Selasa, 20 September 2016

[ROUND 2] 17 - ODIN | DREAM 02. NIGHTMARE

oleh : Dee
 
--

Warning : Harsh Language, rasism, some scene may be not suitable for under 18 years oldOut of Character is slightly inevitable. Semua nama yang berada di dalam cerita ini hanya plesetan dari nama asli, tidak ada maksud mengejek pemilik nama tersebut.


"I don't trust anyone, after all."



Part 01. Distant Memories


Kuil Dewa-Dewi.

Tak ada karpet merah maupun ruangan emas, hanya ada gunung-gunung tinggi menjulang yang menembus awan. Tak ada lukisan-lukisan tentang penampilan mereka di dunia sebelumnya, hanya ada patung dewa-dewi yang mengingatkannya pada lukisan Olympus yang dijajakan di pasar seni di kota asalnya. Odin jelas belum pernah ke sana, bahkan dalam mimpi saja tidak, namun ia tidak pernah mempertanyakan mengapa ada pelukis yang bisa menggambarkan interior Olympus, lengkap dengan para dewa-dewi di dalamnya.

Odin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada lukisan, tidak ada dinding emas, tidak ada karpet merah, tidak ada tembikar, dan yang terpenting tidak ada 'sesuatu' di ujung ruangan yang seperti mencengkram jantungnya. Tunggu, tidak ada tembikar? Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak berhasil mencapai tempat ini? Odin cukup yakin, orang-orang yang berada di dalam tempat ini sekarang kurang lebih hanya setengah dari jumlah yang sebelumnya berada di Museum Semesta.

"Ini sebenarnya dimana, sih?"

Seekor naga tua maju dan bertanya pada si pria berjubah, akan tetapi jawaban si pria cukup membuat suasana mencekam sesaat. Odin menguap. Ia tidak terlalu memikirkan apa yang diucapkan si pria, karena saat ini dia lebih fokus pada sosok gadis yang menatapnya. Dari ujung mata, Odin dapat melihat tatapan gadis itu benar mengarah pada dirinya. Mata kiri sang gadis tak terlihat karena rambut emasnya menutupi, namun tatapan tajam dari mata kanannya sudah cukup membuat peluh Odin mengalir di punggung.

Ya, gadis itu. Gadis beraroma jeruk yang Odin temui di Bekasi. Sejujurnya, Odin benci penagih hutang, dan kini ia harus berhutang pada orang lain. Ia juga belum sempat menjadikan kertas yang ia terima dari Lady Rock ke bentuk uang. Seandainya parasit yang tinggal di badannya tidak menghalangi, mungkin Odin sudah menghabisi si gadis kala itu hingga ia tidak perlu merasa dikejar-kejar seperti ini.

"A-anu, maaf ya—"

"Dimana?" tanya gadis yang Odin yakini bernama Nessa tersebut.

"Eh?"

"Dimana aku pernah melihatmu? Dimana kita pernah bertemu?"

Eh? Kali ini Odin yang tidak mengerti pertanyaan Nessa. Bukankah mereka baru saja bertemu di rumah sakit dan membicarakan pembayaran? Mengapa sekarang Nessa mempertanyakan dimana mereka pernah bertemu? Tunggu, yang lebih penting, apa dengan ini berarti hutang yang Odin miliki juga sudah tidak berlaku lagi?

"Mu-mungkin kau pernah melihatku di Museum semesta, atau kau pernah melihat seseorang yang mirip denganku? Ah, terserahlah, um, kenalkan, aku Odin." Odin berdeham saat mengucapkan kalimatnya, namun ia sendiri tidak tahu kenapa. Ia biasa berbohong, semestinya satu kebohongan tidak masalah kan? Tapi di dekat gadis ini dirinya terasa 'dilucuti' oleh sesuatu. Mungkin benar yang diucapkan oleh parasit yang hidup di matanya, bahwa Odin harus waspada dan berhati-hati pada Nessa.

Nessa menyambut uluran tangan Odin, dan mata gadis itu membulat besar, cukup membuat Odin terkejut dan kembali waspada.

"Sentuhan ini.. Tangan ini.." Nessa mengelus tangan Odin dan membawanya untuk mengelus pipinya sendiri. Sesekali ia mengecup punggung tangan Odin hingga membuat pemuda itu menggigit bibir bawahnya. "Apa ia masih mengganggumu?"

"Hah? Siapa?"

"Asmodeus itu…" Nada suara Nessa saat menyebut nama Asmodeus terdengar seperti desahan. Odin hampir tergoda, hanya saja ia sendiri tidak tahu siapa Asmodeus yang dimaksud oleh Nessa.

"Asmodeus?"

"Kau sudah lupa? Kita pernah bertemu di gereja Tenet, bercinta, dan mati bersama."

Kali ini Odin yang mengernyitkan alis. Seumur hidupnya ia tidak pernah masuk ke gereja. Tidak ada yang pernah mengajarkan konsep ketuhanan padanya. Ia tahu dewa ada karena orang lain berkata dewa ada. Selebihnya, Odin tidak pernah terlalu memikirkan. Lagipula, bukankah mereka pertama kali bertemu di daerah bernama Bekasi? Dan bercinta? Odin ingin tertawa. Gadis itu pasti sudah tidak ada di dunia ini jika memang mereka bercinta.

"Kamu bercanda ya? Jika kita bercinta dan mati bersama, kenapa kita berdua masih berada di sini?" Ucapan Odin terdengar pelan. Ia baru menyadari sesuatu. Jika memang mereka berdua sudah mati, maka kemungkinan terbesarnya adalah tempat ini memang bukan Museum Semesta, melainkan alam kematian.

Kalau begitu Odin bisa pergi mencari ibunya di alam ini. Enam tahun berlalu, Odin sendiri tidak tahu apa reaksi sang ibu ketika berjumpa kembali dengan dirinya. Namun ia tidak akan membiarkan kesempatan ini terlewat begitu saja. Odin melepaskan tangan Nessa dan memutar badannya.

"Dia, dia….ah..aku tidak melihat anak kecil itu di sini. Mungkin ia benar-benar mati. Tapi kedua orang itu, mereka juga mati bersama kita di gereja, tapi mereka muncul lagi di sini." Ucapan Nessa sukses membuat langkah Odin terhenti dan fokusnya berganti pada dua sosok yang ditunjuk oleh gadis itu. Gadis dengan model rambut bob itu sih lain soal karena Odin tidak pernah bertemu dengannya, tapi sosok pemuda bertudung biru yang bermain pisau di tangannya memang sudah mati terkena efek ledakan jika ia tidak salah ingat.

Lalu apa artinya ini?

Odin memandang Nessa yang kembali menatapnya. Memang, saat pertama berjumpa dengan Nessa, Odin juga merasa pernah bertemu dengan Nessa, namun ia tidak ingat di mana. Rasanya ingatan yang ia miliki diacak-acak oleh seseorang—atau sesuatu. Apa hal itu juga pekerjaan realitas ini? Masih banyak pertanyaan yang menggelayut di benak Odin, tapi sepertinya ia harus menunggu sampai waktunya tiba untuk mendapat jawaban.

Naiknya pria berjubah ke atas mimbar cukup membuat semua yang ada di tempat itu terdiam dan terfokus ke tengah, tidak terkecuali Odin. Sebuah layar diturunkan, memperlihatkan sebuah dunia yang mengalami kehancuran. Odin menahan napasnya, bertanya pada dirinya sendiri. Namun tak butuh lama karena jawaban-jawaban itu muncul tanpa perlu ia tanya secara blak-blakan. Bukan lagi menjadi sebuah tembikar, namun hukuman bagi mereka yang tidak berhasil tidak ada yang lain selain kehancuran.

Jika memang benar seperti itu, maka tidak diragukan lagi. Ia masih belum mati… Perjalanannya masih belum berhenti sampai di sini.

Odin menelan ludahnya, terpengaruh dengan suasana yang berada di dalam tempat ia berpijak. Sesuatu yang membuat romanya berdiri. Sesuatu yang getir, seolah setiap orang menahan napas mereka, menanti celah untuk melawan balik meski pria mengatakan semua ini bukan maunya. Ia hanya menjalankan apa yang dikatakan 'Sang Kehendak'. Odin menggigit bibir bawahnya. Ia sudah tidak bisa kembali ke rumah Tuan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah kembali pada tujuan awal saat ia setuju memungut domba yang diberikan si kepala bantal.

Membangkitkan ibunya.

Sama seperti sebelumnya, si kepala bantal 'memaksa' kami pulang ke dunia kami sendiri. Odin berdiri paling belakang, ada yang ia ingin katakan kepada makhluk tersebut.

"Hei, aku ingin bertanya."

Ratu Huban memalingkan kepalanya, menatap Odin sebelum mempersilakan.

"Bagaimana caramu menjadikan kertas berisi nilai uang ini menjadi uang sungguhan?" Odin masih meraba saku celananya. "Duh, di mana sih?"

"Kertas apa?" tanya Ratu Huban yang sedikit kebingungan melihat Odin seperti sibuk dengan dirinya sendiri.

"Jadi, di tempat sebelumnya, seseorang memberiku kertas dan mengatakan bahwa aku bisa mengubahnya menjadi bentuk uang. Tapi kertas itu di mana ya? Aku yakin kuletakkan di saku."  Perlahan Odin melepaskan bolero yang ia kenakan dan saat akan melepaskan celananya, Ratu Huban menginterupsi. Memaksanya pulang sebelum Odin membela diri bahwa dirinya benar-benar menerima kertas itu.

=====================================================================

Part 02. The Two Worlds


Pomupeii

Odin menggerutu kesal saat dirinya berguling dari dalam portal dan terantuk domba putih yang menunggunya. Odin menggerutu kesal meski akhirnya terdiam karena sang domba mengembik menyambutnya. Perlahan ia duduk di samping domba, menepuknya sembari mengehela napas. Odin benci mengakui, namun dirinya menjadi budak sang kehendak adalah sesuatu yang tidak bisa ia sangkal. Jika perkataan pria berjubah itu benar, maka bukan tidak mungkin apa yang terjadi padanya hari ini adalah perbuatan sang kehendak, termasuk di dalamnya ingatan yang samar mengenai Nessa ataupun hilangnya kertas berisi nilai uang yang seharusnya menjadi haknya.

Memandang langit malam sekilas, Odin baru sadar bahwa tubuhnya terasa pegal hampir di semua tempat yang berada di tubuhnya. Sepertinya berendam di air hangat, makan enak dan tidur nyenyak adalah sebuah ide bagus, jika saja Odin tidak ingat bahwa ia sudah tidak memiliki rumah. Tawaran terakhirnya adalah menumpang pada wisma di bawah persetujuan Maria. Namun belum sempat ia menikmati malam tidur gudang wisma, dirinya sudah ditarik untuk melawan sebuah monster raksasa dan mengurus masalah perebutan wilayah yang bukan urusannya.

"Hei, Domba, menurutmu apa yang akan dikatakan Kak Maria, ya? Aku tiba-tiba menghilang dan kembali dalam kondisi seperti ini."

Tidak ada jawaban dari Domba yang berjalan di sampingnya. Alih-alih menjawab, Domba tersebut hanya menggesekkan kepalanya di betis Odin yang sedikit tertatih. Odin mentertawakan dirinya sendiri. Ia tidak percaya dirinya bisa begitu bodoh mengajak seekor domba berbicara. Setengah menggeleng, Odin melangkahkan kakinya menuju wisma.


***

"ODIN!" Suara Maria yang menggelegar disertai gerakan yang tidak bisa Odin antisipasi menyambutnya saat dirinya baru akan menginjak anak tangga pertama. Setengah menggerutu ia menepuk bahu wanita yang kini menindihnya. Seperti déjà vu saat enam tahun lalu, Lolita juga menyambutnya dengan cara yang sama. Mungkin hal ini adalah  tradisi yang berada di wisma.

"K-kak, kenapa kak? Berat nih…"

Wanita yang menindih tubuh Odin mendongakkan kepalanya, menatap sosok pemuda yang memandangnya dengan heran sebelum akhirnya menangis.

"Jangan-jangan orang ini mabuk. Uh, sepertinya keberuntungan masih belum mau mendatangiku." Odin menatap Maria yang sesenggukkan dengan alis berkerut.

"Kenapa kamu tega pergi nggak bilang-bilang? Apa yang harus kukatakan dengan ibumu? Sudah seminggu kamu nggak ada kabar. Kamu jahat, Odin.."

Odin memutar bola matanya. Orang ini benar-benar mabuk. Meracau, bertingkah seperti anak kecil meski usianya mungkin sudah hampir mendekati empat puluh, dan yang terpenting, nada suaranya seperti desahan yang tertahan. Usai menangis, Maria terkikik pelan, menatap Odin layaknya hyena yang menatap mangsa. Air liurnya menetes di bagian dada Odin yang tidak tertutup sehelai benangpun.

"Anak nakal harus dihukum~~"

Odin mendorong tubuh Maria dengan paksa tepat saat wanita itu meletakkan tangan ke dalam celana hitamnya, berusaha memanja kejantanan si pemuda bermata hijau tersebut. Setengah mengatur napas, Odin coba memahami situasi yang dialaminya. Ia tahu Maria bukan orang yang mudah menawarkan dirinya untuk orang lain jika ia tidak mendapatkan keuntungan, apalagi di tengah jalan begini. Sudah jelas tindakannya akan mencela imej yang ia bangun di dalam wisma. Lalu kenapa?

Odin meraba wajahnya sendiri dan menyadari sesuatu. Sebelum Odin bisa lari, Maria sudah menangkapnya, menarik celananya dan membuatnya kembali merayap di tanah.

[ Sudahlah, kau menyerah saja. Lumayan aku bisa makan gratis ]

Tidak, tidak, belum saatnya. Odin masih membutuhkan Maria—setidaknya ia butuh penjamin tempat tinggalnya selama pulang ke Pomupeii. Tapi situasi ini, adakah keberuntungan atau kesempatan baginya untuk kabur?

"Wah, anak muda zaman sekarang… Enerjik sekali ya… Bukannya aku mau mencampuri urusan kalian sih, tapi alangkah baiknya jika kalian tidak melakukannya di tengah jalan seperti ini." Sebuah suara yang sebenarnya tidak ingin Odin dengar justru menyelamatkannya, setidaknya suara itu bisa menghentikan tindakan Maria yang sudah setengah jalan melucuti celananya.

"Uh..uh.. apa urusanmu di sini, Jordaaaaaan? Hah?! Mau ganggu aku ya?!" Maria berdiri dan berjalan sempoyongan menghampiri pemilik suara yang menyelamatkan Odin, namun dengan sigap pria itu memeluk tubuh Maria yang hampir terjatuh.

"Maaf, nona, bukannya saya bermaksud tidak sopan, tapi sangat tidak pantas untuk dilihat siapapun yang lewat jika kau melayani pemuda yang tidak berpengalaman seperti dia." Jordan mengangkat tubuh Maria yang berteriak kegirangan di bahunya. Perlahan meninggalkan Odin yang menggerutu sembari menutup mata kanannya. "Ah ya, dan kau, anak muda. Jangan lari lagi, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Tsk."

***

Odin mengeringkan rambutnya sementara Jordan duduk bersimpuh di tengah ruangan.

Menunggunya.

Odin duduk bersimpuh di hadapan pria besar itu. Ia tidak habis pikir, mengapa Jordan justru memesan kamar VIP, mempersilakannya mandi, dan bahkan memberikan tumpangan untuk si domba meskipun dirinya sudah membuang keluarga Tuan dan seenaknya menjadikan Jordan kepala keluarga, tidak peduli Jordan mau atau tidak. Pria besar itu hanya memandang Odin lurus, seolah mempersilakan Odin membuka percakapan terlebih dahulu.

"Um.. Hei, lama tidak bertemu. Bagaimana keluarga? Sehat?" tanya Odin asal. Ia benar-benar merasa canggung jika harus bicara empat mata seperti ini. Ditambah lagi, bagian lain dirinya membuat konsentrasinya pecah.

Jordan menghela napas. "Tiga bulan menghilang tanpa kabar, sekarang kau jadi penggembala domba? Atau jadi pencuri domba? Ditambah lagi wajahmu babak belur seperti itu, kuanggap asumsi keduaku benar."

Odin terdiam. Ia kesal namun tidak bisa menjawab atau menceritakan apapun pada Jordan.

"Kenapa wajahmu semuram itu? Apa kamu sudah lupa kalau kamu selalu bisa pulang ke rumah? Kamu nggak perlu merasa sendirian, Odin."

"Kamu nggak adil, Jord. Kamu bisa tahu masalahku padahal kamu buta—" suara Odin berganti menjadi erangan tertahan karena Jordan mendorongnya jatuh dan tangannya menjelajah dirinya yang satu lagi.

"JORDAN, STOP!" Odin menendang perut Jordan namun dengan mudah pria besar itu menahan kakinya.

Déjà vu.

Odin pernah mengalami hal serupa saat dirinya pertama kali dipungut oleh Tuan. Ketakutan yang sama saat dokter yang seharusnya menjaganya justru mati di tangannya. Ketakutan yang sama saat penjaga penjara merobeknya dari dalam, dan ia terpaksa membasuh tangannya dengan darah. Ketakutan yang sama saat Tuan memutuskan menyerahkan hidup padanya. Dan sekarang, Jordan melakukan hal yang sama dengan mereka semua.

"Kau… sudah tahu kan…. Apa yang terjadi.. haaaah…. kalau aku memberimu… aaah…" Odin memegang tangan Jordan yang memanjakan bagian dirinya yang lain sembari menahan erangan kenikmatan yang ia rasakan saat dirinya mencapai klimaks.

"Hee… Penglihatanku tidak salah. Kamu memang butuh untuk melepaskan setresmu, anak muda. Jangan berlagak kuat, bagaimanapun kamu masih butuh banyak pengalaman." Jordan membersihkan tangannya dengan tisu. "Aku sangat mengetahui kemampuan mematikanmu, Odin. Kau butuh tidur yang cukup, apapun yang kau lakukan, kau tidak boleh mati di tengah jalan. Tapi kau tidak bisa tidur apabila aku tidak membuat 'dia' tidur terlebih dahulu, bukan?"

Odin tidak menjawab. Rasa lelah yang ia rasakan tadi berganti menjadi kantuk yang amat sangat. Suara Jordan terdengar menjauh, dan tanpa ia sadari kesadaran meninggalkan dirinya. Jordan menggotong badan Odin ke tempat tidur, mengelus kepala pemuda itu seperti anaknya sendiri, mengecupnya sebelum ia berganti pakaian.

"Selamat malam, Tuan. Semoga kau bermimpi indah."

Malam itu untuk pertama kalinya sejak menerima domba, Odin merasakan tidur yang nyenyak.

***

"Odin, kau ingin makan apa?" Maria berdiri di pintu kamar VIP yang dipesan Jordan semalam. Odin yang duduk menatap pemandangan di jendela sedikit terkesiap. Ia masih ingat betul apa yang terjadi semalam dengan Maria dan Jordan meski sepertinya Maria  melupakannya sama sekali.

"Makanan apa yang murah dan enak? Klien terakhirku belum membayar apa-apa jadi uangku terbatas," jawab Odin tanpa melepaskan pandangan pada horizon yang berada di hadapannya.

Maria mendekat dan mendekap kepala anak itu di dadanya. "Anak bodoh. Kau tidak perlu memikirkan uang atau apapun. Di sini rumahmu juga, Anastasia sudah seperti adikku sendiri, jadi kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri."

"Kak, aku sesak nih…"

"Ops, maaf." Maria melepaskan dekapannya. "Aku akan buatkan kamu sesuatu, dan ya, nanti malam tolong pindah ke kamar yang biasa saja. Kau memang seperti anakku tapi bisnisku juga harus jalan, dan aku bisa rugi kalau kau tetap berada di kamar VIP secara gratis terus menerus."

Odin tersenyum lebar, setidaknya ia senang Maria sudah kembali seperti biasa.

"Oh ya kak, mungkin aku akan banyak meninggalkan kota ini, kalau bisnis memanggilku."

"Bisnis?"

"Iya, kalau ada surat yang bersampul merah keemasan, biasanya berisi tugasku. Bayarannya lumayan besar sih. Hehehe…" Odin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tidak bisa bilang soal museum semesta, si kepala bantal dan yang lainnya, maupun hadiah membangkitkan ibunya. Odin tahu Maria pasti akan melarangnya pergi, apalagi jika wanita itu tahu apa saja yang sudah dilakukan Odin selama menghilang dari wisma ini, sejak enam tahun lalu.

"Surat merah keemasan? Rasanya aku seperti melihat itu di tumpukan surat pagi ini. Tapi karena tidak ada nama pengirimnya, aku—"

Belum sempat Maria menyelesaikan ucapannya, Odin sudah berlari ke meja resepsionis, memeriksa apakah surat itu benar ada atau tidak.

"Hey Odin, dengarkan orang tua—kyaa apa yang kau lakukan. Bisa-bisanya kau menghamburkan surat yang kususun." Maria tergopoh-gopoh berlari menghampiri Odin dan memukul kepala anak itu pelan. "Memang surat itu isinya apa sih? Segitu hebohnya kamu cari…"

Odin menghentikan gerakan tangannya, karena ini sudah kali ketiga ia membolak-balik tumpukan surat yang masuk namun tidak ada surat beramplop merah keemasan. "Kak, kau yakin kau melihat surat itu tadi pagi?"

Maria tersenyum. "Memangnya siapa yang bilang kalau surat itu masih ada di kotak masuk? Karena kupikir penting dan karena tidak ada nama pengirim atau yang dituju, aku menaruhnya di tempat lain."

"Dimana?"

"Bagaimana kalau kau ke kamarku dan lihat apakah surat yang kau cari ada di sana atau tidak?"

Odin menelan ludah. Nada suara, tatapan, serta gestur tubuh Maria adalah sebuah undangan. Reflek, Odin meraba wajahnya untuk memastikan penutup mata masih berada di sana. Akan sangat merepotkan kalau dirinya harus bercinta hanya gara-gara wanita ingin dipuaskan, terlebih lagi dalam situasi saat dirinya menjadi waspada. Tujuannya hanya satu, membangkitkan ibunya, dan demi tujuan itu ia harus ikut serta dalam permainan Sang Kehendak. Namun kali ini, ia harus mengikuti tempo yang diberikan oleh Maria.

"Kak, apa kau marah padaku, karena suatu alasan?" Odin mengedarkan pandangan tanpa menggerakkan kepalanya. Di hadapannya Maria membelakangi pintu kamar sembari menguncinya.

"Kenapa kau mengatakan hal itu?"

"Entahlah. Aku merasa kau marah padaku karena suatu hal. Bukankah aku sudah seperti anakmu sendiri? Aku merasa kau mengundangku untuk, kau tahu, seperti yang kau lakukan dengan pria-pria itu di sini."

"Hihihi…" Maria terkikik. "Jangan munafik, Odin. Seberapa sering kau melakukannya dengan Anastasia? Meski ia ibumu sendiri, kau pasti sudah pernah melakukan itu dengannya, kan? Mengingat tubuhmu sudah cukup dewasa untuk merasakan kenikmatan. Hihihihi… Kau tadi bertanya apa salahmu kan? Kau sama ibumu sama saja. Hihihi… Kalian berdua suka menghilang tanpa kabar. Kau, menghilang bertahun-tahun, muncul seminggu yang lalu, dan menghilang lagi, kemudian muncul seperti tidak merasa bersalah."

Odin mengamati Maria dengan seksama. Ada yang aneh dengan keadaan wanita di hadapannya tersebut. Tidak, bukan hanya pada keadaan Maria hari ini. Segala sesuatu sejak ia tiba dari kuil terasa aneh. Odin masih ingat ucapan Jordan tadi malam bahwa ia telah tiga bulan pergi dari rumah Tuan, sedangkan Maria selalu mengatakan ia menghilang selama seminggu. Bagaimana mungkin ada sebuah gap yang cukup besar antara waktu Jordan dan Maria? Terlebih lagi ia masih ingat, ia baru meninggalkan rumah Tuan dan Pomupeii dua hari yang lalu, bukan satu minggu atau tiga bulan.

"Kenapa kau diam, Odin?"

Odin masih tidak menjawab, tatapannya justru tertuju pada amplop merah keemasan di atas rak buku yang berada di samping jendela. Kalau gerakannya tepat, ia bisa mengambil amplop itu dan pergi dari sini.

"Odin!" Satu seruan dan Odin segera melompat ke arah jendela sembari mengambil barang yang ia incar sebelum Maria bisa mencapai dirinya. Beruntung kamar Maria berada di lantai satu, jadi ia bisa meminimalisir jatuhnya ke tanah.

Pertahankan wilayahmu atau serahkan pada lawanmu

Suara domba di belakang Odin cukup untuk membuat pemuda itu menghentikan kakinya untuk berlari. Setidaknya ia sudah cukup jauh dari jangkauan Maria dan wisma. Perlahan ia duduk, mencoba memahami misi yang diberikan padanya kali ini. Apa yang dimaksud mempertahankan wilayah? Apa ini ada hubungannya dengan misi sebelum ini? Apakah ia harus kembali ke wilayah bernama Bekasi? Tapi apa yang tersisa di sana? Bukankah sudah hancur akibat monster gurita yang meledak? Ataukah isi surat ini merujuk pada wilayahnya sendiri? Mempertahankan Pomupeii, dari apa?

Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di kepala Odin. Namun belum sempat satupun terjawab, sebuah getaran hebat cukup mengguncangkan tanah tempat Odin duduk. Gempa?

Langit berubah kelam, siang hari terlihat pekat seperti malam dan gemuruh mulai terdengar, bersamaan dengan guncangan tanah yang masih belum akan reda. Odin menelaah situasi di sekelilingnya, jelas ini bukan sekedar gempa biasa. Ia bahkan tidak pernah tahu bahwa gunung Vesuvia bisa menimbulkan gempa yang bercampur dengan gejala badai seperti ini. Odin masih berkutat pada pikirannya saat sebuah kabut hitam yang agak panas perlahan menutupi pandangan, beberapa orang tampak berlarian, dan tidak sedikit dari mereka yang menjerit, menangis, atau bahkan menarik rambutnya sendiri.

Inikah akhir sebuah dunia? Apakah wilayahnya menjadi salah satu wilayah yang mendapatkan 'hukuman' sepeti yang di tampilkan oleh sang kurator di kuil dewa? Apakah ini berarti dirinya telah gagal menjalankan misi?

Gemuruh yang lebih besar terdengar dari arah gunung Vesuvia. Tanpa menunggu lebih lama, Odin berlari ke menuju asal suara. Dugaan awal yang menyatakan bahwa apa yang terjadi di Pomupeii adalah ulah gunung Vesuvia sirna tatkala sebuah objek yang cukup besar muncul—atau lebih tepatnya menempel—di samping dataran Pomupeii yang masih belum sempurna.

"Apa lagi…ini?"

Domba yang dimiliki Odin berlari mendekati objek tersebut, membuat Odin mau tak mau harus mengejarnya meski ia harus melawan perih dan bau akibat kabut hitam yang perlahan semakin bertambah jumlahnya.

"Hei, ada apa tiba-tib—"

Suara domba pada objek besar menjadi jawaban atas pertanyaan yang belum sempat ia lontarkan. Dilihat dari dekat, objek yang baru saja menempel pada Pomupeii itu adalah daratan, sama seperti Pomupeii, dan domba yang ia miliki sedari tadi terus berkomunikasi dengan domba yang perlahan mendekat. Odin meningkatkan kewaspadaannya, karena siapapun pemilik domba tersebut, adalah lawan barunya.

=====================================================================

Part 03. Harum Kartini

Perlahan wujud sesosok wanita muncul dari balik kabut. Kontras dengan kepekatan yang menutupi Pomupeii, wanita yang muncul di hadapan Odin justru terlihat elegan dengan blus putih dan rok panjang yang menutupi lututnya. Sekejap, Odin tampak terkesima dengan sosok manis tersebut, jika ia boleh membandingkan dengan Lolita, Nessa ataupun Maria, sudah jelas wanita yang berada di hadapannya ini ada pada tingkatan di atas mereka bertiga. Setidaknya Odin tahu bahwa wanita ini tidak murah, dan ia berani bertaruh, belum ada pria yang pernah menyentuhnya.

Lamunan Odin terhenti saat domba miliknya berkomunikasi dengan domba milik wanita yang kini menatapnya agak sedikit tajam. Perlahan Odin memundurkan langkahnya. Jika bisa, ia tidak ingin melawan wanita.

"Bang, nape mundur-mundur?" tanya wanita yang berdiri di hadapan Odin sembari mengernyitkan alisnya. "Ini aye kayaknya nyasar. Solalnye seingat aye kagak ada daerah gini di tempat aye. Ini nih, gara-gara si mbek tau-tau lari aje. Boleh tau jalan balik ke tempat aye nggak bang? Abang orang di mari kan ya?"

Odin kehilangan kata. Di balik penampilan elegannya, ternyata wanita itu memiliki aksen yang aneh bagi Odin. Aneh karena Odin merasa asing mendengar aksen bicara seperti itu. Jika saja ia tidak berada pada logikanya, mungkin ia sudah tertawa setiap kali wanita tersebut membuka suara.

"Bang. Hey, bang. Halo... Yeee si abang ditanyain malah bengong." Tidak ada tanggapan dari Odin meski sang wanita melambaikan tangan di hadapannya. "Yuk, mbek, kita cari nyang laen aja. Si abangnya budek ini ditanyain kagak ngejawab."

"Eee—tunggu." Odin menggamit lengan wanita yang baru saja akan berlalu dari hadapannya. Tentu saja, tepisan reflek segera diterima oleh Odin. "Aku bisa mengantarmu pulang, dari tadi aku sedang berpikir bagaimana cara menunjukkan jalan padamu. Lihat sendiri kan? Asap hitam ini menutupi sebagian pandangan kita. Ngomong-ngomong, aku Odin. Salam kenal."

Wanita yang sebelumnya agak sedikit waspada terhadap gerakan tiba-tiba Odin kini menyambut uluran tangan pemuda berambut cokelat tersebut. "Harum. Harum Kartini."
"Harum? Nama yang cantik." Odin menyunggingkan senyum host terbaiknya.

"Jadi, bisa nggak abang Odin nganterin aye pulang? Pirasat aye kagak bagus lama-lama di mari," sahut Harum yang membuat Odin sedikit terkesiap.

"Sepertinya kau tidak ingin bermain-main terlebih dahulu ya? Padahal aku sudah berbaik hati menjamumu di sini."

Harum memandang Odin dan dombanya bergantian. "Pirasat aye kagak enak bang. Kalau abang kagak bisa anter aye pulang, aye bisa cari jalan lain."

"Kalau begitu, bagaimana jika aku menawarkan kesepakatan?"

"Kesepakatan begimane?"

Odin memajukan badannya, meski Harum bergerak sebaliknya. "Kuantar kau pulang, asalkan kau menyerah dari permainan Sang Kehendak. Bagaimana? Bukan kesepakatan yang merugikan, kan?" Odin menatap domba milik Harum. Kenyataan

"Kagak. Aye cari jalan lain aja."

"Percayalah, wanita sepertimu tidak akan punya kesempatan di pertandingan semacam ini." Odin menatap rendah Harum dari ujung kepala hingga kaki. "Apa sih yang bisa kalian lakukan selain membuka paha kalian dan memanjakan laki-laki yang kalian cintai?"

Harum tidak menjawab, namun tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri.

"Makanya, mundurlah dari turnamen ini, dan aku akan membiarkanmu hidup." Sigp Odin merengkuh pinggang Harum yang berdiri di hadapannya. Mencium aroma tubuh wanita itu sebelum mendekatkan bibirnya pada bibir milik Harum. "Bagaima—"

Satu tinju yang dilayangkan Harum dari bagian bawah rahang Odin sukses membuat pemuda itu tersungkur sembari memegangi mulutnya. Rasa karat bercampur asin mulai memenuhi rongga mulut dan warna merah menghiasi saliva yang ia keluarkan.

"BANGSAT!"

Odin menatap nanar sosok Harum yang berdiri sembari mengangkat kepalnya. Tatapan Harum berubah, dari wanita polos elegan, menjadi seorang wanita yang penuh amarah. Berulang kali Odin meludahkan darah yang masih belum mau berhenti, masih beruntung tidak ada gigi yang lepas dari gusi, hanya ada rasa nyeri.

"Lu kagak ngerti ape-ape soal gue. Ngomong lu dijaga. Cewek kagak seperti yang lu omongin. Jangan sok tau lu ye. Itu peringatan buat lu."

Harum berpaling dari hadapan Odin dan beranjak pergi dari sana. Belum jauh Harum melangkah, Odin sudah melompat hendak menerkamnya. Reflek, wanita itu mengangkat kedua tangannya, menghalau pukulan yang dilayangkan Odin ke arah wajahnya.

Odin sebenarnya enggan melawan wanita, karena hanya akan mengingatkannya pada ibunya sendiri. Tapi Harum adalah persoalan lain. Semua wanita yang ditemui Odin biasanya tidak suka berkelahi, dan cenderung berada di balik para lelaki. Baik itu ibunya, Maria, Lolita ataupun Nessa, semuanya menjauhi kekerasan, dan tidak ada seorangpun yang berani membuatnya terluka parah. Harum adalah wanita pertama yang membuat rahangnya terasa ngilu, di tambah lagi kabut hitam yang semakin pekat menutupi Pomupeii cukup membuat matanya berair.

Harum berjongkok, mengambil pasir dalam genggaman saat Odin melayangkan pukulan ke arah kepalanya. Tanpa melepaskan kepalan, Harum mulai menghajar dada Odin yang terbuka layaknya ia menghajar karung pasir untuk latihan. Ia masih butuh waktu untuk mengumpulkan tenaga dalamnya. 

Langkah Odin semakin bergerak ke belakang, sementara Harum masih asyik bermain dengan dada serta ulu hatinya. Jika terus begini, organ dalam Odin bisa pecah, sudah berapa kali ia merasa perutnya diaduk-aduk hanya karena menerima pukulan dari seorang wanita?

"Kya!"

Wajah Harum terngadah, menatap Odin yang meludahinya dengan darah. Tarikan tangan Odin pada rambutnya cukup untuk membuat gerakannya terhenti sesaat. Kepalanya pusing, tapi ia tidak akan membiarkan laki-laki seperti Odin menginjak harga dirinya dan wanita-wanita lain yang ada di dunia ini. Tanpa menunggu lebih lama, Harum melemparkan pasir yang sedari tadi ia genggam ke wajah Odin.

"Gah!"

Odin melepaskan tangannya dari kepala Harum karena pasir mulai masuk ke matanya. Harum, di lain pihak justru memundurkan badan dan memberi sebuah tendangan di bagian atas kejantanan Odin dengan lututnya. Meleset dari sasaran utama, namun cukup untuk membuat pemuda itu berguling di tanah.

"Brengsek! Bajingan! Bangsat!!!"

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Harum mulai berlari sebelum Odin bangkit dan balas menghajarnya.

=====================================================================

Part 04. Miasma

Harum berlari ke segala arah, meski ia harus bertubrukan dengan beberapa warga yang sudah seperti mayat hidup saat bersentuhan denganya, atau meski ia tidak mengenal daerah yang ia yakini sebagai tempat tinggal Odin, ia masih harus tetap berlari—dan bersembunyi sebelum Odin menemukannya. Agak susah mengumpulkan tenaga dalam di situasi seperti ini, dimana pandangan mulai mengabur dan tenggorokan terasa kering.

Sedikit meraba gedung-gedung yang berada di sekelilingnya, sebuah bangunan tak berpintu—sepertinya pintu itu dirusak dengan sengaja—menjadi tempat tujuan Harum saat ini. Beberapa jasad yang agak terkelupas terkulai di atas meja-meja dekat pintu, bahkan ada beberapa di antara tubuh-tubuh kaku terebut yang masih dalam posisi senggama di atas meja yang lebih panjang.

"Uhuk.. Uhuk.." Harum bergidik. Bagaimana mungkin mereka masih melakukan perbuatan tak senonoh—ditambah lagi mereka memiliki jenis kelamin yang sama. Tidak, tunggu, sekarang bukan saatnya memikirkan itu. Sekarang bagaimana caranya ia menghindari kalau-kalau Odin menemukannya di sini. Akankah saat mereka bertemu, tenaga dalamnya cukup untuk menghempaskan pemuda itu?

Harum duduk di dekat meja counter. Perlahan ia merapatkan blusnya karena sudah mulai terasa dingin. Napasnya memburu, dan wajahnya terasa panas, belum lagi kabut hitam yang menyelimuti wilayah Pomupeii mengeluarkan bau yang tidak sehat.

Di luar, Odin berjalan tertatih. Perhitungannya salah selama ini. Ia tidak akan pernah menyangka

Langkah membawa Odin menuju gay bar milik pria bodoh yang pernah mencintainya. Pintu bar tersebut seperti dibuka paksa, perlahan Odin masuk dan menemui tempat itu hampir seperti kuburan massal, dengan banyaknya jasad yang tidak sadarkan diri—mungkin sebagian sudah tidak bernyawa—dan dengan luka bakar hampir di sekujur tubuh. Perlahan Odin melangkah masuk lebih dalam, dan suara batuk seorang wanita terdengar di telinganya, membuat senyum di bibirnya terkembang.

***

"Kucari kemana-mana, ternyata di sini ya?" sapa Odin secara tiba-tiba pada sosok yang bersembunyi di belakang counter.

Harum yang bersembunyi di sana segera mengambil kuda-kuda dan meningkatkan kewaspadaanny, punggungnya bersadar pada dinding bar namun pandangannya tetap terfokus pada pemuda berambut coklat yang tersenyum mengejek ke arahnya.

"Hey, hey, tidak usah sampai seperti itu. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok." Odin meletakkan tanganya di saku dan membungkukkan sedikit badannya.

"Lu kira gue percaya sama omongan—"

Harum reflek menaiki counter dan mendarat tepat di lantai bar saat Odin berlari menutup jalan keluar counter tersebut.

"Wow, gerakanmu cepat juga."

"Jangan remehin perempuan, bang." Harum terbatuk untuk beberapa saat karena setiap kata yang ia keluarkan dari bibirnya membuat tenggorokannya kering.

"Heh, boleh juga." Odin berjalan menuju Harum sembari mengambil sebuah botol dan menghantamkannya pada wanita yang lebih cepat bergerak untuk menangkis pukulan Odin menggunakan kursi.

Tatapan matanya tajam memandang Odin yang menyeringai, dan ia melompat ke arah Odin sebelum melakukan tendangan putar ke kepala berambut coklat tersebut. Sayang reflek Odin tidak berjalan secepat kaki Harum menyentuh pipinya dan membuat pemuda itu berputar sebelum menghantam meja counter. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Harum mengarahkan tinjunya ke dada Odin, namun tangan pemuda itu dengan sigap menangkisnya.

"Tidak secepat itu, nona."

Harum tidak memundurkan langkah maupun tinjunya, ia terus menyerang Odin sementara Odin terus menangkis dan mencari celah untuk melakukan serangan balasan. Tangan Harum terkepal mundur, dan tepat saat Odin berpikir untuk menghajar Harum, sebuah pukulan ia terima di ulu hatinya, membuatnya terpelanting ke belakang dan menghantam selusur tangga sebelum jatuh ke lantai.

Odin menggerutu pelan. Jika saja pukulan Harum dengan tenaga dalamnya barusan dalam kondisi yang seharusnya, mungkin saat ini Odin sudah berada di alam kematian. Mungkin Odin harus bersyukur kabut hitam ini tidak hanya berdampak pada dirinya saja, melainkan juga pada Harum. Meski begitu, rasa nyeri tetap dirasakan oleh punggung Odin. Firasatnya mengatakan jika ia tidak melakukan kecurangan, ia tidak akan selamat di sini.

Harum mendatangi Odin yang masih tersungkur karena hantaman barusan. Pemuda yang menatapnya dengan sayu tersebut perlahan membuka penutup mata kanannya, membuat Harum merasakan entakan tak kasar mata pada area kewanitaannya. Perlahan ia memundurkan badan, tidak ingin Odin menganggapnya lemah meski darahnya berdesir dengan cara yang tidak biasa.

"Hey, apa kau tidak apa-apa, Harum? Wajahmu merah. Apa kau demam?" Odin perlahan bangkit dan menghampiri Harum yang mundur dengan gugup, bukan sekali dua kali ia menabrak kursi dan hampir jatuh karenanya.

"Ap-apa yang lu lakuin ke gue, hah? Badan gue jadi gini!"

"Loh, memangnya aku ngapain?" Odin mengangkat bahu sembari mentertawakan ekspresi Harum yang bingung bercampur takut. Sekuat apapun Harum, ia tetaplah seorang wanita. "Kau merasakannya sendiri bukan? Gejolak yang menandakan kau siap menerima kodratmu sebagai wanita? Di daerah sini terutama."

Tangan Odin yang menyentuh bagian atas kemaluan Harum segera ditepis dengan kasar oleh wanita tersebut.

"Hee.. masih melawan rupanya?"Odin mengibaskan tangan kanannya yang berdenyut. Rupanya tenaga Harum setelah hantaman yang ia lakukan masih tersisa. "Sakit tahu!"

Harum mengerang tatkala tangan Odin mencekik lehernya. Dengan keadaannya saat ini, ia harus berusaha lebih ekstra untuk mengenyahkan Odin dari hadapannya. Napasnya tercekat, susah payah ia membuka mulutnya sementara tangannya terkibas di udara, berusaha memukul Odin yang tidak pernah dia gapai. Harum yakin Odin melakukan sesuatu padanya karena saat ini dirinya kesakitan dan terangsang dalam waktu yang bersamaan.

Cekikan Odin di lehernya semakin terasa kuat, dan rangsangan pada daerah kewanitaannya juga hampir membuatnya hilang akal, jika saja dirinya tidak meraba sekita dan mengambil botol yang berguling di lantai untuk dihantamkan ke kepala Odin.

Harum menghela napas lega sejenak, dan kabur selagi pemuda tersebut memegangi kepala yang baru saja berbenturan dengan botol. Gejolak dalam diri Harum menghambat gerakannya menuju tempat yang dirasa aman untuk bersembunyi, bahkan sebelum ia benar-benar sampai ke ruangan lain untuk mencari tempat, sebuah tangan menarik kakinya, membuatnya mencium lantai sejenak sebelum diseret untuk dilucuti pakaiannya.

"Dasar bajingan, kau tahu itu rasanya sakit kan? Kau segitunya ingin mati ya?"

Odin kembali mencekik leher Harum dan mencubit kasar bagian kewanitaannya. Harum menggelinjang dan berteriak, namun teriakan itu segera dibungkam oleh lidah Odin yang melesak masuk ke dalam mulutnya. Gerakan tangan Odin yang tanpa henti membuat air mata Harum tumpah dan perutnya terasa diaduk-aduk hingga ia hampir muntah. Seluruh tenaga yang ia miliki seolah dihisap oleh sesuatu yang tak kasat mata, bahkan tanpa persetujuan nuraninya, tubuh Harum mulai bergerak mengikuti gejolaknya.

Odin menandai Harum di beberapa bagian sembari menggesekkan miliknya pada daerah pribadi wanita tersebut. Sensasi panas yang aneh baru saja Baru saja ia akan menjebol dinding kehormatan Harum, sebuah gemuruh yang cukup besar terdengar dan cukup untuk menggetarkan lantai tempat mereka berada.

"Tcih. Apaan lagi sih?!"
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
=====================================================================

Part 05. One of Another

Suara gemuruh besar dan ledakan yang menggelegar sukses membuat Harum kembali pada kewarasannya untuk beberapa saat. Ia masih merasakan dengan jelas sensasi kejantanan milik Odin yang sempat menyentuh permukaan liang kewanitaannya. Ia benci tubuhnya yang bergerak atas nafsu yang tidak seharusnya ada, mengabaikan logika dan otaknya yang berjuang mempertahankan kehormatannya.

Harum merayap pelan, menjauh dari Odin yang kini mengabaikannya dan terpaku pada suara gelegar yang masih nyaring menyapa. Dirinya jatuh beberapa kali, sampai akhirnya ia tiba di ruangan paling dalam, perlahan merayap ke dalam lemari penyimpanan yang terbuka, bersembunyi sampai kemaluannya tidak berkedut lagi meski gejolak ingin pipis masih ia rasakan sampai saat ini. Sementara itu, Odin masih terpaku pada tempatnya duduk, mencoba menelaah situasi yang terjadi di Pomupeii saat ini.

Kabut semakin pekat dan udara dingin mulai terasa di tengkuk Odin. Dadanya sesak, seolah ada sesuatu yang menutup organ pernapasannya. Bersamaan itu, pendengaran Odin mulai terasa tidak berjalan sesuai fungsinya. Suara langkah kaki yang seperti diseret, diiringi suara domba yang melengking tajam menjadi pewarna keseraman yang dirasakan Odin saat ini. Siapapun yang ada di sana, jelas bukan orang biasa.

"Nurma sialan. Seenaknya mengumpulkan mereka. Para pemimpi atau apalah itu. Huban dan Mirabelle juga sama saja." Suara berat terdengar gusar sayup-sayup terdengar sangat dekat dengan kedai tempat Odin berada.

Napasnya tercekat. Sesuatu terasa seperti mencekik lehernya. Perasaan yang hampir sama seperti yangia rasakan tatkala melihat artifak di ujung ruangan pada museum semesta.

Apakah takdirnya berhenti sampai di sini?

"Like hell I will give in." Odin berdiri dengan susah payah, mengambil sebuah botol anggur yang berada di lemari bar untuk berjaga-jaga.

"Ah, kutemukan satu ekor di sini." Sosok misterius yang baru saja dilihat Odin di depan pintu kedai kini sudah berada di belakangnya. Mencekiknya. "Akan kuhancurkan satu persatu mainan kelompok itu."

"Huk.." Odin memutar sedikit badannya dan menghantamkan botol yang ia pegang ke kepala sosok tersebut. Tidak membuat makhluk itu tersungkur, tapi cukup untuk membuatnya melepaskan cekikan pada leher Odin.

Hampir saja Odin melarikan diri jika saja makhluk yang ternyata hanya terdiri dari tulang tersebut tidak mencengkram kerah bolero yang ia kenakan dan menghempaskannya hingga memecahkan lemari kaca di bawah tangga. Susah payah, Odin berusaha untuk bangkit, punggungnya terasa sakit namun firasatnya menggerakkan tekad untuk segera pergi dari sini.

[ Hei, kau bisa mati kalau terus begini, loh. Dia… sesuatu yang tidak bisa kita lawan dengan keadaan kita saat ini ]

"Ho ho ho. Sebagai mainan si Nurma sialan itu, kau punya hal yang cukup mengesankan, anak muda. Sayangnya aku tetap harus melenyapkanmu, karena kau mengganggu keseimbangan duniaku."

Tanpa menyentuh Odin, sosok itu berhasil melemparnya ke luar bar dan sukses membuatnya memuntahkan darah. Odin berusaha bangkit sebelum makhluk itu mendekatinya dan benar-benar menghancurkannya, dan sepertinya suara domba yang kebingungan di tengah ruangan cukup mengalihkan perhatian si tulang berjalan tersebut.

Odin tahu itu bukan dombanya. Suara dombanya tidak bernada tinggi seperti ini. Mungkin nanti ia harus berterima kasih pada Harum karena telah membawa dombanya ke mari dan membantunya lari dari kejaran si tulang—atau tidak sama sekali, karena domba putih itu kini hancur, dikoyak oleh domba hitam milik sosok tersebut. Sudah tak ada jalan lain, kondisinya yang seperti ini tidak memungkinkannya lari dalam kondisi yang fit. Satu-satunya jalan, ia harus bermain petak umpet dengan si tulang, untungnya ia hapal jalan-jalan tikus yang berada di Pomupeii ini.


***


Odin berulang kali berhenti dan mengambil napas. Dadanya sakit, sudah tidak sesesak tadi namun masih tetap sakit akibat memar yang ia derita. Sudah hampir setengah jam ia bersembunyi di sela-sela pemukiman, menghindari sosok tulang berjalan yang berkata akan menghancurkannya.

"Uhuk… Uhuk… Hhhh…"

Situasi yang sangat merugikan bagi Odin, karena jarak pandangnya terbatas, dan staminanya tidak terlalu banyak. Odin menutup mata. Ia menyerahkan pendengaran pada parasit yang tinggal di mata kanannya.

[ Dia datang. Ke kiri sekarang ]

Odin kembali berlari pelan menyusuri celah di antara dua rumah tempatnya bersembunyi barusan dan mendaratkan kakinya pada sebuah jalan yanmg sangat ia kenal. Ia hapal benar, jika ia terus bergerak ke kanan, akan ada persimpangan, lurus dari tempatnya berada sekarang, ia akan tiba di sebuah rumah tempatnya tinggal selama enam tahun terakhir.

Apakah ke rumah Tuan adalah hal baik? Bagaimana kalau si tulang berjalan itu ada di sana?

[ Kamu kok bengong sih? Tentukan pilihanmu, sialan. Kau mau dihancurkan oleh dia? ]

Ucapan yang di dengar Odin di kepalanya harus mentah-mentah ia telan. Ia tidak punya banyak waktu berdebat, dan ia tidak ingin parasit di kepalanya mendadak diam. Ia benci mengakui, tapi kali ini ia butuh telinga lain untuk mendengar. Tanpa berpikir lebih lama, Odin menyeret kakinya untuk berlari ke arah rumah Tuan.

"Apa-apaan—" Odin terkesiap melihat pemandangan di hadapannya. Beberapa anak buah Tuan—yang kini menjadi anak buah Jordan—bergelimpangan di jalanan dan di halaman mansion besar tersebut. Odin melangkah dengan hati-hati, namun rupanya tidak semua jasad tersebut kehilangan kesadaran diri, karena sebuah tangan dengan kuat menggenggam celananya hingga ia terjatuh.

"Uh… Ahh…"

Odin tidak mengerti apa maksud ucapan pria yang mengeluarkan darah dari semua lubang di wajahnya tersebut, yang jelas      Odin tahu bahwa apabila ia tidak segera pergi dari sini, ia tidak akan bisa bertemu ibunya lagi. Susah payah Odin menendang tangan lelaki itu dan kembali melarikan diri. Niat awalnya untuk bersembunyi di rumah Tuan ia ganti dengan berlari memutar, melalui rumah belakang Tuan.

[ Kamu mau kemana? ]

Odin tidak menjawab, namun ia juga tidak tahu kemana ia harus melangkahkan kakinya. Sesekali ia berhenti, selain untuk mengambil napas, ia juga harus bisa tetap berpikir jernih.

"Hei… Menurutmu, apakah mungkin seseorang akan kembali mencari di tempat pertama kali targetnya bersembunyi?"

[ Maksudmu? ]

"Jawab saja."

[ Lima puluh – lima puluh sih. Kalau kamu bisa bersembunyi dan menghilangkan hawa kehadiranmu, kurasa akan aman ]

"Baiklah." Odin melangkah agak mantap. Ia masih ingat, saat dulu menjalankan misi, ia selalu lewat jalan pintas. Melewati perkarangan rumah orang lain, atap, atau bahkan celah di antara rumah yang satu dengan yang lainnya.

 [ Hey jangan bilang kau mau— ]

"Ya. Memang itu yang akan kulakukan." Odin bergerak menuju celah sebuah rumah berlantai tiga. Ia ingat, ia bisa kembali ke persimpangan sebelumnya melalui tempat ini.

[ Dia di belakang sana, kau tahu? Salah-salah kita tidak bisa lari darinya ]

"Tenang saja, aku tahu jalan pintas menuju ke sana. Tidak perlu melewati jalan yang ia lewati kok."

Parasit yang hidup di tubuh Odin terdiam. Bukan hak penuhnya untuk mengomentari apapun yang Odin lakukan. Kali ini ia tidak akan membiarkan tubuh yang menjadi inangnya dihancurkan, apalagi ia belum mendapatkan makanannya sejak Odin melepas penutup mata di hadapan Harum. Setidaknya ia tidak akan membiarkan Odin mati meninggalkan utang.

Sesekali Odin meludah sembari mengatur napas. Kabut hitam yang semakin pekat membuat asam lambungnya bergejolak tanpa alasan. Entah sudah berapa kali Odin memuntahkan air—bercampur darah—selama pelariannya. Raut wajahnya berubah tatkala tempat yang tuju sudah berada di depan mata.

***

Odin sedikit patuh saat parasit di dirinya menyarankan bahwa ia sebaiknya bersembunyi di ruangan paling dalam, cukup untuk meminimalisir ketahuan seperti saat berada di bar utama. Perlahan Odin merangkak menuju ruangan VIP. Tidak sedikit ia menemukan jasad yang tidak sadarkan diri dalam keadaan senggama, beberapa masih ada yang terikat di dinding, beberapa lagi bergelimpangan di lantai. As expected, gay bar memang beda. Odin sedikit salut pada Rom yang bisa kerja di tempat seperti ini semasa hidupnya.

"Nggh…"

[ Ada orang lain di sini ]

Odin mengangguk sebagai jawaban. Ia melangkahkan kakinya pelan, memeriksa kolong ranjang, di balik sofa, di bawah panggung tempat mereka melakukan pole dance hingga akhirnya memeriksa sebuah lemari besar yang digunakan sebagai tempat penyimpanan.

"Ah!" Sosok yang berada di dalam lemari itu sama terkejutnya dengan Odin. Dari mulutnya ada jejak darah yang perlahan mengering, dan lantai lemari yang ia duduki kini basah karena bercampur air seni dan cairan lain yang keluar saat wanita itu menggesekkan jari di kemaluannya.

Odin tersenyum penuh kemenangan. Ia sempat salah menduga bahwa kekuatan mata kanannya tidak bekerja. Bukan. Bukan tidak bekerja, hanya lamban bereaksi di tengah kabut asap yang melanda. Tanpa menunggu lebih lama, Odin menarik tubuh wanita yang bersembunyi di dalam lemari. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini sang wanita tidak terlalu kuat melawan.

Odin memaksa sang wanita menungging dengan kepala mencium lantai tempat mereka berada. Sesekali wanita tersebut memberontak, namun lututnya kembali lemas tatkala Odin dengan kasar memasukkan jari pada lubang kemaluannya.

"Jangan melawanku, Harum." Odin menekan kepala Harum di lantai sembari menekan kepala kejantanannya ke dalam lubang kewanitaan milik Harum.

Erangan Harum tertahan, dan Odin tidak memberinya ruang untuk bernapas setelah merobek paksa. Sebanyak gerakan pinggul Odin yang menghantam dinding rahimnya, sebanyak itu pulalah kehormatannya sebagai wanita dicabik-cabik. Otak Harum masih bisa berpikir, amarah dan kecewa masih ia rasakan, namun tubuhnya memiliki kehendak sendiri.

Odin menghentikan gerakannya sejenak. Rupanya pemuda itu juga mulai susah bernapas karena terlalu menggebu, namun Odin masih belum puas. Setelah apa yang dilakukan Harum padanya, Odin tidak akan pernah memaafkan wanita itu. Ia ingin wanita itu kesakitan lebih parah, tersiksa lebih parah, dan berharap kematian adalah jalan keluarnya.

"Apa kau tahu, Harum? Dombamu sudah habis dimakan. Kau tidak memiliki siapa-siapa di sini."

Harum tidak menjawab. Ia justru bergidik saat merasakan sebuah permukaan dingin mengelus perut hingga tengah dadanya dan kembali ke perut sebelum akhirnya menembus kulit mulusnya.

Harum berteriak. Tusukan senjata tajam di perut membuat jantungnya memompa lebih cepat, Harum hampir kehilangan kesadaran. Seolah tidak cukup dengan hantaman kasar di dinding rahim serta tusukan di perut Harum, Odin memindahkan pisau lipatnya ke tengkuk wanita yang—secara tak sadar—patuh untuk menggoyangkan pinggulnya sendiri. Perlahan, Odin menggoreskan pisaunya di sana, menyusuri punggungnya. Tidak terlalu dalam, namun cukup untuk membuat kesadaran Harum berada di batasnya.

"AAAAAAAAAAAAAAA"

Satu jeritan panjang saat Odin menancapkan dengan puas ujung pisau itu pada lubang anus milik Harum, bersamaan dengan dikeluarkannya cairan milik Odin di dalam rahim perempuan tersebut menjadi akhirdari perjalanan Harum Kartini di permainan ini.

"Itu bayarannya karena telah membuatku babak belur, wanita bangsat."

=====================================================================

Part 06. Sleep Tight

Odin menghela napasnya dengan kepayahan. Bersembunyi dari makhluk tulang belulang yang bahkan tidak bisa ia dekati cukup melelahkan, ditambah lagi ia berada dalam keadaan stamina yang berkurang karena baru selesai melakukan hubungan seksual kasar pada Harum yang kini terkulai di sebelahnya. Sesekali Odin menendang wajah Harum pelan, memastikan bahwa nyawa tidak ada pada diri wanita yang sukses membuatnya babak belur tersebut.

Suara ledakan terdengar tidak jauh dari tempat persembunyiaannya. Odin mentertawakan dirinya sendiri. Apapun yang ia lakukan percuma, huh? Bahkan setelah ia susah payah lari dan bersembunyi di sini, tulang berjalan itu tetap akan menemukan dan menghancurkannya, sama seperti domba milik Harum yang dimakan oleh domba hitam peliharaan makhluk tersebut.

Jadi untuk apa ia susah payah berlari jika akhirnya sama saja?

Odin sudah terlalu lelah bahkan untuk berdiri. Tubuhnya terasa sakit, pipinya terasa bengkak, dan kemungkinan beberapa tulangnya retak akibat pukulan yang ia terima dari Harum. Sesekali ia tersenyum melihat jasad Harum yang memandangnya nanar. Seharusnya Harum bahagia telah merasakan kenikmatan surga dunia dari dirinya. Sangat disayangkan Harum lebih memilih memandangnya dengan tatapan benci, meski Odin tidak sepeunuhnya menyalahkan gadis itu.

Suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Bukan hanya satu orang, mungkin dua, dengan satu langkah kaki yang hampir tidak terdengar. Perasaan Odin menjadi tidak nyaman, apalagi saat langkah-langkah tersebut semakin dekat dengan dirinya.

"Ah! Di sini rupanya!"

Odin tidak mengangkat kepala untuk tahu siapa yang berbicara kepadanya tersebut. Odin sangat mengenal pemilik suara yang terdengar begitu ceria, kontras dengan kondisi yang ada. Ya, siapa lagi kalau bukan si kepala bantal.

"Mencariku?" tanya Odin. "Ada perlu apa?"

"Uh…" Ratu Huban tidak mengalihkan pandangan dari jasad Harum yang berada dalam posisi menungging, dengan selangkangan yang robek dan cairan merah yang masih belum berhenti menetes dari lubang anus serta sekujur tubuhnya. "Sepertinya kau telah berhasil mempertahankan wilayahmu ya. Selamat."

Selamat? Apakah ini adalah sesuatu yang pantas untuk dirayakan?

"Di luar sana…" Odin mengatur napas pada dadanya yang sesak. "Ada tulang berjalan dengan domba-domba hitamnya. Aku masih belum bisa disebut mempertahankan wilayahku selama ia masih berada di sana."

"Tulang berjalan?" Ratu Huban memiringkan kepalanya.

"Kalau maksudmu Oneiros, dia sudah kukirm kembali ke dunianya." Pria yang berada di samping Ratu Huban angkat suara. Suara berat yang dikenal Odin sebagai Sang Kurator, si pria berjubah.

"Tceh. Lama juga kau mengambil tindakan untuk mengusirnya."

"Odin!" Ratu Huban mulai meninggikan suaranya.

Sang Kurator menggenggam tongkatnya dan mengetukkannya pada tanah tempat mereka berpijak. "Kami juga ada kendala saat akan menuju ke sini, kau tahu? Ayo Huban, urusan kita sudah selesai di sini. Saatnya kita pulang."

"Baik~." Ratu Huban yang sebelumnya sedikit kesal, kembali ceria dan menghampiri Sang Kurator.

"Hei, lain kali cek bener-bener ya keadaan di atas sana. Jangan sampai bocor dan ngeluarin makhluk kayak gitu lagi. Atau kau mau bilang itu juga keinginan Sang Kehendak?" cetus Odin sesaat sebelum Sang Kurator dan Ratu Huban kembali ke tempat asal mereka.

Sepeninggal Ratu Huban dan Sang Kurator, sebuah guncangan hebat kembali terjadi. Odin sudah hampir tidak peduli apapun lagi, apakah guncangan ini berasal dari daratan yang menempel pada Pomupeii ataukah benar-benar berasal dari Vesuvia.  Bahunya yang terasa ringan, dan sinar matahari yang menyeruak dari balik kabut yang perlahan menghilang cukup untuk membuat kelopak matanya tertutup. Odin mengatur posisi untuk beristirahat dengan tenang, dan suara domba terdengar sayup-sayup di telinganya. Sesekali Odin mengulum senyumnya, mimpi buruk itu telah berakhir. Sudah saatnya Odin mendapatkan tidur nyenyaknya.


===DREAM 02 END===




--
>Cerita selanjutnya : -

3 komentar:

  1. Udah beberapa entri di ronde ini yang saya liat tokoh utamanya malah berkesan villainous, sementara lawannya lebih kayak korban dari situasi. Mungkin emang ini tahunnya karakter" evil jadi dominan

    Maaf kalo saya ga bisa banyak komentar soal entrinya, karena semua berlalu gitu aja, ga banyak poin yang bisa saya gali. Paling yang berkesan di saya, Odin sekarang kayaknya jadi natural enemy buat kaum hawa, dan berasa punya potensi jadi rapist kalo solusi ngelawan ceweknya 'beat them with the dick'

    Oya, scene terakhir sama Harum juga ngingetin saya sama adegan sex sambil motong kepala cewek di A Serbian Film. Dipikir lagi, imej sexual gore gitu cocok juga sama Odin

    BalasHapus
  2. Wait, Maria jadi penghuni wisma?
    wakakakakak

    Battle sama Harum lumayan enak buat dinikmati (meski saya nggak begitu suka adegan bak bik buk)
    Terus bagian pemerkosaannya, wow... Dee udah jago bikin H-scene. Keren ini, sisi gelap saya seneng banget ngebayangin forced sex kayak gini, di mana cewek polos berusaha setengah mati buat melawan impuls sange dari selangkangan mereka. Adegan Harum yang ke'gap lagi colmek di lemari itu bikin saya ketawa lepas.

    BalasHapus
  3. Waduh. Odin kali ini ganas sekali.

    Dari Prelim, R1, dan R2, saya rasa R2 Odin yang paling "ganas" di antara semua entri tersebut.

    Perkembangan plotnya lumayan, mengalir begitu aja. Mulus lah.

    Dan semua darah dan cinta itu berbekas banget. Berkesan vulgar, namun berani. Memang warna-warnanya Odin gak bakal jauh-jauh dari sini. Ini semacam sebuah penegasan tema yang Odin bawakan.

    Tapi ini entri lumayan rawan juga. Udah pasti ngetrigger orang-orang yang pikirannya tidak toleran dan tidak terbuka. Jadi, ya begitulah.

    Dan karena Odin jadi pemenang tunggal, ya... saya cuma bisa berharap di R3 nanti akan ada suatu revelation yang lain tentang Odin. Atau perkembangan yang lebih drastis lagi.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.