Senin, 22 Februari 2016

[FBC] 002 - MAWAR MULIA

VERSUS
MAHESA WERDAYA
[Tantangan N4]
oleh : Ridho Affandi

---

"Sebuah Mimpi yang Aneh"

.Awal Mula Ingatan – Kambing.

Sebuah ruangan bertembok putih. Sebuah ruangan dengan meja dan kursi terletak ditengahnya. Sebuah ruangan sempit bercahaya remang-remang dari sumbu lilin yang terbakar. Aku tersadar di dalam ruangan itu setelah mendengar suara laki-laki berbicara — di dalam kepalaku.

"Dimana ini?" suaranya lembut penuh kebingungan.

Aku, tanpa sadar, berdiri dari kursi yang kududuki dengan pertanyaan yang sama. Hempasanya membuat kursi itu terlempar kebelakang. "Tunggu, tunggu, tunggu! Bukankah itu pertanyaanku? Akulah yang seharusnya bertanya! Dimana ini? Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara dalam kepalaku? Apa jangan-jangan kamu alien? Tidak mungkin... jangan-jangan kamu... dukun!"

Hening. Aku tidak mendengar apa-apa lagi dalam waktu yang lama. Aku rasa ini percuma, dia tidak langsung menjawab.

"Bukan..." sangkalnya setengah berbisik setelah sekian lama. "Aku bukan dukun, dasar wanita sialan. Dimana ini? Apakah kau yang mengurungku disini? Dalam ruangan ini?"

"Bukan, bukan, bukan. Bukan aku. Pertama-tama, biar aku jelaskan dua hal kepadamu. Satu, aku juga terkurung dalam sebuah ruangan. Dua, aku punya nama. Sebut saja Mawar. Mawar Mulia."

"Mawar..." laki-laki itu berbisik, nadanya seperti mengingat-ingat sesuatu. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Tergantung."

"Tergantung?"

"Iya, tergantung. Siapa namamu?"

Sekali lagi, dia tidak langsung menjawab. Samar-samar aku mendengarnya menahan tawa, nafasnya terasa tak beraturan. Tanpa sadar, aku membayangkan seorang lelaki mesum sedang menyunggingkan senyumnya.

Tak berselang lama, dia berbicara padaku dengan nada yang lebih santai, "Kalau begitu, perkenalkan, namaku Mahesa. Mahesa Werdaya. Hei, Mawar, apakah kau ingin mendengar sebuah cerita?"

Aku akui nada berbicaranya memang terdengar lebih santai, terlalu santai dalam situasi seperti ini. Aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Cerita apa?" tanyaku penasaran.

"Sudah delapan tahun berlalu semenjak pertarungan yang tidak diinginkan itu terjadi. Sekarang aku hidup dalam kebahagiaan, kedua orang tuaku hidup bersama, gadis kecil yang kusuka sudah menjadi pasanganku. Tapi, entah mengapa, aku masih merasa belum puas. Mawar, apakah kau masih perawan?"

Merah padam, wajahku terasa menebal setebal batu bata, dibuatnya aku marah. "Kurang ajar!" umpatku kencang. Laki-laki dalam kepalaku ini benar-benar butuh pelajaran. Walaupun suaranya terdengar lembut dan halus, dia bukan tipe yang dapat dipercaya! Segala macam umpatan keluar sudah dari mulutku, mengucur deras bagai air terjun, mulai dari Bahasa Inggris sampai Bahasa Jawa, mulai dari hewan berkaki dua sampai hewan berkaki banyak, kotoran, nama orang. Semua kata, kalimat, kiasan umpatan yang kuketahui keluar semua. Aku lampiaskan amarahku padanya. Nafasku tersengal-sengal.

"Mengejutkan..." ucapnya tak percaya. Dia tertawa, lepas, penuh kehangatan. Tawanya memancingku untuk ikut tertawa. Aku tidak percaya, caranya memecahkan suasana sangatlah hebat—atau akunya saja yang memang mudah terpancing amarah, keduanya sama saja. Kami berdua tertawa, akrab.

Sesenggukan, Mahesa memaksa dirinya untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak mendengarkanya, diriku masih sibuk untuk tertawa. Aku tersandung kursi yang tergeletak dibawah.

Samar-samar, aku mendengar Mahesa menghentikan tawanya, kesusahan mengambil nafas, seperti seseorang tengah tercekik. "Ka... mbing..."

Kambing?

Mendengarnya, kepalaku mendadak terngiang, sebuah suara lengkingan tinggi muncul entah dari mana. Aku mencoba memanggil-manggil Mahesa. Tidak ada jawaban. Kesadaranku perlahan diambil paksa dari tubuh. Apa yang sedang terjadi?

Tergeletak dipermukaan lantai dingin tanpa tenaga, samar-samar aku melihat kambing-kambing berbulu hitam berdatangan, mengengelilingiku. Mulutku masih mencoba mengucapkan nama Mahesa sampai aku benar-benar kehilangan kesadaran. Meminta pertolongan yang tidak akan datang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Ingatan I : Ratu Huban dan Alam Mimpi.

[Kepingan A]
 "Ma...hesa?"

Langit-langit tinggi tergambar dalam mata, cahaya matahari pagi yang menghangatkan wajah, bunyi alarm handphone terdengar tidak ingin berhenti; tidak salah lagi, aku terbangun diatas kasurku sendiri.

Terduduk memandang kaca. Aku memandangi gambaran seorang remaja perempuan berkulit sawo matang dan bermata sipit sedang duduk diatas kasur dengan rambut pendek berantakan. Badanku bermandikan keringat. Kupingku terngiang. Rambutku berantakan. Aneh, aku tidak ingat kalau semalam baru saja ditiduri seseorang... oh, maaf, darah bulanan.

Dan... apakah memang ada laki-laki yang cukup normal menginginkan diriku? Tidak? Terimakasih. Bahkan, cukup normal saja sudah tidak mungkin.

Sayup-sayup, kudengar suara Bibi Ann memanggil dari lantai bawah, menyuruhku untuk berangkat sekolah.

Baiklah, sebuah selingan, sambil menungguku mandi dan berganti pakaian, akan aku ceritakan sedikit tentang keluargaku – karena aku yakin kalian tidak ingin melihat struktur tubuhku yang amburadul ini, mungkin sedikit.

Orangtuaku meninggal saat umurku tujuh tahun, mereka dibunuh oleh perampok bersenjata disebuah gang sempit setelah menghadiri pertunjukan teater. Aku, yang saat itu masih belum mengerti apa-apa, hanya mampu menangis meratapi kepergian orangtuaku. Mereka dibunuh seperti orang tua Wayne, tapi aku tidak dapat menjadi sang kesatria kegelapan. Karena, kalian tahu, masalah ekonomi.

Dan sekarang, aku tinggal bersama Paman Gu serta Bibi Ann. Kedua orang yang sudah aku anggap orangtuaku sendiri. Walaupun Paman Gu sangat jarang dirumah karena mengurusi perusahaan multinasional miliknya, Bibi Ann mengerti diriku. Dia adalah Bibi terbaik di dunia. Bibi Ann telah memberikan loteng yang luas dari rumah besar ini untuk kutinggali, menyuruh untuk membersihkan seluruh ruangan setiap hari, mencuci pakaian kotor, mengelap barang berdebu. Semua pekerjaan rumah aku laksanakan kecuali memasak dan belanja, karena aku tahu Bibi Ann adalah tukang masak terhebat. Ya, dia memang tidak pernah menyuruhku melakukan pekerjaan rumah apabila Paman Gu sedang pulang, tapi aku sangat mencintai masakan Bibi Ann, bibi terbaik didunia.

[Kepingan B]
Pelajaran pertama pagi ini adalah olahraga — yang berarti memakai baju ketat dan celana pendek, yang mampu menuntun seorang lelaki menuju jalur kedewasaanya.

Aku pun menguap ketika berlari mengitari lapangan sekolah. Selalu berada paling depan membuatku bosan. Para siswa yang memburu nafsu dari para siswi selalu menempatkan diri mereka paling belakang. Berharap ada salah satu siswi yang kelebihan daging tumbang dalam pelukan mereka. Tentu saja, kau tahu, karena aku tidak punya beban itu, posisi pertama dalam berlari adalah langgananku.

Klub kendo yang aku jalankan pun berjalan dengan lancar, walaupun aku lebih suka menulis 'sih. Klub kendo juga salah satu cara untuk melampiaskan niat membunuhku. Maaf, bercanda, maksudku niat menyiksa. Ah, lupakan.

Telah lama aku berlari mengitari lapangan lingkaran ini, dan aku belum berbicara dengan siapa-siapa. Apakah aku kesepian? Tidak. Hanya saja, siapa yang ingin mengajakku berbicara ketika berlari? Tidak ada. Aku yakin tampangku sekarang berantakan, lebih hancur dari biasanya.

Oiya, hampir kelupaan, saat ini ada pertanyaan yang sangat mengganjal hatiku. Sekalipun, aku tidak mengingat detailnya dengan jelas. Milik siapa suara laki-laki yang kudengar dalam mimpi semalam?

Dan kupingku pun kembali terngiang dengan kencang. Aku rasakan sedikit kecupan tanah sesaat sebelum kehilangan kesadaran.

[Kepingan C]
Kejadian selanjutnya yang masih kuingat adalah diriku diboyong ramai-ramai ke dalam ruang medis. Dimana udara dingin AC dan obat-obatan menusuk hidung bercampur menjadi satu. Aku pun terbangun ketika melihat bantal melambung dihadapan wajahku. Bantal itu berbicara dengan nada ramah.

"Halo.. Kau punya impian yang menarik.. Tapi aku baru saja melihat impian seseorang yang sangat tangguh.. Aku penasaran siapa di antara kalian yang lebih kuat.. Oh..? Kau ingin bertarung denganya? Apa kau yakin bisa mengalahkanya? Apa kau berani bermimpi untuk menerima tantangan ini?"

Sekali lagi, aku ulangi, bantal itu berbicara. Bantal itu berbicara dengan nada yang ramah. Panik, aku berteriak kencang. Tidak mengindahkan keramahan yang disajikan, aku menendang dirinya(?) jauh menabrak dinding — sebuah tempat dimana aku lebih leluasa melihatnya. Makhluk itu memiliki badan, tubuhnya mirip anak manusia normal dengan kepala berbentuk bantal. Aku ulangi, kepalanya berbentuk bantal. Sambil merapikan pakaianya yang serba hijau, dia mengaduh kesakitan.

"Si-siapa kau? Le-lebih tepatnya, makhluk apa kau?" bentakku belepotan.

Dalam keadaan panik, aku masih sempat mengambil barang-barang yang ada disekitarku – bantal, selimut, kotak p3k, jam dinding, meja, semuanya  – dan kulemparkan ke arahnya, berharap dia menyerah dan pergi.

Namun, harapanku berbeda dengan kenyataan. Dia tidak menghindar. Menggunakan gagang payung yang didapat entah darimana, dia melindungi tubuhnya. Semua benda padat yang aku lemparkan dengan ajaibnya hilang dan melebur ke udara ketika menyentuh partikel pelangi yang keluar dari gagang payung itu.

Dan pada saat aku kehabisan barang untuk dilempar, dia segera melompat dan memulku dengan payungnya. Aku terjatuh diatas tumpukan barang-barang.

[Kepingan D]
Serpihan meja, beberapa suku cadang televisi, lampu taman, seperangkat alat ibadah dibayar tunai — semuanya bertumpuk menjadi satu. Dimana aku?

"Selamat datang di [Alam Mimpi]!" sambut seseorang dengan nadanya yang ramah. "Orang-orang disini memanggilku Ratu Huban. Berada dalam [Alam Mimpi] berarti dapat menjadi segalanya dengan bebas selama [Kehendak] mengkonfirmasi. Silahkan melihat sekitar," ucap gadis kepala bantal yang menyebut dirinya Ratu Huban sambil memberikan isyarat untuk melihat sekitar.

Tentu saja, tanpa disuruh pun, aku memang  ingin melihat sekitar. Terlalu banyak kejadian tak terduga hari ini. Tunggu, tunggu, tunggu! Bukan berarti aku tidak waspada. Aku masih dapat melihat sebuah gedung raksasa diarah jam 9, sebuah popok bayi raksasa melayang di arah jam 6, dan tumpukan manuskrip tidak jadi milikku diarah jam 3. Aku penasaran bagaimana manuskrip-manuskrip itu dapat berada disini.

"Hei. Bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu, Ratu Huban?"

"Ng? Tadi kau bilang apa?"

"Bagaimana aku dapat keluar dari [Alam Mimpi] ini?"

"Kau harus terbangun. Kau harus bertarung. Kau terbangun apabila kau menang bertarung."

"Bertarung?"

"Aku telah memilihkan lawanmu. Dia berada di lapangan terbuka disana, menunggu seseorang untuk melawannya," Ratu Huban menunjuk sebuah lapangan hijau luas nun jauh disana.

"Hati-hati, dia agak ganas apabila bertarung dari jarak jauh," peringat Ratu Huban sebelum dia menghilang bersama gagang payungnya.

"Tunggu! Tunggu! Tunggu!"

Terlambat. Ratu Huban telah pergi tanpa jejak. Bagaimana aku menuju kesana?  Lebih tepatnya, bagaimana aku dapat bertarung? Bahkan, aku sendiri masih belum mengerti cara bertarung di [Alam Mimpi] bagaimana. Ah, sial. Senjata saja diriku tidak punya...

<Tiba-tiba sebuah pedang kayu jatuh dari langit dibelakang Mawar tanpa ia sadari.>

...dan aku dengar musuhku pengguna senjata jarak jauh. Bagaimana aku dapat melindungi diri?

<Kali ini sebuah tameng lingkaran jatuh tidak jauh dari pedang itu.>

Terus, pakaianku ini bagaimana? Aku tidak ingin pakaianku ini rusak saat bertarung nanti, Bibi Ann dengan sangat baik hati mau menjahitkanku pakaian ini. Aku tidak ingin melukai hatinya nanti...

<Disusul juga sebuah chainmail, celana coklat pendek dan helm kesatria romawi kuno bersayap jatuh tepat terpasang di kepala Mawar.>

"Apa? Apa yang sedang terjadi? Kok gelap? OI, SIAPA SAJA! HIDUPIN LAMPUNYA, OI!" gelagapan aku mencari kepalaku dan melepas-lempar-apapun penghalang cahaya yang menyelimuti.

Cahaya yang sampai kemataku begitu menyilaukan, tidak terasa pemandangan yang aku lihat telah sedikit berbeda. Aku melihat sebuah pedang kayu, perisai, baju rantai, celana dan helm tergelatak diatas tanah. Benda-benda itu memiliki tulisan Mawar terpampang besar disetiap lapisannya. Aku penasaran siapa Mawar ini, dia telah berbaik hati memberikan barang-barangnya untuk kupakai. Ya, mungkin aku akan berhasil keluar dari tempat ini... jika aku masih hidup.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Ingatan II : Boxer.

[Kepingan A]
Berada dalam [Alam Mimpi], ditengah lapangan tandus yang tak terbatas, Mahesa duduk bersila menghadapi puluhan piring putih dengan canang berisi aneka bunga, tersusun melingkar diatas tanah. Ia menarik nafas dalam-dalam selama beberapa saat, lalu melakukan sembahan dengan mencakupkan kedua tangan sampai ujung jari diatas ubun-ubun. Dia menutup mata, mulutnya merapal mantra.

Om atma tattwatma suddha mam swaha

(Oh Sang Hyang Widhi, atma atau jiwa dan kebenaran, bersihkanlah diri hamba.)

Om prano Dewi Saraswati

Wa jebhir wa jiniwati

Dhiman awin yawantu

(Oh Sang Hyang Widhi, dalam manifestasi-Mu sebagai Dewi Saraswati, semoga engkau bersedia memancarkan kekuatan rohani, kecerdasan pikiran dan perlindungan pada hamba)

Om Endra warkasu kasu cin narnam

Tan usu dehi satrajidagere paumsyam

(Oh Sang Hyang Widhi, karuniakanlah hamba kekuatan fisik dalam setiap pertempuran, Oh Sang Hyang Widhi, sumber segala kekuatan, karuniakanlah hamba kemenangan dalam pertempuran)

Perlahan Mahesa membuka kedua mata.

"Delapan tahun sudah diriku tidak merapal mantra. Delapan tahun pula aku berpisah dengan Astra Sarotama dan Kamandaka. Aku masih tidak percaya kenapa aku harus kembali ke dunia ini. Dunia penuh pertumpahan darah ini," gumam Mahesa kepada dirinya sendiri.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Mahesa menarik nafas dalam, mencoba merapikan kepingan ingatan yang pecah.

[Kepingan B]
Di dunianya yang sekarang, pagi hari selalu dihabiskan Mahesa dengan bangkit dari kasurnya, bersiap berangkat sekolah, sarapan bersama keluarga dan menjemput Ratih dirumahnya. Namun, karena pagi ini bukanlah yang biasanya, dia harus bangun sambil mendengar teriakan keras dari Ibunya. Sebuah teriakan yang memaksanya untuk segera keluar dari kamar dan mencari Ibunya.

"Ibu tidak apa-apa?" panik Mahesa bertanya. Sebuah firasat buruk menghinggapi benaknya.

Hening.

Mahesa sekarang berdiri di tengah ruang keluarga. Ibu Mahesa yang sedang merebus air tidak dapat berkata apa-apa. Ayahnya menyirami bonsai sambil menahan senyum diwajahnya. Ratih yang sedang terduduk manis didepan meja makan tidak dapat menutup mulutnya. Mereka menatapi Mahesa dengan tatapan aneh.

Saat mulai menyadari tatapan tidak mengenakkan hati tersebut, Mahesa juga merasakan sebuah sensasi dingin dikakinya. Dia pun melihat ke bagian bawah tubuhnya. Dia tidak memakai celana. Tepatnya hanya sebuah boxer tanpa memakai atasannya selembar pun. Tetes demi tetes keringat mulai bertetesan.

Perlahan, dia berjalan menuju pintu kamarnya tanpa mengedipkan mata ataupun mengalihkan pandangan. Badannya terasa lemas, jantungnya terpacu cepat, dia sulit bernafas. Perjalanan menuju pintu kamarnya adalah perjalanan terpanjang yang pernah dia jalani.

Bagaimana tidak? Seseorang yang dari dulu dia sukai. Seseorang yang dia sangat hormati. Seseorang yang menjadi salah satu motivasinya menempuh kehidupan baru. Kini, setelah delapan tahun berlalu, Ratih pertama kalinya melihat Mahesa nyaris telanjang.

Tanpa sadar, Mahesa melirik Ratih. Dia melihat Ratih terkekeh. Dia pun langsung berlari memasuki kamarnya. Mahesa membanting pintu. Semua terasa buyar baginya.

Bersandar tembok didalam kamar yang tertutup dan gelap, Mahesa mencoba menenangkan pikirannya. Dia berbicara dengan dirinya sendiri.

"Ah, sial!
Mimpi apa aku semalam?
Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Aku yakin tadi melihat Ratih tertawa.
Kenapa dia tertawa?
Lalu, teriakan siapa yang aku dengar tadi?
Aku pikir itu suara Ibuku, tapi kenapa dia baik-baik saja?
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
Sialan!"

Dia menumbukan kepalanya sendiri ke tembok. Kupingnya terngiang akibat benturan yang terjadi.

"Bagaimana caranya nanti aku menghadapi mereka?"

Mahesa menutup mata. Secara tiba-tiba, bayangan masa lalunya mulai bermunculan satu persatu seperti reel film. Gambaran-gambaran pertempuran di kehidupan sebelumnya sebagai Awatara Abimanyu. Pembantaian rekan-rekannya saat Olimpiade Vancouver. Kejadian demi kejadian tak terlupakan di IRRS Chekov.

"Halo..."

Mahesa mendengar sebuah suara berbicara dalam kepalanya.

"Kau punya impian yang menarik.. Tapi aku baru saja melihat impian seseorang yang sangat tangguh.. Aku penasaran siapa di antara kalian yang lebih kuat.. Oh..? Kau ingin bertarung denganya? Apa kau yakin bisa mengalahkanya? Apa kau berani bermimpi untuk menerima tantangan ini?"

Mahesa hanya mengangguk.

[Kepingan C]
Semilir angin sepoi-sepoi yang datang entah darimana memancing Mahesa untuk membuka mata. Dia mendapati dirinya tengah berada ditengah padang tandus antah berantah. Seorang gadis berkepala bantal menyambut dirinya.

"Selamat datang di [Alam Mimpi]! Orang-orang disini memanggilku Ratu Huban. Berada dalam [Alam Mimpi] berarti dapat menjadi segalanya dengan bebas selama [Kehendak] mengkonfirmasi. Silahkan melihat sekitar," ucap Ratu Huban sambil memberikan isyarat untuk melihat sekitar.

Tapi Mahesa tidak dapat melihat apa-apa. Pandangannya terhalang oleh pegunungan sampah disekeliling padang tandus tersebut. Alih-alih, dia merasakan sebuah sensasi menyelimuti pergelangan tangan kanannya. Sebuah sensasi yang sangat dia rindukan. Bukan karena dingin serta beratnya, namun karena ia tahu sensasi ini berasal dari Gelang Astra Sarotama. Sebuah gelang yang dapat termaterialisasi menjadi senjata magis berupa panah. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

"Ratu Huban, darimana kau mendapatkan senjataku ini?" tanya Mahesa tegas.

"Ng? Tadi kau bilang apa?" jawab Ratu Huban acuh tak acuh.

"Darimana kau mendapatkan senjataku?" Mahesa mengulangi pertanyaannya. Ditambah penekanan pada kata 'kau', 'mendapatkan', 'senjataku'.

"Sekarang, aku akan menemui pemimpi yang lain. Kalian akan bertarung disini. Tunggu saja. Sampai jumpa," ucap Ratu Huban cepat sebelum menghilang tanpa jejak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Ingatan III : Mahesa. Mahesa Werdaya.

[Kepingan A]
Aku bersembunyi dibalik tumpukan televisi berdebu, memperhatikan seseorang ditengah padang tandus tak bertuan. Orang itu duduk disana sambil dekelilingi puluhan piring sesembahan. Celana coklat yang aku kenakan terasa gatal pada pangkal paha. Aku menggaruknya. Badanku penuh keringat.

"Kira-kira, apa yang sedang ia lakukan?" bathinku saat sebuah benda melesat tepat disampingku yang disusul oleh sebuah ledakan dari belakang. Hempasannya membuat diriku terlempar agak jauh dari tempat semula.

"Siapa disana?" terdengar suara seorang laki-laki dari kejauhan. Suaranya lembut dengan nada penuh ketegasan. Aku rasa lawanku lah yang berteriak — dan dia belum mengetahui siapa diriku sebenarnya. Saatnya memanfaatkan situasi.

Aku berteriak dengan nada direndahkan, "Wahai anak muda! Berani sekali kau mengganggu diriku, Sang Penguasa dari [Alam Mimpi]!"

Orang itu tidak langsung menjawab, dia terdiam sejenak seakan-akan berpikir sesuatu.

"Wahai Sang Penguasa dari [Alam Mimpi]! Aku, Mahesa, adalah seseorang yang berani mengganggu dirimu! Dan biarkan aku memberitahumu sesuatu, seorang penguasa sejati tidak akan pernah mengakui dirinya sebagai penguasa! Seorang penguasa sejati adalah seseorang yang diakui dan dianggap mampu mengayomi seluruh rakyatnya! Seorang penguasa sejati tidak akan pernah menganggap dan berharap diakui sebagai seorang penguasa! Camkan itu!"

Aku terkekeh. Sial, ini menyenangkan. "Oh, rupanya kau memiliki otak juga, wahai anak muda kurang ajar. Sekarang, rasakan kemarahanku!"

Menggunakan jempol, aku menekan tombol kecil yang sedari kupegang. Tombol itu akan menyalakan mobil remote kontrol yang telah kusetel sedemikian rupa mengarahkannya ke sebuah tuas sistematik yang akan meruntuhkan nyaris semua gunungan sampah disekitar sini.

Dan gunungan-gunungan sampah pun mulai runtuh satu persatu mencoba menimbun apa saja yang ada dilintasannya, termasuk Mahesa.

Dari kejauhan, aku melihat Mahesa tidak bergeming ketika dia menyadari beberapa gunungan sampah mulai runtuh. Dia pun memunculkan sebuah mirip busur panah, dan mengarahkannya ke arah ribuan sampah yang akan melumat habis dirinya.

Puluhan ledakan terjadi dalam sekejap — merubah lapangan tandus tersebut menjadi ladang kembang api dengan Mahesa sebagai pusatnya. Aku tidak percaya dengan pemandangan yang aku lihat. Mulutku tidak dapat berbicara apa-apa sampai pertunjukan kembang api tersebut selesai.

"KELUARLAH!" teriak Mahesa dengan suara lantang. "AKU TAHU KAU DIMANA!"

Mahesa mengarahkan senjatanya ke satu-satunya gunungan sampah yang tersisa.

Sekali lagi, sebuah benda melesat disamping tubuhku — sangat dekat dengan kupingku. Benda itu melengking keras. Butuh beberapa detik untuk diriku menyadari bahwa benda itu adalah anak panah. Gemetaran, aku mencoba angkat bicara, "Sungguh, err- kekuatan yang hebat! Tunggu disana, aku akan segara menemui dirimu!"

Jujur, aku tidak tahu apa yang telah kukatakan.

[Kepingan B]
Orang yang menyebut dirinya Mahesa ini tidak pernah mengalihkan sasaran busurnya dari kepalaku sampai aku menunjukkan wujudku.

"Perempuan?" itulah kata pertama yang diucapkan Mahesa. Nadanya setengah merendahkan. "Seorang Penguasa [Alam Mimpi] adalah seorang perempuan!? Terlihat lemah pula! Aku tidak percaya, kupikir dirimu laki-laki didengar dari suaramu," dia tertawa.

Baiklah, aku akui, laki-laki ini memang terlihat tampan, tapi kelakuannya kurang ajar! Dia terlihat seperti kakek-kakek dengan badan atletis. Walaupun aku rasa dia sebaya denganku, rambut putihnya terlihat seperti uban. Kakek mesum beruban.

"Permisi kakek mesum beruban," aku berdehem. "perempuan lemah inilah yang akan mengalahkanmu."

Dia berhenti tertawa. Perlahan, dia mengangkat senjatanya dan melesatkan anak panahnya mencoba menembus jantungku dari jarak yang cukup dekat. Beruntung, aku mampu menangkisnya menggunakan perisai dengan sedikit kewalahan.

"Apa kau yakin?" nadanya mengancam. "Apa kau tidak merasakan kekuatanku? Aku dapat membunuhmu dengan mudah jika kau memaksa."

"Coba saja," ucapku sambil mencabut pedangku. Cepat, aku berlari menuju arahnya, mengambil kuda-kuda rendah dan menusuk kedua bolanya sebelum dia menyadarinya. Dia merintih kesakitan.

"Hahahaha!"

Tanpa sadar aku tertawa. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengakhiri cerita ini. Dan hanya dengan melihat Mahesa merintih kesakitan pun aku bisa tertawa. Tunggu, tunggu, tunggu, bukan berarti aku jatuh cinta, dan kenapa aku berpikiran soal cinta? Semua tekanan ini dapat membunuhku! ARGH!!

<Masih merintih kesakitan, Mahesa melihat Mawar sedang mengacak-acak rambutnya. Mahesa kebingungan, dan sebuah pertanyaan kembali timbul dalam benaknya. Sebuah pertanyaan yang secara tidak sengaja keluar dari mulutnya.>

"Hei, siapa namamu?"

"Apa?"

"Katakan saja, namaku Mahesa."

"Oh, sebut saja diriku Mawar."

<Hening. Tidak ada dari keduanya yang membuat suara.>

Hei, pernahkah dirimu merasakan sebuah gaya yang besar yang ingin keluar dari perutmu? Sebuah gaya dari perasaan yang tak pernah disampaikan di masa lampau, sebuah gaya yang menekan, ingin keluar. Dan terkadang kamu hanya tersenyum, lalu mengeluarkan perasaan itu. Itulah yang baru saja aku lakukan.

<Mawar baru saja buang angin.>

Keheningan yang sempat terjadi pun pecah ketika Mahesa tertawa. Dia tertawa, lepas, penuh kehangatan. Mukaku menebal melihat reaksinya.

"Hei, kenapa dirimu begitu serius?"

Perkataannya memancingku untuk ikut tertawa. Aku tidak percaya, caranya memecahkan suasana sangatlah hebat—atau akunya saja yang memang mudah terpancing, keduanya sama saja. Kami berdua tertawa, akrab. Gambaran demi gambaran mimpi yang tidak terwujud muncul dalam mataku. Kupingku tiba-tiba terngiang, padanganku mulai membuyar.

Aku kehilangan kesadaran sebelum menyadari apa yang tengah terjadi.

[Kepingan  C]
"D-dimana aku?"

"Tunggu, tunggu, tunggu! Bukankah itu pertanyaanku? Akulah yang seharusnya bertanya! Dimana ini? Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara dalam kepalaku? Apa jangan-jangan kamu alien? Tidak mungkin... jangan-jangan kamu... dukun!"

"Bukan... Aku bukan dukun, dasar wanita sialan. Dimana ini? Apakah kau yang mengurungku disini? Dalam ruangan ini?"

"Bukan, bukan, bukan. Bukan aku. Pertama-tama, biar aku jelaskan dua hal kepadamu. Satu, aku juga terkurung dalam sebuah ruangan. Dua, aku punya nama. Sebut saja Mawar. Mawar Mulia... . Siapa namamu?"

"Mahesa. Mahesa Werdaya..."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Ingatan IV : Keterlambatan.

[Kepingan A]
Aku terbangun didalam sebuah ruangan putih. Ratu Huban dan Mahesa berdiri didepanku.

"Apa kau ingin impianmu terwujud?" tanya Ratu Huban tidak mencari jawaban. "Apa impianmu?"

Aku tidak menjawab. Lebih tepatnya, tidak mau menjawab. Mata Mahesa tampak kosong. Apa yang telah dilakukan Ratu Huban kepadanya?

"Ini adalah pertarungan kalian yang terakhir. Aku telah mempersiapkan segalanya, meminta [Kehendak] untuk mempercepat jalan ceritanya, membuat dimensi ini; aku harap kali ini kalian serius."

Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Ratu Huban katakan. Dia seakan-akan berbicara dengan angin.

"Silahkan wujudkan mimpi kalian..."
Ratu Huban menghilang, Mahesa yang membawa busurnya langsung menerjangku dengan ganas.

Senjata kami berbenturan, kekuatan kami – anehnya – seimbang.

Terhempas ke belakang, Mahesa memasang kuda-kuda menembak.

Dia menarik tali busur, tiga anak panah termaterialisasi.

Aku berlari kehadapannya sambil memegang gagang pedangku dengan kuat ditangan kanan.

Dia menembak.

Aku menangkis.

Sampai didepannya, aku coba hantam perut Mahesa dengan tameng.

Dia berhasil menahannya dengan kedua tangan.

Dia mencengkram tamengku, memutarnya, melepaskannya dengan paksa.

Aku berteriak.

Tanganku kesakitan.

"Ma... hesa?"

Mahesa memunculkan kembali busurnya, menarik talinya, mengarahkan jalur anak panahnya menuju bola mataku.

Ujung anak panah terlihat sangat dingin.

Aku memejamkan mata.

Ketakutan membelenggu pikiran.

[Kepingan B]
"...Mawar?"

Mawar terbangun didalam pelukan seorang laki-laki. Wajahnya yang tampan memenuhi pandangannya.

"...Pangeran?"

Kepala Mawar terantuk tanah.

"Tolong lupakan apa yang baru saja terjadi," ucap Mahesa datar.

"Bagaimana aku bisa melupakan jika aku tidak tahu apa-apa," dan Mawar tidak mau mengalah.

"Kau pingsan. Aku tidak ingin mengambil kemengan dari mengalahkan seseorang yang tidak berdaya."

"Sungguh terhormatnya dirimu."

"Aku anggap itu sebagai pujian. Terima kasih."

"Sama-sama. Terus? Apa yang terjadi selama aku pingsan? Kamu tidak melakukan sesuatu yang aneh pada tubuhku 'kan?"

"Aku ingat semuanya. Aku ingat semua kejadian dalam ruangan putih itu."

"Benarkah? Bagus dong."

"Kau serius tidak tertarik, Mawar?"

"Pikiranku sudah terpenuhi dengan bagaimana caranya menyelesaikan cerita ini. Aku tidak punya waktu untuk mendengar ceritamu. Sekarang, apakah kita akan melanjutkan pertarungan yang tadi atau tidak?"

"Oi, apa kau serius mengatakannya? Kau tahu, salah satu dari kita akan mati."

"Aku tidak peduli. Bunuh atau dibunuh. Aku ingin cepat keluar dari tempat ini."

"Baik," Mahesa mengeluarkan sepucuk pistol dari sakunya dan melemparkannya pada Mawar.

"Kenapa kau memberikanku benda ini?"

"Kau tidak bisa membunuhku hanya dengan pedang kayu. Benda itu adalah pistol Kamandaka A-4, keluaran Pindad. Aku sudah menyetel pelurunya menjadi [Low Velocity] untuk mempermudah kau membidik. Pelurunya ada dua belas. Kali—"

"Cukup. Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu. Aku hanya perlu menekan tuas ini 'kan?"

"Pelatuk."

"Baiklah, mari kita mulai."

Tanpa jeda, Mawar berlari dengan cepat menuju Mahesa. Mahesa menembakan beberapa anak panah kearahnya. Namun, dengan mudah Mawar menghindarinya. Mawar telah siap menerima segala resiko yang ada. Dia berlari tak gentar.

Disisi lain, Mahesa berpikir, "Toh kalau aku mati disini, aku akan bangun lagi seperti biasa. Dan aku sendiri tidak begitu suka bertarung melawan perempuan..."

Sebuah pemikiran yang salah.

Mawar sekarang berdiri didepan Mahesa. Menempelkan ujung pistol pada dahi lawannya.

"Ada permintaan terakhir?" ucap Mawar dingin.

"Mungkin—"

DOR! Sebuah suara tembakan memecah kesunyian dan disusul oleh dua suara tembakan lainnya. Tetesan air mata tidak terdengar darimanapun.

[Kepingan  C]
"Ma... hesa?"

Aku tersadar ketika mendengar suara tembakan. Sebuah tembakan yang seharusnya tidak kulakukan dalam keadaan sadar. Aku juga menyadari kalau Mahesa mulai kehilangan keseimbangan, dan menangkapnya. Dia terjatuh dalam pelukanku, harum rambutnya menggelitik hidung.

Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kulakukan? Apa yang telah kulakukan?

Aku merasakan darah segar yang mengucur dari perutnya mengalir ditanganku. Aku terkekeh. Tidak dapat dipercaya, rupanya kamu sempat menghindar.

"Cepat... bunuh aku..."

Aku mendengar Mahesa memohon.

Kutembakkan dua buah peluru masuk ke dalam tubuhnya.

"Terima kasih...———"

Mahesa mulai menghilang.

Sebuah gelang terjatuh.

Aku terlambat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
-=Ingatan Terakhir – Sebuah Mimpi yang Aneh=-

"Ma... hesa?"

Langit-langit tinggi tergambar dalam mata, cahaya matahari pagi yang menghangatkan wajah, bunyi alarm handphone terdengar tidak ingin berhenti; tidak salah lagi, aku terbangun kembali diatas kasurku sendiri.

Sambil meneguk air putih, aku memandangi layar komputer tanpa berbicara.

MIMPI.
Diposting oleh : GoldenRose -:15/02/2016:-

Ada sebuah ingatan yang tak pernah dijanjikan untuk diingat.

Sebuah mimpi yang tak pernah dapat dipercaya.

Keanehan.

Kegilaan.

Kegelapan.

Semuanya bercampur menjadi satu.

Tidak ada yang masuk akal di sana.

Dan dibalik setiap hal negatif; ada sebuah cahaya bersembunyi.

Cahaya positif.

Cahaya penyembuh.

Cahaya penyinar.

Cahaya yang dapat berbicara; dan berjanji, "Aku akan selalu menyinarimu"

Mungkin aku belum begitu mengenal cahaya itu.

Tapi aku selalu berharap jatuh kedalam cahaya itu.

Namun, entah mengapa, aku terlambat.

Energi negatif telah menelanku jauh sebelum aku sampai dalam pelukan cahaya.

Aku jatuh ke dalam kegelapan tak terbatas,

dimana tidak ada cahaya.

<Send>

"Mahesa... kembalilah..."

Mawar menangis dalam diam.

58 komentar:

  1. Mbak mawar
    bawa pulang hati saya yang terbang entah kemana karena bapernisasi kisahnya.
    .
    Tragedi abis, miris.
    udah kayak janda ditinggal suami tugas negara. Dan suaminya ya minta di "Dor" supaya matinya gak sengsara,

    tapi ya mbok minimal ditembak comrade sendiri, ini taunya si Mawar.
    Bijimana gk teriris saya.

    Kok ya endingnya ya gtu.

    .
    Gak mau tau, cma bsa kasih angka 7 krn bapernya masih kebawa. Huh >.>

    OC: Kaede Hazuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap, kak! Saya akan membawa hati anda kemana saja, dan ingatlah Mawar sudah 'cinta' sama orang lain. Jadi, hati Mawar tidak dapat dimiliki untuk siapapun saat ini~ ;)

      Terima kasih atas reviewnya :D

      -GoldenRose-
      OC : Mawar Mulia

      Hapus
  2. Anda jahat, Mbak Mawar.

    Kenapa si Kepala Bantal gak ngasih solusi lain? Ngomong-ngomong OC buatanku juga punya masa lalu mirip seperti begini: kehilangan cinta pertama. Hanya beda dalam beberapa hal.

    Nilai: 7 (awalnya mau ngasih 8, tapi karena Mahesa mati, saya turunin)

    Dea si Bocah Penulis Novice.
    OC: Serilda Artemia

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Tidak, tidak, tidak. Aku nggak jahat! Author lah yang jahat!" kata Mawar dalam hati.

      Baiklah, saya akui, saya yang jahat. Si Kepala Bantal memang tidak saya berikan kesempatan untuk memberikan solusi lain. Tepatnya, saya tidak tahu solusi lainnya apa... :(

      Dan saya penasaran, apakah Serilda Artemia mau menerima Mawar sebagai temannya? Mungkin bercerita sedikit di lain waktu? Atau bertarung bersama? Semoga salah satunya dapat terwujud... :)

      Terimakasih atas reviewnya :)

      -GoldenRose-

      Hapus
    2. Sesama jones harus berteman agar malam Minggu kedua OC tidak terlalu suram... ya, setelah Serilda puas mengamuk di depan parlemen (dia rada sarkastik).

      -Dea

      Hapus
  3. Tbh, saya agak kurang mengerti sama isi entri ini. Entahlah. Sungguh, saya kayak kurang menemukan kesinambungan cerita. Singkatnya, benang merahnya kurang terlihat antara subbab satu dgn yang lain. Secara narasi udah cukup oke. Kalimatnya enak, cuman tolong diperhatikan lagi penggunaan preposisi. Kayak di dan ke misah sama tempat. Contoh: di sini, ke mana. Dan lagi, agak membosankan di beberapa bagian. Banyak detail yang kurang penting.

    Walau demikian, saya salut sama beberapa bagian. Misalnya penyisipan mantra pemujaan Mahesa, dan kayaknya penulis entri ini tahu betul karakteristik lawan.

    Titip ... 8.
    OC: Rebecca Friedmann

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, saya juga, tidak begitu mengerti dengan apa yang telah saya tulis. Serta menyambungkan benang merah adalah hal yang rumit bagi saya. Jadi, saya tidak terlalu memikirkannya.

      Dan baiklah... saya akan perhatikan kembali penggunaan preposisi saya untuk kedepannya. Struktur kalimat adalah musuh terbesar yang harus di taklukan!

      Sekali lagi, terimakasih atas reviewnya :)
      -Golden Rose-

      Hapus
  4. Jujur itu pare. Kritik itu cabe.

    Semoga author dari Mawar paham akan maksduh kalimat kiasan di atas. Sebenarnya saya enggan untuk memberi komentar pada entri ini, namun di sisi lain saya merasa sangat berhutang karena telah membaca tanpa meninggalkan komentar dan nilai. Jadilah aksi cuap-cuap ini dimulai.

    Sebagai pembaca, beberapa hal ini yang saya tangkap dan rasakan:

    1. Bertele-tele. Cerita ini sungguh membosankan. Saya dipaksa menikmati aktivitas dan kesuraman si Mawar alih-alih disuguhkan suatu adegan tarung penuh drama percintaan yang ciamik macam salah satu film-laga Mandarin (saya lupa judulnya, tapi film itu menceritakan tentang kekuasaan seorang kaisarina pada suatu negeri dan di sana derajat perempuan sangat terhormat, laki-laki hanya menjadi budak wanita).

    Padahal menurut saya, aksi keseharian si Mawar ini gak perlu. Gak perlu banget karena gak ada impact apa-apa sama cerita dan plot atau tema yang kamu pilih. Ada baiknya porsi itu dihapus dan dijadikan adegan epik antara pertarungan si Mawar dan Mahesa.

    2. Saya gak menemukan kesinambungan berarti dalam sub-bab (keping) yang ada dalam cerita kamu. Jujur, saya banyak skip. Karena sangat tidak menarik. Siapa pula yang mau baca tentang keseharian gadis tanggung? Buang waktu. Dan kasus ini kembali pada poin pertama: bertele-tele. Harusnya bisa dihapus, atau kalau kamu rasa menarik, ya ... kasih sekenanya aja. Jangan over.

    3. Untuk adegan percintaan atau tema, gimana, yah ... cukup masuk akal, sih. Cinta monyet seorang cewek tanggug yang ngenes. Tapi, kayaknya gak cocok juga disebut cinta monyet. Karena berlangsung di alam mimpi, malah kesannya Mahesa itu bagian dari wet-dream si Mawar, walau Mahesa juga manusia asli. Tapi tetep, jatuhnya malah kayak wet-dream, apalagi si Mawar itu kamu ceritakan cukup ngenes.

    4. Akhirnya terlalu cepet dan ... maksa. Berkesan buru2 dan asal ngenes aja. Jangan bilang karena batas kata yang mepet. Kamu terlalu banyak menghabiskan kata dalam kisah keseharian si Mawar yang gak gitu penting, emang gak penting malah.

    Seharusnya kamu bisa eksplor lagi adegan tarung dan percintaan si Mawar. Ksatria wanita lawan pemanah hebat, ini harusnya bakal jadi adegan epik. Dentang menggema, baja beradu baja. Bunga api menyembur, hening seketika. Nafas memburu, gertak semangat, jerit kesakitan ... dsb.

    Jadi, mohon maaf, nilai yang saya beri cuma 3 :D

    Tetap semangat, jangan putus asa! Learn from everyone hate :D

    0C: Fionn Coileáin na Claonaí

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jujur itu pare. Kritik itu cabe.

      Hehehehe... sumpah, saya nggak ngerti artinya. But thanks, seenggaknya saya tahu beberapa kiasan baru lagi :))

      Dan saya akan belajar lagi melalui apa yang telah anda sampaikan, sebagai refleksi dan revisi atas cerita absurd ini :^)

      Well, terimakasih atas reviewnya
      -GoldenRose-

      Hapus
    2. Tahu kiasan tapi gak tahu maksudnya sama aja bohong :p

      Anyway, gak ada pembelaan atas kritik?

      Hapus
    3. Saya memang tukang bohong. :D

      Kritik membangun tidak perlu dibela, tiap orang memiliki selera masing-masing, dan saya memang mengakui kelemahan yang telah ditunjukan oleh anda. Jadi jawabannya, tidak ada pembelaan.

      Beda cerita jika Anda bertanya tentang plot dalam cerita yang tidak jelas ini... saya akan berusaha menjawab sekenanya :)

      Hapus
    4. Pembelaanmu tentang plot sudah saya lihat di page, kritik dari Gin Anjar. Dan ... bagi saya pembelaanmu absurd di sana~

      Hapus
    5. Define absurd on your way, please o.0

      Hapus
    6. Gak jelas dan mengada-ngada.

      Hapus
    7. Tolong jelaskan lebih rinci.

      Hapus
    8. Jabarkan pembelaanmu tentang plot itu, gak susah, 'kan? Kamu tinggal copas pembelaan kamu atas review dari Gin Anjar atau Rakai Jae Ireng.

      Setelah itu baru saya jelaskan.

      Tapi kalau gak mau ... ya, gak masalah, sih. Toh saya gak rugi dan gak perlu berletih diri untuk ngasih kuliah gratis :P

      Hapus
    9. > Kenapa harus di sebuah ruangan tak jelas?
      > Pertemuan diawal adalah sebagai simbol bahwa dari awal [Kehendak] telah mempertemukan mereka, tentu saja tidak secara langsung, karena ini masih berada dalam mimpi masing-masing. [Kehendak] menghubungkan mereka dengan suara, namun Oneiros tahu dan mengirim kambing-kambingnya untuk memburu Mawar serta Mahesa. Membuat mereka lupa ingatan saat terbangun paginya.

      > Kenapa juga di tengah diulang lagi kata-katanya?
      > Kesalahan terjadi dalam sistem [Kehendak], Oneiros tidak melakukannya tugasnya dengan benar. Kambing-kambingnya meninggalkan jejak, sebut saja, kuping Mawar dan Mahesa yang nyaris terngiang setiap waktu. Time loop [Alam Mimpi] terjadi, Mawar tidak sadarkan diri, memasuki [Mimpi Paralel] dimana dia nyaris dibunuh oleh Mahesa dan terbangun kembali.

      Tolong ajari saya, Sensei~

      Hapus
    10. Astaga, jangan pakai istilah jejepunan, saya alergi sama orang2 kayak gitu. Bercanda, cuma saya gak suka aja orang yang terlalu berlebihan menggunakan bahasa asing. Dan saya cuma pemula, jangan dilebih-lebihkan atau dianggap bagai guru atau pengajar.

      Nanti saya jawab, kalau kerjaan saya udah selesai. Mungkin sore, paling lambat lusa.

      Hapus
    11. Langsung saya jawab semua.

      Ingat saya bilang pembelaanmu berkesan mengada-ngada? Ini dia alasan saya bilang demikian ...

      Dua poin pembelaanmu itu sama sekali gak ada dalam cerita. Kamu bilang itu cuma simbol? Apa semua orang bakal paham sama pemikiran kamu? Enggak.

      Ini baru penjelasan awal. Saya mau lihat lagi pembelaan kamu atas apa yang sudah saya sampaikan?

      Hapus
    12. > Dua poin pembelaanmu itu sama sekali gak ada dalam cerita. Kamu bilang itu cuma simbol? Apa semua orang bakal paham sama pemikiran kamu? Enggak.
      > Itulah mengapa saya menyebut cerita ini adalah cerita implisit, Mas. Mungkin saya salah, tetapi bukankah konsepsi tentang Oneiros, Kehendak, Ratu Huban, dan para kambing. Hail Kambing. Saya suka mereka. Ada dalam katalog karakter. Apa salahnya saya jika memasukkan mereka untuk kesenangan pribadi? Tentu saja, tidak semua orang akan senang ataupun mengerti. Itu resiko, dan saya menyadari hal itu.

      > Ini baru penjelasan awal. Saya mau lihat lagi pembelaan kamu atas apa yang sudah saya sampaikan?
      > Baiklah, diatas tadi adalah pembelaan saya atas penjelasan awal Anda. Saya tidak sabar menunggu penjelesan selanjutnya, terima kasih :)

      Hapus
    13. ^ How to Rant: 404. :^)

      Hapus
    14. "Apa salahnya saya jika memasukkan mereka untuk kesenangan pribadi?"

      Berarti pembelaan kamu itu hanya karena kesenangan pribadi? Jujur aja, kalau kamu bilang cerita kamu itu "implisit" maka salah besar. Implisit dalam cerita juga butuh semacam foreshadowing, bukan cuma sekedar konsep "yang gak disadari" semata.

      Misal, saya buat cerita tentang negeri sampah yang memiliki penduduk. Disana saya membuat agama, kebudayaan, dan polah keseharian penduduk sampah tsb. Saya juga membuat aturan yang berlaku, semacam cara penamaan, gaya bahasa, istilah khusus, dsb. Dan secara nyata saya gak sadar kalau cerita saya ternyata berkaitan dengan masalah global. Dan begitu saya sadar, saya akan memainkan itu. Membuat pembaca bakal berpikir "oh, ini terkait masalah global. Tapi, kok, rasanya lain, sih. Ini lebih kompleks dari amsalah global itu sendiri." Nah, ini dia yang diaksud implisit.

      Contoh lain, karena kamu kayaknuya suka banget sama adaegan bip-bip tut-tut atau netnot. Kita buat sederhana, ketika seseorang memasukan unsur stensilan secara eksplisit dalam sebuah cerita yang memiliki plot besar, seseorang tsb bakal diminta oleh pembaca untuk membuatnya dalam bentuk implisit. Nah, gak mungkin seseorang tsb nulis adegan bip-bip tut-tut secara implisit dengan konsep yang kamu maksud (gak dijabarkan dan cuma ada dalam pikiran penulis, hanya kesenangan pribadi), lantas pembaca bakal tahu apa? Pembaca gak bakal tahu kalau karakter yang dibuat itu sedang melakukan aksi bip-bip tut-tut kalau seseorang tsb (penulis contoh) menerapkan konsep implisit seperti yang kamu jabarkan.

      So, ada baiknya campur tangan Oneiros dan Kehendak itu dimuncuolkan daripada keseharian gadis tanggung yang ... membosankan.

      Hapus
    15. Walaupun keseharian membosankan gadis tanggung tersebut hanya pada awal-awal?

      Challenge accepted.

      Hapus
    16. Mending buat dia langsung mimpi, dan miminya aneh. Sub-bab berikutnya ternyata Oneiros campur tangan, dsb, dst. Be creative!

      Then, masih ada pembelaan lain?

      Hapus
    17. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  5. Saatnya saya ikut berkomentar~

    Sudah banyak kritik dan masukan dari komentator lain. Mulai dari kata depan, teknik narasi, ataupun fokus cerita. Itu bisa jadi masukan berharga jika dicermati dengan bijak.

    Mungkin saya langsung komen ke tantangannya saja, yaitu Love Tragedy antara Mawar Mulia dengan Mahesa Werdaya. Perlu dikembangkan, menurut saya, adalah proses bagaimana si Mawar dan Mahesa (M&M) jatuh cinta agar bisa diulik sehingga lebih kerasa lagi chemistry-nya. Jadinya ketika pembaca benar-benar percaya M&M itu saling cinta, maka tragedi saat bunuh-bunuhannya akan lebih mantap impact-nya.

    Saya sendiri merasa teknik penceritaan di sini unik. Dan saya mengerti apa maksud dari pembagian keping-keping itu. Tapi kembali lagi ke fokus ceritanya yang bisa dibuat lebih "straight to the point" untuk ukuran FBC kategori yang batas maksimal entrinya adalah 5K.

    Oiya, sebagai pengelola turnamen kali ini, saya sarankan untuk ikutan juga di Battle of Realms 6 yang dibuka pada akhir Maret nanti. Di sana peserta bisa lebih mengolah OC-nya secara mendetail dan mendalam. Pasti seru deh xD

    Nilai 7++

    - hewan -

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saran telah saya terima, siap menjalankan perintah! ^o^)7

      Tentang BoR6, saya akan ikutan kok :^)
      Dengan karakter berbeda, dengan latar belakang berbeda :^)
      Saya nantikan keseruannya ulululu :^)

      Author

      Hapus
  6. Yah, lagi-lagi ketinggalan mau kasih komen pertama,
    Jadi hanya bisa mengulang pendapat dari para author di atas, maafkan.

    Hanya saja hal yang saya mau komentarin adalah hal yang paling mengganggu saya.

    Untuk cerita yang hanya diperbolehkan memiliki panjang 5k saja, kisah ini terlalu banyak bertala-tele yang semestinya tidak usah dikisahkan. Seperti halnya Mawar saat berangkat sekolah atau Mahesa dengan keluarganya. Ini juga mengakibatkan ending yang istilahnya "Udah? Cuma gitu aja?" kehabisan jatah katanya kan?

    Mending dimanfaatin buat istilahnya "PDKT" Mawar sama Mahesa dan adegan battle yang seru serta ending yang ngenesss. Supaya rasa yang kaya anak muda bilang "baper" lebih kerasa.

    Walaupun penyampain kisahnya unik dan saya menyukainya sih, ya untuk kedepannya harus bisa dimaksimalin lagi.

    Tapi tunggu dulu,
    "Coba saja," ucapku sambil mencabut pedangku. Cepat, aku berlari menuju arahnya, mengambil kuda-kuda rendah dan menusuk kedua bolanya sebelum dia menyadarinya. Dia merintih kesakitan.
    Serius, maksud dari kalimat diatas apa ya? O_o

    Nilai 6

    ~ OC : Dani Fajar Nugroho

    BalasHapus
    Balasan
    1. "....menusuk kedua BOLANYA..."

      Hapus
    2. Kukira maksudnya bola mata... '-'

      Hapus
    3. Saya, tahu. Cuma karena saya terbawa suasana film Deadpool, jadi ... kau tahu, itu xD

      Hapus
    4. Ah, efek Dedpul x Colossus xD

      Hapus
    5. Bola adalah bola, dan laki-laki akan merasa sakit apabila bolanya ditendang XD
      Saya suka saat menulis adegan tersebut XD

      Hapus
    6. Maksudnya jadi gak tersampaikan kalau yang kamu maksud itu buah pelir bila disebut dengan "bola"

      Hapus
    7. Kalau 'Telur' bagaimana? 'Kandung Kemih'? 'Biji'?

      Hapus
    8. Bilang aja alat vital~

      Hapus
    9. Biji sepertinya ngena juga.. XD

      Hapus
  7. Halo~~~

    Yap sama seperti komentar di atas atas...

    Menurut saya bagus sih kalo diselipkan keseharian atau masalah dari mawar atau mahesa, tapi mungkin porsinya terlalu banyak sampe menghabiskan jatah(?) kata yang ditentukan panitia...

    Dan lagi, soal romance nya gak kerasa.. saya yang biasanya baper kalo baca romance (apalagi yang tragedi) malah gak ngerasa apa-apa... '-'
    Padahal kalo chemistry antara mawar dan mahesa ditingkatkan lagi mungkin ceritanya bakal "heartbreaking"...
    Biarkan aja mereka Pdkt (seperti komentar di atas) lalu pisahkan mereka dengan cara yang menyedihkan... :"""

    Yah itu aja dari saya buat mas Ridho... Maaf kalo ada "banyak" kata-kata yang menyinggung...

    Yah, saya titip 6.. '-'/

    Sign,
    Lyre Reinn

    OC :Altair Natsuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kata-kata yang menyinggung: dimaafkan.
      Bercanda, bercanda, bercanda. ^o^)v

      Altair Natsuki, saya menunggumu.

      Hapus
    2. Altair : *memiringkan kepala* ...menunggu?

      Hapus
  8. OC: Ghoul :=(D

    Duh entrinya sedih, bikin miris bukan kepalang. Tapi pertarungannya gak begitu diekspos karena banyak adegan sampingan (huft, kalo gak ada adegan itu juga gak mempengaruhi jalan ceritanya). Martial arts-nya minim di layar. 

    Prolognya sih oke hm kayak prolog video klip opening song Unravel di anime Tokyo Ghoul (pas lirik ‘oshiete oshiete’). Imajinatifnya aku lumayan suka sih karena ada yang bisa bicara dalam kepalanya—sesuatu yang lain seperti halnya alter ego di 24 Wajah Billy. Hm alurnya acak-acakan bagai mozaik, tapi menurutku itu karya seni—karya seni spontanitas yang mengalir deras. b^0^d

    Endingnya bikin mata ngaca (disturbing tears). T0T

    Banyak typo seperti kata daripada (disambung), silakan (ga pake ‘H’), napas (ga pake ‘f’), di atas (dipisah), Engkau (awalan huruf besar karena ‘Tuhan’), empas bukan hempas, mengubah bukan merubah, bergeming artinya diam kalo tak bergeming artinya tak diam alias bergerak (hm pemakaiannya dah wrong). >.<

    Tapi aku suka adegan Mahesa kasih senjata agar pertarungan mereka seimbang. So swit! (^0^)7

    Bapernya melihat mereka cek-cok, hehe. Eh mantranya tuh pake lirik lagu Kalii dan Gauri ya tuk penolak bala di film serial india itu (suka lagu mantra itu soalnya, nadanya tegas. Sori belok ke film). :p

    Nitip kumis dariku 7 :=(D

    BalasHapus
  9. ANGST IS DA BES

    Jujur ceritanya terlalu molor dan membuat saya berpikir "Ini kapan selesainya? Cuma begini?". Tapi menulis butuh proses, jadi semangat terus.

    Seperti komen-komen di atas, saya juga tidak menemukan kesinambungan antara tiap keping. Jadinya terkesan dipaksakan.

    Dan.... KENAPA MAHESA YANG RUPAWAN HARUS MATI?

    T_T

    Hati ini langsung retak.

    Saya beri nilai 7 karena aroma angst sangat menyenangkan~

    OC : Anne Ezbari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kak, kak, kak, jika diperbolehkan bertanya, ANGST itu apa ya?

      Dan turut berduka cita atas kematian Mahesa dalam cerita ini, semoga [Mahakarya] miliknya tersimpan rapi dalam perpustakaan mimpi, dibawah naungan [Kehendak]. Salahkan juga Mbak Mawar yang telah membunuhnya, itu diluar tanggung jawab author. Salam perdamaian, semoga hatimu yang retak diperbaiki. (_ _" )

      Terimakasih atas reviewnya :)

      Hapus
  10. 1. Penokohan belum kuat
    2. "Dimana ini?" suaranya lembut penuh kebingungan.
    lembut biasanya untuk ungkapan pujian, tapi disandingkan dengan "kebingungan" terkesan janggal
    3. Satu contoh plot janggal lainnya di awal adegan:
    Ekspresi panik, ditambah ungkapan "Jangan-jangan kamu alien? Tidak, kamu dukun!
    (cara panik pada orang yang belum kenal seperti itu rasanya kurang menghayati)
    4. Langit-langit tinggi tergambar dalam mata (siapa yang menggambar? seluas apa matanya?)
    5. Di antara semua itu, kabar baiknya di bagian dialog, walaupun agak kaku, tapi masih enak diikuti


    6

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas reviewnya! :)
      Saya suka, saya suka.

      Hapus
  11. Hallo hallo~ Aku datang sesuai janji. Masih ingat kan?

    1. Mahesa keren dan tampan #abaikan
    2. Menurutku terlalu banyak ngasih porsi ke cerita kehidupannya Mawar, sedangkan tidak berpengaruh sama pertarungan ataupun kisah cintanya sama Mahesa.
    3. Kepingan-kepingannya aku paham kok, cuman perlu diperhalus lagi pendeskripsiannya agar lebih kerasa alurnya.
    4. "Mahesa... kembalilah..." Mawar menangis dalam diam. (mataku jadi basah lho, hayo tanggungjawab).

    7 untuk Mawar

    OC - Rea Beneventum

    BalasHapus
    Balasan
    1. Janji itu tidak mungkin kulupakan :)
      Welp, Mahesa emang keren dan tampan #abaikan
      *ngasih tisu* :^)

      Thanks ya atas reviewnya

      Hapus
  12. Hehe, asyiknya kalau tarung 1 OC lawan 1 OC, segala dialog, narasi dan pengembangan karakternya jadi lebih fokus. Ya, di sini mungkin rasa battlenya nggak terlalu kentara, namun ada upaya untuk berkompetisi dan saling menggali kedalaman jiwa satu sama lain lewat dialog.

    dan akhirnya, walaupun Mawar akhirnya menang dengan cara yang nggak terlalu detil, ada rasa yang mengganjal, andai saja pertemuan di dunia mimpi ini bukan war, tapi untuk love. Siplah, setidaknya saya bisa beri 7 untuk upaya pendalaman karakter sendiri dan lawan. Andai adegan pertarungannya bisa lebih detil lagi, mungkin saya beri nilai plus-plus. And... what? Balls?

    OC: Alistair Kane

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes, balls. :3
      Terimakasih atas reviewnya :D

      Hapus
  13. Hallo Hallo~~

    saya sudah baca ceritamu, oklangsung saja Reviewnya..

    yah, Romancenya kurang terasa..

    Mahesa terlalu baik..

    Feelsnya sih ada tapi kaga terlalu terasa..

    Battlenya kaga greget...


    Nilai: 7

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya jatah cerita selingannya terlalu banyak (kaga tau itu istilahnya apa)


      OC : Rose Vinensine

      Hapus
    2. Pertama-tama, terima kasih atas reviewnya.
      Kedua, romantisme tidak selalu dilambangkan dengan tatapan, seksualitas, makan malam yang menipiskan dompet. Terkadang, romantisme terlambat disadari. Hell, aku gak ngerti nulis apaan.
      Terakhir... AKU GAK KUAT BIKIN MAHESA JAHAT. ToT

      -GoldenRose-

      Hapus
  14. Cinta dan Pecahan Ingatan.. benar-benar konsep yang sesuai dengan Love Tragedy. hanya saja Anda kurang dalam merealisasikan konsep itu sendiri. jadinya terasa sedikit hambar dan kurang mengena di hati (atau memang saya yang gak punya hati?)

    mungkin jika bahas tentang Cinta, Satan akan berkata: "Cinta? bukannya itu tak lebih dari istilah yang dibuat manusia untuk nafsu dalam meneruskan keturunan mereka?"

    nilai: 7

    OC : Satan Raizetsu

    BalasHapus
  15. yeyy.. ada juga yang ngambil Love Tragedy.

    menurut saya sih adegan romance kurang berasa. kesannya mainstream ketika si cowok mati di tangan ceweknya. dan si cowoknya terlalu baik untuk dibunuh. mungkin para cewek di luar sana akan berkata untuk si cowoknya. "Maaf, kamu terlalu baik untuk aku."

    itu aja sih, semangat berkarya

    nilai 7

    Dwi Hendra
    OC Nano Reinfield

    BalasHapus
  16. Entri menarik. Tapi bacanya harus penuh konsentrasi.

    Kalau liat entri ini, sedikit banyak keinget Memento bikinan Nolan. Alasannya karena setiap kepingan cerita itu bener-bener kepingan, bukan bagian plot yang sifatnya progresif.

    Ya, meski alurnya memang alur maju, penempatan kepingan ceritanya nyaris bikin saya percaya ini adalah adegan ketika seseorang berusaha nginget-nginget sesuatu, terus banyak hal random yang secara langsung atau nggak berhubungan ama yang sedang berusaha diinget.

    Perkara interaksi ama karakterisasi Mahesa dan Mawar buat saya udah oke, meski masih ada kerasa kurang nendang di dialognya. Kalau ikut BoR 6, nanti mau nunggu dialog antar karakternya aja deh :x

    Ya saran dari saya kalau misalnya memang mau pakai penempatan acak di setiap plot points-nya, hati-hati aja. Karena bikin cerita yang alurnya maju-mundur-mundur-maju itu susah susah gampang. Seenggaknya ini yang saya tangkep pas baca cerita ini ya, kalau maksud penyampaian ceritanya berbeda saya mohon maaf.

    Nilai dari saya 8.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Zarid Al-Farabi.

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.