Kamis, 02 Juni 2016

[PRELIM] 28 - ASIBIKAASHI | MIMPI DAN ILUSI

"MIMPI DAN ILUSI"
oleh : Zoelkarnaen

--

TRANSISI MIMPI

Angin yang sebelumnya bertiup semilir kini semakin kencang, pertanda akan datangnya badai. Kuarahkan hidungku ke langit, mencoba mencium apakah ada bahaya yang ikut bersama dengan kedatangan  badai.

Sayangnya tidak tercium apa-apa, hanya aroma tengik dari makhluk bertopeng burung hantu yang tertangkap hidungku. Baunya seperti anjing kampung yang baru saja tercebur ke selokan.

Instingku mengatakan akan ada bahaya yang datang, tapi entah mengapa hidungku tidak bisa menciumnya, tidak seperti biasanya. Aku pun berjalan sedikit lebih cepat, mendahului yang lainnya. Aroma lumut dari pepohonan dan aroma tanah yang lembap, tidak tercium aroma hewan lainnya di hutan ini. Telingaku pun tak mendengar sedikitpun suara hewan, hanya terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin.

Ada yang aneh dengan hutan ini.

Ini masih dunia yang sama, masih mimpi yang sama, namun entah mengapa sepertinya aturan di tempat ini perlahan mulai berubah. Apakah si empunya mulai menyadari mimpinya? Apakah si empunya sedang berusaha mengendalikan mimpinya? 

Entahlah, aku tidak tahu.

Tapi ada satu hal yang aku tahu pasti, suara gemuruh yang datang dari arah depan bukanlah hal yang bagus.

"Myeengun, Burung Hantu tua, bersiaplah!"

Suara gemuruh terdengar semakin dekat, dari kejauhan aku mulai melihat pepohonan tercabut dari tanah dan beterbangan. Pepohonan tercabur sampai akarnya lalu terurai di udara, tanah terbelah sebelum mulai runtuh menciptakan jurang besar. Semuanya bergerak semakin cepat ke arah kami seperti gelombang tsunami, dan aku sama sekali tak dapat melihat apa atau siapa yang dapat menyebabkan semua ini.

Bukan manusia si empunya mimpi yang menyebabkan kehancuran ini, bukan pula intrusi mimpi dari para ahli nujum. Aku benar-benar tak merasakan apapun dari dunia mimpi ini.

Lalu setelah pertunjukan kehancuran selesai, terjadi sesuatu yang diluar dugaan lagi. Gedung-gedung mulai menyeruak dari dalam tanah, namun bentuknya tidak normal. Ada gedung yang muncul separuh, ada yang muncul dengan bentuk seperti terpilin, dan ada juga gedung yang tumbuh lalu melengkung. Semuanya muncul dalam warna yang berbeda, ungu, jingga, kuning, biru, bahkan ada juga gedung berwarna hijau.

"Wow," gumam si Burung Hantu Tua, "ini sangat psikedelik."

"Myeengun," panggil Asibi kepadaku, wajahnya seperti sedang meminta jawaban dariku.

"Tidak, Asibi, kali ini kau sedang tidak dalam pengaruh LSD."

"Pemandangan ini jadi mengingatkanku akan acid trip pertama Asibi, dia menari semakin liar saat lagu Soul Sacrifice milik Santana mulai dimainkan. Hampir semua roh leluhur terpanggil oleh tariannya, dan yang kami lakukan di sana hanya menonton konser Woodstock sampai selesai," tutur si Burung Hantu Tua seraya menahan tawanya.

"Dan di sana kukira Asibi membenci hingar-bingar yang dibuat manusia," lanjutku sambil membayangkan hari itu, Sabtu 16 Agustus 1969.

"Hei, ayolah, aku sama sekali tidak menyadari apa yang kulakukan saat itu. Yang terakhir aku ingat, aku… tidak, aku tidak ingat apapun di hari itu. Aku tidak ingin mengingatnya," jawab Asibi yang kini sedang memijat keningnya sendiri.

Yap, kalau kau pernah menari bersama ratusan orang setengah telanjang di sebuah lapangan terbuka, kurasa kau juga tak akan mau mengingatnya.

Kembali ke permasalahan saat ini, Asibi dan aku memutuskan untuk menyelidiki dunia mimpi baru ini. Di antara seluruh bangunan yang terlihat seperti baru saja keluar dari lukisan surealis, terlihat satu bangunan di kejauhan yang memiliki bentuk sempurna.

"Apa itu seperti yang kukira?" Asibi nengernyitkan dahinya.

"Mungkin saja, bagiku bangunan itu terlihat seperti Basilika Notre-Dame."

"Apa mungkin mimpi orang yang kita susupi ini pernah ke Montreal?" gumam Asibi yang terus melangkah menuju Basilika tersebut.

"Aku bahkan ragu kalau ini masih mimpi orang yang kita sedang  susupi sebelumnya," timpalku sambil berusaha mengimbangi kecepatan langkah Asibi.

Belum juga kami sampai ke lokasi Basilika, si Burung Hantu Tua meminta kami untuk berhenti. Sebelumnya memang kami tak terlalu menghiraukan dua sosok bayangan yang melayang di udara dan selalu mengikuti kami, maksudku, untuk apa kami membuang waktu untuk dua makhluk tak jelas di alam mimpi? Sayangnya si Burung Hantu Tua berpendapat lain, ia berpikir mungkin ada alasannya kalau dua makhluk bayangan itu mengikuti kami. Untuk berkomunikasi misalnya.

"Ayolah," pinta si Burung Hantu Tua, "tidak ada ruginya kalau kalian mendengarkan mereka dulu."

Yep, tidak ada gunanya. Hanya tiga kata yang terdengar samar bahkan oleh telingaku, reveriers, mahakarya, dan alam mimpi. Entah apapun itu maksudnya. "Asibi, apa aku bisa mendengar jelas atau mengerti apa yang mereka katakana?"

"Tidak sama sekali, tapi aku bisa menduga siapa mereka, aku juga memiliki dugaan soal siapa di balik dunia surealis ini."

"Siapa?"

"Myeengun, kau tahu kan, kalau aku tidak suka menyebutkan nama hanya berdasarkan spekulasi," jawab Asibi seraya mengeluarkan smartphone dari sakunya. Kemudian ia membidik kedua sosok bayangan di udara dengan telepon selulernya itu. "Beberapa gambar, dan selesai."

"Hei, bagaimana mungkin kau membawa benda seperti itu ke alam ini?"

"Tidak sepertimu dan Wiijishimotawaa Gookooko'oog, kali ini aku masuk ke dunia ini secara fisik," jawabnya sambil kembali mengantungi telepon miliknya. "Ya, ya, aku sadar hal ini berbahaya, tapi aku kan kau selalu ada di sisiku," lanjutnya sebelum mengusap kepalaku.

"Lagipula sudah lama aku tak mengunggah apapun ke akun instagramku, dan Chief Crazy Horse sepertinya sudah mulai khawatir. Dia banyak mengirimiku pesan singkat."

Aku masih ingat terakhir kalinya Asibi masuk ke dalam mimpi secara fisik, waktu itu misi kami adalah menangkap dan memenjarakan Wendigo. Dia mengunggah foto-foto Wendigo di instagram setelahnya, lalu banyak pejuang internet yang sok tahu menyerangnya, mengatakan kalau semua foto-foto itu hasil rekayasa.

Melihat banyaknya pribumi Amerika yang membela Asibi, aku nyaris mengira kalau itu semua akan berakhir dengan Indian War kedua.

LARI ATAU MATI

Sejauh apapun kami berjalan menuju Basilika itu, tujuan kami nampaknya tak semakin dekat pula. Saat ini baik aku dan Asibi mulai menduga kalau kami memang tak mungkin mencapai Basilika tersebut, kemungkinan besar tempat itu hanyalah ilusi latar belakang di tempat ini. Satu lagi yang kami sadari, meskipun kami berjalan lurus, Basilika tersebut nampak sedikit bergeser di setiap langkah kami. Tentu saja hal tersebut hanya akan membuat kami berjalan berputar-putar.

Pada akhirnya kami pun memutuskan untuk tak lagi mengikuti pergerakan arah tujuan kami sebelumnya, dan hanya berjalan lurus menuju entah apapun yang menunggu kami di sana.

Sebuah tempat parkir berwarna merah muda, ke sanalah langkah membawa kami. Oh, bukan itu saja, nampak juga beberapa mobil dengan berbagai warna, mulai dari oranye sampai hijau daun. Sangat psikedelik kalau aku boleh meminjam kata-kata si Burung Hantu Tua.

Beberapa langkah dari tempat kami berdiri terlihat banyak manusia, sebagian besar dari mereka sedang berlutut dengan kedua tangan di belakang kepala. Sementara itu, dua orang yang terlihat memiliki kuasa atas mereka sedang berdebat. Satu hal yang kusadari, yang pastinya Asibi pun sudah menyadarinya, bahwa ada kemungkinan kalau sekelompok manusia ini masuk ke dalam dunia mimpi secara fisik.

"Aku tidak tahu siapa kalian dan dari mana kalian datang, tapi sebaiknya kalia jangan maju selangkah lagi!" salah seorang dari mereka menunjuk dan  memperingatkan kami.

Dia memakai mantel panjang berwarna coklat, kaus hitam, celana panjang hitam, dan sepatu bot kulit yang terlihat seperti milik seorang tentara. Seluruh kulitnya terbalut perban sampai ke kepalanya, dan dari sana tercium bau busuk yang menyengat seperti bau mayat.

"Dorian, hentikan semua omong kosong  ini sekarang juga!" timpal pria yang satu lagi.

Pria ini memiliki penampilan yang sama dengan pria satunya, hanya saja kulitnya tidak terbalut perban dan tidak mengeluarkan aroma busuk dari mayat. Kaukasia, kulit putih, tinggi sekitar 175-180cm, rambut hitam sepanjang bahu, dengan kisaran usia tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.

"Atau apa, Grey, apa kau akan mencoba menghentikanku?" geram Dorian menantang pria satunya.

Ada satu kejanggalan yang kurasakan dari kedua orang ini, terlepas dari bau busuk dari tubuh Dorian, kedua pria ini memiliki aroma tubuh yang identik. Lalu setahuku aroma seperti itu hanya dikeluarkan oleh pasangan kembar identik.

"Mereka orang-orang yang berniat meneruskan pekerjaan ayah kita, mereka nyaris berhasil menciptakan lebih banyak lagi makhluk seperti kita, Grey. Apa kau akan membiarkan itu terjadi?"

"Membunuh mereka bukanlah jawabannya. Banyak ilmuwan akan menggantikan mereka meskipun kau bunuh mereka semua sekarang, lalu apa berikutnya? Kau akan terus membunuh mereka semua?"

"Ini soal putri Dokter Kavinsky, bukan?" tukas Dorian sambil berjalan memutari Grey. "Ya, benar, May Kavinsky. Kau jatuh cinta dengannya, itulah mengapa kau tidak ingin aku membunuh para ilmuwan ini."

"Jangan libatkan May ke dalam semua ini, atau…" Grey tak melanjutkan ucapannya, ia mencengkeram kerah mantel yang dikenakan Dorian.

Semua percakapan dan pertengkaran itu bukan urusan kami, tidak seharusnya kami terlibat di sini. Tetapi saat aku beradu tatap dengan Asibi, aku tahu dengan pasti kalau ia tak akan membiarkan orang-orang itu dibunuh oleh pria perban bernama Dorian itu. Terlepas apakah orang-orang tersebut nyata atau hanyalah ilusi manifestasi mimpi, Asibi memiliki kebiasaan buruk untuk menolong manusia.

Si Burung Hantu tua mundur menuju bayang-bayang sebuah gedung di sebelah kiri kami lalu menghilang, pertanda kalau ia sudah membaca niat Asibi untuk bertarung. Tanpa di komando aku pun bergerak mendekati Asibi, lalu menempelkan tubuhku di kakinya.

Sayangnya sebelum sempat kami bergerak selangkah, Dorian sudah lebih dulu mengetahuinya. Ia mengayunkan lengannya secara vertikal dari atas ke bawah.

"Apapun niatanmu dengan datang ke sini, sudah berakhir!" tegasnya yang disusul suara gemuruh dari arah kiri kami.

Sebuah gedung baru saja terbelah menjadi dua, dan kini separuh patahannya jatuh untuk menimpa kami berdua. Aku mungkin tak akan terluka dengan serangan seperti ini, tapi Asibi, terutama dengan keadaannya yang secara fisik sedang berada di dunia mimpi, dia akan terluka fatal yang sudah pasti membuatnya tertidur selama seratus tahun.

Tentu saja akan membosankan bagiku untuk menunggu selama seratus tahun menunggu Asibi kembali bangkit, jadi aku melompat dan menggigit bagian belakang pakaiannya, lalu kujatuhkan Asibi sebelum kuseret tubuhnya secepat mungkin untuk menjauh. Sia-sia kalau boleh kubilang, ukuran separuh gedung masih terlalu besar untuk bisa kuhindari, jatuhnya pun terlalu cepat.

Saat itulah tatapanku bertemu dengan Grey, ia melakukan hal yang sama dengan Dorian. Dengan satu hentakan dari tangannya, suara dentuman keras terdengar, dan paruh gedung yang sedang jatuh pun kembali berubah arah menjauh dari kami. Bongkahan beton raksasa itu seolah baru saja terkena hantaman lengan raksasa yang tak terlihat, terpental menjauh sebelum menghantam gedung-gedung lain dan menciptakan kehancuran dengan efek domino.

Asibi bangkit, ia melihat kehancuran di belakangnya, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada Dorian. "Myeengun, apa itu barusan bukan sihir?"

"Telekinesis. Aku sudah pasti bisa menghentikannya kalau barusan itu adalah sihir, karena jelas-jelas ia berada dalam jarak pandangku."

"Ini mimpi buruk!"

"Bukan, mimpi buruk adalah ketika kau dikejar kucing yang membawa senapan mesin, mengenakan ikat kepala hijau, dan memiliki aksen seperti Sylvester Stallone," sanggahku yang berusaha menggigit pakaian Asibi lagi, tentu saja dia mengelak kali ini. "Jadi, apa langkah kita sekarang? Fight or flight?"

"Kita selamatkan semua orang-orang itu selagi Dorian sibuk," Asibi menunjuk Dorian yang kini sedang berkelahi dengan Grey.

Bukan pertarungan yang normal kalau bisa kubilang, karena perkelahian mereka tak hanya melibatkan pertukaran tinju saja. Terkadang salah satu atau bahkan keduanya terlihat melayang, kau tahu, seperti Superman. Lalu ada saling lempar puing dan bongkahan gedung tanpa menyentuhnya, juga ada saling adu tenaga telekinesis mereka, yang selalu berakhir dengan Grey terpental hingga menembus satu atau dua buah gedung.

Aku bahkan belum sempat nonton film Batman V Superman, tapi ini mungkin akan terlihat seperti Superman V Superman kalau film itu akan dibuat suatu saat nanti. Yea, kecuali satu hal, tidak satupun dari Dorian atau Grey yang dapat menembakkan laser dari matanya.

"Sekarang!" komando Asibi setelah melihat celah di antara pertarungan Dorian dan Grey.

Asibi berlari secepat yang ia mampu menuju sandera, sementara itu aku berlari mengiringi sambil terus mengawasi Dorian dan Grey. Aku harus berjaga-jaga jangan sampai pertarungan mereka kembali menuju kami, terutama saat Asibi sedang mengungsikan para sandera.

Sesampainya kami di sana, seluruh sandera sedang tiarap, tubuh mereka gemetar, mereka menangis, dan beberapa dari mereka bahkan mengompol. Tak ada satupun yang memberi respon saat Asibi bertanya kepada mereka.

Keras Asibi menampar salah satu dari mereka, memaksa yang lainnya jadi ikut memperhatikan. "Sekarang kalian dengarkan aku, kita akan pergi menjauh sementara dua makhluk OP itu sedang bertarung, tapi aku tak memaksa kalau ada di antara kalian yang memilih tinggal."

Walaupun awalnya mereka terlihat enggan, kini nampak sedikit harapan memancar dari sorot mata para sandera. Mereka mengangguk.

"Bagus, sekarang ikuti aku, tetap merunduk, tapi jangan berhenti berlari!"

Seberapapun inginnya aku berlari di dekat Asibi, aku tetap harus memastikan tak ada sandera yang tertinggal. Maka dari itu aku berlari mengikuti sandera yang paling belakang, jadi dari sini aku bisa memberitahu Asibi jika terjadi sesuatu dan mengontrol kecepatan lari kami semua.

Selama sepuluh menit kami terus berlari menjauhi pertarungan Dorian dan Grey, sampai akhirnya si Burung Hantu tua menghadang kami. "Hanya sampai di sini perjalanan kalian," katanya seperti penjahat dalam novel murahan. Tentu saja aku tak menghiraukannya dan terus melangkah melewati Asibi dan beberapa sandera. Sayangnya si Burung hantu tua itu benar, moncongku menghantam sebuah dinding tak kasat mata.

"Sebuah pembatas, apa ini perbuatan pria bernama Dorian itu?"

"Bukan," jawab Asibi seraya menyapukan jemarinya pada dinding tak kasat mata tersebut, kerutan pada keningnya menandakan kalau ia sedang berpikir keras. "Siapapun yang membuat pembatas ini, dia memiliki kekuatan yang mampu memusnahkan kita, dan Dorian tidak memiliki kekuatan sebesar itu dalam dunia mimpi ini."

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku kepada Asibi yang kini berbalik menghadap arah lokasi pertarungan Dorian dan Grey.

"Kita kembali menemui mereka," Asibi menjawab tanpa terlihat keraguan di matanya.

"Kau tidak berniat menggunakan makhluk itu, kan?" selidikku lagi saat kudapati Asibi mengeluarkan dreamcatcher dari sakunya.

"Semoga saja tidak, tapi aku akan memanggilnya kalau terpaksa."

"Aku tidak menyukainya, dan aku tak akan ragu untuk membunuhnya kalau ia mencoba sesuatu terhadapmu!"

"Aw, kau manis sekali kalau sedang cemburu, Myeengun," goda Asibi sambil memeluk dan mengusap kepalaku.

ILUSI YANG TAK KUNJUNG PERGI

Sesampainya di lokasi pertarungan, hal yang sama masih terus terjadi. Grey masih menjadi pihak yang babak belur dihajar tanpa ampun, dia malah sudah kehilangan lengan kirinya. Kalau terus dibiarkan, bukan tak mungkin Grey akan mati di sini, di alam mimpi.

Tapi bukan hanya itu yang kukhawatirkan. Asibi, dia mulai membaca mimpi Dorian dan Grey. Padahal akan lebih mudah kalau Asibi langsung saja menganggap Dorian sebagai pihak yang jahat, kalahkan dia dan selesaikan semua ini. Tapi tidak, bukan Asibiku kalau dia tak berusaha memahami mimpi dan harapan lawannya.

Dorian melayang ke arah kami, kemudian ia mendarat dengan halus di hadapan Asibi. "Apa yang kalian inginkan sekarang? Kalian pikir bisa membawa mereka pergi tanpa sepengetahuanku? Tidak, aku masih bisa merasakan gelombang otak mereka, dan aku bisa menemukan mereka kembali dalam sepuluh detik."

"Lalu kenapa tidak kau lakukan?" tantang Asibi maju mendekati Dorian. "Karena kau tahu ada yang aneh dengan tempat ini, dan kita semua terperangkap di dalamnya."

Dari sorot matanya, aku tahu kalau Dorian juga menyadari hal tersebut. Tetapi bukan berarti ia akan menerima kenyataan begitu saja, karena manusia cenderung suka membohongi diri sendiri demi memupuk harapan dalam hati mereka.

"Jadi, seberapa luas tempat kita terperangkap?" tanya Asibi kepada Dorian. "Aku tahu tidak semua puing yang kau lemparkan ditujukan kepada saudaramu, banyak dari mereka yang melayang terlalu jauh dari sasaranmu. Kau menghitung jarak di semua sisi, bukan?"

"Berapa kilometer persegi perkiraanku, mungkin lima atau empat, tapi aku tak tahu dengan pastinya," jawab Dorian sambil menangkap sebuah lengan kiri yang melayang dan nyaris menghantam wajahnya.

Kini giliran Grey yang melayang dan mendarat di dekat Asibi, untuk kemudian mengambil kembali lengan kirinya dari tangan Dorian. Aku sadar betul kalau kakak-beradik ini bukanlah manusia biasa, tapi menyaksikan Grey menyambung kembali lengannya yang putus seperti boneka bongkar pasang membuatku sedikit penasaran.

"Apa kau mau mendengarkanku sekarang?" tanya Grey yang kini duduk bersandar di sebuah puing besar.

Tak mengindahkan pertanyaan Grey barusan, Dorian kembali menghadap kepada Asibi. "Kau masih belum menjawab pertanyaanku."

"Kau benar-benar anak muda yang tidak sabar," cetus Asibi. "Aku ingin kita semua bisa bekerjasama agar bisa keluar dari tempat ini."

"Tidak semua boleh keluar dari sini hidup-hidup, para ilmuwan itu harus mati!" raung Dorian. "Dan jangan merendahkanku dengan memanggilku anak muda, aku sudah hidup jauh lebih lama dari—"

"Dari manusia lainnya," aku menyela kalimatnya. "Tiga ratus tahun bukanlah waktu yang lama, dan dari sudut pandang kami kau masih sangat muda."

"Bagaimana kau—?"

"Woooo! Anjingnya bisa bicara!" seru Grey yang mendekat dan hendak menyentuhku, namun Asibi bergerak dan menghadangnya.

"Tolong jangan mendekat sebelum kalian menyetujui proposalku barusan," cetus Asibi yang tersenyum di hadapan Grey. "Dan kau, Myeengun, tolong jangan membandingkan usia di sini. Geh, jangan bicara soal usia sama sekali kalau bisa."

"Asibi, kau baru saja membicarakannya."

"Yang barusan tidak dihitung."

"Jadi," sela Grey di antara percakapanku dengan Asibi. "Kalau aku menyetujui rencanamu, kau akan mengizinkanku untuk menyentuh anjing pintar itu?"

"Tentu saja."

"Heh, kau pikir aku ini husky?"

"Baiklah, aku setuju! Sekarang biarkan aku menyentuh anjingmu!"

Bukan aku tak menyetujui diriku yang disentuh sembarangan oleh manusia, tapi cara Asibi barusan yang tak sepenuhnya jujur. Aku terdiam saat Grey mendekat, membiarkan ia menyentuhku. Tentu saja tidak berhasil, tangannya langsung menembus tubuhku.

"Hei, apa-apan ini?" protes Grey yang sepertinya merasa ditipu oleh Asibi.

"Aku memperbolehkanmu menyentuhnya, tapi itu bukan berarti kau bisa menyentuhnya. Tidak ada makhluk fana yang dapat menyentuh Myeengun."

Grey menghela napas panjang. "Walaupun aku telah ditipu mentah-mentah, semua itu salahku juga. Janji tetaplah sebuah janji, aku mendukung rencanamu. Bagaimana denganmu, Dorian, apakah membunuh mereka lebih penting daripada keluar dari tempat terkutuk ini?"

"Kau pikir semudah itu keinginanku berubah?" desis Dorian yang kembali melayng, sepertinya ia berniat untuk kembali bertarung.

Sayangnya sebelum Dorian melancarkan serangan apapun, Asibi sudah lebih dulu bertindak. Cahaya kebiruan memancar dari matanya yang juga mengepulkan asap, seketika itu pula Dorian kembali mendarat. Air mata mulai bercucuran dari pria itu, membasahi perban yang membalut seluruh wajahnya.

Bawaadan, sebuah kemampuan Asibi untuk memanggil ilusi yang bersumber dari mimpi seseorang.

Lengan Dorian terentang ke depan, seolah ia sedang berusaha menggapai sesuatu di depannya. Bibirnya bergetar, seolah suara tak mampu keluar dari mulutnya. Langkahnya tertatih, seperti seorang prajurit yang terluka.

"Abby... Abby... maafkan aku, Abby..."

Tetapi seperti layaknya mimpi, ilusi juga tak akan bertahan selamanya. Setelah beberapa langkah, efek ilusi dari Asibi menghilang, Dorian pun jatuh bersimpuh dan meraung. Bagiku suara Dorian terdengar nyaris seperti lolongan serigala yang terluka, terpancar kepedihan yang mendalam dari suaranya.

"Kenapa?" raung Dorian kemudian. "Kenapa kau menyiksaku dengan bayang-bayang dirinya?"

"Ilusi barusan bukan berasal dari diriku, aku hanya menampilkan keinginan terdalam darimu, itu mimpimu sendiri."

"Abigail hanya seorang gadis biasa, seorang gadis yang memiliki mimpinya sendiri. Tapi kemudian dunia ini menghancurkan semuanya, mimpinya, jiwanya, harapannya. Tak cukup sampai di sana, Tuhan pun merenggutnya dariku."

"Dorian, soal Abigail, itu bukan salah—"

"Diamlah, Grey! Kau tahu apa?" hardik Dorian atas interupsinya. "Heh, kau akan tahu rasanya saat kau kehilangan May nanti, dan kau pasti akan kehilangan dia, karena kita dikutuk untuk hidup lebih lama dari manusia biasa. Dan pada saatnya nanti, kau akan membenci manusia sama sepertiku."

Tapi Grey tidak akan pernah menjadi seperti Dorian, dan baik Asibi maupun aku tahu itu. Kami bukanlah makhluk yang terkurung waktu, dan ketika kami mamantau mimpi seseorang, kami melakukannya mulai dari masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Dorian benar, Grey akan kehilangan May tak lama setelah mereka menikah. Tentu saja ia murka dan menyalahkan semua, tapi bukan berarti ia akan bersikap sama seperti Dorian. Grey tak pernah bersikap seperti bocah tua yang merasa dirinyalah yang apaling menderita, karena ia sadar betul kalau May tak akan pernah menginginkan Grey memusuhi dunia demi dirinya.

"Dorian," Asibi memanggil nama pria itu dan mendekat, aku pun mengikuti. "Ingat kembali masa-masamu dengan Abby, jangan pernah lepaskan kenangan akan dirinya. Dari sana aku yakin kau juga tahu, kalau Abby tak menginginkanmu bersikap seperti ini."

Sayangnya Dorian sudah kehilangan akal sehatnya, ia tak lagi bisa dibujuk.

"Apa kau tahu?" tanya Dorian seraya membuat sebuah puing besar terpental ke arah Asibi, yang kemudian kembali dipentalkan ke arah lain oleh Grey. "Cinta itu seperti ilusi, ia ada hanya sesaat tapi rasa sakitnya nyata dan akan terus tinggal selamanya."

Beberapa puing kembali diluncurkan dengan kemampuan telekinesis Dorian. Tapi tak hanya sampai di sana, ia merangsek maju untuk menyerang langsung Asibi di saat Grey sibuk menangkis puing-puing yang beterbangan.

"Tidak, kau salah," tanggap Asibi sambil menangkis pukulan Dorian, memutar lalu membelokkan arah serangannya. Keseimbangan Dorian sedikit goyah, dan ia pun dibuat berlutut karenanya. "Rasa sakit itu ada karena rasa cintamu terhadap Abby masih di sana," lanjut Asibi menunjuk dada Dorian, sebelum ia kembali menepis tiga tendangan berkelanjutan.

Sekarang Asibi terpental, Dorian menggunakan kekuatannya dari jarak dekat yang tak mungkin dihindari. Aku pun melompat dan menjadikan tubuhku sebagai bantalan untuk meredam momentum, hingga Asibi tidak sampai menubruk dinding gedung di belakang kami.

"Apa menurutmu aku peduli?" cemooh Dorian yang berusaha meruntuhkan gedung di belakang kami. "Bagiku tetap ilusi, hanya saja ini ilusi yang tak kunjung pergi."

Namun belum berhasil Dorian melancarkan serangannya, ia terpental vertikal sebelum kembali menghantam tanah dan menciptakan kawah besar. Kini ia terbaring tak bergerak di dasar kawah tempatnya terjatuh, dan dari posisi tubuhnya aku menduga cukup banyak tulang di tubuhnya yang remuk. Grey yang menyerangnya dari belakang, saat Dorian lengah dan hanya fokus melawan Asibi.

MIMPI YANG DATANG SILIH BERGANTI

Sayangnya pria bernama Dorian itu masih hidup, ia hanya kehilangan kesadarannya. Malah saat ini kulihat tubuhnya perlahan mulai pulih, lengannya yang terpelintir kini bergerak ke posisi normal, kakinya yang remuk kini mulai kembali kembali ke bantuk aslinya.

"Maaf," ujar Grey lirih, ia menghadang Asibi yang mendekati Dorian. "Bagaimanapun dia saudaraku, aku tak akan membunuhnya, dan aku tak akan membiarkanmu membunuhnya."

Asibi menghela napas panjang, jemarinya mengusap wajahnya sendiri. "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan membunuhnya? Sejak awal aku ingin bekerjasama dengan kalian berdua."

"Oh…"

Bersamaan dengan sepatah kata itu, Grey pun tumbang, beberapa buah kawat baja berdiameter satu sentimeter menyeruak dari dadanya. "Kau terlalu lunak, Grey," ucap Dorian yang baru kembali bangkit.

Namun sebelum Dorian bertindak lebih jauh lagi, Asibi sudah lebih dahulu mengeluarkan dreamcatcher dari sakunya. Sesosok makhluk tinggi dan besar termaterialisasi di belakang Dorian, lalu hanya dengan satu hantaman dari makhluk itu ia terpental.

Wendigo, makhluk jahat yang senang bermain dengan sisi gelap manusia. Ia menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan, terdengar suara gemeretak persendiannya. Lalu dengan kedua tangan, ia menyisir ke belakang rambutnya yang panjang. Memperlihatkan wajahnya yang menakutkan bagi manusia, bibir yang berbentuk gerigi tajam, mata yang besar dan seluruhnya putih, dan kulit yang sepenuhnya berwarna abu-abu.

"Lama tak bersua, Wanita Laba-Laba!" desis Wendigo yang baru saja dilepaskan oleh Asibi. "Kita akan bermain nanti, setelah aku menghabisi manusia ini!"

"Kau boleh mencobanya!" tantangku sambil memperlihatkan seringai dan taringku. Kemudian aku dan Asibi pun mundur, memberikan ruang lebih untuk pertarungan Wendigo dan Dorian.

Ada hal lain yang lebih penting dari pertarungan ini, walau Asibi tak mengatakan apapun, tapi aku merasa ada sesuatu yang terjadi kepada dirinya. Akhirnya aku pun bertanya, "Asibi, apa yang terjadi padamu?"

Asibi tak menatap mataku, ia membuang jauh sorot matanya ke arah pertarungan Wendigo dan Dorian. "Entahlah, aku juga tak mengerti," jawabnya seraya melirik dreamcatcher di genggaman tangannya. "Satu hal yang aku sadari, tiap kali aku menggunakan kekuatanku, aku tak dapat menggunakannya lagi."

"Kau kehilangan kekuatanmu?"

"Bukan, ini seperti ada yang memberiku segel tiap kali kugunakan kekuatanku."

"Kau sudah mengujinya?" tanyaku yang berjalan ke hadapannya.

"Aku sudah mencoba menggunakan ilusiku, baik kepada Dorian dan Grey sejak yang pertama kugunakan sebelumnya. Tidak berhasil. Selain itu, aku juga merasa kalau aku melepaskan dreamcatcher ini, aku tak akan dapat memanggil Wendigo lagi."

"Bagus!" kataku sambil tertawa. "Makhluk itu memang tidak seharusnya dilepaskan lagi!"

Asibi menarik telingaku sekencang-kencangnya, aku nyari mengira kalau telingaku ini akan putus dibuatnya. "Bukankan ada hal yang lebih penting daripada dendammu pada Wendigo?"

"Tidak ada," sanggahku sambil berlari memutari Asibi, menghindari serangan berikutnya terhadap telingaku.

"Myeengun," Asibi memanggil namaku, wajahnya terlihat agak sedih, dan langkahnya terkesan ragu. "Kalau aku kehilangan diriku, kau tahu apa yang harus kau lakukan?"

"Tentu saja," jawabku tanpa ragu. Ini adalah responku terhadap pertanyaan yang biasa ia ajukan sebelum menggunakan kekuatan terakhirnya.

Dengan resolusi itu kami pun melangkah, menuju lokasi pertarungan untuk menghadapi Dorian.

Baik Dorian maupun Wendigo sudah sama-sama tercabik oleh kerasnya pertarungan mereka, mereka terluka, mengalami regenerasi, untuk kemudian terluka lagi. Kadang Wendigo yang terpental, kadang Dorian yang terkena hantaman puing yang ia lemparkan sendiri.

Semakin terluka semakin kuat pula serangan Wendigo, di sisi lain akibat luka-lukanya, Dorian pun semakin bernafsu untuk menghabisi Wendigo. Asibi harus menghentikan salah satu dari mereka, namun kalau ia mengunci pergerakan Dorian, maka sama saja ia membunuhnya.

Sudah jelas siapa yang harus Asibi hentikan. Kedua mata Asibi berubah putih seluruhnya, bersamaan dengan itu Wendigo jatuh dan seluruh tubuhnya lumpuh.

"Apa yang kau lakukan, Wanita Laba-Laba? Jangan berani-beraninya kau—"

Asibi mengembalikan dreamcatcher miliknya ke dalam saku, dengan begitu Wedigo pun menghilang, seluruh tubuhnya berubah menjadi debu.

"Kau membunuh temanmu sendiri?" selidik Dorian yang melayang mendekati Asibi, aku pun bergerak ke depan dan menghadang Dorian.

"Wendigo tidak akan pernah mati, selama manusia masih memiliki kegelapan di hati mereka," jawab Asibi pelan. "Dorian, mari kita hentikan saja semua pertarungan ini, mari kita keluar dari tempat ini sama-sama."

"Tidak, selama para ilmuwan itu masih hidup!"

"Kalau begitu kau tak memberiku pilihan lain," Asibi berkata lirih dengan mata yang kini berpendar kemerahan.

Tanpa basa-basi Dorian melayang lalu menerjang, namun Asibi mengelak ke kiri dengan mudah. Beberapa puing berukuran besar pun mulai melayang, kemudian semuanya melesat ke arah Asibi. Tentu saja aku tak tinggal diam, tubuhku yang kini membesar sepuluh kali lipat menghadang semua puing tersebut.

Oh, aku lupa menyebutkan, akibat kemampuan Asibi kali ini tubuhku membesar sepuluh kali lipat dari ukuran normal. Bukan itu saja, kini tubuhku juga bisa disentuh oleh semua makhluk dan dapat menangkal serangan fisik. Aku tak terlalu memahami kemampuan ini, karena selama bersamaku ia hanya pernah sekali memakainya, itu pun hanya sebentar untuk membuatku menangkal serangan fisik. Jadi aku tak tahu lebih lanjut mengenai apa lagi yang dapat dilakukan Asibi dengan kemampuan ini.

Segera setelah serangan sebelumnya, kini seluruh bangunan di sekitar kami mulai terurai dan hancur. Namun itu semua bukanlah perbuatan Dorian, karena kulihat dari ekspresinya ia juga bingung. Asibi, ini pasti Asibi!

Aku pun menoleh kepada Asibi yang berdiri dengan tenang di belakangku. Secercah cahaya menyilaukan memancar dari Asibi, dan di saat penglihatanku kembali, kami tidak sedang berada di dunia mimpi lagi. Tidak, ini masih mimpi, tapi ini bukan dunia mimpi sebelumnya.

Saat ini aku, Dorian, dan Asibi berada di halaman sebuah rumah sakit. Para dokter dan perawat hilir mudik ke sana kemari, mereka sibuk menangani ratusan prajurit yang terluka. Para prajurit tersebut terbaring di mana saja, di tandu, di rumput beralaskan seprai, dan di meja beratapkan tenda-tenda darurat.

"Ini tidak mungkin!" gumam Dorian, tak lagi mengindahkan keberadaanku dan Asibi. Kemudian ia berlari tergesa mengelilingi halaman rumah sakit, matanya liar mencari sesuatu. Sampai ia berhenti di dekat sebuah tenda, di mana seorang perawat berambut coklat sedang menemani seorang prajurit yang terluka.

Prajurit muda yang terluka tersebut bernama Dorian.

"Kalian manusia selalu berlagak tangguh, padahal kalian tak lebih dari bayi yang baru saja menapakkan kaki di dunia ini!" suara Asibi bergema di seluruh halaman rumah sakit, namun hanya kami bertiga yang dapat mendengarnya. "Kalau kau memang tak lagi menghargai kenanganmu bersama gadis itu, biar kuingatkan lagi dengan saat-saat terakhirnya!"

Dorian melayang hendak menghantamkan tubuhnya kepada Asibi, tetapi gerakanku lebih cepat, kuhantam dia lalu kutindih tubuhnya ke tanah dengan cakarku. Panik ia mengibaskan lengannya berusaha untuk melepaskan diri, namun kini tak sedikitpun kemampuannya bekerja lagi.

"Hentikan, jangan lagi! Kumohon hentikan semua ini!"

Sayangnya semua tangisan Dorian berakhir sia-sia, Asibi terus menyiksa pria itu dengan kenangannya sendiri. Pemandangannya pun kembali berganti, dari masa-masa tenang di rumah sakit, sampai ke saat serangan udara di sana. Lalu kami semua seolah dibuat berpindah tempat ke wilayah perkotaan, di mana bekas peperangan jelas terlihat di sini.

Di tempat yang dipenuhi reruntuhan bekas kota ini Dorian muda kini tinggal, ia bersama si perawat juga warga kota yang tersisa mencoba membangun hidup mereka lagi. Namun kisah mereka di tempat ini tak berlangsung lama, karena derap langkah peperangan mengikuti mereka.

Kemudian Asibi membuat kami kembali berpindah, ke sebuah perbatasan negara sepertinya. Perbatasan yang dipenuhi tentara dan pagar tinggi dari kawat berduri, tempat si perawat dan Dorian muda hendak melintas. Sementara itu Dorian yang asli sedang mengais-ngais tanah, ia mencoba melepaskan diri dari tindihan cakarku.

"Hentikan! Abby, jangan ke sana! Kumohon, Abby!"

Tentu saja si perawat yang bernama Abigail Blumstein itu tak mendengar tangisan Dorian yang ini, begitu juga dengan Dorian muda, karena semua ini hanyalah kenangan. Mereka tetap pergi ke pos pemeriksaan lintas negara, dan di sanalah Abby tertangkap oleh para prajurit.

Sementara Abby dibawa ke kamp konsentrasi entah di mana, pada hari itu Dorian muda tewas. Ia ditembak mati oleh para prajurit di pos penjaga perbatasan tersebut. Meskipun ia kembali bangkit beberapa jam kemudian, saat itu sudah terlalu terlambat. Dorian muda tak lagi mengetahui di mana keberadaan Abby.

Blumstein adalah nama keluarga Abby, dan orangtuanya adalah keluarga Yahudi paling di cari di negara ini. Tidak mungkin Abby dapat keluar dari negara ini dengan cara normal, dan kini Dorian di bawah cakarku pun mengutuki kebodohan masa mudanya sendiri. Ia menyesal, ia mengutuk, ia membenci, dan ia mendendam.

Kepada dirinya, kepada penciptanya, kepada Tuhan, kepada umat manusia, dan kepada dunia ini.

Asibi berlutut di hadapan Dorian yang masih tertindih cakarku, pancaran cahaya kemerahan dari matanya terlihat semakin terang. "Dan kini akan kuperlihatkan kenangan tentang Abby yang tak pernah kau saksikan!"

Keadaan tempat kami berada kembali berganti, dan kini kami berada di dalam sebuah bangsal lembap berbau busuk. Terdapat banyak tempat tidur basah yang dipenuhi bermacam noda, mulai dari air kencing, kotoran manusia, bekas muntah, sampai darah. Di sudut ruangan yang gelap itu meringkuk seorang gadis berkaus biru.

Kepalanya gundul, tubuhnya kurus kering, matanya sayu, dan tangisnya terdengar parau. Tapi baik aku maupun Dorian langsung mengenali siapa gadis itu. Asibi menyentuhku, mengisyaratkan agar aku melepaskan Dorian. Manusia abadi itu pun langsung berlari menuju sudut ruangan saat kekendurkan cengkeramanku, tak mengindahkan cakar besarku yang tak sengaja menggores bahunya hingga nyaris putus.

Dorian segera berlutut di hadapan gadis yang sedang meringkuk itu, mencoba merangkulnya berkali-kali walau sia-sia. Kedua tangannya tak dapat menyentuh Abby, gadis dalam kenangan ini sudah tiada. Hanya bayang-bayangnya yang tersisa, dan hanya Tuhan yang tahu perlakuan macam apa yang gadis itu terima di tempat ini.

Hanya isak tangis Dorian dan gadis itu yang terdengar kini, sebelum semuanya memudar dan kami kembali ke dunia mimpi sebelumnya.

"Maafkan aku," bisik Dorian pelan, dua kata itu yang ia ucapkan berulang-ulang. Ia kemudian bersujud lalu meringkuk dan tak bergerak lagi.

"Aku akan menyudahi saja pertarungan tak berguna ini," ucap Asibi yang kini jatuh bersimpuh, ia tak lagi memiliki tenaga untuk berdiri, ukuran tubuhku pun sudah kembali menjadi normal. "Bawa aku pergi, Myeengun."

Aku pun menggigit bagian belakang pakaian Asibi, lalu menyeretnya pergi menuju ke tempat si Burung Hantu tua menunggu. Sementara itu, Grey yang sudah kembali pulih mendekat lalu membopong Dorian ke arah yang berlawanan.

"Terima kasih," bisik Grey tanpa menoleh ke belakang.

MIMPI YANG TAK LAGI BERTEPI

Sesampainya kami di tempat si Burung Hantu tua menunggu, para ilmuwan tak lagi di sana, dan roh tua itu kelihatan sudah tak sabar untuk memberi kami kabar gembira. "Ah, Asibiku sudah kembali," ia berkata dengan lantang.

"Di mana para manusia itu?"

"Mereka sudah keluar dari tempat ini," jawab si Burung Hantu tua atas pertanyaan Asibi. "Kau lihatlah sendiri," lanjutnya lagi seraya mundur, dan ia pun melewati tempat seharusnya dinding tak kasat mata sebelumnya berada.

"Batas mimpi telah pergi, apa ini berarti kita juga bisa keluar?"

"Entahlah, Asibi, tapi lebih baik kita mencobanya daripada terus diam di sini, bukan?" saranku sambil mencoba mengikuti si Burung Hantu tua. Ternyata benar, dinding transparan yang sebelumnya telah hilang.

Belum jauh kami melangkah, rasa merinding di tengkuk membuat langkahku terhenti. Aku merasakan kehadiran dua makhluk lain, dan menilai dari ekspresi Asibi, ia juga menyadarinya.

Ada dua sosok yang kini hadir di hadapan kami. Satu adalah sosok gadis kecil berkepala bantal, yang memakai jas hujan kuning dan membawa tongkat berbentuk gagang payung, ada seekor domba putih di pelukannya. Sosok kedua adalah seorang pria berusia sekitar tiga puluhan, berjenggot tipis, rambut hitamnya rapi disisir ke belakang, dan memakai kacamata hitam. Pria itu juga memakai jas dan sebuah mantel bulu yang dibiarkan membungkus bahunya.

"Apa kau mengenal mereka?" tanyaku kepada Asibi. Namun pertanyaanku hanya dijawab senyuman olehnya, meski kalau dinilai dari ekspresinya, aku menduga setidaknya Asibi mengenal satu di antara mereka.

"Siapa kalian?" tanyaku kepada dua sosok di hadapan kami.

"Kami hanyalah sepasang pengembara di dunia ini," jawab si pria berjenggot tipis. "Tangkap!" lanjutnya lagi seraya melempar sepotong ranting jauh ke belakangku.

"Hei, keparat! Kau pikir aku ini anjing peliharaanmu?" kataku geram, sebelum kemudian meletakkan ranting itu di dekat kaki si kacamata hitam dengan mulutku.

Saat aku kembali ke sisi Asibi, dia sedang meringkuk di tanah, tubuhnya bergetar dan ia menyembunyikan wajahnya.

"Asibi! Sudah, hentikan! Jangan tertawa lagi!"

"Ma—maaf..." jawab Asibi terbata, ia masih berusaha menahan tawanya.

Antara Asibi dan kedua sosok asing itu tak ada pertukaran kata, hanya si kecil berkepala bantal yang menyerahkan seekor domba putih yang mungil. Aku benar-benar tak mengerti, dan ini kedua kalinya dalam tiga ribu tahun terakhir aku tak mengerti jalan pikiran Asibi.

"Anjing baik," puji si kecil berkepala bantal sambil mengelus kepalaku, yang otomatis membuatku waspada. Karena selama ini hanya Asibi, si Burung Hantu tua dan Wendigo yang dapat menyentuhku dengan bebas.

"Jangan kau pikir pujianmu itu dapat membuatku senang," kataku kepada gadis bantal yang berjalan semakin menjauh bersama si kacamata hitam.

Sementara itu Asibi di sebelahku kembali menahan tawanya.

"Hanya karena ekorku goyang, bukan berarti aku senang dengan perlakuan gadis bantal itu!"

"Iya-iya," jawab Asibi cepat.

"Bagaimana dengan keadaanmu, seberapa banyak kemampuanmu yang lenyap?"

"Hm..." gumam Asibi yang terlihat hanyut dalam pikirannya sendiri. "Aku masih bisa bernyanyi."

"Itu berarti kau kehilangan semuanya."

"Kemampuanku membaca mimpi sepertinya masih bisa," pungkasnya kemudian. "Ah, tapi sudahlah, mari kita pergi."

23 komentar:

  1. Naratornya ini roh anjing? Sepanjang baca kayaknya saya terus menerka" ini narator siapa, dan tengah" baru ketauan.

    Jujur, meski bacanya sendiri ga ada masalah, tapi memahaminya ga segampang itu. Kayak tulisan ini gampang dikunyah tapi susah dicerna. Saya ga ngerti kenapa, mungkin model tulisan gini ditulis dengan asumsi pembaca cukup intelek buat ngikutin, dan saya kurang kapasitas buat langsung ngerti

    Coba saya poin" biar runut
    >Asibi, Myeengun, Burung Hantu Tua lagi jalan" di hutan sambil ngobrol"
    >Ketemu Grey dan Dorian yang nyandera ilmuwan
    >Grey vs Dorian
    >Asibi nolong sandera
    >Sadar mereka kekurung, nego sama Grey
    >Asibi ngasih ilusi ke Dorian
    >Asibi vs Dorian
    >Selesai, ketemu Zainurma sama Huban

    Ok.. Sampe sini saya lancar bacanya. Tapi tetep aja kurang nangkep unsur" dari cerita ini, baik tentang karakter, plot, atau soal apa, siapa, dan kenapa yang terjadi di sini. Mungkin saya mesti baca ulang.

    Nilai 8

    BalasHapus
  2. well jadi kayak sherlock holmes ya menarik
    sayang nya baru keetahuan di tengah kalau myeegunnya anjing //huskywoi

    plotnya rada njomplang waktu tiba tiba dorian tarung sama kakaknya dan... kakaknya ngilang ke mana? entahlah ga penting
    yg bikin aku ga paham kenapa tiba tiba dua saudara kembar ini mau negosiasi di tengah pertarungannya
    selebihnya overall enak di baca

    tadi aku kira si Nurma bakal dapet petunjuk dari asibi karena judulnya gitu. akhirnya baca.

    1.bahaya kalau ada orang baca dan belum liat katalog peserta, seperti saya. sehingga keterkaitan antara karakter masih sulit dicerna
    2. plot... yah kurang lebih sama dengan komen di atas
    3. jurusnya keren tapi jadi kurang intens pertarungannya, mungkin kurang narasi bertarungnya ya? soalnya masih blm paham playstylenya wendigo sama myeegun

    overall 10 - 3poin = 7
    well padahal tadi mau kasih 6, ternyata emang kurang alasan buat kasih 6
    so
    7/10

    OC: Zia Maysa

    BalasHapus
  3. nggak ngerti....meskipun dari segi bhasa nggak ada masalah tp beneran saya gagal paham sama ini cerita. pertama tokoh utamanya siapa sih? pdahal kalo bc entry lain bs langsung tau. trus buka charsheet sblm komen. oh ternyata si asibi yg disorot dari sudut pandang 'aku' si pet. trus fokus ceritanya kemana? tujuannya apa? lawan sbnarnya yg harus dihadapi siapa? susah bnget diikuti. kaya campur aduk gitu. dan sejak kpan itu mimpi dibingkai. ah mungkin pas ngerasa ada pembatas tak kasat mata kali ya. dan ntah knp saya merasa asibi sebagai tokoh utama kurang menonjol. hasil akhir 7

    kuro

    BalasHapus
  4. mengabaikan komen yg sudah ada, akhirnya saya baca sendiri

    eh, bener... saya bener2x kebanting begitu tahu kalo si gukguk yg jadi narator. untuk plot sendiri, cukup mbelibet. tp pembawaannya mengalir. namun saya belum mengerti apa inti ceritanya dari sini.

    punten 7 dulu, semoga cepet bisa ketemu di r1 sampai final

    BalasHapus
  5. Ini Naratornya Anjingnya,kan? oke ini keren. unik aja dan bisa bikin cerita jadi menarik. karakter Asibi bisa menonjol meskipun penuturnya adalah Anjingnya.

    Untuk plot, saya gak ngerti. beneran. udah baca ulang dari awal tetep gak ngerti gimana. padahal pembangunan setting di awal udah bagus cuma begitu Grey sama Dorian masuk dan selanjutnya saya gak nangkep. untungnya karakterisasinya dapet.

    diksinya yang bagus dan penuturannya ngalir. gak ada masalah disini. keliatan sepertinya penulis udah biasa nulis cerita.

    saya kasih 7/10
    Bian Olson

    BalasHapus
  6. Holaaaa,
    Baca cerita ini bikin Umi inget salah satu karya Paulo Coelho yanh udah Umi baca, judulnya: Brida.

    Gaya bahasanya mirip banget. Susah dicerna, tapi maknanya dalem. Ceritany bagus dan bikin Umi mikir, "tulisan ini lancar juga yah dibaca. Sayang ga bisa langsung paham sekali jalan."

    Umi mungkin senada sama yang lainnya, apa-kenapa-Bagaimana-nya ga kejawab di cerita ini. Nanti kalau lolos, usahakan sebab akibatnya diperjelas yah xD soalnya cerita kamu menarik, dan umi expect kamu buat lolos xD

    Oh iya, mungkin tambahan khusus untuk cerita yang ini, akan lebih seru kalau Grey dan Dorian (namanya kayak durian, jadi pengen makan durian) punya hubungan dengan Asibi dan Myeegun. Jadi ada konflik batin juga kenapa si duet manusia dan duet hewan mau bertarung xD

    Plus, perhatikan tata bahasa next time. Ada banyak kesalaha kapital di sepanjang cerita xD

    Ending, gudlak xD

    Nilai: 6.5/10
    Oc: Song Sang Sing

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf, nilainya jangan ada desimalnya. harus bulat antara 1 sampai 10.

      Hapus
    2. Iya, mohon maaf Pak Bagus xD

      ==============

      Mas Panitia, ralat nilai-nya yah,

      7/10

      lupa ga boleh koma ;)

      Hapus
  7. awalnya bingung si "aku" itu siapa. eh ternyata si anjingnya.

    alur ceritanya oke, cuma ya itu agak susah tahu jalan dan makna ceritanya. masih nggak jelas alasan Dorian bertindak di cerita. apa alasan Dorian menyandera ilmuwan, apa hubungan antara Dorian saat muda dengan si perawat.

    well, saya kasih nilai 7. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  8. Inovasi baruuu!

    POV Myeengun menarik juga. And contrary to popular statements, i clearly understands what's going on here.

    Kalau memang tujuannya hanya sekedar mengenalkan Asibi dan kawan-kawan, saya rasa Bang Zoel berhasil melakukannya. Ini adalah rutinitas mereka. Apa yang mereka lakukan setiap harinya.

    Namun karena intervensi Sang Kehendak, mereka harus menghadapi mimpi yang berbeda dari biasanya.

    Plot yang bagus, tapi mungkin kurang motivasi dari Asibi dan kawan-kawan saja menurut saya. Makanya saya rasa ini seperti satu hari di hari yang lainnya, rutinitas mereka di alam mimpi.

    Saya beri nilai 8 untuk cerita yang cukup solid dari Bang Zoel

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.

    BalasHapus
  9. Ini sudut pandang peliharaan, lol. Kalau terlalu gimmicky, sudut pandang seperti ini bisa mengganggu. Tapi tidak, sudut pandangnya disajikan bukan hanya dengan baik, tapi juga mewakili fungsi sejati 1st person view dalam narasi: menyajikan karakter dan pandangan si narator juga.

    Jadi, narasinya ini cukup mencuri perhatian. dan jalannya pun mulus, sampai ceritanya bisa saya nikmati dari awal tanpa akhir.

    Hal lain yang membantu dari segi narasi jelas paragraf-paragraf pendek. Saya lebih mudah mengikuti, membayangkan apa yang terjadi, tanpa bikin ceritanya terasa terlalu dragging hanya karena masalah rangkaian kalimat.

    Untuk pertarungan, saya rasa misi yang dipilih sudah tersaji dengan baik. demikian pula dengan pameran kekuatan - dan juga karakterisasi - dari mbak asi yang bisa memberi gambaran bagaimana harus mengendalikan karakter ini dalam pertarungan nanti. Satu kelemahan yang bisa saya pikirkan hanya... untuk negosiasi yang melibatkan beberapa super powered beings, jalannya konflik masih terasa cukup biasa. tidak terlalu wah.

    Skor: 8/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
  10. Sepertinya untuk kritik dan sarannya sudah dibahas oleh para penulis lainnya.

    Dan benar cerita ini butuh pemikiran yang cukup dalam.

    Nilainya 9/10

    PenulisDadakan (Arca)

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Tulis ulang karena kepotong :

    Ini POV yang unik, bukan dari si OC utama, tapi dari OC pet si Asibi. Sempat bingung di awal karena belum baca Charsheet dan waktu pertarungan baru ngerti.

    Sampai akhir saya masih bingung, apa Asibi berada dalam mimpi si "Dream Host" ketika terjebak dalam alam mimpi yang ternyata adalah mimpinya sendiri? Atau Asibi masuk ke dunia mimpi dari mimpi si "Dream Host"?

    Overall battle yang menarik perhatian saya. Si Dorian seakan tidak terkalahkan karena berada dalam mimpinya, tapi dapat dikalahkan dengan Finishing berupa ilusi.

    Nilai 9
    OC : Nora

    Sekian dan Terimakasih.

    BalasHapus
  13. Ngambil sudut pandang dari seekor anjing. Beda dari yang lain. buat sy "rasa anjingnya" masih samar-samar. Di samping narasi kalo penciuman si aku lebih tajam, selain dari itu rasanya sedikit sekali petunjuk lain yang mengarah ke kesimpulan bahwa si aku adalah seekor anjing. Tapi kalo ini memang diniatkan sbg efek kejut, yg artinya memang diniatkan supaya pembaca ngga menyangka kalo selama ini mereka melihat segala sesuatunya dari sudut pandang seekor anjing, ya itu berhasil, sy baru ngeh itu di pertengahan waktu fakta bahwa si aku adalah anjing dikuak terang-terangan (nggak membiarkan pembaca menarik kesimpulan sendiri "oo rupanya anjing toh"). menurut saya malah bakal cuma sedikit perbedaannya kalo mengambil sudut pandang dari manusia biasa, atau Asibi sekalian
    8 Olive

    BalasHapus
  14. Ya, di atas ada yang komen ini kaya Sherlock. Sama, saya juga pertama setengah baca langsung kepikiran lisensi imajinasinya Watson lol. Terus datang Dorian Gray, dan gambaran pertarungan mereka. Sedap. Oke, ngomentarin porsi Asibi di PoV ini, mungkin sama aja kaya ngomentarin gimana pandangan seseorang yang cool ke kawan baiknya. Saya langsung suka sama Asibi karena itu. Penulisan rapi, lancar jaya bacanya. Cuma ada beberapa kata yang kayanya lupa diapus jadi dobel. Bukan masalah. Dan terakhir, sialan, di deket-deket penutupan itu si Hachiko kocak banget! 9/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  15. SHUI : “Pertarungannya masih kurang sengit, belum meninggalkan kesan apa-apa, hm rada membosankan adegannya. Datar.”

    SUNNY : “Tata penulisannya dah cukup baik, tapi masih ada beberapa typo yang menggentayangi…
    intrusi?
    Psikedelik?
    Wendigo? Nama penyakit?
    Wendigo—makhluk jahat yang senang bermain dengan sisi gelap manusia= em dash bukan tanda koma.
    Istilah asing dimiringin aja. Kalo perlu dikasi catatan kaki.”

    GHOUL : “Mau ngasih 6 sih, tapi karna eyd nya dah bagus nambah deh jadi 7.” :=(D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf kalau datar, semoga—kalau nanti saya lolos—yang berikutnya tulisan saya bisa lebih baik lagi.

      Ah, kalimat di atas juga sebagai contoh penggunaan "em dash" yang benar. Untuk contoh dari tulisan saya yang kau ambil untuk contoh em dash—karena kalimatnya pendek—itu sudah benar pakai koma.

      Well, itu hanya berdasarkan pengetahuan saya sih, silakan benarkan saya kalau memang salah.

      Wendigo nama makhluk jahat dari cerita rakyat orang-orang Algonquian, dan karena itu juga sebagai nama karakter, maka tidak dimiringkan.

      Untuk "intrusi", itu kata serapan yang sudah resmi ada di KBBI. Untuk "psikedelik" sendiri, itu asal katanya "psychedelic". Meski kata serapan tersebut tidak/belum masuk KBBI, penulisannya sudah cukup umum dalam dunia musik dan berbagai media lokal.

      Psikedelik sendiri tidak saya cetak miring karena kata tersebut sudah cukup dikenal, tapi maaf sekiranya bikin bingung, saya akan beri catatan kaki kalau berikutnya ada kata-kata yang tidak umum.

      Thanks for dropping by though~ :D

      Hapus
  16. Ah, terima kasih semuanya yang sudah mampir, terima kasih juga buat kritik dan sarannya. Semoga ke depannya saya bisa belajar buat menulis lebih baik lagi~

    Oh, buat yang belum saya kunjungi balik, mohon maaf, hutang dulu~

    BalasHapus
  17. Umm, ceritanya sedikit menyentuh ya. Terlebih saat Dorian melihat bagaimana keadaan Abby. saya suka sebenarnya dengan gaya cerita seperti ini, hanya saja pendeksripsian saat bertarung terlalu sedikit dan malah terlihat seperti rangkuman (maaf, kalau lihat entri saya sendiri malah jadi berlebihan).

    Mau komentar apa lagi, gak tahu. saya udah ngantuk dan ini adalah komentar terakhir untuk review wajib.

    Nilai, saya kasih 8. Sekian.

    -Salam, Hyakunosen
    OC: Satan Raizetsu

    BalasHapus
  18. Wait... ini POV 1 tapi bukan dari MC? Aku sudah pernah dengar soal ini, tapi aku sendiri ga pernah berani menginjak ke sini. Keren lah Mas Zoel, gak berasa maksa juga. Natural dan ngga terkesan tokoh utamanya adalah Myeengun, meski sudut pandang ceritanya dari dia. Ini nilai plus karena berhasil dibawakan dengan baik.

    Dorian... bau busuk... ini dari buah ya? XD

    Ini konsep menarik juga, berada di dunia mimpi secara fisik. Ini berarti fisiknya tidak ada di dunia nyata juga kan ya?

    Dorian, Grey, ini karakter baru muncul udah berantem kayak musuhan lama sama Asibi.. aku agak aneh bacanya.. Soalnya mereka baru ketemu tapi udah bersitegang kayak nemesis. Alasannya juga kurang diperlihatkan dengan kuat menurutku.. Mungkin, kalau Dorian dibuat lebih kejam terhadap para manusia aku bakal lebih enjoy.

    Entah ya, ini narasinya menarik dan terlihat banget levelnya first-rate karena diksi narasinya enak banget buat dibaca, tapi dari ceritanya sendiri aku kurang bisa tertarik. Alasan Asibi untuk terlalu jauh menentang Dorian juga kurasa kurang kuat, kecuali seandainya diperlihatkan Dorian memang ngotot banget untuk membunuh para manusia itu (and actually killed some of them). Kayak yang ngambang nanggung gitu plotnya.

    Aku harus baca komen dari Yusran baru ngeh, kalau ini sebenernya ia sedang melakukan tugasnya yang rutin, menginvasi mimpi.. tapi tetep agak aneh. Why? Soalnya kita nggak diperlihatkan kalau memang ini adalah rutinitasnya. Kita hanya dikasih lihat sesuatu dari sudut pandang si serigala, tanpa tahu bahwa ini adalah hal wajar.

    Tapi adegan pas ngeliat si Abby botak itu... cukup mengena. Senggaknya menggambarkan kesedihan Dorian yang tak lagi peduli diri, ia hanya dibutakan oleh cinta.

    Lalu Asibi tampak mengenal Huban dan Zainurma? Atau aku salah nangkap?

    Karakterisasinya kurang suka, tepatnya si serigala yang malu2 mau. Ini agak aneh menurutku. Bukan aneh karakternya, tapi penggambaran karakternya yang kurang kena.. dan cenderung gak relevan.

    Aku awalnya ngira bakal bisa ngasih di atas 8, dengan narasi dan POV yang unik.. tapi dari ceritanya sendiri agak kurang suka, apalagi plot yang kuanggap kurang kuat. Like, apa yang terjadi di cerita ini itu sama sekali kurang terjelaskan.. dan ngga tampak seperti disengaja buat pembaca bingung..

    Yah, 7/10. Minus tiga poin karena plotnya kurang tersampaikan, pengaruhnya ke belakang jadi ceritanya kurang bisa kunikmati secara utuh, lalu karakter Dorian yang menurutku kurang terasa gregetnya.

    -J. Fudo sang Pencipta Kaleng Ajaib-

    BalasHapus
  19. > Sayangnya tidak tercium apa-apa, hanya aroma tengik dari makhluk bertopeng burung hantu yang tertangkap hidungku. Baunya seperti anjing kampung yang baru saja tercebur ke selokan.

    > Bukan manusia si empunya mimpi yang menyebabkan kehancuran ini, bukan pula intrusi mimpi dari para ahli nujum. Aku benar-benar tak merasakan apapun dari dunia mimpi ini.

    ...........oke fix, sampai sini tau kalau POV 1 bukan manusia




    Plus :
    + Narasi
    Penulisan narasinya, kayak bikin saya baca novel terjemahan. Sejak awal sudah disuguhkan adegan-adegan thrill, seperti awal dari sebuah mimpi buruk. [Percayalah, mimpi soal badai dan survival itu ga enak]


    + Battle
    Battlenya sendiri menurut saya cukup lumayan, mengingat keadaan dimana karakter sadar ini mimpi, tempat-tempat yang terdistorsi dan sebagainya. Meskipun agak kurang gigit, tapi saya masih bisa ngikutinlah

    + POV
    Sesuai sama dua kutipan di atas.... TERNYATA SI ANJING. Kampret.
    Saya emang udah duga bukan MC yang jadi POV utama, dan mencoba mencari sosok narator, eh taunya si anjing. Jadi ingat entry dimas tahun lalu kalau ngga salah, dimana pantai yang jadi naratornya. Good job lah

    SCORE :
    Basic 5
    Plus 3

    Total 8

    -Odin-

    BalasHapus
  20. Si Asibi demen ngemut LSD
    XD

    Sepanjang jalan saya bingung, ini yang nyeritain siapa.
    Baru nyadar setelah baca komen Sam, wkwkwkwk

    Maafkeun hamba
    Q_Q

    Plotnya saya rasa kerasa campur aduk, nggak fokus. Cuma battle random, bak-bik-buk setelah foreshadow ini itu sekenanya.
    ._.

    Rasanya kudu baca dua kali agar bisa mendapat gambaran keseluruhan dari inti cerita.
    ._.

    Nilai : 7
    OC : Venessa Maria

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.