Sabtu, 04 Juni 2016

[PRELIM] 36 - SHERAGA ASHER | LAHAVOT ESH

oleh : Sastrawatigila

--

"Suatu saat nanti semesta yang akan meniadakan-Mu."

- 1 -
Semestinya saat ini masih berlangsung perjalanan dari Hagashah menuju Avratika—melewati rute paling rahasia di benua Tara. Alih-alih terjaga di penginapan pada batas terluar sebuah kota terlupakan, pemuda berambut hitam dan bermata kelabu itu  mendapati dirinya berada di tempat yang ganjil.

Memandangi sekitarnya, Sheraga merasa kembali ke masa tiga tahun silam. Kehangatan kampung halaman mendadak membekapnya. Sekali lagi, dia disambut bangunan-bangunan tinggi serbaputih berpuncak kubah, senada dengan jalanan rata dari batu. Patung-patung malaikat dan para tokoh terkenal memenuhi sudut-sudut kota, seolah berbaris penuh hormat.

Namun, kebekuan dari tempat pelariannya tak luput menyertai.

Sheraga mendongak. Langit sewarna matanya, dan memuntahkan butiran dingin. Disadarinya kemudian Ibukota Batya menyempit, dan tidak berdiri di pinggir lautan. Melainkan dikelilingi gugusan bukit hijau. Tak dapat diperkirakan apa yang menanti di baliknya.

Menoleh ke samping, tampak patung perunggu Dewi Gallena—sang ibu pemelihara semesta dalam ajaran bangsa Helev—menjulang kukuh di tengah kota. Hal yang sepatutnya hanya terjadi di kota-kota besar Hagashah. Lebih jauh, kabut tipis menggantung di udara. Cukup untuk sedikit demi sedikit mengikis keberanian Sheraga.

Makhluk-makhluk berakal tak jauh darinya adalah kerumunan berpakaian panjang tertutup tanpa warna. Walau demikian, telinga mereka tidak tegak ke atas. Rambut mereka pirang kotor serupa jerami, dengan mata sewarna pepohonan di musim merekah. Menandakan mereka bukan Dayan. Melainkan orang-orang Helev—manusia—sama seperti Sheraga.

"Maaf, apakah ini benar ibukota Batya?" Sheraga memberanikan diri angkat suara, pada manusia terdekat.

Tetapi pria itu, nyaris tanpa pertimbangan, pergi menjauh. Air mukanya menyiratkan rasa tidak suka. Seberkas sumpah serapah sampai pada telinga sang alkemis. Satu hal yang patut disyukuri, setidaknya perkara bahasa teratasi.

Kemujuran lain disadarinya datang, karena ketidakhadiran istana di area yang seharusnya. Tergantikan sepasang kuil pemujaan dewi yang berhadap-hadapan. Sehingga Sheraga tidak patut melihat lagi tempat traumatis tersebut.

Apa aku benar bermimpi? 

Sambil menarik napas dalam dan berusaha tetap tegar, perlahan Sheraga menjauhi keramaian. Menujukan diri ke area yang lebih senyap di antara dua bangunan.

Di masa yang bersamaan, paranoianya meningkat. Mulai dipikirnya semua ini berasal dari tanggapan sang ayah. Mengira tindakan mengirim surat yang belum lama dilakukannya justru memicu kemarahan, berujung teluh terhadapnya. Mengingat apa yang diperbuat mantan pemangku jabatan tinggi itu pada bangsanya sendiri, mengutuk putra angkatnya bukan hal yang tidak mungkin.

Belum lama, sosok-sosok samar mendatanginya dalam mimpi. Menjelaskan perihal sesuatu di luar pemahamannya. Satu-satunya yang tertangkap jelas sebatas bualan tentang  alam angan dan mahakarya.

Menyangka bahwa dua sosok misterius itu merupakan perwujudan ayahnya beserta pengawal pribadi sang pemimpin baru, kontan Sheraga bergidik. Jantungnya berdebar keras. Kekalutan merayapi benaknya.

Ayah sampai hati menghukumku?

Namun perlahan prasangkanya mengendur.                      

Sosok jangkung dalam dekap jubah sewarna malam berjalan tenang menghampirinya. Mengiringi pria itu, adalah dua orang pemuda Dayan.

Itu Orim, sahabatnya, beserta sepasang rekannya yang sama-sama melarikan diri, Yaal Yifrach dan Dalit Shaar. Namun tidak ada tanda-tanda kemunculan Shena, gadis Dayan yang merupakan adik angkat Sheraga, di antara mereka.

Kehadiran ketiganya membuyarkan satu beban Sheraga, sebab ayahnya sama sekali belum pernah berinteraksi dengan teman-temannya—satu pelanggaran utama bagi syarat pelancaran tenung.

"Sheraga!" panggil Yaal, rekan Sheraga sejak berada di akademi, dengan riuh. Dia merupakan pemuda berusia tujuh puluh dua tahun penanggalan manusia.

"Rupanya kau juga ada di sini! Haha." Nada bicaranya sama sekali tak mengesankan kekhawatiran. Sebaliknya, dia terlihat amat menikmati situasi.

Sementara Dalit, sosok yang paling muda di antara mereka, bergeming ketakutan. Peluh membanjiri mukanya. Dia merespons pelan, "Kamu membuat semua ini kelihatan mudah. Faktanya kita terlempar ke dunia yang aneh. Yang dapat sewaktu-waktu mengancam kita. Maksudku, kita tidak tahu apa yang akan menimpa kita berikutnya, 'kan?"

"Dalit-ku, jangan selalu dibawa beban—"

"Dia benar, Yaal," tegas Orim pada pemuda berusia dua puluh empat tahun menurut konversi hidup manusia itu. "Kita harus senantiasa waspada, sambil mencari ... jalan keluar."

"Santai, Bung." Yaal mengangkat bahu, seringainya terkembang. "Urusan keluar dari sini, aku yakin kita lebih dari mampu melakukannya. Masalahnya, ini kesempatan yang langka. Kapan lagi bisa berjalan-jalan di Yisreya dalam hujan salju?"

Matanya berbinar-binar bak anak kecil yang diberikan mainan baru. "Semestinya dinikmati sebelum lesap—"

"Yifrach," sergah Sheraga ketus. "Kaulihat? Semua cemas, semua khawatir, semua ingin cepat-cepat terbebas. Tidak ada yang sepertimu. Dan siapa memangnya yang bisa memastikan kita selamat di dunia sebenarnya?"

Yaal menelan ludah. "Ah, ya," gerutunya. "Oke, kau betul. Aku salah. Dan aku bodoh."

Sheraga segera menyadari kekeliruannya. "Bukan, Yifrach, bukan begitu—"

"Iya, iya, maafmu diterima, kok." Yaal mengangguk ringan. "Santai, santai, Sheraga. Dunia belum kiamat~"

Dalit memandang langit dengan tangan memegang belakang leher. "Entah ini perasaanku, atau pengguni alam mirip Yisreya ini memang semuanya Helev?" cetusnya. "Helev ..., Helev yang berbaju Dayan, berbahasa Yashar, dan mendaraskan Bait-Bait Suci—aku mendengar mereka melakukannya. Aku ... aku dengar mereka melantunkannya dan menggantinya dengan nama dewi-dewa mereka."

"Sepertinya memang demikian," Orim menjawab. "Namun justru karena itulah, kita ... harus senantiasa lebih berhati-hati."

Dalit mengerang keras. "Lantas sekarang kita harus apa?" keluhnya, seraya menyugari rambut cokelatnya dengan frustrasi. "Tidak ada arahan. Kita terdampar di sini begitu saja. Ini dunia yang terlalu tidak jelas! Aku ... aku mau pulang. A-aku mau keluar." Dia menitikkan air mata. "Mama ..., papa ..., aku rindu kalian ...."

Orim menepuk-nepuk bahu Dalit. "Dik, kita ... belum tahu tepatnya apa yang harus upayakan. Karena itu, mungkin, pertama-tama kita harus terlebih dahulu mencari Shena," usulnya. "Kita berpencar saja. Yaal, Dalit, kalian berdua. Sedang aku ... bersama Sheraga."

Yaal mengusap-usap tongkat pemukul yang senantiasa dibawanya. "Haha, baiklah. Semoga saja ada perselisihan nanti," katanya penuh semangat. "Aku gatal ingin menghajar orang."

"Jangan berpikiran begitu, Yifrach." Dalit mencubit partnernya. "Kamu selalu saja membuat masalah."

Si pemuda Dayan memegangi lengannya. "Sakit, say—eeh!"

"Makanya gunakan otakmu!" timpal Dalit. "Aku—"

"Aku dan Yifrach," potong Sheraga tak sabar. "Kau bersama Orim."

Seringai di wajah Yaal bertambah lebar. "Kelihatannya kaumulai menyukaiku, Kapten," ledeknya. "Tapi sayang sekali, aku bukan penyuka sesama jenis. Aku sudah mengincar seseorang. Dan aku yakin kami akan menikah dengan segera. Hahaha."

"Orim, Dalit, hati-hatilah," ujar Sheraga. "Semoga kita dapat bertemu kembali secepatnya."

"Kamu ... juga," tanggap Orim. Dan Dalit tersenyum sekenanya. Lantas Sheraga berbalik meninggalkan ketiga temannya dalam langkah-langkah cepat.

Yaal buru-buru mengejar. "Oi, oi, Sheraga! Aku cuman bercanda tadi. Jangan diambil hati!"

Sheraga mendengus pasrah. Dalam hati menahan kesal. Keberadaan Yaal Yifrach, seorang rekan yang berisiknya tak pernah surut, merupakan sebuah gangguan. Tapi berikutnya Sheraga mempertimbangkan kembali posisinya sekarang. Lebih baik untuk tidak sendirian.

Lagi pula Sheraga paham, meski mereka belum lama berjumpa, Yaal tak menyimpan segudang wajah. Kabar tentang keberingasan berpadu keluguan tak terkira si pemuda Dayan telah menjadi buah bibir sejak zaman pendidikan dasar.

Sangat berbanding terbalik dari ayah angkat Sheraga, sang wazir yang kini menjadi pemimpin bangsa Dayan berkat kekudusan lancung. Tidak juga, menyerupai orang-orang kongregasi dan majelis penelitian. Kumpulan makhluk busuk dan bejat bermulut manis yang beramai-ramai menghinakannya.

Kilatan di matanya meredup. Tidak juga seperti aku.

- 2 -
Pencarian ternyata lebih sulit daripada perkiraan.

Tiruan Ibukota Batya bagian selatan dan pusat telah terjelajahi sebagian besar. Mulai dari kompleks permukiman bangsawan, rumah-rumah ibadah, gang-gang sempit, hingga gedung sekolah. Tetapi terhitung empat jam sejak awal, tidak ada tanda-tanda kemunculan Shena. Atau setidaknya pertemuan kembali dengan Orim dan Dalit.

Masalah kedua adalah nihilnya orang yang bersedia ditanyai. Daripada berinteraksi dengan kedua pemuda beda bangsa itu, orang-orang lebih suka lari terbirit-birit tanpa peduli mereka berakhir terjungkal ke dalam parit, atau tersandung dan menubruk tiang-tiang jalan. Penumpang pedati yang tadinya akan turun, langsung mengurungkan niat. Memilih menambah upah kusir dengan menggunakan jasa sepanjang seribu tombak lagi, ketimbang menghadapi Sheraga dan Yaal.

Itu masih lebih baik, karena saat melewati pemakaman, beberapa orang terus melempari Sheraga dan Yaal dengan kerikil. Dan yang baru saja terjadi, seorang wanita menumpahkan sampah dari atas bangunan bertingkat. Nyaris mengenai keduanya. Sebelum menambahkan dengan sumpah serapah.

"Sialan! Bangsat! Bajingan busuk!" hardik Yaal pada jendela yang terlanjur menutup, saat mereka melewati area permukiman golongan atas.

Si pemuda Dayan memungut batu, sontak menyerang balik. "Makan ini, idiot!"

Kaca yang menjadi target tak lekas pecah. Yaal coba mengulang dengan batu yang lebih besar, tetapi Sheraga memegangi lengannya.

"Tidak perlu bertindak begitu," kata Sheraga kalem. "Toh kau masih baik-baik saja, 'kan?"

Yaal mendelik. "Tapi mereka sudah keterlaluan," tentangnya. "Kalau ini dibiarkan terus, nantinya orang-orang ini bertindak di luar batas."

Sheraga menggeleng, seraya menggiring temannya menjauh. "Tidak mungkin. Mereka melakukan ini, kupikir wajar. Kita orang asing. Dan sebagaimana di dunia nyata, penolakan semacam ini lumrah."

"Dan kalau dipikir-pikir, barangkali salah satu penentu kita dapat bebas dari sini adalah berkat kesabaran. Jadi fokuskan saja mencari Shena."

Yaal mengangkat alis tebalnya. "Kesabaran macam apa maksudmu, Sheraga? Aku tidak paham. Bukannya kau, yang mengatakan kita mesti keluar secepatnya untuk menghindari bahaya?" Dia menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal.

"Kesabaran untuk terus bertahan, Yifrach. Untuk tidak terpancing. Semula kupikir ini semacam ruang untuk menjebak kita dalam sebuah dunia mimpi buruk, tapi kelihatannya aku salah." Sheraga tersenyum simpul. Ada lagi yang menimpuk kepalanya, tetapi tak diacuhkannya.

Awalnya dia memang merasa tertekan. Tetapi diakuinya, keberadaan Yaal mengurangi beban itu sampai hilang sama sekali. Lebih-lebih sepanjang pencarian, Yaal menunjukkan sisi lain yang baru diketahui Sheraga. Kecurigaannya terhadap keadaan juga berangsur pudar. Tergantikan oleh sepercik harapan.

"Barangkali, ujian ini mirip konsep dalam agama," Sheraga meneruskan, dalam kalimat yang seharusnya dimengerti Yaal. "Siapa pun yang mengirim kita kemari, dia ingin mengetes kita: siapa yang tabah maka baginya keselamatan. Bukankah kebanyakan orang akan berpikir sesederhana itu?"

Batu mengenai bahunya lagi. Merasa semakin disudutkan, kedua pemuda itu mempercepat gerak.

Yaal melebarkan mata. Kedua pundaknya terangkat. "Masa sih?"

"Walau, aku sendiri masih belum sepenuhnya yakin." Sheraga menatap rekannya. "Tapi pikirkan, kita di sini tanpa ancaman yang berarti."

"Maksudmu, kaupikir kita berada di sini atas dasar sebuah ujian?" respons Yaal. "Benar-benar orang yang kurang kerjaan—aw!"

Sontak dia berbalik, melotot. Mengangkat pemukulnya tinggi-tinggi. "Kera berengsek!"

Intuisi Sheraga jarang salah, maka ia terus mengandalkannya. "Yah, sebenarnya ini hanya firasatku." Dia menambahkan, "Selain itu, aku dengar pengantar kita mengatakan sesuatu tentang sebuah 'kesempatan'. Aku hanya menghubungkan semua kemungkinan."

Alih-alih meledek seperti biasa, Yaal tanpa terprediksi berkata, "Uh, aku tetap tidak mengerti sepenuhnya. Tapi, yah, kupikir aku akan mendukungmu saja," sebelah matanya mengedip, "Kapten."

Teringat kenangan semasa remaja, Sheraga memukul Yaal pelan. "Hahaha, Yifrach. Kukira itu apa. Tolong jangan panggil aku dengan sebutan lama itu lagi. Aku sudah tidak menjadi pemimpin tim. Masa-masa kita masih mendaras dan mengkaji kitab sudah berlalu."

"Tetap saja, aku masih menganggapmu sebagai ketua," balas Yaal. "Karena berbeda dariku, kau orang yang punya banyak pencapaian di masa muda. Tapi aku? Tujuh puluh dua tahun bernapas, aku masih saja pengangguran. Dan ... sendirian. Ya Tuhan!"

Sheraga memandang prihatin. "Ssh, memangnya sekarang kita tidak sama?"      

"Ah ...," Yaal mendongak, mendadak ceria. "Semoga ini benar ujian kayak katamu, bukannya sekadar mimpi kosong. Syukur-syukur berbuah imbalan. Kalau benar begitu, aku cuman ingin satu permintaanku terkabul. Tidak perlu terlalu muluk-muluk~"

"Biar kutebak," ujar Sheraga, "pasti gadis bernama Aletheia Chambrelynn yang kautemui di Aillte Saoirse."

Yaal menggeleng antusias. "Tidak setinggi itu."

"Jangan-jangan kau mengincar Dalit?" Sheraga menebak asal.

Terdengar suara tersedak. "Sialan kau!"

"Ternyata aku benar?" Sheraga terkikik.

"Ah, tidak! Tidak!"

Sheraga meledek. "Kalau suka, katakan saja. Masa 'Beruang Dayan' tidak berani mengungkap perasaannya?" Dia menyebutkan salah satu julukan Yaal semasa sekolah. Disebabkan prestasinya dalam memecahkan rekor mematahkan hidung senior di jenjang satu.

Muka Yaal memerah. Paham tak ada gunanya menutup-nutupi, dia berbisik, "Aku takut dia malah meninggalkanku. Aku belum cukup tebal muka."

Sheraga tidak terlalu paham basa-basi, tetapi membalas, "Kapan kautahu kebenarannya kalau tidak dicoba? Kauingin perempuan melamarmu duluan?"
               
"Justru karena," Yaal menjeda, sambil mengawasi sekitar. "Justru karena aku terlalu mencintainya. Aku merasa belum pantas dan rendah diri. Dan, ah! Awas kau kalau buka mulut!"

"Selama kau yang membayar induk semang dan ransum."

"Bisa saja!"

Kedua pemuda itu tertawa. Sementara melewati jembatan batu di atas sungai beku.

Kembali mereka melalui jalan kecil. "Ah, lingkungan ini! Dua blok lagi kediaman Eliezer." Yaal memandangi sekitar. "Aku jadi merindukan Betshev."

Sheraga melirik Yaal tajam. "Kaukenal Betshev Eliezer?"

Yaal mengejap kaget. "T-tentu saja. Itu guruku. Walau dia masih muda, dia sangat cakap dan baik budi," sahutnya takut-takut. "Oh, hei! Kenapa kau menatapku begitu? Kau terlihat mengerikan, Kawan."

"Oh," Sheraga mengangkat bahu. "Gurumu itu—"

Tiba-tiba, keduanya berhenti di tempat. Suara tembok hancur berdendang, cukup memekakkan telinga di antara kesenyapan gang. Disusul erangan keras beberapa saat berikutnya. Yaal segera menghambur, disusul Sheraga. Lekas menemukan sumber keributan yang ternyata berasal dari balik dinding sebuah rumah.

"Ssst," Yaal memberi aba-aba agar tak bersuara. Dengan postur tingginya, sepenuhnya menghalangi Sheraga dari pemandangan yang siap menanti.

"Biarkan aku melihat!" protes Sheraga sambil menjulurkan leher. Indra penglihatan dan pendengaran manusia tidak sebaik bangsa Dayan, sehingga Sheraga tak bisa menerka sama sekali apa yang sebenarnya berlangsung.

Namun Yaal bersikeras tak mengizinkan. Kemudian perlahan-lahan, dia melangkah mundur. Memaksa rekannya melakukan hal serupa.

"Kita dalam masalah besar," bisik Yaal panik. Kontras dengan air muka yang senantiasa terpatri di wajahnya.

Sheraga bersiap dengan menghunus senjata. "Ada apa?"

Yaal mendelik. "Terlalu mengerikan sampai aku tidak bisa menjelaskan!"

Hasrat keingintahuan Sheraga tak dibiarkan mengawang lama. Terdengar langkah-langkah mendekat. Selusin manusia, atau mungkin lebih, tengah menuju ke posisinya. Diiringi lantunan kidung-kidung dalam bahasa Yashar kuno yang menimbulkan pening.

Sinyal bahaya itu sontak memicu kedua pemuda untuk bergegas. Lawan mereka terlalu banyak. Tidak ada yang cukup sinting untuk menyambut perseteruan, termasuk Yaal Yifrach sekalipun.

Rupanya gerakan meloloskan diri itu keburu disadari musuh. Lima orang berjubah hitam terdepan memelesat, dalam sekejap mampu mempersempit jarak. Sebagian besar lainnya berpencar, hendak mencegat sasaran dari titik-titik tak terduga.

Pakaian mereka, terutama kalung besar bersimbol bintang terbalik dalam lingkaran, mengangkat kenangan dari dalam benak Sheraga. Pasalnya orang-orang itulah yang dulu meneror keluarganya. Sekte Dayan konservatif yang menghendaki enyahnya bangsa Helev dari Yisreya.

Memperhitungkan kemungkinan mati langkah, Sheraga memilih jalur alternatif yang tak lazim. Dia ingat pernah melewati jalan tikus di celah dua penginapan, salah satu rute yang digunakannya untuk kabur keluar negeri pertama kalinya. Begitu menemukannya, Sheraga menapak di pijakan, melompat ke dalam kegelapan selebar dua tombak. Melangkahi tempat pembuangan besar.

Saat gerombolan jubah gelap nyaris menggapai, dia dan Yaal bertindak cekatan dengan menendang bak sampah kuat-kuat. Kotak itu terguling berikut gelombang pengejar terdepan. Dua orang pertama tumbang.

Yaal berdecak. "Makan itu!"

Ternyata tidak ada sedetik saja tersedia untuk berpuas diri. Sheraga dan Yaal belum keluar dari kungkungan tembok, tetapi para pengejar masih mau melayani permainan mereka.

Membiarkan Sheraga memimpin, Yaal berbalik. Tangannya terulur, terbuka di telapaknya. Mantra manipulasi angin telah dirapalkan.

"Terima ini, kalian orang-orang tidak jelas!"

Angin mengamuk di dalam gang. Berlancar menabrak apa pun yang mengadang. Reaksi dadakan target tak sempat diperhitungkan tiga pengejar. Masih dalam kebingungan, kesemuanya terpental berikut serpihan-serpihan batu.

Sambil tetap mempertahankan kecepatan, Sheraga memikirkan tujuan berikutnya. Setibanya di ujung jalan sesak ini, ada dua pilihan. Urim Ushnashar, pusat penelitian sihir terbesar di dunia, yang terdiri atas berblok-blok bangunan. Menawarkan keamanan tersolid, setelah istana. Letaknya beberapa ribu langkah lagi ke arah barat, melintasi permukiman kaum cendekia.

Maka dia memberi isyarat sederhana pada Yaal. Berjaga kalau-kalau ada musuh masih mengintai mereka. Yaal mengacungkan ibu jari tanda sepakat. Dan usai kembali dicurah pendaran langit, mereka berbelok ke haluan matahari terbenam.

Beberapa menit berlalu. Tidak ada lagi pertanda kehadiran kumpulan berjubah panjang. Tiada lagi suara. Dugaan sesaat, orang-orang aneh itu menyerah. Tetapi kabar baik tersebut menyertakan fakta ganjil yang lebih mencengangkan.

Sepanjang berlari, para manusia lenyap dari jalanan. Pintu-pintu tertutup. Sisa-sisa aktivitas kehidupan seperti sengaja dicampakkan begitu saja. Meninggalkan kesenyapan setara kota mati. Satu-satunya bentuk kehidupan adalah muka-muka pucat penasaran yang berebut muncul di balik jendela. Seolah menunggu hasil akhir pengejaran.

Toh kesunyian takkan mengakibatkan pembunuhan. Sheraga bersikap abai, demikian pula Yaal. Kabut merayap di mana-mana, tetapi tak menghalangi kenampakan siluet puncak tertinggi Urim di kejauhan.

Rencana mereka tak beralur mulus.

Tiga personel sekte sesat menampakkan diri tiba-tiba. Memberi  efek kejutan di atas ekspektasi. Tanpa buang waktu, dua di antaranya menyembulkan belati, yang kemudian dilontarkan ke hadapan.

"Awas, Yifrach!"

Satu lemparan belati meleset, sedangkan sisanya berhasil ditangkis. Sayangnya pemberhentian singkat itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh lawan, yang mencabut pedang kembarnya lantas mengayunkannya pada si pemuda Dayan. Yaal menahan serangan itu dengan pemukul logamnya.

"Heh, kaukira bisa mengalahkanku dengan mudah?" Pemuda itu meringis.

Sementara itu, satu musuh menyasar Sheraga, menjulurkan tangannya yang menggenggam belati. Namun niatannya pupus. Sang target melakukan gerakan memutar, dan langsung beranjak ke belakangnya. Sheraga yang berhasil mengelik tepat waktu cepat-cepat melakukan antisipasi dengan menebaskan pedang peraknya pada punggung pria itu.

Tak ragu lagi, Sheraga mendaratkan tebasan melintang, tepat merobek tudung jubah musuhnya. Namun lawannya tak terdistraksi sama sekali. Dia coba membalas dengan mengayunkan belatinya secara menyilang. Sialnya pola serangan yang berantakan itu terlalu mudah untuk ditangani. Sheraga melucut senjata musuh dalam dua tarikan napas. Mengejutkan sosok yang ternyata seorang wanita manusia.

Sheraga menodongkan ujung logam ke tengah mata wanita itu. Menyudutkannya ke tembok. "Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"

Yaal yang juga usai melakukan perlawanan menimbrung, "Hai, Nona. Kalau kaumau tetap hidup, sebaiknya jangan mengulur-ulur waktu! Cepat jawab!"

Si wanita berjubah tertawa memilukan. "Kegelapan akan sirna! Kegelapan akan sirna! Kejayaan kami akan terwujud sebagaimana yang seharusnya!"

"Apa maksudmu?"

Tawanya mengeras. "Semua persiapan sudah terpenuhi."

Langsung paham, Sheraga memalingkan wajah ke belakang. Kontan menyaksikan rekannya dirobohkan berbekal satu pukulan telak. Yaal jatuh tersungkur. Mata kelabunya tak sempat terkatup kala wajahnya menghantam tanah berselimut beku.

Kejadiannya berlangsung amat sekejap. Tak dibiarkan lama-lama, beberapa musuh baru berdatangan mengerubungi pemuda Dayan itu. Meringkusnya dengan kekang tak kasatmata.

Selintas hawa dingin melaju dekat telinga Sheraga, berasal dari pelesatan logam di balik punggungnya. Beruntung sang ilmuwan berkelit memutar, dan meninju si wanita pembawa belati.

"Kalian makhluk-makhluk keparat!" Terbakar amarahnya, Sheraga merapal, "Nakhru chana—"

Tiba-tiba bibirnya berhenti bergerak. Ingatannya tersendat. Sel-sel otaknya berupaya menemukan pengetahuan tentang sihir api, namun nihil. Seakan-akan pengendalian elemen panas sama sekali tak pernah terjadi padanya.

Tak menyerah, Sheraga mengandalkan cara lain: melancarkan bentrokan fisik. Dengan kekuatan penuh, dia menerjang. Musuh terdekat disayatnya tepat di muka, sebelum ditendang perutnya hingga terpelanting menabrak pekarangan. Membuatnya terbaring kaku.

Dua lainnya menemui nasib yang tak kalah mengenaskan. Diawali perpindahan tangkas, Sheraga mengayunkan pedang sekuat tenaga. Tepat melukai manusia di depan hidungnya. Selagi musuh sibuk pada luka baru itulah, Sheraga menghambat perlawanan mereka dengan menghunjam lengan yang satu, berikut menumbuk satunya dengan sarung pedang.

Perlawanan tersebut tak menggentarkan musuh yang tersisa. Malah, dua orang sengaja pasang badan. Membacakan mantra-mantra yang diduga serupa untuk menahan Yaal.

Sheraga terbekukan, panik. Sihir lawan bekerja, mulai mematikan alat geraknya satu per satu. Sekaligus menahan gaya jatuh dengan sempurna. Namun bola matanya masih dapat digerakkan. Dari ekor matanya terlihat satu orang mendekat dari kanan, dua lainnya dari kiri. Dan masih ada hawa keberadaan di balik tubuhnya.

Dalam rentang waktu yang cepat, Sheraga memutar otak. Menggali pengetahuan magis yang ada. Tanpa kejelasan, seluruh mantra-mantra sihir dan pemanggilan makhluk lempungnya lesap dari memori. Kecuali bentuk perapalan lain, yang tentunya memerlukan syarat panjang dan pertimbangan.

Akhirnya sang alkemis berkonsentrasi. Dia telah belajar untuk mengatasi sihir penjerat. Yang perlu dilakukannya adalah bersugesti. Ada tiga rantai khayal mengikatnya. Sheraga terbayang menghancurkan kesemuanya. Maka beberapa detik berikutnya, dia terbebas. Kebingungan para pengincar digunakannya untuk mengambil langkah seribu.

- 3 -
Orang-orang sekte sesat tak tampak lagi di mana pun. Sheraga berhasil melenyapkan jejaknya dengan kabur ke kompleks permukiman keluarga Mahivah. Sebentar lagi menggapai tempat bekerjanya tiga tahun yang lalu. Hendak dicarinya alat serang apa pun dari sana.

Belajar dari kesalahan pertama, Sheraga menilai situasi sebelum memutuskan lanjut. Jalan luas yang hendak menyambutnya terlampau lenggang. Berkawan akrab dengan tebalnya kabut dan kuda-kuda tak bertuan. Taruhannya terlalu besar untuk meneruskan jalan.

Namun pagar terluar gugusan gedung penelitian bintang hanya terpaut dua puluh tombak jauhnya. Sheraga menghitung ulang. Diakhiri dengan akal dan firasatnya saling berjabat tangan: aman.

Satu. Dua. Sepuluh. Delapan belas. Nyaris pada pencapaian terakhir, terdengar pekikan dari ... Dalit?

Terdorong presensi rekan yang belum terlihat, Sheraga urung niat. Menduga Dalit berurusan dengan pihak yang sama dengannya, Sheraga mulai menimbang-nimbang beberapa kemungkinan menyusup di antara lawan.

Saat suara-suara kerumunan hitam berjumlah dua puluhan orang mendekat, Sheraga bergegas sembunyi. Dia nyaris tak bernapas tatkala kumpulan itu lewat begitu saja, sepenuhnya mengabaikan sebentuk patung astronom berwajah tegas. Salah satu di antara mereka membopong Dalit yang tak sadarkan diri.

Dengan cepat, Sheraga menyentak seorang musuh yang berjalan paling tertinggal, menyeretnya ke gang. Segera mencabut kesadarannya sebelum sempat berteriak. Baru hendak menanggalkan jubah si personel sekte gelap, sebuah suara menghentikan upayanya.

"Biarkan saja ... Dalit pergi," cetus Orim seraya menghampiri perlahan.

"Tidak ada gunanya ... kamu menyelamatkannya. Kamu hanya akan dibuat kecewa ... oleh kenyataan," bisiknya perih. "Sudah terlalu banyak ... kejadian demi kejadian tak menyenangkan menimpamu. Jangan, jangan bertindak lebih jauh. Sayangi jiwamu. Jangan buang ... kesempatanmu."

Selama beberapa saat, tercipta kebisuan di antara mereka. Hanya suara angin dan ringkikan yang bersedia mengisi suasana.

Setengah syok, Sheraga menentang, "Kausadar apa yang baru saja kaukatakan?"

Orim menggeleng, tampak berhasil membaca pikiran Sheraga. "Bukan sesuai ... yang kamu pikirkan," tepisnya, tetap mengembangkan bibirnya dengan sendu.

"Kau hanya mementingkan keselamatan sendiri," simpul Sheraga kecewa. Meski dia mendapat firasat, Orim memang tengah menyembunyikan sesuatu. "Aku paham, dunia ini, atau setidaknya orang-orang Helev di sini, mengincar Dayan dan tidak mengutamakan kita. Namun bukan artinya kita semata hanya berpangku tangan!"

Orim tak mengendurkan senyumnya.

"Kita memang baru bertemu Dalit dan Yifrach. Tapi bagaimana dengan Shena?"

"Aku ... tahu. Tapi ini tentang sesuatu yang tak bisa kujelaskan sekarang," kata Orim kemudian. "Sekalipun aku menjabarkannya kepadamu, kamu pasti ... takkan memercayaiku. Atau setidaknya, aku juga ... tidak ingin mengatakannya saat ini."

"Kalau itu keputusanmu, maka untuk pertama kalinya aku takkan mengikutimu."

Orim terdiam.

"Pergilah, tak masalah jika kau memang mengutamakan diri."

Pria awal tiga puluhan itu kembali menyangkal dalam senyap.

"Aku pergi."

"Sungguh, kamu ... akan berada dalam celaka yang lebih nyata ... jika nekat melibatkan diri."

Tak peduli, Sheraga mengganti jubah lamanya dengan yang baru, menyembunyikan senjata di baliknya, dan mengenakan kalung. Lalu menutup setengah wajahnya dengan tudung.

Sebelum menyusul musuh, dia menanggap, "Orim, kau mestinya tahu sejak dulu, aku tak acuh dengan semua itu."

Tampak Orim menimbang pikir. Akhirnya dia memungkas, "Bila aku tidak bisa membuatmu percaya, maka ... biarlah pengalaman. Aku hanya berpesan: tetaplah tegar. Lupakan ... yang sudah-sudah. Dan yang terpenting," sudut bibirnya meninggi, "tetaplah belajar, Teman."

Sheraga mengangguk mantap. "Terserah kau saja."

Tangan Orim melambai.


Mengimbangi sekeliling, dengan canggung Sheraga ikut melantunkan bacaan yang telah beratus kali didaras kerumunan: suara sang Dewi menyemburkan kobaran api. Suara sang Dewi menggetarkan dataran ini. Suara sang Dewi menghalau Kegelapan.

Kira-kira satu jam berlalu. Makin lama, udara kian mendingin. Salju turun semakin lebat. Namun tidak ada tanda-tanda langit mengalami perubahan waktu.

Barisan yang terus berdoa itu terus menuju ke tenggara, yang semestinya mengarah pada area permukiman biasa. Sheraga tak ingat ada tempat mencurigakan mana pun yang sekiranya dapat dijadikan patokan tujuan.

Di pihak lain, dirinya dan Dalit hanya berjarak enam orang. Ingin rasanya Sheraga menerobos orang-orang di hadapan, melepaskan gadis itu sekarang juga. Sayang keadaan tak memungkinkan. Sekalipun musuh-musuhnya kebanyakan tak mampu memberdayakan sihir, tetap saja terlalu banyak, di saat bakat pengendalian api dan pemanggilannya telah lesap.

Seseorang di sebelah Sheraga tiba-tiba berkata, "Setelah bertahun-tahun, akhirnya kita akan terbebas dari petaka. Sudah lama bangsa Dayan mencemari benua ini dan membawa kutukan kepada kita. Saatnya semua kehinaan ini berakhir!"

Sheraga tidak menanggapi. Pikirannya justru bekerja mengolah pernyataan-pernyataan musuh, mengikhtisar. Dia terkenang diskriminasi ekstrem bangsa Dayan terhadap Helev di dunia nyata, yang juga menimpa dirinya. Selama bertahun-tahun, Sheraga tetap kukuh dari perlakukan itu berkat statusnya sebagai putra pejabat.

Bila ini adalah dunia kebalikan, maka mungkinkah semua itu merupakan pandangan sebenarnya bangsa Dayan terhadap manusia?

"Kenapa? Kenapa kamu tidak terlihat bahagia? Kenapa kamu menutup diri?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sheraga hanya terus mengulang-ulang mantra sekte itu.

"Aku mengerti. Maaf," kata si pria kurus. "Ha-Nahra—sang Pemimpin, memang tak menghendaki kita membuang-buang waktu."

Ha-Nahra. Sheraga terenyak. Sebersit kenangan buruk menghantamnya. Ha-Nahra—sang Pemimpin dalam bahasa sandi Urim, semestinya menjadi gelar rahasia yang tidak digunakan siapa pun, kecuali ....

Spontan Sheraga bertanya balik, "Maksudmu Betshev?"

"Betshev?"

Dan usai berpikir agak lama, secara tak terduga si pria ceking meraih tudung jubah Sheraga, menyingkapnya tanpa bisa dicegah, dan menjerit lantang, "Penyusup! Ada penyusup!"

Peringatan tadi tak ayal berbuah bencana. Iring-iringan langsung menjeda rapalan doa, sebelum berhenti total. Semua wajah berpaling ke arah Sheraga, tak terkecuali dua orang yang membawa Dalit.

"Teman si Dayan," bisik seseorang.

Rekannya ikut menimpal, "Dia juga iblis."

"Tidak bisa dibiarkan!"

Seakan sepakat, semua orang bersorak, "BAKAR!! BAKAR!!"

Secara insting, Sheraga lekas bergerak mundur. Sambil pikirannya berupaya menata rencana alternatif. Beruntung posisinya berada paling buntut. Tak lupa dia menghunuskan pedang perak, alat pertahanan istimewa yang berasal dari transmutasi tingkat atas.

Tetapi seseorang menarik balik dirinya, mencegahnya berpindah lebih jauh. Sheraga buru-buru menangani si pengganggu dengan menyikut hebat mukanya, menyepak satu orang di dekatnya, diakhiri dengan menyayatkan pedang ke sepasang anggota sekte yang berniat balas dendam—menghasilkan luka dalam yang menyudahi perlawanan mereka.

Gerakan Sheraga begitu lincah, sampai-sampai beberapa anggota terpana. Memberi waktu baginya untuk mencari titik lemah musuh, lalu melancarkan serangan dadakan pada tiga orang lainnya. Satu terpental didepak, dan belum sempat siapa pun mencerna kejatuhan itu, dua ambruk pada tempatnya berkat sepasang pukulan. Lima orang rebah.

Aku beruntung.

Meskipun demikian, masih tersisa kira-kira belasan manusia. Sewaktu pasangan yang membopong Dalit cepat-cepat meninggalkan sumber konflik, selusin orang mengadang Sheraga. Berbeda dari lawan di awal-awal yang jelas tak terlatih, gelombang penyerang kedua tampak tangguh. Kesemuanya adalah pria, berbekal senjata panjang dan berat.

Merasa salah putusan, Sheraga kembali bermaksud hengkang. Nahas untuk kali ini, kemujuran tak berpihak kepadanya. Tatkala dua orang menerjang dan mati-matian berusaha dihindari, seseorang muncul tepat di sebelahnya. Menghantamnya di telinga kanan, menggoyahkan keseimbangan.

Pendengaran Sheraga berdenging menyakitan. Tak lama, dirasanya ada yang coba menerkamnya. Seseorang melompat, pemuda Helev itu tak bisa menghindarinya lagi. Dia roboh dengan kedua tangan tertahan. Tak sanggup membalik keadaan. Senjatanya terpisah dari genggaman.

Bahu dan kepala belakangnya berdenyut, namun lawan tak memberinya keringanan sama sekali. Datang pukulan tanpa ampun dari kiri, meremukkan tulang pipi. Dilanjutkan dengan sisi satunya.

Jatuh hantaman ketiga, pandangannya melingsir.

- 4 -
Begitu membuka mata, kepalanya pusing bukan kepalang. Pandangannya mengabur. Dikerjapkannya mata berkali-kali untuk menjernihkan penglihatan, tapi hal pertama yang ditangkapnya adalah kobaran api di tengah kegelapan.

Sheraga mencoba mengangsurkan kepala, melebarkan matanya dan berkedip-kedip lagi. Tangan juga digerakkan, namun ternyata lengannya dikebat di dua sisi. Berikut kaki.

Mengusir kepanikan, udara dihirupnya perlahan. Tetapi aroma dupa busuk ikut merengkuh penciuman. Memaksanya menahan arus napas. Tak sampai di situ, kebisingan yang tak dapat ditolerir menghunjam kedua telinganya yang masih sakit. Tatkala segalanya makin jelas, dia menyadari tengah berada dalam tempat yang familier.

Pemuda itu terperangah. Sadar yang menaunginya adalah atap kuil Helev. Terhampar di depan, ialah api membara yang membentuk bintang terbalik dalam lingkaran. Menyinari pilar-pilar dan dinding kuil sewarna karat. Berhiaskan tengkorak serta tulang-tulang, mewujud menjadi gambaran besar siksa pedih: seseorang yang terpanggang di atas tiang.

 Lebih parah lagi, Sheraga disalib di tonggak tinggi, dengan pumpunan hitam menyemut di bawah kakinya. Kesemuanya mengacungkan obor dan meneriakkan nama sang Dewi. Bersatu padu dalam kekhidmatan jahat di antara kobaran menyala.

Di arah kiri, Yaal dalam keadaan sama. Demikian dengan Shena yang tak sadarkan diri di kanan.

Akan tetapi, bukan suara penderitaan Sheraga yang pertama melengking.

Jauh di depan, di hadapan patung perunggu yang menyandang tombak api dan dalam keadaan tak berbeda dari Sheraga, Dalit meraung-raung. Dua orang berdiri di masing-masing sisinya. Membawa palu dan pasak.

Itulah saat orang-orang mulai membisu. Mencipta keheningan menyesakkan. Tak satupun mata yang berpaling dari Dalit. Kesuraman menjadi semakin nyata berkat bayangan-bayangan pekat yang bergolak. Seolah menjadi para penghakim yang siap mengantar pada kematian.

"Berhenti! Kumohon berhenti!"

Menyadari apa yang akan dilakukan terhadap orang yang dicintainya, Yaal menderam murka. Kemarahan sekaligus keputusasaanya bergaung dalam kuil itu, menyebar, dan memancing perhatian sesaat.

"Apa yang salah dengan kalian semua?" serunya. "Kami Dayan menghormati Helev!"

Tapi kepedulian itu berlangsung terlalu singkat. Spontan, Dalit memekik lagi. Jerit menyebabkan ngilu. Palu berdenting enam kali. Telapak tangannya dipaku bersamaan. Darah menetes-netes di atas altar. Bersambung dengan tonggak yang ditarik mendekat pada api utama. Dalit hendak dihanguskan, didukung sorak sorai.

"Hentikan! Hentikan! Hentikan!! Tolong!!" jerit Yaal parau. "Kalian makhluk beradab!! Jangan jadi orang-orang gila!! Jangan—"

"Diam, Dayan!"

"Tutup mulut! Tutup mulutmu, iblis!"

"Bakar dia! Bakar mereka!"

Sesuatu menghantam wajah Yaal. Membuatnya babak belur. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali. Yang berhenti tatkala Dalit kian dekat dengan api.

Kobaran dalam simbol mendadak menggila. Angin bertiup kencang dari penjuru yang sukar ditentukan. Panas menjilat siapa saja di dalam ruangan. Dengung-dengung penuh khawatir merebak, mengacaukan irama syahdu upacara. Beberapa manusia jatuh pingsan, terjengkang. Dan segera terinjak-injak para anggota sekte yang dicengkeram gentar.

Namun gejolak api tak bertahan lama. Sesaat selanjutnya, seluruh penerangan pupus. Tersapu oleh angin. Lambang sekte tak lagi membara, tidak juga api di bawah Dalit maupun di ujung tombak Gallena. Menyisakan kegelapan total yang mendorong keributan lebih parah.

Sebagai gantinya, amuk cahaya yang menderu-deru terdengar dari kiri. Gemuruhnya sangat keras dan memekakkan, bak badai digelarkan ke dalam kuil. Keraguan mulai melanda para umat yang tersesat. Pola barisan yang telah dirancang rapi perlahan terkikis, dan rusak sejurus kemudian. Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri.

Sheraga sadari Yaal tengah mati-matian mengerahkan hawa kehidupan, membentuk pusaran angin yang menyala-nyala di atas kepala. Begitu banyak dan tak terkendali, sampai pemuda Helev itu yakin temannya takkan bisa mengerahkan dengan benar.

"Yifrach! Jangan memaksakan diri!!"

Sheraga tak perlu mengingatkan. Secepat kemunculannya, energi magis berdaya besar yang memadat tersebut tiba-tiba lenyap. Perlawanan Yaal kandas dalam sekejap. Hawa kehidupan pemuda itu meluruh. Meledak dan menjadi butiran biru mengilap yang bergerak ke tengah altar. Darah membanjiri mulut, lalu tumpah ruah. Yaal berada dalam batasannya, nahas dia belum mampu memberi musuh balasan sepadan.

Seseorang—yang sebelumnya tidak terlihat Sheraga—baru saja mengentak lantai. Dia berdiri di depan Dalit. Melangkah dengan sebatang tonggak bertajuk api yang berkobar-kobar. Dari pakaian yang dikenakannya, mudah untuk disimpulkan bahwa dia merupakan biang utama di balik semua kebiadaban yang terjadi. Pada satu telapak tangannya yang terangkat terkumpul energi magis Yaal, yang lekas dilemparkannya kembali ke bidang simbol. Menyulut api yang baru, dan melanjutkan kebengisan.

"Apa pun yang kamu lakukan untuk melawan, semua akan menjadi sia-sia," orang itu berkata, "di hadapan kuasa Dewi kami!"

Sontak kuil itu bergetar. Bagai terbius seluruhnya, para pengikut wanita itu lekas berkumpul kembali. Mengamini dengan keteguhan yang mengerikan. Sekaligus menuntut agar ritual 'pemurnian' Dalit segera dilaksanakan.

"Bakar iblis itu segera!"

"Bangsa Dayan harus mati!"

"Buat mereka merasakan kepedihan!"

"Hukum! Hukum mereka!"

Seberkas ingatan membuat Sheraga terlonjak. Dia mengenal betul suara dalam balutan jubah hitam-emas itu. Orang yang pernah menjadi kepala divisi penelitian magi. Pribadi yang memerangi dirinya selama sekian tahun dan mengobarkan idealisme anti-Helev di dada kaum cendekiawan Dayan. Setan paling licik dalam bentuk seorang keturunan campuran.

"Be ... Betsh. Betshev. Hen ... tikan ... B-Betsh," Yaal menyebut, dan kehilangan lebih banyak darah. "Jangan ... jangan lakukan itu pada ka—ogh."

"Manusia berasal dari bumi dan akan kembali pada tempatnya, pada rengkuhan Gallena," Betshev mengangkat kedua tangan, memimpin orang-orang untuk menyetujui. Kontras dengan jeritan Dalit yang terus-menerus.

"Hentikan ... Bet ... Betshev. Henti ... kan," Yaal yang kian melemah tak hentinya memohon.

"Tetapi iblis, harus dikembalikan kepada api," tegas Betshev. "Karena iblis semula adalah penghuni neraka."

Dia mengitari Dalit. "Tentu saja, Dayan bukanlah iblis. Mereka sama seperti kita, kaum manusia. Mereka saudara kita. Saudara yang begitu dekat. Seperti Dewi Gallena dan Dewa Ankovei. Seperti kehidupan dan kematian. Siang dan malam. Cahaya dan kegelapan."

Ha-Nahra menumbukkan tongkatnya dua kali. "Dan karena itulah kita harus menyucikan mereka!"

Sekali lagi, dinding-dinding kuil itu berguncang berkat riuh rendah. Para manusia makin keras berkoar, malah ada yang tertawa nyaring, seiring Dalit mengesah akibat panas yang siap menyambutnya. Dalam hitungan menit, api akan menggerogoti gadis itu sepenuhnya. Dan akan dilanjutkan dengan kematian rekannya satu per satu.

Disajikan pemandangan detik-detik menuju kematian, Sheraga ingin tutup mata dan telinga. Ingin lari dari kenyataan. Ingin bebas dari rantai kesialan ini. Sayangnya, bahkan untuk bersuara, dia tak sanggup. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti rekan-rekannya, dia terjebak. Lalu akan menemui ajalnya dengan cara yang sama mengenaskan.

Itu memicu suara-suara masa lalu untuk bergaung dalam kepalanya. Tentang ketidakmampuannya menyelamatkan diri sendiri, tentang perpisahan demi perpisahan, pengkhianatan demi pengkhianatan, serta semua kejatuhan dan kegagalan. Namun semakin Sheraga menolak untuk mendengarnya, suara-suara itu kian jelas. Menjadikannya makin tertekan.

Sekian tahun bertahan dari seluruh tragedi, semata-mata untuk ditutup dengan akhir memilukan di tangan perwujudan rival abadinya. Sementara, dia selalu berkomitmen untuk tidak membalas musuh-musuhnya. Dan dalam keadaan sekarat, Sheraga tidak memanjatkan permohonan sebagaimana ajaran yang ditanamkan. Justru sebaliknya, kebenciannya terhadap Tuhan kian mengebu-gebu.

Tidak ada surga. Kau menciptakan dunia ini sebagai panggung hiburan berdarah. Dan kami hanyalah boneka tak berdaya yang akan kembali pada kepuasan-Mu yang sejati. Api keabadian.

Anggapan bahwa pencipta semesta mencampakkan begitu saja makhluk-Nya menguat begitu api merembet pakaian Dalit. Kedua kaki gadis itu melepuh, mulai terkelupas. Terlalu tak berdaya untuk merutuk nasib ataupun mengucapkan kata-kata penutup. Sementara kulit wajahnya membuih, perlahan mengembang dan menjadi tak beraturan.

Kini, dia sepenuhnya tertelan api. Peristiwa selanjutnya tak lagi tercerap sebab Sheraga menutup mata.

"Dalit! Dalit! Dalit!!" Yaal histeris, seakan dirinya sendiri yang terbakar. "Da ... lit ...." Tampak seperti tercekik, napasnya memburu tak keruan, lalu tertunduk tidak berdaya.

Nahas kekejaman belum usai. Orang-orang mengalihkan pandangan pada pemuda malang itu. Hendak menyegerakan kebrutalan berikutnya. Lebih parah, terdengar derakan dari pintu utama.

- 5 -
Sheraga merasa harapan hidupnya kian mengerdil, ketika pintu ganda kuil berdentum. Akan ada lebih banyak anarkis berduyun-duyun ke dalam latar kematiannya dan memelopori pemungkasan yang lebih sadis.

Namun, gema pintu menjeblak tak diikuti sambutan hangat orang-orang di dalam kuil. Lamat-lamat Sheraga membuka mata, seketika lega. Sahabatnya sendiri, Orim, memimpin serombongan manusia. Lebih banyak jumlahnya ketimbang pengikut Ha-Nahra. Mereka segerakan juga untuk membebaskan Shena.

"Para keparat tidak tahu diuntung!" Betshev menggerung. "Kalian menghancurkan ritus pengusiran dosa!"

Wanita pimpinan kuil langsung berang. Bak kesetanan dia menyerbu ke arah Orim, tetapi seseorang menembakkan panah ke lantai demi membatasi pergerakan Betshev.

"Kalian lihat, bukan? Inilah kenyataannya!" Orim, berbeda dari biasanya yang bicara tergagap-gagap, maju dan menyerukan dengan lantang. "Orang-orang ini yang menyebarkan ujaran kebencian terhadap bangsa Dayan dan diam-diam melakukan kebiadaban dengan dalih perlindungan!" Tangannya menuding salib-salib dan api hukuman. "Lihat saja kebejatan ini! Lihatlah semua kelaliman ini! Binatang tanpa nurani macam apa orang-orang ini?"

Setelah itu, suara yang mampu didengar Sheraga semata dengung-dengung kebingungan dan ketakutan. Tidak sebatas dari orang-orang yang digiring Orim, melainkan juga dari pengikut Betshev. Seolah-olah mereka, sama seperti Sheraga, telah lama mengenal si pria buta dan tersihir oleh perubahan sikap yang nyaris di luar nalar tersebut.

Orim hampir menghipnotis semua orang. Sheraga tak percaya takhayul dalam segala tampilannya, namun jika diibaratkan sahabatnya itu seperti dituntun oleh daya eksternal yang tidak terlihat.

Kembali Orim berteriak, "Apa kalian sampai hati membiarkan kemiskinan empati seperti ini? Mungkin, Dayan memang sedikit berbeda dari kita. Mereka begitu asing di mata kita dan tidak seharusnya berada di dataran ini. Tapi dengan semua kebengisan yang kalian saksikan sendiri, tidak menutup kemungkinan suatu hari nanti istri-istri, anak-anak, dan sanak-saudara kalian tiba-tiba menghilang dan kalian dapati mereka terjerat di tiang gantungan," telunjuknya berpindah, "hanya karena melawan kehendak wanita ini!"

Tersisa keheningan yang tak bisa dibantah. Kata-kata pria itu bagai menyatu dengan kemuraman yang ada.

"Ingatlah, Gallena mengajarkan kita mengasihi sesama makhluk! Gallena adalah sumber dari cinta kasih!" Orim menegaskan tudingannya. "Jadi jelas orang inilah, dia yang selama ini memanfaatkan kalian demi kebencian pribadinya yang lebih rendah dari sampah!"

Kepeningan kian menyakiti Sheraga. Keriuhan memuncak. Para manusia yang baru datang mengangkat senjata mereka. Ada yang meneriakkan sumpah serapah, ungkapan penyesalan, sampai mengatakan bahwa kuil itu layak dibumihanguskan.

"Tutup mulutmu, penghujat!" Betshev menyalak bagai anjing kebakaran ekor. Dia menyapu pandangan pada orang-orang yang menyertai Orim. "Kalian percaya pada pembela Dayan ini? Dia ingin memporak-porandakan kepercayaan kita terhadap Dewi Gallena!"

Orim menghadapinya, tetap mengulaskan senyum. "Kalau begitu katakan kepadaku, Ha-Nahra, apakah Gallena mengajarkan pada manusia untuk membunuh bangsa lain? Bukankah Dewi Gallena—ugh."

Geram, Betshev mengerahkan sihir. Cahaya kebiruan memelesat dari kristal besar di puncak tongkatnya. Sinar itu meledak di udara. Memelantingkan Orim ke pilar terdekat.

"Hukum dia! Buat pembidah itu merasakan kepedihan dunia akhirat!"

"Jadi cuman itu yang bisa kaukatakan, ha? Hukum dan hukum musuh-musuhmu," salah seorang wanita tua menyela. "Dasar jalang! Kau enggak pantas jadi pemimpin agama! Demikian juga kalian pengikut wanita binal ini, kalian pantas masuk neraka!"

Betshev memerintah, "Bakar dua orang sesat ini!"

Bimbang berpadu kepatuhan, para pengikut wanita itu menyanggupi. Sambil menyerukan puja-puji dewi untuk meneguhkan keyakinan, belasan manusia berjubah hitam berbondong-bodong menggapai Orim. Upaya mereka begitu penuh tekad, tak tergoyahkan. Bahkan tatkala sesama mereka mengonfrontasi dengan hujan panah dan tebasan senjata berbalut kegusaran.

Dalam sekejap, kuil menjadi medan pembantaian.

Panah-panah berseliweran, bagai himpunan lebah memburu pengacau. Denting logam pecah di udara, mengingatkan Sheraga akan perselisihan antara tentara kerajaan Batya dengan klan Elam dan Kohan di masa belianya.

Aroma kematian merebak secepat embusan angin. Nyawa melayang tiap kerjapan. Kepala-kepala terpenggal. Isi perut terburai meriah. Warna merah pekat menodai pualam. Tangis dan pekik derita menumpulkan pendengaran. Satu demi satu personel sekte sesat yang tak bersenjata roboh di atas kaki mereka. Dalam penyesalan teramat yang diperparah kegelisahan bahwa jiwa mereka memang telah dikutuk.

Sedangkan, Gallena memandangi semua itu dengan tatapan kosong. Entitas yang dipersengketakan itu bergeming. Membiarkan saja kakinya terciprat darah.

Manusia tanpa jubah lewat di bawah Sheraga. "Tolong lepaskan aku!"

Si pria mengabulkan. Dia memanjati tiang di sebelah salib untuk memotong semua tali yang mengekang Sheraga. Sang alkemis, yang tak bisa melakukan transmutasi itu, menapak lantai dari ketinggian empat tombak.

Belum apa-apa, seorang pengikut Betshev berlari kepada Sheraga. Tangannya terulur, siap mencekam leher. Tetapi orang di atas tiang buru-buru melompat, tepat menubruk si pengganggu dan mengakhiri hidupnya dengan tikaman pedang.

"Terima kasih."

Lawan bicara Sheraga tak menjawab, tampak bisu. Sebagai respons, dia malah menyerahkan pedang lengkung dan sepasang belati miliknya. Sertamerta bertolak untuk berjibaku melawan musuh yang masih berjiwa.

Tertatih Sheraga melangkah. Kanan dan kirinya adalah lautan darah dan organ dalam. Senjata-senjata masih beradu. Beberapa orang mulai melumuri segala sudut dengan minyak tanah.

Baru hendak menuju Yaal, Sheraga tertegun. Si pemuda Dayan telah bebas. Tengah direngkuhnya—tidak. Sheraga menelan ludah. Tolong jangan begitu.

Tubuh dalam pangkuan Yaal sangat mengenaskan. Tulang keringnya terbuka, mengucurkan darah. Keadaan dada dan perut tidak lebih baik. Mempertontonkan rusuk yang menghitam. Mukanya seperti gumpalan bangkai dengan sebelah mata meletus. Sheraga menahan muntah.

"S-sayang ..., Dalit," Yaal berbisik, membelai rambut meleleh mayat gosong. "P-padahal ... aku berencana melamarmu dalam waktu dekat. Aku memang ... b-bodoh dan lemah, juga miskin. Ta-tapi aku berani jamin ... pernikahan kita akan ... sangat berkesan. Oh, Dalit-ku tersayang. A-aku b-bahkan belum ... berani menyatakan cintaku padamu. A-aku begitu payah, ya?"

Pemuda itu memegang erat bagian kiri dada. Dia tertunduk, airmatanya bercucuran bersama darah. Tak kuasa Sheraga melihat pemandangan itu.

"Yifrach," panggilnya berat hati. "Yifrach, sadarlah!"        

"I-Iya, aku ... aku tahu kok." Yaal memposisikan telunjuk di depan bibir. Mulutnya menyeringai seperti biasa, hanya diliput kepedihan. "T-tidak perlu dirinci, Sheraga. A-aku hanya ingin meninabobokan ... malaikat kecilku ini. Sebentar saja. To-tolong jangan ganggu kemesraan kami!"

Sheraga mundur tiga langkah, ingin cepat-cepat cuci tangan, namun sekaligus tidak tega. Yaal tak lagi waras, malah menyenandungkan kidung:

Jangan takut, aku bersamamu.

Akulah hidup dan matimu.

Akulah siang dan malammu.

Mahkotamu, tangan dan kakimu.

Akulah pangeranmu.

Tanpa risi, Yaal mengecup 'bibir' jasad Dalit. Ciumannya begitu dalam dan sepenuh hati. Tak peduli hidung dan bibirnya justru melekat pada daging hangus. Tak tahan lagi, Sheraga lari sambil menutup mulut. Isi lambungnya tumpah sepuluh tombak berikutnya.

Sejurus kemudian, di antara jumlah manusia yang kian menipis, ditemukannya target untuk dihabisi. Perempuan sundal itu diam-diam masuk ke dalam sebuah pintu. Tanpa pikir dua kali, Sheraga mengejarnya.

- 6 -
Paham bahwa Ha-Nahra yang diburunya tak lebih dari bagian ranah omong kosong, Sheraga tetap ingin melampiaskan kemarahannya.

Mungkin bukanlah Betshev palsu yang menurunkan derajatnya sedemikian rupa di hadapan para ilmuwan tiga tahun yang lalu. Bukan sosok penggagal penemuan terbesar yang digadang Sheraga akan mengubah peradaban yang telah sakit dan melenceng. Bukan pula perintis pembakaran atas semua hasil buah akalnya selama bertahun-tahun sembari berpesta pora.

Di samping segalanya, Sheraga masih punya alasan yang sebanding. Sungguhan maupun lancung, wanita itu tetaplah  salah satu tikus busuk yang turut andil mengerip dunia sampai menjadi sedemikian cacat. Pembunuh, kolot berujung ekstremitas, dan bebal bersampul wibawa religius. Orang semacam itu pantas dibinasakan.

Koridor kuil menjadi semakin gelap dan sesak. Lumut menempel pada permukaan. Hawanya seperti berada di dalam gua. Ada jalan bercabang tiga, disusul lima, lalu empat, tujuh dan dua. Suluh-suluh sepanjang lorong tak banyak membantu. Sheraga mengikuti dipandu insting dan dendam kesumat semata.

Ketika akhirnya tiba di sebuah ruangan bundar terang benderang dengan Betshev di bagian tengah, Sheraga tidak lekas gembira. Kecurigaannya, walau tidak dipatuhi, berubah jadi nyata. Pintu yang baru saja dilaluinya buyar. Tak ada lagi yang menjadi saksi pertentangan dua ilmuwan Urim Ushnashar selain tembok bata dan lusinan obor.

Sekarang terlihat jelas sang biang keladi. Wanita tiga puluh tahun umur Dayan, namun tidak bertelinga lancip. Indikasi indranya masih setara dengan manusia. Rambutnya ikal gelap, senada dengan sepasang mata.

"Aku ingin bertanya!" Suara Sheraga menggema. Dia menghampiri Betshev seraya mencabut senjata. "Apa kau Betshev Eliezer yang kukenal?"

"Tentu saja, Sheraga!" Betshev memperlihatkan penghormatan yang dibuat-buat. "Kamu ... aib perdana menteri. Kepinding yang mencemari Urim! Aku telah membuktikan bahwa seorang Helev mestinya tidak menjadi cendekiawan!"

Sheraga tidak langsung yakin. "Dan kenapa kau membunuh bangsa yang kautinggikan?"

"Maksudmu teman-temanmu?" Betshev tertawa aneh. "Beberapa orang untuk satu perubahan besar, itu tidak masalah. Para Dayan itu akan jadi martir."

"Apa yang kaurencanakan?"

Betshev mendesah keras-keras. "Apa prestasimu sebagai ilmuwan termuda adalah kebohongan?" godanya. "Bukankah sudah jelas? Helev adalah makhluk terbelakang yang menjijikkan! Belatung! Dan benar saja, dengan sedikit provokasi aku bisa mengarahkan mereka menuju tindak amoral! Betul-betul tanpa otak!"

"Tapi kau gagal mencetuskan perang," Sheraga tersenyum kecut. "Siapa pun, pada dasarnya menghendaki harmoni. Hakikat itulah yang mengandaskan langkahmu."

"Belum." Bethsev mengangkat bahunya. "Nanti kubuat dalam skala yang lebih fantastis. Mungkin, akan kuperintahkan budak-budak Helev-ku untuk menculik selusin rabi, atau anggota Dewan Hakim. Perang yang akan terjadi hasilnya sama dengan seribu tahun lalu. Dayan menang dan jumlah Helev menyusut."

"Dasar wanita gila!"

Telunjuk Betshev terangkat. "Setidaknya tindakanku lebih berharga di mata Tuhan dibandingkan seluruh budi luhurmu. Orang yang tidak beriman!"

Sheraga terkesiap.

"Jangan berlagak kaget begitu." Betshev membalikkan badan. "Aku sudah memahaminya sejak lama. Memalukan sekali. Putra menteri, akademisi, orang yang mampu menginterpretasi wahyu. Ternyata menjadi kafir. Cepat atau lambat kamu akan dieksekusi!"

Tak banyak kata-kata, Sheraga memejamkan mata. Mempersiapkan gerakan tercepat yang dapat dilakukannya. Sejurus kemudian, dia melompat tinggi. Kakinya terjun di samping Betshev, hendak menebas wanita itu.

Pedang dan tongkat berapi saling bertumbukan. Kekuatan benturan tersebut sampai meledak dan tersebar dalam bentuk sinar bersuhu tinggi.

"Dari mana kekuatan api itu?" tuntut Sheraga. Sebab semestinya, klan Eliezer bukanlah pengendali elemen tersebut.

"Ini anugrah Tuhan!"

Api dibuat Betshev kian membara.
               
"Kamu tahu?" pancingnya tanpa mengendurkan kekuatan. "Pada dasarnya Dayan adalah bangsa pilihan-Nya! Kami dijanjikan tempat terindah di akhir zaman. Dan Helev sepertimu, seharusnya mengabdi di bawah kaki kami!"

"Kau bukan Dayan, tolol!"

Sheraga mengerahkan tenaga untuk menjauhkan api dari rambutnya. Sayang Betshev tidak selemah kelihatannya. Dia turut menekan, sambil bibirnya merapal sesuatu untuk mengobarkan ujung tongkat. Merasa panas kian mematikan, Sheraga memutuskan lompat ke belakang.

"Apa kepala klan Asher menyumpahimu sampai sihir apimu lesap, Sheraga?" Betshev tergelak.

Tidak ada gunanya pula menyahut. Sheraga menerjang, melancarkan dua kali ayunan horizontal. Tetapi Betshev menangkis lagi dan lagi. Jatuh tempo upaya Sheraga yang kedua puluh kali, puncak tongkat logam Betshev berpendar amat terang.

Memanfaatkan momen itu, dia menyabetkan senjata. Sihirnya berkecamuk, menunjang serangan. Sekilas terdengar seperti desingan. Senyum wanita itu merekah, pertanda merasa di atas angin. Tapi berakhir dimentahkan. Kelebatan api menghantam bata.

Sesudah mengelak, Sheraga menyerang balik. Kelengahan sesaat Betshev membuahkan luka dalam di pipi. Pecah fokusnya, wanita itu sekilas tampak tertekan. Seakan tidak terima dilukai pertama-tama. Serangan lanjutan menjadi agak serampangan, kendati makin gencar. Tercipta banyak celah terbuka.

Kini lebih mudah bagi Sheraga untuk membalas. Senjatanya menorehkan lebih banyak cedera di tubuh lawan. Darah memenuhi muka pucat Betshev, tapi justru membuatnya meradang.

Saking senangnya, Sheraga sedikit lengah dengan kedatangan salah satu bola api. Rompinya terserempet, termasuk lengan kiri. Pakaian terluar itu pun dibuangnya.

"Kau menjerumuskan orang lain hanya karena kau tidak menghendaki presensinya?" Sheraga berkata pada sebuah kesempatan.

"Kemusnahan manusia telah ditetapkan! Aku hanya mengikuti apa yang digariskan Tuhan, dasar jahanam!" Betshev memperderas kobaran apinya. "Apa pun yang kalian lakukan, Helev, akhir kalian tetaplah nestapa!"

Puluhan denting dan lemparan bola api kemudian, keduanya saling berada di sudut dinding berbeda. Sama-sama kewalahan.

Sheraga termegap-megap. "Dan kau memegang teguh ajaran semacam itu?"

"Memangnya kenapa? Kamu kafir selamanya akan tutup mata hati!"

"Oh begitukah? Bagaimana denganmu? Kau menghancurkan hidup orang banyak, itu yang kausebut berhati nurani? Cih!"

Betshev berancang-ancang. "Helev layak mendapatkan semua itu! Kelahiran mereka sudah merupakan kesalahan! Mereka berpaling dari keagungan Tuhan!"

"Bagaimana tidak? Orang tua telah menentukan jalur manusia sejak lahir! Agama tak lebih dari pakaian!"

"Apa katamu?" Tongkat Betshev bervahaya, melontarkan sepasang bola api merah pekat.

Sheraga mengelik mudah. Dinding berlubang dibuat Betshev. Serpihan kayu dan pasir beterbangan, mengganggu pernapasan.

"Manusia, para penyembah berhala, harus dihukum!" Betshev ngotot dari balik asap debu. "Mereka tidak mempergunakan akal! Bukti konkrit ada di depan mataku!"

"Tidak semua Helev begitu!"

"Mereka tetap tidak ada artinya di mata Tuhan!"

"Jika surga dipenuhi mereka yang sanggup menyakiti orang lain, maka Tuhan adalah sosok bejat yang tak layak disembah!" Seruan Sheraga bergetar dalam kamar itu. "Tuhanmu tak lebih dari entitas kejam yang mendamba tumpah darah!"

"CUKUP!" Sergahan Betshev terdengar menggelegar.

Ucapan Sheraga mengentaknya dengan telak. Sambil memegangi bagian hati, dia menjerit pilu, "Tutup mulut setanmu itu! Kamu telah melampaui batas!"

Wanita itu jatuh berlutut, menangis. "Kenapa hatimu bisa sebegitu kelam? Kamu manusia atau iblis? Bahkan ... bahkan iblis masih mengakui kebesaran-Nya!" raungnya. "Kamu akan dijebloskan ke dalam neraka dengan siksaan yang amat pedih!"

Argumen yang amat sederhana, tak perlu dalil, anehnya ampuh. Betshev roboh dengan dungu. Sheraga merasa jenaka. Menyesal tidak menyiksa musuhnya begini sejak awal. "Kau mendadak kalut hanya karena kukatai Tuhanmu?"

"Jangan bicara terus!" Betshev tak membendung airmatanya. "Mohon ampunlah sebelum terlambat. Aku juga ... biar aku membencimu, bagaimanapun aku menghendaki kematianmu, aku tetap tidak ingin ada yang menghujat Tuhanku. Orang-orang sepertimulah, Sheraga, yang akan melekaskan Hari Pengadilan."

Sheraga tak menggubrisnya. Hati Betshev terlanjur jadi bangkai, sekalian saja diremukkan. "Akhir zaman adalah fakta tak terelakkan biarpun semua makhluk bersujud! Setiap eksistensi memiliki batas! Justru dunia ini semakin rusak karena ulah masyarakat rasis sejenismu!" tampiknya. "Hancurkan yang berseberangan, bakar yang tidak kaumengerti. Perilaku kalian betul-betul barbar!"

Menilik keadaan Betshev, sang alkemis muda kian bergairah bicara. Sebuah inspirasi datang padanya. "Ada begitu banyak agama di dunia ini. Mereka yang memuja Hamonayim, Gallena, Ankovei, Amrani, sampai rumput dan anak keledai. Semua golongan mengklaim sebagai yang paling benar. Perang terjadi karena sekat yang disebut agama."

"Tapi kenapa, Tuhanmu  yang benar itu membiarkan semua kekacauan terjadi? Ke manakah sosok yang harusnya menjadi pembela makhluk-Nya?"

"Mungkin Tuhanmu itu," kata Sheraga, "memang tidak ada!"

Betshev menghalangi suara Sheraga masuk telinganya. "Pergi kamu! Pergi dari hadapanku!" Lalu mendesis, "Bagaimana mungkin kamu menyimpulkan sesuatu yang tidak kamu pahami? Kamu hanyalah manusia! Partikel dalam semesta raya! Akalmu takkan sanggup menggapai Tuhan yang maha besar!"

"Perhatikan alam ini! Pikirkan tiap napas dan detak jantungmu! Kamu kira segala hal terjadi secara acak? Tapi kamu bahkan tak bisa membohongi dirimu, tidak mampu mengingkari keberadaan Tuhan dari dalam hatimu!"

Secara rahasia, Sheraga tidak menyangkal pernyataan itu. Ya, terlepas apa yang baru saja dikatakannya, setidaknya dia masih meyakini keberadaan Yang Maha Tinggi, walau bukan dalam artian positif.

"Kalaupun Tuhan memang ada," suaranya mengecil, "Dia takkan peduli pada kita. Tuhan sebatas menerima satu cara untuk memuja-Nya, menolak yang lainnya, dan sekalipun kita termasuk golongan yang lurus, kita tetap saja sengsara. Apa kalian tetap mengelu-elukan sosok semacam itu?"

"Jadi karena semua nasib buruk yang menimpamu, lantas kamu menjadi sedemikian congkak?" Betshev semakin terdengar pedih. "Sheraga, sadarlah bahwa itu bentuk kasih sayang Tuhan kepadamu!"

Tawa Sheraga menyembur. "Kaumau berkata kejahatanmu termasuk cinta Tuhan?" Sambil memegangi lengannya, dia melangkah maju. "Kau juga mau berkata gadis kecil yang kaubakar itu diberkati Tuhan? Itulah buktinya! Perempuan yang kauhanguskan, dia senantiasa bersimpuh atas nama Tuhanmu! Kaumau berkata dia layak mati dengan cara seperti itu?"

Sheraga menggeram. "Tidak kusangka, Betshev, iman buta menumpulkan kecerdasanmu!"

"Diam!"

"Tapi pantas," Sheraga tersenyum asimetris. "Keyakinanmu adalah—"

"Bila kamu tidak berniat menyesal, biarlah kuberikan kamu penghakiman!" Betshev bangun sekuat tenaga. "Minta penjelasanlah pada Tuhan!"

Tanpa aba-aba, dia menapak lantai, lalu meluncur ke depan. Selama melayang, tombaknya berubah menjadi nyala api yang membungkus diri seutuhnya. Hampir tampak seolah menelan pemiliknya sendiri.

"K-kohl, kohl Hamonayim khotzev—" rapal Betshev terisak. Sheraga paham betul mantra tersebut belum selesai. Itu adalah sihir keluarga Asher yang takkan pernah dikuasainya.
               
Api di sekujur tubuh Betshev padam. Suluh-suluh menyusul. Ruangan mendadak gelap sempurna. Jantung Sheraga berdentam-dentam kuat.

"—LAHAVOT ESH!"

Saat itulah Sheraga menyadari nyala terpancar dari atas, Betshev melompat sangat tinggi. Tubuhnya berputar di udara, mempersiapkan jurusnya yang serupa hujan bola api. Gumpalan-gumpalan terang memenuhi bagian atas ruangan. Berangsur-angsur turun.

Ketika api menerjang, Sheraga bergerak meliuk-liuk, berguling, dan memutar tubuh. Begitu serangan mereda, penerangan kembali mati. Pendengaran ditajamkannya, berusaha mengira-ngira arah datang serbuan lanjutan.

Dia pun berbalik, dan dijamu sorot api terkonsentrasi. Sheraga berguling tepat waktu. Terlambat satu detik saja, dia bakal berubah jadi debu. Terbukti dari bata di belakangnya yang berlubang.

Betshev terdengar letih. "Kenapa kelaliman sulit sekali sirna?"

Bertubi-tubi, dia menembakkan proyektil panas. Dan sebanyak itu pula Sheraga terus berkelit. Kedua kakinya mulai terasa kebas, namun ditahannya mati-matian. Di sela-sela kelebatan api dapat dilihatnya mata Betshev berkilat penuh amarah.

Sheraga berguling kala datang sebuah serangan dari atas. Nahas serangan lain mengempasnya. Membuatnya terjungkal menubruk tembok. Tak sempat mengatur posisi bertahan sempurna, dia sebatas menggunakan kedua lengannya untuk melindungi muka dan leher.

Kepala belakangnya terasa basah. Cairan hangat menetes-netes di belakang tengkuknya. Kemeja dan tangannya hangus sebagian. Perlahan, pandangannya mulai mengabur. Satu-satunya hal yang disyukurinya adalah fakta, ketahanannya pada suhu ekstrem baru saja menyelamatkannya dari kebakaran fatal.

Rupanya, api tadi belum apa-apa.

Sheraga mendongak. Seperti sebelumnya, Betshev melayang di udara. Di sekelilingnya tercipta rumus-rumus sihir. Menjalin padatan api menyilaukan, serupa tiruan matahari. Panasnya, yang barangkali mewakili kemarahan Betshev, bahkan sudah menusuk ke dalam kulit.

Kali ini, Sheraga tahu dirinya kemungkinan kecil dapat menghindar. Dia menggigit bibirnya, waktu semakin sempit sebelum api menjadikannya sama dengan Dalit.

Tapi sekali lagi, tentu saja, Sheraga takkan menyerahkan dirinya pada kematian. Diambilnya tindakan cepat, barangkali terbilang nekat. Menahan kebas dan perih di sekujur badan, dia merogoh saku. Sepasang belati pemberian dia lontarkan ke atas, setengah putus asa.

Tiada bunyi kelontangan logam.

Tak disangka-sangka, upayanya berhasil. Amuk sihir batal. Dari ketinggian lima tombak, Betshev terbanting tanpa persiapan. Kertakan keras dari tulang bahu menyebabkan Sheraga ngilu. Ha-Nahra terkapar. Kakinya tertancap belati, lengan kanannya patah. Darah tersembur di lantai.

Terhuyung-huyung, Sheraga lantas menyingkirkan tonggak besi Betshev yang masih menyala. Berjaga-jaga jika wanita itu hendak menyerang lagi.

"Kau kalah, Ha-Nahra," Sheraga mendeklarasi. "Kau sendirian. Tuhan tidak pernah menyertaimu."

Pedang diangkatnya tinggi-tinggi. Siap mengakhiri lawan dalam satu sapuan. Permukaannya memantulkan sepasang mata Betshev yang menyala ketakutan.

"Sh-Sheraga!"

Kegelapan sunyi terpecah. Suara itu menghentikan laju pedang dengan ajaib. Yaal melompat ke tengah perseteruan. Tongkat Betshev yang masih menyala mempertegas dirinya yang tersengal-sengal dan berdarah. Kedua tangannya terentang, dengan sigap melindungi Ha-Nahra. Sementara kedua tungkainya gemetar.

Waktu seperti tidak bermakna dalam ruangan itu. Detik demi detik, ketiga orang di dalamnya termangu. Amarah Sheraga berubah menjadi kebingungan.

"Apa-apaan ini?" Antara bingung dan marah, dia menyalak, "OTAKMU RUSAK, YIFRACH?"

Terseok napas, Yaal merintih. "Sudah cukup, su-sudah cukup aku kehilangan. Be-Betshev ... dia memang bersalah, tapi ... tapi dia punya kesempatan hidup. Dia ... mentorku."

"Minggir!" hardik Sheraga.

Yaal bertahan. "Sh-Sheraga," isaknya, "jangan jadi ... orang yang tak berbelas kasih. Aku ... aku telah memaafkannya."

"Kau tidak mengerti ada masalah lain di antara kami!"

Kedua orang itu terus berdebat, tak awas pada Betshev yang tengah merapal mantra. Sekali lagi, ruangan menjadi gelap gulita.

Sheraga merutuki nasibnya dalam hati. Bayangan kekalahan mencabik-cabik harapan hidupnya. Kesempatan berharga raib karena gangguan tak terduga. Kini, mustahil untuk membalik lagi keadaan. Satu serangan saja untuk menamatkan riwayatnya. Tak kuat melawan arus masa depan, dia jatuh bersimpuh. Kenapa?

Terdengar derap langkah di balik punggung. Sheraga refleks berpaling. Hanya untuk menyaksikan sebuah tangan berpendar mencuat dari perut rekannya, memburaikan isinya. Ekspresi Yaal dan Betshev sendiri terlihat hampir tak percaya akan apa yang baru saja terjadi.

"Shera ... ga ...." Yaal tak sempat bersuara maupun menutup matanya. Dia terpuruk dengan muka lebih dulu, tergelincir di atas genangan darahnya sendiri.

Sheraga mati-matian menahan luapan di mata. Dan begitu ruangan meredup lagi, keinginan membunuhlah yang memandunya. Sambil berdiri, diraihnya leher Betshev. Sheraga rasakan wanita itu menendang-nendang, berusaha melawan dengan sisa-sisa kekuatannya.

"Jangan coba-coba menistaiku, keparat!" Amukan Betshev mengisi kekosongan.

Sheraga balas menampar. "NAJIS!!" Lantas mendesis murka, "Kau ... lebih rendah dari kotoran di mataku!"

Saat itulah cahaya membanjiri ruangan. Begitu berbalik, orang-orang sudah menunggu. Berbondong-bondong mereka masuk melalui satu-satunya ceruk, membawa obor. Beberapa orang langsung berinisiatif untuk mengangkut jasad Yaal.

"Dayan malang," komentar seseorang. "Semoga Gallena bermurah hati kepadanya."

"Mari kita keluar, Nak." Ada yang mengajak Sheraga. "Sebentar lagi kuil akan kami ratakan."

Mendapati selusin pendatang, Sheraga punya ide penghakiman yang lebih baik. Pembunuhan terlalu baik buatmu.

Maka dilepaskannya Betshev dari cengkeraman. "Tuan-tuan, inilah Ha-Nahra. Sosok yang memelopori konflik." Dengan datar, dia menambahkan, "Silakan perlakukan dia sesuka kalian. Dia adalah ahlinya."

Seperti mencerap berlian, para pria itu bersorak-sorai. Mata-mata yang letih setelah pertempuran memandang Betshev dengan nafsu hewani. Tangan kotor mereka menggapai-gapai. Bayangan penuh berahi menyusutkan semangat hidup Betshev.

Wanita itu hanya mampu menjerit dalam batin tatkala para pria meraih kakinya, dan tangannya. Melucuti pakaiannya dengan buas. Tatapannya jelas menyumpahi agar Tuhan memasukkan pria bernama Sheraga Asher ke dalam neraka tingkat terdalam.

"Berdoalah pada Tuhanmu, Betshev," gumam Sheraga sambil melangkah keluar.

Bertentangan dari moralnya, memang. Tapi Sheraga takkan menyesal. Sebagaimana Betshev tidak mengampuni nasibnya maupun kedua rekannya. Wanita itu pantas menerima balasannya. Tertatih, Sheraga melengang. Sepenuhnya mengabaikan lenguhan-lenguhan di balik lubang. Bersamaan, pandangannya terbenam untuk kali kedua.

- 7 -
Lantunan merdu dawai tanpa izin membelai pendengarannya. Melodi kidung Berdansa di Bawah Bulan perlahan-lahan menyambungkan kesadarannya. Sheraga terjaga dengan hati berkecamuk.

Aliyah, apa itu kau?

Aliyah ...

Sadar pada kenyataan, rasa kehilangan yang teramat sontak menyesakkan dada. Untuk meredakan perasaan itu, Sheraga menghirup udara dan mengembuskannya dengan lemah. Asap tipis keluar melalui bibirnya. Tatkala segalanya menjernih pelan-pelan, dia menyadari dirinya tengah berada di sebuah ruangan.

Dindingnya terbuat dari kayu-kayu yang dicat cokelat mengilap. Sebuah jendela besar tanpa tirai menawarkan panorama langit senja. Sebentuk rak persegi dengan tinggi mencapai atap memenuhi tembok di seberang tempat tidurnya. Isinya berupa botol-botol, berbagai gulungan, serta bermacam-macam kandil. Seorang gadis duduk di sebelah tempat tidur Sheraga. Dia yang memainkan harpa.

"Kakak!" Shena, adik angkatnya, langsung memeluk Sheraga. "Kakak! Kakak! Syukurlah Kakak baik-baik saja!"

"Bagaimana denganmu sendiri?" tanyanya sambil mengelus punggung si gadis.

"Aku takut sekali! Aku takut, Kak!" jawab Shena sesengukan. "Kak Yaal dan Kak Dalit meninggal!"

Ternyata rangkaian ritual amoral merupakan bagian dari realita. Sheraga celingak-celinguk. Ini bukan di kuil. Namun juga bukan penginapan murah dekat pantai, maupun rumah singgah di Hagashah.

"Kita masih ... di dunia anomali," Orim, berdiri di dekat lemari, menjelaskan tanpa diminta.

Sheraga mengucek mata. Tidak percaya akan apa yang dicerapnya. Ada sosok lain di dalam ruangan. Bukan satu saja, tetapi dua. Seorang pria dan makhluk pendek dengan payung dan kepala tertutup bantal ungu—tidak, bila diperhatikan, kepalanya memang sebuah bantal.

"Selamat telah menyelesaikan ujian~" Kepala Bantal mengumumkan riang. "Shera, ng ... Shera apa?"

"Namanya Sheraga Asher, Ratu Huban," tegur partnernya.

Pria itu terlihat seperti persilangan dari semua bangsa. Sama seperti kawannya, aksennya begitu tak familier, walau dia bicara dalam bahasa Yashar. Selain itu, dia mengenakan pakaian tak umum dan potongan kaca hitam di depan mata. Tak pernah menemukan dua jenis itu dalam jurnal mana pun, Sheraga percaya setidaknya orang-orang tersebut bukan berasal dari dunianya.

"Hih, namanya gitu banget!" Sosok yang dipanggil Ratu Huban memprotes. "Jadi kupanggil kamu Sherasher saja, ya? Dan sekali lagi buatmu, selamat~" Dia mulai berputar-putar girang di tempatnya. Tiap gerakannya memercikkan sampah warna-warni.

"Jadi ... kalian yang memaksa kami terlibat bencana ini?" Sheraga bangun, mengambil pedang dekat ranjang, menahan keinginan menebas. Dan yang paling penting dia memastikan, "Atau jangan-jangan kalian dua anjing suruhan musuhku!"

"Tentu saja bukan," tepis si pria dengan kulit berwarna. "Aku Zainurma, Kurator Museum Semesta—"

Sheraga terlanjur mengarahkan pedangnya ke leher Zainurma. "Jangan main-main!"

Ratu Huban bergeming seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara Zainurma malah terkekeh.

"Jangan jadi orang bersumbu pendek, Sheraga. Setahuku kau bukan tipe yang seperti itu," tuturnya dengan nada menantang. "Lagi pula, ini semua hanyalah ujian. Betshev yang kauhadapi tidak nyata. Teman-temanmu juga tidak tewas. Bahkan sejak awal tak satupun dari mereka mengikuti kalian."

Sheraga dan Shena terperangah.

"Orim atau siapa pun namamu, kelihatannya kau sudah menyadari itu lebih dulu," Zainurma menoleh pada Orim. "Benar, 'kan?"

"Ya," Orim menyetujui. "Sejak awal aku merasa ... ada yang janggal dengan kedua orang itu. Lebih-lebih ... Dalit. Pembicaraan kami sepanjang jalan adalah seputar Betshev Eliezer, yang mana aku tahu akan kami hadapi. Membuatku yakin ... mereka berdua palsu. Sama seperti ... semua Helev dan Kerajaan Batya ini."

Sheraga nyaris jatuh pingsan.

Zainurma menambahkan, "Yah, maaf-maaf saja. Tapi memang itu yang terjadi, Sheraga. Di losmen itu, aku menemukan kalian bertiga saja. Sedangkan dua orang temanmu itu," lanjutnya tanpa keraguan, "menyedihkan. Mereka tampaknya meninggalkan kalian dan mengambil harta benda yang ada—"

Sepasang tebasan melintang dihadiahkan untuk Zainurma. Tetapi ajaib, tubuhnya berpendar menjadi cahaya keemasan. Yang seketika berkumpul kembali secara utuh di samping Sheraga. Tanpa peringatan, Zainurma melayangkan tinju mentah padanya. Kekuatannya begitu dahsyat, dan sontak si pemuda Helev tersungkur.

"Kak Shera!"

"Tuan Zainurma!"
               
Zainurma menegaskan sebelum Orim selesai dengan kalimatnya. "Makanya jangan pernah memotong ucapanku! Kalian pikir aku sama rendah dengan kalian, hah?" Dia mendekati Orim, menunjuk dadanya. "Dan kau ... jangan sok terbata dan pasang wajah pandir itu di hadapanku! Aku bisa membeberkan seluruh rahasiamu kapan pun aku ingin. Kepura-puraanmu membuatku muak!"

Untuk pertama kalinya, Sheraga dapati Orim gentar. Senyumnya luntur. "Tolong jangan lakukan itu. A-aku akan lakukan apa pun untuk Anda."

"Makanya, cukup turuti semua kata-kataku." Zainurma menyeringai. "Sebegitu susahkah tunduk pada peraturan?"

Orim dan Shena membantu Sheraga berdiri.

Sheraga mengelap darah di ujung bibir. "Kalau begitu, aku ingin menanyakan satu hal," dia mengajukan. "Apa tujuan kalian atas semua ini?"

Alis Zainurma terangkat. "Kami mengujimu, Sheraga, melalui secuplik mimpi buruk yang disebut Bingkai Mimpi—babak permulaan."

"Apa?"

Zainurma menghela napas panjang. "Dari jutaan orang di semesta ini, kami memberi kesempatan untukmu merealisasikan mimpi, dalam ajang yang disebut Pertarungan Antardimensi."

Sheraga mengepalkan tangan. "Jadi intinya kau hendak menjadikanku ayam untuk disabung?"

"Suka tidak suka, itu benar." Zainurma mengangkat dagu. "Tapi memangnya kaupunya pilihan lain? Di duniamu saat ini, tidak ada yang membutuhkanmu!"

Kesabaran Sheraga berada di ambang batasnya. "BAJINGAN—"

Orim menahan rekannya. "Sheraga, Sheraga, .... Tenang, tenang, Teman! Ambil ... ambil sisi positifnya!" Dia berbisik, "Luruskan pikiranmu, luruskan ...."

Sheraga lekas sadar. Pribadi bernama Zainurma terlalu tidak dapat diprediksi. Adalah salah untuk membantainya saat ini. Mendapat ketenangan yang diharapkan, akhirnya Sheraga bertanya hal lain yang sama-sama menghantui pikirannya, "Mengapa Bingkai Mimpi begitu absurd?"

"Bingkai Mimpi. Alam yang merangkum dunia sekaligus mewujudkan gabungan cinta, kebencian, atau apa pun yang dalam lautan benak pemilik. Kau merasakannya, bukan?" Zainurma menuding Sheraga.

"Wujud kebudayaan tempat ini terbentuk dari kerinduanmu terhadap kampung halaman, sedangkan perburuan terhadap teman-teman palsumu berdasar—ah, tak perlu kujelaskan karena kaupaham, 'kan? Dengan kata lain, Bingkai Mimpi ini merupakan manifestasi alam bawah sadarmu. Kau adalah pemimpi utamanya," paparnya dengan sabar.

Tanpa menunggu ditanggapi, dia melantaskan, "Khususnya kasus kedua rekanmu. Mereka ada berkat keyakinan kuatmu. Kau begitu menghendaki teman yang sejati."

Sheraga menggigit bibir.
               
Zainuma bertepuk tangan satu kali. "Nah, karena Sheraga adalah pemimpi utama, itu artinya dia saja yang boleh ikut ke Museum Semesta—latar pertarungan yang sesungguhnya." Diliriknya Orim dan Shena bergantian. "Jadi selain dia, tetap di sini. Akan kupastikan semua orang memperlakukan kalian berdua dengan bermartabat, jadi tidak perlu cemas."

"Dapatkah aku, berkeliling Bingkai Mimpi ini lebih dulu?" tanya Sheraga.

Zainurma sepakat. "Tapi waktumu dua jam dari sekarang."

"Oh, ya! Jangan ke mana-mana tanpa membawa domba lucu! Hadiahmu karena berhasil mengatasi rintangan!"

Entah bagaimana prosesnya, Ratu Huban tahu-tahu memunculkan seekor domba. Makhluk berbulu itu bersuara, berjalan pelan-pelan dan berdiam dekat kaki Sheraga layaknya kucing.

Embikannya terdengar sendu, mungkin makhluk itulah satu-satunya yang mengerti isi hati Sheraga kini. Sungguhkah kau memahamiku?

Si domba menanggapi lirih.

- Epilog -
Bagi Orim, pemuda itu sudah seperti adik kandungnya sendiri. Satu-satunya alasan hidup yang tersisa setelah keluarganya dibasmi habis oleh pasukan Kerajaan Batya. Terlepas dari kewajibannya untuk menjaga pemuda tersebut apa pun yang terjadi.

Pertemuan mereka berlangsung sejak Orim berusia delapan tahun. Sebelum ayah Orim meninggal, beliau berpesan agar putra tunggalnya itu mengantarkan sesosok bayi misterius ke depan pintu rumah perdana menteri; kepada Natan Asher. Berharap sang pejabat berkenan untuk mengangkat insan kecil itu sebagai anak. Ayah Orim juga mewanti agar putranya melindungi manusia yang beruntung tersebut.

Sebagai buah hati yang berbakti, Orim tak pernah menampik perintah. Dia berhasil melaksanakan wasiat itu. Tanpa banyak hambatan pula, keinginan ayahnya mewujud.

Sheraga Asher, begitu sang menteri memberi nama pada anak laki-laki itu. Dia tumbuh sebagai pribadi dengan kualitas sesuai yang ayah Orim katakan.

Sewaktu belia, Sheraga menjadi murid paling menjanjikan yang pernah ditemui para pengajar. Melebihi teman-temannya yang seluruhnya Dayan. Keinginannya untuk terus belajar begitu abnormal, seolah dia tak terlahir untuk tujuan lain. Di usianya yang keempat belas, masa-masa di mana para Dayan setaranya masih duduk di sekolah menengah, dia mengejutkan dunia pendidikan dengan pencapaian sebagai akademisi termuda.

Atas afeksi yang tidak wajar, Natan Asher mendidiknya sebagai seorang rabi. Mengemban cita-cita anak angkatnya dapat menduduki posisi di Dewan Hakim—kongregasi tertinggi yang berhak membuat undang-undang dan memilih raja baru. Dua tahun berselang, doa sang wazir menunjukkan titik terang. Dewan Hakim mulai mempertimbangkan seorang manusia dalam jajaran mereka.

Akan tetapi di mana pun juga, akan selalu ada pihak penentang.

Tak jarang Dayan yang membenci presensi seorang manusia. Maka berlandas eksklusivisme itu, mereka berusaha menggagalkan penerimaan Sheraga dengan beragam cara. Mereka berhasil. Sheraga keluar dari satuan khusus rohaniwan untuk kesalahan yang tak pernah dilakukannya.

Orim menyaksikan puncak kejatuhan tersebut dan memberanikan diri membersil ke permukaan. Pertemuan kedua antara Orim dan Sheraga terjadi enam belas tahun kemudian. Dengan cepat mereka berkawan dekat. Orim pula yang menganjurkannya meniti keberhasilan di bidang lain: ilmu pengetahuan. Yang sayangnya, juga menghasilkan kekecewaan setara.

Angin sore Bingkai Mimpi menerpa rambut hitam Orim. Membawa aroma campuran padang pasir, kebekuan wilayah Utara, sekaligus abu. Dari jalan setapak berbatu yang dilaluinya kini, Orim ingat di kanannya terdapat sebuah gerbang. Dia membukanya dengan sangat pelan. Tak ingin mengusik ketenteraman pemakaman.

Ada pergerakan kecil dan bisikan sendu dari barat daya. Rasanya Sheraga berdiri di depan sebuah nisan. Kemungkinan besar milik kekasihnya, Aliyah Shefar. Perempuan manusia yang semestinya seumuran pemuda itu, sampai takdir memisahkan keduanya untuk selamanya.

Kabar menyebutkan gadis itu meninggal sebab wabah maut yang sempat melanda jalur perdagangan. Tetapi baik tunangannya maupun Orim yakin ada sesuatu yang lebih rumit di baliknya.

Orim menepuk bahu Sheraga. "Masih berduka ... atas teman-temanmu?"

Dirasanya Sheraga menggeleng. "Aku tak pernah menyesali kepergian para pengkhianat. Tapi aku bersyukur, setidaknya mereka selamat."

Sayup Orim tersenyum, sampai tiba-tiba terguncang ketika Sheraga bertanya, "Maaf, tapi kau sebenarnya siapa?"

Senyap pemakaman seolah merasuki kedua laki-laki itu. Mereka saling terdiam, tak tahu bagaimana menanggapi satu sama lain.

Menghancurkan kesunyian, Orim mempertahankan sikap—sebuah konvensi keluarga. "Apa ... ini karena perkataan Zainurma?"

"Tidak hanya dia," dengus Sheraga, "aku pun berfirasat selama ini kau menyembunyikan sesuatu dariku. Aku ingin kau jujur. Setelah semua yang terjadi, kau mungkin satu-satunya orang yang kupercayai dan aku tak pernah berniat meluruhkannya."

Orim berkesah. Usai berpikir masak-masak dia menyahut, "Siapa pun aku, aku ... tetaplah sahabatmu."

"Kau tidak mau mengatakannya?"

"Belum."

Sheraga bergolak. "Tapi kenapa? Aku ingin sebuah jawaban! Semua hal dalam hidupku adalah ketidakpastian! Semua orang dapat berbalik menikamku kapan saja! Yifrach dan Dalit belum seberapa. Dan sekarang kau?" Pemuda itu menggeram tertahan. "Orim, kautahu betul apa yang telah kualami dalam usiaku yang semuda ini."

"Siapa pun kau," imbuh Sheraga, "aku takkan mempermasalahkannya."

 "Aku ... Orim," Orim merespons, hampir sepelan desau angin. "Orim Kohan."

Kata-katanya seakan menggantung di atas kuburan. Orim yang tak mampu melihat sekalipun merasa lawan bicaranya seperti tertohok di bagian ulu hati. Mantan okultis itu telah menduganya, dan tidak menyesal.

"Kohan?" Suara Sheraga meninggi, tetapi tak terbersit nada permusuhan. "Orim, katakan padaku bahwa kau sedang bergurau!"

"Kapan aku bisa bercanda, Sheraga?" Kedua sudut bibir Orim tetap terangkat.

"Kalau  itu benar, kenapa kau tak mengatakannya sejak awal?" tanya Sheraga serak. Ada letup duka di sana. "Itu artinya kau, kau adalah satu-satunya yang tersisa dari margamu. Dan selama ini aku membiarkan saja pembasmian terhadap mereka. Padahal aku mungkin bisa membantu kalian."

"Kamu tak marah padaku karena aku ... seorang Kohan?"

"Untuk apa? Aku menghormati apa pun pandangan tiap orang. Bagiku, perbedaan prinsip sama sekali bukan alasan untuk membasmi pihak lain. Kalian juga tidak melakukan kesalahan yang merugikan sekeliling."

"Begitukah?"
               
Sheraga mengangguk pelan, lalu menghening sampai lama. Air mukanya tidak pasti, namun Orim turut merasakan kegundahan.

"Sejujurnya, aku bahkan tidak mengerti bagaimana untuk menyikapi semua ini," ucap Sheraga kemudian, suaranya bergetar. "Di satu sisi, aku senang. Kau tidak berusaha memanfaatkan persahabatan kita demi kepentingan keluargamu. Mungkin kau tulus."

"Namun di sisi lainnya, aku kecewa. Sebegitu tidak percayanya kau kepadaku? Kauanggap aku akan turut memusuhimu?" Sheraga mendengus gusar. "Delapan tahun kita berkawan, Orim! Kau juga pastinya tahu persis bagaimana tanggapanku dengan pemerintahan. Mereka korup dan intoleran—sesuatu yang amat kubenci."

"Kenapa setelah selama ini?" tuntutnya.

"Kupikir," Orim mengawali dustanya—yang menjadi protokol turun-temurun, "kamu ... akan takut kepadaku. Marga Kohan, semua orang mengecap kami ... sebagai kumpulan yang dilaknat Tuhan. Kami ... berbeda."

"Aku tahu." Sheraga tidak kaget. "Kalau begitu, apa bedanya dengan orang Hagashah?"
               
"Kamu masih tidak yakin?"

"Tidak juga." Sheraga jelas tengah menimbang. "Orim, ketahuilah, sejujurnya kau telah kuanggap sebagai mentor sekaligus kakakku sendiri. Dan aku tak peduli dari mana kau berasal."

Dia mengimbuh dengan ketulusan yang menyentuh Orim, "Terima kasih. Kau memberiku begitu banyak, tapi aku belum mampu membalasmu satu pun. Maaf karena sebelumnya aku tidak memercayaimu."

"Terima kasih kembali." Orim tersenyum sayup. "Tidak ada lagi yang tertinggal ... dalam umurku, kecuali dua orang adik. Bisa memberikan ... arti pada hidup mereka, itu semua ... sudah cukup bagiku."

Pria buta itu merasakan lawan bicaranya bersedih. Akan memalukan baginya jika Orim tetap di sini. Maka dia melangkah perlahan meninggalkan Sheraga. Mempersilakan si pemuda bermata muram meluapkan emosinya sendirian.

Tegarlah, batin Orim. Kau akan mengubah wajah dunia.

[Preliminary — End]

44 komentar:

  1. tidak seburuk yang kamu duga, fi. saya enjoy nikmatinnya :)

    narasinya kaya rasa yang baru, variasi teknik pembawaannya membuat saya gak bosen.

    terutama bab debat ama betshev.. saya jadi punya refrensi buat eksplor religi dsb

    minusnya,adegan "gangbang"nya off panel (muka bokep ya kayak gini)

    hahaha.. tp development asher punya peluang besar buat melaju ke babak final.. ditunggu yah

    9 dari Dukun Bangsat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah bagus dah kalo suka narasinya. Padahal waktu penggarapan ... saya justru merasa entri BoR seblum kayak lebih bagus ._.

      Haha. Debat itu emg yg paling enjoy. Walau porsinya dikit dan masih dalil yg sederhana. Dan bagus dah kalo kamu jd punya referensi. Wkwkwk

      Ya kali saya gambarin vulgar. Kokoro ini tak kuasa menulisnya :^)

      Iya semoga melaju. Tahun ini lagi "serius" soalnya. Haha~

      Makasih dah berkunjung~

      Hapus
  2. >pemuda
    >72 tahun
    Emang ini rasnya umur panjang atau gimana?

    Menyugari itu apa ya? Banyak juga kalimat yang keliatannya bahasa indonesia tapi kurang lazim saya temuin, kayak mendaras, teluh, lancung, dll. Maaf sayanya kurang awas sama bahasa indonesia

    Pun demikian, saya bisa bilang narasi di entri ini cukup luwes dan kaya akan kosakata, jadi sepanjang baca rasanya ga bikin jemu dan serasa selalu nemu sesuatu yang baru

    Kadang" baca oc yang kayak gini saya bingung, jadi bedanya alkemi sama sihir itu apa? Atau sebenernya sama aja?

    Kenapa saya ngeliat bangsa Dayan ini jadi berasa kaum Yahudi irl ya

    Entri ini berasa satu level di atas entri saya soal ngomongin agama, di mana kalo saya masih permukaan batu es, entri ini udah nyelem lebih dalem. Lumayan juga, rasanya tahun ini pas banget banyak oc yang punya potensi seru kalo ketemu sama Iris Lemma

    Nilai 9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dayan(im) itu tiga kali umur manusia. Kalo 72 tahun umurnya, berati 24 :>

      Sheraga itu alkemis yg kayak beneran. Alkimia yg dia garap sebenernya ya ... kayak IRL. Ekstraksi, transmutasi logam, dsb. Gak ada ngaruh ke battle. Dia dpt julukan itu semata karena kerjaannya kak :>

      Akhirnya ada yang ngeh. Emang Yahudi. Cuma religinya lebih mirip Katolik + Kristen koptik × Islam. Bahkan bahasanya pseudo-Hebrew. Dan kalo ditilik lagi, dr naming aja sy sebenernya nyimbolin sebuah kejadian. Di CS juga tertera kalo latar budayanya semi-Jewish. Haha~

      Masa sih? Hehe. Saya aja tak merasa. Sebenernya semata niat bawakan seorang agnostik ateis yg humanis~~

      Iya semoga ketemu Iris. Makasih dah mampir kak~

      Hapus
  3. Kisah tentang ras dan agama selalu saja menjadi favorit saya, terutama karena pembahasannya yang menyangkut dengan kejadian yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Pandangan rendah terhadap ras atau agama lain dan mereka yang mengklaim bahwa bahwa ras atau agama mereka yang lebih baik tentu tak segan untuk membunuh atau sekedar mengucilkan ras atau agama yang dipandang rendah itu.

    Anyway, saya sangat menikmati untuk membaca dari awal sampai akhir, terutama narasinya yang tak ribet, dan pilihan diksinya yang kaya. Pun saya bisa belajar dan menambah kosakata saya dari sini. Sungguh, baru tahu ada kata "menyugari" dengan kata dasar "sugar" yang berarti menyisir rambut dengan jari ._.

    Debat Sheraga dan Betshev sungguh menjadi pukulan telak untuk umat beragama, mereka yang menyerukan diri sebagai umat tuhan malah seringkali berbuat sebaliknya dengan apa yang diajarkan tuhan melalui agama. Hmm, bayangkan saja jika ada antek-antek Jonru di sini, blog ini pasti diserang habis-habisan dan mungkin page fb BOR akan di blokir karena di report terus-terusan oleh mereka. #bercanda

    Tapi yang agak mengganggu saya saat Sheraga berhasil meloloskan diri dari rantai khayal, kok ya langsung kabur gitu aja ngga menyelamatkan Yifrach dulu. Tapi begitu tahu kalau Dalit dalam bahaya langsung memiliki insting untuk menyelamatkannya. Yifrach pun ditinggal begitu saja seperti angin lalu. Apa saya melewatkan sesuatu?

    Namun, karena memang saya belajar banyak dari sini, ngga ragu buat saya untuk ngasih nilai 10

    OC: Alexine E. Reylynn

    BalasHapus
  4. Haha. Iya, saya juga punya keprihatinan yang sama thd orang" seperti antek Jonru--atau yg ekstremnya saya representasikan sbg Betshev di sini. Yg mau saya tekankan justru, gak sedikit orang jadi seperti Sheraga (ateis/agnostik) karena jengah sama ulah ekstremis~

    Karena pas kabur dari Yifrach, Sheraga gak punya pertahanan apa-apa. Dan ada musuh yg bisa manipulasi magi. Dia juga mikirnya mau ke tempat kerjanya dulu buat ngambil sesuatu ... semacam ramuan alkimia.

    Tapi pas kasus Dalit, Sheraga udah punya kesempatan buat nyamar yg gak dia sia-siakan--niatnya mau ngamatin dulu perilaku ini kaum kolot. Dan sayang malah ketahuan duluan doi T_T --tapi saya tetap merasa juga ini bagian yg agak fail sih.

    Thanks dah mampir. Nanti saya kunbal~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya kembali karena penasaran dengan penjelasan Yifrach...

      Ohh, emang karakternya Sheraga yang kudu bersiap dahulu ya sebelum melakukan sesuatu. Oke-oke..

      Oh iya, lupa menekankan dari sudut Sheraga, haha..
      Sejujurnya, saya malah kagum dengan orang yang kaya Sheraga dengan beberapa alasan tertentu. Oke semoga maju terus sampai final...

      Hapus
    2. Karena doi tipe judging kalo di MBTI--jadi susah kalo serba dadakan ._.

      Aamiin. Kamu juga sukses dgn apapun yg kamu impikan ya~

      Hapus
  5. Wah kayaknya saya komentator paling nggak ada pengalaman nih hehe. Kalau dari sudut pandang saya yang nol besar terhadap pertarungan fantasi begini, saya mau kasih nilai sempurna untuk gaya narasinya yang ringkas dan padat. Baru pertama kali baca model begini; biasanya orang ada kecenderungan untuk mendeskripsikan adegan bertarung sedetil mungkin dan dramatis. Saya tidak melihat keduanya di dalam ceritamu, Non. Bagus, yang saya ingin garisbawahi, jadi tidak perlu berpikir keras hanya untuk mengerti hal sederhana. Ini hal yang paling menarik dan khas dari kamu. Semacam trademark istilahnya.

    Bicara tentang Sheraga di sini dia tangkas banget ya. Padahal kemampuan aktivasi sihirnya hilang mendadak, dan dia bisa tidak panik dalam kondisi segenting itu, saya salut. Tidak sangka kalau saya suka bab 5. ada bumbu romantisme yang menyempil di tengah ketatnya cerita. Rasanya seperti dapat jus jeruk setelah makan terus daritadi. Betshev membuat saya ingat Jonru haha. Justifikasi kafir dan beriman yang ditudingkan ke orang lain justru membuat saya geli sendiri. Hehe sampai di bab 6 karena terdistrak, saya jatuhnya malah nyengir. Konflik agama (keyakinan) dihighlight juga ternyata. Banyak interpretasi dari kehidupan sehari-hari, saya menangkap ini bentuk eufemisme? Ada sindiran keras dari pihak ateis yang seolah menantang eksistensi Tuhan hahaha. Entahlah, jadi ingat seseorang. Beberapa pertanyaan yang tadinya mau saya ajukan sudah terjawab ketika saya membaca jawaban dari komentar-komentar sebelumnya.

    Sepuluh ribu kata nyaris tidak terasa. Andaikan kamu tahu kalau saya biasanya cuman tahan sampai perbatasan empat ribu kata, berarti ada hal yang baru dari ceritamu yang membuat saya duduk, rela bolak-balik baca latar dan guidenya di tab lain.

    Kuberi 9/10. Semangat ya untuk menulisnya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waha~ Iya nih, dari dulu emang selalu kuusahakan supaya tulisan sampai makna ke pembaca, melebihi estetika (walaupun masih sengaja pilih-pilih diksi yang kurang umum). Sebab berpedoman sama quote seseorang :)))

      Sheraga ... itu memang bagian dr kepribadiannya yg mengusahakan positive thinking (walau di akhir jebol juga jadi chaos otaknya. Haha). Wah, inget YangMulia Jonru? Wkwkwk. Emang ada inspirasi dikit dari ybs.

      Bab lima emang bagian yg paling bikin meringis, sih. Aku agak geli bayangin dan nulisnya.

      Wah kayaknya aku tahu nih oknum yang dimaksud. ( ͡° ͜ʖ ͡°) Emang dari doi sih inspirasinya. Wahaha. //jgnbilang

      Anw, makasih byk ya Teteh udah bermaso dengan baca cerita ini~~

      Hapus
  6. Kalau ini memang sudah dipotong dari versi awalnya yang katanya kelebihan beberapa ribu kata itu, berarti editingnya bagus. Nggak kerasa ada bagian yang terasa terpotong-potong, terlalu ringkas, dan lain-lain.

    Waktu baca cerita ini, saya harus buka ulang sheetnya Asher untuk memastikan. Dan yep, Asher ternyata memang bawa party sendiri ke Dream Lands. Dan menariknya, mereka nggak ditinggal maupun disishkan. Kerasa ada upaya untuk integrasi mereka ke dalam plotnya, bukan hanya untuk bab ini, tapi juga untuk seterusnya.

    Salah satu kelebihan untuk yang memutuskan bikin cerita panjang seharusnya adalah kesempatan untuk menyajikan story arc secara proper. dari pembangunan konflik di awal, konflik, terus penyelesaian. dan itu tersaji dengan lumayan baik di sini.

    Tapi... entah kenapa, saya ngebaca dua kali (dalam waktu berbeda) untuk memastikan, dan ngerasa kalau ada beberapa bagian yang nggak terlalu berhasil membangkitkan emosi saya untuk lebih terlibat ke cerita. Padahal seharusnya mengingat ini konflik kaum mayoritas menindas minoritas, melibatkan unsur-unsur kesektean, topik yang selalu menarik untuk saya, saya akan bisa bisa merasa lebih panas, lebih benci ke tokoh-tokoh yang terlibat, dan membuat saya lebih asyik ngikutin konfliknya. tapi yang saya rasakan justru lebih ke dingin.

    Tapi tetap, ini cerita yang solidly build, solidly finished. bahkan kelemahannya pun sepertinya hanya masalah preferensi pribadi. saya beri cerita ini nilai 8/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. TBH, sebenernya ada sekitar 13 ribuan kata jikalau nggak kepotong. Bagian awal dan akhir. Bagus dah kalo editingnya ternyata smooth~

      Yep, terutama adlh Orim Kohan. Dia bakal terus nempeeel.

      Wah, saya udah berusaha keras sekali padahal di sini. Ternyata masih agak fail, khu khu. *Noted* Emang nih sense of drama saya lagi menurun -- dibanding pas saya ngegarap Ahran T_T

      Tararengkyu udah mampir Kak Fachrul~~

      Hapus
  7. Oke mulai komentar aja.

    Jadi bagaimana ya... Entri Sheraga ini solid banget. Saya seneng banget bacanya.

    Seakan-akan nonton film kolosal seperti Lord of The Rings, Harry Potter, dan film-film kolosal epik. Lakon Sheraga. Ga ada yang perlu ditunjuk dan dikomentarin karena kita udah bisa lihat sendiri pesan-pesan sarat nilai dikemas dalam kata-kata berestetika tinggi. Mba Fi ini udah meramu cerita apik lah. Dan entah kenapa ada Nuansa Rebbeca Friedmann sedikit kebawa di lakon ini. Mungkin ada kesamaan referensi latar?


    Ga ada kekurangan yang bisa saya temukan di cerita ini, tapi buat food for thought aja kalau entri sesempurna ini gak semua orang bisa cerna. Harus ada pengetahuan literasi yang kuat kalau baca entri nyastra seperti ini. Tapi jelas, kalau buat orang-orang sastra pasti terpuaskan bila baca entri ini.

    Intinya adalah, menurut saya entri ini outstanding, memperlihatkan kanon dan dunia yang sangat kuat. Tapi saya rasa target pembaca juga harus diperhatikan. Balik lagi, alasannya, karena gak semua orang kuat pengetahuan literasinya, jadi mungkin masukan dari saya adalah kesederhanaan penyampaian, serumit apapun ceritanya.

    Saya titip 9. Mbah Amut katanya seneng masih ada pemuda yang membudidayakan diri untuk kebaikan.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kesamaan dgn Rebecca? Mungkin karena Beck diam-diam juga sama seperti Sheraga secara rasial #nggak
      Tapi ya, secara karakteristik, emang Sheraga ini gabungan serampangan antara Ahran dan Rebecca. Fisik Ahran, tapi sifat agak mirip si dosen linguistik. wkwk.

      Saya cuma pake diksi-diksi yg agak kurang lazim aja. Tapi, terkesan nyastra ya ternyata? Padahal gak maksud. Khu khu T_T *noted*

      Thankss dah berkunjuny~~ Salam sejahtera juga. Nanti saya sama si bocah alkemis abal balik mampir~~

      Hapus
  8. "Setibanya di ujung jalan sesak ini, ada dua pilihan. Urim Ushnashar, pusat penelitian sihir terbesar di dunia, yang terdiri atas berblok-blok bangunan." kalimat ini kayaknya ada yang lupa penulis cantumkan, yaitu opsi kedua. tadi ada dua pilihan, kok pilihannya cuma satu?

    selebihnya bagus dan menarik buat dibaca.

    well, nilai dari saya 7. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu hsil editan yg gagal berarti. Harusnya sih ada menuju pelabuhan ke Hagashah =)))

      Hapus
  9. wahai sastrawatigila, kau benar-benar gila...

    oke, lupakan itu, saya harus nge-reviu.

    saya baca entry ini dalam dua tahap. Tahap pertama adalah membaca sampai di bagian para karakter menemukan kesunyian di jalan-jalan. Kesan yang sata dapat saat itu adalah... diksi. Diksi, diksi, diksi, diksiiiiiiiiiii yang bervariasiiiiiiii dimana-manaaaaaaaaa yang entah mengapaaaaaa .... bikin saya ingat Eka Kurniawan. Tapi, ini bukan cerita surealis atau balada, masalahnya ini adalah cerita fantasy-battle. Ah sial, kombinasi yang aneh, kata-kata yang nyastra tapi genrenya fantasy. Tidak seharusnya cerita fantasy ditulis dengan cara nystra begini ta-tapiiiiiiii you did it. You did it Alfiiiiiiiii... rasanya saya jadi paham kesepianmu dan kegemasanmu akan menulis dan membaca, karena setelah baca entry ini, aku berpikir kamu memang punya taste berbeda dalam menulis.

    (btw, kalau saya ngumpat, itu pertanda baik, pertanda bagus)

    jadi, untuk tahap pertama, kesan saya: ini cerita fantasy yang disajikan dengan diksi sastra yang variatif. Ibarat makanan, black forest klasik enak dengan rhum tinggi yang bikin mabok kepayang yang sajiannya berbentuk naga.

    Lalu tahap kedua saya baca, pertarungan, battle massal to the end.
    Sialaaaaaaaaaaaaan saya bukan penikmat gore tapi adegannya Yaal menangisi mayat Dalit bikin baper. Juga pertarungan antara Sheraga - Betsev, owowowowowowowowow susah untuk dijelaskan.
    Tapi saya harus jujur, kesan greget yang saya rasain naik dan turun. Kadang saya begidik, tapi di kalimat berikut saya songong dan mikir "heh?"? Saya sampai baca beberapa bagian dua kali, dan akhirnya nemu sebabnya. Sastrawatigila, mohon ijinkan saya menjelaskan, mengapa saya merasa ter-draggy atau up and down di adegan battle:

    ada diksi yang kurang pas di adegan battle. Banyak juga sebenarnya, tai ada beberapa yang terasa aneh, membuat kepala saya sedikit 'konslet' sehingga sulit membayangkan. SEbuah pertarungan seharusnya intens dan cepat, meskipun ada beberapa yang perlu di slow-motion-kan. Untuk itu, diksi yang digunakan juga harus cepat, lugas, menggigit... tanpa menimbulkan perbedaan persepsi. Jangan lakukan parafrase untuk adegan battle, itu membuatnya sedikit terseret. Sekedar contoh, saya sulit membayangkan beberapa adegan berikut:

    "Dia roboh dengan kedua tangan tertahan. Tak sanggup membalik keadaan. Senjatanya terpisah dari genggaman." --- nggg, dia roboh dengan kedua tangan tertahan dimana? di samping badan, di belakang, di depan? lalu senjatanya terlepas, begitu saja kan? lebih ringkes...

    "Sejurus kemudian, dia melompat tinggi. Kakinya terjun di samping Betshev, hendak menebas wanita itu." -- maksudnya dia melompat lalu menedang ke samping kan? kenapa ada menebas yang seharusnya lebih tepat buat senjata pedang yang digunakan tangan? Kayaknya Sheraga juga nggak simpan pisau di kaki ---

    saya pikir dua contoh itu aja cukup, meski saya banyak nemu yang lain. Salahkan saya yang amat suka adegan battle, sehingga menuntut sebuah penceritaan adegan pertarungan juga harus cepat, ringkas, simple...

    kalau untuk yang lain, bolehlah.

    titip 9/10 fi. good job well done, stay semangat. Dont' let your own self-critic destroys you.

    Rakai Asaju / OC Shade

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gila-nya memang literal, lho, Mama Kay *jujur* x'D

      Taste yang berbeda? Hhehe. Alhamdulillah kalau dirasa demikian. Yha, saya kalau baca lebih suka non-fantasi, tapi kalau nulis ya fiksi atau fantasi (mostly). Jadi alhasil begitu. Campuran yang aneh. Wkwkwk. Tapi syukurlah kalau suka. Yep, saya fans Eka Kurniawan juga~~

      Yha, saya emang dari dulu kurang sih di deskripsi battle. Tepatnya karena saya sendiri kebanyakan nggak liat referensi battle apapun, alias adegannya muter" dalam kepala aja. Terlebih saya akui, belum mampu mempermainkan pace atau perasaan pembaca kalau di battle. xD

      Masya Allah. Yg "roboh dgn kedua tangan tertahan" itu kayaknya emang saya salah tulis. Dan sayangnya, saya nggak tau gimana benarnya. Ah iya juga itu fatal banget ;_; Duh, saya lain kali harus lebih teliti ini.

      Yang terjun itu dia cuma turun, nggak mau menendang. Dia emang mau nebas pakai pedang. Memang diksinya yang salah. Wkwk.

      Ah ya ... *noted* emang nih agak canggung di battle. Masih perlu banyak belajar. xD

      Wogh, thanks poinnya. Lebih-lebih kunjungannya. Hmm, ya, sedang berusaha u/ menstabilkan diri juga, Mama Kay.

      Nantikan kunjungan balik ke SHADE~~

      Hapus
  10. Panjang tapi enjoy bacanya.

    Narasinya bagus dan mudah dipahami. Walaupun panjang banget ceritanya saya sebagai pembaca enak-enak saja membaca sampai tamat. Street justicenya kerasa.

    Ada beberapa typo sana-sini pasti bisa dirapikan ke depannya. Battlenya seru dan terperinci dengan baik. Cerita yang baik dan perfect, good job sir you just win my heart.

    Saya kasih nilai 9
    Raditya Chema | Zauber Magi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wooh, alhamdulillah kalau begitu. Memang saya usahakan gamblangnya dulu =))

      Typo banyak? Ogh, yes, memang lagi ceroboh saya. Bahkan salah ketik tingkat fatal ada juga. Wkwkwk

      Thanks udah mampir~~

      Hapus
  11. Panjang tapi enjoy bacanya.

    Narasinya bagus dan mudah dipahami. Walaupun panjang banget ceritanya saya sebagai pembaca enak-enak saja membaca sampai tamat. Street justicenya kerasa.

    Ada beberapa typo sana-sini pasti bisa dirapikan ke depannya. Battlenya seru dan terperinci dengan baik. Cerita yang baik dan perfect, good job sir you just win my heart.

    Saya kasih nilai 9
    Raditya Chema | Zauber Magi

    BalasHapus
  12. Hebat nih entri, panjang tapi gak ngebosenin dan lagi-lagi bawa tema agama, sepertinya tema ini lagi booming dikalangan penulis BoR selain adegan netnot *eh ini ad jg sih tpi ga parah. .
    Cerita fantasi yg detil mendominasi di entri ini, entah itu ras, daerah sampai agamapun ada.
    Adegan battlenya epic juga, dia alkemis yg bertarung menggunakan pedang, kasih dia julukan Alkemis Berpedang Perak. *plak

    Banyak kata-kata yang baru yang saya baca, lumayan membantu memperkaya kosakata saya.

    Nilai : 9
    Mahapatih Seno

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata saya juga masuk ke dlm mainstream tahun ini yah. Agama, alkemis. Huhu, padahal gak niat begitu ._.

      Tentu, ini worldbuilding yg dibangun udah lama. Dan Sheraga bukan OC yg dibuat dgn sekejap mata lagi (kayak Ahran). Jadi agak ... detail. xD

      Tahu kenapa weapon-mastery saya jadiin basic skill? Karena saya emg sebenernya kurang mudeng sama alkimia. Whaahah #serius

      Sip, semoga manfaat juga.

      Terima kasih dah berkunjung. Nanti saya balik mampir (dalam waktu yg gak bisa saya janjikan)--tapi pasti xD

      Hapus
  13. Aku takjub sama gaya bahasa Noni yang asyik. Caramu bernarasi sungguh tipeku banget, suka. Nggak membosankan dan jarang sekali, bahkan mungkin nyaris gak ada pengulangan kata. Konsepnya asik, konflik antar ras dan agama. Sesuatu yang aku ga berani nyentuh. Apalagi di akhir2 kelihatan Sheraga benar2 membenci sosok Tuhan.

    Karakterisasinya lucu, di interaksi awal aku kayak melihat berbagai sisi dari Noni dalam empat karakter sekaligus... atau aku salah? Tapi sepenangkapanku seperti itu. Dari sini aku agak kesusahan membayangkan Sheraga sebagai pria, tapi lebih ke manly woman. It doesn’t really affect anything tho.

    Battle-nya lumayan, ga membosankan kayak yang kamu bilang. Just, memang kamu kayaknya lebih jago menarasikan suatu kondisi yang tenang ketimbang kondisi yang berpacu cepat. Lalu, dia udah kehilangan inspirasi sejak pertama tarung? Wow. Anyway, pertarungan awal ini di atas ekspektasiku. Masih enjoyable, at least buatku.

    Lalu.. tidak Cuma agamanya beda dengan yang familiar dengan kita, tapi Sheraga juga.. benci Tuhan? Wow. Aku nggak kaget mengingat latar belakangnya juga terjelaskan. Konflik yang dialami Sheraga tergambarkan dengan jelas, meski masa lalunya belum diceritakan tapi kamu berhasil ngasih tau ke pembaca bahwa hidupnya keras. Konflik religi antara Sheraga dan Betshev juga terpampang sempurna, imo.

    Kampret, aku ikut sedih sama Yaal. Asem asem asem. Di depan udah begitu hangat ditunjukkan cinta Yaal ke Dalit kek apa... eh dimatiin dengan sadis.

    Adegan adu mulutnya lumayan enak diikutin, kena dan masuk akal. Konflik antara orang religius yang bodoh dengan orang yang membenci Tuhan, ini luar biasa. Sesuatu yang mungkin kita temukan jika ada orang yang over-religius bertemu dengan agnostic.

    Tapi agak antiklimaks, di saat lemah ngelempar pisau... terus kalah?

    But wait, Yaal ganggu? wait, SHERAGA BUNUH YAAL?! AND HE KILLED HIS FRIEND LIKE NOTHING?! Kayak kurang ada penyesalan ini apa-apaan... (ini agak poorly explained, aku butuh baca dua-tiga kali baru ngeh Sheraga yg bunuh)

    Dan aku memang ga begitu suka akhirnya. Pemerkosaan masal? Justru ketika letih, orang gak akan kepikiran buat dengan buasnya nganu cewek, apalagi yang udah belepotan darah dan bau keringat abis tarung. Ini menurutku, aku ga yakin ada sekelompok pria2 seberingas itu yang kebetulan berada dalam satu kelompok yang sama.

    But, mendekati epilog, semenjak ketemu dengan Zainurma dan Huban.. semua jadi kembali. Kamu memang sangat piawai menyusun narasi penuh perasaan kayak gini. Apalagi pas Epilog, kukira awalnya bakal dragging karena kepanjangan dan Cuma dilama-lamain, tapi ini sungguh menyentuh. Orim x Sheraga benar2 kelihatan banget persahabatannya dan rasa saling percayanya. Aku bergetar bacanya. Luar biasa. Aku misuh2 dalam hati (puasa lol) pas baca penutupnya..

    Aku. Literally. Bengong. Pas. Tahu. Orim. Ternyata. Buta.

    Dammit, Fi. Aku kesel sama kamu sumpah wkwkwkwk

    Kesimpulan akhir, mungkin ini kelemahanmu ya, meski ga bener2 bisa dibilang kelemahan.. Banyak orang berekspektasi sesuatu yang seru ketika mendengar genre fiksi fantasi.. tapi kamu cenderung membawakan kisah dengan tenang dan tak terburu-buru.. Menurutku aja sih, kamu kayak kurang mempedulikan detak kisah yang sedang berjalan.. Narasimu keren, ceritamu bagus, konsepmu menarik, hanya pace-nya cenderung pelan.. Bahkan di cerita yang seharusnya ketukannya cepat, hanya beberapa kali kamu bisa menyampaikannya dengan baik.. Overall, ini aja sih yang jadi catatanku.

    9/10. Pengennya 9.5 karena penutupan yang sempurna, tapi ga boleh koma. Bakal sempurna kalau kamu bisa memperbaiki narasimu ketika detak kisahnya menuntut cepat.

    -J. Fudo sang Pencipta Kaleng Ajaib-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, seneng deh kalau kesannya nyampe ke pembaca. Glad to know you like it :3

      Yep. Biasanya kalau karakterisasi, kebanyakan berkaca ke diri sendiri. Jelas banget ya? Wkwkwk. Yap betul perasaan Kak Fud, bahkan terlalu banyak self-insert diri ke si OC. Sampai berasa manly-woman. Daww. Ini emang kelemahan bgt sejak zaman dahulu. Dan senang ada yg berani point-out. *noted*

      Sebenernya niat "perlahan-lahn" kehilangan inspirasinya, tp bingung gimana menarasikannya. Jadi ya, just like that ._.

      Eheheh. Dat konflik mulut, emang saya paling enjoy menulisnya~

      Tadinya emang ada perpanjangan tarung. Tp jumlah katanya membludak, terpaksa mangkas. Dan ternyata jdi kurang ngena ya? Maap ._.

      Nggak, yg bunuh Betshev. Jadi Sheraga cekcok sama Yaal pdhal udah mau mampusin Betsie, eh tp malah mati lampu lagi. Nah terus Sheraga ngerasa mau mati aja karena dia sadar peluang hidup sedikit. Dan karena Betsie bukan Dayan full, dia matanya gak tajam kayak Yaal. Pas dia mau bunuh Sheraga dgn tanganya yg berpijar, eh malah Yaal yg melindungi temannya. Jadi Yaal koit deh ._. Duh maafin narasi saya yg kurang jelas ._.

      Yha, saya kurang riset di bagian ending Betsie. Tadinya juga mau ga pake adegan gangbang itu. Tp kalau ga pake itu, rasanya kurang street justice, IMO. Jdi saya pakek deh. ._.

      Yep, mereka sahabat yg sangat dekat. Dan bukan sahabat biasa~~

      Saya bayangin Orim campuran Thoph di film Avatar Aang sama Gin Ichimaru Bleach, TBH. Wkwkw. Jadi jalan leluasa~

      Ah ya, dat pace. Aah, thanks udah mengingatkan. ini benar-benar kelemahan yg saya nggak pernah sadari dari awal mulai menulis. Dan jujur, sy teramat sangat senang ada yg ngasih tahu. xD Saya catat masukannya dan saya inget terus buat jadi bahan perbaikan. xD

      Akhir kata, terima ksih banyak udah berkunjung, titip poin, terutama saran-sarannya Kak Fud ~~

      Hapus
  14. YAHWEH EPRIWER
    WAHYUDI EPRIWER

    LORD JEHOVAH, HEIL SIEG *Ditendang

    Basis Jewish banget. Dominant V, dan beberapa konsonan yang, "mati" (Dalit, Vaal, dll).

    Tematik agama.
    BERAT CUY.

    Bagusnya sih ini masuk PDF dan baca as a whole book. Secara page di BoR, saya susah mencernanya.
    Ajari saya pembendaharaan kata seperti sampeyan QwQ
    super kaya, dan membuat dahi berkerut, apa maknanya.
    ada Basis Teologi kah? atau belajar Teologi? risetnya ntabz. *Sungkem

    Sangat berbobot hingga saya perlu mengkaji ulang secara menyeluruh. 9 deh.

    Kaminari Hazuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mana saya tulis Y**H? :v
      But yea, saya gak menampik temanya. Memang~

      Maksud konsonan mati? ._.

      Baca bukunya Dan Brown yg lain tuh, katanya kamu suka xD Err, ya begitulah.

      Thanks udah mampir~~

      Hapus
  15. Seperti entri lalu, universe yang kamu bangun selalu kompleks, detil, dan sayangnya bagi saya, 'nyereti' (seperti makan banyak-banyak terus nggak minum).
    Banyak bahasa yang saya sendiri ragu apa benar saya memaknainya, it's ok, saya anggap itu gaya bahasa. Pesannya dapet, udah plus.

    Saya yakin entri ini dipersiapkan dengan baik (gak kaya saya T.T), jadi pantas dapet

    9

    Gold Marlboro

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weks, berarti universe Ahran termasuk kompleks? Wehehe, ngga nyangka xD Dan, yha ... maaf deh kalau kesannya bikin seret ._.

      Btw, thanks udah mampir dan ngasih skor~

      Hapus
  16. Ceritanya panjang tapi enak dibaca.
    Karena membahas tentang agama entah kenapa rasanya berat...
    Kosakatanya kaya dan saya juga bisa lebih tahu banyak kosakata baru dari entry ini

    nilai dari saya, 9 semoga sukses
    OC: Snow Winterfeld

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak ada keluhan lain? Yakin?

      Tapi, thanks kunjungannya. Nanti saya bakal berkunjung balik =)))

      Hapus
  17. Doh. Ini entri terlama yang saya baca. Tapi betah. Seneng bisa belajar banyak dari entri ini. Terutama diksi dan penyajian cerita. Kayaknya masuk jurusan bahasa Indonesia bikin Noni maju pesat. Ini jauh banget dari Ahran tahun lalu.

    Penjabaran ceritanya ini nggak cuma ngandelin indera2 manusia pada umumnya, tapi juga dari segi psikologisnya. Ini emang dasar show sih tapi ini level show dan tellnya beda. Semuanya sukses ngebawa orang masuk ke dunia Sheraga.

    Adegan muntah, adegan rinci mayat. Drama sama mayat. Terus emosi ke Belthev. Perasaan asing ke Zainurma dan Huban. Terus emosi yang masih ada ke Zainurma. Dan Zainurma pun bisa mulai hilang kesabaran. Itu yang paling memorable di saya.

    Tuntas pembukaannya. Fluktuasi narasinya terjaga sampai akhir. Ini yqng bikin salut. Cuma panjang aja sih ceritanya. Tapi ngasih kesan tuntas. Sehingga...

    9/10

    PUCUNG

    BalasHapus
    Balasan
    1. Really?? xD Wah, syukur bgt kalau ternyata ada perkembangann~~ Padahal saya sering mengira narasi waktu si Ahran masih lebih enak ketimbang ini, TBH ._.

      Ah ya ... maafken sekali lagi karena membludaknya jumlah kata. Emang keterlaluan saya. ._. Entri prelim Ahran taun lalu aja jadi entri OCT saya yg paling pendek. Yha, inilah kelemahan yg sedang berusaha saya perangi xD

      Makasih udah mampir Kak Wildan dan Pucung~~

      Hapus
  18. Jika diibaratkan dgn makanan, ini kayak kwetiaw yang dijual oleh salah satu rumah makan kenamaan di kota sy ... Padat. Penuh gizi. Cuman kebanyakan porsi. Kwetiaw itu satu porsinya aja cukup untuk mengenyangkan 3 perut manusia normal. Begitu juga entri ini, terlalu mengenyangkan. Jujur, sy baca entri ini makai jeda yg cukup lama sekalipun sy tertarik dgn kisah si Ash ini.

    Belum lagi dgn gaya battle-nya yg agak kurang nendang. Datar aja. Cuma ketolong sama porsi drama asmara, konflik batin, perdebatan akan Tuhan, serta kisah persahabatan. Yah, walau sy ngerasa juga pace-nya cukup lambat dan ini ngaruh ke selera makan, eh ... baca maksud sy.

    Dam, satu yg jadi lubang dicerita ini. Umur Dayan gk digebrak dgn cukup jelas. Pemuda 72 tahun? WTF. Cuma sy masih ngebayangin umur Dayan ini mirip bangsa Sumerian di cerita Akkadia, umur mereka 4x umur manusia. Jadi kalau ada orang Sumer yg berumur 100 tahun, maka sama dengan umur 25 dalam hitungan manusia. Atau barangkali mirip dgn kalkulasi elf kebanyakan? Umur 50 - 100 tahun adalah masa2 remaja beranjak dewasa?

    Tambah, ada beberapa kalimat pada narasi yg sy rasa berkesan boros karena masih bisa disingkat. Juga nilai rasa-nya kurang. Cuma ini hanya pandangan pribadi.

    Terlepas dari segala keluhan sy, ini entri yg paling solid sy rasa. Jadi, sy gk segan ngasi nilai tertinggi (10) utk kamu.

    Sekian, Alesio Novante.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertama-tama, tengkyu dah mampir Sean~~

      Duh maafkan saya. Mungkin porsinya kebanyakan karena jumlah katanya juga keterlaluan ._. Yha, membuat kisah yg pendek itu kelemahan saya. Soalnya saya selalu pengin mendramatisasi cerita--dan jadinya ya panjang begini ._.

      Yaak, battle itu kelemahan saya sejak lahir #plak Nggak, soalnya base tema tulisan saya pun ... fantasi ringan atau malah SoL sekalian. TBH, sy juga jarang nonton karya apapun dgn genre aksi. So, here it is. Tapi saya tentu mengusahakan juga buat mendalami battle-nya ke depannya~~ Demikian juga dgn pace, yha, ngga saya mungkiri saya lemah bgt di sini ._.

      Sebenernya Dayan(im) tiga kali umur Helev/manusia. Jdi 72:3 itu 24. Tapi sayang bgt, saya juga ogeb dgn penjelasan buat Kak Sam di atas. Saya baru sadar ... kalau Yifrach misalnya berumur 3x umur Sheraga, otomatis mereka ga bakal ketemu dlm satu sekolah dong ._. Kalau Sheraga 12 tahun (skrg 24) maka Yifrach 60 tahun atau 20 tahun ukuran manusia. Yah begitulah. Cukup fatal--kebawa novel saya soalnya karena di sana semua Dayan ._. Makasih dah mengingatkan xD

      Ah ya ... nilai rasa. Saya emang ngutamain yg penting 'edible'-nya dulu sih xD Tapi saya usahain ke depan nilai rasanya makin keliatan xD

      Woogh, thank you so much for the perfect score Sean~~

      Hapus
  19. Beres baca entri ini saya langsung tulis di note merah kalau kbbi itu emang harus punya, beli! Haha, cerita Sheraga ini *geleng-geleng* bikin saya langsung pengen terjun total ke fase apersepsi sambil meloso di senarai lanbau eksitasi bareng-bareng sama tsar animisme optatif. (dibakar disamping Dalit). Segitulah susahnya rangkai kata, buat saya, dan itulah hasilnya kalo dipaksa. Saya geleng-geleng (seneng) karena di cerita ini enggak ada kecanggungan kayak gitu. Walopun narasinya pake kata-kata yang jarang dipake, tapi tetep enak dibaca; serasa apa adanya, tambah lagi bukan enak doang, tapi bisa jadi pembelajaran juga buat saya. Salut sama kamu, Non.

    Bahas yang lain, materi dan jalannya cerita sukses bikin saya baca sambil tetep fokus sama isinya dari awal sampai akhir. Disamping penuturannya, plot di sini emang menarik. Agama, ideologi, pengkhianatan, sampai ke salome di akhir, lalu harapan (bagian ini, kalau bener nangkepnya, saya suka sekali karena lokasi Bingkai Mimpi Sheraga ternyata dibangun sesuai keinginan terkuat alam bawah sadarnya, yang ternyata penderitaan dan ironi. Mimpi buruk kalo nilik keseluruhan cerita). Kelemahan entri ini, kayanya enggak ada. Saya cukup sreg sama gaya pas Sheraga tarung lawan Betshev, atau pas pembantaian antar ormas dan segala noda merah plus jeroannya. Tapi emang kalo diukur sama paragraf yang bukan jelasin bagian pertempuran, agak beda. Pace mungkin, sama pemilihan adegan bakbikbuknya? Keseluruhan, ini bacaan wowlah. 10/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi kosakata saya ngga secanggih terjun total ke fase apersepsi sambil meloso di senarai lanbau eksitasi bareng-bareng sama tsar animisme optatif. xD Ini cuma ... yg agak jarang aja dipake. Tapi syukur deh kalo kesannya gak maksa.

      Yha, adegan bak-bik-buk dan pace cepat emang kelemahan saya bgt--dan yg menyedihkan, ini masih bawaan dari beberapa taun sebelumnya ._.

      Dan ... makasih banyak dah mampir (dan poin 10'nya), Kak xD

      Hapus
  20. Halooo, maaf saya baru nongol lagi~

    Membaca entry ini bikin saya "waw~"

    Narasinya kaya akan kosakata baru, saya nyerap banyak contoh dialog tag baru dari sini, makasih, ahihihihi

    Btw, cerita dengan tema2 menyinggung agama itu selalu menarik untuk diikuti.
    Chemistri-nya mirip dengan entry Sam, namun punya bidang yang lumayan berbeda.

    Bangsa Dayan itu ras eksklusif yaaa~

    Dan saya keki sama Betshev -_-

    Hewanurma di sini serem ya
    ._.

    konsep bingkai mimpi-nya klop banget versi entry ini, ngejelasin pas seperti apa yang dikehendaki panitia.

    Sheraga lirih banget sama Domba, wkwkwk

    Saya bingung, nggak ada yang bisa bikin saya ngasih nilai minus dari total sepuluh.

    Jadi ya nilainya pas 10

    :D

    OC : Venessa Maria

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yha ... err, eksklusif hhe. Bahkan bahasanya--secara ngga kreatif--saya samain aja ._. Tapi beda dari saudara asli, mereka bisa bagi kepercayaan sama ras lainnya xD

      Mungkin karena sumber inspirasinya adl tukang buku merangkap penjual sprei, haha.

      Ya, karena alignmentnya lawful evil, saya mau nunjukin evilnya.

      Thanks udah mampir~~

      Hapus
  21. whew akhirnya selesai. semoga masih ada waktu buat komen >< ok. ini mungkin entri prelim paling kompleks yg sejauh ini saya baca. bukan cuman jumlah katanya, tapi material yg dihadirkan juga banyak banget, yg jujur, saya belum nangkep semua. habis ini mesti baca ulang :'3

    jadi buat sekarang menurut kesan pertama aja. seperti yg sudah banyak disebut di atas, memang tulisannya gak ngebosenin walau panjang. saya bisa baca dengan lancar dan banyak banget kosakata baru yg bisa dipelajari~

    karakter sheraga juga bisa keliatan jelas. sayangnya dia belum sempet ngeluarin sihir api dan summonnya sebelum skill2 itu kehapus. yah tanpa itu juga battlenya tetep kerasa intens ><

    dan seperti entri di oct sebelah, saya lagi2 lebih suka waktu adegannya lagi mengeksplor 'pikiran' si oc. kali ini, pas sheraga lagi debat sama betshev dan bagian epilog sama orim.

    ngikutinnya seru~

    nilai: 9
    oc: castor flannel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, alhamdulillah kalau bisa dipelajari, hhe~~

      Itu karena saya bingung kalau dibuat kehilangan inspirasi perlahan-lahan. Jadi sekalian aja langsung lesap ._. Syukurlah kalau bgitu, berarti ga nyesel milih weaponmastery buat basic skill, hhe :3

      Iya emang. Karena kebiasaan bikin cerita pace lambat jdi emang seringnya lebih menarik kalo ngupas perasaan.

      Tararengkyu udah mampir kepala jeruk imut~~

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.