Selasa, 20 September 2016

[ROUND 2] 25 - NORA | BADUT CIRQUE DI KOTA KEMATIAN

oleh : Mocha_H
 
--
 
"Badut Cirque di Kota Kematian"

Prolog

Ladang bulu kapas nan luas menjadi latar di belakang kandang domba-domba putih Ratu Huban. Dengan lahap domba-domba Huban merumputi bulu-bulu kapas di kaki mereka, tak heran bulu domba mereka seperti kapas. Mungkin rasanya seperti gulali bagi mereka? Hanya para domba yang tahu.

Di luar kandang tersebut, domba-domba lain sedang berbaris rapi, menunggu antrian untuk dimandikan. Biasanya Huban memandikan dombanya sendiri, tapi kali ini si kepala bantal dibantu oleh pembantunya, si gadis tak bernama. Sang ratu bertugas memandikan si domba, sedangkan si pembantu menggosok dan menghanduki setelah mandi.

"Sepertinya kamu ceria sekali hari ini, pembantuku," tukas Huban. "Kamu senang muncul di bagian selain Epilog?"

"E-Epilog, Ratu? S-Saya kurang mengerti," jawab gagap si pembantu.

"Anggap saja promosi! Kemarin di epilog, sekarang di prolog, besoknya kamu di cerita utamanya!" seru Huban.

Si pembantu tidak bisa merespon apapun. Ia tidak mengerti apapun yang dikatakan oleh sang ratu dan terlalu sibuk meladeni domba daripada pembicaraan dengan Huban.

"Ngomong-ngomong, kelihatannya domba-domba yang kamu sikat senang sekali," komentar Huban, menyadari domba-domba yang telah dikeringkan langsung masuk ke kandang tanpa percobaan melarikan diri.

"Oh... iya, Ratu. Saya baru tahu," tanggap si pembantu.

"Apa kamu terbiasa merawat domba? Mungkin sebelum ingatanmu hilang?" tanya Huban.

"Mungkin tidak, Ratu. Saya tidak mengingat apapun dari merawat domba," ujar si pembantu. "Tapi... saya seperti bisa merasakan perasaan para domba ketika menyikat, seperti bagian yang gatal, titik nyaman dan luka kulit, jadi saya tahu bagian mana yang harus disikat dan mana yang tidak."

"Itu..." Huban mulai berdehem pelan. "Itu mungkin kemampuanmu! [Feeling Touch], peraba peka!"

"A-Anda menyamakan saya dengan para Reverier?"

"Siapa tahu kamu seorang Reverier!" seru Huban bersemangat. "Ehm... Tapi aku tidak ingat si kurator atau aku menandai seseorang sepertimu dan aku yakin Mirabelle tidak mau melakukannya."

"Dengan kata lain, dia adalah entitas tak dikenal."

Sebuah suara mengagetkan Huban dan pembantunya. Hentakan kaki serentak terdengar dari asal suara itu, bagai sebuah pasukan dalam satu baris rapi. Domba-domba hitam, merekalah yang sedang berbaris menuju kandang domba-domba Huban dan di depan mereka berdirilah sang pemimpin, Oneiros.

Sebuah mata berukuran kepala mematulkan bayangan Huban dan pembantunya. Mata itu disanggah oleh tubuh berbentuk kerangka tulang putih yang mengenakan sebuah mantel ungu.

Huban berusaha mengeluarkan kata dari lidahnya yang kaku, "K-Kau... On..."

"Tidak perlu perkenalan, Huban," potong Oneiros. "Aku ingin tahu siapa... tidak... APA sebenarnya gadis itu."

Saat Oneiros menaikan tongkat kayu di tangan bersarung ungunya, Huban segera menghadang di depan pembantunya. DreamCatcher itulah nama lingkaran berbentuk ornamen bunga di ujung tongkat Oneiros, sebuah instrumen untuk menangkap "Mimpi", atau dalam dunia ini, untuk menangkap mahluk mimpi.

"Untuk apa kamu menghalangiku, Huban?" tanya Oneiros. "Kalau dia bukan sebuah ancaman, sebuah mimpi buruk, tongkatku tidak akan menangkapnya, bukan?"

"Aku tidak tahu apapun tentang dia," tegas Huban. "Tapi tidak akan kubiarkan kamu melakukan apapun padanya sampai aku meraih mimpiku!"

"Meraih mimpimu?" Oneiros terkekeh. Ia memutar tombaknya, bersiap dalam kuda-kuda bertarung. "Katakan dengan jujur, Huban. Kenapa kamu melindungi dia? Dia bisa jadi sebuah ancaman bagi dunia mimpi... sama halnya dengan [Patung Keparat] itu!"

"Memang awalnya aku tidak mau merawat orang yang bukan siapa-siapa untukku, tapi setelah mengenalnya, aku tidak akan melepasnya begitu saja!" seru Huban. "Tidak sampai aku menjadi DESAINER BAJU PROFESIONAL!!!"

Ya, seperti yang kalian kira dari Ratu Huban. Satu-satunya alasan dia merawat si gadis tanpa nama adalah supaya bisa mencobakan beberapa baju buatannya. Beberapa baju yang telah didesain si Huban diantaranya adalah kostum maskot domba dan baju besi eropa abad ketiga belas dari kaleng pengharum ruangan.

Mata besar Oneiros berkedut sejenak, sempat terlupa kalau yang dihadapannya adalah Huban si kepala bantal yang tak pernah serius. Dengan nafas berat, Oneiros menarik kuda-kudanya, lalu menunggang ke salah satu domba hitamnya.

"Cukup sudah. Ayo domba-dombaku! Kita pergi!" panggil Oneiros.

"T-Tunggu dulu!" sanggah Huban. "Kok kamu pergi begitu saja?!"

"Aku sebenarnya sedang mencari si Kurator, kupikir dia akan kemari untuk membentakmu, jadi aku mampir ke sini," jawab Oneiros. "Ya sudah, dah."

Huban meraihkan tangan, memanggil dengan keras, "Tunggu, Onion Rose!"

Si mata satu berbalik, membalas teriakan Huban dengan teriakannya, "Namaku Oneiros, Huban! One satu, Iros mata, satu mata!"

"Tapi kalau dibaca jadi OnionRose, apa bedanya?" tanya Huban.

"Jelas beda pelafalannya, Huban!" balas Oneiros.

Pertikaian kedua mahluk mimpi itu terhenti ketika mereka menyadari kehadiran sosok lain. Bertengger di samping kandang domba Huban sambil terkekeh karena melihat pertikaian Huban dan Oneiros, tidak lain dialah sang Kurator, Zainurma.

"Akhirnya kau menampakan diri, penggembala domba hitam," kekeh Zainurma. "Susah sekali mencarimu, ternyata kau sendiri yang mencariku."

"Kuingatkan, Kurator. Aku masih menolak membantumu dan [Sang Kehendak]," ujar Oneiros. "Aku hanya ingin tahu apa rencana [Patung Keparat] itu kali ini."

"Harusnya kau tidak perlu menambah kurung ketika mengatakan patung keparat, kan?"

"Jangan alihkan pembicaraan!"

Dengan helaan nafas berat, Zainurma menjawab, "Ronde kali ini akan diadakan di bingkai mimpi mereka masing-masing. Dua bingkai peserta akan ditemukan, lalu diadu hingga salah satu kalah."

"Di bingkai mimpi masing-masing, ya? Kalau begitu aku harus bergegas," ujar Oneiros.

"Bergegas untuk apa kalau aku boleh tahu?" tanya Zainurma.

"Itu bukan urusanmu, Kurator," balas Oneiros.

Si kepala mata hendak bergegas pergi, tapi ia baru teringat akan alasan lain ia mendatangi kediaman Huban, sehingga Oneiros berbalik, menghadap pada Huban dan Pembantunya.

"Kau, pembantunya Huban. Kata domba-dombaku kau belum memiliki nama?"

"A-Aku?" tanya si pembantu. "Maaf, saya tidak ingat nama saya sendiri."

"Hei, jangan mengusiknya, Oneiros! Dia tidak ingat apa-apa semenjak datang ke sini!"

"Kalau begitu aku akan memberimu sebuah nama," ujar Oneiros. "Namamu adalah "Sirna" dan kau akan segera memenuhi artinya."

Setelah kalimat terakhirnya, Oneiros dan pasukan dombanya bergegas meninggalkan ladang kapas. Si pembantu tampak kaku di tempatnya. Matanya tertutup seakan berusaha mengingat sesuatu dengan mengucapkan nama pemberian Oneiros berkali-kali.

"Jangan dengarkan dia, pembantuku! Oneiros hanya kesal karena perubahan di dunia ini! Dia tidak seperti Oneiros yang kukenal dulu!"

"Ratu, bolehkah saya menyimpan nama itu?" pinta si pembantu.

"Jangan! Kubilang apa! Pikiran Oneiros sedang kacau!" ulang Huban.

"Sirna... saya rasa nama itu mendekati nama pemberian ayah saya," ujar si pembantu. "Bukan "Sirna", saya yakin. Tapi cukup mendekati."

"A-Apa kamu yakin?" tanya Huban. "M-Maksudku... aku tidak mau dipanggil dengan nama dengan arti seperti itu!"

"Ya, Ratu. Saya yakin," tegas Sirna, si pembantu.

"Erm... aku tidak bisa bilang tidak kalau kamu suka nama itu..." rintih Huban. "Lalu Om mafia sendiri di sini sedang apa?"

"Ada Reverier yang perlu mendapat pesan soal setting ronde ini," ujar Zainurma. "LAGI" tegasnya.

"Reverier itu lagi?" tanya Huban memastikan.

"Ya. Tidak ada sistem sms, surat ataupun telepati untuk bingkai mimpi Reverier itu! Tak heran dia terlambat setengah hari di ronde pertama!"

Huban memberi perintah, "Baiklah, kamu tahu tugasmu, pembantuku. Bawakan pesan untuk Reverier itu!"

=1=
Kedamaian Sebelum Badai

Pagi itu Nora mengurung diri dalam sebuah gubuk di bingkai mimpinya. Meski terbuat dari sisa bangunan kota kematian dan tambalan berupa papan kayu, gubuk itu mampu melindungi Nora dari halyang paling ia takuti, cahaya. Gubuk itu gelap, tapi memiliki sebuah jendela kecil yang menjadi satu-satunya pencahayaan.

Dalam gubuk itu, Nora sedang melatih kembali sebuah kemampuan yang telah ia peroleh kembali dalam ronde pertama, kemampuan mengeraskan Ink miliknya untuk dapat membuat persenjataan atau dikenal dengan [Weapon Materialisastion].

Sebuah kursi kayu sedang terbungkus dengan Ink, diraba setiap detil bentuk kursi tersebut. Sebuah gumpalan Ink membubung naik di sebelah kursi itu, mulai membentuk empat buah kaki, lalu pangkuan dan sandaran. Terakhir, untuk mengabadikan bentuknya, kursi Ink itu mengeras, mengubah warnanya menjadi ungu.

Gadis yang tadinya duduk di lantai, pemilik dari Ink yang membentuk kursi itu, segera memanjat kursi barunya. Diperiksanya kualitas kursi buatannya dan ternyata cukup memuaskan, kursi itu hampir identik dengan yang asli. Tentunya, selain warna yang membedakannya.

Pelajari senjata musuhmu
Pelajari gerakan musuhmu
Pelajari taktik musuhmu
Jadilah musuhmu
Karena musuh terbesar dari musuhmu adalah diri mereka sendiri

Setitik air menetes pada Ink di pangkuan Nora, tapi ia tidak merespon meski Inknya terus memudar hingga tetes air itu terlarut dalam Ink. Semakin banyak tetesan air membahsahi pangkuan gadis itu, tapi ia masih berdiam di tempatnya duduk, menutup wajahnya yang berlinang air mata.

Nora bertanya pada dirinya, "Apa kamu benar-benar setega itu, Nora?"

"Kamu jahat Nora... itu pemberian Emi, kan?"

Belajarlah dari musuhmu lalu gunakan pelajaran itu melawan mereka, itulah inti perkataan itu. Semenjak mendapat ajaran itu, Nora telah mempelajari cara bertarung dari berbagai senjata dan dari lawan yang berbeda-beda. Entah itu dari monster yang ia temui, seorang pemburu bayaran atau bahkan kesatria legendaris, Nora telah mempelajari semua taktik dan gerakan mereka.

Pengalaman bertarung itulah yang menjaga dirinya sebelum dan sesudah kepergian Emi. Sebuah ajaran penting yang telah terukir pada hidupnya, tapi ia telah melupakannya, bersama dengan semua pengalamannya.

Namun tangisan Nora kali ini bukanlah tangis kesedihan, melainkan kebahagiaan. Dia benar-benar bersyukur karena yang teringat pertama kali ketika mendapat inspirasi itu kembali adalah cara bertarung lawan yang ia tiru pertama kali, Emi, dalam latihan tentunya.

Nora teringat kembali akan sosok yang selalu berdiri di depannya, sehingga ia hanya bisa melihat jubah birunya dari belakang. Kepala yang sering menengok ke langit, seakan biru langit terpantul di kepalanya. Dan terlebih lagi, tangan yang begitu dingin, hampir seperti bongkahan es, tapi menghangatkan Nora ketika menggenggamnya.

"Emi..." gadis itu kembali merintih.

Tangan Nora kembali bergerak, membentuk Ink menjadi suatu bentuk yang ia tarik dari ingatannya. Sebuah bentuk manusia setengah badan, lembek untuk membuatnya tetap fleksibel. Nora merangkak turun dari kursi buatannya, lalu memeluk bentuk yang ia buat.

"Emi... Sebenarnya dimana kamu? Aku sudah mencarimu kemana-mana, tapi kenapa kamu terus bersembunyi dariku?"

Nora mencengkram lebih kuat pada boneka Inknya, lalu menggerakan tangan boneka itu untuk memeluk dengan melingkari dirinya. Ia ingin merasakan kembali sebuah pelukan yang selalu didapat ketika menangis. Sebuah pelukan yang selalu menghangatkan dirinya dan melupakan apapun yang membuatnya sedih.

"Kamu bukan satu-satunya yang merasa kehilangan, Nora. Apa kamu perlu membuat penggantinya seperti itu?"

Sebuah suara serak nan keras terdengar dari luar gubuk. Lewat jendela gubuk, Nora dapat melihat bayangan dari sebuah mahluk besar bersayap, Gargo si patung marmer berkepala elang, sedang duduk bersila di samping jendela itu.

"Daripada menangis pada boneka bisu, kenapa tidak bicara denganku saja?" tawar Gargo. "Aku juga bisa mati kesepian di kota ini, tahu?"

Tangis Nora terhenti sejenak. Gadis Ink itu menyeret tubuhnya hingga bersandar di samping jendela tempat Gargo berada. Ia mulai bercerita, semenjak kehilangan Emi, Nora mencari artefak-artefak kuno yang bisa menunjukan lokasi seseorang. Tentu saja ia bisa pergi ke kota- kota dan mencari penyihir dengan kemampuan itu, tapi mengingat harga kepala dirinya dan Emi, Nora tidak mungkin melakukannya.

Gargo terus mendengarkan cerita Nora mencari artefak kuno. Kebanyakan adalah isapan jempol, tapi ada juga yang menuntunnya ke artefak sungguhan. Namun artefak manapun tidak ada yang menunjukan keberadaan Emi, sehingga Nora terus mencari.

Setiap Nora memulai cerita baru, Gargo semakin yakin bahwa teman baiknya telah tiada. Jika Nora benar-benar menemukan sebuah artefak yang masih berfungsi tapi masih tidak menemukan orang yang dicari, maka kemungkinannya hanya satu, orang itu tidak lagi berada di dunia ini.

Namun Gargo tidak akan membenarkan Nora seperti terakhir kali. Ia merasa bahwa gadis itu sudah cukup menderita, tapi hanya kematian orang yang paling ia cintai yang bisa menjaga semangatnya untuk tetap hidup. Atau dalam kepala Nora, "hidup" dari orang mati itulah yang menjaga semangatnya.

"Terimakasih, Gargo."

Sebuah ucapan terimakasih mengakhiri cerita terakhir Nora. Gadis itu melepas tawa ringan, sesuatu yang jarang ia lakukan akhir-akhir ini. Sayangnya, tawa itu diganggu oleh sebuah raungan hewan buas dari perut Nora.

"G-Gargo, kalau tidak keberatan, bisa tolong masakkan rusa yang kamu tangkap tadi?" pinta Nora.

"Serius? Kamu belum memakannya?!" pekik Gargo panik. "Demi marmer! Apa kiamat sudah dekat?!"

"Bukan! Ini gara-gara si kurator itu mengambil respirasiku!" seru Nora.


"Inspirasi, nona Nora. Bukan Respirasi."

Entah sejak kapan, seorang gadis berambut moka telah hadir di belakang Gargo. Nora langsung mengenali gadis ini, dialah yang membawa pesan dari sang Kurator ketika terlambat di ronde pertama.

Satu hal yang terus mengganggu Nora adalah kenapa seragam gadis itu seperti terbuat dari bulu domba, belum lagi bando berbentuk tanduk melingkar, seakan dia mencoba berdandan seperti domba mimpi. Seragam minion alam mimpi, mungkin?

"Apa penduduk alam mimpi harus muncul di tengah percakapan?" sindir Nora.

"Tidak. Saya sudah berada di sini dari tadi, tapi kalian tampaknya terlalu asik mengobrol, jadi saya merasa tidak enak kalau mengganggu," jelas gadis itu. "Ah, ngomong-ngomong. Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Saya Sirna, pembantu Huban."

"Sirna? Nama yang aneh..." komentar Nora. "Lalu, apa kata Kurator itu? Dia ingin menyeretku ke musium semesta lagi?"

"Untungnya, tidak, nona," jawab Sirna. "Lokasi untuk ronde ini adalah di sini, di bingkai mimpi masing-masing peserta. Bingkai anda dan lawan anda akan bertabrakan, menjadi satu kesatuan. Tujuan ronde ini cukup gampang, kalahkan lawan anda, maka bingkai mimpi anda akan selamat."

"Dan jika kalah... aku akan menjadi guci," imbuh Nora.

"Aku lebih membayangkan pematik antik," komentar Gargo. "Aku bisa membayangkan kamu akan menjerit setiap kali dinyalakan.  "Pematik Merintik" Sepertinya itu akan menambah nilai jual."

Nora langsung menyalak, "T-Tidak! Apapun asal jangan itu! Jadi guci juga boleh!"

"Dari pada memohon jadi guci, kenapa tidak berusaha untuk TIDAK menjadi guci?" ujar Gargo, menepuk ringan pundak Nora.  "Seperti kandelir lilin?" tambah Gargo sambil meringis.

"NGGAK!"

Setelah menghabiskan tawa lebarnya, Gargo teringat akan sesuatu,"Oh, iya! Kebetulan! Karena kamu nggak kemana-mana boleh aku minta tolong, Nora?"

Gargo membentangkan selembar peta tua. Nama lama kota kematian tertera di atas peta, menandakan peta ini berasal dari sebelum kehancurannya, tapi beberapa coretan telah ditambahkan ke dalam peta, seperti beberapa tanda silang di dinding kota, tanda panah untuk jalur patroli dan sebuah lingkaran merah di tengah kota.

"Seperti yang kamu lihat di ini adalah peta kota kematian," jelas Gargo. "Para manusia kadal telah memasang jebakan di seluruh kota, kutandai dengan paku di peta ini, dan setiap jebakan telah dipasang kantong ledakan."

Dari mulutnya, Gargo memuntahkan sebuah kantong kulit. Nora mengingat kantong serupa yang dipakai Gargo untuk melawannya, sebuah kantong yang jika diledakan akan mengeluarkan cahaya begitu terang dan satu jenis lain yang akan menyemburkan serbuk hitam pekat.

"Ketika jebakan terpicu, dua kantong ini akan dilontarkan ke langit dan meledak. Mereka sengaja menyiapkan dua jenis ledakan dalam satu perangkap supaya bisa melihat ledakannya baik di siang atau malam hari," ujar Gargo. "Dan di pagi hari ini, sekitar matahari terbit,  aku melihat ledakan kantong di langit selatan dan timur."

"Dengan kata lain ada penyusup?" tebak Nora. "Mungkin ini Reverier lawanku... tapi kenapa dua arah?"

"Itulah yang ingin aku ketahui. Aku akan memeriksa sisi timur, kamu periksa sisi selatan," perintah Gargo.

"Bisa menunggu nanti malam?" tanya Nora sambil melihat langit biru dari bayangan gubuk. "Aku... sangat tidak nyaman dengan pagi hari."

Gargo menggeleng, lalu meraih sebuah kain hitam dari belakangnya, "Kamu bisa pakai cara seperti kemarin, pakai kain hitam ini."

"Tapi kain hitam itu nggak sampai menutupiku! Aku bahkan perlu bantuan si domba buat kemana- mana," seru Nora.

Kain hitam di tangan Gargo tiba-tiba mengembang. Ketika Gargo mengangkat kain itu, tampaklah sebuah struktur batang besi yang menahan bentuk kain. Nora ingat akan satu alat seperti itu, alat yang selalu digunakan wanita bangsawan untuk menutupi diri mereka dari sinar matahari, sebuah payung.

"Apa aku masih boleh berkata tidak?" tanya Nora.

"Tidak," jawab Gargo. "Ngomong-ngomong, kenapa gadis Sirna ini masih di sini?"

Kembali Nora menyadari kalau gadis itu belum pergi. Sirna masih berdiri di tempatnya, terpanggang di bawah sinar matahari dan mulai sempoyongan. Tampaknya ia benar-benar keras kepala untuk tidak mengganggu percakapan Nora dan Gargo.

"G-Gargo! Selamatkan dia!"

Satu dorongan ringan dengan ekor kadalnya, Gargo menjatuhkan Sirna ke bawah bayangan gubuk. Nora segera menyeret gadis itu ke dalam gubuk, tidak mau hal buruk terjadi padanya.

"Oke, selagi kamu mengurusinya, aku akan membawa Maximillion bersamaku," ujar Gargo.

Nora masih terenggah-enggah setelah menyeret dirinya dan Sirna ke dalam gubuk. Ia kembali menengok keluar karena penasaran siapa Maximillion yang ikut bersamanya. Namun yang ia lihat hanyalah punggung dan sayap si patung marmer...

"Mbek~~"

...bersama domba miliknya.

"HEI! Itu dombaku! Kembalikan!" seru Nora.

"Oh, iya, Nora! Aku menamainya Radius Torsion Maximilion!" balas seru Gargo dari jauh.

"Tidak! Jangan namai dia! Harusnya aku yang memberi nama!"

"MBEK!!!"

Tak diduga oleh Nora, dombanya berlari kembali dan menyundulnya tepat kena dahi. Saat Nora memekik kesakitan di tanah, si domba mendengus kesal lalu kembali bersama Gargo.

"D-Domba! Jangan! Aku sudah kehilangan Emi! Jangan tinggalkan aku, domba!"

Namun pekikan Nora terabaikan sepenuhnya. Gargo pastinya mendengar teriakan Nora, tapi ia tidak menggubrisnya, malah ia tertawa cekikikan melihat balasan si domba.

"Cup... cup... jangan nangis..." hibur Sirna.

"AAAHHH!!! Aku benar- benar marah! Pertama aku dipaksa keluar di terik sinar matahari, lalu dombaku direbut Gargo dan pembantu Huban menghiburku seperti anak kecil!"

Melihat Nora yang berguling- guling sambil menangis, Sirna hampir yakin mental Nora memang tidak sematang yang ia kira, ada kemungkinan lain, yaitu kehilangan domba yang terus mengabaikannya memang begitu menyakitkan bagi Nora. Membandingkan kedua kemungkinan itu, yang pertama tampaknya lebih masuk akal.

"Ah... aku kesal..." akhirnya Nora kehabisan tenaga setelah berguling-guling sekian lama.

"Nona Nora, bolehkah saya bertanya akan suatu hal?" mulai Sirna. "Saya... tidak ingat apa yang terjadi kemarin."

Tangisan Nora terhenti, berganti menjadi suara tegas, "Maksudnya?"

"Saya tidak mengingat apapun selain saya telah mendatangi bingkai mimpi ini kemarin. Tahu-tahu saya sudah bangun di dalam gubuk ini... dan anda satu-satunya yang ada ketika saya bangun," jelas Sirna. "Apa... apa yang terjadi pada saya?"

"Kamu yakin tidak ingat? Atau mungkin karena si penulis kepepet dedlen," tukas Nora. "Kita membuat sebuah kontrak kerja. Kamu memintaku untuk mencari ayahmu ketika berada di bingkai mimpi reverier lain."

"Ayah... saya? Tapi saya bahkan tidak ingat wajahnya!" ujar Sirna.

"Ya, kamu juga sudah menjelaskan soal hilangnya ingatamu. Tapi katamu sendiri, kamu meminta waktu untuk mengingat ciri-cirinya," jelas Nora.

"Lalu... bayarannya?" tanya Sirna. "Saya tidak yakin anda melakukannya bedasarkan belas kasihan."

"Tentu saja. Tapi kamu tidak setuju dengan tawaranku, jadi aku bertahan pada "meminjam" saja," terang Nora.

Hawa dingin terasa merasuk ke pada punggung Sirna. Ia takut menanyakannya, bahkan ia mungkin tahu apa yang ia pijamkan pada Nora di ronde sebelumnya. Namun ia harus mendapatkan jawaban pasti.

"Apa yang saya pinjamkan pada anda?" tanya Sirna.

"Sesuatu yang masih kau punya, Sirna, bahkan setelah hilang ingatan," jawab Nora.

Sirna tersenak oleh suara merayap dari dinding gubuk, apapun itu, Sirna tidak dapat melihat apapun dalam gelapnya ruangan ini.

"Nah, karena kamu sudah paham, bisa kamu pinjamkan "itu" lagi padaku, Sirna?"

==2==
Kejatuhan Cirque

Hari ini adalah hari paling suram karavan sirkus Cirqué. Deru debat si Guillermo bersaudara dan keluhan Gines sang raksasa tak lagi terdengar. Di jalan setapak yang sunyi itu, hanya terdengar suara decitan roda karavan dan dengusan pelan Esmeralda, keledai betina karavan cirque yang sangat setia.

"Jangan bersedih terus," pinta Vivaldo, pemain anggar sirkus Cirqué sekaligus pemimpin karavan mereka, selagi memacu tali Esmeralda. "Aku tahu ini berat, tapi kitalah yang tersisa dari karavan ini. Semakin lama kalian cemberut, semakin jelek wajah kalian."

"Tidak usah memikirkan kami, bedak tebal!" Guillermo sang kakak menyalak.

"Paling tidak contohlah pria "bedak tebal" itu, kak," kekeh sang adik. "Siapa tahu tanganmu lebih berguna dari pada menyuapiku saja. Untuk berdandan, mungkin?"

"Apa katamu? Masih kesal gara-gara kukatai kemarin? Coba bilang lagi!" ancam sang kakak.

Guillermo bersaudara, kakak beradik cacat yang lahir dan besar di Isle de Riara sebelum bergabung ke Cirqué. Sang kakak memiliki cacat kaki kiri membengkok keluar, sehingga sang adik harus menggendongnya untuk berjalan. Di sisi lain, tangan kanan si adik layu dan tak bisa digerakan, sehingga sang kakak yang harus melakukan pekerjaan tangan si adik, seperti makan dan minum.

Kakak dan adik ini selalu bertikai meski tidak bisa melakukan apapun dengan benar tanpa saudaranya. Adu mulut ini biasanya akan membuat Vivaldo kesal sampai ingin melemparkan keduanya turun dari karavan. Namun mendengar celotehan kali ini mengukir sebuah senyuman di wajah Vivaldo, mengingatkan hari-hari kerja mereka.

Vivaldo menepis suara yang didengarnya. Tidak, ia tidak mendengarnya. Ucapan yang ia dengar hanyalah gema dari percakapan mereka pagi kemarin, tidak lebih dari kenangan bahagia yang terungkit dari ingatan.

Melirik ke dalam karavan, Vivaldo dapat melihat para Guillermo duduk bersebelahan, tidak bersebrangan seperti biasa. Kakak adik itu termenung, tidak menjawab perkataan Vivaldo, padahal biasanya Gillermo sang kakak sangat mudah terpancing emosinya.

Vivaldo menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan stress dengan mengeluh, sama seperti yang selalu dilakukan Gines, "Demi tuhan... apa yang terjadi pada kami?"

***

Vivaldo masih ingat betul kejadian dua hari ke belakang. Mereka telah mencuri beberapa buku tak ternilai dari sebuah kota kerajaan bernama "Modom" pada pertunjukan sirkus di aula kastil kerjaan tersebut.

Sancho del Lothario, kepala militer bagian selatan Modom bersama dua orang terpercayanya mengejar kru Cirque, tapi gagal karena serangan kejutan dari Cirque. Meski berhasil selamat dari Lothario, tapi kru Cirque hampir tidak bisa kabur karena pasukan kerajaan telah mengekor di belakang, bahkan sampai Vivaldo meminta Olive, anggota termuda mereka, untuk kabur terlebih dahulu.

Namun Cirque terselamatkan oleh kehadiran sebuah gunung yang seharusnya tidak ada di jalan ke kota Bejar. Para kru meragukan harus menaiki atau mengitari gunung, tapi mengingat mereka sedang dikejar, mereka memilih mendaki gunung dengan harapan para satria keratuan Modom akan lebih susah mengejar di pegunungan, apalagi karena satria selalu membawa kuda dan baju besi berat mereka.

Jalan pegununganpun tak gampang di tahlukan. Seringkali kru Cirque harus membuang properti panggung mereka untuk memperingan muatan, bahkan Gines harus menarik karavan seorang diri karena Esmeralda tak kuat mendaki.

Setelah pendakian melelahkan, kru Cirque sampai pada sebuah jembatan kayu yang cukup lebar untuk dilewati sebuah karavan. Dari jejak roda yang terukir di jembatan, sepertinya jauh dulu banyak pedangang telah melewatinya dengan karavan, tapi lumut yang menutupi jejak-jejak roda itu juga memperingatkan kru Cirque akan usia jembatan itu.

Para kru bergegas menyebrang. Mereka tak ada pilihan karena mulai terdengar suara dekingan kuda dari kejauhan, tanda kehadiran pasukan keratuan  Modom. Ketika sampai di ujung, Guillermo bersaudara turun dari karavan. Sang kakak menuangkan segentong minyak tanah untuk persiapan membakar jembatan itu.

"...enti!"

Sebuah teriakan menggema dari kejauhan. Guillermo bersaudara segera menambahkan lebih banyak minyak ke jembatan itu, tak ingin jembatan itu tetap berdiri untuk memberi jalan bagi pasukan keratuan Modom.

"Senor! ...ngan! ber..."

Suara teriakan itu semakin menggema di kepala kedua bersaudara itu. Satu gentong terakhir langsung dilempar ke jembatan, tak peduli lagi dengan melumuri jembatan itu. Sang adik mulai berfokus pada tangan kirinya yang masih bisa digerakan, hendak memanggil api sihir untuk membakar jembatan itu.

"Senor! Hentikan! Jangan bakar jembatannya!"

Guillermo sang kakak terperanjat. Matanya terpaku pada sosok penunggang domba putih di jembatan itu, seorang gadis berberbaju merah dan mengenakan sebuah topi kerucut di atas rambut dedaunan musim gugur.

"Olive? Dik, jangan bakar! Olive masih di..."

Biasanya, sang adik hanya bisa membuat sebuah bola api sebesar apel di genggaman tangannya, tapi kali ini, karena sebuah alasan yang tak diketahui, api buatan sang adik membesar drastis seperti sebuah ledakan meriam, membakar kakak dan adik itu bersama jembatan yang hendak mereka bakar.

"Mudur, Guillermo!"

Sepasang tangan besar menghempaskan Guillermo bersaudara dari api jembatan. Mereka berguling di atas tanah, tak menyadari kehadiran Vivaldo yang sedang memadamkan api pada keduanya dengan sebuah kain basah.

Mata kedua saudara itu masih terpaku pada Olive. Tunggangan gadis itu, seekor domba putih berlari secepatnya menuju  ujung jembatan, tapi dengan api yang berkobar di sisi ini, tidak mungkin dia bisa mencapainya. Namun ada yang membuat mereka terkejut sampai tak bisa berkata-kata, yaitu sebuah sosok besar, terbungkus oleh api, yang sedang berlari ke gadis itu.

"Gines! Jangan bodoh!" teriak Vivaldo.

Gines, anggota terbesar kru Cirque melesat dengan air mata mengalir deras. Ia takut, kesakitan dan tidak mau mati. Namun teriakan lantangnya seakan membungkam ketakutan dan rasa sakit untuk menyelamatkan Olive, bahkan jika dia harus menerjang kobaran api. Lari cepat gines berhasil membawanya kepada Olive dan dombanya, lalu mencengkram keduanya di pelukan tangannya dan berlari kembali ke ujung jembatan.

Namun terdengarlah suara mengerikan itu, suara retakan kayu penyangga dari sisi kru Cirque. Jembatan itu roboh, terlahap oleh kobaran api. Bersama dengan Olive dan Gines.

"OLIVE! GINES!"

Vivaldo tidak pernah berteriak semenjak masuk ke kru Cirque. Pria itu selalu mengutamakan penampilan, jadi menahan emosi adalah keahliannya. Namun kali ini, teriakan itu menggema keluar dari mulutnya, sebuah teriakan yang penuh kesedihan.

***

"Berhenti! Jangan melamun kalau berkendara!" sebuah suara membawa Vivaldo kembali dari lamunannya. Tak jauh di depan mereka, di bawah bayangan sebuah bangunan, seorang gadis tengah menunggu mereka dengan payung hitam di atas kepala.

Hal pertama yang Vivaldo lakukan tentunya adalah menghentikan kereta, lalu memeriksa riasannya dengan kaca kecil. Sial, pikirnya. Ia telah melunturkan riasan wajahnya, apalagi di depan seorang gadis, membuat Vivaldo begitu malu.

"Ahahaha... Perdón, señorita. Tampaknya saya tertidur saat mengendara. Gracias."

Si gadis berjas hitam mengerutkan dahinya, "Perdon? Senoreta? Grasias? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Kalian tidak berasal dari sini?"

"Si... maksudku, ya, Nona. Kami baru datang dari jalur di pegunungan," jawab Vivaldo.

"Berani juga kalian lewat sana... Jembatan tua itu tidak aman lagi, lho. Sudah dua tahunan tidak ada yang merawatnya," terang si gadis. "Lalu, untuk apa kalian datang ke sini?"

"Kami hanya lewat, señorita. Tujuan kami adalah kota Bejar, jauh ke arah selatan," ujar Vivaldo.

"Selatan? Kalian yakin tidak berjalan ke utara? Kalian berada di gerbang selatan kota ini, lho!" ujar si gadis.

"B-Benarkah?"

Vivaldo lekas mengambil kompas dari sakunya. Benar kata gadis itu, ia benar-benar telah pergi ke arah utara, bukan ke selatan. "Ah... maafkan kami, nona. Sepertinya kami harus mencari jalan memutar."

"Tidak ada jalan lain dari arah sana," ujar Nora. "Kalau kalian ingin keluar kota, kalian harus masuk ke kota dan keluar lewa gerbang timur."

"Terimakasih, señorita. Kami akan segera berangkat," pamit Vivaldo, memacu tali tambang Esmeralda untuk membuat keledai itu berjalan.

"Aku sarankan hati-hati, orang asing," tegas si gadis. "Kota kematian tidak mendapat namanya dengan Cuma-Cuma."

"Kota apa, señorita?"

Vivaldo dikejutkan lagi untuk kesekian kalinya. Kota dihadapannya tampak seperti sebuah reruntuhan, bangunannya telah runtuh dan banyak tanaman liar dimana-mana. Vivaldo segera keluar dari karavan, berbalik untuk menanyakan lebih banyak soal pemandangan kota runtuh ini.

Namun saat Vivaldo menoleh ke belakang, gadis berpayung hitam itu sudah tidak ada lagi. Ia menelan ludahnya, tak ingin percaya apa yang ada di pikirannya. Namun tidak mungkin seorang gadis bisa menghilang begitu saja dalam beberapa detik.

"K-Kota kematian? Jangan bilang kalau gadis itu..."

"Boss," panggil Guillermo. "Sejak kapan kita menerima penumpang?"

Vivaldo menoleh ke dalam kereta dan di situlah gadis itu, meringkuk di belakang karavan. Tampaknya ia masuk lewat sisi belakang karavan yang terbuka.

"B-Boleh aku ikut menumpang?" pinta gadis itu. "Ini sudah siang hari, jadi bayangan yang aku pakai berteduh sampai ke sini sudah berpindah tempat. Kalau aku tidak bisa menemukan tempat berteduh dari sinar matahari aku tidak bisa kembali!"

"S-Si... Tentu saja, señorita. Saya juga perlu bertanya arah."

"Kalau begitu akan kuperkenalkan diriku," ujar si gadis. "Namaku Nora, Si Tinta Hitam. Panggil saja Nora~"

==3==
Penjaga Sungai Timur

"MBEEEEKKK!!!!"

Siang itu suara embikan Maximillion si domba bergaung di sungai timur kota kematian. Dengan satu hentakan kuat, domba itu membanting tongkat di mulutnya sekuat tenaga, alhasil, sebuah roda kayu terangkat dari dasar sungai.

Tawa nyentrik terdengar dari Gargo yang sedang duduk di samping si domba. Kali ini tongkatnya yang berkedut, lalu dengan satu tarikan, seekor ikan melompat ke pangkuan tangan Gargo.

"MBEK! MBEEEK!"

"Curang? Ini kemampuan yang sudah aku asah dua tahun di sini, Maximillion!" tegas Gargo. "Setiap minggu aku selalu bertapa di pinggiran sungai ini, bermeditasi untuk menyatu dengan alam! Hawa kehidupanku tidak akan terasa setelah aku membaur, bahkan ikan-ikan sungai!"

"Mbek..."

"Ah, iya... akukan patung, jadi nggak punya hawa kehidupan..."

"Mbeek! Mbeek Mbeek Mbeek!"

"Ah, menang kalah dalam memancing itu nggak masalah. Berpikirlah optimis! Coba lihat tangkapanmu! Kalau digabungkan, aku yakin kamu akan punya kereta kuda baru!" terang Gargo. "Tapi tentunya kamu yang menarik keretamu sendiri, hehehe..."

Kesal karena dari tadi hanya mendapatkan bagian-bagian kereta kuda, si domba kembali melempar tongkat pancingnya dan duduk menunggu.

"Jangan ngambek, lah... Aku sudah susah-susah bohong ke majikanmu supaya kita bisa mancing di sini..."

Seketika itu ucapan Gargo terpotong oleh embikan kaget si domba. Tongkatnya tertarik lagi hanya beberapa detik setelah terbenam ke dalam air.

"Oh! Kamu dapat langsung? Aku taruhan ini pasti bagian atap!" gurau Gargo.

Si domba menendang kaki Gargo penuh amarah, sambil mengembek berkali-kali, si domba menunjuk ke arah kail pancingnya pergi. Kail itu menangkap sesuatu yang mengambang, suatu benda berbentuk seperti kapas berwarna putih.

Seekor domba mengapung di sungai, menjadi pelampung untuk seorang gadis berbaju merah. Tak jauh dari si domba, tampak tubuh besar seorang pria mengambang dengan posisi terbalik.

"Sial! Aku harus menyelamatkan mereka!"

"Mbeek!"

Tanpa pikir panjang Gargo melompat dari tepian sungai, melesat dengan sayap melebar. Air sungai terhempas kemana-mana saat Gargo menyentuh air, mengenai Maximillion hingga basah kuyup.

"Maxi! Tolong!"

Si domba terkejut setengah mati ketika melihat hanya tangan Gargo yang tampak di permukaan dan semakin terbenam ke dalam air. Awalnya Maximillion tidak mengerti, tapi ketika mengingat berat tubuh teman batunya, ia paham.

Seharusnya Gargo tidak bisa berenang. Ditambah lagi, lumpur dasar sungai tidak bisa menahan berat tubuh si patung kepala elang, jadi ia terus terbenam ke dalam lapisan lumpur.

"Mbeek..."

Si domba mengembik kesal. Tak hanya harus menyelamatan seekor domba mimpi lain dan dua orang asing, tapi ia juga harus menyelamatkan sebuah patung yang tanpa pikir panjang melompat ke dalam sungai.

***

Basah, lembab dan hangat. Hangat? Aneh. Olive ingat betul dirinya terseret arus sungai semenjak jatuh dari jembatan, tapi tidak mungkin api ikut hanyut bersamanya, kan? Matanya terasa begitu berat, mungkin dia akan menambah jam tidurnya.

"O-Olive... O-Olive... B-Bangun..."

Tidur Olive terganggu karena goyangan pelan dan suara parau nan familiar. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah perapian kayu dan sebuah sosok yang begitu besar hingga ia harus mendongkak ke atas untuk melihat wajahnya.

"Senor Gines?"

Di sebelahya adalah Gines, pria bertubuh raksasa yang sangat akrab dengannya. Tentunya, "Raksasa" di sini adalah menurut Olive sendiri karena hanya untuk melihat wajah Gines ia harus mendongkak ke atas. Tampaknya gines juga ikut hanyut dalam sungai, tapi luka dan memar di tubuhnya menunjukan ia tidak seberuntung si gadis badut.

"Syukurlah... K-Kukira kamu tidak akan bangun."

"Dimana kita, senor?" tanya si gadis.

Hutan, itu yang Olive pikirkan. Pepohonan tumbuh begitu rimbun di tempat ini, begitu banyak hingga bau tanah tercium pekat. Ketika memejamkan matanya, Olive dapat mendengar arus air, berarti ia tidak jauh dari sungai yang menghanyutkannya.

"M-Mungkin sebuah daerah pedalaman?" tebak gines ragu. "A-Aku tidak tahu..."

"Mbeek!" sebuah embikan domba menyela percakapan dua teman itu.

Seekor domba yang tidak kalah basah dengan mereka menarik-narik lengan Olive, berusaha mendapatkan perhatian tuannya. Olive merangkul kepala dombanya, lalu mengelus kepalanya perlahan. Namun tampaknya bukan kasih sayang yang dicari si domba.

"Mbeek! Mbeek!"

Si domba mengangkat salah satu kaki depannya, menunjuk pada api unggun. Olive tersentak setengah mati, rasa kantuknya langsung hilang seketika. Ia baru menyadari sesuatu yang telah berada di balik api unggun yang menghangatkan dirinya, sebuah patung berlumpur.

Patung itu mengambil posisi bersila dengan lengan merentang ke samping. Mata di kepala elangnya melotot dengan garang, sepasang sayap memekar di belakangnya dan sebuah ekor kadal memutari kakinya. Lumpur dan tanaman sungai telah merambati patung itu, memberinya kesan seperti sebuah patung yang begitu kuno.

Namun Olive tersentak bukan karena seramnya patung itu, melainkan beberapa potong pakaian yang menggantung di tangan patung itu. Salah satu pakaian yang digantung, tentunya adalah seragam merah Olive.

Barulah Olive menyadari, dirinya dan Gines sedang mengenakan baju dari kain usang yang baunya sangat menyegat, Tak heran dia mencium bau tanah yang begitu pekat.

"Apa kamu yang menjemurnya di sana, Senor?" tanya Olive.

Gines menggeleng, menunjuk bajunya yang digantung di sayap patung itu, "A-Aku bahkan terlalu takut untuk mengambil bajuku."

"MBBBEEEEKK!!!!"

Sebuah embikan domba menggema di hutan hingga burung-burung dipepohonan berterbangan. Olive mengira embikan itu berasal dari dombanya, tapi tidak, dombanya bahkan sama kagetnya dengan dirinya.

Dari belakang patung jemuran, keluarlah seekor domba yang tubuhnya tertutupi lumpur. Domba itu berjalan ke depan patung itu, lalu duduk di depan perapian.

Saat itulah, mereka mendengar sebuah suara langsung ke kepala mereka, "Akulah sang penjaga agung!"

Untuk sesaat, tidak ada siapapun yang berkata-kata. Mereka semua terdiam sampai mulut gemetar Gines mulai mengutarakan permohonan ampun.

"Tolong jangan makan kami, penjaga agung!" pinta Gines

"Aku juga tidak mau. Dagingmu pasti akan merusak gigiku."

"Aku masih terlalu muda, penjaga agung!" pinta Olive

"Aku tidak memakan manusia."

"MBEEEK!!!!" pinta domba Olive.

"Aku... Vegetarian..."

Merekapun melepas nafas lega. Namun masih ada satu pertanyaan yang membuat mereka bingung, apa yang dilakukan seekor domba mimpi, si "Penjaga Agung", di hutan seperti ini.

"Akulah yang menyelamatkan kalian," mulai si Penjaga Agung. "Kalian mengapung ke tempat ini dalam kondisi yang begitu parah, lalu aku membawa kalian ke tepian dan menyiapkan api unggun."

"Gracias, senor domba!" ucap Olive. "Tapi... kami juga terpisah dari teman-teman kami. Apa anda bisa membantu kami?"

"Bisa," jawabnya. "Tapi aku tidak mau membantu orang yang bau badannya keterlaluan! Ambil baju kalian dan mandi dulu di sungai!"

Olive, Gines dan si domba segera bergegas mengambil pakaian mereka yang sudah cukup kering dan berjalan menuju asal suara arus air yang mereka dengar. Setelah ketiganya cukup jauh, si patung merebah di atas tanah.

"Ah... Kaku sekali... sudah lama aku nggak pura-pura selama itu," keluh Gargo.

"Mbeek! MBEEK! Mbeek!"

Si domba memprotes, ia sebenarnya tidak suka lumpur di bulunya, tapi Gargo meminta untuk tidak membersihkan bulunya setelah menarik Gargo keluar dari lumpur sungai. Ditambah lagi, si Gargo meminta domba itu untuk menjadi si "Penjaga Agung", sementara dirinya bicara menggunakan telepati.

"Apa boleh buat? Coba, apa yang akan terjadi kalau mereka melihat patung  yang bisa bicara dan bergerak saat pertama kali mereka bangun? Akan susah menjelaskannya ke mereka," terang Gargo.

"Mbeek..."

Si domba pun menimpali, ketiga korban sungai itu juga tak kalah kagetnya ketika melihat Maximillion berdandan sebagai penjaga agung.

"Disculpe, senor domba! Apa kau punya..."

Sesuatu yang tak mereka duga telah terjadi, Olive kembali lebih awal. Gadis berambut moka itu seakan membeku ketika melihat patung yang menjemur pakaiannya tiba-tiba merebah santai.

"Jangan panik anak kecil! Aku hanya merebahkan patung ini sementara!" Maximillion dan Gargo kembali memperagakan permainan "Sang Penjaga Agung". "K-Kau lihat? Patung ini sepertinya lelah, jadi aku rebahkan supaya punggungnya tidak kena encok!"

"MBEEEK!!!" teriak sunyi Maximillion pada Gargo, menegur alasan yang begitu aneh.

Olive sepertinya mengalami kesulitan memproses apa yang terjadi hingga kalimat pertamanya setelah terdiam cukup lama adalah,"S-Sabun?"

"MBBEEK?"

"S-Si! Senor domba!" jawab Olive.

"Pakai saja dedaunan biru di pinggiran sungai! Mereka menghilangkan bau tak sedap!" seru Gargo melalui telepati.

"Si! Senor! Gracias!" segera setelah mendengar itu, Olive berlari pergi ke sungai.

"Sepertinya cukup susah berpura-pura seperti ini, domba," ujar Gargo.

"Mbeekk..."

==4==
Masalah Bersisik

"...dan itulah kenapa kota ini disebut kota kematian," jelas Nora, mengakhiri penjelasannya soal sejarah kota kematian.

"Hampir tidak bisa kupercaya... kota ini menjadi terbengkalai seperti hanya dalam 2 tahun?" tanya Vivaldo.

"Yah... mungkin karena kadar Airin di kota begitu banyak, jadi tumbuhan tumbuh begitu cepat," tukas Nora.

"Ai... apa, nona?"

"Partikel Airin. Itu, lho! Konon, partikel itulah penyebab dari fenomena kehidupan dan sihir!"seru Nora. "Airin berada pada semua benda! Dan partikel inilah yang memperngaruhi semua mahluk hidup!"

"Saya tidak pernah mendengarnya, nona," ujar Vivaldo.

"Hem... Mungkin kalian menyebutnya dengan nama lain? Apa kau tahu sesuatu yang bernama "Mana?" "tanya Nora.

"Aku tahu," sahut Guillermo sang adik dari dalam karavan. "Itulah yang kupakai untuk membuat bola api, pria bedak."

"Jangan panggil dia seperti itu!" potong sang kakak. "Aku yang membuat ledekan itu! Jadi akulah yang berhak memakainya!"

"Abaikan saja kakakku, dia bahkan tidak tahu kapan aku bisa membuat api," ujar sang adik. "Kalau Mana di tempat ini memang melimpah, itu bisa menjelaskan kenapa bola api yang kubuat di gunung itu tiba-tiba menjadi ledakan besar. Terlalu banyak mesiu akan menyebabkan ledakan yang terlalu besar."

Sementara mereka bercakap-cakap, kereta tiba-tiba berguncang seakan telah menginjak sesuatu. Vivaldo menghentikan keretanya, berharap tidak ada muatan yang terjatuh dari karavan. Namun Vivaldo hanya menemukan sebuah tali tambang yang menyangkut di roda keretanya.

"Nona Nora! Apa kota kematian selalu punya tali tambang dimana-mana?" tanya Vivaldo kesal seraya berusaha menarik tali tambang itu keluar.

"Tali tambang? Aku dengar memang dulu mereka membuat tali tambang yang kuat, tapi tidak mudah rusak seperti itu," jawab Nora, mengintip dari sisi belakang karavan yang tertutup bayangan.

"Dari tadi kereta ini terus mengenai tali tambang kemanapun kami pergi! Memang siapa, sih orang bodoh yang memasangnya?"

Orang bodoh yang memasang tali tambang. Kalimat itu membuat Nora berpikir sejenak. Ia mengintip dari dalam karavan, mencari –cari sesuatu di langit biru yang cerah. Hanya saja, kali ini dia tidak hanya melihat langit biru itu, melainkan sepasang kantong yang melesat ke langit.

"A-Apa mungkin?! Cepat tinggalkan kereta!"

"Kenapa?"

"Lihat ke langit!" seru Nora.

Tepat seperti dugaan Nora, kantong yang melesat ke langit itu meledak, menghasilkan ledakan menyilaukan di satu sisi dan semburan bubuk hitam di sisi yang lain. Inilah jebakan para manusia kadal yang dimaksud Gargo.

"Ini adalah jebakan! Manusia kadal akan segera berdatangan untuk menjarah karavan ini!" jelas Nora.

"Sial. Kalau begitu kita mungkin sudah terlambat," gumam Guillermo sang kakak. "Aku sudah melihat ledakan itu berkali-kali semenjak kita datang."

Vivaldo segera melompat masuk dan mamacu tali kekang Esmeralda, "Esmeralda! Lari!"

Si keledai penarik karavan tersentak kaget karena tali kekangnya tertarik tiba-tiba, lalu menghentakan kakinya begitu keras hingga tubuhnya melambung ke depan begitu cepat.

Kecepatan yang tak biasa, Nora mengakuinya. Ia selalu mengira keledai adalah hewan yang sangat lamban karena malas, tapi melihat lari Esmeralda yang hampir menyaingi kuda perang benar-benar membuat pandangannya berubah. Pasti ini karena si keledai selalu menarik sebuah karavan, pikirnya.

Sayangnya Nora begitu kecewa. Bukan karena kecepatan si keledai, tapi karena keledai itu lari tanpa karavan.

"Keledai bodoh! Kembali ke sini atau kubuat jadi kedelai!" sentak Guillermo sang kakak.

"Kau yang Bodoh! Keledai itu lebih cerdas," sentak sang adik. "Lebih gampang berlari meninggalkan karavan daripada menariknya."

"Maksudmu kita harus meninggalkan karavan Cirque? Tidak akan!" tolak Vivaldo.

"Tidak, senor. Bagi kita karavan ini sangat berharga, tapi tidak bagi perampok. Apa lagi yang kita punya selain sekantong roti dan satu tong air minum? Papan nama? Buku berbahasa asing? Bahkan aku ragu mereka akan mengambil kereta tak berkuda," jelas Guillermo.

"Ada benarnya juga..." gumam Vivaldo, "Baiklah. Kita akan meninggalkan karavan!"

Anggota Cirque segera turun dari karavan. Guillermo sang kakak naik menunggangi pundak sang adik, lalu berlari bersama Vivaldo yang memimpin jalan. Nora tertinggal karena jalannya gemetaran dari usaha menjaga dirinya dari terik sinar matahari dengan payung.

Desisan manusia kadal terdengar dari arah karavan. Mereka melompat dari dinding-dinding bangunan sekitar, menyergap karavan tak berpenumpang itu. Dari desisan mereka yang semakin sering, tampaknya mereka murka karena tidak menemukan barang berharga apapun, seperti kata Guillermo sang adik.

"Masuk ke bangunan ini!" seru Vivaldo, menunjuk pada sebuah gedung tua berlantai tiga yang atapnya telah dipenuhi oleh pepohonan liar. Para kru Cirque dan Nora segera masuk ke dalam bangunan untuk kabur dari pandangan musuh.

Namun kadal tidak mendapat predikat predator dengan cuma-cuma, para manusia kadal menyadari jejak kaki pada tanah di sekitar karavan. Empat jenis telapak kaki, satu diantaranya adalah hewan berkaki empat.

Mereka mengira kuda penarik kereta telah kabur terlebih dahulu saking paniknya, jadi mereka abaikan jejak si keledai, mengejar tiga telapak kaki lainnya yang berjalan menuju sebuah bangunan. Dengan desisan mereka sebagai isyarat, para manusia kadal mengepung bangunan itu.

Secara serentak, para manusia kadal melompat masuk melalui jalan masuk yang mereka temukan. Pintu utama, jendela, dinding berlubang, bahkan celah di antara pohon besar yang tumbuh di gedung itu.

Namun Guillermo sang kakak yang tak bisa berjalan tanpa menunggang pundak adiknya adalah bencana bagi kelompok ini. Para kadal dengan mudah mengejar kakak beradik itu dan memojokan mereka.

Dalam usaha terakhir, sang kakak memuntahkan minyak yang ia telan sebelum kabur dari karavan, kemudian sang adik menyulutnya dengan api di tangannya. Sayang yang terkena api kakak adik itu hanya tiga kadal terdepan. Merasa tak memiliki harapan, Guillermo bersaudarapun menyerah.

"Apa yang akan kita lakukan dengan ikan teri ini, boss?" tanya kadal yang menyandra Guillermo.

"Bah! Biarkan ikan teri itu, aku tidak peduli!" seru kadal paling besar di antara mereka, tampaknya ia adalah pemimpin dari kelompok ini. "Kita di sini untuk menangkap si tinta hitam! Dia telah membunuh kakakku dan aku akan membalas kematiannya!"

"Oh... manis sekali, adik yang peduli dengan kakaknya. Aku yakin adikku akan menari 10 hari 10 malam jika aku mati. Dengan riang, tentunya," ledek Guillermo sang kakak.

"Diam kalian!" perintah si pemimpin kadal. "Nah... Nona tinta hitam, menyerahlah atau temanmu akan mendahuluimu. Ke neraka, tentunya."

"Tidak, kau salah kadal jelek," ledek Guillermo sang kakak. "Adikku tidak pantas di neraka, bahkan setan tidak menginginkannya! Tolong siksa dia berkali-kali sampai dia meminta untuk mati. Lagipula, dia yang membakar kulit temanmu, kan?"

"Pengkhianat! Kau juga ikut menyemburkan minyak!" seru si adik. "Jangan dengarkan dia! Dia yang menyuruhku membakar kalian, jadi jatuhkan saja siksaan padannya!"

"Hm... ada benarnya juga," gumam salah satu kadal berkulit hangus. "Oke, kalian berdua akan disiksa nanti."

"BUKAN!" sahut si kakak adik kompak.

"Lalu, apa jawabanmu, tinta hitam?" tanya ulang si kadal besar, mengeraskan suaranya hingga menggema di seluruh ruang.

Dengan menghela nafas, Nora dan Vivaldo keluar dari persembunyian mereka dengan mengangkat tangan.

"Baik, aku menyerah. Lagipula tidak mungkin aku melawan kalian. Tidak jika kalian membawa kantong ledakan itu," ujar Nora, menyadari beberapa kadal siap melemparkan kantong peledak di tangan mereka.

"Hehehe... bagus," kekeh si pemimpin. "Ambil tiga tali tambang dan sebuah karung!"

"Karung?" tanya Nora.

"Teman-temanmu akan kuikat dengan tali, tapi untukmu..."

Seekor kadal datang membawa karung, lalu menyerahkannya pada si kadal besar.

"...aku harus mengarungimu."

"AGH! Ada apa dengan kalian para kadal! Kenapa suka sekali mengarungi orang! Lagipula kenapa yang lain tidak!"

==5==
Pelarian Dari Kadal

Kota kematian, meski namanya begitu, kota ini masih menyimpan keindahan. Bangunan yang hanya meninggalkan kisah dalam debunya, Pohon liar yang tumbuh dari bibit-bibit yang berserakan di sebuah rak biji dan dedaunan dari batang pohon yang menjadi atap jalan tempat Olive berada.

"Kota ini..."

Air mata menetes dari pipi Olive ketika melihat reruntuhan kota. "Kota Kematian", itulah nama kota yang diceritakan oleh Sang Penjaga Agung. Rasa sedih semakin menimbun kala ia berjalan di kota indah, tapi tak berpenghuni ini.

Sebagai seorang Gipsi, kaum pengembara yang dianggap sebagai golongan terendah di sebagian eropa, Olive jarang melihat keindahan arsitektur kota. Karena itulah ia selalu terkesima melihat bangunan yang tersusun begitu rapi di kota-kota.

Namun di kota ini, ia merasa berbeda. Kota ini indah, tapi tidak berpenghuni. Biasanya, Olive akan mengabaikan pandangan orang-orang di jalanan, tapi kali ini, ia berada pada sebuah kota dan tidak ada yang memperhatikannya, rasanya ada sesuatu yang hilang dari kota itu.

"O-Olive..." Gines memanggil gadis itu. "A-Apa kau tidak apa-apa?"

"Nay, senor... aku hanya merasa pemandangan ini seperti dalam buku dongeng," ujar Olive. "Tapi kosongnya kota ini mengusikku."

"Itulah akibat dari perang, nona muda," ujar suara sang penjaga agung. "Dahulu, temanku bermimpi untuk mengubah dunia, tapi dia gagal dan kota inilah akhir kegagalannya."

"Perang, senor domba?" tanya Olive.

"Ya, Perang," jawab si domba. "Apa kau tahu? Dunia ini tidak punya nama. Imub adalah nama yang kupakai, tapi Elves memanggilnya Savior, manusia memanggilnya Gaia dan kurcaci memanggilnya Bola Besi."

"Kenapa begitu banyak nama, senor?"

"Penduduk dunia ini tidak pernah akur. Negara-negara besar selalu berdebat akan hal terkecil seperti penamaan, sementara negara kecil akan dipaksa mengikuti negara besar dan secara tidak langsung, konflik penamaan itu," terangnya.

"Tapi... apa nama benar-benar bisa membuat konflik sebesar itu, senor?"

"Dia yang bisa menamai dunia, maka dialah yang menguasainya," kutip si penjaga agung.

Si penjaga Agung lalu menjelaskan bahwa pepatah itu adalah pepatah lama, tapi semua meyakininya. Bahasa ataupun asal nama yang akan dipakai untuk menamai dunia ini tentunya akan berdampak besar pandangan masyarakat manapun, oleh karena itu, puluhan negara berlomba-lomba untuk menamai dunia ini dan mempertahankannya.

"Teman baikku, termasuk salah satunya," ujar sang penjaga. "Dia melihat ketidaksetaraan, arogansi dan tindakan semena-mena terhadap kaumnya, itulah kenapa ia ingin mengubah nama dunia ini, untuk mengubah dunia ini, tak gentar walau tubuhnya selembek jeli."

"Aku turut berduka, senor domba," ujar Olive.

"Ah... maafkan aku. Cerita sedih ini membuatmu sedih juga, ya? Lebih baik kita segera ke kota. Teman-temanmu pasti ada di sana," ujar sang penjaga agung. "Biarlah cerita itu terbenam dalam sejarah, sehingga hanya patung yang menjadi saksinya."

"B-Bicara soal patung..." Gines memulai. "A-Apa cuma firasatku atau patung itu mengikuti kita?"

Olive menoleh ke belakang. Tampaknya rasa takut dan paranoid Gines tidak salah kali ini. Sebuah patung berlumpur yang terjerat oleh tanaman sungai tengah duduk bersila beberapa meter jauhnya dari mereka. Inipun bukan pertama kalinya Gines merasa patung itu mengikuti.

"O-Oh... Patung itu... sepertinya banyak patung seperti itu di kota ini! Tampaknya begitu populer!" ujar si penjaga agung. "Lagipula, tidak mungkin sebuah patung bisa bergerak, kan?"

"Entahlah senor domba..." ujar Olive, "Kalaupun itu patung berbeda, kenapa ia masih membawa tanaman sungai yang menyangkut padanya?"

"B-Bukan! Itu ornamen daun berbeda dengan yang di sungai! K-Kalian mungkin mengiranya sama karena tidak tahu perbedaannya," ujar si domba.

"Mbeek..." kini domba milik Olive juga ikut menyatakan kecurigaannya.

"J-Jangan bercanda, domba temanku! Aku tidak berpura-pura!"

"A-Aku takut kalau patung itu sedang memburu kita... lalu menyergap ketika kita tidak waspada," ujar Gines. "B-Bagaimana kalau kita memeriksanya?"

"Uh... I-Itu S-Sangat T-Tidak mungkin, G-Gines temanku!"

Gargo dan Maximillion, aka si penjaga agung hampir kehilangan penyamarannya ketika Olive menyetujui tawaran Gines. Untungnya, ia terselamatkan oleh sebuah dekingan seekor keledai.

"Esmeralda! Bagaimana kabarmu?" sambut Olive.

Olive langsung mengenal keledai itu, sering sekali Gines ikut mendorong kereta bersama Esmeralda. Gines dan Esmeralda, keduanya bagai partner dalam divisi penarikan kereta. Meski pekerjaannya tidak sekeren namanya, tapi pekerjaan inilah yang mengikat tali pertemanan antara Olive, Gines dan Esmeralda.

"Dimana Vivaldo dan Guillermo bersaudara? Lalu karavan kita? Apa kamu pergi mencari kami, Esmeralda?" Olive terlalu sibuk memeluk si keledai sampai-sampai ia tidak menyadari wajah tegang si keledai.

"Mbeek!" domba Olive menarik lengan baju, Olive, berusaha menyadarkan majikannya.

"Ada apa domba?"

Esmeralda mendengus beberapa kali, lalu mengakhirinya dengan sebuah dekingan pelan. Saat itulah, Maxi dan domba Olive memekik kaget.

"Apa yang dia katakan, senor domba?" tanya Olive.

"Orang bernama Vivaldo, Guillermo dan seorang tamu mereka telah diserang sekelompok penjarah," ujar si penjaga agung. "Lokasinya adalah 2,5 kilo meter ke tenggara, waktu penyerangan jam 1: 34."

"A-Apa Esmeralda mengatakan semua itu hanya dalam dengusan dan dekingan?" tanya Gines kebinugngan.

"Tentu saja! Jangan remehkan bahasa domba dan keledai! Susah tahu ngatur volume, kedalaman dan intonasinya, apalagi kita hanya boleh bilang Mbeek dan Nggeeh," terang si penjaga agung. "Tapi itu bukan masalahnya, ayo kita bantu teman-temanmu!"

Tim Olive bersama Esmeralda berlari secepatnya ke lokasi yang dimaksud sementara Gargo mengekor agak jauh di belakang. Ketika mereka sampai pada blok dimana kru Cirque yang lain bersembunyi, mereka mengendap ke salah satu reruntuhan supaya tidak tertangkap seperti yang lain.

Mengintip dari celah-celah bangunan, mereka dapat melihat para manusia kadal tengah membawa tawanan, tiga pria yang tangannya diikat dan sebuah karung yang meronta-ronta.

"Mereka memasukan Nora dalam karung lagi? Apa itu fetish mereka?" gumam si penjaga agung.

"Siapa Nora, senor domba?" tanya Olive.

"Gadis dalam kantong itu," ujar si penjaga agung. "Tapi kita tidak mungkin menyerang mereka langsung. Kita harus menyusun sebuah rencana!"

***

Desisan para manusia kadal terdengar di jalanan kota. Mereka membentuk barisan, bergerak serentak kembali ke markas di tengah kota. Tiga orang pria, tangan mereka terikat tali tambang dipaksa mengikuti seekor kadal yang menarik ketiga tali ikatan mereka serta membawa sebuah karung di pundaknya.

"Kau lebih baik punya rencana, senor," ujar Gillermo sang kakak. "Atau kita akan jadi santapan kadal-kadal ini."

"Entahlah," jawab Vivaldo. "Senorita dalam kantong itu mungkin punya ide, lagipula dia yang menyerah terlebih dahulu."

"Aku tidak punya rencana," jawab Nora, suaranya terbenam pada karungnya. "Mereka sudah mengepung sebanyak itu, tidak mungkin aku bisa menang."

"Ya tuhan... kurasa akhir dari Cirque adalah menjadi hidangan pembuka," lirih Vivaldo.

"Sepertinya kebiasaan mengeluh Gines tertular padamu, senor," kekeh Guillermo sang adik. "Yah... semoga ada karakter tak dikenal yang tiba-tiba menyelamatkan kita detik ini juga."

"Jangan berharap yang tidak-tidak, dik!" sentak sang kakak. "Aku sudah bosan dengan mengharap yang tidak-tidak! Memangnya sebuah pertolongan akan datang dari langit begitu saja?"

Sontak, mereka langsung dikagetkan oleh suara dentuman yang begitu keras. Sebuah bangunan di ujung jalan telah runtuh, memblokir jalan utama ke tengah kota. Sialnya, bangunan itu masih jauh dari para manusia kadal.

"Balik arah!" seru pemimpin kadal.

Baru saja perintah kadal itu terdengar, bangunan lain dari arah berlawanan juga ikut runtuh dan memblokir jalan. Kini para kadal tahu ini bukan kebetulan semata. Seseorang telah sengaja meruntuhkan bangunan-bangunan itu.

"Letakan sandera kalian dan akan kubiarkan kalian pergi."

Para kadal dan sandranya mendengar sebuah suara langsung ke kepala mereka, seperti sebuah telepati. Sebuah sosok domba berbulu coklat bangkit dari salah satu atap gedung samping jalan, lalu meledakan sebuah kantong kulit untuk menarik perhatian para kadal.

"Akulah Sang Penjaga Agung, tunduklah pada perintahku, niscaya kalian akan selamat!"

Perkataan si domba benar-benar berpengaruh pada para manusia kadal. Mereka yang dari tadi hanya terdiam, kini tertawa terbahak-bahak sambil mengolok-olok si domba. Bahkan ada yang mulai membicarakan hidangan tambahan malam ini.

"I-Itu domba, kan?" tanya Vivaldo. "Kenapa mereka tidak shock melihat ada domba yang bisa bicara?"

"Kalian juga tidak shock saat melihat kadal bicara," balas Nora.

Di tengah tawa mereka, tidak ada satupun dari kadal itu menyadari akan bahaya yang menghampiri. Mereka mendengar sebuah dentuman ketiga, tapi kali ini diikuti rintihan dan teriakan panik para manusia kadal. Sebuah dinding bangunan, seakan dicongkel dari tempatnya, telah mendarat di tengah barisan kadal itu.

Nyatanya dinding itu bukan satu-satunya bahaya yang datang. Sebuah pillar terjatuh di sebelah dinding tersebut, lalu diikuti dengan potongan tangga, batang pohon dan berbagai  objek berat nan besar lain mendarat satu persatu di barisan kadal itu.

"Tangkap domba itu!"

Para kadal tidak tahu penyebab kejadian ini, tapi satu-satunya kemungkinan pelakunya adalah domba di puncak gedung itu, jadi mereka bergegas menghancurkan dinding gedung tempatnya berpijak, masuk melalui celahnya dan  menuju puncaknya.

Pintu lantai atap terlempar terbuka, para kadal menyerbu ke halaman luar. Hal pertama yang mereka lihat adalah deretan mesin catapult. Seharusnya, mesin-mesin ini dibuat para kadal untuk meluncurkan peledak yang mereka gunakan sebagai jebakan, tak heran mereka mengamuk ketika ketapel buatan mereka digunakan melawan mereka sendiri. Dan di depan deretan ketapel itu adalah sang penjaga agung, berdiri di dekat ujung atap.

"Mbeek?" si domba hanya mengembik remeh pada para kadal.

Para kadal penuh amarah itupun menerjang si domba, tapi tak satupun senjata mereka mencapainya karena si domba melompat mundur terlebih dahulu, melewati ujung lantai atap.

Ketika terjatuh bulu domba itu membumbung hingga tampak seperti bola bulu raksasa, lalu memental beberapa kali ketika sampai di tanah hingga akhirnya bulunya tertarik kembali ke ukuran normal dan langsung ditangkap oleh seorang pria berbadan besar.

Para kadalpun hanya bisa melongo ketika melihat domba dan pria itu kabur bersama keempat tawanannya bersama seekor domba lain dan seorang gadis berambut moka.

Olive langsung menaiki dombanya, memacu keluar ke sebuah lubang yang dibuat Gines pada gedung yang berlawanan arah dengan gedung kemunculan si penjaga agung. Setelah berputar di sebuah pertigaan depan gedung kaburnya, ia menemui sebuah karavan yang mengangkut seluruh kru Cirque beserta sang gadis tamu.

"Kamu dombaku, kan? Kamu dombaku,kan?" tanya Nora pada si penjaga agung, mengabaikan embikan si domba yang seakan memintanya untuk berhenti bertanya.

"MBEEEK!!!" balas bentak si penjaga agung seraya menyundul kening Nora hingga gadis itu memekik kesakitan.

"Esmeralda, jalan! Dan jangan kabur kali ini!" seru Vivaldo. "Gines! Jangan diam saja! Bantu tarik!"

Esmeralda melangkah maju, menarik kereta di belakangnya sekuat tenaga. Gines segera menyusul, membantu Esmeralda menarik karavan sekuat-kuatnya. Keretapun melaju cukup kencang dan karena sub-bab ini sudah cukup panjang, jadi ini waktu yang tepat untuk mengakhiri sub-bab ini, kan?

Tidak. Saat mereka berpikir telah lolos dari para kadal, hujan puing mulai berjatuhan di jalan depan mereka.

"Mierta! Mereka memakai ketapel-ketapel tadi!" pekik Olive, mengintip dari belakang karavan.

Tampaknya para kadal masih marah karena ketapel mereka dipakai sebagai senjata makan tuan, karena itu mereka menembakan puing-puing besar pada karavan yang kabur itu.

Bebatuan di depan mereka semakin menghalangi sampai mereka harus memutar berliku-liku, sementara desisan para kadal pengejar terdengar semakin jelas. Hingga akhirnya mereka sampai pada deretan batu yang menghalangi ruas jalan itu.

Saat itulah mereka mendengar deru langkah yang begitu keras dari belakang karavan. Menerjang melewati liku-liku batu, deru langkah itu terdengar semakin keras dari sebelumnya. Semua penumpang karavan itu tersentak kaget ketika mengetahui deru langkah itu berasal dari sebuah patung berlumpur yang berlari lebih kencang daripada kerumunan kadal di belakangnya.

Patung itu dengan gagah menyalip karavan, lalu dengan melempar kantong peledak di tangannya, ia menghancurkan puing di depan dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Karavan itupun kembali ditarik, kini dengan bantuan si patung berlumpur. Mereka berjalan semakin cepat, menuju gerbang timur untuk keluar dari kota.

"Ugh... Gargo Ex-Machina..." keluh Nora. "Apa dia harus mengambil peranku di cerita ini?"

"Mbeek~"

Maximillion menyarankan Nora untuk menyerahkan perannya pada Gargo saja, tapi kemudian Ink Nora melilit domba malang itu. Iapun kembali teringat kenapa ia takut pada Nora.

==6==
Pertunjukan Terakhir

Sore itu terdengar suara teriakan gembira dari luar dinding timur kota kematian. Kru Sirkus Cirque telah berkumpul kembali setelah kejadian menggemparkan di pagi ini dan mereka berterima kasih pada tamu mereka, Nora, si domba dan Gargo.

"Gracias, senor domba!" ucap Olive. "Aku dan Gines bisa kembali berkat kalian!"

"Mbeek~" si domba tersipu malu mendengar pujian itu. "Mbek... Mbeek mbekk!"

"Nggak usah diungkit, domba!" balas Nora ketus.

"Mi Amor?" Olive dibuat bingung karena ledakan kemarahan Nora.

"Aku tahu aku nggak tahan di siang hari, tapi nggak usah meledek!"

"Senor domba mengatakan itu?" Olive menengok pada Maximillion, tapi domba itu membalas dengan gelengan kepala.

"Domba pembohong!" tukas Nora.

Gadis berjas hitam itu membuka payung hitamnya, lalu turun dari karavan dan mulai mengejar dombanya di bawah langit senja. Baru lima menit ia keluar, Nora kembali lagi ke karavan dengan sempoyongan. Suara geram dari perutnya sudah memberi alasan jelas.

"Roti, mi amor?" Olive menawarkan sepotong roti dan segelas air pada Nora.

Nora segera melahap potongan roti di tangan Olive, tapi tangannya gemetar saat hendak minum air dari gelas. Diminumnya pelan-pelan air di gelas itu sampai tidak tersisa setetespun.

"Terimakasih rotinya..." ucap Nora. "Uh... tapi tidak untuk airnya."

"Rasanya aneh, mi amor?" tanya Olive pada Nora.

"Aku tidak suka air," jawab Nora. "Tidak pernah sama sekali!" tegasnya.

"Senorita, maaf saya terlambat mengucapkan."

Vivaldo, si pemimpin karavan, datang menghampiri Nora dan Olive di samping karavan.

"Terimakasih telah menuntun kami keluar dari kota. Kami tidak punya apapun untuk membalas budi, tapi setidaknya, biarkan kami menampilkan keahlian kami," tawar Vivaldo.

"Pertunjukan? Seperti sirkus?" tanya Nora kegirangan.

"Nay, mi amor! Bukan "Seperti Sirkus", kami benar-benar sirkus!" potong Olive. "Datang dan saksikanlah permainan api dari Guillermo bersaudara! Api bukan kesukaanmu? Kalau begitu kami punya Vivaldo si pemain pedang yang akan membutakanmu dengan pertunjukan pedangnya! Namun bersiaplah untuk bintang pertunjukan Cirque..."

"...Esmeralda si keledai."

"N-Nay, senor Vivi! Bukannya aku bintang utama sirkus ini? Tidak ada sirkus yang bisa hidup tanpa permainan akrobatik!" sanggah Olive.

"Dan bukannya AKU yang seharusnya melakukan monolog perkenalan, Olive?" tegur Vivaldo, tidak terima perannya diambil.

"Menarik sekali. Bagaimana kalau kalian mementaskan semuanya secara bersamaan?"

Sebuah jawaban terdengar, tapi itu tidak berasal dari Nora. Suara itu terdengar lagi, mengekeh tak tulus seperti bocah lelaki yang sedang kesal, lalu diikuti suara langkah serentak dari dalam hutan.

Mata kaku para Reverier terpantulkan oleh sebuah mata besar yang baru keluar dari hutan. Sebuah mata raksasa, tersanggah oleh tubuh kerangka yang tengah mengendarai seekor domba hitam, sedangkan di belakang sosok itu adalah lima ekor domba hitam berbaris rapi.

"Kalian masih belum mengenalku, kan?" tebak sosok bermata satu itu. "Namaku Oneiros, sama seperti Huban, aku adalah penduduk dunia mimpi."

"Dunia mimpi?" tanya Vivaldo kebingungan.

"Maaf, senor Vivi, tapi bisakah senor menunggu sambil mendengarkan tuan Oneiros selesai bicara?" pinta Olive.

"Anda sangat paham sekali, nona muda. Kami para mahluk mimpi hanya kaki tangan untuk [Sang Kehendak] saat ini dan saya menjalankan tugas saya sebagai pengawas Turnamen," terang Oneiros. "Kau tahu... terkadang Reverier lupa untuk bertarung... atau bahkan menolak. Tugasku adalah memastikan pertarungan tetap berlangsung, jika tidak, saya seorang diri yang akan memberikan inisiatif untuk mereka."

"Reverier? Bertarung? Turnamen? Olive, apa lagi yang kamu perbuat selama terpisah?" tanya Vivaldo.

"Senor Vivi, ketahuilah, saya mendapat kartu ini dari pria seram," seujar menyelesaikan kaliamatnya, Olive mengeluarkan sebuah kartu dari saku bajunya. "Saya rasa semenjak itu saya terlibat, meski tidak mau."

Sebuah kartu katalog, Nora langsung mengenalnya. Kartu katalog adalah "Representasi" dari eksistensi Reverier, sehingga para Reverier harus menjaganya. Jika tidak mampu, maka segala kerusakan pada kartu tersebut akan terjadi pada Reverier.

"Berarti kamulah lawanku di ronde ini, Olive," tukas Nora.

"A-Anda seorang Reverier? Nay, mi amor! Kita tidak harus bertarung!" seru Olive. "Anda telah membantu kru Cirque, tidak sopan menghajar tamu baik!"

"Hmm... aku juga tidak mau," ujar Nora, "Aku memang lebih suka daging, tapi roti pemberian mereka masih lebih baik dari mati kelaparan."

"Karena itulah saya muncul di sini, para Reverier," sela Oneiros. "Apakah anda tahu apa taruhan ronde ini? Bingkai mimpi kalian dan segala sesuatu di dalamnya. Jadi jika kalian kalah, tempat asal kalian berasal akan lenyap."

"Tidak masalah bagiku!" seru Olive. "Aku seorang Gipsi, tidak pernah tinggal lama dimanapun! Karena semua Kru Cirque sudah di bingkai ini, aku tidak peduli dengan siapapun dari bingkai mimpiku!"

"Apa itu sebuah pengakuan kekalahan, nona Olive?" tanya Oneiros.

"Tentu sa..."

"Tidak Olive! Jangan!" Vivaldo menyela, "Diana... Diane... siapapun namanya, dia masih di kota Bejar, di dunia kita berasal!"

Diane. Sudah berapa kalikah Olive mendengarnya? Konon, ialah sang pendiri Kru Cirque yang tidak lagi ikut karena suatu alasan yang tak diketahui Olive. Ia terperanggah, teringat kembali bahwa Vivaldo juga memintanya menuju kota Bejar untuk menemui wanita misterius ini.

"Senor Vivi? Siapa sebenarnya Diane yang terus kau sebutkan?" tanya Olive. "Kalau kita sudah di sini, kita takan lenyap!"

"Tidak, Olive. Ada sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah pertanyaan yang harus kudapatkan dari si pendiri seorang diri," tegas Vivaldo.

"Aku juga tidak ingin kau menyerah begitu saja, Olive," ujar Nora.

"Nay, mi amor! Tolong jangan! Kita tidak punya alasan untuk bertarung!" pinta Olive.

Tangan kanan Nora menengadah ke hadapan Olive. Sebuah bola kristal ungu duduk di mangkuk tangan Nora, setengah tenggelam dalam Ink miliknya. Olive sempat mengira Nora hendak memberikan bola indah tersebut, tapi tidak, Ink di telapak tangan Nora berputar cepat, membentuk sebuah pisau runcing bagai ujung tombak.

"Tapi aku punya."

Olive merasakan sebuah tarikan. Melihat ke samping, tangan kiri Nora telah mencengkram pundaknya, mendorong tubuh si gadis kecil pada bilah tajam di tangan kanan si pengendali Ink.

"Sadarlah, Olive!"

Sepasang tangan lain menarik Olive mundur, melepasnya dari cengkraman Nora hingga si gadis berambut moka terlempar ke tanah. Suara pedang dicabut dari sabuknya terdengar nyaring, menandakan awal dari sebuah pertarungan.

"Dasar tak tahu balas budi!"

Pedang anggar Vivaldo menebas maju, berusaha menakuti Nora supaya mundur memberi jarak antara dirinya dengan sang lawan. Namun Nora tak kalah hanya dengan intimidasi, tangan kanannya menggapai pedang runcing Vivaldo, lalu membungkus pedang itu dari bilah hingga gagang dalam Ink pekat.

Vivaldo berusaha melepas pedangnya dari cairan hitam Nora, tapi berapa kalipun ia menggoyang tangannya, cairan itu menolak untuk lepas.

"Olive, seharusnya kamu tahu sendiri alasan kita bertarung," ujar Nora. Tangan kiri yang masih bebas mengambil kartu miliknya dari saku, menampakkannya pada Olive dan Vivaldo. "Kita sama-sama Reverier, Olive. Reverier harus bertarung jika tidak ingin..."

Namun Nora menghentikan kalimatnya. Sebuah asap tipis melintas melewati matanya dari sisi karavan, lalu pada saat ia menoleh, seberkas cahaya memercik dari dalam karavan. Sebuah pekikan histeris keluar dari mulut Nora saat api tiba-tiba berkobar di depan matanya.

"Mundur, Nora!" suara Gargo menggema.

Sebuah tangan menarik baju Nora dari belakang, menghempaskan gadis itu jauh dari semburan api. Saat api itu memudar tampaklah sang pelaku di dalam karavan, pasangan Guillermo bersaudara.

"Ternyata dugaanmu tidak salah, kakakku. Akhirnya kamu melakukan sesuatu yang berguna," ujar sang adik.

"Aku selalu curiga, adikku. Akupun penasaran kenapa para kadal itu bisa mengenal tamu kita... dan apa yang dilakukan dia di tempat seperti ini," terang sang kakak. Sang kakak memaparkan selembar kertas pada Nora, "tapi jika kepalamu dihargai, semua jadi jelas."

Dalam kertas itu, terpapar sebuah foto seorang gadis yang wajahnya tak di tampakan, tapi ia berdiri di sebuah jalanan yang bersimbah darah. Dalam kolom nama kertas itu tertulis, Nora Sang Pembantai. Tuntutan : Pembantaian kota Clockwork. Harga kepala : 500.000 Girul. Saran penangkapan : Lemah terhadap cahaya dan gunakan karung ketika menangkap. Di lihat dari isinya, siapapun pasti tahu bahwa itu adalah poster buronan.

"Inilah wujud asli dari tamu kita!" seru Guillermo sang kakak. "Seorang pembantai yang kepalanya dihargai mahal!"

"Kalau begitu lebih baik kuselesaikan saat ini juga," tegas Vivaldo, memungut kartu katalog Nora yang tergeletak di tanah, jatuh ketika Nora dihempaskan mundur.

"Maaf, senor Vivi," ujar Olive.

Kaki lincah Olive mendarat pada pundak Vivaldo, merebut kartu Nora dari genggaman sang pemain anggar, kemudian melompat turun dan berlari ke dalam hutan.

"Olive! Apa yang kau lakukan! Cepat robek kartu itu!" perintah Vivaldo.

Namun Olive lebih dulu menghilang ke dalam hutan. Vivaldo menggeram kesal, bukan hanya kali ini Olive mengabaikan perintahnya, tapi ia kesal karena nyawa Olive juga ikut terancam pada masalah ini.

"Cih... Guillermo, aku akan mengejar Olive. Coba tahanlah si pembantai dan monster batu itu!" perintah Vivaldo.

"Ngomong gampang, senor..." Guillermo sang kakak menelan ludahnya. "Coba, gimana kita bisa mengalahkan dia?"

"Entahlah, kak," sang adik menggendong kakaknya keluar dari kereta. "Tapi Vivaldo yang meminta, jadi kita harus menurut."

"Terserah kamu, turunkan aku!" ujar sang kakak, membanting tubuhnya turun ke karavan. "Aku tidak mau menurutinya. Terlalu susah untuk orang tanpa kaki sepertiku."

"Apa kalian lupa aku masih di sini?"

Tanpa peringatan, tanpa pertanda, sebuah pusaran angin terbentuk pada karavan, mengurung seluruh karavan bersama Guillermo sang kakak di dalamnya. Angin itu berpendar, tersedot ke dalam mulut para domba hitam.

"Aku benar-benar tidak suka dilupakan," tegas Oneiros. "Apalagi dilupakan panitia sampai ronde 3!"

"K-Kakak?" Guillermo sang adik hampir tak percaya. Baru beberapa detik lalu, kakaknya masih menunjukan sifat arogan dan pesimisnya. Namun kini, sosok itu telah sirna dari hadapannya. "Dimana kakakku? Apa yang kau lakukan padanya, Oneiros?!"

"Memakannya," jawab Oneiros. "Aku berhak memberikan motif bertarung supaya siapapun bertarung, tak terkecuali kalian yang hanya karakter sampingan. Sekarang lawanlah patung itu jika kau tak mau berakhir seperti kakakmu."

Guillermo masih berusaha mencerna perkataan Oneiros, tapi satu hal yang pasti, sang kakak telah tiada. Iapun merinding, takut akan apa yang hendak ia hadapi. Jika ia menolak bertarung ia akan mati, tapi jika bertarung juga, ia akan tetap mati. Tidak ada pilihan untuknya.

Saat kakinya gemetar itulah ia menyadari figur kurus Nora berlari menuju ke hutan. Tampaknya si patung telah memberi tahu kemana perginya Vivaldo dan Olive. Guillermo melihat jalan keluar, ia tak harus melawan si monster patung, ia bisa melawan Nora, Gadis yang akan pingsan seketika melihat ledakan api miliknya.

Guillermo kuruspun bergegas lari ke hutan, tapi betapa terkejutnya dia ketika sebuah bongkahan batu besar jatuh di depan matanya, menghalangi jalannya ke hutan.

"Jangan pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja, nak," tegas Gargo si patung marmer. "Aku menyelamatkan kalian dari para kadal karena rasa simpati, tapi jangan harap aku akan bersimpati ketika kau ingin membunuh temanku!"

"T-Tunggu senor patung! Kumohon! Jangan bunuh aku!"

Memohon, sudah berapa lama Guillermo tak melakukannya? Kenapa ia merasa sangat berbeda? Kenapa dirinya tiba-tiba menjadi pengecut? Guillermo tidak mengerti sifatnya berubah drastis. Kebingungan di kepala Guillermo begitu memilukan sampai ia tak mampu berdiri.

Langkah kaki si patung batu menggema ke arahnya. Inilah akhir hidup Guillermo, pikirnya. Paling tidak jika ia mati, maka ia akan bisa menemui kakak yang sangat ia benci itu sehingga ia takkan merasa kesepian.

"Ada kata terakhir?" tanya Gargo.

"Tolong... ampuni aku..." pinta Guillermo untuk terakhir kalinya.

"Tidak."

Tangan besar Gargo terangkat tinggi melebihi kepala pria malang itu. Guillermo hanya bisa pasrah menerima keputusan Gargo.

Namun sebelum tangan patung itu bisa mendarat, sepasang tangan besar merangkul pinggang Gargo dari belakang. Dengan kekuatan luar biasa, Gargo yang begitu berat terangkat dari permukaan tanah, lalu dibanting ke belakang tepat mendarat pada kepala batunya.

"Guillermo, kumohon! Berhentilah menangis!"

Suara serak itu, ia mengenalnya. Suara dari sosok besar yang selalu diolok-oloknya, Gines de Pasamonte. Sosok pria besar itu berlutut di depannya, sedangkan patung yang tadi hendak membunuhnya tampak di belakang Gines, terbenam dari kepala hingga pundak.

Barulah ia menyadari kenapa emosinya tidak stabil. Ia menangis, sepertinya cukup lama lama karena pada saat menyadarinya, Guillermo merasakan letih yang luar biasa.

"Apa yang akan dikatakan kakakmu kalau ia melihatmu seperti ini, Guillermo? Dia tidak ingin adiknya menjadi orang lembek!"

Apa yang akan dikatakan sang kakak?

"Adikku seperti Esmeralda, hanya cocok jadi tunggangan," kekeh sang kakak ketika bergosip dengan Olive, padahal ia berada tepat di samping.

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala sang adik.

"Adik tidak becus! Kita terlambat karena kamu!"

Yang ia dengar hanyalah hinaan, sebuah gema dari masa lalu dimana sang kakak terus menghina dirinya.

"Aku tidak ingat Cirqué punya anggota perempuan kedua, bilang terus terang!"

Namun hinaan itu tidak lagi terasa sakit baginya, malah hinaan itulah yang membuatnya menolak untuk diam, menolak untuk mengakui bahwa perkataan kakaknya benar.

"Kakak sialan. Masih matipun pasti dia masih mengejekku," gumam Guillermo pelan. Air mata tidak lagi mengalir, kakinya tidak lesuh lagi dan sang adikpun bangkit."Akan kutunjukan padamu, kak! Akan kubuktikan kau salah! Jika tidak namaku bukan Rodrique Guillermo!"

"Cepatlah masuk ke hutan, senor. Kejarlah gadis itu," pinta Gines. "Kurasa patung itu bisa kembali kapanpun."

Setelah lemas beberapa saat lalu, tangan marmer Gargo kembali bergerak. Tangan itu menggali tanah di pundaknya, terus menggali untuk mengangkat tubuhnya keluar.

"Kuserahkan dia padamu, Gines!" pinta Guillermo.

***

Gines dan Gargo, dua raksasa itu hendak berhadapan di medan ini. Satu adalah raksasa batu dan yang lain adalah raksasa daging. Pukulan saling dilontarkan, tapi batu terbukti lebih kuat dari daging. Gines sempoyongan mundur, memuntahkan satu gigi keropos dari mulutnya.

Pukulan maupun ketahanan tubuh batu Gargo sudah jelas superior dari dirinya yang terbuat dari daging, Gines tahu itu. Jikapun ia memiliki senjata, iapun ragu dapat mengalahkan Gargo. Maka dari itu, Gines harus menggunakan satu-satunya keuntungan yang ia punya, kecepatan.

Gines  menerjang maju, menghindari satu pukulan balasan dari Gargo dan menangkap tangan pukulan itu. Ia menyerang sendi bahu Gargo dari bawah, tapi hanya tangannya saja yang kesakitan. Iapun menangkap pinggang Gargo, lalu menopangnya sejenak pada pundak dan punggungnya hingga akhirnya membanting Gargo lagi.

Gines tertawa pelan, serangan itu efektif! Sayap dan ekor patung itu telah terlepas dari tubuhnya. Namun patung itu bangkit lagi, bersiap untuk ronde kedua. Ginespun kini tahu cara untuk mengalahkan Gargo, dengan membantingnya sekuat tenaga. Sehingga itulah yang harus ia lakukan, membanting Gargo berkali-kali sampai ia menyerah!

"Kau terlalu lama."

Sebuah hembusan angin tiba-tiba menyelimuti tubuh gines. Tiba-tiba ia merasa lemas, kehilangan tenaga hingga akhirnya ia terpecah menjadi partikel-partikel kecil yang kemudian dihisap oleh domba hitam Oneiros.

"Apa yang kau lakukan?" protes Gargo pada Oneiros. "Dia sudah bertarung, lalu kenapa kau melakukan itu?"

"Heh, kalian benar-benar bodoh."

Oneiros mengangkat tongkatnya, mengarahkannya pada Gargo. Debu warna-warni mengelilingi Gargo, memperangkapnya dalam sebuah penjara berbentuk 6 lingkaran jari-jari bola.

"Aku bukanlah panitia... bahkan aku sangat membenci [Patung Keparat] itu," ujar Oneiros. "Aku di sini adalah untuk menghabisi kedua reverier di ronde ini! Bukan untuk bermain-main!"

Dengan sebuah ayunan, penjara Gargo terhempas ke sebuah pohon. Satu kali rasanya tidak cukup untuk mengalahkan sebuah patung hidup, sehingga Oneiros menumbuknya berkali-kali ke tempat yang sama hingga ia tak lagi melihat wujud Gargo. Saat penjara debu itu terlepas, Gargo hanya menjadi bongkahan marmer.

"Sekarang..." Oneiros berpaling pada kedua domba Reverier yang hanya menonton dari tadi. "Domba hitamku, mari kita singkirkan domba-domba Huban. Mereka hanya akan menghalangi jalan kita!"

"Larilah, Maximilion!" suara Gargo berseru, "Kejarlah majikanmu! Dia mungkin sangat perlu pertolonganmu!"

"Mbek!"

"Hehehe... jangan hiraukan aku..."

Bongkahan marmer Gargo melayang-layang di udara, menyatukan diri seperti potongan puzzle. Namun yang terbentuk dari potongan-potongan batu itu hanya kepala, tubuh dan satu tangan, sisanya masih berupa serpihan.

"Lari, Maximillion! Larilah!"

Mendengar permintaan temannya, Maximillion meminta domba Olive untuk mengikutinya, masuk ke dalam hutan. Anehnya, Oneiros membiarkan domba-domba itu lewat begitu saja.

"Tidak kusangka kau masih bisa hidup," ujar Oneiros.

"Aku dikutuk untuk tetap abadi,"ujar Gargo, "Tubuh asliku direngut dan hanya patung marmer ini yang bisa kupakai. Tak peduli berapa kali kau memecahkan tubuhku, pecahan itu akan terus kembali."

"Tidak jika domba-dombaku memakanmu.  Domba-dombaku, bersiap..."

Para domba hitam sudah berbaris, bersiap untuk mematuhi perintah berikutnya. Namun perintah itu tak kunjung datang. Ketika para domba berbalik, hendak mencari tahu apa yang terjadi pada sang komandan, mereka menyaksikan ribuan bola mata kecil menyebar di atas domba tunggangan Oneiros. Sebuah pedang dari es telah menembus tubuh sang komandan, berasal dari sosok berjubah biru di belakangnya.

Oneiros hidup kembali, bola mata kecil yang menyebar tadi menyatu kembali di tempat yang sama. Namun ketika berbalik, Oneiros terkena tebasan yang memotong mata besarnya dan kembali menjadi ribuan bola mata kecil.

Kali ini, bola mata Oneiros berpindah tempat, menyatu di belakang barisan domba hitam paling depan. Ia jelas tak mau mati untuk ketiga kalinya.

"Domba-domba, berbalik!" perintah Oneiros sambil mengisyaratkan tongkatnya.

Para domba menurut, membentuk sebuah dinding penghalang di antara Oneiros dan sosok berjubah biru lawannya. Baik Oneiros dan lawannya tidak membuat langkah pertama, keduanya saling menunggu, tak mau menyerang sampai diserang terlebih dahulu.


==7==
Sang Pembunuh

"Olive! Kembali!"

Vivaldo berusaha sebisa mungkin melewati dedaunan lebat di depannya. Namun perbedaan ukuran Vivaldo dan Olive benar-benar membuat perbedaan besar. Vivaldo kesulitan melewati hutan, tapi Olive dengan mudahnya melompat di antara batang-batang pohon, salah satu keuntungan akrobatik.

Namun Vivaldo masih tidak mengerti, Olive bersikeras menolak bertarung, bahkan kini melindungi kartu katalog peserta yang seharusnya ia lawan. Olive dan Nora tak pernah bertemu sebelumnya dan mereka baru mengenal sesama beberapa menit lalu. Lalu kenapa Olive bersikeras menjaga kartu lawannya?

Vivaldo berhenti sejenak, berusaha membenarkan nafasnya yang terenggah-enggah. Ia mengutuk dirinya, istirahat adalah langkah salah. Baru sejenak ia beristirahat, Olive sudah menghilang dari pandangannya.

Letih dan kehabisan nafas, Vivaldo menyandarkan dirinya pada sebuah pohon. Namun ia tidak beristirahat tanpa rencana.

"Siapa kau! Apa maumu?!" Vivaldo berteriak sekeras yang ia bisa. "Kau takan bisa... GGAAAHHH!!!!"

"Senor Vivi!" pekikan Olive terdengar dari kejauhan.

Olive, begitu pula dengan anggota Cirque lainnya sangat peduli dengan sesama. Apabila ada satu anggota yang mengalami kesulitan, maka anggota lain takan bisa tidur tenang. Vivaldo tak suka menipu Olive dengan pura-pura diserang, tapi inilah satu-satunya cara supaya Olive tidak lari darinya.

"Senor Vivi! Dimana ka..."

Begitu suara Olive terdengar di atas kepalanya, Vivaldo melompat, meraih kaki dari si badut. Olive tak sempat berekasi, langsung terjatuh dari tarikan Vivaldo dan mulutnya dibekap.

"Olive, aku sudah muak dengan tindakanmu!" seru Vivaldo. "Sekarang, serahkan kartu gadis itu!"

"Nay, senor Vivi!" tolak Olive. "Kita tak bisa kembali!"

"Tentu saja kita..."

"Senor Lothario dan pasukannya sudah menunggu di sana."

Perkataan Olive membuat Vivaldo hening. Senor Sancho del Lothario dari keratuan Modom. Semenjak kemarin, karavan Cirque telah dikejar oleh pasukan Modom hingga ke gunung tempat mereka terpisah.

"Senor, seharusnya anda tahu, gunung itu adalah bagian dari bingkai mimpi nona Nora," ujar Olive. "Kalau kita kembali ke tempat asal kita, menurut anda apa yang akan terjadi?"

"Kita tidak akan tertangkap, Olive!" balas Vivaldo, "Gunung itu cukup menghambat, lagipula kita sudah membakar jembatannya!"

"Itulah letak kesalahanmu, senor Vivi! Gunung itu adalah bagian dari bingkai mimpi nona Nora. Jika nona Nora kalah... jika bingkai mimpi ini menghilang... jika gunung itu tidak lagi di tempatnya..."

"Lothario akan bisa mengejar," sambung Vivaldo. "Sial... Jika kalah kita akan menghilang, jika menang, kita akan berakhir di tiang gantungan."

"Itulah kenapa aku membawa kartu ini, senor," ujar Olive, menunjukan kartu katalog Nora. "Nona Nora atau teman yang ia punya tidak akan berani menyerangku selama aku memegangnya."

"Tidak lagi, nona kecil~"

Sebuah tali hitam menyambar dari atap dedaunan, melilit lengan Olive yang memegang kartu katalog Nora. Tali itu membumbung, semakin membesar hingga hampir menyerupai seekor ular yang sedang mencengkram mangsanya.

"Olive, larilah!"

Pedang Vivaldo menebas, memotong ular yang mengikat tangan Olive. Si badut menghempaskan tangannya, membuang cairan hitam yang melekat pada tangannya. Saat itulah, Olive menyadari kartu katalog Nora tidak lagi berada di tangannya.

"Kemana perginya kartu itu?!" pekik Olive panik. "Ah! Senor Vivi! Awas kakimu!"

Seketika Olive memberi peringatan, Vivaldo mencari tahu apa yang menakutinya. Sebuah horor, jika Vivaldo mendeskripsikannya. Kepala ular hitam yang terpotong itu menggeliat di atas tanah, tampak kesakitan oleh  suatu benda persegi yang mengganjal di lehernya.

"Aku akan mengambilnya."

Dedaunan di atas Vivaldo tiba-tiba bergemuruh, ia melompat mundur, menghindari seorang gadis berjas hitam yang mendarat di depannya. Nora, gadis berjas hitam itu menangkap kepala ular itu dan mengambil kartu katalognya dari rahang si ular, sebelum mengembalikan ular itu ke bentuk dasarnya sebagai Ink.

"Aku sudah mendengar semuanya," ujar Nora. "Sayangnya aku tidak bisa diam di sini terus, Olive. Ada orang yang harus aku cari dan aku tidak bisa melakukannya dari bingkai mimpi ini, itulah kenapa aku sangat ingin menang dalam turnamen ini!"

"Olive, maafkan aku karena meragukanmu," pinta Vivaldo, "tapi tolong menangkan permainan ini!"

"T-Tapi senor... bagaimana dengan senor Lothario?"

"Kita akan memikirkannya nanti," ujar Vivaldo. "Kalaupun kita harus berakhir di tiang gantungan, aku takan membiarkan dirimu digantung, Olive!"

"Kalian tidak lupa kalau aku disini, kan?" Nora segera membentuk sebuah pedang dari Inknya, bersiap untuk bertarung. "Bisa simpan drama kalian untuk nanti? Aku karakter utama dalam cerita ini, jadi jangan makan terlalu banyak kata!"

Seketika itu, Nora melempar pedangnya ke dedaunan di atasnya. Satu hal yang Vivaldo sadari adalah ada sebuah tali hitam yang mengekor di belakang lemparan pedang itu. Tali hitam itu mengeras menjadi ungu, lalu menarik Nora ke atas, bagai sebuah adegan sulap.

"Apaan itu? Itu sangat tidak masuk akal!" seru Vivaldo.

"Itu yang disebut "Tarian Benang", senor Vivi~" canda Nora dari balik dedaunan, "Aku mempelajarinya dari Arachea, si ratu laba-laba. Aku sempat memutus tangan kananku ketika mengikat tali pada tanganku, tapi setelah aku mempelajari tekniknya, aku mengikatkan talinya pada punggungku."

"Tapi kedua tanganmu masih utuh, pembohong!" seru Vivaldo, berusaha memancing emosi Nora dengan bentakan.

Namun yang datang berikutnya adalah kesunyian. Vivaldo ataupun Olive bersiap akan serangan kejutan, mencoba untuk mendengar sekecil apapun suara dedaunan. Sebuah suara gemuru tiba-tiba terdengar, sebuah suara yang menembus batang dan dedaunan dengan begitu cepat.

Suara itu diakhiri dengan pendaratan Nora di depan Vivaldo. Hanya saja, gadis itu tidak memasang kuda-kuda bertarung sama sekali. Ia terbaring di atas tanah, tak bergerak sedikitpun.

Vivaldo menghampiri gadis itu dengan perlahan, waspada akan tipuan yang bisa dilontarkan Nora kapanpun. Itu paling tidak sampai ia mendengar suara erangan dari perut lawannya.

"Ughh... L-Lapar..."

Vivaldo menghela nafas, tak heran Nora begitu lahap memakan roti pemberian Olive. Ia segera menyabukan pedangnya dan menggeleda saku Nora untuk mencari kartu katalog si tinta hitam. Tentu ia bisa menghabisi Nora saat itu juga, tapi meski lawan sekalipun, Vivaldo tidak akan melukai lawan yang tak bisa melawan, terutama wanita.

Namun kelengahan itulah kematiannya. Ink hitam Nora menyergap Vivaldo, membentuk seperti ular dan menggigit kedua tangannya. Vivaldo berusaha melepas cengkraman ular di tangannya, tapi gigitan ular itu telah menusuk hingga ke tulang, sangat tidak mungkin untuk dilepas.

"Senor!"

"Larilah! Olive!"

Vivaldo mencabut pedangnya, hendak memotong ular di tangannya. Sayangnya ia tidak memperhatikan sekelilingnya, termasuk Ink yang telah merayap dari kakinya menuju kepalanya. Ketika dia menyadarinya, hanya ia merasakan sebuah rasa sakit luar biasa pada matanya. Dan itulah terakhir kalinya Vivaldo melihat cahaya.

***

Jeritan Vivaldo menggema di telinga Olive, tapi badut itu tak bisa melakukan apapun. Tangan dan kakinya gemetar, sedangkan matanya terlalu berair untuk melihat dengan jelas. Ia hanya bisa memohon, berharap lawannya akan memberi pengampunan.

Namun Ink Nora tidak berhenti. Setelah mengambil cahaya dari Vivaldo, Ink Nora membungkus tubuh pria kurus itu. Suara asam terdengar dari bingkisan Ink, diiringi oleh teriakan pedih dari korbannya. Bungkusan Ink itu mengecil sedikit demi sediki hingga akhirnya tak ada ruang bagi siapapun di sana.

"Senor Vivi!"

Olive turun dari batang yang ia pijak. Dia menggali ke dalam Ink yang telah merengut Vivaldo, berharap untuk dapat melihatnya lagi. Namun dari kumpulan Ink itu, ia hanya menemukan pakaian sang pemain anggar bersama pedangnya yang tersabuk.

"Kenapa? Kenapa kau membunuhnya?" tanya Olive.

Nora, kini telah berdiri di depan Olive, mengacungkan pedangnya pada leher Olive.

"Karena aku lapar," jawab Nora datar.
"Itu saja? Bahkan setelah kami memberi roti dan air sebagai ucapan terimakasih?"
"Karena aku masih lapar."
"Lalu, apa kau masih lapar?"
"Ya."

Satu tebasan dan darah mengucur dengan deras. Hanya saja, darah itu tidak berasal dari leher si badut, melainkan tangannya yang menahan pedang Nora.

Olive mengangkat kepalanya. Darah menodai riasan Olive yang telah luntur karena air mata, tapi sejelek apapun riasannya, itu takan cukup menutupi amarah dalam mata Olive.

"Hanya karena lapar kau memakannya?" tanya Olive geram. "Tidakkah kau punya hati? Tidakkah kau tahu Vivaldo adalah temanku? Tidakkah kau tahu aku sudah tak ingin bertarung denganmu?"

Namun tak ada jawaban dari Nora. Olive menggenggam kuat-kuat peninggalan Vivaldo, pedang anggarnya, berusaha untuk menutupi kesedihannya.

"Dasar Monster! Pembunuh!"


Saat itulah Olive melihat Nora mendesis dengan mata terbuka lebar, seakan amarahnya telah terpancing. Gadis itu menarik pedangnya dan mengayunkannya sekali lagi. Namun sesaat sebelum pedang itu menyentuh Olive, badut itu sirna dari hadapan Nora.

"Akhirnya kau mengerti," ujar Nora. "Aku adalah pembunuh yang akan menebas siapapun yang menghalangi jalanku!"

Teleportasi, salah satu kemampuan Olive yang membuatnya mampu berpindah lokasi dari satu tempat ke tempat lain dalam sekelebat mata. Namun kekuatan ini tidak memiliki jarak mengesankan, misalnya sekarang, ia hanya berpindah ke sebuah bantang pohon di belakang Nora, mengira si gadis Ink takkan mencari ke belakang.

"Dimana kau, gadis kecil? Aku akan menemukanmu!"

Olive tak mampu melakukan apapun. Jika ia membuat suara, itu bisa menjadi akhir hidupnya. Badut itu menutup matanya, mendengarkan langkah kaki Nora di antara dedaunan hutan dan berharap ia takkan ditemukan.

Namun sebuah suara familiar membuat nyali bertarungnya membara. Ia mendengar sebuah suara deru air di kejauhan, deru air yang masih terkenang di kepalanya ketika ia terhanyut oleh sungai. Olive lalu teringat, tempatnya bertemu dengan sang penjaga agung adalah di sebuah hutan di timur kota, mungkinkah sungai mengalir di dekat sini?

Olivepun mengambil taruhan ia melompat di antara batang pohon, berjalan mendekati Nora.

"Di sana kau!"

Pedang Nora dilempar ke batang pijakan Olive, menjatuhkan si badut ke atas tanah. Untungnya kejatuhan adalah bagian dari latihan sehari-harinya, Olive dengan mudah mendarat dengan dua tangan, lalu mendorong tubuhnya bergelinding dan melompat berdiri.

Nora menarik tali pada pedang lemparannya, menghantamkan pedangnya turun pada Olive. Namun si badut menangkap pedang itu, lalu menancapkannya di atas tanah hingga ke pangkal pedang, mencegah penarikan pedang itu.

Selagi Nora berusaha menarik pedangnya keluar, Olive menerjang masuk dengan dua tangan merentang ke depan. Saat Nora menyadarinya, ia membentuk pedang kedua, lalu menebasnya pada Olive. Sayangnya akrobatik si badut lebih lincah dari itu, ia melompat naik ke atas pedang Nora, lalu melompat lagi ke pundak si gadis tinta hitam.

Latar mereka bertarung telah berubah, masih di dalam hutan, tapi deru sungai semakin keras di telinga Olive. Ya, rencananya bekerja. Ia hanya perlu mengulanginya beberapa kali lagi. Dengan lincah, Olive melompat ke sebuah dahan pohon, lalu mencari celah untuk menyerang lagi.

Secara teknis, Olive tidak mungkin menang melawan Nora. Ia memang punya kemampuan akrobatik luar biasa, tapi ia paham betul staminanya tidak membanggakan. Oleh karena itu, Olive hendak mengakhiri pertarungan ini dengan cepat, yakni dengan membawa Nora ke dalam sungai.

Sebuah keanehan yang Olive sadari semenjak datang ke bingkai mimpi Nora adalah kemampuan teleportasinya kini tidak hanya membawa dirinya ke tempat yang diinginkan, tapi semua benda yang ia sentuh juga akan terbawa, bahkan manusia sekalipun, seperti yang sedang ia lakukan pada Nora.

Dengan kemampuan teleportasinya, Olive menyeret Nora sedikit demi sedikit ke sungai tempatnya hanyut. Jika Olive tak dapat mengalahkan Nora, maka lanjutan sungai deras yang membawanya ke kota kematian akan mengalahkan Nora untuknya.

"A-Apa ini? Kenapa ada suara deras? Hujan?" Nora bertanya-tanya sambil menggigil. Tampaknya ia baru menyadari bahwa Olive telah memindahkan mereka berdua perlahan ke arah sungai. "T-Tidak... aku tidak boleh di sini!"

"Takkan kubiarkan kau pergi, pembunuh!"

Kini posisi telah berbalik, pemburu menjadi buruan. Olive mencengkram erat pinggang Nora, lalu mengirim keduanya ke koordinat berikutnya. Sialnya, ketika mereka keluar dari teleportasi, mereka muncul di atas sebuah tebing dimana air mengalir deras di bawahnya.

"C-Cukup, Olive! Aku menyerah!"

"Tidak akan!" seru Olive. "Kau telah membunuh Vivaldo!"

Satu teleportasi terakhir, Olive memindahkan dirinya dan Nora ke jurang di bawah tebing itu. Teriakan histeris Nora menjadi sebuah musik di telinga Olive, tapi baru juga ia menyadari, pandangannya mulai kabur.

Menggunakan sihir, terlebih lagi teleportasi sangat memberatkan tubuh dan Olive telah menggunakannya berkali-kali untuk membawa Nora kemari, sehingga tak heran ia kehabisan tenaga hingga terdorong ke ujung kesadarannya. Namun ia menutup mata dengan senyum di wajah, paling tidak, ia telah membawa lawannya.

Nora berusaha sebisa mungkin untuk tidak jatuh ke sungai, tapi di jurang itu tak ada dedaunan atau akar yang bisa ia gapai. Dalam satu usaha terakhir, Nora membentuk lalu melempar sebuah pedang bertali pada tebing, tapi Ink tidak dibuat untuk kekuatan, sehingga tali pedang itu terputus hanya dari menahan kejatuhan Nora.

"Emi... Emi... Tolong aku!"

Itulah kata terakhir yang didengar oleh Olive sebelum keduanya tercebur ke dalam sungai yang begitu deras. Namun Olive tidak menyesal, sekalipun jika dia akan mati.

Namun satu hal yang tak pernah Olive ketahui adalah ada dua ekor domba yang telah menyaksikan kedua majikannya bertarung, Maximillion dan domba Olive sendiri. Domba milik Olive segera berlari mengikuti arah sungai, tapi Maximillion terjun ke dalam sungai.

Maximillion, domba mimpi itu menggunakan suatu kemampuan yang telah menyelamatkan Gargo, Gines dan Olive sebelum menyamar menjadi penjaga agung, kemampuan memanipulasi bulu dombanya. Dengan sebuah embikan keras, bulu Maximillion menjadi tebal bagikan bola bulu.

Ketika menyentuh air, bola bulu Maximillion mengambang di atas air, lalu berenang ke sang tuan yang hampir tenggelam.

"T-Terima kasih domba!"

Nora merayap naik ke bola bulu Maximillion, bagai sebuah perahu.

"Mbeek?" sang domba menanyakan apa yang terjadi.

"Aku tercebur, domba! Untung sekali kamu di sini, domba kesayanganku! Sebagai imbalan, aku janji takan memakanmu!" ujar Nora.

"Mbee...k?" si domba keheranan.

"M-Mungkin boleh satu gigitan?" pinta Nora.

"MBBEEKK!!!"

"A-Ampun! Jangan balikan tubuhmu!"

"Mbee... mbek?"

"Sesuatu yang berbeda dariku?" Nora mengulang pertanyaan Maximillion. "AH! Kemana tubuhku?!"

==8==
Dia Adalah Monster, Selalu.

"Mbeek!"

Olive terbangunkan oleh embikan dombanya. Ia segera terbangun, memuntahkan berliter-liter air yang telah tertelan ke perutnya. Untungnya, dia tidak menghantam bebatuan atau halangan lainnya ketika terbawa arus.

"Domba, dimana teman-teman kita yang lain?" tanya Olive. "Senor Vivi... tidak seberuntung diriku."

Si domba menggeleng, lalu memberi embikan rendah.

"T-Tidak... apa yang terjadi di karavan?" tanya Olive, segera berdiri. "Aku harus segera ke sana!"

"Mbeek!" si domba melarang. Embikannya seolah mengatakan akan sebuah bahaya besar di tempat tersebut. "Mbeek?" si domba tiba-tiba menyadari ada seseorang yang sedang mengapung di atas sungai, terhanyut oleh arus.

"Aku harus menyelamatkannya!" seru Olive.

Dengan cepat Olive melompat ke tempat orang yang terhanyut itu, lalu berpindah tempat menggunakan teleport ke pinggiran sungai. Ia segera memberi nafas buatan, lalu membaringkannya setelah bernafas kembali.

"N-Nora?!"

Olive memekik terkejut saat melihat wajah orang yang telah diselamatkannya, tidak salah lagi itu adalah wajah Nora. Namun Olive agak meragukannya, terutama karena rambut gadis itu berwarna moka, sedikit lebih terang dari warna rambut Olive sendiri, sedangkan Nora memiliki rambut hitam. Terlebih lagi baju berbulu domba yang dikenakan gadis itu sangat berbeda dari jas ungu Nora.

Gadis itu membuka matanya, tampak kebingungan ketika melihat Olive, "D-Dimana aku?"

"A-Anda tersapu sungai, mi amor!" ujar Olive. "A-Anda Nora, bukan? Reverier bingkai mimpi ini?"

"B-Bukan..." jawab gadis itu. "Saya... ya, akhirnya saya punya nama. Sirna, itulah nama saya."

"Apa yang anda lakukan di sini, mi amor?" tanya Olive.

"Saya... tidak ingat. Seharusnya saya mengirim pesan dari sang Kurator kepada nona Nora... tapi..."

"Ah~ di situ rupanya kau, Sirna!"

Sebuah suara riang datang dari hulu sungai. Seekor domba yang sedang mengapung sungai mendarat di pinggiran sungai, membawa suatu benda berbentuk bola ungu di atasnya. Cairan hitam merayap keluar dari bulu domba itu, mengangkat bola ungu itu dari punggung si domba.

"Cepat! Aku harus pinjam tubuhmu lagi, Sirna!" ujar suara yang berasal dari bola ungu itu.

"Tidak!" tolak Sirna. "Aku... aku tidak pernah setuju dengan ini! Aku tak mau membunuh siapapun!" ujar Sirna.

"Ayolah, Sirna," Pinta si bola ungu. "Kau masih ingin bertemu ayahmu,kan?"

"Itu... iya, tapi saya tidak mau lagi membunuh!"

"Jangan banyak omong, sirna. Kita sudah mepet jumlah kata," tegas si bola ungu. "Domba, tolong."

"Mbeek," untuk sekilas si domba menundukan kepalanya, seolah meminta maaf.

Bulu domba Nora memanjang bagai jala, menangkap Sirna dalam genggamannya. Gadis pembawa pesan itu diseret kepada si domba sampai bola ungu dan cairan Ink menyentuh si gadis.

Dengan cepat, cairan Ink dari bulu-bulu Maximillion berpindah pada Sirna, membungkusnya dalam larutan Ink. Olive tersentak, teringat akan apa yang telah terjadi pada Vivaldo. Olive meraih tangan Sirna, berusaha menariknya keluar.

"Lepaskan dia! Jangan makan dia!" pinta Olive.

"Aku tidak kemana-mana, Olive."

Olive bagaikan melihat sebuah mimpi buruk, ia takut dan tak tahu harus bagaimana. Gadis Sirna di hadapannya telah berubah menjadi Nora, sosok yang membunuh Vivaldo. Sialnya, Ink Nora telah merambat ke tangan Olive, mengikatnya hingga Olive tak bisa kabur, lalu membungkusnya dalam Ink.

"Tidak! Lepaskan aku!" Olive meronta.

"Lepaskan dia, jalang!"

Sebuah semburan api membutakan mata kedua Reverier itu. Nora segera melompat ke atas dombanya, melindungi dirinya dari cahaya itu, sedangkan Olive, kini terbebas dari Ink Nora, melompat mundur dari jangkauan si tinta hitam.

"Olive, apa kau baik-baik saja?"

"Rodrique?" Olive mengenal Guillermo termuda itu. "Dimana kakakmu?"

"Bajingan itu sudah tiada," ujar Guillermo sang adik. "Begitu juga dengan Gines..."

"Senor, tolong jangan menakutiku!" pinta Olive.

"Tidak, Olive. Aku serius. Oneiros, mahluk mata besar itu menipu kita. Dia telah menghabisi kakakku... lalu ketika aku kabur, aku menunggu Gines menyelesaikan pertarungannya, tapi dia juga menghabisi Gines dan patung lawannya," cerita sang adik. "Hanya kita berdua... dan Esmeralda yang selamat, Olive."

"Tidak... mungkin..." rintih Olive.

Olive termenung untuk beberapa saat selagi Guillermo mengawasi Nora. Rodrique tahu, Nora takan berani macam-macam pada Olive salama dirinya di sini.

"Nona Nora, mari kita buat kesepakatan," mulai Olive. "Aku akan menyerahkan domba dan kartuku! Jadi tolong ampunilah Guillermo!"

"Apa katamu?! Menurutmu untuk apa kakakku dan yang lain mati?" protes Rodrique.

"Supaya kita hidup!" tukas Olive. "Kau dapat hidup di sini, senor. Tapi kalau kau kembali ke dunia asal kita, kau akan ditangkap dan dibunuh. Tolong menetaplah, senor... hiduplah... demi kami..."

"Aku tidak..."

"Maaf, senor,"

Sebuah tendangan dilayangkan ke antara kedua kaki Guillermo, sesuatu yang tak pernah Olive lakukan sebelumnya. Rodrique mengerang kesakitan, lalu bertekuk lutut sebelum kehilangan kesadaran.

"Domba, maafkan aku," pinta Olive.

"Mbeek," si domba mengembik, seakan mengatakan ia rela mati jika demi keselamatan majikannya.

Maka dijalankanlah perjanjian itu, Nora menyerang domba milik Olive, lalu memakannya menggunakan kemampuan [Consumation] miliknya. Domba itupun menjadi Ink dalam proses pencernaannya.

"Lalu kartumu, Olive."

"Tak perlu menyuruhku!" bentak Olive. "Aku sangat membencimu, Nora! Kau telah membunuh semua kru Cirque! Semua keluargaku! Senor Vivi... Gines... dan kakak Guillermo. Aku takan pernah memaafkanmu! Aku akan mati saat ini, Nora... tapi pastinya akan ada peserta lain yang akan membalas mereka untukku!"

Setelah menyelesaikan kalimatnya, tubuh Olive berpendar menjadi cahaya berwarna-warni, debu-debu mimpi. Cahaya itupun meninggalkan tubuh Olive, berangkat ke tempat yang lebih tinggi. Barulah setelah itu, Olive mengangkat kartunya tinggi-tinggi dan merobeknya sendiri.

Namun Olive masih berada di sana.

"Apa? Kenapa aku masih di sini?" tanya Olive.

"Aku mencabut tanda Reveriermu, Olive," sebuah suara lembut mengejutkan para Reverier.

Dari langit, turun bagaikan parasut adalah Ratu Huban si kepala bantal. Kerut di wajahnya benar-benar menunjukan amarah, tak seperti dirinya yang selalu riang.

"Kalian sudah tahu,kan? Aku dan Sang Kuratorlah yang menandai pada Reverier," ujar Huban. "Dan kami pula yang berhak mengambil tanda tersebut."

Huban menjentikan jarinya, seekor domba muncul dari udara kosong. Para reverier hampir tidak percaya karena domba itu adalah domba Olive yang baru saja dimakan oleh Nora.

"Olive, kau telah membahayakan dombaku, jadi aku akan mengambilnya kembali, bersama dengan hukuman pencabutan titel reveriermu. Itulah kenapa kartu pemberian sang Kurator tidak lagi bekerja padamu, karena kau bukanlah seorang Reverier" terang Huban. "Kau akan tinggal di bingkai mimpi ini sampai ajal menjemput."

"Aku tidak terima, Huban!" protes Olive. "Aku sudah kehilangan tiga keluargaku dari Cirque, bagaimana aku akan hidup tanpa mereka?"

"Itulah hukumanmu, Olive. Hiduplah dalam bingkai mimpi orang yang paling kau benci," jawab Huban. "Lalu Nona Nora... boleh aku meminta kembali pembantuku? Aku ingin menghukummu karena telah meminjamnya tanpa izinku! Tapi aku tidak bisa jika kau tak melanggar peraturan."

==Epilog==

Setelah menemui Olive dan Nora, Huban mengendari domba Olive dan sedang berjalan keluar dari bingkai mimpi Nora bersama Sirna, pembantunya.

"HUUH!!! KESAL!!!" amuk Huban.

"T-Tolong tenanglah, Ratu..." pinta Sirna.

"Tidak hanya Reverier itu mengumpankan dombaku, tapi Reverier yang lain menerima tawarannya dan memakannya! Aku kesal!" umpat Huban.

"Ngomong-ngomong, Ratu...  kenapa domba itu tidak memiliki Arsamagna?" tanya Sirna. "Bukannya domba-domba anda bisa memencar jadi butiran debu?"

"Jadi bulu-bulu domba, Sirna! Bukan butiran debu! Kamu kebanyakan dengar musik!" koreksi Huban. "Aku tidak menghilangkannya, aku mengganti dombaku dengan onggokan daging ketika Nora membungkusnya, lalu memanggilnya kembali beberapa saat kemudian."

"Ngomong-ngomong, Ratu... Kenapa saya tidak melihat satupun [Mimpi Buruk] di bingkai mimpi ini?" tanya Sirna. "Bukannya sang Kurator mengatakan akan ada sesuatu seperti asap yang membuat penduduk bingkai mimpi lebih... agresif?"

"Itu mungkin karena si penulis keasikan mainin karakter orang," tukas Huban. "Atau ada kemungkinan lain, sesuatu menyerap semua mimpi buruk dalam bingkai mimpi ini, sehingga tidak ada jejak yang terlihat."

"Itu terdengar seperti sebuah alasan yang dibuat-buat penulis untuk menutupi plot hole dalam ceritanya," ujar Sirna. "Mungkin karena kita membicarakannya di sini, si penulis akan mendapatkan -2 dalam ceritanya."

"S-SSSttt... Jangan keras-keras! Aku sudah disogok buat nggak bilang apa-apa!" bisik Huban.

"Ratu... para pembaca masih bisa mendengarmu."

Di tengah percakapan mereka, terdengarlah suara pekikan keras dari kejauhan. Huban dan Sirna segera pergi untuk memeriksa karena Huban merasa kenal akan suara tersebut. Disanalah, mereka melihat lima ekor domba hitam terbujur tak berdaya.

"Ah! Domba-domba ini milik Oneiros!" ujar Huban. "Sirna, coba rawatlah mereka selagi aku memanggil Mirabelle!"

Huban meninggalkan Sirna untuk merawat para domba hitam. Mereka diposisikan sejajar oleh Sirna, lalu diperiksa luka mereka satu persatu. Luka gores, luka tusuk dan luka lembam, sepertinya mereka terluka oleh lawan dengan banyak variasi serangan.

Tiba-tiba terdengarlah suara pekikan itu lagi, diikuti dentangan pedang. Sirna segera memeriksa asal suara itu, dimana ia menemukan seekor serigala hitam sedang bertarung melawan seorang pria berjubah biru.

Ada sesuatu yang berbeda dari pria berjubah biru itu, jubahnya menutupi dirinya selain tangan dan kakinya yang berhiaskan kristal seperti es, tapi Sirna tak dapat menyingkirkan firasat bahwa ada suatu bahaya besar di balik jubahnya.

Serigala menerjang maju, tapi lawannya cepat menusukan pisau ke bawah moncong serigala itu, menghujam hingga ke moncong atas si serigala. Serigala hitam itu tampak kesakitan karena moncongnya tak bisa dibuka, lawannyapun segera menghantamkan palu di tangan lainnya, menghempaskan serigala hitam itu menjadi debu berwarna-warni.

Di belakang serigala hitam itu adalah sebuah mahluk dengan mata yang sangat besar, tampak begitu menderita setelah pertarungan panjang. Ia tampak putus asa, tapi langsung bangkit ketika menyadari kehadiran Sirna.

"Hei, kau! Sirna!" panggil Oneiros. "Panggilah Huban! Katakan ada bahaya di bingkai mimpi ini! [Mimpi Buruk] telah terkumpul pada satu pria ini! Itulah kenapa tidak ada [Mimpi Buruk] yang muncul di bingkai mimpi ini!"

Setelah penjelasan panjangnya, si pria berjubah biru menebas Oneiros tanpa ampun dengan pedang esnya. Oneiros kembali terpencar menjadi ribuan mata kecil, berusaha kabur dari pria itu.

Namun si pria kini melihat ke arah Sirna, iapun menghampiri, lalu bertanya padanya "Siapa Pewara turnamen ini?"

Sebuah cahaya dari langit menebas ke bawah, hampir mengenai Sirna kalau tidak karena domba putih yang membawanya pergi. Pria berjubah biru itu hanya diam di tempat, mengamati cahaya yang datang ke arahnya.

"Reismo, sekarang waktumu."

Jubah pria itu membola, lalu menyempit ketika cahaya itu mengenainya. Ketika cahaya itu pudar, pria itupun tak ada di sana. Huban dan Mirabelle segera turun, hendak merawat Oneiros dan domba-domba hitamnya.

"Siapa itu?"

==END==




>Cerita sebelumnya [ROUND 1 - 12A] 35 - NORA | THE BLACK LAMBS
>Cerita selanjutnya : -

8 komentar:

  1. >cerita setengah jalan lumayan panjang
    >narasi bilang ceritanya udah kelamaan

    >battlenya ga mulai"
    >Oneiros dateng biar pada punya alesan berantem

    >Nora ga dapet banyak porsi sepanjang cerita
    >Nora komen tokoh lain ngambil banyak jumlah kata

    >ga ngeliat mimpi buruk sepanjang cerita
    >Sirna nanyain di akhir cerita

    Entri ini bener" meta ya. Rasanya kayak self-aware sama semua yang ada di dalem entri

    Gara" judul sama pas battle lebih banyak ngambil pov Olive, saya sempet salah ngira ini bukan entri Nora, karena dia jelas" antagonis. Tapi pembagian peran di cerita ini lumayan bagus, sub-OC yang ada juga ga sekedar ada, entah kenapa saya suka aja momen cerita yang kebagi kelompok" berapa karakter jalan sendiri"

    Entri ini juga banyak ngupas interaksi Huban-Oneiros, dan di sini Oneiros bukan semacem renegade gitu ya, tapi kayak tetep dikasih peran sama Sang Kehendak walau nolak dianggep bagian dari panitia dan jadi outcast

    Saya juga malah jadi kasian sama Olive karena kesannya simalakama di akhir, powerless pula ngadepin Nora - yang ternyata kumpulan Ink yang minjem tubuh buat meraga? Sedikit banyak jadi ngingetin saya sama Anita karena bentuknya yang ga pasti

    BalasHapus
    Balasan
    1. ==Riilme's CQC Score==

      >Character likability
      Olive dengan kelompok Cirquenya, Nora dengan Gargo dan kelakarnya. Dua"nya pribadi dengan interaksi menyenangkan, dan berat rasanya milih salah satu di antara mereka
      >DRAW

      >Quality value
      Kedua entri punya perbedaan dari segi pendeketan cerita, tapi sama" enjoyable dan lancar dibaca. Lagi, saya ngerasa seneng sama dua"nya dan ngerasa secara teknis kualitasnya setara
      >DRAW

      >Canon anticipation
      Dan akhirnya poin inilah yang jadi penentu. Entri Nora berhasil ngasih sesuatu yang ga ada di entri Olive : suasana yang ngingetin pembaca kalo ini BoR, dan cerita juga dipotong dengan hook yang bikin kita bertanya" gimana selanjutnya, bukan ending alakadarnya tanpa aftermath jelas
      >Nora

      1-0, VOTE Nora

      Hapus
  2. Nora oh Nora.

    Entrimu gendeng sekali. Padahal ceritanya sedemikian serius, tapi nyelipin hal-hal meta yang memecah batasan fiksi menohok saya, ngingetin saya ini adalah cerita BoR www

    Di sini Olive bener-bener disorot, sampe jatahnya Nora dikorupsi wkwkwk

    Tapi pada akhirnya, ternyata Olive kalahnya dengan cara yang boleh juga. Gak ada dua reverier yang mati dan nasibnya naas. Meski saya rasa Olive sebel ya akhirnya jadi joinan ama Nora.

    Terus ada muncul Reismo sebagai perwujudan mimpi buruk di bingkai ini. Kira-kira Reismo dan Deismo masih ada hubungan? ww

    Kayaknya segitu aja, karena udah apik ceritanya. Vote nyusul ya. Dua komentar lagi ww

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Atas Pertimbangan:

      -Entri Serius tapi Gendeng
      -Perkembangan Kanon yang lebih diantisipasi dan menarik
      -Perkembangan Nora yang juga lebih menarik

      Enryuumaru dan Mbah Amut memutuskan untuk memberikan Vote kepada Nora

      Hapus
  3. Halo, sebenarnya aye udah baca entri Nora lumayan lama, nih. Kalo luput ya mohon dimaafkeun. Mari kita mulai mereview!

    Pertama, karakter lawan yang bejibun sepertinya anda kesulitan menyajikan, walau memang pada kenyataannya memang nama-namanya susah diingat*hadeh* jadi saya agak bingung siapa ngomong apa. Yang masih saya ingat yaitu si keledai, Esmeralda dan tentu saja karakter utama lawan, Olive*hadeh lagi*

    Ehm! Meskipun begitu, sifat si kakak(lupa namanya) dan si adik(siapa namanya?) dari Cirque sudah tergambarkan dengan cukup baik, soalnya saya juga baca entri prelimnya si Olive dan mereka memang suka saling bantah membantah alias adu omong '-'

    Konsep 'mana' sebagai sumber energi itu kalau misal di flesh-out sebagai aspek world-buliding kayaknya mantep banget tuh, dan bisa terintegrasi dengan entri manapun.

    Juga akhirannya greget banget, ada pencabutan tanda segala yang notabene konsep begini kayaknya gak ada di entri lain, sehingga Olive bisa idup di Bingkai Mimpi-nya Nora. Mungkin mau dijadikan Sub-OC kalau Nora lolos(?) It's up to you.


    Oke, segitu dulu. Waktunya bertandang ke entri sebelah. Tenang, entar kalau aye vote bakalan balik kesini, kok.

    Salam,
    Authornya entri nomer 21

    BalasHapus
  4. Saya baca entri ini sebelum punya Olive tapi baru komen sekarang, hehe...

    Entri Nora seperti biasa, banyak adegan breaking the 4th wall. Saya sendiri sih berasa kurang sreg dengan hal semacam ini, tapi untuk entri ini eksekusinya terasa lebih bagus dari entri-entri sebelumnya.

    Tiap karakter dapet porsinya masing-masing, adegan fighting yang cukup unik karena Oneiros di sini berperan penting supaya Nora dan Olive mau bertarung, overall entri ini menarik dan saya enjoy buat bacanya.

    Vote +1 untuk Nora dari saya

    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  5. -Jangan banyak omong, sirna. Kita sudah mepet jumlah kata," tegas si bola ungu. "Domba, tolong."-

    Namanya pelayannya Sirna ;))

    Welp. Meta!

    Lelucon di awal ngena. Seperti waktu Nora bilang respirasi padahal maksudnya inspirasi. Pemaparan interaksi dia sama karakter pendukunya pas di pembukaan itu.

    Langsung aja saya bandingin dengan entri Olive. Kedua entri sama-sama rapi. Hanya saja di sini rapinya ditambah menggebu-gebu. Cukup banyak tanda seru yang menghiasi, dan kebanyakan disumbangkan oleh Olive. Ini dapat dimengerti karena memang karakter Olive yang begitu.

    Karena ini juga, Olive keliatan lebih menonjol. Narasinya pun banyak menceritakan tentang Olive. Sisi positifnya, dengan ini Mocha membuktikan bahwa ia berhasil mendalami karakter Olive sedalam-dalamnya.

    Jika dibanding entri Olive, battle di sini lebih teknikal. Meski memang sama-sama mengusung 'lukai orang-orang yang disayangi' dalam battle. Matinya Vivaldo bikin suasana makin panas. Andai di entri Olive juga ada temannya yang mati, mungkin bisa lebih gereget perseteruannya.

    On a side note, Oneiros yang sampe minjem tubuh Sirna jadi terkesan sangat ekspresif di sini. Huban pun keliatan reaksinya kalau udah menyangkut Oneiros.

    Dan siapakah ini yang disebut Oneiros di akhir? Hmm. Sampe Oneiros juga ngerasain bahayanya. Akhirnya absennya mimpi buruk pun terjelaskan karena ada yanh lebih buruk ya.

    Alhasil, berdasarkan hal di atas,

    VOTE NORA

    PUCUNG

    BalasHapus
  6. How to get a real money casino chip - Dr. Dr. Johns
    How to get 김천 출장안마 a real money casino chip. In order to get a real money casino chip, 제천 출장샵 the first step is to 거제 출장샵 get the chip by using 포항 출장안마 an 의정부 출장마사지 internet connection

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.