Senin, 13 Juni 2016

[PRELIM] 62 - CATHERINE BLOODSWORTH | VICTIM

oleh : Xeon4rvellen
--

    Angin malam yang dingin berhembus kencang melewati jalanan utama Downtown, sebuah tempat bagi para petualang yang telah menyelesaikan misi mereka untuk kembali pulang. Hiruk-pikuk manusia yang melewati tempat ini seolah memberikan kehidupan bagi kota kecil di sebuah negeri yang tengah sekarat bernama Schattenheim.

    Diantara kerumunan orang yang berlalu-lalang itulah aku berada. Aku, gadis cantik berkulit putih agak pucat, berambut hitam panjang dengan sidetail di sebelah kiri dan mengenakan sweater merah yang tertutup oleh mantel berwarna abu-abu berkancing terbuka untuk melindungi diri dari udara malam. Sambil menikmati roti isi di tanganku, aku menyandarkan diri ke dinding batu tepat di samping jalanan sempit yang memanjang, layaknya jalur menuju kegelapan terdalam.

    Kualihkan pandanganku ke sekitar, seorang pria yang terlihat berusia dua-puluhan tampak melirik, mencuri pandang ke arahku dan berjalan mendekat. Dari penampilannya, sepertinya ia adalah seorang petualang yang tengah menikmati kehidupan malam di kota ini. Berjalan-jalan di malam hari tanpa membawa senjata, kau ini masih amatiran rupanya.

    "Sendirian saja, nona manis?" pria itu mendekati diriku, "Mau kutemani melewati dinginnya malam ini berdua saja?"

    Hmm...?

    Ohhh!!

    Aku ditaksir! Wajar saja sih, aku, Catherine Bloodsworth memang memiliki rupa menawan yang tak bisa dipungkiri oleh siapapun! Hohoho, sepertinya aku bisa mendapatkan uang jajan tambahan dari orang ini.

    "Yaah, melewati malam hari sendirian itu memang membosankan. Heehee... kamu mau menemani kakak yang kesepian ini berdua saja, untuk melewati malam yang dingin?" rayuku, dengan nada manis.

    Pria itu menjawab rayuanku dengan mengangguk dan tertawa, dasar gampangan. Merasa sukses mendekatkan diri denganku, ia kemudian mengajakku pergi untuk mencari tempat dimana kami bisa menghabiskan waktu sepanjang malam tanpa diganggu oleh siapa pun. Kugenggam tangan kanannya dengan lembut, lalu kubawa dirinya menyusuri jalanan sempit, menjauh dari kerumunan orang di jalan utama sambil mengobrol ringan. Dari percakapan kami, kuketahui bahwa ia adalah seorang petualang yang mencari nafkah dengan cara membersihkan racun di area yang telah terkontaminasi oleh miasma, ancaman kedua bagi dunia ini setelah perang yang berkesinambungan.

    Tiga puluh tahun lamanya telah berlalu semenjak perang besar berakhir, namun tidak pernah ada kedamaian yang memberkahi Schattenheim. Seolah muak dengan tindak-tanduk manusia yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan mereka, sang Ibu Pertiwi memberikan sebuah bencana besar kepada negeri ini. Kabut miasma beracun menutupi hampir seluruh negeri, membunuh mereka yang tersisa dan menggerogoti dunia ini tanpa ampun.

    Merasa telah jauh dari keramaian, pria itu kemudian merapatkan bibirnya padaku sambil mendekapku dengan erat. Ia lalu mencoba untuk memasukan lidahnya yang bergerak liar kedalam mulutku, sembari menyentuh tubuhku di berbagai tempat.

    Hei! Aku tahu kalau diriku ini memang menggoda, tapi jangan pegang-pegang seenaknya! Yah, apa boleh buat. Walaupun lebih cepat dari waktu yang kuperkirakan, tapi sepertinya orang ini sudah tidak sabar lagi.
"Hahh... hahh... apa masih jauh?" Napasnya terengah-engah, "Tempat ini sudah cukup jauh dari keramaian, mau melakukan apapun di sini tidak masalah, kan?"

    "Eheheh, dasar nakal! Sudah nggak sabar ya?" tanyaku. Sambil mendekatkan bibirku ke telinganya, kubisikkan kata-kata dengan nada pelan, "Kalau begitu, boleh kulihat punyamu?"
Pria itu mengangguk, memberikan tanda setuju sambil tersenyum. Kedua lengannya meraih ritsleting celana panjang miliknya, mencoba untuk memperlihatkan kejantanannya padaku.




    Akan tetapi, bukan benda itu yang ingin kulihat.




    "Terima kasih," ucapku sambil merogoh pisau di paha kananku yang tertutup oleh mantel.

    Dengan satu ayunan yang mengarah ke atas, kubelah abdomen pria itu hingga ususnya terburai. Matanya terbelalak ketika menyadari isi perutnya tercerai-berai di atas tanah. Mulutnya mengeluarkan suara erangan kesakitan sebelum kubekap dengan tanganku, lalu kujatuhkan dirinya ke permukaan tanah yang telah digenangi oleh cairan pekat berwarna merah.

    "Psshhh... jangan berisik," kudekatkan jari telunjuk tangan kananku ke arah bibirku yang tersenyum lebar, "tenang saja, kakak akan memperlakukanmu dengan baik. Nikmatilah pelan-pelan, eheheh... ehehehehehehe..."

    Dua tusukan kembali kuberikan sebagai hadiah tambahan pada bagian leher dan jantung pria itu untuk membuat dirinya berhenti meronta, lalu kubelah tulang dadanya dan kupotong kedua paru-parunya dengan pisau andalanku, Hexennacht. Tubuh pria yang berada dalam keadaan sekarat itu terlihat berkedut-kedut ketika darah merah mengalir lepas dari luka yang kubuat sebelum ia mati terkapar.

    Ahhh... memotong tubuh manusia dengan pisau itu memang merupakan sebuah sensasi yang tak terlukiskan. Sayangnya, pisau milikku ini cukup tajamtidak, lebih tepatnya terlalu tajam. Bahkan tulang sekalipun dapat kupotong dengan mudah menggunakan benda ini, sehingga tekstur benda yang kupotong tidak bisa kunikmati sepenuhnya. Bukan berarti aku tidak puas dengan performa pisau ini, sih.

    Setelah mengeluarkan paru-paru dan jantungnya, tampaklah organ kembar berbentuk seperti butiran kacang berukuran besar dengan warna merah keunguan. Yap, ginjal orang ini  bisa kujual dengan harga cukup tinggi di pasar gelap. Dengan cekatan, kupotong salah satu ginjal miliknya, namun tiba-tiba aku merasakan hawa keberadaan seseorang di dekatku.

    "Reveriers" sebuah kata yang tak kumengerti maknanya terucap dari sekelebat bayangan yang bergerak menuju kegelapan. Ugh, bisa repot kalau seseorang melihat kejadian ini dan melapor kepada para penegak hukum. Lebih baik kuhentikan dahulu pengambilan organ dan mulai memburu orang yang mengucapkan kata itu.
Tak mempedulikan tapak darah dari tiap langkahku, aku berlari mencoba untuk menyusul orang yang kemungkinan melihat aksiku tadi. Untung saja jalan di daerah sini sempit dan tak memiliki banyak cabang, hanya perlu memasang telingaku untuk fokus mendengarkan kata-kata yang tak jelas kudengar, tapi setidaknya cukup untuk mengetahui posisi keberadaan mereka.

    "Mahakarya..."

    "...alam mimpi..."

    Suara itu terdengar samar-samar dari belokan yang terdapat tidak lebih dari lima meter di depanku. Kugenggam salah satu pisau milikku dengan erat, lalu berbelok dengan kencang tanpa mengurangi kecepatan berlari. Akan tetapi, sebuah hal aneh terjadi saat aku hendak berpijak ke tanah. Telapak kakiku tak menemukan adanya tempat untuk menapak sehingga diriku terjatuh ke dalam lubang gelap yang tak terlihat dasarnya.

    Eh? Walaupun ini tempat terpencil, tapi masih di dalam kota kan? bagaimana ceritanya bisa ada lubang sedalam ini!?

    Secara panik, aku mengulurkan tanganku dan mencoba untuk menggenggam benda apapun yang bisa menghentikan atau setidaknya mengurangi kecepatan diriku yang sedang terjatuh. Akan tetapi, semua tindakan yang kulakukan itu sia-sia. Tak satu pun benda yang dapat kuraih, sementara pemandangan diluar permukaan lubang dapat kulihat semakin mengecil, seolah-olah ditelan oleh kegelapan total. Sekitar sepuluh detik kemudian, tubuhku menghantam dasar lubang dengan keras.

                                                                                             ***

BRAK!

    Kubuka kedua mataku pelan-pelan, kemudian dapat kulihat lampu yang bersinar redup menggantung di langit-langit ruangan. Bau obat-obatan yang cukup menyengat tercium dari sekitarku, bersamaan dengan berdirinya seorang wanita berusia awal tiga-puluhan yang tampak menatap diriku terjatuh dari sofa dengan mata sayu berwarna hijau cerah miliknya. Wanita itu memiliki rambut pirang sebahu dan mengenakan jas putih seperti yang biasa digunakan oleh para dokter di rumah sakit. Namanya Angie, ia adalah seorang dokter bedah ilegal yang merupakan kenalanku sejak lama. Rupanya, aku terbangun dari mimpiku setelah tertidur di rumah Angie.

    "Kau... mimpi jatuh?" Angie bertanya, lalu meneguk teh dingin dari cangkir di meja kerjanya. Sepertinya karena kegaduhanku, ia ikut terbangun dari tidurnya. "Bangun tidur sudah bikin ribut saja."

    "Yah, aku bermimpi menjadi seorang bidadari yang jatuh dari surga," aku tersenyum menyombongkan diri. Jatuh ke dalam lubang itu nggak elit! Daripada jadi bahan tertawaan, mendingan kulebih-lebihkan saja supaya menarik.

    "Oh? jadi sekarang kau mengakui kalau dirimu itu setan? Memang terdengar pas buatmu."

    Grrr... kau menang kali ini, Angie! Kau dan mulutmu yang tajam itu!

    Tak seberapa lama berlalu setelah interaksi singkat kami, suara ketukan yang cukup keras terdengar dari arah pintu masuk. Aku menoleh sebentar ke arah jam dinding dan kulihat jarum jam itu menunjukkan waktu pukul setengah tiga pada dini hari.

    "Buka pintunya, Cathy."

    "Hmph! Tidak mau! Ini rumahmu, buka saja sendiri!"

    "Cathy."

    "..."

    "Catherine Bloodsworth," Angie memanggilku dengan nada datar, "Buka. Pintunya."

    "Yaaa, siapapun di luar sana, tunggu sebentar!"

    Kalau Angie sudah memanggilku seperti itu, berarti dia sedang kesal. Terpaksa aku menuruti kemauannya, karena Angie seram kalau sedang marah. Setelah mengenakan mantelku, aku membuka pintu depan dan terlihatlah sosok seorang kakek tua berhidung bengkok dengan matanya yang melotot dibalik sebuah monokel. Tubuh pendeknya yang bungkuk disangga oleh sebatang tongkat kayu dan ditutupi oleh mantel berwarna coklat beserta syal hitam, membuatnya terlihat seperti seorang bangsawan. Sebuah topeng berwarna hijau gelap yang memiliki bentuk bagaikan paruh burung besar terikat di sisi kiri atas wajahnya.

    "Maaf, kek. Umurmu sudah terlalu tua untuk jadi donor organ."

    "Hohoho, tenang saja nak, aku kemari bukan untuk itu."

    "Kalau begitu, surat tanda kematian palsu? Mau dengan batu nisannya juga? Sekalian, untuk membuat makam tiruan."

    "Dasar anak tidak sopan," kakek itu mengetuk pelan kepalaku dengan menggunakan tongkatnya.

     Aduh! Hei, jangan salahkan aku! Sebagian besar orang tua yang mendatangi tempat ini antara ingin menjual organ tubuhnya demi uang untuk anak cucu mereka atau ingin membuat surat tanda kematian palsu supaya bisa kabur setelah ketahuan korupsi!

    Sesaat kemudian, suara kepingan kaca yang pecah terdengar nyaring dari arah belakang. Angie yang biasanya tak menunjukkan banyak ekspresi tampak terkejut, sampai-sampai ia menjatuhkan cangkir teh miliknya. Baru pertama kali ini kulihat raut wajahnya yang tampak begitu pucat.

    "Hector..."

    "Lama tidak berjumpa, Angela Lucernia Nightingale," kakek di depanku tersenyum menyeringai, "atau kau lebih senang kupanggil Angie, hmm?"

    "Kenapa kau bisa ada disini?! Kau... kau seharusnya..." Angie tergagap.

    "Sudah mati di pertempuran terakhir kita, itu yang ingin kau katakan? Ayolah, aku tahu kau tidak sebodoh itu," kakek bernama Hector itu terkekeh pelan, "setelah kekacauan terjadi, kau pergi dengan membawa benda itu, bukan? Aku datang untuk mengambilnya kembali."

    "Aku... tidak tahu apa yang kau bicarakan."

    "Jangan bohong, Angie," ucap Hector dengan tegas, "Aku ingin mengambil Ira kembali, lalu bersama dengan dirimu dan rekan seperjuangan kita, kita akan menyelesaikan perang dan menaklukkan dunia ini!"

    Hmm?! Ira? Maksudmu Hexennacht Ira, pisau dengan permata merah itu? Sayang sekali, kek. Pisau itu sudah menjadi milikku dan takkan kuserahkan pada siapa pun.

    "Perang sudah berakhir, Hector! Kekuatan kita sudah tidak diperlukan lagi oleh negeri ini!" balas Angie.

    "Angie... kau sadar dengan ucapanmu? Tugas kita sebagai SchwarzeritterKsatria Hitam, adalah untuk menaklukkan musuh-musuh yang menghalangi kita untuk menguasai dunia ini demi Yang Mulia!"

    "Paduka Raja telah gugur di medan perang terakhir! Sadarlah, Hector! Akibat perang yang terus berlangsung, dunia ini sekarang berada diambang kehancuran!"

    "Semakin besar pula alasan bagi kita untuk mengambil alih dunia ini, Angie! Hanya kita yang sanggup memimpin negeri ini sebelum kehancuran melanda!"

    Sebelum ikut terseret oleh pembicaraan kalian, lebih baik aku segera melarikan diri!

    Kulangkahkan kakiku secara pelan untuk menjauhi kedua orang yang tampak berdebat itu, namun sang kakek dengan cepat menggunakan tongkatnya untuk mengetuk belakang panggulku. Suara dentingan pelan terdengar ketika tongkat itu menumbuk pisau yang kusembunyikan di balik mantel, ini gawat.

    "Kenapa terburu-buru, nak? Malam-malam begini mau keluyuran, dasar anak muda jaman sekarang."

    "Eeh...? Yah, na-namanya juga anak muda jaman sekarang, kek! Mumpung masih muda, jadi harus bersenang-senang tiap hari! Party all night, gitu! Adieu!"

    Aku mencoba untuk mulai berlari, namun dengan bagian pegangan tongkatnya yang berbentuk kait, kakek itu menahan kerah mantelku. Oi! Yang benar saja! Orang setua dia seharusnya berjalan saja repot, tapi dia sanggup menahan diriku hingga tak bisa bergerak.

    "Kau tidak boleh pergi, nak," Hector terkekeh pelan, "tidak sebelum kau memberikan benda yang kau sembunyikan di balik mantelmu itu padaku."

    Dengan gerakan berputar ke samping, kutendang kepala kakek itu sekuat tenaga menggunakan kaki kananku. Tubuhnya terhempas dengan bunyi 'krek' pelan, tulang lehernya pasti patah. Angie yang terkejut melihat tindakanku tampak berdiri mematung.

    Tenang sajalah, kakek itu sudah kubereskan! Tapi, tak kusangka kakek itu selemah ini. Kukira dia sangat kuat karena bisa membuat Angie ketakutan, mungkin dia cuma terkejut.

    "Menendang kepala orang tua saat pertama kali bertemu. Dimana sopan santunmu, gadis muda?"

    "Eh?"

    Kakek bernama Hector itu kembali berdiri dengan kepalanya yang tampak berputar menghadap sisi lain secara abnormal. Jelas-jelas lehernya sudah patah, bagaimana mungkin dia bisa bertahan hidup?
Menggunakan kedua tangannya, Hector memutar kepalanya hingga kembali seperti keadaan semula. Ia lalu mengambil beberapa benda dari balik mantelnya, suntikan yang berisi cairan aneh dengan berbagai warna.
Kuambil pisau dengan permata berwarna merah yang berada di belakang panggulku dan bersiap untuk melawan Hector. Sebenarnya aku tidak suka bertarung, tapi apa boleh buat. Kakek ini sepertinya tidak akan mundur hanya dengan gertakan saja.

    "Ooh...! ada di situ kau rupanya," gumam Hector, "lebih baik kau berikan pisau itu padaku sekarang, nak. Kau tak tahu seberapa bernilainya benda itu."

    "Hei, kakek. Kalau kau bilang benda ini bernilai, mana mungkin aku berikan begitu saja! Setidaknya barter dengan barang sejenis, kek!"

    "Tidak ada benda yang bernilai sama dengan pisau itu, nak. Benda itu adalah bukti bahwa akutidak, kami adalah prajurit khusus yang memimpin perang terakhir di negeri ini."

    Kami? Tunggu sebentar, bukannya itu berarti Angie juga termasuk? Yang bener, lu!? Memang sih, penampilannya tak banyak berubah semenjak ia menolongku sembilan tahun yang lalu. Tapi, bukannya itu berarti usianya sudah di atas enam puluhan dan penampilannya tetap awet muda? Ajari aku teknik rahasiamu, Master!

    "Cathy! Cepat pergi dari sini!" Teriakan Angie memecahkan lamunanku.

    "Tak akan kubiarkan!" tegas Hector.

    Hector lalu menyuntikkan cairan berbagai warna itu pada dirinya sendiri, kemudian tubuhnya tampak membengkak hingga tingginya mencapai tiga meter. Pakaian yang ia kenakan kini robek di beberapa tempat, memperlihatkan otot-ototnya yang berubah kekar dan urat pembuluh darah berwarna biru kehijauan tampak timbul pada permukaan kulitnya.

"Curang! Doping! Kalau kakek ini seorang atlet, seharusnya sudah kena diskualifikasi, tahu!"

    "Tak pernah ada kata curang dalam perang, nak. Hanya persiapan atau mati!"

    Dengan satu hentakan kaki kanannya, Hector yang telah menjadi monster bertopeng hijau itu kini berada di hadapanku. Secara refleks, aku menyilangkan kedua tanganku untuk menahan serangan yang akan datang dan benar saja, tangan kanan Hector yang terkepal melancarkan sebuah pukulan keras hingga melemparku keluar rumah dan terpelanting di atas lapangan tanah berpasir.

    Hmm? Pasir? Tunggu sebentar, rumah Angie berada di dalam gang sempit yang terpencil di dalam kota, bagaimana mungkin bisa ada lapangan berpasir seluas ini di tempat seperti itu?

    Sambil menahan rasa sakit, kuperhatikan keadaan di sekitar. Tanah kosong berpasir dengan pepohonan kering serta bebatuan tampak menghiasi daerah sekelilingku. Di sisi lain, kulihat rumah Angie berjajar dengan rumah-rumah kecil yang tampak tak terawat. Sepertinya aku pernah melihat tempat ini, namun sesuatu terasa mengganjal.

    Ah! Tidak ada waktu untuk berpikir yang tidak perlu!

    Hector yang telah memukulku kini mendekat dengan kecepatan yang tak masuk akal untuk tubuh besarnya. Kuayunkan pisau di tangan kananku pada dirinya, namun ia menghindari sayatan itu dengan gerakan memutar ke samping, lalu membalas dengan menghantam perutku menggunakan tendangan kaki kanannya hingga aku terhempas. Pisau dengan permata merah yang kugunakan untuk bertarung pun terlepas dari genggaman tanganku.

    "Uhuk...! Oeeeeghhh...!" aku mengerang kesakitan sambil memuntahkan darah berwarna hitam pekat.

    "Cathy!" Angie berteriak sambil menghampiri diriku.

    "Oh...? Sebuah warna yang tidak umum untuk darah manusia," Hector mendekat untuk memperhatikan darah yang kumuntahkan tadi. Tangan kanannya kini menggenggam Hexennacht Ira yang terlepas dari peganganku, "ini... hasil kontaminasitidak, mutasi dari miasma?  Hohoho, menarik! Baru kali ini aku melihat seorang manusia yang bermutasi diakibatkan oleh miasma! Bagaimana kalau kau ikut denganku, nak? Tubuhmu akan kuperlakukan dengan baik, mengingat kau adalah salah satu sampel langka!"

    "Hih! Gak sudi! Siapa juga yang mau ikut dengan kakek jelek bau tanah sepertimu!" protesku.

    Mendengar ejekanku, Angie yang tampak panik menggenggam lenganku dengan erat. Kau menggangguku, tahu? Kalau kau tidak bisa bertarung lebih baik pergi saja kenapa, sih? Kudorong Angie dengan sedikit memaksa untuk melepaskan diri.

    "Hmph! Yah, sudahlah. Spesimen mati yang diawetkan pun tak menjadi masalah bagiku!" Hector mengangkat pisau yang digenggamnya, lalu menusuk lengan kirinya hingga darahnya mengalir pada bilah tajam benda itu. Ia kemudian memanggil nama dari sang pisau yang telah berlumur darah.

    "Malleus Maleficarum, Ira!"

    Permata berwarna merah yang tertanam pada bagian pangkal bilah pisau itu kemudian bercahaya terang sambil memperlihatkan simbol berbentuk seekor kuda bertanduk yang biasa disebut dengan nama Unicornsetidaknya hal itulah yang Hector anggap akan terjadi, namun kenyataannya berkata lain. Hexennacht Ira tampak tak bergeming, sekalipun Hector telah memanggil namanya.

    "...apa? mengapa kau tidak bereaksi pada panggilanku!?" Hector tampak kebingungan, "Kau... jangan-jangan kau telah memilih bocah itu sebagai tuanmu?"

    "Begitulah kenyataannya, kakek tua," jawabku pada Hector yang berbicara kepada pisau di tangannya.
Tujuh tahun lamanya semenjak aku menggunakan Hexennacht untuk membunuh korban pertamaku, sudah tak terhitung seberapa banyak darah yang telah mereka terima. Sekarang, mereka telah memilihku sebagai satu satunya tuan mereka. Dengan gerakan pelan, kuambil satu pisau lain yang tersimpan pada sarung pisau di paha kananku yang tertutup oleh mantel.

    "Ah..." kini giliran Angie yang bereaksi terhadap pisau yang kuambil.

    Pisau yang baru kuambil ini memiliki bentuk yang sama dengan yang telah direbut Hector. Hal yang membedakannya hanyalah permata berwarna hijau yang tertanam pada bagian di antara gagang pisau dan bilah tajamnya.

    "Aku kecewa padamu, Angie," ucap Hector, "bisa-bisanya kau memberikan pisau pemberian dari Yang Mulia kepada seorang anak ingusan seperti dia!"

    Hector kembali melesat ke arahku, kini ia menyerang sambil mengayunkan pisau di tangan kanannya. Aku bergerak mundur sambil menghindari tebasan yang ia lancarkan satu demi satu dan mencoba untuk mencari celah untuk membalas, namun tak berhasil. Sepertinya ucapan tentang dirinya dan Angie adalah seorang veteran perang tidaklah bohong, kemampuan bertarungnya benar-benar hebat.

    Tak menyadari arah langkahku, punggungku menabrak dinding batu dari sebuah bangunan yang berdiri tegak menghalangi jalan. Hector tak membiarkan kesempatan ini terbuang percuma. Ia menusukkan pisaunya dengan keras kearahku, namun aku berhasil menghindar dengan menunduk dan berguling. Tubuhnya yang tinggi membuat dirinya sedikit kerepotan melawan musuh yang lebih pendek dari dirinya, pisau yang ia gunakan kini menancap dengan kuat di dinding bangunan itu.

    Menyadari perbedaan kemampuan kami, aku menyayat telapak tangan kiriku untuk melumuri mata pisau yang kugenggam dengan darah. Sekarang waktunya untuk bertarung dengan serius, akan kukerahkan segala hal yang kumiliki untuk membunuh kakek gila ini. Bersiaplah, kek!

    "Malleus Maleficarum, India!"

    Pisau dengan permata hijau di tanganku tak memberikan reaksi apa pun. Angie tampak mengernyitkan dahinya saat melihatku.

    Eh? Tunggu sebentar, apa mungkin aku salah mengucapkan namanya?

    "M... Malleus Maleficarum, Indiana!"

    Hector yang telah mencabut pisaunya menggeram, ia kemudian kembali mencoba untuk membelah diriku dengan pisau di tangannya. Serangannya kini tampak semakin membabi buta, apa dia marah? Aku hanya bisa berlari untuk menjaga jarak agar serangannya tak mengenai diriku.

    "Sudah cukup! Berani-beraninya kau menghina nama suci dari pisau yang telah diberikan oleh Yang Mulia pada kami! Mati sekalipun, dosamu takkan terampuni!"

    Mencoba untuk menghindari amukan Hector, aku berlari sambil menyebutkan berbagai rangkaian kata untuk mengaktifkan pisau dengan permata hijau di tanganku ini.

    "Ugh! Malleus Maleficarum, Invasi!"

    Pisau di tanganku tak memberikan reaksi.

    "Malleus Maleficarum, Infidel!"

    Pisau di tanganku kembali tak memberikan reaksi.

    "Ma... Malleus Maleficarum, Invalid!"

    Pisau di tanganku masih tak memberikan reaksi.

    Oh, Ayolah! Tujuh tahun sudah kulalui bersama dengan benda ini, bagaimana mungkin aku tidak bisa mengingat nama partner yang telah menemaniku memburu targetku berulang kali?! Apa lebih baik aku mengganti senjata saja? Aku masih memiliki Hexennacht Gilaerr Gaul? Sebentar, ada apa ini...? Kenapa aku bisa melupakan hal penting seperti nama senjataku di saat seperti ini?

    Saat tengah berpikir mengenai alasan mengapa aku terkena amnesia secara mendadak, pandanganku tiba-tiba menjadi semakin buram. Pada saat itu juga, rasa sakit mulai terasa dari bagian dalam perut sebelah kananku yang menjalar ke seluruh tubuh. Penyakitku mulai kambuh dan rasa sakit yang dihasilkannya menumpulkan pergerakanku, memberikan celah bagi Hector untuk menyerang.

    Hector mencoba untuk menebas wajahku dengan pisaunya, namun aku tak tinggal diam. Aku menghindari serangannya dengan menjatuhkan diriku ke tanah. Alhasil, pipiku yang mulus ini menerima luka gores sepanjang sepuluh sentimeter. Sedikit saja aku terlambat, kepalaku bisa terpotong oleh serangannya itu.

    Menyadari penyakitku telah kambuh, Angie yang sedari tadi hanya bisa diam kini berlari dan mendorong Hector dengan sekuat tenaga. Setelah berhasil menciptakan jarak antara diriku dengan kakek gila itu, ia merentangkan tangannya. Angie mencoba untuk menghalau Hector agar ia berhenti menyerangku dan memberi kesempatan bagiku supaya bisa menelan pil obat untuk meredakan gejala penyakit yang telah kambuh ini.

    "Menyingkirlah, Angie! Biar kubunuh anak tolol yang tak tahu sopan santun ini!"

    "Aku... menolak!"

    "Kau... mengapa kau melindungi dirinya? Apa untungnya bagimu, membiarkan anak manusia rendahan seperti dia hidup?!"

    "Hector! Kita memang prajurit yang mendapatkan tugas sebagai pemimpin pasukan dalam perang, tapi ingatlah! Sebelum menjadi seorang prajurit, kita adalah dokter! Perang sudah berakhir dan sekarang tugas kita sebagai dokter untuk menolong dan menyembuhkan mereka yang menjadi korban!"

    "Korban di medan perang itu hal yang biasa, Angie! Untuk mencapai kejayaan, darah memang harus ditumpahkan! Sebagai gantinya, orang-orang superior seperti kitalah yang akan memimpin dunia ini untuk masa depan yang lebih baik!"

    "Orang yang merasa derajat mereka lebih tinggi, seharusnya memimpin tanpa harus melukai orang lain! Sudah terlalu banyak nyawa yang melayang di negeri ini!"

    "Kau... apa mungkin, kau menyesali perbuatanmu di medan perang?" tanya Hector, "Kau menyesal karena telah turut menciptakan miasma beracun yang kini menyelimuti negeri ini? Karena itu, kau merasa harus bertanggung jawab dengan melindungi anak ini? Begitu?"

     "Eh...?" aku hanya bisa menatap heran.

    Tidak mungkin. Angie? Ia turut menciptakan miasma beracun? Miasma yang kini menyelimuti negeri ini? Miasma yang telah merenggut begitu banyak nyawa di negeri ini? Miasma yang mengubah tubuhku menjadi seperti ini?!

    Aku menatap wajah Angie dan melihat raut mukanya yang kini tampak dipenuhi dengan penyesalan. Ahh... jadi begitu, ya.

    Memang sih, kalau dipikir-pikir aneh juga ada seorang dokter bedah ilegal yang bisa menyelamatkan pasien sekarat karena menghirup miasma dalam dosis besar. Kalau begitu, alasanmu menolongku sembilan tahun yang lalu itu bukan karena kau adalah seorang dokter. Kau juga merawatku selama aku sakit dan itu bukan karena kau seorang perawat. Kau membiarkan diriku tinggal bersama denganmu, itu bukan karena kau membutuhkan asisten yang bisa membantumu mengurusi pasien.

    "Hahaha... jadi begitu, ya?" aku tertawa pelan. Rasa nyeri di perutku terasa semakin menjadi, butuh waktu beberapa saat sebelum obatnya bekerja. "Tak kusangka, ternyata... penyebab utama penyakitku ini selalu berada... di dekatku."

    "Cathy..."

    Aku mengerti sekarang, Angie. Kau berada di sisiku supaya bisa merasa lega. Hanya dengan berada di sisiku, kau bisa beranggapan bahwa dirimu telah bertanggung jawab dengan menyelamatkan salah satu korban dari hasil buah tanganmu. Kau tahu? Pemikiranmu itu...




    ...rasanya memuakkan.




    Sebelum melupakan nama-nama mereka, kuambil sebilah pisau lain dengan permata berwarna ungu menggunakan tangan kiriku yang terluka, lalu kutusuk lengan kiri Angie dengan benda itu. Angie yang tampak terkejut kemudian meringis kesakitan setelah darah segar mengaliri pisau yang baru saja menusuk dirinya.

    "Cathy...! Apa yang..."

    "Sori, Angie," ucapku sambil tersenyum, "kau mau kan, jadi kekuatanku untuk ngalahin kakek gila ini? Berkorban demi orang lain kedengaran keren, kan?"

    "Tidak... mungkin..." wajah Hector tampak memucat, "Pisau itu milik pemimpin kami! kenapa kau bisa memilikinya?!"

    "Cathy... tidak! Tunggu!!"
   
    "Malleus Maleficarum, Superbia."

    Selesai mengucapkan nama pisauku, sebuah ledakan kecil terjadi pada bilah tajamnya yang memutus lengan Angie dari tempat dimana pisauku menancap. Angie kemudian berteriak karena merasakan sakit yang begitu menyiksa dari lukanya yang mengucurkan darah. Hei, kau sudah membunuh banyak orang lewat tindakanmu saat perang dahulu, kan? Rasa sakit seperti ini tidak ada apa-apanya dibanding mereka yang sekarat, kan? Tahan sedikit, kenapa?

    "Melukai dokter yang telah menyelamatkan nyawamu, kau benar-benar bocah gila yang tak tahu diuntung! Matilah kau!" teriak Hector yang kembali mencoba untuk menusukku menggunakan pisau Hexennacht yang digenggamnya. Kecepatan gerak kakek itu kini tampak berkurang, apa mungkin karena efek obat yang ia suntikkan pada dirinya sendiri sudah mulai habis?

    Dengan satu ayunan dari pisau di tanganku, aku menepis serangan darinya. Kekuatan fisik Hector sepertinya sudah berkurang, sekarang saatnya bagiku untuk melawan. Akan tetapi, aku masih mengalami sedikit kesulitan. Rasa sakit yang menjalari tubuhku ini masih menggangguku bertarung. Pertarungan ini harus segera kuselesaikan sebelum tubuh ini hancur terlebih dahulu oleh penyakitku sendiri.

    "Hmm...? aku hanya... memberi sedikit hukuman kecil, kok! Eheheh," aku tertawa ringan, "habisnya... Angie memanfaatkan diriku demi kepuasannya sendiri, sih! Rasanya jadi kesal, kan?"

    Serangkaian tebasan dan tusukan kulancarkan menggunakan kedua pisau dalam genggamanku untuk menyerang Hector, akan tetapi semua seranganku dapat ditangkisnya dengan mudah. Dengan gerak cepat, kutendang pasir yang memenuhi pijakan di sekitar kakiku pada wajah Hector yang tertutup topeng untuk mengalihkan perhatiannya, lalu kulempar Hexennacht Superbia yang berada di genggaman tangan kiriku ke arah dirinya.

    Hector yang telah membaca gerakanku kemudian menghindari serangan lemparan pisau yang kulakukan. Benda itu kini melesat sambil berputar ke arah bebatuan di belakang dirinya.

    "Hanya begitu saja?" tanya Hector.

    "Tidak hanya itu, kek."

    Pisauku yang telah dihindari oleh Hector kemudian mengenai sebuah bongkahan batu yang berada di belakang kakek itu, lalu memantul ke tanah dan kini kembali melesat ke arah dirinya. Hector yang terlambat menyadari hal itu tak sempat menghindari seranganku yang datang kembali. Bilah tajam benda itu kemudian menggores bagian betis kanan Hector yang tak terlindungi oleh apapun.

    'Tis but a scratch!' mungkin kata-kata itulah yang akan muncul di benak orang-orang jika mereka melihat pertarungan ini, tapi mereka salah. Luka goresan yang diakibatkan oleh Hexennacht Superbia yang telah aktif tampak semakin melebar hingga memotong kaki kanan kakek itu.

    Melihat Hector kehilangan keseimbangan tubuhnya, aku menendang kakek itu hingga ia jatuh telentang. Tak ingin memberikan kesempatan bagi dirinya untuk melawan, kugenggam pisau lain dari balik mantelku untuk menebas kedua lengannya hingga putus. Merasa itu saja tidak cukup, kuambil seluruh pisau yang kumiliki dan mulai menancapkan mereka satu per satu pada tubuhnya, tanpa ampun.

    Menerima serangan telak bertubi-tubi dariku, kakek itu meraung keras. Rasa sakit yang ia alami pasti membuatnya menderita, akan tetapi ia tak kehilangan kesadarannya. Tubuhnya kini semakin lemah dan menyusut karena efek obat dopingnya hampir habis.

    "Bahu kanan, ulu hati, paha kiri, liver, dan selangkangan," aku menghitung seluruh pisau yang kugunakan, "lima pisau sudah kugunakan tapi kau masih belum pingsan. Kakek ini sudah tua tapi masih tetap perkasa, ya? Hmm... hmm..."

    "Urrgggghhhh...! Tidak... mungkin...! Seluruh pisau ini... bagaimana bisa?"

    "Ahh... aku mengambil seluruh pisau ini dari rekan-rekan seperjuanganmu setelah membunuh mereka," tapi bohong, pikirku. "Menyerah sajalah, kek!"

     "Jangan bercanda kau! Uhuk...!" Hector memuntahkan darah, "Kami... pasukan Schwarzeritter tidak akan pernah tunduk! Harga diri kami... tak mengijinkannya!"

    "Ohh... prajurit kolot veteran memang beda! Tapi ngomong-ngomong soal harga diri, aku juga punya!" kuambil Hexennacht Ira dari genggaman tangan Hector yang telah terputus, lalu kutancapkan pisau itu pada perutnya. Dengan gerak tarikan pelan, kubelah abdomennya hingga isi perut kakek itu tumpah keluar. "Harga diri sebagai pembunuh berantai, dan harga diriku mengijinkanku untuk membunuhmu, kek."

    Hector yang telah kehabisan tenaga bahkan tak sanggup untuk berteriak kesakitan. Pupil matanya tampak berputar ke belakang dan mulutnya terbatuk-batuk sambil memuntahkan darah. Suhu tubuhnya semakin menurun sebelum akhirnya ia tewas di tanganku.

                                                                                                ***

    "Hmm perban ini kesini... terus kesini... yap! Beres!"

    "Ca...thy..."

    "Oh...! Sudah bangun? Tidurmu nyenyak?"

    Selesai melawan Hector, aku segera meminum obatku dan mengangkut Angie yang pingsan menuju rumah kediamannya. Membiarkan orang sakit sepertiku mengangkut dirimu yang pingsan, seharusnya kau berterima kasih! Aku ingin sekali mengucapkan kata-kata itu, tapi karena aku yang membuat dirinya pingsan jadi kubatalkan saja niatku. Angie yang telah selesai kuperban tampak menatapku dengan raut wajah heran.

    "Apa?" tanyaku.

    "Kau... tidak marah?" Angie bertanya dengan suara pelan, "Aku... aku telah menyembunyikan fakta bahwa dirikulah yang menciptakan miasma, sumber penyakitmu. Jadi kupikir..."

    Kau pikir aku akan menghabisimu disana, begitu? Kau pikir alignment-ku apa? Chaotic Evil? Begini-begini juga aku selalu memilih orang untuk jadi korban, lho? Mana mungkin aku membunuhmu! Ucapan Angie membuatku kesal.

    "Ahh! Ya, aku masih marah! Kau menyembunyikan hal sepenting itu, padahal kita sudah tinggal bersama bertahun-tahun!" mendengar ucapanku, Angie terlihat menunduk dipenuhi rasa bersalah, "Apalagi saat kau terlihat menyesal ketika Hector bertanya kepadamu tentang penyesalanmu."

    "Aku... maafkan aku..." mata Angie tampak berkaca-kaca

    "Hmph! Tidak mau!"

    "Eh?"

    "Kalau maaf saja cukup, tidak akan ada perang di dunia ini, tahu!"

    "Kalau begitu... apa yang harus kulakukan?"

    "Satu hal saja, berhenti menggunakan diriku sebagai alasan agar kau merasa telah bertanggung jawab atas tindakanmu!"

    "Eeh...?"

    "Itu... kau menolongku supaya merasa lega, kan? Kau juga merawatku dan tinggal bersama denganku supaya merasa telah bertanggung jawab atas tindakanmu, kan?"

    "Umm... Cathy..."

    "Aku tidak menyukainya! Memanfaatkan orang lain demi kepuasan dirimu sendiri, rasanya bikin kesal!"

    "Tunggu sebentar, Cathy..."

    "Setidaknya!" ucapku dengan nada keras, "Setidaknya... kalau kau ingin tinggal bersamaku, anggap aku sebagai seseorang yang lebih dekat... contohnya... contohnya seperti keluarga...begitu."

    "Umm... singkatnya, kau merasa kesepian?" tanya Angie.

    "Si... siapa yang kau sebut kesepian?!"

    "Eh? Tapi ucapanmu itu..."

    Ucapanku kenapa? Aku hanya tidak suka kau memanfaatkan diriku supaya bisa merasa lega sendirian. Kita sudah tinggal bersama selama sembilan tahun dan kau menganggap diriku hanya sebagai... hmm? Tunggu sebentar, ucapanku terdengar seperti... seperti orang yang merasa tersisihkan?

    Menyadari inti dari ucapanku sendiri, wajahku rasanya semakin memanas. Jika aku melihat cermin, wajahku pasti tampak memerah karena malu. Heei! Bisa-bisanya aku mengatakan hal yang membuat malu begitu! Apa ini yang mereka sebut tak sengaja mengeluarkan isi hati yang terdalam?

    "Umm... ucapanmu tidak sepenuhnya salah," Angie mengelus kepalaku dengan tangan kirinya, "Hingga saat ini, aku merasa lega karena telah berhasil menolongmu dari miasma ciptaan kami."

    Suara Angie yang terdengar pelan dapat kudengar di telingaku, namun karena rasa malu setelah mengucapkan isi hatiku tadi, aku tak begitu memperhatikan ucapannya.

    "Awalnya aku merasa ragu meninggalkan rekan-rekanku. Tapi setelah menolong dirimu dan tinggal bersamamu, aku merasa telah mengambil keputusan yang tepat. Bagiku, kau adalah satu-satunya keluarga dimana aku bisa merasa tenang," Angie mengucapkan kata-kata itu sambil tersenyum.

    "Aaaah! Aku mau keluar dulu! Cari angin untuk menenangkan diri!" ucapku sambil berlari keluar ruangan.

    Setelah membuka pintu dan berlari keluar, aku kembali memperhatikan keadaan sekitar. Lapangan berpasir yang terbentang menyambutku bersama dengan hembusan angin serta cahaya dari matahari terbit. Setelah berpikir sejenak, aku mengenali pemandangan ini.

    Karena penerangan yang minim, aku tidak menyadari tempat ini sebelumnya. Tempat ini adalah tempat dimana aku yang tengah sekarat bertemu Angie untuk pertama kalinya. Tempat ini seharusnya berjarak puluhan kilometer dari rumah Angie, bagaimana mungkin jaraknya menjadi sedekat ini. Terlebih lagi, saat melawan kakek tua itu ingatanku rasanya menghilang sedikit demi sedikit.

    Hmm... bagaimana kalau kucoba untuk menelusuri semuanya dari awal sambil menyusuri tempat ini? Setelah aku terbangun dari mimpiku, Angie menyuruhku membuka pintu dan aku bertemu kakek tua itu untuk pertama kalinya. Kakek itu ingin mengambil senjataku dan setelah ia melemparku keluar ruangan, tempat ini sudah berubah. Penjelasan yang terpikirkan olehku hanya satu, tapi apakah hal itu memungkinkan?

    "Apa aku masih bermimpi?"

    Selesai mengucapkan kata-kata itu, suara tepuk tangan terdengar dari arah belakangku. Saat menoleh ke belakang, dapat kulihat sosok seorang pria berkacamata yang mengenakan setelan jas hitam dengan mantel berbulu menutupi tubuhnya. Dandanannya tampak seperti seorang boss mafia yang pernah kuambil organ tubuhnya dulu.

    "Selamat, selamat! kamu telah memenangkan pertandingan ini!"

    Suara lain yang tedengar seperti seorang anak-anak terdengar dari atas kepalaku. Sosok pendek yang mengenakan jas hujan berwarna kuning tampak melayang menggunakan payungnya. Tunggu dulu, kepalanya itu berbentuk seperti bantal? Atau memang bantal asli?

    "Catherine Bloodsworth, benar?" pria berkacamata itu menyebutkan namaku, "Selamat, karena kau telah berhasil memenangkan pertandingan ini!"

    "Heh? Pertandingan? Pertandingan apa? Lagipula, kalian ini siapa?"

    "Namaku Huban! Orang-orang biasa menyebutku dengan nama Ratu Huban dan paman ini namanya Zainurma!"

    Bantalnya bisa ngomong?! Aku mau! Bantal ini bisa jadi alarm yang bagus untuk membangunkan tidurku, apa kupotong saja kepalanya ya? Ah, kalau saja om-om ini... siapa namanya? Zainurma? Kalau dia tak ada disini, mungkin kepala bantal itu sudah berada di tanganku.

    "Huban, berikan hadiah itu kepada dirinya," perintah Zainurma.

    "Siap! Hadiah untukmu adalah... ini!"

    Sosok kepala bantal yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ratu Huban itu kemudian memanggil seekor binatang berbulu putih tebal dengan sepasang tanduk yang entah darimana asalnya.

        "Hmm? Makhluk apa ini? Mirip domba tapi kok bulunya warna putih? Lalu kenapa tanduknya cuma ada dua? Harusnya kan enam? Jenis baru?"

    "Ah, benar juga, kau baru pertama kali melihatnya?" tanya Zainurma, "ini bentuk asli domba sebelum bermutasi oleh miasma."

    "Domba bertanduk enam!? Aku pingin lihat! Aku pingin lihat!"

    Ratu huban yang telah menapakkan kakinya ke tanah hendak mengambil langkah untuk berlari, namun Zainurma dengan segera menarik jas hujan kuning yang dikenakan olehnya.

    "Nanti saja, sekarang ada hal yang lebih penting!" Zainurma membetulkan posisi kacamatanya sambil tersenyum menyeringai kearahku, "Selamat datang di bingkai mimpi, Reveriers!"


>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 11K] 32 - CATHERINE BLOODSWORTH | A SWEET REVENGE

11 komentar:

  1. Saya udah lost count berapa entri sejauh ini yang nyelipin adegan r18 (atau hampir r18) di cerita... Yah, emang ga penting, cuma kayaknya baru taun ini jadi populer. Apa karena settingnya mimpi ya

    Lel, selain entri saya sendiri, kayaknya baru ini yang nyebut" soal alignment meta

    Entri ini termasuk yang penuturannya saya suka. Gaya narasi dan dialog yang dipake bikin bacanya ngalir, lancar dari awal sampe akhir. Relasi Cathy sama Angie, kondisi dunia, battle sama Hector, juga lumayan apik. Saya suka gimana Cathy nyerang Angie, dan saya sempet mikir 'ooh, ya wajar sih ya, Neutral Evil', terus malah disuguhin adegan heartwarming di akhir yang bikin Cathy keliatan tsundere dan malah bikin saya 'd'awww'

    Intinya, Cathy sukses jadi karakter yang lumayan likable di mata saya

    Nilai 8

    BalasHapus
  2. hello, fellow neutral evil 'w')/

    walau alignmentnya sama, cathy ini ternyata lebih berperasaan dari pada oc saya xD

    dari julukannya kirain dia itu tipe yang main tusuk, tapi ternyata masih ada batas2 etika yang dia pegang, ga seluruhnya evil. atau mungkin saya aja yang sukses terbawa alur entri ini untuk bersimpati pada cathy sebagai 'victim' alih-alih 'pembunuh berdarah dingin' :'3

    secara keseluruhan udah ok.

    nilai: 8
    oc: castor flannel

    BalasHapus
  3. Adududududuh.

    Mas Widy ini selalu berhasil membuat karakter yang mengundang simpati ya.

    Awalnya saya kira Cathy ini pembunuh keji tidak berperasaan dan psikopat. Ternyata eh ternyata, karakter Cathy tidak sedangkal yang saya kira.

    Saya senang bagaimana Cathy bertindak dan berbicara. Pembawaannya lagi-lagi bikin saya jatuh hati. Dan itu... salah eja mantranya jadi nilai plus juga. Saya seneng pas adegan itu.

    Kalau soal teknis narasi dan pengolahan plot, saya ga panjang lebar lagi. Udah apik pik pik.

    Overall, entri yang menarik hati dan simpati saya.

    Nilai 9 cocok deh buat Catherine. Semoga Sukses

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  4. Halo ini Manya mau komentar buat ngisi kuota komen, pardon.

    Saya kurang sreg sama paragrafnya. Yang saya rasa musti dikurusin dikit. Dari hp kek berisi semua.

    Cathy, neutral evil. Saya rasa udah terwakili sih. Secara yang paling eye-candy di entri ini juga interaksi dan si Cathy itu sendiri.

    Saya beri 8 ya. Maaf kalo komentar saya apa adanya.

    -Bukan Alpacapone

    BalasHapus
  5. Halo ini Manya mau komentar buat ngisi kuota komen, pardon.

    Saya kurang sreg sama paragrafnya. Yang saya rasa musti dikurusin dikit. Dari hp kek berisi semua.

    Cathy, neutral evil. Saya rasa udah terwakili sih. Secara yang paling eye-candy di entri ini juga interaksi dan si Cathy itu sendiri.

    Saya beri 8 ya. Maaf kalo komentar saya apa adanya.

    -Bukan Alpacapone

    BalasHapus
  6. Hmm, biasanya seorang psikopat selalu berterus terang dengan apa yang mereka inginkan kalau Cathy malah seorang psikopat tsundere. Ktemu lagi satu karakter unik di BoR.

    PoV 1-nya oke, mengungkap jati diri Cathy yang ternyata lumayan narsis juga, kata hati Cathy tentang segala sesuatu yang dihadapinya pun tersaji, which is saya suka.

    Oke mah, intinya.

    Nilai 8

    OC: Alexine E. Reylynn

    BalasHapus
  7. Meta-nya tentang alignment bagus, sih. Komedi selipannya juga. Dan setelah baca katalog-nya Cathy, ternyata emang dia dasarnya narsis dan berisik, ya?
    Bikin saya hampir bilang Cathy lebih mirip Destroyer dari caranya menghabisi musuhnya.

    7

    Gold Marlboro

    BalasHapus
  8. Baru kali ini baca entri yg bawa2 alignmentnya sendiri, terdengar konyol tapi lucu ditambah dengan lelucon lainnya, seperti saat cathy kehilangan inspirasi untuk manggil nama salah satu pisaunya itu. Kesan pertama begitu saya baca entri ini yaitu, satu lagi tante2 yg bisa dengan mudahnya ngebunuh siapa aja dngan sedikit godaan(apa semua entri skrg lgi ngehits sama adegan2 goda menggoda gtu, astaga) ditambah sifatnya cathy yg narsisnya ga ketulungan + tsundere bikin entri ini makin renyah buat dibaca seperti saat mengantuk seperti ini.
    Saran, kalau bisa narasinya didiet-in lagi biar lebih afdhol lagi nantinya dan hal yg sama juga kembali pada saya.

    Nilai : 8
    Mahapatih Seno.
    Silahkan mampir ke lapak saya. Haha

    BalasHapus
  9. "Bantalnya bisa ngomong?! Aku mau!"

    Akakaka anjer dari sana ane ngakak lepas. Sebenernya ane juga pengen xD #eh
    Entry ini dari narasinya dah bikin ane terhibur, apalagi ceritanya?

    Ane gatau harus ngomong apa lagi. Tapi ane suka sekali sama entry ini.

    ----------------
    Rate = 9
    Ru Ashiata (N.V)

    BalasHapus
  10. Waduh,,itu bagian dia lupa nama jurus itu lucu banget tuh,Bang. Terus kalo lagak- lagak di awal tuh ye si karakter ini macem narsis banget kagak ketulungan,,sok cakep gitu. Tapi lucu sih jadinye. Padahal aselinye bisa tusuk- tusuk ngebunuh tanpa kompromi gitu ...

    Satu yang aye bisa belajar mungkin gaya pembawaan cerita gitu kali ye,,POV 1 atau apa gitu.barangkali kapan-kapan bisa aye cobain

    Skor 10 dari aye.
    Karakter: Harum Kartini

    BalasHapus
  11. cerita tentang tante main tusuk *-*

    ceritanya bagus bahkan menurut saya keren. dari openingnya yang agak-agak gimana gitu sampe battle sama Hector begitu berasa.

    nilai dari saya 9. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.