Selasa, 20 September 2016

[ROUND 2] 18 - SHERAGA ASHER | SITRA ACHRA


oleh : Ahran Efendi
 
--
 

 [Perhatian: berkaitan erat dengan preliminer, dan terutama ronde satu.]
“Jangan dengarkan kilasan-kilasan itu, dan tetaplah percaya kepadaku. Kamu insan baik. Begitu luhur budi, sehingga kamu tidak pernah membalas kejahatan orang-orang yang berlaku zalim kepadamu. Tetaplah demikian selamanya.”


- 0 -
Sepanjang usianya, Orim Kohan seorang pengasih dan penyabar. Atau sekurang-kurangnya sang Okultis akan berusaha untuk menampakkan kesan demikian. Ketenangan sudah merupakan bagian dari identitasnya. Riak emosi takkan dibiarkannya bergolak. Tapi untuk kali ini, ketentuan tersebut tidak ditegakkannya.

Itu terlalu berharga bagi musuh. Orim bahkan tak perlu repot-repot mengunci mati penglihatan, sebagaimana biasa. Iris birunya menguarkan rasa jejap, pada sosok di hadapan.

Orang yang belum lama ingin membunuh Orim terikat di kursi. Kedua tangan berikut kakinya terbebat jerat magi. Api di atas ruangan mempertegas kulit si pemuda ular, yang sepasi kapas dan bersisik. Rambut perak panjangnya tergerai berantakan, masih mempertahankan bercak di beberapa bagian.

Wajahnya tidak mengesankan roman kemanusiawian; sayat dan gurat dalam bergelimpangan di sana, sebelah matanya rusak, dan sudut mulutnya tak setangkup. Dari dalam bibir pucat keriputnya, sesekali lidah kelam bercabang dua menyembul secepat kerjap. Alih-alih setengah Helev, pemuda itu—Nadav—justru lebih menyerupai manifestasi Yang Terbuang. Sebangsa Netzakh yang sempat berbagi raga dengan Orim.

Dengan babak belur di sekujur badan, Nadav malah tertawa. Satu mata safirnya yang tersisa menyorot penuh benci.

“Ssh, yang seharusnya mengakui apa pun, adalah kau,” desisnya tajam. “Kau pun, ssh, melenyapkan nyawa seseorang malam itu. Dengan iblis di dalam tubuhmu!”

Tak mengikuti momen sebelumnya, dengan mengikutsertakan Netzakh, tongkat pemukul Orim tak langsung menambah remuk si pemuda. Terutama setelah penyingkapan rupa yang baru saja terjadi.

“Kamu, kamu ini ... sebenarnya makhluk apa?” tanya Orim, dengan gentar yang mencekam. Mengernyit menahan jijik dan seberkas iba.


Nadav bergeming sebentar. cemooh di mukanya sirna, beralih kemurkaan. Dia mengawasi sang Okultis lekat-lekat. “Ssh, kau yang paling tahu jawabannya.”

Orim tidak bersuara. Matanya balas menatap lawan bicara. Itu terjadi cukup lama, sehingga keheningan akhirnya ditaklukkan oleh gerimis samar dan derak api. “Aku merasa kamu memiliki dendam pribadi padaku,” tutur Orim dengan lebih terkendali. “Ketahuilah aku—“

“Ssh, kau dan kaum laknatmu!” tukas Nadav. “Jangan berlagak suci!”

Manusia jadi-jadian itu lantas terkikik pedih. Setengah sadar, Orim menjatuhkan kain hitam berdarah dalam genggamannya.

“Tidak salah bila kalian semua diburu sampai ke ujung dunia,” ujar sang Pemburu. “Ssh, tak hanya keji, kalian pun menolak kenyataan bahwa kalian sendiri adalah pendosa!”

“Apa—“

Salakan Nadav berikutnya mengalahkan guntur yang tiba-tiba menggelegar di luar. “AKU BEGINI KARENA KAUMMU, KEPARAT!”

Bara api di ruangan itu membesar. Mempermainkan bayangan-bayangan yang ada. Orim terpaku. Napasnya tertahan sementara Nadav dibiarkannya berkoar.

“Ssh, apa perlu kupertegas dosa-dosa kaummu?” raung Nadav. “Kalian telah mengorbankan kebahagiaanku pada Nama Terlarang!”

Semula, reputasi keluarga Kohan tidaklah belaka “para pengendali iblis” yang diincar sampai ke tiap pelosok untuk dieksekusi di tiang gantungan. Kenyataannya, sejak awal mereka senantiasa membaur di tengah masyarakat, dan tak henti membantu sesama.

Segalanya berbalik semenjak dua ratus tahun silam.

Masa pendudukan raja sebelum Natan Asher. Fanatik pengagung Dia yang Lain. Entah dengan pengetahuan apa, Dayan berjiwa panas itu lekas memahami keberadaan sang Mesiah dan bermaksud memburunya pula.

“Kamu berdusta.” Orim yakin itu. Kendati kemampuannya memastikan kebenaran seolah lesap di hadapan si manusia ular. “Tak satupun anggota keluargaku melakukan sesuatu terhadapmu.”

Nadav menyeringai. “Ssh, kau mungkin ... memang tidak mengenali bajingan sejenismu. Karena aku sendiri yang pada akhirnya melenyapkan mereka, begitu ritual jahanam itu gagal.”

Orim terkesiap. “Jangan katakan kamu—“

“Ssh, keluarga harmonis,” Nadav memprovokasi. “Jenaka sekali menyaksikan keputusasaan di mata kumpulan congkak itu. Mereka berpikir malaikat mair takkan tiba menghakimi mereka!”

“Yah, memang sang Penjemput tidak datang,” dia melanjutkan, “ssh, karena akulah yang menggantikannya. Kupenggal mereka.”

Sang Okultis menggigil, oleh kengerian atas pernyataan yang barangkali sebuah fakta.

Di sisi lain, Nadav tersenyum puas. “Ssh, tampaknya kau akan mengenali satu di antara mereka: Levannah. Dan sungguh, ssh, anak perempuan itu sempat menyerukan sebuah nama,” ungkapnya. “Namamu.”

Berita itu menghunjam Orim bagai panah. Kalap, dia hadiahkan pada Nadav hantaman bertubi-tubi. Makin lama kian kuat, semakin dibakar amarah, menggetarkan senja yang khidmat di antara hujan rintik. Namun, jantung pemuda itu tetap berdetak.

Kepalanya berkali-kali dibuat sasaran. Sialnya, dia tetap bertahan. Tanda dia terluka hanyalah kucuran darah dan jejak lebam. Seringainya melebar, memperlihatkan deret gigi runcing.

“Ssh, kau mengakui—“

Orim tak membiarkan. Tiada irama yang diizinkannya melantun kecuali rentetan kertak tulang. Sambil membendung airmatanya, dia hajar habis-habisan rahang Nadav. Bermaksud mendiamkan. Tak kunjung mendapat pemandangan yang diinginkan, Orim berniat mengganti metode penyiksaan. Mencampakkan sekaligus adab dan budinya yang mati-matian dia pertahankan sejak lama.

Keinginan itu terpaksa ditunda. Gemuruh meletus di luar tembok. Serupa gunung yang dihancurkan dari kejauhan. Tidak sekali semata, melainkan disusul rangkaian yang lebih dahsyat. Disahut oleh jerit-pekik histeris dari himpun kekacauan.


1
Ha-Tov
- 1 -
Sekembalinya ke Bingkai Mimpi, Ganzo Rashura masih muak dan terluka. Pandangannya kosong, terarah ke langit-langit megah kuil Varsaria. Bukannya memperoleh ketenteraman, potret naga dan orang-orang suci di sana seolah bernyawa sekelebat untuk memperolok sang Nabi.

Semestinya aku dapat menggagas perdamaian, katanya pada diri sendiri. Tuhan mengutusku untuk tugas itu.

Tidak banyak insan mengingat masa lalunya dengan jernih, tetapi sang Utusan Kelima agama Varsakhtan itu lebih dari mampu. Seakan tahun-tahun yang dilaluinya ke belakang merupakan hari kemarin.

Dahulu dia putra seorang saudagar masyhur, dikaruniai akal tajam nan cemerlang sewajarnya kaum terdidik. Usianya menginjak satu setengah dekade kala dia pertama kali menyadari ketidakbenaran masyarakat sekelilingnya.

“Bagaimana mungkin kalian menyembah sesuatu yang bisa dihancurkan?” tanya Ganzo pada waktu itu.

Dengan penuh kemantapan, sahabat karibnya mendebat, “Kamu salah, Ganzo. Kami memahami benar bahwa kami hanya berdoa kepada Dewi Agung. Berhala ini sebagai representasi semata.”

“Jika benar demikian,” Ganzo menyanggah, terluka, “katakan padaku, kenapa kalian turut mengkultuskan benda mati? Kenapa kalian membatasi-Nya hanya pada batu-batu ini jika kalian sadari Dia ada di mana-mana? Kalian sama saja memuja patung ini!”

Argumen Ganzo tak terpatahkan. Celaka, bukannya mendorong kemajuan berpikir, doktrin tetaplah mengakar. Rekan-rekannya malah terus menyangkal, malah mengantarkan mereka makin giat sebagai pemuja benda mati.

Kejadian itu menghantui hari-hari sang Nabi. Sampai suatu ketika sebuah wahyu terhantar kepadanya. Memerintahkannya menuju Negeri Shim.

Perjalanan tersebut merupakan titik awalnya sebagai Utusan Tuhan yang kelima. Mulai dari situ, dia menjadi panutan bagi umat manusia. Sosok yang seharusnya memiliki kebijaksanaan dan akal budi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Apalagi dia telah membuktikan kelayakannya.

Hanya saja belum terhitung satu bulan sejak peresmiannya sebagai junjungan agama Varsakhtan, dia telah gagal menunaikan asas kewajibannya.

Putusannya baru saja melapukkan keseimbangan sebuah bentala. Dan yang lebih gawat ... cobaan itu masih menggerus iman. Perenungan demi perenungan yang dilakukannya tiada makna, malah semakin membiakkan tanda tanya yang tak berani disalurkannya.

“Ganzo Rashura.”

Sepintas vokal bas bergema dari salah satu sudut kuil, membuyarkan lamunan Ganzo. Pria itu menoleh, tercengang mendapati seorang lelaki berdiri di dekat pilar bergalur corak ular legenda. Tiang-tiang marmer memantulkan rona keemasan dari sekujur kulitnya. Dialah Shamonten, sang Nabi Penumpas.

“T-tuan Shamonten.” Kikuk, Ganzo lekas-lekas menjura. “Aku tidak menyangka—“

“Tak perlu takut begitu,” tegas Shamonten sambil menghampiri. “Aku mengakui kebesaranmu sebagai utusan Tuhan, Anak Muda. Terlebih kau mengalahkanku dalam duel yang adil.”

Dia pun membungkukkan awaknya yang padat. Yang bayangannya saja menciutkan nyali Ganzo.

Ganzo menegakkan tubuh. Matanya berkedut sebelah. “Err, maafkan aku, kupikir Anda sudah—“

“Tugasmu sebagai Nabi Awal zaman tidak ringan, karena itulah aku dihadirkan kembali oleh Tuhan untuk mendampingi perjalanan muliamu,” celoteh Shamonten. “Terutama sekali, aku pun mengendus marabahaya mengintai bumi kita.”

“Ah, itu memang benar.”

Menurut pengumuman, babak kedua akan digelar tak lama lagi. Kurator necis itu berpesan, taruhan untuk perlagaan ini adalah dunia masing-masing yang terlibat. “Kekalahan berarti kemusnahan abadi,” tandasnya beberapa saat lalu, “dan tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali kemenanganmu.”

“Tapi, kau tidak boleh mempergunakan kekerasan lagi, Tuan Shamonten. Dalam menyongsong masalah, kita harus senantiasa berkepala dingin dan mengedepankan akal. Sebagaimana ajaran dasar Varsakhtisav. Bila ada kesempatan berunding, itulah yang mestinya ditempuh.”

“Berunding?” Bahu penuh otot sang Nabi Keempat berguncang-guncang. “Tuhan memberitahukan kepadaku, kau belum lama mempersembahkan pertunjukkan yang menarik. Ilham perdamaianmu malah makin mengacaukan pihak yang tengah bertikai. Yah, itu tidak salah bagi Tuhan, Bocah. Tapi karena itu pula Tuhan akhirnya memperbolehkanku untuk berolahraga lagi!”

Tuhan memperkenankan untuk bertarung.

Tanggapan barusan tidak memperbaiki kegamangan Ganzo. Dengan gontai, dia meninggalkan Shamonten yang berinisiatif meditasi.

Pria itu menuruni lima lantai kuil Varsaria, bangunan yang dikononkan sebagai jelmaan rahmat Tuhan yang paling luhur dan tak boleh dimasuki sembarangan. Satu bukti pelanggaran itu, yakni kisah kumpulan pecundang yang berduyun-duyun merapat ke rumah pemujaan ini untuk menjabat nabi Varsakhtan. Hasilnya jelas, Tuhan memahami ketidaktulusan dalam relung jiwa mereka.

Orang-orang malang itu tidak semata ditolak. Jasad mereka diubah menjadi ornamen pelataran kuil, yang kini seolah-olah tengah meratap kepada Ganzo dalam perjalanannya ke air terjun di belakang bangunan tersebut.

Ganzo memosisikan dirinya dalam pertapaan. Air di sekitar batu memantulkan paras emas berimbuh kilau.

“Wahai Tuhan yang Maha Esa,” doanya dengan takzim, “Zainurma dan Huban membawa hamba ke area yang disebut Bingkai Mimpi, milik seorang dewi yang perwujudannya sebagaimana terlihat di masa lalu. Inilah dewi utama yang berhalanya dipuja oleh rekan-rekan hamba.” Dia mengusap matanya yang berair.

Pepohonan di sekitar lembah mendesir. Hawa dingin mencucuk tulang Ganzo. Sekonyong-konyong, sebuah jawaban penuh murka berkumandang dari langit.

“Engkau telah memirsa begitu banyak manifestasi keagungan Kami, wahai hamba. Amat berlimpah keajaiban dan bentuk-bentuk kasih sayang Kami yang terhampar, terutama kenabianmu sendiri. Mengapa engkau masih mendustakannya?”

“Maafkan aku atas kelancangan ini, oh Tuhan.” Kelengangan juga terusik oleh tangisan sang Nabi. “Tapi hamba memohon satu hal saja. Cerahkan pikiran hamba dari segala sesuatu yang mengganjal.”

Dia memegangi dadanya yang perih. Mati-matian dia angkat bicara, “Hamba tidak menyangkal bahwa ... seonggok logam berhasil mengombang-ambing iman nabi-Mu ini.” Pria itu menjeda. “Hamba pun melihat sendiri koleksi berhala yang dahulu dipuja di tanah kelahiran hamba ternyata merupakan manifestasi entitas yang nyata.”

Hanya air terjun dan kicau burung, yang bersedia mengusir sepi.

“Dan mereka, para dewa itu—,“ Ganzo terisak mengelap pelupuknya, “—sang Kehendak mengubah mereka menjadi monumen kolosal. Dia juga dikabarkan sanggup menumpas banyak dunia. Dan terbukti sang Kehendak memang melakukannya. Wahai Tuhan yang Maha Pemurah, aku ingin tetap yakin kepada-Mu. Aku mau berpegang teguh pada ajaran-Mu. Tetapi, aku hanyalah manusia yang tidak bisa menipu-Mu.”

Batin ini  goyah ....

Tuhan berfirman, “Kami tidak mengutusmu melainkan untuk alasan ini, wahai hamba. Tugasmu ialah menemukan jawaban atas segala teka-teki. Kelak, akhir kegelapan zaman akan engkau temukan sendiri dengan membaca tanda-tanda yang Kami berikan. Selaraskanlah akal dan nuranimu. Jangan menyerupai kaum bebal pendahulumu, yang Kami binasakan sebab menyangkal kedigdayaan Yang Maha Benar.”

Walau dahaga keingintahuan Ganzo belum reda, dia tak berani menuntut lebih. “Terima kasih, Tuhan.”

Sebagai ganti keinginan tak tercapai, sang Nabi roboh. Sesengukan ditelan kecemasan yang menyiksa. Di sisi kuil Varsaria yang lain, domba miliknya melolong-lolong dalam tambatan. Warna merah meriap mengotori aliran sungai yang bening.


- 2 -
Di ujung timur ibukota Batya versi lain, Sheraga Asher tengah berdiri di atas tebing. Menantang rintik yang kian mengganas dan embusan beku. Matanya nanar menerawang kejauhan, pada hasil perluasan Bingkai Mimpinya, samudra muram dengan bongkah-bongkah awan kelabu meramaikan angkasa.

Pemuda itu tidak sendirian. Seekor domba betina merebah senyap di sisinya. Sama-sama hanyut dalam renungan sebagaimana sang tuan.

Kalau kuarungi lautan itu, apa aku akan terjaga?

Apabila Sheraga mengingat-ingat lagi idealisme termuluknya—sesuatu yang sempat disampaikannya kepada sosok-sosok penting di masa lalu—maka, sekarang adalah momentum yang paling sesuai untuk mewujudkannya.

Bagaimana tidak? Belum lama, Sheraga dan para pemimpi yang tersisa dikumpulkan di sebuah selasar mahaluas. Pertama-tama sang Alkemis dihadapkan pada kenyataan bahwa, bukanlah Zainurma yang sepenuhnya memerankan dalang di balik pagelaran amoral.

Penjelmaan paksa di Museum Semesta tempo lampau maupun hilangnya lebih dari setengah peserta ajang berdarah, merupakan ulah entitas bernama Kehendak. Yang wujudnya berupa patung otak di Museum Semesta.

Sheraga belum sempat menjumpai artefak tersebut untuk memastikan. Akan tetapi benak dan akalnya segera berjabat tangan untuk percaya. Terutama tatkala para peserta dipertunjukkan kesaksian Mahalath Bat-Agrath—Dewi Mirabelle: baik para pemimpi dan dunia yang mereka emban, serta konservator galeri alam raya, berada dalam kendali absolut kekuatan tak ternalar.

Selain itu, babak kedua akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Sang Alkemis Muda hendak dipertarungkan dengan seorang pemimpi lain, dengan jaminan seluruh jagat rayanya. Kalah bermakna eksistensi bangsa Helev, Dayan, dan segenap makhluk berakal akan sirna.

Itu berarti, kebengisan takkan eksis. Tiada lagi sebuah dunia dengan kebohongan, pengkhianatan, dan kesedihan. Segala angkara murka berakhir mulai titik itu.

Sesuai harapan Sheraga sejak awal.

Dan yang paling membuatnya bersukacita adalah derajat sang Kehendak ternyata lebih tinggi dibandingkan tuhannya bangsa Dayan.

Bukan saja mengendalikan banyak semesta, keberadaan itu bahkan mampu mengutuk dewa-dewi kepercayaan manusia ke dalam bentuk arca. Alih-alih turut gusar pada sang Kehendak selayaknya yang diagendakan Zainurma, si pemuda justru berterimakasih.

Tidak mungkin.

Walaupun begitu, Sheraga malah memafhumi kesempatan mengubah sejarah yang ditawarkan kepadanya tak lebih dari isapan jempol. Turnamen ini mimpi abstrak yang lain, atau seseorang tengah mengerjainya dengan tekun.

Yang kedua itu bukan mustahil. Musuh-musuhnya begitu banyak di luar sana. Masing-masing berlomba ingin mengentaskannya. Bisa jadi, seorang sejenis Betshev Eliezer mengiriminya jampi berbuah ilusi. Kalau Sheraga terbuai, akibatnya celaka.

Domba hibah Huban mengembik sendu. Sheraga berjongkok, mengelus kepala hewan itu. Sensasinya kelewat nyata untuk dicap sebagai halusinasi. “Kau masih marah?”

Ditukas embikan. Sheraga mengerti kemauan si gumpalan serat—sesuai penjelasan Huban. Selain itu, ujar penggembala domba tersebut, kelangsungan hidup biri-biri para pemimpi merupakan keharusan. Eratnya ikatan dengan pemilik baru pun berbanding lurus dengan peningkatan bakat domba nantinya.

“Baiklah, kuberikan kau nama baru sebagai permintaan maaf.” Sheraga berpikir sejenak, dan sebuah nama terlintas. “Aku selalu suka nama Chavah. Kautahu? Namanya berarti ‘kehidupan’. Sesuai harapanku untukmu.”

Si domba bersuara lagi, tetapi juga sebagai alamat kehadiran seseorang.

“Salam, Sheraga Asher.”

Aksen asing bersama roman bicara angkuh tak tertawar-tawar. Tidak lain dan tiada bukan milik sang Kurator Museum Semesta. Zainurma berdiri di dekat karang. Bernaung di bawah payung.

“Kau menunjukkan kemajuan,” lelaki berambut cepak itu memulai. “Semula, kau sungguh tidak menarik perhatian para konservator ....” Ucapannya dibiarkan menggantung, tertiup semilir angin darat.

Sheraga mengernyit. “Kebetulan sekali kau datang,” dengusnya. Tanpa tedeng aling-aling dia mencetuskan, “Sebaiknya kauakhiri—”

 “Setelah kematian-kematian sadis persis di bawah hidungmu, kau masih ragu atas apa yang menimpa dirimu, ‘kan?” Zainurma melepas penutup matanya.

Tanpa peringatan, dia berpindah jejak dan menempeleng Sheraga. Tatapannya tajam menusuk. “Katakan padaku, apa itu muslihat? Kau terpilih, dan itulah yang terjadi. Jangan menguji kesabaranku lagi dan lagi!”

“Jika kalian berencana menumbangkan Kehendak,” gubris Sheraga sambil mengaduh. Lengannya menyeka darah di ujung bibir. Menahan keinginan menggebuk balik. “Kalian salah memilih sekutu.”

Zainurma tergelak. “Sesuai katalog. Kau selalu dilanda kegelisahan. Dasar labil,” ejeknya. “Kalau kau selemah yang kaupikirkan, kau takkan ada di sini. Apalagi melewati dua babak!”

“Dan aku kalah sekalipun,” Sheraga menghela napas, “dampaknya tidak buruk.”

Lawan bicaranya tak sertamerta menimpali. Curahan air telah terhenti. Walau sebaliknya, langit kian muram. Awan pekat berkumpul riang di atas Ibukota Batya. Dalam diam, sang Kurator melipat payung hitamnya. Sesekali mengentak-entakkan ujung lancipnya.

“Menggelikan. Kau rupanya tidak sepintar kesan awal,” cibirnya. “Sekarang coba jawab: andai kau tidak pernah eksis dalam kehidupan, menurutmu apa yang terjadi?”

Sunyi.

“Sudah kuduga. Kau mungkin berpikir dengan logika yang terlalu sederhana. Kalau seseorang tidak pernah ada, maka dia takkan merasakan kewajiban sebagai ‘makhluk’—begitu, ‘kan? Oh, sayangnya tidak sesimpel itu.”

“Apa maksudmu?”

Kesahan Zainurma meluncur tak terhalang. “Maksudku, seandainya kau memohon untuk tidak pernah ada dan itu terkabul, kau tetap akan ada,” tukasnya. “Kau bakal hadir sebagai kesadaran yang lainnya.”

Dia berjalan mengelilingi Sheraga. Ujung payungnya mengetuk-ngetuk. “Ini seperti dusta dan kenyataan. Dusta ada menutupi yang nyata. Dan kebenaran membungkus kepalsuan. Segala hal berputar. Ketika sesuatu tidak hadir, akan ada pengganti peran yang tiada. Singkat kata, kau tidak bisa menghindari ketetapan.”

“Itu logika ngawur!” Sheraga menentang. Kedua alisnya nyaris bersua.

 Tidak digubris. Zainurma meneruskan ocehannya, “Kau mengharapkan semesta—beserta tuhanmu—binasa. Baik, Kehendak sanggup mewujudkannya. Tapi pernahkah terlintas dalam benakmu, apa yang bisa diperbuat monumen sialan itu?”

“Meninjau perlakuannya terhadap kontestan ajang ini, bahkan kepada para dewata, aku yakin ujungnya bukanlah hal yang bagus,” sang Kurator menyahut kesimpulannya.

“Sebagaimana kukatakan mengenai eksistensi manusia. Jika kita tidak ada, maka kita yang lain akan hadir. Demikian pula dengan duniamu. Akan ada bentuk kehidupan dan tuhan baru yang sama parahnya menurut kriteriamu. Dialah sang Kehendak.”

“Kau mengharapkan peserta ajang ini melawan entitas agung?” protes Sheraga. “Ini perekrutan tim bunuh diri atau—”

“Yang perlu kaulakukan, janganlah putus asa.” Zainurma menepuk bahu si pemuda. Sekilas, ada simpati dalam visi lelaki itu. “Kaupunya peluang untuk benar-benar merealisasikan tujuanmu. Kehendak mungkin lalim, tapi dia mampu mengabulkan mahakaryamu. Logis saja, daripada memasrahkan takdir untuk diperlakukan sesuka hati, mengapa tidak memastikan bahwa cita-citamu memang terlaksana?”

“Aku hanya—“

“Tadinya aku bermaksud menjadikan sahabatmu sebagai pemimpi,” potong Zainurma. “Angannya begitu kuat hingga menarik minat kami lebih dari siapa pun juga. Tapi setelah kutelisik, ada satu hambatan yang menyebabkannya tidak layak. Lagi pula, impian itu ternyata ... berpusar padamu.” Suaranya bergetar ketika mengutarakannya.

“Orim bermimpi tentang aku?”

Zainurma mengiyakan. “Nah, kenapa kau tidak membalas budi teman laki—maksudku, sahabatmu itu saja?” Dia berdeham, seperti menahan letup tawa. “Aku percaya dia tidak sejalan dengan apa yang kaumau.”

Dia mendongak. “Omong-omong, babak selanjutnya dimulai dari detik ini. Kebetulan lawanmu menarik. Namanya Ganzo Rashura. Dia nabi dalam religinya. Ditilik dari pertarunganmu, kau mungkin bakal senang ‘bertukar ide’ dengan dia.”

Belum sempat Sheraga merespons, debu keemasan bergulung-gulung menuju mega. Selang satu kerjapan, bumi berguncang berat. Kabut tebal angkat kaki dengan kecepatan di luar akal sehat. Memamerkankan cakrawala sewarna darah.

Sambil mengembik ketakutan, Chavah merapat pada tuannya. Laungannya mengalahkan debur ombak yang mendadak ganas.


- 3 -
“Ya Penguasa Semesta, Penguasa Kehidupan dan Kematian, Penguasa Langit dan Bumi. Dan Yang Merajai Siang dan Malam ... kali ini apa lagi cobaan-Mu?”

Teringat panitia tidak memberi detail soal Bingkai Mimpi yang dikikis mimpi buruk, Ganzo Rashura menyimpulkan apa yang tengah menimpa dunianya merupakan ujian Tuhan. Namun dia masih malu untuk menuntut penjelasan.

Engkau harus temukan jawabannya dengan caramu.

Dilanda kecemasan hebat, sang Nabi berkepala plontos dan berkulit keemasan itu berlari di bantaran sungai yang ujungnya membelah kuil kudus agama Varsakhtan. Bermaksud menyelamatkan warga dari perkampungan insignifikan terdekat. Di sisinya, seekor domba berbulu serasi tuannya, bernama si Botak, mengikuti dengan laju sebanding.

Sepanjang setapak itu, yang didapati Ganzo lebih banyak gelombang massa meringkuk sambil meracau-racau menyebut Hari Pembalasan. Tidak hanya bukan-pengikut ajaran Varsakhtan, melainkan umatnya juga.

Beberapa orang bergelayaran menghampiri tepi sungai. Ganzo tak sempat bertindak kala tiba-tiba mereka melompat ke dalam air, langsung terempas. Disadarinya fenomena itu terus berulang. Makin banyak hanyutan di antara aliran. Sebab itu, sang Nabi terus maju. Semata memberi tanda perkabungan sambil berharap dia memenangkan pertarungan agar mengembalikan mereka.

Sempat pula terjadi getaran dan gerimis ringan. Mengundang Ganzo menangkupkan tangan untuk menampung genangan kental, yang mengingatkannya pada perang besar di masa muda. Karena itu, dia terdorong untuk menengadah.

Langit diselimuti merah tidak alami. Dan mulai pada jarak tertentu, anomali tersebut berlaku pula pada permukaan tanah dan pepohonan. Dedaunan berubah serupa kulit manusia. Jasad kering menggantikan batang pohon. Ganzo sempat terhuyung, hampir menyusul umatnya ke dalam arus.

Teror yang merongrong itu, memaksa sang Nabi membayangkan kemungkinan terjelek. Tak henti-hentinya dia menyebut nama-nama suci Tuhan untuk mengusir resah.  Hari Akhir tidak tiba tanpa alamat.

Mendadak, dia menutup hidung. Kali di sampingnya turut dirambah warna terkutuk. Manguarkan aroma besi memualkan yang kontan memaharaja. Akan tetapi selepas setengah pal, indra penciumannya menumpul. Tidak lagi sanggup membedakan apa-apa.

Usai memintas jembatan, Ganzo tak lekas melepas kelegaan. Pemandangan hamparan dinding-dinding bambu yang mencuat di antara rerimbunan, juga diiringi kegaduhan sayup-sayup. Tergesa-gesa dia menyibak dedaunan, dan ditemukannya lautan obor. Menegaskan histeria di depan tembok kayu pembatas desa. Ada sekitar sepuluh keluarga pemeluk ajaran Varsakhtan. Ditambah selusin non-pengikut.

Mereka menyadari kehadiran Ganzo. Dengan kikuk, sang Nabi menghampiri. “Kenapa kalian tidak berlindung?” tanyanya gundah.

“Mimpi buruk di segala arah!”

“Kami menunggumu, Nabi!” teriak selintas suara alto.

Seseorang menyambar, “Aku melihat saudaraku yang sudah meninggal! Mereka mengajakku ke neraka!”

“Mereka mengejar kita semua!”

Ganzo menyahut, “Semuanya, tolong tenang dulu! Aku—”

“Kami tidak tahan!”

“Apakah kami kurang sedekah?” timpal yang lainnya.

“Aku ini orang beriman, Nabi!”

Ada yang menjerit, “Kami belum mau mati, ya junjungan kami!”

Keributan tersebut menyebabkan Ganzo kewalahan. Ditambah lagi lima puluhan orang itu bersujud mengelilinginya sambil menangis tersedu-sedu, mencoba menggapai pakaiannya. Termasuk penduduk kafir. “Kami akan meyakini ajaranmu jika kamu mampu menghentikan kekacauan ini, Nabi Varsakhtan ....”

Pria berkepala plontos—Hozo sang Pendeta Tinggi—berani mendekat. Dia bertanya langsung pada Ganzo, “Nabi, apa yang sesungguhnya tengah berlangsung? Apakah ... apakah ini pertanda akhir zaman? Katakan pada kami, Nabi, apakah ini sinyal-sinyalnya? Atau memang beginilah gambarannya? Bukankah, bukankah angkara murka telah jauh? Dunia sudah damai—“

“Jangan menakut-nakuti semua orang! Jawaban untuk itu tertulis di dalam Varsakhtisav!” curai Ganzo pada seorang umatnya itu. Dia melantangkan, “Kalian semua! Aku sudah katakan, apa pun yang terjadi mulai kemarin merupakan ujian Tuhan! Percayalah, rangkaian bencana ini ada akhirnya!”

“Kapan?” Kekacauan mulai berkobar lagi. “Apakah ini semua terjadi sampai kita semua tewas?”

“Kasihi umat Tuhan ini, Nabi!”

“Apakah Tuhan membenci kami?“

Ganzo memegang erat tongkatnya. Dengan ketegasan tertingginya, sambil mengumpulkan napasnya banyak-banyak, dia memaklumat, “Umatku! Kalian mau hidup, ‘kan? Maka berpikirlah dengan jernih!”

Seruannya sukses membendung gelombang keluhan. Semua orang memasang telinga.

“Jika kalian saja meragukan keselamatan sendiri, bagaimana mungkin kalian menghendaki Tuhan berkenan meringankan beban? Itu sama dengan menyangsikan kasih sayang-Nya! Lagi pula Tuhan tidak akan menimpakan aral yang tak mampu kalian tanggung! Jadi, yakinlah!”

Ganzo menjeda. “Kalian adalah makhluk Tuhan yang paling diberkati. Karena itulah sekarang kalian ada di sini. Kesehatan kalian detik ini merupakan bukti. Camkan itu di dalam dada! Nirwana senantiasa membukakan pintu bagi orang yang berteguh hati!”

Isak tangis penyesalan merabung. “Maafkan kami, ya Nabi!”

Ganzo lega. Tuhan yang mendermakannya ketabahan. Dia baru memanjatkan puji syukur kala seseorang memekik menunjuk cakrawala, “Demi kasih Tuhan!”

Semua orang latah mendongak, termasuk Ganzo. Terperangah pada kumpulan mata yang bergerak liar seakan memindai bumi. Satu detak jantung berlalu, gelap melanda dunia. Beberapa orang roboh dengan mulut berbusa. Sinar lemah dari obor yang masih menyala memperlihatkan muka-muka pucat.

“Berlindung! Jangan lihat ke atas!” Ganzo berseru. “Dengarkan aku baik-baik, pergilah ke kuil Varsaria! Daraskan ayat-ayat penolak bala! Yang belum hafal, bacalah nama-nama suci Tuhan tanpa berhenti! Yang belum percaya pada ajaran yang kubawa, silakan berdoa menurut agama kalian masing-masing dan jangan memisahkan diri!”

“Tapi itu—“

“Tidak ada pilihan! Aku akan berusaha agar kalian semua memperoleh pengampunan termasuk yang bukan pengikut! Nabi Shamonten—jangan suruh jelaskan aku kenapa—ada di sana! Beliau akan membantu kalian!” Ganzo pun memerintahkan si Botak menuntun warga.

Massa pun berhamburan menuruti instruksi sang Nabi. Ganzo pasti mengikuti penduduk, kalau saja dia tidak dikejutkan oleh penampilan sosok yang terasa familier.

Di antara kerumunan, seorang wanita berpenutup kepala melambai padanya. Berlawanan dengan arus kepanikan yang berlomba-lomba meninggalkan desa, dia justru melenggang menembus gapura.

“Tunggu!” panggil Ganzo.

Seseorang menarik-narik pakaiannya. Anak perempuan. “Mengapa Tuan Nabi tidak ikut?”

Ganzo tersenyum simpul, seraya mengelus kepala bocah itu. “Aku punya kepentingan, Dik,” sahutnya. “Tenang saja, aku janji akan menyusul kalian.”

Gadis cilik itu menyerahkan sekuntum mawar. Indah dan mekar. Begitu Ganzo menyambut, kelopak bunganya mengering dalam selintas. Berwujud akhir menyerupai tengkorak rapuh. Dan si pemberi tidak ada di tempatnya.


- 4 -
Perlu waktu yang tidak sedikit bagi Sheraga untuk mencerna keadaan. Merah dan hitam mengambilalih langit. Kabut jingga merangkak di antara senja. Lalu aroma amis memenuhi penciuman. Chavah terbirit-birit meninggalkan majikannya.

Sheraga belum beranjak dari pijakan tatkala sekumpulan orang terhuyung melintasinya. Mereka menjerit-jerit bagai hilang akal, terus bergegas ke arah lautan tanpa kendali. Begitu Sheraga memutuskan acuh pada kawanan itu, tiada guna, mereka telah terbang ke akhirat. Jasad mereka disambut timbunan di bawah jurang.

Panik, Sheraga mendekati seorang perempuan. “Nona, apa-apaan—“

Yang ditanyai balas menatap hampa. Sheraga mencekal kerah pakaiannya. “Bicaralah!”`

Perempuan itu tiba-tiba saja dia menggigit buas lengan si pemuda. Terkaman dadakan tersebut menjatuhkan kedua-duanya.

“Bajingan!” Sheraga menendang, namun sia-sia. Wanita yang menindihnya begitu tangguh.

Disadarinya kemudian daging di bawah pergelangan tangan kirinya rompal. Sejurus berikut, perempuan di depannya mengangsurkan kepala. Bermaksud mengoyak leher.

Imaji seorang lelaki tua bermata satu menyusup ingatan Sheraga; Baron Hanscale sang Penyihir. Pastilah gempuran ini salah satu ulah sosok sejenis. Kedua telapak tangan Sheraga berpendar. Api perlahan berkobar, dan menjalar ke pakaian penyerangnya.

Wanita itu tersentak mundur, melaung sambil bergeliat di atas lumpur. Dalam detik-detik terakhir, dia meracau beberapa patah kata pertanda kewarasan. Sheraga terperanjat. Terlambat baginya untuk menghentikan sihir. Panas terlanjur menghanguskan seseorang.

“Maaf.”

Masih syok, Sheraga menatap berkeliling. Orang-orang berjalan ke arahnya. Dengan mulut yang membuka siap memangsa. Firasat pemuda itu memperingatkan ada sesuatu yang salah.

Secepat kilat dia beranjak membelah himpunan. Sesekali menebas atau menumbukkan sarung pedangnya untuk menghalau hambatan. Tatkala jarak dengan para pengincarnya kian membuka, dia sadari mereka tidak benar-benar menargetkannya.

 Tak lama, Sheraga tiba di permukiman. Lengannya yang koyak mengucurkan jejak merah pekat. Dia merobek ujung jubahnya lantas berhenti untuk membebat luka.

Saat itulah terjadi guncangan. Pekik dan tangis menyusul tak lama berselang. Dan beberapa tempo berikutnya, kilatan-kilatan merah menyambar dari balik awan. Mengenai atap-atap rumah. Dia bergegas dan menemukan seseorang di sisi lain bangunan.

“Ini semua ... berhubungan dengan ujianmu?” tanya Orim, sahabatnya, dengan terengah-engah.

Sheraga mendesis, “Jelas.”

“Mana lawanmu?”

“Aku tidak—“ Sheraga terenyak di atas kaki.

Dentang lonceng tanda bahaya dari menara terdekat membelah ingar-bingar. Sheraga berpaling menghadap utara.

Dari kejauhan, kelebatan merah mengerumit tanah beserta dinding-dinding. Bersamaan dengan laju keganjilan, massa bertebaran ke arah sejalan. Sedangkan yang diperangkap wilayah pekat itu sontak terpuruk. Menggerung-gerung dan membuas. Celakanya, beberapa orang dalam seragam penjaga kota larut dalam horor serentak.

“Apa-apaan ini?”

Baru sekali langkah, Orim menahannya. “Hentikan itu. Mereka ... tidak nyata,” cegah Orim dengan tenang, bagai tidak terjadi apa-apa. “Kamu ... ingat apa yang terjadi pada Betshev dan teman-teman palsumu—“

“Kau salah,” Sheraga menyangkal, gusar. “Kita tidak bisa mengabaikan orang-orang ini. Arahkan mereka ke majelis penelitian. Dan temukan yang masih waras untuk membantu kita!”

Orim tak lekas menggubris.

“Kau dengar?”

“Itu ... mustahil.”

“Bukannya kaubisa memanggil—“ Sheraga langsung memahami kekeliruan ucapannya. “Keparat. Biar kulakukan sendiri.”

Orim mencegat. Raut wajahnya tidak biasa. “Sudah berapa kali ... kita mengulangi perdebatan seperti ini?” Dia mengembuskan napas. “Baiklah, sekarang temukan lawanmu. Kuurus apa pun yang kamu ... kehendaki sebisaku.”

Sheraga menatapnya. “Gal dan Shena—“

“Kubilang temukan musuhmu,” Orim menekankan. Tak berusaha menutupi keberangannya. Dia menunjuk sebuah sudut. “Dombamu ... mengarah ke pusat kota,” terangnya datar.

Sheraga mengangguk. “Semoga beruntung.”

“Demikian denganmu, Teman.”

Pemuda itu bergegas mengikuti arahan sahabatnya. Cukup yakin wabah ketakutan apa pun yang tengah melanda Bingkai Mimpi ini takkan berpengaruh kepadanya. Tanpa banyak pertimbangan, dia menerobos wilayah dalam bekap hawa anyir.

Semakin jauh, kepercayaan dirinya kian menyusut. Jalanan dipenuhi penduduk yang pelan tapi pasti kehilangan kewarasan. Mereka meringkuk, menangis histeris ataupun tertawa sekeras-kerasnya menyerupai orang gila. Yang masih mampu berdiri saling berkelahi. Sebagian lain mulai menyakiti diri dengan membentur-benturkan kepala.

Sheraga bermaksud menolong. Andai pelakunya satu-dua orang semata.

Seseorang menarik perhatian Sheraga melebihi semuanya. Anak kecil itu menjerit-jerit. Begitu didekati, dia mendongak. Tangannya menuding ke atas, penuh kengerian, sebelum ambruk tak sadarkan diri dengan rahang menganga.

Ternyata bukan dia seorang. Segenap manusia yang masih membuka mata mengerjakan hal serupa.

Terkejut bukan main Sheraga mendapati kumpulan mata raksasa hinggap di langit sana. Bersamaan, Ibukota Batya menggelap bagai ditelan bayangan. Sheraga mengaktifkan sihir api. Menerangi sekeliling sejauh tiga tombak.

Tanah dan dinding-dinding tidak saja diliput warna tiada arti. Permukaan bergolak. Merah di bawah membuahkan lapisan serupa daging. Sementara manusia-manusia yang kasatmata tengah memuntahkan darah. Ada yang merangkak-rangkak menuju Sheraga, memohon untuk dibunuh.

“S-sial.” Sheraga terhuyung menyaksikan pemandangan yang ada. Energinya seolah terisap hanya dengan menilik. Dia pun tumbang ke depan.

Terdengar embikan berdengung. Sheraga berpaling. Dari ekor matanya, tampak kelebatan merah menyeruak dari balik gang. Kumpulan biri-biri. Chavah tak termasuk di antara mereka.


- 5 -
Tanpa bekal penerangan, dilintasinya desa yang senyap total. Hendak menemukan figur yang mengganggu benaknya. Dia terkenang rintangan yang disebut Tuhan sebagai ujian keimanan, atau yang oleh Zainurma dan Huban sebut sebagai babak pertama Turnamen Antarjagat.

Dia dibebankan misi untuk menyelesaikan konflik di sebuah Bingkai Mimpi. Antara bangsa iblis dan manusia.

Tidak selamanya kebijaksanaan menang.

Ganzo gagal. Idealisme yang dijunjungnya justru mempecundanginya habis-habisan. Bangsa iblis unggul dengan taktik kotor. Sedangkan pimpinan kaum manusia, Siti, berakhir sebagai iblis. Memori mengenai transformasi wanita itu masih bercokol dalam otak Ganzo. Menggentayanginya sepanjang kontemplasi.

Wanita yang Ganzo kejar sekarang adalah Siti.

Siti berbelok menuju balai desa.

“Hei!”

Dipandu penerangan janggal yang datang entah dari mana, Ganzo melewati deret perumahan berornamen tulang-belulang. Mengabaikan sepenuhnya lingkungan yang sudah sewarna daging dan karat.

Ganzo hanya sanggup mengimbangi jarak lima meter di belakang Siti. Wanita berkerudung putih itu menoleh padanya, tersenyum sendu, sebelum berbelok ke arah lain. Mematahkan ekspektasi Ganzo dengan menerobos peribadatan non-Varsakhtan.

“Kamu tidak pantas jadi Nabi! Atau tuhanmu adalah tuhan yang penuh dendam!”

Kata-kata Siti meresap ke dalam benak Ganzo, padahal dia sudah mati-matian untuk menampiknya. Kalau kau terprovokasi, maka itu kenyataan—itulah yang tersurat dalam Varsakhtisav. Terang saja, sang Nabi terpancing memburu lebih gencar. Dia memasuki kuil yang pintunya diapit sepasang patung perunggu.

Ganzo termangu. Sihir yang berembus di luar kuil tidak menyentuh rumah ritual ini.

Di dalam, balairung kosong menghampar luas. Terdapat altar di bagian ujung dan kursi-kursi panjang. Pendar malam merembes melalui kaca berpatri. Berdiri memepet dinding adalah arca-arca pujaan non-Varsakhtan. Patung utama menyimbolkan dewi perang yang Ganzo lihat penampakannya sebelum kembali ke Bingkai Mimpi.

Terdengar gaung cekikikan. Begitu melayangkan pandang ke tengah aula luas itu, Ganzo jatuh berlutut di atas undakan. Jantungnya terasa akan meletus.

“Tuhan, beginikah cara-Mu menghukumku?”

Siti berpijak di sana. Perlahan-lahan mendekati Ganzo dari posisinya. Kulitnya yang dipancari sinar rembulan meleleh, dan diitumbuhi sisik-sisik berlendir. Matanya menguning dan bengkak. Kepalanya memipih. Tubuhnya membesar sehingga pakaiannya habis tercabik-cabik. Kemudian, api hitam menyelimuti raganya.

Bagaikan diteluh, Ganzo tidak mampu memejam atas perubahan wujud tersebut. Ampuni aku, kumohon ....

Api sekonyong padam. Dan hasil akhir peralihan bukanlah serdadu siluman ikan. Siti menjelma seorang pemuda rupawan berambut hitam panjang. Bersamaan, panorama kuil meluruh. Berganti visi yang Ganzo kenali sebagaimana urat nadinya sendiri.

Danau kenangan Ganzo meledak, luber dan menenggelamkannya.

Dia bagaikan terseret ke arus masa satu dekade lampau. Kuil bersilih ruang tamu rumahnya, jauh dari permai negeri Shim.

Pemuda tadi membelakangi Ganzo. Berhadapan dengan lelaki paruh baya yang pernah begitu dekat dengannya, Sanzo Rashura. Refleks, Ganzo memekik, “Ayah!”

Ini merupakan memori yang berusaha dikuburnya dalam-dalam. Airmatanya bercucuran seketika. Mengira mampu mengubah ketentuan alam, dia merangkak maju dan menggapai, tetapi jemarinya menembus sosok-sosok di depannya begitu saja. Jangankan demikian, suaranya malah tidak berarti apa-apa.

Si pemuda berambut hitam membentak orang tua di hadapannya, “Ini satu-satunya jalanku dan engkau harus merestuiku! Dan jika aku tidak memperolehnya darimu, maka tidak masalah. Tekadku takkan karam.”

“Tapi bagaimana denganku, Nak? Kamu adalah satu-satunya hartaku. Kamulah harapan hidupku, Ganzo. Sudah cukup dengan istriku, aku tidak ingin kamu meninggalkanku juga.”

Ganzo dari masa lalu tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap nyalang pada ayahnya.

“Pikirkan lagi, Anakku.”

“Ayah, niatku ini mulia. Aku bermaksud menyelamatkanmu. Tidak, bukan hanya engkau. Aku hendak menyelamatkan semua orang. Aku mendapat mimpi dari Tuhan Varsakhtan untuk menyebarkan wahyu. Aku akan menjadi nabi!”

Sanzo menangis. “Akan selalu ada nabi berikutnya, Ganzo. Itu tugas yang berat, dan kau tak harus memikulnya. Perlu diketahui, kamu bukan satu-satunya yang mendapatkan petunjuk itu.”

“Jadi engkau meragukanku, Ayah?” Ganzo naik pitam. Dia juga menitikkan air mata. “Kau ... kau tidak menyetujui kebaikan hati yang hendak kulakukan?”

“Kenapa kamu tidak memulai kebaikan itu dengan mengasihi orangtuamu? Tuhan mengajarkan untuk pertama-tama mengutamakan orang yang membesarkanmu,” ayahnya mulai berani tegas. “Aku juga mengerti keinginan terdalammu. Niatmu bukanlah berkorban demi Tuhan.”

Ganzo yang sekarang terkejut. Dia teringat semuanya. Tak ayal, masa lalunya menjelaskan, “Memang benar, awalnya. Tapi aku yakin seiring berjalannya masa, semua berubah. Aku akan ikhlas.”

Tidak ada yang berbicara. Satu-satunya suara berasal dari kertak perapian di belakang Sanzo.

“Ayah, kauingat pada musuh-musuhku? Ankou menjadi seorang saudagar kaya, atau Hozo calon pendeta tinggi Varsakhtan, atau Amritan yang menjadi seorang kesatria! Mereka itu selalu mengolok-olok diriku! Tapi aku, Ayah, aku selalu gagal dalam hal apa pun! Aku selama ini hanya berlindung di balik bayanganmu! Namun dengan aku menjadi junjungan semesta, aku akan buktikan segala hal kepada mereka. Semuanya!

Kata-katanya yang penuh keyakinan bergema. Menggetarkan baik orang tua, maupun dirinya dari masa depan.

“Dan karena itulah kamu ingin menjadi Nabi.” Sanzo tersenyum getir. “Nak, dasar hatimu itu ... tidak murni. Dan barangsiapa yang tak dilandasi ketulusan jiwa, mereka berakhir merugi.”

“Tuhan Maha Pemaaf. Aku akan menyucikan diriku sebelum memulai iktikadku. Aku akan banyak beramal,” balas Ganzo. “Dan suatu saat, dosa-dosaku akan terhapus. Mungkin hatiku benar-benar suci ketika pada akhirnya aku berangkat ke negeri Shim nanti.”

Sanzo memekik pilu. “Jangan, Nak! Kamu bakal menjadi patung!”

Ganzo melotot. “JANGAN BERGURAU, PAK TUA!!”

Sanzo terperangah. Dia perangi sejenak gejolak di pusat peredaran darahnya. Mati-matian dia sampaikan realita, “Itu kenyataan, Ganzo. Salah satunya adalah kakekmu—ayahku. Dia tidak kembali karena ambisi yang sama.”

“Itu tidak akan terjadi padaku.” Ganzo segera berlalu menuju lantai atas.

Di sisi lain, Sanzo terpuruk. Dia meratap seraya memanjatkan nama Tuhan Varsakhtan, dipungkas doa penyerahan jiwa. Makin lama, rintihannya mengecil. Napasnya terputus-putus. Tangannya terkulai lemah.

Ganzo yang kembali turun membawa buntalan kain terkejut, lekas menghampiri ayahnya. “Ayah! Ayah! Sadarlah, Ayah!”

Nahas, Sanzo makin tak tertolong. Dengan sisa umurnya, dia melaknat penuh kebencian, “istriku m-mati ... karenamu. Hatinya terlalu letih ... menghadapimu.” Bersama kalimat itu, Sanzo mengembuskan napas terakhir. Dia meregang nyawa dalam rengkuhan putranya yang durhaka.

Sang Nabi, dari masa berbeda, tertohok. Dia tersungkur di undakan, dan tak berusaha untuk bangun lagi. Tanpa henti, dia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya. Memohon maaf yang sedalam-dalamnya. Dia terus menangis. Tak sadar pemandangan berganti lagi.

Interior kuil dipenuhi gumpalan daging, ceceran darah, dan kobaran menyala. Patung Mirabelle di seberangnya terbakar menyisakan rongkongan kelam. Dari baliknya, domba-domba hitam berseliweran keluar.


- 6 -
Memaksakan kakinya, Sheraga mengambil langkah seribu. Domba-domba yang mengejarnya bukanlah hewan normal. Mereka tidak bisa dilumpuhkan, baik oleh senjata maupun sihir api. Dan mereka menyedot kehidupan dari tangan kirinya, membuatnya terkulai tiada guna.

Tanpa Yaal Yifrach, Sheraga kembali menyusuri ibukota Batya. Berbekal api dari telapak tangan kanan yang direntangkannya ke depan. Warna merah dan pemandangan orang-orang sekarat mencengkam. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan mereka. Kumpulan embik meneror langkah-langkahnya.

Untuk sesaat, dia unggul kecepatan. Dan itu lebih dari cukup.

Domba-domba hitam berhasil dikecohnya pada suatu persimpangan. Sheraga berbalik dan tidak mendapati apa pun di belakangnya. Merasa aman, dia melanjutkan jalan ke rumah singgahnya. Berharap sembunyi sementara di ruang bawah tanah, dan mendadak dia merindukan Gal Raivah.

Dia membuka pintu, langsung mengunci semua celah masuk. Mengejutkan, bagian dalam tempat tinggalnya tidak terpengaruh kutukan dari luar. Tetap sama sebagaimana Sheraga terakhir kali meninggalkannya.

Belum lama duduk menenangkan diri, sebuah senandung berkumandang merdu. Sheraga mengenal benar pemiliknya. Dan itu membuatnya bangkit, dengan kerinduan dalam, dan penasaran yang teramat.

Diikutinya sumber suara nyaris tanpa menimbang. Asalnya dari ruang penghubung tangga. Tidak ada siapa-siapa di sana. Akhirnya, Sheraga ke ruang bawah tanah.

“Aliyah?” Sheraga memanggil nama kekasihnya. Dan hanya perlu waktu sebentar bagi sang Alkemis untuk menyadari kebodohannya. Wanita itu telah tiada.

Ruangan itu kosong. Hanya terdapat sebuah kursi kayu, obor di langit-langit, dan sebuah lukisan raksasa yang Sheraga ingat tidak pernah ada sebelumnya.

Mata kelabunya melebar. Instingnya meneriakkan lari.

Itu merupakan potret yang menggambarkan pesta pernikahannya dengan Aliyah. Para musuhnya termasuk Betshev Eliezer mengerumuni perayaan itu, saling berdansa dan bersukacita. Sheraga menggigil, dia beringsut ke belakang dengan ngeri. Tidak mungkin.

Dia berbalik, terpontang-panting. Tetapi pintu lesap bagaikan tak pernah eksis.

Sementara itu, lukisan melumer. Menampakkan potret seorang wanita Helev bermata biru, dibingkai rambut cokelat ikal, yang menatap langsung pada Sheraga.

Aliyah Shefar.

Mulutnya bergerak. Sudut bibirnya menggapai telinga. Sedetik kemudian, lukisan itu bergolak. Wanita di dalamnya menjulurkan kedua lengan, dan keluar dari pigura kerangka menjadi manifestasi kenyataan.

Sheraga menguarkan api dari tangannya. Lurus menuju ilusi sang kekasih. Hanya untuk mendapati wanita itu tercerai menjadi air dan mewujud utuh kembali di sampingnya. Pemuda itu tak berkutik.

Aliyah berbisik, “Kamu ... terlalu banyak menipu diri.”

Lingkungan mencair secara harfiah. Temaram kamar kandas. Berganti sebuah rumah di daratan Yisreya yang lain, bukan di Bingkai Mimpi.

Sheraga mengawasi sosok mirip dirinya, dengan suara dan penampilan sama persis, geram di hadapan sepasang kekasih. Pedangnya terhunus. Sang Alkemis tersentak. Wanita di depan imitasinya adalah Aliyah, bersama seorang pria Dayan.

Memori ini palsu.

“Harush, pergilah!” Aliyah menjerit. Tangannya menahan sang kekasih agar tak menyongsong masalah. Namun Dayan bernama Harush itu tidak menggubris. Dia justru mencabut senjata dan menantang Sheraga, yang diasumsikan berasal dari masa silam, berkelahi.

“Kamu hanya beruntung diasuh perdana menteri!” cemooh Harush. Nekat, dia menghambur ke arah Sheraga sambil mengayunkan pedang lengkung.

“Jangan gila, Harush!”

Tidak diindahkan lagi. Kedua pria itu pun saling berkelahi. Terdengar dentingan keras yang menulikan pendengaran. Api dan air beradu. Perabotan bertebaran berkat perpindahan-perpindahan kilat, tetapi tiada satu pun orang yang datang untuk mengenyahkan keingintahuan. Sebab mereka bukan berada di Batya. Melainkan kota sunyi  jauh dari ibukota. Aliyah berlindung ke salah satu kamar.

Sementara itu, Sheraga masa kini terpaku. Kekacauan sertamerta menembus keberadaannya. Seolah dia hantu di tengah pertarungan.

Perkelahian itu diakhiri dengan Harush mengendalikan darah musuhnya. Sheraga tidak bergerak, dan momen itu dimanfaatkan sang Dayan untuk menikam jantungnya. Sheraga tersungkur di atas genangan darahnya sendiri. Namun dia tidak mati. Sheraga yang asli mengetahui, imitasinya merencanakan sesuatu dengan alkimia. Untuk sesaat, dia berpura-pura sekarat.

Aliyah kembali pada Harush. “Bagaimana ini?” tanyanya panik. “Natan Asher bisa membawaku ke tiang gantungan! Kamu ... kamu harus mengurus segalanya, atau aku akan menyalahkanmu!”

Harush membelai rambutnya. “Tenang, Sayang. Itu sudah kuatur. Sebenarnya aku sudah merencanakan ini sejak lama. Helev sialan ini terlalu banyak berbuat onar. Dia layak dihukum, bukan begitu?”

Kekhawatiran kekasihnya pudar. Aliyah tertawa. “Kamu benar, Harush,” desisnya. “Dia pantas diganjar. Tapi, bagaimana rencanamu menyembunyikannya?”

“Tidak perlu.” Harush terbahak. “Akan kuhancurkan dia sampai ke sumsum tulang—“

Begitu berbalik, Sheraga menyambut dengan sabetan pedang sekuat tenaga. Jenis logam penyusun senjata itu memastikan kematian Harush. Darah tersembur deras, menodai wajah dan kemeja. Sebentuk kepala yang terbeliak terlontar di udara. Lalu menggelinding ke bawah kaki Aliyah.

Aliyah maupun sang Alkemis gemetar. Wanita itu terjengkang. Tangannya mengatupkan mulut.

Imaji Sheraga berlutut. Tersenyum tanpa beban kepadanya. “Coba katakan, Aliyah, apakah kau sebenarnya mencintaiku?”

Jelas Aliyah terlalu takut untuk berkata-kata. Sheraga mendesaknya. “Bukankah kau adalah calon istriku? Bukankah kau yang datang ke dalam hidupku, dengan pesona kecerdasanmu? Dan kau pun mengatakan telah menerimaku?”

Aliyah mundur. Masih ternganga. Sheraga menyarungkan pedang. Tangannya yang berlumur merah, menjamah dagu wanita itu. “Aliyah, aku memaafkanmu. Katakan kepadaku dengan jujur, apakah kau mencintaiku?”

Dihantui bayang-bayang akhirat, Aliyah mengangguk canggung. “Aku mencintaimu, Sheraga.”

Sheraga tergelak. “Aku tidak dengar. Mohon katakan sekali lagi.”

“A-aku ... aku mencintaimu, Sheraga.”

Sheraga meraih tangan Aliyah, membelainya. “Terima kasih. Aku juga mencintaimu. Tersenyumlah.”

Aliyah memaksa menarik kedua sudut bibirnya ke atas, tapi kemudian dia menepis dan mundur. Isakan tangisnya memecah malam. “Aku tidak sudi mencintai iblis sepertimu!” tudingnya.

Dia menggerung-gerung. “Aku tahu betul apa yang telah kamu lakukan, dasar jahanam!” salaknya sambil menyeka mata. “Laki-laki munafik! Iblis! Kamu mendustai semua orang! Sama saja dengan ayahmu yang bermuka dua! Aku membencimu lebih dari apa pun!”

“Kenapa?” pancing Sheraga. “Bukankah aku orang yang pernah kaucintai dan kaubela mati-matian? Aku ingat betapa kau bangga atas lamaranku. ‘Lihat aku, teman-teman, putra perdana menteri ingin mempersuntingku!’ Bagaimana mungkin kau lupa? Siapakah Harush itu sampai-sampai kau ... setolol ini?”

“Aku tidak pernah menginginkan pernikahan denganmu!” hardik Aliyah. “Aku melakukannya demi keluargaku. Tapi ayahmu yang bejat itu bahkan melenyapkan mereka juga. Demi Ushna dan Mahra, terkutuklah kalian semua!” Setelah melontarkannya, dia bangkit, meraih belati di dekatnya, berniat menghunjamkannya pada Sheraga.

Si pemuda menangkap pergelangan tangan wanita itu, dan merebut senjatanya dengan mudah. “Perempuan tidak boleh menyandang senjata. Itu tabu,” lontarnya. “Kalian makhluk cengeng. Lemah. Pecundang.”

Kontan, dia melesakkan belati itu ke dada mantan kekasihnya. Sekali, napas Aliyah terpenggal-penggal. Dua kali, belati mematahkan rusuknya. Telak menikam jantung. Wanita itu terperangah tidak berdaya. Mulutnya memuntahkan darah. Selagi dia meregang nyawa, Sheraga melumat bibirnya.

Panorama beralih lagi. Sang Alkemis berada di atas perahu, bersama si pembunuh. Tepat di sisinya, terdapat sebongkah peti. Dengan ringannya pemuda itu mengeluarkan karung dari dalam kotak. Layaknya membuang sampah, dia campakkan kantong besar tersebut ke dalam samudra.

“Bercintalah di bawah sana, keparat!”


- 7 -
Pintu kuil menjeblak terbuka bersamaan dengan lengkingan seekor biri-biri. Si Botak menghambur ke dalam aula. Nahas, hewan kecil itu terlambat. Tuannya kini dikepung buntalan-buntalan hitam bersama berpasang-pasang mata merah dari berbagai sudut.

Sang Nabi tidak berinisiatif menghindar. Membiarkan dirinya dikerumuni lautan pemamah biak.

[Tuan, pergilah dari sana!] Si Botak berkomunikasi melalui telepati. [Apa yang Tuan lihat sama sekali tidak nyata. Itu tipuan!]

Ganzo tidak beranjak dari posisinya. Si Botak salah. Apa yang dicerap sang Nabi betul-betul memori atas dosa terburuk yang pernah coba dipendamnya. Ayah Ganzo berpulang, dan itu murni kekhilafannya. Dia telah mengakui dan tidak keberatan mempertanggungjawabkan.

Rasa kantuk mulai mendobrak kesadarannya. Domba-domba di sekelilingnya menyerap energi kehidupan, Ganzo paham itu. Akhirnya, dia menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Tuhan.

[Tuan Ganzo, kau itu nabi Varsakhtan! Pikirkan umatmu! Jangan kalah dari kesedihanmu!]

Empat dari selusin biri-biri hitam balik mengincar si Botak. Domba emas itu pun memelesat. Sejurus, langit-langit kuil seolah dipenuhi tebaran proyektil. Selagi melayang-layang di udara, si Botak melanjutkan, [Keselamatan dunia ini ada di tanganmu!]

“Shamonten akan menggantikan tugasku,” jawab Ganzo. “Pendosa sepertiku tidak pantas menjadi penyebar wahyu.”

Si Botak menyambar Ganzo, dan dihentikan oleh kepungan sesama. Dia menukik ke arah lain, dengan dua domba mengejar di belakang. Nyaris menyentuh sang Tuan, dia terpaksa urung. Diambilnya jarak agak jauh dari kawanan biri-biri hitam. Si Botak seakan-akan begitu menjauhi kontak dengan sebangsanya yang kontras.

Dari kejauhan, dia berujar, [Kenapa Tuan menyerahkan tanggung jawab? Tuan itu pemimpinya, Tuan yang mengemban takdir jagat ini, termasuk mimpi-mimpi miliaran manusia. Dasar nabi tidak tahu malu! Bukankah Tuan, yang tadi berkata pada umat untuk tidak takluk pada perasaan? Masa diingatkan oleh seekor domba begini?]

Ganzo terpana. Nasihatnya dikembalikan.

[Menghukum diri bukanlah jalan keluar, Tuan. Itu tidak mengubah apa-apa. Yang berlalu, sudah terlanjur berlangsung,] lanjut si Botak. [Belajarlah untuk memaafkan. Tuan yang dulu dengan yang sekarang itu pribadi yang berbeda. Yang terpenting, usaha Tuan untuk memperbaikinya.]

Kata-kata peliharaannya barusan menyulut sesuatu dalam diri Ganzo. Sepercik harapan. Terang dan menghangatkan kalbu. Yang juga menyalakan sumbu semangatnya untuk bangkit.

Dibekali keyakinan, dia melompat dari celah kepungan dan berpijak di undakan teratas. Dua domba menerjang ke arah Ganzo. Yang dengan sigap, dielak sang Nabi.  Memanfaatkan kesempatan, dia mengayunkan tongkat untuk menyerang balik. Ganjilnya, sepasang domba hitam yang diumpan serangan itu terurai sebagai kabut pekat.

[Pergilah, Tuan! Kau tidak akan bisa membinasakan mereka!]

Selagi dua domba hitam meregenerasi fisik, si Botak terbang ke arah Ganzo secepat kilat. [Tuan, naiklah ke punggungku!] Merasa Ganzo sangsi padanya, dia menambahkan, [Tidak ada waktu untuk meragu!]

Ganzo pun melompat ke punggung peliharaannya. Sejurus kemudian, domba itu memelesat keluar melalui pintu ganda. Membelah langit kelam bertabur darah.

“Kita ke mana, Botak?”

[Bingkai Mimpi di ujung sana. Wilayah itu cukup luas untuk mengecoh.]

Ganzo berpaling ke belakang. Berpasang-pasang pendaran merah menjadi penanda yang mempermainkan detak jantung. Beruntung, laju kecepatan makhluk-makhluk itu dibanding domba emas sang Nabi sama sekali timpang.

Dalam beberapa tarikan napas, mereka tiba di Bingkai Mimpi yang dimaksud. Ganzo mengikhtisar berdasar aroma.

Bersama ketiadaan cahaya, si Botak sajalah yang mampu dengan baik memetakan lokasi. Dia berkelok-kelok dengan tajam, menukik, dan melambung lagi. Tak perlu waktu lama, tiada lagi tanda-tanda pemangsa.

Ganzo benar-benar teruk. Penerangan paling menjanjikan yang diperolehnya tidak lain adalah nyala api, yang sekali-kali merembet di sudut bangunan. Dari cahaya kecil tersebut, pria itu memperkirakan bingkai mimpi ini berisi sebuah kota besar, setara ibukota negeri Shim. Dengan gedung-gedung serbatinggi menantang dirgantara, dan keadaannya yang tidak begitu jauh ketimbang Bingkai Mimpi-nya.

[Tuan, apa kau masih melihat pengejar kita?]

Ganzo menggeleng. “Kelihatannya tidak,” sahutnya. “Botak, ada apa dengan domba-domba hitam itu sebenarnya?”

[Aku tidak tahu bagaimana mereka muncul. Ini di luar aturan turnamen. Yang jelas, penggembala mereka adalah biang keladi rentetan malapetaka ini. Mereka makhluk mimpi buruk—]

Penerbangan mereka terganggu. Sesuatu menghantam si Botak dengan telak, disertai gedebuk berat.

Sempat dikerling Ganzo kelebatan tak diundang itu. Seekor domba putih, yang tak lain milik lawannya. Tapi mengetahui fakta tersebut tidak menghentikan kejatuhannya. Dia terjun dari ketinggian sepuluh tombak, tanpa persiapan apa pun.

Mujurnya, dia tidak terluka. Seorang manusia secara kebetulan berada tepat di bawahnya. Derak tulang-tulangnya mendirikan bulu roma.

“Maafkan aku, Tu—“ Tindakan yang tidak perlu, sebab tampaknya sang korban telah dipanggil Tuhan sebelum momentum ini.

[Tuan, hadapi lawanmu untuk menghentikan mimpi buruk ini!]

Ganzo mengedarkan pandangan. Tiada siapa-siapa, tidak jua si Botak, kecuali lapisan daging dan orang-orang yang bergelimpangan.

Ternyata masih ada yang menyambung detak.
               
Seorang pria tinggi berjubah hitam berdiri tegar. Dia membawa tongkat pemukul penuh darah kering. Bara di dekatnya menegaskan sebentuk wajah pucat, dibingkai surai hitam, dengan sepasang mata biru cemerlang.

“Jadi, kau lawanku?” Sempat-sempatnya Ganzo mempersembahkan penghormatan. Dia membungkuk respek, dengan tangan di depan dada. Kode etik yang digalakkan dalam ajaran agamanya. “Aku Ganzo Rashura.”

“Aku Orim. Orim Kohan,” balas musuhnya tanpa jeda. Tiada rona keramahan atau penghargaan.

Belum apa-apa, Ganzo sudah mendapatkan alasan untuk bertarung. Lawannya tidak patut dihormati. Tak disertai kaidah maupun aba-aba, dia langsung menerjang maju dan menyabetkan alat pertahanan.

Untuk sesaat, Ganzo menyingkirkan emosinya—segala kesedihan, penyesalan, dan kemarahannya baru-baru ini. Mantra-mantra kudus didaraskan.

Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,

Saat itulah aku aku akan turun,
               
Untuk menyelamatkan mereka yang saleh,

Dan membinasakan mereka yang jahat,

Dan menegakkan kembali kebajikan.

Aku adalah ... perwujudan karma!

Sekujur kulitnya menyala bagaikan rahmat alam semesta bersatu padu dalam raga fana miliknya. Kemampuan utamanya sebagai nabi baru saja diaktifkan.

“... Varsakhta Sage Mode ....”


2
Ha-Ra
- 8 -
Riwayat hidup Sheraga Asher tak dapat lepas dari peran satu-satunya teman sekaligus orang yang kini dianggapnya sebagai “kakak”—Orim Kohan.

Berbeda dari pengetahuan seluruh kenalannya, sejarah lelaki itu—menyertakan keluarganya pula—tidak bermula dari negeri kaum panjang umur bertelinga lancip. Lebih dari itu, jauh dari mata peradaban makhluk berakal utama: Dayan maupun manusia.

Untuk suatu tujuan yang begitu mulia, atas nama masa depan umat manusia yang telah dijanjikan sejak zaman mula, mereka memutuskan untuk keluar dari persembunyian.

Sebagaimana perkumpulan yang senantiasa dilingkup tanda tanya itu, Orim juga pribadi penuh misteri. Tiada satu pun, terkecuali mereka yang dikehendakinya, memahami asal-usulnya. Seolah-olah, dia membersil begitu saja dari ketiadaan dan lesap kembali ke dalam kekosongan. Tanpa keluarga, atau rumah tetap untuk berpulang.

Tujuh belas tahun lalu Orim menempuh pendidikan untuk menjadi seorang klerik. Namun tak ada yang menuntut kejelasan identitasnya, maupun kebutaannya yang sebetulnya mencurigakan. Bahkan belum ada yang mempermasalahkan ketiadaan marganya—hal yang semestinya menjadi aib di negeri yang menjunjung tinggi status sosial satu, dan tak henti merendahkan lainnya.

Itu sesuatu yang tidak terelakkan. Sebab Orim selalu memiliki kapasitas untuk mewujudkannya. Merupakan kemudahan untuk membaur dengan sekeliling. Termasuk, melampaui semua orang dalam masa hidupnya yang singkat. Sebagai manusia, bukan perkara remeh untuk bertahan di antara masyarakat berbeda bangsa. Yang dianugrahkan usia tiga kali dirinya.

Walaupun demikian, Orim tak sepenuhnya tertutup.

Satu yang merupakan kepastian dan kelemahannya suatu saat kelak, Orim ternyata tidak sebatang kara—setidaknya itulah yang ada dalam pandangan lainnya. Kerap dia tampak bersama seorang anak perempuan, adik kandungnya. Usia gadis yang nyaris sama cerdas dengan kakaknya itu, setara dengan sang Alkemis andai masih hidup.

Namanya Levannah.
Dalam kepercayaan masyarakat Helev, tampilnya dua sosok berikut menandakan bencana: jantan pemurung berkepala bola, serta betina periang bertakhtakan alas tidur. Kini, salah satu di antara pasangan janggal yang disakralkan itu tengah terbang di langit Bingkai Mimpi. Memantau tiruan Ibukota Batya berpenduduk manusia.

Dialah Oneiros, sang Penggembala Domba Hitam.

“Rumahku ... kelahiranku ... Alam Mimpi yang indah,” senandungnya lirih. “Aku, aku benci. Kalian ... kalian mencemari surgaku!”

Lamat-lamat, makhluk bertubuh kerangka itu dihanyutkan oleh duka. Terkenanglah dia pada masa-masa di mana Alam Mimpi masih berupa ranah penuh pesona, harapan, juga petualangan. Detik ini, alam tersebut makin terkikis oleh bersatunya kenyataan. Semua karena ajang pertarungan yang begitu Oneiros tampik, termasuk para pemimpi menyebalkan yang terlibat di dalamnya.

Bila terus dibiarkan, keseimbangan Alam Mimpi dengan Alam Sadar bisa terganggu. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan paling jelek, Oneiros berlinang air mata.

“Tapi, anak laki-laki ... enggak boleh cengeng,” gumamnya seraya menyeka kepala, tiba-tiba ingat ibunya. “Oneiros patuh, Oneiros enggak lemah. M-maafkan aku, Mama!”

Beroleh tenang, iris ungunya terpaku ke bawah. Pada titik terakhir dilihatnya domba-domba hitam. Lama ditungguinya peliharaan tersayang itu kembali, demi melaporkan pada sang tuan bahwa mereka telah berhasil memusnahkan kedua pengacau—yang berdasarkan visi, pemimpi-pemimpi itu jahat. Dua persona denial. Tidak pantas ditolerir.

Waktu lebih memilih memperolok si Mata Satu. Jangankan kabar kemenangan, gumpalan-gumpalan bulu yang dirawatnya bak adik sendiri itu tidak tampak lagi. Seolah mereka ditelan bumi yang kejam ini.

Bukan kepalang ketidaksabaran Oneiros. Ditambah dengan kecemasan atas domba-dombanya. Pawai mimpi buruk ini mesti disudahi, dan sang Penggembala bermaksud melakukannya seorang diri.

Panjang umur, Oneiros tidak perlu repot-repot menjelajah. Gemuruh pertikaian dari sudut kota menandakan kunci menggapai kedamaian tempat tinggalnya. Baru sekali mengayunkan tongkat penangkap mimpi, kumpulan debu cemerlang menggugus di sampingnya. Menjelma figur abstrak tanpa kejelasan umur dan jenis kelamin.

“Tidak patut, kamu mengusik rencana Kami.”

“Eeh ... kami?”

Oneiros bersiaga. Inti mata dipersiapkan untuk membasmi. Tamu tidak diundang itu bukanlah reverier, melainkan entitas keemasan dalam balut jubah nirwarna. Sang Penggembala celingak-celinguk untuk menemukan penyusup lain, acuh pada pilihan kata pengganggu barusan. Namun tiada sesosok jua.

Kecuali si jubah putih.

Menilik rupa itu lama-lama, pusat kewarasan Oneiros serasa tercabik-cabik. Aura sang entitas nirnalar berhasil mengacak-acak komprehensi, melampaui artefak sumber masalah di Museum Semesta. Lantunan kalimatnya sekalipun bagaikan teror di sanubari. Rangka kaki sang Penggembala menyerpih akibat tekanan yang dipancarkan.

“Enyahlah keberadaan kamu dari sini.”

Tertekan sabda absolut, abstraksi Oneiros buyar. Presensi sang Penggembala dibuat lucut di luar kehendaknya. Makhluk itu bahkan tiada kesanggupan mereka ulang tubuhnya.


- 9 -
Masa telah ditentukan. Ancaman mulai menunjukkan diri. Sang Pembawa Cahaya, begitulah para laki-laki dalam marganya menyebut, wajib dilindungi dari marabahaya. Keberadaan entitas itu harus sepenuhnya teredam, dan jauh dari Para Penjaga—Mereka yang Mengetahui. Yang tak lain adalah keluarga Orim. Maka dimulailah hari-hari panjang untuk penciptaan “wadah baru”.

Dengan kuasa Tuhan yang Maha Benar, melalui ilmu pengetahuan rahasia dalam keluarga Orim, manusia istimewa itu hadir ke dunia. Dia tidak lahir melalui ikatan dua insan. Bahkan raganya bukan diawali dari gumpalan darah dan daging.

Pada mulanya Orim menganggap kisah mengenai sang Pembawa Cahaya terlalu fantastis untuk dipercaya. Di telinga seorang yang belum akil balig sekalipun, cerita itu lebih menyerupai epos pengantar tidur.

Terlebih Orim, masih begitu belia, diberi mandat untuk mengantarkan bayi yang sengaja dirangkai menjadi manusia itu ke depan pintu rumah Perdana Menteri Batya. Kepada Natan Asher, satu-satunya sosok yang menyimpan pemahaman lurus mengenai alam semesta. Dayan yang memiliki kesempatan untuk menggantikan sang Raja, yang telah termakan dusta.

Sang Perdana Menteri memperlakukan makhluk berbeda bangsa itu dengan patut. Si anak, kemudian, diberi nama Sheraga Asher.

Sebelumnya, Sheraga bukanlah siapa-siapa bagi Orim. Pemuda itu tidak lebih dari benda mati, yang beruntung diberkati akal dan nurani buatan. Gumpalan lempung yang dapat terluka dan bertumbuh belaka. Figur tak penting dengan omong kosong dari kaum putus asa, atas kenyataan bahwa peradaban makin membiakkan kejahatan dan penderitaan.

Ya, ada satu masa di mana Orim menjadi anak laki-laki pembangkang. Dia begitu menampik takdir berada dalam keluarga yang diburu kerajaan. Pun menganggap kaumnya sendiri sudah kehilangan akal sehat. Yang lebih membuat gusar, Orim seorang diperintahkan untuk mengawasi kreasi ayahnya sendiri. Mengutamakan keselamatan makhluk itu ketimbang nyawanya.

Tak alang, Orim muak. Kebenciannya terhadap keluarganya makin menjadi-jadi.

Bersama adik perempuan yang mengerti penolakan-penolakan dalam diri kakaknya, Orim melarikan diri ke ibukota Batya. Bukan dalam rangka menunaikan tugasnya menjaga cakap angin dalam rumah Perdana Menteri, melainkan untuk memulai hidup baru sebagai orang lain.

Kakak-beradik itu menyamar. Orim sendiri, sebagai salah seorang pewaris dari keluarganya, mengunci mati penglihatan. Dengan terlalu percaya diri menganggap langkah berlebihan itu akan cukup untuk menghindarkannya dari pengawasan, dan terutama keluarganya.

Karena mata selalu menjadi gerbang menuju kebenaran.
Sheraga selalu ingat pertemuan itu. Satu kehangatan yang membawanya pada kebahagiaan sejati. Pada masa-masa belianya, dia selalu menyempatkan diri merenung di puncak tebing itu. Kadang mengadu nasib pada debur, lain kali dalam rangka menyerapahi kedamaian, seringnya untuk melolong-lolong membebaskan beban.

Ada satu momen di mana privasinya terusik. Di atas karang, si penyusup tengah memetik harpa. Matanya sebiru samudra di ujung sana. “Boleh aku bergabung?” tanyanya. “Di sini damai sekali.”

Sheraga mengiyakan dengan gugup. Bagaimana mungkin dia mengusir seorang gadis cantik?

Si gadis memperkenalkan diri. Dibalas serupa.

“Orang-orang membicarakan ini-itu soal kau, tapi aku selalu punya pendapat tersendiri. Tampaknya, akulah yang benar.” Anak perempuan itu terkikik samar.

“Memangnya apa pendapatmu mengenai aku?”

Malu-malu, si gadis beropini, “Kau tidak sombong, cuman pendiam—“

Sheraga tertunduk.

“—dan aku suka. Hei, kita sama. Aku pun tidak terlalu senang ... banyak membual. Dan aku merasa kita spesial.” Si gadis turun dan menghampiri Sheraga. “Walau sekali-kali, kita ... juga harus banyak mengobrol. Pada hakikatnya tidak ada manusia yang sanggup kesepian. Jadi,” dia mengulurkan tangannya, “maukah kau berteman denganku?”

Di umur yang berbeda, Sheraga menolak untuk percaya pada visinya. Dia sangat mencintai sang kekasih, demikian sebaliknya, dan bahkan pemuda itu tidak berani berpaling dari kesetiaan. Keberadaan wanita itu akan senantiasa abadi dalam relung hatinya. Pastilah, panorama yang baru saja dilihatnya merupakan agresi pertama calon musuh, atau kelaziman dari anomali massal.

Sang Alkemis takkan gentar, terus-menerus dia bersugesti. Takkan dia biarkan musuhnya mengambil keuntungan dari keraguannya. Merasa benar, dia balas menatap imaji palsu Aliyah dengan ketegasan.

“Siapa pun penciptamu, katakan kepadanya: kau gagal. Aku sangat mencintai kekasihku,” tandas Sheraga. “Dan tidak mungkin bagiku untuk menyakiti, terlebih membunuhnya.”

Tiruan Aliyah meleleh. Kulitnya melumer seperti Dalit Shaar yang terpanggang di kayu salib. “Kau dikendalikan!”

“Yang dikendalikan, adalah kau!” Sheraga merapal mantra penciptaan api dalam benaknya. “Enyahlah, setan!”

Jelmaan Aliyah tidak sempat menepis pernyataan. Panas menyembur ke arahnya, mencairkan eksistensinya. Lengkingan penuh derita menyayat keheningan.

Sheraga tidak berhenti, masih mengobarkan api sampai yakin muslihat lawan takkan menguar lagi. Tak peduli lingkungan sekeliling berpijar bak hujan halilintar. Keadaan Bingkai Mimpi sudah lebur begitu parah. Sekalian saja dibumihanguskannya rumah singgah ini.

Baru tebersit gagasan menemukan celah keluar, Sheraga mendengar embikan jahanam itu.

Domba-domba hitam mengepungnya. Yang terdepan berjarak satu tombak belaka darinya. Melempar api hanya memperlambat gerak pengepung, sedangkan jumlah mereka tak terhitung. Mengular menutupi tangga. Sheraga lebih dahulu dikuasai pesimis.

Rentetan desing angin terselip di antara derak, disusul kemunculan celah di antara bahaya. Panah bertebaran. Himpunan domba tercerai-berai dalam usaha pembaharuan tubuh. Menyisakan Nadav yang berdiri di ujung pintu.

“Ssh ... keluar kau!”

Tanpa berpikir dua kali Sheraga mengikuti. Mengira Orim berhasil mengembalikan kewarasan lelaki itu. Setiba di atas, api sudah merambat ke ruang tamu. Membungkus keseluruhan rumah.

Serangkaian letup bertalu dari luar.

Di udara, terjadi pertukaran serangan yang sengit. Orim tengah berselisih dengan seorang lelaki plontos berkulit keemasan, jelas-jelas itu pemimpi lain—Ganzo Rashura. Mata sang Okultis membuka, dan dia menyandang tongkat pemukul. Sementara lawannya mempergunakan senjata serupa yang mampu mengubah ukuran.

Gempuran demi gempuran tongkat emas mendorong mundur perlawanan Orim. Tampaklah Ganzo tidak gagal untuk menyudutkannya.

Sheraga beranjak turut. Seharusnya itu bagiannya. Itulah pertarungannya. Ada rasa bersalah membiarkan sahabatnya yang buta terus-menerus membelanya. Bukan saja menyelamatkannya dari kegilaan Betshev Eliezer versi dunia ini, maupun Baron Hanscale sang Penyihir. Jauh sebelum terdampar di alam angan, Orim selalu berperan sebagai pelindungnya. Figur kakaknya.
               
Sang Alkemis, memang tidak pantas dipilih untuk merealisasikan mahakaryanya.

“Ssh, jangan bergerak!”

Sheraga mengira itu pelampiasan dendam yang tertunda. Tetapi, tidak. Nadav justru mengulurkan tangan kepadanya. Cahaya kehijauan terpancar dari sana. Seketika itu, Sheraga merasa lengannya kembali pulih.

“Mengapa kau menyelamatkanmu?”

“Ssh, itu bukan urusanmu.”

Nadav merentangkan tangannya, menghalangi Sheraga. “Serahkan padanya. Ssh, jangan ikut campur. Kau hanya akan menyusahkannya!”

Sang Pemburu menambahkan, “Intervensimu takkan berarti apa-apa, Asher. Ssh, kau—”

—lemah.

Sheraga mengepalkan tinjunya. “Ini bukan soal kemampuanku,” protesnya. “Ini ... mengenai kewajibanku!”

Tidak sabar, dia pun memukul Nadav berbekal sarung pedangnya. Selagi lelaki itu terdistraksi, Sheraga memanfaatkan waktu untuk berlari sebisanya.

Sosok si plontos begitu mencolok dengan kulitnya yang berpendar bagai logam mulia. Tidak sulit bagi Sheraga untuk mengunci sasaran dan segera melibaskan sihirnya. Api berembus dari sapuan pedang. Menuju si kulit emas yang mampu memanjang-pendekkan alat pertahanan.

Tak disangka-sangka, kepalan tunggal menghalangi usaha Sheraga. Rasanya bukan berasal dari manusia umumnya. Hantaman itu membuatnya terpental. Buas dan beringas berliput aura hewani. Ketika mendapat gambaran mengenai penyerangnya, Sheraga terlanjur gentas menghantam sebuah patung petinggi negeri.

Nadav meraung mendapati lawan tambahan. Pria yang baru datang itu setara dengan pemimpi rekannya, kulitnya emas diiring kepala tak bersurai. Hanya saja, penampilannya begitu jauh dari sentuhan adab kesopanan.

“Hoo ... dasar kumpulan banci! Beraninya bertempur keroyokan!!” Pria itu membentak. “Bertarunglah seperti pria sejati, orang-orang ceking!!”

Gertak sambal yang tolol. Sang Pemburu menggeram tertahan, dengan senang hati membombardir raksasa itu berbekal terjangan panah tiada jeda.

Nadav malah makin murka. Pria agam lawannya tak mengelik. Alih-alih, hunjaman demi hunjaman di tubuhnya seolah menambah besar perawakannya.

“Terimalah kemarahan nabi perang!!”

Nadav menyimpan busurnya, berganti pedang lengkung. Dia layangkan tebasan melintang tanpa ragu. Si pria barbar mundur selangkah sebagai reaksi. Dadanya koyak dalam, mengucurkan darah segar, tapi gerakannya melambat sedikit saja. Dia sahut sang Pemburu dengan ayunan kapak bertubi-tubi.

Monster. Lebih buruk dari bangsa Helev tak beradab dari Tharnai. Rasanya sudah begitu lama sejak Nadav bertemu dengan manusia yang mampu mengimbanginya tanpa daya supernatural. Kini, dia mendapatkan jatah konsentrasinya sendiri.

Energi kegelapan meluap-luap dari satu titik. Orim menjalankan ritualnya.


- 10 -
Bukan Sheraga, maupun apa yang ada dalam diri sang Alkemis.

Secara jujur, satu-satunya sosok yang Orim pedulikan secara tulus sepanjang hayatnya hanyalah sang adik: Levannah. Dan alasannya tidak datang melalui sebuah peristiwa singkat.

Levannah dan kakaknya bisa dibilang hampir identik secara kepribadian. Keduanya sering menyepakati pandangan mengenai nilai-nilai moral, berjiwa bebas, dan punya mimpi yang sama: mengubah dunia dengan cara mereka. Levannah pun, masih begitu murni, ternyata memiliki pola pikir  lebih matang dibanding anak-anak seusianya. Dia dipenuhi rasa ingin tahu, serta kehendak untuk mementingkan orang lain di atas dirinya.

Satu perbedaan dasar antara kakak-beradik itu, adalah Levannah begitu keras kepala, sekaligus terlalu berperasaan. Tanpa berpikir panjang, atas dasar menolong sesama, gadis itu tak segan menghadapi risiko. Dia rela terbakar, demi menghangatkan sekelilingnya. Dan tiada yang dapat menghentikan tindakannya, termasuk sang kakak.

Sikap kukuh itulah yang begitu Orim ingat dari Levannah hingga kini.

Keluarga mereka sebenarnya tidak menginginkan adanya keturunan perempuan. Akibat perlakuan orang tua dan kecerdasannya yang tak diharapkan, Levannah jarang tersenyum. Hari-harinya tak pernah luput dari isak tangis, lebih-lebih oleh ketiadaan kawan.

Makin kuatlah alasan Orim untuk mengasihi adiknya. Begitu inginnya dia berpartisipasi besar merangkai kebahagiaan gadis itu, sehingga Orim tak pernah sanggup untuk menolak keinginan-keinginan Levannah.

“Kak,” kata anak perempuan itu suatu hari, “aku penasaran, bagaimana sebenarnya orang yang bernama Sheraga Asher. Pasti dia sangat menarik.”

Orim takkan pernah menjawab pertanyaan tersebut. Lebih dari itu, dia memasukkan Levannah ke sekolah tempat manusia jadi-jadian itu menempuh pendidikan. Keputusan yang kelak Orim sesalkan.

Keingintahuan perlahan membuahkan rasa tertarik. Tak lama, ketertarikan berubah cepat menjadi perasaan suka. Hari-hari Levannah yang semula penuh tekanan, diisi dengan warna-warni keceriaan. Dia terus menyanyi, mempelajari cara memainkan alat musik dawai, dan acap keluar rumah. Berlawanan dengan pembawaannya yang pemalu.

“Tampaknya Sheraga mengubah hidupmu.”

Levannah mengangguk. “Tentu saja. Hatiku berdebar setiap kali memandanginya,” ucapnya. “Kupikir, ini adalah apa yang disebut ‘cinta’.”

Orim membelai rambut adiknya dengan sayang. “Dasar .... Dia, kan, bukan manusia.”

Si gadis, dalam kesempatan yang amat langka, menarik kedua sudut bibirnya ke atas. “Bukankah, manusia dan Dayan yang justru lebih sulit ditebak?” Dia terkikik malu-malu. “Aku hanya mencintainya dengan sederhana.”

Demi terus-menerus merasakan ekspresi melegakan itu, Orim membiarkan adiknya leluasa. Maklum pada cinta kanak-kanak yang terjadi.

Bertahun-tahun waktu berjalan, tapi perasaan Levannah tetap gigih. Berkat Sheraga, gadis itu selalu bersemangat. Ada harapan membara dalam matanya. Membuat Orim bertanya-tanya, sejauh apakah sihir yang diterapkan pada golem asuhan Perdana Menteri itu?

Levannah pernah menghambur dalam pelukan kakaknya sambil berseru kegirangan, “Kak, dia menyukaiku!”

“Kamu yakin?”

“Aku dapat memastikannya!”

Itu mengundang perhatian Orim lebih dari apa pun. Dia mengikuti Levannah. Membiarkan penglihatannya terbuka sejenak barang untuk melihat sukacita yang paling nyata.

Akan tetapi, yang didapati Orim tak lebih dari gelegak amarah.

Banyak sekali perempuan berlomba-lomba menggapai hati Sheraga. Namun, kepribadian yang ditanamkan pada laki-laki itu tak pernah mengindahkan perlakuan-perlakuan yang ada. Sebaliknya, dia selalu menikmati kekecewaan demi kekecewaan di depan matanya.

Levannah tidak terkecuali.

Sheraga telah lama menyadari perasaan Levannah terhadapnya. Dia menerima perhatian gadis itu sepenuhnya, dan menampakkan kesan yang setimpal. Namun itu tak lebih dari usaha untuk mempermainkan adik Orim.

Sayang, itu tidak menghentikan Levannah sama sekali.

“Sudahlah, Levannah!” pinta Orim. “Sebagaimana kita tahu, dia bukan—“

“Tolong jangan katakan apa-apa lagi soal Sheraga!” tukas Levannah. “Kak, aku ingin bertemu dengan Ayah. Ada begitu banyak pertanyaan yang hendak kuajukan tentangnya.”

Untuk pertama kali, timbul ketidakselarasan yang sengit di antara kakak-beradik itu. Orim berusaha mencegah adiknya. Namun apa daya, Levannah melarikan diri pada satu momen kelengahan.

Itu adalah saat yang begitu Orim kenang. Mengenai ketidakberdayaannya menghentikan Levannah. Sampai akhirnya buah ketidakmampuan itu adalah petaka. Bukan saja untuk adiknya, melainkan anggota kerabatnya yang masih tersisa.

Malam itu, Orim temukan liontin adiknya berlumuran darah.
Baru saja memicing, tidur Netzakh terganggu paksa.

Begitu mengerjap, bara abadi berubah sejuk. Kesuraman berkepanjangan tidak seperti biasanya. Dan dirasanya, dia berdiri di atas dua tungkai, bukannya enam. Tangannya tidak berlendir.

Sang iblis dihadirkan ke dunia hayat. Satu tarikan napas usai dia mengantarkan jiwa panas bernama Baron Hanscale ke sel tahanan.

“Dengar, temanku,” perintah suara jauh di dalam tubuh sementaranya. “Bunuh dia! Jangan biarkan dia melukai Sheraga!”

Netzakh, iblis tingkat dua dari neraka paling bawah, dengan kurang tulus menyanggupi. Melalui mata Orim, dia pandangi satu lagi calon penduduk akhirat.

Merupakan hal yang menyedihkan, ketika mendengar khalifah Tuhan di bumi bersikukuh bahwa penghuni neraka adalah para pembangkang. Yang pada Awal Zaman diusir dari firdaus karena membisikkan pada pasangan manusia pertama mengenai pengetahuan terlarang.

Dalam kitab-kitab suci, dalam rantai peradaban yang terus bergulir, dan dalam berbagai kepercayaan yang tak putus-putus membiakkan cabang, manusia tak hentinya menggambarkan iblis sebagai kaum terkutuk yang menjauhkan mereka dari kasih sayang Yang Maha Benar. Kenyataannya, makhluk fana beruntung tersebut sangatlah keliru.

Dan Netzakh baru saja terpanggil dari Ceruk Jahanam, untuk menghadapi insan dalam kategori itu. Seorang laki-laki plontos berkulit menyala keemasan, pertanda keimanannya yang begitu dalam terhadap “kesesatan”.

Pertama kali mendapati lelaki fana itu sebagai target untuk dibasmi, Netzakh segera paham perlawanannya takkan berjalan mulus. Berbeda dengan Baron dari pulau bergerak tempo lalu, si kulit emas dilandasi kepercayaan yang begitu erat. Sesuatu yang selalu menghalangi sang iblis berlalu-lalang di dimensi ketiga.

Kenapa aku harus repot? Iblis jantan itu bertanya-tanya. Mestinya aku bersantai di hari libur. Sialan kau, Orim.

Akan tetapi, Netzakh teringat amal-amal baik teman karibnya. Sebagai iblis, dia harus membalas kemurahan hati manusia itu tanpa kecuali.

“Wahai iblis!” Si plontos berseru tiba-tiba. “Aku tidak ingin melibatkanmu dalam urusan ini. Perselisihanku hanya dengan dia yang kaupakai tubuhnya. Sebaiknya kau enyah sekarang juga, atau kau akan kukirim paksa ke neraka!”
               
Neraka memang rumahku, dasar tolol.

“Percaya diri sekali, rupanya,” balas Netzakh ringan. “Mari kita lihat kebenarannya!” Daripada tersinggung, dia malah terhibur. Ada-ada saja kelakuan fana menjelang hari kiamat. Berani benar menantang iblis. Andai tengah bersemangat, manusia jenaka itu pasti dijahilinya terlebih dahulu.

Menggunakan raga Orim, sang iblis mengentakkan satu kaki. Memulai tolakan panjang nan tinggi. Berbeda dari sebelumnya, pemanggil Netzakh membawa alat pertahanan. Bukan favoritnya, tetapi cukup untuk melantakkan Helev dalam sekali ayun. Sang iblis memastikan akan mengakhiri perselisihan ini dengan ringkas dan elok.

Sasaran, yang menurut Orim bernama Ganzo Rashura, ikut menyambut permulaan konfrontasi. Tatkala Netzakh berdebum di depannya, Ganzo meraih senjata sejenis untuk menangkis sapaan tak santun itu. Dia pun melayangkan libasan, yang ditahan lajunya dengan ketangkasan sepadan.

Netzakh membalas dengan sepasang percobaan meremukkan tengkorak lawan, tetapi Helev itu sama sekali tidak lemah. Dia menampik serangan sang iblis semudah membalikkan telapak tangan. Dipungkas dengan tumbukan ke dada. Netzakh terdorong. Turut merasakan sesak napas. Kesaktian macam apa itu?

“Masih mau besar kepala?” tanya Ganzo pongah. “Dua kesempatan lagi. Aku mengampunimu, iblis.”

Terhina, Netzakh mengerahkan kekuatan ekstra. Yang sebetulnya belum Orim izinkan. Di neraka sang iblis memang bukan berasal dari tingkatan cemerlang. Bukan pula merupakan satuan angkatan bersenjata elite. Namun reputasinya sebagai pelindung desa tidak dapat dipandang rendah.

Pengalamannya selama dua ribu tahun masa fana telah teruji. Salah satu bukti konkrit, sementara rekan-rekannya gugur, dia justru selamat dari gempuran malaikat bersayap emas.

Akan semeriah apa gelak teman-temannya jika dia takluk oleh manusia? Netzakh tidak bersedia membayangkannya.

Sepasang permukaan kayu kembali beradu di udara. Netzakh alirkan energi pada kedua tangan, dan kaki demi kelincahan gerak. Dia timpakan fokusnya sedemikian rupa dem menumbangkan Ganzo. Tamasya di ranah manusia tidak lagi terlalu mengasyikkan, dan dia harus rihat.

Mengejutkan, sekian lama pertarungan bergulir, si makhluk dimensi ketiga tak kunjung tumbang. Kekuatan serta kecepatan dua ciptaan Tuhan itu seimbang. Terjangan sang iblis tidak pernah luput dimentahkannya, seolah-olah dia punya indra untuk mengintip masa depan.

Netzakh menyodok, menyebat, mendulang teknik-teknik dari lautan pengalaman dan dari segala sudut serang. Diingat-ingatnya lagi metode menumpas pemberontak, iblis tingkat atas, dan bahkan pertahanannya dalam perang melawan kaum malaikat yang congkak ....

Si plontos selalu dilingkup kewaspadaan. Sepadan lawannya, dia berkonsentrasi penuh. Alih-alih terdesak sebagaimana seharusnya kodrat fana, pada satu titik di mana Netzakh jengah, manusia itu justru menemukan celah menggebuk balik. Satu entakan dari tongkat ajaib yang memanjang secara tak terduga, dan sang iblis hilang keseimbangan. Senjatanya terlepas. Belum jelak jua, Ganzo menyepaknya. Netzakh terpelanting menghantam sebongkah dinding.

“Satu lagi,” sebut Ganzo sinis. “Kuharap kau diberkati akal sehat.”

Tubuh sahabatnya berdarah. Remuk, tanpa tenaga. Puing-puing bata menusuk-nusuk punggung. Asap panas seakan perlahan mengelupas paru-paru. Terikat kesepakatan pemanggilan iblis, luka Orim juga siksaan bagi Netzakh. Dia pun merintih. Setelah sekian lama kembali mengalami kesakitan yang teramat.

Apa aku terlalu meremehkannya? Sang iblis frustrasi. Ada apa sebenarnya dengan fana yang satu ini?

Segigih apa pun iman, sepandai-pandainya ilmu, mustahil manusia dilimpahi daya sedahsyat itu. Mereka mungkin amat dicintai Tuhan, tetapi kekuatan bukanlah kelebihan. Penjelasannya selalu satu: mereka menjalin kerja sama dengan bangsa gaib.

Tetapi ditinjau dari mana pun, Ganzo bukan tipe insan semacam itu. Keyakinannya sangatlah jernih, dan Netzakh mampu menakarnya.

Sang iblis tak berniat menyingkap kesamaran. Selagi Ganzo masih mengasihaninya dengan tidak menyerbu, Netzakh memperhitungkan serangan penghabisan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memperoleh rencana. Ganzo akan terbunuh, persis pria bernama Arca. Hanya perlu momen yang sesuai. Netzakh akan mengorek kenangan paling pedih dari kulit emas keparat itu.

Sheraga Asher, pemuda janggal tak terdefinisi oleh sang iblis, tahu-tahu mengambil peran dalam pertikaian. Dia pun babak belur, penuh lebam, dan satu tungkainya kebas, tetapi keteguhan hatinya tak tergoyahkan.

Kegelapan sesekali terusik. Api menyembur di antara kabut amis. Denting perkakas perang mengundang kegaduhan yang sempat hengkang. Kala Sheraga menghimpun kekuatan susah payah, Ganzo sebatas menanggapi serangan pemuda itu tanpa ketertarikan. Teranglah tujuan pria cemerlang itu hanyalah untuk membinasakan Orim.

“Lawanmu adalah aku!” Terengah-engah, Sheraga melantangkan pada Ganzo. “Jangan lihat yang lainnya!”

“Aku tidak ada kepentingan denganmu.”

Bermodal semangat naif, Sheraga mengibas-ngibaskan pedang peraknya. Teknik yang Netzakh akui cukup untuk memberangus setengah lusin fana biasa. Sialnya Ganzo, dalam mode tanpa emosi, berhasil menghindar dalam ritme gerakan teratur. Bagai melayani permainan anak-anak saja.

Walau demikian, kesia-siaan itu bermakna peluang. Tanpa disadari siapa pun, Netzakh telah menunggu di belakangnya, langsung menyergap kepalanya. Siap menghadiahkan mair. Kena kau, cecunguk!

“Serahkan padaku, Sheraga!” kata sang iblis usil. “Sebaiknya kau diam saja layaknya tuan putri!”

Sheraga merengut. Terlintas keinginan mencegah.

Dalam cengkeraman sang iblis, Ganzo tidak dapat berkutik barang satu jari. Netzakh tersenyum puas. Sebentar lagi lelaki itu bakal ditelan dosa-dosanya sendiri.

Sejurus kemudian, Netzakh menyaksikan ingatan-ingatan. Mulai dari detik ini, dan bergulir mundur melompat-lompat ke masa muda Tanpa Rambut. Pengamatannya persis, Ganzo pribadi yang religius. Kesalehannya melebihi kebanyakan rohaniwan. Malah, dia menduduki posisi “Utusan Tuhan”.

Namun sewajarnya manusia, dia tidak bebas dari noda.

Sang iblis terkesan pada memori ketika Ganzo melawan orang tuanya sendiri demi ambisi. Bagaimana di umur belia dia sering menyia-nyiakan hari dengan mabuk-mabukkan, berjudi, dan bersenang-senang bersama perempuan. Dia pewaris mutlak dari saudagar terkemuka di negerinya. Tetapi akibat sikap semaunya, bisnis ayahnya hancur dalam kurang dari setengah dekade.

Begitu menyentuh kenangan itu, darah mengalir dari kedua sudut mata Ganzo. Cahaya dari jasmaninya meredup. Dia berlutut, pandangannya kosong. Bibirnya tiada henti berucap maaf kepada kedua insan yang berjasa membesarkannya.

Tak ayal Netzakh menyimpulkan, plontos menyedihkan itu mengalami delusi. Ganzo berusaha menghapus kesalahan-kesalahan, termasuk menolak mengakuinya. Sintingnya, dia kelewat batas dalam memaknai pertobatan. Mengira dirinya diberi wahyu untuk menyebar rahmat Tuhan.

Tunggu. Sesuatu berjalan tidak semestinya. Sungai ingatan Ganzo menyusut, beralih suara-suara agung yang bukan berasal dari potongan masa lalu. Dalam relung jiwa tanpa tepi milik lelaki itu, sepasang mata semerah darah menyingkap lebar. Membuat Netzakh merasa dicacah ribuan pasak. Kuasa asing itu menyudahi sihir penghakimannya.

Seluruh rangka Orim menggigil. Di dalamnya, Netzakh ketakutan bukan main. Dia pernah mengenal aura mencekam barusan, bagai menemuinya di hari kemarin.

Malaikat.

Ingin sekali, Netzakh berpulang ke habitatnya. Risiko tugas ini terlalu berat. Baru tercetus saran agar Orim memanggil pejabat neraka, Ganzo menegakkan diri dengan jemawa.

“Jujur, aku berterima kasih karena kau mengangkat ingatan atas dosa-dosaku,” Ganzo mengakui. “Aku memang bersalah, dan patut dihukum. Tapi  bukan olehmu, dan bukan di sini.”

Sang iblis gentar sungguhan.

“Makhluk terkutuk, aku telah memberikan keadilan kepadamu dan kau menyia-nyiakannya. Sekarang, terimalah perwujudan karma.” Ganzo mengumandangkan, “PASUKAN VARSAKHTAN!!”

Sebaris komando. Netzakh terkesiap.

Di antara ketiadaan yang menaungi pertikaian, seberkas galur sinar membersil tiada pertanda. Dari dalamnya, warna-warni keemasan menyeruak keluar. Lintasan itu meliuk-liuk sesaat sebelum menampakkan wujud yang paling nyata.

“Sheraga, jangan diam saja di sana!” suruh Netzakh. “Kau hanya akan menyusahkanku!”

Pemuda itu pun menurut.

Sekejap, sang iblis dikitari sepuluh figur sejenis Ganzo Rashura. Bedanya, mereka dianugrahi sepasang sayap berkilauan. Sang iblis tahu, jalan pelariannya telah tertutup. Andai kata sekarang juga dia melepaskan ikatan dengan pemanggilnya, sosok-sosok botak ini lebih dari mampu untuk mengejar, dan memusnahkannya.

Netzakh patut meniru manusia. Dia harus kreatif.

“Aku tidak menyangka selera berbusana malaikat sangat buruk dewasa ini,” ejeknya. “Kalian ini—“

Kalimatnya tidak tuntas. Dia mencermati para pengepungnya satu per satu. Dan pemahaman yang mengerikan sontak menggemingkannya.

“Emet ...,” sebut Netzakh pada figur plontos yang paling tinggi. “Chodesh, Yashar, Shem—“

Sepasang malaikat dari arah berlawanan coba menghunjam pinggangnya. Beruntung, ujung tombak mereka mengenai udara kosong saja. Netzakh melompat. Tolakan membawanya melambung. Bebas dari perintang.

Rupa boleh berganti, ingatan mudah dibajak, namun sang iblis mengenal presensi sahabat-sahabatnya bak saudara kandung.

Kesepuluh makhluk tanpa surai dan berkepak itu, tidak salah lagi, merupakan teman-teman seperjuangan Netzakh. Yang disangka tewas dalam pertikaian melawan malaikat derajat tinggi bersayap emas.

Karena itu, Netzakh sudah siap dijamu oleh kehampaan tak terbatas. Setidaknya, dia kalah dengan terhormat. Dalam rangka memenuhi balas budinya. Kepada kumpulan manusia yang mempertunjukkan padanya betapa indah dunia fana.


- 11 -
“Tidak sepatutnya kau menyalahkan Dia,” Amram Yirmi sang Okultis memberi nasihat. “Pembangkanganmu adalah alasan untuk segalanya. Dan sekarang, kau tersisa seorang diri untuk mengemban tugas yang begitu berat.”

“Katakan itu pada keluargaku di atas sana!” hardik Orim. Kemarahannya makin membara di dalam dada. “Makhluk yang kamu junjung tak lebih dari bajingan! Menyelamatkan kita semua? Aku bahkan ragu dia mampu menolong dirinya sendiri!”

“Aku kasihan pada orang yang tidak mau bertanya dan sertamerta menyangkal perintah.” Amram menatapnya dari balik kepulan asap. “Jadi, Orim, kau tak pernah diberitahu dari siapa saja Dia dibentuk?”

Orim tertegun. Pikirannya mengolah pertanyaan tadi. Lekas memautkan pada tujuh pribadi, yang sempat dilihatnya melakukan pertemuan bersama ayahnya beberapa tahun silam, serta berita yang sempat terdengar tak lama setelah itu: tujuh Dayan kenamaan yang menghilang. Setahun sebelum “kelahiran” Sheraga Asher.

“Jadi kalian ...,” ujar Orim dengan bergidik penuh jejap, “tidak hanya menanamkan padanya satu kepribadian?”

Dia menerka-nerka benak Amram Yirmi sebelum mengikhtisar, “Kalian membunuh orang demi membentuk sifat utuh keparat itu?”

Anggukan dari sang Okultis menguak kebenaran. “Karena kau mengusik-Nya, bencana ini pada akhirnya kaudapatkan.”

“Demi Tuhan, sesat pikir macam apa ini!?” seru Orim seraya menggebrak meja. “Kalian yang membuat benda itu. Bagaimana mungkin kalian mengharapkan alat yang kalian ciptakan sendiri menjauhkan dunia dari kehancuran?”

“Kadang kala, cara kerja takdir terlalu sulit dipahami,” jawab Amram setenang air. “Jangan coba-coba menguraikannya dengan akal, karena kau takkan mampu.” Dia menyerahkan sebuah tabut emas dan sebilah pedang perak berbilah lurus pada lawan bicaranya.

Kemudian, dia paparkan pencerahan. Apa yang seharusnya calon murid terbaiknya ketahui sejak awal, andai dia tidak mati-matian menutup mata dan telinga.

Saat itu juga Orim merasa berdiri di depan bibir neraka.
Sejak kecil, Sheraga tidak memiliki banyak teman dekat. Senantiasa, dia mampu menyadari kepalsuan niat anak-anak sebayanya. Dan terungkaplah sendiri, satu demi satu, tujuan mereka ialah penghargaan masyarakat karena statusnya sebagai putra pejabat.

Semua orang selalu demikian, memanfaatkannya semata.

Acap Sheraga merenungkan, apakah kehidupan yang amoral ini menuntutnya untuk sama? Lebih-lebih, dia diterjunkan ke dalam sebuah ajang pertarungan. Lantas belum lama menjerumuskan Betshev Eliezer ke dalam lembah kehinaan.

Embikan Chavah mengembalikan pijakannya. Domba itu meminta pada tuannya untuk lari, meninggalkan pertempuran yang masih berlangsung. Membiarkan Orim mengambil alih. Seketika itu, Sheraga sadar akan posisi.

“Tidak,” tandasnya. “Akulah pemimpinya.”

Chavah menerangkan, Orim telah berbicara padanya. Lelaki itu akan memenangkan pertandingan ini untuk Sheraga.

“Tadinya aku bermaksud menjadikan sahabatmu sebagai pemimpi. Angannya begitu kuat hingga menarik minat kami lebih dari siapa pun juga. Tetapi, pada akhirnya kami memilihmu. Sebab impian Orim ternyata berpusar padamu.”

Senantiasa dalam kegentingannya, Orim selalu hadir sebagai penolong. Lelaki itu bukan saja sahabat sekaligus kakaknya. Dialah keseluruhan peran yang Sheraga inginkan dari teman-temannya dulu. Orim-lah yang selalu membawanya kepada kebajikan. Lelaki itu bahkan seakan-akan tidak mengharapkan hal lain.

Di tengah kekalutan itu, sepuluh ‘tentara Varsakhtan’ mendekati Netzakh. Sang iblis menghimpun aura pekat, meluncurkannya pada bala bencana itu, berjuang menanti bantuan sementara Sheraga mengenalnya kali pertama sebagai sosok tak tertumbangkan. Makhluk itu hampir tiba pada batasnya, dan itu tertera. Napas Orim yang dipinjamnya makin memburu.

Tahu niat tuannya, Chavah menggigit pakaian Sheraga. Jangan libatkan dirimu, cegah si domba. Sahabatmu sudah siap menerima risikonya.

Sheraga mengerti maksudnya. Dan batinnya pun berkecamuk. Dia berlari, menghunus pedangnya. Namun jarak dirasanya makin melebar dan terus memisahkannya dari tujuan.

Netzakh mulai tercabik. Tingkat serangannya berkurang. Gerakannya melambat. Dia terhuyung-huyung. Lengah, satu makhluk keemasan menunggu di belakangnya. Begitu sang iblis menoleh, rekan Ganzo sudah bersiap-siap. Tombak dihunjamkan tanpa ampun. Menembus perut Orim.


Tidak ada lagi yang tertinggal dalam umurku, kecuali dua orang adik. Bisa memberikan arti pada hidup mereka, itu semua sudah cukup bagiku.”


Sheraga ingin berteriak, tetapi tiada suara yang terbebas. Dia ingin maju, mengubah takdir dalam perjananan memutus ketetapan paling absolut. Namun tiba-tiba pemandangan meluruh. Dia tersungkur, kehilangan daya dan asa. Kesadarannya melingsir pergi. Barangkali dengan nyawanya juga.


Sudah saatnya kau pergi, Levannah.

               
- 12 -
Pada usia dua puluh empat tahun, Orim mulai menebus kesalahannya dengan mengerjakan amal-amal mulia. Keras hatinya meluluh, beralih keinginan untuk sebisa mungkin membantu siapa pun yang memerlukan serta mengesampingkan hal-hal kefanaan. Walau masih tak luput kesedihan atas dosa-dosanya, Orim berusaha selalu tersenyum.

Yang paling penting, dia kembali menjalankan kewajiban utama. Mulai sedikit demi sedikit melibatkan diri dalam kehidupan sang Alkemis.

Usaha Orim tidak mudah.

Bertentangan dengan moralnya, Sheraga Asher adalah pemuda arogan dan serampangan. Dapat pula dikatakan setengah gila. Kecerdasannya memang tak diragukan lagi, tetapi juga diimbangi dengan kelicikan tiada tanding. Posisinya sebagai putra pejabat dimanfaatkannya untuk meraih jenjang pendidikan yang jauh lebih tinggi. Meninggalkan para Dayan begitu terpuruk di bawahnya.

Jadi bukanlah berita yang mencengangkan, banyak pihak menghendaki kegagalan bahkan kematiannya. Lebih parah, dengan fakta bahwa dia Helev. Tak terhitung lagi berapa kali pemuda itu selamat dari cengkeraman sang Maut, tetapi terkungkung dalam bermacam-macam kejatuhan dan arus gunjingan.

Puncaknya, musuh-musuh Sheraga merayakan pesta puji syukur. Pemuda itu keluar dari satuan khusus rohaniwan atas pelanggaran yang tidak pernah dilakukannya.

Orim mengamati rangkaian kesialan itu dan menimbang untuk berinteraksi. Dia berhasil. Memang perlu perjuangan panjang, sampai Sheraga akhirnya menerima kehadirannya sebagai kawan.

Suatu ketika, sang Alkemis menampakkan sisi dirinya yang lain—yang nantinya Orim biarkan sebagaimana adanya.

“Sebetulnya, aku ingin semua kekonyolan ini berakhir,” cetus Sheraga.

Harapan Orim meriap. “Jadi ... kamu mau berubah?”

Sheraga menggeleng. “Salah. Yang harus berubah, adalah dunia ini,” jelasnya. “Aku sangat membenci Dayan—“

Orim disambut kekecewaan. Nyatanya, pandangan berkilat liar itu terbit kembali. Dia paham, kepribadian dominan yang kelam takkan pernah mati. “—Dan Helev. Mereka semua harus diatur menuju keselarasan.”

“Jangan bercanda,” tanggap Orim sambil lalu.

“Tidak,” balas Sheraga datar. “Omong-omong, aku mempertimbangkan saranmu untuk meninggalkan bidang keagamaan. Akan kutekuni ilmu pengetahuan dan menjadi cendekiawan. Kau tidak salah. Itu memang jalan tercepat untuk mewujudkan impianku.”

Petaka pun terjadi. Pembawaan Sheraga yang cenderung mengangkat dagu, mengundang kebencian di mana pun dia berada. Betshev Eliezer, pimpinan ilmuwan di Majelis Penelitian, dan yang paling berkepala dingin sekalipun, berhasil diluruhkan pertahanannya.

Dan untuk kesempatan yang kedua, kepandaian Sheraga tak berarti di hadapan nasib. Lawan-lawannya berhasil mendepaknya dari ranah mereka, memperoloknya sedemikian rupa, dan lebih dari itu, menyebabkan Natan Asher untuk kali pertama meragukan putranya.

“Aku melihat harapan di  matamu. Aku melihat titik terang bagi dunia dalam dirimu. Aku melihat masa depan serta keadilan dalam visimu. Dan selama ini aku terus berlandas pada keyakinan itu. Aku amat memercayai engkau sejak Dia hadirkan dirimu ke dalam hidupku. Sayangnya, sekarang kusadari bahwa aku pun masih terlalu naif.”

Perkataan sang Perdana Menteri tersebut, berujung titah pengusiran Sheraga. Orim dapat merasakan pendaman amarah yang siap meletus sewaktu-waktu.

Tak pernah ada yang mengatakan, Orim tidak dapat berbuat apa-apa. Maka terlintaslah sebuah gagasan. Sebelum Sheraga berbuat onar lebih parah, sang Okultis melakukan tindakan nekat.

Dia menculik Sheraga. Membawanya keluar benua, menuju Hagashah.

Dibekali banyak ilmu sejak pendidikan terakhir dan relik pemberian Amram, Orim menyegel ingatan pemuda itu serta merekaulang sifatnya. Sudah merupakan kepastian, Orim pada akhirnya memilih sifat seorang insan sebagai pedoman.

Levannah, adiknya. Gadis keras kepala dan penuh rasa ingin tahu, tetapi juga diiringi dengan kebaikan hati dan rasa peduli yang begitu apa adanya.

Kepribadian adik Orim, berpadu dengan gabungan tujuh manusia yang membentuk satu kesatuan, menjadi sosok baru. Pemimpi yang suatu ketika dibukakan kesempatan merealisasikan mahakaryanya.

“Namamu ... Sheraga Asher,” kata Orim pada pribadi yang terlahir kembali itu, masih takjub pada kreasinya.

“Apa yang terjadi padaku?” tanya Sheraga. “Siapa kau?”

“Aku Orim, sahabatmu,” sahut pengendalinya, seperti bicara pada anak kecil. “Aku ... selalu bersamamu. Kita di sini karena inisiatifmu.”

Lalu Orim mengatakan apa yang perlu diketahui sahabat sekaligus adiknya—secara harfiah. Seluruh sejarah palsu yang dipersiapkannya sejak lama.


“Levannah, mari kita menjaga-Nya bersama-sama.”

Pada embusan terakhir sang iblis, nama tertinggi dari neraka terlontar sebagai salam perpisahan.

Kontrak dengan penghuni neraka berarti mengikat jiwa sepenuhnya pada makhluk itu. Kala sang iblis hancur, itu pun berlaku bagi pemanggilnya.

Maka, itulah yang terjadi pada Orim. Malaikat Varsakhtan—dahulu bernama Yashar—menikamkan senjata menembus dagingnya.

Orim tersentak ke depan, tersengal-sengal dan terkejut. Menyisakan ketidakpercayaan.

Deret-deret bangunan semakin panjang, kelabu, dan bergolak-golak. Pandangannya menyempit. Orim merasakan pecahan batu di bawah pipinya. Panas yang menyengat kulitnya. Tubuhnya bergeliat, berusaha bangun, namun dia sadari sebelah tangannya meluruh. Hancur menjadi serpih. Dia terperangah ketika debu-debu berkilauan itu melintas di samping wajahnya.

Kemudian hitam tak terbatas. Menandakan perjalanan menuju kesengsaraan.

Aku kalah. Gagal sejak awal.

Menjelang detik-detik terakhir, Orim teringat tahun-tahun hangat itu. Kenangan-kenangan menyenangkan itu. Momen yang tenang penuh kebebasan itu. Saat Levannah, adiknya, masih berada di sisi. Mengisi ruang-ruang hampa dalam hayatnya.

Penyesalan terbesar, dia tidak mampu melindungi sahabatnya—orang yang diamanahkan padanya. Pemuda itu akan terancam, hilang arah, sendirian dalam perjalannya sementara bahaya mengintai.

Tidak. Kamu bukan adikku.

Kekhawatiran Orim tidak beralasan. Sebaliknya, saat kematiannya tiba, Levannah dalam diri Sheraga pun sirna. Pemuda itu akan jauh lebih kuat, tetapi juga ... disertai kelaliman.

Segel tidak kekal.

Setelah sekian lama, Orim merutuki kepercayaan dirinya yang gegabah. Alih-alih menuntun Sheraga menuju kebaikan hati dengan ketekunan, Orim malah memanipulasi sifatnya. Ketika sebagian jiwa adiknya musnah, sesuatu yang buruk takkan terelak. Jiwa yang terkurung akan melampiaskan kesumatnya. Siapa pun bisa menjadi korban.

Tiada kompromi bagi takdir. Sesal adalah sia-sia, takut itu miliknya, maka Orim mendaras doa.

Dia himpun sisa kesadarannya demi mengingat kalimat-kalimat permohonan. Terpujilah Engkau, Tuhanku dan Tuhan bagi ayah serta ibuku. Jadikan kematian sebagai penebusan atas dosa-dosaku.

Luapan kesedihan itu mencapai titik akhir. Nyawanya pupus. Tangis senyapnya membeku, lalu lebur bersama udara. Keseluruhan jejak hidupnya memudar, menjelma kawanan debu gemerlap. Serempak menggapai negeri baka.


- 13 -
Di luar dugaan, kesuraman Bingkai Mimpi musuh terangkat. Sebagaimana semestinya hari senja. Gumpalan mata yang mengendap di balik awan sirna. Corak darah meresap tak berbekas. Kutukan penuh horor menguap. Menampilkan sebuah kota mengagumkan, bertabur bangunan-bangunan menjulang serbaputih.

Sebaliknya, langit di arah barat tampak digerogoti teruk. Sebagian Negeri Shim, Bingkai Mimpi Ganzo. Jauh lebih mengerikan dibandingkan terakhir dia berada di sana. Pria itu nyaris terpuruk. Bagaimana mungkin?

Sang Nabi merasa begitu dikhianati. Benaknya menerka-nerka berbagai spekulasi: para konservator Museum Semesta mengatur skenario kekalahannya. Mereka ingin dia mempersembahkan karya seni belaka tanpa memberinya kesempatan.

Pemenang pertandingan sudah ditetapkan sejak awal. Apa pun yang para penentang usahakan demi melawan orang ini, akhir hanyalah kesia-siaan bagi mereka. Tambahan patung koleksi galeri tak terelakkan. Dan baru saja, Ganzo menjadi salah satu dari golongan malang tersebut.

Memikirkannya terus-menerus, makin memperlebar luka batinnya. Ganzo memohon petunjuk kepada Tuhan, meminta dipelihara akal budi oleh-Nya, tetapi tak ada gema benak. Tiada pertanda-Nya seperti momen-momen yang berkesudahan. Sang Nabi mengerti, dia mesti mengakhiri ketidakadilan yang terjadi dengan tangannya sendiri.

Tapi apa? Apa yang harus kulakukan? 

Matanya memindai. Seorang teman sang Pemimpi masih terpaku. Dia tertunduk, sepertinya membacakan doa kepergian yang paling syahdu. Ganzo membiarkan saja, mengenyahkan keinginannya mengayunkan senjata demi pelampiasan emosi, sebab dia tidak boleh mengganggu orang yang sedang berkabung. Sedangkan satu lagi, seorang pemanah dalam balut penutup, tak ikut campur dalam duka itu.

Di sisi lain, pertarungan Shamonten dengan si pemanah jangkung pun usai. Sang Nabi Keempat berkomentar, “Apa keadaan ini akan tetap?”

Pemuda pucat berambut gelap masih bergeming. Dengan sendu mendekap debu orang terkasih di tangannya. Tidak ada pertanda kawannya akan bangkit kembali. Tiada alamat kemunculan panitia, embikan, maupun portal dimensi.

Apa yang terjadi?

“Seharusnya saat kukalahkan pemimpinya,” terang Ganzo, “Bingkai Mimpi ini yang hancur.”

Si pemanah kontan meledak dalam tawa—yang terdengar begitu menjijikkan di telinga Ganzo. “Sssh, plontos bodoh! Yang baru saja kaubunuh, bukanlah pemimpi. Orang itulah yang sebenarnya!” Dia menuding rekannya.

Ganzo terkejut. Demikian dengan Shamonten. “Apa maksud semua ini?”

Sang Nabi tak menyahut pria itu, dan malah menghampiri lawan sesungguhnya. Ganzo memandangnya penuh iba. Bisa dibayangkan betapa pedih penderitaannya saat ini.

“Maaf, Kawan,” pinta sang Nabi dengan tulus, “aku sebetulnya ingin bertarung denganmu secara adil. Aku tidak bermaksud untuk merenggut sahabat—“

Pemuda itu berpaling. Senyumnya lebar terkembang. Mata kelabu yang semula suram, beriap kilatan liar.

“Kenapa harus meminta maaf? Justru aku berterimakasih kepadamu.” Dia pun berdiri, sekukuh batu karang. Tak tampak alamat duka cita sama sekali.

Ganzo mundur dengan panik dan curiga. “Hei, jaga langkahmu!”

Musuhnya tertawa. “Kau takut padaku, Botak?”

Tidak ada jawaban.

Si pemuda terus maju. Tiap laki-laki itu melangkah, lidah api menyebar ke enam belas arah mata angin. Dihunusnya pedang perak ke depan. Ukiran kalimat asing pada permukaan logam itu menyala kemerahan. Asap pekat tipis menguap dari sana, lalu menyebar ke badan senjata, dipungkas dengan seluruh bilahnya berubah hitam.

“Tapi bagaimana pun, kau adalah lawanku. Perselisihan kita tak terelak.”

Tanpa mengindahkan etika tempur, pemuda itu mengayunkan senjata. Tahu-tahu, tebasan melintang telah menghiasi dada Ganzo. Sang Nabi mundur, tersengal-sengal dan masih menyisakan beribu tanda tanya. Jaketnya koyak. Darahnya bersimbah.

Shamonten berinisiatif menyerang pemimpi itu sebelum rekan pemanahnya berkutik.  Tetapi tinju sang Nabi Keempat yang besar dihentikan lajunya tanpa halangan apa pun. Si pemuda kurus mementahkannya dengan tangan kosong, lalu menolakkannya.

Tak ayal, Shamonten terpental. Sebuah rumah dua tingkat menjadi korban empasan tubuh raksasa setinggi tiga meter. Asap berpadu debu sesaat menghalangi pandangan. Ganzo terbatuk.

Si pemanah mendesis geram. Dia menghampiri rekannya. “Ssh, Asher! Apa yang—”

Tanpa pandang bulu, Asher meninju ulu hatinya. Dengan kekuatan sebesar itu, lain dari Shamonten, si pemanah hanya hilang keseimbangan. Sesaat terhuyung, sebelum bersiap dengan panahnya. Jelas dia bukan manusia biasa.

Asher tidak terkesan. Tanpa ampun, dia menghadiahkan sepasang tendangan. Gerakannya begitu sekelebat sehingga Ganzo hanya menyaksikan hasilnya. Patung putih bersayap terdekat lantak diempas tubuh jangkung si lelaki mendesis. Dia tidak bangun lagi. Pun tiada tanda-tanda kehidupan.

Ganzo terganga. “Sadarlah! Kau dipengaruhi kemarahan—iblis dalam dirimu!”

“Iblis?” Asher balik menatapnya. Alisnya saling bertaut. Raut wajah depresi yang senantiasa ada padanya terangkat. “Maksudmu, kegilaan yang lebih parah dari memiliki teman imajiner? Bung, kauperlu tahu: aku tidak percaya adanya iblis,” dia mengutarakan. “Sebagaimana aku tidak yakin pada tuhan.”

“Apa?” Itu membuat Ganzo tersulut. Dia pernah mendengar tentang masyarakat ateis, namun baru sekarang berjumpa dengan satu. “Bagaimana mungkin itu—“

Asher seperti berteleportasi. Ganzo merasa dunia setengah sureal, sebab tiba-tiba dua buah jari pipih menyentuh bibirnya. Musuhnya berada tepat di hadapan.

“Karena ... ada tuhan maupun tidak,” katanya, “bukankah kita tetap makhluk fana yang menyedihkan? Bukankah kita tetap harus berjuang sendiri dalam kerasnya hidup?”

Asher melepaskan abu dalam genggaman. Milik Orim. “Misalnya orang menyedihkan ini.”

Keringat Ganzo mengucur sederas sungai Varsaria. Dia beringsut ke samping.

Asher makin mengguncang imannya lagi, “Untuk apa meyakini sesuatu yang bahkan tidak berkenan membantumu? Sosok yang memintamu terus bertasbih kepadanya sementara dia bahkan tak sedikit pun tergerak untuk menolong kita? Manusia berhasil berkat usaha mereka, dan gagal karena kelemahan masing-masing.”

“Itu tidak benar!” Ganzo bersikeras.

“Kalau begitu, untuk apa manusia diciptakan? Untuk apa tuhanmu mengadakan dunia ini?”

Ingin sekali Ganzo menjawab, menyadarkan lawannya kepada kebenaran yang hakiki. Kenyataan mengenai dunia dan isinya bahkan dapat dipahami oleh logika anak kecil yang begitu sederhana. Dalam tekanan yang ada, sang Nabi mengumpulkan ingatannya, pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya. Sayangnya dia tidak menemukan apa-apa, kecuali argumen pribadinya.

Adalah tugas Ganzo Rashura, sang Nabi Awal Zaman, untuk menuntaskan teka-teki Tuhan. Namun dia belum mampu melaksanakannya.

“Karena kau tidak menjawabnya, aku beranggapan kau belum paham. Maka biar kuberikan alasannya: tuhan tidak lain menciptakan manusia hanya untuk dijadikan hiburan berdarah yang menggelikan!”

“Jaga ucapanmu! Jangan mengada-ada!” Ganzo mengeratkan tinju. Rahangnya mengeras. “Aku nabi. Aku sadar betapa Tuhan begitu mengasihi manusia. Kau dan aku, kita semua, segenap makhluk. Jangan sesumbar pada hal-hal yang tidak kamu ketahui!”

“Benarkah?” Asher mencibir. “Aku bahkan mencium keraguan dalam pengakuanmu. Kau juga menyangsikan tuhanmu.”

“Tutup mulutmu!” Walaupun mengatakannya, secara jujur, ada sebagian sisi diri Ganzo yang ingin mendengar keterangan Asher. Pemuda itu tidak sepenuhnya keliru. “Bagaimana mungkin kau memahami kebesaran Tuhan? Hatimu tertutup oleh begitu banyak dosa!” serunya demi mengenyahkan bimbang.

“Saat aku menjadi orang baik menjurus tolol, Nabi, itu tidak lantas menundukkanku bagai lembu yang ditarik hidungnya. Karena aku tidak pernah berpikir menggunakan ketakutanku. Aku selalu percaya kemutlakan tuhan ada akhirnya dan kita akan bisa membalas perbuatannya.”

Rupanya sejak awal pembicaraan ini tidak ada manfaatnya. Asher tak sepandai perkiraan. Pembual yang berani menghujat sementara pengetahuan masih begitu dangkal. Tidak sadar betapa kecil eksistensi mereka di alam raya—jenis umum dalam era baru dunia yang sakit. Adalah sebuah kesia-siaan mendebat mereka, sebab kebodohan sama sekali tanpa batas.

Sang Nabi Kelima Varsakhtan tak berminat melayani manusia bebal semacam itu. Ya, insan penyebar penyakit sosial seperti Asher lebih dari patut untuk dibinasakan.

Satu kaki Ganzo menapak tanah kuat-kuat. Tolakannya membuahkan lompatan panjang, langsung bersemuka dengan Asher. Denting keras mendepak keheningan. Si pemuda menahan serangan sang Nabi dengan pedangnya. Dan selagi kedua senjata saling bertumbukan, tujuh buah pijaran terbit dari udara di belakang Asher.

Menghidu aroma petaka, Ganzo menarik diri menjauh. Diduganya sihir Asher akan mengejarnya. Ternyata perkiraan sang Nabi tidak terbukti. Si pemuda berambut panjang berdiri tenang sambil menyilangkan lengan di depan dada.

“Membosankan kalau kau mati mudah,” ujar Asher. “Begini saja, Nabi, aku punya pertanyaan dasar: apakah tuhanmu mahakuasa?”

Pertanyaan macam apa itu? Ganzo berpikir. Demi mendapat sejenak waktu untuk menilai titik lemah musuh, dia tak segan menjawab, “Tentu saja!”

“Lantas kenapa dia tidak berdaya di hadapan Kehendak? Kenapa Mirabelle dan sejenisnya eksis? Mengapa duniamu ikut menjadi taruhan dalam ajang omong kosong ini? Dan kenapa peragu sepertimu terpilih sebagai nabi? Tuhan macam apa yang memilih panutan tidak becus seperti ini?”

Telunjuk Asher membuat lingkaran khayal di atas kepala. “Kalau kau bisa menjawab pertanyaanku, aku bersedia botak sepertimu.”

Ganzo menggigit bibir. Teringat pada perkataan Tuhan Varsakhtan sendiri yang begitu bertentangan dengan nilai-nilai personalnya. “Aku tidak berani menjawabnya.”

Asher terkekeh. “Sudah kuduga. Itu menjelaskan segalanya. Bahwa apa yang kaupuja tidak lebih dari lelucon. Bagaimana kalau kukatakan bahwa, tuhanmu itu tidaklah seperti yang kaukira? Dia makhluk bejat yang mempermainkan kau dan duniamu.”

“Kau sudah di luar batas, Asher,” Ganzo menyatakan. “Aku memberimu kesempatan untuk memohon ampun. Lakukan sekarang atau kau akan terima perwujudan karma!”

“Karma, karma, karma ... huh?” Sheraga mengernyitkan dahi. “Aku tidak tahu apa itu. Tapi yang jelas, kau mulai marah sungguhan. Ini tidak seru lagi. Oleh karena kesediaanmu, aku berbaik hati menunjukkan padamu kebenaran. Semua yang kauperlu tahu. Temanku adalah Barkiyal sang Raja Neraka. Dia akan membantu kita.”

“Kau bilang—“

“Bercanda, Bung. Ateisme itu masa lalu. Aku ini taat. Aku pernah menjadi rabi. Aku cuman senang mengobrol dengan orang lucu seperti kau.” Asher memandangnya dengan sangat, sangat terhibur. “Iblis itu ada, dan mereka temanku. Terima kasih atas waktumu, Sobat! Kau manusia yang baik!”

Suara Asher memberat. “Nefarrath, kembalilah ke surga!”

Dan dalam kontak yang singkat, Ganzo melihat peristiwa-peristiwa kosmis itu. Tuhan menghilang dari singgasana, tetapi dunia belum berakhir dan berdiri sendiri. Makhluk-makhluk dan dimensi mereka tetap bergerak tanpa pengendali. Tidak lama, perang akbar antara malaikat dan iblis pecah di jagat tertinggi. Pihak malaikat menang. Beberapa di antaranya penjaga dari beberapa bentala, sebagai dewa dan dewi.

Namun, seorang malaikat bernama Nefarrath menyamakan dirinya dengan Tuhan. Para iblis geram dengan tingkahnya, nahas kuasa mereka terbatas. Para malaikat pun tidak mengindahkan pelecehan itu.

Sebuah suara menghentikan rangkaian kejadian. “Hambaku, jangan percayai apa yang engkau lihat! Itu adalah dusta tiada peri!”

Suara itu tak membendung arus kebenaran. Panorama berganti sebuah dimensi. Malaikat Nefarrath sang Sayap Emas menggerakkan perang besar pertama di dunia tersebut. Banyak korban berjatuhan. Dan dari balik kekacauan itu, lahirnya seorang wanita. Ganzo mengenalnya sebagai Nabi Adeve. Pemandangan berakhir pada masa kini. Dengan Asher menatapnya penuh penantian.

“Jadi, Nabi, selama ini kau diutus malaikat pembangkang? Untuk apa?”

Pantas saja segalanya begitu salah. Mengapa orang penuh dosa seperti dirinya yang menjadi nabi? Mengapa “tuhan” justru menyenangi masalah yang sama sekali tidak selesai? Mengapa sesosok makhluk tiada henti mengaku maha kuasa di saat ada kekuatan yang jauh lebih tinggi ketimbang dirinya?

Begitu banyak kejanggalan dan Ganzo terus menumpulkan akal sehatnya. Dia terpuruk, menangis darah. Warna emas pada permukaan kulitnya lenyap.

“Tuhan atau makhluk bejat apa pun dirimu, aku tidak memercayaimu lagi!” murkanya. “Pergilah kau dari hidupku! Enyahlah dari bumi kami! AKU ... BUKAN LAGI NABIMU!!”

Tubuh Ganzo berasap kemilau. Uap-uap itu lantas termaterialisasi di sampingnya sebagai tiruannya, masih berkulit emas. Tuhan Varsakhta—Nefarrath. Sekarang alih-alih takzim, Ganzo muak bukan main dengan kemunculan itu.

“Ganzo Rashura, wahai hambaku, jangan—“

Asher, yang ternyata mampu melihatnya jua, menodongkan pedang ke leher Nefarrath. “Jangan coba-coba kabur sebelum permainan ini usai.” Seringai si pengendali api melebar. “Atau, Barkiyal akan ... memenjarakanmu ke Ceruk Jahanam terbawah.”

Nama tertinggi neraka sukses menciutkan sang malaikat. Dia berdiri kaku siap tewas.

Asher menghampiri Ganzo. “Aku memberimu kehormatan untuk membunuh tuhanmu. Silakan.” Dia menyerahkan pedang kelamnya pada Ganzo, lalu menuntun kepada tiruannya.

Ganzo gemetar setengah mati.

“Jangan ragu. Ayo! Bukankah dia yang menjebloskan duniamu ke dalam derita? Tidak maukah kau membalas dendammu padanya?”

Ya, Ganzo amat benci kepada tuhan palsu ini. Kalau bukan karena kehadirannya, tidak akan ada sekat-sekat bernama perbedaan keyakinan. Kalau bukan karena “ujian”-nya, dunia akan sejahtera. Dan kalau bukan karena mimpi kosongnya, ayah Ganzo takkan meninggal.

Pria itu pun mengumpulkan keberaniannya, kebenciannya, impresi kekecewaannya. Dipandu semua itu, Ganzo mengayunkan pedang secara vertikal, pada tiruannya.

Nefarrath tak sempat menggelepar. Tubuhnya meledak. Pilar cahaya akibat kehancurannya menghantam awan, melubanginya. Dari balik kepulan itu, jutaan bulu keemasan menabur Bingkai Mimpi milik Asher. Membangunkan mereka yang terbaring. Memulihkan mereka yang sakit.

Sekejap, kumpulan manusia mulai berkumpul. Memerhatikan saksama pertarungan antara dirinya dan Asher.

“Selamat, Ganzo Rashura. Selamat!” Asher mengumumkan.

Mendengar itu, salah seorang bertanya, “Apa maksudnya itu?”

Asher menjawab enteng, “Dia pernah mengaku nabi, dan baru saja mengaku membunuh Tuhan! Bukankah itu luar biasa?”

Orang-orang itu terhasut. Biar mereka kafir sekalipun, mendengar sosok takabur memproklamirkan diri lebih hebat dari penguasa semesta benar-benar melanggar batas toleransi mereka.

Seorang pria tua membentaknya, memecah ketegangan yang canggung. Ganzo mengernyit, tak tahan. Kalimat-kalimat itu sungguh kabur.

“A-aku ... tidak melakukannya,” Ganzo memberanikan diri angkat suara.

Bohong! sahut suara dari kejauhan. Yang lain malah menggumamkan kata-kata berupa hukuman mati. Tak paham harus berbuat apa, Ganzo mengangkat kedua tangan. Pikirannya setengah hampa.

Tawa merebak di antara kungkungan manusia. Perkakas-perkakas teracung tinggi, siap dilempar pada waktunya. Kobar permusuhan menyala di mata-mata terang itu. Mereka ingin Ganzo dihukum. Mereka ingin tumpah darah. Darah mantan nabi yang menyedihkan. Yang membantai tuhannya sendiri.

“Sekarang, mau berlindung kepada siapa? Mau memohon ke mana?” Sayup-sayup, suara Asher bertamu ke telinga Ganzo. “Kau sendirian. Kau kesepian. Tuhanmu mati. Semestamu hancur. Kau penyebabnya. Dan kau tidak punya apa-apa lagi.”

Trauma menjalar beribu-ribu kali lebih cepat mendobrak batas kewajaran, menghantam kewarasan Ganzo. Sensasi, impresi, dan memori, seluruhnya bercampur kacau dalam ruang benaknya. Menyerbu otaknya dengan rangsangan kegilaan, rampai memori buruk tanpa menyertai kebaikannya.

Lamat-lamat, Ganzo terbahak. Sekejap kemudian menangis histeris. Dia mencerling kedua orang tuanya di mana-mana. Menggandakan diri. Menertawakannya. Bangga pada putranya seperti pertama dia tertatih di usia dini.

“Aku sayang ayah! Aku sayang ibu! Hahahaha! Ganzo anak baik-baik, tidak pernah berbohong!” Tapi tak berlangsung lama, Ganzo membentur-benturkan kepalanya ke jalan. Orang tuanya menjelma kerangka. Dan tulang-belulang menakutkan itu coba mengepung putra mereka.

Ganzo tidak mau mati di tangan mereka. Terlalu ngeri, dia menyodok-nyodok batang lehernya dengan ujung tongkat.

Itu adalah tontonan yang tidak mungkin dilupakan siapa pun. Seorang pria botak tewas menghajar kerongkongannya sendiri.

               
- 14 -
Sesekali, kelenggangan abadi di Museum Semesta terganggu oleh suara-suara. Kali ini penyebabnya bukan siulan makhluk mungil berkepala bantal, melainkan sepasang konservator galeri raya yang tengah bercakap-cakap. Seorang pria necis dalam balut jas ala mafia, serta wanita kukuh penyandang tameng dan tombak.

“Satu pemimpi selesai membuat karya,” Zainurma menatap kanvas. “Kejam, mistis, tapi aku suka.”

Lantas dia mengeluarkan katalog peserta. “Mirabelle, lihat ini!”

Di sebelahnya, Mirabelle mengintip dengan masyuk. Mengharapkan sesuatu mengenai kontestan andalannya. Beberapa embusan rutin, dia mendengus. Terpaksa kecewa. Yang tampil adalah wajah pemuda kaku berkulit pucat.

“Sejak dia memanggilku dengan panggilan aneh—Mahalath atau apalah itu, aku mulai memerhatikan rekam ulang sepak terjangnya dari babak penyisihan. Dia punya kecenderungan ke arah pribadi yang lebih baik lagi,” tuturnya. “Rupanya aku keliru. Dominator. Aku tidak menyukai perubahan ini. Sudah lemah, jahat pula. Dia tidak istimewa.”

“Tidak biasanya kau membagi berdasarkan keberpihakan moral. Semua orang memiliki definisi masing-masing mengenai amal ‘baik’ dan ‘jahat’, Mirabelle.”

“Jadi kau menyebutku dangkal?”

Zainurma tidak menjawab, hanya menutup buku. “Aku tidak peduli bakal jadi apa dia dan bagaimana. Bukankah yang terpenting adalah kebebasan kita? Aku beruntung tidak memilih Orim Kohan sebagai reverier.

Orim Kohan, sang Okultis. Mirabelle pernah menyaksikan sekilas riwayat hidupnya yang penuh pengorbanan. Andai dia masih Dewi Perang, sifat seperti Orim-lah yang diharapkannya dari umat.

“Aku lebih senang dengan Orim Kohan,” akunya. “Mahakaryanya untuk menyinari dunia lebih tulus ketimbang yang pernah kulihat sampai detik ini. Sayangnya dia gugur untuk menolong pengecut—laki-laki kemayu yang bodoh.”

“Setelah babak ini, Sheraga Asher tidak lagi seperti yang kaukira.” Zainurma melipat tangan di depan dada. “Dia akan jadi kandidat terkuat kita, dan aku yakin sekali.”

Mirabelle menggeleng. “Tidak. Aku punya wanita yang juga kujagokan. Sosok yang jauh lebih hebat daripada seratus Sheraga Asher. Belum lagi dengan robot mata satu, ahli ilmu iblis, dan peserta tangguh lainnya. Pemuda labil itu bukanlah apa-apa.”

“Tampaknya aku tahu siapa yang kaujagokan itu.”

“Kau tidak perlu mengatakannya.” Binar harapan Mirabelle sejelas kejayaan wanita pengubah wujud itu. “Dan yah, akan kuamati dia sekarang.”

Zainurma membuka katalognya lagi. “Kejutan! Pucuk dicinta, mampus yang tiba. Aku punya kabar nyaris serupa. Pesertamu hampir menyelesaikan babak ini sebagai pemenang, dan katalog karakternya pun mengalami rombakan.”

Air muka Mirabelle mengeras. Sekalipun pernyataan tadi tidak salah, dia tak bersedia pasang mata dan telinga. “Jangan mencoba mengguncang keyakinanku padanya.”

“Terserah kau saja,” sahut Zainurma santai.

Portal teleportasi terbentuk. Ketika Mirabelle melangkahkan satu kaki ke seberang, Zainurma menundanya.

“Tunggu,” pintanya, “aku punya permintaan khusus.”

“Apa?”

“Sembuhkan Orim Kohan, tapi sembunyikan presensinya dari siapa pun. Termasuk penyusup nakal yang memasuki Museum Semesta baru-baru ini. Kau bisa?”

Alis Mirabelle bertautan. “Penyusup?”

“Dia memang menyusahkan. Tetapi dengan membiarkannya, aku berfirasat entitas itu akan memperlancar kejatuhan Kehendak. Dan aku ingin kita selangkah lebih maju daripada dia. Aku tengah menguji beberapa hipotesisku.”

Mirabelle menatap tajam. “Kau mengatakan kedatangan penyusup. Kenapa kau baru memberitahuku?”

“Bukan sembarangan pengacau, Mirabelle,” Zainurma tertawa. “Mencermatinya terlalu lama, kau akan gila. Dia menyuruhmu untuk mati, kau akan menggorok lehermu sendiri. Kalau kita berhati-hati, masalah tambahan ini justru bisa bekerja di bawah kita.”

“Kau lupa siapa aku?”

“Kau pun belum tahu siapa yang menantang kita ini.”

Mirabelle mengalah. “Kau tahu makhluk apa dia?”

Zainurma menerawang ke ujung koridor galeri babak satu. “Tentu saja,” ungkapnya. “Aku pernah bertemu dengan dia, jauh sebelum bergabung ke dalam klan Nurma.”

Sang Kurator menjabarkannya.

Mirabelle didera kecemasan yang janggal. Namun perasaan itu diabaikannya. Dari semula, relasi antara dirinya dan sang Kurator memang tidak biasa. Mendapat jawaban hanya akan meruntuhkan kepercayaannya pada Zainurma.


- 0 -
Dengan iblis bernama Netzakh sebagai ujung tombak musuh, tak perlu waktu lama untuk sadar Ceruk Jahanam telah mempersiapkan sebuah kamar untuknya. Nadav memilih menyambut ajakan hangat tersebut dengan tangan terbuka. Hanya saja, pada sang kematian, dia menawar sedikit waktu untuk bersenang-senang.

Kepada calon pencabut nyawanya yang begitu terkutuk, dia ungkapkan peristiwa bertahun-tahun silam. Bagaimana Nadav membantai keluarga laki-laki itu. Betapa dia menikmati menyaksikan keputusasaan di wajah para pengendali iblis itu, bagaimana lengkingan permohonan ampun mereka, sampai pada akhirnya Nadav memenggal leher kesemuanya tanpa ampun.

Secara keseluruhan, dia mengatakan rangkaian kebenaran, terkecuali satu.

Nadav tak pernah merenggut kehidupan anak perempuan Hidai Kohan. Gadis itu berhasil melarikan diri dari bawah cengkeramannya, dan terbunuh tak lama kemudian oleh usaha pelacakan yang lain.

Sang Pemburu semata berfirasat, jika dia mengutarakan kebohongan itu, hiburan baginya akan jauh lebih menarik. Dan itu benar adanya.

Orim membongkar identitasnya sendiri. Tak alang, dia membobol pertahanan emosinya. Kebodohannya merebak. Meski paham alat serang apa pun takkan berpengaruh pada Nadav, Orim tetap saja melayangkan pukulan.

Lelaki itu pun pergi, barangkali mencari gagasan yang lebih baik untuk menyiksa Nadav.

Dinding-dinding yang mengungkung Nadav mendadak dikerumit merah. Dia mengedarkan pandangan, mengira pertandingan atau apa saja terkait omong kosong Dunia Mimpi lagi-lagi menelurkan keganjilan.

Terdengar derap langkah terseret-seret. Seseorang menuruni tangga menuju ke ruangan itu. Semula, dipikir Nadav, Netzakh telah kembali merasuki raga si lelaki bajingan. Bermaksud menjadikan Nadav penduduk neraka.

Nadav memanjatkan doa-doa akhir hidup. Namun bayangan yang terlihat adalah milik seorang perempuan. Putri Ezar Raivah, lawan politik Natan Asher, gadis yang harus Nadav lindungi keberadaannya. Gal Raivah.

Tertegunlah dia. “Ssh, Raivah. Ada yang harus—”

Paras gadis itu terpapar cahaya satu-satunya di dalam ruangan. Bersamaan dengan apa yang dibawanya. Perhatian Nadav langsung teralih, dan agaknya terkejut. Dia mengenali jasad itu.

“Makanlah,” kata si gadis, seraya melemparkan seonggok tubuh tanpa kepala.

Dari pakaian dan bentuknya, Nadav memperkirakan itu jasad Shena Shalafar. Dayan kecil yang hidup bersama Asher dan Orim. Dan mendadak, jerat sihir yang menjebak Nadav sirna. Sang Pemburu berdiri, menyeringai lebar mengejek para penunggunya di akhirat.

Segera, Nadav mengerti siapa pun yang dihadapinya hanya meminjam tubuh Gal Raivah. Tampak sepasang mata keemasan, menggantikan yang semestinya hijau segar. Suaranya barusan menyakitkan telinga Nadav. Bagai campuran beratus-ratus gema. Jika Nadav makhluk berakal biasa, pikirnya, kemungkinan dia telah terkapar tanpa nyawa.

“Kami Vayehin,” sosok itu memperkenalkan diri. “Kami dan kamu punya musuh yang sama. Orang terakhir dari klan pengendali iblis dan putra Raja itu.”

Vayehin. Nama yang terdengar tua dan jahat, bagai istilah yang ada sejak zaman asali, tetapi memancarkan kekuasaan yang tak terbantahkan. Tidak perlu waktu lama bagi Nadav untuk sepakat.

Nadav memutus lengan kecil hidangannya dan mulai menyantap. “Ssh, kau memintaku bekerja sama?”

Bibir Gal Raivah tak perlu bergerak untuk menyatakan persetujuan Vayehin.

“Nefarrath telah memastikan kematian Orim,” jelasnya. “Tapi khusus untuk putra Raja, kamu harus bersabar dalam menanganinya. Jauh melebihi perkiraan kamu, dia lebih berbahaya dari para pengendali iblis, sebab yang mereka lindungi adalah sosok di dalam tubuh golem itu.”

Jaminan tewasnya Orim tidak sebanding keheranan yang timbul. Sekarang, Nadav menyangsikan lawan bicaranya. “Ssh, tubuh golem?”

“Kalau kamu memerhatikannya dengan lebih teliti,” ucap Vayehin, “kamu akan menemukan kejanggalan.”

“Kau membual!” Nadav memastikan kekeliruan Vayehin.

Asher memang naif dan lamban, namun dia manusia. Biar bagaimana pun, orang itu tidak terbuat dari lempung. Yang lebih menggelikan, mengesampingkan rumor yang beredar, putra Natan Asher tersebut tak patut diwaspadai. Sheraga Asher begitu rapuh, menyerupai perempuan yang tak mengakui takdir berada di bawah dominasi laki-laki. Bukanlah perkara sulit untuk memutus kepalanya.

“Ssh, bagaimana mungkin kaukatakan Helev tolol itu berbahaya?”

“Karena dia adalah sumber bencana yang begitu nyata,” terang Vayehin. “Dan apa saja yang kamu saksikan selama ini tentangnya, semua itu adalah kreasi Orim Kohan. Dia yang meredam kejahatan murni dalam diri jelmaan angkara murka itu.”

Vayehin lantas memberi penjelasan melimpah.

Mata Nadav melebar dalam tiap pilinan kata. Melebihi berita apa pun yang pernah menjumpai ingatannya, sang Pemburu terperangah. “Tidak mungkin!” bantahnya dengan sengit. “Ssh, riwayatnya sudah berakhir sejak lama!”

“Musuh yang paling berbahaya adalah yang tidak bisa kamu pahami.”

[Round 2 - End]




>Cerita selanjutnya : -

17 komentar:

  1. Di sini saya ngeliat gaya tulisan entri Sheraga makin enak diikutin, tanpa meninggalkan kekayaan kosakata dan keluwesan susunan kalimatnya. Entah, saya ga bisa ngepinpoint apa bedanya sama dua entri lalu, tapi yang jelas rasanya lebih 'accessible' aja, dan dengannya juga jadi lebih enjoyable

    Saya suka banget kegalauan pre-battlenya. Ganzo dengan keraguan akan Tuhan dan misi yang ia emban, Sheraga dengan keinginan terpendam dan konfrontasinya sama Zainurma. Rasa"nya ini model ideal dari apa yang pengen saya sendiri bikin dari entri di taun ini. Lumayan nambah ilmu buat dicontek #plak

    Dari segi poin materi yang dimasukin pun, rasanya lebih banyak dari kapasitas yang bisa saya tulis. Kalau biasanya saya cuma masukin satu-dua ide sederhana, kayaknya di sini tiap part cerita itu ngusik dengan pertanyaan yang berkelanjutan dari satu bagian ke yang lainnya sepanjang cerita

    Sempet kebersit pertanyaan yang sama begitu Orim jadi proxy buat Sheraga dan masa lalunya banyak dibahas : kenapa bukan dia reveriernya? Tapi begitu Sheraga bangkit jadi Asher, langsung 180 ngubah persepsi awal saya. Adegan Ganzo dipecundangi sampe bunuh diri itu beneran brilian, ngepretelin aqidahnya sampe telanjang dan emang ga ada lagi alesan buat menang

    Dan terakhir, ada paralel antara entri ini sama Anita, di mana dua"nya diakhirin dengan kebangkitan sosok lain, dan sekarang baik sang kurator maupun sang konservator punya jagoan mereka masing". Saya penasaran apa jadinya kalo Anita (Prima01) dan Sheraga (Asher) ketemu, lebih daripada ketemu Iris, meski saya bakal seneng kalo bisa ketemu keduanya di ronde depan nanti

    BalasHapus
    Balasan
    1. ==Riilme's CQC Score==

      >Character likability
      Saya agak indifferent sebenernya, karena dua"nya cukup likable. Tapi kalo bicara siapa yang pengen saya temuin, maka Sheraga dapet poin karena kalo Ganzo udah ketemu di ronde sebelumnya
      >Sheraga

      >Quality value
      Level entri Sheraga lebih tinggi dari Ganzo, kalo dikasih penilaian angka objektif layaknya entri lalu, pasti poin buat Sheraga juga
      >Sheraga

      >Canon anticipation
      Kayak yang udah saya utarain di komen di atas, saya tertarik pengen tau kelanjutan Sheraga (Asher) karena sekarang udah pergantian pemain gini
      >Sheraga

      3-0, VOTE Sheraga

      Hapus
    2. Hmm ... sebenernya nulis kayak gitu karena buru-buru. Harusnya sih ya ... ada di ukuran tengah antara prelim dan R1. Abis pas minggu submisi bepergian terus *curcol*. Proofread aja ga sampe abis. Bahkan ada kalimat: ... kumpulan manusia berkumpul. Atau pemilihan kata yg terulang lg pd jarak yg amat berdekatan T_T

      Tapi kalo ternyata yg begini lebih bisa dinikmati, well, ke depan pun saya bakal pake gaya begini aja. Wkwk.

      Tadinya momen-momen galau itu mau dihapus karena bikin lama ._. Eh ternyata ada yg suka //syukurlah

      Trivia: adegan ganzo jd gila, aslinya mau berantem dgn asher nge-raeg karena temennya mati. Tp itu cheesy, jd saya ubah ke battle biasa. Eh ga ada waktu juga. Akhirnya ending yg ada terpilih. Tp seneng karena pada suka :')))

      Iya, saya juga ... cukup.berharap OC saya ketemu Anita. Iris sama--terutama, karena ada sesuatu yg saya siapkan. Walau mungkin itu berarti penampilan terakhir Asher. Wkwkw.

      Makasih udah mampir, komen dan vote~~ Nanti saya kunbal ke entri Kak Sam (y)

      Hapus
  2. Udah entri kedelapan belas aja www

    Komentar saya nggak banyak sih, karena entri Sheraga (Asher) kali ini, meski padat materi, tapi penyampaiannya lebih ringkas, tanpa meninggalkan kekayaan diksi dan kata-kata bernilai tinggi. Kalau pace-nya begini saya lebih enjoy bacanya dan jujur, enggak sepusing baca prelim maupun R1.

    Yang mau saya highlight sih bagian Asher, Orim, ama Ganzo aja.

    Setelah muncul revelation Asher, ceritanya berubah total. Everything makes sense now. Terutama...

    Di bagian Orim. Orim sebagai Scapegoat-nya Sheraga, dan segala tetek bengek antara Orim, Nadav, dan Sheraga harus saya akui membuat saya terkesan. Worldbuildingnya jadi kerasa sekarang.

    Dan di bagian Ganzo sendiri, penggalian karakter dan kanonnya pas. Relation ke kanon Sheraga juga oke. Battlenya nggak banyak, tapi penyelesaian yang megah dan kolosal ala film-film fantasi epik bikin saya cukup bergidik.

    Solid entry. Tapi vote-nya nanti setelah saya selesaikan semua komentar ya ;)

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jujur aja, yg tertulis itu (dan keliatan banget mulai bagian Ha-Ra) ... malah hasil keburu-buru banget. Banyak kalimat ga efektif dan typo. Diksinya mestinya ya kayak prelimnya T~T Apa daya waktu tak cukup.

      Tapi kalo sekiranya masih bisa dinikmati, syukurlah. Wkwk. Dan kayaknya, emg mending pakai diksi yg biasa aja ya? Ok, catatan ke depannya.

      Penyelesaian megah dan kolosal? Wkwk. Saya tersunjang :')))

      Dan sy bingung mau ngomong apa lagi. Btw, makasih banget sudah membaca entri aneh ini. Ntar saya berkunjung balik (untung pasangan mbah pasanganmya sm yg udh komen jg jd kunbal-nya gak ke empat entri). Wkwk.

      Hapus
  3. Buset.. entry ente tetap bikin ane kaget dari awal ampe akhir. Serius ane ampe nganga (bukan bengong, tapi takjub). (hampir) semua masa lalu chara dijelaskan begitu, ‘Waaah~!!’. Bahkan ane masih tercengang gimana ente singkronin karakter iblis Netzakh.
    Dan banyak hal yg SUNGGUH DILUAR DUGAAN dari sejarah Orim dan Sheraga. Ane jadi ga bisa bedain mana yg jahat dan baik di sini. Bahkan Ganzo dibikin sekarat mental disini. Setaaaaan! Mental ane ikutan jatuuuuh!
    Ane klepek2 dan sakit hati gara2 entry ente! Tanggung jawab woe! *lempar keyboard*(?)

    Ampun.. ane bingung mau komentar apa lagi.

    Macam komentar om Sam, ini bisa jadi bahan contekan mantab.
    Oh, tunggu. Ga jadi. Otak ane tar meledug untuk membuat genre besar macam ini.

    Untuk voting nyusul setelah baca entry Ganzo.

    BalasHapus
    Balasan
    1. N.V: Setelah dipertimbangkan dengan entry Ganzo, auth Lady in Black memutuskan untuk vote Sheraga.

      Hapus
    2. Wadoo ... maaf membikin dirimu sakit ati. T_T

      Tapi makasih udah klepek-klepek juga. :)))

      Dan ane bingung gimana bales komennya lagi. :')))

      Tapi, saya nanti kunbal ke entri sesama grup blek. Wkwk :*

      Hapus
    3. Oh ya, terima kasih udah membaca entri ini :)))

      Hapus
  4. Asher :
    Dibanding ronde-ronde sebelumnya, entri ini jauh lebih ramah lingkungan eh ramah pembaca awam dengan kekayaan diksi yg variatif.
    Mengesempingkan faktor teknis cerita, development dan alur ceritanya benar-benar “deep”. Berbagai fakta bermunculan terus muncul tanpa henti mengejutkan saya akan kebenaran dibalik sosok asher yang bisa dibilang kayak Anti-Christ di mata saya. Bahkan poin di mana “untuk apa mengabdi kepada Sesembahan yang tak peduli padamu?” itu bener-bener menggoda iman bahkan untuk OC sekaliber Ganzo. Sesuatu yg memuaskan rasa haus saya untuk entri bertema keimanan.
    Saya penasaran seperti apa sosok yg berada di dalam golem Asher. Demon King? Fake Messiah? Saya gak sabar menanti kelanjutan kisahnya.

    Vote buat Asher.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah? Ramah pembaca, ya. Oke .... Satu lagi alasan buat saya ngubah gaya narasi :> Emang lebih enak sederhana sih, gak terlalu ada beban.


      Hmm ... bingung gimana lagi bales komennya. Tapi benar, makasih udah baca dgn teliti, itu Asher emang ada sesuatu di dalamnya. Nantikan sahaja--tentu kalau saya diberi kesempatan.

      Uh, saya bingung mau bales gimana lagi ;_;

      Tengkyu udah baca cerita aneh ini xD

      Hapus
  5. (+) Narasi sampean sangat exceptional
    (+) Kedua karakter dibangun dengan sangat baik sebelum akhirnya mereka bertarung
    (+) Potensi canonnya menarik
    (+) Klimaksnya menggigit
    (+) World building bagus antara kedua dunia

    (-) Narasinya mungkin sangat bagus, tapi begitu masuk adegan battle justru terasa membuat battlenya berjalan lambat. Hmm.
    (-) Terkadang, terasa ceritanya lebih menyorot apa yang terjadi di lain waktu/tempat ketimbang pertarungan kedua kontestan. Bagus, tapi juga membuat cerita terasa dragging di beberapa bagian.

    Skor: 85/100

    Akan membaca entry Ganzo dulu sebelum memberi vote.

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah yha ... saya baru sadar kalau saya suka ngelantur pas cerita T_T Misalnya tetau bahas bekgron, padahal pembaca aja belum tau gimana dunia utuhnya Asher. Kebiasaan dr penggarapan novel kebawa-bawa. Terima kasih banget udh mengingatkan hal ini. Lain waktu saya buat lebih fokus, dalam cerita apa pun. Mungkin hal itulah yg bikin entri ini sampe membludak jumlah katanya. ;_;

      Dan yah, battle memang saya akui lacking sekali. Udah dari jaman Ahran tapi narasinya masih begitu-gitu aja. Lambat T_T Maaf atas ketidaknyamanan .... Saya bakal berusaha lagi. Hiks.

      Terima kasih banyak udah menyempatkan baca entri aneh dan panjang ini x')))

      Hapus
  6. Atas wahyu Nyarlathotep, saya memutuskan untuk memberi vote ke Sheraga Asher

    BalasHapus

  7. Langsung saja.

    Saat pertama kali baca entri ini, sy ngerasa padanan kata yg dijalin lebih ringan dari biasanya. Tpi makin ke bawah malah seperti kehilangan sentuhan sihir (sy ngikutin entri ini, tpi baru kali ino bisa komen) dan cukup bertabur dgn kalimat2 repetitif yg secara terbuka sudah diakui oleh penulisnya sendiri.

    Hal kedua yg bikin sy tergelitik adalah .... Cerita ini .... Lackey dalam battle-scenes. Beneran dah, sumpah. Cuma untungnya, tetangga sebelah juga adegan tarungnya kurang optimal dan berasa inferior dri kamu meaki harusnya dia menjanjikan sesuatu yg lebih hebat.

    Untuk pendalaman karakter, sy akuin kamu memang jempolan. Setiap karakter pny spot yg cukup bagus dan berarti bagi cerita, gk cma tempelan. Bahkan twist bahwa tuhan si ghanzo trnyata seorang malaikat dri universe asher itu cukup mengejutkan.

    Terakhir, adegan kalahnya ghanzo juga kerasa bgt. Sades.

    Setelah menimbang, sy akhirnya memutuskan untuk vote asher 😁😁😁

    BalasHapus
  8. Speech less...

    Well... That was... a harsh one. I was expecting a debate... then I got one... with a taste of hate...


    Karakterisasi bagus sekali dan Author bisa menjaga suasana tegang sepanjang entri. Saya nggak bisa komen soal Akhir Ganzo yang terlalu menyedihkan... an utter despair...

    Dalam satu sisi, battle sepertinya lebih enak sebelah, tapi pembangunan karakter di entri Sheraga dan konflik yang di sajikan di sini lebih sesuai dengan taste saya.

    Vote for Sheraga!

    Sekian~
    OC : Nora

    BalasHapus
  9. Terima kasih bgt bagi yg udah baca, terutama yg komen, lebih-lebih yg berbaik hati ngasih vote xD Atau bahkan ... sekadar kepo dan ngintip cerita ini xD God bless~~

    -Sheraga Asher-

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.