Senin, 13 Juni 2016

[PRELIM] 65 - MARIETTA SULLIVAN | PRELUDE IN D[ISTANCE]

oleh : Ilira

-- 

0
Kamar Terapi
Perintah kali ini adalah tidur.

Walau datangnya semendadak surat undangan ke ibu kota yang diterimanya dua hari lalu, Mary tidak bertanya, sebab warga yang baik diajarkan untuk tak mempertanyakan perintah dari Kerajaan.

Mengenakan pakaian operasi warna khaki, gadis itu berbaring di atas ranjang sewarna. Infus untuk mencegah dehidrasi terpasang di tangan kanannya, sebab katanya dia akan koma di tengah proses yang panjang.

Mary diberitahu dia adalah prajurit spesial yang terpilih menjadi percobaan. Yang diharapkan darinya tentu saja sikap gembira atas kemurahan Yang Mulia Raja, bangga diberi kesempatan berjasa, bukannya merasa takut dan ingin pulang saja seperti sekarang. Warga yang baik itu patuh pada Kerajaan.

Karenanya dia tak melawan saat staf-staf berjas medis warna kora—tanda bagian neurologi—menginjeksinya dengan psikotropika dan menempelkan kabel-kabel dari mesin sebesar separuh ruangan ke sekeliling kepalanya, mengacuhkan rasa tak nyaman, mengacuhkan debar jantung yang berdentum menggila.

Mary memperhatikan meteran boiler di pipa melintang dekat ranjangnya, yang bergerak-gerak mengukur tenaga mesin pemindai, abai dengan kabel mengular dan para dokter tak dikenal. Ingatan tentang rekan siswa dan guru mendadak muncul tanpa diminta, tapi gadis itu mengusirnya. Relasi adalah semu, hanya hierarki yang nyata, dia mengulang-ulang di pikiran seperti mantra.

Ruangan bernuansa coklat dengan perabot warna perunggu tiba-tiba menjadi begitu menarik. Ranjangnya di tengah, sementara dinding yang tak tertutup mesin dilapis busa peredam suara. Di langit-langit jejeran lampu bersinar terang, nyaris menyilaukan, memberi kesan tak ada tempat sembunyi. Pintu di kiri tampak besar dan berat, seperti digunakan untuk mengurung hewan buas.

Tak ada alasan untuk panik, Mary meyakinkan diri saat ruang itu tak bisa mengalihkan perhatiannya. Secara teori program hipnostimuli ini sempurna. Dia hanya perlu menghadapi Phobia, proyeksi ketakutan mendasar di alam bawah sadar. Hanya itu dan setelahnya dia akan menjadi prajurit yang paling berguna untuk Britannia.

Tapi apa yang terjadi seandainya aku tak bisa mengalahkannya? Keraguan bertanya. Ke mana aku berakhir nanti?

Jawabannya adalah suara pikiran yang makin samar dan jauh. Mengikutinya, ruang terapi juga mengawang-awang lalu hilang.

Psikotropika telah bereaksi, mata Mary mulai berat, dan pernapasannya melambat. Menyusul itu, suara musik menghipnotis mulai menelan deru mesin dan putaran roda gigi, mengantarkannya ke terowongan gelap yang berakhir pada sebuah aula.

1
Aula Mimpi
Aula itu begitu luas sampai-sampai membayangkan sebesar apa bangunan ini bila dilihat dari luar terasa seperti hal yang mustahil.

Ke mana saja Mary mengedarkan pandangan, dia tak dapat menemukan batas. Hanya ada kursi yang diduduki manekin hitam sampai ke garis cakrawala dan kandelir-kandelir kristal tergantung rendah dari langit-langit tak terlihat, memgelilingi pentas oktagram di tengah-tengah.

Suara berderak dari panggung menarik perhatiannya, Mary menoleh dan mendapatkan tirai panggung naik dan terus naik, menampakkan pemeran tunggal di atas pentas.

Di tengah-tengah lantai kayu, bantal ungu mengenakan jas hujan hijau itu berdiri. Mary baru sadar itu bukan perangkat drama ketika ia melangkah maju. Lampu sorot menerangi aktor dan penonton yang bukan manekin.

KEPALA BANTAL
Waaah! Di sini ada satu Reverier lagi!

MARY
Aah?! Bantal itu bicara?

KEPALA BANTAL
(membungkuk ke bangku penonton) Nah, dengar, ya, Kakak Marietta Sullivan. Kakak mau jadi Reverier? Penawaran ini cuma sekali seumur hidup, lho.

MARY
Eh?
Bagaimana Anda tahu nama saya?

KEPALA BANTAL
Karena kamu kandidat Reverier.
(merentangkan tangan) Dengan itu, mungkin Kakak bisa membuat Mahakarya terbaik di Alam Mimpi. Asyik kan?

MARY
(menggeleng) ....
(jeda) Mahakarya ... itu tak berhubungan dengan pengabdian saya terhadap Kerajaan.

KEPALA BANTAL
(menelengkan kepala ke tongkat permen) Hmm. Tak punya ambisi sekali.
(menuding-nuding tongkat) Ayolah, masa mau menolak padahal Kakak bisa mencapai apa yang tak mampu dicapai di dunia? Meski bisa mengabdi pada Kerajaan lebih baik lagi?

MARY
Bukan ... seperti itu.
(mengambil napas) Pencapaian yang Anda maksud, apakah termasuk kesempurnaan?

KEPALA BANTAL
(terkikik) Itu hanya sebagian keciiil dari apa yang bisa ditawarkan.
Tapi tentu saja Mahakarya hanya diberikan ke mereka yang layak.
(memutar tongkat) Nah! Aku anggap Kakak sudah setuju. Sekarang, Kakak yang ditandai, sudah saatnya untuk bangun!

Setelah kata terakhir diucapkan, semua terjadi bersamaan. Tirai panggung mulai turun. Lampu sorot dan lilin di kandelir padam serentak. Manekin di kursi penonton berjatuhan dengan suara berisik. Pertemuan mereka dengan lantai membentuk lumpur hitam yang dengan cepat menenggelamkan kursi penonton, sampai yang tertinggal hanya pentas yang bercahaya. Cahaya semakin berkurang seiring tirai tebal mendekati lantai panggung.

Dan akhirnya terang yang tinggal segaris itu pun hilang.

2
Bendi Mimpi
Gelap hanya sedikit memudar. Bunyi langkah kuda perlahan semakin keras menggantikan keheningan. Bersamaan dengan itu, intensitas kegelapan mulai berkurang, diselingi pita-pita putih, cahaya yang terhalang kisi-kisi dari atas.

Kesadaran Mary mulai terkumpul dan pada saat bersamaan menghapus memori tentang panggung tadi, meninggalkan kata-kata enigma.

Alam Mimpi. Reverier. Mahakarya.

Seperti apapun gadis itu berusaha mengingat, dia hanya menemukannya samar-samar di sudut benak. Mencoba mencari petunjuk dari frasa yang tersisa seperti percuma karena tak ada hubungan yang bisa dia temukan.

Selintas cahaya menyilaukan mata Mary, membuyar pikirannya. Dia menghela napas. Entah mimpi absurd tadi khayalan atau petunjuk, prioritasnya saat ini adalah hipnoterapi.

Dari udara pengap dan goncangan sesekali, gadis itu menyimpulkan dia berada di kereta kuda, beroda dua dan berkuda satu. Keseimbangan dan kecepatannya menunjukkan itu.

Hal pertama dia lakukan adalah memeriksa perlengkapannya. Seragam ekstrakurikuler musik alih-alih seragam tentara. Tak ada senjata kecuali belati di bawah rok renda. Mary menghela napas. Tadinya dia mengira akan langsung berhadapan dengan pasukan lawan di medan perang, tapi ternyata simulasi ini benar-benar memperhitungkan aspek 'bertarung dalam segala kemungkinan'.

"Marietta Sullivan ... ya?"

Suara itu membuat Mary menahan napas saking kagetnya. Saat menoleh ke asal suara, gadis itu menemukan pembicaranya, seorang pria sedang duduk berhadapan dengannya. Cahaya yang melintas-lintas menunjukkan sekilas baju hijau bergaris-garis. Meski begitu, Mary tak bisa menebak siapa dia. Sebagian wajahnya tertutup bayangan, mungkin dari topi yang dia kenakan.

"Siapa?" Dia bertanya waspada, siaga menusukkan senjata.

"Aku Stuwick," jawab pria itu, menanggalkan topinya. Cahaya dari atas menampakkan pantulan emas iris matanya, kiri lalu kanan, sebelum kembali ditelan bayangan, "pencipta program hipnoterapi ini."

Bukan hanya ucapannya yang membuat Mary segera menyimpan senjata dan duduk kaku. Nama Stuwick dan terutama iris emas itu bukti orang di depannya berelasi dengan Kerajaan, tepatnya Marquis of Hargreaves, tuan tanah perbatasan tempatnya tinggal. Gadis itu sama sekali tak menyangka orang dengan posisi setinggi itu akan menemuinya secara personal.

"Apa yang Anda inginkan dari saya, Sir?" Berhati-hati, Mary bertanya.

"Hanya mengucap salam." Pria itu memulai, dia mencondongkan badan mendekat, "kekuatan ESP-mu pengendalian emosi, bukan?"

Mary membenarkan. Bertanya-tanya kepada dirinya kenapa bangsawan itu memilihnya, meski banyak yang memiliki kemampuan serupa di Britannia. Dia tak mengutarakan itu. Warga baik tak melakukan mempertanyakan keputusan anggota Kerajaan, dia mengulang-ulangi itu dalam pikiran.

"Aku memilihmu karena reputasimu sebagai murid terbaik di akademi." Seperti tahu kebingungan Mary, pria itu mengujar, "komplementer denganmu, aku mampu membaca emosi." Dia menyilangkan jari-jemari, mengetuk-ngetuk telunjuk ke punggung tangan, matanya menatap lurus pada gadis itu, "keadilan dan kekuatan semestinya disandingkan, apa kamu setuju?"

Walau bingung dengan pertanyaan itu, Mary mengiyakan, Stuwick membalas dengan senyum tipis.

"Akan ada saatnya kamu paham." Dia berhenti untuk memberi jeda, "untuk saat ini, aku akan melihat bagaimana efek program ini terhadapmu."

"Suatu kehormatan, Sir. Saya akan menampilkan kemampuan yang terbaik."

Pria itu mengenakan kembali topinya, menyembunyikan ekspresi wajahnya dalam bayangan sebelum membalas. "Aku menantikannya."

Baru saja Mary akan membalas, tubuh pria Stuwick ditelan bayangan. Sekilas warna perunggu memantulkan cahaya dari atas, sebelum membawa si pemuda hilang dari hadapan gadis prajurit, Mengembalikannya ke kamar terapi di dunia nyata, seharusnya.

Gadis itu berkedip, dia sudah sendiri lagi dalam kereta kuda itu, yang sekarang sudah berhenti. Secercah cahaya datang dari samping, lalu melebar tanda pintu terbuka.

Pintu belum terbuka sepenuhnya ketika Mary sudah beranjak, menyambut kejutan lain menunggunya di luar.
3
Terminasi
Suara ketukan pelan terdengar saat sepatu model sonnet yang dia pakai beradu dengan tanah berbatu. Udara pengap lebih mirip seperti ruang boiler dibanding terik menyambut gadis itu. Angin panas nyaris menerbangkan baret putih yang dikenakannya seandainya dia tak menahannya. Rok hitam sepahanya berkibar, seperti juga rambut coklat ikalnya. Dia melihat sekeliling.

Itu gerbang markas militer kota perbatasan Hargreaves, Mary mengenali lampu jalan berbentuk lentera ganda di pelataran meski sudah rusak dan gerbang besi berkarat yang membuka ke gedung bertingkat tiga warna bata. Tapi hanya itu yang dia kenali dari keseluruhan alam di luar nalarnya.

Kabut merah menggantung rendah nyaris seperti fajar menjelang hujan kecuali warnanya. Garis horizon adalah reruntuhan kota, ladang gandum mati atau sungai semerah darah mengalir vertikal. Di titik zenith, Benteng Kemenangan yang seharusnya berada ribuan kilometer dari kotanya menjulang terbalik, terbakar.

Dunia ini seperti kiamat dipadatkan dalam bentuk sisi dalam bola, diisi lansekap rusak Britannia dan kapal udara yang melintas-lintas mengacuhkan hukum fisika.

Sebagai pusat dunia itu adalah cincin photon yang berputar-putar, menyebar cahaya seperti lampu sorot ke sembarang arah dari porosnya.

Mary sedang memperhatikan cahaya itu ketika seekor tikus got yang tiba-tiba melintas di depan Mary cukup sial untuk tersorot cahaya putih dan segera terbakar, menyisakan bangkai hangus dan cicit melengking yang segera hilang bersamaan dengan bergantinya arah sorotan cahaya.

Mary meneguk ludah membaui bau hangus di udara. Tiba-tiba dia menyadari tempat itu begitu sepi, nyaris hening bahkan, mengabaikan bunyi ledakan balon kapal udara dari kejauhan sesekali.

Gadis itu bergidik. Dia diberitahu kalau penyusun utama semesta mimpi adalah psyche—pikiran sadar dan tak sadar—subjek dan keadaan bisa berkembang lebih buruk lagi. Sekarang dia bahkan tak tahu mana yang lebih menakutkan. Bahaya yang menantinya, atau kenyataan bahwa dialah yang telah menciptakan dunia seperti ini.

Ketika tengah memikirkan itu, suara tembakan menyentak Mary ke kenyataan. Asalnya dari dalam gedung utama markas, nyala dari tembakan susulan yang memberitahunya, sayap kiri lantai tiga.

Tanpa menunggu, gadis itu memasuki gedung. Berdiam ketakutan tak akan membuat ujiannya selesai.

Pintu tak terkunci. Itu kesimpulan Mary saat melihatnya sedikit terbuka. Tapi dia memilih mengamati sebelum menerjang masuk. Selalu waspada. Itu pelajaran pertama yang diterimanya.

Merapatkan punggung pada pilar, dia melongok sedikit dan melihat kilatan senar terpantul cahaya dari luar, silang menyilang di antara ambang pintu, siap mencacah penerobos.

Tentu saja. Mary kembali pada posisinya di balik pilar dan menarik napas dalam. Tantangan hipnostimuli tak mungkin diprogram semudah itu.

Dari tempatnya berada, dia bisa melihat jendela terbuka di lantai dua, dekat pipa air. Sedikit sulit mencapainya bila menggunakan rok, tapi tembakan ketiga memberitahunya dia tak punya waktu banyak untuk berpikir.

Melangkah cepat dan diam, Mary bergerak ke pipa. Menjejak, melompat, menggunakan awning sebagai tumpuan dan sesaat kemudian dia sudah sampai di jendela lantai dua.

Tak ada kedip merah tanda pemindai panas di sekitar birai, Mary mengangguk pada dirinya dan menaikkan kaca jendela untuk menyelinap dari celah.

Sejauh ini semua sesuai rencana. Mary berpikir selagi mengeluarkan belatinya dan berjalan menjauhi jendela, serta pemandangan lampu sorot yang masih membakar kapal-kapal udara di luar sana. Memalingkan pandangan dari cahaya merah yang sebentar-sebentar mendekat dan menghanguskan benda yang terkena.

Mary menemukan dirinya menelusuri koridor panjang. Tak satu pun lampu yang menyala, jadi dia hanya mengandalkan cahaya dari luar untuk melihat. Dinding sebelah dalam tak bersekat atau berpintu, terbuat dari kaca, tapi keadaan terlalu gelap untuk melihat apa yang ada di baliknya.

Satu hal yang bisa dipastikan, tempat ini berbeda dari ingatannya tentang markasnya. Dia menggenggam senjatanya lebih erat dan berjalan maju.

Tujuannya sudah pasti, lantai tiga. Suara tembakan tadi bisa jadi berarti ada dua kubu di tempat ini. Menurut yang dipelajarinya, dia harus memanfaatkan situasi itu. Kemudian, setelah membereskan itu, dia akan mencari wujud Phobia dan mengalahkannya.

Gadis itu sedang mencari keberadaan tangga, dia mendengar suara dari belakangnya. Bunyi langkah kaki.

Mendadak, Mary berbalik, mengarahkan senjata ke tenggorokan. Tak ada pelindung di atas kulit sasaran. Gadis itu meneruskan sampai senjatanya menusuk daging. Perlawanan yang diterimanya hanya cengkeraman lemah di tangan yang semakin mengendur, kemudian lepas.

Yang ditikam Mary, seseorang berseragam biru laut segera roboh begitu gadis itu menarik senjatanya. Itu seragam Kekaisaran Germanien, musuh kerajaan Britannia, tipe lawan yang diduganya akan ada di mimpi ini.

Dia bahkan tak perlu melihat untuk mengetahui ada sekelompok orang sekarang sudah berada di belakangnya. Mungkin empat, terdengar dari langkahnya.

Ini masih pemanasan, Mary berpikir. Ujian baru dimulai.

Dia melirik prajurit itu sekilas, mendapati tak ada yang menggenggam senjata api. Dalam satu gerakan, gadis itu berbalik, memindahkan belati ke tangan kiri lalu mengangkat tangan kanan.

Sekedip mata, sebuah baton sepanjang sekitar 45 senti mewujud di tangannya, begitu juga dengan garis-garis nada melayang-layang di udara seperti aurora, ujungnya terlihat mengarah ke tengkuk keempat orang itu.

"Lihat ini!" serunya, agar perhatian lawannya terarah ke batonnya, dan dia menggerakkan tongkat itu turun. Garis-garis nada menjerat tubuh para prajurit, memperlambat gerakan mereka seperti yang diinginkan Mary. Gadis itu tersenyum lebar sebelum melanjutkan, "Giocoso!"

Empat not muncul di garis nada, mengalir ke tubuh keempat prajurit dan mengeluarkan harmoni menyenangkan saat mengenai tubuh mereka dan pecah menjadi debu-debu keemasan.

Satu prajurit mulai tertawa, disusul yang lainnya, tanpa henti seolah mereka teler dalam kebahagiaan. Mary menelan senyumnya. Sugesti emosi sudah selesai dilakukan, sekarang saatnya pisau yang bicara.

Gadis itu  menarik tangan satu prajurit yang terdekat lalu menikamnya di tulang punggung. Tidak membunuh, tapi melumpuhkan. Wajahnya kaku dengan ekspresi cengiran lebar.

Tiga yang tersisa berusaha menerjang dengan muka masih cengengesan, tapi Mary telah mengantisipasinya. Dia membungkuk, menarik satu untuk dijadikan tameng setiap sabetan, melubangi perut satu penyerangnya dari balik perisai badannya, lalu mencabutnya dengan gerakan yang membuat gerigi pada belatinya merusak organ dalam prajurit malang itu.

Dia melanjutkan memukul hidung yang lain dengan gagang belatinya dan menutupnya dengan melempar pisau milik prajurit tamengnya ke kening orang itu, yang tewas meninggalkan tawa menggantung.

Sebagai tanda terima kasih atas perlindungan dan senjatanya, Mary menggores leher prajurit itu, tepat di arteri. Darahnya menyembur ke dinding kaca dan segera membanjiri lantai begitu Mary melepaskannya.

Tanpa ada jeda, sebilah belati memelesat dari belakang. Terlambat sepersekian detik saja, Mary yakin yang terpotong itu nadi alih-alih beberapa helai rambutnya. Baret putihnya terjatuh saat dia menghindar.

Gadis itu berbalik, melihat prajurit lain menerjang lagi tanpa aba-aba. Tebasan demi tebasan dia ayunkan, hanya memberi kesempatan tipis untuk dihindari atau ditahan dengan bilah belati, apalagi menyerang.

Suara logam beradu memenuhi koridor, sesekali diselingi suara gesekan saat bilah belati mengenai dinding kaca di belakang Mary.

Baik dari segi tenaga mau pun kecepatan, lawannya ada di atasnya, ditambah sekarang Mary sedang terpojok. Setelah menghindari tinjuan di wajah, Mary harus menghadapi pisau baja di leher, yang hanya dengan refleks dia tahan dengan tangan.

Mary menggertakkan gigi. Merasakan pisau menembus lipatan bajunya dan mulai menggores kulitnya, dia memiringkan tangan dan mendorong senjata itu mundur. Mendapati itu kesempatan untuk memberi serangan balasan, dia menebas ke selangka, namun lawannya melompat mundur menjaga jarak.

Dia menunggu lawannya menyerang lagi, lalu menurunkan tangan yang memegang belati, seolah membuka pertahanan.

Hanya untuk menusukkannya ke dinding kaca di belakangnya. Retakan yang disebabkan menyebar ke retakan lain yang disebabkan perkelahian mereka, dan dalam sekedip mata, kaca itu pecah dengan suara keras.

Mary melihat mata lawannya membelalak ngeri melihat apa yang ada di belakang gadis itu, tapi dia tak membiarkan prajurit itu pulih dari keterkejutan.

Gadis itu menyelinap dari bawah lengan lawannya, memanfaatkan momentum prajurit itu dan menendang punggungnya, membiarkannya jatuh ke lubang di kaca.

Semula Mary mengira akan mendengar teriakan dan bunyi tubuh remuk, alih-alih yang terdengar adalah pekik teredam dan berdeguk keras yang membuatnya merinding.

Seperti otomatis, Mary mendekati lubang. Suara itu, dan ekspresi lawannya sebelum jatuh tadi mengusiknya. Dia hampir melihat apa yang ada di dasar ruangan ketika dia mendengar suara seseorang bertepuk tangan.

Seorang pria dengan wajah oriental, rambut hitam seleher yang mencolok berjalan dari arah tangga, menghampiri Mary. Mata emas dan kemeja garis-garis hijau, serta fedora yang dia lepas saat mata mereka bertemu, dia orang yang tadi bicara dengan Mary di kereta kuda.

"Menakjubkan, Sullivan," kata pemuda Stuwick. Dia berhenti sekitar dua langkah di hadapan Mary, "kuakui aku terpukau. Menawan dan berkemampuan, kupikir kombinasi itu sudah mustahil ditemukan sekarang."

Mary bergeming, tak tahu harus berkata apa. Tatapannya lurus ke rambut hitam pria di depannya. Ciri fisik itu tentu saja bukan hal aneh di Britannia, namun di sana itu pertanda warga kelas dua. Dia sering mendengar rumor tentang pemuda ini, Gareth Stuwick, dari caranya menggunakan kelicikan untuk mendapat posisinya di Wisma Stuwick, atau cerita tentang wajah rupawannya yang sering diributkan gadis-gadis Hargreaves.

"Oh, tak usah terlalu kaget dengan ini," Pria itu mengenakan kembali topinya, "aku memang berdarah Oriental, anak haram tuan tanah dan berbagai gosip lainnya."

"Ma-maaf, saya tak bermaksud menyinggung Anda, Sir Stuwick." Gadis itu gelagapan membalas, "hanya saja ...."

"Aku tak mempermasalahkan itu." Stuwick muda mengangkat sebelah tangan, menenangkan kawan bicaranya. "Mungkin kamu bisa menebak tapi aku tak nyaman dengan formalitas. Bagaimana kalau kita mulai dengan saling memakai nama depan?"

Tawaran itu mengejutkan Mary. Kalau Kerajaan mengetahui Stuwick berusaha mempersempit jarak antara kedua strata, bukan hanya hukuman penjara yang menanti mereka, tapi sikap pemuda itu memberi kesan dia juga menjadikan pengawal pribadinya sahabatnya dan selama itu mereka aman-aman saja.

Bila Mary melihat hubungan personalnya yang terbagi dalam dikotomi pemuja-pembenci, seperti tak ada salahnya memenuhi permintaan itu.

"Baiklah, Sir ... Gareth," kata Mary, bahkan itu saja sudah seperti melanggar tabu.

"Kelihatannya aku menjebakmu dalam paradoks," Dia tertawa sejenak, "terjadi anomali, kelihatannya kita akan bersama dalam waktu lama di Terminasi ini."

Mary cukup yakin yang dimaksud Gareth adalah Terminasi Figmen, sebutan para staf bagi semesta mimpi yang dialami objek terapi mereka.

"Anda bicara seakan terikat di sini. Bukankah saat ini Anda hanya proyeksi?"

"Ini kesadaranku seutuhnya. Aku tak bisa lepas dari mimpi ini." Gareth menggeleng, ucapannya begitu tenang sampai-sampai Mary mengira hal itu sudah sering terjadi padanya.

Gadis itu terdiam agak lama. Dia tak bisa membiarkan Stuwick muda berada dalam situasi seperti itu, sudah tugasnya melindungi anggota bangsawan tak peduli seperti apa pun status dalam keluarganya.

"Saya mengerti. Saya akan mengalahkan Phobia secepatnya agar Anda bisa keluar," ujar Mary, "saya akan mencarikan tempat aman agar Anda ...."

"Tak perlu sejauh itu," sela Gareth, "aku tak tahu dengan bangsawan manja lain yang kamu temui, tapi aku bisa menjaga diri ...."

Mary tak sempat bereaksi ketika Gareth tiba-tiba menarik tangannya begitu keras sampai dia kehilangan keseimbangan.

"Lari," gumam pria itu, lalu seperti pulih dari kekagetannya dia mengulang lebih keras, "lari!"

Suara roda gigi yang semakin ribut dari belakangnya menjelaskan tindakan Gareth. Selagi mengikuti pria itu, Mary menyempatkan diri menoleh untuk mendapati sesuatu menjulur dari balik lubang di kaca: sebentuk tangan yang hampir mirip milik manusia, seandainya panjangnya bukan puluhan meter dan terbuat dari jalinan pipa-pipa dan lempeng perunggu.

Dia berhenti sejenak untuk melihat, dan perutnya langsung bergolak. Tangan itu meremuk tubuh satu prajurit Germanien dalam belitannya semudah mematahkan ranting.

Tangan itu melata ke tubuh yang lain setelah selesai dengan satu mayat, tapi baru setengah jalan, seolah menyadari keberadaan Mary, tangan itu sekarang mengejarnya, mengabaikan prajurit-prajurit lain. Berkali-kali dia berusaha meraih, tapi Mary lebih gesit berkelit atau menggunakannya sebagai lompatan.

Itu Phobia. Mary yakin. Semula dia mengira akan melawan hantu atau siluman folklor, tapi dia tak menyangka alam bawah sadarnya akan membuatnya dikejar-kejar tangan automaton peremuk tubuh.

Satu tarikan di pergelangan kaki membuat Mary jatuh. Dia refleks memutar kaki dan berbalik, tapi tangan itu sudah menguncinya.

Lengan itu mulai merayapi kaki Mary, sementara gadis itu mencabut belati untuk menusuk tangan yang mencengkeram kakinya. Tak terlalu berhasil. Lempeng perunggu menempel tanpa memberi celah, ditambah pikiran perunggu itu bisa menghancurkannya membuatnya sedikit gentar.
Sebentuk prisma segienam melintas di sudut mata. Mary mengenali bentuk itu, microbot. Dia menoleh ke belakang dan melihat Gareth membangun satu microbot lagi.

Merasakan cengkeraman pada kakinya melemah dan lengan itu menggelepar, Mary menyadari microbot telah melakukan sesuatu pada automaton itu. Dia menggertak gigi, merutuki dirinya yang selemah itu sampai harus ditolong orang yang seharusnya dilindunginya.

Mengeratkan genggaman pada belatinya, Mary menikam tangan itu tepat di persendian. Begitu cengkeraman itu terbuka, Mary tak menghabiskan waktu untuk melanjutkan berlari.

"Koridor, kuruntuhkan, tiga detik," kata Gareth, patah-patah. Dia sudah berada di ujung koridor dekat tangga, sedang memenceti tombol di jam tangannya.

Mary menggumam mengerti. Jaraknya dengan tangga tinggal dua meter. Bukan hal yang sulit mencapainya dalam tiga detik. Dia mempercepat larinya dan sudah sampai di samping Gareth ketika lantai koridor mulai retak dan amblas ke bawah, membentuk lubang berdiameter lima meter.

Tangan yang kehilangan tumpuan itu hendak jatuh ke lantai bawah, tapi tertarik kembali ke asalnya di balik kaca.

"Untuk sementara, kita aman." Gareth tertatih-tatih ke tangga dan duduk di sana, memasukkan kembali microbot yang menghancurkan lantai itu ke tas di pinggangnya.

"Tidak, Sir, sepertinya belum," kata Mary, dia berdiri membelakangi Gareth dengan belati siap di tangan.

Gareth menoleh dan setelah melihat apa yang dimaksud Mary, dia berdiri.
Di ujung koridor yang sempit, cahaya putih membentuk garis tubuh manusia dewasa. Uap napasnya muncul dan menghilang sebentar-sebentar. Saat dia membuka matanya yang hijau, warna menyebar ke seluruh wujudnya.

Sekedip kemudian, berdirilah pria tinggi dengan kantung mata tebal dan mata sesuram ikan mati. Dia mengenakan jubah paderi tentara semata kaki warna putih, bersenjatakan pedang zweihander yang berukuran nyaris dua meter. Orang bertampang mengintimidasi itu menatap sekeliling, hilang orientasi.

Mary mendongak menatapnya dan membelalak. Sudah dua belas tahun tak bertemu, tapi dia yakin dia tak akan melupakan orang yang mengisi masa kecilnya itu.

"Martis?" Saking kagetnya, Mary merasa dia berteriak, tapi suara yang muncul tak lebih dari bisikan.

"Marty...." di belakang gadis itu, Gareth bergumam lirih, beringsut mundur tanpa sadar.

4
Distorsi I
Kemunculan siluet putih itu semakin meyakinkan Gareth tempatnya berada bukan Terminasi Figmen.

Seakan aku butuh bukti lain saja. Pria itu berdecak, lalu memandang dunia luar lewat jendela. Sekilas, tak berbeda dengan yang diduganya akan berada dalam Psyche kadet Sullivan.

Segala simbolisme itu. Photon yang terus menghancurkan kapal udara, lansekap dalam kurungan. Membunuh akal bebas, menjaganya tetap terkekang. Kabut merah itu ketakutan yang menyamarkan isi pikiran yang sesungguhnya.

Pecahan-pecahan kapal udara yang berjatuhan di luar sana membuat ingatan saat dia terjebak dalam mimpi kembali, membuat pria bertopi bergidik.

Dia ingat bagaimana gerbangnya untuk kembali ke dunia nyata hancur berkeping-keping seperti itu, sementara tangan perunggu menjeratnya. Dingin, hening, tanpa harapan. Menjerat pelan lalu membebat.

Dua tahun dia menyusun proporsal hipnoterapi, merancang setiap modul, mengumpulkan dana dengan bantuan koneksi. Semua jadi tak berguna karena keadaan alam bawah sadar yang tak bisa ditebak.

Pria itu mengepal tangan sampai buku jemarinya memutih. Belum. Dia menarik napas dalam. Masih tersisa bagian besar rencananya. Selama itu belum menunjukkan tanda-tanda gagal, belum saatnya untuk menyerah.

Cahaya dari siluet menghilang. Gareth yang menangkap perubahan itu terjaga pikirannya.

Dia terperangah, tapi hanya sesaat sebelum senyum tipis kembali muncul di wajah. Ternyata nasib cukup murah hati dengan memperkenalkan orang yang dikenalnya dalam skenario ini.

Hal tak diduga ini hanya tantangan. Gambaran hasil akhir sudah tergambar jelas di benak Gareth, hanya tinggal membangun lagi jalan mencapainya dengan pion baru.

5
Intermeso
Martis Sullivan melihat sekelilingnya mencerna situasi. Lantai amblas, dinding gelap, koridor sempit warna darah. Baiklah. Ini tempat yang tak dikenalnya, mungkin interior monster raksasa—ah, dia meredam imajinasinya. Pasti kisah heroik pahlawan melawan iblis di Kitab Suci terbawa ke pikirannya.

Seingatnya, tadi dia berada di bangsal, baru berhasil tidur satu jam setelah doa bersama. Sekarang dia berseragam lengkap, membawa senjata seakan hendak pergi perang suci. Satu-satunya penjelasan yang logis adalah, ini mimpi.

Seharusnya begitu, tapi, udara yang menyesakkan ini terasa nyata. Begitu juga dengan lantai yang dia pijak dan suara yang dia dengar.

"Martis?"

Pria itu langsung menoleh mendengar suara seseorang memanggilnya. Semula dia menyangka dia memimpikan penyampaian wahyu untuk membasmi para penghujat lagi, tapi yang dia temukan ternyata gadis yang melihatnya dengan ekspresi terkejut dan heran.

Rambut coklat ikal, mata hijau zamrud, kulit pucat. Tiga detik si paderi menghubungkan itu, sebelum menyadari itu Marietta, adiknya. Gadis itu hanya sedikit berubah dibanding dulu, terutama wajahnya. Wajah menyebalkan orang yang menimpakan kesalahan pada kakaknya sambil makan es krim.

Bagaimana pun, mereka sudah dua belas tahun tak bertemu. Martis memutuskan untuk menganggap itu pertanda dari Dewa agar dia berkunjung ke adiknya.

"Martis, kamu baik-baik saja?" Mary bertanya khawatir, membuat Martis sedikit menyesal kenangan yang pertama teringat harus yang tak menyenangkan. Dia mengangguk, berkali-kali untuk menegaskan.

Mary masih terlihat tak percaya, tapi sebelum Martis menggunakan bahasa isyarat, seseorang menyela dari belakang gadis itu. Seharusnya pria itu berterima kasih, tapi karena memotong pembicaraan itu tak sopan, dia diam saja.

"Pendeta tak bisa bicara, Marietta." Suara seorang pria. Berduaan di perut monster begini, sedang apa mereka tadi? Martis berharap dia tak mengganggu mereka. "kamu lupa? Itu aturan Britannia."

Aturan Britannia. Tanpa sadar Martis menyentuh jakunnya, seolah panas membakar masih menjalar di tenggorokan. Akan butuh waktu lama sebelum kenangan pita suaranya yang dirusak begitu dia bergabung dengan kependetaan bisa hilang, mungkin seumur hidup.

"Apa boleh buat, Marty. Anggap saja bisu itu bayaran untuk kebebasan diplomatis."

Kalimat itu langsung membuat Martis meringis benci. Hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama itu.

Si culas Gareth Stuwick muncul dari tangga. Pengecut itu, seperti biasa, bersembunyi di balik punggung wanita begitu ada bahaya.

Martis merasa gatal ingin mencabut pedangnya untuk menebas bangsawan itu di tempat, tapi dia menahannya karena tahu adiknya prajurit. Prajurit Britannia yang dikondisikan untuk memprioritaskan para bangsawan jauh di atas teman dan saudaranya. Mimpi atau bukan, dia tak ingin harus bertarung dengan Mary.

<Mimpi ini buruk> Paderi itu mulai bertanya-tanya kenapa para Dewa juga memunculkan Gareth bersama adiknya dalam mimpinya.

"Kamu tak bermimpi. Ini alam bawah sadar Marietta," kata Gareth, "rumit untuk dijelaskan, tapi teoriku, kesadaranmu dipanggil ke sini sama sepertiku."

<Bukti> Martis berisyarat singkat.

"Lihat tempat ini." Gareth membalas, "perhatikan detil-detil yang tak pernah kamu ketahui."

Walau merasa skeptis, Martis melakukan ucapan pemuda itu. Dia menemukan motif asing pada karpet dan lentera yang padam. Semuanya konstan, tak berubah-ubah seandainya itu memang mimpi.

Setelah itu paderi itu menoleh pada adiknya yang mengangguk mengiyakan. Melihat itu, dia baru memutuskan menerima ucapan Gareth sebagai kebenaran, untuk sementara.

"Sir Gareth saling kenal dengan kakak saya?" Mary bertanya.

"Dulu kami satu sekolah," jawab Gareth, sementara Martis mengangguk dengan berat, seolah ingin menyampaikan 'ya, dan aku menyesal'.

Wajah sedih yang ditunjukkan Mary membuat Martis sigap menarik pedang yang tersampir di punggungnya. <Siapa yang mengganggumu, Dik?> Gesturnya bertanya.

"Apakah ada musuh?"

Tak diduga, Mary malah memasang posisi siap menyerang. Ekspresi suram paderi itu makin gelap. Mereka terlihat seperti pelawak jalanan sekarang.

Di belakang mereka, Gareth tertawa kecil.

"Kita membuang waktu, lebih baik cepat-cepat bereskan urusan kita," kata pemuda Stuwick itu, membuat Martis nyaris terkejut si pemalas itu bisa memberi ide waras.

Mary setuju, Gareth mengatakan sesuatu tentang lantai yang dia akui diruntuhkannya (padahal Martis tahu ESP-nya bukan telekinesis atau geokinesis), akses ke aula tertutup, jadi mereka harus memutar ke lantai tiga.

"Di atas penuh pasukan automaton dan ada yang membawa senjata api," katanya, "sulit tapi aku berhasil lari."

<Tentu. Lari satu-satunya keahlianmu>

Isyarat itu tampak jelas, tapi Gareth pura-pura tak membacanya. Alih-alih, dia lanjut memantau keadaan di atas dengan microbotnya yang dinamai GARAM (paderi itu tertawa dalam hati, karena buruknya selera penamaan si bangsawan).

Layar mini di controller bangsawan itu menunjukkan kondisi lantai tiga. Hitam putih, tapi cukup jelas menunjukkan apa yang terjadi.

Martis melongok untuk melihat. Hanya sekilas saja, dia tahu kondisinya buruk. Prajurit dan automaton humanoid nyaris secara harfiah memenuhi koridor. Satu yang selebar gang itu sendiri menjagai pintu. Melihat gerakan yang bongsor itu saja, Martis tahu beratnya paling sedikit seratus kilo.

"Prajuritnya membawa pistol," kata Mary, menunjuk yang manusia. Martis harus menyipitkan mata untuk melihat benda yang dimaksud, "saya akan melumpuhkan satu untuk mengambil alih senjatanya."

Entah adiknya seorang kolektor senjata atau bukan, sebagai saudara yang baik, Martis merasa dia harus mendukung hobi adiknya, jadi dia meremas pelan tangan Mary dan menunjuk dirinya sendiri. <Tidak, kakakmu saja ambil>

"Kakak juga ingin satu? Kalau begitu, nanti saya usahakan."

Jawaban itu membuat Martis merasa harapannya melompat menembus jendela.

6
Transisi

Bukan hanya menerjemahkan isyarat Martis, Gareth juga melanjutkan menjadi juru alih bahasa saat mereka membahas rencana. Martis terpaksa berterima kasih.

"Tak ada yang keberatan, bukan?" Mary melihat dua kawan bicaranya lekat-lekat. Martis menggeleng, Gareth mengangguk. "Baguslah," tutup gadis itu karena semuanya setuju.

Operasi Penerobosan Automaton dimulai dengan menaiki tangga, sehening mungkin dan tanpa bicara.

7
Koridor Lantai Tiga

Sekarang mereka menunggu di relung tangga lantai tiga, memantau automaton berpatroli. Perbandingan kasarnya, tiga humanoid untuk setiap satu prajurit pembawa pistol.

Cahaya merah dari luar menyinari mereka. Sedikit di luar rencana, tapi Mary tak terganggu, itu malah mendukung rencana.

Terdengar suara kapal udara meledak lagi, kali ini lebih dekat. Mary melirik kakaknya sekilas. Kontras merah dan bayangan membuat wajah tak beremosi pria itu semakin tak terbaca.

Namun Mary sadar dia bukan di sana untuk menebak-nebak isi pikiran siapa pun, maka begitu automaton dekat tangga berbalik, dia memberi isyarat mulai. Martis mengangguk dan maju lebih dulu.

Masih disinari cahaya merah, Martis memasuki jangkauan serang para automaton dan menebas senjatanya tanpa aba-aba. Tepat di thorax, tempat generator yang menenagai automaton berada, sesuai pantauan microbot Gareth tadi.

Kedua robot tak bisa menghindari serangan mendadak dari belakang. Mata kuning mereka redup sementara kilatan listrik menyebar dari bagian yang tertebas. Cahaya merah berkeredep, menampakkan siluet automaton terbelah dan koridor kembali temaram.

Setelah automaton yang dimatikan Martis jatuh menumpuk dengan yang bersenjata pedang. Mary tahu bahwa bagiannya telah dimulai.

"Martis menjaga di tangga, sementara saya menginfiltrasi pasukan penembak," kata gadis itu saat membahas rencana mereka.

"Terlalu riskan. Selain pedang, masih ada peluru untuk dihindari." Gareth memprotes, tapi Mary sebagai pencetus rencana berkata dia punya pemecahannya dan memunculkan batonnya.

"Saya rasa kecepatan ditambah kemampuan sugesti saya dapat mengimbangi itu."

Karena tak ada argumen lagi maka itulah yang dia lakukan sekarang. Setelah merasakan listrik bertegangan rendah di tengkuk tanda garis nada terhubung ke tubuhnya―hanya Mary seorang karena Martis menolak―dia menggerakkan baton ke atas.

"Saya mulai, Martis." Gadis itu memberitahu. Dia memungut pistol milik bangkai automaton di sisi pria itu dan memeriksa peluru yang tersisa. Lima butir. Mengembalikan pemutar ke tempatnya, dia lalu memelesat sebelum disahut.

Ritme gerakan yang dipercepat membuat Mary melihat dunia menjadi lambat, setiap benda meninggalkan afterimage setiap bergerak. Hal yang menjadi alasan Martis menolak percepatan. Butuh adaptasi untuk dapat melukai target di titik yang tepat dalam keadaan seperti itu.

Namun bagi Mary yang sudah terbiasa, itu sama sekali bukan masalah. Dalam satu loncatan, moncong senjatanya sudah di depan bagian jantung penembak di barisan depan kawanan robot itu.

Si prajurit mengangkat senjata. Mary melepas pengaman. Masih mengangkat senjata. Pistol diletus.

Dorongan yang terjadi membuat prajurit itu mundur ke arah kawanannya. Mary berdecak, kalau sudah begitu, dia tak bisa melucuti senjatanya tanpa tertebas pedang. Dia mengalihkan pandangannya dari sana, mencari penembak lain.

Mengikuti momentum jatuhnya, Mary berguling menghindari bayang-bayang pedang dan menemukan prajurit bersenapan lain melihat sekeliling. Tengah waspada karena mendengar tembakan, namun lengah untuk melihat di bawah garis mata.

Masih dari posisi di lantai, Mary menembak pergelangan prajurit itu, target terbuka dari arahnya.

Peluru menembus pergelangan. Revolver di genggamannya terjatuh karena refleks jemari. Mary menjulurkan jangkauannya dan revolver itu berpindah tangan.

Merasa tak ada gunanya membuang peluru untuk lawan tak bersenjata, Mary berpindah.

Sesuai rencana tadi Martis tetap di posisinya di dekat tangga, menunggu sekumpulan automaton menghampiri dengan sendirinya, menebas sebelum dia terdesak mundur. Dengan Mary mengincar penyerang jarak jauh, peluru yang harus dia hindari semakin berkurang dan peluangnya menjadi tameng daging menipis.

Keringat mengaliri pelipis Martis. Bantuan itu tak lantas membuat tugasnya jadi mudah. Memang jarak serangnya yang dua kali penyerangnya membuatnya nyaris tak tersentuh, tapi terkadang ada satu-dua yang melewatinya dan harus membuatnya menyepaki mereka. Bermain akrobat seperti itu lebih menguras tenaganya dibanding mengayun pedang menebas robot kuningan, padahal itu saja sudah melelahkan.

Martis melirik sejenak ke belakang. Gareth sedang duduk di relung tangga, sibuk dengan controller-nya. Tadi adiknya mengatakan rencana ini tak akan berhasil tanpa bangsawan itu. Genggaman Martis pada gagang pedangnya mengerat, dia berjanji akan menghancurkan Gareth bila si culas mencoba menipu lagi.

Didorong amarah, pria itu mengayunkan pedangnya. Bilahnya membelah automaton di perut alih-alih dada dan tersangkut di tengah-tengah. Menarik atau mendorong hanya membuat zweihander-nya semakin sulit digerakkan, sementara satu per satu automaton melewati garis pertahanan Martis.

Pria itu mengeraskan rahang dan melepas pegangan pada pedangnya. Sebagai paderi, hanya ada satu hal yang bisa dilakukannya sekarang.

Berdoa.

Keadaan Mary sama buruknya. Saat dia sedang melompat menutup jarak dengan prajurit lain, sengatan pelan terasa di tengkuk Mary, mengejutkannya. Itu pertanda efek Tempo Imaji akan berakhir, meski gadis itu yakin dia masih memiliki setidaknya satu menit lagi.

Afterimage makin pudar dan akhirnya hilang. Aurora garis nada lenyap dari pandangannya, tapi Mary tak sempat berpikir kenapa.

Saat ini dia mempunyai dua revolver. Entah berapa pelurunya, dia tak tahu. Mary memilih tak memeriksa. Dia tak cukup cepat memeriksanya di antara musuh seperti ini. Terutama musuh yang siap menghujaninya dengan timah panas dan baja tajam.

"Saya bisa mengatasi ini." Suara Mary bergetar. Kebohongan itu bahkan terlalu kentara untuk menyemangati dirinya.

Tembakan pertama dia lepas ke prajurit di depannya, bersamaan dengan tebasan pertama yang dia terima di paha.

Di belakangnya, sebarisan automaton hendak mencacah punggung Gareth. Tapi sebilah pedang bercahaya memotong generator dan lempeng punggung mereka.

Pedang itu hilang saat semua automaton jatuh berkelontang di tangga. Pemiliknya, Martis berdiri terengah-engah. Aksara-aksara bercahaya, penanda pengaktifan Tujuh Pedang Suci, ilmu kaum paderi, melayang mengitari kedua lengannya, dua baris mendekati tangannya dan menjadi sepasang pedang baru yang dia genggam erat.

Dengan dua pedang itu, Martis menebas sekaligus automaton yang mendekat, dari kanan mau pun kiri, termasuk robot tempat pedang dua tangannya tersangkut tadi. Seperti tadi, kedua pedang menguap begitu serangan diberikan.

Dia baru mencabut pedang dua tangannya ketika mendengar suara letusan beruntun. Asalnya dari depan, tempat automaton dan prajurit manusia berkumpul, serta darah menggenang.

Mata Martis melebar. Adiknya tak ada di mana-mana, hanya ada satu kesimpulan tentang siapa yang menjadi sasaran tembak.

Pandangan tajamnya teralih ke pasukan robot di depannya. Dia membuang zweihander-nya ke samping dan menyatukan kedua tangan, yang segera dijalari barisan aksara panjang.

Belum sekedip mata setelah golok terbentuk sepenuhnya, Martis sudah memakainya untuk menebas. Bilah golok jagal membelah lempeng dada dan generator di baliknya seperti mentega.

Pria itu menerjang ke arah adiknya berada, menggunakan pedang satu tangan yang baru untuk memotong tiga automaton yang tersisa sekaligus.

Sekarang jaraknya dengan Mary tinggal beberapa automaton dan prajurit. Pedang yang tersisa juga hanya satu. Martis meneguk ludah. Pedang dua tangan terkuat milik dewa, yang akan dia nodai dengan darah makhluk bernyawa hari ini.

Meski dia yakin Dewa Cahaya tak akan memaafkannya setelah ini, Martis tak mencoba memohon ampunan saat memanggil pedang terakhirnya. Dia tahu itu risiko yang diambilnya dengan pikiran sadar.

Suara berdesing saat senjata itu terbentuk menarik perhatian musuh, tapi Martis tak menganggapnya masalah, malah itu yang dia harapkan akan terjadi. Dia mengambil napas dalam dan memantapkan pijakan sebelum mengayun pedang dua tangan itu sekuat tenaganya.

Cahaya menyilaukan meledak. Setelahnya dinding batu dan kaca pecah terkena tekanan dari tebasan. Para automaton dan prajurit yang terkena serangan terdorong mundur beberapa langkah dan terbelah dua saat berhenti.

Koridor itu menjadi gelap sekarang, dan hening. Martis berlutut dan memeriksa nadi adiknya. Masih ada namun lemah. Dia menghela napas lega.

Martis berlutut. Sekilas melihat, dia menduga sedikitnya ada lima luka tembak di torso, sisanya luka benda tajam di organ gerak. Satu-satunya hal yang bisa dia syukuri adalah tak ada yang mengenai organ vital.

Dia baru akan menyembuhkan luka adiknya, tapi suara roda bergerak yang mendekat membuat naluri Martis meneriakkan bahaya. Tanpa melihat pun, dia tahu automaton raksasa penjaga pintu sudah mendekat.

Pria itu menyisip tangan di bawah bahu dan lutut Mary untuk menggendongnya. Ulu hatinya terasa sesak menyadari adiknya tak bereaksi sama sekali. Peluru yang berdesing di samping telinga Martis membuatnya tersadar dia tak punya waktu berkeluh-kesah. Mendekap erat lengan dan lutut Mary, dia menerjang dan mulai berlari.

Setengah jalan, Martis melihat Gareth berdiri di ambang relung. Pria oriental itu mengacungkan ibu jari kanan, pertanda dia sudah selesai. Lalu menunjukkan dua telapak membuka, yang jarinya dia lipat setiap satu detik.

Itu hitung mundur. Martis menangkap. Dan dia tak melakukan apa-apa untuk membantuku di sini.

Pada akhirnya dua bersaudara itu mencapai relung tangga sebelum hitung mundur berakhir. Martis membaringkan adiknya di anak tangga dan duduk di sisinya.

Dia lalu menoleh ke arah Gareth, menemukan tangannya menunjukkan masih ada tiga detik. Kesempatan itu dia gunakan untuk mengatur napas sekaligus emosi sebelum dia kelepasan menonjok Gareth, yang memainkan controller-nya lagi.

Desisan terdengar dari koridor, semakin lama mengeras, seiring uap putih yang makin pekat memenuhi koridor.

"Dan, boom," kata Gareth, menjauh dari bibir relung dan menuruni tangga melewati Martis dan Mary.

Saat dia menyandar ke dinding, bunyi 'krak' nyaring terdengar, disusul debum begitu keras sampai lantai bergetar dan langit-langit beretakan, menjatuhkan remah pasir dan batu kecil.

Gema ledakan itu perlahan hilang. Begitu juga dengan uap putih berbaur debu.

Saat pandangannya menjelas, Martis menunggu beberapa detik. Tak mendengar suara mencurigakan, dia segera memulai penyembuhan dengan meletak tangan di atas perut Mary yang berdarah.

Cahaya hijau berpendar dari pertemuan telapak dan kulit Mary. Gadis itu sedikit berjengit saat sebutir demi sebutir bola timah keluar dari lukanya. Martis memaksakan diri tak peduli dengan rasa sakit yang ditunjukkan ekspresi adiknya.

Paderi itu begitu fokus sampai tak memperhatikan Gareth sudah menaiki tangga menghampirinya, sambil menepuk-nepuk debu dari topi sebelum memakainya lagi.

"Maaf lama," katanya sambil tersenyum simpul. Berlawanan dengan kata-katanya, dia sama sekali tak menunjukkan penyesalan.

Cahaya hijau meredup dan hilang. Martis menoleh pada Gareth. Tanpa perlu bahasa isyarat, tatapan pedasnya sudah menanyakan alasan bangsawan itu.

"Rencana asli kita, kalian mengulur waktu selagi microbotku mempermainkan automaton raksasa sampai mesinnya overheat," ujar Gareth memulai, "tapi aku ingin improvisasi. Kamu tahu, kurasa automaton sebesar itu pasti punya boiler. Ternyata aku benar. Uapnya tipis tapi bisa kudeteksi dengan kamera."

<Bertele-tele buang waktu> Martis meradang. Dia tak yakin menggunakan bahasa isyarat yang tepat atau tidak, tapi dia yakin emosi yang dibaca Gareth sudah menjelaskan ucapannya.

"Ya, ya. Aku menyusupkan microbot ke dalam tubuhnya, cukup sulit tapi aku berhasil mencari letak boiler." Pria itu melanjutkan, "lalu aku menghancurkannya. Meledak. Selesai."

<Kau. Sengaja.> Martis mengisyaratkan kata per kata perlahan. <Bajingan.>

"Heh. Bebas hukum tak berarti kamu boleh memaki bangsawan, Paderi," kata Gareth, dia menepuk bahu Martis dan berjalan melewatinya ke koridor, "lebih baik sembuhkan adikmu dulu. Masalah kita bisa menunggu."

Martis mengeluarkan suara seperti dengusan. Penipu itu benar. Dia mengatur napas dan akan meletakkan tangan di pinggang Mary ketika adiknya membuka mata.

"Martis," gumam lirihnya terputus ketika dia menangkap bayangan perunggu di sudut mata. Dia segera menoleh, dan mendapati tangan perunggu yang mengejarnya tadi membelit kaki Gareth dan mencekiknya, "Sir Gare"

Mary tersedak darahnya sebelum menyelesaikan pekik itu dan terbatuk-batuk. Merasakan pisau masih di tangannya, dia lalu berusaha berdiri, tapi ada yang menahan pinggangnya.

"Lepaskan ... saya." Itu bukan pinta. Itu perintah. Martis bersikeras tak memindahkan tangan dari pinggang Mary. "Lepaskan saya, Martis!"

Pria itu meragu, setelah tampak berpikir sesaat, dia mengangkat tangannya.

Mary tak bereaksi apa-apa atas itu. Dia beringsut dan berusaha berjalan. Pinggangnya terasa panas, sesuatu yang padat tersangkut di dalam. Peluru timah.

Selagi tertatih, Mary menyadari peluru di perut dan rusuknya yang patah sudah tak terasa sakit. Dia tahu kekuatan ESP Martis dan bisa memastikan kakaknya itulah yang menyembuhkannya.

Ada yang mengganjal di pikiran Mary, seharusnya dia mengucapkan sesuatu. Tapi dia tak bisa membuang waktu memikirkannya.

Kerajaan memerintah bahwa rakyat untuk mendahulukan bangsawan di atas segalanya.  Mendulukan putra Tuan Tanah Stuwick di atas segalanya. Sebab diajarkan bahwa hierarki nyata dan relasi palsu. Warga yang baik harus patuh.

Walau hati kecilnya merasa tak nyaman, walau ternyata tubuhnya tak sanggup.

Mary jatuh saat mencapai koridor, namun tak menyerah untuk beringsut di atas tanah yang retak-retak bekas ledakan, mengabaikan leleh kuningan panas automaton yang berserakan.

Dia berhenti, namun pandangannya tetap terpaku ke lubang di kaca saat kakaknya menghampiri dan duduk di sampingnya.

<Dua luka lagi> Martis menggores di atas debu agar Mary bisa mengerti.

"Ya." Gadis itu menjawab, memilih memandangi tulisan alih-alih penulisnya. Masih acak-acakan seperti dulu rupanya. Tanpa sadar Mary menyunggingkan senyum saat merasakan nostalgia yang asing. "Terima ... kasih."

Ucapan Mary membuat Martis terhenti dari penyembuhannya. Setelah menulis agar adiknya tak usah memikirkannya, dia menggores debu lagi.

<Kenapa memaksa dirimu sekeras itu>

"Karena itu aturan." Dia memandangi kakaknya dengan heran, "kami harus menjaga Kerajaan."

<Bukan kesada>

Martis menghapus tulisan itu sebelum menyelesaikannya. Dia memutuskan untuk fokus menyembuhkan adiknya. Saat adiknya meliriknya, ekspresi wajahnya tak bisa ditebak.

<Selesai> tulis Martis, walau sebenarnya tak perlu karena Mary bisa merasakannya.

Gadis itu mencoba berdiri dan menggerak-gerakkan kaki. Keadaannya sebaik orang baru bangun tidur. Mary berterima kasih lagi atas penyembuhan maksimal dari kakaknya.

Jawaban Martis adalah anggukan dan senyum tipis. Seperti teringat sesuatu, dia buru-buru menulis di atas debu.

<Tunggu aku ikut>

Tanpa menunggu jawaban, Martis mengambil pedangnya yang terkubur dalam tumpukan abu dan mengibas-ngibaskannya untuk merontokkan debu.

Tak ada kerusakan berarti. Martis menghela napas. Kalau senjatanya yang ini rusak, dia tak bisa membantu Mary, apalagi membuat Gareth buka mulut. Dia melirik adiknya yang menatap lurus ke lubang di kaca, dan menetapkan untuk melakukan hal terakhir hanya di belakang gadis itu.

Menyarungkan pedang di punggung, pria itu lalu menghampiri adiknya. Dia mengangguk ke arah kaca yang berlubang. Adiknya balas mengangguk dan melangkah di sampingnya.

Kali itu Martis senang isyaratnya tak salah dimengerti.

8
Padang Memori I

Di balik kaca ada koridor sempit yang hanya bisa dijalani orang dewasa satu-satu, sementara sisanya membuka ke aula tiga lantai di bawah. Di lantai dasar cahaya kuning berkelip seperti bintang. Bulatan bercahaya dengan ukuran dan posisi acak menjadi sumber cahaya aula itu.

Walau tak terlihat seperti sarang automaton atau semacamnya, Martis bersikukuh untuk berjalan di depan, sampai akhirnya adiknya menyerah.

Lantai koridor terbuat dari kayu, begitu juga dengan langkan yang hangat saat disentuh. Suara sepatu bertemu lantai bergema keras tak peduli sebagaimana pelan mereka melangkah.

"Sepertinya kita bisa berlari saja sampai bawah, Martis," usul Mary, "keberadaan kita sudah diketahui juga."

Martis mengangguk. Dia menuruni anak tangga dua-dua, dengan senjata siaga untuk berjaga-jaga. Adiknya mengikuti.

Begitu mereka sampai di bawah, Mary mendongak, menemukan bulatan bercahaya tadi yang menjadi bintang.

Dindingnya sewarna langit. Tidak, setelah diperhatikan, tempat itu seperti tak ada bedanya dengan padang rumput di bawah langit malam. Kecuali bagian yang retak dan pecah di sana-sini yang membuka ke koridor merah dan enam pasang pilar putih yang mencolok.

Sikutan pelan pada lengan membuat Mary menoleh ke Martis. Pria itu menunjuk ke pilar di sudut kiri.

Mary mengikuti arah yang ditunjuknya dan menemukan Gareth terikat di sana, dalam keadaan tak sadar namun tak kelihatan terluka.

"Saya akan melepaskan Sir Gareth," kata Mary, tapi Martis memegang pergelangan tangan gadis itu menahannya.

Pria itu menunjuk dirinya lalu Gareth, kemudian menunjuk Mary dua kali dan mengarahkan jemari ke rumah di dekat pilar kedua sebelah kanan.

Di samping jendela, ada pohon ek dengan ayunan dan sosok berlengan perunggu duduk di sana.

Mary menoleh mencari Martis untuk bertanya, hanya untuk melihat kakaknya itu sudah menghampiri pilar tempat Gareth berada. Gadis itu menarik napas dan melangkah maju, dengan belati terpegang mantap di tangan.

Rumput berkeresak di bawah kaki Mary saat dia melangkah. Bau rumput ini familiar, mengingatkannya akan masa kecil sebelum berurusan dengan Kerajaan dan segala aturannya.

Masa di mana perang setahun dengan Germanien belum pecah dan orangtuanya masih ada. Rumah di perbukitan, ayunan pada dahan pohon ek dekat jendela.

Jarak Mary dan orang yang duduk di ayunan kurang dari sepuluh langkah. Dia bisa melihat jelas pemilik lengan perunggu yang tadi meremukkan prajurit Germanien itu, dan paham kenapa Martis meninggalkannya.

Sosok itu memiliki sebelah lengan perunggu yang meliliti pohon ek, selain sebelah lengan normal. Kepalanya tak berwajah atau berambut, sebagai gantinya mulut ada di sepanjang torsonya, sebuah bola mata mengambang di atas kepala, terhubung dengan pipa artifisial dan syaraf biologis. Bola mata bewarna hijau zamrud.

Seperti milik Mary.

Gadis itu menjatuhkan belatinya, tapi dia tak peduli. Pandangannya terpaku pada sosok di ayunan itu.

Alih-alih ketakutan selayaknya berhadapan dengan Phobia, Mary merasa yang ada di depannya begitu akrab. Bukan dari segi fisik, tentu saja. Ini sesuatu yang lebih mendalam dari itu.

Itu dirinya sendiri. Wujud bawah sadarnya.

9
Distorsi II

Martis berdiri sekian meter dari pilar tempat Gareth terikat. Pria bertopi itu masih tak sadar, tapi si paderi tak repot-repot membangunkannya. Dia langsung menebas rantai pengikat Gareth.

Suara benturan logam membuat Gareth terjaga dalam keadaan kaget. Saat membuka mata, yang menyambutnya hanya pedang di depan wajah.

"Mimpi ini bisa jadi diperhatikan para staf, kamu tahu?" tanya Gareth, tapi Martis tak memindahkan posisi pedang itu.

"Kamu juga tahu kebebasan diplomatik tak membuatmu bebas dari tuduhan membunuh bangsawan, bukan?" Gareth menantang tatapan Martis. Dia membaca isyarat sebelah tangan si paderi dan mengujar kesal, "aku sengaja diculik? Kau pikir aku suka dicekik? Sepertinya sentimen pada bangsawan mengaburkan nalarmu, Marty."

Martis terdiam, mencerna kejujuran di ucapan pemuda di depannya. Setelah mendenguskan napas, dia berisyarat lagi.

<Apa sebenarnya terjadi>

"Ini hanya teoriku." Gareth berhenti sejenak, lalu menunjuk makhluk di ayunan dengan dagunya, "makhluk itu yang membawaku dan kamu ke mimpi ini. Dia menghancurkan prajurit Germanien, tapi tak melukaiku. Kurasa alasannya mengikatku di sini agar bisa memanggil adikmu."

<Jelaskan tempat ini> Martis tampak tak puas dengan jawaban itu.

Bahkan tanpa tambahan isyarat mengancam pun, tatapan Martis sudah menceritakan bahaya yang menanti jika Gareth mencoba memutar kata.

"Hipnoterapi. Program buatan ... orang bayaranku untuk menggulingkan Britannia, secara fundamental."

Merasa Martis meragu, Gareth menggeser mata pedang dari lehernya dan berdiri.

"Kamu lihat sendiri adikmu dan determinasinya terhadap Kerajaan."

<Seperti robot, dia tolong kamu bukan kesadaran, tapi diprogram begitu. Sejauh mana kalian ... Kerajaan kekang pemikiran>

"Itulah yang akan kuhancurkan," kata Gareth, "menjadi warga yang pemikirannya dikekang Kerajaan, atau bergabung dengan kependetaan yang bebas berpikir namun dibisukan. Dua pilihan yang tak adil, kurasa."

Melihat Martis hanya diam, Gareth melanjutkan. "Tujuan kita sama, bagaimana kalau kita melakukan gencatan senjata?"

Firasat menyuruh Martis waspada, tapi dia tak bisa tidak setuju dengan tujuan Gareth, maka dia mendiamkan suara di sudut pikirannya itu.

<Selama kau tak melukai adikku aku tak membunuhmu>

"Atas darah Raja Awal Mula yang mengalir dalam nadiku, aku tak akan mengantar Marietta Sullivan ke kematiannya," ucap Gareth. Dia meletakkan tangan kanan di depan jantung sebagai tanda, "sekarang giliranmu."

Martis mengangguk dan membalas berisyarat. <Atas nama Dewa Leoht sang Pencipta, aku bersumpah>

"Sekarang, kurasa lebih baik aku menjelaskan tentang program ini." Seringai di wajah Gareth membuat Martis merasa kuduknya merinding. "Di atas kertas, hipnostimuli adalah pemusnahan Phobia untuk menciptakan prajurit tanpa rasa takut." Gareth berjalan menjauhi Martis, "tapi sebenarnya, program itu untuk menghancurkan paradigma."

<Paradigma, pemikiran dasar> Emosi Martis mulai terasa kacau. <Apa terjadi kalau hilang>

"Subjek tak akan mati. Pilihannya hanya menjadi vegetatif atau ...." Gareth berbalik menatap Martis, dengan senyum tipis terpasang seakan dia begitu terhibur.

Mata Martis melebar. Dia yakin tak akan ada opsi bagus dari Gareth. Tangannya yang memegang pedang gemetar hebat. Sekarang dia merasa menyesal tak mendengarkan nalurinya. Dia bahkan menyesal telah membebaskan pria itu dari ikatan rantai.

Seolah tak peduli pada amarah Martis yang menguar, Gareth menekan tombol pada controller-nya, "atau kalau rencana awalku berhasil, subjek menjadi marionette milikku."

10
Padang Memori II

"Akhirnya kamu datang juga," kata sosok berlengan perunggu itu.

Mary tak menjawab. Bahkan suara itu persis miliknya, hanya lebih lembut seakan emosinya senantiasa tenang.

"Marietta," panggilnya selagi dia turun dari ayunan menghampiri Mary, "aku tahu tujuanmu, tapi kamu tak bisa membunuhku."

"Saya bisa," bantah Mary, walau suaranya terdengar ragu, "karena itu peraturannya."

"Tapi aku adalah Paradigmamu, defenisi dirimu." Sosok itu sudah di hadapan Mary sekarang. Dia mengangkat tangannya yang normal untuk menyentuh pipi wujud manusianya, "sesungguhnya aku lebih patuh pada kerajaan, aku lebih baik darimu, aku wujud kesempurnaan dirimu. Kamu sungguh ingin kehilanganku?"

Ucapan itu mengusik, namun Mary mendiamkannya dari pikiran dengan terus mengulang mantera. Dia harus menaati perintah yang diberi padanya. Dia harus menyelamatkan bangsawan Stuwick dari alam mimpinya dan satu-satunya cara adalah menghabisi Phobia ini, ketakutannya untuk dikalahkan.

"Aku sudah membuatmu kehilangan senjata dan kekuatanmu, Marietta." Seolah bisa membaca pikiran Mary, Paradigma berkata, "kamu tak bisa menghilangkanku. Aku akan tetap ada."

Sebelum Mary sempat bereaksi, tangan perunggu Paradigma sudah membelit tubuh gadis itu, mendorongnya sampai ke pilar di dekat rumah. Tak sampai satu kedipan mata, rantai-rantai perunggu muncul dari tanah begitu punggungnya menyentuh pilar batu.

"Kamu akan bahagia di sini," kata Paradigma, "di kenangan paling manis, jauh dari kontradiksi pikiran di luar sana."

"Tidak." Mary hendak menyangkal, namun tangan perunggu membekap mulutnya.

"Tidurlah, biarkan aku yang patuh pada kerajaan ini melaksanakan tugasmu tanpa cela."

Walau hanya sebuah bola mata menatapnya, entah kenapa gadis itu bisa merasakan Paradigma tersenyum lembut mengucapkan itu.

Mary mencoba berontak, tapi rantai itu semakin erat mengikatnya. Pandangannya menangkap kilatan belati miliknya, namun seperti apa pun dia berusaha menggapai, tetap terlalu jauh dari jangkauannya.

Tangan perunggu turun dari bekapan mulut ke leher untuk mencekik, semakin lama semakin kuat sampai pandangan Mary berubah gelap. Namun sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, gadis itu menangkap kilatan cahaya di balik celah perunggu itu.


Tanpa sempat menerka benda apa itu, tangan perunggu berderak, lalu lempeng-lempengnya berjatuhan. Rantai-rantai pengikat Mary juga ikut hancur dan berserak di atas rumput sebelum hilang.

Saat melihat sebentuk prisma segienam di atas rumput, gadis itu tersadar benda itu yang menghancurkan lengan perunggu. Microbot yang tadi menolongnya saat kakinya terjerat perunggu yang sama.

Paradigma itu terlihat kaget dengan kehancuran tangannya, namun Mary tak memberi kesempatan padanya untuk pulih.

Tanpa menunggu, dia meraih belatinya di atas rumput. Tetap merunduk, dia memelesat, menerjang Paradigma dengan pisau terarah ke jantungnya.

"Jadi kamu memutuskan untuk membunuhku." Di luar dugaan Mary, suara Paradigma masih terdengar tenang seakan dia sudah mengantisipasi hal itu, "kurasa aku harus memujimu atas kepatuhan absolut, sekaligus memandang rendah keputusan bodoh itu."

Sosok itu berubah menjadi sesosok kucing bermata merah yang segera menguap lenyap. Pada saat bersamaan, padang rumput itu hancur bagai kaca dipecahkan yang serpihannya terbang ke udara, menyisakan warna putih tanpa batas.

11
Akhir Mimpi

Gareth dan Martis berlari menghampiri Mary begitu padang rumput itu hancur. Ekspresi mereka tampak terkejut melihat gadis itu memandangi belatinya, lalu tempat kucing tadi terakhir terlihat sebelum hilang.

"Kamu bisa mendengarku, Marietta?" Gareth bertanya, "kondisimu agak berbeda dari yang kuperkirakan."

"Sebaik saya bisa melihat Anda, Sir Gareth," jawab gadis itu. Jauh dari kesan seseorang yang baru saja membunuh bagian dari dirinya.

Mengerti rencananya gagal total, pria itu menghela napas panjang. Seharusnya dia mendapatkan yang serupa kertas kosong, bukan orang berkesadaran penuh seperti ini.

"Ada apa, Sir? Anda tampak penuh masalah?" Mary bertanya, dia melirik ke kakaknya yang hanya menggeleng.

Sebelum Gareth sempat mengarang jawabannya, sebuah gerbang putih mengkilap muncul begitu saja di hadapan mereka. Gerbang berpintu ganda itu membuka dan dari dalamnya keluar dua sosok. Satu pria berjas hitam dan berkacamata sewarna, satu lagi kepala bantal ungu berjas hujan hijau.

"Selamat, Reverier!" Bantal Ungu bertepuk tangan girang.

"Reverier," ulang Mary. Ingatannya tentang aula mimpi kembali satu per satu, "jadi tempat tadi bukan Terminasi Figmen?"

"Bukan," jawab yang berkacamata hitam. Seolah mengerti apa yang terjadi, dia menatap Gareth saat berkata, "itu Bingkai Mimpi. Mungkin dia meminjam bentuknya, tapi kejadian di dalamnya tak berhubungan."

"Kalau begitu, apakah saya bisa kembali ke Terminasi? Saya harus melaksanakan misi," kata Mary.

"Tak bisa, tak bisa," senandung Kepala Bantal, dia menghampiri Mary dengan tangan disembunyikan di balik punggung, "kamu sudah ditandai, sekarang kamu ikut kami ke Alam Mimpi. Aku dan Paman Nurma akan mengantarmu pergi."

Martis sudah maju sebelum kepala bantal sempat berjalan lebih dekat. Baru saja dia hendak menangkap apa yang dimunculkan, suara embik pelan menghentikannya.

Seekor domba putih muncul di gendongan Mary. Domba itu menatap sekeliling, mendengus pada semua orang kecuali Mary lalu mengembik kasar pada Gareth dan pria berkacamata hitam yang dipanggil Nurma tadi.

"Kamu memberinya domba senewen, Huban," komentar Nurma, terlihat tak senang.

Pandangan Mary terpaku pada domba di gendongannya. Terasa lembut dan hangat. Dia bahkan bisa merasakan jantung hewan itu berdetak. Berlawanan dengan ucapan Nurma, dia tak merasa domba itu senewen sama sekali.

"Dombanya yang memilih, Paman Nurma, bukan aku," protes Bantal Huban. Kerut-kerut di bantalnya seperti menunjukkan wajah merengut. Dia menoleh ke arah tiga orang di depannya, "kalau kakak-kakak sudah siap, silakan ikut kami memasuki gerbang ini."

"Apa Bingkai Mimpi ini dapat diakses kembali?" Di luar dugaan semua orang, Gareth bertanya, yang diiyakan Nurma namun dengan syarat.

Jawaban Gareth hanya mengangguk, lalu berjalan menyusul kedua sosok dari balik pintu, diikuti Mary kemudian Martis.

Namun pada saat Mary sudah menapakkan kaki melewati ambang, Gareth berhenti dan melangkah mundur, kembali ke dunia putih itu.

"Kurasa aku akan tetap di sini," katanya, "Bingkai Mimpi ini tempat menarik untuk dipelajari."

Pria itu menanggalkan topinya lalu mengangguk, sementara pintu menutup lebih cepat dari kedipan mata. Memisahkan Mary dengan Bingkai Mimpi, sekaligus Bangsawan Stuwick dan aturan yang selama ini menjadi kompas hidupnya.

13 komentar:

  1. "Relasi adalah semu, hanya hierarki yang nyata"
    Entah kenapa saya suka quote ini. Mungkin karena ini aja udah cukup buat ngegambarin pribadi Mary yang kayak boneka tentara

    Bagian drama entri ini ngingetin sama entri Kaminari Hazuki, tapi bedanya di sini saya bisa maklum karena ada konteksnya kenapa teks cerita berubah format buat sesaat

    Saya amatin keliatannya khas cerita aksi begini emang begitu udah mulai adegan aksi jadi penuh deskripsi dan nirdialog ya. Yah, ga masalah sih. Sepanjang entri hubungan Mary-Marty-Gareth udah lumayan dapet dengan dialog efektif secukupnya. Bener" berasa kayak ditakar 'ga kurang, ga lebih'. Setidaknya jadi ngasih imej kalo entri ini nuansanya serius dari awal sampe akhir

    Entri ini juga cukup bagus ngemanfaatin setting mimpi buat sesuatu yang nyambung sama objektif oc di universenya sendiri. Terutama pas bunuh Paradigma, rasanya simbolis banget ngehancurin pribadi yang patuh ke kerajaan tanpa kebebasan berpikir. Apa itu berarti pribadi Mary yang sekarang pikirannya udah ga one-track kayak dia dari awal cerita ini?

    Nilai 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dia korban brainwash, sebenarnya ww
      Bagian nirdialog itu kayaknya karena Mary - bisa berantem, ga banyak bicara; Marty - bisa berantem, ga bisa bicara; Gary - banyak bicara, ga bisa berantem =))
      Tapi saya catat deh, ke depannya Mary bakal dibikin beradu ideologi selagi adu fisik.

      Hmm, itu bukan Paradigma yang sesungguhnya. Rencananya siapa si meong Paradigma nanti dijelasin di R1. Maaf, bagian akhir memang kurang dipoles eksekusinya. Dia tetap one-track, cuma karena Gareth sudah tak ada, ya mau tak mau dia harus mengandalkan dirinya.

      Makasih buat komentar dan nilainya :D

      Hapus
  2. RObotik.
    Penggambaran "Anak baik patuh ama kerajaan" hati hati kamu diperalat Raja loh.
    Kaminari: etapi dia kan ada kekuatan Emotional Control dari. . .
    Nora: ESP, Espernya kan?

    Nah, kekuatan Esper beberapa ada yang artifical, ada yang natural. Curiganya, sugesti terdalamnya membuat robotiknya menjadi seperti itu.

    Permainan kondektural. Jujur, saya harus membaca CSnya berulang2, dan nonton referensinya, karena penggambarann di CSnya masih terasa susah, terutama Prestissimonya. (Eh, gak tau gerakannya kepake atau enggak. ANtara gak kebaca atau salah baca?)

    Anyway nuansa klasik mengingatkan saya akan Nodame Cantabille, bedanya ini cwek yang kemampuan kondekturnya tinggi.
    tbh, harus baca 3x biar paham. :|

    8 Deh
    OC: Kaminari Hazuki

    BalasHapus
  3. Ternyata Meri Suek ini tidak seperti yang saya pikirkan.

    Awalnya kirain semua pandangan akan tertuju padanya, dan semuanya yang melibatkan dia perfect gitu. Ternyata nggak juga.

    Dan Mary ini sepertinya pakai universe yang memang berhubungan sama mimpi juga ya, rasanya mimpi ini jadi seperti misi yang harus dia jalanin biar dapet sesuatu.

    Perkara teknis dan narasi udah oke lah. Pesan dan karakter tersampaikan.

    Tapi sebenarnya saya berharap entri ini beneran eksploitasi ke-MAry Sue-an dia secara besar-besaran, tapi itu hanya sekadar kata-kata saja.

    Nilai dari saya 8

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  4. Panjaaang...
    Tapi hasilnya memuaskan setelah baca, semuanya tereksplor dengan baik. Karakterisasi, latar belakang sampai inti ceritanya dan yg bikin entri ini tambah keren karena emng latar belakang petualangan aksinya sama2 di alam mimpi , hanya saja kalo dari realmnya mary itu alam mimpi yg berasal dari alam sadarnya bukan alam yg berdiri dan punya tuhan sendiri seperti alam mimpi
    .
    Untuk masalah teknis dan lainnya , jawabannya ga ada masalah yg berarti. Semuanya mulus2 aja.

    Nilai : 8
    Mahapatih Seno.

    Silahkan mampir kelapak kami.

    BalasHapus
  5. ini entri benar2 serius sepenuhnya ya. setelah selesai satu adegan yg 'tense', langsung muncul lagi yg lainnya.

    kadang saya susah ngebayangin keadaan di sekitar mary. entah disengaja atau tidak, serasa ada partikel atau kata keterangan yg 'hilang' di narasi, padahal harusnya bisa memperjelas suatu adegan. (kecuali bahasa isyarat martis. bisa dimengerti kalau jadi singkat2)

    yah, atau imajinasi saya yg kurang :'3

    selain itu ga ada masalah. dari awal sampai akhir mary tetap teguh menjunjung kesetiaannya pada britannia. sesuai tantangannya.

    nilai: 8
    oc: castor flannel

    BalasHapus
  6. Halo, Manya disini mau ngelunasi kuota komentar

    Dari teknis sih mumpuni ya, saya sebutin sebagai pemanjang komentar ajah. Banyak istilah2 sulit yang disajikan pada deskripsi yang kadang buat saya pecah konsentrasi sendiri, kadang juga masih ngerasa ada pemakaian katanya yang miss, walau mayoritas udah match dan bikin narasinya makin efektif, yang bikin saya gagal ngeskim.

    Dari cerita, rupanya semesta Mary ini cukup solid ya. Dari simbiosis karakternya sudah tersampai dengan baik. Dan tugas entrinya semuanya sudah dipapar.

    saya beri nilai 8 boleh ya?

    Maaf kalau komentar saya biasa2 aja

    -Bukan Alpacapone

    BalasHapus
  7. Halo, Manya disini mau ngelunasi kuota komentar

    Dari teknis sih mumpuni ya, saya sebutin sebagai pemanjang komentar ajah. Banyak istilah2 sulit yang disajikan pada deskripsi yang kadang buat saya pecah konsentrasi sendiri, kadang juga masih ngerasa ada pemakaian katanya yang miss, walau mayoritas udah match dan bikin narasinya makin efektif, yang bikin saya gagal ngeskim.

    Dari cerita, rupanya semesta Mary ini cukup solid ya. Dari simbiosis karakternya sudah tersampai dengan baik. Dan tugas entrinya semuanya sudah dipapar.

    saya beri nilai 8 boleh ya?

    Maaf kalau komentar saya biasa2 aja

    -Bukan Alpacapone

    BalasHapus
  8. Sama seperti kata Enryuumaru, saya juga mikir kalo kisah ini bakal nunjukin gimana Mary yang udah sempurna. Gak taunya obsesinya terhadap kesempurnaan malah jadi kelemahan. Itu mind-blowing.
    Ditambah sama hal teknis yang bagus, saya kasih 9.

    Gold Marlboro

    BalasHapus
  9. Entri yang cukup panjang dan melelahkan, tapi menarik. Karakterisasinya bagus, penulisan sama kata-katanya juga. Sifat Mary dan karakter lainnya tereksplor dengan baik.

    Nilai dari saya : 8
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  10. Stylish, dengan perbehendaraan kata yang kaya. Narasi cukup rapi. Kelemahannya, yang saya rasakan, adalah adegan aksinya yang terasa rada hambar. Namun, didukung kekuatan teknis yang baik, cerita ini tetap layak diberi nilai 8/10

    Dan... yea, mbak ini nggak terlalu terasa sebagai Mary Sue sih. lebih mirip Doll Mode, or Slave Mode, seenggaknya di awal cerita.

    Anita Mardiani
    OC: Fahrul Razi

    BalasHapus
  11. When you said to fight Your Phobia.., it soo.. fantastic..
    Kesadaran antar tokoh yang paralel.. menurutku.. dan satuhal, ini mengingatkanku akan ujian di fraksi Dauntless, come on! Its not a divergent show.. Hhehe
    Konsepnya apik. Ada beberapa pemilihan kata yang saya rasa kurang tepat, tapi lupa lagi tadi yg mana. Tapi sangat bisa dinikmati,eskipun agak melelahkanku dengan narasi yang.. aah.. bagaimana menjelaskannya.. :3

    8

    Sincerelly
    RJ Marjan

    BalasHapus
  12. Ini ceritanye panjang,,tapi seru banget diikutin. Dari segi penceritaan sih ye kagak usah diproblem lagi,,ude tokcer banget. konsep segala macemnye juga oke,mpok. Aye paling suka tuh bagian paradigma jadi kucing merah trus lenyap,,sama lapangan rumput ikutan roboh gitu beneran kayak di mimpi deh. Mantep.

    Poin 10 dari aye.
    Karakter : Harum Kartini

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.