Sabtu, 25 Juni 2016

[3_DOMBA] KONFLIK DAN KEINGINAN


oleh : hewan


Ringkasan cerita sebelumnya:


Zainurma bangkit. Dia merapikan lagi setelan jasnya yang berantakan lalu menyisiri rambutnya kembali hingga klimis kemudian kacamata semi-gelapnya pun sudah tersemat kembali di wajah.

“OK, langsung saja. Apakah Kau tidak bosan menggunakan cara biasa untuk mengumpulkan karya-karya seni?” seru Zainurma. “Setidaknya berilah aku, sebagai Kurator Museum Semesta ini, kesempatan untuk menawarkan yang lebih baik.

“Daripada mengumpulkan jutaan karya seni kelas A, B, dan C, bukankah menurut-Mu lebih bagus mengumpulkan ratusan saja, namun kelasnya adalah S dan SS? Aku menawarkan karya seni yang tercipta melalui tetesan darah, keringat, dan air mata, oleh mereka-mereka yang terbaik di semesta masing-masing. Aku menawarkan MAHAKARYA!”

Seringai percaya diri Zainurma menutup pembicaraannya itu.

Setelah momen itu, sejumlah petarung tangguh dari segala penjuru semesta akan mengalami mimpi yang sangat aneh.

Mereka telah ditandai.

Mereka semua akan dipanggil ke Alam Mimpi.

Mereka adalah Reverier yang akan saling bertarung untuk menciptakan Mahakarya.

-reveriers-

Kerutan di kepala bantal Ratu Huban tampak lebih ekspresif dari biasanya. Sayangnya, itu bukanlah keceriaan seperti yang selalu dia tunjukkan. Ratu Huban merengut.

“Hiks, udah capek-capek kutandai ayam dan tokek air … mereka malah WO! Dasar reverier pemberi mimpi palsu! Lalu si gadis payung hijau yang lucu, serta gadis permen karet, karena mereka imut sepertiku jadinya kutandai juga~ tapi ternyata sama saja! Huh! Sebal!!”

Ratu Huban pundung sendiri. Dia berjongkok di sana, awan hitam kecil seolah bertengger di atas kepalanya. Ah, bukan seolah. Itu memang awan hitam dan …

“Gyaaaa! Hujan!!”

Menggenggam tongkat permen gagang payung, Ratu Huban langsung mengangkat tongkatnya itu. Tapi dia lupa kalau payung-nya tak beratap. Tak akan mampu melindunginya dari hujan kecil nan aneh itu. Kesal, dihajarnya saja awan hitam menyebalkan itu dengan tongkat permennya. Dan awan itu langsung meledak menjadi kepingan biskuit coklat yang begitu jatuh ke tanah maka larut terserap dan tumbuh menjadi pohon gulali.

Kadang Ratu Huban sendiri tak bisa menebak hal-hal ajaib apa yang bisa terjadi di Alam Mimpi.

“Ah, ya sudahlah … kumakan saja gulalinya—”

Namun gulali itu sudah berubah menjadi durian.

Kali ini Ratu Huban benar-benar dibuat kesal.

Capek, dia berbaring saja. Tak peduli lagi dengan segala hal yang berubah di sekitarnya. Sifat asli Alam Mimpi memang seperti ini. Cenderung abstrak, selalu terdistorsi, dan berubah setiap saat. Namun sejak kekuasaan Sang Kehendak merambah Alam Mimpi, ada sesuatu yang berbeda.

Ratu Huban menoleh ke samping, masih sambil berbaring. Dia merasakan jauh di sana, di sejumlah sudut Alam Mimpi, terbentuk wilayah-wilayah aneh yang disebut sebagai Bingkai Mimpi. Ya, Bingkai Mimpi ini merupakan rekayasa Sang Kehendak. Ratu Huban ingat kalau Zainurma sang Kurator pernah mengatakan bahwa Bingkai Mimpi adalah semacam studio untuk memproduksi karya seni. Akan tetapi, bahannya sungguh mahal: Reverier dan sejengkal semesta mereka.

Dengan kekuatan mengamati mimpi, si kepala bantal bisa menyaksikan sekitar 10 pertarungan sekaligus dalam selayang pandang. Dan kali ini dirinya sedikit berbesar hati. Bukan hanya ayam dan tokek air saja yang tersingkir. Rupanya ujian Bingkai Mimpi ini memang sulit. Sejumlah 25 pemimpi tak sanggup menyelesaikan impian mereka di sana.

“Duh, mereka bakal jadi patung haniwa atau apalah, biarkan saja~ mereka tak memberikan inspirasi apapun untukku.”

Kemudian Ratu Huban bangkit. Dia harus melaksanakan tugas-nya. Atau tepatnya, agenda pribadinya.

-reveriers-

Setiap reverier yang selesai bertarung di Bingkai Mimpi masing-masing akan didatangi oleh Ratu Huban, ditemani oleh Zainurma ataupun Mirabelle. Dan makhluk kepala bantal itu akan menghadiahkan mereka masing-masing seekor domba putih Alam Mimpi.

“Sebenarnya untuk apa domba-domba itu, Huban?” tanya Zainurma penasaran.

“Hehehe … hadiah dariku untuk para pemimpi, tentu saja. Tapi Paman Nurma nggak akan kukasih~” ledek Ratu Huban.

“Aku tidak butuh juga,” balas sang kurator ketus.

“Tapi para pemimpi akan membutuhkan domba-dombaku itu. Dan domba-domba itu akan tumbuh bersama para pemimpi, membantu mereka dalam setiap pertarungan~ keren, kan?”

“Sampai perlu dibantu domba aneh gitu, para reverier seputus asa itukah?”

Perbincangan keduanya dipotong oleh sosok yang kebingungan, yaitu salah satu reverier yang berhasil menyelesaikan misinya di Bingkai Mimpi. Dia adalah seorang gadis berkacamata, tercatat sebagai entran terakhir di katalog karya prelim.

Zainurma memberikan tatapan sambutan yang justru tampak mencurigakan. Dia membuka kedua tangannya lalu menyambut, “Selamat, Harum Kartini. Kamu adalah reverier terakhir yang … err, sebentar, itu kau memang sehari-hari pakai begitu atau gimana?”

Gadis yang hanya mengenakan kaus singlet dan celana super pendek itu balas merespon ketika melihat penampilan Zainurma. “MAFIA!” seru si gadis, dilanjutkan dengan satu tonjokan keras ke arah wajah pria di hadapannya.

Zainurma menghela napas. Pukulan itu tak akan berarti apa-apa. Kemampuan abstraksi sang Kurator langsung bekerja memendarkan tubuh fisiknya menjadi cahaya, membiarkan tinju si gadis hanya menyentuh angin. Lalu tubuh Zainurma kembali terbentuk di tempat lain, tak terluka sedikit pun.

“Duh, jangan samakan aku dengan mafia rendahan yang baru saja kau lawan,” keluh Zainurma. Lalu dia menjewer telinga si gadis. “Sudahlah. Kau kuseret saja daripada banyak omong.”

“WAAAAAAAH, jangan jewer kuping aye, BAAAANG!!!”

Ratu Huban buru-buru bersiap. Tapi tak lupa dia pamit ke domba yang disediakannya untuk reverier bernama Harum Kartini. “Domba~ kau tinggal di Bingkai Mimpi ini, ya~ Kau jadi temannya Mbak Kacamata itu nanti. Aku mau pergi dulu sebentar~”

“MBEEEE! (siap, boss!)”



Dan dengan berakhirnya kisah Harum Kartini di Bingkai Mimpi semestanya itu, maka berakhir pula episode awal dari turnamen ini.

-reveriers-

Sejumlah 66 reverier berkumpul di suatu aula di Museum Semesta setelah diundang oleh Zainurma sang Kurator dan Mirabelle sang Dewi Konservasi. Aula dengan nuansa keemasan dan karpet merah itu segera memukau ke-66 reverier tersebut. Suasana kemewahan yang biasanya hanya ditemui di kastel Raja. Namun ada satu yang lebih membuat mereka terkejut. Pada dinding aula tersebut, tergantunglah 66 lukisan yang langsung membuat mereka merinding.

“Ini … aku yang sedang bertarung? Di lukisan ini? S-siapa yang membuatnya?” ujar salah satu reverier yang wajah mabuknya segera sirna.

Zainurma menyeringai, “Judulnya adalah ‘Naga Terkapar, Langit Gempar’. Sedikit berlebihan kurasa judulnya, untuk ukuran karya yang biasa-biasa saja. Tapi yah … bukan aku yang membuat judul itu. Bisa dikatakan sebagian besar karya kalian cukup memuaskan. Biarpun masih jauh dari kualitas mahakarya, tentu saja.”

Kemudian masing-masing dari mereka langsung mencari lukisan yang menggambarkan pertempuran mereka sendiri. Begitu mencengangkan. Para reverier itu sampai melupakan kalau di antara mereka ada hiu berkaki yang tampak kesulitan bernapas, serta sebongkah kaleng yang hanya berdiam di pojokan (ajaib kalau mereka sadar jika kaleng ini merupakan reverier sebagaimana mereka).

“Se…sebenarnya apa maksud dari semua ini?! Aku.. berada di mana? Dan siapa kalian berdua? Siapa mereka??” salah satu reverier yang terlalu banyak berpikir malah mengutarakan semua tanda tanya di benaknya.

“Kujawab,” kali ini Mirabelle yang menanggapi, “kalian adalah reverier—para pemimpi. Ini semua adalah karya kalian, tercipta dari energi impian yang terkumpul pada pertarungan kalian di Bingkai Mimpi. Sekarang kalian berada di Museum Semesta, tempat tersimpannya karya seni dari segala semesta. Kami adalah pengurus museum ini.”

Jawaban itu malah membuat si penanya terdiam.

“Tapi dari 66 karya itu sayangnya ada 5 yang, katakan saja, kualitasnya rendah,” Zainurma menghela napas.

Semua reverier langsung mencari karya mana saja yang dimaksud. Tak makan waktu lama. Tampak jelas ada segelintir lukisan yang kusam dan diliputi aura suram. Setelah itu, Museum Semesta bergetar kuat. Para reverier panik mengira itu adalah gempa. Zainurma dan Mirabelle yang mengetahui apa yang akan terjadi hanya bisa memasang ekspresi kasihan.

“Maafkan aku,” ujar Mirabelle.

Dan puncak dari gempa itu, ada lima sosok manusia yang menjerit kesakitan. Mereka memegangi bagian tubuh yang terasa sakit dan nyeri, seperti ada tangan raksasa tak terlihat yang mencengkeram mereka kuat-kuat. Kemudian tubuh mereka diliputi cahaya terang, semakin lama semakin terang.

“AAArrrghhhh!!!!”
“TiiidaaaaAAAAK!!”
“Ini…tolong, tidaaaaak!!!”
“UWAAAAAAAAAAAAA—”
“…….”

Jeritan itu berhenti. Cahaya tadi pun menghilang. Sedangkan getaran di lantai, dinding, dan pilar, tak lagi terasa.

Lima sosok tadi kini sudah tak lagi berwujud manusia. Mereka menjadi tembikar buruk rupa. Tentu saja semua yang melihat itu menjadi panik, lebih panik lagi dari sebelumnya.

“Oi, a-apa-apaan itu?! Kok mereka jadi guci tanah lihat??!”
“Hei, kalian berdua, JAWAB!”

Lalu dengan cepat suara-suara penuh tanya itu bersahutan dari tiap-tiap reverier, seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang. Dan saat kemarahan mereka hampir meledak, Mirabelle sudah mengambil tindakan.

Tombak Plum terbentuk di tangannya, disapukan saja ke arah kerumunan reverier. Mereka semua terhempaskan ke segala arah, berjatuhan seperti daun yang diterjang angin.

Mungkin mereka memang reverier terpilih dari begitu banyak kandidat di segala penjuru semesta, dan mereka sudah membuktikan kemampuan di Bingkai Mimpi. Tapi kehilangan begitu banyak inspirasi di sana membuat para reverier itu dalam kondisi terlemah sekarang. Mereka bahkan melupakan segala macam teknik bertarung yang mereka miliki.

Salah satu gadis bertentakel hitam di antara para reverier itu, dalam posisinya yang masih berlutut, mendongakkan kepala dan menatap lekat-lekat sosok Mirabelle seolah mengenalnya. Tapi sang Dewi mengabaikan tatapan tak berarti itu.

Zainurma kembali berlisan, “Huban si Kepala Bantal yang sedari tadi hanya berdiri diam di pojok aula ini akan membawa kalian kembali ke Bingkai Mimpi. Kalian akan menetap di sana sampai mendapatkan instruksi untuk proses penciptaan karya berikutnya.”

Hanya terdengar geraman dari sejumlah reverier sebagai balasan.

Sang Kurator menjentikkan jari. Lima tembikar buruk rupa itu mulai melayang-layang di udara. Zainurma akan tetap menyimpan karya-karya jelek itu, karena toh dia hanya seorang kurator. Tugasnya hanya mengurus. Semua karya ini bukan miliknya.

“Dengar, bukan aku musuh kalian,” kata Zainurma. “Bukan aku yang mengubah lima orang itu—dan 25 reverier lain, sekadar informasi untuk kalian—menjadi benda seni murahan.”

Para reverier masih tak bisa menjawab.

“Mungkin kalian tak percaya tapi … pada dasarnya aku dan Mirabelle sama saja seperti kalian. Tak punya kebebasan lagi. Dan satu saja saran dariku. Gunakan kesempatan ini untuk membuat diri kalian menjadi kuat.”

Setelah mengucapkan itu, Zainurma pun pergi. Mirabelle berjalan menyusul di belakangnya. Lalu sosok berkepala bantal berjalan berjingkrak penuh keceriaan seolah tak bisa membaca mood berat yang menaungi aula pameran tersebut.

“Ayo~ saatnya kalian kembali~ Domba-domba kalian bisa kesepian kalau terlalu lama ditinggal di sana~~”

Mereka hanya bisa pasrah membiarkan Ratu Huban melempar mereka ke portal ajaib, satu demi satu.

Dalam hati beberapa reverier, mereka bukannya tak percaya pada ucapan Zainurma. Mereka sempat melihat sendiri tadi, sekilas saja, tampak di kejauhan sosok patung yang wujudnya begitu mengerikan. Ah, bukan … yang paling mengerikan bukanlah wujud dari patung itu. Yang paling mengerikan adalah saat mereka menatap sekilas ke arah patung itu, mereka langsung merasa jiwa mereka tertekan teramat kuat. Mereka dihadapkan pada keberadaan yang begitu tinggi sehingga nalar mereka seolah bisa saja hancur seketika hanya sekadar menatap wujud keberadaan itu.

Semua akan mengingat tentang patung itu …

Sang Kehendak.

-reveriers-

Sementara itu, terjadi perubahan drastis di semesta asal para reverier. Bangunan, jalanan, atau apapun yang tadinya menjadi lokasi Bingkai Mimpi mereka, semuanya kini menghitam. Begitu kelam, tak terasa memancarkan hawa kehidupan sedikit pun. Tampak begitu kontras dengan tempat lain di sekitarnya yang masih hidup dan berwarna. Orang-orang yang tadinya ada di sana kini menghilang. Semua berpindah secara ajaib ke Alam Mimpi sebagai Bingkai Mimpi. Yang tersisa dari tempat-tempat itu hanyalah warna hitam yang lebih kelam dari kegelapan itu sendiri.

Penduduk di tiap semesta itu panik luar biasa atas kejadian aneh tersebut. Dan entah apa reaksi mereka jika ada yang mengatakan “Semua ini barulah awal.”

[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.