Kamis, 02 Juni 2016

[PRELIM] 30 - BIAN OLSON | JUSTICE NOT VENGEANCE

oleh : Toru

--

-INTRO-

Bian Olson melihat secara remang ke arah jam dinding di sebelah kanannya. Pukul lima lebih sepuluh menit, artinya sudah satu jam lebih ia terlelap tidur di meja kerjanya, artinya sudah satu jam pula teman-temannya meninggalkan dirinya di ruang yang berukuran tidak lebih dari empat kali lima meter ini.

Hari ini sangat melelahkan baginya, bukan hanya karena ini awal bulan dan dirinya harus berkutat dengan data-data laporan penjualan bulanan, namun juga barang-barang baru yang masuk hari ini tak boleh luput dari pengawasannya barang sejengkal pun.

Bian terkadang merindukan pekerjaan lamanya sebagai seorang Helper, hanya menyusun barang-barang sesuai katogorinya, mengangkut barang dari halaman depan ke gudang, tak perlu bersusah payah berurusan dengan komplain pelanggan, data-data penjualan maupun pemesanan yang harus ia perhatikan dengan rinci. Sering ia berpikir apakah ia lebih menyukai pekerjaan yang mengandalkan tenaga atau memang ia hanya senang menyusun sesuatu.

Hal terbaik – mungkin satu-satunya hal terbaik menurutnya – dari menjadi seorang supervisor adalah ia memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.  Jadwal yang meskipun padat, namun cukup fleksibel, dan ia lebih sering pergi keluar. Tapi sayangnya tidak untuk hari ini.

Mungkin satu  cangkir kopi cukup, pikirnya.

Segera ia berjalan ke arah dapur untuk menyeduh satu bungkus kopi instan lalu kembali ke meja kerjanya. Manaruh cangkirnya di sebelah monitor dan jam meja kecil berbentuk kucing berwarna dominan kuning keemasan dengan lencong menggantung di lehernya. Mitos mengatakan jika menaruh beneka tersebut maka keberuntungan selalu menyertai orang tersebut. Bian menaruhnya  karena ia menyukai warnanya.

sebelum ia duduk, ia sempatkan membuka jendela, berharap udara sore dari luar dapat menggantikan udara pengap di ruangan sempit itu.

Mahakarya

Reveriers

... Alam mimpi?

Sambil duduk bersadar, ia membayangkan kembali apa yang baru saja ia mimpikan di tidur singkatnya. Terbayang samar-samar sosok seorang pria tua berjanggut dan bermantel hitam sedang menghampiri dirinya berbicara tentang sesuatu yang tidak bisa ia ingat selain tiga kata tadi, mungkin bukan hanya pria itu seorang, ia melihat sebuah makhluk lain juga di sebelah pria tersebut.

Entahlah. Ini adalah mimpi yang kesekian kalinya dalam beberapa minggu terakhir bagi Bian. Setiap malam – terlebih jika ia kerja larut – ia selalu bermimpi sesuatu yang acak, kebanyakan tentang monster-monster bertubuh besar dengan mata menyala, tentang orang-orang yang berlarian menghindar dari kejaran robot-robot berwarna kuning. Atau hanya sekedar memimpikan asap-asap berwarna yang mengambang di depan matanya. Satu hal yang pasti, Bian tidak pernah bisa mengingat dengan jelas hampir sebagian mimpinya. Termasuk mimpi singkatnya tadi.


Bian pernah menyinggung tentang mimpinya kepada Neil, teman sekantornya, "Tentu," ujar Neil sambil menghisap batang rokok yang hanya tinggal puntungnya saja. "Kau tidak salah. Kita masing-masing mendapatkan eksperimen dan pengalaman berbeda tentang mimpi. Kau akan melihat mimpimu secara acak, tapi percaya padaku, suatu saat kau akan mendapatkan benang merahnya."

Neil Edgard, sosok yang Bian tuakan itu selalu berbicara seolah ia mengetahui segalanya. Terkadang ucapannya bertolak belakang dengan penampilannya yang bergaya modis era 70an, lengkap dengan mata sayu seorang pecandu ganjanya. "Dan apa yang terjadi jika kau menemukan benang merahnya? Percaya padaku, kau akan dibuat terkejut olehnya," Lanjut pria berambut keriting lusuh itu.

Bian beranjak dari lamunannya. Tak ada yang perlu ia khawatirkan tentang mimpi pendeknya. Toh, ia menganggap itu tak ada bedanya dengan mimpi-mimpi yang pernah ia alami, semua berlalu dan dilupakan. Jika pun apa yang dikatakan oleh Neil itu benar, ia hanya tinggal menunggu benang merah terpampang di depannya daripada harus mengkhawatirkannya.

Bian berlanjut mengerjakan tugasnya yang hanya tinggal beberapa lembar lagi. Ia tidak akan pernah membiarkan pekerjaannya tertunda hingga esok, apalagi jika harus menumpuknya. Jika itu adalah tugasnya hari ini, maka ia akan lakukan pada hari itu juga. Menunda pekerjaan bukanlah bagian dari dirinya. Ia tidak suka terganggu oleh tugasnya yang belum selesai. Terlebih malam ini, ia akan melakukan hal yang besar.



-Part 1-



Pintu apartemen bernomor 209 itu memiliki kunci ganda. Satu kunci apartemen dengan menggunakan kunci manual yang hanya dimiliki oleh penghuni apartemen dan pemilik apartemen. Satu lagi adalah kunci slot dengan rantai yang terhubunga antara daun pintu dan kusen pintu. Bian memastikan keduanya terkunci dengan sempurna sebelum ia meninggalkan apartemennya.

Setelah memastikan semua barang bawaannya berada di tas ranselnya, Bian segera meluncur keluar ke arah parkiran yang tepat di sebelah apartemennya dengen segera. Gedung apartemen itu kecil dan terlihat sangat sederhana sekali jika dilihat dari luar.

Bian tidak suka menyebut gedung itu tua karena menurutnya gedung itu memiliki desain yang unik. Dan pemilik gedung itu setuju dengan pendapat Bian. Pemiliknya tidak pernah mengganti atau mendesain ulang bangunan.

"Gedung ini adalah bagian dari sejarah Apple City, Bio." Jawabnya, saat Bian menanyakan alasannya. "Aku tidak akan pernah mau mengubahnya. Tidak dengan alasan apapun. Aku menyukai tempat ini, Dan aku menyukai kota ini. Sejarah kota ini adalah bagian dari sejarahku juga."

Robert Holt, atau Bian sering menyebutnya Rom, adalah pensiunan Angkata Darat Amerika dengan segudang cerita dan pengalaman yang ia miliki. Ia adalah pahlawan perang yang ikut terlibat dalam revolusi Apple City 40 tahun silam.

Kadang dibalik lelahnya bekerja seharian, berbincang berdua atau makan malam bersama dengan Rom adalah sesuatu yang menyenangkan. Bian selalu tertarik dengan cerita-cerita masa lalu Rom saat sedang bersama angkatan darat. Rom bukan hanya seorang tentara, namun ia adalah seorang pendongeng yang handal. Terkadang kedekatannya dengan Rom membuat Bian merasa menemukan sahabat meskipun umur Rom sudah di atas kepala tujuh.

Sebetulnya malam ini, Rom mengajak Bian untuk bertemu dengannya di atap gedung apartemen, "jack Daneil's," ucapnya saat ia berada di depan pintu apartemen Bian, sambil mengangkat botol minuman tersebut. namun Bian menolaknya. "Tidak hari ini, Rom, aku harus pergi ke Greenwood," jawabnya. "Urusan pekerjaan."

Rom tidak menanyakan untuk apa Bian pergi kesana sepagi ini, atau berusaha untuk merayunya. Rom hanya berkata "hati-hati." Sambil berlalu begitu saja meninggalkan apartemen Bian.

Motornya ia stater dan melesat meninggalkan apartemen bertuliskan L'CHAIM yang berkelip tertempel di bagian atas gedung tua itu.

Namanya cukup unik untuk sebuah apartemen tua, pikir Bian saat pertama kali ia melihatnya. Pernah Bian menanyakan maksud Rom memberikan nama itu, namun Rom tidak pernah menjawabnya dengan jelas. Rom hanya bilang dia menyukainya.

Pukul dua malam dan suara motornya membelah kesunyian jalanan yang dilewatinya, hanya beberapa mobil-mobil besar dari pabrik yang berada di sekitar daerah sini berlintasan. Selebihnya hampir tidak ada kendaraan lain. Awalnya Bian merasa aneh begitu melihat ke arah pinggir jalan, hampir atau tidak ada sama sekali orang yang berkeliaran malam ini.

Bian tidak curiga, justru ia semakin yakin memacu mesin sepeda motor merahnya sekencang mungkin. Semakin kencang ia menarik gas motornya, semakin kencang pula hempasan angin menerpa tubuhnya. Beruntung jaket kulit dan celana Jeans biru miliknya bisa menahan udara dingin untuk tidak menembus kulitnya. Meskipun sebenarnya angin tidak bias menembus kulitnya.

Begitu memasuki kawasan Greenwood, Bian melihat sekilas gedung bertuliskan R.E.V.E Labs di sebelah kirinya. Sebuah laboratorium paling besar di kota ini, dan mungkin di negeri ini. Memang terlihat seperti laboratorium biasa saja bagi orang lain, namun bagi Bian, gedung tersebut menanam memori mengerikan baginya.


...

Aku masih mengingat kejadian dua belas tahun lalu dengan sangat jelas. Sebuah kebakaran terjadi di mal terbesar Apple City.  Suara reruntuhan bangunan yang rubuh akibat terbakar api, dan teriakan orang-orang yang berlarian membuat keadaan semakin runyam. Aku sedang berdiri di dekat elevator lantai 3 mal tersebut. Umurku 10 tahun saat itu namun insting untuk menyelamatkan diriku sangat besar. Pikiranku bercabang pada saat itu, antara pergi menyelamatkan diri atau mencari ibuku yang saat itu berada di toilet. Satu-satunya hal yang aku inginkan hanya bertemu ibuku. Spontan aku berlari menuju toliet yang berada di ujung lantai tersebut.

Diluar dugaaku, jalan menuju toliet terasa seperti labirin raksasa, ditambah dengan api yang menjalar masuk ke dalam membuat jarak pandang dan ruang gerakku terbatas. hanya berbekal ingatan dan keberanian aku melanjutkan perjalananku. Satu hal yang pasti yang mengganjal di pikiranku saat itu, aku sama sekali tidak merasakan panas sedikit pun. Api seolah tak berani menyentuhku. Mungkin aku terlalu ketakutan, pikirku saat itu yang memang pada kenyataanya aku sangat ketakutan.

"Hallo!"  

"Hallo! Mom!"

aku berteriak sambil berjalan menyusuri jalan menuju toilet perempuan namun tidak ada jawaban sama sekali. Alih-alih mendengar balasan jawaban, aku mendapati diriku jatuh tertabrak oleh orang-orang yang panik berlarian berlawanan arah dariku. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti rumput liar yang tak berguna.

Perlahan-lahan aku bangkit berdiri dan lanjut berlari menuju toilet. Perjalanan menuju toilet berubah menjadi tantangan. Listrik sudah mati sementara keadaan di luar sudah gelap. Cahaya yang menerangi hanyalah cahaya dari api di toko-toko yang berada di sebelah kiriku. Api merayap menghabisi toko pakaian itu seolah itu adalah makanan favoritnya, menyisakan hanya bau hangus yang menyengat.

"MOOOM!!!" Aku berteriak namun kali ini terdengar seperti lolongan minta tolong. Aku sudah tidak tahan berada di sini, hendak pikiranku ingin berlari keluar namun aku takut sesuatu terjadi pada ibuku. Aku benar-benar tidak dapat berpikir apapun lagi. Yang dapat kulakukan adalah menangis sekencang-kencangnya. Berharap aku segera bertemu dengan ibuku.

"Hei..."

Aku mendengar suara teriakan seseorang memanggil dari kejauhan. Namun aku tidak tahu darimana asal suara tersebut.

"Hei.. Jagoan. Kemari."

Tetiba sesosok bayangan datang menghampiriku. Belum begitu jelas wujudnya karena asap tebal yang mengepul di seisi ruangan ini membuat pandanganku menjadi sulit melihat detail. Yang aku lihat hanya sosok seseorang setinggi ayahku, berpakaian tebal dengan helm terpasang di kepalanya. Aku harap itu ayahku, namun aku yakin itu bukan.

"Hei. Tenang. Aku disini untuk menolongmu."

Pria itu adalah Seorang pemadam kebakaran yang saat itu memang ditugaskan untuk mencariku.

"Pakai ini, lalu ikut denganku," Ucapnya sambil memasangkan sebuah masker di wajahku.

"I-ibuku, dimana ibuku?"

"Tenang, aku yakin ibumu sudah selamat dan sekarang sudah berada di luar," jawabnya. "ikut denganku." Ia tersenyum padaku mungkin bermaksud untuk menenangkan diriku.

Pria yang memiliki tinggi tiga kali lipat dari tinggiku ini menyalakan kembali lampu senter yang terpasang di helmnya dan menggenggam tanganku dengan sangat erat.

"Aku sudah mendapatkan anak itu. Kuulangi, aku sudah mendapatkan anak itu. Aku akan membawanya melalui tangga darurat." Pria itu berbicara kepada seeorang melalui jaringan radio.

"kita akan keluar melalui tangga darurat disana, agar lebih cepat."

Sambil berjalan menuju keluar, aku melihat sekeliling. Api-api yang beberapa menit lalu dengan gagahnya membakar seisi gedung ini akhirnya sudah dapat dipadamkan. Dan kami berdua hanya mengandalkan lampu senter yang jangkauannya terbatas sebagai penerangan jalan kami.

Satu-satunya hal yang perlu kami waspadai adalah reruntuhan-reruntuhan yang menghalangi jalan kami, beberapa diantaranya berukuran sangat besar sehingga aku harus memanjat dengan sangat tinggi. Kami juga harus tetap waspada jika sewaktu-waktu ada reruntuhan jatuh dari atas. Kadang jika aku tidak bisa mencapainya, pemadam kebakaran itu membantuku dengan menjulurkan tangannya.

Hingga kami tiba di dalam tangga darurat.

"Gelap seperti ini. Aku jadi teringat akan sebuah lagu." Seru pria itu yang membuka percakapan dengan tidak wajar.

"apa kau mau mendengarnya?" tanyanya, seraya menghadap ke arahku.

"Ya-yah... tidak masalah." Jawabku yang sebenarnya tidak peduli, aku menjawabnya hanya agar ia menyingkiran sorotan lampu itu dari wajahku.

Oh, come all you young fellers, young and so fine~
Seek not your fortune in the dark dreary mine~

It'll form as a habit and seep in your soul~
'Till the stream of your blood runs as black as the coal~

"Apa kamu pernah mendengarnya? Mungkin kamu akan tahu bagian reff-nya." Selanya saat ia bernyanyi.

Where it's dark as a dungeon, damp as the dew~
Danger is double, pleasures are few~
Where the rain never falls, the sun never shines~
It's dark as a dungeon way down in the mine~

Suara berat itu terus melantunkan lagunya seakan ia tidak peduli apakah aku mendengarkan apa tidak. Apa aku terhibur apa tidak, atau ketakutanku hilang apa tidak. Ia hanya... bernyanyi. Mungkin untuk menghibur dirinya, atau hanya untuk menghilangkan rasa takut di dalam dirinya.

Tinggal beberapa pijakan tangga lagi hingga kami sampai ke lantai dasar.

"Ayo, sebentar lagi kita keluar."

Tangannya masih menggenggap tanganku sangat erat, seolah diriku ini ia anggap bagian dari tubuhnya ia sendiri. Sampai saat ini aku merasa aman berada dekat dengannya, hingga kami berdua mendengar suara retakan dari atas.

"AWAS!!!" Teriak pria pemadam kebakaran itu. Dengan spontannya ia memeluk tubuhku dan meluncur sebisa mungkin. Kami berguling beberapa pijakan tangga namun itu tidak berhasil menjauhkan kami dari tembok yang runtuh itu.

"ARRGHH!!!" Teriaknya kesakitan. Lompatannya tidak bisa menghindarikan kita berdua dari runtuhan tembok besar yang berhasil menimpa kami berdua. Tembok itu menindih kakiku sementara keadaan pria pemadam kebakaran itu sangat parah. Hampir sebagian tubuhnya dari dada sampai kakinya tertindih.

Aku merasakan benda cair membanjiri kakiku, aku rasa itu adalah darah. Namun aku sangat yakin itu bukan darahku karena anehnya aku tidak merasakan sakit sama sekali.

"Pa-paman, apa paman baik-baik saja?"

Aku menanyakan pertanyaan bodoh ini karena aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan, pria itu hanya menjerit-jerit kesakitan sementara aku sendiri tidak bisa bergerak.

"ARRGH... Argh!" rintihnya. Ia mencoba untuk menahan rasa sakitnya meskipun itu mustahil.

"Apa kamu kesakitan? Apa tubuhmu terluka?" tanyanya tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan paman?"

Ia melihat tubuhku seolah tak percaya apa yang aku ucapkan. Tapi aku berkata jujur. Aku benar-benar tidak merasakan sakit sedikitpun.

"ba-bagus." Ucapnya dengan lirih.

Pria itu menggerak-gerakan tubuhnya yang aku tidak tahu apa tujuannya, awalnya hanya menggoyang-goyangkan tubuhnya, sampai ia mendapatkan posisi yang pas, ia gerakan tangannya untuk mengangkat temboknya.

"Ce-cepat. Keluar dari sini!"

Aku sekarang merasakan kakiku mulai bisa bergerak dengan leluasa. Aku sesegera mungkin keluar dari tindihan tembok itu.

"tunggu disini, paman. Aku janji aku akan memanggil bantuan untuk menolongmu."

Aku hendak bangun dan melangkah keluar namun tangan pemadam kebakaran itu menangkap tanganku.

"Dengar," ucap pria itu, wajahnya mulai pucat. "Aku sudah selesai. Kau dengar?"

Aku menganggukan kepalaku.

"Entah apa yang terjadi padamu, aku yakin itu adalah mukzijat dari Tuhan. Jadi aku ingin kau berjanji padaku satu hal. Kau gunakan mukzijat itu untuk kepentingan orang lain. Kau mungkin tidak akan mengerti tapi kau ingat selalu ucapanku ini. Dan satu hal yang terpenting. Teruslah hidup. Kau paham?"

"Uhuk-uhuk.." Darah mulai keluar dari dalam mulutnnya, sementara genggaman tangannya sudah tidak seerat beberapa menit yang lalu saat ia menuntunku menuruni tangga.

"Sekarang pergilah keluar, temui ibumu dan jangan pernah lupakan perkataanku."

Aku berdiri dan ia melepaskan tanganku. Aku berlari keluar sekencang mungkin  dan meminta bantuan. Namun tiga puluh menit kemudian aku menyadari bahwa saat ia melepaskan tanganku, itu adalah saat dimana nyawanya lepas dari jasadnya.


...

-Part 2-


Bian tiba di sebuah gedung bercat putih kusam di jalanan sempit Greenwood. Ia memarkirkan motornya di sebelah toko buku yang sudah tua yang hanya memiliki lampu penerangan kecil di depannya.  Matanya menelisik ke setiap penjuru jalanan itu. Hingga akhirnya terhenti di sebuah atap gedung kosong di sebrang jalan.

TIdak ada siapapun,

sempurna.

Awalnya ia merasa seperti ada yang janggal malam ini, sebagai pusat kota yang ramai dan mendapat gelar sebagai kota tanpa lelah, seharusnya Greenwood tidak sesunyi ini. Jalanan yang selalu ramai dipenuhi oleh kendaraan, kini kosong bak sesuatu menahannya di ujung perbatasan, trotoar yang biasanya dipijak oleh orang-orang yang bekerja larut kini kosong seolah semuanya setuju untuk tidak keluar rumah malam ini.

Bian berlari ke arah seberang, menuju gang sempit yang terletak diantara dua bangunan berbata merah. Ia menatap ke atas lalu melayang menuju atap salah satu dari bangunan itu.

Keadaan di atas terasa sangat damai, angin malam berhembus menghantap rambut pirangnya yang sudah mulai memanjang sementara keadaan kota yang sunyi dengan lampu-lampu jalanan yang menyinari seisi kota seolah menyegarkan kembali tubuhnya.

Ia hirup udara malam itu dengan perlahan dan mengeluarkannya dengan perlahan juga. Setelah itu ia membuka tas ranselnya, mengeluarkan satu buah kain kecil dan sebuah buku catatan yang berisi daftar-daftar kriminal yang berkeliaran di Apple City.

Beberapa nama yang ada di buku catatan itu bukan hanya nama-nama kriminal biasa, mereka adalah mafia-mafia yang menjalankan aktifitas gelap seperti pengedaran narkoba dan perdagangan senjata ilegal. Namun yang akan Bian hadapi malam ini adalah orang yang lebih buruk lagi.

Apollo Stallone, Seorang italia yang dua tahun belakangan ini namanya terus melambung sebagai Calon Walikota Apple City telah mencuri perhatian Bian dua bulan terakhir ini. Iklan-iklan, brosur-brosur dan poster-poster yang memasang wajah tersenyum dengan rambut putih dua sentinya terpampang hampir di seluruh kota.  Orang-orang di kota menyebutnya Pahlawan untuk Kota yang Sempurna. Namun tidak bagi Bian.

Awalnya Bian tidak ambil pusing, namun saat ia menginvestigasi tentang kasus penculikan orang-orang di daerah kumuh oleh orang berbaju hitam yang terdengar oleh hampir seisi kota. Ia menemukan sesuatu yang janggal. Setelah diselidiki, mereka hanya menculik para gelandangan yang berkeliaran di sekitar kota, atau orang-orang yang tidak memiliki kerabat.

Secara kebetulan Bian menemukan orang-orang berpakaian hitam itu sedang melakukan aksinya, ia mengikuti mereka dan mobil yang mereka kendarai menuju R.E.V.E Labs, Laboratorium yang didirikan oleh Apollo. Dan disanalah Bian mulai menaruh perhatian penuh kepada Apollo dan R.E.V.E Labs.

3 Bulan terakhir ini Bian memfokuskan penyelidikannya terhadap Apollo, apa sejarahnya juga apa yang pria berumur 60 tahun itu lakukan sepanjang hidupnya. Dan Bian menemukan sesuatu yang menarik atau malah mengerikan.

Lulusan Ilmu Biologi dari universitas terkemuka di kota ini dengan nilai sempurna membuatnya mudah mendapatkan pekerjaan apa yang ia inginkan. Selama 20 tahun lebih ia bekerja di laboratorium Unversitas Fredrick, Universitas terbaik di Negara ini, dirinya berhasil mendapatkan pencapaian yang menakjubkan sehingga 2 tahun kemudian dirinya dipercaya oleh pemerintah untuk membuka laboratorium miliknya sendiri.

Dan ia membangunnya di Apple City.

Selama satu dekade laboratorium tersebut berhasil menciptakan dan menemukan obat-obat untuk berbagai penyakit, pemerintah tak segan mengucurkan dana lebih kepada laboratorium milik Apollo yang bernama R.E.V.E Labs. Hingga sebuah proyek bernama Omnibus tercetus dari kepalanya.

 Sebuah vaksin untuk anak-anak yang dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan anak-anak.

"Demi masa depan Apple City!" ucapnya di depan kamera saat wawancara bersama salah satu stasiun televisi swasta.

Hasil penyelidikan Bian kini tertulis di buku catatan kecil yang saat ini ia genggam. masker putih yang ia gunakan untuk menutupi identitasnya ia kenakan di kepalanya, menutupi hampir keseluruhan wajahnya kecuali bagian mata dan mulut. Awalnya ia membuat kain itu dari kain kaosnya sendiri, namun tidak begitu nyaman dipakai dan mudah rusak, sehingga Bian membuat ulang dari bahan spendex elastis yang sudah dirancang sedemikian rupa agar nyaman ia pakai. Tujuan pertamanya ialah menerobos masuk ke dalam ruang bawah tanah yang ia curigai sebagai tempat untuk menahan orang-orang yang mereka culik.

Bian terbang ke arah bagian atas gedung itu, cukup tinggi hingga mustahil bisa dilihat oleh mata telanjang dari bawah. Ada beberapa penjaga yang terlihat berkeliaran di sekitar gedung, Bian menghitung dari atas, 2 orang penjaga gerbang yang berdiri saling bersebrangan, 5 orang berkeliling secara terpencar di sepanjang halaman, dan 1 orang berjaga di parkiran. Satu-satunya tempat yang aman adalah bagian helipad yang berada di gedung ini.

Bian mendarat sengaja dekat dengan bagian selatan atap gedung itu. Melihat ke arah bawah, memastikan posisinya tepat dengan pintu masuk menuju ruang bawah tanah. Ia pijakan kakinya ke ujung, dan memusatkan fokusnya ke pintu tersebut, bersiap untuk meluncur kesana namun ia melihat sebuah mobil minvan berhenti di depan pintu tersebut.

Satu orang penjaga turun dan menuju bagian belakang mobil tersebut, membuka pintu bagian belakangnya dan menurunkan secara paksa 4 orang yang tertutup wajahnya dengan kain hitam. Masing-masing dari tangan mereka terikat oleh borgol, satu orang penjaga lagi yang tadi menjadi supir turun dan menuju pintu, memasukan beberapa kata kunci untuk membuka pintu menuju ruang bawah tanah.

Bian segera meluncur menukik menuju posisi mobil tersebut sebelum terlambat dan mendarat tepat di depan mereka. Melayang sekitar satu meter di atas permukaan tanah.

"SI-SIAPA KAU?" Teriak salah satu penjaga berwajah pucat itu. Tangannya yang gemetar berusaha merogoh sebuah pistol yang menggantung di pinggangnya. "MENYINGKIR DARI SINI!"

"Apa yang kalian lakukan terhadap mereka?" Bian berusaha berbicara dengan mereka, meskipun pada akhirnya ia tahu bahwa usahanya itu sia-sia.

Penjaga yang berada di depan pintu mulai mendekat ke arah Bian. Tidak seperti Penjaga berwajah pucat tadi, temannya yang berada di dekat pintu tampak tidak merasa terintimidasi.

"Haha, kau The Ghost, tidak kusangka akan bertemu denganmu disini." Penjaga yang memiliki luka jahitan di wajahnya itu berjalan beberapa langkah mendekati Bian. "Apa yang sedang kau cari disini?"

"Aku disini dengan beberapa alasan. Apa yang akan kalian lakukan pada mereka?" tanya Bian.

"Aku khawatir tidak bisa menjawabnya." ucap penjaga itu. Ia mulai merogoh pistolnya yang tergantung di sabuknya. "jadi... bisa kau menyingkir dari sini? Kami sedang sibuk."

"Aku tidak akan pergi dari sini." Bian melirik ke arah empat orang yang tangannya terikat. Dua orang dari mereka menggerak-gerakkan tangannya berusaha untuk melepasksnnya, sementara sisanya berucap sesuatu namun tidak jelas, seolah sesuatu menyumpal mulut mereka. "Aku minta kalian untuk membuka borgol dari tangan mereka sekarang juga."

"Maaf aku tidak bisa melakukannya." Penjaga bermuka kasar itu menarik pelatuk pistolnya. Suara tembakan itu mengaung di malam sunyi itu.  Mengarah tepat ke arah lawannya. Bian merasa terkesan dengan akurasi yang penjaga itu punya. tapi peluru itu tidak berhasil menembus badannya.

Bian langsung melesat ke arah penjaga itu. Memukulnya namun tidak dalam kekuatan penuh. Ia hanya ingin membuat penjaga itu tak sadarkan diri, bukan meremukkan tulangnya. Namun tidak berhasil, Memang pukulan Bian mengenai penjaga itu, tapi penjaga itu memiliki ketahan tubuh yang kuat. Bakhan terjatuh pun tidak.

"Boleh juga pukulanmu, tapi lawanmu adalah aku." Penjaga itu mulai mengarahkan pukulannya ke arah Bian, Gerakannya gesit dan tidak mudah dibaca. Beberapa  tendangan dan pukulan berhasil mengenai tepat ke arah badan. Bagi seseorang yang tidak ahli dalam bela diri, Bian merasa kewalahan menghadapinya. Satu tendangan dari kaki kiri penjaga itu mendarat ke arah perut Bian, membuat Bian tersungkur seketika.

"CEPAT BAWA MEREKA MASUK!" Teriak penjaga itu kepada temannya.

Segera temannya mendorong para tawanan itu. Bian yang tersungkur mulai melawan balik. Ia daratkan pukulannya ke arah penjaga itu, dengan tepat mengenai sisi bagian kanan kepala penjaga itu. Sementara kakinya ia tendangkan ke arah lutut penjaga itu, berniat untuk menghancurkan kuda-kuda penjaga itu.

Penjaga itu mulai oleng,  keseimbangannya mulai goyah. Bian melesat mendekatinya lalu mengeluarkan sebuah tisu dari kantong celananya.

"Aku tidak punya banyak waktu." Sambil memegang kepala penjaga itu, Bian menahan sebuah tisu yang sudah diberi obat bius ke arah mulut penjaga itu. Awalnya si penjaga meronta-ronta namun cengkraman Bian cukup erat sehingga lama-kelamaan penjaga itu mulai tak sadarkan diri.

Satu tumbang namun masih ada satu penjaga lagi. Penjaga yang tadi gemetaran kini sudah menghilang masuk ke dalam pintu gudang bawah tanah bersama dengan empat orang tawanannya.

Bian berlari dengan cepat menyusul mereka masuk ke dalam gudang belakang. Lorong panjang dengan lampu penerangan seadannya ia lalui dengan cepat, fukusnya ia taruh di pendengarannya. Berharap menangkap sebuah petunjuk.

Di ujung lorong ia mulai mendapatkan sebuah pemandangan yang akan membuat orang yang melihatnya tidak akan merasa nyaman. Bian mulai merasakan makanan malam yang sudah tercampur asam mulai menanjak ke dearah tenggorokan lalu ke mulutnya, seolah memaksa keluar seketika mata Bian melihat pemandangan yang menjijikan.

Di depannya, sebuah ruangan luas beraroma busuk menampakan pemandangan yang mengerikan, darah-darah tercecer di sana sini, di lantai, di dinding-dinding, sementara di meja-meja yang terlihat seperti meja operasi tergeletak mayat-mayat manusia yang sudah dibedah. Perut mereka dirobek dengan usus tercerai berai di atasnya.

Bian berusaha menahan rasa mualnya, dan mencari ruangan lain, yaitu tempat mereka menaruh para tawanan, berharap semoga mereka tetap hidup.

"Sangat mengerikan, benar?" tak sempat bian melangkah, seseorang hadir di belakangnya, membawa sebuah pemukul kasti yang terbuat dari kayu dan ia hantamkan tepat ke arah tempurung belakang kepala Bian.

...

Pandangannya buram saat Bian pertama kali membuka matanya. Keadaan tangannya terborgol mirip seperti empat orang tawanan yang ia temui sebelumnya. Pikirannya tak bisa menebak dimana saat ini ia berada, yang ia rasakan adalah nyeri yang sangat hebat di kepalanya, seolah isi kepalanya pecah.

"Kau sudah bangun rupanya." Sebuah suara terdengar berasal dari arah depan. Bian tidak dapat melihatnya dengan jelas, yang ia tangkap hanyalah seorang pria, memakai pakaian hitam sedang berdiri beberapa langkah di hadapannya.

"Kau, kau tidak seperti apa yang orang bilang. The Ghost, makhluk yang meneror para kriminal di malam hari. Makhluk yang mencoba menjadi pahlawan. Membuat takut para kriminal. Tapi ternyata kau hanyalah seekor bocah." Pria itu melanjutkan ucapannya, terdengar jelas sekali aksen italianya. "Aku ingin bertanya padamu, apa yang sebenarnya kau lakukan?"

Bian berusaha berdiri, kepalanya masih merasakan pusing, namun pandangannya sudah semakin jelas. Sosok yang berbicara padanya adalah Apollo Stallone, pria yang sedang ia incar. "Apa yang sedang kau kerjakan disini? Tempat apa itu?"

"Apa kau masih tidak menyadarinya? Aku pikir iklan-iklan yang sudah aku sebar di seluruh kota sudah sangat banyak. Tapi ternyata masih ada yang belum tersentuh." Ia langkahkan kakinya semakin dekat ke arah jeruji besi yang membatasi mereka berdua. "Tentu saja untuk membuat kota ini menjadi lebih baik."

"Dengan apa? Apakah dengan menculik para gelandangan lalu membunuhnya seolah mereka hewan ternak bagi laboratoriummu ini kau sebut sebagai membuat kota menjadi lebih baik?"

"Itu memang benar. Apakah kau tidak lihat, lima bulan terakhir ini kota kita menjadi bebas dari sampah masyarakat. Para gelandangan, rumah-rumah kumuh mulai menurun drastis. Dan sebentar lagi kota ini akan mendapatkan gelar kota terbaik oleh pemerintah," Jelasnya. "Jadi, daripada kau menatapku dengan tatapan menyebalkanmu itu, bukankah sebaiknya kau mengucapkan terima kasih padaku?"

"Omong kosong. Kau apakan mayat-mayat itu?" Bian mulai kesal.

"Sebagai bahan bakar," jawab Apollo. "Riset yang aku kembangkan telah menemukan bahwa salah satu organ penyimpan racun di dalam tubuh manusia justru adalah vaksin yang sangat ampuh untuk perkembangan otak manusia. Kantung empedu." Jelasnya dengan seringai di mulutnya.

"Vaksin? Maksudmu vaksin yang kau berikan kepada anak-anak adalah hasil kelakuan kejimu ini?"

"Tepat, Tapi aku tidak keji. Asal kau tahu, apa yang telah kuperbuat adalah hasil petunjuk-Nya. Mayat manusia dirancang sedemikan rupa oleh-Nya agar berguna bagi manusia lain. Sayangnya selama dua puluh abad berlangsung. Belum ada yang menyadarinya. Beruntunglah aku, di antara milyaran manusia di muka bumi ini tahu bahwa tubuh manusia sejatinya bukanlah untuk ditanam di tanah, melainkan untuk didaur ulang." Apollo terus berucap.

"Apple City adalah tempat yang tepat untuk memulainya. Untuk itulah aku membangun laboratoriumku di sini. Di tempat bekas mal yang aku bakar dua belas tahun yang lalu." Seringai Apollo semakin lebar, tatapan matanya menunjukan aura kemenangan. "Ya, kau tidak salah dengar. Aku yang membakar Mal Pusat Kota ini, Bian Olson."

Bian tersentak mendengar pengakuan dari Apollo, seolah petir menyambar seketika, memori menyedihkan dua belas tahun lalu langsung terputar kembali di otaknya.

"Ta-tapi itu kecelakaan." Ucap Bian, merasa penjelasan dari Apollo kurang meyakinkan.

"Sayangnya tidak." Jawab Apollo. "Ngomong-ngomogn, Aku terkejut begitu membuka topengmu itu, ternyata The Ghost yang mereka bilang menakutkan itu ternyata adalah bocah yang selamat dari kebakaran yang aku buat. Bukankah ini sebuah kebetulan?"

"Jadi, aku ulangi pertanyaanku. Apa sebenarnya yang kau lakukan? Mengisi waktu luangmu dengan bermain pahlawan?"

"Aku ingin menegakan keadilan. Terutama dari orang sepertimu." Bian sudah kehilangan kesabarannya. Ia patahkan rantai borgol yang mengikatnya. Berlari ke arah tembok dan memukul tembok tersebut dengan sekeras tenaga. Berusaha untuk membuka jalan keluar.

Namun Bain merasa kebingungan begitu melihat tembok tersebut tidak hancur. Dengan dinding yang tidak terlalu tebal dan kerahan tenaga yang ia keluarkan, ia yakin bisa menghancurkan tembok tersebut dengan mudah. Namun nyatanya tembok itu tidak hancur, bahkan retakpun tidak.

Apa yang terjadi padaku? Apa Apollo melakukan sesuatu padaku?

"Apa yang kau lakukan? Kau semakin tampak bodoh." Teriak Apollo melihat aksi Bian. "Apa kau ingin keluar? Tidak usah repot-repot. Kau akan segera keluar. Namun tidak dalam keadaan hidup."

Apollo berjalan ke arah lorong belakang, di cahaya lampu yang remang ini, Bian tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang orang itu lakukan. Ia hanya mendengar suara gembok yang telepas dan disusul dengan suara langkah yang berat.

"Temui malaikat pencabut nyawamu."

Dihadapan Bian saat ini, sebuah robot berukuran dua kali lipat dari tubuhnya berdiri di depannya, terlihat secara samar di balik kaca robot tersebut terdapat Apollo. Yang sepertinya robot itu dikendalikan olehnya.

"Mari kita selesaikan ini. The Ghost," Ucap Aplollo dari dalam, dengan suara digitalnya.

Apollo meluncur mendobrak jeruji besi Dengan posisi pundaknya terlebih dahulu, mendorongnya ke arah Bian dan mereka berdua menghantam tembok di belakang yang langsung hancur seketika.

Atap tembok tersebut mulai runtuh sedikit demi sedikit, Melihat dirinya sudah bebas, Bian dengan sigap terbang menjauh dari robot itu. Lalu melesat menabrak robot itu secepat yang ia mampu. Kecepatan dorongannya dicampur dengan tubuh robot yang terbuat dari bahan besi berat itu dengan cepat meluluh lantahkan setiap dinding yang dilaluinya hingga mendobrak ke ruang sebelahnya.

Di ruang tersebut tampak tidak terlalu berbeda jauh dengan tempat mereka mengurung Bian. Hanya saja disini terdapat banyak sekali sel-sel tahanan, hampir di seluruh dindingnya. Didalamnya – seperti yang sudah Bian duga – ada orang-orang, para gelandangan yang telah mereka culik dan mungkin sebentar lagi akan mereka bunuh.

Disisi lain, robot yang dikendarai oleh Apollo mulai berdiri tegak, namun matanya tertuju kepada salah satu tawanan di hadapannya.

"Jumlah mereka ada 32. Jika aku bunuh satu atau dua, itu tak akan masalah bagiku." Mata robot yang tadi menyala putih kini berubah menjadi merah, terlihat seperti sedang membuat ancang-ancang mengeluarkan sesuatu.

"Tidak!" Bian terbang menuju robot itu, sebuah sinar laser panas menghantam tubuhnya, ia terpental jauh hingga menabrak tembok di belakangnya. Kilatan sinar laser dari robot itu terarah ke segala penjuru ruangan ini, menghancurkan dinding dan atap-atap seketika.

"Jangan kau libatkan mereka!" Teriak Bian ke arah robot itu.

"Silahkan saja jika kau bisa menghalangiku." Robot itu mengeluarkan kembali sinar laser dari matanya. Kini tertuju ke arah jeruji besi lainnya.

"Sial." Bian kembali terbang ke arah robot itu. Namun keadaannya sama saja. Ia kembali terlempar karena terkena oleh tembakan itu.

Bian tidak akan tinggal diam. Bian mencari sesuatu untuk menghentikan robot itu. Dan ia menemukan sebuah besi panjang di sampingnya tergeletak.

Ia mencoba melesat lagi ke arah robot itu. Sambil menggenggam besi tersebut, Ia tambakkan dirinya ke arah robot itu dan menuju ke arah kepalanya. Dengan cepat ia menusukan besi itu ke arah matanya dan seketika robot itu langsung oleng.

Bian tidak tinggal diam, ia memanfaatkan momentum itu untuk menjauhkan robot tersebut dari ruangan berisi para tawanan ini. Ia terbang menjauh lalu kembali dengan kecepatan penuh. Menabrak robot tersebut.

Dorongan dari Bian berhasil membawa robot itu keluar ke tempat parkiran R.E.V.E Labs. Beberapa penjaga yang mungkin mencoba untuk masuk ke dalam langsung terpental bersama dengan mereka hingga berakhir di pagar pembatas bangunan itu.

"DASAR BAJINGAN!" Teriak Apollo, masih di dalam badan robot itu sementara para penjaga yang masih bisa bergerak berusaha berlari secepat mungkin menjauh dari tempat itu.

"RASAKAN INI!" Teriaknya. Robot tersebut kembali memompa kembali lasernya, namun Bian berhasil mengenainya telebih dahulu. Ia bawa terbang tersebut menjauh dari bangunan itu. Menjauh dari pemukiman.

Hingga mereka berakhir di atas laut sebelah timur pelabuhan Apple City. Suara peringatan kerusakan terdengar dari dalam robot itu, memerintah agar Apollo segera keluar. Kerusakan dari dalam robot tersebut sudah sangat parah akibat benturan sebelumnya. Percikan-percikan api mulai terlihat.

"Cepat keluar dari sana!" teriak Bian. Tangannya masih menahan tubuh robot itu.

"Untuk apa? Aku lebih memilih mati daripada harus mendengar ucapanmu." Meskipun tubuhnya ada di dalam robot itu. Namun dari suaranya, Bian bisa merasakan tubuh Apollo yang mulai gemetaran.


Bian berusaha memukul paksa tubuh robot tersebut untuk mengeluarkan Apollo. Namun tidak berhasil. Sehingga ia harus mencari cara lain untuk mengeluarkan pria tua itu. Ia dengan sekejap menukik ke bawah bersama Apollo dan robotnya. Mungkin menurutnya sedikit ancaman akan membuat Apollo mau membukanya dari dalam.

Tapi ternyata tidak sesuai apa yang Bian bayangkan. Apollo benar-benar ingin mati bersama robot itu. Bian terpaksa harus membukanya dengan paksa. Ia berenang ke permukaan berusaha mencari sesuatu yang dapat membuka paksa robot itu. Dan ia menemukan sebuah linggis tergeletak di depan sebuah garasi dekat pelabuhan.

Buru-buru Bian kembali menyelam ke dalam laut, mendekat ke arah robot yang sudah mulai rapuh dan mencongkel bagian dada robotnya. Bian berhasil melakukannya dan segera ia mengangkat Apollo keluar dari dalam air sebelum robot itu meledak.

"Hahaha... kau bodoh.. uhuk-" ucap Apollo yang kini berada dalam genggaman Bian.  "Kau pikir dengan mengalahkanku, kau sudah merasa menang?"

Bian membawanya ke atas atap sebuah gedung yang berjarak tidak terlalu jauh dengan R.E.V.E Labs. Menaruh Apollo di pinggir atap tersebut yang terhalangi pagar pembatas.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang, hah?" Suaranya terdengar bergetar. "Hahaha. Aku tak habis pikir. Apa sebenarnya yang kau lakukan? Bermain pahlawan di kota yang sudah tentram ini. Kau sia-siakan tenagamu. Kau tidak dibutuhkan disini."

"Tidak. Nyatanya Orang sepertimu lah yang membuka mataku bahwa masih ada yang salah dengan kota ini. Bahwa masih ada orang-orang yang belum mendapatkan keadilan. Dan aku akan secara sukarela melakukannya." Pakaiannya yang basah memantulkan cahaya matahari yang sudah mulai beranjak naik.

"Wow, tahu apa kau dengan kota ini? Tahu apa kau dengan dunia ini? Kau hanya anak kecil yang sok hebat. Tunggu saja sampai kau melihat wajah asli dunia ini." Suara Apollo semakin lama semakin melemah.

"Apa benar kau adalah orang dibalik kebakaran Mal Pusat Kota dua belas tahun yang lalu?" Bian mulai berjalan mendekati Apollo.

"Ya, kau tidak salah dengar. Apa pedulinya kau? Kau selamat dan tak ada korban jiwa."

"Kau membuat seseorang terbunuh." Tanya Bian. Kini posisi mereka hanya berjarak satu langkah saja.

"Siapa? Seorang pemadam kebakaran? Itu sudah menjadi resikonya." Ucap Apollo. "lagipula, bukankah seharusnya kau yang menyebabkan orang itu terbunuh, benar?"

"DIAM!" Teriak Bian secara reflek mendorong tubuh Apollo ke badan pagar lalu mencengkram kaosnya.

"Sekarang apa? Kau ingin membunuhku? Lakukanlah. Dasar pengecut." Ucap Apollo. Matanya meletot dengan seringai di bibirnya.

"Tidak. Aku tidak sama denganmu."

Suara sirine mulai terdengar. terlihat mobil-mobil polisi memasuki daerah tempat keributan yang ditimbulkan Bian dan Apollo di R.E.V.E Labs. Tak menunggu lama Bian mulai terbang ke arah sirine itu berasal. Masker putihnya ia pasang kembali di kepalanya dan tangannya menggenggam erat tubuh Apollo.

"Dasar kau pengecut. Membunuh musuhmu saja kau tidak becus!" Ucap pria berambut putih yang kini mulai berantakan. "Kau ingin menegakan keadilan sementara membunuh musuhmu saja kau tidak becus. Maka dunia idealmu hanya berupa mimpi belaka!"

"Itu tidak masalah. Mimpi menyelamatkan kita semua. Jika aku bermimpi suatu saat kota ini akan aman, maka aku tidak akan berhenti bermimpi. Aku tidak akan berhenti berjuang hingga melihat mimpiku menjadi kenyataan."


-EPILOG-

Apollo Stallone, seorang calon walikota yang namanya sempat terdengar belakangan ini, pagi tadi dikabarkan bahwa dirinya terkena kasus pembunuhan dan penculikan dan juga diduga melakukan mal praktek terhadap anak-anak. Para polisi masih mengusut kasus ini—

Para tawanan yang diculik oleh Calon Walikota Apple City, Apollo Stallone telah dibebaskan oleh polisi setempat. Sementara kasus ini masih dalam tahap penyelidikan R.E.V.E Labs untuk sementara ini ditutup dari—

Suara siaran TV menggema di dalam ruangan apartemen Bian. Sementara dirinya sibuk berpakaian. Terdengar seseorang mengetuk pintu apartemennya.

Ini pasti Rom. Pikir Bian dalam hatinya. Identitasnya sebagai The Ghost mungkin tidak akan disadari oleh orang lain, namun Rom, jangan pikir ia bisa menyembunyikannya lagi identitasnya dari Rom, apalagi setelah gambar dirinya tersebar di televisi dan surat kabar. Bian hanya berharap Rom tidak mengusirnya dari apartemen ini.

"Tunggu sebentar," Ucapnya. Sambil berlalu menuju pintu apartemennya. Kaos berwarna biru dan celana biru tua lusuhnya entah kenapa terasa tidak begitu nyaman dikenakannya.

"Selamat siang. Apa benar kau Bian Olson?"

Ternyata bukan Rom yang ia temui, malah seorang pria aneh berpakaian seperti mafia, lengkap dengan jenggot tipis dan rambut klimisnya. Belum lagi kacamata hitamnya yang ia pakai di dalam gedung gelap itu terasa janggal. Awalnya Bian pikir pria ini adalah orang suruhan dari Apollo, tapi ia ragu, karena di sebelah pria itu, berdiri seorang atau mungkin seekor Makhluk aneh.

"Ya," jawabnya singkat, tidak pernah ia mendapatkan tamu asing selama tinggal di apartemen ini. "Silahkan masuk."

Keduanya masuk dan duduk di sofa miliknya, sementara seekor domba yang mereka bawa, mereka berikan kepada Bian.

"Ini untukmu," ucap Makhluk aneh tersebut. Bagian atas tubuhnya yang berupa bantal berwarna ungu itu melirik ke setiap sudut ruangan, lalu berpindah kembali menatap Bian. "Unik juga ruangan ini."

"Siapa kalian?" Ucap Bian, ia duduk di sofa tepat di sebelah kanan mereka. Bian memang tidak pernah kenal dengan mereka, namun di dalam pikirannya, ia merasa pernah atau bahkan sering bertemu dengan mereka. Terlebih dengan Makhluk berkepala bantal itu.

"Saya Zainurma dan ini adalah Ratu Huban. Kami kemari untuk mengajakmu mengikuti turnamen yang kami adakan," jawab pria berkacamata hitam itu. "Dan Domba itu, itu adalah pertanda bahwa kau telah lulus ronde penyisihan."

"Tu-Tunggu, Turnamen apa? Ronde penyisihan? Aku merasa tidak pernah mengikuti turnamen apapun." Bian semakin tidak mengerti satu kalimat pun yang pria itu ucapkan. "Jelaskan padaku."

"Kami mengadakan sebuah turnamen yang melibatkan berbagai Makhluk di segala semesta yang bersetting di dunia mimpi, dan kau, kami mendapatkan sebuah biodata tentangmu yang dikirimkan langsung oleh 'Dia', seseorang yang mendaftarkanmu," Jelas pria itu.

"Dia?" tanya Bian.

"Ya, Dia." Jawab pria itu dengan memberikan sedikit penekanan pada kata 'dia'. "Aku tidak bisa memberitahukannya padamu."


"Sekarang kami sedang melakukan sebuah uji coba yang kami sebut babak preliminary untuk menguji apakah peserta tersebut layak mengikuti turnamen ini atau tidak, dan ternyata kau berhasil. Kau secara resmi telah terdaftar sebagai reverier."


"Apa itu berarti sekarang aku sedang berada di dunia mimpi?" Tanya Bian.

"benar, lebih tepatnya 20 jam yang lalu kau sudah kami pindahkan ke alam mimpi. Dan tidak ada pilihan bagimu untuk keluar." Jelasnya. "Jadi, apa kau sudah siap menuju ke babak selanjutnya?"

Bian merasa percaya tidak percaya terhadap penjelasan pria itu ucapkan. Namun sebuah perkataan tentang segala mahkluk di segala semesta ikut bertanding menarik perhatiannya. Mungkin ini bisa menjadi petunjuk baginya darimana kemampuan ganjil yang ia miliki itu berasal.

"Tunggu sebentar." Bian Berdiri lalu mengarah ke lemarinya. Mengambil sebuah sweater berwarna hijau tua lalu memakainya.

"Aku siap."

Pria berjas hitam itu tersenyum. "Baiklah, ikut dengan kami."


29 komentar:

  1. chou: robot warna kuning! jd langsung byangin bumble bee

    kuro: pahlawan yg baik^_^ mau maafin musuhnya

    chou: di tengah2 ada bagian yg nggak sanggup kulihat jd kuserahkan ke kuro aja

    kuro: kan kalau aku bc berarti author juga bc?. lagi2 author berusaha lari dr kenyataan...ok kalo gtu aku lanjutin aja. alur dan bhasanya mudah dimengerti jd nggak perlu bc berulang2 buat memahami. hmm...tp penyempitan smestanya kurang berasa atau malah tidak ada sama sekali? kurang lebih begitulah yg saya rasakan. sebagai tanda apresiasi krn mudah dipahami, perkenalkan ini hachiro (8), kakak saya ^_^. smoga berkenan.

    chou: lu kan anak tunggal. nggak usah sok2n punya saudara deh

    kuro: author sendiri yg mulai duluan. lagian siapa juga yg ngapus ingatanku hah?.
    ya udah. maaf ya. ini author emang kadang suka gj dan oot. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku dapet refferensi robot kuning itu dari Parademonsnya Darkseid. hehe

      makasih udah mampir. :)

      Hapus
  2. Saya baca ini berasa kayak liat Superman vs Lex Luthor. Apa emang inspirasinya dari sana?

    Teknis ga ada masalah selain beberapa typo yang ga gitu ganggu. Saya malah pengen ngekritisin soal vaksin di cerita ini. Setau saya yang namanya vaksin itu ya 'counter virus', dan ga sembarang 'diberikan biar anak jadi pintar'. Rasanya ada salah definisi di sini, dan lebih pas kalo vaksinnya mungkin diganti jadi semacem suplemen atau vitamin

    Btw lucu juga Zainurma sama Ratu Hubannya kayak bertamu gitu di ujung mimpi Bian ini.

    Nilai 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. awalnya aku ambil karakter Apollo itu dari hugo Strange. tapi entah kenapa diakhir malah berubah jadi Lex Luthor. hehe

      untuk bagian vaksin itu, emang itu kesalahan banget. aku lupa ganti.

      Makasih udah mampir, MasSam. :)

      Hapus
  3. -Wow beneran superhero origin story (O3O)d

    -Tapi, IMO, masukin adegan flashbacknya posisinya agak kurang pas. Cerita utamanya belum sempat kebangun, kena lag di situ. Mungkin adegan ini bisa dipangkas lagi, sok misterius dulu gitu, biar pembaca penasaran begitu diungkap lebih banyak.

    -My opinion, of course.

    -Konfliknya terbangun dengan baik. Permulaannya agak lamban, tapi pertarungan ngelawan bunch of mooksnya sukses nunjukin kekuatan Bian. Dan juga kelemahan dia.

    -Begitu pula dengan mini twist soal musuhnya.

    -Akhirnya keren

    -Tapi pertempuran klimaksnya terasa kurang dramatis. Kalau dijabarkan jadi panel-panel komik mungkin keren, tapi dalam bentuk kata-kata ini, rasanya berakhir begitu saja. Seharusnya duel baku hantam antara giant robot dan superman bisa digambarkan lebih epik, walau hanya dengan kata-kata.

    Saya berikan 8/10. Semoga bisa beradu antara Superman Vs Shoggoth (O3O)d

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang aku nulis ini sambil ngebayangin ditarruh di panel-panel komik, hehe

      makasih udah mampir, Bang King. semoga ketemu sama Anita nanti :D

      Hapus
  4. mas uji udah ada peningkatan semenjak debut Bujang Ikemen di Bor maren. Untuk masalah penarasian mungkin ada beberapa yang miss tp ga mengurangi kenikmatan saya saat membaca adegan tiap adegan yang disajikan.

    plotnya terhitung ringan, saya lumayan suka dengan tendensi yang dibangun. tp pergantian pov dari pov3 ke pov1 lalu balik pov 3 membuat saya kayak terjungkal. coba kalo sudut pandangnya dibuat konsisten.

    untuk dialog, masih ada kesalahan minor tp tak apalah. mungkin mas uji udah tahu.

    8 dulu dari dukun bajingan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pergantian PoV nya massih belum mulus ya? saya cetet. soalnya di entri kedepannya kemungkinan bakal pake perpindahan PoV juga kayak gini.

      Makasih udah mampir, Agung. :)

      Hapus
  5. well overall bagus
    gaya bertarung check
    alignment challange check
    jadi nilai 10/10

    but sedikit review
    hmm, bian kebetulan ketiduran di kantor dan... ditandai oleh zainurma dan huban. tidak ada distorsi yang dialami dunianya kecuali orang oang telah hilang. selanjutnya flashback saat bian pertama kali menyadari kekuatannya dan... heroic scene. aku suka
    oh iya dan latar belakang yag digambarkan sangat jelas. subjektif saya suka tapi entah kenapa pernah bikin latar yg panjang malah jadi nilai negatif buat orang lain. jadi, saya sendiri bingung ini plus atau minus

    1. yang menggangguku itu darimana si apollo tau kalo dia lemah kayu? atau kebetulan? dan akhirnya malah naik robot besi. apakah ada hubungan apollo dan bian?
    2. err.. aku bingung. dan kayaknya perlu liat film superman lagi. soalnya itu peluru ga nembus tapi waktu ditendang malah mempan. padahal impuls (Gaya per detik atau F/s) dari tembakan pistol jauh lebih besar apalagi dari jarak dekat. yang seharusnya bisa bikin bian terpental (kalau ditendang bisa bikin bian jatuh). well just physhic anyway
    3. kurang lebih kayak di atas tentang pov, but buat aku ga masalah. typo yang juga tidak begitu masalah

    so... -3
    dan.. waw ga nyangka. entrinya bagus tapi entah kok jadinya aku malah kurangin nilainya hehe//ampunmz
    ini masa 7/10 sih?
    well 7/10

    tenang di atas udah dapet 8 dan 9 kan... bagus kok. kapingin lanjutin canon dari mz toru, so semangat

    OC: Zia Maysa

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenernya Apollo dan kroconya gak tau Bian lemah sama kayu. itu cuma kebetulan aja. makanya pas battle utama, si Apollo gak ngehajar pake kayu. karena emang dia gak tau. haha

      yang aku mau tekankan disini, kalo kelemahan si Bian ini bisa didapet dari mana aja. bukan barang langka macam Kryptonite. jadi kalo musuhnya tau, ya berabe.

      makasih udah mampir. :)

      Hapus
  6. Kalau kak Sam baca ini kayak ngeliat Superman Vs Lex Luthor, Umi baca ini kayak Deadpool, dipaduin sama Superman vs Batman xD

    Oke xD ini mula ngelantur

    Buat Umi ceritanya pas. Bumbunya ga berlebihan, battlenya epik dan ga padet (fyi, Umi lemah baca battle, jadi kalau baca cerita full battle cenderung nge skip), dramanya juga dapet.

    Plotnya pas juga sebab akibatnya jelas. Gimana Bian akhirnya memilih untuk ngelawan, kenapa dia memilih untuk ga ngebunuh. Intinya ini cerita yang pas, sesuai porsi.

    Ga bikin kekenyangan juga ga bikin laper xD

    Nilai : 8/10
    Oc: Song Sang Sing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, Ummi komentar di entri aku. Syukur deh kalo battlenya bisa diterima. soalnya aku emang lemah juga nuliss battle.

      Makasih udah mampir, Ummi. :)

      Hapus
  7. Ini okeloh, berasa kaya baca komik superhero dari DC cuma tanpa gambar tapi cukup tergambar diimajinasi pembacanya.
    Saya gak bahas masalah teknis kepenulisan karena udah dibahas beberapa di atas, saya cuma mau kritisin soal perpindahan tempat dari dunia nyata ke dunia mimpi. Malah dari awal sampe pertarungan mereka tak kirain masih di dunianya Bian, taunya udah di Alam mimpi, gak ada tanda2 seperti yang diminta sama panitia selain sepinya manusia di sana.
    But overall it's nice story...
    Nilai : 8
    Mahapatih Seno

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenernya aku udah ngasih hint sih, aku pikir itu cukup, tapi ternyata pas baca entri lain, emang yang aku gak kerasa banget.

      makasih udah mampir om Adhi, aku belum juga kumbal ini >.<

      Hapus
  8. Yeay, superhero!
    Si Alexine bakal seneng banget kalau bisa ketemu Bian.

    Karena beberapa poin-poin penting sudah dibahas di atas, saya cuma nambahin kalau narasi terkesan repetitif. Terutama dengan kata "itu" dan "tersebut" bukan masalah besar sih, tapi bisa saja membuat pembaca jengah karena pilihan kata-katanya cuma itu2 saja. Saran saya coba penggunaan kata "itu" dan "tersebut" lebih diminimalisir lagi, buat narasinya lebih bervariasi, salah satunya dengan cara menambah diksi.

    Nilai 8

    OC: Alexine E. Reylynn

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang aku juga ngerasa repetitif sih, dan nulis ini jujur aja aku buru-buru.

      makasih udah mampir. :)

      Hapus
  9. Hmmm... perkara kelebihan cerita dan kekurangan saya ga mau komentar banyak.

    Yang pasti, Imej Bian sebagai seorang pahlawan terbentuk dengan sangat baik. Pertarungannya juga ala superhero barat dengan penyelesaian konflik yang cukup rapi.

    Mungkin kurang halus antara perubahan sudut pandang saja sepertinya yang kurang membuat saya nyaman membaca cerita ini. :s

    Titip 8 buat Bian. Semoga menjadi a hero we deserve, not the hero we need. :s

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam sejahtera juga, Mbak Amut.

      makasih udah mampir, MasYus. :)

      Hapus
  10. cerita superhero yang menarik. mungkin Bian ini perpaduan Batman yang suka keluar malam dan Superman yang bisa terbang.

    well, alur ceritanya dikemas baik. konfliknya jelas dan runtut.

    cuma agak kurang epik battlenya. robotnya cuma bisa ngeluarin sinar laser, selebihnya cuma bisa berdiri aja. lebih epik lagi kalo bisa bikin Bian babak belur. toh semua orang ingin superhero bisa ngalahin musuhnya tapi dalam keadaan babak belur.

    nilai dari saya 8. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apollo gak bisa bikin Bian babak belur, tapi mungkin di R1 bakal ada peserta yang bikin dia babak belur.

      makasih udah mampir :)

      Hapus
  11. Saya suka gaya buku terjemahan di entri ini, benar-benar membaur dengan setting lokasi dan Origin Bian. Catatan untuk menambah variasi penyebutan nama Bian karena menemukan kata Bian terus-menerus membuat bosan.

    Secara personal, saya rasa beberapa kata perlu memakai kata yang lebih membaur. misal ketika si pemadam kebakaran bilang "Aku sudah selesai" terdengar aneh dalam bahasa Indonesia, tapi akan lebih membaur kalau ditulis "Aku sudah tamat"

    Overall cerita menarik, background jelas dan skill sudah dishowcase dengan bagus.

    Nilai 9
    OC : Nora

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagus kalo ada yang suka, aku juga bakal pake gaya yang sama kedepannya.

      makasih udah mampir. :)

      Hapus
  12. Benar2 superhero sejati.

    Saya nggak tau harus komen apa, cerita ini mengingatkanku akan cerita2 superhero barat.

    Saya benar2 bisa menikmati seluruh cerita ini

    Nilai 10

    PenulisDadakan (Arca)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, nilai sempurna pertama saya di BoR.

      makasih udah mampir. :)

      Hapus
  13. Tata bahasanya agak aneh. Banyak pengulangan dan ketidakteraturan tata bahasa.

    Di sini misalnya:

    Pukul lima lebih sepuluh menit, artinya sudah satu jam lebih ia terlelap tidur di meja kerjanya, artinya sudah satu jam pula teman-temannya meninggalkan dirinya di ruang yang berukuran tidak lebih dari empat kali lima meter ini. > Pengulangan kata ‘artinya’ dan di dua anak kalimat yang sama .___.

    Segera temannya mendorong para tawanan itu. Bian yang tersungkur mulai melawan balik. Ia daratkan pukulannya ke arah penjaga itu, dengan tepat mengenai sisi bagian kanan kepala penjaga itu. Sementara kakinya ia tendangkan ke arah lutut penjaga itu, berniat untuk menghancurkan kuda-kuda penjaga itu. > empat kali ada frase ‘penjaga itu’ .____. Ada kata ganti ‘nya’ atau ‘dia’ atau bisa juga ga digunakan, opsinya luas jd bisa dipertimbangkan.

    Bian terkadang merindukan pekerjaan lamanya sebagai seorang Helper, hanya menyusun barang-barang sesuai katogorinya, mengangkut barang dari halaman depan ke gudang, tak perlu bersusah payah berurusan dengan komplain pelanggan, data-data penjualan maupun pemesanan yang harus ia perhatikan dengan rinci. > aku bingung penataan SPOK nya gimana, agak aneh di sini

    Well, ini ngga akan terlalu pengaruh ke penilaianku sih, mengingat aku juga ga sempurna di bidang ini, tapi baiknya dirapiin lagi tatanan kalimatnya biar bacanya enak. Soalnya rasanya kayak obrolan sehari-hari yang dituliskan begitu saja ke sebuah cerita, tanpa mempedulikan kaidah berbahasa. Ada beberapa kalimat ga efektif juga yang.. err.. mengganggu. Kalau sekali dua kali nggak masalah, ini lumayan sering .___.)

    Plot cerita di Part 1 yang agak rancu: kaki MC ketindih, ga luka. Si pemadam ngerasa itu mukjizat? Penggambarannya kurang kena, apalagi kalo yg ketindih kaki doang. Seandainya lukanya (seharusnya) jauh lebih parah tp ternyata masih baik2 saja, mungkin itu baru bisa dibilang mukjizat, dan aku bakal lebih bisa nerima. Menurutku, itu kurang untuk dijadikan alasan bagi pemadam untuk menganggap itu ‘kekuatan’ khusus.

    Next, plotnya di awal2 agak kepanjangan dan agak bertele2. Beberapa detil bahkan berasa unneeded, you could just erase it anyaway and doesn’t really change the whole plot. I mean, apa pentingnya kita dikasih tahu kalo kain penutup mukanya sempat dibuat dari kain kaos? Kasih tahu aja langsung bahannya dari spandex .-.

    All in all, aku kagum ketika Apollo benar-benar muncul meski klise ‘monolog villain’ muncul di sini. Konfliknya dapet, aku suka. Alasan yang masuk akal tapi kejam bagi seorang penjahat politik. Menghalalkan segala cara demi namanya sendiri. It will be much better if he did it because he love his town, but in a such twisted way. Di mataku kayak dia melakukannya demi dirinya sendiri. But it’s still fine, i like his twisted personality.

    But, with this twisted personality, aku ga dapat alasannya kenapa dia sengaja melepaskan Bian untuk diajak tarung langsung pake robot. Why don’t just torture him to death? Atau kasih jaminan bahwa si Apollo ini bisa menang. Apa ga takut Bian bakal ngalahin dia kalo digituin aja? Worst, Apollo malah sengaja ngrusak dinding bangunannya dengan serangan awal. Untuk seorang politikus cerdas, dia cukup bodoh dalam hal ini .____. What can i say? Rasanya dia kalah karena dia ngelepasin Bian gitu aja tanpa persiapan cukup .___.

    Tapi aku suka konsep superheronya. Juga penjahatnya. Villain yang kayak gabungan Lex Luthor dan Kingpin. Superhero yang kayak gabungan moral Superman dan Spider-Man, dengan sedikit bumbu street-level battle ala ala Daredevil. Kalo aku harus point out mana yang kusuka, kubilang karakterisasinya.

    Berharap situ lanjut, karena aku suka banget sama cerita2 superheroing meski ada beberapa poin yang aku ga gitu sreg.

    7/10

    -J.Fudo sang Pencipta Kaleng Ajaib-

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih banget om Fudo mau mampir ke entriku dengan komentar mendetailnya. aku bakal catet semua saran-sarannya. emang salah aku sih gak banyak proofread dulu. mudah-mudahan gak terlulang di entri selanjutnya.

      dan alhamdulilah ada yang suka karakterisasi yang aku buat. soalnya aku usaha keras banget disini.

      makasih udah mampir. :)

      Hapus
  14. Dari awal ke pertengahan rasa novel terjemahannya lumayan kental. Tapi pertengahan ke bawah agak ilang. Mungkin gara-gara narator mulai nggak rinci lagi menerangkan apa yang di sekitarnya. Kayak, tengah ke seterusnya ditulis sekali jalan.
    Secara keseluruhan udah bagus. 8 Olive

    BalasHapus
  15. Hm...

    Well, karena masalah teknis sudah banyak yang komentar, saya gak akan ke sana juga. Saya hanya akan komen dari preferensi pribadi saja.

    Konfliknya sudah oke, background antara Apollo dan Bian sudah dibangun dengan jelas. Sayangnya bagian battle dengan giant robotnya berakhir gitu aja, masih lebih seru berantem sama penjaga di pertengahan kalau menurutku. Lebih banyak detil gerakan pertarungan.

    Lalu untuk Apollo sendiri, dia karakternya sebagai villain udah lumayan. Pride dan self-righteousness ada, sayangnya di akhir terkesan seperti vllain yang pasrah mau mati saja. Hanya provokasi tanpa ada tindak perlawanan apapun.

    Oh well, untuk ini saya hanya bisa beri 7 poin (those typo kinda bother me though, I'll give you more next time if you can spend more time in editing).

    Asibikaashi

    BalasHapus
  16. GHOUL : “Neil? Kenapa kau ada di sana? Ayo, pulang ke entri 31! :=(0 di entri tetangga lagi, bener2 takdir memikirkan nama yang sama.” (nyeret Neil pulang).

    SHUI : “Masuk ke alam mimpinya kurang berkesan apa2, adegannya datar amat. Alurnya lamban2, ga sabaran masuk ke adegan runcing2nya mana? Akhirnya enjoy juga sih meski konfliknya ga begitu runcing, hehe…”

    SUNNY :”Typo2nya berkunang2… ketahuan buru2nya diburu2… coba liat halaman 32, 34, 40 n…
    Baku= Sekadar, Memedulikan…
    ‘Paman’ pake awalan huruf ‘p’ besar.
    Apollo Stallone—seorang Italia yang dua tahun belakangan ini namanya terus melambung = pake em-dash, bukan koma.
    Selama 20 tahun lebih ia bekerja di laboratorium Unversitas Fredric—universitas terbaik di Negara ini—dirinya berhasil= pake em dash juga…”

    GHOUL : “Ngasih 7 deh, typonya masih nyangkut sih…” :=(D

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.