Senin, 06 Juni 2016

[PRELIM] 39 - SNOW WINTERFELD | ONCE UPON AN EVENTFUL DREAM

oleh : Rangga Rahman A.

--

Sejak hari itu pikiranku selalu dipenuhi pertanyaan.
Sejak kehidupanku diambil alih oleh takdir kejam.
Sejak mengambil kehidupan menjadi keseharianku.
Sejak Sang Kematian bersarang di dalam jiwaku.
 
Pertanyaan itu terus berputar dalam pikiranku.
 
Kehidupan.
Apakah itu semudah bernafas? Atau lebih dari itu?
Untuk apa manusia hidup? Apa hanya karena mereka lahir?
Atau untuk sesuatu yang lebih dari itu?
 
Pertanyaan yang membuatku memutuskan pilihanku.
Pertanyaan yang menjadi alasan kehidupanku.
 
~~~
Di sebuah kota yang disebut oasis padang pasir, Almeira. Sesosok lelaki berpakaian hitam terlihat berlari menembus kegelapan malam. Rambut hitam terlihat menyembul dari tudung mantelnya dan mata birunya bersinar di kegelapan malam. Dia berlari, berbelok ke arah gang kecil, lalu melompat ke atap rumah-rumah menggunakan dinding di sekitarnya sebagai pijakan dengan gesit dan dia melompat  dari satu rumah ke rumah lain.
 
Di belakangnya dapat terlihat beberapa pria mengejarnya. Mereka semua membawa benda-benda berbahaya di tangan mereka seperti pedang, pisau, gada, dan lainnya. Karena gerakan lelaki itu lincah orang-orang yang mengejarnya mulai berkurang satu persatu karena kelelahan. Lelaki itu terus berlari tanpa mempedulikan pengejarnya. Kemudian ia melompat dari salah satu rumah dan turun ke sebuah gang. Setelah sampai di tanah dia menengok ke belakangnya untuk memeriksa para pengejarnya.
 
“Fuhh... kelihatannya aku berhasil kabur dari mereka.”
 
Dia berjalan santai setelah menghela nafas dalam dan menelusuri gang tempat dia mendarat perlahan. Setelah beberapa menit ia sampai di salah satu ujung gang. Bukannya merasa senang, kali ini ia kembali merasa kesal dan menghela nafas dalam melihat beberapa puluh orang menunggunya di luar gang. Orang-orang itu berpakaian kumal seperti preman dan membawa senjata tajam. Dari seluruh orang-orang itu terlihat seseorang yang berpenampilan mencolok. Lelaki berambut pirang itu mengenakan baju mewah dan raut wajahnya terlihat sombong.
 
“Menyerahlah! Tidak mungkin kau bisa menang dari para anak buahku!” ucap lelaki itu percaya diri.
 
“Maaf tapi aku tidak memiliki alasan untuk menyerah padamu.”
 
“Cukup! Kau pikir kau bisa pergi begitu saja setelah menghancurkan bisnisku?!”
 
Seketika semua perkataan lelaki di depannya masuk akal. Dia mengingat apa yang dilakukannya sebelum dikejar para preman itu. Ingatan saat ia menghancurkan tempat terkutuk itu mulai kembali. Rasa amarah mulai muncul di dalam dirinya.
 
“Jadi, kau pemilik pelelangan budak itu?”
 
“Tentu saja! Kau pikir kau bisa seenaknya datang dan membebaskan budak-budak yang dengan sulit kucari?!”
 
“Haah... seandainya kau hanya menjual budak kriminal aku tidak akan protes. Tetapi aku melihat anak buahmu itu menculik beberapa anak perempuan di kota.”
 
Nafsu membunuh yang cukup kuat untuk dirasakan manusia normal terpancar dari tubuh lelaki berpakaian hitam itu. Para preman yang merasakannya melangkah ke belakang secara perlahan. Entah dia cukup tangguh atau tidak menyadarinya lelaki berambut pirang itu terus menerus mengoceh.
 
“Karena kau sudah merusak bisnisku kau harus mengganti rugi! Kurasa kau bisa menjadi budak. Dengan tubuh seperti itu pasti banyak orang menginginkanmu.” Ucapnya dengan senyum menjijikkan.
 
“Aku tidak punya alasan untuk mengganti rugi. Lagipula, kalau tidak salah di kerajaan ini perburuan budak dilarang oleh pemerintah kan? Meskipun aku kurang menyukai pemerintah.”
 
“Hahaha! Naif! Apa kau tidak tahu dengan uang semua hal bisa diselesaikan? Kaupikir bagaimana usahaku bisa terus berjalan tanpa hambatan hingga saat ini?”
 
Pada saat itu juga rasa jijik yang dirasakan pemuda berpakaian hitam itu sejak awal semakin belipat ganda. Dia sebenarnya tahu jika lelaki di depannya memuluskan hidupnya menggunakan kekuatan yang disebut uang. Tetapi dia tidak mengira kalau lelaki itu sangat bergantung padanya.
 
“Baiklah, cukup basa-basinya. Kalau kau tidak mau mengganti rugi maka sesali perbuatanmu... DI SURGA!”
 
Pada saat itu juga para preman dibelakang si pedagang budak bergerak maju perlahan. Lelaki berpakaian hitam itu tiba-tiba berbisik sesuatu.
 
“Nyx, apa kau bisa membantuku?”
 
Dari dalam jubahnya muncul sebuah bola hitam. Meskipun disebut bola, terlihat sepasang telinga kucing menyembul di atasnya. Sepasang tanda silang dan sebuah bekas jahitan seolah membentuk wajah di permukaan bola itu. Tanda silang dan bekas jahitan di bola itu bergerak-gerak dan membentuk ekspresi senang.
 
“Apa yang bisa kubantu Master!”
 
“Cukup lindungi aku dari orang-orang yang menyerangku dari belakang. Aku ingin menyelesaikan ini secepatnya dan segera beristirahat.”
 
“Siap, Master! Roh Kegelapan, Nyx melapor untuk bertugas!”
 
Mulai tidak sabar dengan tingkah Snow dan Nyx salah satu preman yang membawa pisau merangsek maju dan mencoba menusuk Snow. Dengan lihai Snow mencengkram tangan preman itu kemudian merebut pisau di tangannya dan menendang dagunya sampai pingsan.
 
“Sejujurnya aku ingin menghindari konflik sebisa mungkin. Tapi mengingat kalian sepertinya tetap ingin menyerang... sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain.”
 
Snow memasang kuda-kuda dan bersiap bertarung. Pisau di tangan kanannya yang didapat dari preman sebelumnya sudah dalam posisi siap dilempar. Saat ia mengamati pergerakan preman di sekitarnya tiba-tiba salah satu preman yang membawa pedang berlari ke arahnya.
 
Dengan cepat Snow melempar pisau di tangannya dan pisau itu tertanam di tangan preman itu. Melihat preman itu terkejut ia dengan sigap merebut pedang milik preman itu dan menendang dagunya hingga pingsan. Meskipun dua orang anak buahnya sudah tidak sadar sang pedagang budak tetap terlihat percaya diri.
 
“Kau hanya beruntung bocah! Kalian semua, kepung dia!”
 
Dua orang preman kali ini menyerangnya dari sisi kiri dan kanan. Di sebelah kii ada seorang pria berbadan kurus yang membawa dua buah pisau dan di kanannya ada seorang pria bertubuh besar yang membawa gada kayu. Snow menebas tangan preman yang di sisi kirinya dan merebut pisaunya sebelum memukul belakang kepalanya dengan gagang pedangnya. Kemudian ia melempar pisaunya ke pria di sebelah kanannya. Pria itu dengan mudah memukul pisau itu dengan gadanya. Tetapi tanpa disadarinya Snow sudah mendekat dan menusuk pria itu dengan pedang di tangan kanannya. Karena tubuhnya yang besar pria itu gagal menghindar dan tertusuk di perutnya. Setelah itu Snow mencabut pedangnya dan melemparnya ke preman berikutnya.
 
Satu persatu ia merubuhkan musuhnya tanpa membunuh mereka. Dia merebut senjata, membuat mereka pingsan dengan pukulan atau tendangan, kemudian menyerang musuh berikutnya. Sesekali ia menusuk musuh yang terlihat cukup kuat atau menebas mereka. Beberapa orang yang mencoba menyerangnya dari belakang terhempas karena sesutau. Semakin lama para preman yang menyerangnya semakin berkurang. Ekspresi panik mulai muncul di wajah si pedagang budak. Keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya. Kemudian tanpa dia sadari seluruh preman yang dia sewa sudah tumbang.
 
“Fuuh... jadi apa kau masih ingin melanjutkannya? Jika kau menyerah sampai sini aku akan membiarkanmu hidup.”
 
Sang pedagang budak tidak menjawab. Dia hanya duduk berlutut dan menundukkan kepalanya. Saat Snow kira dia akan menyerah tiba-tiba sang pedagang budak tertawa terbahak-bahak.
 
“Ha....”
 
“Mm?”
 
“Hahahaha!”
 
“Apa kau menjadi gila karena bisnismu hancur? Tenang saja, cukup lupakan apa yang pernah kaulakukan dan tempuhlah jalan baru... sepertiku....”
 
“Mana mungkin?! Aku tidak mengira kalau aku harus menggunakannya di sini, tapi kau tidak memberiku pilihan lain.”
 
Sang pedagang budak mengambil sebuah benda dari saku celananya. Benda itu berbentuk seperti silinder besi dengan gagang dari kayu di bawahnya dengan panjang keseluruhan 15 cm dengan sesuatu yang mencuat di gagang kayu tempat sang pedagang budak memegangnya. Saat itu juga Snow merasakan bahaya dan berguling ke samping.
 
Bunyi ledakan bergema di gang kumuh itu. Tempat dimana dia tadi berdiri kini dihias sebuah lubang kecil. Snow yang menyadari benda apa itu memasang ekspresi tidak senang.
 
“Hahaha! Kau lihat?! Dengan relik ini aku akan membunuhmu! Lihat saja!”
 
“Haah... benar-benar hari yang sial. Sudah berapa kali aku mengela nafas hari ini. Ditambah lagi aku harus melihat relik laknat itu lagi. Aku sudah tidak ingat berapa orang yang menekan pelatuk itu saat mengarahkannya padaku.”
 
“Apa kau sudah menyerah? Kalau begitu biarkan aku membunuhmu secara perlahan!”
 
“Sebelum aku melepas semua kekesalan yang kutahan hari ini. Biarkan aku bertanya satu hal padamu.”
 
“Baiklah! Setidaknya memberi tahu satu atau dua hal pada orang yang sebentar lagi menjadi mayat tidak akan merugikanku.”
 
“Untuk apa kau hidup di dunia ini?”
 
Seketika keadaan menjadi hening. Hanya suara angin malam yang terdengar di telinga mereka berdua. Kemudian sang pedagang budak tersenyum lebar sampai-sampai nyaris mencapai telinganya.
 
“Aku hidup hanya untuk uang. Mencari uang, menggunakannya, dan akhirnya mati setelah kehabisan uang. Aku juga tidak peduli cara apa yang kugunakan untuk mendapat uang. Apa itu cukup jelas?”
 
“Hmm... baiklah.”
 
“Kalau begitu bersiaplah!”
 
Saat sang pedagang budak mengacungkan reliknya, Snow hanya diam di tempat. Kemudian sang pedagang budak menekan pelatuknya berkali-kali. Puluhan logam panas meluncur ke arah Snow bersamaan dengan sebuah suara ledakan kecil. Tetapi semua logam yang meluncur ke arahnya dapat dengan mudah dihindarinya.
 
Sang pedagang budak yang mulai frustasi menekan pelatuknya lagi dan lagi. Seluruh peluru yang meluncur dari relik itu tidak ada yang mengenai Snow. Sebagian besar meleset karena ditembakkan oleh seorang amatir dan sebagian lagi dapat dengan mudah dihindari Snow.
 
“Bagaimana....”
 
“Hm? Apa kau mengucapkan sesuatu?”
 
“Bagaimana bisa kau menghindarinya!!!”
 
“Tentu saja aku tidak akan mengatakannya bodoh. Aku bukan karakter antagonis dalam kisah-kisah fiksi yang mengumbar rahasia tekniknya begitu saja.”
 
Sebenarnya teknik yang digunakan Snow disebut Slow Motion Perception. Sebenarnya teknik ini adalah hal yang dilakukan tubuh pada saat dalam bahaya dengan mempercepat kinerja otak. Snow yang mengontrol teknik ini dapat melihat keadaan di sekitarnya terlihat berjalan sepuluh kali lebih lambat. Yang dilakukan Snow sebenarnya hanya menggunakannya selama sepersekian detik untuk melihat dan memprediksi arah jalur peluru musuhnya.
 
Sang pedagang budak terus menerus menekan pelatuk reliknya dan menyerang Snow dengan timah panas. Setelah beberapa menit ia melupakan sesuatu hal yang sangat penting. Meskipun dia menekan pelatuk reliknya berkali-kali tidak ada peluru yang keluar.
 
“Ah? Tidak keluar? Kenapa kau tidak menembak lagi relik sialan?!”
 
“Relik yang kaubawa itu disebut ‘handgun’ yang dibuat sekitar dua abad yang lalu. Salah satu kelemahannya adalah batasan pada peluru yang dapat ditembakkan dan pelurunya yang sudah tidak diketahui cara pembuatannya saat ini. Dengan kata lain kau sudah kalah sejak aku dapat memprediksi lajur pelurumu.”
 
Pada saat itu sang pedagang budak hanya bisa gemetaran. Dia sangat ingin kabur dari orang berbahaya ini. Tidak hanya mengetahui relik apa yang dia gunakan, orang di depannya juga dapat memprediksi lajur peluru yang dilontarkan senjatanya. Pada saat itu juga dia merasakan rasa takut yang sebenarnya.
 
“Baiklah, berhubung jawabanmu dari pertanyaan yang pertama sebenarnya sangat buruk, aku akan langsung ke intinya. Aku akan membunuhmu.”
 
“Eh?”
 
Sebelum sang penjual budak sempat merespon apa-apa sebuah pisau hitam kelam muncul di tangan Snow. Sang pedagang budak yang melihatnya mencoba berlari ketakutan. Tetapi semua sia-sia. Dengan secepat kilat Snow memenggal kepala sang pedagang budak. Sang pedagang budak pun mati seketika di dalam genangan darahnya sendiri.
 
“Fuuhh... aku benar-benar tidak ingin melakukan ini. Salahkan jawabanmu yang tidak membantuku sedikitpun dan ketidakberuntunganmu.” Gerutu Snow.
 
Bersamaan dengan itu lelaki berpakaian hitam itu menghilang bagai ditelan bayangan.
 
~~~
 
Malam ini benar-benar merepotkan. Seharusnya saat ini aku sedang tertidur pulas di kasur yang empuk. Tetapi nyatanya aku malah menghajar preman-preman ini. Aku terus berjalan sambil menggerutu.
 
Namaku Snow Winterfeld. Lelaki berumur 17 tahun berambut hitam dan bermata biru. Mungkin kalian akan jarang bertemu manusia berambut hitam sepertiku di dunia ini, Forlasea. Sebenarnya aku juga bukan sepenuhnya manusia. Rambut hitamku ini adalah ciri yang hanya dimiliki Shadowkin, ras yang menghilang 2000 tahun yang lalu.
 
“Master, kenapa kau mau repot-repot menghancurkan tempat perbudakan itu? Bukannya kau sendiri mengatakan kalau kau tidak mau ikut campur dengan orang lain?” tanya sebuah suara dari belakangku.
 
Ngomong-ngomong di belakangku tidak ada siapapun. Satu-satunya benda yang ada hanya sebuah bola hitam dengan sepasang telinga mencuat dan wajah seperti boneka setengah jadi. Bola hitam ini adalah Nyx, dia adalah roh kegelapan yang kutemui saat sedang berkeliling dunia. Dia juga tidak bisa berbicara tetapi ia melakukan telepati denganku.
 
“Kau tahu kan? aku memang tidak senang mencampuri urusan orang lain. Tapi berhubung korban penculikan kali ini Kaya mau bagaimana lagi.”
 
“Siapa Kaya?”
 
“Haah... asal kau tahu saja, dia adalah anak pemilik penginapan tempat kita tinggal malam ini. Dan juga jika dia tidak meyakinkan ayahnya untuk membiarkan tinggal gratis sementara dan memberikan kita makan, mana mungkin aku bisa membiarkannya. Lalu pada dasarnya aku membenci perbudakan.”
 
“Hmm... begitukah? Pada akhirnya kau menyelamatkannya untuk mendapat makanan dan tempat tinggal gratis? Atau itu hanya sebagai alasan untuk menghancurkan tempat perbudakan itu.”
 
“Tebak saja sendiri.”
 
“Hehe... Master memang orang yang baik walaupun tidak mau mengakuinya.”
 
“Jangan ambil kesimpulan seenaknya.”
 
Aku berjalan perlahan sambil berbincang-bincang dengan Nyx. Dia terus memaksaku untuk mengakui kalau aku sebenarnya orang baik. Meskipun begitu aku hanya ingin membantu mereka entah karena apa. Mungkin mereka sedang beruntung....
 
Atau mungkin pedagang budak brengsek itu yang sedang sial.
 
Karena terlalu memikirkan hal yang tidak penting tanpa kusadari aku sudah berada di depan pintu masuk penginapan tempatku tidur malam ini. Di lantai bawah penginapan yang berfungsi sebagai bar pada malam hari terdengar suara isak tangis beberapa orang. Nyx yang melihat wajah rumitku segera menawariku bantuan.
 
“Kau perlu bantuan Master?”
 
“Haah... seperti biasanya. Antar aku ke kamar kita menggunakan kekuatanmu.”
 
Roger, Master!”
 
Aku berjalan memutar ke belakang penginapan. Dari sana aku memicingkan mataku berusaha melihat ke dalam salah satu kamar yang gelap. Tiba-tiba tubuhku terasa seperti tenggelam. Kakiku terbenam ke dalam tanah kemudian perutku, leherku, hingga seluruh tubuhku.
 
Ini adalah salah satu kemampuan khusus Nyx, Shadow Transfer. Dia menggunakan dimensi dalam bayangan sebagai media untuk berpindah tempat. Meskipun begitu jarak maksimal yang bisa ditempuh hanya sejauh mataku memandang dan harus di tempat dengan bayangan. Ngomong-ngomong aku juga bisa menggunakan dimensi dalam bayangan. Walau hanya untuk menyimpan benda.
 
Tubuhku yang terbenam seluruhnya ke dalam tanah terasa seperti dicengkram. Dimensi bayangan memang bukan tempat yang cocok untuk mahluk hidup. Kemudian sebelum kusadari aku sudah berada di kamarku, di depan kasurku.
 
Aku yang sudah tidak ingin berurusan dengan apapun lagi segera merebahkan tubuhku di kasur. Mungkin karena sudah lama tidak melakukan pertarungan pada malam hari kelopak mataku terasa sangat berat. Dan juga beban mental saat menggunakan Slow Motion Perception hari ini masih tersisa karena kugunakan lebih lama dari biasanya. Saat mencari Nyx aku melihatnya tertidur pulas di samping bantalku. Aku mengelusnya beberapa kali.
 
“Haaah... benar-benar malam yang melelahkan.”
 
Perlahan aku menutup kelopak mataku. Sambil merasakan empuknya kasur setelah sekian lama tidur di atas pasir kesadaranku mulai menipis. Bersamaan dengan itu aku terbawa menuju alam mimpi.
 
Secara literal.
 
~~~
 
Di sebuah tempat yang tidak diketahui berdiri dua sosok aneh. Sosok pertama adalah seorang pria berwajah mirip mafia. Dia sedang berjongkok dan ekspresi bosan terpampang jelas di wajahnya. Sosok yang kedua adalah seorang bocah yang mengenakan jas hujan kuning. Di atas lehernya tidak ada kepala yang terlihat melainkan sebuah bantal bersarung ungu.
 
Awalnya sang bocah terlihat sedang menari sambil mengayun-ayunkan tongkat. Kemudian sang mafia mengatakan sesuatu yang membuat si bocah berhenti menari. Kemudian setelah beberapa kali saling berbicara si kepala bantal menyodokkan tongkatnya dan dari ujungnya muncul kembang api warna-warni. Kedua sosok itu memasuki portal warna-warni dan kemudian menghilang.
 
~~~
 
Aku bermimpi.
 
Sudah lama sejak aku memimpikan hal ini.
 
Mimpi dari ingatan yang kulupakan.
 
Aku berlari di sebuah padang salju. Di sebelahku seorang gadis sedikit lebih tua dariku ikut berlari bersamaku. Aku mengenalnya karena dia adalah partnerku untuk misi ini. Kami berlari karena tempat persembunyian kami ditemukan salah satu target kami.
 
Rambutku yang berwarna hitam sangat mencolok di tengah padang salju sementara itu rambutnya yang berwarna putih membaur dengan padang salju. Meskipun sangat lelah kami terus berlari karena tahu hanya kematian yang menunggu di belakang kami.
 
Tiba-tiba sebuah ledakan terjadi. Kami berdua terpental karena ledakan itu. Meskipun berat kupaksa tubuhku untuk bangun. Dari balik ledakan itu muncul orang yang paling kubenci di dunia ini.
 
Rambut pirangnya berkibar tertiup angin. Mata merahnya menatap kami seolah kami ini serangga. Di wajahnya terlihat ekspresi tidak tertarik dengan keberadaan kami. Dia menarik sebilah pedang dari pinggangnya. Pedang berwarna emas dengan corak biru dan hitam itu diacungkannya ke arah kami.
 
Energi berwarna keemasan berkumpul di pedang itu. Corak biru dan hitam di bilahnya bersinar sangat terang. Kemudian pedang itu menembakkan ledakan energi yang sangat besar. Aku yang ketakutan hanya bisa diam terpaku melihat cahaya berwarna hitam-biru itu menerjang ke arahku. Aku menutup mata menunggu rasa sakit datang ke tubuhku.
 
Tetapi rasa sakit itu tak kunjung datang.
 
Sepasang sayap berwarna putih menghalangi ledakan energi itu dan melindungiku. Meskipun begitu sayap itu terluka sangat parah. Bulu-bulu yang rontok dari sayap itu beterbangan ditiup angin. Kemudian sang pemilik sayap berdiri, tersenyum di hadapanku.
 
Dia adalah gadis yang berlari bersamaku.
 
Senyumannya memberi kesan dipaksakan. Meskipun tersenyum dia terlihat sangat sedih. Aku hanya bisa duduk terdiam melihatnya. Bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu. Air mata membasahi pipinya. Kemudian semuanya terjadi begitu cepat.
 
Matanya terbuka lebar menunjukkan keterkejutan. Sebilah pedang berlumuran darah mencuat keluar dari dadanya. Salju di sekitar kami ternodai merah darahnya. Saat itu juga aku merasa cairan hangat mengalir dari kelopak mataku. Karena pedang yang menancap di tubuhnya dicabut tubuh lunglainya jatuh ke hadapanku. Aku secara refleks memeluknya dengan erat.
 
Dia memberikan sesuatu kepadaku.
 
Aku menatap penuh kebencian ke arah pria yang menusuknya. Tetapi dia sudah tidak ada di sana. Dia digantikan dua sosok bayangan. Salah satu dari mereka memiliki bentuk wajah aneh sementara yang satunya lagi bertubuh jangkung. Kemudian si jangkung mengatakan sesuatu.
 
“Reveriers....”
 
“Siapa... kau...”
 
“Mahakarya....”
 
“Kenapa kau lakukan ini!?”
 
“Alam Mimpi....”
 
“Jawab aku!!!”
 
Kemudian semuanya menghilang begitu saja.
 
~~~
 
“Master!!!”
 
“Woah!”
 
Aku terbangun dari tidurku karena suara teriakan yang bergema dalam kepalaku. Kelihatannya Nyx mencoba untuk membangunkanku beberapa kali. Sejujurnya aku ingin kembali tidur. Tetapi aku menyadari sesuatu yang cukup aneh.
 
“Nyx, dimana kita?”
 
“Itu yang ingin kutanya padamu master! Kenapa kita harus berada di padang pasir terkutuk semacam ini!!!”
 
Aku mengamati sekelilingku dan mendapatkan fakta mengejutkan. Kami sekarang berada di tengah padang pasir dan matahari sedang berada tepat di atas kepala kami. Aku tidak mengingat tertidur di atas pasir panas ini maupun tertidur pada siang bolong. Nyx yang berada di sebelahku terus melompat-lompat. Sebagai informasi tambahan Nyx benci sinar matahari.
 
“Hmm... baiklah, lebih baik kita mencari tempat untuk berteduh.”
 
“Aku sudah mencobanya! Tapi entah mengapa setelah pergi beberapa kilometer aku kembali lagi kemari.”
 
Mendengar itu aku merasakan firasat buruk. Tempat di mana kita akan kembali setelah berjalan beberapa saat.
 
“ ... jangan bilang... tidak mungkin, rasanya berbeda....”
 
“Ada apa Master? Kau terlihat kebingungan.”
 
“Ini mengingatkanku pada kejadian sebelum bertemu denganmu.”
 
“Heeeeh... kejadian apa?”
 
“...”
 
Mendengar pertanyaannya aku mengingat kejadian mengerikan itu. Bayangkan kau sedang berada di tengah gurun, kehausan karena perbekalanmu habis dan sedang mencari kota terdekat. Kemudian entah mengapa meskipun kau sudah mengikuti arah yang ditunjukkan seorang pedagang kau tidak pernah sampai di kota itu. Kemudian tiba-tiba datang seorang wanita, memberimu sebuah pedang dan menyuruhmu menyerangnya. Setelah dihajar habis-habisan dia mengatakan hal-hal seperti ‘gaya bertarungmu kurang berseni!’ dan sebagainya, dan mengangkatmu menjadi murid.
 
“Setelah itu mulailah hari-hari penuh latihan neraka. Itulah ceritaku bertemu guru pertamaku.”
 
“Lalu apa hubungannya dengan kejadian kita saat ini?”
 
“Sebenarnya alasan kenapa aku tidak pernah sampai di kota adalah sihir kombinasi antara ilusi dengan sihir barrier. Dan sebenarnya kota tujuanku hanya tinggal beberapa ratus meter.”
 
“Begitukah? Aku ingin bertemu dengannya paling tidak sekali...”
 
“Kusarankan jangan berharap. Dia tidak pernah tinggal di satu tempat yang sama lebih dari 1 minggu kecuali untuk urusan penting. Bahkan setelah berpisah dengannya aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun.”
 
Aku sedikit tersenyum saat mengingat hari-hari berlatih bersamanya. Bagiku yang tidak memiliki sesuatu yang disebut keluarga, bisa dibilang dia terasa seperti ibu. Tidak hanya dia, banyak orang yang kutemui selama perjalananku kuanggap sebagai keluarga, seperti penyihir eksentrik yang menggunakanku sebagai bahan percobaannya, paman pedagang yang mengajariku berhitung, kakak pustakawan perpustakaan ibukota yang mengajariku membaca, dan yang paling menyebalkan sang penulis misterius yang membuat buku tentang setiap pengembara yang dia temui.
 
“Baiklah, sekarang mungkin lebih baik kita cari siapa dalang dibalik semua ini.” ucapku sambil berdiri dan meregangkan tubuhku.
 
“Meskipun begitu aku merasa tempat ini sedikit berbeda.”
 
“Apa maksudmu Nyx?”
 
“Ini hanya firasatku tapi kelihatannya ini sudah bukan di dunia kita lagi.”
 
“... jelaskan padaku.”
 
“Tempat ini lebih terasa seperti dimensi tertutup. Dan aku ragu ada manusia biasa yang cukup kuat untuk membangun dimensi tertutup.
 
Mendengar deskripsi tempat ini aku kembali mendapat firasat tidak enak. Kalau bukan manusia, siapa yang bisa melakukannya? Dwarf sudah di luar pertanyaan, Elf tidak terlalu menyukai konflik, Beastkin tidak bisa menggunakan sihir dengan baik, kalau begitu pilihan terakhir hanyalah Demonkin. Tapi Demonkin adalah salah satu ras yang mengetahui ciri khas Shadowkin dan Angelkin, jadi mereka tidak akan berani mendekati keturunan kedua ras legendaris itu, apalagi Demonkin berumur tua.
 
Kalau tidak salah terakhir kali aku bertemu Demonkin dia langsung berlutut meminta ampun di hadapanku...
 
“Kalau begitu tersangka yang tersisa hanyalah Demonkin muda yang berbakat atau...”
 
“Fenomena Distorsi Ruang yang sering dibicarakan itu kan?”
 
“Jika itu jawabannya maka kita mungkin sudah berada di dimensi yang terus menyusut dan hanya menunggu untuk lenyap.”
 
Sejujurnya aku ingin mencari pencipta fenomena ini sebisa mungkin.
 
Rasa kesal dalam diriku ditambah terik matahari yang tak kunjung terbenam membuat tekanan darahku naik. Dengan segera aku mencelupkan tanganku ke dalam bayanganku mengambil sebuah tudung yang bisa dilepas dan dipasang di mantelku. Dengan segera aku memasangnya dan menutupi kepalaku. Seketika aku merasa rasionalitasku kembali bersama dengan menurunnya suhu tubuhku di sekitar kepala.
 
“Haaah... terasa lebih baik...” ucapku lega.
 
Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami mencari petunjuk untuk keluar dari tempat ini. Nyx yang iri denganku masuk ke balik tudungku dan mendinginkan tubuhnya. Kami berjalan menuju arah yang berbeda dari arah jalan Nyx sebelumnya.
 
Setelah berjalan beberapa menit kami menemui sesuatu yang mengejutkan. Di tengah padang pasir tandus ini berdiri sebuah bangunan setengah hancur. Meskipun begitu, bahkan anak kecil di tepi jalan mengetahui bangunan apa ini.
 
“Teater Para Dewa. Juga biasa disebut Ruin of Light. Beruntungnya kita bisa menemui tempat yang paling kaubenci Nyx.” Ucapku.
 
“Ugh!? Kenapa harus tempat terkutuk ini!!! pertama dijemur di tengah padang pasir, kemudian berteduh dalam rumah para roh cahaya. Siksaan macam apa ini?!”
 
Meskipun banyak menggerutu kami tidak ada pilihan lain. Aku juga merasakan ada keganjilan di sini. Ruin of Light seingatnya berada di Ibukota berhubung aku dan kak pustakawan sering membaca buku sambil memandangi tempat itu.
 
Tempat ini berbentuk seperti arena pertarungan yang cukup lebar dengan kursi penonton mengelilingi area utamanya. Sebelum memasuki area utamanya ada puluhan batu kristal berwarna putih yang tertanam mengelilingi tempat itu. Kami terus berjalan hingga mencapai area utama, yaitu sebuah lapangan kosong.
 
Konon katanya, pada zaman dahulu ada seorang raja yang menggunakan tempat ini untuk memilih persembahan pada dewa dengan mengadu ratusan petarung hingga mati. Setelah tersisa satu petarung, dia dieksekusi di depan umum atas nama dewa. Dewa yang marah membantai keluarga kerajaan dan menghancurkan kerajaan itu. Jiwa para petarung yang mati diubah menjadi roh yang abadi. Pada akhir cerita sebagian kecil roh-roh itu menetap di tempat ini.
 
“Entah mengapa aku merasa ada yang aneh.” Ucapku.
 
“Kau benar Master, biasanya para roh cahaya itu akan datang dan menggangguku tapi....”
 
“Tempat ini terlalu sepi.”
 
Aku dan Nyx segera mempercepat langkah kami menuju area utama Ruin of Light. Kami memasuki pintu masuknya kemudian menuju ruang tunggu dan terakhir sampai di area utama. Tetapi aku melihat sesuatu yang membuatku terkejut.
 
Di lapangan kosong itu berdiri seseorang yang sangat kukenal. Saat melihatnya seketika seluruh tubuhku membeku.
 
Mata merah, rambut emas, kulit putih, dan tubuh tegap meski dia sudah sepuluh tahun lebih tua dariku. Semuanya terlihat sangat familiar.
 
Aku merasa luapan emosi yang kupendam selama ini naik ke permukaan. Benci, marah, keinginan membunuh, dendam, dan semua emosi negatif bercampur aduk menjadi satu. Perlahan dengan lirih kuucapkan namanya.
 
“Leon....”
 
“Snow.”
 
Saat mendengarku dia berbalik memanggilku. Tatapannya benar-benar membuat emosiku lepas kendali. Pedang emas yang tergantung di pinggangnya mengingatkanku akan kejadian di hari itu. Baju baja keemasannya memantulkan cahaya yang berkumpul di tempat ini dan membuatku sedikit kesulitan melihat wajahnya. Meskipun begitu aku dapat melihat sebagian wajahnya. Aku terus menatap dengan penuh kebencian ke arahnya.
 
Kemudian senyuman terukir di wajahnya. Senyuman yang membuatku marah sekaligus takut dalam waktu yang bersamaan. Senyuman tanpa perasaan selain rasa haus darah.
 
“Jadi, kau ingin menyamakan skor?” tanyanya santai.
 
“Tentu saja. Jangan harap aku akan memaafkanmu. Tapi sebelum itu jawab pertanyaanku.”
 
“Baiklah.”
 
Aku menarik nafasku dalam-dalam mencoba menenangkan hatiku.
 
“Kenapa kau membunuhnya? Apa tujuanmu yang sebenarnya?”
 
“Pfft... aku tidak mengira kau akan menanyakan hal itu.”
 
“Jawab saja pertanyaanku.”
 
Dia terdiam sebentar. Dan dengan cepat menjawab pertanyaanku.
 
“Untuk mencari kesenangan.”
 
“Jelaskan.”
 
“Baiklah. Hidupku sejak awal selalu terpenuhi. Jika aku menginginkan sesuatu orangtuaku akan memenuhinya sepenuh hati. Tetapi karena itu aku merasa bosan dengan hidupku di dunia ini. Aku juga mencoba berguru ke beberapa guru besar ksatria atau penyihir kerajaan tetapi mereka juga tidak bisa menghilangkan rasa bosanku. Karena itu saat aku melihat kalian berdua aku berpikir untuk membuat sesuatu yang menyenangkan... dan beruntungnya aku menemukan dua orang pembunuh bayaran yang mengincar nyawaku sedang beristirahat di tengah padang salju. Jadi kupikir aku harus melakukan sesuatu agar hidupku lebih menyenangkan dan jadilah kau.”
 
“Jadi kau membunuhnya hanya untuk alasan macam itu?!” bentakku.
 
“Yah, begitulah. Aku akan menantikan pertunjukan hebat darimu.”
 
Dia mencabut pedangnya dari sarung pedang di pinggangnya. Kemudian ia menusukkan pedangnya ke dalam tanah. Melihatnya melakukan ini aku menyadari gerakan apa itu dan mencabut pisau dan belatiku dari sarungnya dan menusukkan mereka ke tanah.
 
“Aku, Leon Rheinhart menyatakan tantangan duel pada Snow Winterfeld hingga mati.”
 
“Aku, Snow Winterfeld menerima tantangan duel Leon Cromwell hingga mati.”
 
“Mari selesaikan ini semua, Bloody Winter.” Ucapnya sambil menyeringai.
 
“Sejujurnya aku ingin buang jauh-jauh gelar itu. Terutama kau adalah penyebab utama adanya gelar itu.” Jawabku geram.
 
Mengingat hari-hari saat aku melampiaskan kemarahanku pada korban-korbanku membuat amarahku semakin meluap. Aku memantapkan hatiku untuk menghabisi nyawanya. Manusia yang membunuh orang hanya untuk kesenangan tidak punya hak untuk hidup di dunia ini.
 
Beberapa detik setelah pernyataan duel dinyatakan aku mengambil sepasang kristal es berbentuk pisau lempar dari belakang punggungku dan melemparnya. Sejak awal aku tidak peduli dengan peraturan duel atau apapun selama aku bisa membunuh pria ini.
 
Dia dengan mudah menangkis kristal-kristal es yang kulemparkan dengan pedangnya. Tetapi aku terus menerus membuat dan melemparkan kristal-kristal es. Kemudian entah mengapa aku merasa kristal yang kubuat tidak sekuat sebelumnya. Merasakan tidak ada keuntungan menggunakannya lagi, aku menggunakan Shadow Storage dan mengambil beberapa pisau yang dimiliki preman yang kukalahkan semalam. Itu adalah hasil dari kebiasaanku untuk mengambil seluruh senjata orang-orang yang kukalahkan.
 
Satu persatu kuambil pisau-pisau itu dan melemparkannya meskipun aku sudah tahu dia akan dengan mudah menangkisnya. Disaat dia sibuk menangkis pisau-pisau berkarat itu aku mengambil kedua senjataku yang tertanam di tanah dan berlari ke arahnya. Aku melancarkan tebasan diagonal dengan belati putihku yang berhasil ditangkisnya. Kemudian aku menebasnya sekali lagi dengan pisau hitamku. Dia melompat ke belakang menghindari tebasanku.
 
“Hou... cukup pintar. Sejujurnya aku tidak mengira kau akan menggunakan trik murahan semacam itu.”
 
“Aku tidak peduli trik apa yang kugunakan selama trik itu bisa membunuhmu.”
 
Tanpa basa-basi dia berlari ke arahku dengan sangat cepat. Sebelum aku bisa menyiapkan diri ia menebasku dengan pedangnya. Aku dapat menghindari tebasan itu meskipun mantel dan bahu kananku menjadi korbannya. Mungkin luka di bahuku tidak terlalu dalam, tetapi tetap saja luka itu memperlambat gerakanku.
 
Aku kembali menggunakan Shadow Storage dan mengeluarkan sebuah tombak sepanjang 2 meter. Aku merasakan perasaan yang aneh seperti sebelumnya dan tombak yang ingin kukeluarkan terasa lebih berat. Meskipun begitu dengan lancar aku mencabut tombak itu dan melemparnya. Leon yang lengah terkena tusukan dangkal di perutnya. Kelihatannya traumaku kembali untuk menghantuiku. Meskipun begitu dia dengan mudah mencabut tombak itu dan menyerbu ke arahku.
 
Aku menyerbunya dengan serangkaian tusukan dan tebasan. Meskipun bahu kananku terluka aku yakin luka di perutnya lebih parah. Bunyi benturan antara pisauku dan pedangnya bergema di tempat ini. Tebasan pedangnya berhasil kutepis, tusukanku berhasil dihindarinya, dia menusuk dan menggores pipiku, tebasan pisauku mengenai celah baju bajanya.
 
Setelah saling melancarkan serangan dia melompat mundur menjaga jarak. Beberapa bagian tubuhnya yang tidak terlindungi baju baja terkena luka goresan. Kondisiku lebih buruk darinya. Beberapa bagian mantelku sobek karena tebasannya dan luka yang cukup dalam dapat terlihat dari sobekan di mantelku.
 
“Kelihatannya aku perlu sedikit serius.” Ucapnya.
 
Dia memposisikan pedangnya di depan tubuhnya. Aku mendapat firasat buruk tentang kuda-kudanya. Aku merasa pernah melihat kuda-kuda itu. Sialnya firasatku benar.
 
Pedang di tangannya mulai bersinar sangat terang. Secara refleks aku menghindar ke arah samping kananku meskipun tidak ada apapun. Tiba-tiba sebuah gelombang energi berbentuk tebasan membelah tanah tempatku berdiri sebelumnya. Keringatku mengucur deras melihat celah yang cukup dalam tertinggal di tempatku berdiri sebelumnya.
 
“Sepertinya instingmu cukup kuat untuk menghindari serangan itu.”
 
“Sejujurnya aku sudah menduga kau akan menggunakan teknik favoritmu itu.”
 
Manablade. Teknik yang baru saja Leon lakukan. Teknik ini menginjeksikan mana dalam jumlah besar pada pedang dari bahan tertentu dan melepaskannya dalam bentuk tebasan atau tusukan. Teknik ini adalah teknik yang gagal kukuasai saat bersama guruku.
 
“Kalau begitu coba hindari ini!”
 
“Ugh!?”
 
Dia kembali menebaskan pedangnya. Aku yang sedikit terlambat menghindarinya terhempas beberapa meter. Aku mendarat dan berguling sebelum berhenti mencengkram tanah. Tanpa menungguku bersiap-siap Leon kembali melancarkan Manablade dalam bentuk tusukan. Aku menghindari mereka dengan susah payah. Sesekali aku membalasnya dengan melempar kristal es. Meskipun begitu kristal es yang kulempar menghilang begitu saja saat mengenai Manabladenya hingga akhirnya karena sesuatu yang tidak kuketahui aku tidak bisa menggunakan sihir esku.
 
“Apa hanya sampai sini saja?”
 
“Diamlah pirang sialan.”
 
Aku melihat ke sekitarku untuk mencari tempat bersembunyi. Bertarung dengannya di tanah lapang sama saja dengan bunuh diri. Saat aku melihat ke sudut Ruin aku menyadari sesuatu.
 
“Nyx, apa kau mendengarku?” ucapku secara telepati pada Nyx.
 
“Kenapa Master? Kalau kau memintaku menghadangnya aku minta maaf tapi mana elemen cahaya miliknya terlalu menyakitkan.”
 
“Tidak perlu, apa kau masih bisa menggunakan Shadow Transsfer?”
 
“Hanya tiga kali.”
 
“Baiklah, saat kuberi aba-aba pindahkan aku ke bangku penonton.”
 
“Baik, Master.”
 
Aku memicingkan mataku berusaha melihat ke arah bangku penonton. Meskipun bangku penonton di tempat ini hanya berbentuk seperti anak tangga ada sebuah pagar pembatas antara bangku penonton paling depan dan arena. Saat itu juga tubuhku terasa tenggelam ke dalam tanah dan kembali keluar di belakang bangku penonton.
 
“!!?”
 
Kelihatannya gerakan barusan berhasil mengejutkannya. Aku buru-buru menyembunyikan hawa keberadaanku dan bersembunyi dibalik pagar pembatas. Jika dia mengetahui posisiku mungkin aku harus bermain kejar-kejaran dengan tebasan energi lagi.
 
“... jadi, apa kau ingin bermain petak umpet sekarang? Bloody Winter.”
 
Ingin sekali rasanya aku melemparkan beberapa kristal es ataupun pisau yang masih tersisa di bayanganku. Tetapi entah mengapa aku tidak bisa menggunakannya. Mungkin lebih tepatnya aku merasa lupa.
 
Aku menstabilkan nafasku. Rencana ini adalah satu-satunya cara bagiku untuk kembali hidup-hidup sekaligus membalaskan dendamku. Tetapi jika rencana ini gagal aku harus mengatakan selamat tinggal pada kehidupan.
 
Matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat. Bayangan dinding Ruin of Light mulai semakin membesar. Leon melakukan kesalahan fatal dengan berdiri membelakangi dinding bagian barat dan dengan percaya diri berdiri menghadap ke timur.
 
Semua sudah siap di tempatnya.
 
“Nyx, sekarang!”
 
“Roger!”
 
Tubuhku kembali ditelan bayanganku sendiri. Kemudian tanpa kusadari aku sudah berada di belakang Leon. Dia membalikkan badannya dan menatapku terkejut. Namun semuanya sudah selesai.
 
Dengan cepat aku menusukkan pisau hitam di tanganku ke dadanya. Darah menyembur dari lukanya, mengotori wajahku. Matanya terbelalak dan menatapku dengan penuh kebencian.
 
“Guh... kelihatannya... aku lengah....”
 
“Selamat tinggal, pirang brengsek.”
 
“Kutunggu... kau di... neraka....”
 
Pada saat itu nafasnya terhenti.
 
Aku menjatuhkan tubuhku ke samping kanan tanpa peduli genangan darah di bawahku. Entah mengapa tubuhku terasa sangat lelah setelah membalas dendamku. Aku tidak merasakan penyesalan sedikitpun setelah membunuh pria ini. Paling tidak aku tidak perlu menggunakan teknik itu.
 
Tepat saat itu aku menyadari satu hal. Sebuah petunjuk untuk memenuhi tujuanku.
 
Kehidupan adalah hal yang rapuh. Satu tusukan di jantung dan semuanya selesai. Entah mengapa aku merasa sedikit frustasi mengetahui kalau semuanya selesai hanya dengan ini.
 
Mungkinkah setiap orang hidup untuk menikmati kehidupan yang rapuh ini?
 
Saat aku sibuk memikirkan hal itu muncul portal berwarna-warni sedikit jauh dariku. Dua sosok muncul dari dalam portal itu, seorang gadis yang mengenakan pakaian perang dan anak kecil berkepala... bantal mungkin?
 
Aku bersusah payah mendudukkan tubuhku.
 
“Halo kakak, tadi itu pertarungan yang menarik.” Ucap si kepala bantal.
 
“Kau menggunakan trik yang cukup cerdik untuk mengalahkan orang yang lebih kuat darimu. Menarik.” Ucap gadis di sebelahnya.
 
“Terima kasih... dari cara kalian bicara sepertinya kalian yang membuat distorsi ruang ini kan?”
 
“Distrosi... apa? Makanan macam apa itu?”
 
“Sebenarnya tebakan anda betul sekaligus salah.”
 
“Jadi... bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Biasanya aku tidak mencampuri urusan orang lain tapi berhubung kali ini aku terlibat di dalamnya aku ingin tahu.”
 
“Baiklah~ tapi sebelumnya, ini hadiah untuk kakak karena berhasil menyelesaikan tugas!”
 
Si kepala bantal memberikan sesuatu yang berbentuk seperti gumpalan kapas kepadaku. Saat aku menyentuhnya tiba-tiba terdengar suara aneh.
 
“Mbeeek...”
 
“Eh? Domba?”
 
“Baiklah kak, ikuti kami! Jangan lupa bawa dombanya ya.”
 
Aku menghela nafas dan mengikuti mereka berdua. Hari ini terlalu banyak hal yang terjadi sampai-sampai aku tidak tahu harus bicara apa. Kurasa perjalanan ini masih panjang. Semoga tidak ada hal aneh terjadi untuk sementara waktu.
 

END?

14 komentar:

  1. cerita yang bagus walaupun ada sedikit typo. pembawaan karakter OCnya mudah dipahami. semoga lolos ke babak selanjutnya.

    nilai dari saya 8

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk komentarnya kak, awalnya sebelum dikirim sudah saya baca ulang dan rasanya sudah bear tapi setelah dipost saya baca ulang ternyata masih banyak yang salah. jadi sadar kalo agak ceroboh.

      sekali lagi terima kasih komentarnya, semoga kakak juga bisa lolos ke babak selanjutnya

      Rangga Rahman A

      Hapus
  2. Haloo Rang xD

    Aku sebagai temanmu di dunia nyata ngerasa agak canggung ngeliat ceritamu yang bagus dan dipaket dengan menarik.

    Untuk jalan ceritanya sih aku suka. Gimana kamu mendeskripsikan karakter ataupun kemampuan secara mendetail dan mudah dipahami

    Untuk tata bahasa ataupun EYD-nya sih kurang ngerti soalnya aku sendiri masih bingung tentang EYD. Tapi keliatannya udah benar dan tepat

    Yang terakhir, kamu ngebuat narasinya terlalu panjang dan agak membosankan dengan kata yang diulang-ulang terus.

    Itu aja kayaknya sih. Bareng-bareng ke babak selanjutanya ok?
    Saya nilai 8/10

    Raditya Chema
    OC : Zauber Magi

    BalasHapus
  3. Rasanya aneh, cerita ini dimulai dengan pov3 tapi di tengah" tau" ganti jadi pov1 snow. Yah, ga masalah sih, cuma kurang smooth aja. Abaikan

    Battle di entri ini termasuk tipe yang mudah dicerna. Saya juga lumayan suka gimana Snow perlahan" kehilangan kemampuan es dan susah ngambil barang dari bayangan, dan ditutup dengan stay true ke kemampuan dasarnya : assassination

    Nilai 8

    BalasHapus
  4. ...Jadi Leon ini influencenya Gilgamesh? /plak

    Karakterisasinya udah pas, membuat pembaca seperti saya langsung kenal karakter Snow.
    Typo itu tidak bisa dihindari(?), mungkin juga Karena deadline.

    Pertarungannya sendiri juga udah keren menurut saya.

    8/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih komentarnya

      Emang udah ketebak ya Leon terinspirasi dari Gilgamesh... memang lagi marathon Fate UBW waktu cari inspirasi sih :v

      Hapus
  5. Hmm, entri ringan dan mudah dimengerti.

    Gak bisa banyak komentar karena entri ringan dan mudah dimengerti tak perlu banyak yang dikomentari. Paling hanya bisa berkata bahwa rasanya perpindahan/transisi adegan-ke-adegan kurang halus aja.

    Overall entri ini sudah menyampaikan dengan baik.

    Saya titip 8.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  6. Leon Rheinhart atau Leon Cromwell? Itu tokoh yang sama, tahu! Kan cuma ada Snow, Nyx dan Leon saja.

    Abaikan pertarungan batin diatas.

    Ceritanya menarik jadi penasaran sama gadis malaikat yang bersama snow, tapi sayangnya dia sudah mati.

    Keseluruhan cerita dapat dibawakan secara halus dan enak dibaca, kecuali paragraf yang panjang. Mungkin ini pendapat pribadi saya, saya enggak biasa baca paragraf panjang soalnya.

    8 dariku
    -=AI=-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha... sebenernya Leon itu karakter yang dibuat detik-detik terakhir. Awalnya rencananya saya mau buat Snow lawan pasukan Golem sama boss-nya Naga tapi dapat ilham untuk dibuat duel satu-lawan-satu dengan sumber traumanya. Ditambah lagi Leon itu namanya saya ambil acak dan nama belakangnya awalnya cuman buat menambah kesan bangsawan.

      Hapus
  7. ada beberapa bagian narasi yg agak janggal buat dibayangkan. ane ambil satu aja.

    Tiba-tiba sebuah ledakan terjadi. Kami berdua terpental karena ledakan itu. Meskipun berat kupaksa tubuhku untuk bangun. Dari balik ledakan itu muncul orang yang paling kubenci di dunia ini.

    Kondisi MC masih "terbang" dan belum jatuh atau menabrak sesuatu, mosok bisa bangun di udara?

    tp secara keseluruhan entri ini ringan dan gampang diikuti. apalagi ada penampakan malaikat.

    7

    AXel

    BalasHapus
  8. Ringan seringan kapas
    nikmat senikmat permen kapas
    Nilai sembilan? pantas. --Kaminari Quotes.
    #Abaikan

    Enjoy bacanya. Ada typo dan bagian narasi yang bikin "Out of Breath" alias gak ada jedanya. Jadinya kayak Running Text di TV, tapi kelewat cepat. Menges bacanya, kalo kata orang jawa.

    Nyaris aja 7, tapi karena karakteristik Nyx mengingatkan saya akan Replica (autonomous Trion Warrior di World Trigger), melejit 9

    OC: Kaminari Hazuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenapa? karena Nyx juga sebagai mediator kekuatan Snow itu sendiri. Truly partner ini

      Kalo enggak, si Snow bisa mindbreak nampung semua kekuatannya.

      Hapus
  9. Gaya narasinya tell, kurang mudah dicerna kalimatnya, dan ... kurang ada perasaan karakternya. Antagonisnya belum solid sebagai karakter. Istilahnya karakter statis/tidak bulat. Coba ditunjukin lebih dari satu sisi kepribadian. Tapi Snow-nya cukup jelas.

    Adegan awal lawan bos plus centeng-centengnya itu buat apa? Apa saya melewatkan sesuatu? ._.

    Perpindahan sudut pandangnya saya rasa kurang perlu, ya. Walau nggak ganggu banget karena penceritaannya masih oke.

    Ada:
    "Aku, Leon Rheinhart menyatakan tantangan duel pada Snow Winterfeld hingga mati.”

    “Aku, Snow Winterfeld menerima tantangan duel Leon Cromwell hingga mati.”

    :))))

    Titip 7

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  10. Entah kenapa, ketika melihat seberapa kuatnya Leon di awal-awal, kok kerasa terlalu gampang buat dibunuh hanya dengan seperti itu ya?
    Battle-nya di awal juga nggak menjelaskan apapun selain pertarungan. Nggak ngaruh ke plot.
    Selain itu, udah bagus.

    7

    Gold Marlboro

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.