Selasa, 20 September 2016

[ROUND 2] 12 - RU ASHIATA | GADIS TANPA MIMPI


oleh : N.V

----


Catatan dari penulis:
Warna latar belakang yang sering berganti-ganti di entry ini dapat menyebabkan ketidak nyamanan membaca.Bacalah di ruang yang berintesitas cahaya yang tidak terlalu terang ataupun gelap.Dapat juga mensunting cahaya yang tepat pada layar ponsel / monitor kalian demi kenyamanan membaca.
Jagalah kesehatan mata kalian ya? ;)

Entry yang terhubung:
- Ru Ashiata     : CS | Prelim | R1
- Mbah Amut    : CS | Prelim |R1


[ Bab lll – Gadis Tanpa Mimpi ]


[ Chapter 1 ]

"Hei Kehendak, kau senang bermain ya?"


Cahaya gemerlapan lampu gedung-gedung berasitektur kuno di kota modern Hamburg, menghiasi gelapnya langit suatu bingkai mimpi yang selalu gelap tanpa adanya sinar bulan ataupun bintang. Namun keheningan kota ini terganggu oleh suara sirine yang terus bersahutan menelusuri jalan raya.

Empat buah motor dengan tulisan "POLIZEI" tercetak jelas di badan motor, memicu kecepatan paling cepat oleh pengendara berseragam lengkap. Diiringi suara sirine yang dinyalakan keras pada tiap motor tersebut, menandakan mereka berempat sedang mengadakan pengejaran.

Namun aksi pengejaran ini mungkin akan dikatakan aneh. Bila biasanya polisi mengejar penjahat yang sama-sama menaiki kendaraan bermotor seperti mereka, kali ini target yang mereka kejar adalah, domba yang ditunggangi wanita berpakaian serba hitam.

"Setan. Setan. Setan! Lebih cepat!"
"Mbaaa! Berhenti menarik buluku bhaaa!"
"Mereka tepat dibelakang kita tau! Kenapa juga kau membuka portal di tempat yang banyak orang?!"
"Aku sendiri tidak tahu akan ada banyak orang di sana bhaaa!"

Kembalinya Ru dari panggilan para panitia alam mimpi setelah menjalani misi di ronde sebelumnya, gadis ini dibuat kaget dengan keadaan bingkai mimpinya yang berubah drastis semenjak ditinggal pergi. Dari keadaan penghuninya hanya ada dirinya dan adiknya, sekarang para penduduk kota Hamburg sudah berada di bingkai mimpinya.

Para penduduk kota yang masih dibuat kebingungan dengan keadaan mereka sekarang langsung menatap curiga pada si wanita berpakaian gelap ini. Terutama karena muncul tiba-tiba dari lubang portal.

Sialnya Ru malah lari karena panik, daripada diintrogasi pada penduduk dan dianggap biang keladi nasib mereka yang berada bingkai mimpinya. Dalam waktu singkat, wanita ini menjadi buronan di bingkai mimpinya sendiri.

'Aaaaaa! Terkutuk kau Kehendak!!'


┌ ─
│        
Beberapa jam sebelum semua bingkai mimpi para reverier berubah, sudah waktunya para panitia mengumpulkan semua peserta turnamen mengerikan dari Sang Kehendak.

"Rambut oli. Kura-kura. Kuso jiji. Jones tua. Fickfehler. Pomey granat. Kurma asem. Dummbatz. Tukang pukul SM. Verdammte. Homofuerst. ..."

Hinaan beruntun tanpa jeda, dari semua bahasa yang diketahuinya terus dilontarkan dari mulut cerewet Ru.Sebagai bentuk protesnya yang lembut pada si pria surai hitam bergaya klimis yang sekarang menjadi lawan bicara gadis ini, memutar bola matanya di balik lensa kacamata hitamnya.

Ru meminta kepada sang kurator Museum Semesta untuk bicara empat mata untuk menanyakan banyak hal dan mendiskusikan sesuatu saat baru dipanggil kembali ke Museum Semesta. Tapi melihat hasilnya Ru melontarkan hinaan beruntun pada Zainurma, sepertinya salah satu negosiasinya tidak berjalan mulus.

Sampai pada panggilan jelek pada Zainurma yang kesekian dari Ru berhenti, suasana menjadi hening di koridor tempat mereka berdiri.

"Sudah selesai kau mengejekku?"

"Sebenarnya masih banyak. Aku belum menyebutkan panggilanmu dari Latin, Greek, Korea, dan—"

Sang kurator mendesah malas. "Sampai ratusan kali kau menghinaku, aku tidak mau menyampaikannya pada-Nya. Beliau pun pasti akan mengabaikan permintaan anehmu itu."

"Sebenarnya kalau ditotalkan bisa sampai seribu panggilan sih."

Si gadis hitam cekikikan, setelah kurator hanya kembali mendesah dengan peserta yang ada di depannya.

"Aku tidak ada waktu untuk perbincangan bodoh yang tidak akan pernah berhenti ini. Katakan saja apa yang ingin ditanyakan, sampai membuatku terlambat memanggil yang lain." Zainurma menatap Ru malas. Tentu yang dia maksud yang lain adalah reverier selain yang ada di hadapannya sekarang.

"Sebenarnya aku ingin protes, kenapa orang sepertiku kau pilih menjadi peserta turnamen ini." Ru mengeluh dibalik senyum yang terus ditunjukannya. "Aku tidak seperti yang lain yang bisa pingsan kapan saja. Begitu lemah. Tidak ada istimewanya."

"Kenapa kau tidak tanyakan pada iblis yang ada di tubuhmu?" Zainurma menyela. "Awalnya kukira kau hanya wanita murahan biasa yang gemar berjudi. Tapi setelah mengintip kemampuanmu.. yah, tidak kukira kau bisa sampai sejauh ini dengan mahakarya-mu yang pas-pasan itu."

Senyum si gadis hitam ini turun dengan tatapan tak suka. Bukan karena dihina wanita murahan, karena hinaan itu sudah biasa baginya. Tapi kalimat sebelumnya dari sang kurator itu penyebabnya.

"Bagaimana kau tahu soal iblis itu?"

"Oh, jangan tanya kenapa aku bisa mengetahui hal itu. Aku tahu semua hal yang dimiliki semua peserta turnamen ini. Bahkan termasuk kekuatan dan kelemahannya. Dan jangan harap aku menjawab bila kau ingin mencontek data peserta lain."

'Semuanya…'

Gadis ini mengepal kuat tangannya, berusaha untuk tidak terpancing ucapan sang kurator. Rahasia yang tidak pernah diakuinya selama ini, begitu saja terbongkar oleh pria menyebalkan ini.

"Baik, lupakan itu tadi."

Ru mendesah pasrah. Sebaiknya tidak diungkit lagi lebih jauh, atau pancingan dari sang kurator semakin menjadi-jadi. Setidaknya, jangan sampai Zainurma membahas soal masa lalu.

"Kalau tidak ada yang ingin ditanyakan, aku akan pergi sekarang." tangan Zainurma terangkat, bersiap menjentrikan jarinya.

"Satu pertanyaan." Ru mengacungkan telunjuknya, menunda kepergian lawan bicaranya."Apa yang terjadi dengan bingkai mimpi dan isinya kalau aku mati?Apakah akan hancur, atau kembali ke semesta-ku berasal?"

Pertanyaan tersebut membuat senyum penuh arti sang kurator terpasang semakin lebar.

"Itu tidak akan kujawab sekarang, karena pertanyaan itu akan kuberitahu setelah peserta yang lain berkumpul. "Sang kurator menyeringai licik, lebih licik daripada yang selalu si gadis hitam pasang. Ru merasa risih melihat espresi Zainurma yang terlihat sebagai target tinju baginya.

"Silahkan kalau kamu ingin melihat-lihat para reverier payah yang sudah gugur, telusuri saja lorong ini lalu belok kanan. Dan jangan berpikir untuk mencurinya. Mrs. Plege— ah, bukan. Mrs. Ashiata."

Cahaya keemasan menyelimuti si pria bersurai klimis saat jarinya dijentrikan, sebelum akhirnya Zainurma menghilang meninggalkan Ru sendirian.

'…kenapa aku tidak tanya bagaimana memukul wajahnya tanpa abstraksi tadi ya?'

Menunggu semua reverier dipanggil, Ru tidak dapat melakukan apa-apa selain melihat-lihat para sosok reverier yang gugur dikatakan Zainurma sebelumnya, setidaknya untuk membuang waktu.

Sekitar tiga puluhan patung kerdil berjajar rapi dengan pose yang bervariasi. Bahkan ada satu patung yang tidak asing rupa dan penampilannya, tertangkap oleh mata gadis ini.Terutama topi koboy yang begitu mencolok di kepala patung dihadapan Ru sekarang.

'Arca..' sepasang manik hitamnya menatap tulisan yang menunjukan nama patung tersebut. 'Jangan bilang kau gagal karena aku menelanjangimu waktu itu.'

Ru berusaha keras untuk tidak tertawa dihadapan para reverier yang sudah menjadi benda mati ini dengan membungkam keras mulutnya, sampai rasa geli tersebut reda dengan sendirinya.

Namun dibalik hal yang seharusnya tidak ditertawakan tadi, ia tidak mengerti kenapa pria pemain kartuyang sama dengannya gagal. Padahal ia pikir Arca berhasil menjalani tugas di pulau Gaegator.

Oh, ya. Dia hampir lupa kalau nasib para pemimpi ditentukan dari mahakarya yang dihasilkan dari tugasnya. Mahakarya apa yang sebenarnya diinginkan Si Patung Otak?

Keheningan diantara patung-patung yang pernah hidup ini, kembali menjadi renungan sang gadis hitam.

Zainurma mungkin belum menjawab pertanyaannya. Tapi sebagai reverier yang sudah sejauh ini mengikuti turnamen alam mimpi ini, Ru sudah dapat menduga apa yang akan terjadi bila ia gagal.

Kalau boleh jujur, ia tidak peduli kalau dirinya gagal ataupun berhasil dalam pertandingan ini. Kalau pun Ru dapat terbangun dari ujian mimpi ini, ia hanya akan kembali menjalani kehidupannya tanpa arti bersama insulin.

Sayangnya Luna, hanya satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tetapi penyakitnya merupakan penghambat serius, sementara dia mencoba menyembunyikannya dari keluarga satu-satunya.

'Vergib mir (maafkan aku) … Luna…'

Ru mengepalkan keras tangannya, atas kata maaf hanya bisa dipendam olehnya.Diucapkan pun tidak ada gunanya, karena semuanya sudah terjadi.

Padahal dia sudah berjanji tidak akan melibatkan siapapun lagi dengan masalah seperti ini. Payah.

"Ru?"

Sahutan suara laki-laki yang berhasil memecah lamunannya, membuat Ru reflek menoleh ke arah orang yang memanggil namanya.Didapati sosok pria bersurai hitam dibelah tengah simetris, berdiri menata dirinya dengan mata kelabunya yang terlihat terbuka lebar.

"Kau mencari mahakaryamu juga?" Ru tersenyum ramah menyambut hangat kehadiran laki-laki tersebut, tidak lain adalah Sheraga. "Sayangnya kata pria klimis disini hanya ada reverier yang sudah dijadikan—"

"Kau masih hidup?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Sheraga sukses menghentikan ucapan gadis ini. Karena mungkin terlalu senang reverier yang dapat Ru percayai tidak bernasib sama dengan patung dihadapannya, sampai si gadis hitam baru menyadari bagaimana ketakutannya espresi yang dipasang pria ini padanya.

Ru hanya merespon dengan cibiran.

"…kau kesambet apa ya, sampai si wajah datar sepertimu melawak seperti tadi? Oh, apa kau baru kerasukan hantu, atau si botak itu sempat mencuci otakmu sebelum aku membunuhnya?"

"Tunggu..membunuh Baron? Bukannya sebelum itu kau..sudah…" dalam perasaan bingung, suara Sheraga perlahan mengecil. Hingga pria ini memutuskan tidak melanjutkan ucapannya.

Bagaimana menjelaskannya, kalau sebenarnya sosok wanita dihadapannya sudah terbunuh tertembak anak panah rekannya, Nadav saat di pulau Gaegator? Bahkan Sheraga ingat sekali, bagaimana Ru hampir membunuhnya dengan menenggelamkannya bersama ke dasar laut.

Tapi nyatanya sekarang, si wanita sundal sedang berdiri tepat dihadapannya, bagaikan semua itu hanya bagian dari mimpi buruk.

"Hei haloooo? Kau ga kesambet kan lovely boy?"

Sheraga tersentak. Lamunan dipecahkan oleh kibasan cepat tangan Ru yang sudah ada didepan wajahnya. Bahkan ia tidak sadar kalau si wanita sundal sudah berdiri tepat didepannya, menatap dirinya dalam jarak yang cukup dekat.

Pria ini pun mendesah. Sepertinya memang harus diceritakan keanehan ini.

……

"Bwahahahahahaha!! A-aku? Mati? Sambil memelukmu kau bilang? Aha-AHAHAHAHA!! PINGGANGKU MENGGELINDING SETAAAN!!"

Ru melepas tawanyayang cukup keras, bahkan air matanya sempat tertahan hangat di kedua sudut matanya. Perut gadis ini menggelitik hebat dengan cerita yang berbeda dengan Sheraga di pulau Gaegator.

Disaat Ru asik tertawa, diabaikannya tiga puluh reverier lainnya yang sedang meliriknya hanya karena tawanya yang keras, saat Mirabelle dan Zainurma menggiring mereka semua yang lolos menelusuri lorong yang dindingnya penuh ukiran unik.

Para panitia mencoba mengabaikan tawa gila dari sosok serba hitam dibelakang mereka. Dan Sheraga harus menutup mukanya karena malu.

Cukup mengejutkan awalnya saat mendengarnya, karena kejadian yang diceritaka Sheraga berbeda sekali dengan apa yang dialami Ru. Mungkin reverier yang lain mengalami hal yang serupa dengan mereka berdua. Tapi mungkin hanya Ru yang merespon kisah kematiannya dengan tawa.

"Ahaha… aku masih tidak percaya dengan ceritamu.. Bahkan'aku' diceritamu genit pada Orim? Serius?" Ru menyeka air matanya yang berlinang dengan kain sarung tangan hitamnya.Perutnya masih terasa menggelitik geli, tapi rasanya sudah cukup tertawanya seperti orang gila. "Ahaha.. Aduh.. pinggangku.."

"Sudah puas tertawanya?" Sheraga hanya menatap sinis si wanita sundal yang akhirnya berhenti tertawa. Bahkan ia masih tidak mengerti apa yang lucu dengan ceritanya.

"Oh, apa kau ingin aku tertawa lagi setelah kuceritakan versi-ku?"
"…lebih baik tidak usah."
"Oh ayolah~Kau tidak mati dalam ceritaku. Hanya—"
"Sudah kubilang tidak."

Kali ini Ru hanya cekikikan dengan respon dari Sheraga disebelahnya. Setidaknya pria ini tidak akan tahu, bagaimana dia diperlakukan cukup konyol oleh si gadis hitam ini.

Karena terlalu asik berbincang, mereka baru menyadari sudah dibawa ke tempat lain ke tempat yang bukan lagi sebuah pemandangan museum semesta yang mereka dan reverier lainnya tahu.

Oh, hampir saja Ru lupa, untuk merekam semua yang akan disampaikan para panitia dengan smartphonenya. Setidaknya Mirabelle tidak melemparkan tombak cahayanya lagi sampai menyapu bersih para peserta, seperti terakhir kali sang dewi perang melakukannya.

Tidak lupa juga untuk memfokuskan videonya ke arah Zainurma, selama sang kurator menyampaikan apa yang akan dikatakannya kali ini. Bukan, Ru bukannya naksir dengan si pria klimis. Tapi agar adiknya semakin ingin menghacar wajah pria ini saat menonton rekamannya bila kembali ke bingkai mimpinya.

Perlahan sudut bibir gadis ini kembali naik, memikirkan keanehan apa lagi yang akan dialaminya nanti di ronde berikutnya.

Mungkin daripada mengeluh terus, lebih baik sebisa mungkin mencoba menikmati turnamen ini. Seberapa aneh ataupun bahaya yang akan dialaminya nanti, bahkan beresiko kehilangan segalanya yang dimiliki, ini semua …

Hanya bagian kecil dari permainan Sang Kehendak.
─ ┘


Pengejaran empat motor polisi tersebut terhenti, ketika target mereka si wanita penunggang domba menghilang begitu saja, saat pemandangan pusat danau Alster menyambut mereka di ujung bingkai mimpi kota Hamburg dibagian utara.

Pantulan permukaan danau tersebut biasanya menjadi pusat perhatian pariwisata mancanegara. Namun di bingkai mimpi ini, danau Alster terlihat seperti kolam tinta raksasa. Begitu hitam pekat menggambarkan pantulan langit kota ini.

Isyarat dari pemimpin tim pengejar diberikan pada ketiga polisi lainnya untuk berpencar dengan kendaraan mereka, untuk melanjutkan pencarian wanita si penunggang domba. Bagaimanapun, wanita tersebut satu-satunya petunjuk, atas keanehan yang terjadi pada kota mereka.

Suara sirine perlahan terdengar menjauh, hingga membuat danau Alster kembali hening.

"…mereka pergi?"
"Bhaa—"
"Ssst! Nanti ada yang dengar."

Suara menggema terdengar tepat di bawah lekungan batu bata jembatan Lombard, jembatan besar yang menjadi batas sungai besar dan danau Alster.

Bila dilihat dari bawah jembatan, Ru dan dombanya terlihat berdiri terbalik di langit-langit kolong jembatan, dengan bantuan sulur-sulur hitam yang mengikat kaki mereka tentunya.

Setidaknya mereka bersyukur sudah bebas dari pengejaran para polisi, untuk sementara.Tetapi akibat pelariannya tadi, Ru terlalu jauh dari distrik gudang terletak di sisi lain bingkai mimpinya, dimana adiknya Luna mungkin sedang menunggu kedatangannya.

"Apa kau masih kuat mengantarku pulang?" Ru berbisik pada si domba. Sayangnya permintaannya ditolak dengan gelengan kepala si mahluk berbulu lebat tersebut.

Ru menghela nafas, dengan tatapan memelas sepasang mata coklat si domba padanya.Walaupun Ru mengagumi kemampuan berlari domba ini melebihi kuda balap, kasihan juga dia pada si domba ini setelah berlari kesana kemari membawa beban berat seperti dirinya.Apalagi sambil dikejar kendaraan bermotor yang dipicu dengan kecepatan tinggi.

"Hah..bagaimana caranya kembali kalau begini? Harusnya waktu itu kau setuju saat aku ingin mencat bulumu jadi hitam." Ru menghela nafas setelah mengeluh.

"Bhaaa?!" Embikan keras menggema di kolong jembatan. "Aku sudah bilang tidak mau buluku dicat hitam! Nanti Ratu Huban membenciku karena rupaku sama dengan domba-domba Oneiros bhaaa!!"

Seperti yang sudah Ru duga, domba ini akan protes. "Kalau kau hitam, aku dapat mengajarkanmu teknik berkamuflase dalam kegelapan. Kau tahu sendiri bingkai mimpi ini gelap. Jadi—"

"Aku tetap tidak mauu!! Demi apapun aku tidak mau menjadi domba hitaam!" si domba terus mengembik merengek seperti anak kecil. Terlihat imut, namun menyebalkan juga.

"Ya ampun.." Ru menepuk pelan keningnya. "Kan itu hanya warna bul—"

Ucapannya terpotong, saat benda di dalam saku blazernya bergetar disertai suara meongan pelan.

'Benar juga!' gadis ini langsung menyeringai semringah. Kenapa tidak terpikirkan sejak awal untuk menghubungi adiknya lewat telepon? Dan ringtone anak kucing dari ponselnya yang berbunyi sekarang pasti dari Luna.

Namun baru saja Ru akan mengeluarkan ponselnya, keduanya dikagetkan oleh suara gemuruh yang sangat keras disertai guncangan hebat. Ponsel di genggaman tangan Ru terlepas begitu saja, meluncur jatuh ke permukaan air dibawah jembatan.

"FICK!!"

***

'Kemana kau…?' desah resah Luna menatap gemerlapan lampu-lampu pemandangan kota dari balik jendela kamar apartemen yang dibiarkan terbuka.

Luna tetap berada di apartemen Ru semenjak ditinggal pergi karena panggilan dari panitia. Namun gadis ini mulai cemas karena kakaknya tidak kunjung datang.

Tidak hanya kemunculan para penduduk Hamburg dan meluasnya area kota ini yang mengagetkan gadis ini. Kemunculan tiba-tiba dua buah lukisan yang melayang di tengah ruangan apartemen, sempat membuat Luna terjatuh dari sofa.

Si rambut putih kembali menoleh pada kedua lukisan tersebut. Salah satu lukisan tersebut tidak asing oleh Luna, karena dia ingat pernah melihatnya di rekaman video amatir kakaknya sebelum ini, Ru bilang itu adalah bentuk dari mahakaryanya.

Tapi mahakarya lainnya … terlihat konyol. Diantara pemandangan kecil pepohonan lebat, sosok kakaknya terlihat sedang digendong pria sambil meluncur dengan sepatu roda. Dari lukisannya yang sudah terlihat aneh, tulisan "Tawa Suram" yang menunjukan judulnya pun terdengar aneh.Luna meledeknya dalam hati.

'Lebih baik kutelepon sa─yakh?!"

Baru saja gadis ini berniat menghubungi Ru melalui telepon, kalau-kalau kakaknya sudah kembali dari museum semesta, sontak saja bumi berguncang hebat disertai suara hantaman yang menggelegar, hingga gadis ini tersungkur jatuh.

Guncangan yang hanya terjadi seperkian detik pun berhenti. Hanya sekejap, namun mengagetkan.

Selain membuat beberapa posisi perabotan berantakan, listrik apartemen padam. Bukan hanya apartemennya saja, seluruh listrik di Hamburg nyatanya padam saat Luna menoleh kembali ke luar jendela.

Namun baru saja guncangan tersebut reda, keadaan kota justru terdengar ricuh dari para penduduk di sekitar distrik gudang. Teriakan, makian, tangisan, semua terdengar bersahutan tak karuan seperti ada amuk masa. Kalaupun panik karena gempa tadi, rasanya tidak akan terjadi keributan seperti ini.

'Apa yang… terjadi?'

***



[ Chapter 2 ]

"…mut…?"


Di suatu bingkai mimpi lain, guncangan misterius pun dirasakan oleh para penghuni rupawan pendudukdi suatu kotabermacam warna bak pelangi, terletak di area perhutanan yang masih hijau.

Semesta asal mereka memanggil kota ini Martanira, dimana tampang seluruh penduduk tampang yang mendekati kata sempurna. Dari wanita yang begitu tampan maskulin, pria cantik feminim, sampai perbedaan kelamin di kota ini dianggap mitos.

Sayangnya semenjak guncangan yang menggemparkan kota Martanira, kota sempat ditaburi butiran pasir yang beraroma semerbak wangi yang muncul dari langit mengenai para penduduk yang berada diluar gedung. Namun kewarasan orang-orang yang terinfeksi pasir wangitersebut langsung terganggu.

Sebagian besar dari mereka histeris dengan sesuatu yang hanya dapat mereka lihat sendiri dengan mata mereka. Sebagian lagi layaknya kerasukan roh halus, bicara tak karuan sambil mengumpat dengan bahasa kuno nenek moyan mereka.Dan yang lainnya terlihat seperti masih waras, namun terus bergumam kalimat filosofi yang tidak jelas.

Ini menambah kebingungan sang wali kota Martanira, si sosok wanita berpenampilan glamor hitam keunguan bernama Tamm Ara.

"Nwu! Aduh Nwuu! Cilok ini mah! Cilook!" Ara teriak sambil berlari dengan paniknya, setelah kembali dari balkon rumahnya ke ruang tamu besarnya. Sementara sosok yang dipanggilnya ternyata sedang makan sebakul besar tahu bulat dengan lahapsisa jamuan sebelumnya di sofa ruang tamu.

"Eh Sez Ala.. Aga dugang khilok léuad ea (Ada tukang cilok lewat ya)?" Dengan mulut penuh dengan tahu bulat, si sosok jangkung pucat menoleh ke arah datangnya Ara. Wanita ungu ini malah geleng-geleng melihat tingkah Nwu.

"Ai kamu malah makan daritadi." Ara menggelengkan kepalanya. "Kalo ampe sepuluh bakul gitu mah, kenapa ga sekalian minta nasi atuh Nwu..Tahu bulat buat mbah malah habis sama kamu sendiri jadinya."

"Lho," si sosok putih pucat yang dipanggil Nwu, alias Nwu Ghé Llo, menelan tahu bulat yang penuh di mulutnya. "Ses Ara nya ga bilang kalo boleh minta nasi. Tau gitu mah tadi minta nasinya sebakul sekalian."

"Aduh, Nwu..Bukan waktunya makan sekarang téh.Ini penduduk kotaakikatéhlagi kesurupan masal! Akika jadi bingung harus gimana Nwu..! Haduuuh! Sadayana jadi gélo!"

Saat sang walikota menunjukan gestur paniknya yang terlihat centil macam para banci taman lawang. Mungkin itu sebabnya Nwu sejak awal sudah mencurigai kewanitaan sang walikota semenjak sampai di kota ini.

Sementara Nwu tidak bisa melakukan apa-apa di rumah Tamm Ara semenjak ditinggal pergi sang naga tua memenuhi panggilannya, selain terus menghindar dari kegenitan pelayan rumah ini padanya. Walaupun mereka semua cantik-cantik, kalau gender mereka sulit ditebak dibalik rupa mereka, gimana coba kalau ternyata ada pedangnya? Hiyy…amit-amit jabang bayi, pikir Nwu.

"Ya Nwu juga gatau atuh harus ngapain Ses. Kan daritadi Ses Ara ga ngijinin Nwu keluar."

"Kan mbah sendiri yang minta nitipin Nwu sama dombanya ke akika. Akika Cuma gamau kalian kenapa-napa." Ara menatap sayu si jangkung."Kalau mau keluar juga para penduduk di kota kan lagi kesurupan. Mau gélo kaya mereka?"

"Ses Ara…" Nwu mendesah, gélo sudah menjadi julukannya. Malah dijadikan bahan gurauan.

"Aduh punten Nwu." Ara membungkam lembut bibirnya. "Akika ga sadar tadi. Ehehe."

Si mayat hidup langsung tertunduk cemas di tempat duduknya.

"Mbeeeeeee!! Om Nwuuu!"

Embikan keras dari domba yang muncul tiba-tiba dengan menabrak pintu kayu memecah keheningan. Nwu dan wali kota pun terfokuskan pada si domba yang lari menghampiri Nwu tergesa-gesa.

Sebentar..tadi dombanya memanggil Nwu?

"Om Nwu! Cepat kita pergi dari sini!"

"Gusti!" Nwu beneran kaget, ternyata bukan cuma perasaannya tadi. Tapi domba milik Amut bisa ngomong.

"Eh, tunggu bentar mba! H-hei! Jangan main gigit atuh!" Nwu berusaha menahan si domba yang menarik kain celananya dengan gigi. "Kenapa tiba-tiba minta pergi mba? Di luar kan lagi pada kesurupan masal."

"Lebih baik..kau dengarkan domba itu.."

Suara perempuan yang terdengar lirih sedang berdiri di mulut pintu yang terbuka lebar, menjadi perhatian Nwu dan Ara padanya. Didapatnya sosok perempuan lusuh dengan wajah oriental dengan luka koyak yang menonjol dari bibir kanan hingga telinganya, dengan beberapa bagian badannya terlihat seperti mesin robot.

"Kamu siapa?" Tamm Ara menatap waspada perempuan asing yang terlihat jelas bukan penduduk asli kota Martania, berada di rumahnya tanpa diundang.

"Tempat ini.. menuju kehancuran…" Perempuan tersebut nampak mengabaikan pertanyaan dari wali kota. Atau mungkin perempuan tersebut tidak mendengar ucapan Ara. "Kita harus.. menemukan naga ungu itu.. secepatnya.."

"Eh tunggu." Nwu langsung berdiri, saat sosok gurunya disebut oleh perempuan misterius tersebut."Maksud kamu tadi téh mbah Amut, néng?"

"Kita..tidak ada waktu lagi.."

Belum sempat perempuan misterius itu menjelaskan semuanya, tubuhnya jatuh begitu saja ke lantai sebelum kesadarannya hilang.

"NÉNG?!!"


***

"…naga…"

Dalam rasa nyaman di dalam kegelapan kedua mata yang terpejam, suara gadis kecil samar-samar terdengar. Rasanya terlalu nyaman untuk terus untuk istirahat, hingga suara gadis tersebut diabaikan.

"..kek! Bangun!"

Suara si gadis nampak semakin jelas memanggilnya berulang. Oh, tidak hanya suara sang gadis yang mengeras. Suara ketukan kayu yang saling beradu berbunyi 'tuk tuk tuk', terdengar jelas mengetuk kulit kepala si naga yang berkulit tebal.

Namun suara tersebut kembali diabaikannya. Terlalu

"GUSTI NU AGUNG!?"

Sang naga ungu kaget bukan kepalang, suara ledakan disertai gemericik khas kembang api terdengar dekat sekali di telinganya sontak membangunkannya dari posisi tengkurap. Mata Amut yang langsung terbuka lebar, disambut ledakan warna-warni kembang api di langit yang muncul dari tongkat si gadis berkepala bantal.

Sepasang mata Amut yang terbuka lebar menangkap sosok si kecil Hubanberdiri di depannya, berhenti melontarkan kembang api dari tongkat ajaibnya .

"Aduh, cu… kalo bangunin mbah jangan pake kembang api atuh…" Amut mengusap-usap dadanya yang masih berdetak kencang. "Mbah téh dah tua cu. Kalo mbah jantungan gimana coba?"

"Habisnya, kakek naga langsung tidur waktu dibawa kembali ke bingkai mimpi punya kakek. Huban kembali ke sini, kakek masih tidur.." kepala bantal Huban terlihat kembang kempis menunjukan kesal gadis ini.

Dalam keadaan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Amut mencoba mengingat-ingat kembali ingatannya sebelum dia tertidur pulas. Entah berapa lama naga ini sudah tertidur, kalau Huban mengatakan pernah kembali kemari setelah mengantarnya pulang.

Oh, ya. Dia ingat baru kembali dari bingkai mimpi panitia penyelenggara turnamen, dewi perang Mirabelle. Namun karena hanya dia reverier yang tidak membawa dombanya, Ratu Huban harus turun tangan membawa sang naga tua kembali ke bingkai mimpi miliknya, alam semestanya Vana.

Namun ada yang aneh bagi Amut tentang keberadaan tempatnya sekarang. Walau naga tua ini terkadang pelupa, dia tidak ingat kalau semestanya Vana pernah ada gurun pasir. Terlebih banyak sekali puing-puing bangunan dan benda metal berserakan tak karuan diantara dataran berpasir di depan matanya.

Ini bukan Vana.

Amut ingat, pemandangan mengerikan ini adalah bingkai mimpi yang menjadi panggilan pertama menjalankan misi dengan para reverier lain, Anatolia.Tapi, kenapa dia dikembalikan ke tempat ini?

"Anu, cu.." sahut Amut pada Huban. "Kayaknya ini bukan bingkai mimpi mbah deh…"

"Masa sih kek?" Huban memiringkan kepala bantalnya.

"Iya cu.. alam mbah masih subur banyak pohon sama hutannya.. engga tandus gersang kayak padang pasir gini."

"Oh, maksud kakek naga, hutan yang di sana?"

Ratu Huban mengacungkan tongkat berwarna pelanginya ke arah kanannya. Saat Amut menoleh ke arah yang ditunjuk si kepala bantal, pemandangan suburdari deretan pepohonan hijau dengan langit yang terlihat biru segar, tercampur dengan pemandangan gersang padang pasir dengan langit kelabu pucat, dimana mereka berdua berada sekarang.

"Gusti nu aguuung!" sang naga berseru saking kagetnya. "Kenapa ini téh Vana jadi kecampur sama gurun pasir gini?"

"Saya juga ga tahu kakek." Huban menggelengkan kepalanya. "Bingkai mimpi punya kakek sudah seperti ini, sebelum tadi sempat ada tabrakan bingkai mimpi."

"Tabrakan bingkai mimpi? Apa itu?" sang naga menggaruki kepalanya, terlihat semakin bingung dengan ucapan Huban.

"Oh iya~ Hampir saja lupa~" dengan nada riang, Ratu Huban merogoh sesuatu ke dalam kerah jas hujan kuningnya. "Sebenarnya Huban kesini, buat ngasih surat untuk misi kakek naga selanjutnya. Kata paman Nurma, suratnya diberikan setelah ada tabrakan bingkai mimpi."

Sebenarnya sang naga tidak mengerti apa maksudnya tabrakan bingkai mimpi. Namun Amut hanya mengangguk-anggukan kepalanya pada Huban, selagi Huban merogok jas hujannya.

"Eh? Lho.. kok?" Kepala bantal Huban terlihat sedikit mengkerut dengan gerakan badannya yang nampak gelisah, karena surat yang disimpan di balik jas hujannya tidak ditemukan. Sampai si gadis kepala bantal ini menundukan kepala bantalnya dihadapan sang naga tua.

"Maaf kakek naga.. Suratnya hilang.."ucap lesu Huban dengan bantal yang semakin mengkerut lesu.

"Gusti.. kok bisa ilang cu?"

"Umm.. mungkin.."

Huban mendekapkan tongkat permennya erat, sambil cerita apa yang terjadi selama Amut tertidur. Dia mengatakan pernah dikejar sekumpulan domba hitam di ujung lain bingkai mimpi ini, yang sekarang mungkin sudah kosong dimakan para mahluk berbulu hitam tersebut. Mungkin surat tersebut terjatuh saat dia berlari menuju tempat Amut sekarang.

Bila gadis ini memiliki wajah, mungkin matanya sedang berkaca-kaca karena sedih. Gadis ini merasa bersalah pada sang naga tua.

"Sudah cu.. cup cup." Amut menepuk pelan pundak huban. "Hmm.. gimana kalau cucu anter mbah ke tempat dikejar domba-domba tadi?"

"T-tapi naga.. Huban takut domba-domba hitam itu.."Mengingat ketakutannya saat dikejar mahluk-mahluk hitam yang dibencinya, ujung bantal gadis ini semakin mengempis.

"Kalau ga ada surat itu kan, mbah téh jadi gatau harus ngapain."

Ratu Huban kebingungan harus apa, karena tidak ingin dikejar para domba hitam itu lagi. Tapi demi menebus kesalahnya, gadis kecil ini harus bertanggung jawab menolong Amut.

"Baiklah, Huban akan antar kakek naga..."

"Nah, gitu dong cu…" Amut yang senang mendengar jawaban Huban, mengusap lembut kepala bantal si gadis yang terlihat kembali mengembung.

"Tapi sebelum itu.. Boleh ga Huban digendong kakek naga?"

***


[ Chapter 3 ]

Déjà Vu

Catatan:
Chapter ini dan selanjutnya mungkin akan tidak nyaman dibaca karena latar belakangnya akan terjadi 'penurunan gradasi'.


Di ujung selatan bingkai mimpi Amut, warna langit kelabu dan pemandangan gurun pasir berhenti oleh ruang hampa yang seluruhnya hitam gelap, terlihat kontras dengan langit biru dan beberapa bagian kelabu daripemandangan gurun pasir Anatolia yang tercampur pemandangan hijau Vana.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan di ujung bingkai mimpi ini. Bahkan angin pun tidak bertiup sama sekali di area ini. Begitu kosong dan hening.

Sampai sesuatu berbentuk seperti bumerang raksasa berwarna hitam pekat, melesat keluar dari langit zona hitam perbatasan bingkai mimpi. Lebih tepatnya, sebuah layang gantung melayang dengan mencolok di bawah langit yang terlihat abstrak dengan campuran warna kelabu dan biru muda yang terang.

'Inikah bingkai mimpi yang dimaksud Nurma?'

Ru si pengendara layang gantung tersebut memperhatikan seksama pemandangan gersang yang dilihatnya dari atas.

Awalnya gadis ini menganggap aneh pemandangan tempat ini, dimana pohon yang tidak seharusnya tumbuh di tempat gersang, bisa tumbuh bertebaran di padang pasir. Tapi mengingat semesta lain bisa berupa apa saja yang belum pernah dilihat manusia di semestanya.

"E-eh?!"

Baru saja belasan meter gadis ini menjauh dari zona hitam, layang gantungnya mulai kehilangan kendali. Padahal tidak ada angin yang mengacaukan laju layang gantungnya.

Oh, kenapa bisa lupa, kalau layang gantungnya tercipta dari kemampuan bayangan? Tempat terang seperti ini akan melemahkan kemampuannya tersebut.

Ditambah tidak ada sumber bayangan terdekat karena sedang melayang di langit, layang gantung ciptaannya tidak akan bertahan lama. Dapat dilihat dari ujung belakang sayap, sedikit demi sedikit mulai terkikis menjadi asap.

"Oh, fick.."


┌ ─
│        
            "Setan!! Apa yang sudah kau lakukan dengan bingkai mimpiku Nurma?!"

Kembali ke bingkai mimpi si gadis hitam beberapa menit yang lalu, Ru protes dengan lawan bicaranya di ponselnya. Sementara tangan lain berpegangan pada tubuh si domba yang mengapung di permukaan air bagai pelampung.

Mengecewakan sekali, gadis ini harus rela tercebur ke sungai yang dalam demi ponselnya yang mengeong (berdering), dan si penelepon ternyata sang kurator Museum Semesta, bukan adiknya. Beruntungnya ponselnya selamat sebelum tercebur ke air dengan 'membungkusnya' dengan bayangan solid.

"Apa kau punya bukti aku yang melakukannya, sampai menyalahkanku begitu saja?" Suara pria di telepon terbayang oleh Ru sedang tersenyum meledek. "Harusnya kau sudah tahu siapa yang lebih berkuasa mengutak atik bingkai mimpi seseorang. Ya kan?"

Ru menggertakan giginya rapat-rapat.

"Bilang pada Kehendak, aku minta bingkai mimpiku kembali seperti sebelumnya!"

"Daripada protes terus, lebih baik kau bersyukur, Beliau dengan senang hati menghias markasmu itu. Sebelumnya sepi sekali seperti kuburan."

"Menghias kau bilang?! Otak gosong itu membuatku menjadi buronan di bingkai— Ha..hacih!"

"Lain kali kau harus berpikir dua kali bila ingin menghina Kehendak, Dia selalu mendengar semuanya. Kau tahu?" Sang kurator terdengar bergumam menertawakan gadis ini.

Setan.

"Daripada kau terus sembunyi di kolong dari kejaran polisi, lebih baik kau putuskan dari sekarang. Ingin mendengarkan misi selanjutnya, atau ikut berpesta dengan yang lain."

"Bitte? Jadi daritadi kau menguntitku dari sana?" Ru menoleh kiri dan kanan, memastikan kalau ada CCTV terbang yang sedang memantau pergerakannya."Kurma dekil. Jangan bilang kau pernah melihatku telanjang saat aku mandi."

Zainurma mendesah malas. "Kalau kau terus bicara tak jelas seperti itu, aku akan tutup telepo—"

"Hei hei HEI!? Iya aku berhenti. Tapi jangan tutup  teleponnya!" Ancaman dari Zainurma membuat Ru langsung mengayuh kakinya untuk berenang keluar dari kolong jembatan bersama dombanya. Dasar pria, tak punya selera humor.

Setelah mereka menepi dari sungai, Ru menyadari bingkai mimpinya kembali menjadi gelap gulita dengan padamnya listrik di kota. Ia mengambil kesempatan untuk mengeringkan semua yang basah pada dirinya. Kartu, senjata api, blazer, roknya dilepas di dalam gang gelap, hingga dia hanya mengenakan singlet dan celana pendeknya.

Setidaknya tidak akan ada orang yang lihat. Masa bodo dengan Nurma yang mengintipnya. Ini darurat.

Namun suara teriakan orang-orang di kawasan tersebut terdengar seperti gerombolan orang-orang yang kabur dari RSJ, membuat Ru sedikit mengintip dari gang.

"Nurma.." Ru kembali menempelkan ponselnya ke telinga kanannya. "Maksudmu pesta tadi…"

Dengan pengelihatannya yang jelas dalam gelap, Ru hanya bisa menggertakan giginya di tempatnya sekarang berdiri. Bagaimana orang-orang di jalanan yang gelap menjadi tidak waras saling melempar dan memukul manusia yang mereka lihat dengan benda yang dipungut mereka.

"Baik.. Kali ini apa yang Kehendak lakukan? Membiarkan mereka membunuh satu sama lain sampai tempat ini benar-benar penuh mayat seperti kuburan?"

"Kalau hal itu ingin terjadi, kau bisa membiarkan mereka seperti itu. Tapi untuk jelasnya, semua itu adalah efek tabrakan bingkai mimpi sebelumnya."

"Oh, kukira.." Ru mendesah lega. "Di akan membuat tempat ini menjadi kuburan sungguhan."

Ru tertawa kikuk. Sempat-sempatnya dia memikirkan Patung Otak itu memiliki selera humor seburuk itu. Baiklah, itu bukan lelucon yang lucu.

"Jadi, ini tanda ronde berikutnya sudah dimulai? Apa yang harus kulakukan kali ini?"

"Tugasmu kali ini cukup simpel. Sebelum itu, apa kau lihat sesuatu yang berbeda di ujung bingkai mimpimu?"

Ru langsung berbalik ke arah utara, dimana area gelap di sebrang jembatan Lombard menjadi batas akhir bingkai mimpinya.

"Tidak ada yang berubah. Hanya latar hitam yang— Oh, tunggu…"

Sepasang iris hitam gadis ini menyipit, saat mendapati ada pemandangan lain seperti hamparan gurun pasir di ujung lain wilayah hitam kosong. Diperkirakan jarak gurun pasir tersebut sekitar lima puluh meter dari bingkai mimpinya.

"Aku melihat pemandangan lain.. seperti padang pasir.. cukup jauh terhalang ruang hitam kosong."

"Ruang hitam?" Nada Zainurma terdengar seperti kebingungan. "Maksudmu, benar-benar kosong?"

"Aku mengatakan apa yang kulihat.. Memang ada apa di sana?"

Untuk beberapa saat, suara Zainurma tidak terdengar dari ponselnya.Sampai Ru memanggilnya berkali-kali dengan kasarnya.

"Baik.. lupakan soal itu." ucap sang kurator setelah kembali. Entah apa yang disembunyikannya kali ini, sampai masalah jarak antar bingkai mimpinya dengan padang pasir tersebut tidak dibahas lagi.

"Tugasmu…"
            │
─ ┘


"Bleh?! BLEH!! Hoeek!! Akh… setan! Phuih!!"

Pendaratan yang benar-benar tidak mulus, saat wajah Ru harus menabrak tanah terlebih dahulu sampai kepalanya sempat tertimbun pasir, setelah layang gantungnya akhirnya lenyap di angkasa. Bahkan Ru masih mengesalkan dengan sejumlah pasir yang masih tersisa di dalam mulutnya.

Setidaknya gadis ini selamat dari ketinggian yang dapat membahayakan nyawanya, itu cukup disyukurinya.

Setelah arahan dari Zainurma tentang apa yang harus dilakukan kali ini, Ru pun pergi ke bingkai mimpi lain tanpa bantuan portal dari sang domba, karena tempat tujuannya bersebelahan dengan bingkai mimpinya.

"Kalahkan saja pemilik bingkai mimpi lawanmu. Dan semuanya akan kembali seperti semula. Mungkin." Seperti itulah pesan dari kurator bersurai klimis.

Sayangnya sang kurator tidak menjelaskan apapun tentang siapa pemilik bingkai mimpi yang akan dia lawan nanti. Bahkan dia ragu kalau tempat ini ada penghuninya, kalau sejauh memata memandang hanya terlihat pasir kuning dan pepohonan.

Si gadis hitam pun berdiri setelah memuntahkan pasir yang masih tersisa di mulutnya. Dan dia baru menyadari, tidak ada siapa-siapa di tempatnya berdiri. Itu berarti Ru harus berjalan agar menemukan seseorang yang bisa ditanyai soal pemilik bingkai mimpi ini. Merepotkan saja.

Oh, sungguh beruntung Ru. Baru saja dia melangkah beberapa meter, dia menemukan sosok kurus dan pendek berjubah gelap mencolok, tertangkap oleh matanya baru keluar dari balik pepohonan tidak jauh darinya. Dari cara berjalannya yang membungkuk, sepertinya sosok tersebut orang tua.

"Oi kakeeek!"

Ru menyahutnya sekeras mungkin sambil melambaikannya tangannya, membuat sosok berjubah tersebut langsung menoleh ke arahnya.Tapi sosok berjubah tersebut malah lari menjauhinya.

"H-hei?! Tunggu!" Di tengah kebingungan kenapa sosok tua tersebut malah ketakutan dengannya, Ru memanggilnya kembali sebari berlari mengejar sang kakek-kakek.

Lari sosok tua tersebut cukup lambat, hingga wanita yang masih bugar ini berhasil mengejar sosok jubah tersebut dalam hitungan detik.

"Tunggu kek!" Ru mencengkram jubah ungunya untuk menghentikan laju si kakek. "Jangan lari dulu kek..! Aku hanya ingin tanya soal—"

Ucapan gadis ini terhenti, saat kakek tersebut menoleh padanya, menunjukan wajah ngeri sang kakek yang penuh kerutan dan tahi lalat, dan sepasang bola matanya yang besar dan merah seperti tidak pernah mengedip seumur hidupnya.

Belum sempat Ru melanjutkan ucapannya, kakek tersebut melemparkan sejumlah pasir dari dalam kantung kainnya telak ke wajah gadis ini, dan membuat Ru memekin kesakitan karena pasirnya masuk ke dalam matanya.

"Agh?! Setan!!" Ru mengucek kedua matanya yang sekarang tidak berhenti berair. "Apa yang kau—"

Saat matanya dapat melihat kembali setelah buta sesaat, si kakek berjubah ternyata sudah menghilang dari hadapannya.Namun bukan hanya itu keanehan yang terjadi.Gadis ini mendapati dia sudah tidak ada di gurun pasir lagi.

Rasa pedih dimatanya tiba-tiba menghilang, saat matanya terbuka begitu lebar, shock dengan apa yang dilihatnya sekarang.


Langit kemerahan, tanah keras dan kering di musim kemarau, kebun yang dipenuhi tumbuhan yang terperangkap kristal es hitam, dan sebuah pemandangan mengerikan dimana sebuah gedung mansion yang terbakar bara api tujuh warna. Kenangan buruk yang sudah lama dikubur dalam-dalam, muncul begitu saja didepan matanya.

Déjà vu.

"Sudah tiga tahun ya, nee-chi*?"

Suara gadis remaja dengan nada riang, terdengar jelas memanggilnya dari belakangnya. Namun suara horror yang sudah tidak didengar Ru selama tiga tahun, membuatnya tidak berani untuk menoleh ke belakang.

'Kay? B-bukan…' Kerongkongan Ru mendadak terasa kering, hingga menelan air ludahnya sendiri rasanya sulit sekali.

"Kenapa diam saja, nee-chi? Kau tidak merindukanku?"

Tangan sosok yang dipanggil Kay ini menyentuh lembut pundak kanan Ru dari belakang. Namun serpihan es hitam mulai menyeruak dari tangan pucat nan dingin adik perempuan tirinya, menusuk dan menyelimuti pundak kanannya. Iris merah miliknya bersinar dibalik lensa kontak hitamnya, terpicu oleh emosi.

"Jangan…" Desisan pelan gadis hitam ini menciptakan kobaran api hitam yang terlihat membakar seluruh lengan kanannya, melelehkan serpihan es hitam dari tangan Kay.

"—main-main Deranyx!!"

Semburan api hitam dilemparkan seperti pelontar api dari lengan kanannya, saat Ru berbalik untuk menyerang si gadis es. Namun sosok Kay menghilang begitu saja begitu kobaran api hitamnya yang sempat berputar layaknya tornado api redup.

Ru menatap takut api hitam yang masih berkobar di lengannya. Walau dia ingat kalau api hitam ini memang salah satu bagian dari kemampuannya, api ini berkobar bukan atas kehendaknya.

"Aaah~ Kenapa kau selalu kasar seperti itu setiap aku muncul?" Sosok Kay sudah berdiri dibelakang wanita serba hitam, dimana saat Ru menoleh ke arah gadis remaja tersebut membelakangi gedung mansion yang masih menyala hebat oleh kobaran api.

"Padahal kau tahu kan aku selalu menjadi anak yang baik? Kenapa kau begitu membenciku? Neech—"

"Mulutmu yang sok manis itu membuat telingaku panas. Jangan sok bertingkah seolah kau ini Kay, iblis jalang.." potong Ru dengan tatapan murka pada Kay.

Bukan. Bukan Kay yang sekarang dia lihat dengan rasa benci terdalam berdiri dihadapannya. Namun sosok wanita iblis es yang sudah mengendalikan penuh tubuh dan kesadaran adik tirinya ini.

"Iblis jalang? Serendah itukah aku yang sudah mengabdi lama keluarga ini?"

Si wanita iblis Deranyx malah tertawa keras.

"Bagaimana dengan kau sendiri? Ayahmu sendiri menjualmu demi membayar hutangnya pada keluarga Lucifer. Siapa yang lebih rendah sekarang. Eh, anak buangan?" Seringai lebar Deranyx terpasang jelas, dengan sepasang iris merahnya menatap hina si gadis hitam.

'Tidak..' Ru menyingkirkan pandangannya dari sosok adik angkatnya. 'Papa tidak pernah melakukan itu…'

"Aku tidak pernah mengerti, iblis sehebat milik Chloro-sama bisa memilih anak haram sepertimu."

'Hentikan… aku…'

Api hitam yang masih menyala di tangannya membentuk beberapa bola api kecil yang melayang mengelilinginya.

'..tidak bisa… mengendalikannya…'

"Harusnya Tendou yang memiliki iblis itu! Bukan kau yang hanya anak pungut!" Wajah Kay nampak terpasang raut wajah kebencian yang sama dengan wanita dihadapannya.

Kedua daun telinganya ditutup rapat, demi menghindari ucapan pahit dari gadis bungsu Lucifer. Sementara bola api liarnya berhenti mengorbit. Namun bola api tersebut berkobar semakin besar, membuat hawa disekitar Ru terasa panas.

'J-jangan..! Hentikan!'

"Kau hanya tumbal dikeluarga ini! Anak buangan! Wadah kosong! Manek—"

"TUTUP MULUT KOTORMU ITU SETAN!!" Dengan emosi yang tidak stabil, semua bola api hitamnya serempak melesat ke arah target di depannya.

Ledakan besar terjadi tepat di tempat Kay berdiri, membuat Ru terdorong hempasan ledakan yang dibuatnya sendiri. Namun si gadis hitam memejamkan keras matanya, tidak ingin melihat apa yang selanjutnya terjadi.

Namun Ru tidak menyadari, semua pemandangan terganti menjadi lautan api beragam warna, bagai pelangi di neraka, yang sekarang mengurung si gadis hitam dalam sebuah lingkaran.

'Shit!Kenapa aku harus melihat ini lagi?!'

Hatinya menjerit. Ru menutup wajahnya rapat-rapat dengan kedua tangannya, menyembunyikan wajah sayu yang tidak pernah lagi ditunjukan semenjak pergi dari keluarga terkutuk itu. Wajahnya kini sudah basah oleh air matanya sendiri.

"Kyaaaakhh?!! P-panaaass!! AAAAaaaaa!!"

Ru tersentak dengan teriakan dari balik kobaran api di hadapannya, membuat kedua tangannya tersingkir begitu saja dari wajahnya. Pupilnya mengecil mendelik, ketakutan dengan sosok yang terbakar meminta bantuan. Namun suara ini, bukan suara Kay, ataupun Deranyx.

"T-tolong aku!! Kumohoooon!! I-ini sungguh sakiiit…!"

Wanita di hadapannya nampak sangat kesakitan dengan kobaran api yang sedang menggerogoti seluruh anggota tubuhnya. Sampai wujud wanita tersebut tidak dapat terlihat jelas lagi rupanya.

'T-tidak.. ini bohong..'

Tenaga wanita tersebut sudah semakin lemah, hingga tubuhnya oleg dan tersungkur ke tanah. Namun dengan sisa hidupnya yang tinggal sedikit, ia terlihat merangkak perlahan mendekati kaki Ru.

"H-hilf.. mir… s-sis…"

Nafas Ru seolah tertahan di tenggorokannya, bersamaan dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Suara perempuan tersebut semakin lemah terdengar, hingga tubuh malang tersebut, akhirnya berhenti bergerak tepat didepan kakinya.

"LUNAAAAAA!!"


***

*Nee-chi : serupa dengan nee-chan. panggilan pada kakak perempuan.


[ Chapter 4 ]

"Crooked girl in the crooked dream."


Semenjak pemimpi utama kota Hamburg pergi menuju bingkai mimpi lain sesuai arahan sang kurator, kegaduhan para warga yang menjadi gila menjadi musik sumbang yang bersahutan tak karuan di bingkai mimpi si gadis hitam.

Namun kegilaan mereka bukan tanpa sebab.Para sosok kerdil hitam yang kurus bagai korban busung lapar bergerak merangkak dengan kaki tangan mereka yang runcing pada jari-jari mereka, menjadi penampakan mahluk yang merasuki orang-orang. Mata mereka melihat apa yang sebenarnya tidak mereka lihat, telinga mereka pun mendengar yang sebenarnya tidak mereka dengar.

Tidak ada yang bisa mereka percaya, setelah mahluk kerdil tersebut membawa mereka pada mimpi buruk yang menjadi hidup di dalam ilusi mereka.

Namun tidak selamanya warga yang masih waras hanya diam saja, saat mereka menyadari para kerdil hitam tersebut tidak dapat menyentuh area bercahaya. Lampu senter, lilin, obor, semua sumber cahaya mereka kumpulkan demi melindungi mereka.

"Ini terlihat seperti film horror yang baru kita nonton di bioskop."
"Yang baru kita tonton malam minggu kemarin?"
"Uh-uh."
"Oh, ya.Kok bisa mirip ya? Monsternya pun serupa takut dengan caha–"
"WOI NET AWAS!!"

Supir berjas hitam dengan surai coklat yang acak-acakan, mendadak membanting setir mobil BMW yang sedang dikendarainya di jalan utama, sebelum sempat menabrak pejalan kaki gila yang hampir menghantam kaca depannya. Beruntungnya mobil tersebut tidak sempat menabrak apa-apa, sebelum kembali ke jalur semula.

"Tuhan.." Penumpang wanita yang baru saja teriak mendesah. "Bisa kalian fokus saja ke jalan?"

"Ahaha.. Maaf nona." Si pengemudi tertawa canggung. Dan wanita yang baru membentak mereka hanya mendesah, antara marah dan cemas.

Dengan mengandalkan cahaya lampu sorot, mobil BMW tersebut melaju cepat di jalan utama Hamburg menuju jalan utama menuju arah utara.

Namun banyaknya warga gila yang berhamburan di jalanan, Net harus berhati-hati mengendarai mobil yang dikendarainya.Terlebih dia membawa dua penumpang wanita cantik.

Bukan tanpa tujuan mereka memaksakan berkendara, disaat kota diteror mahluk kerdil yang belum jelas asal-usulnya. Namun sesuai arahan penumpang wanita bersurai putih pendek tadi, Luna, tujuan mereka hanya mencari satu orang yang penting bagi kota mereka sekarang ini.

Kakaknya, sang pemimpi utama bingkai mimpi ini.

"Ngomong-ngomong.." Luna teringat kejadian sekitar sejam lalu sebelum bertemu Net dan Eve.

"Siapa pendeta wanita tadi?"

┌ ─
│        
"Enyah kalian!"

Kobaran lidah api merah disemburkan oleh Luna dari tinju apinya bagai nafas naga api, mencoba mengusir para kerdil hitam yang mengepungnya di jalan buntu gang gudang distrik.

Bertapa tidak beruntung untuk Luna.Saat keluar dari apartemen kakaknya, dia disambut oleh pasukan kerdil hitam yang mencoba merasukinya.Api yang selalu menyala di kepalan sarung tangannya menjadi tameng monster tersebut. Namun apinya tersebut malah menjadi penarik perhatian juga, hingga semakin banyak kerdil hitam yang mengejarnya.

Dinding pojok gang tempatnya berada terlalu tinggi, hingga kemampuan parkournya percuma digunakan.Bila mencoba menerobosnya, itu terlalu beresiko untuknya.

Luna mendecak sebal.

"Holi bim.."

Sorotan sinar putih tiba-tiba bersinar dari barisan belakang pasukan kerdil, membuat gang tempat dia berada menjadi terang menyilaukan.Tidak hanya membuat Luna buta sesaat, namun jeritan para kerdil yang musnah terbakar sinar menyilaukan membuat gang tersebut bising.

Hingga keadaan menjadi hening.

"Semua sudah aman."

Suara lembut suara wanita terdengar dari sisi lain gang. Saat Luna membuka matanya, sosok wanita berpakaian pendeta yang lekuk tubuhnya begitu gemulai bagai gitar spanyol, meneranginya dari tongkat panjang yang dipegang si wanita pendeta.

"Siapa kau?"

Pendeta wanita berpenampilan eksentrik dengan gaun putih bercorak emas yang mencolok, hanya tersenyum lembut pada Luna.

""Luna!""

Sahutan beberapa orang terdengar bersamaan memanggilnya, diikuti suara deru langkah kaki yang terdengar mendekatinya dari belakang si pendeta wanita.Tunggu, suara mereka tidak asing.

"K-kalian?"

Mata Luna terbuka lebar, saat empat orang mantan pengikut ayahnya mulai menanyakan keadaannya bergantian dengan jeda yang terlalu cepat, hingga gadis ini tidak sempat menjawab pertanyaan mereka berempat.
─ ┘

"Ehm..Sebenarnya kami juga tidak tahu." Wanita berkulit gelap di sebelah Net, Eveline menjawab ragu. "Tapi dia yang menyadarkan kami berlima, sebelum.."

"..kami saling menembak." Nethanel menyela sebari tertunduk. "Egon.. Dia.."

Sepertinya topic yang dibicarakan salah, mengingat saat mereka tenggelam dalam mimpi buruk mereka. Net si pengemudi teringat, bagaimana dia membunuh rekannya yang pendiam dengan senjata api ditangannya.

Suasana duka di dalam mobil membuat percakapan terhenti.

Luna menyadari kekacauan yang terjadi di kota Hamburg masih berhubungan dengan turnamen mimpi yang diikuti kakaknya. Itu sebabnya dia menyuruh anak buahnya ini mencari sang pemimpi utama, setelah dia menjelaskan apa yang dia tahu tentang turnamen mimpi ini pada mereka.

Dan untuk mempercepat pencarian, mereka berpencar menjadi dua kelompok. Luna bersama Nethanel dan Eveline.Sementara Mikoto dan Roxanne, dibantu oleh wanita pendeta misterius yang belum member tahu siapa dirinya.

Sampai suara ringtone classic berbunyi dari balik jas milik Net, pria ini segera mengangkat panggilan teleponnya, dengan kontak yang tertulis [Roxy unyu~♥].

"Ya Roxy-ku cantik? Apa kau ingin permen? Tapi om belum gajian." ucap Net dengan nada menggoda, yang terdengar seperti pedofil bila tahu gadis yang digodanya jauh lebih muda darinya.

"Ini aku, Net..."

Yang menjawab di teleponnya bukan Roxanne, gadis paling muda di kelompoknya. Melainkan si pemuda berwajah oriental Mikoto, yang terdengar jijik setelah mendengar suara Net sebelumnya.

"Brengsek lu.. Ngapain nelepon pake ponsel Roxy segala?"

"Lupakan soal itu. Katakan pada Luna-sama, kita menemukan domba yang ditunggangi anego*. Dan dia membawa–"

"Hanya dombanya?" Net menyela. Luna yang mendengar sekilas percakapan langsung merebut ponsel Net.

"Katakan dimana kalian sekarang?"

*Anego : panggilan khusus Mikoto pada Ru.


***

"Yay~ Rasanya seperti terbang~"

"Gimana cu digendong mbah? Enak toh? Mantep toh?"

Nada riang terus diespresikan oleh gadis berkepala bantal, saat sang naga ungu membiarkannya naik di punggungnya di dekat sepasang sayap tuanya. Sementara Amut mengantar Huban ke arah penghujung bingkai mimpi di sebelah selatan, dimana gadis ini menghilangkan surat dari Zainurma untuknya karena kawanan domba hitam yang mengejarnya.

Amut nampaknya tidak keberatan menggendong gadis kepala bantal ini. Setidaknya berat Huban tidak membuat encoknya kumat. Bahkan naga tua ini ikut bersenandung ria bersama Huban, setidaknya untuk menghibur dirinya selama berjalan menelusuri gurun pasir yang gersang dan terlihat membosankan bila dipandang lama-lama.

"A~ku ingin terbang bebas, di~ angkasa~" Huban merentangkan kedua tangannya, berimajinasi kalau dirinya sedang terbang bersama si naga tua.

"La-la-la~ Aku sayang sekali– Ng?"

Nada riang dari si kepala bantal berhenti begitu saja. Amut yang penasaran kenapa suasana menjadi hening akibat membisunya Huban, berhenti melangkahkan sepasang kaki reptilnya.

"Kenapa cu?"

"Naga dengar itu?"

Amut ikut terdiam, mencoba mendengar apa yang ditangkap oleh si gadis bantal. Tapi telinga naga ini nampaknya agak tuli, jadi dia tidak menangkap jelas apa yang sebenarnya Huban dengar.

"Dari sana kek!" Tongkat payung warna-warninya ditunjukan ke arah tenggara, dimana asal sumber suara yang ditangkap Huban.

***

"Kau monster!"
"Padahal papa berharap besar padamu."
"Anak buangan! Haha!"
"Kau mengecewakanku.."
"Wadah tak berguna!"
"Seharusnya aku tidak pernah percaya pada jalang sepertimu."
"Dia bukan siapa-siapa di keluarga ini."
"Kenapa kau berikan kutukan mereka padanya?!"


"H-hentikan… k-kumohon…"

Gadis hitam ini semakin keras menutup telinganya, saat dia hanya bisa berbaring mendengar perkataan menyakitkan.Dari adiknya, ayahnya, kakak adik tirinya, dan semua suara orang yang dikenalnya, terus meneror mentalnya yang sudah jatuh.

Kedua kantung mata yang sudah sembap terus dipejamkannya erat-erat. Sedikit saja dia mengintip, hanya ada mereka yang terus bersumpah serapah padanya, mengelilinginya dengan tatapan yang begitu merendahkan.

Semua mimpi buruk ini tidak bisa dihentikan. Bila dia berusaha menghancurkannya, akan terganti dengan pemandangan yang lebih buruk dari sebelumnya. Semua ingatan buruk masa lalunya akan terulang dengan pemandangan yang begitu nyata.

Apa seperti ini rasanya, terjebak selamanya dalam mimpi buruknya sendiri? Apa mereka para reverier yang sudah gagal mengalami ini juga? Tidak bisa melakukan apa-apa saat jiwa mereka terperangkap dalam karya seni di penyimpanan Museum Semesta?

Bagaimana menghentikan ini?
                                                                                                                            
Kenapa Kehendak melakukan ini semua?

Suara retakan semacam bongkahan batu besar yang dipukul hancur, tiba-tiba saja terdengar melebihi suara terror orang-orang. Walau suara gaduh tersebut hanya sebentar, suara terror sebelumnya membisu seketika.

Keheningan yang menenggelamkan gadis ini, membuatnya memberanikan membuka matanya.

Pemandangan lahan yang terbakar dilahap api berbagai warna kini menghilang, terganti dengan ruang hitam kosong. Semua orang yang mengelilinya pun lenyap.

Yang tersisa hanyalah, sosok gadis kecil sekitar dua belas tahunan berdiri dihadapannya.

Tunggu.. gadis ini begitu tidak asing.

Rambut putih pendek, syal hitam yang panjang melingkar di leher, dan hampir seluruh tubuhnya yang tidak tertutupi baju pendek yang dikenakannya, dibalut perban menutupi luka yang selalu diterimanya, dari pelatihan keras dan menyiksa keluarga Lucifer.

"Bagaimana kabarmu, aku dewasa?" Gadis tersebut terlihat tersenyum lebar, dibalik separuh wajahnya yang tertutupi bayangan.

"Kau…?" Ru yang berusaha bangun dari tempatnya berbaring, mendelik terkesima dengan ilusi lain dihadapannya sekarang. Sosok masa lalunya.

Oh ya. Dia ingat pernah memimpikan hal ini beberapa kali dalam tidurnya, bertemu sosok masa kecilnya. Setidaknya mimpi yang sedang terjadi ini bukanlah mimpi buruk.

"Apa kau sudah mendapatkan apa yang kuinginkan di masa depan?" Si Ru kecil berjongkok memeluk lututnya dengan wajah berseri.

"Apa yang.. Ku inginkan..?" Ru dewasa mengernyitkan keningnya.

"Hah.. Masa kau lupa?" Ru kecil mengembungkan sebelah pipinya menunjukan wajah cemberutnya."Sesuatu yang tidak pernah kudapatkan, sejak keluarga Lucifer memaksaku menjadi bagian dari mereka."

"…aku ingat." Jemari lentik  Ru dewasa menyentuh plester yang menutupi pipi kiri Ru kecil, dimana salah satu luka lamanya tetap membekas hingga sekarang.

"Bagai burung rajawali yang terbang bebas langit."

"Ataupun raja singa yang bebas tidur seharian di teritorinya."

""Jiwa yang bebas.""

Kedua Ru mengatakannya bersama-sama, hingga mereka berdua cekikikan. Entah bagaimana dia membuat harapan dengan kalimat aneh seperti itu. Mengingat kembali kalimat tersebut, seperti terjebak dalam nostalgia.

Tapi mengingat dirinya sekarang tidak terkekang dan menderita seperti dulu, kalimat dari harapan tersebut hampir saja dilupakannya.

"Kenapa kau menangis, aku dewasa? Apa aku di masa depan belum juga bebas."

"Bukan begitu. Hanya..umm…"

Kepala si gadis hitam tertunduk, diam tak menjawab pertanyaan masa lalunya.

"Ayolah senyum. Kau tahu aku tidak pernah bebas tersenyum seperti yang kau lakukan sekarang."

Senyum si kecil terlihat begitu manis, walau perban yang hampir membuatnya terlihat seperti mumi dianggap hanya tempelan. Si gadis hitam sempat ragu apa masa kecilnya memang seperti ini, atau memang ingatan masa lalunya benar-benar pudar akibat terlalu banyak menghisap ganja.

"Maaf, aku hampir saja melupakan semua itu.." Air mata kembali mengalir membasahi pipinya.Kali ini diiringi senyum yang begitu tulus di bibir Ru dewasa.

"Hei.. Kau menangis lagi. Aku dewasa begitu cengeng! Hmph!" Wajah cemberut kembali ditunjukan si kecil.

"I-ini gara-gara pasir yang disemburkan kakek tua tadi tau! Dasar.." Ru segera menyeka matanya dengan lengan bajunya.

"Sebenarnya banyak yang ingin kubicarakan denganmu.. Tapi aku ingin sekali bangun.."

"Oh, kau ingin bangun? Kenapa tidak bilang daritadi?"

Sebuah tongkat berwarna pelangi bagai permen gagang payung muncul begitu saja di genggaman tangan si gadis kecil.

"T-tunggu dulu.. Bagaimana kau punya tongkat ra–"

"PUKULAN TONGKAT HUBAAAAN~!"

"AYY!!" Tongkat permen tersebut telak menghantam keras ubun-ubunnya, sebelum Ru sempat menghentikan aksi si kecil.

"SAKIT TAU! APA YANG KAU–"

Namun sebelum Ru protes dengan tindakan ilusi masa kecilnya, sosok tersebut terganti dengan pemilik si tongkat permen.

"Ratu…?"

"Apa tante sudah sadar?" Kepala bantal ungu Huban dimiringkan, menatap dekat sang gadis hitam yang baru terbangun dengan muka yang kacau.

Ru sempat menganga, tidak tahu harus merespon apa. Pemandangan gurun pasir yang masih sama saat ia tinggalkan ke dalam ilusi mimpi buruknya. Apa aku benar-benar sudah bangun?

"Tante~?" Huban mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Ru yang masih shock. Namun tidak ada jawaban sama sekali. "Apa ilusi mimpi buruknya sudah parah ya? Pukulan tongkat Hu—"

"Stop stop stop. Apa yang kau lakukan?" Ru segera menahan tongkat permen si kepala bantal, sebelum ada benjolan lain di kepalanya oleh Huban.

"Oh, sudah sadar rupanya." Huban mengatakannya dengan nada tak bersalah. "Habis tante Ru tidak menjawab, jadi kukira masih berhalusinasi."

"Aku masih dua puluh satu tahun, sayang. Dan aku hanya melamun." Ru tertawa hampa.

Tapi Ru dapat bernafas lega, mimpi buruknya akhirnya berakhir oleh gadis imut ini. Rasanya ingin sekali memeluk bantal ungu tersebut dan didekapkannya erat ke dadanya.

"Tunggu.." Si gadis hitam membatalkan niatnya, dan menatap heran si kepala bantal. "Kenapa ratu bisa ada di sini?"

"Oh, Huban.. ng… sedang mengantar kakek naga mencari surat yang kujatuhkan.." Huban tertunduk malu, menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.

"Kakek.. naga?" Ru mengekrutkan keningnya.

"Neng dah gapapa?"

Suara berat terdengar jelas dan begitu dekat di belakangnya, sempat membuat Ru takut untuk menoleh pada seseorang yang ada dibelakangnya. Suara tersebut pernah didengarnya di museum semesta, jadi harusnya Ru sudah dapat gambaran siapa yang ada di belakangnya.

Ru menoleh perlahan ke belakangnya, dimana sosok sang naga ungu sedang menatapnya dengan sepasang mata merahnya. Gadis ini kembali menelan air ludahnya.

"Eh, kalem neng." Sang naga ungu, Amut menangkap espresi ketakutan yang ditunjukan Ru. "Mbah ga akan makan neng kok. Mbah cuma makan sayuran kok, alias- péjératian."

Bukan. Ru tidak ketakutan melihat sang naga. Dia tahu naga ini tidak akan memakannya begitu saja, mengingat kelakuan Amut bisa dikatakan 'jinak' saat ia memperhatikan sang naga di Museum Semesta.

Tetapi mengingat apa yang pernah disampaikan Zainurma padanya, membuatnya takut dengan kenyataan yang baru dipahaminya.

'Lawanku… naga?'

***


[ Chapter 5 ]

"Apa itu kesempatan?"


"Semua hancur…"

Sosok wanita berwajah oriental mengepalkan keras tangan mekaniknya, menatap geram pemandangan gersang padang pasir didepan matanya, yang sulit dia percayai kalau ini adalah Anatolia.

Ingatan terakhirnya terekam ulang dalam pikirannya saat wanita ini memejamkan matanya. Ingatan yang mengerikan, bagaimana serangan maha dahsyat sosok gagak putih yang sudah menjadi mode malaikat penghancur, beradu dengan semburan cahaya yang diluncurkan dari sang naga ungu.

Kejadiannya begitu cepat, hingga yang diingatnya terakhir kali, semua ditelan kegelapan setelah serangan menyilaukan dari dua sosok penghancur tersebut.

Saat ia terbangun di tengah hamparan pasir dengan tubuhnya sudah penuh dengan luka berat, Anatolia yang ia kenal sudah tak berbentuk utuh lagi. Hanya tinggal puing-puing yang berserakan di seluruh hamparan padang pasir.

Namun pemandangan asing berupa pepohonan hijau yang muncul tak karuan, entah kenapa melegakan hati wanita ini. Setidaknya dia menemukan kehidupan berwarna didalamnya yang tidak pernah ia dapati di kehidupan berat Anatolia. Walaupun keadaan sekarang sedang tidak stabil dengan masa yang mengamuk di kota yang ditemuinya.

Mata tajam wanita ini kembali terbuka, menatap wilayah yang seluruhnya gelap bagai latar hitam, jauh di arah selatan dimensi ini. Sedikit demi sedikit, latar hitam tersebut mengikis pemandangan hijau pepohonan dan kuning padang pasir, menenggelamkannya ke dalam latar hitam itu sendiri. Bila tidak dihentikan, bukan tidak mungkin seluruh tempat ini akan menghilang.

Mungkin ini bukan lagi Anatolia. Tapi kehancuran ini harus dihentikan.

"Bheeee!"
"A-duh, ba! Jangan main seruduk atuh! Tahu bulat dari Ses Ara malah tumpah ntar."

Suara gaduh yang terdengar dari balik pepohonan dibelakang wanita ini, membangunkannya dari lamunan. Sosok putih jangkung Nwu bersama domba yang sudah menyelamatkannya, akhirnya datang.

"Gusti! Apa-apaan ini teh?!"

Nwu terbelalak dengan pemandangan padang pasir yang menyambutnya, setelah keluar dari balik pepohonan. Akari tidak menjawab pertanyaan dari Nwu, selain lirikan matanya yang tajam pada sosok si jangkung.

"Kau masih bisa makan disaat seperti ini?"

"Aduh, neng. Ses Ara nya yang maksa suruh bawain tahu bulat buat mbah Amut. Jangan salahin saya."

Akari menghela nafas. Tanpa mengucapkan apapun lagi, wanita ini mulai bergerak ke arah latar hitam jauh di ujung selatan. Nwu dan si domba mulai mengikutinya dari belakang.

"Anu.. neng Akari.." Nwu menyahut wanita beranggota badan mesin dengan ragu. "Beneran ini semua teh perbuatan mbah Amut? Nwu kurang bisa percaya soalnya."

Tidak ada respon dari Akari. Wanita ini tetap terpaku tajam pada tempat tujuannya sekarang.

"Neng? Neng Akari? Hei neng? Neng geulis~?" Nwu terus menyahut si wanita berwajah jutek tersebut. Namun tetap panggilannya tidak direspon.

"WOI NENG?! JANGAN KACANGIN SAYA ATUH!!"

Emosi Nwu naik karena terus diabaikan. Sampai si jangkung ini teriak kencang, akhirnya Akari menoleh datar padanya.

"Apa?"

"Gusti..!! AI KAMU TEH BONGÉ ATO APA SIH??! Sampai saya teh harus teriak-teriak manggil neng?!"

"Ah.." Akari berhenti melangkah. Tangannya mulai mengutak atik posisi headphone yang selalu menutup kedua telinganya.

"Telingaku memang agak tuli. Dan alat bantu pendengaranku sempat mati tadi." ucap Akari dengan wajah tak bersalah. "Tadi kau bilang apa?"

"GUSTI NU AGUUUUUNG?!"

***

"A-ah.. jadi begitu ya?"

Ru hanya menggaruk pipinya yang tidak gatal, setelah mendengar penjelasan panjang dari Huban, dengan apa yang terjadi dengannya. Rupanya kakek-kakek yang ditemuinya tadi adalah wujud mimpi buruk bingkai mimpi ini.

"Iya tante Ru~" Huban berucap girang. "Untungnya kami cepat menemukan tante di sini. Kalau terlalu lama terjebak mimpi buruk, tante bisa gila beneran lho."

"Ahaha.. Sebenarnya jadi gila itu tidak buruk." Ru cekikikan dengan nada ceria khas Huban. Sebenarnya dia ingin protes kesekian kalinya karena masih saja dipanggil tante oleh Huban.

Tapi diselamatkan oleh Huban dan Amut, Ru sudah sangat bersyukur. Gadis hitam ini kembali berterima kasih pada mereka berdua.

"Kalau tante ingin berterima kasih, harusnya pada anak anjing yang memanggil kami kemari."

Ru seketika merinding geli dengan mahluk yang disebutkan si kepala bantal. "A-anak anjing? Kau bercanda kan?"

"Ga lho neng. Mbah juga tadi denger." Si naga ungu menyela. "Tadi lagi Amut lagi jalan gendong cu Huban, anak anjing itu teh terus gonggong ga berhenti-berhenti. Pas kita samperin, kita dah nemu neng tiduran sambil nangis gitu."

"Sayangnya kita ga liat anak anjing itu sama sekali.. Padahal Huban pengen sekali ngelus.." Bantal Huban mengkerut kecewa.

"...mungkin dia lari ketakutan karena melihat naga." Ru bergumam sekilas.

"Benar juga ya? Neng aja tadi takut pas lihat mbah."

Amut langsung tertawa begitu keras, hingga Ru harus menutup kedua telinganya dari suara menggelegar sang naga. Sementara Huban malah mengomel pada Amut.

Huban melompat berdiri dari tempat duduknya di hamparan pasir kuning.

"Aku ingin cari anak anjing itu."
"E-eh?! Tunggu ra--"
"Aku tidak akan lama~"

Terlambat. Huban yang begitu semangat langsung berlari meninggalkan Ru bersama Amut di tempatnya, demi anak anjing yang sama sekali tidak ingin dilihat gadis hitam ini.

'Kenapa harus anjing? Kenapa ga kupu-kupu?'

Gadis hitam ini mulai merasa canggung, ditinggalkan begitu saja bersama naga ungu setinggi tiga meteran, yang seharusnya dia kalahkan. Tentu saja demi menuntaskan misinya untuk menyelamatkan bingkai mimpinya.

Tetapi, mengingat Amut belum mengetahui tugasnya, Ru dapat memanfaatkan situasi yang menguntungkan ini.

"Umm.. hei nag--" Ru menoleh ke arah si naga ungu yang masih duduk di sampingnya. Tapi sepertinya Amut malah sibuk sendiri menggaruk.. Telapak kaki reptilnya?

"...kau ngapain?"

"Eh. Anu, neng.. Mbah boleh minta tolong?" Amut menoleh pada si gadis hitam. "Tadi teh, mbah nginjek sesuatu. Bendanya masih nyangkut nih, kaki mbah jadi gatel daritadi."

"Boleh saja. Mana mana?"

Amut menunjukan telapak kaki besarnya pada si gadis hitam. Memang benar, ada benda yang menyangkut di sela kaki naga ini. Oh, tunggu.. Bentuknya kotak pipih berwarna hitam, memiliki layar yang sudah tidak utuh bentuknya. Ini..

"Pfft..!!"

Ru langsung membungkam mulutnya, saat ingin menertawakan benda yang menyangkut di kaki Amut. Rupanya itu ponselnya yang sudah tidak utuh masih terselip di kaki bersisik naga ungu ini.

"Aduh, neng.. Bukannya diambilin, malah ketawa." Amut mulai keheranan dengan tingkah gadis hitam ini yang sekarang malah cekikikan dibalik mulut yang dibungkamnya. Tapi tawa Ru malah dilepaskan seperti kerasukan.

'Ini perempuan emang gélo kali ya?' pikir Amut. Sebelumnya saat di Museum Semesta, Ru pun pernah tertawa tanpa alasan seperti ini.

"Ahaha.. Maaf maaf. Sebenarnya.." Ru kembali membantu Amut mengeluarkan rongsokan ponselnya di kaki Amut. Lalu dia menunjukannya pada sang naga.

"Ini anak anjing yang kalian cari."

Kali ini Amut benar-benar dibuat bingung dengan ucapan Ru, dan menganggap gadis ini benar-benar gila. Tapi setelah gadis hitam ini menjelaskan sambil tertawa, kalau suara anak anjing tadi hanyalah suara dari alarm ponselnya.

Malang sekali kalau Huban tahu, kalau anak anjing yang dicarinya hanya sebuah rongsokan yang sudah tak berguna di kaki Amut.

"Tapi.. Huban pergi lama sekali. Apa dia ga kesasar?"

Keduanya langsung terdiam sesaat. Ru segera berdiri sambil menepuk pakaiannya yang kotor ditempeli pasir kuning, diikuti si naga ungu Amut yang berdiri dengan badan membungkuk.

"Tadi dia pergi ke mana?"
"Aduh, mbah téh ga lihat. Soalnya tadi kan mbah lagi ngegarukin kaki."
"Sial, aku juga ga ingat ratu kema--"

"Kakeeeek! Tanteeeee!!"

Jeritan si gadis kepala bantal terdengar oleh mereka berdua dari arah latar hitam di ujung bingkai mimpi. Huban sedang berlari ke arah mereka berdua, sambil melambaikan tongkat permennya dengan cepat.

"Baru saja dibicarakan.. Hei Rat—"
"Hweeeeee lariii!!"

Suara Huban yang jauh kali ini terdengar seperti menangis ketakutan. Amut sempat mengorek lubang telinganya yang sepertinya tersumbat pasir, karena tidak jelas apa yang diucapkan si gadis kepala bantal.

"Tadi cu Huban bilang apa?"
"Lari."
"Hah?"
"Dia bilang lari."
"Lari?"
"Iya lari."
"Mbah denger atuh. Néng tadi bilang lari.."
"Bukan. Itu yang dikatakan ratu tadi."
"Aduh.. mbah téh tadi nanya, kenapa cu Huban nyuruh lari?"
"Ng… kenapa ya?"
 ""……""

Setelah beragumen tidak penting, Ru dan Amut sempat terdiam saling pandang kebingungan dengan maksud Huban. Tetapi setelah Ru kembali menoleh ke arah Huban yang masih berlari, ia menangkap sesuatu yang aneh dari belakang gadis tersebut.

"What the…?"

Hamparan padang pasir terlihat menjadi hitam mengejar Huban dibelakangnya. Namun setelah diperhatikan seksama, hamparan hitam tersebut adalah lautan dari kawanan besar hewan berbulu hitam lebat. Lebih tepatnya, kawanan domba hitam.

"Lariii! Mereka domba pemakan mimpi! Hweee!" Huban kembali teriak. Kali ini teriakannya cukup jelas terdengar oleh Ru dan Amut.

"Ni anak suruh kita olahraga ya..? Lari!!"
"Eh?! Tunggu néng— A-DUH GUSTIIIII !!"

Baru saja Ru berbalik mengambil ancang-ancang lari, erangan keras dari Amut menghentikan kakinya. Sang naga ungu malah berlutut di pasir memegangi pinggangnya yang kesakitan.

"Encok mbah aduuuh!! Kenapa harus kumat sekarang, Ya Gustiii!?"
"Mana ada naga kena encok macam orang tua?!"
"Mbah téh emang dah tua atuh neng! Mbah ga kuat kalo harus disuruh lari!"
"Buset ini naga.."

Teriakan Huban semakin jelas terdengar, saat kawanan domba hitam tersebut terlihat sudah berjarak lima puluh meter dari mereka, dan semakin dekat. Bila Huban si penggembala domba mimpi takut pada domba hitam, berarti domba-domba hitam ini memang berbahaya.

'Tunggu, kenapa juga harus mengkhawatirkan naga ini?'

Sebuah ide licik dari bisikan setan terlintas dikepalanya. Ru mulai mengambil beberapa langkah untuk mundur, menjauhi Amut yang masih disiksa penyakit tuanya.

'Biarkan saja domba-domba hitam itu membunuhnya. Tugasku selesai, bingkai mimpiku pun selamat.'

Kawanan domba hitam sudah tinggal sekitar lima puluh meter dari si naga ungu. Saat Amut baru bisa bangun, si gadis hitam sudah berlari meninggalkannya sendiri.

"Néng!? A-duh! Jangan tinggalin mbah atuh néng!"

'Maaf, naga… tapi aku tidak boleh mati disini.'

Amut pun segera menyusul Ru walaupun encok di pinggangnya belum sepenuhnya hilang. Tapi apa daya tubuh rapuh orang tua, naga tua ini tidak akan pernah bisa menyusul si tante-tante kantoran.

"Hweeee! Aku hanya minta surat itu! Kenapa kamu malah menyuruh mereka mengejarku Oneiroooos?!"

Bahkan si gadis kepala bantal sudah melewati tubuh besar si naga tua yang lambat. Namun teriakan Huban yang tertangkap oleh telinga si gadis hitam, seketika menghentikan langkah kaki Ru.

Sepasang iris hitamnya menyala merah saat Ru berputar balik, berlari melesat ke arah domba-domba hitam yang sudah tinggal beberapa meter di belakang Amut. Tentu saja Amut terkejut dengan tindakan nekat gadis ini.

"Gusti?! Néng?!"

'Tidak.. Itu tidak akan berhasil…'

Ru melemparkan delapan kartu spade hitam yang terbakar api hitam sembarang ke langit, hingga seluruh kartu tersebut terlihat melayang bertebaran di udara. Dalam sekejap, semua kartu tersebut melesat mengarah ke domba hitam yang paling depan di kawanan, dan terlihat sedang ditunggangi sosok tengkorak dengan kepalanya hanya sebuah bola mata.

Ledakan beruntun terjadi di tempat terakhir si penunggang domba hitam terlihat, dan mengenai sebagian domba hitam yang ada di belakangnya. Dan ledakan tersebut berhasil menghentikan lari kawanan domba lain.

'Bila menang terlalu mudah, mahakaryaku bisa berakhir pas-pasan…'

***


[ Chapter 6 ]

"Pekerjaan paling menyenangkan adalah melakukan hal yang disukai."


Seekor domba putih berlari begitu lincah melewati kawanan kerdil hitam yang sudah menginvasi seluruh jalanan kota Hamburg. Sepertinya mahluk mimpi buruk kota ini tidak bisa merasakan sosok domba ajaib tersebut.

Namun para kerdil hitam yang dilewati domba tersebut langsung memekik kesakitan dan terbakar seketika, ketika lampu sorot motor yang mengejar domba tersebut menyinari mereka.

Bukan motor polisi yang kali ini mengejar mahluk berbulu ini. Melainkan Luna yang mengendarai motor pinjaman, demi mengikuti si domba yang mengantarkannya ke tempat si pemimpi berada.

"Hei Rune! Kau terlalu cepat!" Luna teriak memanggil nama si domba yang terlalu cepat berlari, hingga motornya berkali-kali tertinggal jauh di belakang. Hingga si domba yang dinamai Rune ini memperlambat larinya.

"Nona sendiri yang tadi bilang kecepatan penuh."
"Tapi motor ini tidak bisa mengejarmu tau! Kau ini domba atau cheetah jadi-jadian?!"
"Aku ini domba bhaa!!"

Si pengemudi motor dan si domba terus saja berdebat sepanjang perjalanan mereka. Sementara wanita pendeta yang duduk di belakang Luna hanya tersenyum sambil sesekali mendengus geli.

……

"Aku tidak mengerti, kenapa anego menamai dombanya dengan namanya sendiri."
"Kau tahu sendiri kan bagaimana nona Rune—"
"Jangan lupa itu sudah menjadi nama dombanya, Net."
"…maksudku nona Ru, punya selera yang aneh. Bukan hanya seleranya, dia sendiri memang aneh."
"…benar juga. Tapi, tetap saja…"

Nethanel, Eveline, dan Mikoto malah bergosip tentang pemimpin mereka, setelah Luna sudah pergi ke arah utara bingkai mimpi, meninggalkan mereka di Chocoversum, sebuah museum coklat Hamburg yang terlihat menyala lampu-lampunya karena pembangkit listrik cadangan yang dimiliki museum tersebut.

"Aku masih tidak percaya, nasib kota ini sekarang ditangan anego…"

Mikoto menoleh pada Roxanne, yang masih terpaku pada laptopnya, mempertontonkan video rekaman yang pernah direkam Ru di museum semesta yang menampilkan pidato menyebalkan dari sang kurator Zainurma.

Ternyata domba milik boss mereka membawanya pada mereka, sebelum beliau pergi memenuhi panggilan tugasnya sebagai pemimpi utama.

"Roxy.. cukup menontonnya." Eve menghampiri si gadis blonde dan langsung mematikan video mengerikan dari boss mereka.

Namun wanita berkulit hitam ini langsung terpaku pada foto pria yang terpampang di monitor, setelah video tersebut dimatikan. Sosok pria berlukit pucat dengan penampilan tidak istimewa, dengan model gaya rambut hitamnya yang dibelah tengah.

"Foto siapa ini?" Eve menatap penasaran sosok pemuda di monitor. Roxanne hanya mengangkat pundaknya sekilas.

"Ini ada di dalam kartu memori saat aku iseng menelusuri folder galeri. Dan cukup banyak foto pria ini di dalam—"
""FOTO PRIA?!""

Teriakan Net dan Miko tiba-tiba cukup mengejutkan Eve, begitu juga si kecil Roxy. Mungkin hal ini cukup mengejutkan mereka, mengetahui kalau boss mereka itu tidak pernah terlihat ada ketertarikan dengan lawan jenis.

Namun setelah mereka memperhatikan seksama rupa wajah foto pria di monitor, sepertinya mereka masih kebingungan dengan selera boss mereka ini.

"Ini serius? Anego naksir sama orang ini?"
"Bahkan kurator menyebalkan di video jauh lebih tampan."
"Aku tidak yakin Ru menyukainya... atau dia hanya menjadi korban kejahilan boss?"
"...aku jadi kasihan dengan orang ini."

***


"Ha… hachih!"

Ru menyeka sekilas hidungnya yang sempat gatal, setelah kepulan asap hitam melewati wajahnya dan membentuk kembali sosok domba hitam yang baru saja dibakar olehnya.

Seperti kemampuan abstraksi milik para panitia turnamen mimpi, para domba hitam yang sedang mengepung gadis ini dalam lingkaran, akan menjadi kepulan asap hitam setiap kali mencoba menyerangnya.

Begitu juga si penggembala domba-domba ini, sosok kepala bola mata dengan iris ungu, dengan badan seluruhnya hanya tengkorak mengenakan jubah ungu, Oneiros. Penggembala domba hitam ini akan berabstraksi menjadi bola-bola mata kecil yang menyeruak di udara, setiap kali serangan apapun mengenainya.

"Kembalikan surat itu.." titah Oneiros, diantara kumpulan domba-dombanya yang mengurung si gadis hitam.

"Surat? Oh.. Maksudmu ini?" Ru mengayunkan sebuah gulungan kertas coklat yang masih terpasang segel di tangannya. Dengan seringai lebar Ru yang terkesan meledek, Oneiros terlihat kesal dengan tangannya yang menggenggam erat tongkatnya.

"Aaaa! Itu suratnya kakek!" Si kepala bantal berseru di samping Amut, dimana mereka berdua berada diluar kepungan domba-domba hitam. Berterima kasihlah pada Huban yang mengusir mereka dari naga tua ini dengan tongkat permennya.

Kenapa tidak dari awal saja ya dia mengusirnya?

"Hei naga! Encoknya udahan kan?" Ru berseru pada si naga yang masih memukul pelan pinggang belakangnya.

"Aduh, bentar néng.. encok di pinggang mbah udah mendingan. Tapi malah pindah di lutut sekarang."

Ru mengernyitkan keningnya. 'Serius? Lawanku naga bongotan macam ini?'

"Kau tahu kan, sudah tugas ratu mengantarkannya pada Amut?" Ru menatap malas gulungan kertas yang terus dimainkannya dengan dilempar-lempar kecil ke udara. "Apa alasannya kau mengganggu tugas si bantal imut?"

"Karena.." Mata satu Oneiros terlihat tertunduk. "Aku tidak mau reverier berhasil dalam apapun."

"Kenapa? Kau membenci para pemimpi?" Tangan si gadis hitam ini berhenti memainkan gulungan kertas di tangannya, menatap penasaran si penggembala domba hitam yang nampaknya lebih banyak diam.

"Aku.. tidak membenci mereka.. Karena mereka juga, mimpi itu ada… Tapi.. kalian para pemimpi pilihan Kehendak..!"

Iris ungu Oneiros perlahan menjadi merah gelap, menatap lurus pada Ru dengan tatapan yang begitu mengerikan. Entah kenapa tatapan bocah jubah ungu ini membuat lemas lutut si gadis hitam, seperti takut dengan penampakan yang dilihatnya dari iris merah gelapnya.

"Kalian sudah merusak keindahan alam mimpi.. Termasuk bingkai mimpi yang terdistorsi ini..!"

Penampakan yang Ru lihat dari iris merah Oneiros semakin terlihat jelas, sosok serigala hitam yang sedang menggeram marah berdiri di depan si jubah ungu. Si gadis hitam reflek menjaga jarak sejauh mungkin dari sosok serigala. Namun apadaya, dia masih terperangkap oleh kawanan domba hitam.

"M-menjauh..!"

"Aku.. benci kalian semua..!"

Si serigala hitam semakin mendekati Ru yang jelas ketakutan. Ru menutup telinganya rapat-rapat sambil berteriak histeris dari geraman mengerikan sosok serigala didepannya.

"T-tidak! Jauhkan dia!!"

"Reverier..! Kurator..! Bahkan juga.. Kehen—"

"Pukulan tongkat Huban~!"

Tongkat permen si kepala bantal mengetuk belakang bola mata besar dari Oneiros. Namun tidak seperti saat memukul kepala Ru. Ketukannya begitu pelan hingga tidak terdengar suara ketukan pada si jubah ungu.

Tetapi perbuatan Huban berhasil menghentikan gerakan serigala hitam, karena perhatian Oneiros teralihkan pada si gadis bantal di belakangnya. Tapi Ru nampak masih histeris ketakutan, hingga mata gadis ini banjir air mata.

"Oneiros? Kau tidak terpengaruh mahluk mimpi buruk kan?" Huban seolah menatap polos Oneiros dari bantal ungu yang tak memiliki wajah tersebut.

"Apa maksudmu, Huban?" Oneiros dibuat kebingungan dengan maksud Huban. Mana mungkin mahluk mimpi buruk dapat mempengaruhi penggembala domba mimpi seperti mereka?

"Habisnya, kamu bertingkah aneh akhir-akhir ini." Huban memiringkan kepala bantalnya. "Biasanya Oneiros yang mengingatkan kalau Huban salah melakukan tugas. Tapi sekarang, Oneiros sendiri yang membuat pekerjaan Huban salah."

Iris merah si penggembala domba hitam ini perlahan kembali ke warna ungunya, bersamaan dengan sosok serigala hitam peneror Ru menghilang. Si gadis hitam langsung bernafas lega.

"Aku hanya.. tidak menyukai turnamen mimpi ini.. Pekerjaanku menjadi terganggu karenanya.." Oneiros memalingkan bola matanya dari si kepala bantal.

"Kita kembali ke Museum yuk? Kalau Mirabelle tahu kamu mengganggu reverier, nanti kena marah lho."

Huban menarik tangan tengkorak Oneiros yang terbalut sarung tangan dari wool ungu. Namun si jubah ungu segera menarik tangannya kembali dengan kasar.

"Tugasku disini belum selesai.." tolak pelan Oneiros.

"Anu.. cu?" Si naga tua yang daritadi mengerang kesakitan dengan penyakit tuanya, mulai menghampiri kedua sosok anak kecil aneh ini. "Kalau mbah boleh tahu, pekerjaan kamu teh apa? Kenapa kami teh jadi pengganggu?"

Oneiros sebenarnya enggan menjawab pertanyaan dari Amut. Mengingat naga ungu ini adalah reverier. Dan tugasnya disini sebenarnya untuk mengembala domba-dombanya untuk memakan bingkai mimpi milik sang naga.

"Tugas Oneiros dan domba-dombanya memakan bingkai mimpi ini, kakek." Huban ceplos saja mengatakannya pada sang naga. Tentu saja itu mengagetkan Amut si pemilik bingkai mimpi, begitu juga Oneiros.

'Dasar Huban..' Si jubah ungu menggerutu dalam hati.

"Oneiros, kan?"

Si gadis hitam menyahut si penggembala domba hitam dari tempatnya. Nampaknya espresi Ru sudah kembali seperti sebelumnya setelah sosok serigala yang ditakutinya sudah menghilang.

"Bisa kau tunda dulu pekerjaanmu itu, sebentaaaar saja?" Ru memasang senyum manisnya pada Oneiros. "Aku janji. Sampai kami berdua selesai bertarung, kau boleh kembali melanjutkan tugasmu itu."

"......"

Si kepala bola mata nampaknya ragu dengan ucapan Ru. Namun setelah terus mencoba meyakinkan Oneiros, akhirnya si penggembala domba hitam ini setuju.

Dalam beberapa detik, Oneiros dan seluruh domba hitamnya menjadi wujud abstraksi mereka, sebelum meninggalkan bingkai mimpi terdistorsi ini. Huban pun nampak pergi menyusul Oneiros, karena tugasnya disini sudah selesai.

"Bertarung? Maksud kamu tadi téh apa?" Si naga ungu nampaknya semakin kebingungan

"Oh, aku sampai lupa.." Ru langsung melemparkan gulungan kertas yang daritadi dia pegang ke arah sang naga.

Segel surat tersebut nampaknya sudah dibuka, sebelum Amut membaca isinya. Sepertinya si gadis hitam ini sudah membaca isinya sebelum si naga. Walaupun Ru sudah mendapat semua informasi dari Zainurma, ada pernyataan yang tidak diucapkan oleh sang kurator.

[ Reverier yang kalah dalam pertarungan, jiwa dan seluruh isi bingkai mimpinya akan langsung menjadi barang koleksi Museum Semesta ]

"Sekarang kau mengerti kan?" Si gadis hitam menyeringai lebar.

Nampaknya ini posisi yang paling menguntungkan bagi Ru. Bertarung melawannya pun nampaknya percuma bagi naga ini. Bila Amut kalah, dia dan bingkai mimpinya akan berakhir menjadi koleksi Museum semesta. Ataupun naga ini berhasil mengalahkannya, dia akan tetap kehilangan bingkai mimpinya karena dimakan oleh domba-domba hitam Oneiros.

Sekarang, hanya tinggal menunggu keputusan sang naga. Ingin bertarung walau tidak menguntungkan apa-apa baginya, atau menyerah dan membiarkan Ru mrmbunuhnya.

"Anu.. neng? Boleh mbah minta tolong bacain isi suratnya ga?" pinta Amut tiba-tiba. "Tulisannya terlalu kecil. Mbah ga bawa kacamata baca soalnya."

Ru langsung menepuk keras jidatnya.

'Ampun dah ini naga...'

***

[ Chapter 7 ]

"Diantara dua pilihan, pilih yang ketiga."


Ruang hampa kosong, dimana hanya warna hitam yang terlihat sejauh mata memandang. Namun walau tempat ini hanya ada warna hitam, bukan berarti tempat ini gelap. Bila ada sosok asing yang berada di tempat ini, dia akan terlihat kontras dari latar hitam tempat ini.

Tempat ini sebelumnya adalah Anatolia dan Vana, sebelum para domba hitam milik Oneiros memakannya. Tidak ada apa-apa disini, selain keheningan dan kekosongan absolute. Kecuali,

"GROOOOOAAAAAAAAAAAAAAARH!!"

Monster penghuni kekosongan berwujud kadal besar setinggi dua puluh meter, memecah keheningan tempat kosong ini dengan raungan keras penuh amarah. Bahkan raungan monster tersebut sampai terdengar hingga menembus perbatasan kedua bingkai mimpi yang bersebelahan.

***

"Suara itu…"

Akari berhenti melangkah, ketika suara berat raungan seekor monster terdengar cukup keras dari balik latar hitam, perbatasan gurun pasir dan ruang hitam kosong yang sudah terlihat jelas membentang di hadapannya.

Nwu nampak cemas mendengar raungan tersebut. Bagi yang mengenal bagaimana sosok gurunya, muridnya langsung mengenali suara ini, yaitu raungan dari Amut.

Namun sebelum mereka menuju tempat dimana asal raungan tersebut, Akari dan Nwu mendapati area disekitarnya begitu berantakan, seperti baru saja terjadi pertarungan dengan dua kekuatan yang tidak biasa.

Beberapa pohon hijau yang tumbuh terpisah dari area hutan terlihat tumbang dengan potongan batangnya yang begitu rapi. Bahkan ada sebuah lintasan yang begitu panjang lurus yang terbentuk di pasir, sampai menembus beberapa bangkai kapal hancur sepanjang lintasan. Nwu langsung mengenali penyebab kekacauan tersebut, kemampuan Warisan Nagasari milik Mbah Amut.

'Mbah…'

Namun yang menarik perhatian gadis setengah mesin ini, kartu-kartu hitam yang tercecer tak karuan di pasir, sebagian masih terbakar sepercik api hitam. Akari sempat mencoba mematikan api tersebut dengan menginjak salah satu kartu, namun api tersebut tidak kunjung padam.

"Mbeeee!"

Si domba milik naga mengembik tidak jauh di belakang mereka, mencoba memanggil kedua manusia tersebut. Kaki depannya menunjukan sesuatu tergeletak di hamparan pasir.

Surat gulungan dari sang kurator.

***

Luna menghentikan laju motornya mendadak, tepat beberapa meter dari layar hitam batas bingkai mimpi dihadapannya. Suara raungan keras dibalik kegelapan penyebab gadis ini ragu untuk melanjutkan pencariannya.

"Kenapa?" si pendeta wanita menangkap reaksi ketakutan dari Luna. "Dombanya sudah lari ke dalam tuh."

"A-aku tahu! Kau tidak dengar suara monster tadi?" Luna reflek membentak, demi menutup ketakutannya.Tapi pendeta ini malah tetap memasang senyumnya.

"Jangan takut. Saya mengenal jelas suara itu. Ini suara naga, dan dia tidak berbahaya."

Luna tidak terlalu yakin dengan perkataan sang pendeta. "Benarkah?"

Si pendeta mengangguk. "Percayakan pada saya. Dia hanya akan mengamuk sebentar."


***


┌ ─
│        
            "Khh…!!" Amut nampaknya tidak dapat bergerak sama sekali sekarang. Karena sulur-sulur hitam yang bercabang dan berduri, membelit seluruh anggota tubuhnya muncul dari bayangan di pijakannya sendiri.

Sementara Ru di hadapannya dengan kedua bola matanya sudah seluruhnya hitam, kedua tangannya terus mengendalikan sulur-sulur bayangannya. Bahkan ia terus menambah sulur berduri tersebut, melilit tiap anggota badan sang naga tua yang semakin sulit.

Salahkan encok naga tua ini malah kambuh, hingga Ru dapat mengunci pergerakan Amut.

"Sudah kubilang menyerah saja Amut! Kau tidak dengar bocah pengembala tadi bilang apa?" Ru semakin mengencangkan lilitan sulur bayangannya, membuat Amut semakin kesakitan.

"Walau kau mengalahkanku, hasilnya akan sama saja! Kau akan tetap kehilangan bingkai mimpimu!"

"Mana mungkin mbah nyerah gitu aja?!"

Amut mengerang dan memberontak kuat, hingga beberapa sulur bayangan si gadis hitam terputus. Namun Ru segera menambah sulur bayangannya, dan tetap menahan tubuh besar sang naga.

"Mbah.. ga mau lagi kehilangan sesuatu yang berarti punya mbah! Apalagi ngebiarin Vana menghilang!"

'Keras kepala…'

Ru tidak dapat menyangkal, kalau naga ini pun tidak ingin kalau tempat tinggalnya dan juga penghuninya. Tapi gadis ini pun tidak ingin mengalami hal yang sama.

"Lalu apa yang akan kau lakukan kalau berhasil mengalahkanku?"

"Mbah akan meminta pria klimis—"

"Oh tunggu. Apa yang kukatakan tadi? Berhasil mengalahkanku? Hah! Tidak akan kubiarkan itu terjadi!!"

Kedua tangan gadis ini terangkat tinggi, ketika sulur bayangannya langsung menyeruak liar dari tanah dan menyelimuti seluruh tubuh besar sang naga dalam hitungan detik.

"Semoga tenang di museum.. Amut!!"

Ketika Ru meneriakan nama sang naga, seluruh duri pada sulur bayangannya yang semula hanya sepanjang dua senti, seketika memanjang hingga sepuluh kali lipat. Beberapa detik tubuh sang naga berhenti meronta dengan duri-duri yang sudah menusuk seluruh tubuhnya, gadis ini melepaskan seluruh tubuh sang naga dari bayangannya.

Tubuh Amut langsung ambruk di hadapannya, dengan darah sang naga mengalir membasahi tubuhnya sendiri.

'S-sial.. permainan ini tidak menyenangkan lagi…'

Keringat sudah membasahi wajah gadis hitam ini. Didapati tenaganya sudah begitu lemah, dengan keadaan penyakit gulanya yang mulai kumat. Oh, ya. Bagaimana dia lupa waktu rutin suntikannya sudah lewat begitu jauh? Untung telatnya ga sampai pingsan.

Dengan tangannya yang mulai gemetar, pena insulin segera dikeluarkannya dari dalam tas kecil di balik blazernya.

"..kalah.. jadi abu.."

Baru saja si gadis hitam menyuntikan insulinnya pada perutnya, suara bergumam dari sang naga tua mengejutkan si gadis hitam. Ia tidak menyangka naga tua ini masih hidup dengan serangannya tadi.

"..menang jadi arang.."

Suhu di sekitar tubuh besar Amut meningkat, hingga si gadis hitam harus mundur dari sang naga karena kepanasan. Aura merah yang berkobar terang menyelimuti naga ungu ini, mengatakan pada Ru kalau ini bukan pertanda yang tidak bagus.

'…harusnya kubiarkan saja dia mati oleh domba-domba tadi.'

"O, AMUK, KAPAK!!"
─ ┘


'Setan.. Telingaku..'

Teriakan keras terakhir sang monster kadal, sukses membuat gendang telinga gadis hitam ini rusak. Entah dia akan tuli sementara atau selamanya, karena indra pendengarannya sekarang tidak akan berguna, mau tidak mau Ru tidak boleh mengedipkan matanya dari sang monster.

Sementara si monster raksasa di dalam kegelapan tidak hentinya mengejar sang gadis hitam, diselingi melemparinya tanpa henti cahaya sabit dari tebasan cakar kuku tajamnya. Ru harus berlari zigzag menghindari serangan sang monster raksasa, daripada tubuhnya terbelah dua.

Sulit dipercaya, monster raksasa yang terus menyerangnya ini adalah wujud lain Amut.

Urat merah yang menyala disekujur tubuh sang naga raksasa begitu mencolok di tengah kegelapan ruang kosong, membuat si gadis hitam dengan mudah menangkap pergerakan Amut yang tak henti ingin membelah tubuh Ru.

Setidaknya memancing Amut dalam mode berserk-nya ke dalam kawasan yang penuh dengan latar hitam ide yang cukup bagus. Karena gadis hitam ini akan lebih leluasa bergerak di wilayah hitam kosong ini, terutama dengan embodiment nya yang akan menggandakan kecepatannya di tengah kegelapan.

"..MENEMBUS MÉGA.."

Tiba-tiba Amut berhenti melemparkan cahaya sabit pemotong, sebelum si gadis hitam juga berhenti berlarian dari serangan pemotong Amut.

"..MENGHAPUS CAKRAWALA.."

Mulut besar sang naga terlihat bergerak mengucapkan sesuatu. Ru tidak dapat mendengarnya, namun dari cahaya merah yang bersinar membara di dalam mulut besar sang naga.

'Dalam wujud seperti itu..?!'

Dalam sekejap, sosok si gadis hitam menghilang dalam kegelapan. Sang monster yang kehilangan target buruannya tiba-tiba, konsentrasi.jurus semburan apinya pun buyar.

Baru beberapa detik mangsanya menghilang, naga ini meraung kesakitan. Puluhan kartu bayangan muncul tiba-tiba dari belakang bagai kawanan liar lebah yang marah, hingga sayap sang naga tersayat tak karuan.

Mata merah menyala Amut langsung menoleh ke belakang dengan tatapan murka, dimana sang gadis hitam berdiri mengendalikan kawanan hama yang sudah merusak sayapnya.

"Bhugh?!"

Ekor sang naga yang panjangnya lebih dari lima meter, langsung menghantam keras tubuh Ru dari samping hingga terlempar jauh hampir sepuluh meter. Gadis hitam ini kesulitan bangkit dengan rasa sakit dari serangan dadakan Amut, sementara badannya yang telungkup di lantai hitam merasakan getaran dari kaki besar si naga yang berlari ke arahnya.

"Siiiiis!!"

Teriakan kembaran si gadis hitam di balik suara mesin motor yang berderu semakin keras mendekat, mengalihkan perhatian sang naga.

Dari arah suara bising dari sepeda motor, sorot cahaya lampu dari motor Luna cukup membuat sang monster naga merasa silau, hingga Amut tidak menyadari kendaraan tersebut terus dipicu ke arahnya dalam kecepatan tinggi.

"LOMPAT!!"

Luna langsung melompat dari motornya, bersamaan penumpang wanita yang menemaninya menuju tempat ini, si pendeta wanita misterius.

Motor yang masih melaju dengan kecepatan tinggi tanpa pengemudi, langsung menabrak keras kaki Amut hingga rusak, hingga sang naga kembali meraung keras. Sekarang perhatiannya langsung tertuju pada gadis putih yang baru menyerangnya.

"Luna?!"

Si gadis hitam melihat jelas aksi nekat yang dilakukan adiknya. Tidak sampai disana, Luna yang sekarang menjadi sasaran amukan naga penghancur ini segera berlari dengan kedua kakinya yang diselimuti api menjauh dari kakaknya.

"Tung— ugh.. fick!"

Luka dalam yang ia derita, membuat Ru belum bisa bangkit. Sementara adiknya sudah pergi menjauh darinya, bersama sang raksasa yang mengejarnya dari belakang.

Namun cahaya putih menenangkan bersinar tepat dimana Ru berbaring sempat mengejutkannya. Dirasakan olehnya, rasa sakit di dalam tubuhnya perlahan menghilang. Sihir penyembuh?

"Néng, kamu gapapa kan?"

Suara wanita lembut tertangkap telinganya, yang rupanya disembuhkan sihir cahaya ini juga. Dan suara tersebut dari si pendeta wanita yang dipanggil Syu, sudah berdiri dihadapan.

"Bhaaa~"

Embikan domba terdengar di belakang Syu, setelah hewan berbulu lebat seperti kapas tersebut muncul dan langsung menindih si gadis hitam. Pantas saja Luna mengetahui lokasinya.

...

Luna terus melompat akrobatik parkournya selagi berlari, disaat serangan cakar pemotong dari sang naga. Namun baru beberapa menit sosok tomboy ini membiarkan dirinya menjadi umpan monster raksasa ini, si gadis eksentrik putih mendapati semakin lambat saja naga ungu ini mengejarnya.

'Sesuai kata Syu..' Luna menoleh kebelakang, mendesah lega. 'Sekarang menunggu naga ini…'

Baru saja Luna akan memprediksinya, naga raksasa ini ambruk sendirinya ke tanah. Aura merah yang menyala di sekujur tubuh monster ini meredup, diikuti ukuran badan sang naga yang menyusut , dari dua puluh meteran, hanya tinggal menjadi setinggi tiga meter.

Luna menghentikan pelariannya. Ia mencoba menghampiri dengan hati-hati tubuh tak berdaya si naga ungu beruban, yang terlihat begitu sekarat berbaring di lantai hitam. Naga ini masih hidup.

Tapi dia tidak akan melakukan apa-apa pada naga malang ini. Karena Syu si pendeta bilang padanya akan mengurus monster ini setelah aksi memancing-nya selesai.

"A… apa… khh…"

Nafas gadis ini tertahan tiba-tiba, ketika sebuah tangan pucat dengan kelima kuku merah tajam bagai pisau, sudah menembus perut Luna dari belakang. Dengan mata terbelalak menoleh ke belakang, tangan tersebut dari sosok pria jangkung Nwu.

Tidak hanya Nwu, namun Akari di belakang mayat hidup ini menodongkan sebuah Assault Rifle ditangannya, menargetkan sasarannya pada kepala gadis ini.

"Ga akan kubiarkan, kau membunuh Amut." Nwu menunjukan tatapan kebencian pada sang gadis putih.

'Tunggu..! A-aku bukan..!'

Suara Luna tidak dapat keluar. Ia malah terbatuk dengan darah keluar dari mulutnya. Sementara tangan Nwu semakin kasar menembus perut gadis ini, membuat rasa sakit di perutnya menjadi-jadi.

"Maafkan aku." Telunjuk Akari perlahan menarik pelatuk senapan mesinnya. "Tapi ini untuk Anatolia."

'SIS?!!'

……

Suara letusan menggema di ruang kosong mengagetkan Ru yang baru saja pulih dari lukanya. Dan suara tersebut dari arah Luna menghilang bersama sang naga.

'Kenapa perasaanku.. tidak.. j-jangan bilang..!'

Bola mata Ru kembali menghitam, diikuti seluruh kulit tubuhnya yang menghitam dengan teknik embodimentnya. Seketika si gadis hitam sudah menghilang kembali, meninggalkan Syu bersama dombanya sendirian.

……

Tubuh Luna jatuh tergeletak di permukaan lantai hitam, dengan tubuh penuh lubang dari tembakan beruntun yang dimuntahkan senjata api milik Akari. Tidak ada nafas ataupun detak jantung yang terdengar dari sosok gadis eksentrik ini. Dia tewas.

Akari menyayangkan dengan aksi yang baru dilakukannya, menembak warga tidak bersalah seperti Luna. Tapi bila apa yang tertulis dalam surat perintah kurator benar, reverier yang kalah akan kehilangan bingkai mimpinya.

"N-Nwu…" suara lirih dari tubuh sekarat naga ungu terdengar. Nwu segera menghampiri Amut yang akhirnya siuman.

"Mbah! Mbah! Alhamdulillah Gustiii!!" rasa senang dan cemas tercampur aduk di hati Nwu, hingga sosok pucat ini terlihat menangis. Ditambah berita gembira yang akan diberikannya pada naga ungu ini tidak sabar untuk dikatakan.

"Kita sudah menang Mbah! Sekarang.. sekarang Vana sudah selamat mbah!"

"Kamu.. téh… n-ngomong.. apa..?"

Nwu segera menunjuk jasad Luna yang tergeletak tidak jauh dari Amut.

"Lihat! Reperier lawan mbah dah Nwu bunuh. Itu berarti, mbah menang kan? Ya kan Mbah??"

Iris merah sang naga ungu mencoba memperhatikan jasad malang gadis berambut putih pendek.

"A-duh.. Nwu…" Dari nada lesu yang dikeluarkan Amut terdengar jelas ia kecewa dengan muridnya ini. "..reperier.. lawan mbah téh.. bukan dia.."

Nwu langsung shock. "L-lah? Kok bisa? Lalu lawan mbah téh yang mana?"

"Dia perempuan berambut hitam panjang berusia dua satu tahun, dengan pakaiannya yang selalu berwarna hitam. Perempuan itu pun tidak bisa makan gula, karena akan membunuhnya."

Suara yang mendeskripsikan lengkap lawan dari sang naga, justru terucap dari sosok si gadis hitam itu sendiri yang sudah berada lima meter berdiri dari kawanan Amut.

Gadis hitam ini nampak tersenyum lebar, walau wajahnya samar terlihat dengan kegelapan yang menyembunyikan mata kosongnya.

"Hei.. naga bongotan. Aku benar-benar menyesal membiarkanmu hidup sampai sekarang.."

Beberapa wujud kartu terbakar api hijau dengan corak hitam terlihat melayang di sekitar si gadis hitam. Dan jumlah bara kartu api tersebut terus bertambah.

"Kau sudah merusak ponselku.. Dan kau sempat membuat telingaku tuli…"

Suhu disekitar kartu-kartu apinya mulai terasa panas, disertai bau menyengat racun korosif dari sifat api hijaunya. Ditambah jumlah kartu api yang melayang sudah berjumlah puluhan melayang di udara.

"Sekarang.. Zombie bodoh kawanmu itu salah mengira, kalau adikku itu reverier?"

Semua api hijau bercorak hitam mulai bergerak berputar, mengurung ketiga orang tersebut dalam lingkaran.

"N-néng.. tun—"

"Tutup mulutmu itu!"

Kedua mata gadis hitam ini langsung bersinar merah darah, menatap murka ketiga orang didepannya. Namun Ru kembali memejamkan matanya.

"…sebenarnya, aku ingin mengoleksi beberapa organ dalam naga. Tapi untuk naga tua sepertimu.. sepertinya tidak berguna untuk dikoleksi."

Hanya dengan kibasan ringan tangan kanannya, semua kartu api hijaunya serempak mengarah ke tiga sosok hidup di kurungan api sang gadis. Mereka bertiga langsung menjerit kepanasan, bagaimana api hijaunya mulai melelehkan tubuh mereka hingga tulang.

Sementara sosok Amut nampaknya tidak begitu banyak meronta, tidak seperti Nwu dan Akari yang sosoknya sudah tinggal tulang berulang dalam hitungan detik. Tubuh si naga memang sudah sekarat sebelum ia bakar, walau tubuh Amut nampaknya perlu proses yang paling lama untuk hancur oleh api hijaunya.

"Istirahat dengan tenang… di Museum Semesta."

***

[ Epilogue ]
- 1 -
"Resiko."


Semua wujud mimpi buruk di kedua bingkai mimpi menghilang. Para penghuni kota terdengar bersorak gembira, akhinya terror invansi para kerdil hitam sudah berakhir di kota ini. Setelah memperbaiki sumber listrik yang mati, kota Hamburg kembali terang dihiasi lampu gemerlap khas kota tersebut.

Akibat tewasnya Amut dalam permainan ini, seluruh penduduk alam Vana diselimuti cahaya sebelum mereka akhirnya menghilang, bahkan Syu juga ikut menghilang bersama mereka.

Namun tidak seperti yang tertulis dalam surat perintah, bahwa bingkai mimpi lawan yang kalah akan ikut menghilang menjadi koleksi museum semesta. Bingkai mimpi terdistorsi ini tetap ada, walau sudah tidak ada penghuni lagi di tempat ini.

Mungkin Kehendak tidak tertarik mengoleksi bingkai mimpi cacat ini.

Sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja, hingga tempat itu akan menghilang dengan sendirinya. Karena domba-domba hitam pemakan mimpi sudah terlihat kembali bergerombol di sana.

Lalu, di perbatasan bingkai mimpi utara Hamburg…

"Ayolah tante~ Bersemangat! Tante kan sudah menang~"

Huban terus mengetuk-ngetuk tongkat permennya pada punggung sang pemenang. Namun espresi Ru terlihat kosong saat gadis hitam ini berdiri di tepi danau Alster, menatap refleksi buyar dirinya di permukaan air danau yang hitam.

Kepala bantal Huban sempat mengkerut karena tidak direspon oleh tante-tante kantoran ini.

"Tante! Luna kan sudah disembuhkan oleh Mirabelle. Sebentar lagi adik tante siuman kok~!"

"Aku tahu, Ratu.. aku hanya.." Suara Ru begitu pelan terdengar, hampir seperti berbisik. Kepalanya semakin tertunduk, membuat poninya menyembunyikan matanya di balik bayangan.

"..aku mulai membenci permainan ini… rasanya Kehendak kurang adil.."

"Kurang adil?" kepala bantal Huban dimiringkan.

"Ratu.. apa kau tahu apa impian terbesar Amut?"

Pertanyaan dari Ru sempat membuat si kepala bantal terdiam. Huban sempat menggaruk kepala belakangnya, mencoba mengingat-ingat mimpi dari si naga tua.

"Oh! Huban ingat~" Kepala bantal Huban mengembung. "Dia ingin menjadi manusia!"
"Manusia?"
"Benar~! Kakek Amut bilang, dia ingin menjadi manusia. Manusia yang bijak~!"

Mendengar jawaban riang dari Huban, sempat membuat Ru cekikikan. Si kepala bantal tidak mengerti apa yang lucu, tapi dia ikut tertawa bersama gadis hitam ini.

'Ah.. semua pemimpi reverier nampaknya punya mimpi yang unik.' pikir si gadis hitam.

"Kalau mimpi tante Ru sendiri apa?" kali ini Huban yang bertanya, karena Ru belum pernah mengatakan apa mimpinya.

"Mimpiku? Hmm…"

Ru mengusap dagunya untuk berpikir. Mungkin karena mimpi mereka yang unik dan punya tekat kuat untuk menghujudkannya, Kehendak memilih mereka dalam turnamen mimpi ini.

Namun semakin lama gadis hitam ini berpikir, wajahnya nampak terlihat semakin pucat.

Kalau diingat-ingat, mimpinya terdahulu untuk bebas dari siksaan keluarga Lucifer sudah ia dapatkan. Sekarang ia hanya tukang bandar poker yang selalu sukses dalam pekerjaannya. Kehidupannya pun rasanya dilalui begitu tenang dan membosankan, tidak ada hal yang diinginkannya sampai ajal menjemput.

Lalu kenapa Kehendak memilihnya, yang tidak punya mimpi?

"Tante?" Huban kembali menyahut Ru, tidak sabar menunggu jawaban gadis hitam ini.

'Apa… mimpiku?'

***

- 2 -
"Wadah penampung keluarga ini."

Note: Banyak unsur wibu di sini.

Suara bedside monitor tidak pernah berhenti berbunyi di suatu kamar rumah sakit di, selama layar tersebut menampilkan semua status pasien wanita bersurai hitam yang terbaring koma.

Sosok wanita itu tidak sendirian di ruangannya berbaring. Sosok pria tiga puluh tahunan, dengan setia duduk di kursi yang disediakan fasilitas rumah sakit di samping ranjang pasien. Walau pria tersebut tahu, bila wanita yang terlihat tertidur pulas tersebut tidak akan bangun dalam waktu dekat.

Hanya dihibur sebuah buku kecil seukuran saku bersampul hitam, pria bermarga asli Lucifer ini betah berlama-lama menemani pasien yang tidak ada hubungan darah dengannya sama sekali. Walaupun begitu, pria ini memiliki perasaan pada sang pasien layaknya keluarganya sendiri.

Baru saja pria ini membuka lembaran baru halaman bukunya, sepasang iris hitamnya yang terlihat selalu hitam kosong bergilir ke arah pintu masuk kamar.

"Apa kau akan tetap berdiri di sana sampai aku menyuruhmu masuk, atau harus aku yang menyeretmu ke dalam?"

Pendengaran tajamnya tidak dapat menipu keberadaan seorang gadis, yang berdiri mematung di balik pintu akan ragu untuk masuk ke dalam kamar sang pasien. Namun keberadaannya sudah ketahuan. Tidak ada alasan lain lagi untuk sang gadis terus sembunyi di balik pintu.

"Aku bukan anak kecil yang perlu diseret-seret lagi, Tendou-nii.." ucap pelan gadis yang akrab dipanggil Kay ini memanggil kakak laki-lakinya. Saat pintu kamar terbuka, gadis remaja tersebut menunjukan surai hitam panjangnya yang tergerai seperti milik sang pasien, namun dengan wajah tanpa espresi dari sepasang iris aquamarine miliknya.

"Ayolah masuk. Lune juga tidak akan keberatan dijenguk adik perempuannya kan?"

Senyum rubah dari Tendou tidak mengubah wajah tanpa espresi dari Kay. Walaupun begitu, gadis bermata es ini akhirnya masuk ke dalam kamar Ru, sang pasien.

Kehadiran satu lagi keturunan klan Lucifer, tidak mengubah keheningan kamar ini. Kay terdiam menatap dalam pasien yang sedang terbujur koma dalam jarak yang dekat.

"Nii.." sahut pelan Kay. "Kegelapan di kota Hamburg semakin melu—"

"Ya..aku sudah mendengarnya di berita tadi pagi."Tendou menyela, dengan pandangan yang sudah kembali pada buku saku di tangannya.

"Apa masih ada hubungannya dengan mimpi yang kalian alami..dan neechi?"

"Hal itu masih belum pasti.Tapi, kalau memang masih ada hubungannya, Rune pastinya sedang bersenang-senang di sana." Tendou tertawa pelan dengan bibirnya yang rapat.Mengingat bagaimana sifat kakak perempuannya itu, Kay anggap ucapan Tendou benar.

Setelah percakapan terhenti, suasana kamar kembali hening. Si mata es terus terpaku pada sosok pucat yang entah kapan bangun dari komanya.

"Nii.." Kay kembali menoleh sang kakak. "Kenapa iblis milik Chloro-sama.. bisa memilih diluar keturunan Lucifer seperti nee-chi?"

Pertanyaan tersebut, langsung membuat Tendou menutup bukunya. Kay terlihat terkejut dengan reaksi putra sulung Lucifer ini.

"M-maaf nii…" Kay menundukan kepalanya.

Gadis es ini lupa kalau pertanyaan tersebut tabu ditanyakan. Mengingat bagaimana iblis pemilik generasi pertama Lucifer memilih Ru, berarti berhubungan kenapa iblis milik Chloro tidak memilih putra sulung ini, yang seharusnya menjadi pemilik sah iblis sang gadis hitam.

"Tidak apa-apa. Aku sudah tidak menginginkan iblis itu, sejak Lune menggantikanku." Tendou menunjukan senyum rubahnya pada sang adik. "Lagipula, walau tanpa iblis itu, aku masih menjadi pemimpin utama keluarga kan?"

Kay merasa lega, kakaknya tidak marah dengan pertanyaan tabu yang keluar tiba-tiba dari mulutnya.

"Tapi, kenapa nee-chi diijinkan pergi dari rumah? Nii tahu kan pemilik iblis Luci—"
"Tidak, dia tidak pergi. Dia hanya kuijinkan cuti."
"…selama tiga tahun?"
"Oh? Ini sudah tiga tahun ya? Padahal dia baru minta tambah waktu cutinya kemarin."

Tendou tertawa pelan dengan nada khas bergumamnya, walau respon Kay tetap ditunjukan datar. Walau gadis es ini tidak ingat kejadian yang dialaminya tiga tahun lalu, membuatnya harus memisahkan kedua adik perempuannya ini.

Terutama, bila wanita iblis di dalam Kay kembali berbuat ulah pada wadah iblis keluarga Lucifer.

Kejadian itu tidak boleh terulang lagi.

"Nii? Bisa kau ceritakan kembali, tentang mimpi yang nii alami waktu itu, bersama Fujiya dan Fukuro?"

"Hng? Kukira kau tidak menyukainya."

"Aku hanya penasaran, bagaimana nee-chi di sana sekarang kalau nii menceritakannya kembali."


**to be continued?**





18 komentar:

  1. Saya seneng entri Ru ngambil jalan semua ketemu dengan ingatan versi masing" dari obrolan sama Sheraga. Agak ngingetin saya sama entri saya sendiri taun lalu yang juga ngangkat soal versi paralel gini

    Habis 3 entri, lama" saya juga jadi suka sama penggunaan latar hitam + font putihnya buat tiap kali flashback. Somehow fitting. Ditambah lagi di sini ada variasi warna abu", efeknya jadi kerasa unik

    Sama kayak entri lawan, Oneiros di sini berhasil dibujuk buat ga ganggu. Saya sempet ngira karena sifat licik Ru battlenya bakal singkat, tapi ternyata dia sendiri sadar kalo ga boleh menang gampang kalo ga mau karyanya bernilai rendah ya

    Amut ngamuk sebentar, dan Ru lumayan cepet turning the table begitu Luna diserang. Cuma karena begitu selesai langsung dipulihin Mirabelle, efek emosional juga jadi berasa temporer

    Dan sampe akhir saya ga nangkep, Syu si pendeta ini siapa ya?

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah bisa sampe ke urutan neng Ru juga.

    Gustiiiiii!!! Nbah terhura sekali liat entri eneng Ru!!! Mbah kaget eneng Ru bisa ngolah lakon segitu hebatnya. Syu yang ga jadi ngelakon di entri mbah pindah ke sini rupanya (padahal mah penulisnya bingung gimana caranya Syu bisa masuk ke cerita mbah di ronde 2 hahahaha). Meski perannya nggak banyak, mbah seneng Syu bisa muncul di sini.

    Penokohan, pelataran, pertarungannya semua udah ngepas buat mbah. Serasa baca lakon mbah sendiri hehehe. Tapi kepinginnya mbah teh pengen adu jotos lebih lama ama eneng Ru di lakon ini. Biar kayak cerita remaja gitu, bak bik buk terus haha hihi. Hehehe.

    Aduh kalau dibanding lakon mbah, mbah sendiri ngerasa lakon eneng lebih pas euy buat mbah sendiri. Mbah ngerasa minder gitu pas liat lakon eneng. Tapi biar begitu, mbah seneng sih. Karena kita berdua udah sama-sama nyajiin lakon yang terbaik buat para pembaca di ronde dua ini.

    Tapi pilihan kembali lagi pada yang komentar sama yang vote sih. Semoga yang terbaik deh yang maju. Hehe.

    Asli ini mah mbah mau traktir eneng Ru tahu bulat. Yuk ke Shu Meddank.

    TTD

    Mbah Amut

    BalasHapus
  3. Halo, ini penulisnya simbah mau ikut bicara.

    Semisal boleh sama panitia, saya mau vote cerita ini buat maju.

    Bukan kenapa-napa juga sih, soalnya biar adil karena mba ru ngevote mbah buat maju. Dan ini juga sebagai bentuk rasa hormat ama takjub saya terhadap gimana mba ru ngolah plot ronde 2 ini. Saya jadi penasaran gimana kalau misalnya mba ru yang dapet kesempatan maju. Tapi ya itu bergantung pada voter yang lain.


    Salam Sejahtera dari Enryuumaru

    BalasHapus
  4. Hai hai! Saya mampir. Thanks udah baca Pucung. Maaf untuk kejanggalan adegannya. ><

    Doh. Ini mba ruu beneran kayak Buck di Ice Age 6. Seleranya aneh dan acapkali bikin terpingkal. Mulutnya bikin gemas ;))

    Hmm, karena saya baca entri amut dulu, saya jadi sadar Ru di sini sama-sama bereaksi mirip saat denger bahwa lawannya kali ini adalah naga. Juga, dari segi penyajian, kalian menyajikan entri ini pake layout unik khas masing-masing.

    Di entri ini, poin plus dari saya ada di flow interaksi karakternya sih. Sisipan komedi di dialog-dialognya kerasa lebih natural untuk karakter2 di sini. Kalo dibandingin sama komedi di entri amut, entri Ini lebih punya pendekatan yang saya suka. Mungkin karena entri amut kerasa bawa banyak unsur komedi dari 'luar'.

    Oneiros lebih keliatan sisi kekanak-kanakannya saat dibujuk di sini. Baik amut dan Ru punya porsi yang nyaris seimbang buat bikin ikatan sama karakter2 dari universenya. Pun terasa banyak sekali adegan Ratu Huban ngobrol sama Ru dan Amut.

    Meski battlenya singkat, pemicu suasana yang makin memanas sangat kerasa. Apalagi waktu Nwu salah kira Luna adalah Ru. Si gadis hitam itu dengan kerennya motong pembicaraan dan bilang kalo dia reverier yang sesungguhnya sambil nyebut kelemahannya. Daredevil. Sayang finishingnya offscreen. Sepertinya saya memang favor ke amut kalau masalah battle dan konfliknya. Tapi dari segi pembawaan karakter dan alur, saya favor ini. Jadi...

    Votenya saya tahan dulu.

    PUCUNG

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah dipikir, saya lebih kecantol sama pembawaan alur dan karakter di sini, meski saya pengen juga ngeliat potensi konflik di entri mbah. Personally pengen mempertemukan Pucung sama Mbah juga. It was a hard choice.

      Kalo dibandingin, 95/90. Ru unggul 5 poin dari mbah. Sehingga.

      VOTE Ru

      Hapus
  5. Halo, pertamakali aku baca entry Ru...

    Akhirnya...! Ada juga OC yang dark jahat dan gila macam Ru! Somehow saya suka dengan kegilaannya dan liciknya, pas banget dengan image Ru. Dan penempatan background abu-abu yang bergradasi sampai hitam itu, menurut saya fresh, pendekatan warna seperti ini baru kutemui di entry. Ini juga menguatkan efeknya.

    Saya kerasa aneh aja kenapa ada nama Kay disini, dan rasanya nggak terlalu relevan dengan jalan cerita... tapi salahkan aku, karena nggak baca entry Ru sebelumnya.

    Cerita inj juga unsurnya lengkap, hanya mungkin di diksi terlalu cenderung ke arah "show" sehingga beberapa scene yang potensial dramatis dan menimbulkan greget jadi kurang tereksplor.

    Overal, good job author!
    Saya tunggu inspirasi dulu ah sebelum vote.

    Regards,

    Rakai A
    OC Shade

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah menimbang2, Ru vs Amut:

      Dari segi diksi: Amut
      Character: Ru
      Alur: Amut

      2-1...

      Saya vote Amut.
      Tapi siapapun yang maju, pertahankan kualitas entry ya...!

      Hapus
  6. Sumpah, Ru lebih keliatan lebih sedEng ketimbang ronde-ronde sebelumnya. Bisa dibilang, saking “free spirit”nya mbak Ru, saya sempet berpikir OC satu ini bisa doyong ke psikopat atau tukang lawak.
    Mbah Amut juga dapat spot yang bagus di sini. Hampir mirip dengan entri sebelah, kedua peserta berantem karena ada yang kesurupan “indhang” atau lebih kerennya “Berserk”. Sayang “Berserk” lagi hiatus, padahal lagi adegan masuk ke mimpi cewek yang kena penyakit jiwa.
    Ngomong apa saya tadi?
    Overall, konflik dan intrik-intriknya rame. Semua dapat porsi yang sesuai sehingga dapat sorot yang bagus dan ga ada yang keliatan inferior ketimbang yang lain.

    BalasHapus
  7. Haaallooooo mbak ru :D
    Izinkan author dari nabi kafir ini berkomentar di entri mu :D

    Saya akui kalau entri ini lebih mudah diikuti dan lebih emosional dari entrinya Mbah Amut. Good job!

    Komedi yang diusung pun dapat diterima dengan baik. Dari mulai Mbah Amut jadi Mbah surip, Mbah Amut yang minta bacaij surat dan yang paling saya sukai adalah posisi awkward dimana Ru bertemu Amut dan sadar ia adalah lawannya. Make ditinggalin Huban lagi, jadi makin Awkward xD

    Berbeda dengan entrinya Amut yang karakterisasinya lebih condong ke Ru namun tetap memiliki porsi di Amut, entri ini memiliki porsi yang seimbang antara Amut dan Ru. Hanya saja semakin klimaks entah mengapa dialog Amut terasa semakin drop.

    Dan lagi endingnya yang terasa dibuat buru buru membuat emosi yang sudah dibangung setelah Nwu membunuh saudari nya Ru hilang begitu saja.

    Tapi overall sangat bagus.

    Well segitu dulu deh. Vote nya saya pertimbangkan dulu, karena battle yang satu ini sangat berat.

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  8. Weits, aye datang mau komen dimari! Kalau ada yang bisa dikomen aye masukin sini, nih.

    Dombanya bisa bicara '-' baru kali ini nemu entri yang sama-sama memberi kemampuan bicara sama si domba.


    BG hitam, my eyesssss!


    "Gimana cu digendong mbah? Enak toh? Mantep toh?"
    ^Tribute to mbah surip ini mah '-'

    Adegan Ru kecil itu super banget, scene paling keren, menurutku. Benar-benar mengaduk emosi dan bisa dijadiin bahan refrensi.

    Sayangnya, scene-scene lainnya gak begitu menarik perhatian, walau obrolan diakhiran bersama Huban itu boleh juga. Battlenya juga kerasa kurang greget, mbah ngamuk cuma bentar dan Ru kayak gak begitu kesulitan ngehabisi si naga tua...

    Udah, gitu dulu. Btw OC kita sama-sama kesurupan iblis loh wkwk *tos dulu*


    salam,
    Authornya entri nomor 21

    BalasHapus
  9. [+] Narasinya asyik.
    [+] Karakter Ru sendiri tersaji dengan unik dan keren, dan dibawakan dengan baik pula. Meski ada puluhan karakter lain, rasanya saya nggak akan kesulitan untuk membedakan Ru dari entry lain.
    [+] Karakter Mbah sebagai musuh juga disajikan dengan sangat baik, sampai saya kadang ngira saya baca entry-nya si Mbah.
    [+] Adegan-adegan di luar battlenya cukup memikat, dan kadang bikin ngakak. Which is nice, karena ternyata battlenya kelewat singkat untuk selera saya.

    [-] Typo dan kata-kata yang magically saling nubruk satu sama lain
    [-] ...battle yang kelewat singkat. Rasanya kok berlalu begitu sajah.

    Skor: 80/100

    Overall, solid entry. Saya bisa memberi nilai lebih kalau saja battlenya diberi porsi lebih banyak. Sekarang, saya akan coba baca punya Mbah dulu untuk perbandingan.

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  10. Halo halo x) (memakai email hasil meretas /slap)

    Pertama, saya beneran suka sama karakterisasi Ru. Entah bahan bacaan saya yang kurang banyak(?) Atau emang karakter lucu-keren-licik-ngeselin(?) macam Ru ini jarang ditemui sebagai pemeran utama. Dan cekikikannya(?). Salut deh, bisa bikin yang begini. XD /slap/

    Penuturan tentang versi Sheraga sama versimu di museum juga menurutku keren, entah kenapa. Sampai Sheraganya dibikin malu gitu, xD, dan ini gak terlalu dikulik oleh peserta" lain seperti saya. /slap/

    Gradasi warna gelap itu menurutku ide brilian. (y)

    Dan terakhir, pembawaan karakter lawan disini juga cukup klop dengan aslinya. Kayak baca punya Mbahamut beneran.

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, pilihan sulit. Tapi ya, lebih suka entri ini. Dari segi karakterisasi, ide, dan kenyamanan membaca. Juga, lebih 'sedikit' penasaran kalau Ru yang maju dibanding mbah-

      Vote RUNE PLEGETHON.

      Hapus
  11. Permisi, saya mau numpang komen hehe...

    Entri ketiga dari Ru, narasinya menarik seperti biasa, tapi ada beberapa typo bertebaran. Saya seneng sifat Ru yang terkesan iseng, karakter Amut yang ramah juga dibawakan dengan baik disini. Konsep parallel world disini juga unik dan saya suka.

    Untuk adegan fighting, buat saya juga menarik. Adegan Luna yang tewas dibunuh Nwu + Akari itu ngasih impact yang gede, cuma sayang akhirnya dia selamat karena ditolong Mirabelle. Tapi itu cuma selera saya aja sih, yang seneng tema "dark"

    BalasHapus
  12. Huehuehue... Kejahilan Ru kembali mengusik kedamaian alam mimpi. Baru baca awal saja saya sudah dibuat ngakak sama panggilan baru Zainurma, saya rasa entri ini akan sangat menghibur.

    Hmm... Lagi, saya kira ini hanya di Entri Mbah Amut, tapi rasanya saya selalu lupa entri siapa yang sedang saya baca. Pembagian proporsi Ru dan Mbah Amut sebanding, tidak terlalu banyak maupun terlalu sedikit, jadi saya susah menebak siapa si karakter utama.

    Saya bingung mau pilih yang mana dari kedua entri Mbah Amut atau Ru. Dua-duanya memanfaatkan kemunculan lawannya dengan baik, bahkan menyediakan spot untuk menyorot supporting character.

    Ehm... Vote Draw!
    OC : Nora

    BalasHapus
  13. Aye ga bisa terbiasa dengan warna gelap terang begini, agak pusing karena cahaya yang masuk drastis berubah-ubah.

    alurnya mantep, pelajaran baru buat aye dalam penggunaan perpindahan scene.

    alasan bertarung dan pertarungannya sendiri malah jadi ga memorable karena perpindahan alur dari percakapan netral dari keduanya, langsung beralih ke scene dimana Mbah amut udah sekarat dan ga bisa melawan lebih jauh. too bad.

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.