Minggu, 28 Februari 2016

[FBC] 008 - SAMARA YESTA

VERSUS
SANELIA NUR FIANI
[Tantangan NV2]
oleh: Chandra Wu

---

'Tumbangnya Sang Veteran'

"Sudah dimulai. Malam ini, pintu dunia mimpi akan terbuka lagi. Kalahkan sang Ratu dan rebut benda itu!"

"Serahkan saja padaku. Kita akan menghukumnya," ucap wanita pengendali tumbuhan itu menggulung-gulung beberapa helai rambut hitamnya.

Bulan purnama bersinar terang di atas langit. Desiran angin bertiup menerbangkan daun dari rantingnya, maupun dedaunan kering di atas tanah. Sayup-sayup lolongan serigala liar merobek heningnya malam, diikuti suara-suara para penghuni hutan lainnya.

Di dalam gubuk di tengah hutan itu, Samara beserta keempat orang lainnya beristirahat sementara. Dia satu-satunya wanita di dalam kelompok kecil tersebut. Ada sesuatu yang hendak mereka lakukan malam ini.

Wanita berambut hitam panjang lurus tersebut, tidur terlentang memejamkan kedua mata di atas lantai gubuk. Sebab tidak ada kasur empuk, mengingat gubuknya tidak berpenghuni. Mereka hanya kebetulan menemukannya di tengah perjalanan.

"Ingat! Ini akan terasa sangat nyata. Luka sekecil apapun akan kau rasakan, bahkan kematian. Kelima inderamu akan diaktifkan secara penuh di dunia mimpi. Mantra ini akan menyusupkanmu ke sana. Berusahalah untuk tidak ketahuan selama mungkin, dan satu lagi … jangan mati!" ucap seorang pria di dekat Samara.

"Lucu sekali, Max. Seperti aku bisa mati dengan mudah. Lakukan saja! Aku sudah tidak sabar melihat bentuk dari dongeng yang kau ceritakan tadi."

"Bersiaplah! Jangan pernah buka matamu selai mantra dirapalkan!" Max meletakkan kedua tangannya di dekat kepala Samara yang tengah berbaring, sambil merapalkan mantranya. Sementara ketiga orang lainnya, duduk menyaksikan proses tersebut.

Samara merasa tubuhnya ringan, seolah melayang di tengah-tengah kehampaan. Hening. Perasaan rileks dan nyaman ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya, begitu berbeda. Lalu tiba-tiba dia merasakan dirinya seperti jatuh dari ketinggian yang seketika membuat adrenalin sedikit bergejolak. Tubuhnya yang berbaring merespon dengan sedikit kejang.

"Berhasil! Sekarang kita hanya perlu menunggu."

Gelap. Bukannya dia belum membuka mata, melainkan Samara sedang berhadapan dengan kegelapan, di mana dia bahkan tidak dapat melihat fisik dari tangannya sendiri. Dalam kondisi itu, tangannya mulai bergerak menyentuh pipi, sakitnya terasa nyata saat dia mencoba mencubitnya. Tubuhnya masih jatuh dan terus bergerak jatuh.

"Hai! Perkenalkan namaku Ratu Huban. Akulah …."

"Kau punya impian yang menarik."

"Apa kamu petarung tangguh yang ingin …."

"Aku penasaran siapa …."

"Kau ingin bertarung?"

"Aku ingin memainkan sebuah permainan denganmu …."

"Kau berani untuk menerima tantangan ini?"

Suara-suara itu terdengar mengelilingi Samara dan bersumber dari kegelapan di sekitarnya. Suara ramai tersebut berasal dari satu orang yang sama, namun bukan berbicara pada Samara, melainkan sepertinya pada orang lain, tapi dia tidak tahu siapa. 

Satu titik cahaya kecil menanti di bawah sana. Jaraknya kelihatan masih jauh. Namun bukan Samara yang bergerak mendekati cahaya itu, tapi sebaliknya. Sampai setitik cahaya tadi berubah menjadi pintu besar dengan cahaya super terang yang membuyarkan penglihatan. Samara pun tak sadarkan diri setelahnya.

Dia kembali menemui kegelapan. Kali ini tangannya secara nyata dapat menyentuh sesuatu, permukaannya kasar dan berdebu. Seketika juga dia membuka kedua matanya lebar-lebar, mendapati dirinya sedang terbaring di lantai di suatu tempat asing. Hal pertama yang dia lihat adalah sepasang kaki di depan mata, di sampingnya, dan di sekitarnya.

Samara bangkit, menyadari keramaian mengelilingi. Tapi tak seorangpun yang acuh akan keberadaannya. Ada sekitar lima puluh pasang mata berkumpul termasuk dirinya, baik wanita, pria, tua, muda, maupun wujud lain yang tak kalah anehnya.

"Di mana ini?" Benak Samara bertanya-tanya. Butuh lebih dari beberapa puluh detik hingga dia benar-benar sadar akan posisi sekarang. "Ah, tentu saja. Ramai begini? Apa mereka semua orang-orang yang terpilih? Suara-suara tadi … berarti benar, aku telah menyusup masuk melewati prosesi perkenalan tadi."

"Selamat datang semuanya! Selamat datang di dunia Lucid lapis pertama!" Suara penyambutan itu darang dari atas. Semua orang langsung mendongakan kepalanya ke atas. Samar-samar sebuah sosok menampilkan wujudnya, tubuh seorang gadis kecil, sebuah payung, dan terlebih lagi berkepala bantal. Ini benar-benar aneh.

"Ijinkan aku memperkenalkan namaku sekali lagi. Aku … Ratu Huban, sebagai penyelenggara turnamen kali ini," ucapnya dengan nada seorang gadis kecil. "Kalian semua di sini aku yakin adalah petarung-petarung handal. Tapi aku mencari yang terbaik dari yang terbaik. Untuk itu, beranilah bermimpi!"

Dalam sekejap mata, tanah lapang di belakang gadis berkepala bantal menampilkan sebuah wujud. Gambaran akan sebuah kastil besar nan megah muncul dari ketiadaan, menghiasi pemandangan, dengan posisi para peserta berada tepat di tengah halaman depan kastil. Puluhan, ratusan, mungkin ribuan obor menyala menerangi setiap sudut kastil. Geografi sekeliling langsung berubah, hutan dan pegunungan. 

"Untuk acara pembuka, arena yang akan digunakan adalah kastil di belakangku ini. Proses seleksinya mudah, pertarungan satu lawan satu, kalian bebas memilih siapa yang ingin kalian lawan. Peraturannya cuma satu, selagi kedua novice terlibat pertarungan, novice lain tidak boleh ikut campur, jika tidak, akan didiskualifikasi. Namun, untuk kali ini, para veteran akan ikut andil dalam permainan, dan mereka boleh melawan semua yang mereka temui."

"Ayolah, hadapkan aku pada veteran-veteran cupu itu! Akan kuhabisi mereka semua!" cerocos seorang pemuda berambut pirang pendek di depan dengan nada sombong. Sama halnya dengan dua pria lain tak jauh darinya.

"Semangat yang bagus, pemimpiku. Waktu kalian hanya tiga puluh menit. Permainan dimulai setelah lonceng pertama berdentang. Tetaplah bertahan hidup, wahai para pemimpi!" Sosok gadis berkepala bantal kembali hilang ditelan kegelapan malam. 

Berselang tiga detik kemudian, pintu berdaun ganda besar terbuka lebar disertai deritan engsel pintu yang memekik nyaring. Kedua pagar besi yang sedaritadi menutup, kini terbuka lebar di kedua sisi halaman. Para peserta berbondong-bondong berlarian masuk—seolah ada bom yang mau meledak—melalui pintu utama, maupun melewati pagar di kedua sisi halaman yang menghantarkan mereka langsung ke sisi barat dan timur kastil. Masing-masing dari mereka berpencar setelah memasuki bangunan megah itu, sekedar berjalan-jalan menelusuri koridor kastil, atau mengendap-ngendap menguntit target mereka.

Mimik cemas, berharap-harap, percaya diri, atau seringai gila, dapat dilihat dari wajah-wajah para pemimpi. Penyeringai gila selalu dijauhi sebelum lonceng permainan berbunyi, tak lain karena mereka begitu menakutkan. Hawa pembunuh tercium pekat di dekatnya, menyebabkan atmosfer terasa berat dan kelam.

Jauh di sudut dalam kastil, Samara menapakan kakinya santai. Dia tidak tertekan dengan kondisi sekarang, di mana aksi pembunuhan diperbolehkan. Lagipula ini hanya mimpi, bukan? Lalu, sepintas kalimat dari Max mengingatkannya kembali pada hal penting, hampir saja terlupakan. "Ingat! Ini akan terasa sangat nyata. Luka sekecil apapun akan kau rasakan, bahkan kematian. Kelima inderamu akan diaktifkan secara penuh di dunia mimpi."

"Oh, shit!" umpatnya pelan tanpa berhenti melangkah.

Teng …

Lonceng berdentang sesuai pemberitahuan. Suaranya menyebar hingga ke penjuru kastil, bahkan ke sudut terdalam. Segera saja suara bedebum kecil menyeruak pertama kalinya, mungkin jaraknya cukup jauh hingga terdengar kecil. Pertanda bahwa permainan sudah dimulai. Entah siapa mereka, Samara tidak menghiraukannya atau merasa was-was sedikitpun, terpikirkan olehnya saja tidak.

Sudah dua menit dia berkeliling ke sana kemari, namun tidak ada satupun batang hidung yang dia temui. Nihil. Dia berpikir, begini mungkin lebih baik daripada harus melayani cecungut-cecungut menyebalkan, selain membuang-buang waktu, tidak ada pertarungan menarik yang cukup memuaskannya. Hanya suara-suara berisik dari kejauhan, Samara sendiri malas mengecek ke sana karena jarak yang jauh, apalagi lika-liku di dalam kastil mungkin menyerupai labirin. Oleh sebab itu, dia hanya berkeliling di bagian luarnya saja.

—[][][]—

"Kau terlalu sombong, amatir! Keparat seperti kau harus diberi pelajaran. Matilah kau, bajingan!" Makian beserta tendangan langsung dilayangkan seorang anak laki-laki berambut hijau dengan mata sipit pada perut si pemuda pirang, sampai dia menghantam tembok di belakangnya.

"Kau terlalu kasar, Roger! Biar aku yang mengakhiri si pirang ini!" Jari-jari bioniknya bergerak-gerak seirama, seolah tak tahan lagi. 

Pemuda berambut pirang itu tak lain tak bukan adalah pemuda yang menantang para veteran di awal tadi. Nada sombongnya berbuah pahit. Akibatnya, sekarang dia dikeroyok dua veteran, atau kata yang lebih cocok menggambarkan situasi ini adalah dibantai. Jelas sudah siapa yang akan kalah telak, nenek-nenek pun tahu itu. Veteran dan amatiran, dari segi level saja, keduanya sudah berbeda jauh.

Di luar menara barat, dua sosok amatir asyik bertarung. Segenap kemampuan mereka keluarkan semuanya demi mengalahkan musuh di depan mata. Tak jarang pula, serangan fisik ikut bermain dalam pergulatan mereka. Terbuai dalam kesenangan yang diciptakan, mereka tidak menyadari keberadaan sosok lain di dekat mereka—seorang veteran lainnya—sedang mengawasi gerakan-gerakan amatir itu.

"Ignito!"

Bola-bola api muncul dan menerjang ke arah dua novice tersebut. Mereka akhirnya sadar dan saling menghindar, sebelum serangan tersebut memberondong mengenai mereka. Permukaan lantai dan dinding yang terkena bola api itu segera gosong, dan meninggalkan jejak asap.

"Maafkan aku! Tapi Ratu Huban telah menyeretku sekali lagi ke dalam perang ini. Mau tidak mau, aku harus mengalahkan kalian," ujarnya menampakkan sosoknya yang bukan manusia.

Sesaat setelah munculnya sang veteran , dua orang novice lainnya meloncat dari lantai dua. Keduanya mendarat persis di antara amatiran tadi, memperlihatkan jumlah mereka sekarang yang berempat.

"Bekerjasamalah! Kita bisa mengalahkannya! Dia cuma sendirian, sedangkan kita berempat," pinta salah satu dari dua orang yang baru hadir itu.

"Ta-tapi … peraturannya …."

"Dasar bodoh! Sang Ratu mengatakan novice ketiga tidak boleh mengganggu jika ada dua novice lain sedang terlibat pertarungan. Tapi yang dihadapan kita ini veteran, bukan novice. Ingat, ve … te … ran …!" tutur salah seorang lagi.

"Dengan kata lain … kita boleh bekerja sama mengalahkan para veteran? Hohoho, baiklah, ini menarik. Empat lawan satu, kita pasti menang," ucap si amatir dengan seringai penuh kemenangan.

—[][][]—

Di taman kastil bagian utara, tiga pasang novice bertikai hebat. Sebuah menara beserta dinding tinggi membujur mengelilingi—sebagai pembatas—taman tersebut dari dunia luar, yang bersebelahan langsung dengan hutan. Udara sejuk pegunungan hampir tidak dapat dirasakan dalam kondisi tegang seperti itu.

Rumput-rumput indah di taman hancur berantakan, sampai tanahnya ikut terkorek keluar. Bunga-bunga cantiknya hangus dilahap api. Dinding pembatas di sekitar tampak retak. Beberapa pecahan batunya berserakan di bawah dinding.

Samara menyelinap bersembunyi di salah satu pilar, menonton pertunjukan seru itu. 
Kekuatan dari para pemimpi ini terbilang cukup boleh juga, Samara menilai.

Duam!

Suara letusan senjata api tiba-tiba mengacau keadaan. Selongsong peluru terlontar, merobohkan seseorang tanpa dia sendiri sadari. Semua terjadi begitu cepat. Kini tubuh tak bernyawa itu jatuh bersimbahkan darah yang terus mengucur dari dadanya. Kelihatannya tembakan jitu dari orang itu tepat mengenai jantung sasaran.

Samara terkesiap, sama halnya dengan mereka berlima di taman. Pertarungan terhenti. Sang lawan memerhatikan saingannya yang tewas mendadak, sebelum dia juga mengalami hal serupa.

Sontak keempat orang sisanya lari tunggang langgang. Namun sayang, mereka tidak lebih cepat dari peluru.

Duam! Duam! Duam! Duam!

Cukup satu peluru untuk masing-masing korban. Taman itu berubah sepi, hening kembali seperti sedia kala. Angin mendesir menggoyangkan rerumputan, dan suara desirannya seolah menjadi lagu kematian.

Samara mengintip dari balik pilar. Matanya tertuju pada satu lokasi, di atas menara itu. Dia sangat yakin penembak jitunya berada di sana. Belum selesai mencari cara, sebuah letusan mengakibatkan sakit teramat sangat pada perutnya. Ketika dia menoleh ke bawah, perutnya berlubang tertembus peluru dari si penembak. Tidak butuh waktu lama untuk lubangnya kembali menutup sempurna berkat vitakinesis—kemampuan untuk beregenerasi. Peduli setan dengan semuanya, Samara mengambil keputusan cepat, memberi kejutan untuk sang musuh. Dia beranjak keluar dari persembunyiannya, membuat si penembak terkejut tak percaya, bagaimana dia bisa berlari secepat itu setelah peluru menembus tubuhnya?

Selongsong kosong terus berjatuhan di dekat senapan yang terus memuntahkan pelurunya mengejar Samara di bawah, di sepanjang dinding dia berlari. Tibalah pada satu titik Samara melakukan gerakan tak terduga, dia mendorong tubuhnya ke belakang—bersalto—sampai melayang di udara, mengecoh arah bidikan sesaat. Namun dalam timing sesempit itu, satu peluru berhasil ditembakkan lagi. Letusan dari rifle menerobos melewati sela di antara jari tengah dan jari manis kanan Samara, semuanya seolah terjadi dalam adegan lambat.

Begitu mendarat, tangan kiri Samara mengepal, lalu menghantam tanah yang dipijaknya. Pukulannya memanggil tiga akar raksasa muncul dari dalam tanah, menerobos dinding menara dan muncul di seberangnya. Akar-akar itu menembus keluar masuk dinding menara bersilangan sampai mencapai target mereka di atas. 

Menara kokohnya bergetar seakan dilanda gempa. Tak ayal, lantai di bagian puncak retak, semakin membujur, dan sebagian lantainya runtuh ke dasar. Sosok di atasnya melompat turun, rambut panjang biru tuanya berkibar, disertai seberkas cahaya tampak dari bibirnya yang mengkilat berkat polesan. Nyala obor lebih terang dari biasanya hingga mampu terbias di bibirnya. Pendaratan yang cantik, berlatarkan runtuhnya menara disertai kepulan debu yang mulai memudar, hingga bergantikan struktur akar yang menjulang tinggi di belakang sana.

Wanita itu berdiri. Dia berjengit mendapati keberadaan Samara sudah persis di depan mata. Tinju kanan dari Samara berhasil ditangkis dengan riflenya, dan tangan kiri mencengkram dengan gaya mendorong kuat. Tak mau kalah, keduanya terlibat aksi dorong mendorong. Mata hitam Samara bertemu retina hijau milik lawan, seakan ada percikan listrik di antaranya. Sepuluh detik kemudian, sebuah siluet melompat melewati mereka. Samara dan wanita tersebut saling mengalah, melompat ke belakang, dengan rifle tetap berada di tangan si pemilik.

"Hei! Ye jangan lari! Atau ye akan merasakan tamparan bunga perjaka milik eike," teriak seorang banci. Dia—yang gendernya tak masuk akal—berlari dengan gemulai melewati kedua wanita yang masih bergeming menyaksikannya mengejar siluet tadi.

Benar-benar dunia mimpi yang aneh, semakin aneh dan menyeramkan.

"Sepertinya kau dapat memulihkan diri. Senjata ini jadi percuma," ujar wanita itu menatap bagian pakaian Samara yang berlubang, sambil membuang senjatanya ke samping. Tatapannya sinis, seperti biasa.

"Siapa ka …"

Belum selesai Samara melengkapi kalimat, wanita itu menyela dan berkata, "Sanelia. Cukup panggil Nely saja. Ah, maafkan perbuatanku tadi. Aku benar-benar tidak ingin membunuh. Ratu Huban menyekap anakku dalam dunia Lucid ini, dan memaksa kami—para veteran—kembali lagi ke dunia terkutuk ini. Aku terpaksa membunuh karena dia mengingingkan kami melakukannya. Jika aku tidak melakukannya, anakku akan terkurung selamanya. Jadi tolong … matilah!"

Nada Nely terdengar lirih dan putus asa, namun permintaannya mengandung ketidakwarasan.

"Kau gila!" bentak Samara, namun nadanya santai tidak seperti membentak.

"Fulguratio Albicans (White Lightning)!" Percikan listrik menyambar-nyambar berusaha meraih Samara. Serangan dadakan Nely ini bersifat melumpuhkan, dan cukup membuat lawannya kaget.

Akar-akar besar muncul lagi, bersatu membentuk dinding penghalang setinggi dua meter. Alhasil, sambaran listriknya tak mengenai Samara. Dia lalu melompat—bertengger—di atas dinding akarnya. Tatapannya menajam. Darahnya mulai mendidih saat mendengar alasan konyolnya membunuh orang satu per satu. Samara sama sekali tidak peduli dengan itu semua, tak peduli siapa yang mau dia bunuh. Baginya, semua yang menyerangnya adalah musuh, tak peduli dengan alibi apapun yang didengar.

"Ha, ketemu juga." Sesuatu menyerupai tikus tanah menggali keluar dari dalam tanah. Hanya kepalanya yang tampak, sementara tubuhnya masih di dalam tanah. Kedua wanita yang tengah bersitegang itupun teralihkan pandangannya.

"Wow! Tidak hanya manusia, bahkan makhluk-makhluk aneh juga turut serta ditarik ke dalam dunia mimpi ini. Atau aku mulai gila?" batin Samara.

"Enyahlah kau, Mliit! Dia milikku!" bentak Nely.

"Oke, oke, lagipula aku sudah menghanguskan keempat bocah amatir tadi." Mliit tenggelam lagi ke tanah.

"Hei! Mau ke mana kau?" panggil Nely keras.

Mliit kembali muncul. "Apalagi? Bukannya kau yang menyuruhku pergi, dasar betina?"

Sanelia berteriak melihat Samara yang melarikan diri di tengah percakapannya dengan Mliit, saat perhatiannya terlepas dari si rambut hitam. Dia pun mengejar Samara, meninggalkan tikus tanah itu yang entah kenapa muncul kembali.

"Sial. Kukira dia berbicara denganku," umpat Mliit kesal.

—[][][]—

"Apes Igniferae (Crimson Bees)!"

Swing!
Swing!
Swing!

Puluhan titik-titik kecil bercahaya kemerahan melayang-layang di udara, bermanuver ke sana kemari mengejar Samara di depan bagaikan lebah api. Sihir berelemen api ini dilepaskan Nely untuk membantunya menggapai Samara yang tidak mau berhenti.

Samara mengajaknya berkeliling ke dalam kastil. Berbelok ke kanan ke kiri, melewati koridor demi koridor, dari besar hingga kecil, menelurusi lorong-lorong sepi, dan seterusnya tiada henti. Saat terdengar suara lain selain bisingnya lebah api di belakang, Samara sumringah. Dia muncul dari mulut pintu, membawa seluruh pasukan lebah api beserta Nely memasuki sebuah aula besar, di mana pertarungan-pertarungan lain berlangsung sengit di sana.

Lebah api Nely sepertinya buta, tidak dapat membedakan siapa target sebelumnya dan target-target baru mereka. Dengan membabi buta, proyektil merah itu menghantam orang-orang yang Samara lewati. Tubuh mereka pun hangus seketika. Pemikiran yang bagus dari Samara—dengan mengorbankan orang lain—telah mengurangi jumlah lebah sampai bisa dihitung dengan jari.

Samara membawa mereka masuk lagi ke dalam lorong panjang dan sempit. Kali ini, Samara memanggil pohon besar disertai dedaunan lebat, tumbuh secara vertikal menerjang ke arah Nely di belakang. Lebah-lebah mendarat di dedaunan pohon, terbakar, dan menghalangi jalan dengan nyala apinya.

Nely tak habis akal. "Crystallitatio Tellustris (Frozen Earth)!"

Mantra yang dirapalkan berlemen es. Seluruh bagian lorong membeku, tak ketinggalan dengan pohon terbakar tadi. Api padam. Mau tak mau, Nely mengambil ancang-ancang, kemudian dengan segenap tenaga, dia menerobos—menghancurkan—pohon beku itu sampai kedua dada berguncang hebat. Pohon yang telah beku tersebut pecah berderai dengan gampang.

Samara cuma melirik sebentar ke belakang melihat keadaan. Gelombang beku merayap di dinding, lantai, serta langit-langit, mengejarnya. "Pertama listrik, lalu api, dan sekarang es. Pengguna elemen! Baiklah, dia cukup menarik. Akan kuladeni dia bermain," gumamnya menambah kecepatan lari.

Daya tahan tubuh Samara benar-benar luar biasa. Dia tidak merasa lelah sedikitpun, atau napasnya tersengal. Sementara jauh di belakang, Nely hampir tidak sanggup lagi mengejar. Fisiknya tak sekuat Samara, hanya menang dalam hal tonjolan saja, mungkin itulah yang membebaninya.

"Tampaknya dadamu berguncang lebih bersemangat daripada dirimu," ejek Samara diakhiri tertawa, dan semakin membuat berang Sanelia alias Nely.

Si dada besar tampak komat-kamit merapal mantranya lagi. Di atas langit, lonjakan energi telah berkumpul di satu titik, cahaya terangnya amat menyilaukan. Namun Samara tak menyadari karena kejadiannya di luar kastil. Energi yang terkumpul merupakan gabungan dari petir dan elemen angin, setelah beberapa lama, energi tersebut mulai mengambil sebuah bentuk.

Nely memelankan langkahnya, menciptakan jarak aman bagi dia, sebab serangannya kali ini dijamin luar biasa. Lalu mulutnya mulai berucap, "Gungnir!"

Lesaan secepat kilat itupun tak terelakkan.

JDARRR …

Cahaya super silau diiringi daya hancur maha dahsyat telah meruntuhkan sebagian bangunan. Bagian terluar sayap timur kastil berantakkan jadinya. Dinding batu kastil hancur dari atap sampai ke bawah, menyisakan sebuah lubang menganga.

Bzttt …
Bzttt …

Sisa-sisa percikan listrik masih tampak di sana sini. Sementara kepulan asap naik tinggi ke angkasa. Nely beranjak keluar dari tempatnya, masuk ke dalam area serangan. Detik demi detik, kepulan asap mulai memudar.

"Sudah selesai! Hahaha, sudah selesai!" Nely merasa lega. Dia tidak harus buang-buang tenaga mengejar si rambut hitam lagi, sebab dia sudah tamat.

"Selesai …? Tidak! Ini baru akan selesai setelah kau mati, dasar jalang! Aku hampir saja mati karena serangan tak terlihatmu. Pasti kulunasi hutang itu … segera!" Suara itu membuat Sanelia terhenyak dari kelegaannya. Lawannya belum mati. Tepat di seberangnya, di dalam kepulan asap, tampak siluet buram. Visualisasinya tampak tidak utuh. Siku kirinya bukan patah lagi, melainkan terlihat menggantung seolah terkoyak hampir putus, hanya sepotong tipis daging sebagai penyambungnya. Tangan kanannya bergerak melengketkan kembali bagian terkoyak itu. Butuh sekitar sebelas detik sampai lengan kirinya kembali utuh sedia kala, seperti barang baru yang masih tersegel.

Setelah jejak-jejak asap mengganggu hilang, sosok Samara terlihat berdiri tegap. Pakaiannya koyak di beberapa tempat, tapi masih cukup untuk menutup bagian terlarang. Tidak ada luka, lecet, maupun lebam di permukaan kulit mulusnya.

Mengejar sekian lama, begitu satu serangan besar telak mengenainya, dia masih juga belum mati. Sanelia bergetar, bukan karena takut, melainkan dia geram. Geram sekali. Tangannya mengepal keras ingin meninju.

"Iaculatio Grandinis (Hailstone Spear Throw)!"

Kepulan aura mistis kebiruan berkumpulan di satu titik di udara, tepat di atas taman luas timur kastil. 

Syut!

Samara menyadari apa yang barusan itu. Dia tidak bergeming, berlari zig-zag, berkelok-kelok ke kanan ke kiri guna agar tak tertusuk jarum-jarum es yang dimuntahkan dari aura kebiruan di atas. Peluru jarum itu mengejarnya. 

Di pihak lain, Sanelia terlihat fokus pada sihirnya. Dan situasi itu tertangkap mata Samara. Dengan cepat dia berlari berputar mengelilingi taman, hingga tiba-tiba dia mengerem, terseret kira-kira dua meter ke depan, dan segera menjulurkan lengan kanannya lurus ke arah Sanelia.

Empar akar berukuran super besar dengan diameter mencapai tiga puluh senti dan ujung yang tajam, bergerak meliuk-liuk melesat menuju Sanelia. Sihir jarum es pun segera dia hentikan, lalu membangun sihir perisai baru yang tak kasat mata alias transparan.

Suara bedebum serta retakan kaca, terdengar halus. Naas, perisai transparannya kini tertembus oleh keempat akar, tersisa empat senti lagi sebelum mengenai matanya. Kemudian akarnya bergerak menarik paksa pelindung retak itu tinggi ke udara, sebelum akhirnya menghantamnya turun ke atas tanah dengan keras. Sihir perisai Nely hancur berserakan, tak lama kemudian lenyap tanpa bekas.

"Fulgur Flagello (Lightning Whip)!" Listrik memercik berkumpul di telapak tangan berwujud cambuk panjang. Dia menggunakannya memotong akar pohon bagai memotong daging, begitu mulus tanpa jeda. Dengan gilanya, Sanelia mengejar Samara melecutkan cambuknya bertubi-tubi, tak peduli dengan sekitarnya, atau apapun yang dia cambuki. Semak-semak terbelah dua. Tertoreh goresan dalam di permukaan dinding saat cambuknya mendarat. 

Cambuk listrik menghilang. Selesai bermain cambuk menyambuk, lingkaran sihir besar tercipta di atas tanah, mengeluarkan cahaya biru. Tak berselang lama, pergelangan kaki Samara membeku, berserta tanah di sekitar di dalam lingkaran sihir. Samara tersenyum. Selagi lapisan es masih tipis, Samara memanggil empat buah bunga raksasa setinggi manusia dewasa mengelilinginya, sebelum pilar es memerangkap semua di dalamnya dengan instan.

"Yak, berhasil! Pundakku sampai sakit, sialan!" ujar Nely meremas-remas pundak kanannya.

"Apa kau sudah mengecek? Mungkin saja dadamu tidak sama besar," ucap Samara mengejutkan.

Lagi-lagi Nely dibuat terperangah tak kala penjara esnya dibuat meleleh. Es mencair dengan cepat, membasahi permukaan tanah. Dalam beberapa puluh detik, pilar itu menghilang dari pandangan. 

Samara terkekeh mengejek. "Kau tekejut kenapa esmu mencair 'kan? Symplocarpus foetidus! Atau yang dikenal dengan sebutan kubis sigung. Ini adalah salah satu tanaman langka dengan kemampuan unik yang dikenal sebagai thermogenesis, yang mana dia dapat meningkatkan suhunya sendiri di saat suhu di sekitar menurun drastis."

Sanelia berdecak kesal. Tumpukan amarah hampir atau mungkin telah mencapai puncak teratas. 

"Kinesisku dapat mengendalikan tumbuhan. Dengan kata lain, aku dapat mengatur tingkat kecepatan dari masa pertumbuhan, proses regenerasi, maupun genetika dari tumbuhan, baik merubah ukuran atau wujudnya sesuai yang kukehendaki. Kendalikan alam, maka kau akan mengendalikan seluruh dunia. Kau setuju? Kayaknya waktu bermain kita hampir habis, mari kita selesaikan sekarang juga!" ajak Samara.

"Ayo, pelacur!" Nely membalas.

Nely memulai. Sesuatu di tembakkan tinggi ke atas langit. Meledak indah bagai kembang api. Proyektil bercahaya itu kembali lagi kedua kalinya, turun dengan cepat, mengejar Samara.

Samara berlari secepat kilat, menerjang Nely yang sedang melangsungkan serangan menjengkelkan itu lagi. Dia melompat memberikan tendangan terbaiknya. Namun, Nely berhasil menangkap kakinya, berputar satu putaran, lalu meleparnya sekuat tenaga. Alhasil, Samara terbuang, tapi dia mampu berputar demi mengembalikan posisinya sebelum mendarat mulus. Sewaktu kakinya menyentuh tanah, akarnya keluar secara spiral membentuk pegas. Melemparnya dengan kecepatan penuh.

Samara tampak melesat lebih cepat, mengarahkan tinju tepat di wajah Nely sampai si retina hijau itu terdorong jatuh ke belakang. Di saat bersamaan, lebah api telah tiba di bawah. Sekawan lebah dihindari Samara sesaat setelah kembali mendarat dengan mudah. Ketika dia berniat membawanya sekelompok api kecil mendekati Nely, wanita itu merapal sihir baru.

"Factus Est in Inferno (Inferno Tempest)!" Sihir elemen lagi, penggabungan antara api dan angin, berhasil memunculkan tornado api bergulung-gulung bagai tembok melindunginya. Bahkan tornado api dapat Nely kendalikan mengejar lawannya.

Niat Samara untuk serangan jarak dekat, pupus sudah. Tapi dia memang tak bisa ditebak, serta terlalu sering bermain-main di situasi genting semacam ini. Dia berlari lurus ke Nely, menunjuk ke samping. Detik itu juga, Nely terhantam tinju kedua kali dan terpelanting ke samping. Pasalnya, sebuah akar menggempal nyaris membentuk kepalan tangan mendarat mulus di pipi Nely.

"Sialan kau! Sialan! Mati!" umpat Nely mengerikan berusaha berdiri.

Samara tak mengindahkan kata-katanya. Malah dia telah sampai di depan dan mengunci pergerakan musuhnya itu agar tak dapat lari lagi.

"Jika aku terbakar, kau terbakar bersamaku!" Samara menyanyikan kalimatnya.

Nely gelagapan. Terpaksa dia menetralkan sihirnya sendiri. "Dissolvo (Release)!"

Puluhan proyektil dan tornado api lenyap dari pandangan. Samara sumringah, menunjukkan hipotesisnya benar, Nely tidak anti terhadap sihir sendiri.

"Ferro Ignis Geminisque (Twin Fire Sword)!" 

Kedua tangan Nely memunculkan api panjang berwujud pedang. Sayatan pertama mengenai lengan kanan Samara, saat dia berniat melepaskan genggamannya. Lukanya berapi-api, namun sembuh lagi berkat vitakinesis. Pedangnya hilang lagi setelah dia terbebas.

"Cukup sudah! Ignis Lagios: Phoenix (Fire Bird: Phoenix)!" 

Panggilan dari burung api terdengar dari angkasa gelap. Samara melihat kesempatan, memanfaatkan timing tersebut menyerang Nely. Akar-akar besar dan kecil berenang keluar masuk dari dalam tanah, bagaikan naga menari-nari tertuju pada Nely.

Sang Phoenix memanggil terakhir kalinya. Cahaya menyilaukan serta panas ekstrim mewarnai kedatangannya. Dia melesat cepat bagai peluru kendali. Samara hanya mampu meliriknya, tak sempat menghindar. Serangannya telambat menggapai Nely yang jauh di seberang.

"Tingkatkan suhu!" gumam Samara menjelang ledakan.

Wush
.
.
.
BLARRRR!

Sihir Phoenix menjelma mirip bom napalm. Segaris lurus tanah yang disentuhnya terbakar semuanya sampai hangus. 

"Hahaha! Rasakanlah pelukan dari sayap yang membara!" Nely tertawa girang. Cahaya ledakan terbias jelas di retina hijaunya.

Api melambung tinggi menerangi seantero taman. Sepetak besar tanah berubah hitam, menggantikan warna hijaunya rumput. Dinding di dekatnya juga tersambar jilatan api, meninggalkan jejak-jejak api yang masih aktif menyala di dalamnya. Beberapa bagiannya tampak meleleh.

"Aku tahu kau masih hidup. Bukankah itu kemampuanmu, merasakan sakit bertubi-tubi daripada mati? Aku masih ingin menyiksamu lagi. Sekarang aku sadar, kau lemah akan api. Ayo, tunjukkan dirimu! Kemampuan tumbuhan payah sepertimu mau mengendalikan dunia? Kau bermimpi terlalu jauh! Akan kubakar kau terus meski tak bisa mati. Kubiarkan kau sembuh, terus kubakar lagi!" cerocos Sanelia yang sudah stress. Bulir-bulir keringat memenuhi dahinya. Situasi benar-benar memanas, dalam artian sebenarnya.

Suhu udara naik semenjak sihir api ikut mengambil peran. Udara sejuk musnah. Serangan Phoenix secara intens memanaskan atmosfer, apalagi pemanas alami—kubis sigung—milik Samara, masih berdiri utuh di tengah taman. Secara tak disadari Nely, tanaman itu sendiri pun menaikkan suhunya hingga kini mencapai 46o Celcius.

"Kau senang?" tanya Samara, tidak ada rasa tertekan atau apapun dalam nada bicaranya. "Kau sudah salah saat mengatakan akan membakarku terus. Jika mau kuberi saran … em, itu bukan ide yang bagus. Serius! Tidak bagus!" tuturnya yang sedang duduk di area tembakan tadi. Tanah di sekitarnya gosong, panas, dan berasap. Kulitnya yang terbakar perlahan sembuh. Pakaiannya terlihat lebih parah dari compang camping. Celana panjangnya tersulap menjadi super pendek. Untungnya serat-serat kain masih membalut bagian dadanya, di saat bagian lain sudah tak berhelai.

"Diam kau!" bentak Nely tak terima.

Nely berlari mendekati Samara. Dari tanah gosong, muncullah sebuah dahan beserta beberapa helai daun. Dan dengan cepat sebuah pohon keluar menjulang tinggi ke atas. Nely terhenyak, melompat mundur menjaga jarak aman sampai dirinya berada di dekat kubis sigung raksasa tanpa dia sadari. Bukan cuma satu, pohon-pohon sejenis lantas ikut menampakkan diri, mengelilingi Nely, searah jarum jam.

Tinggi pohon kira-kira mencapai lima belas meter. Beberapa kulit pohonnya seputih cat, sisanya berwarna-warni seperti pelangi yang cantik.

"Kau ingin mengurungku di sini, dengan pohon ini?" Nely coba bertanya, sambil sesekali mengelap keringat di dahi. Walau pertanyaan itu tidak cocok, jika dilihat dari jarak antar pohon yang terbilang masih cukup lebar untuk dia lewati.

"Eukaliptus. Itu nama pohonnya." Samara bangkit, berjalan mendekat ke bagian kastil yang menganga tersambar Gungnir.

"Hahaha, kau yakin ingin menahanku dengan pohon-pohon tak berguna ini? Tidak ada jurus yang lebih manjur lagi, ya?"

"Kita lihat saja nanti!"

"Karena kau akan mati, aku akan jujur satu hal padamu. Ingat di awal saat kukatakan anakku ditahan Ratu Huban? Sebenarnya itu cuma kebohongan yang kubuat-buat. Siapa tahu ada yang mau berbaik hati mendengarkan dan memenuhi permintaanku? Yah, itu semua tidak berarti lagi."

Samara menelengkan leher mendengar kalimat demi kalimatnya. "Aku tidak peduli. Kalau boleh jujur juga …, tujuanku kemari adalah menghentikan permainan ini selama-lamanya dengan mengalahkan orang yang kalian panggil-panggil Ratu itu."

"Hehehe, naif."

"Naif? Mungkin iya. Soalnya kami memiliki urusan yang jauh lebih penting dengan Ratu kalian."

"Kami? Siapa kami? Walau aku bertanya begitu, kau pasti tidak akan menjawabnya 'kan? Aku tidak peduli lagi dengan semua ini. Walau ini tidak bisa membunuhmu, setidaknya aku bisa menambah skorku dengan menghabisi mereka yang masih berada di dalam kastil." Nely memberitahu.

Seiring bergulirnya waktu, kabut kebiruan semakin membuat keberadaan Nely terlihat buram. Entah dari mana asalnya. "Gas beracun? Dari bunga raksasa sialan inikah? Tidak!?" benak Nely.

"Ini akan menjadi sihir terakhir menutup turnamen pembukaan ini. Siapa namamu, jalang? Biar aku lebih gampang mencarimu selanjutnya."

"Samara. Samara Yesta, sialan kau!"

"Yesta! Kuakui kau hebat! Tapi kami, para veteran, tidak sudi memberikan kursi kami untuk para amatiran. Dan sihir ini akan menghapus jejak mereka semua. Ignis Elementum: Ignis Draco Cataracta (Fire Element: Fire Dragon Waterfall)!"

Lingkaran sihir bercahaya merah muncul di atas telapak tangannya. Dari dalam sana, keluarlah sebutir entah apa yang berpendar kemerahan. Benda itu naik ke udara, terus naik sebelum bencana terjadi.

Pohon Eukaliptus yang tumbuh banyak ini mengandung semacam minyak yang sangat mudah terbakar. Sihir  api dari Sanelia telah menyebabkan cuaca di sekitar taman meningkat drastis, ditambah tanaman kubis sigung Samara, sehingga minyak yang terkandung di dalam daunnya menguap lebih cepat dari seharusnya, memberi kesan kabut kebiruan di atmosfer. Itulah asal muasal kabutnya. Terlebih lagi, pohon Eukaliptus telah dimanipulasi sehingga menghasilkan minyak lebih banyak daripada normalnya. Semilir angin hanya meniup kabut hasil uapan menyebar lebih jauh. Hanya dengan satu percikan bunga api kecil saja, seluruh area dijamin akan menggelegar.

Sebelum kelereng bercahaya Nely mencapai tahap akhir serangan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Benda tersebut bergerak naik, dan secara tidak sengaja, dia menyentuh kabut hasil uap dari minyak pohon Eukaliptus. 

Sontak api tiba-tiba menyala, membakar gas yang telah menyebar, menjalar ke segala arah, meyambar seluruh taman beserta pohon-pohon Eukaliptusnya. Nely  menyaksikan dengan takjub ketika sekelilingnya mulai terbakar—liuk-liuk api merambat di udara—dengan mata kepala sendiri. Saat Nely tersadar dari ketakjubannya di tengah-tengah lautan api, dia sudah terlambat untuk menyelamatkan diri. Seluruh taman tak ubah-ubahnya tampak bagaikan neraka dalam waktu sekian detik. Sedangkan pohon Eukaliptusnya sendiri berubah bagaikan granat yang meledak dahsyat sejadi-jadinya jika bersentuhan dengan api, menciptakan daya ledak luar biasa yang melahap seantero taman beserta Sanelia di dalamnya hingga hancur berkeping-keping. Api membumbung tinggi menerangi gelapnya malam, memanaskan dinginnya udara, diiringi suara keras yang dipastikan membuat seluruh pemain terkesiap mendengarnya. 

Jauh di sisi seberang, Samara menerima terjangan angin yang tercipta dari gelombang ledakan. Terpaannya bertiup kencang menyebabkan Mliit yang menyaksikan pertarungan mereka secara diam-diam, sampai tersapu terbang jadinya.

"Kan sudah kubilang, kita lihat saja nanti! Tuh kan meledak sendiri, dasar bodoh!" ucap Samara sambil menyaksikan serpihan-serpihan kayu berjatuhan dari langit, disertai suara khasnya, dan temponya bisa menjadi sebuah musik.

Plank …
Plank …
Plank …

Di antara ramainya serpihan yang belum selesai mendarat seluruhnya, sosok kepala bantal seolah tak mau ketinggalan. Dia muncul dari kegelapan. "Penyusup! Aku tahu kau penyusup!"

Samara bergeming. Menatap sosok gadis berpayung jauh di atas tanpa ekspresi.

Cukup lama jeda setelah itu sampai sang Ratu melanjutkan, "aku bisa mencium baumu, penyusup. kau dari organisasi terkutuk itu … Third Eye."

Samara mencoba menangkap tubuhnya dengan akar, namun dia seperti hologram yang kembali buram dan hampir menghilang. Akar tak bisa menyentuhnya. Sebelum si kepala bantal lenyap seluruhnya, dia sempat berucap, "hahaha, sayang sekali, waktu sudah habis! Kau menarik, benar-benar menarik. Kalau itu mau kalian, kelak kita akan bertemu lagi di mimpi berikutnya!"

—[][][]—

Seluruh pemimpi yang selamat terlempar balik ke tubuh asal. Samara membuka kedua matanya cepat, pertanda mimpi atau pertarungan itu telah selesai. Butuh beberapa detik untuknya menyelaraskan memorinya dengan apa yang terjadi barusan. 

"Kita ketahuan. Si kepala bantal itu menyebalkan. Dia bisa muncul dan menghilang sesukanya," ujar Samara memegangi kepalanya yang masih terasa pusing.

"Kepala bantal?" Max bingung.

"Maksudku Ratu Huban."

"Ratu Huban …? Itukah namanya di sana?"

"Wah, wah, wah, dia mengganti namanya, persis seperti buronan di film-film." Salah satu pria ikut nimbrung.

Samara cuma menelengkan kepala mendengarkan perkataan salah satu rekannya.

"Ceritanya panjang. Asal kau tahu, nama aslinya tetaplah … Alexandra Elbandito," jelas Max pada Samara. 

25 komentar:

  1. Saya speechless.
    3 Kinesis yg berkesinambungan. Dan Third Eye, mata ketiga.
    prinsip dimana dunia ketiga.
    Mata Dunia, Mata Akhirat,

    Dan Third Eye berada diantara 2 mata tersebut.
    Gila, berani nantang Huban si Palban (Pala Bantal).
    Saya liatnya sih nantang, klo bener2 buronan jga para Third Eye terutama Samara gak akan sebegitu gamblangnya meremehkan si Huban.

    Safe route dimana partisipasi masuk, tapi misi utama utk hajar si Palban ttep Jalan.

    Speechless krn Technical Kill versi sihir apinya.
    Saya udh menduga teknik Cataracta akan fatal di bagian dimana itu naga benar2 Double-Edge blade. (Sekilas memang keren dan flashy, tapi kontrol penuh memang harus dikuasai. Dan dri analisis saya. Nely lebih ke Jack-All-Trades Manna powernya dia).
    Sementara Samara benar2 menguasai 3 Kinesis andalannya.

    9
    Saya salut ama polesannya yg menggila. Bener2 Technical Kill.
    Dan bsa masuk jga sih ke Beautiful Death.

    OC: Kaede Hazuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sang alkemis nongol =D
      TQ atas komennya

      -chandra wu-

      Hapus
    2. Shhhh, Self-Pleasure itu =DDDDDD
      Yoi

      Hapus
  2. Baca ini udah serasa entri opening BoR6 saja :D

    Hmm ... ada banyak miss di konsep tentang Ratu Huban yang mungkin akan menyulitkan penulis jika diterapkan di BoR6 kelak. Dan veteran dan novice di sini nyangkutnya ke status petarungnya, yak? Tapi yah ... karena ini masih FBC, jadi perubahan komponen seperti ini tak terlalu saya permasalahkan dulu.

    Dari sejumlah entri novice sampai saat ini, saya melihat cerita Samara termasuk yang paling menjanjikan. Tulisannya cukup rapih. Dan penguasaan plotnya sudah oke. Mungkin yang saya agak kaget adalah sikap si Samara yang ternyata tak se"tenang" yang digambarkan di Charsheet-nya. Pakai celetukan "Oh, shit" segala :D

    Segitu aja komen saya. Mungkin perhatikan lagi lebih teliti, masih ada sejumlah kesalahan penulisan. Seperti "selagi" yang menjadi "selai", dll xD

    Saya sangat menantikan penulis juga berpartisipasi di turnamen utama Battle of Realms 6 dan berbagi cerita di sana~

    Nilai 8+

    - hewan -

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya dari awal memang gak terlalu paham gimana konsep dari si Huban, jadi ya gw bikinnya dia jadi antagonis.

      Iya sih, veteran dan novice jadi patokan status petarungnya.

      Emang gak boleh ngelanjut plot dari FBC ya untuk turnamen utama?

      -yang punya-

      Hapus
  3. Baguuussss >///< bingung mau ngomong apa, teknik penulisan maupun teknik bertarungnya bener2 bagus.

    Kemampuan kinesis2nya disajikan dg apik, narasinya juga halus.

    Langsung nilai aja ya, 9 ~
    Selamat.... <3

    OC : Anne Ezbari

    BalasHapus
  4. Wow...

    Narasinya bagus, plotnya keren,
    Adegan battle nya "pecah banget" :D
    Saya ngikutin ceritanya dengan antusias walaupun rada gak ngerti dengan konspirasi "Third Eye" dan mengapa mereka mengejar Ratu Huban..

    Itu aja mungkin...

    Titip 9... ^^/

    Sign,
    Lyre Reinn

    OC : Altair Natsuki

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Nggak usah terlalu banyak komment kayaknya, ini bagus banget..

    Nilai: 10

    OC: Rose Vinensine

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nilainya bisa dianulir, loh, Mas, kalau gak pakai alasan kuat~

      Hapus
    2. ok, pertama penulisannya sudah sangat rapih,

      ini udah kayak baca tulisan pengarang yang pro dimana kaga perlu terlalu susah membayangkan seperti apa kejadian yang dialami dalam cerita,


      ane rasa sih alasan ane diatas cukup, karena jarang ada penulis amatir bisa ngelakuin hal tersebut.

      karena ini pendapat ane harap dihormati....

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  7. Kok nggak net-wait. Mbak Nely! Tega sekali! Apakah ini semua karena rasa iri dan dengki Samara terhadap daging besar yang tidak dia miliki?! Jalang. #abaikan

    Well, narasinya bagus, plotnya keren.
    Sedikit pesan, setelah merapal satu mantra disambung dengan merapal mantra berikutnya tentu akan menguras tenaga, terutama sihir tingkat tinggi. Jika Mbak Nely sudah lumayan kelelahan saat 'diajak berkeliling oleh Samara', bukankah setelah beberapa mantra berikutnya dia sudah hilang kesadaran? Dan satu lagi, apakah ada syarat khusus dalam pemakaian kinesis Samara (selain harus ada elemen alam)?

    Untuk sementara 7 terlebih dahulu.
    +1 untuk setiap jawaban yang masuk akal.
    Salam perdamaian.

    -GoldenRose-
    OC : Mawar Mulia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Nely hanya kelelahan fisik, sementara sihirnya kan menggunakan energi mana seperti yang disebutkan di charsheetnya bahwa dia memiliki energi mana nyaris tak terhingga, jadi kurasa sah-sah saja bukan, sah kan aja deh :v

      Samara tidak perlu komat-kamit berbelit-belit merapal mantra atau apalah itu, tinggal bayangkan lalu keluar sudah. Kinesisnya masih bergerak di sekitar bidang tumbuh-tumbuhan.

      -chandra wu-

      Hapus
    3. Jadi jawabannya dihitung masuk akal, ndak? ._.

      Karena belum ada balasan lagi, kalau begitu saya ambil nilai awalnya saja, yakni 7

      Hapus
  8. Openingnya agak melenceng dari instruksi panitia, tapi biarlah. Saya sendiri bunuh OC saya di akhir entri. Kalau sudah masuk ke Turnamen BoR 6, jangan diulang. perhatikan lebih teliti kriteria yang diberikan oleh panitia.

    Selain kritik di atas, saya nggak bisa komentar banyak... Pertarungan ini begitu epic sampai nggak terasa sampai di akhir. Well... Good job!

    Nilai 9
    OC : Opi Sang Operator

    BalasHapus
  9. Hohohoho~

    Boing-boing di dada si Nely itu menjadi asset terbesar sekaligus kelemahan fatal juga yah. But that useless meat isn't useless after all, karena berhasil bikin saya ngakak :D

    Ini technical kill-nya dapet lah, dimulai dari pengurungan pohon, terus si Nely kebakar gara-gara ke'kepo'annya sendiri, wkwkwk

    Pace-nya cepet, tapi nggak bikin saya kehilangan fokus. Penulisannya rapi, berbeda dengan entry lain yang baru saya baca selama ini (walau belum komen sih).

    Btw, ini novice vs veteran udah kayak junior bangkit melawan penindasan senior yak, wkwkwkwk

    Nilai 8

    OC : Orchid Chocolatechan

    BalasHapus
  10. OC: Ghoul :=(D

    Prolognya menarik, jadi penasaran nambah ke adegan selanjutnya (srek—sambil buka lembar halaman). Enjoy reading baca entri ini.

    Eyd rapi-lah, dikit aja yang keluar eyd. Sisanya aku respek. Ada dikit typo: Selai (selagi?), sekadar bukan sekedar, daripada (kalau membandingkan) bukan “dari” saja, mengubah bukan merubah, ekstrem bukan ekstrim. Ada beberapa kalimat yang kurang tanda baca yang semestinya.

    Aku Pernah bobo terlentang kayak gitu n kayak jatuh getu dari jurang sensasinya, napa ya? (abaikan).

    Seru battlenya oi… Duelnya suka dah dari awal, pertengahan, ampe seterusnya di ending, bikin penasaran terus. Detail pertarungannya bagus tuk dibayangkan, ga ribet. Mantranya pun ada penjelasan singkat dalam kurungnya, jadi lebih memudahkan memahaminya. Endingnya pun nice. Sukalah dari awal ampe ending.

    Beregenerasi kayak Tokyo Ghoul episod 11-12 itu, ya? (abaikan—sekadar mengenang). Nonton lagi, ah…

    Saya berterima kasih pada kalimat: “Bajunya koyak dan masih cukup untuk menutupi bagian terlarang.”

    Tumbuhannya canggih-canggih ya. Aku pernah dikasih bunga tapi layu karena aku ga tertarik miara bunga, lebi suka miara anjing hehe (abaikan—curhat).

    Di balik kecanggihan itu, aku jadi kurang respek getu ama tokoh utamanya karena kayak gak ada kelemahannya. Dia kayak sempurna aja gitu, mungkin bagusnya kapan-kapan kalo on lagi diberilah dia sedikit kelemahan. Hm, meski bisa beregenerasi tapi kayak dimudahkan banget getuh hidupnya. Gak ada pekikan kesakitannya gitu kayak misalnya di anime-anime beattle lainnya. Jadi kurang salut ama tokoh utamanya karena hidupnya ga menantang, ga ada kendalanya. Semakin banyak perlawanan dan menahan lukanya tu misalnya, tuh lebih menggambarkan kekuatannya daripada hanya sekadar menghindar atau mengeluarkan jurus-jurusnya, bisa bikin salut pembaca.

    Yang nulis nih ahli botani ya? Hehe… (abaikan).

    Hanya bisa kasih 9 poin karena itu lah, tokoh utamanya terlalu sempurna, ga ada derita-deritanya gituh, jadi kurang menantang bacanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trims untuk kritik & sarannya, sangat membantu :D

      -chandra wu-

      Hapus
  11. narasinya luwes, tinggal kalimatnya aja yang perlu disederhanakan.
    sebab di atas misalnya, ada 3 kalimat yang bisa disingkat jadi satu.

    belum ada unsur penokohan, tapi tanpa itupun sebenarnya kalau kalimatnya bisa sederhana aja udah nikmat dibaca.

    saranku, kalau mau yang lebih realistis, ngejar teknik menulis kompleks dengan kalimat yang sederhana dulu, penokohan belakangan aja. bagi pembaca bisa ngikutin cerita tanpa "skip" aja udah jadi prestasi banget :)

    7

    semangat yaa

    BalasHapus
  12. entry dengan cerita terepic yang saya baca. jujur pembawaan ceritanya mulus mengalir kaya sungai yang belum terkontaminasi apapun. penggambaran tokoh samara dan nely dibawa dengan epic.

    nilai : 9

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  13. SHIEEEEEETTTT!!! Mataku nempel terus ke layar laptop!!

    Narasinya luwes dan plot penuh aksi. Full fight. Penggunaan tanaman samara macam-macam dan punya keunikan tersendiri. Nely juga skillnya benar-benar dieksplor,menembakkan sihir setelah sihir lainnya. Ohohoho epik sekali!!

    Settingnya agak melenceng dari ketentuan panitia, but meh. Aku menilai dari enjoyment ketika membaca, maka dari itu kuberikan nilai terbesar yang bisa kuberikan.

    Nilai : 10 \(OuO)/

    OC : Begalodon
    Makasih sudah mampir di entri Begalodon. :)

    BalasHapus
  14. Entrinya mulus kayak kulitnya Samara.

    Kelebihan jangan ditanya lagi, udah apik banget lah entri ini.

    Cuma ya entri terlalu mulus itu rasanya kurang aja kalau menurut saya pribadi. Meski enjoy, saya merasa harusnya battle-nya dibuat lebih sulit lagi. Gitu aja sih.

    Nilai 9 untuk entri semulus ini.

    Salam Sejahtera dari Zarid Al-Farabi dan Enryuumaru.

    BalasHapus
  15. Teknik penulisannya bagus banget. Rapi. Suka sama diksi-diksinya. Kekeliruan EYD masih berserakan. Meski berdalih jenis fantasi alias bukan sastra, penulisan kata/lema tetaplah jadi pondasi utama. Plot, penokohan, konflik, tidak ada yang istimewa. Ohya, sebisa mungkin hindari pernyataan berbau anti-keragaman (ada bagian menyudutkan ekspresi gender tertentu).

    Pun begitu, sebagai sekuen fiksi-fantasi, sangat layak diapresiasi. Kita diajak masuk ke universe yang kaya, warna-warni, imajinatif, dan deskriptif.

    Lanjut terus nulisnya yah. You're such a talented man.

    -Yang Selalu Merindukanmu-

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.