Rabu, 01 Juni 2016

[PRELIM] 27 - SONG SANG SING | EOMMA, AKU MIMPI EOMMA!!

oleh : Hinata Ummi

--


~ Prolog ~


Cinta. Mimpi. Hidup. Mati. Nyata.


***
Anyeong Haseyo, Song? Apa kabar?

Kukira kau tidak akan pernah mengambil kesempatan untuk memakai apa yang telah kuberikan padamu. Tentu saja, itu basa-basi dariku.

Tepat seperti dugaanku, kau adalah salah satu jiwa yang sangat baik. Tentu siapa dulu yang memilihmu? Pria pekerja keras, pendiam, romantis. Kenapa aku tahu?

Ra-Ha-Si-a  (^.~)

Oke mari kita lihat, apa yang sedang kau lakukan, Song.

Oh, Kalian tenang saja~

Aku tahu kok apa yang akan dilakukan oleh Song-ku. Ini hanya demi kepentingan narasi saja.

***

~ Eomma, Nega Kum! ~


 "Andwae!"

Kamu menatap wanita tua di hadapanmu dengan wajah tidak percaya. Lihatlah, lucu sekali wajahmu! Kau gelengkan kepalamu sambil menyilangkan kedua lengan menandakan bahwa kamu sama sekali tidak menyetujui ide itu.

"Bah! Tinggal kau potong ajanya, ga susah-susah kalinya kurasa itu! Kok kek gitu kali kau balas!"

Dia masih berkeras meminta pertolonganmu. Kau terlihat sungguh kesal. Dia memintamu dengan wajah arogannya. Kau tahu memang sudah begitu tabiat wanita tua itu, namun tetap saja. Kau kesal.

"NEGA WAE? Kalau Opung nyuruh aku motong ikan asin, gwenchanayo! Opung suruh aku jemur ikan, gwenchana~ Kundae, Opung nyuruh aku untuk motong pipa pembuangan kotoran! Pung, Opung kira aku tukang WC?"

Demi menatap wajahmu yang semakin tak menyetujui idenya, dia mengambil gagang sapu yang memang sedari tadi telah ada di sampingnya.

Sambil mengacungkan gagang itu padamu, ia berkata, "kau kira tinggal di rumahku ni gratis hah? Ga kerja kau, pergi kau!"

"Chuwa! Aku kerjakan!" ucapmu dengan enggan. Kau ambil gergaji kayu yang terselip di balik pintu, sebelum bergumam kembali, "dasar inang-inang tua bedangkik!"

Lalu kabur dari tempat itu, secepatnya.

Dasar Song. Padahal kau tahu, apa alasan Opung tua itu pelit dalam hal-hal printilan seperti itu. Masih saja kau sejahil itu padanya.

"Heh! Apa kau bilang? Kalau ga kau bereskan WC itu nanti sore, kau rasakanlah itu beol di luar!"

"Ah, Mollaseo~" teriakmu sambil membawa gergaji itu pergi.

Ah Song, amarahmu membuatmu sedikit Out of Character.


***


Suasana pasar Sibolga hari ini memang sedikit ramai. Ini pekan. Waktu di mana para Opung dan Boru berjualan. Di kanan kirimu terlihat pedagang yang sibuk menyiapkan barang dagangannya. Berseliweran seolah tak ada pekan depan lagi untuk berjualan. Merapikan berbagai macam dagangan yang mereka bawa. Dari sayur-mayur, hingga ikan segar. Dari mainan anak hingga MP3 abal yang murah-meriah. Semua digotong menggunakan karung goni yang berukuran 30kg.

Tak jauh berbeda denganmu yang sekarang sedang menggotong sekarung ikan asin kering hasil jerih payahmu seminggu ini.

Hari ini, kamu memakai kaus putih kesukaanmu. Pemberian Eomma di Korea sebelum kau memutuskan untuk pindah ke Indonesia. Keputusan yang berat demi seorang gadis.

Untung saja, Eomma tidak marah padamu saat itu. Juga tidak mempertanyakan padamu kenapa kau memilih meninggalkan rumah. Jika ia tahu kau meninggalkan rumah karena seorang gadis, muslim pula, mungkin Eomma akan segera membunuhmu.

Lihat, kan! Mengingat hal itu saja membuatmu merasa tidak nyaman. Tanganmu berkeringat dingin. Ah, sepertinya, kau merasa tidak nyaman bukan karena mengingat Eomma. Tapi mengingat pemilik rumah yang kau abaikan permintaannya sejak semalam. Tadi itu adalah kali kedua kau dipanggilnya dan dimintai tolong.

"Yang benar saja. Bercanda nenek tua ini! Padahal tinggal suruh aja orang untuk betulin WC itu. Mesti kali dia nyuruh aku. Bukan kerjaanku itu!" Dumelmu. Dengan logat Batak dan Korea yang bercampur jadi satu. Terdengar lucu untuk orang-orang yang kebetulan berada di sampingmu saat itu.

Kau masih saja kesal dengan permintaannya. Permintaan sederhana. Padahal, bisa saja hal itu adalah permintaan terakhirnya padamu. Kita tidak pernah tahu, kan?

"Eh Song!"

Duh, lihat! Itu si Ucok sedang memanggilmu. Kau dengan malas mendatanginya. Tempatmu minggu lalu telah diambil orang lain. Ucok, orang yang telah berjanji padamu untuk menjaga tempat itu semalam, malah membiarkan saja tempat itu diambil. Apes sekali nasibmu!

"Wae?"

Kamu menjawab panggilan Ucok dengan malas-malasan.

"Bah, kenapanya kau ini? Macam orang habis disuruh bersihin WC aja kau ini! Kusut!"

Dia tertawa terbahak-bahak demi melihat wajahmu yang semakin kusut. Seolah mengiyakan pernyataannya tentang WC tadi. Kekesalanmu tadi pagipun muncul kembali ke permukaan.

"Nae," anggukmu sebelum melanjutkan kembali, "Opung kau itu nyuruh aku bersihin WC! Senang kau?"

Kau melemparkan karung gonimu tepat di hadapan Ucok. Berharap dia diam dari semua lelucon konyolnya. Kau tak pernah habis pikir. Kenapa sih orang Batak suka sekali seenaknya berbicara kasar pada orang lain? Setahun kau tinggal di antara mereka, tetap saja, kau tetap tak memahaminya. Walaupun kau tahu, sekarang kau juga telah terinfeksi oleh cara berbicara kasar mereka.

"Bukan Opungku itu. Kau ajanya yang senang tinggal sama dia. Di sini mana ada yang mau ngekos sama Opung galak itu."

Ucok benar. Opung Hariba memang Opung galak. Tak ada yang suka padanya.

Tapi begitupun, kau tahu sekali mengapa akhirnya kau memilih rumah Opung Hariba sebagai tempat tinggal. Kesendiriannya serta seringnya beliau pergi mengaji ke pusat kota Sibolga-lah yang membuatmu memilih dia sebagai induk semangmu. Barangkali aku dapat menemukan-nya. Begitulah pikirmu saat itu.

Pemikiran yang sungguh naif, bukan?

Spontan kau menyentuh cincin yang tergantung di lehermu. Setahun adalah waktu yang cukup lama. Kau sendiripun sudah mulai merasa dirimu terlalu naif. Sampai-sampai meninggalkan Eomma sendiri sebelum meninggal setengah tahun yang lalu. Appa? Kau bahkan tidak mengenali pria itu. Pria itu menghilang begitu saja bak ditelan semesta raya.

"Ah, mukamu itu!"

Demi melihatmu yang tidak meresponnya ucapannya, "HOI!!!" teriak Ucok sekencang-kencangnya ke telingamu.

Kau melompat mundur ke belakang, bersikap siaga dengan wajah menatap ke segala arah. Lucu sekali wajah kagetmu itu, Song! Lihatlah, Ucokpun tertawa terpingkal-pingkal.

"Ah kaupun!!"

Alismu bertaut satu saat rasa kagetmu hilang. Ucok masih setia dengan tawanya.

"Makanya, jangan kau lamunin teros itu Cewek Berjilbab, capek kau nanti kukejutin teros!" balasnya ketika ia sudah mulai reda mentertawakanmu.

Kau mengabaikan tawanya, dan hanya menatapnya dengan wajah kesal, "Kau … ah sudahlah, kau tidak akan mengerti."

Kau hanya menghela nafas. Mengingat lagi mimpimu tadi malam. Mimpi kesekian mengenai si Gadis Berjilbab Putih pemilik cincin di kalungmu.

"Omakjang! Serius kali kau nampaknya! Cobak cerita sama aku."

Tanpa diminta dua kali, kamupun menceritakan pada Ucok mengenai mimpimu semalam. Bagaimana si Gadis Berhijab itu datang ke mimpimu. Kalian berdansa. Berpelukan. Tersenyum satu sama lain. Betapa menyesalnya dirimu karena tidak menanyakan namanya. Bahkan setelah terbangunpun, kau tidak mengingat wajahnya.

"Yah? Macam mananya kau Song? Kau kira dia perek? Kayak ga ngerti aja kaupun. Mana mau cewek berhijab dansa sama yang bukan suaminya. BUKAN MAHRAM. Jelas?"

Inilah respon yang kau dapat dari Ucok saat kau sudah selesai bercerita panjang lebar. Sungguh, kalau tidak karena Ucok adalah satu dari dua orang yang mempercayaimu mengenai Gadis itu, tentu saja yang satunya lagi adalah si Opung Galak, kau pasti sudah menenggelamkannya ke laut Sibolga.

"Aku bukannya tidak mengerti, hanya tidak tahu. Itu hal yang berbeda."

"Ya, cok'lah kau pikir! Kau bilang dia berhijab, ko bilang dia anggun, ko pakek lah otak kau sikit, lae. Mana ada cewek berhijab mau joget peluk-peluk!"

Kau terdiam. Kau bukan tak tahu. Kau hanya dengan sengaja mengabaikan kenyataan itu.

"Ah, sudahlah. Lebih baik aku urusi dulu ikan asin ini. Tengkulak di sana sepertinya sudah akan beberes."

Kaupun kembali menggotong karung goni ikan asinmu. Kau berniat menjualnya saja ke tengkulak. Berlama-lama di Pasar Pekan sepertinya bukan hal yang baik untuk kau lakukan hari ini. Lebih baik kau segera pulang dan memperbaiki saluran WC yang tersumbat itu.

Hanya saja, tanpa sadarmu, sesuatu sedang mengambang di sekitarmu. Memperhatikanmu.

Dialah yang sebenarnya dari tadi kita tunggu. Bukan begitu, Ratu Huban?


***



"Eng … siapa kau?"

Aku hanya sepenggal narasi, setidaknya untuk saat ini. Lanjutkan saja pekerjaanmu Ratu Huban.

"Eng? Tadi kau bilang apa?"

Ah lupakan saja. Kau ini memang suka tidak nyambung kalau diajak bicara.

"Baiklah. Kau kenal dia?"

Tentu saja. Kenapa memangnya?

"Dia tampan, ya?"

Huban, nanti Paman Nurma marah loh.

"Biarin. Paman Nurma sudah jarang memberiku Domba. Belakangan dia hanya ingat dengan reveriers mulu. Waktu untukku kapan???"

Huban, sadarlah.

"Bayangkan, tiap hari kerjaannya cuma reveriers. Menjawab pertanyaan reveriers. Mengunjungi Bingkai Mimpi yang telah selesai."

Bukannya kau juga ikutan??

"Iya, tapi kapan waktu untukku??"

Huban … err. Kau bukan pacarnya.

"Tapi … tapi … kan aku …"

Sudahlah, mari kita lanjutkan lagi cerita kita. Abaikan saja si Ratu Huban.

"Jahaaaatttttttt," dan dia kini hilang dari fokus cerita.

Sampai di mana tadi kita?


***


Ratu Huban mengikutimu bergerak ke arah para Tengkulak. Kau tidak tahu, juga tidak dapat melihatnya. Ia adalah makhluk mimpi. Tak ada yang pernah melihatnya. Setidaknya tidak di duniamu Song.

Agar nanti kau bisa menceritakan ke anak cucumu, biarlah narasi ini yang menjelaskannya. Ratu Huban berwujud gadis kecil berusia delapan tahun. Ia berkepala bantal bersarung ungu. Memakai jas hujan kuning lemon walau tak pernah ada hujan di alam mimpi. Ia selalu memakai boot kuning kehijauan dan sarung tangan plastik dengan warna senada.

Kini, ia mengikutimu. Bergerak melayang di antara orang-orang. Ia tertarik dengan mimpimu mengenai Gadis Berjibab Putih. Ia mendengarkan percakapanmu tadi dengan Ucok. Ia merasakan keinginan kuatmu untuk bertemu dengan gadismu.

Kau berbelok di ujung jalan, di situlah para tengkulak telah menunggumu. Kau serahkan karung gonimu pada mereka. Seperti biasa, berat ikan asin sekarung goni tersebut tidak sama dengan ukuran yang tertulis di goninya. Tapi ya sudahlah, pikirmu. Kau harus segera memperbaiki saluran WC yang rusak itu.

Setelah menjual ikan asin, kau segera berbalik ke arah gang sempit yang merupakan jalur memotong ke arah rumah Opung Hariba.

"Apa impianmu?"

Untuk sedetik kau terdiam. Menghentikan langkahmu di mulut gang. Memperhatikan kanan dan kirimu. Tak ada siapa-siapa. Gang ini sangat sepi. Semua orang sedang sibuk di Pekan. Ini sudah kesekian kalinya kau melewati gang kecil ini dan tak pernah terjadi apapun.

Kau memutuskan untuk terus berjalan dan seperti biasanya, kau bernyanyi untuk membunuh sepi.


"I love you but it's not so easy, to make you here with me~
I wanna touch and hold you forever
But you're still in my dream … "


Senandungmu sungguh indah Song. When You Love Someone-nya Endah N' Rhesa kau nyanyikan tanpa cela. Merdu dan indah. Membuat siapapun yang mendengarnya saat itu terlena dan ingin mendengar lebih.

"Ah, nanti malam ini ajalah yang kunyanyikan. Bagus. Mumpung hari minggu."

Lalu, inilah saatnya Ratu Huban bekerja.

"Kau punya impian yang menarik …" katanya, tapi di pendengaranmu, itu tak lebih dari suara lebah yang berdengung.

Kau menatap kembali ke sekelilingmu. Tetap tidak ada siapa-siapa di sana.

"Apakah kau ingin impianmu terwujud?"

Kau berbalik dan tiba-tiba…


… tidak ada siapa-siapa di belakangmu. Padahal kau sangat yakin ada sesuatu tadinya di sana.

"Dugu-niya? Siapa kau?" Kau mencoba peruntunganmu. Mungkin saja gadis ini pemalu. Gadis? Iya, kau mengenali suara dengung itu seperti seorang gadis.

Matamu menatapnya dengan alis yang bertaut. Tak terkesan takut sama sekali. Sosok Ratu Huban, yang tentu saja tidak kau kenali, terlihat seperti kain buruk yang buram di matamu.

"Ratu Huban," jawabnya, itu yang dia katakan, tapi tidak seperti itu yang kau dengar.

Entah terinspirasi dari apa kau malah menjawab, "kau … ah sudahlah, kau bukan tipeku," ucapmu hendak berlalu.

Kau mengira itu adalah sesosok hantu inang-inang beranak satu (katanya anaknya imut loh, kulitnya putih, rajin senyum dan senang bergaya di depan kamera) yang memang sering digosipkan berlalu-lalang di sekitar gang sempit mencari korban.

Namun, ketika kau hendak berlalu, ia berbicara lagi, "aku dapat membantumu mewujudkan mimpimu untuk bertemu dengan Gadis Berhijab itu," kau segera menghentikan langkahmu.

Kaupun terdiam. Walau sangat samar, kalimat itu masih memiliki makna di telingamu yang memang tajam. Menatap wajah, jika itu bisa disebut wajah, yang tak dapat kau lihat dengan baik. Setengah ragu. Setengah penasaran.

"Bagaimana caranya?"

Ia terdiam di depanmu. Bergeming. Masih sekabur televisi yang kehilangan sinyal.

"Kau lama sekali Huban, sudah tandai saja dia!"

Muncul sosok lain yang berwujud seperti lukisan Van Gogh di hadapanmu.

Iya, sosok itu tidak jelas bentuknya, sebagian hitam, sebagian cokelat, sebagian putih. Tidak jelaslah pokoknya bentuknya. Suaranya terdengar persis seperti sosok sebelumnya. Berdengung dan samar.

Entah apa yang kedua sosok itu bicarakan selanjutnya. Namun, kau Song, dapat mendengar tiga kata penting yang terdengar jelas di telingamu. Tiga kata yang tak kau ketahui sama sekali maknanya.

Reveriers.

Mahakarya.

Alam Mimpi.



. . . .

. . . . . .

. . . . . . . . . .



Dari sinilah, cerita sesungguhnya, di mulai!

***


~ Eomma, Kum Aniyeo! ~



"HEH, SONG, BANGUN KAU!!"

"NEE, Aku bangun Opung!"

"Belum juga kau betolin itu ya! Udah dua hari kusuruh kau beresin itu, emang kau ga beol!?"

Kamu membuka matamu perlahan. Teriakan Opung Hariba tidak lantas langsung membangunkanmu dari peraduan. Cahaya matahari masuk dari kisi-kisi kamarmu yang terbuat dari kayu. Seperti kebanyakan warga Sibolga, rumah Opung Hariba juga terbuat dari kayu.

Kau duduk di kasur kapuk yang sengaja dibelikan Opung Hariba untukmu, saat kau pertama kali menyatakan ingin menyewa kamar itu. Rasa bersalah hinggap di hatimu. Teringat olehmu betapa Nenek Tua itu senang sekali mendengar kau akan tinggal di rumahnya.

Sekarang, Nenek tua itu hanya memintamu untuk membenarkan saluran WC. Itupun tidak kau kerjakan.

Sayang, rasa bersalah itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, otakmu memutar kembali kejadian di dalam mimpimu barusan.

"Bah, jadi tadi itu aku cuma mimpi?"

Kau menunduk lesu. Sedetik kau berharap bahwa mimpi tersebut nyata. Kau sungguh-sungguh ingin bertemu dengan gadis itu. Apapun harganya, akan kau bayar, asal mimpimu yang satu itu tercapai.

Mimpi ini sungguh berbeda dengan mimpimu untuk menjadi penyanyi saat masih kuliah di Seni Suara dulu. Menjadi penyanyi bisa kau lakukan di mana saja. Tapi, wanita ini? Tidak! Sangat sulit untuk menemukan wanita seperti ini lagi.

Tapi rasanya ada yang sedikit mengganjal.

Alam mimpi katanya? Tunggu. Kau terdiam sejenak.

Ya! Katamu dalam hati. Kau bertemu dengan wanita itu di Alam Mimpi. Dia, si Gadis Berjilbab Putih itu kau temui di dalam mimpi.

Ya! Mimpi tadi mungkin saja mimpi yang akan membantumu menemukan Gadis itu. Benar.

Tapi apa? Tapi bagaimana? Pikirmu.

Mungkin saja, kalau aku tidur lagi, aku bisa memperjelas mimpi itu!

Dan benar saja, kau kembali bergeletak di kasurmu mencoba memejamkan mata kembali ke sana.

"SONG! Kau jangan tidur ajalah! Kau bantu aku dulu!"

Opung Hariba datang ke kamarmu, merusak alam pikirmu yang sedang bekerja. Memutus hubunganmu dengan para Sponge bob di dalam otakmu yang sedang berlarian mencari berkas penting tentang gadis itu. Membongkar semua laci dan lemari di otakmu.

Dan lihat, si Opung membawakan bungkusan plastik hitam dan menyerahkannya padamu, dengan nada memerintah khas Orang Batak dia berkata, "ini, kau kasikan dulu ini ke Opung Bertha."

"Apa ini?" Tanyamu setengah kesal. Matamu menatap bingung dengan bungkusan juga nama yang disebutkan oleh Opung Hariba. Ini kali pertama kau mendengar nama itu disebut.

"Ini manisan buah pala. Bagus untuk pencernaan. Udah tua Opung Bertha itu, di ujung jalan sana rumahnya. Lagi ada Gadis Berjilbab yang nyewa di rumahnya. Kau jenguk dia. Mana tahu dia gadis yang kau cari-cari itu."

Kamu terdiam menatap Opung Hariba. Di balik kekasarannya, Opung Hariba memang selalu memperhatikan kebutuhanmu. Ah, sekali lagi, rasa bersalah menghinggapimu.

"Baiklah Pung. Aku antar buah pala ini ke beliau, habis itu kubetulkan saluran pembuangan kita. Sesak boker pulak aku!"

"Ah, kaupun! Alasan kau ajanya itu! Ga enak kau sama aku kan? Udah cepat sana kau antar. Nanti pulang pulak anak gadis itu, kan gagal kau menikah."

Kaupun mencium tangan Opung Hariba dan berangkat ke tempat Opung Bertha. Berharap besar bahwa penyewa kamar Opung Bertha adalah Gadis Berjilbab Putih yang memberikan cincin itu padamu.

Padahal, kau tahu, jauh di lubuk hatimu, gadis itu tidak akan pernah ada di duniamu.


"I remember~
The way you glanced at me~
Yes, I remember~"

I Remember – Mocca


Dengan bahagia kau menyanyikan lagu "I Remember"-Mocca. Bahagia sekali kau tampaknya hari ini. Seperti tak ada yang akan merusak harimu saja. Begitulah pikirku. Oh tunggu, ini bukan narasi tentangku. Ini tentangmu. Mari kita kembali~

Tepat di ujung jalan, kau melihat sebuah rumah. Oh di situ rumah Opung Bertha, pikirmu. Kau berjalan mengarah tepat ke pintu utama rumah. Dengan tangan yang berkeringat dingin dan jantung yang berdegup kencang penuh harap, kau mengetuk pintu rumah itu. Rumahnya sedikit lebih baik dari punya Opung Hariba walaupun masih dengan pintu yang sama persis.

Sekali. Tuk Tuk…

Tidak ada jawaban.

Dua kali. Tuk Tuk… Tuk Tuk…

Tidak ada jawaban.

Tiga kali. Tuk Tuk… Tuk Tuk… Tuk Tuk…

Tidak ada jawaban.

Tepat ketika kau sudah akan mundur, seseorang berkata dari dalam rumah.

"Siapanya itu?"

Kau kecewa, mengira gadis itu yang akan membukakan pintu. Ternyata, sepertinya, Opung Bertha langsung yang menyambutmu. Paling tidak, suara wanita tua dari dalam rumah membuatmu berpikir bahwa itulah Opung Bertha.

Kau berikan senyum basa-basimu padanya dan menyerahkan bungkusan plastik ke tangannya, "ini Pung, dari Opung Hariba. Beliau menyuruhku memberikan ini ke Opung."

"Oh, Kau-nya Song, lama kali gak kudengar lagi kabar kau. Cemana? Udah ketemunya kau sama gadis itu?"

Kau hanya memberikan senyum canggung. Kenal saja tidak. Si Opung malah bertingkah selayaknya kalian sudah kenal lama.

"Kalau Opung ga ada perlu sama aku, aku permisi pulang dulu, Pung." Sungguh, kau malas meladeni Opung ini. Kenyataan bahwa dia tahu tentang si Gadis Berjilbab, membuatmu tak nyaman. Bukan apa-apa, kau sungguh percaya, hanya Ucok dan Opung Hariba-lah yang mempercayaimu.

"Bah, cepat kalinya? Kau belum ketemu sama yang nyewa kamar di belakang itu."

Sekali lagi kau hanya memberikan senyum canggungmu. Bingung harus memberikan respon apa. Di satu sisi, kau ingin sekali bertemu dengannya. Namun di sisi lain, ada rasa enggan jika harus menemani Opung Bertha lama-lama.

"Iya, Pung. Aku harus pulang. Kasian Opung Hariba kerja sendirian di rumah."

"Kerja apa pulak dia? Udah tua juga. Bilang sama dia suruh aja anak gadisnya itu pulang dari kota. Kesal kali aku dibuatnya. Udah tuanya mamaknya, bukannya pulang dia, malah di kota sana dia entah ngapain."

"Iya Pung. Nanti kusampaikan. Kalau gitu, aku pulang dulu ya, Pung."

"Ah, iyalah, pulanglah kau! Hati-hati kau ya, Song!"

Kaupun berbalik arah, hendak ke pintu depan dan keluar dari ruangan itu. Tapi …

Pintu itu berbeda dengan pintu yang kau masuki tadi. Aneh, pikirmu.

Tadi, saat kau masuk, pintu rumah itu adalah pintu kayu kecil buatan tangan selayaknya pintu rumah lain di Sibolga. Pintu yang sekarang ada di hadapanmu adalah pintu yang ukurannya empat kali pintu yang tadi. Dengan tinggi tiga kali tinggimu. Sangat besar dan megah sewarna dengan emas. Pegangannya besi pula.

Seperti pintu istana. Pikirmu.

Ini memang aneh kan, Song? Bagaimana mungkin pintunya berubah? Padahal kau yakin sekali, tadi, saat kau tiba di rumah ini, pintunya adalah pintu kayu selayaknya pintu rumah lainnya. Setidaknya narasi berkata begitu.

"Oh Pung, pintu rumah Opung kok ganti, ya?" Tanyamu. Bingung memandang pintu lalu berbalik. Betapa kagetnya dirimu begitu mengetahui Opung hariba bahkan sudah tak ada. Sedangkan pemandangan di belakangmu telah berubah menjadi sesuatu yang mengerikan buatmu.

Putih.

Semuanya putih.

Dan warna putih itu membuatmu ngeri. Bagaimana tidak? Dataran di sekelilingmu, tiba-tiba menurun seperti air terjun dengan radius yang semakin mengecil. Dalam durasi yang sangat cepat. Seolah mengejarmu. Bahkan dinding rumah Opung Hariba-pun seperti melebur. Menyisakan bagian kosong berwarna putih seperti kertas kanvas.

Ada apa ini?

Menjadi putih.

Putih.

Putih.

Putih.

Putih.

Putih.

Tidak.

Putih.

Jangan.

Putih.

Putih.

Putih.

Dalam keadaan terdesak, kau membuka pintu dan keluar dari pintu itu. Setidaknya, begitulah pikirmu.


***


~ Ucok Telah Abadi di Cerita Ini ~


Jantungmu mencelos ketika mengetahui bahwa pintu itu bukannya membawamu keluar dari rumah Opung Hariba. Melainkan tepat ke tengah ke Gang Sempit. Hanya Gang sempit itu. Sepetak Gang Sempit. Inilah yang tidak kau sadari. Bahwa duniamu, jarak pandangmu, hanya sepelepasan Bingkai. Tidak ada pasar. Tidak ada belokan ke rumah Opung Hariba. Tidak ada gedung Tengkulak. Hanya Gang Sempit.

Bukan tanpa alasan kau tak memperhatikan hal itu. Saat ini, di depanmu, kau menyaksikan sesuatu yang sangat tidak pantas kau saksikan.

Apakah kau bisa mendeskripsikannya Song? Jelas tidak! Ini sungguh diluar perkiraanmu. Penampakan di sini sungguh mengerikan. Bisakah kau mendeskripsikannya, Song? Lihat! Mana mungkin kau bisa. Kau saja menutup matamu rapat-rapat. Tidak Song! Kau harus mendeskripsikannya!

Agar mereka tahu, apa alasanmu melakukan tindakan yang memang harus kau lakukan! Buka matamu!

Perlahan kau membuka matamu.

Di sana, terbaring dengan air mata membanjir. Seorang gadis, entah siapa. Dengan pakaian tidak beraturan. Jilbab hijau yang berantakan. Kemeja yang terbuka di sana-sini. Rok yang sudah menghilang entah kemana. Serta, tubuh yang memar dan gemetar meminta perlindungan. Dengan bibir yang hanya bisa membisikkan kata tolong, saking lemahnya.

Di sampingnya, duduklah bak seorang raja. Satu-satunya teman terdekat yang pernah kau miliki di Sibolga. Ucok. Dengan celana yang, jelas sekali dari penglihatanmu, tidak diresleting. Tanpa baju. Tangan kirinya memegang sepuntung rokok yang sesekali disentuhkan di perut si gadis (yang tentu saja berujung teriakan). Sedang tangan kanannya memegang sebotol tuak.

"Eh lihat siapa yang datang, si Cina," suaranya yang mabuk terdengar bagai kembang api di telingamu yang tengah menahan emosi, "ngapain kau di sini? Kebetulan, mau coba juga? Tapi udah ga manis lagi dia. Udah kusedot tadi."

"BIADAB! Kau apakan dia, Jing?"

"Kuapakan? Yang ena-ena lah, Jing! Mau kuapain lagi dia rupanya?"

"Bajingan! Taunya kau kalau kerjaan kau ini ga betol?"

"Darimana pula kau tahu ga betol? Ga kau lihat itu, hah? Dia suka! Badannnya udah nunjukin sendiri." Tunjuknya ke arah yang seharusnya tak kau lihat. Namun bagaimana lagi? Kau manusia, sudah sewajarnya manusia mengikuti arah tangan orang lain ketika ditunjukkan sesuatu. Membuatmu kesal pada diri sendiri.

Hal itu saja, sudah membuatmu geram. Ditambah lagi Ucok mengucapkannya dengan nada tidak bersalah sama sekali. Membuatmu benar-benar tak habis pikir. Inikah yang dilakukan Ucok selama ini di belakangmu?

Memainkan peran binatang yang haus seks?

"Sampah!"

Dan begitulah, tanganmu, tanpa bisa kau kendalikan melayang ke wajahnya. Tubuhnya terlempar ke belakang. Jatuh dari kursi kecil yang ia duduki. Pukulanmu meninggalkan bekas merah yang membengkak. Bibirnya yang berdarah. Sungguh, ini adalah hal terbaik yang pernah kau lakukan Song!

"Anjing lah Song! Kau kira enak kali jadi kambing congek kau terus? Kau kira siapa kali kau rupanya!? Dasar Cina ga mau rugi," katanya menepis darah di bibirnya.

Kau menahan amarahmu mendengar semua kata itu keluar dari mulutnya. Ah ... Song. Bahkan kau sulit untuk memahami maksud perkataan temanmu sendiri. Kau tahu Song? Negara ini memiliki kerumitan yang tidak kau ketahui. Sekelumit kisah nyata tentangnya dibuat blur. Kerasisan yang muncul karena trauma masa lalu. Trauma tahun 98.

Tak ubahnya seperti di negaramu, di Korea sana. Di mana Ras putih dan hitam dibedakan.

"Apa kau bilang?! Cina? Heh, asal kau tahu ya, Bodat! Aku bukan keturunan Cina! Aku keturunan Korea. Keturunan raja Joseon, camkan itu!" ucapmu berapi-api.

Tanganmu menarik kain lebar yang entah kau dapat darimana, menutupi si Gadis yang masih dalam banjiran air mata. Ia menangis gemetar dan ketakutan saat melihatmu mendekat. Kau menariknya berdiri. Tersenyum lembut padanya. Mengangkatnya ala pengantin wanita yang paling bahagia di dunia. Perlahan kau bisikkan sebuah lagu ke telinganya.



Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi sampaikan padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya

Tahukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai wajahnya
Kan ku pasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya

Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan ku ungkap segenap rasa dan kerinduan

Lagu Rindu – Kerispatih


Lagu yang menenangkan hatinya yang sedang takut. Lagu yang membawa hatinya melayang ke pangkuan ibundanya yang telah tiada. Menangis dan mengadukan nasibnya. Setetes air mata jatuh berlinang dari pipinya. Kau-pun tersenyum lembut. Senyum yang mengantarnya ke peraduan mimpi. Ia tertidur di dalam gendonganmu.

[Serenade]. Begitulah kau menamainya. Sebuah kemampuan yang kau miliki sejak kau kecil. Tak pernah ada yang mengetahui bahwa kau mengerti bahasa musik. Kau mengerti bahasa hati manusia. Tak ada kecuali kau dan eomma.

Selain [Serenade], masih ada [Supadio][Screamo], dan [Memoria]. Kau tak tahu sejak kapan kemampuan ini mendekam di dalam tubuhmu. Seingatmu, sejak kecil, kau selalu bernyanyi. Hingga akhirnya, kau terlalu terbiasa dengan suara, musik, dan getaran.

Setiap getaran hati manusia kau terjemahkan menjadi musik. Getaran kaki hewan, kau terjemahkan menjadi musik. Getaran kipas angin kau jadikan musik. Bahkan, kodok kejepit pun kau jadikan musik. Yah, walaupun berakhir aneh dan tidak enak didengar. Karena itu pula, kepergianmu dari Sekolah Art-mu dulu di Korea, merupakan kehilangan besar bagi mereka. Kau calon Maestro musik. Sekarang, kau tahu kan, mengapa mereka mempersulitmu saat hendak keluar dari sana?

Ah, cukup narasi ngelantur ini. Mari kita lanjutkan ceritanya.

Kau menggendong gadis itu, meletakkannya duduk di tempat yang aman. Tidak terlalu jauh darimu, namun jauh dari jangkauan Ucok. Ia terlihat manis. Perkiraanmu gadis itu masih seumuran anak SMA. Lihat saja, kemeja yang dikenakannya memiliki lambang OSIS di sebelah kirinya. Seketika membuatmu teringat pada Lila, adik perempuan Ucok.

"Oh, aku tahu! Kau pengen nyobain dia juga, kan?" Tawa Ucok meledak.

"Heh, jangan kau kira aku sama dengan kau!" Kau mengepalkan jari jemarimu. Menahan diri dari memukulnya sekali lagi.

"Halah, banyak cakap kau! Dikasih kesempatan kok ga mau!" Katanya meremehkanmu.

"Aku ga sama kayak kau, JING!" Makimu.

Haduh, Song, risih juga rasanya mendengarmu mengatai makhluk lain seperti itu. Tapi memang tidak ada rasa sopan tertinggal di dalam dirimu. Makhluk seperti dia tidak pantas diberikan kesempatan untuk diramah-tamahi. Setidaknya, tidak lagi. Begitulah pikirmu.

"Jang-jing, jang-jing, Eh Babi, udah tinggal pake ajanya kau. Bagian susahnya udah kuambil. Dia udah ga perawan. Tinggal kau entot aja dia kok susah kali. Banyak kali bongak kau."

Kau menarik nafasmu dalam. Memfokuskan tenagamu pada kepalan tanganmu. Dengan sekali hentakan kemarahan, kau meninju pria tak tahu diri itu, tepat di wajahnya. Tepat saat dia akhirnya menendangmu tepat di tempat yang tidak kau sangka. Selangkangan. Membuatmu mengerang. Terjatuh dan meringkuk menahan rasa sakit yang tak terkira.

Jika kalian yang membaca adalah wanita, mungkin kalian tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya. Lebih sakit daripada saat kalian mestruasi, percayalah. Ingat, jangan sekalipun bayangkan seperti apa rasanya. Juga, jangan pernah mencoba tendangan seperti itu ke lelaki manapun. Kecuali ke laki-laki seperti Ucok.

"Eh, dengar ya, Song! Ambil bagianmu atau pergi dari sini. Jangan ganggu urusanku!" Ucapnya pelan sebelum menendang perutmu dua kali. Membuatmu memuntahkan darah.

Dengan menahan rasa sakit, kau menahan langkah kaki Ucok yang bergerak ke gadis itu, "apa … salahnya?" Katamu.

Satu tendangan kembali mendarat di perutmu.

"Banyak kali tingkah kau lah. Dia, abangnya udah memperkosa adikku dulu! Kau ingat? Aku punya adik perempuan. Kau ingat? Kau ingat kemana dia? MATI SONG! MATI!"

***


~ LILA, Dendam~

Ya, kau ingat! Lila. Gadis manis itu. Mungkin umurnya lebih muda dari gadis yang diperkosa oleh Ucok. Lincah. Ceria. Selalu tersenyum dan ramah. Begitulah kau mengingat Lila setahun lalu saat kalian bertemu.

Lalu terjadilah kejadian itu. Tiga bulan setelah kedatanganmu ke Indonesia, setelah perkenalan kalian, ia pulang ke rumah. Bertemu denganmu di tengah jalan, menatapmu dengan ketakutan. Seolah kau adalah predator yang siap memakanmu kapan saja. Saat itu, kau tak mengerti. Saat itu, kau hanya menenangkannya dengan suaramu. Bernyanyi. [Serenade]. Memeluknya. Menenangkan hatinya. Kau antarkan ia pulang. Tanpa tahu apapun dan tak berhasil membuatnya bercerita apapun.

Sampai tiga minggu setelahnya, baik Lila maupun Ucok menghilang dari peredaran pasar. Kau mencari mereka kemana-mana. Tak ada satupun yang kau temui. Kau ke rumahnya, tak ada satupun dari mereka yang mau menemuimu. Namun, saat itulah kau tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Menggunakan [Supadio] kau mendengar dengan jelas, Lila sedang menceritakan detail, sedetailnya tentang pemerkosaan yang ia alami. Bagaimana seluruh keluarga itu sempat mencurigaimu sebagai pelaku. Bagaimana Lila meyakinkan mereka bahwa kau bukan pelakunya.

Hingga akhirnya mereka melapor ke polisi. Keputusan yanng akhirnya disesali oleh satu keluarga itu. Pelaku memang berhasil ditangkap. Hanya saja, dengan laporan itu, mereka membuka aib Lila ke masyarakat. Sungguh kejam.

Ya, di negara ini, baik itu diperkosa ataupun tanpa dasar paksa, gadis yang kehilangan keperawanannya adalah aib. Adalah pembawa kabar buruk. Pembawa kehancuran. Berhak untuk dipermalukan. Berhak untuk diperlakukan semena-mena.

Begitulah masyarakat memperlakukan Lila dan keluarganya, juga karibmu, Ucok. Hingga akhirnya, tepat sebulan setelahnya, Lila yang sudah tidak tahan lagi dengan buah cibir masyarakat, memilih untuk mengakhiri lelah hatinya di laut Sibolga. Menenggelamkan dirinya dengan mengikat diri ke sebongkah batu. Menjamin bahwa dirinya akan ditemukan hanya saat ia telah tertidur dengan tenang.

Dan apakah kau ingat apa yang paling menyakitkan buat Ucok? Oh tentu kau ingat, Song! Karena itu juga sangat menyakitkan buatmu. Salam sayang dari Lila untukmu melalui sebuah surat. Salam sayang dari Lila untuk abangnya, Ucok. Juga bagaimana kondisi mayat Lila saat ditemukan. Hanya tinggal separuh. Apalagi? Dimakan ikan tentu saja.

***


~ Akhir Cerita Pembalasan Dendam ~

Tapi …

"Cok!" Teriakmu. Tepat sebelum Ucok menyentuh gadis itu. Menghentikan langkah Ucok. Membangunkan gadis itu. Ia membalikkan tubuhnya mmenghadap ke arahmu.

Kau memang bukan pria yang bisa bertengkar. Juga bukan pria jago mirip Superman, Ultraman, atau apalah superhero yang selalu ada di televisi. Namun, kau paham satu hal, Gadis ini, apapun yang telah dilakukan abangnya pada Lila, tak berhak menjadi kambing hitam. Gadis ini sama seperti Lila. Tidak berdosa.

Berusaha bangkit, kau mencoba untuk berbicara dengannya, "dengar ya Cok, bukan hanya kau yang kehilangan Lila! Aku juga. Lila anak baik. Dia udah kayak adikku sendiri. Tapi … apakah tidak cukup hanya Lila saja yang mengalaminya?"

"ENGGAK! Kau dengar ini, Song! Keluarga itu harus membayar! Sampe sekarang, ga ada satu haripun keluargaku senang. Keingat teros sama Lila. Kau ingat mimpinya, Song?" Airmata mulai jatuh perlahan di wajahnya.

"Nee. Dia ingin membuatkan kau buku. Ia ingin menulis cerita tentang kau. Menjadikan kau abadi melalui tulisannya. Aku ingat, Cok! Ingat aku! Dan Lila sudah mewujudkan mimpinya."

"Mana ada, Song! Dia mati sebelum sempat menuliskan apapun!" bantahnya keras padamu.

"Kau sudah abadi di cerita ini, Cok!" Ucok menatapmu tidak mengerti. Kami menatapmu tidak mengerti. Tapi kau hanya tersenyum.

"Banyak kali bacot kau bah! Kau tahu betapa orang-orang jahat sama kami? Sampek sekarang. Bahkan untuk jualan ikan asin aja, kami harus minta bantuanmu. Ga ada yang mau beli ikan asin dari kami, sejak insiden itu."

Iya. Kau tentu tahu. Kau yang membantu secara diam-diam menjual ikan asin dari keluarga Ucok. Tiap hari, dini hari, kau bangun untuk mengambil ikan asin, dibantu Opung Hariba, membawanya ke rumah untuk esok harinya kau jual kembali ke pasar. Tak pernah ada yang tahu ikan asin itu adalah buatan keluarga Ucok. Kalian menyimpan rahasia itu rapat.

"Sekarang, aku bisa ngebalas perbuatannya."

"Tapi bukan dia yang salah! Kau tahu itu!"

"Tapi mereka hidup bahagia! Saat kutemukan, dia, gadis ini, sedang makan di restoran sama kawan-kawannya. Bahagia kali dia kan?"

"Itu … adalah hari pertama … teman-temanku, akhirnya mau berteman denganku lagi, Bang," Gadis itu, yang sedari tadi diam saja mendengarkan kalian berbicara, akhirnya angkat suara. Tubuhnya lemah, tapi dia berusaha sekuat tenaga berbicara.

Ucok dan kau menatapnya.

"Bohong!" cerca Ucok, "kau pasti bohong!"

"Tidak, Bang. Sejak abangku di penjara, dang hadong lai hidup bahagia di keluarga kami. Bapak sama mamak berantem teros kerjanya. Tiap hari, bilang itu salah mamaklah, itu salah bapaklah. Di sekolah, ga sekali dua kali aku dilecehkan. Dibilang pantas lah adek pemerkosa diperkosa juga. Dibilang itulah hukumannya. Salahku apa? Bukan aku yang merkosa adekmu!"

Baik kau maupun Ucok, terdiam. Kamu tidak tahu apa yang ada dipikiran Ucok. Tapi yang kaulihat, dia gemetar. Kau tahu, Ucok bukan orang jahat. Dia pada dasarnya adalah pria yang baik. Namun keadaan membuatnya menjadi buruk.

"Sudahlah, Cok!" Ucapmu, berharap semua ini berakhir. Berharap Ucok sudah kembali ke kesadarannya.

Sayangnya …

"Abang harus tanggung jawab! Kalau enggak, nasibku akan sama kayak adekmu. Aku udah ga perawan." lanjut gadis itu, memotong kalimatmu. Membuat Ucok kembali naik emosinya.

"Tanggung jawab katamu? Heh, perek! Kukasih tahu kau ya! Aku ga bakal tanggung jawab."

Kalimat hinaan itu sungguh menyakitkan. Perek? Astaga, Cok, kemana akal sehatmu?

"Kalau gitu, akan kusebarkan sama semua orang, aku diperkosa. Biar nasibmu sama kayak abangku. Terus aku bisa mati juga bunuh diri kayak adekmu!"

Astaga, perkembangan ini membuatmu bergidik. Kau lihat Ucok mengambil batu besar di sampingnya. Sementara di hadapannya, si gadis sudah bersiap juga dengan botol kaca pecah bekas tuak di tangan. Perasaanmu tak enak.

"Kalau kau maunya kayak gitu, bolehlah. Biar kubunuh aja kau sekalian. Kulemparkan kau ke laut, jadi mayatmu sama kayak Lila, dimakan ikan," Ucok mulai siap-siap melemparkan batu di tangannya.

Kau mencoba [Memoria], mencoba untuk melihat lagu apa yang dapat menjebak mereka ke dalam ilusi. Lagu apapun, asal mereka tak lagi menyadari bahwa ada musuh di depan mereka. Apapun, sampai Song bisa membawa mereka saling menjauh. Yang terpenting sekarang adalah mengalihkan perhatian mereka. Itulah rencanamu.

Sayangnya, [Memoria] tak dapat dilakukan. Entah apa yang terjadi. Rasanya kau melakukannya dengan benar. Rasanya tak harus ada prosedur khusus untuk melakukannya. Namun, gagal. Tak ada satu lagupun yang membenak di pikiranmu.

Tidak. Pasti ada cara lain.

Mungkin, bukan [Memoria] yang mereka butuhkan. Mereka bukan butuh pengalihan. Mungkin mereka butuh untuk ditenangkan. [Serenade]. Kau tatap Ucok. Dulu, [serenade] selalu berhasil menenangkanya. Tapi yang keluar dari bibirmu adalah,


"Balenggang paca-paca,
Ya napi goyang pica-pica,
Ya napi bodi, poco-poco~"

"Poco-poco" – Yopie Latul



Kau menggelengkan kepalamu dan mencoba sekali lagi,


"Loser, oetorie
Cheokhaneun geopjangi
Mosedeon yangachi
Geoul soge Neun,

I'm a loser,"

"Loser" – Big Bang

Sekarang kau terdengar seperti kaset rusak Song. Sungguh bukanlah lagu yang dapat menenangkan hati. (Terutama lagu terakhir.) Suaramu masih sebagus dulu. Tapi lagu itu tak berefek apa-apa untuk mereka.

Sekarang, baik [Memoria] maupun [Serenade] gagal kau lakukan. Mengetahui itu, perlahan, kau memasukkan tanganmu ke dalam kaosmu. Memegang gagang pisau dapur yang memang selalu ada di sana. Bersiap untuk segala kemungkinan terburuk.

"Cok, apapun yang kau pikirkan sekarang, hentikan selagi kau bisa! Dan dek, siapapun namamu, buang botol kaca itu jauh-jauh. Membunuhnya ga buat masalah kelen selesai. Kelen tahu itu."

"Kau ga tahu apa-apa, Song," dari Ucok keluar bersamaan dengan, "Abang, ga tau apa-apa," dari gadis itu.

"Dengar dik, aku memang tidak pernah diperkosa, yang benar saja, laki-laki diperkosa? Tidak masuk akal, bukan? Tapi bukan itu yang mau kubilang. Kalau kau membunuhnya, nasibmu bakal sama kayak abangmu, di penjara."

"Ga masalah! Toh hiduppun, di sini, bebas, semua orang ngebuat aku udah kayak napi. Apa bedanya?" Sekarang gadis itu sudah berdiri, menahan kain yang kau berikan di tempatnya agar tidak jatuh.

"Jangan bodoh! Penjara akan menjadikanmu Perek sungguhan!" Bentakmu akhirnya.

Song, kau jahat!

Tapi kau benar. Tak ada perlindungan sedikitpun di penjara. Terutama karena dia wanita. Mengetahui dia adalah korban perkosaan dan pelaku pembunuhan, akan menjadikan dia sebagai sasaran empuk napi dan sipir di penjara.

"Ta-tapi … aku juga akan hidup seperti itu," tangisnya pecah. Botol kaca di tangannya jatuh.

Saat itulah, saat kelegaan mulai mencapai hatimu. Saat kau mengira sudah berakhir karena kau sempat melihat Ucok menurunkan lengannya. Saat gadis itu lengah, saat itu juga, Ucok berlari menerjang gadis itu.

Tak sempat berpikir, memejamkan matamu, kau teriak sekuat mungkin. [screamo], sebuah teriakan yang dapat merusak telinga orang lain secepat ia mendengarkan suaramu. Salah satu kemampuanmu yang lain.

Bersamaan dengan [screamo]-mu, teriakan mengerikan keluar dari bibir Gadis itu. Kau terkejut. Membuka matamu.

Di sana, terlihat akhirnya olehmu, gadis itu sudah terjatuh. Dengan darah mengalir di sekeliling kepalanya. Tak tahu apakah ia hanya pingsan tak sadarkan diri atau meninggal. Di hadapannya, Ucok, memegang sebuah batu yang berlumuran darah.

Tidak mungkin, pikirmu.

[Screamo] juga tidak bekerja. Seharusnya, teriakannya tadi 120 desibel kuatnya. Setara dengan meletakkan telingamu tepat ke pengeras suara, saat sedang dilangsungkan sebuah pesta.

Aneh sekali! Seharusnya kau bisa berteriak dengan baik. Seharusnya teriakan itu bisa menghancurkan telinga mereka. Ada apa denganmu Song?

Tawa mengerikan keluar dari Ucok, karibmu. Sangat mengerikan.

"Lihat Song! Lihat! Aku membunuhnya! Aku sudah membalaskan dendam Lila! Aku sudah … euk …" suaranya tertahan.

Kalimat itu tak pernah selesai. Matanya mendelik menatapmu. Terjatuh perlahan. Bibirnya mengeluarkan darah.

"Song …k … kau …"

"Kau, membuatku ga punya pilihan lain, Cok!"

Dengan kuat, kau tarik pisau dapur yang menancap di perut Ucok. Ya, tawa Ucok membuatmu lepas kendali. Tak ada rasa kasihan sedikitpun tersisa di hatimu. Bahkan kau merasa telah melakukan hal yang benar dengan membunuhnya.

Semoga tidak ada Lila atau Gadis itu lagi di dunia ini. Aamiin.

Kau mencoba untuk melakukan [Supadio]. Satu-satunya kemampuanmu yang tersisa. Kemampuan untuk mendengar suara. Kemampuan yang membuatmu tahu, kisah pemerkosaan Lila.


***


~ Epilog ~

Sayangnya …

"Wah, paman berhasil. Tak kusangka, paman tampan sepertimu bisa berhasil juga." Kata sebuah suara di belakangmu.

Suara ini, kau mengenalinya. Ini suara yang kau dengar saat di Gang Sempit. Di dalam mimpimu. Kau berbalik untuk melihat pemilik suara itu. Sekarang, terpampang di hadapanmu, dengan deskripsi yang lebih singkat, sebantal gadis berumur delapan tahun yang memegang permen tongkat di tangannya.

"Du-duguniya? Si-siapa kau?" tanyamu akhirnya. Ngeri dengan penampilannya yang tidak masuk di akalmu.

"Hai, panggil aku Ratu Huban. Selamat karena paman sudah berhasil. Sekarang paman sedang berada di ujung Bingkai Mimpi," jawab Kepala Bantal padamu.

"Bingkai Mimpi? Mueo? Tempat apa pula itu?"

"Singkatnya sih, sekarang paman sedang bermimpi. Lihat!" Kepala Bantal itu menunjuk ke sekelilingmu, "mungkin paman tidak sadar. Namun dari tadi, paman bertarung dengan paman itu di wilayah yang hanya sekecil ini."

Kau menatap sekelilingmu, dan dia benar, tempat ini hanya sekotak kanvas lukisan. Dengan bingkai emas di sekelilingnya. Pintu rumah Opung Bertha masih berdiri tegak di tempat kau menutupnya tadi. Di ujung lainnya. Dengan ukuran yang masih sama besarnya.

"Maksudmu, aku tidak benar-benar membunuh Ucok?"

Gadis Bantal itu mengangguk mantap.

"Dan kejadian ini tidak pernah ada di dunia nyata?"

"Tepat sekali!" Angguknya lagi.

"Tu-tunggu dulu, maksudmu, aku sekarang di dalam mimpi? Benar-benar mimpi?" Tiba-tiba wajahmu cerah. Mengetahui kau di dalam mimpi membuatmu berharap dapat bertemu dengan si Gadis Berhijab Putih.

"Ah, tidak usah banyak basa-basi lah, Huban."

"Iiih, Paman Nurma, merusak. Aku 'kan ingin sedikit menyambutnya."

"Sudah, cepat berikan saja dombanya. Kita masih banyak kerjaan. Tuh, Bingkai yang di sana juga sudah mau selesai."

"Iya, iya. Ah Paman Nurma, ga asyik!"

Si Kepala Bantal kemudian memutar-mutar tongkatnya. Entah apa yang terjadi, sebentuk domba kini sudah ada di sampingmu. Mengembik dan tersenyum ke arahmu, "siap melayani, Tuan." Ucapnya di tengah embikannya. Membuatmu bergidik ngeri.

Sementara si Kepala Bantal dan si Pria Tua yang disebut Nurma itu (begitulah kau menyebutnya karena ia terlihat jauh lebih tua darimu dan entah kenapa kau tidak suka padanya) berbalik arah. Beranjak pergi ke Bingkai lainnya.

"Tunggu, jika aku di sini, di dalam mimpi, mungkinkah aku dapat bertemu dengannya? Dengan Si Gadis Jilbab Putih?" Tanyamu, setengah berharap.

"Tergantung seberapa besar usahamu melawan Dia," kali ini, si Pria Tua Nurma yang menjawab.

"Dia? Siapa?"

"Nanti juga kau akan tahu sendiri," jawabnya lagi. Namun, sesaat ia menatapmu. Lalu turun ke cincin yang tergantung di lehermu. Cincin perak berwarna putih, "Cincin itu …"

"Oh, ini? Dia yang memberikannya padaku." Kau menatap cincin itu lembut.

"Dia? Siapa?" Tanya si Pria Tua curiga.

"Nanti juga kau akan tahu sendiri," ucapmu menggunakan nada persis sama seperti yang diucapkan pria itu padamu.

Pecah tawa Huban, "kena deh!"

"Argghhh … Diam kau, Huban! Dan kau, Anak Muda! Patut kau catat ini, aku tidak suka padamu. Ada sebagian di dalam diriku yang merasa bahwa cincin itu tak sepatutnya ada di tanganmu."

Sekelebat kemudian, baik Huban maupun pria itu menghilang.

Dan kaupun sudah melupakan, apa itu [Memoria], [Screamo], [Supadio], dan [Serenade].

Satu-satunya yang masih bertahan di ingatanmu adalah Si Gadis Berhijab Putih. Serta, keinginanmu untuk menemuinya. Juga Domba yang ada di sampingmu.

"Embeeekkkk~~"

Dan kalian berjalan. Meninggalkan Bingkai Mimpi.

Sementara itu, sesuatu terjadi.

Kau tidak tahu, tapi, di cincin itu, di cincin yang terkalung di lehermu. Sebentuk huruf telah terukir.

'H'


***


Sayang, apa kabar?

Ah … semoga kau segera mengingatnya. Cincin itu. Segeralah ingat sayang. Cincin kita.

Semoga kau segera mengingatnya sayang. Aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu.

Juga mereka. Kembalilah pulang segera. Kami merindukanmu.

Semoga masih ada waktu yang cukup. Bersabarlah.

***

Tantangan yang diambil :
  • Uphold The Law
  • Punish The Law Breaker
  • Kill When Necessary 


>Cerita selanjutnya :  [ROUND 1 - 6F] 43 - SONG SANG SING | PENGKHIANAT KISMIS

26 komentar:

  1. chou: pertama saya bingung pas bc dialog awal. sampai saya bc berulang-ulang br paham. tp stelah itu lancar, narasinya bkidm cerita jd lucu meskipun ada beberapa bgian yang gagal saya pahami seperti pas '..appa? kau tidak mengalnya', ya kisaran di situ.

    kuro: bukannya ratu huban dan zainurma hanya menemui di alam mimpi? kok mereka bs berkomunikasi gtu? jd bingung sama batasan ketentuannya (´・_・`)

    chou: btw apa abis bhasa korea itu langsung disambung sama terjemahannya?

    kuro: oh iya thor, inget nggak? pov nya semacam bertujuan membuat pembaca sbg tokoh 'kau' yg ada dicerita kaya entry bor sebelum bor6

    chou: hmm...iya juga ya. apa mungkin pengarangnya sama?

    kuro: ntahlah. tp ini kayaknya pengarangnya terinspirasi kasus pemerkosan yg sempat jd hit kemarin2 itu ya?

    chou: iya betul2. tp konfliks dan klimaksnya kurang seru. tapi2 lagu2nya enak2 sih.

    kuro: emang author ni sukanya yang gmana biar seru?

    chou: yang wah gtu deh pokoknya. yg penuh kejutan. mau konfliak batin kek apa kek terserahlah

    kuro: dasar author nggak jelas. (。-_-。). ya udah langsung kasih nilai aja! ini udah panjang.

    chdu: hmm...galau...

    zweite: biar aku yang kasih kalau kalian nggak bs ngasih.

    kuro: loh zweite muncul lg? jd berapa?

    zweite: pahlawan selalu muncul di saat yg dibutuhkan. khukhukhu. ok. langsung aja 7

    kuro:( ;´Ð”`)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagian "Appa?" itu sebenarnya bahasa Korea ._. artinya papa ._.
      (catatan next time bakal nulis artinya ._.)


      mereka hanya komunikasi di akhir cerita kok ._. waktu akhirnya SOng lolos. Yang jadi blur itu kan di awal cerita. pas Song ditandain jadi Reverier. Dan di cerita ini, sudah blur di awal xD tapi di akhir, Song udah bisa melihat mereka berdua dengan baik. dan bisa juga berkomunikasi. (harusnya, benar kan kak panitia?)


      pov2. YAP. Umi memang sengaja pakai pov2 dua buat cerita ini. Punya alasan khusus dan memang bakal relate-able ke ceritanya. Jadi sabar yah xD kalau lolos, kamu masih akan menyaksikan pov2 dari Umi xD

      dan yah, klimaks dan konfliknya kurang seru. Umi ingin menyuguhkan cerita yang sederhana dan ngasih insight buat pembaca. Kalau Umi bikin konflik yang terlalu kompleks sementara Umi ndak bagus nulisnya, kasian pembaca. Makanya plot dan konfliknya sesimple ini aja.

      author manakah di BOR sebelumnya yang pake pov2? kak Dimas? beda XD

      YAP. tulisan ini mewakili curahan hati Umi untuk kasus perkosaan.


      feedback bagus yang akan Umi terapin (insyaAllah) di cerita next time dari kamu adalah : Tambahin kejutan di ceritanya DOng xD

      Thanks udah baca xD

      Hapus
  2. The POV is really disturbed...
    Ceritanya lucu dan plotnya bagus.. tapi hanya segelinti segelintir orang yang menikmati membaca dari pov 2 sebagai pelaku utama.. klo pov 2 nya bukan primary character its okay (e.g. Assassins creed Black Flag).
    Hard to enjoying thus.. but i really apreciate of the story

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, shit.. i forget..

      I give 7

      Sincerely,
      RJ Marjan
      Author pf Lucas's Story

      Hapus
    2. well, Umi senang pembaca ga suka POV2nya XD

      berarti masih harus diperbaiki lagi biar pada nyaman baca POV2.

      Penggunaan POV2 punya tujuan khusus di ceritanya Song. Jadi, kemungkinan ga bakal ganti POV sampe akhirnya tujuan itu ke reveal.

      Buat Umi sendiri, pov2, selain memang ada tujuan khusus kenapa mempertimbangkan pake pov ini, adalah pov yang sulit dan pengen banget Umi kuasain. jadi ini semacam tulisan experiment

      But yeah, too hard to satisfied everyone xD Umi maklum kok banyak yang ga nyaman sama pov2.

      last, thanks sudah membaca dan memberikan nilai XD

      Hapus
  3. Saya ngerasa agak janggal sama PoV2nya. Seolah penulis mencoba cerita langsung ke pembaca, tapi dengan harga karakter Song jadi kosong kayak boneka. Kenapa? Karena semua aksi dan pikiran Song berasa didikte sama si narator, jadi selama baca pun saya ngeliatnya dia ga ubahnya NPC dari satu scene aja. Bahkan penggunaan banyak istilah asing (yang saya ga ngerti artinya satu") ga lebih ngeganggu dari ini.

    Pun demikian, ceritanya sendiri sih ga ada masalah. Background siapa Song, gimana kehidupannya, konflik yang dia alamin, semua masih bisa sampe. Juga kayaknya terbersit pesan dari penulis sendiri soal kasus pemerkosaan, dan bahan pemikiran gini yang dimasukin dalem cerita bisa jadi nilai plus sendiri. Paling yang saya kurang tangkep cuma masalah kenapa si Song ini ngejar" cewek berjilbab, dan kesannya jadi kayak sinetron hidayah yang mesti faktor karakternya berubah jadi alim gara" cinta, dan saya sebenernya kurang suka elemen ini.

    Nilai 7

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya, ada tujuan khusus kenapa pake POV 2 di cerita ini. Tapi memang belum akan ke reveal di cerita yang sekarang. Feedback, Song yang jadi kosong, akan Umi terima XD

      (Bahasa asing itu artinya, sebagian sudah ada di charsheet, mungkin ini jadi feedbcak buat next cerita biar tetep diadain aja artinya.)

      Juga terkait Song ngejer cewek berjilbab akan di reveal di ke sekian, belum di prelim. cerita ini memang khusus buat nyeritain Song dan kemampuannya.

      Tentang background Song sendiri (termasuk, si cewek, cincin, POV 2) bakal di reveal di kesempatan lainnya XD

      anyway, terima kasih sudah membaca XD

      Hapus
    2. dan percayalah, ini bukan cerita sinetron yang akan mengalimkan SOng ._. Song sudah baik dan alim dari sananya ._.

      Hapus
  4. sepertinya banyak yg komplain karena belum terbiasa dengan PoV langka satu ini.

    alih-alih membaca cerita, saya malah kerasa kayak baca puisi. Dalam artian positif, narasinya menyeret saya ke dunia khayalan umi. kayak lagi mengapung di kolam arus.

    minusnya, saya malah lupa mencerna isi cerita karena keasyikan menikmati kata-kata yang tertulis di narasinya :)

    8 dr Axel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Resiko make Pov yang jarang kepake. :)

      Orang terlalu sering dan sudah terlalu terbiasa baca either pov1 atau pov3. Jadi, pas baca pov2 berasa aneh. :)

      Ini pujian kedua, dan sungguh menyenangkan mengetahui ada yang bisa menikmati cerita ini dengan cara yang berbeda XD

      sebagai author Song, Umi berterima kasih :)

      akhirul kalam, terima kasih sudah membaca dan memberi nilai untuk Song xD

      Hapus
  5. keren authornya berani pake POV2 di entry ini. aku salut sama keberanian author..

    tapi...

    ya seperti yang dijelasin sama yang di atas. Song jadi terlihat seperti boneka.

    namun ceritanya menarik seperti cerita pengantar tidur atau kita menonton film bisu dengan adanya narator.

    setting cerita di daerah Sumatera Utara begitu kerasa di entry ini. seolah-olah ada orang Korea di daerah Batak.

    well, nilai dari saya 9. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkw, yap, cerita dengan POV 2 sebagai PoV utama, selalu mengundang kontroversial.

      Kamu pernah ke Medan? Kalau iya, maka setting di sini masih setengahnya saja. sebagian lainnya akan muncul di cerita lainnya. :)

      keep reading yah xD

      terima kasih sudah membaca entry sederhana ini XD

      Hapus
  6. Aduh bahasa Koreanya XD

    Andwaaaeee! Nega Waaaeeee! Eomma SAranghaaaeeeee!

    Karena suka baca cerita yadong saya jadi agak bisa dan hampir kesulitan menanggapi serius entri ini.

    Tapi kita kesampingkan hal tersebut, saya akan coba melakukan review se-objektif mungkin.


    POV 2, POV paling unik di antara semua POV menurut saya. Tidak banyak cerita yang menggunakan POV 2, dan tidak banyak penulis yang berani menggunakan POV 2.

    POV 2 yang dibawakan dalam cerita Song menarik, sebenarnya. Namun walau begitu, sangat disayangkan karena menurut saya, makna POV 2-nya bias di sini. Maksudnya bias di sini, apakah penulis ingin menunjukkan apa yang dialami Song kepada pembaca? Atau ingin membuat pembaca ikut mengalami pengalaman Song? Tapi ya, memang kesulitan POV 2 seperti itu. Karena merujuk menggunakan "kamu" bisa berarti merujuk pada karakter yang dinarasikan, atau "kamu" yang merujuk kepada pembaca, jadi kadang pembaca suka salah fokus.

    Tapi cerita Song ini sebenarnya enjoyable. Segala macam elemen ceritanya mudah dimengerti. Hanya saja penceritaan dengan gaya POV 2 membuat pembaca agak kebingungan, dan juga memberi kesan "kurang hidup" pada Song. Mungkin cara narasinya harus lebih dijelajahi lagi agar bisa lebih pas. Dan mungkin istilah-istilah Korea-nya perlu dijelaskan maksudnya.

    Apakah Mba Umroh tahu "Stranger Than Fiction"? Mungkin bisa jadi referensi POV 2 untuk Mba Umroh.

    Soal nilai, saya berikan nilai 8 untuk pemuda pelipur lara ini. Semoga mimpinya terwujud agar kisah cinta ini menjadi sebuah akhir yang indah.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Stranger Than fiction itu film? Film yang pake PoV dua? *abis search keluarnya cuma film ._.

      Penggunaan PoV 2 di sini bukan untuk membuat pembaca mengalami pengalaman Song. Lebih ke agar pembaca tahu apa yang dialami SOng. Ini sebenarnya bentuk POV3 tapi sudah di modifikasi :v #alasan

      penggunaan PoV 2 di sini pun berhubungan sama plot panjang cerita Song ke depannya. Mungkin kalau baca prolog cerita ini, bakal ngeuh ini mau dibawa kemana ;)

      Dan endingnya, terima kasih sudah membaca, En xd

      Hapus
  7. Jangan2 Penulis ini penggemar drama korea ya?
    ok ok.. sepertinya masalah POV udah banyak yang bahas di atas
    jadi apa yang harus kubahas disini? memang itu permasalahan disini. sangat jarang penulis yang mengambil POV seperti ini dan ini luar biasa Penulis berani melakukkannya

    Karena sudah mencoba hal baru dan mungkin bisa menginspirasi penulis lain

    Nilai : 9/10

    PenulisDadakan (Arca)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah liat nama Penulis dadakan sejak lama. Rasanya saya masih ga tahu dikau siapa ._.

      Oh iya xD Umi memang suka nonton Drama Korea xD

      Well, Mas/Mba penulis Dadakan, boleh tahu kesan lainnya tentang tulisan Umi? :")

      Hapus
    2. Tidak perlu dipikirkan siapa saya XD. saya cuma orang yang kebetulan lewat aja.

      Sudah kuduga ternyata benar penggemar K-Drama.

      Kesan lainnya gimana ya?
      aduh jadi nggak enak nih, awalnya sih saya merasa kurang sreg sama bahasa campuran tapi toh saya menikmatinya juga, mungkin sebaiknya untuk istilah asing di cetak miring. soalnya selain bahasa korea cerita ini campur batak juga kan? Saya hampir sulit membedakan mana bahasa batak mana korea jadi sedikit buat nebaknya sedikit pake filling ha...ha...ha...ha...
      tapi overall cerita ini membuat saya iri.

      Hapus
    3. wkwkwkwk *wuusshshhh orangnya ilang*

      soal bahasa kayaknya sudah banyak yang protes, next time, kalau memang Song dan musiknya lolos, memang berencana buat bikin setidaknya glossary mini di setiap entry, at least pembaca bisa tahu lah, artinya apa :)

      semoga bisa ketemu Arca di salah satu ronde >.<

      Hapus
  8. Banyak yang sudah komentar soal POV2 dan merasa teganggu. Bagi saya nggak terlalu ngganggu soalnya sering ketemu POV ini di game, juga nostalgia buku GooseBumps(?) yang sering saya baca di perpus waktu SMP.

    Saran saya untuk POV kedua, di awal jangan langsung disebut "Kamu" saja, tapi dimuluskan dengan memberitahu pembaca sebagai siapa mereka dalam cerita itu.

    Saya nggak ngerti bahasa Korea, kalau tahu itu juga hanya satu dua kata. Untung nggak terlalu banyak kata korea, jadi bisa saya mengerti.

    Overall, saya merasa entri Song masih average, tapi saya suka bagaimana Song berintegrasi dengan komunitas yang bukan rumahnya.

    Nilai 8

    Sekian dan Terimakasih.

    OC : Nora.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hola om Mocha~

      lama tidak bersua, terakhir Umi beneran interaksi sama om Mocha itu pas 4L, kayaknya ._.

      berarti pov2-nya ga masalah, justru bahasa yang menganggu ya? Oke next time, Umi bakal coba bikin definisi di awal cerita.

      Ah, iya. Entry Song secara keseluruhan bakal dipenuhi dengan drama, kemungkinan. Mungkin, yang pengen Umi ketahui itu, adakah feedback mas Mocha untuk bikin cerita drama lebih menarik dan tidak average? *ajakan diskusi*

      Hapus
  9. GHOUL : “Gaya tulisannya kayak goosebumps seri petualangan maut. Tapi penggunaan pov2 di sini jadi agak aneh n membingungkan.” :=(0

    SHUI : “Hm alurnya agak lamban. Lamban kenapa? Biar sunny yang menjelaskan.” (nguap).

    GHOUL : “Hm baru mule menarik neh di halaman 75, tapi bikin aku kesel! Kenapa? Baca aja sendiri adegannya seperti apa!”

    SUNNY : “Dikit ga ngerti dialognya campur2 bahasanya, jadi ga ngerti!
    seorang gadis—muslim pula—mungkin Eomma akan segera membunuhmu= bukan koma2.
    ‘Napas’ bukan ‘nafas’
    ‘Memercayai’ karena ‘p’ luluh seperti kata ‘memelihara’, kecuali kalo kata imbuhan kayak ‘memperlakukan’ tuh imbuhan –memper.
    Banyak dialog gak penting hingga memperlambat alur ceritanya, klimaksnya kelamaan. Kata buku sih, sebaiknya hindari dialog percakapan sehari2 karna membosankan. Coba buka halaman 72.”

    GHOUL : “Putih… putuh… pujuh… tujuh deh…
    eh 8 ajah deh karna ada adegan yang bikin aku kesel…”

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagian ini ->
      "seorang gadis—muslim pula—mungkin Eomma akan segera membunuhmu= bukan koma2."
      metode menerangkan ada dua, menggunakan dobel dash atau menggunakan koma-koma. Umi milih koma-koma, karena ingin memperlamban pace baca :3

      dialog percakapan sehari-hari Umi masukin biar pembaca bisa tahu karakteristik Song kayak gimana XD jadi well, akan tetap dimasukin.

      Selain karena Umi ga suka battle berantem, Umi suka nulis battle adu bacot xD

      oke, Authornya Ghoul, terima kasih xD

      Hapus
  10. Anyong haseo! Oppa! Ummi! Abbi! oke oke mulai ngelantur.
    ini pertama kalinya aku baca cerita dengan POV 2, dulu pernah sih, tapi aku skip karena aneh, tapi yang ini aku bisa tolerir karena ceritanya lucu, suka banget karakternya Ucok. haha

    narasinya juga enak, lancar, berasa aku sendiri yang jadi tokoh utamanya.

    cuma aku kurang bisa paham ceritnya secara penuh. entah ceritanya yang rumit atau emang aku yang belum biasa sama POV 2.

    Overall bagus sih, cuma istilah-istilah asing di awal ganggu banget.

    8/10 dari Bian Olson.

    BalasHapus
  11. Penggabungan antara negeri Korea yang kediktatoran dan Suku Batak sebagai bagian dunia ketiga agak absurd, tapi entah gimana berasa filosofis. Saya kayak baca Niccolo Machiavelli lagi dalam penyamaran ikut BoR buat mencelupkan nilai-nilai filsafat sosial. Interaksi antara Ucok yg sehari-harinya menghadapi terik matahari demi mengais rejeki ketemu Song yang berpemahaman kiri serta menganut 'komunisme adalah absolut'. Itu keren asli. Splendid. Extraordinary. Hanya bisa dilakukan oleh seorang mastermind sejati. Great job! langsung jatuh hati sama Song, saya percaya suatu hari dia bakal jadi pemimpin kaum buruh.
    Karena nilai 17 gak memungkinkan, saya cuma bisa kasih 10 aja. Maaf.
    P.S. Saya suka bgt kata 'bedangkik' di sana, udah lama gak denger soalnya
    P.P.S saya juga ngefans Korea, terutama Kim Jong Un
    OC Olive

    BalasHapus
  12. Umm, saya baru pertama kali baca cerita PoV 2. Sebagai orang yang hanya berkutik di cerita misteri dan fantasi yang dimana hanya ada Pov 1 dan 3, ini pengalaman baru bagi saya. Pengalaman pertama, asal jangan diperkosa seperti cewe dua itu.

    Jujur, saya banyak ketawa di entri ini. Penggunaan bahasa Batak yang kental(?) membuat saya jadi gila hanya memikirkan pemuda korea seperti Chenyeol berbicara kasar.

    Nilainya, saya sendiri bingung mau kasih berapa. Kalau begitu, yang standar aja deh ... 8.

    -Salam, Hyakunosen.
    OC: Satan Raizetsu

    BalasHapus
  13. Hm...

    Dari segi plot udah oke, konfliknya juga bagus. Setidaknya di sini Ucok punya alasan kuat meskipun salah sasaran, dan Song juga punya alasannya sendiri dalam bertindak.

    Tapi ada beberapa hal yang mengganggu saya dalam membaca entri ini.

    Pertama, selipan istilah asing, okelah Song ini turunan Korea, tetap saja sisipan kata asing itu bikin saya tersendat bacanya. Sekali lagi ini preferensi pribadi karena saya tidak terbiasa dengan sisipan bahasa Korea.

    Kedua, soal narator. Narator PoV 2 tidak masalah, tapi pas bagian narator PoV 2 atau 3 berinteraksi dengan karakter cerita, itu selalu sukses bikin saya merinding aneh.

    Oh, saya suka bagian konflik Song dengan Ucok, walau sebenarnya simpel dan hanya begitu saja, tapi teknik narasi dan sisipan kilas baliknya sanggup bikin konfliknya tidak terkesan selesai dengan mudah dan terasa gitu-gitu aja.

    Song can get an 8 from me!

    Asibikaashi

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.