Jumat, 10 Juni 2016

[PRELIM] 57 - RU ASHIATA | HITAM YANG BUKAN HITAM

 Writer's note: Tulisan putih dan bg hitam bukan maksud untuk menyelaraskan tulisan dan tema OCnya. Tapi penulis suka sakit mata baca di background putih dengan tulisan hitam. xD


oleh : N.V

----
================================================================
[ Bab l – Hitam Yang Pudar ]
================================================================

[ Chapter 0 ]

"Reverier..?"


.... ..eep.. Beep.. Beep..

Suara samar beep yang berulang perlahan terdengar sangat jelas ditelinga. Begitu juga pemandangan yang awalnya terasa kabur, sekarang terlihat jelas langit-langit ruangan disertai lampu neon yang menerangi ruangan, tidak terlalu silau ataupun redup. Termasuk sosok wanita berstatus pasien ini, yang baru saja tersadar dari tidurnya.

Sepasang iris merah pasien yang baru bangun ini, menggelinding bergantian ke kiri dan kekanan perlahan, menelusuri apapun yang dia lihat di ruangan tempat dia berada. Selain sebuah monitor yang menampilkan layar hitam dengan garis dan angka-angka yang terus berganti di samping ranjang tempat dirinya istirahat, ruangan ini begitu terang dengan semua perabotan yang mendominasi warna putih.

'ICU…'

Helaan nafas dihembuskannya dengan pasrah. Kelopak matanya yang masih terlihat sayu itu kembali tertutup, dengan senyum yang terpasang damai.

'Ah, Ru.. kau diselamatkan Tuhan lagi..'

Wanita yang memanggil dirinya Ru ini berpikir, Tuhan kembali memberi keajaiban. Dokter yang merawatnya selalu mengatakan, dirinya selalu cepat sadar melewati fase koma setiap penyakit gulanya kambuh. Entah Tuhan terlalu baik padanya tetap membiarkannya hidup, atau ini cobaan dengan hidup dalam kondisi berpenyakitan. Selama ini, dia hanya bisa pasrah dengan keputusan Tuhannya.

Tapi sebenarnya, ada sesuatu yang hitam ditubuhnya yang selalu menyelamatkannya.

"…reverier…"

Kata yang terucap entah oleh siapa diucapkan, sontak membuat kedua mata perempuan ini terbuka lebar. Pemandangan serba putih di ruang ICU tempat dirinya berbaring, sontak menjadi ruang hampa gelap. Tidak ada selang infus, tidak ada bedside monitor, tidak ada ranjang empuk tempatnya berbaring, tidak ada apa-apa disini.

Selain dirinya, dan dua sosok misterius yang samar terlihat bagai tertutup kabut tebal tepat di hadapannya. Mereka berdua terus mengucapkan kalimat aneh yang tidak jelas terdengar karena menggema ditelinganya. Hanya beberapa kata yang terdengar jelas, seperti reverier, mahakarya, dan alam mimpi.

Sampai kedua sosok misterius itu berhenti berbicara, mereka hilang begitu saja meninggalkan perempuan ini sendirian. Tempat gelap ini kembali hening.

'…apa itu tadi?'

Perempuan ini mulai memikirkan apa maksud perkataan sosok misterius tadi. Apa ini mimpi? Apa sekarang dia sedang bermimpi?

Baru saja beberapa detik gadis ini terbawa keheningan tempat ini diantara lamunannya, suara geraman dan gonggongan anjing menggema tak karuan  memecah kesunyian tempat ini.

Kedua tangannya reflek menutup keras kupingnya dengan espresi yang nampak ketakutan seperti diteror, terpasang jelas di wajah gadis ini. Bagi orang yang mempunyai trauma mendalam pada suara hewan yang sedang ia dengar ini, anjing itu sesuatu yang baginya lebih menakutkan. Bahkan lebih menakutkan dari makanan manis yang dapat membunuh pengidap diabetes tipe satu ini.

Ditengah suara terror yang terus menggema, pijakan dikakinya hilang dalam sekejap, membuat tubuh gadis ini terasa jelas melesat jatuh ke bawah.


***

[ Chapter 1 ]

"Kau ingin tahu apa yang ada dibalik warna hitam?"


[ Distrik Roppongi – Tokyo ]


"Arf!! Arf!!"

"GYA--!" dhuakk

Teriakan yang hampir saja keluar dari mulutnya saat terbangun, terpotong begitu saja karena hantaman keras tepat dibelakang kepalanya pada langit-langit kolong meja ruang tamu apartemennya. Bahkan benturan kepalanya tersebut sukses membuat barang-barang di atas meja kaca gelap tersembut terpental berantakan.

"FICK* !! Arghh...!"

Wanita yang hanya memakai tanktop dan celana pendek berwarna hitam ini pun kembali terbaring telungkup di lantai, mengerang kesakitan memegang keras belakang kepalanya yang benjol akibat benturan keras pada kaca gelap dari mejanya.

Sebari menahan denyutan di belakang kepalanya, gadis pemilik rambut hitam ini menyeret tubuh rampingnya merangkak keluar. Hingga tubuh berkulit pucat ini sudah terlihat seluruhnya keluar dari kolong, gadis berusia dua puluh satu ini akhirnya berdiri mengusap belakang kepalanya yang dirasa benjol.

Sebelum gadis ini bertanya-tanya kenapa bisa tertidur di kolong meja ruang tamu, dia lebih bingung disertai takut kenapa suara gonggongan anjing yang sempat menerornya di dalam mimpi, masih terdengar jelas sampai sekarang di apartemennya. Terutama di ruang tamu tempat dia sadar.

"Ah!" Ru tersentak ingat, itu alarm tone yang dipasang dari ponselnya.

Dengan wajah yang masih nampak ketakutan, Ru bergerak kesana kemari dengan panik menggeledah beberapa spot di ruang tamunya mencari sumber suara terror tersebut. Seperti meja, kolong meja, rak televisi, sampai sela-sela sofa hitam panjangnya yang biasa menjadi tempat tidurnya. Sampai ponselnya yang terus berbunyi menerornya ditemukan, tersembunyi terhalang bantal sofanya.

"Arf!! Ar—"

Helaan nafas lega dihembuskannya tenang, setelah alarm berupa gonggongan anjing berhasil dimatikan hanya dengan sentuhan jarinya pada layar ponselnya. Membuat apartemen tempat tinggalnya sekarang kembali hening.

Matanya yang masih terlihat lelah, menangkap tubuhnya sendiri cukup kacau yang diakibatkan tidur di kolong meja. Abu rokok dan bubuk daun kering yang mengotori kulit pucatnya baru ia rasakan gatal. Bahkan selembar kartu remi menempel di perutnya yang tidak tertutup tanktop pendeknya.

Diperhatikan lagi jam yang tertera di layar ponselnya, [08:02]. Sebenarnya gadis ini baru saja tidur jam 5 pagi tadi, tepat setelah pulang dari club tempat kerjanya sebagai bandar kartu, lalu sedikit menghisap ganja sebelum ketiduran di kolong meja. Tapi ada alasan kenapa tone alarm gonggongan anjing yang dapat dengan sekejap membangunkannya walau jam tidurnya sungguh sebentar.

"Hoaamn.. Mana insulinku…"

***


Butuh waktu yang tidak sebentar, si pecinta warna hitam ini membereskan kekacauan yang dilakukan karena efek mabuk ganja pada apartemen kecilnya. Tentu saja setelah itu dia sudah membersihkan tubuhnya dari aroma ganja dan insulin yang menempel di tubuhnya. Belum bau amis iler yang sudah kering di pipinya dan abu rokok yang mengotori kulit mulusnya saat tiduran di lantai.

"Ahhh…" desahan lega dihembuskan tenang, saat rasa pahit khas kopi instant tanpa gula yang masih terhidang panas, disesapi meninggalkan sedikit rasa asam di pangkal lidahnya. Tidak ada yang lebih menenangkan setelah menyegarkan dirinya, selain menonton rekaman ulang video trik sulap kartu di tv ditemani secangkir kopi pahitnya.

"Myuu~ Myuu~"

Suara meongan anak kucing dari smartphonenya yang bergetar di atas meja didepan kakinya mengalihkan perhatiannya. Tidak ada nama yang tertera, hanya nomor asing saat gadis ini menatap layar ponselnya.

Namun jumlah digitnya yang terlalu banyak membuat Ru penasaran. Ditambah awal nomor asing itu berawalan 49, yang berarti kode SLI* negara Jerman. Siapa yang meneleponnya dari negara kelahirannya itu?

Telunjuk jari lentiknya pun menggeser lingkaran hijau di layarnya untuk menerima panggilan asing ini.

"Hallo?"

"Hah.. hah.. hah..."

Suara desahan yang terdengar jelas malah menjawab sahutannya. Baiklah, ini mulai menakutinya. Jangan bilang kalau ini stalker. Tunggu, mengingat kode SLI itu dari Jerman, tidak mungkin si penelepon ini meneror gadis yang tinggal di Jepang ini.

"Wer… wer ist das*?"

"Umm… ah…"

"…aku  akan tutup teleponnya."

"R-Rune!! I.. ini aku…"

Kedua mata Ru terbuka lebar. Suara perempuan yang terdengar sangat lirih memanggilnya dengan panggilan Rune, membuat gadis serba hitam ini langsung mendapat gambaran jelas dikepalanya, siapa penelepon ini.

Kenapa dipanggil serba hitam? Lihat saja penampilan kesehariannya. Rambut hitam panjang yang terurai lurus sampai pinggang, blazer dan rok hitam, kontak lensanya yang menutupi iris merahnya hitam, high boot yang dikenakannya saat keluar. Bahkan gadis ini sempat mendapat panggilan jelek, contohnya negro.

"…Luna?" tebaknya memanggil nama perempuan diteleponnya dengan ragu, nama adiknya. Cangkirnya di tangan satunya diletakan di kaca meja gelapnya, berganti dengan remote untuk mematikan televisinya.

Desahan di telepon terdengar mengecil. Namun suasana hening apartemennya, membuat Ru dapat mendengar suara kecil adiknya ini terisak. Jemari lentiknya menyibak poni bergelombang ke belakang daun telinganya, selagi dirinya menunggu jawaban dari adiknya yang sedang menangis, sepertinya.

"Ah.. maaf…" suara Luna kembali terdengar jelas sekarang. "Aku hanya… u-ugh..!"

Punggungnya disandarkan santai pada singgasana sofa panjang berwarna hitam ini. Saat menunggu adiknya berbicara jelas, Ru tersenyum, mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali dia bisa bicara dengan adiknya.

Itu tiga tahun yang lalu, saat Ru dan ayahnya meninggalkan Jerman dan menetap di suatu tempat di Jepang. Sementara adiknya tetap menetap di kota kelahirannya, karena tidak tega meninggalkan makam ibu mereka.

Namun suara adiknya ini terdengar merintih kesakitan, membuat kakaknya yang hanya lebih tua sepuluh menit ini penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Luna?

"Luna?"

"Y-ya…?"

"…apa kau menelepon sambil bermasturbasi?"

"……."

Keheningan kembali terjadi untuk sesaat. Entah dari Ru sendiri atau dari adiknya. Sampai helaan nafas panjang terdengar dihembuskan Luna di teleponnya.

"…apa aku be—"

"MASTURBASI MULUTMU?! AKU TELEPON BUKAN UNTUK MENDENGARMU MELAWAK!!"


***


"Pfft..! Maaf maaf…"

Setelah beberapa menit mendengar teriakan, makian kotor, dan omelan adiknya yang hampir tidak ada jeda di telinganya itu. Gadis serba hitam ini hanya merespon singkat, sebari tiduran di sofa membungkam mulutnya yang berusaha ditahan untuk tidak tertawa. Sial, perutnya terus mengocoknya kegelian.

"…belum puas kau ketawa… huh?" cibir adiknya. Dari kekehan gila kakaknya yang terdengar, Luna terus mendengus sebal. Suaranya sudah habis untuk meneriaki lagi kakaknya.

 "Ahaha.. hah.. hah.." setelah perutnya dirasa berhenti mengocok geli, perlahan gadis ini bangun menegakkan punggungnya, dan kembali bersandar di sofanya empuknya.

"Baik.. bisa jelaskan lagi tadi kenapa kau bisa babak belur? Kukira kau terpeleset melompati gedung saat parkour dan mendarat di tong sampah."

"Du verdammtes arschloch*… Grrrhh..!!"

Emosi adiknya kembali meluap. Disela umpatan kotornya pada kakaknya ini, pendengaran tajam Ru mendengar samar suara kobaran api menyembur, seperti saat menyalakan api pada kompor. Tapi gadis serba hitam ini tahu suara kobaran api itu menyala dari adiknya. Yap, Luna mempunyai kemampuan memanipulasi api.

Jangan tanya bagaimana bisa. Karena kemampuan uniknya itu alasan Luna punya rasa benci pada kakaknya ini.

"A-ah.. baik, Luna. Baik. Aku hanya bercanda." Senyum kaku yang langsung terpasang menandakan gadis ini sedikit panik. "Jangan bakar tempat itu. Nanti kau ketahuan. Oke?"

"G-ghh..! Ha.. ha.. hahh…." gadis emosional ini akhirnya mengatur nafasnya untuk menenangkan dirinya. Suara kobaran api yang terdengar pun tidak terdengar lagi oleh Ru. Baguslah adiknya bisa tenang. Lebih tepatnya, sudah terlalu lelah untuk kembali marah.

Keringat dingin mengalir di pipi gadis serba hitam ini disertai tawa dengan espresi kikuk. Ru mendehem. Baiklah, mungkin sudah cukup bercanda dan menjahili adiknya. Kalau adiknya marah lagi, mungkin Luna tidak akan sengaja membakar ponselnya.

"Biar kuulangi.." Ru mengingat kembali apa yang dikatakan Luna sebelumnya saat ia tertawa tadi. "Geng Silver7 yang kita tahu, sudah membubarkan organisasi papa tiga tahun lalu di Hamburg.. mengejarmu?"

"Tidak hanya aku.. yang lainnya juga.. hah..." Luna menjelaskan kembali dengan nafas yang nampak mulai terdengar lelah. "Orang-orang.. yang pernah menjadi bawahan papa.. mereka mencoba melindungiku.. tapi…"

Isakan pelan terdengar kembali di teleponnya. Ru hanya bisa menghela nafasnya mendengar adiknya ini kembali menangis.

"Maaf membuatmu ikut terlibat dalam masalah ini… Padahal aku tahu, kau tidak pernah ingin terlibat dalam dunia gelap papa… " matanya menatap sayu cangkir kopi di meja yang sepertinya sudah dingin dibiarkan disana.

"Aku tahu.. kalau papa sedang sembunyi.. tapi aku ingin papa kembali ke Hamburg.. aku.. aku…" Luna berusaha bicara ditengah tangisan yang tidak bisa ditahan. "Aku ingin.. kau atau papa melakukan sesuatu.. aku tidak tahan.. aku masih ingin hidup..."

"Sampai akhir hayatnya pun, papa tetap seorang pengecut sampai penyakitnya berhasil membunuhnya." Ru menyela ucapan adiknya. Dan itu sukses membuat isakan Luna terhenti. "Papa baru meninggal tiga bulan lalu.."

Keheningan kembali terjadi baik pada Ru, maupun si penelepon. Adiknya pasti sedang shock sekarang, karena seseorang yang diharapkannya kembali, ternyata tidak akan pernah kembali lagi.

"Maaf, aku baru memberitahu disaat seperti ini.."

Ru malah mengukir senyum kecil di bibirnya. Mungkin adiknya ini menahan emosinya dan berpikir, kenapa tidak memberitahunya dari dulu? Bagaimana nasibnya sekarang dan semua bawahan ayahnya di Hamburg? Apa mereka harus pasrah mati di tangan geng Silver7?

 "Aku yang akan pergi."

"Eh?!" suara Luna yang sempat senyap kembali terdengar tersentak kaget.

"Papa pernah bilang, aku memiliki tanggung jawab meneruskan organisasi yang papa dirikan. Walau aku sebenarnya malas meneruskannya sesuai wasiat papa. Tapi mungkin itu satu-satunya memecahkan masalah disana." Jelas Ru memasang senyum seperti kucing di bibirnya.

"Yah, walau sampai sekarang aku masih sebal dengan papa. Kenapa nama geng mafianya harus sama dengan marga keluarga kita. Mentang-mentang nama keluarga kita keren. Kau juga pasti risih kan selama ini?"

Luna tetap terdiam di telepon. Kali ini adiknya yang sweatdrop* dengan ceplos panjang kakaknya. Kenapa malah bahas itu?

"Aku janji akan melakukan sesuatu. Kau tahu kan aku ini apa?" tanya Ru sedikit mengingatkan rahasianya yang hanya diketahui Luna dikeluarga mereka. "Kau tetaplah sembunyi. Jangan sampai mereka menemukanmu."

"Ba..baiklah.. hati-hati.. Rune.." ucap Luna dengan nada pelan. Sepertinya adiknya ini percaya dengan kakaknya ini.

"Oh, sebelum itu, aku ingin jujur sesuatu." Gadis ini bangkit dari sofanya selagi teleponnya masih betah ia tempelkan di telinga kanannya. "Sebenarnya saat pertama kau telepon tadi dan menangis, kukira kau baru dihamili oleh lelaki bejad dan ditinggal kabur, dan memintaku menggorok leher si pria brengsek itu."

…..

"…kau mau melawak lagi?"


***



*Fick = f**k (Jerman)
*SLI : Sambungan Langsung Internasional
*Wer ist das? = siapa ini? (Jerman)
*Du verdammtes arschloch = you're bloody a**hole (Jerman)
*sweatdrop = suatu ungkapan yang bingung merespon sesuatu dengan hal aneh(bodoh) yang dilihat/didengar
[ Chapter 2 ]

"Hitam tidak selamanya gelap. Kau tahu?"

Tuuut…

Setelah perbincangan dengan adiknya yang sedang bermasalah di kota kelahirannya di Jerman, panggilan yang belum tersambung di ponsel yang masih menempel di telinga kanan gadis serba hitam ini.

'Aku tidak percaya harus menghubungi dia..'

Tidak mungkin kan kalau dia nekat seorang diri pergi ke Hamburg? Apalagi untuk melawan klan mafia Silver7 yang sedang mengancam nyawa adiknya dan para bawahan organisasi milik ayahnya. Itu sebabnya dia menunggu teleponnya diangkat untuk meminta bantuan. Nama "Lucifer" kontak yang sedang dihubunginya tertera dilayar ponselnya.

Oh, bukan. Gadis ini bukan menelepon sosok fallen archangel Lucifer. Tapi itu sebuah marga nama keluarga. Kalau itu Lucifer sungguhan, memang bisa ya dipanggil lewat telepon?

"Dengan kediaman Lucifer. Ada yang bisa saya bantu?" suara pria terdengar sudah cukup tua terdengar menyapanya dengan kalimat formal dan sopan dengan bahasa Jepang.

"Ini aku Vain." Ru menyapa suara yang ia tahu adalah butler keluarga Lucifer, Vainkelhyn. Namun selalu ia singkat Vain semenjak pertama mengenal butler ini, karena nama pria tua ini terlalu berbelit dibaca.

"Oh, nona Rune. Sudah lama sekali, sejak nona—"

"Yah yah.. Sejak aku kabur meninggalkan rumah.. Aku tidak mau membahas itu lagi." Ru langsung menyela keramahan butler di telepon yang ia jepit ke telinga dengan pundaknya, selama kedua tangannya sibuk memasang sarung tangan hitam yang tidak menutup jemari lentik pucatnya. "Aku perlu bicara dengan aniki segera."

"Tuan Tendou pergi bertugas. Beliau tidak akan pulang sampai bulan depan."

Gerakan tangannya sempat berhenti. Dahinya mengkerut dengan wajah panik, mengetahui orang yang dicarinya untuk meminta bantuannya tidak ada ditempat. Padahal Tendou Lucifer yang dia panggil aniki, orang yang paling tepat membantunya melawan sekelompok orang berjas dengan senjata api. Kenapa harus ada yang menyewa jasa kakaknya sebagai pembunuh bayaran disaat dia membutuhkannya?

"Bagaimana dengan Fukuro?"

"Ikut mengawali tuan Tendou."

"Fujiya?"

"Dia juga ikut mengawali beliau."

"…Kay?"

"Terakhir kali nona Kay mengunjungi mansion dua bulan lalu."

'Oh, setan…'

Ru sudah kehabisan nama yang dia percaya di anggota keluarga Lucifer. Mungkin butler bersurai perak Vain ini dapat menolongnya. Tapi butler seperti Vain hanya menuruti perintah Tendou.

Apa itu berarti dia harus melakukannya sendiri?

"Boleh saya tahu masalah nona?" Vain sang butler mulai penasaran dengan maksud Ru yang pernah menjadi bagian keluarga assassin ini kembali menghubungi kediaman Lucifer setelah sekian lama menghilang.

"Ah, tidak. Tadinya aku ingin minta pertolongan kecil. Tapi sepertinya semua orang sedang sibuk. Ahaha…" kuku runcing telunjuk Ru menggaruk pipinya yang tidak gatal, diikuti tawa renyah gadis ini.

"Oh ya. Jangan beritahu siapapun disana kalau aku baru menelepon. Aku tidak mau liburan panjangku diganggu kalau aniki tiba-tiba membawaku kembali ke sana."

"Baiklah no—"

Gadis serba hitam ini langsung memutus teleponnya yang tidak ada hasilnya. Helaan nafas yang panjang dihembuskannya resah.


***


Suara metal yang beradu pelan terus terdengar, setiap satu persatu deretan kunci berbagai jenis yang terpasang berjejer berantakan di pintu masuk apartemen Ru dibuka, dari yang rantai hingga yang dipasang gembok.

Saat pintu kayu itu dibuka, entah kenapa sinar dari luar langsung saja menyilaukan matanya seperti flashbang, hingga Ru harus menutup kedua matanya dengan lengannya.

……

Perlahan lengannya diturunkan, diikuti membuka kelopak matanya. Namun bukan pemandangan deretan gedung pencakar langit yang biasa dia lihat di lantai tiga apartemennya. Melainkan pemandangan deretan gedung yang dibatasi sungai tiap kompleksnya yang dilihatnya dari sebuah atap gedung bertingkat. Ditambah ciri khas yang terlihat jelas yang merupakan icon kota ditempatnya sekarang, selalu ada jembatan.

"…Hamburg?"

Langit yang nampak gelap malam tak berbintang karena gumpalan awan di langit tidak membuat tempat ini gelap gulita. Karena gemerlapan lampu di tiap gedung menghiasi indah pemandangan malam kota seribu jembatan ini. Namun ada hal yang tidak biasa yang gadis serba hitam ini lihat di langit.  Sinar gemerlap aurora yang harusnya terlihat didaerah dingin Artik dan Antartika, terlihat bersinar bergerak halus di langit. Tidak hanya itu, dia pun dapat melihat  menara Eiffel dan menara Pisa yang seharusnya tidak ada di Jerman.

Berkali-kali matanya dikedipkan, bahkan sampai menggosok kedua matanya, untuk memastikan pengelihatannya tidak sedang bermasalah. Tapi ternyata Ru memang tidak salah lihat.

'Sepertinya aku terlalu banyak nyimeng…'

…ratatata…

Ditengah lamunannya dengan kejadian ini, suara samar senapan mesin dari suatu tempat cukup jauh dari tempatnya sekarang mengalihkan perhatiannya. Tidak hanya suara senapan, tapi beberapa kali letusan senjata api pun terdengar. Sepertinya ada baku tembak antar geng mafia, tebak gadis ini.


***

[ Speicherstadt / Distrik Gudang – Hamburg ]


"AARON !!"

Teriakan keras dan diucapkan kompak oleh beberapa orang di salah satu belokan gang selebar lima meter menuju jalan buntu, meneriaki nama pria yang baru saja tergeletak bersimbah darah di tanah, dengan timah panas yang bersarang  di kepalanya berhasil menjemput ajal pria malang ini.

Namun dengan kematian satu pria tadi, tidak menghentikan belasan orang berjas hitam disisi gang lain yang diterangi remang-remang lampu jalan, menghujani peluru pada kelompok lawan yang hanya menyisakan empat orang bersembunyi dibalik tembok kotor gang dan tong sampah, dari geng mafia yang sekarang menginginkan kematian mereka.

"Apa.. ini akhirnya, Net..?"

Sosok wanita berkulit coklat yang kemeja putihnya nampak lusuh oleh lumpur dan bercak darah, menatap sayu rekannya pria berambut coklat pendek dengan kacamata hitam yang terlihat retak lensa kanannya terkait di atas kepalanya. Pria tersebut hanya bisa tertunduk menggertakan giginya dan menggenggam erat gagang pistolnya.

Melihat respon rekannya yang mereka panggil Net tersebut, ketiga orang lainnya di kelompok yang terpojok ini pun tertunduk pasrah di tempat persembunyian mereka. Sepertinya tidak ada harapan lagi untuk mereka selamat dari tempat mereka sekarang.

"Gyaagh!!"

Suara jeritan beruntun yang terdengar dari tempat geng hitam musuh kelompok kecil ini, memecah perasaan duka mereka. Bahkan suara letusan pistol dan tembakan yang mengarah pada mereka tidak lagi terdengar. Rasa ingin tahu pria yang dipanggil Net ini memberanikan diri menunjukan kepalanya dari balik dinding, untuk mengintip apa yang sebenarnya terjadi pada geng lawan mereka sampai perhatiannya teralihkan.

Iris coklat milik Net hanya melihat pandangan para pria berjas musuh mereka tidak menatap kelompok kecil ini lagi, tapi kebelakang kelompok mereka sendiri yang berteriak dan tumbang begitu saja di tanah. Matanya sempat menangkap samar sosok hitam layaknya bayangan melesat begitu cepat melewati satu persatu orang-orang tersebut.

Sampai suara jeritan dan rintihan tidak terdengar lagi, semua orang yang Net lihat sekarang sudah tergeletak tak beraturan di tempat mereka tumbang. Bahkan di tempat bercahaya pas-pasan dimana baku tembak terjadi, Net dapat melihat jelas cairan gelap yang menggenang diantara tubuh mereka tidak lain adalah darah mereka. Gang yang berisik oleh suara tembakan, sekarang menjadi hening.

"Net? Apa yang terjadi?"

Salah satu rekannya pemuda berwajah asia menatap heran Net yang terus menganga ke arah geng musuh mereka. Bahkan Net sendiri tidak mengerti sama sekali, apa yang baru saja terjadi dengan apa yang baru lihat.

Suara langkah kaki yang nampak terdengar menginjak genangan becek terdengar diantara keheningan gang, diikuti sosok hitam yang sebelumnya samar terlihat, menampakan diri berupa sosok wanita serba hitam berdiri dibawah cahaya lampu jalan.

Sosok wajah yang tak terlihat jelas karena bayangan lampu jalan sempat menoleh ke arah Net mengintipnya, menampakan senyum lebarnya yang terlihat bagai seorang psycho bagi si pria berambut coklat acak-acakan ini. Sampai sosok bayangan tersebut menghilang dalam sekejap dari tempatnya bagai hantu,

"Kenapa Net? Kau seperti baru melihat hantu speicherstadt." Tanya si wanita berkulit gelap disebelah Net, akhirnya penasarannya membuat kepalanya ikut keluar untuk mengintip. Begitu juga dua rekan lainnya. Sayang mereka tidak melihat semua kejadian pria berambut coklat ini, jadi espresi mereka hanya kaget sekilas dengan kondisi geng hitam di tempat mereka tergeletak.

Rasa takut Net malah semakin menjadi-jadi, saat lehernya serasa ada yang menyentuh dan mengusapnya halus dengan jemari lentik yang terasa dingin karena basah, yang bisa dibayangkan itu basah karena darah. Belum goresan halus yang terasa dari kuku-kuku runcing jari tangan tersebut, membuat bulu kuduk pria ini serasa membeku.

"Apa kau ingin bernasib seperti mereka juga.. Nethanel sayang..?" bisikan halus perempuan terdengar jelas di dekat telinga Net.

"GYAAAAGH?!!"

Teriakan manless yang kembali memecah keheningan gang membuat ketiga rekannya langsung menoleh ke arah rekannya yang berteriak, membuat kelompok kecil itu menangkap sosok gadis serba hitam, sudah berdiri diantara mereka berempat. Selain ketiga orang tersebut menodongkan senjata api ke arah sosok gadis misterius ini, Net malah bersembunyi dibalik badan rekan perempuan berkulit gelap ini.

"Pfft...!" bukannya merasa terancam dengan ketiga pistol yang sedang  ditodongkan kearahnya. Gadis hitam ini malah tertunduk membungkam keras mulutnya dengan punggung tangannya, sementara tangan lainnya memeluk perutnya yang terkocok geli.

"Ya ampun.. Net.. Ahaha… Kau masih gampang dijahili.." kepala gadis serba hitam ini didongkakan, menunjukan wajahnya berkulit pucat dengan sedikit cipratan darah yang mengenai pipi kanannya, masih tersenyum lebar menertawakan kejahilannya pada Nethanel.

Ditengah rasa heran dan bingung keempat orang ini melihat gadis serba hitam yang terus tertawa ini, dari wajahnya, suaranya, dan kelakuannya tadi, rasanya mereka memang mengenalnya dekat, tapi mereka belum mengingat siapa. Mungkin karena sudah tiga tahun tidak bertemu, dan penampilannya sudah berbeda jauh.

"…Rune?" tebak Nethanel menatap sipit gadis serba hitam.

"Nona muda?!" ketiga orang lainnya memekik kompak saat ingat siapa sosok serba hitam dihadapan mereka, sampai gadis serba hitam ini langsung menutup kedua lubang telinganya dengan suara keras yang menyakitkan pendengarannya yang tajam.

Mereka berempat tidak menyangka, kalau dihadapan mereka sekarang adalah putri sulung pemimpin organisasi Plegethon. Mereka sempat tidak mengenalinya, karena dulu putri boss mereka berambut putih dengan mata merah, ciri khas berkelainan albinism.

"Ahaha… Kalian hampir memecahkan gendang telingaku." sambil tertawa renyah, gadis yang terus tersenyum ini mengumpat dengan nada halus. Telinganya sukses berdengung karena teriakan mereka bertiga.

"Sampai mana tadi.. oh. Jangan panggil aku dengan nama Rune lagi. Aku terlanjur menghapusnya dari ingatanku." Telunjuk berkuku runcingnya diacungkan menempel ditengah bibirnya yang menyeringai kecil.

"Sebelum aku memberi solusi gila dengan masalah kalian, aku ada banyak pertanyaan pada kalian."

***

*aniki = kakak laki-laki (Jepang)
[ Chapter 3 ]

"Selalu ada sesuatu dibalik gelapnya hitam…"


"Mengalahkan Silver7 ?!!"

Teriakan kompak beberapa orang yang cukup jelas terdengar dibalik dalam salah satu gedung lantai bawah area Speicherstadt, atau dapat diartikan juga sebagai distrik gudang oleh warga lokal.

"Demi setan.. kalian itu kaget, atau hanya ingin membuatku tuli?"

Gadis serba hitam yang dipanggil Ru ini menatap malas orang-orang diruangan penuh dengan tumpukan kotak. Para mantan bawahan organisasi ayahnya ini hanya tersisa lima orang, bahkan keadaan mereka hampir semuanya lusuh karena babak belur.

"Dengar. Aku tahu ini terdengar gila. Tapi setidaknya hanya itu solusi menghentikan kegilaan tempat ini."

"Tapi itu rasanya mustahil." Nethanel, si pria berambut coklat pendek dikenal Net, menatap Ru dibalik kacamata hitamnya yang retak lensa kanannya. "Silver7 hampir menguasai sebagian besar teritori kota Hamburg."

"Net benar.. Bagaimana menghancurkannya kalau hanya kita berenam?" Eveline, wanita berkulit coklat dan rambut hitam panjang menambahkan ucapan Net. Kalau saja wanita yang beberapa tahun lebih tua dari Ru ini mengenakan jas dan rok serba hitam sepertinya, pasti penampilan Eve paling gelap diantara mereka berdua.

"Jadi kalian pasrah saja terus bersembunyi seperti ini?" tatapan malas ditambah senyum ledek Ru terus dipasang, selagi punggungnya disandarkan pada tumpukan kotak kayu dibelakangnya.

"Melawanpun rasanya percuma.. Kita kalah jumlah." Mikoto, pemuda berwajah asia yang rambut hitam kemerahan diikat kebelakang, hanya bisa tertunduk selagi memasang perban pada lengan berotot kawannya yang paling tua diantara mereka, pria berambut perak acak-acakan yang selalu bungkam, Egonhardt.

Sementara satu anggota terakhir mereka yang paling muda, Roxanne, terus menyibak rambut blondenya ke belakang telinga, selagi matanya fokus pada layar laptop dipangkuannya. Entah tidak tahu ingin merespon apa, atau lebih memilih merapatkan mulutnya.

Sampai untuk beberapa saat, tempat mereka yang hanya diterangi lampu bohlam yang tergantung di langit-langit ruangan, hening.

"Myuu~ Myuu~"

Ringtone meongan anak kucing dari ponsel milik Ru menjadi pusat perhatian mantan bawahan klan ayahnya. Gadis serba hitam ini memperhatikan nomor yang tertera di layar, nomor yang sama dengan nomor yang pernah Luna pakai menghubunginya.

"Hallo Luna." Sahut Ru dengan nada ceria saat mengangkat teleponnya. "Ah, ya. Maaf aku lupa menghubungimu. Tadi waktu aku sampai di bandara aku dikejar anjing dan—"

"Sepertinya putri Rald yang satu ini juga sudah besar."

Suara ditelepon yang terdengar bukan suara adiknya menghentikan ocehannya. Melainkan suara pria seperti om-om, dengan nada yang terkesan licik terdengar di ponselnya.

"Siapa ini?" seringai kecil di bibir Ru langsung turun. Ponselnya diturunkan dari kupingnya, dan menyalakan loudspeak agar kawanannya dapat mendengar. "Dimana Luna?"

"Kau bisa memanggilku Hulbert. Kau tahu kan? Pemimpin klan yang sedang mengincar nyawa kalian, Plegethon.."

Semua orang diruangan ini mulai memasang wajah serius mendengar. Kecuali Ru, yang terlihat tenang dengan seringai kecilnya.

"Kau malah mengingatkanku pada si hijau Hulk."

"Jaga baik-baik mulutmu kalau tidak mau gadis manis ini kenapa-napa."

"Siap.. ..ang kau.. ..adi.. ..anis..?!"

Dengan samar mereka berenam mendengar teriakan dan ocehan kasar perempuan dibalik suara Hulbert. Dan mereka langsung yakin kalau itu suara Luna.

"Baik. Katakan saja apa maumu?" dengus Ru dengan wajah malasnya. "Kalau kau mau aku dan Luna menjadi pelayan pribadimu dengan pakaian ketat dengan hiasan hewan kelinci, lupakan saja. Lebih baik aku meniduri Luna secara privat."

Ucapan Ru barusan membuat kelima orang disana terdiam sweatdrop.

"Tapi.. kalau kostum maid dengan telinga dan ekor kucing, mungkin aku akan berubah pikiran." imbuh gadis serba hitam ini memasang senyum rubahnya.

"Siapa juga yang mau punya pelayan kasar dan aneh seperti kalian?" Hulbert sempat terdengar mendengus sebal. Ru sempat tertawa bergumam mendengar respon si tua Hulbert ini.

"Tadinya aku ingin membunuh gadis ini, lalu mencarimu dan sisa anggota klan Plegethon. Tapi ada seseorang yang sangat ingin bertemu dengan putri sulung Plegethon ini.."

"Siapa?"

"Oh, kau akan tahu sendiri bila kau datang. Tapi kalau kau tidak ingin datang, jangan salahkan kalau kau tidak dapat mendengar suara adikmu ini, selamanya."

Ru terdiam ditempatnya menatap ponsel ditangannya. Dia mulai penasaran, siapa yang mencarinya selain si bapak-bapak penyekap adiknya ini.

"Kalau kau masih menyayangi perempuan ini, kami menunggumu di gudang paling ujung di Hamburg Port barat. Tapi tidak akan semudah itu kau dapat kemari, karena anak buahku akan sedikit bermain-main."

Tawa terkekeh Hulbert terdengar jelas, sampai tawa itu berhenti bersamaan dengan tertutupnya hubungan teleponnya. Ponselnya kembali disimpan ke dalam saku blazernya.

"Aku butuh bantuan kalian." Ru memasang wajah serius pada kelima orang disana. "Aku tahu kita kalah jumlah. Tapi Luna satu-satunya keluargaku yang tersisa.."

Mereka berlima sempat bergantian saling tatap dengan tatapan resah. Tidak ada jawaban dari mereka, membuat Ru mendesah keluh.

"Biarkan kami membantu, anego*." ujar Mikoto memecah keheningan. Wajahnya terpasang serius. "Klan tuan Rald memang sudah bubar. Tapi kami masih dalam bagian keluarga Plegethon."

Ucapan Mikoto membuat keempat orang lainnya tersenyum menatap serius pada gadis serba hitam ini. Tatapan mereka membuat Ru mendengus geli.

"Jangan salahkan aku kalau kalian nanti mati, oke?" senyum miring Ru terpasang menatap mantan bawahan ayahnya. Ralat, bawahannya sekarang.

"Roxy! Kau tetap disini. Hubungi anggota klan Kees juga. Kebetulan mereka punya hutang yang belum dibayar." titah Eve.

"Roger that~!" jemari gadis blonde ini langsung menekan cepat tombol-tombol keyboard laptop dipangkuannya.


***


[ West Hamburg Port – Hamburg ]

Setelah lima anggota bawahan Ru sekarang  memutuskan membantunya menyelamatkan Luna yang disekap, Roxanne menghubungi klan Kees, klan yang beraliansi dengan klan milik ayahnya. Walau tim yang akan menyerbu tempat perjanjian dimana dia bisa bertemu pemimpin klan Silver7 hanya beranggotakan 13 orang termasuk dirinya, mereka tetap maju melawan.

Hamburg Port barat malam itu bising oleh suara letusan senjata api dan ledakan dari granat yang dilempar. Walau pasukan Silver7 disana jumlahnya tiga kali lipat dari pasukannya, tidak ada rasa takut dari tim kecil ini.

Sosok bayangan hitam terlihat bergerak begitu cepat melewati kerumunan orang-orang bersenjata diantara kontainer besar di port. Saat sosok bayangan tersebut berhenti di barisan belakang musuhnya, belasan orang yang baru dilewati bayangan tersebut langsung ambruk ke tanah dengan luka sayatan leher.

Bila diperlihatkan ulang dalam slow motion, sosok serba hitam Ru berlari melesat bagai macan kumbang. Saat melewati barisan berantakan para pria bersenjata api Silver7, selembar kartu remi hitam berlambang diamond di tiap tangan gadis ini, menebas dan menggores rapi leher tiap orang yang dilewatinya sedalam 5cm. Beberapa orang yang tidak sempat terjangkau olehnya, dilempari kartu remi hitamnya hingga menancap dalam menembus tulang tengkoraknya.

Kedelapan orang bawaan dari klan Kees mengurus sisa musuh mereka. Sedangkan Ru dan keempat anggota lainnya, Net, Eve, Mikoto, dan Egon, langsung menerobos masuk ke gudang tempat perjanjiannya dengan Hulbert. Sesuai rencana mereka.

…….

Hening.

Gudang yang mereka masuki benar-benar hening. Bahkan tidak ada tanda-tanda ada orang di tempat mereka sekarang. Bahkan insting tajam telinga Ru yang dilatih oleh keluarga Lucifer, tidak merasakan keberadaan lain selain mereka berlima.

"Kau yakin ini gudang yang benar?" suara Net yang bahkan diucapkan pelan cukup terdengar nyaring dengan keadaan kosong dan hening tempat ini.
"Aku menanyakan hal yang sama." ucap Ru membuka matanya, menoleh setiap sudut gudang yang ia lihat, hanya berisi deretan kotak. Gadis ini mendengus kesal.

"Jangan bilang kalau si tua itu mempermainkan ki—"

Ucapan Ru terhenti saat rambut hitam panjangnya terkibas kebelakang begitu saja, seperti ada sesuatu yang melesat melewatinya begitu saja. Bahkan terlalu cepat untuk disadarinya.

Brugh

Setelah rasa kaget sekilas tersebut, satu persatu tubuh rekannya ini ambruk begitu saja didekat kakinya. Cairan merah mulai keluar menggenang diantara tubuh mereka yang tergeletak, sampai gadis ini dapat mencium jelas aroma anyir darah pada mereka berempat.

Ru berbalik ke belakang dengan perlahan dan kaku, menatap dua sosok yang baru saja melakukan pembunuhan yang begitu cepat, kedua matanya terbuka lebar. Dua sosok pemuda berjas hitam dengan dasi kupu-kupu menatap datar gadis serba hitam ini.

"Fujiya..? Fukuro..?" sahut Ru dengan tatapan yang nampak kaget, karena anggota Lucifer ada disini. Salah satu dari mereka terlihat menggendong sosok gadis berambut putih pendek yang memiliki wajah sama dengannya, tidak lain adalah Luna. Tapi Ru bersyukur dapat mendengar nafas adiknya yang pelan, menandakan kembarannya ini masih hidup.

"Masih berkeliaran bebas seperti kucing liar, Lune?"

Sepasang manik hitam dimatanya kembali membulat sempurna, dengan suara laki-laki yang  baru saja terdengar menyapanya dibelakangnya. Gadis ini pun kembali berbalik, menatap seseorang yang bisa ia tebak siapa dari suaranya.

Sosok pria lain yang mengenakan tuxedo hitam yang sama dengan dua anggota Lucifer sebelumnya. Namun pria ini memiliki ciri khas perban menutup keningnya dan senyum rubah yang terus terpasang di wajahnya.

Penampakan dari anak sulung dari keluarga assassin Lucifer yang pernah mengadopsinya— ralat, merebut hak asuhnya dari keluarganya sendiri. Sekarang kakak tirinya ini sudah menjadi pemimpin keluarga tersebut, Tendou Lucifer.

Sosok kakak laki-laki didepannya terus memasang senyum yang dipejamkan matanya, bagai senyum rubah. Sepasang manik hitam Ru sempat menoleh ke arah sesuatu yang bulat dan berambut ditenteng kakaknya, menjatuhkan tetesan cairan kental merah gelap tidak lain adalah darah. Itu penggalan kepala si tua Hulbert yang sudah tidak utuh bentuknya dengan luka bakar diseluruh wajahnya.

"Aniki..?"

***

*anego = panggilan pada boss wanita di kalangan yakuza

[ Chapter 4 ]

"Terlalu gelap untuk dilihat?"


 "Hah.. hah.. hah.."

Nafasnya yang terengah-engah dikeluarkan berat dari saluran tenggorokannya yang panas akibat kelelahan. Iris merahnya yang menatap tajam Tendou dihadapannya, sekilas terlihat bersinar dibalik kontak lensa hitamnya.

Gudang yang sama, dimana sosok serba hitam bernama Ru ini bertemu dengan kakaknya, sekarang nampak panas dengan kobaran api yang sempat berkobar di beberapa titik di gudang membakar beberapa barang disana. Namun tempat ini malah lebih gelap dari sebelum tempat ini terbakar, karena api yang berkobar di tempat ini berwarna hitam pekat.

Sementara di sisi timur gudang dimana tumpukan karung dan kotak yang tidak tersentuh dari kobaran api hitam. Disana pula Fujiya dan Fukuro, dua anggota elit Lucifer, mengawasi pertarungan kedua kakak adik asuhan Lucifer ini dari atas sebuah kotak kontainer, sambil menjaga tubuh saudarinya yang tergeletak tak sadarkan diri. Disisi lain mereka bertiga, tubuh rekan gadis serba hitam ini, Nethanel, Eveline, Mikoto, Egonhardt terbaring kaku dengan kemeja mereka kotor oleh cairan merah.

"Kenapa Lune? Masih marah dengan lelucon tadi?"

Dengan senyum rubah yang terus dipasangnya pada adik tirinya ini, jemari milik Tendou melonggarkan dasi kupu-kupu hitam dikerahnya. Beberapa bola api hitam dan putih sebesar bola tenis terlihat melayang mengorbit pada pria ini.

"Tch.. !" Ru mendecak kesal. Kibasan tangan kanannya yang cepat, melesatkan selembar kartu hitam pada Tendou dari lemparan tangannya.

Mata Tendou yang terpejam terbuka sipit pada kartu hitam yang mengarah padanya, yang ternyata terbakar api hitam. Api hitam tersebut berkobar membesar, membentuk sosok macan dengan mulut bertaring yang terbuka mengarah padanya saat ditengah jarak mereka.

Dua buah bola api putih milik Tendou melesat ke arah macan api hitam.

Blarr!

Ledakan terjadi saat kedua api hitam mereka saling menabrak dihadapan Tendou, menimbulkan kepulan asap hitam.

Baru saja ledakan tersebut reda, Ru melesat ke arah Tendou dari balik asap ledakan menebas diagonal remi hitam berlambang diamond putih ditangannya dalam jarak dekat. Namun hanya gerakan kesamping sambil melangkah mundur Tendou, tebasan kartu tajam gadis itu meleset. Berulang kali Ru menebas kedua kartu ditangannya dengan cepat layaknya sepasang dagger. Tapi harus diakui kakak tirinya ini lebih cepat darinya, hingga tidak tergores sedikitpun kartu tajamnya.

Crashh!

Sontak tendangan telak ke uluh hati Ru balasan dari Tendou, membuat gadis itu terlempar hingga meretakan kotak kayu yang berhasil gadis ini tabrak dengan punggungnya.

"Kugh..!" Setitik darah mengalir di sudut bibir gadis ini yang sedang menggertakan giginya.

Lima lembar kartu berlambang club berterbangan dari mulut lengan blazer Ru, dan melayang berantakan diatasnya dengan keadaan sisi kartu reminya terbakar api hitam. Gestur tangannya yang menunjuk ke arah Tendou, membuat kartunya tersebut melesat bergantian ke arah pria didepannya.

Blarr! Blarr! Blarr!

Ledakan beruntun terjadi kembali membuat area pertarungan mereka semakin gelap oleh asap tebal yang mengepul. Namun sepertinya itu tidak mengganggu pandangan mereka menyadari kehadiran masing-masing lawannya dengan indra pengelihatan mereka yang memang tidak biasa.

Sepasang mata Ru yang disipitkan melihat jelas Tendou berhasil menghindari tiap ledakan kartunya yang dia lempar, dengan bergerak cepat zig-zag dan mengarah padanya dengan seringai kecilnya yang tetap terpasang.


"U-ung…"

Suara gaduh yang terdengar di dalam gudang yang terbakar membuat Luna yang daritadi pingsan akhirnya tersadar. Gadis albino ini langsung tersentak bangun waspada dengan kebaradaan dua pria bertuxedo yang berada disebelahnya.

Salah satu dari mereka yang nampak lebih muda menoleh sekilas ke arah Luna, dan kembali memperhatikan pertarungan antara adik kakak Lucifer.

Luna terdiam sejenak memijat keningnya, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum dia tidak sadarkan diri.

Salah satu dari mereka malah menyembuhkan lukanya dengan semacam sihir, lalu membiarkannya menghajar pria tua yang menculiknya yang dia tahu dalang kekacauan kota Humberg, hingga babak belur.

Banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan gadis ini pada mereka berdua. Namun suara ledakan yang terdengar dari tengah gudang membuatnya reflek menoleh ke sumber keributan. Hanya ruangan yang dipenuhi kepulan asap hitam diantara kobaran api hitam yang membuat tempat ini samar dilihat. Namun Luna dapat melihat sesuatu bergerak sangat cepat diantara kabut asap yang terkadang disertai ledakan dan semburan api hitam.

"Umm.. apa yang terjadi?" Luna menoleh kembali ke arah dua pria bertuxedo disebelahnya dengan wajah yang kebingungan. Mereka berdua seperti dapat melihat jelas apa yang sebenarnya terjadi dibalik kepulan asap hitam.

"Kau pingsan setelah melihat kepala Mr. Hulbert terpenggal."

"B-bukan itu.." perut Luna serasa terkocok mual mengingat lagi kejadian itu. Tangannya menunjuk ke tengah ruangan "Tapi yang sedang terjadi di sana."

"Hanya acara reuni kecil keluarga Lucifer."

Jawaban mereka berdua tidak bisa Luna mengerti. Apa dia hanya bisa diam disana memperhatikan sesuatu yang bahkan tidak bisa dilihat dengaj jelas?

"Kyaaaagh?!!"

Kobaran api yang berputar layaknya tornado berwarna biru langit, sontak menyala kontras dibalik hitamnya kabut asap. Teriakan wanita yang terdengar jelas di arah kobaran api tersebut, mungkin karena nalurinya, Luna langsung menebak itu suara kakaknya.

"Rune?!!"


………

Keheningan terjadi setelah api biru berhenti berkobar. Bahkan kepulan asap hitam perlahan menghilang.

Sosok wanita serba hitam Ru terlihat terduduk lemas di tanah, dengan rambut dan bajunya yang nampak lusuh. Sementara Tendou berdiri dihadapannya sibuk menepuk debu yang mengotori tuxedonya.

Kepala Ru yang tertunduk menatap kedua telapak tangan pucatnya dari sarung tangannya yang sudah robek terbakar. Serangan terakhir yang telak mengenainya, entah kenapa membuatnya tidak bisa mengeluarkan kemampuan api maupun bayangannya. Tendou sudah melakukan sesuatu pada kekuatannya.

"Khh..!" Ru menatap geram wajah Tendou yang tetap memasang senyum rubahnya. "Kenapa api dan bayanganku aniki kunci?"

"Kalau Lune terus menggunakan kekuatanmu seperti itu, nanti dia bangun."

"Tch..!" Tangan Tendou yang diulurkan akan menyentuh kepala gadis serba hitam ini langsung ia tepis kasar. Tatapan sinis tetap terpasang pada wajah gadis ini, membuat senyum Tendou sedikit turun.

"Ah.. kau kesal karena aku bekerja pada musuh ayahmu hanya untuk—"

"Membuat sebagian besar anggota Plegethon habis, dan hampir membuatku kehilangan Luna..?" Ru langsung menyela dengan kesal.

"Ah.. adikmu?" Tendoulangsung menoleh ke arah dimana Luna mengawasi mereka berdua dengan wajah cemas. "Kenapa Tuan Rald tidak memberikan dia juga dulu ya? Kalian jadi terpisah seperti ini."

Selembar kartu hitam langsung dilempar Ru ke arah wajah Tendou, sebelum kartu tersebut dengan mudah ditangkap pria ini hanya dengan telunjuk dan jari tengahnya.

"Cukup aku saja yang harus menerima kutukan Lucifer.. Jangan bawa saudariku.."

 Grep

"Khh...!!" leher gadis hitam ini dicekik keras hanya dengan sebelah tangan Tendou, sampai tubuhnya yang kurus terangkat hingga kakinya tergantung.

"Tidak!!" Luna yang melihat keadaan kakaknya langsung melompat turun dari kontainer, dengan paniknya berlari ke arah Ru.

"Kyaagh?!"

Hantaman keras yang menyakitkan mengenai punggungnya, membuat gadis ini sontak jatuh tersungkur dengan posisi telungkup. Belum sempat dia akan bangun, punggungnya tertindih dan mengunci kedua tangannya ke belakang oleh Fujiya.

"Cih..! Lepaskan!!" teriak Luna memberontak dalam posisinya yang sudah terkunci. Bahkan kobaran api merah menyala dikepalan tangannya tidak membuat pemuda bertuxedo hitam ini menyingkir.

Perhatian Tendou sempat teralihkan pada keributan yang ditimbulkan Luna.

"Lucu. Padahal kau sendiri yang memberikan kutukannya pada adikmu." Tendou menoleh kembali ke arah adik tirinya yang sedang ia cekik, sedang menancapkan kuku runcingnya pada lengan yang sedang mencekik lehernya.

"L..Lu.. ghak..!" dengan suara yang bahkan sulit dikeluarkan, Ru hanya bisa menatap lirih ke arah adiknya di posisinya yang sama-sama terkunci.

"…mm-hm-hm." tawa berguman terdengar dari balik bibir yang tersenyum lebar Tendou. Cengkraman tangan ke leher ke adik tirinya ini langsung dilepaskan, membuat Ru kembali tersungkur ke tanah sambil terbatuk-batuk.

"Hah.. hah.. apa yang lucu..?" Ru memegangi lehernya yang masih terasa sakit, menatap heran kakaknya yang tertawa. Bahkan Luna pun yang ikut kebingungan berhenti memberontak.

"Aku hanya bercanda soal membawa Luna ke kediaman Lucifer. Mengurusmu saja sekeluarga sudah kerepotan. Apalagi dua?"

"Oh, aku memang merepotkan. Terima kasih.." Ru memalingkan wajahnya yang sedikit merona karena malu. Sementara Luna hanya menganga kebingungan dengan ucapan mereka. Maklum, Luna tidak pernah tahu bagaimana kehidupan saudarinya itu saat diasuh oleh keluarga assassin Lucifer.

Tangan Tendou yang akan menyentuh ubun-ubun adiknya ini kembali ditepis lemas.

"Kau masih marah karena sudah membahayakan saudarimu?"

"Aku tidak pernah marah soal itu.." iris hitamnya menggelinding ke sudut matanya melirik kakaknya "Justru aku berterima kasih pada aniki. Musuh papa sudah mati, papa bisa isirahat dengan tenang.

Kepalanya menoleh ke arah adiknya yang masih telungkup oleh kedua asisten Tendou. Senyum tipis "Dan.. aku bisa bertemu lagi dengan Luna."

"Rune…" gadis berambut putih ini menatap sayu Ru ditempatnya dengan mata yang terasa berair. Memang benar selama ini mereka selalu terpisah kehidupannya, sejak mereka berusia sepuluh tahun.

"Lalu.. kenapa kau langsung menyerangku saat pertama bertemu?"

 "Yang membuatku marah.." telunjuk Ru langsung menunjuk tajam kearah tubuh keempat rekannya tergeletak.

"Kau menyuruh Fujiya membuat mereka pingsan dan menyelipkan kantung plastik bocor berisi darah di baju mereka, sampai mereka terlihat baru mati untuk menjahiliku? Kau mau aku terkena serangan jantung!?"

.........

'..kau mengamuk hampir membakar seluruh gudang… hanya karena itu?!' urat berbentuk empat persimpangan terbentuk di kening Luna, menggerutu geram dalam batin pada kakaknya ini. Kepalan tangannya yang terlihat terbakar rasanya ingin sekali memukul wajah Ru sekarang juga.

"Mm-hm~" tawa bergumam dibalik senyum rubah Tendou kembali terdengar. Dia sudah mengenal lama gadis serba hitam ini, jadi dia paham betul dengan sifatnya.

"Baiklah. Aku minta maaf soal itu." Tendou kembali mengulurkan tangannya pada kepala adiknya. Kali ini tanpa tepisan, tangan pria ini berhasil mengusap rambut hitam Ru yang nampak acak-acakan karena pertarungan mereka yang tidak berarti tadi.

Ru sempat terdiam menatap senyum rubah kakak tirinya yang ditunjukan padanya. Gadis ini malah memasang senyum manisnya pada Tendou. "Dimaafkan."

Duakk

Hantaman keras baru dilakukan Luna ke keningnya sendiri ke lantai hingga retak, berteriak dalam batinnya dengan tingkah bodoh kakaknya ini. Ouch.

"Please kill her..." guman pelan Luna yang terus menempelkan keningnya ke lantai. Fujiya dan Fukuro hanya diam sweatdrop melihatnya. Ru yang melihat reaksi Luna malah membungkam mulutnya yang tersenyum lebar.

"Aniki.. bisa kau.. mengirimku ke rumah sakit..?" pinta Ru dengan kelopak mata yang menyipit seperti mengantuk dan lelah pada Tendou.

"Huh? Bukannya ada Fukuro bisa menyembuhkanmu dengan sihir penyembuh?"

"Bukan itu.. aku lupa.." pandangan Ru yang mulai gelap ditambah keseimbangannya yang mulai goyah. "..menyuntikan.. insulinku.."

Thud

Tubuh Ru yang sudah terlanjur lemas tak dapat menahan tubuhnya, langsung ambruk telungkup ke lantai berdebu. Saat pandangannya mulai gelap, suara samar adiknya berteriak memanggil namanya, sampai tak ada suara lagi yang terdengar.


***

…….

'Aku masih hidup?'

Itu yang dipikirkannya pertama kali, saat sosok wanita serba hitam ini tersadar dengan kelopak matanya yang baru setengah terbuka.

Gelap, hening, berkabut. Itu yang dipikirkannya saat melihat tempat dimana dia sekarang. Rasanya tempat ini pernah dia datangi.

'Ng?'

Matanya menatap heran dengan permukaan berbulu putih dan lembut, dimana sekarang dia terbaring. Tangannya mulai mengusap dan meresapi rasa lembut dari lebatnya bulu ikal dan putih permukaan ini, seperti bulu domba.

"Bhaa....."

Bahkan Ru dapat mendengar suara domba saat memikirkan tempat tidur ini. Pipinya pun ikut menggosok pelan bulu-bulu ini, dan akhirnya kembali membenamkan wajahnya menyesapi lembut tempat tidur ini. Rasa nyaman ini membuat dia ingin kembali tidur.

"Bhaaa..!"

Tunggu.. Suara domba itu bukan dari pikirannya. Tapi benar-benar dekat dengannya. Sungguh dekat.

"Bhaaa..!"

"KYAAA?!" brugh

Tubuh gadis ini sontak melompat bangun dari gumpalan bulu putih tersebut, yang ternyata memang seekor domba. Tapi karena terlalu keras melompat bangun, tubuh gadis ini langsung jatuh tersungkur disebelah domba.

"Fick..! Ughh…"

Merasa déjà vu, gadis ini mengumpat kesal mengusap pundaknya yang kesakitan karena posisi jatuh yang salah, sementara matanya menatap sinis pada domba yang menatap polos padanya dengan sepasang kelereng hitam mata hewan ini.

Kenapa dia bisa tidur di atas domba? Lagipula hewan ini rasanya terlalu lebat dan lembut bulu putihnya untuk seekor domba pada umumnya.

Pandangannya dialihkan ke arah lain, menelusuri tempatnya sekarang. Yup, seperti mimpi. Tidak ada apapun ditempat gelap berkabut ini. Selain dirinya, seekor domba, dan sebuah bantal berwarna ungu terlihat di balik gumpalan bulu domba disebelahnya.

Tunggu sebentar. Rasanya tadi bantal itu tidak ada disana. Atau memang dia tadi tidak menyadarinya?

Ru mendekat untuk memperhatikan lebih dekat bantal ungu tersebut sampai tubuhnya mendekap ke gumpalan bulu domba.

"Baaa~!"

"HYAAA?!"

Gadis yang mudah tersentak kaget ini kembali berteriak. Ru hampir saja jatuh saat melompat kebelakang. Bagaimana dia tidak kaget, bantal ungu tersebut melompat kemukanya, dan bantal ungu tersebut ternyata bicara suara anak perempuan.

Sosok kepala bantal tersebut melompat keluar dari balik domba putih, menunjukan keseluruhan penampilannya pada Ru. Bantal ungu yang bisa bicara ini ternyata memiliki badan manusia dengan postur pendek seperti anak-anak sekolah dasar, ditambah warna kontras kuning jas hujan yang dikenakannya.

"Selamat~~" dengan nada cerianya, bantal ungu yang terlihat mengembung dari mahluk didepannya merentangkan kedua tangannya. Dan Ru baru sadar sosok gadis kecil ini memegang permen loli besar berbentuk gagang payung.

"…hah?"




[ Chapter 5 ]

"Au ah. Gelap…"


[ ??? ]

"Err…"

Keringat dingin terlihat mengalir dari kening gadis serba hitam ini. Untuk beberapa saat wanita serba hitam ini terdiam dengan sosok ceria anak kecil, atau mungkin sosok yang menyerupai anak kecil yang menamai dirinya Ratu Huban. Ru masih belum memastikan itu manusia, atau semacam peri yang memberi keajaiban pada orang-orang memberi mimpi di dalam tidur.

Gadis kecil berkepala bantal ungu itu daritadi menatap si wanita serba hitam, atau memang sedang menatapnya menurut pikiran Ru. Karena kepala gadis kecil didepannya tidak ada mata, hanya wajah datar tak bercorak yang sepasang manik hitam Ru lihat.

Ru pasti sudah memeluk erat gadis berkepala bantal ini ke dekapannya. Kalau dia tidak kebingungan dengan apa yang terjadi sebenarnya, dan Ratu Huban berhenti mengayun-ayunkan dengan girang gagang payung yang nampak seperti permen super manis itu, membuat si penderita diabetes akut ini ngilu melihatnya.

"Ratu Huban?" sahutnya dengan wajah yang penuh kebingungan.

"Ya?" gadis kecil itu membalas sahutannya dengan nada anak-anaknya. Terdengar imut, pikirnya.

"Tadi kau bilang.. tadi itu mimpi?"

"Lebih tepatnya, itu bingkai mimpimu sendiri."

"Dan semua yang kualami tadi.. dari bangun tidur.. dan…" Kedua alisnya menaung turun dengan kata-kata yang sulit ia jelaskan. "Kenapa kau lakukan itu?"

"Itu semua ujian babak prelim yang kami berikan."

"Lalu.. domba berbulu lebat dan lembut ini?" Ru menunjuk domba disebelahnya.

"Kau menyukainya?" tanya Ratu Huban. "Kuberikan sebagai tanda kau yang terpilih~"

Gadis kecil berkepala bantal ini terus menjawab dengan nada ceria anak-anak. Bantal yang merupakan kepala sosok ini nampak sedikit mengembang saat menjawabnya. Ru berpikir kalau Ratu Huban punya wajah, dia sedang tersenyum berbunga-bunga sekarang. Apa seperti itu mahluk tak berwajah ini menunjukan ekspresinya?

Jemari lentik Ru kembali memijat keningnya, melirik kembali domba 'ajaib' yang dimaksud Ratu Huban. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang dibicarakan gadis berkepala bantal ini. Apa maksudnya dia terpilih?

"Apa itu berarti aku boleh bangun?" gadis ini kembali bertanya. "Aku ingin kembali membereskan apartemenku yang bau ganja, sebelum nenek tua pemilik apartemen menciumnya dan melaporku ke polisi."

Kepala bantal ungu itu terlihat menggeleng pelan. "Masih ada beberapa test lagi yang akan kamu lewati."

"Masih ada lagi?" kadis serba hitam ini hanya bisa mendesah keluh dengan jawaban dari Ratu Huban. Apa dia harus pasrah mengikuti apa yang dikatakan sosok gadis didepannya?

"Bhaaa..!" domba putih pemberian Ratu Huban kembali bersuara, saat gadis serba hitam ini menjatuhkan tubuh rampingnya ke atas gumpalan bulu tebal putihnya bagaikan melompat ke ranjang empuk. Bahkan dengan tinggi yang melampaui panjang dombanya ini, gadis ini memaksakan tidur dengan menggumpal seperti posisi kucing tertidur.

"Mmmn~ Seperti mimpi saja bisa tidur di atas domba. Oh, tunggu. Ini memang mimpi ya. Ahaha…" Celetuknya kembali membenamkan wajahnya ke gumpalan bulu yang lembut dombanya. Setidaknya domba pemberian Ratu Huban ini bisa menenangkannya dari pikiran kacaunya.

"Oh ya, Ratu Huban." Tubuh Ru yang memaksakan berbaring seperti kucing pada gumpalan bulu putih dombanya, mendongkakan kepalanya menatap si gadis kepala bantal. "Aku tidak tahu bagaimana kalian tahu nama asliku. Tapi aku lebih ingin dikenal dengan nama Ru Ashiata."

"Memang kenapa?" kepala bantal ungu tersebut terlihat dimiringkan menatapnnya.

"Yah.. aku hanya tidak ingin terdengar seperti laki-laki karena nama dari ayahku." Kedua tangannya menopang masing-masing pipinya, menatap bantal ungu Ratu Huban.

"Lagipula, aku sudah terbiasa dengan nama Ru. Tidak apa kan?" gadis serba hitam ini memasang senyum khasnya, seringai kecil seperti senyum rubah. "Nanti aku tunjukan beberapa trik kartuku."

"Yay~ pertunjukan sulap~" Ratu Huban berputar senang sambil mengayunkan tongkat permennya. Bahkan beberapa kembang api memercik indah di udara saat tongkat tersebut terayun. "Nanti ramal aku ya?"

"Err… aku bukan peramal…" Ru sweatdrop dengan permintaan gadis kecil ini.

"Kalau begitu ku akan beritahu paman Nurma nanti." Ratu Huban kembali menghadap Ru yang masih berbaring di atas dombanya.

"Paman.. siapa?" kepala Ru kembali dibaringkan miring ke gumpalan lembut dombanya. Matanya yang semakin menyipit menandakan gadis serba hitam ini mengantuk.

"Paman Nurma seorang kurator." Jelas Ratu Huban. Kepala bantal ungu tersebut terlihat menoleh menelusuri tempat gelap dimana mereka berada, seperti mencari sesuatu. "Tapi seharusnya paman sudah disini daritadi. Kemana ya paman?"

"Zzzz…." Dengkuran pelan gadis yang langsung tertidur di atas dombanya, membuat Ratu Huban kembali menoleh pada Ru.

"Ru?"

Tuk tuk

Gadis berkepala bantal ini mengetuk-ngetuk pelan kepala Ru dengan tongkatnya. Tapi tidak ada respon. Si gadis serba hitam ini sudah tertidur lelap, entah karena terlalu lelah akibat test sebelumnya, atau terlalu menikmati domba pemberiannya.

Ratu Huban sempat mengangkat pundaknya, dan kembali membelakangi Ru yang tertidur. Kembang api kembali memercik saat tongkat permen milik gadis berkepala bantal ini menyodokannya ke udara.

Namun dari percikan kembang api tersebut terbentuk lubang cukup besar untuk dilalui, seperti portal menuju suatu tempat. Gadis berkepala bantal ini mulai berjalan, diikuti domba yang mengangkut tubuh Ru yang tertidur dibelakangnya masuk ke dalam portal.


**Continue?**

31 komentar:

  1. kelar juga...

    betewe entri ini ada sentuhan LN jepangnya.. seperti sebutan aniki, dll...

    ru emang kelewat "semau gue", dan itu tergambar jelas di pembukaannya ceritanya. battlenya lumayan tp kok rada kurang dinamik.

    7

    Axel Elbaniac

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah kuduga sedikit kecewa dengan bagian battlenya.. Yah ane juga
      Sebenernya pas bagian battle ngetik rusuh karena panik dikejar waktu. Serius, rusuh. Banyak adegan battle yang ga sempet keketik

      Terima kasih sudah mampir~

      Hapus
  2. Liat nama di charsheet : Ru Ashiata
    Liat nama sepanjang cerita : Rune Plegheton
    Ini masalah namanya mirip kayak Zauber Magi dipanggil Zaima

    Saya rada bingung, ini settingnya jerman kan? Kok masih ada panggilan kayak anego atau aniki?

    Rasanya ciri khas yang ga bisa lepas dari entri yang kiblatnya style LN itu penggunaan sfx ya... Yah, kalo udah sesering ini, rasanya mau ga mau saya jadi toleran juga akhirnya

    Efek sweatdrop itu berasa aneh dibaca tiap kali saya nemu

    Soal ceritanya sendiri, saya rasanya bingung mau komentar apa. Battlenya berasa abrupt, dan karena ternyata semua ini cuma settingan si Tendou Lucifer, jadi ga berasa ada suatu tantangan berarti juga

    Nilai 7

    BalasHapus
    Balasan
    1. Err.. maaf curhat dikit.

      Sebenarnya cerita awalnya aku ga buat seperti ini. Waktu akan dikirim -2 deadline pertama, writer(aku) kena musibah yang ga terduga. File wordsnya corrupt dan lenyap. Aku sempat panik dan mengetik ulang ketikan yang diingat sebelumnya. Dan hasilnya entah kenapa jadi beda.

      Itu sebabnya kenapa banyak penjelasan yang kurang. Bahkan banyak adegan yang hilang yang tidak sempat dimasukan. Tendou yang awalnya ingin dijadikan 'last boss' disini tanpa sadar saya ubah.

      Yah.. maaf karena entry ini saya ketik kurang maksimal karena kepepet waktu. Aku sendiri sebenarnya kecewa dengan tulisanku sendiri.

      Anyway, terima kasih sudah memberi vote ^^"

      Hapus
  3. Dari ane sih, latar suasananya udah bagus, komedinya dapet, cukup mudah dipahami, plus twist yg 'wah' (?)

    yah ad beberapa typo (sedikit dan tidak fatal jd msh bisa dimengerti), mungkin karena dikejar deadline bahasanya agak menggebu2, lalu battlenya kurang greget

    klo battle wajar, karena ane yakin ceritanya ini blum klimaks

    yg ane bingung, knapa Ru dijuluki 'negro'? yg hitam kan pakaiannya bukan kulitnya (klo mau abaikan pertanyaan ini *plak)

    oh ya satu lg, ad istilah yg blum dijelaskan seperti Albinism
    'kalo mau' jelaskan smua istilah asing yang ad di dalam cerita ini

    Nilai: 7/10

    Tq~

    BalasHapus
  4. Ini... Settingnya di Jerman ya? Perpaduan nuansa geng Eropa dengan Yakuzanya lumayan terhubung dengan natural, bisa diliat dari konflik utamanya nggak cuma masalah kekuasaan, tapi masalah keluarga yang berpengaruh juga. Sempat saya agak heran waktu ada kata aniki nyelip di tengah fick dan kata2 Jerman Luna. Tapi setelah alur mengarah ke konflik yakuza, jadi nggak terlalu.

    Trivial thing: waktu adegan Net teriak, kayaknya lebih akurat disebut unmanly, daripada manless. Maknanya lebih ke ga ada orang, hemat saya.

    Battlenya kelewat padat menurutku. Meski nampaknya udah dibagi per bagian. Tapi di samping itu, battlenya mengesankan. Reaksi teman2 Ru juga lumayan jadi perhatian di sini. Lalu, suspensnya terjaga. Adegan tegang terutama kerasa waktu adegan api2 itu.

    Dan, Ru sebagai karakter...
    Please stop being randomly cute over silly things... Hahaha!
    Lumayan kebayang ekspresi dia dikit2 kaget, dan ini cukup segar.
    Somehow ini nambah kesan manis Ru di mata saya. Entah udah berapa "Gyaaa" atau "Hyaaaah" yang keseluruhan menghibur. Baik dari Ru atau karakter lainnya. Sehingga.

    8/10

    PUCUNG

    BalasHapus
    Balasan
    1. N.V: Astaga Pucuuung!! *tutupin muka gelindingan ke kolong*
      Ru: En, please.. Kau ngefans tapi jangan lebay..
      #abaikantadiOK?

      Maaf waktu ngetik settingnya ini ane(auth) labil mau milih settingan Yakuza ato Mafia western. Sepertinya kesalahan besar pilih keduanya.

      Lalu beberapa bagian battle maaf kecewa. Itu bener2 lupa diperjelas. Dan malah diketik seperti itu sewaktu pertama awal merancang susunan ceritanya
      Efek panik dikejar deadline

      Makasih atas nilainya >w<)/

      Hapus
  5. hawawawawa ternyata Luune ngikut BoR Juga :3 banyak nama-nama familiar ini yang gue temuin, pke makluk-makhluk jaman VK yak :3 okee skipp..
    battlenya udah lumayan meskipun di beberapa bagian pas gebug2 an sama Ada-- Tendou rada absurd yah but seenggaknya aku udah bisa bayangin sih :3 dan err.. gimana yah.. "Sweatdrop"nya itu bneran bikin gk ngeh @3@

    Sekian dari Eric-- Airi 8/10

    Kagero Yuuka
    OC: Airi Einzworth

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah dapet ijin kok dari yang punya. Walau jadi sedikit OOC karena dikejar waktu.

      Untuk istilah sweatdrop sendiri.. ._.
      Itu kesalahan fatal di entri ini

      Makasih nilainya~

      Hapus
  6. Ternyata penyihir keturunan setan tidak lepas dari insulin juga ya... menarik. Ada transisi yang nggak begitu jelas, tapi benang merah yang menjaga keutuhan cerita masih bisa terlihat. Masih banyak waktu mengembangkan karakter sejenis ini.
    Kompeten, walaupun tidak terlalu mengesankan.

    6/10
    Nazhme Kaikhaz
    Writer Nightpen

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kompeten tapi tidak mengesankan.. Err...

      Baiklah. Aku akan mencoba mengembangkannya. Makasih dah sempat berkunjung

      Hapus
  7. Battle yang menarik. Saat adegan lempar melempar kartu yang bisa meledak berasa kayak ngedenger suara 'boom' 'boom' 'boom' gitu dikepala saya. Apalagi diakhiran tarung baru tau kalo itu cuma settingan, sungguh tak terduga.

    Istilah sweatdrop yang berkali-kali(4 atau mungkin 5 kali) dipake entah kenapa otak saya tetep belum bisa nerima. Mungkin bisa diganti dengan 'salah tingkah'. Well, keputusan akhir tetap ditangan penulis.

    Finally, saya kasih grade 7, dan Ru, jangan kebanyakan nyimeng. Bisa kena sarafmu ntar. Minum aja deh, sake ato apa gitu.

    Akbarari/Tombakpatah
    O.C: Marikh, Dewa Arak Kolong Langit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baik. Aku sebenarnya bingung dari awal apa istilah awam sweatdrop itu. Kebiasaan pake itu di comedy RP x'D

      Makasih atas tipsnya, nanti buat koreksi kedepannya.
      Dan makasih juga atas nilainya, dewa arak kolong langit

      Hapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Lady in Black...

    Aku gak baca char sheet nya (atau baca tapi lupa?) tapi seenggaknya udah dapat gambaran tentang Ru ini...

    Ru kagetan ya? Untung gak latah~ XD

    Battle nya lumayan seru, lempar-lemparan kartu + api. Cuman ada banyak narasi yang bikin bingung dan sebenarnya bisa diganti ke kata yang lebih mudah di mengerti tapi gakpapa lah... XD

    Aku kasi 8 buat Ru~

    Sign,
    Lyre Reinn

    OC : Eve Angeline

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, terima kasih banyak ( /w\)

      Kalau soal kagetan, cuma tersentak.

      Oh, ya. Narasinya maaf cukup berantakan. Aku sendiri sebenarnya baru sadar itu bisa diringkas pakai kata-kata yang lebih simpel.

      Hapus
  10. Saya selalu senang perpaduan budaya.

    Kayak makanan aja campur-campur kan ena.

    Dan latar mba Ru yang pakai setting Jerman campur sedikit Kejepangan bikin saya cukup enjoy bacanya. Sekilas ingatnya DRRRR.

    Apa yang mau dikomentarin sama saya sendiri ternyata udah disadari sama mba Lune juga: "Aku sendiri sebenarnya baru sadar itu bisa diringkas pakai kata-kata yang lebih simpel."

    Kalau narasinya beberapa katanya disederhanakan, jadinya penjelasan ga terlalu njelimet dan pembaca jadi lebih enjoy.

    Saya masih enjoy nonetheless. Pesan dan karakter tersampaikan.

    titip 8 buat mba Ru yaa

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kyk rujak ya mbah? #eh

      Padahal ane sudah sebisanya biar narasinya sederhana. Tapi gatau kenapa yang keluar makin lama makin ribet Dx
      Pas ngetik random banget otak.

      Sebenarnya untuk pesannya sendiri... itu ga sempet kumasukan semua.

      Makasih dah mampir mbah~

      Hapus
  11. Err mungkin ada kata lain untuk pengganti kata "hitam", entah kenapa bosan bacanya karena too many black word in this story...

    Untuk penggunaan istilah sweatdrop, mungkin bisa diganti dengan kata lainnya. Soalnya agak ngeganjel pas baca ada kata asing ky gtu. Untuk komedinya udan oke dan untuk keseluruhan cerita, lumayan. Apalagi ada plot twist ditambah sikapnya saat ketemu huban n dombanya.

    Nilai : 7
    Mahapatih Seno

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mas seno #eh

      Yah.. awalnya bingung juga kata apa yang pas untuk pengganti kata 'hitam'. Gelap?

      Ada yang kritik soal itu juga. 'Too much sweatdrop was not good' #eh

      Makasih komentarnya

      Hapus
  12. komen cepet, dikejar jam jumatan //y
    pokoknya di akhir cerita ternyata si aniki yang defy the tyrany. lalu bertengkar
    karakternya tergambarkan jelas. narasi deskripsinya juga apik. plus gaya bertarungnya keren.
    10/10

    1. Challangenya diselesaikan sama pemeran cameo... vvich is... quite... err...
    2. mungkin setiap percakapan orang yang berbeda bisa dipisah dengan enter untuk mempermudah. ditambah tiap kalimat dikasih narasi? ga semuanya perlu, bahkan aku ga baca beberapa koreonya vvaktu ngobrol levvat telpon atau yang lainnya. dan sfx tapi gamasalah karena ga terlalu banyak

    overall great. -2 poin artinya 8/10 (meski tadinya yang poin pertama mau aku bobotin -2 sih)
    satu lagi
    Zia : Rune... kalo di label obatnya ada tulisan 3 kali sehari ya diminum 3 kali sehari. jangan terlambat, nanti konsentrasi gula dalam darahnya bisa berkurang. kalo telat coba telfon dulu ke apotek tempat beli obat dulu, langsung diminum dosis biasa atau langsung minum 2 kalinya atau 1,5 kalinya. ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ru: Iya iya.. aku minum tepat waktu...

      Sebenernya battlenya menurutku, cukup mengecewakan. Terlalu bentar karena memang dari sendiri dah dilimitin ga lebih dari 1,5k kata tiap act. Itu act ke 4 juga dah over.

      Percakapan di telepon memang aku baru sadar terlalu.. datar.

      Makasih komentar untuk selanjutnya.
      Dan.. tips obatnya dari Zia xD

      Hapus
  13. jadi di sini... ada budaya jepang, ada mafia, dan anggota2 yg terdiri dari berbagai ras. rame~

    dan twist-nya itu keren. (spoiler alert) saya pikir kelompok ru bakal kewalahan lawan mr. hulbert. lalu di-'rescue' sama seantero keluarga lucifer lainnya secara fabeles. tapi ternyata tendou sudah selangkah lebih di depan :'3

    oh ya agak aneh pas bagian terakhir tendou nyekek ru sebegitu rupa, tapi selanjutnya ru malah merona malu. apa cekik-mencekik itu sudah biasa dalam keluarga lucifer? xD

    nilai: 8
    oc: castor flannel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akhirnya ada yang menyadari beragam ras di anggotanya *terharu*
      Apa terlalu rame? x'D

      Nah.. untuk twistnya itu sebenernya ane baru dapet pas kekejar deadline. Padahal awalnya ga rencana gitu :'3

      Kalau untuk kebiasaan keluarga Lucifer sendiri.. Mungkin cuma berlaku untuk Ru kalau bagian 'disiksa'. Mengingat posisinya hanya 'anak angkat'.

      Btw, makasih nilai sama komentarnya xD

      Hapus
  14. halo, Manya di sini mau ngasih komen buat menuhin kuota. Amit nggih..

    Saya belum sempat liat CS sebenernya. dan saya kurang bisa nerjemahin si Ru ini bagaimana lewat karangan di atas. Kurang deskripsi mungkin ya, yah tak masalah sih. Dari cerita sih menarik, erabe-ish banget karna settingan yang gado-gado macem gini.

    Saya kasih angka 8 ya!

    -bukan Alpacapone

    BalasHapus
  15. halo, Manya di sini mau ngasih komen buat menuhin kuota. Amit nggih..

    Saya belum sempat liat CS sebenernya. dan saya kurang bisa nerjemahin si Ru ini bagaimana lewat karangan di atas. Kurang deskripsi mungkin ya, yah tak masalah sih. Dari cerita sih menarik, erabe-ish banget karna settingan yang gado-gado macem gini.

    Saya kasih angka 8 ya!

    -bukan Alpacapone

    BalasHapus
  16. wuih ceritanya keren ( *w*)/

    satu lagi OC dengan senjata kartu. alur cerita bagus dan menarik. udah ketebak Ru vs Lucifer itu karena kekejar deadline. karena alur battlenya agak aneh dan nggak ngeh di saya.

    well, nilai dari saya 8. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  17. 7/10

    Seandainya aye bisa bikin konflik mafia di entri aye seintens kayak di cerita ini, mungkin lebih menarik ye...

    Aksinya mantap, banyak orang dan nama yang terlibat.

    Dan buat aye...campur2 rujak begini...terutama dalam istilah...cukup mengganggu apalagi kalau penggunaannya berderet.
    Lelah.

    Juga, istilah sweatdrop...
    Penggunaan frasa emoji harus diminimalisir kalau bisa diganti.

    Nibelhero | Wamenodo Huang

    BalasHapus
  18. Dari VK lagi ya? Narasi dan alurnya enak diikuti, percampuran budayanya mudah dipahami, lalu diberi arti istilah asing itu membantu sekali. Ceritanya jadi rame, tapi agak bosan membaca di awal2 dan terlalu banyak kata2 gadis serba hitam. Julukan itu keren, tapi bisa2 kekerannya berkurang kalau terlalu banyak dipake

    penggunaan sfx kurang tepat digunakan di sini, tapi cerita dan battlenya seruuuuu <3

    Nilai 8
    Merald

    BalasHapus
  19. kesan pertama waktu saya beres baca entri ini adalah terlalu banyak sound effect, mungkin bisa dikurangi atau diganti dengan deskripsi. Di awal-awal ada paragraf yang banyak pakai imbuhan -nya, kesannya jadi agak monoton, kalau diubah dikit mungkin bakal lebih menarik.
    Terlepas dari itu, ceritanya cukup menarik buat diikuti. selingan komedinya asik, battle nya juga seru, cuma saya rasa tema 'defy the tyranny' nya kurang berasa. Tapi secara keseluruhan, saya suka entri ini.

    Nilai dari saya, 8
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  20. Hmm...itu tadinye tanda beginian* itu kirain sensor atau sejenis gituan,,tapi rupanye catetan kaki.. Rada lucu juga itu interaksi Ruen sama sodaranye gitu,,teleponan sambil gituan? Kotak-kotak judul itemnye bagus,,serasa kayak halaman buku gitu,, Trus bag-big-bugnya seru.

    Skor 10 dari aye Bang
    Karkater OC aye : Harum Kartini

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.