menyerangnya - walau berubah jadi asap dan membentuk lagi di tempat lain.

Tak kunjung dapat sambungan, ia mendekat ke sebuah kedai dengan WiFi. Berseberangan dengan rumah besar milik seorang lansia yang Takase dan Castor porak-porandakan.

”Ah, siapa ini?”

Tersambung juga. Tapi yang muncul di layar bukan bantal ungu, melainkan si mafia yang dalam waktu dekat akan menikah, Zainurma. Selamat ya.

”Ini, aku Sieg!”

”Oh, temannya si Tukang Palu. Ada apa? Berhenti menghubungiku.” Ucap Zainurma sinis, membuatnya terdengar seperti seorang gadis yang muak di-miscall mantannya.

”Siapa bola mata itu!?” Seru Sieg, membalik iPad. Kamera depan sudah pasti menangkap sosok Oneiros yang sedang bertanding dengan Castor, membuat Zainurma di seberang melebar netranya. Tapi, reaksi itu berubah menjadi sebuah senyum elusif.

”Panggil Takase ke sini.” Kata Zainurma, memainkan jenggotnya.

”Oke, kejap ye,” Sieg lalu mendongak, mencari Takase. Sudah dapat, dipanggilnya si Tukang Palu. “hoi! Sini bentar.”

”Apaan sih.”

”Udah, sini.”

Takase lalu menaruh palu dan pisau di tanah, berjalan santai melewati Castor dan Oneiros yang tengah adu senjata. “Permisi.....” Bisiknya. Sesampainya di lokasi Sieg, Takase merebut iPad dari tangan sang partner. Dilihatnya Zainurma di layar, tengah memelintir bulu-bulu halus di dagu.

”Hello, bos.” Sapa Takase.

”Kau tau nama anak itu?” Tanya Zainurma. Takase melirik Castor yang sedang terpojok, dikepung beberapa domba hitam plus dideru serangan Oneiros.

”Michael Bay?”

”Dia memang suka meledakkan benda, tapi salah,” Ucap Zainurma, menutup dagunya satu detik-an. Saat dibuka, tatanan janggut yang barusan diacak-acak rapi seperti habis disisir. Sulap.

“Castor Flannel, itu namanya. Julukannya teroris millenium. Yah, kau tau kan maksud julukannya?” tambah sang Kurator, menggaruk-garuk belakang telinga.

”Hoo, Castor Flannel?” Kata Takase, kembali melirik Castor - yang tengah berlari ke arahnya. “jadi bukan Tupac, kuki- Awas!!”

Sieg menarik lengan Takase, lalu berlari dengan kecepatan kilat. Sedetik kemudian, debum ledakan lain terdengar, Castor pasti melempar Tick Bomb kesana.

”Oh ya, apakah kau sudah melihat mimpi buruk di sekitar?”

Pertanyaan Zainurma membingungkan Takase. Celingukan, ia baru paham. Orang-orang di sekitar berteriak kesakitan. Awalnya ia kira warga heboh karena ledakan disana-sini. Ternyata, abu putih. Tubuh mereka lebur perlahan, anggota tubuh mulai putus satu per satu.

”Apa-apaan ini, pak tua!?” Tanya Takase, mengguncang-guncang iPad.

”Ingin semua ini cepat berakhir? Kalahkan lawanmu. Yah, kalau kau dikalahkan berakhir juga sih. Tidak berbeda. Selamat menikmati.” Ucap Zainurma, mematikan sambungan. Masih banyak pertanyaan yang mau diberikan, tapi narasumber melenyapkan satu-satunya alat penghubung, begitu saja bagai sulap.

”Mimpi buruk!”

Takase berseru. Jujur, dia sendiri tidak tau bagaimana menyembuhkan penyakit aneh itu. Atau justru, anomali ini tidak bisa berhenti sampai suatu kondisi dituntaskan. Tapi apa?

Jawabannya adalah mengalahkan Castor Flannel. Melihat kilas balik perjuangannya sejak bangun di alam mimpi ini, Takase sadar bahwa, mengalahkan musuh adalah kunci dari keberhasilan. Booster tingkat estetis pada karya.

Sesuatu yang [Sang kehendak] inginkan.

Jadi bertarunglah ia.

”Eh, ambilin palu sama pisaunya dong.”

”Oke.”

Sieg berlari dengan kecepatan tinggi, mengambil benda yang sudah disebut dan memberikan kepada si empunya.

”Takase!”

Panggilan dari suara familiar masuk ke telinga. Lim. Takase balik badan melihatnya, yang datang malah dengan wajah panik. Baru saja si Tukang Palu hendak menanyakan dimana Izzy, sampai si domba muncul sendiri. Membawa dua manusia yang tidak Takase kenal.

”Si-”

”Mereka butuh bantuan!” Sela Lim.

”Dengar, semua ini bisa berakhir jika Castor ka-”

Ucapannya lagi-lagi tak selesai. Sebuah tong sampah yang dipasangi penghitung mundur menggelinding ke arah mereka berdiri.

.....000.00.03....
.....000.00.02....

”Lari!”

Buru-buru mereka melangkahkan kaki pergi, tepat saat letupan dengan radius 10 meter menghantam.

***

”Terjadi keributan di daerah yang ditandai titik merah, cepat kesana!” Ucap seorang wanita, menunjuk layar yang menampilkan peta kota. Titik merah tersebut bergoyang-goyang, seakan ingin cepat-cepat didatangi. “kalian paham, mungkin Puzzle.”

Regis dan punggawa Conqueror lainnya mengangguk. Semangat membantai tergambar jelas lewat air muka, berpencarlah mereka ke kamar masing-masing. Mengambil benda-benda atau perlengkapan yang mungkin ingin dibawa ke medan tempur.

***

Ajaibnya, Takase sukses menahan ledakan yang mungkin bisa menyebabkan luka fatal bagi orang-orang sekitar. Entah bagaimana, tong sampah Tick Bomb bisa dia jauhkan. Dengan menunujuk tabung metal itu dengan pangkal gagang palu. Telat sedikit saja, hanguslah orang-orang itu. Cas sedikit kecewa.

”Apa itu barusan?” Tanya Cas sambil membenarkan kacamatanya.

”Y-yah....”

Takase sepertinya ingat sesuatu. Kemampuan tingkat lanjut dari magnetisme, yang dia lupakan. Tepatnya, dibuat lupa oleh [Sang Kehendak].

”Hei, Lim..... Bisakah kau bawa dua orang itu pergi? Setelah ini akan kacau.”
Lim sedikit kesal dari tadi disuruh kabur. Meskipun, si Tukang Palu itu berusaha melindunginya, protektif. Lagi-lagi ia menurut. “Baik!” Katanya, merebut Eileen malang di gendongan Pierre, dan hilang masuk gang kecil.

”Oh, mau mengakhiri ini?” Kata Castor, memungut kotak susu di jalan dan menaruh penghitung mundur di alasnya.

Takase tidak menjawab. Sieg di sebelahnya lantas bersedia, merendahkan tubuh dan menaruh tenaga besar di tangan. Mereka siap saling bunuh sekarang.

Berhenti!

Oneiros berteriak. Dalam keadaan tubuh masih terbentuk dari berlaksa bola mata, ia berjalan maju.

”Kalian....sudah merusak....”

Ucapannya yang terbata tidak selesai. Bola matanya lebur diberondong timah panas dari arah timur. Pasukan Tutelage ada di sana. Sekitar 38 orang dari mereka, dengan senjata-senjata tajam atau api di tangan. Siap menghujam target.

Oneiros mengerang, entah kesakitan atau kesal, yang pasti domba-dombanya akan ia perintah mengamuk sebentar lagi. Takase harus segera pergi dari sini, Oneiros, Tutelage, Castor. Terlalu banyak untuk di lawan.

”Lama tak jumpa, Harsh Hammerman.”

Suara itu, Takase sangat mengenalnya. Ia langsung balik kanan, berhadapan langsung dengan seorang lelaki bersurai hijau muda. Dengan headphone hijau, kaus singlet, celana hitam, dan sepatu olahraga merah itu. Si ilmuwan.

”Jalan-jalan di sini ketemu ikan besar, beruntungnya. Padahal tidak bawa pancing,” Kata Pi-one, meregangkan kesepuluh jemari tangannya. Sekejap pistol hitam ia cabut dari sabuk. Menodong wajah si Tukang Palu. “cuma kail.” Tambahnya, tersenyum seperti kucing.

***

Lim, Pierre, dan Izzy si domba lucu dan menggemaskan, sedang mengintip medan tempur dari balik sebuah tempat laundry. Tempat yang dipenuhi mesin cuci itu mereka jadikan markas sementara, tidak jauh dari bahaya memang. Namun, pasti orang-orang kira mereka sudah kabur jauh.

”K-kau benar-benar tak tau cara menyembuhkannya?” Tanya Pierre lirih. Tak perlu melihat langsung untuk mengetahui lelaki itu tengah membendung air matanya. Lim bahkan tak mau menatap langsung wajahnya.

”Maaf.” Balas Lim, singkat.

”Dia pingsan. Begitu melihat manusia menjadi abu, dan kakinya sekarang pun mulai melebur....A-aku takut.....” Kata Pierre. Dengan ain kanan meneteskan air, dan mata kanan mengeluarkan abu putih. Pierre menangis. “harapan terakhirku, aku ingin ia hidup. Aku ingin melihatnya yang selama ini sedih tersenyum. “

Izzy yang sedang mengunyah kotak deterjen menoleh.

Aku.... Mencintai Eileen!!!”

Si domba mengangguk dua kali sebelum lari keluar.

”Tunggu, Izzy!” Panggil Lim, tapi kecepatan hewan aneh itu setara kuda. Tak sanggup kakinya mengejar. Lim pun membulatkan tekadnya. Ia mengerti apa yang bisa dia lakukan, untuk orang yang berjuang demi tambatan hati, dan tambatan hatinya sendiri.

”Baik, sebelum semuanya terlambat......Dengar rencanaku.”

***

Sudah 20 menit berlalu. Sepasang Reverier yang tengah bertikai sedari tadi sudah mengalami berbagai macam rintangan dan pindah tempat, sampai di tengara masyhur pulau ini.

Kawasan patung pahlawan. Dimana pahlawan-pahlawan ketika kerajaan masih satu di masa lalu berdiri berjejeran. Bagai papan catur yang ada bidak diatas tiap kotaknya, kurang lebih begitu deskripsinya. Dengan jarak antar patung sekitar tiga meter, tempat ini bisa dijadikan labirin. Dan itu yang Castor lakukan.

Sementara ia sudah menandai beberapa patung dengan Tick Bomb, ia bisa menunggu Buzzcutter dan Buzzshooter-nya full loaded.

”Boom!” Gumam Castor, bersamaan dengan terdengarnya dentum sebuah patung yang meledak. Terdengar seseorang berteriak kesakitan, itu pasti Harsh Hammerman. Castor mengintip dari celah antar patung, si Tukang Palu menggeliat pelan di tanah.

”Sepertinya ia tidak kena ledakannya, cuma kena hempas.” Batin Cas, sambil melihat beberapa pahatan batu yang ia pasangi penghitung mundur, dengan waktu tertentu. Semua sudah diatur sedemikian rupa, dengan memperkirakan ke mana Takase lewat atau pergi.

Dari waktu countdown lima detik - petasan, hingga 24 jam - nuklir. Kira-kira manusia batu yang sudah ia sentuh berhitung mundur dari dua menit atau tiga menit, hingga nol. Dengan daya ledak kira-kira dua sampai tiga kali granat tangan, lebih dari cukup untuk membunuh pria magnet itu.

”Oh, dia mencoba kabur.” Kata Castor. Takase memang menjauh, keluar dari area bersejarah tersebut. Sayangnya, disanalah Dynamite berperan. Menggigit buzzcutter hasil pungut mayat Franz, ia melesat keluar dari balik patung tertentu. Mencegah Harsh Hammerman melangkah keluar kotak, sekaligus mengenainya jika mampu. Castor akan memberinya rumput berkualitas tinggi setelah ini. Dengan mangkok dipasangi penghitung mundur.

Berbeda dengan Dynamite, Izzy justru payah. Saat datang ia nampak mengancam, mengantarkan mantel hijau Takase yang penuh makanan dan paku spesial, tapi tidak. Sesekali ia mencoba menyeruduk domba Castor, tapi Dynamite dengan cepat berkelit, menebas wajah si domba dengan laser. Beruntunglah ada abstraksi, kematian belum datang pada Izzy. Hanya saja ia jadi penakut, bersembunyi di balik patung-patung.

Tunggu, domba itu mematikan penghitung mundur Castor satu persatu dengan lidahnya. Castor meradang. Memang beberapa sukses mencapai angka nol. Ledakannya mengenai Izzy saja, yang tak terpengaruh sama sekali karena abstraksi. Takase yang punya domba selamat jadinya, patung bom di sekitar sudah di-defuse.

Kegunaan yang dimaksud Huban,” Gumam Castor, mencabut Buzzcutter-nya yang sudah kembali bisa digunakan dari sarung. “ini sih bukan berguna lagi, inti!”

Tekad bulat. Ia memutuskan maju sendiri. Tapi, lagi-lagi ia harus dibuat kesal karena si Tukang Palu muncul dari balik patung, mengayunkan Tengoku ke arah kepalanya. Cas merunduk, berniat melakukan tusukan berputar ke arah perut si Tukang Palu.

Terantisipasi, Takase mundur ke patung pahlawan lagi. Castor yang terlanjur melesat maju mendapati pedang lasernya menancap kuat di patung lain. Takase menendang pinggangnya dari samping, membuat Cas jatuh.

Ia berjalan maju, bersiap mengayunkan palu. Namun, Takase justru berhenti, memegangi perutnya. Setelah erangan pendek, ia terduduk. Suara ngilu dari tulang terdengar cukup keras.

”Luka dari ledakan tadi, masih terasa.” Batin Cas, paham.

Kesempatan tersebut ia gunakan untuk cepat-cepat menarik Buzzshooter lepas dari sheath dan menarik pelatuknya langsung saat laras sudah segaris dengan dada kiri Takase.

Tapi, cuma terdengar suara ‘klek’. Tak sepercik pun plasma biru tertembak dari sana. Ternyata, bar di Buzzshooter belum terisi. Satu bar sekalipun.

”Sial, seharusnya sudah enam menit!” Batin Castor, berulang menekan pelatuk. Bayangkan saja rasa kesal kalian saat mencoba menyalakan ponsel yang sudah rusak, menekan tombol power seperti orang gila, berharap benda itu menyala. Sialnya, ketika satu bar terisi, penembak laser tersebut melepaskan dirinya sendiri dari genggaman Cas.

”He?” Si empunya bertanya-tanya. Senjatanya kini menempel kuat di kepala palu Tengoku. “tunggu, sejak kapan palu itu menyentuh Buzzshooter? Atau....”

Teroris Milenium menengadah, menatap senyum Takase yang merekah lebar.

”Aku ingat sesuatu mengenai kemampuanku ini,” Katanya, membentuk ‘V’ dengan telunjuk dan jari manis. “dua kutub magnet. South and North Pole.” tambahnya, bersamaan dengan meledaknya sebuah patung, jauh di belakang.

***

Si rambut putih terpaksa menahan si rambut hijau. Agar si mantel hijau dapat pergi, si rambut hijau harus dihentikan.

Sieg dan Pi-One mengamuk. Peluru bertemu dengan bilah, kecepatan dilawan kecepatan.

”Pelurumu habis, amatir?” Tanya Sieg, mengejek Pi-One yang sempat-sempatnya mengisi peluru selagi bersembunyi di balik pohon. Bersiul santai, tangan Pi-One mengintip keluar, jari tengahnya teracung. Ngamok, Sieg melesat maju, bersiap menebas tangan sang Ilmuwan.

Sebagai informasi kilat, kemampuan Pi-one adalah dapat ‘menumpang’ jalur suatu benda, dan meniru kecepatannya. Dengan kata lain, kalau dia menumpang jalur lesatan peluru, berarti?

Cepat-cepat Pi-one menembakkan pelurunya ke belakang, menumpang lajunya dan bergerak gesit ke kiri. Sampai disana, tanpa babibu peluru lain ditembakkan. Sieg membelah peluru yang datang, tapi tidak dengan pukulan berkecepatan peluru Pi-one, disusul tendangan. Speed Clones satu dibuat, menangkap kaki sang Ilmuwan. Yang kedua mengayunkan pedangnya ke leher Pi, yang langsung dihindari dengan melompat ke belakang.

Tapi, justru itu yang Sieg incar.

Second Target.”

After-image nomor tiga tercipta di belakang Pi-One, siap menghunus katana ke punggung target. Pi-one dengan panik menembakkan peluru secara berentet ke tiga arah, dengan laju kacau yang ditumpangi, ia tertarik kuat menjauh. Sol kets-nya pasti sangat panas sekarang - bergesekan hebat dengan aspal.

Sieg tak tinggal diam, Speed Clones baru dia buat, lalu ditendangnya kuat-kuat. Terdorong maju, kekuatan ekstra. Pi-one yang kehabisan peluru tak punya ide lain, merunduk dan menumbukkan sikunya kuat-kuat ke perut si klon. Yang langsung hilang, seakan-akan sang Ilmuwan baru saja menyikut udara kosong tanpa sebab.

”Haaah!!” Seru Sieg, kemudian jatuh berlutut. Lelah. Pi-one masih sanggup menjejakkan kedua kakinya meski gemetaran. Tangannya bertumpu di lutut. Napasnya putus-putus.

”Kamu bukan tandinganku, mas.” Kata Pi-one sombong, menyeringai bak kuda di film kartun.

Sieg tak langsung menjawab pertanyaan itu. Menarik nafas dalam-dalam, ia melompat. Mendarat di tanah, ia baru menghembuskan karbon dioksida, hasil ekskresi oksigen yang dia hirup barusan.

”Begini bos, kalau aku belum mati, artinya kamu belum menang.” Tutur Sieg, memutar-mutar katananya.

Pi-one tertawa pendek, lalu berkata; “Bagus, temani aku bereksperimen hingga akhir.” sambil tersenyum, dan mengisi ulang amunisi senjata api di tangan.

”Eksperimen apa, hah?” Tanya Sieg, merangsek maju.

”Tidak tau? Kau kan kelincinya.” Jawab Pi-one, menyeringai.

”Kalau begitu, jika eksperimenmu kugagalkan....turuti permintaanku.” Sieg ikut menyeringai.

”Terserah,” Pi-one maju, mengayunkan tangannya yang memegang pistol ke depan. “walau kau tahu itu mustahil!”

***

Sepertiga jam lebih Oneiros berkutat dengan pasukan bersenjata dari Tutelage. Domba-domba hitam yang berubah jadi asap saat hampir hancur badannya tak lantas menurunkan semangat bertarung orang-orang menyebalkan itu, apalagi Oneiros yang berubah menjadi bola-bola mata kecil saat terkena serangan.

”Ini semua salah Reverier! Onore Reverieeeeer!!!!”

Amarah memuncak membuat pupilnya berubah warna, jadi merah gelap. Serigala keluar dari sana, sungguhan. Hewan pemangsa domba itu justru dikeluarkan dari seorang penggembala. Walau, alih-alih memangsa domba-domba hitam yang ada, si serigala membantu Oneiros menyingkirkan para keroco yang mengusik tugasnya.

”S-sialan!! Aaaaargh!!!” Seorang siswa menjatuhkan sniper-nya. Serigala Oneiros menggigit bahunya dengan brutal. Menyerang dari yang paling berbahaya, si serigala berlarian melukai semua yang ia lewati, sekaligus menghindari hujan timah panas.

Jangan lupakan domba-domba hitam, mereka turut serta dalam pembalasan dendam sang majikan, melahap impian siswa-siswi yang sudah tak berkutik oleh si serigala.

”J-jangan....” Seorang siswi memohon lirih agar sang serigala mengampuni nyawanya. Liur hewan buas itu sudah membasahi dasinya, siap menerkam. “tidaaaaak!!”

”Stop!” kau mencuri hatiku, hatiku.

Seseorang berteriak. Dia adalah Lim. Oneiros menatapnya geram.

”Mau apa lagi?”

”Tidak ada.” Ucapnya, melambai-lambaikan tangan di udara. Seketika, puluhan warga yang dari tadi diungsikan terlihat batang hidungnya. Berduyun-duyun tiba, dengan berbagai macam alat penyelamatan seperti tandu dan kotak p3k. “cuma mau mengesalkanmu.”

”Grrrrh!”

Rupanya banyak yang tidak terlalu terpengaruh mimpi buruk. Cuma terkena di bagian-bagian seperti ketiak. Oneiros tak gentar, justru ia perintahkan domba-dombanya menyerbu lebih beringas, mempercepat efek mimpi buruk pada para ‘pemberontak’.

Sayang, kawanan itu harus melebur jadi asap lagi, dimandikan oleh taburan anak bedil dari selongsong senjata pasukan Tutelage. Membeli waktu.

”Sempat-sempatnya!!” Seru Oneiros.

Sementara kumpulan bulu hitam tersebut menyatu lagi, para warga lekas membopong mereka, pergi menjauhi area pertempuran. Memberi pertolongan pertama, mengajak bicara, atau memasukkannya ke dalam ambulans yang langsung tancap gas saat penuh.

”Nah, sekarang kau lawan aku.” Ucap Lim, membungkuk beri hormat. Setelah itu, ia memasang kuda-kuda, tersenyum karena mulai merasa nyaman dengan pakaian barunya. “majulah.”

Bukannya Oneiros yang maju, tapi serigalanya. Lim pun menarik keatas tangannya, menunggu momentum. Saat sudah cukup dekat, melompatlah ia ke samping, melayang rendah. Tangan yang dari tadi di udara ia turunkan dalam kecepatan tinggi.

Kepakan sayap pembelah lautan.”

Killing blow telak mengenai daerah punggung sang serigala. Suara tulang retak terdengar pelan disana, membuat si hewan buas tersungkur kesakitan.

”Dasar serigala!” Ucap Lim.

Onieiros makin lama makin merah matanya. Makin gelap. Kakinya pun maju, siap menghajar Lim. Tapi, kedua bahunya ditepuk. Balik kanan, ia mendapati Sieg dan Pi-one, penuh luka memar di wajah, sama-sama tersenyum jahat.

”Perlu kuambilkan Insto di supermarket?”

***

Pelajaran kita saat SD. Magnet memiliki dua kutub. Utara dan selatan. Jika kutub yang sama didekatkan, magnet saling tolak. Kalau kutub yang berbeda didekatkan, magnet saling tarik.

”Sial!” Castor mengumpat. Bersusah payah menghindari bebatuan yang dilemparkan ke arahnya.

Kemampuan lanjutan dari Tengoku menganut teori itu. South and North Pole. Dengan kemampuan ini, Takase bisa merubah semua benda pilihannya menjadi kutub utara atau selatan, lalu merubah target menjadi kutub yang berlawanan. Sehingga, segala jenis benda akan jadi peluru kejar instan.

Sang Teroris Milenium mulai kesakitan kena hantam beberapa kali, juga tanpa sadar pergelangan tangannya mulai lebur, jadi abu putih yang melayang-layang ditiup angin. Begitu juga Takase, yang pipinya terkikis perlahan, menjatuhkan duli-duli putih mengerikan. Tak habis akal, ia menyalakan Buzzcutter-nya lagi, menebas satu persatu puing yang mengenainya. Plus, berlari dengang pola selang-seling agar separuh batu yang terbang menabrak patung, gagal mengenai ia targetnya. Hingga habis semua.

”Segini saja!?” Tanya Castor, merubah lensa kacamatanya menjadi merah.

”Oh, menantang?” Takase langsung berlari maju. Tanpa ada niat bersembunyi atau menyerang tiba-tiba, terang-terangan menyusul jejak Castor. Yang disusul siap-siap menerjang, menancapkan bilah laser ke dada lawan.

Sayang, dalam jarak tiga meter, senjata andalan si Teroris berhasil dilucuti. Tertarik kuat kuat ke arah gagang palu Takase, sebagai kutub yang berlainan.

”Kuh-”

Tidak berhenti disitu, Takase menarik kacamata Castor. Kali-kali saja ia minus, jadi kabur pengelihatannya. Tapi dugaan si Tukang Palu keliru. Cuma untuk gaya, ternyata. Yah, setidaknya bisa ia pakaikan ke Izzy si domba keren namun manis.

Dan sekarang, giliran sepatu lukis Castor yang jadi kutub selatan. Dan kepala palu Tengoku kutub utaranya. Jarak tiga meter tertutup seketika. Dan langsung saja, Takase menumbukkan sikutnya ke dagu Castor. Telak.

”Urgh!” Teroris Milenium menumpahkan darah dari bibir. Terdorong beberapa langkah ke belakang, ia tertarik lagi oleh gaya magnetis. Takase memberinya tendangan di perut. Castor mengerang kesakitan, posisi mereka tertahan di sana.

”Boleh aku tau Mahakaryamu?”

Tiba-tiba, sebuah pertanyaan terlontar dari si Tukang Palu. Castor memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi. Sudah akhirnya.

”Kau benar ingin tahu?” Tanya Cas, tersenyum.

”Ya.....” Jawab Takase.

Setidaknya, jika ini lukisan terakhir, buatlah yang meriah.

Akan ia pakai ‘metode’ itu.

Castor mendongak, memperlihatkan sesuatu yang menyala di kerah jaketnya. Penghitung mundur. Netra Takase melebar.

”Meledakkan seluruh dunia beserta isinya.”

....000.00.08....
....000.00.07....

Tak ada waktu lagi. Takase merubah kutub sepatu Castor menjadi sama dengan kepala palunya, membuat sang Teroris Milenium terlempar ke belakang. Sementara ia sendiri lari tunggang langgang, merasa ajal akan menjemput kalau tidak ia angkat kakinya.

Beberapa saat kemudian, hanya terdengar bunyi ledakan saja.

***

Keputus-asaan yang melanda Amseraid, ataupun pulau tempat dua kerajaan besar berdiri, semuanya hilang begitu saja.

Kenapa tidak? Fenomena ‘abu putih’ mengerikan yang terjadi selama dua jam barusan berhenti. Bagian-bagian tubuh yang lebur jadi abu putih kembali seperti sedia kala. Tidak kurang suatu apapun.

Semua orang yang hampir bunuh diri saking frustasinya, kini menangis bahagia melihat orang-orang tersayang kembali ke bentuk semula. Manusia. Bukan arang bekas pakai.

Dan, Pierre termasuk salah satunya. Di dalam ambulans yang melaju kencang. Air mata bahagia menitik sedikit-sedikit dari tepian matanya. Mulutnya menganga tak percaya. Eileen sang sahabat berharga, utuh seperti sedia kala. Ketika gadis itu sadar, yang pertama kali keluar adalah nama sang lelaki.

”Pierre?”

Yang dipanggil serta merta memeluk gadis tersebut. Bak tak mau lepas, Pierre seakan mencekik badan Eileen. Menyandarkan dagu di bahunya, lantas menangis haru.

”Syukurlah! Syukurlah!”

Lim juga serupa. Seperti yang lain, tak kurang suatu apapun. Rencana ‘mengalihkan perhatian lalu kabur’ berhasil dengan gemilang. Walau ada dua psikopat yang menambah ramai penyelesaiannya, sih.

”Keadaan mereka bagaimana ya?”

***

”Kamu ini gimana!? Katanya Ilmuwan, pakai strategi begini saja tidak bisa!”

”Kamu tidak jelas dalam menuturkannya, sialan!”

”Bodoh! Bilang saja kamu tidak paham ide brilian ini!”

”Memahami rancangan yang ditulis di kertas bungkus kacang ini? Tidak akan, dasar monyet!!”

”Aku lebih suka diejek babi hutan. Tunggu, bukan itu masalahnya!!”

”Dasar penganut teori darwin!”

“Ejekan jenis apa barusan!?”

”DIAM!!!”

Oneiros menyentak dua lelaki yang tengah debat kusir itu. Mau ilmuwan mau orang biasa, sama-sama bodoh rupanya. Sedang dalam persembunyian malah teriak-teriak. Tololnya lagi, mereka bersembunyi di belakang banner bergambar John Cena. Pilihan konyol, seperti balita di balik tirai dalam petak umpet.

”Oh tidak, dia di sini!” Sieg berteriak, lalu menutup mulutnya.

”Pergi sana! Kami capek meladenimu. Masa’ waktu hancur bisa balik lagi badannya?” Tambah Pi-one.

”Eh.....gini.....”

”CURANG!!!” Sela Sieg dan Pi-one bersamaan.

”Mau mati ya!?”

”J-jangan!” Seru Pi-one.

”Kyaaaaaa!!!” Sieg sudah lari duluan.

”Jadi, kamu meninggalkan aku setelah semua yang kita lalui?” Tanya Pi-one, berlari mengejar Sieg.

”Tidak bisakah kau diam!?”

Jalan mereka terhadang oleh segerombolan domba hitam peliharaan Oneiros. Ada lusinan jumlahnya. Ditambah lagi, tenaga mereka sudah habis dipakai adu mulut tadi.

”Kamu sih, pilih jalan sembarangan!” Tuduh Pi-one.

”Baru salah sekali dimarahin, ngajak berantem?” Kata Sieg.

Tak berniat menunggu dua lelaki itu selesai bicara, kawanan hewan tersebut menerjang maju. Siap melahap impian untuk makan malam.

”Tidaaaaaak!!!!”

Arkian, sebuah pendar kehijauan selebar 10 meter memisahkan Sieg dan Pi-one dari domba-domba hitam itu. Si penyelamat menampakkan diri, dengan pakaian serba emas dan tombak Giruvedan di tangan. Mirabelle.

Sieg dan Pi-one bengong. Melihat kecantikan sang dewi perang, serta energi hijau pipih yang hampir memotong kaki.

”Sebaiknya kau pergi Oneiros,” Usul Mirabelle, menunjuk bola mata si Jubah Ungu dengan ujung tombak. “kau tahu, mustahil mengusir mereka dari sini.”

”Itu benar!” Timpal Huban, nongol dari balik badan Mirabelle. “pergi Oneiros, pergi!”

Didesak oleh dua ‘kawan’-nya, Oneiros mengalah. Matanya yang merah gelap berubah normal. Dengan satu ayunan penangkap mimpi, para domba hitam berbaris di belakangnya.

”Ini bukan yang terakhir dariku. Ingat itu.”

Oneiros putar haluan, berjalan pergi agak cepat.

”Oneiros nakal!” Seru Huban, menimpuknya dengan batu beraura pelangi.

”Adaw! Huban yang nakal!” Ucap Oneiros, sebelum memasuki portal.

”Terima kasih, dewi.....” Ucap Pi-one dengan mata berbinar-binar. Berlutut meminta berkah.

”Aku akan menyembahmu, dan jadi umat paling setia.” Timpal Sieg, ikut-ikutan.

”Iya....iya....” Mirabelle mengelus-elus rambut kedua lelaki menyedihkan itu, dengan pangkal tombak Giruvedan. “mana Takase?” Mirabelle bertanya, mengerling ke kanan dan ke kiri mencari sosok sang Tukang Palu.

Sampai Izzy si domba masuk ke pandangan.

”Ah, dombaku!” Ucap Huban, melambaikan tangannya. Tapi, lambaiannya melemah begitu mengetahui apa yang dombanya bawa di punggung. Manusia gosong. Harfiah. Hangus. Percikan api kecil-kecil masih berkobar di ujung mantel.

”T-takkun!?” Sieg berseru kaget.

”Tenanglah. Dia akan kusembuhkan.” Ujar Mirabelle.

Sang Dewi Perang mendekati Takase, mematikan api-api kecil di mantelnya. Lalu, ia membalik badannya. Kulit dan rambutnya hitam semua. Ibarat karakter dalam game, ia belum di-unlock. Mirabelle menaruh telapak tangannya di dada kiri sang Reverier. ‘Masih berdetak’, gumamnya.

”Konservasi.”

Penyembuhan magis pun dimulai. Segala yang ada pada Takase, mulai badan hingga pakaian, semuanya diperbaiki. Penyembuhan. Bahkan kulitnya yang kotor entah mengapa jadi ikut bersih, bagai dimandikan tanpa menggunakan air.

”Homina homina homina,” Sieg dan Pi-one komat-kamit.

Dan akhirnya, si Tukang Palu ‘hidup’ kembali. Sadar dan segar. Sehat wal afiat. Bangkit, ia mengucek-ucek mata seakan-akan baru bangun tidur. Lalu celingukan melihat orang-orang di sekitarnya.

”Lho, aku masih hidup?” Ucapnya, mengusap dada kiri. “masih berdetak, asyik!” Ucapnya, lalu berdoa. Mengucap syukur pada yang kuasa.

”Selamat, anda sudah memenangkan pertandingan di babak ini!” Kata Huban, menyodok-nyodok perut Takase dengan payung permennya.

”Terima kasih, terima kasih. Aku belum bisa tersanjung.” Ucap Takase, bergurau.

”Dengan begini, kau semakin dekat dengan [Mahakarya]mu.” Ujar Mirabelle, masih dengan ekspresi kaku.

”Ah, sebenarnya aku menemukan kecocokan dengan lawanku di ronde ini.” Ucap Takase, turun dari badan Izzy. Menyandarkan palunya di bahu, ia tersenyum. “kami sama-sama ingin menghancurkan sesuatu.”

”Terserah saja. Tapi kukira yang ingin kamu hancurkan adalah hal jahat, bukan begitu?” Tanya Mirabelle. Senyum tipis muncul di wajahnya.

”Haha, benar.” Ucap Takase. Walau sebenarnya yang ingin ia hancurkan adalah rekor makan- bukan, tapi Puzzle. Benda itu akan ia hancurkan, mendamaikan semestanya.

”Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada bingkai mimpi lawan yang kalah!?” Tanya Takase.

”Lihat sendiri, kan bisa.” Kata Huban ketus.

Takase, Sieg, serta Pi-one balik badan. Memandang kondisi kota Amseraid, yang....

”O-o-ow....” Sieg panik.


[2 - White Ash (End)]

.
.
.
.
.
.
[Yoake no Orange]

Di sebuah kastil yang bermandikan cahaya bulan. Seorang lelaki di menara tertinggi tersenyum. Ia memanglah seorang penikmat karya seni. Dan, dua lukisan yang muncul tiba-tiba ini mengejutkannya.

”Gesu No Kiwami Otome?”

Bahkan orang seperti dirinya pun tahu, itu nama band dari negara matahari terbit yang drummernya cantik sekali. Kenapa pula lukisan bertema naga dan persilatan ini dinamai demikian?

Sementara lukisan satunya, judulnya ‘Hello, Sleepwalkers’. Salah satu lagu mereka yang berjudul hyakkiyakou, memiliki banyak arti. Seperti, ‘veritable pandemonium’, atau ‘Cluster with monster’.

Anehnya, ada sosok putih. Bersurai hitam. Bermata merah. Yang tidak lain adalah dirinya sendiri.

”Kenapa bisa aku disini, wahai pelukis?” Gumam Carda Ruler. ‘Rencana besar’nya bahkan ditorehkan dengan detil di atas kanvas.

”Jadi, apa berbicara sendiri adalah hobimu?”

Sontak, terdengar suara seseorang. Mendengar suara yang sama sekali asing baginya, Carda Ruler membalik badannya. Di sana, ia mendapati seorang wanita. Berpakaian serba rapi mengenakan setelan jas hitam, ia membiarkan rambut hijau terangnya tergerai. Googles merah terpasang di kepala, siap diturunkan sedikit guna melindungi mata. Carda benar-benar tak mengenalnya.

”Lancang sekali. Ada keperluan apa, nona?” Tanya Carda Ruler, mencoba sopan.

Gadis itu menjawab dengan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Puzzle hijau. Permata serupa zamrud tersebut merubah ekspresi Carda. Bukan karena bendanya, tapi karena tangan yang memegangnya.

”Hanya ingin membawa si kecil ini pergi.”

Carda menyeringai. “Boleh saja. Tapi, oh. Aku lupa aku membutuhkannya. Bisa kau letakkan di meja itu?”

Terdapat ancaman besar di balik kata-kata yang tenang. Walau si wanita tidak gentar dibuatnya, justru meja yang ditunjuk itu ia balik. Dengan menarik paksa senjata besar di bawahnya. Mesin peniup.

”Kuanggap itu tidak.” Rapalan sihir hitam sudah siap Carda berikan. Ia lantas melesat maju.

”Sebelumnya aku ingin memberi tahu,” Si wanita membenarkan Googles-nya, mengangkat mesin peniup di tangan tinggi-tinggi. “resletingmu belum kau tutup.”

---


>Cerita sebelumnya :
>Cerita selanjutnya : -

19 komentar:

  1. BWAHAHAHAHA!! A-aduh.. fingggang ane serius lepas lagi baca entry ente x'D
    Komedinya tetap kental walau tema ronde ini sudah memasuki masa tegang(?)

    Yah, walau ane tau lawan ente WO, ane tetap pengen nempel review asal ane.
    ...mungkin bukan review namanya.

    Pinter lah selipin narasi abu2 buat komedi di moment serius. Ane suka.

    Mungkin cuma itu review dari ane.
    Ga perlu di voting ._. Ente dah menang kok ronde ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks udah comment. Walau commentnya cuma bahas guyonannya. Berasa yang saya tulis ini seluruhnya komedi. ;-;

      Hapus
    2. Punten ane waktu komen ini kepepet billing :'3

      Sebenernya ane ga terlalu bagus berkomentar. Tapi ane suka entry khas ente. Serius, tapi melucu, dan sebaliknya(?), tapi balance(?)

      Ru: "...ngomong apa lagi ni anak..."

      Ga semua komedi kok yg ane liat xD
      Tapi emang ane bingung mau komentar apa lagi. Semua battle oke, story oke, tidak ada keluhan.

      Hapus
  2. Enak ya bawa" sub-OC asing kayak Lim gini, dan kalo mau dipulangin tinggal buka portal doang. Seno kasian amat, dari entri lalu nasibnya naas jadi figuran yang ga lolos

    Part 2 cerita ini rasanya lompat ke sesuatu yang ga nyambung buat saya. Apa itu kerajaan Tutelage dan Conqueror? Siapa itu Regis, Shinmaru, dll? Puzzle warna-warni maksudnya apa? Akhirnya saya bacanya skip" dikit meski nangkep ada kaitannya sama dunia asal Takase

    Pierre sama Eileen ini siapa ya? Mereka kayak disorot tapi rasanya ga penting" amat, dan asalnya dari dunia Castor. Apa bakal jadi sub-OC kayak Lim?

    Asik juga ngeliat entri ini konsisten bikin unsur komedi yang kentel, terutama banter di tiap dialognya yang kadang ngeparodiin iklan atau sesuatu. Battlenya lancar diikutin, sayang Castor bunuh diri kayak Deidara lawan Itachi. Bagian setelahnya yang paling saya suka, pas Pi-One sama Sieg ga berhenti" kagum sama Mirabelle sementara si Dewi Perang adem ayem aja nanggepinnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ng, memang semesta asalnya Takase settingnya gitu. Ada dua kerajaan yang perang terus rebutan Puzzle warna-warninya. Sementara mahakarya si tukang palu mau ngehancurin itu. ._.)b
      Puzzle itu serupa dragon ball, tapi cara kerjanya beda. Sneak peak aja. /slap

      Kemungkinan besar, iya. Pierre sama Eileen ini cameo spesial sebenarnya. Haha. /slap

      Hapus
  3. Karena ini entri pemenang tunggal, harusnya saya skip aja ya? /plak

    Becanda. Ga bisa gitu juga sih wkwkwkwk.

    Ngomong-ngomong, saya ngiri sama kamu, serius.

    Seperti yang saya pernah singgung tempo hari di chat. Kamu ini gendeng mampus! Bikin entri serius tapi masih ada gendengnya, mampuuuuuuusss!!

    Dan komedinya walau saya bilang receh, tapi humor-humor receh itu penempatannya pas dan deskripsinya juga gak muluk-muluk. Meski saya tahu cerita ini sebenarnya jadi turning point Takase, komedinya mengimbangi kesuraman yang seharusnya jadi fokus suasana yang mau dibawa.

    Ah, sial, mampus. Padahal pengen ngebawa Entri mbah dengan suasana seperti ini. Tapi saya gagal ;-;

    Kayaknya segitu aja. Saya benci kamu karena bisa lebih gendeng seriusnya uwu)

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi kamu benci aku? Sama kayak dia yang kusuka dong :')
      - Nakano

      Saya udah baca entrinya Indomejiq Ceban lho, dan ngakak pas baca. xD
      Yah, lain kali coba kamu terapin guyonannya robot sholeh itu ke entri mbah amut (kalau lolos) ronde depan. Belum baca sampai selesai, sih. Belum tentu juga aku vote kamu. /slap

      Terima kasih atas komentarnya .2.

      Hapus
    2. Subhanallah ada yang baca ceritanya Sodiq :'0

      Syukurlah kalau tertawa habis baca entri Sodiq, kalau begitu saya sukses ngelawak dengan serius uwu)

      mungkin akan dicoba formula Sodiq ke ranah Mbah Amut yang urgensi ceritanya lebih penting www

      Hapus
  4. Halo, Takajow~ elu lagi, elu lagi deh. Kagak bosen bosen ya ketemu terus. Wajib komen di prelim, terus se grup di R1 lol


    Entrinya kali ini mirip-mirip sama entri saya yang ngegarap dunia asalnya alias worldbuilding lebih dalem lagi, dengan hadirnya Shinmaruuu dan Regiiiss belum juga Pi-One dan lainnya wkwkwk

    Penarasiannya masih oke juga kayak biasanya, ciri khas komedi dengan kalimat-kalimat pendeknya tuh yang bikin geregetan, terutama "Beli pulsa sekalian, deh!" nya Sieg :D

    Cuma yang agak ngeganjel itu kok Takase dapet sabuk merahnya kapan yah? Apa mungkin terjadi secara offscreen atau ane yang kurang nangkep?


    Yah, karena Castor WO, maka saya VOTE Takajow. terpaksa vote sih sebenarnya wkwkwk /digencetpalu


    Mampir di lapak Marikh yak, sama seperti prelim dan R1. Selamat melenggang ke 16 besar~~ :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Woya, tambahan. Kemampuan authornya menganalisa OC lawan udah meningkat. Direfleksikan dengan Castor yang ngeledakin bom yang cuma 'puf' kecil doang, sama niatnya buat kabur. Salut!

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Thanks for commenting(?)

      Itu dia pungut di lantai pas R1. Setelah Chen ditindih patung naga. Kamu skimming, sih. /slap

      Oke, ntar mampir <(")

      Hapus
    4. Lah, kelupaan kalik, jujur pas di scene itu skimming beneran. Coba aye cek

      -Tombakpatah

      Hapus
    5. Wah iya. Ketutupan scene Seno sang figuran, rupanya, wkwkwk

      -tombakpatah

      Hapus
    6. Hai, Achmad Rian <(") /slap/

      Sebenarnya, kalau ada plot yang memungkinkan Revivenya char yang kalah WO, mungkin Seno bisa muncul menggebrak plot(?)

      Hapus
    7. Wew, hampir kelupaan. Formalitas aja, sih, sebenarnya. tapi...

      Dewa Arak Kolong Langit melempar 'Congyang' pada Takase Kojou!

      +1 vote buat Harsh Hammerman!

      Hapus
  5. Pssst ino akunnya orang wkwkw

    BalasHapus
  6. GHOUL: “Hay, Takase! Pasti belom kenal kan ama aku karena baru mampir kali ini ke entrimu. Aku Ghoul dari The Ghastly! Kami datang mau meramaikan koment. Silakan kalo mo ngamuk, Mum! Bebaskan dirimu!”


    @_@:
    “Yah, baru kali ini aku dan babyku ke sini. Hum, di entri ini masih banyak typo bersarang…

    Dialog taqnya juga masi salah2. Ucap Tanya bantah dll, seharusnya setelah dialog, kata2 tersebut diawali huruf kecil.

    Puzzle, Jeans, Reverier, Game, tulisannya dimiringkan. Control I…

    ‘Sempat-sempatnya’, batin Sieg. (lah, coba tebak apa yang salah dari kalimat ini!).

    Ubah bukan rubah.
    Napas bukan nafas.

    ”Iya,” Takase membalik badannya, menimbulkan suara gesekan antara celana jeans dan bulu Izzy yang enak didengar telinga. “begini, kami para Reveriers kehilangan inspirasi… (ada kekurangan dikit di kalimat ini. Apa hayo?”

    Regis—ketua organisasi siswa intra (em dash dipake bukan koma).

    ‘Pangeran’ sapaan, jadi dipake awalan huruf besar.

    Alurnya masih agak membosankan karena datarnya kelamaan, ya meski ada gokil2 animenya juga sih, tapi agak garing…

    So, vote kami jatuh pada…”


    GHOUL: “Mum, stop! Sekarang kita lanjut ngamuk ke entri tetangga ajah. Sepertinya di tetangga perlawanannya lebih seru…”

    :=(o

    BalasHapus
    Balasan
    1. No need to vote, gak ada lawannya <(")

      hai, baru ketemu nih(?)

      ok, entar saya makan KBBI. <(")

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.