Selasa, 07 Juni 2016

[PRELIM] 45 - SAMARA YESTA | KING OF HEART


oleh : Chandra Wu

--
 
King of Heart

I.         Kehidupan Yang Umum

28 November 24xx, Astro City.

Samara dan Vidi Noel, atau yang akrab disapa Vino sedang menghabiskan waktu malam di cafe yang terletak di salah satu sudut blok kota.  Mereka juga ditemani seorang gadis bernama Astronema, yang setia mengikuti Vidi. Jadi itu jelas bukanlah kencan.

"Sekarang kau tiba-tiba datang menemuiku dan ingin menginap di tempatku.  Ke mana teman-temanmu yang dari Third… Third apalah itu?"  tanya Vino penasaran.
                        
"Teman katamu? Bagiku, teman hanyalah orang-orang berengsek. Aku lebih suka menyebut mereka dengan kata ‘rekan’. Sama halnya denganmu. Soal di mana mereka bukan urusamu. Anggap saja semua ini sebagai bayaran dari serpihan Magicinite yang telah kuberikan padamu." Samara meraih cangkir tehnya,  lalu menyeruput teh beraroma melati itu. Dia selalu menyukai aroma ini.

[Magicinite: Kristal sihir yang mana sekarang menjadi sumber tenaga untuk Astronema]

Vidi berpikir sejenak sambil menatapnya lekat-lekat. Mulutnya terbuka, “setelah kupikir-pikir, baiklah, kukira ini setimpal.”

Sejurus kemudian, ujung mata Samara telah tertuju pada gadis robot di sampingnya dengan cangkir teh masih menempel pada bibir tipis menggodanya. Dia tak melepaskan lirikan itu meski Astronema membalasnya.

Keadaan hening sesaat. Tidak satupun dari mereka bersuara maupun mencoba memulai percakapan. Hingga akhirnya Samara bersuara, “jadi di sanakah benda itu berada?” Samara menggoyangkan kepalanya mengarah ke robot berwujud gadis itu.

“Memangnya di mana lagi tempat yang aman?” jawab Vidi malas, memutar-mutar sedotan dalam gelas jusnya.

“Seingatku, bukannya dia rongsokan yang tergeletak di tempat di mana kita bertemu pertama kali?”

“Saat itu … dia masih purwarupa yang belum sempurna. Tunjukan padanya!” ucap Vidi.

Gadis robot itu menjelama menjadi Samara. Kini ada dua Samara di sana, bahkan tidak ada yang bisa membedakan mereka. Tak berselang lama kemudian, Samara memutuskan untuk menyudahi malam itu.

“Sudahlah, ayo kita pulang!” Samara melangkah terlebih dahulu.

Vidi cepat-cepat mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakkannya di atas meja, menyusul Samara yang menunggu di luar pintu.

Mobil Vidi berada di seberang. Belum saja kaki mereka menyentuh aspal jalanan, tetesan air yang memberondong mulai mengguyur. Tanpa aba-aba, Samara, Vidi, serta Astronema berlari ke seberang dan segera membuka pintu lalu masuk ke dalam mobil.

Tak banyak percakapan yang terjadi selama perjalan, atau bahkan tidak ada sama sekali. Semuanya berlalu begitu cepat hingga akhirnya mereka bertiga tiba di apartemen mewah milik Vidi yang terletak di lantai 40 di Astro Tower.

Gedung kembar pencakar langit terbesar dan tertinggi yang pernah dibuat manusia, dengan ketinggian mencapai 1500 meter. Bahkan dari ketinggian mereka sekarang, Samara dapat melihat jelas seluruh isi kota yang bermandikan hujan. Indah sekali.

Setengah jam berlalu. Pakaian Samara telah berganti piyama putih berlengan panjang, terasa halus, ringan, dan nyaman. Dia benar-benar merasa rileks.

Vidi memberinya kamar tamu, lengkap dengan televisi, komputer, serta jaringan internet. Dia menunggu reaksi wanita itu yang sepertinya terpukau dengan keindahan di luar jendela. Matanya tak lepas dari sana sejak sepuluh menit lalu.

Tanpa berkata apapun atau sekedar mengucapkan “selamat malam”, Vidi meninggalkannya dalam keheningan yang damai. Mereka mengakhiri pertemuaan malam itu secepat mereka berjumpa.

Jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Masih terlalu dini bagi Samara untuk terlelap dalam mimpi. Jadi dia memutuskan untuk berselancar sebentar ke dalam dunia maya yang sudah entah berapa lama tidak disentuhnya. Mungkin ada berita-berita menarik yang telah dia lewatkan.

Mulai dari berita perkembangan dalam negeri hingga luar negeri. Dia tipe orang yang sama sekali tidak peduli dengan urusan politik, baginya semua itu hanya omong kosong. Pada akhirnya, arus membawanya hingga berita dunia hiburan.

Dari sekian banyak halaman yang telah dia klik dan masuk, rata-rata membahas satu nama yang sama, yaitu Danny. Bernama lengkap Danny Hart, usia 21 tahun, kebangsaan Eutria, dan segala macam biodata mulai dari yang perlu hingga tidak perlu pun tercantum di sana.

Samara membacanya tanpa arti. Ada sedikit getaran-getaran aneh yang seolah menyetrum kesadarannya ketika dia mencoba mencari bagaimana rupa dari Danny Hart, sang aktor muda yang sedang naik daun belakangan ini.

Hah … gantengnya. Matanya yang indah … bibirnya …

Pikiran Samara seakan terbawa arus. Untuk beberapa detik lalu, dia bahkan tidak sadar apa yang sedang dipikirkannya. Sesaat kemudian, ada sesuatu dalam dirinya yang seperti menamparnya hingga dia tersadar dari lamunan menggairahkan itu.

Samara tersadar secepat mata berkedip. Dia terdiam sebentar.

Apa yang barusan?

Otaknya berusaha mengulang apa yang baru saja terjadi padanya. Namun dia sendiri tidak yakin. Karena rasa penasaran, dia pun mencari lebih jauh lagi sampai menonton semua drama yang dilakoni sang aktor muda itu.

Bukannya menemukan sesuatu, dia malah ikut menangis. Kadang dia tertawa, lalu menangis kembali. Kisah drama yang sepertinya sangat menyedihkan dan hebat karena mampu menggerakkan hati seorang Samara untuk berlinangan air mata oleh sebuah kisah fiksi belaka.

“Hahaha! Samara … Samara …. Aku tidak menyangka ternyata kau bisa menangis juga.”

Wanita itu kaget, tapi tidak berbalik dan masih terpaku pada layar monitor di depannya. “Sialan! Sejak kapan kau ada di belakangku?”

“Kau terlalu serius sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku. Jangan gara-gara hal sepele seperti itu, kau bisa celaka. Kan tidak lucu jadinya.”

“Apalagi yang kau lakukan di kamarku ini, Vidi Noel?” Nada Samara sedikit meninggi tapi tetap tenang.

“Sebenarnya aku ingin sedikit berbincang-bincang denganmu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan seseorang(manusia). Jika aku terus-terusan berbicara dengan robot-robotku, lama-lama aku bisa gila. Makanya aku datang lagi ke sini. Dan hal yang paling tidak kusangka adalah kau tertarik dengan drama. Seorang Samara tertarik pada drama bertema yaoi?” Vidi menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sebenarnya aku ingin menertawaimu sekali lagi.”

“Apa salahnya menonton sebuah drama bertemakan cinta sejenis? Terkadang kisah mereka jauh lebih indah. Pikiranmu saja yang terlalu sempit sampai harus mengikuti cara pandang orang lain.”

“Wow. Sekarang kau jadi semacam … aktivis?”

“Tidak, bodoh! Aku cuma tidak melihat itu sebagai sebuah kesalahan ataupun kebenaran. Kebanyakan orang di dunia ini berpikir, mereka adalah sebuah kesalahan, menjijikan, dan tidak pantas ada. Itu tidak masalah buatku. Kenyataannya, aku bahkan telah menjumpai pasangan hetero yang jauh lebih menjijikan dalam perjalanan hidup ini. Dengan tidak segan-segan, mereka meneriakkan ‘laknat’ pada mereka. Namun mereka tidak sadar kata itu seperti pedang bermata dua yang menusuk mereka sendiri.”

“Hmm, jadi intinya kau ini seorang fujoshi atau bukan?” Vidi tertarik dengan obrolannya, meski tidak terduga.

“Bukan sama sekali. Aku hanya … katakanlah percaya pada cinta. Cinta itu aneh, buta, bisa datang dari siapa saja, mana saja, dan kapan saja.” Samara memutar kursinya 180o menghadap Vidi. “Sebab itu, aku percaya pada cinta mereka. Cinta yang juga sama dengan cinta pasangan hetero. Kau pasti berpikir aku seorang yang pro, namun kenyataannya tidak begitu. Sejak bertemu dengan rekan-rekanku itu, aku mulai menerapkan ideologi mereka.”

“Apa itu?”

“Bagi mereka, mata kanan adalah penilai kebaikan dan keburukan. Mata kiri adalah penyaksi ilusi dan kenyataan. Saat kau bisa menutup kedua mata, maka kau akan melhat apa yang harus dilakukan demi menjaga keseimbangan itu. Aku berhasil menutup mata kananku dari segala baik buruknya dunia. Sayangnya, aku masih belum bisa menutup mata kiriku.”

“Itukah sebabnya kau masih terbuai dengan ilusi indah dari kisah drama itu? Baiklah, aku tertarik dengan pemikiran ideologi kalian.” Vidi beranjak dan duduk di pinggir kasur lalu berkata, “silahkan lanjutkan!”

“Aku ingin mengajukan satu pertanyaan padamu. Apa alasan keberadaan mereka ditolak? Jangan menggunakan alasan yang merujuk pada agama!”

“Mmm …, karena … mungkin … pasangan seperti itu tidak bisa menghasilkan keturunan.”

“Coba kau berandai-andai bagaimana jika bisa!”

‘Eng ing eng, dunia akan jadi terlihat sedikit kacau dan aneh.” Vidi mengangkat kedua tangannya tinggi, lalu merebahkan tubuhnya ke kasur dengan kedua telapak kaki masih bertumpu di atas lantai.

Samara terkekeh. “Dunia ini memang sudah kacau. Jika hanya masalah keturunan, aku pikir, manusia tidak akan punah hanya karena satu alasan itu saja.” Dia berbalik lagi mematikan komputernya. Setelahnya, Samara bangkit dari kursi, merenggangkan seluruh otot-ototnya, dan berjalan menghampiri jendela besar di sampingnya. Matanya menatap lurus menyaksikan rintik hujan yang masih belum selesai dengan pekerjaannya. Lanjutnya, “kau pikir apa para petinggi Negara peduli dengan hal seperti itu? Saat mati, kau hanya tidak berada di dunia ini lagi. Apa yang akan terjadi di muka bumi ini, tidak ada lagi kaitannya denganmu. Alasan apa yang membuat mereka harus peduli? Jawab aku, Vino!”

Vidi menyatukan jari kedua tangannya. Meletakkan mereka di belakang kepala. “Ya, mereka peduli dengan anak cucu dan keturunan-keturunan yang mungkin masa bodoh dengan mereka nantinya. Atau mungkin ada alasan yang lebih rumit dari ini. Bukannya manusia adalah makhluk sosial?”  

“Makhluk sosial katamu? Kau percaya hal itu? Itulah satu kekeliruan terbesar. Aku sudah hidup lebih lama daripada kau dan juga semua orang yang ada di atas benua ini (usia saat ini 122 tahun). Dan aku lebih suka menyebut mereka dengan ‘makhluk semi-sosial’.”

Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Jam di ruangan tengah berdentang nyaring, meresap ke dalam dinding, merambat, lalu sampai pada indra pendengaran mereka.

Vidi menguap berkali-kali. Rasa lelah dan ngantuk tak tertahankan melanda dirinya. Hal itu membuatnya enggan untuk merangkak keluar dari kamar ini, meninggalkan kasur empuk yang sebenarnya juga dia miliki di kamarnya sendiri.

“Ngomong-ngomong …, bagaimana kalau kita tidur bersama?” tawar Vidi menepuk-nepuk kasurnya tiga kali. “Aku jamin ini akan jadi pengalaman luar biasa.”

Samara berbalik begitu mendengar tawarannya. Senyum mengembang jelas dalam tiap langkahnya. Dia berhenti tepat di depan Vidi yang tengah berbaring. “Bagaimana mungkin aku bisa menolak tawaran dari tuan rumah yang baik hati ini.”

Vidi menyeringai. “Tunggu apa lagi?” Sambil memainkan kedua alisnya.

Samara bergerak. Dia mengangkat kedua kaki Vidi hingga sebatas pinggul, lalu memberikan satu gerakan paling mematikan bagi laki-laki. Ya, kaki kanannya bersarang di selangkangan Vidi. Di saat tangannya menarik kaki Vidi, di saat bersamaan pula kakinya mendorong kuat.

Laki-laki itu tersentak kaget mendapati serangan fatal tersebut. Dia menggelepar. Tangannya berusaha meraih kaki Samara, namun wanita itu semakin kuat memberikan dorongan. Terdengar suara cekikikan serta ringisan tanda derita. Semua tergambar di wajahnya.

“Masih ingin tidur denganku?” tanya Samara semakin beringas. Dia juga sedikit menahan tawa.

“Sudah, sudah, hentikan, Sam! Hentikan!”

Samara menghentikannya. Dia yakin Vidi pasti akan kapok. Sedikit keterlaluan memang, walau sebenarnya dia hanya ingin bermain-main dalam konteks “sedikit kasar”.

Yang terdengar selanjutnya hanyalah suara mengaduh dari pemuda malang itu. Niat hanya menggoda malah berakhir petaka. kasihan. Dia pun berguling hingga ke ujung kasur seberang. Dengan tertatih-tatih, dia berusaha menggapai pintu.

“Sialan! Kau keterlaluan, Sam!”

“Ups, maaf. Selamat malam. Semoga mimpimu indah.”

Pintu tertutup kembali. Semuanya kembali tenang, damai, dan waktunya untuk beristirahat. Sebelum Samara benar-benar terlelap, sesuatu lewat di otaknya sepintas.

Kisah yang indah.

—[][][]—


II.      Teman Lama

Sinar terang menembus masuk melalui jendela. Cuaca di luar begitu cerah, setelah langit menangis semalaman. Sinar tersebut membelai permukaan kulit Samara dengan penuh kehangatan, membuatnya terbangun dari mimpinya dengan segar.

Meski begitu, otaknya tidak mampu memberikan gambaran akan siapa dan apa yang terjadi dalam mimpi semalam. Otaknya benar-benar tidak mampu mengulangi kejadian itu, seolah memori tersebut sudah terhapus. Bahkan dia yakin ada suara-suara yang terdengar, namun hal itu juga samar-samar tentunya.

Samara bangun, mencoba menuju ruang tengah, terasa hening seperti tidak ada kehidupan sama sekali. Dia melirik jam besar di dinding kirinya, pukul tujuh pagi. Saat melewati sofa, dia melihat sesosok manusia terbaring di atasnya. Dia mendekat, lalu menggunakan kakinya menedang kecil kaki orang itu.

“Hey, bangun!”

Semalaman Vidi tidur di sofa di ruang tengah. Dia sudah terbiasa melakukan itu, berulang kali, bahkan sudah menjadi kebiasaan.

Matanya terbuka pelan, mengintip siapa yang membangunkannya. Dengan agak malas, dia bergeser ke posisi duduk, menguap dengan mulut terbuka selebar-lebarnya, sambil mengucek matanya beberapa kali.

“Kau bisa berjalan?” Itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Samara.

Mendengarnya membuat Vidi berpikir bahwa perempuan itu menaruh prihatin padanya atas kejadian semalam. “Entahlah.” Dengan tololnya, dia menarik celananya lalu mengintip isinya. “Kukira masih berfungsi dengan baik.”

Mulut Samara berkedut mendengar jawabannya. Dia pun mengambil tempat di sebelah Vidi dan duduk sambil menguap kecil. “Dasar mesum!”

“Siapa yang mesum? Atau jangan-jangan kau bahkan belum pernah melakukannya selama ini? Iya ‘kan?”

“Hei, dengarkan aku! Aku—Samara—tidak peduli dengan hal itu. Tidak peduli kau mau bercinta dengan siapapun, oke? Aku tidak peduli.” Samara memicingkan mata ke arah Vidi. “Jika itu berkaitan denganku, maka kau tidak akan kulepaskan.”

Mata Vidi melebar. “Jadi benar ‘kan kau masih perawan?” Tawa Vidi menggelegar ke tiap sudut ruangan, memecah keheningan. “Samara … Samara …, kau ingin memecahkan rekor perawan abadi, ya?”

Samara tidak menyesal atau tersipu malu melihat reaksi Vidi yang seakan-akan menggoloknya. Memang itulah kebenarannya. Namun hal yang membuatnya berdecak jengkel adalah ketika reaksi yang dikeluarkan Vidi tidak terkendali.

Laki-laki itu terus tertawa karena menurutnya terdengar lucu. Tubunya tidak bisa diam, terus berguling ke sana berguling ke sini. Sampai akhirnya dia menungging, membuat bokongnya mengarah ke Samara secara tidak sadar. Alhasil, satu tendangan berhasil membuatnya terjerembab.

Vidi mengaduh. “Kau ingin membunuhku, ya?”

“Jika aku ingin membunuhmu, maka sudah kulakukan sejak awal. Belakangan ini aku sedang malas menggunakan kekuatanku. Aku ingin mencoba hidup normal.” Samara berdiri. Ia berseri-seri. “Cepatlah mandi dan ganti pakaianmu!”

“Mau ke mana?”

“Kita jalan-jalan ke luar.”

“Apa ini sejenis kencan?” Vidi bersemangat.

“Tergantung ….”

Vidi tersenyum simpul. Lekas dia berdiri dan bergegas membersihkan dirinya yang tampak berantakan.

Lima belas menit sesudahnya, keduanya tampak rapi dan bersih dengan dandanannya sendiri. Terutama Vidi, dia terlihat lebih baik dengan gaya kasualnya sekarang. Lebih sedap dipandang. Berbeda dengan Samara yang mengenakan baju setengah lengan dan celana panjang. Keduanya berwarna hitam, memberi kesan elegan padanya.

Pemuda itu mengerjapkan matanya menyaksikan sosok anggun di hadapannya. Samara tampak menarik, seperti biasanya, terutama dalam balutan warna hitam. Hingga retina hijaunya kelihatan lebih lencolok.

—[][][]—

Setelah sarapan di salah satu toko yang menjadi favorit Vidi, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Vidi membawa Samara berjalan mengelilingi blok demi blok Astro City. Suasananya lumayan ramai, kebetulan hari itu adalah hari minggu.

Mereka berjalan seperti sepasang kekasih, namun sayang keduanya tidak berpegangan tangan. Hal itu tidak mungkin terjadi, walau Samara tidak mengatakan “tidak” ataupun “iya” untuk itu. Mengingat kejadian semalam saja, sudah membuat pemuda itu bergidik ngeri.

Setelah lumayan jauh dari kediaman, Vidi dan Samara tiba di salah satu blok. Di sana telah terlihat puluhan lusin orang, baik pria atau wanita, tapi lebih didominasi oleh wanita tentunya. Karena penasaran, Samara meminta Vidi untuk mengantarnya mendekat ke sana, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Sebuah mobil hitam datang. Pintu belakang terbuka. Keluarlah seseorang dari dalamnya yang membuat teriakan para fans fanatik itu semakin bising dan memekakkan telinga.

Sang aktor muda pendatang baru yang sukses dengan drama barunya telah berhasil memikat hati para penonton setianya. Jumlah fansnya semakin bertambah dari hari ke hari.

“Danny!”

“Danny! We love you!”

“Arghh, Danny!”

Spanduk, poster, dan segala macam benda yang bertuliskan nama sang aktor serta fotonya, berkibar lebih bersemangat ketika sosok yang ditunggu-tunggu itu hadir.

Kilatan cahaya blitz menembak dari mana-mana. Suasana kian histeris. Sang aktor—Danny Hart—memberikan tandatangan dan berfoto selfie dengan penggemarnya sebelum memasuki gedung studio untuk mengisi sebuah acara sebagai tamu spesial.

Di tengah keramaian yang mengelilingi Danny, seseorang muncul entah dari mana. Orang itu mengenakan jaket kulit hitam panjang hingga betis. Dia berdiri begitu saja di tengah-tengah sambil menundukkan kepalanya, di mana fans-fans yang lain berada di belakang pagar pembatas.

Melihat keberadaan orang asing itu, sontak membuat Danny sendiri kaget. Beberapa bodyguard yang bertugas segera menghampiri sosok asing tersebut dan bermaksud untuk menyeretnya keluar. Namun sebelum dia diseret, orang itu mengangkat wajahnya, menunjukkannya pada Danny Hart.

“Kau …?” gumam Danny sedikit ragu.

“Ya, ini aku, Danny! Gunawan … Gunawan Swikosta. Masih ingat? Sedikit?” ucap orang itu. Dia masih terlihat muda, atau usianya hampir sama dengan Danny.

Ketika beberapa bodyguard hendak menariknya, Danny menghentikan mereka.

“Bagaimana? Kita pernah sekelas selama setahun, lho. Memang aku tidak seterkenal dirimu. Apa mengingat kembali nama itu begitu sulit untuk anak sepertimu?”

Danny berusaha menggali memorinya lebih dalam. Agak samar-samar, sebab itu adalah memori empat tahun lalu. Mungkin butuh waktu sedikit lama, karena suara dari para fans di sekitar cukup mengganggunya.

“Aku akan membantumu dengan sebuah kutipan, ‘beberapa orang berubah. Beberapa tidak berubah. Beberapa lainnya berubah terlalu banyak’. Merasa familiar dengan kutipan itu?”

Danny ingat sekarang. Pemuda yang berada di hadapannya kini memang adalah teman sekelasnya dulu. Nama belakangnya begitu mengingatkan Danny akan seseorang yang duduk di bangku paling belakang, yang selalu dianggap paling aneh, dibully, dan hampir tidak memiliki teman.

Melihat kondisi mata aktor tampan itu yang sedikit berubah, Gunawan tahu kalau dia sudah sadar. “Dan kulihat kau sepertinya hampir tidak berubah. Sama seperti dulu. Selalu dikerubungi orang-orang. Disukai oleh semua wanita dalam sekali pandang.”

Danny tidak terlalu mengerti apa yang dia ucapkan. Danny harus bergegas untuk masuk ke dalam karena acara akan segera dimulai. “Maaf, aku hampir lupa kalau ini dirimu, teman.”

Gunawan menyunggingkan senyum. “Teman katamu? Aku merasa kau mungkin akan menyesal menyebutku teman atas apa yang akan terjadi nanti.”

Aktor itu benar-benar tidak mengerti maksudnya dan kembali dengan nada penuh keraguan. “Ada yang bisa kubantu, Gunawan …?”  

“Tentu saja. Kau harus ikut bersamaku!” Gunawan menghampiri Danny, lalu menarik kerah bajunya. “Sekarang!”

Sontak kelakuannya langsung membuat ketiga bodyguard tadi kembali bereaksi. Tapi tiba-tiba saja seorang dari mereka jatuh terkapar di tanah dengan sebuah bekas luka di dahi yang mengalirkan darah.

Tak ayal, seluruh manusia di sana langsung melarikan diri sambil berteriak. Seseorang telah terbunuh. Sisa kedua bodyguard diam tak berkutik. Mereka sama sekali tak berani bergerak.

Sementara itu, tangan Gunawan masih jelas membentuk visualisasi pistol seperti yang dilakukan anak kecil ketika bermain. Tak lebih dari sepuluh detik kemudian, kedua bodyguard juga mengalami nasib serupa. Dahi mereka berlubang.

Luka itu tampak seperti luka tembakan, tapi tidak ada suara letusan pistol yang terdengar.

“A-apa yang kau lakukan sebenarnya?” tanya Danny dengan nada ketakutan melihat ketiga penjaganya tewas.

“Sudah kubilang, aku akan membawamu dengan paksa. Tak peduli kau mau atau tidak.”

Di tengah-tengah ketegangan, akar raksasa muncul di dekat mereka. Akarnya meliuk-liuk melesat ke arah Gunawan, sehingga pemuda itu terpaksa melepaskan cengkramannya pada Danny lalu bergerak menjauh.

Di saat bersamaan, satu tendangan bersarang ke pipinya. Pemuda itu terpelanting sampai mengahantam tembok di seberang jalan. Samara berdiri di tengah jalan, sementara Vidi yang tidak tahu apa-apa hanya mengekor, berdiri di dekat sang aktor sesuai permintaan Samara untuk menjaganya.

Gunawan kembali bangkit sambil bertopang pada dinding di dekatnya. Matanya menatap tajam ke arah Samara. Punggung tangan kirinya mengelap darah di ujung bibir akibat tendangan tadi.

“Siapa kau?” tanya Gunawan marah.

“Begitu melihat lambang di bahu jaketmu, aku langsung sadar kalau itu kalian. Enam lingkaran saling berkaitan, dengan inisial ‘HC’ di tengahnya. Hybrid Company! Aku benar ‘kan?”

Vidi dan Danny bingung harus berkata apa. Mata mereka berdua bertemu sesaat. Seketika itu juga, ada sebuah sensasi aneh yang belum pernah dirasakan terjadi pada Vidi. Dia tidak tahu apa itu, namun ada semacam energi emosional yang kuat melanda dirinya.

Gunawan menjilati bibirnya sambil bertepuk tangan untuk Samara. “Bravo! Tebakanmu tepat sekali.” Setelah satu desahan nafas panjang, dia melanjutkan, “kukira semua akan berjalan lancar dan bisa kuatasi sendirian sebelum dia tiba. Tapi sepertinya aku harus merepotkan dia sekali lagi.”

“Aku tahu apa yang kalian lakukan. Kalian menangkap anak-anak yang memiliki kemampuan kinesis, lalu kalian latih untuk dijadikan pasukan tempur. Di sisi lain, kalian juga mencuri kekuatan itu dan menanamkannya pada tubuh baru.”

“Kulihat … kau tahu banyak tentang kami. Aku tidak punya banyak waktu berbincang denganmu, jadi aku akan mengambilnya kembali.” Tunjuk Gunawan pada Danny.

“Sayangnya aku tidak membiarkan hal itu terjadi,” timpal Samara.

Gunawan memberi seringai miring. Kakinya melangkah maju. Pemuda itu berhenti tepat di depan fire hydrant yang membelakangi dirinya.

“Hei! Apa yang sedang kalian berdua bicarakan? Tolong jelaskan padaku!” tukas Danny.

“Kau memang tidak berubah banyak, Danny. Masih saja tidak mengerti apa yang bisa kau lakukan. Nyatanya kau hanya seekor angsa menawan yang terbang lurus tanpa berhenti untuk berpikir sejenak.”

“Dan itu yang kalian incar, bukan?” Samara menimpali lagi.

Gunawan beralih memicingkan matanya kepada Danny. “Kau yang dari dulu tertawa dan merasa bebas, di mana aku selalu bersembunyi dalam ketakutan dan kesendirian karena kekuatan ini. Akan kutunjukan padamu bahwa dunia tak seindah yang kau kenal.”

Pipa air di belakang Danny meledak. Pancuran air melebihi dua meter terus menyembur keluar dari dalam tanah, membuat aspal di sekitar banjir. Dengan kemampuan hydrokinesisnya, Gunawan menarik semua air itu dan membuatnya melayang mengelilinginya di sekitar.

Hal itu lantas membuat Danny terkejut.

Ternyata semala ini dia ….

Serangan pertama dimulai. Vidi yang seharusnya tidak terlibat, malah mengambil urutan pertama. Dengan menggunakan metallokinesis, dia mengangkat mobil yang terparkir di dekat sana lalu melemparkannya ke arah Gunawan.

Sayang sekali, laju kendaraan itu ditahan oleh air yang membentuk dinding pelindung sebelum menggapai targetnya.

“Terkadang air bisa menjadi perisai tak berbentuk dan mematikan,” ucap Gunawan, sebelum akhirnya tiga buah mobil kembali menyerangnya dari kiri, kanan, dan atas. Namun lagi-lagi perisai air melindunginya secara sempurna.

Samara memanfaatkan waktu ketika pandangan Gunawan terhalang mobil dan menarik Danny yang seakan kesadarannya hilang setengah masuk ke dalam gedung. Di luar, Vidi berusaha menahan Gunawan. Dia menarik beberapa mobil, berniat menghalangi pintu masuk. Dalam sekejap mata, serangan dari Gunawan menghancurkan pertahanannya.

Butiran-butiran kecil air menembak beruntun ke arah pintu masuk bagai senapan mesin, bahkan lebih kuat. Peluru airnya mampu menembus mobil, menghancurkan jendela-jendela, menyebabkan Vidi yang berlindung di balik mobil bergeming karenanya.

Untungnya dia telah menyimpan Milinium di dalam tubuhnya, material terkuat yang membuatnya selamat dari luka tembakan ini. Tapi dia tetap merasakan peluru air itu bagaikan sentilan-sentilan. Betapa hebat kekuatan air itu pikirnya, jika dibandingkan dengan peluru yang biasanya tidak dia rasakan sama sekali.

Rongsokan-rongsokan mobil menghalangi pandangan Gunawan. Vidi memanfaatkan kesempatan tersebut, menyusul Samara ke dalam gedung.

Bentuk dari gumpalan air berubah, semakin membesar, dan semakin berwujud. Ujungnya mulai membentuk rahang dari suatu makhluk dengan moncong panjang.

Water Dragon!

Naga air itu segera melesat, menghancurkan rongsokan mobil yang menghalangi pintu masuk. Tak berapa lama kemudian, bangunan setinggi enam lantai itu memuntahkan air dari tiap jendela ataupun celah.

Sebelum serangan naga air membanjiri, Samara, Vidi, serta Danny telah berhasil meloloskan diri melalui pintu belakang. Mereka berlarian di lorong di antara bangunan-bangunan, menyaksikan air memecahkan jendela, menghanyutkan semua barang dari dalam gedung itu.

Satu hal yang menyebabkan mereka bertiga terkejut adalah ketika gedung itu mulai rubuh tiba-tiba. Asap serta puing-puing bangunan berderai ke mana-mana. Salah satu puing nyaris saja membentur kepala Danny.

Sebenarnya Danny enggan mengikuti kedua orang asing ini, tapi karena terus dipaksa oleh Samara, mau tidak mau menurutinya.

Mereka berhenti sejenak setelah dirasa cukup jauh. Vidi dan Danny duduk di atas tumpukan balok kayu. Nafas keduanya memburu hebat. Lain halnya dengan Samara, dia terlihat biasa saja, berusaha membersihkan debu yang menempel di pakaiannya.

“A-apa yang terjadi se-sebenarnya?” Danny berusaha berbicara di tengah nafasnya yang tidak teratur.

“Kaulah masalah sebenarnya, Danny Hart.” Samara memberitahu.

“A-aku?”

Vidi tidak berkomentar banyak. Dia daritadi hanya menatap lekat-lekat wajah Danny yang berada di sampingnya. Sampai-sampai Danny sendiri kaget mendapati pemuda itu sedang memerhatikan dirinya. Dia merasa sedikit aneh, apalagi dengan tatapan yang tidak biasa seperti itu.

“Hei! Ada yang salah?” tanya Danny polos.

“Ti-tidak ada. Lupakan!” balas Vidi singkat.

“Memangnya apa yang sudha kulakukan?”

“Kau benar-benar tidak tahu? Wajar saja. Tidak pernahkah terpikir di benakmu, mengapa semua orang sangat tertarik denganmu? Seolah ada semacam daya tarik yang tak bisa dijelaskan. Apa kau pikir itu semua karena wajah tampan belaka, kharisma, atau kemampuan aktingmu?” tutur Samara.

“Beritahu aku!”

“Amokinesis! Kemampuan yang memanipulasi cinta … mungkin lebih tepatnya perasaan. Hanya saja, secara tidak sadar kau menggunakannya tanpa bisa dikendalikan. Kau dengan mudah bisa mencuri hati seseorang dan menaklukkannya, terutama hati yang lemah dan rapuh.”

“Amokinesis?”

“Salah satu kekuatan yang mengerikan. Aku pernah mengenal seseorang dengan kemampuan serupa di masa lalu.”

“Lalu di mana bagian mengerikannya?” Vidi memotong karena penasaran.

“Ketika kau berhasil menaklukan hati orang itu, maka dia akan rela melakukan apapun. Bayangkan jika skalanya adalah seluruh dunia. Ironisnya, kemampuan ini juga bisa menyebabkan seorang heteroseksual menjadi homoseksual dan sebaliknya, bahkan menggerakkan hasrat seorang aseksual. Sebab begitu perasaan sudah tertanam, dia akan menumbuhkan kelopak cinta dan mekar menjadi bunga nafsu. Aroma cinta yang kau tumbuhkan untuk dia, lakukan untuk dia, dan hanya dia.” Samara mengedipkan matanya pada mereka berdua. “Kalian paham maksudku, bukan?”

Danny memutar kepalanya yang terasa berat ke arah Vidi. Pemuda itu segera berpura-pura membetulkan tali sepatunya karena takut ketahuan menatapnya lagi.

“Yo yo yo! Ada pembahasan menarik di sini. Kalian memang pintar memilih waktu dan tempat.”

Suara itu lantas membuat mereka melebarkan mata. Gunawan Swikosta telah bertengger di atas dinding yang berada persis di belakang Danny dan Vidi sekarang ini. Dia berjongkok di atas sana, kedua siku tangannya menempel pada lutut dan digoyang-goyangkan pelan.

Water Gun!

Peluru air ditembakan, menembus dada Samara. Serangan itu jelas menyebabkan Samara segera tumbang ke atas tanah dengan posisi tengkurap.

Lagi-lagi kedua pemuda itu melarikan diri. Gunawan membiarkan mereka pergi, lalu menyusulnya dengan langkah santai meninggalkan tubuh Samara di sana sendirian.

“Bisa tolong lepaskan tanganku?”

“Tidak! Karena aku yang akan menjagamu sekarang,” tukas Vidi.

Kata-katanya barusan terdengar ganjil di telinga Danny, tapi dia tidak mempermasalahkannya untuk saat ini. Keduanya tiba di area konstruksi. Terlihat tiga kendaraan berat terparkir di sana. Suasana begitu sepi, mungkin sedang jam istirahat.

Setelah Vidi melepaskan genggamannya, Danny mengusap-usap pergelangannya yang sakit.

Otak Vidi terus berputar, ke mana lagi harus bersembunyi?

“Serahkan Dannyku, atau kau kueksekusi di sini sekarang juga!” sahut sebuah suara dari belakang.

Tanpa pikir panjang, Vidi melemparkan ekskavator di depannya . Kendaraan berat itu melayang ke belakang mengarah ke Gunawan.

Water Jet!

Segumpalan air yang mengerubungi Gunawan berubah bentuk. Wujudnya bak seutas tali yang menembak lurus ke arah ekskavator itu datang, membelahnya secara vertikal. Alhasil kendaraan besi tersebut terbelah menjadi dua bagian, jatuh ke sisi kanan dan kirinya.

Vidi terbelalak, baru pertama kali ini dia menyaksikan bagaimana air mampu membelah sebuah ekskavator dengan mudahnya.

Tangan kanan Gunawan diangkat, jari telunjuknya menunjuk ke atas. Air-air langsung bergerak naik, membentuk bola air raksasa. Sebelum apa yang ingin dilakukannya terlaksana, sesosok bayangan melesat cepat mendekati pemuda itu.

Plak!

Gunawan Swikosta berhasil menangkap kaki Samara tanpa menoleh sedikitpun. “Jangan lakukan ini lagi! Aku benar-benar tidak menyukainya,” sahutnya dengan nada kesal.

Samara tersentak. Yang terjadi berikutnya adalah dia merasakan tubuhnya terangkat, melayang, lalu terlempar. Begitu mendarat di atas tanah, tubuhnya berguling-guling dan berhenti tepat di depan Danny. Wanita itu kembali berdiri setelah menopangkan kedua tangannya. Celananya sedikit robek di bagian lutut.

Gunawan kembali memerhatikan dengan lebih seksama. Dia ingat betul kalau peluru air menembus tepat di dadanya, namun mengapa sosok yang seharusnya sudah tewas itu kini masih bisa bergerak bahkan menyerangnya? Dia benar-benar tidak habis pikir.

“Hei! Seingatku kau sudah mati.” Gunawan memicingkan matanya, saat yang terlihat di balik lubang baju akibat peluru tadi adalah kulit putih yang mulus, bukannya luka yang mengeluarkan darah. “Aku mengerti sekarang. Mari kita lihat apa kau masih bisa beregenerasi setelah ini.”

Bola air raksasa yang telah menanti di atas kepalanya mulai beraksi. Dari dalam sana, menembaklah keluar dua jalur air yang mirip seutas tali. Dengan tekanan yang luar biasa, air itu menjadi alat pemotong sempurna.

Double Water Jet!

Samara dan Vidi sontak berlari menghindar ketika menyadari tembakan air itu hanya mengejar mereka. Ke mana pun mereka pergi, pemotong itu akan mengikuti gerakannya bahkan dalam pola zig zag sekalipun, memotong semua yang berada dalam jalurnya.

Perhatian Gunawan terfokus pada dua ekor tikus pengganggu tersebut. Padahal ini waktu yang tepat bagi Danny untuk melarikan diri, tapi dia tidak melakukannya, hanya mematung menyaksikan yang terjadi seolah orang bodoh.

“Hei! Apa yang kalian lakukan di sini? Ini bukan tempat bermain!” teriak salah satu pekerja saat menyadari kehadiran beberapa bocah.

Splashh!

Malang sekali nasibnya. Samara tidak menyadari kalau sosoknya tiba-tiba saja muncul di belakangnya, sehingga air pemotong tersebut menebas tubuhnya sampai terbelah dua.

Di pihak lain, Vidi jatuh tersungkur saat mencoba menyerang Gunawan. Serangan tekanan air berhasil menebas perutnya. Lantas bajunya pun tampak koyak segaris lurus horizontal di area tebasan, meninggalkan ruam merah pada permukaan kulit. Meski begitu, dia masih tetap bergerak.

Sialan! Jika bukan karena Milinium, mungkin aku sudah mati. Sakit sekali.

Samara tak bisa berbuat banyak dalam pelariannya. Mengeluarkan serangannya pun percuma saja, mengingat airnya mampu memotong apapun. Satu-satunya rencana terbaik adalah menunggu.

Seiring waktu berlalu, bola air raksasa semakin mengecil dan mengecil hingga akhirnya menghilang. Airnya telah habis. Baik Samara maupun Vidi bisa kembali tenang. Mereka kembali bersatu di hadapan Gunawan.

“Kelemahan tersebesar seorang hydromancer adalah air itu sendiri. Saat dia kehabisan air, maka tamatlah dia.” Samara mengingatkan.

“Tidak perlu kau beritahu pun aku sudah tahu. Jangan meremehkanku! Aku sudah mengalahkan banyak sekali orang.”  Gunawan mengangkat kedua tangannya tinggi.

Terdengar bunyi ledakan tak jauh dari area konstruksi. Pipa air bawah tanah meledak. Segera semburan air tersebut dikendalikan Gunawan dan mewujudkannya dalam bentuk yang familiar. Dari tempat mereka berdiri sekarang, tampaklah dua sosok naga air yang menjulang tinggi.

Begitu tangan Gunawan diturunkan secara bersilangan, kedua naga air itu bergerak. Mereka saling bertabrakan, lalu membentuk satu wujud yang jauh lebih besar. Dengan rahang terbuka siap menerkam, naga airnya melaju cepat menghampiri Samara dan Vidi.

Samara langsung menapakan tangannya ke permukaan tanah. Muncullah sebuah sulur dengan sehelai daun. Kemudian tumbuhan itu tumbuh kian tinggi dan membesar, hinnga terciptalah sebuah pohon besar di hadapannya. Dia berniat menjadikan pohonnya sebagai perisai.

Splashhh!

Terjangan naga air membentur pohon, mengakibatkan air terciprat ke mana-mana membasahi area sekitar. Serangan masih berlangsung. Kini mereka berdua berada pada titik di mana “serangan atau pertahanan siapa yang jauh lebih kuat”.

Air terus terciprat. Setelah tiga puluh detik kemudian, serangan berakhir dengan menyisakan pemandangan sebuah pohon dengan batangnya yang setengah menghilang. Terjangan air yang kuat berhasil merobek kulit pohon serta mengikis batangnya. Namun akar yang kuat membuatnya tetap kokoh berdiri.

“Tck!” Gunawan berdecak. Dia hampir terjatuh saat mencoba bergerak, sebab Samara telah mengikat kedua kakinya dengan sulur yang muncul dari bawah tanpa dia sadari.

Jauh sebelum itu, Vidi telah berdiri di hadapan ekskavator lainnya. Tangannya menyentuh permukaan kendaraan. Materi logamnya terserap ke dalam tangan, dan hal itu membuat keduanya tampak bersatu seolah ekskavatornya kini menjadi kepalan tangan Vidi.

Menyadari bahaya mendekat, sebisa mungkin Gunawan menarik genangan air terdekat guna membentuk pelindung, meski waktu terlalu sempit untuk mencapai wujud sempurna.

Tak ayal perisainya pecah, seketika itu juga tubuhnya langsung terpental jauh saat terhantam ekskavator yang telah menyatu dengan Vidi. Berpuluh-puluh meter jauhnya sampai sebuah dinding menghentikan lajunya, ditambah beberapa pipa besi yang menganggur ikut menimpanya.

Butuh waktu cukup lama sampai Gunawan kembali bangkit dari tumpukan batu dan besi. Saat itu terjadi, mereka semua telah menghilang dari pandangan. Beberapa orang yang berpakaian jas hitam formal ala pria kantoran segera menghampiri Gunawan. “Anda tidak apa-apa, Tuan?”

Pemuda yang mereka panggil tidak segera menyahut. Tangannya sibuk menekan sebuah alat kecil yang menempel pada rongga telinganya, dan berbicara dengan orang di seberang sana.

“Bereskan semua kekacauan di sini!” perintahnya singkat, sambil berlalu pergi meninggalkan beberapa orang tadi dengan wajah kusam berdebu dan dahi yang berdarah.

—[][][]—


III.    Amokinesis

Selama satu jam mereka sempat tersesat. Sususan blok di kota ini terasa banyak sekali yang berubah, bahkan ada bangunan yang sebelumnya tidak ada. Hal itu membuat sang penunjuk jalan—Vidi—jadi bimbang dan terheran-heran, mengapa hal ini bisa terjadi.

Kemudian matanya menangkap pemandangan dua buah gedung kembar yang puncaknya kelihatan samar, padahal sebelumnya tidak terlihat sama sekali. Ditaksir dari ukuran gedung dan tempat mereka berdiri sekarang, mereka sudah tersesat terlalu jauh. Mungkin butuh waktu lebih dari yang diperkirakan untuk sampai ke tempat itu.
                                                                         
Samara lupa kalau memilih berjalan kaki adalah sebuah kesalahan fatal. Pasalnya, sejauh kaki melangkah, sepanjang itu pula kharisma sang aktor menebar ke mana-mana tanpa disadari. Hal itu tentunya mengundang ponsel-ponsel dan kamera untuk saling bersaing mengambil gambar dan video.

Satu orang menyadari keberadaan Danny, menyebar ke orang di sampingnya, dan seterusnya. Selanjutnya, segerombolan fans tiba-tiba muncul mengejar mereka. Baik itu wanita maupun pria yang diam-diam mengagumi. Sekuat apapun laki-laki itu membantah dan mengatakan dia lelaki super normal yang “cuih” jika harus sampai mengagumi laki-laki selain dirinya pun tunduk dibawah Amokinesis.

Kemampuan itu sekarang malah membuat keadaan semakin kacau. Mereka bertiga berlari lagi, mengejar taksi yang berhenti di depan. Seorang penumpang hendak masuk ke dalam, namun dengan sigap Samara menarik tangannya dan menghentikannya. “Kami memerlukan taksi ini.”

“Aku yang memanggilnya duluan. Kau pikir siapa dirimu?” bentak ibu-ibu paruh baya dengan rambut keritingnya.

Samara menyikut Danny, menyuruhnya berganti posisi. Danny maju ke depan. “Maaf! Boleh kami ambil taksinya, Bu?”

Amokinesis kembali bereaksi, seolah menghipnotis ibu-ibu itu dalam hasrat keduniawian yang menggairahkan, perasaan-perasaan yang sudah lama layu kini kembali mekar dalam hatinya. “Silahkan! Silahkan, anak muda! Gantengnya!” Sambil mecubit pipinya dengan gemes.

Cepat-cepat Samara mendorong Danny masuk ke dalam diikuti dirinya dan Vidi. Sebelum penggemar gilanya menghalangi taksi, kendaraan telah melaju pergi meninggalkan korban-korban perasaan di belakangnya.

Setelah berbagai peristiwa melelahkan, tibalah mereka di depan pintu apartemen mewah Vidi. Pintu berdaun ganda itu terbuka, seseorang di baliknya tampak menyambut kehadiran mereka.

“Selamat datang kembali, Tuan. Kelihatannya Anda membawa seorang tamu lagi,” sapa Astronema dengan senyum mengembang.

“Atau lebih tepatnya korban penculikan,” sela Danny berusaha mengoreksi keadaan.

Setelah pertarungan sengit selesai, Samara terus berperan seolah menjadi penculiknya dengan tetap menarik tangannya. Karena dia tidak bisa membiarkan Danny sendirian. Dia tahu kalau melepaskannya, maka orang-orang dari Hybrid Company akan kembali datang untuknya.

Bukan berarti dia memilih untuk melindungi sang aktor, melainkan dia mencegah kemampuan yang dimilikinya jatuh ke tangan mereka. Mengingat Company tersebut sanggup memodifikasi kemampuan yang mereka curi, kalau sampai itu terjadi, maka seluruh dunia akan ditaklukan dalam sekejap.

“Hei! Seharusnya kau berterima kasih, kalau bukan kami yang menolongmu, pikirmu apa kau masih bisa bernafas dengan leluasa seperti sekarang ini? Lagipula kau bisa melarikan diri tadi, kenapa kau tidak melakukannya? Aku mengawasimu lho.”

Danny tertampar oleh kata-kata Samara. Apa yang diucapkannya tidak salah. Kalau bukan mereka, sekarang dia sudah berada entah di mana. “Baiklah, maafkan kata-kataku tadi. Terima kasih atas bantuan kalian. Tapi yang kukhawatirkan adalah apa yang akan muncul di berita nanti.”

Vidi tiba-tiba saja merangkul leher Danny dan membawanya masuk. “Lupakan hal itu sejenak. Sekarang biar aku yang melayanimu sebagai tuan rumah. Oh, ya. Ngomong-ngomong … maukah kau jadi adik angkatku? Soalnya kau mengingatkanku akan seseorang.” Entah angin apa, tanpa ragu-ragu Vidi menanyakan pertanyaan semacam itu.

Danny menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. “Emm, kukira teman saja sudah cukup.”

“Baiklah, teman! Tunggu! Ada sesuatu di si ….” Vidi menggunakan ibu jari kirinya dan membersihkan noda hitam di pipi kanan Danny.

Wajahnya terlalu dekat sampai Danny mampu merasakan desahan nafasnya. Terasa tidak biasa untuknya. “Kau tidak merasa ini sedikit aneh?” ucapnya pelan berusaha mendorong tangan Vidi menjauh.

“Apanya yang aneh? Bukannya teman harus harus saling membantu?” Vidi terus berusaha menyentuh pipi mulusnya. “Bagaimana kalau mandi bersama? Biar kubersihkan punggungmu.”

“A-apa barusan?”

“Mandi bersama.” Tangan Vidi mulai menarik dan melepaskan kancing teratas kemeja teman barunya.

Entah raut macam apa yang ditunjukkan Danny saat ini. Yang pasti dia seperti merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan orang baru ini. Tangannya cepat menepis jari jemari Vidi yang bergerak. “A-aku tak perlu bantuanmu!”

Astronema memerhatikan dengan seksama dari ambang pintu. Berdiri di sampingnya, Samara, bukan mulai lagi tapi sudah menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Apa yang terjadi dengan Tuanku, Nona?”

“Sesuatu yang tak akan bisa dirasakan oleh robot sepertimu. Tuanmu itu … terlena lebih jauh daripada yang kubayangkan. Kuharap dia tidak akan berbuat nekat. Seandainya terjadi pun, aku tidak sanggup menolongnya.”

Sesaat kemudian, semua mulai berpencar melakukan urusan masing-masing. Kala itu, hari sudah semakin sore. Astronema bergerak ke dapur menyelesaikan pekerjaannya, mengeluarkan beberapa bahan tambahan dari dalam kulkas mengingat mereka kedatangan seorang tamu.

Setelah bahan-bahan diolah, barulah dia mulai melakukan keahliannya. Aroma masakan mengarungi udara bagian dapur. Bau harum yang akan meracuni tiap indra penciuman manusia.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kulihat Tuan begitu bahagia,” sahut Astronema mendadak, meski tidak ada seorang pun di sana.

“Meowww,” suara si kucing berbulu keemasan—Buster—dari atas kulkas. Kucing robot ini tak pernah jauh-jauh dari Astronema, terkadang saking dekatnya, si kucing bisa bertengger di atas kepala gadis itu.

Bold hadir. Robot bulat itu melayang dekat lemari gantung. “Sesuai yang kau lihat, sensorku juga mengatakan ada suatu gejala aneh pada Tuan, tapi sistemku tidak dapat menganalisinya. Aku harap Tuan baik-baik saja.”

“Tuan akan baik-baik saja, bahkan lebih baik dari itu.” Astronema tersenyum. Belakangan, gadis robot ini bisa mulai mengerti dan merasakan perasaan manusia, walau terdengar sedikit aneh.

Samara beranjak keluar dari bilik kamar mandi di dalam kamarnya dengan berbalutkan kimono mandi. Tempat pertama yang dia tuju adalah tepat di hadapan jendela kaca besar. Dia merasa sedikit aneh. Waktu terasa berputar cepat, dan sekarang langit sudah gelap.

Di kejauhan, tampak bangunan yang kelihatan tak asing baginya. Bukan cuma satu, tapi ada banyak. Cahaya dari puncak gedung itu menembak lurus ke atas langit, hingga menghilang di balik awan, bagaikan pilar cahaya.

Mengapa gedung-gedung dari kota Lighthalzen bisa berada di sini?

Serpihan-serpihan ingatannya mulai terhubung. Sedikit demi sedikit, dia mulai mendapatkan gambaran dari mimpi semalam, kata-kata apa saja yang terdengar dari mimpi itu, beserta entitasnya, namun Samara sendiri masih tidak yakin bagaimana cara mendeskripsikan mereka.

Satu hal yang Samara yakini sekarang adalah dia berada di dalam dunia mimpi. Semua hal nyata yang terjadi tadi siang juga tak lebih dari sekedar mimpi yang bisa mendatangkan kematian. Dia tidak cemas maupun bingung, baginya ini semua terlihat seperti sebuah hiburan yang cukup menyenangkan untuk diikuti.

Jauh di kamar seberang, suara percikan air terdengar dari dalam kamar mandi. Pancuran air hangat dari shower telah menaikkan suhu di dalam ruangan, hingga cermin bulat di dalam sana jadi berembun dan tampak buram.

Air itu jatuh ke atas kepalanya, membelai setiap helai rambut hingga basah. Lalu menerjang turun menuju kelopak mata gandanya, menelusuri hidung, dan bibir yang secara alami berwarna agak kemerahan, yang merupakan salah satu daya tarik sensasional bagi para fans fanatiknya.

Benda cair itu tak berhenti sampai di sana, dia akan mengalir jatuh dari dagu menetes ke dada, melewati area perut hingga ke bawah pusar menuju bagian paling intim. Kadang melesat melalui paha dan berakhir di ujung jari kaki.

Air ini telah menyentuh keseluruhan bagian tubuh sang idola, melebihi yang diinginkan para penggemarnya dalam fantasi mereka sekalipun. Berlomba-lomba menciptakan delusi seolah Danny adalah sahabat, atau yang paling ekstrem membuat delusi dia adalah pasangan mereka. Tak jarang, fans wanitanya bahkan bermastubarsi menggunakannya sebagai sebuah subjek yang sangat menggairahkan.

Di luar pintu, Vidi mondar-mandir gelisah sambil menggosok kedua telapak tangan dan meniupnya, entah karena udara dingin atau sesuatu yang lain. Pikirannya seperti terganggu.

Pasalnya, di dalam sana ada seseorang yang seakan telah melempar batu besar ke dalam kolam ingatannya, menyebabkan lumpur kenangan di dasarnya naik kembali ke permukaan. Memori akan seseorang yang pernah singgah, tinggal bersama, dan pergi meninggalkannya pun kembali memuncah.

Danny yang asyik menikmati air hangat, memilih untuk tidak menutup tirai kamar mandi. Sebab dia sudah mengunci pintunya. Jadi orang aneh itu—Vidi—tidak akan mungkin bisa masuk walaupun dia nekat, pikirnya.

Andai saja dia bisa mengingat Vidi juga termasuk orang yang memiliki kinesis untuk mengendalikan logam, maka idenya percuma. Lalu yang terjadi berikutnya ….

“Bha!”

Danny sontak terkejut dan berbalik. Mendapati sosok pemuda aneh yang beberapa waktu lalu menawarkan menjadi saudaranya, telah berada di belakangnya.

“F*ck! Apa-apan kau? Keluar!” umpat Danny kasar.

Saat Vidi hendak melangkah mundur, kakinya tergelincir. Dalam timing singkat itu, tangannya menari-nari berusaha meraih apa yang bisa diraih. Dan satu-satunya hal yang dia raih adalah tangan Danny.

Dengan tubuhnya yang lebih berat ditambah lantai yang tidak biasanya licin, Danny ikut terjatuh dan keduanya berakhir dengan saling mengadu kepala. Terdengar bunyi yang cukup keras dari benturan tersebut.

“Shit!” umpat Danny sekali lagi. Dia berusaha berdiri, tapi Vidi dengan iseng kembali menariknya hingga terpeleset lagi dan lagi. Danny tak kepikiran lagi tentang dirinya yang tak menggunakan sehelai kain pun. Orang asing di depannya ini sudah melihat lebih dari apa yang bisa dilihat orang lain, sudah kepalang tanggung. Rasa jengkel dalam kepalanya sudah memuncak.

Berbeda dengan tuan rumah yang terlihat bahagia dari cengiran yang dia berikan walaupun dia juga basah kuyup. Peristiwa ini, sensasi ini, pernah dia rasakan di waktu yang sangat dulu sekali. Ingatannya berkata demikian.

“Brengsek! Jangan kira kau bisa lari!”

Ketika Vidi berniat untuk berdiri, Danny menjegal kakinya dan peristiwa yang sama kembali terulang berkali-kali. Sampai pada satu titik di mana ketika Vidi jatuh, tangannya secara sengaja mendarat pada sesuatu yang terasa familiar.  Objek yang juga dia miliki.

Dengan tololnya, mereka berdua mengarahkan matanya ke arah tersebut bersamaan. Sialnya, pria mesum itu—Vidi—melakukan gerakan meremas singkat sekali.

“Keparat!” Danny langsung menendang wajah Vidi dengan keras sambil melotot. “Dasar bajingan! Akan kubuat kau menyesal!”

“Kemarilah, dasar iblis kecil! Sikap kalian benar-benar mirip.”

Untuk waktu entah berapa lama, mereka habiskan saling membalas di dalam sana. Tak ada seorangpun di kediaman itu yang tahu kecuali mereka sendiri, tentang apa yang terjadi dan mereka lakukan.

Sementara di dapur, Astronema sudah selesai dengan pekerjaannya. Aroma yang menggiurkan telah menyeruak ke seluruh ruangan. Dia menyajikan masakannya ke atas meja makan persegi yang letaknya tak jauh dari dapur.

Tepat pukul tujuh malam, ketiga orang itu—Samara, Vidi, Danny—telah duduk bersama dalam satu meja. Alis Samara naik. Dia heran melihat kondisi pemuda yang dibawanya itu, kenapa babak belur begini.

Tampak memar di atas alis kanannya, di siku kirinya, dan kemungkinan masih ada di bagian yang tak tampak.

“Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” Samara bertanya. Melihat kondisi Vidi yang baik-baik saja, dia tahu pasti ada sesuatu yang terjadi.

“Dia hanya tidak terbiasa dengan lantai kamar mandi. Jadi ya beginilah. Jatuh bangun berkali-kali,” jawab Vidi enteng tanpa merasa bersalah.

Pemuda di samping meliriknya dengan tatapan mematikan. Vidi membalasnya dengan memainkan kedua alisnya sekali seolah mengisyaratkan “kau masih ingin bermain?”.

Danny jelas enggan mengatakan kejadian sebenarnya, hal itu sangatlah memalukan untuk diceritakan apalagi di hadapan seorang wanita, mau ditaruh di mana wajahnya.

Walaupun keduanya sempat bergulat di kamar mandi, entah mengapa sekarang Danny duduk di sebelah Vidi seperti anak penurut. Seolah dia kalah taruhan dan harus mematuhi perjanjian, meski alasan sebenarnya bukanlah itu.

“Ini! Makanlah yang banyak! Masakan Astronema semuanya enak-enak.” Vidi mengambilkan sayur dan daging untuk Danny. “Kau masih terlalu lemah untuk melawanku,” ucapnya pelan kembali mengingatkan.

Untuk kali ini, aktor itu tidak menolak. Dia mencicipinya. Benar. Masakannya memang sangat lezat. Dia mengunyahnya pelan, sebab rahangnya masih terasa sakit akibat benturan keras di kamar mandi. Seandainya para fans fanatik melihat apa yang sudah terjadi pada idola mereka, mungkin saja Vidi bisa dibunuh.

“Ngomong-ngomong aku masih belum tahu nama kalian.” Danny bersuara.

“Namaku Vidi. Namaku Vidi. Lalu dia, Samara Yesta.” Vidi menjawabnya dengan cepat, sampai-sampai sengaja mengulang namanya dua kali.

“Hanya Vidi?”

“Hanya Vidi.”

Sekitar jam sepuluh malam, Samara keluar dari kamarnya dan ikut duduk di ruang tengah. Lebih dari satu jam dia berselancar di dunia maya demi mencari informasi terkait dengan kejadian siang tadi, terutama yang terjadi di depan gedung itu. Namun hasilnya nihil, tidak ada yang dia dapatkan seperti kejadian itu memang tidak pernah terjadi. Pikirnya ini sangatlah aneh.

Danny terus menerus menekan tombol remote televisi guna mencari berita mengenai dirinya. Sebanyak apapun dia mengganti saluran, tetap tidak ada berita mengenainya.

“Apa yang kau lakukan itu percuma. Aku bahkan sudah mencari di dunia maya dan hasilnya sama. Tidak ada berita apapun mengenai kejadian siang tadi,” sahut Samara. Lanjutnya, “intinya mereka masih bergerak.”

“Sampai kapan aku harus tetap seperti ini?” tegas Danny kesal.

“Entahlah. Pastinya jika kau masih memberontak ingin keluar dari sini, percayalah kau akan kulempar keluar dari jendela,” ancam Samara menciutkan nyalinya. Nadanya terdengar serius. Setelah beberapa saat, dia pun kembali ke dalam biliknya untuk beristirahat.

“Aku tidur di mana?” tanya Danny lirih pada tuan rumah.

“Kau bisa menggunakan kamar tadi,” balasnya singkat tanpa menoleh, sibuk dengan ponselnya.

“Jadi kau tidur di mana? Bukankah ini aneh, tempat sebesar ini cuma memiliki dua kamar tidur. Jangan bilang kita berbagi Kasur.”

“Tenanglah sedikit! Kenapa kau kelihatan gelisah seperti itu? Aku bisa tidur di mana saja kok.”

Selepas itu, Danny melangkah cepat lalu menghilang di balik pintu. Terdengar bunyi “klik” yang jelas dari sana. Hal itu lantas membuat Vidi melepaskan tawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Percuma saja, bisiknya dalam hati.

Satu jam berlalu. Keadaan benar-benar hening. Di balik selimut hangat, Danny cukup lama berbaring menghadap ke arah kiri, mengawasi pintu di sana. Dia menutup mata, tapi beberapa saat kemudian dia mengintip lagi. Berkali-kali sampai dia telat mengintip karena rasa kantuk berat sudah menggantung di matanya.

Cukup lama dia melakukannya sampai dirasa keadaan cukup aman untuk menutup mata. Saat memutar badannya kembali ke posisi telentang, dia terperanjat sentengah mati.

“F*ck!” Danny setengah terbangun dari posisinya. “Aku hampir mati jantungan.”

Vidi telah berada di sana selama ini. Diam memerhatikannya dari belakang dengan menopangkan kepalanya pada tangan kiri. “Ei! Kuperhatikan daritadi kau terus melihat pintu itu. Kenapa? Pintu terlalu bagus ya sampai matamu tidak bisa lepas?”

“Bagaimana kau ….” Danny membatalkan pertanyaannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukannya kau tidur di luar?” Nadanya ketus.

“Heh, siapa yang bilang? Aku ingat aku bilang kalau bisa tidur di mana saja, berarti termasuk di sini.”

Danny hanya bisa mendengus kesal. Rasa kantuk tak tertahankan membuatnya malas meladeni pemuda itu. Dia berbaring memunggunginya, berharap tidak ada gangguan dari orang brengsek ini lagi. Saat ini, dia lebih membutuhkan istirahat.

“Ei!” panggil Vidi sekali. “Hei!” panggil kedua kali dan tetap tak ada jawaban. Begitu juga dengan usaha ketiganya.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di bokongnya hingga suara nyaring tercipta. Dia tetap tidak berbalik. Suaranya kecil hampir terlelap, “apalagi? Aku benar-benar ngantuk sekarang. Masih belum cukup menyiksaku?”

“Cuma ingin bilang kalau ... aku rasanya mulai horny.”

“Dasar sinting! Bisa-bisanya kau mengatakan hal itu pada orang yang baru saja kau temui. Saraf otakmu sudah tidak beres?” gumam Danny. Kesadarannya tersisa lima persen.

Tangan Vidi bergerak nakal melingkar di pingganganya. Hal itu sontak membuat Danny melempar tangannya kasar. Kesadaran kembali terisi setengah. “Tch! Bisakah tidak menggangguku semenit saja? Tolong,” decaknya.

Tanpa menghiraukan permintaannya, Vidi segera memeluknya erat. Saking eratnya hingga Danny yang kaget dan memberontak pun tak mampu melepaskan lingkaran tangannya.

“Aku jadi gila setelah bertemu denganmu. Serius! Kau mengingatkanku padanya.” Suara Vidi lirih.

“Brengsek … lepaskan!” Danny meronta-ronta, memukul-mukul tangan Vidi.

“Kenapa? Biar kuhangatkan dirimu.” Wajahnya sudah sampai di tengkuk Danny. “Matamu dan juga kelopaknya itu … hah, mirip sekali dengan adik laki-lakiku. Kau sudah membuatku teringat kembali padanya, karena itu kau harus bertanggung jawab.”

“Omong kosong macam apa ini. Peluk saja dia! Jangan aku! Aku bukan adikmu, dasar gila!”

“Dia … dia sudah meninggal lima tahun lalu. Aku ingat permintaan terakhirnya di malam itu. Dia tiba-tiba datang ke sini, lalu memintaku memeluknya,” ujar Vidi dengan nada lirih, tersirat sebuah kesedihan yang mendalam. Dia pun melepaskan pelukannya. “Aku menyesal tak bisa menyelamatkannya. Jika saja aku tahu itu adalah terakhir kalinya aku bisa memeluknya ....”

Danny mungkin merasa kesal akan kelakuannya tadi, tapi mendengar ceritanya sekarang membuat hatinya luluh, tanpa terpikirkan olehnya apakah cerita itu asli atau karangan belaka. Sejauh apapun kemampuannya mampu memengaruhi seseorang, dia sendiri masih seorang manusia biasa yang meiliki hati yang rapuh. Ada kata “maaf” yang hampir keluar dari mulutnya, namun sebelum dia berucap, Vidi melingkarkan tangannya lagi.

“Aku mengerti kesedihanmu, tapi bisa tidak kau lepaskan tanganmu. Ini terasa tidak normal dan membuatku risih.” Danny tak mampu lagi memberontak. Kesadarannya sudah mencapai akhir seolah meneguk pil tidur dalam dosis besar.

“Aku akan menjagamu kali ini, Randy,” ngigau Vidi yang terlelap lebih dulu. Secara tak sengaja, dia menyebut nama adik laki-lakinya. Entah seberapa besar rasa kehilangannya waktu itu.

“Shiiiial ...,” makinya dalam senyum kecut dan ikut tenggelam ke dalam alam bawah sadar.

Malam itu, kedua orang asing yang baru bertemu beberapa jam sebelumnya, terbuai dalam mimpi yang sama. Melihat interaksi mereka bagaikan simbiosis komensalisme, di mana Vidi seakan kembali menjumpai adiknya dalam wujud berbeda yang berada dalam pelukannya sekarang. Perasaan-perasaan yang tumbuh berkat Amokinesis ini, suatu saat bisa saja berubah menjadi sebuah cinta. Cinta yang buta.

—[][][]—


IV.     Jenderal Musim Dingin

Jam besar di ruang tengah berdentang sebanyak lima kali, menunjukkan pukul lima pagi. Suaranya membangunkan Danny dari tidurnya. Dia mendapati tubuhnya masih berada dalam jeratan tangan Vidi, namun sudah mulai melemah hingga dia sanggup menyingkirkan tangannya dengan mudah.

Istirahat selama beberapa jam cukup untuk melenyapkan segala rasa kantuk. Kini dia berada dalam kondisi sesegar-segarnya, tidak ada keinginan untuk kembali terlelap. Lekas dia berdiri, memutar-mutar leher dan badannya, lalu beranjak keluar dari kamar itu meninggalkan Vidi yang masih bermimpi.

Sosok pertama yang dia temui di luar sana adalah Astronema. Gadis itu menyapanya dengan lembut yang kemudian dibalas Danny. Tidak banyak perbincangan yang terjadi sesudahnya, selain Danny berdiri di depan jendela besar dan menatap langsung ke bawah.

Dia merasa hidupnya tak sesempurna yang orang lain bayangkan. Menjadi artis terkenal, dipuja-puja, dikejar-kejar, sama sekali bukanlah dirinya. Andai dia bisa memutar waktu, tapi itu tidak mungkin. Kadang dia bertanya pada dirinya di depan cermin, siapa sebenarnya aku?

“Mau jalan-jalan?” tawar Astronema melihatnya melamun di ujung sana, sembari menggendong kucing kesayangannya, Buster.

“Ke mana?”

“Ikut saja!”

“Meowww!”

Mereka pun meninggalkan kediaman, meninggalkan Vidi dan Samara, lalu bergerak naik ke lantai atas, tepatnya lantai lima puluh yang mana terdapat sebuah balkon besar di sana. Tempat yang cocok untuk menikmati udara segar sambil meluapkan emosi.

—[][][]—

Gunawan Swikosta tengah menanti kehadiran seseorang. Dia berdiri di luar mobil sambil menyandarkan punggungnya. Tiga orang berpakaian jas juga terlihat di dekatnya. Apa yang sebenarnya orang-orang ini ingin lakukan sepagi ini?

Sekitar sepuluh menit kemudian, muncullah mobil hitam lainnya dari kejauhan dan berhenti tepat di belakangnya dengan bunyi mendecit.

Pintu belakang terbuka. Sebuah stiletto tampak menyembul keluar dengan hak runcing, menambah kesan mematikan. Lalu disusul sosok seorang wanita berambut putih kebiruan panjang, kulitnya seputih salju, dan seragam berupa jaket yang sama seperti Gunawan namun berwarna sama dengan rambutnya, ditambah sepasang sarung tangan.

Setelah dia berdiri, barulah tampak seberapa tinggi posturnya dengan 195 sentimeter. Tanpa banyak basa-basi, dia segera melangkah ke dalam sana gedung itu, diikuti Gunawan. Saking heningnya suasana kala itu, suara ketukan stiletto-nya bisa terdengar dalam tempo tetap.

“Sa-sampai Nona Cayleen datang? Ini masalah besar,” bisik salah seorang pada rekannya.

—[][][]—

Masih dalam keadaan menutup mata, Vidi meraba-raba kasur. Dia tak mendapati sosok yang seharusnya tersentuh sekarang. Akhirnya dia pun segera tersadar, tanpa jeda langsung keluar dari kamarnya mencari sosok Danny. Tapi yang ditemuinya di luar sana malah Samara.

“Kau juga sudah bangun?” sapa Vidi menguap lebar.

Keduanya lantas dikejutkan dengan suara ketukan kecil dari arah pintu. Terdengar seperti diketuk dengan menggunakan satu jari saja. Bunyinya berulang, tiga ketukan cepat dalam satu tempo yang lama kelamaan berubah pelan.

Samara yang penasaran, mendekati lalu mengarahkan tangannya hendak memegang gagang pintu. Ketika ujung jarinya menyentuh gagang yang terbuat dari logam, dia segera menariknya kembali. Ada suatu sensasi yang membuatnya terkejut, seperti tersetrum … tidak, melainkan rasa dingin yang amat mengangetkan.

Ada sesuatu yang tidak beres, pikirnya. Otaknya memberi peringatan untuk mundur perlahan dan dia mengikutinya. Dengan perasaan was-was, Samara terus mengawasi. Dia tahu pada akhirnya mereka akan datang, namun tidak sepagi ini, saat matahari masih belum terlihat.

Seketika sebuah lapisan es tampak menyelimuti pintu. Pertama-tama menyeruak dari celah di tengah dan lubang kunci, merambat menutupi seluruh permukaan pintu kayu secara perlahan sehingga tampak mengeluarkan uap dingin.

Sebuah retakan membentang jelas, meninggalkan bunyi waspada untuk Vidi maupun Samara. Lalu retakan kedua. Tak berapa lama disusul retakan ketiga. Alhasil seluruh pintu itu pecah berkeping-keping.

Dari sana, terlihat sesosok wanita yang tingginya hampir mencapai ketinggian pintu. Dia melangkah masuk tanpa kata permisi apapun. “Serahkan dia atau kalian akan benar-benar berada dalam masalah!”

“Apa maksudmu? Merusak pintuku, lalu mengancam kami?” hardik Vidi.

“Kuyakin kau tidak sebodoh itu. Untuk apa kalian menyembunyikannya, lagipula tidak urusannya dengan kalian.” Mata birunya seolah bersinar ketika langkahnya masuk ke dalam daerah yang lebih gelap.

“Bodoh! Lihat baik-baik seragamnya!” tukas Samara. Dia tak percaya wanita di depannya itu begitu tinggi, bahkan melebihinya.

Udara dingin kian menyebar, menyebabkan satu ruangan itu sudah seperti kulkas saja. Tak jelas dari mana asalnya. Tanaman kecil penghias ruangan mulai membeku satu per satu.

“Lihat, bahkan teman wanitamu lebih pintar darimu.” Tangannya mulai bergerak, mengepal lalu melepaskannya hingga gelombang beku merayap cepat ke tempat Vidi berada.

Pemuda itu terbelalak sambil melompat ke samping. Seketika itu juga, kursi sofa di belakangnya diselimuti es. Jika dia terlambat tadi, mungkin saja dia sudah menjadi patung es sekarang.

Serangan itu juga mengalihkan perhatian Samara untuk waktu singkat. Ketika dia menoleh kembali pada musuhnya, hak stiletto yang amat runcing tengah mengarah tepat ke wajahnya.

Sontak dia menjatuhkan tubuh ke belakang, bersalto menjauh, dan kembali berdiri tegak setelah mengambil jarak beberapa meter. Matanya masih dapat melihat kaki jenjang itu lurus menghunus padanya.

Begitu kakinya kembali dihentakan ke lantai, dua jalur es seperti ular tengah merayap di permukaan lantai, masing-masing mengejar targetnya. Apapun yang menghalangi akan membeku dalam sekejap.

Vidi dan Samara memiliki pemikiran sama. Keduanya saling melompat melewati satu sama lain, membiarkan es yang mengejar mereka di bawah saling bertubrukan. Lantas terciptalah ledakan es disertai serpihan-serpihan kecilnya yang berterbangan di udara.

Belum saja Vidi menggapai lantai, wanita es tersebut tiba-tiba muncul di depannya dan memberikan hadiah kejutan. Sebelum tulang kering itu mencapai wajahnya, tangannya sempat disilangkan sehingga berhasil menahan serangan langsung tersebut. Namun dia tetap terpelanting hingga ke pojok ruangan.

Postur yang tinggi dan kaki jenjang, memberi dia keuntungan tersendiri. Jarak yang dapat diraihnya dalan satu langkah menjadi lebih besar dibanding orang lain, sehingga terkesan lebih cepat. Terbukti dari keberadaannya sekarang yang sudah mencapai lokasi Samara.

Dia belum puas jika belum berhasil menyayat si rambut hitam dengan hak runcingnya. Selain memiliki cryokinesis, dia juga ahli dalam pertarungan jarak pendek terutama memanfaatkan kakinya yang panjang.

Samara terus memberikan serangan terbaiknya, tapi selalu gagal. Monster tinggi itu lebih lincah darinya, gerakannya pun jauh lebih cepat. Sehingga jelas beberapa kali serangannya luput dari pengawasan Samara.

Benda runcing itu dengan semangat menusuk dan menyayat piyamanya sampai robek. Samara hanya bisa meringis menahan rasa sakitnya, tapi itu bukan masalah sebab dalam beberapa detik ke depan, lukanya akan kembali menutup.

Retina biru yang terus mengawasi dari balik rambut putih kebiruannya yang terus berkibar, menyadari akan hal itu. Dia segera berjongkok, menyapu area di depan dengan kaki. Alhasil, Samara terjegal sampai mencium lantai.

Melihat lawannya terjatuh, dia segera menarik kakinya, mengangkat dan melemparnya. Sungguh tenaga yang luar biasa untuk ukuran seorang wanita.

Di sudut lain, Vidi berusaha kembali berdiri. Sialnya, belum sempurna saja posisinya, tubuh Samara dengan cepat menghantam tubuhnya hingga kembali terjatuh bersamaan. Situasi seperti itu membuat otaknya sepintas mengingat kembali memori berjam-jam lalu, ketika dia dan seseorang jatuh bangun di dalam kamar mandi. Persis yang terjadi detik ini.

Tujuh buah pisau tercabut keluar dari kotak kayu penyimpanannya. Segera pisau-pisau itu melesat menghujamnya dari arah belakang. Lagi-lagi es di permukaan lantai mendadak menjulang naik, membentuk sebuah perisai es dengan ketebalan sepuluh sentimeter.

Wanita dari Company itu selamat. Pisau-pisau yang digerakan Vidi tertancap setengah ke dalam dinding es dan segera ikut membeku—bersatu—dengan perisainya.

Samara telah setengah bangkit. Di saat bersamaan, dari ambang pintu muncul sosok yang paling tidak diharapkan kedatangannya sekarang. Danny menampakan diri.

“Sialan! Di saat aku tidak berharap dia muncul, dia malah muncul,” gerutu Vidi. Dia menyaksikan Samara dengan reflek bergegas ke tempat Danny. Pikirnya wanita itu pasti ingin melindunginya.

Samara mengalungkan lengannya ke leher Danny. Keramik di bawahnya retak kecil. Dari dalam sana muncul dahan kecil yang terus tumbuh membesar dan naik, hingga tangan Samara mampu meraihnya tanpa harus berjongkok. Dia mematahkan ujungnya, lalu mengarahkan ranting tajam itu ke leher Danny.

“Maafkan aku, Danny! Sejak awal aku memang tidak berniat melindungimu, tapi aku hanya memastikan mereka tidak mendapatkan kemampuanmu,” ucap Samara menyembunyikan sebagian wajahnya di tengkuk Danny.

“Sialan! Apa yang kau lakukan, Samara?” bentak Vidi yang masih bergeming di tempatnya. Dia bingung mengapa keadaan berbalik seperti ini.

“Kau tahu apa yang akan terjadi jika mereka sampai mendapatkanmu? Bisa kutebak seluruh dunia akan bertekuk lutut dengan mudahnya. Amokinesis … memang salah satu kekuatan mengerikan di dunia ini. Jika membunuhmu adalah pilihan terbaik, maka aku harus melakukannya,” tutur Samara serius.

“Hentikan, Sam! Jika kau sampai melukainya, kau akan berurusan denganku!” Kata-kata Vidi terbukti sudah menunjukkan sejauh mana dia terpengaruh, sejauh apa kekuatan ini bisa disebut mengerikan.

“Hei, hei! Bicara apa kau ini? Apa kau serius?” pancing wanita itu memainkan rambutnya.

Dia meremehkan Samara. Wanita berambut hitam tersebut langsung melayangkan ranting tajamnya. Ujungnya sudah menyentuh permukaan kulit leher Danny. Jika bukan kehadiran tamu berikutnya, bisa dipastikan Danny sudah tewas di tangan Samara detik itu juga.

Water Gun!

Peluru air melubangi pergelangan tangan Samara dalam hitungan sepersekian detik. Kendali atas jari-jarinya hilang, akibat saraf-saraf yang putus. Segera setelah ranting itu terjatuh, sebuah tendangan kuat menghantam telak di wajahnya. Tubuhnya melayang jauh, dan jatuh di atas meja kaca di ruang tengah.

Wanita dari Company menghampiri Danny yang berada dalam genggaman Gunawan. Pemuda itu melepaskannya, membiarkan rekannya mengambil alih. Raksasa tinggi itu melingkarkan tangannya, memberikan rasa dingin mematikan yang membekukan saraf-sarafnya.

Selain Danny tahu dirinya berada di ambang bahaya, tubuhnya tak dapat digerakkan. “Si-siapa kau?” Nadanya gemetar.

“Cayleen! Orang-orang biasa memanggilku Jenderal Musim Dingin, sebab aku selalu datang membawa kabar duka yang dingin.” Dia meletakan tangannya ke kepala Danny dan bertopang dagu di sana. “Lihatlah baik-baik! Kami sudah mendapatkannya, menurutmu apa yang akan kami lakukan?”

Tidak ada jawaban. Vidi memerhatikan dengan perasaan gundah.

Cayleen sedikit menunduk, menopang di bahu kanan Danny. Kemudian melayangkan wajahnya dari sebelah kanan dan muncul di sebelah kiri, tampak mengerikan ditambah seringainya. Lalu wanita itu menjulurkan lidah, menjilat pipi kiri Danny dengan sensual. “Hmm, begitu tampan, muda, dan bergairah. Namun sayang, hati ini telah beku. Kau terlalu meremehkan kami. Kau ingin tahu apa yang akan kulakukan?” Cayleen menatap ke arah Samara. Tangan kanannya berada di kepala Danny, sedangkan tangan satunya lagi memegang dagunya.

“Tidak! Jangan! Jangan lakukan itu!” teriak Vidi setengah menangis.

Krekk!

Gunawan tersentak tak percaya. “Apa yang kau lakukan?” Ada rasa tidak setuju dengan apa yang Cayleen lakukan barusan.

“Bilang saja situasi berubah, atau lebih baik biar aku saja yang jelaskan nanti. Lebih baik, kita habisi juga mereka.”

Jiwa Vidi terasa mati, menyaksikan tubuh Danny jatuh ke lantai. Air matanya tak dapat dibendung lagi. Tak kala harus menyaksikan orang yang disayanginya pergi untuk kedua kalinya. Pikirannya kacau, emosinya tidak stabil, bahkan dia hanya meringkuk di sana sembari menangis disaat Gunawan dan Cayleen menghampirinya dengan niat buruk.

Gunawan menarik rambutnya, memaksanya untuk meyaksikan tubuh Danny yang telah tewas, lalu menariknya hingga Vidi berada di posisi berlutut dengan kepala ditarik ke belakang. Cayleen menciptakan sebilah golok yang terbuat dari es, siap untuk mengeksekusi Vidi.

“Bodoh! Sadarlah!” teriak Samara dari seberang. Puluhan beling masih menusuknya, mematikan gerakannya.

Prang!

Goloknya pecah. Mereka berdua kebingunan. Cayleen merespon dengan mencekik lehernya, menyeretnya naik dengan bertumpu pada dinding di belakang. Tubuhnya terasa berat sekali, tidak seperti korban-korban Cayleen sebelumnya, terasa sedikit janggal baginya. Kaki Vidi bahkan tidak menyentuh lantai lagi.

Saat Cayleen mencoba membekukannya, secara tak sengaja dia memancing reaksi dari Milinium di tubuh Vidi. Emosi Vidi yang tidak stabil mengakibatkan keberadaan logam itu memberontak dan menampakan wujudnya.

Cayleen dan Gunawan sontak menjauh ketika mendapati sesuatu muncul dari tubuh Vidi. Warnanya keperakan sedikit gelap, ditambah wujud yang tak pasti seperti cairan. Benda itu tiba-tiba membulat penuh, melompat-lompat ke sana ke sini.

Sedetik kemudian, Milinium Avatar melompat dan melebarkan bentuknya mirip kain hitam raksasa guna menangkap orang-orang Company. Keduanya berpencar. Gunawan menembakan peluru airnya yang tak berefek sama sekali.

Avatar kembali mengecil, setelah memantul sekali, dia tiba di depan Cayleen. Bentuk bulatnya segera mengeluarkan duri dari segala sisi. Alhasil duri-durinya hampir melukai wanita itu, namun tidak. Dengan satu gerakan cepat, Cayleen membekukan benda sialan itu dalam bongkahan es yang tebal.

Dia berhasil menahan gerakannya di dalam sana. Logam hidup itu sendiri masih bergerak, tapi dengan susah payah. Cayleen pikir, dia sudah berhasil melumpuhkan benda aneh tak karuan tersebut.

“Lihatlah dirimu! Begitu menyedihkan.” Cayleen tidak tahan melihat keadaan Vidi, ingin cepat-cepat melenyapkan tangisan dari wajahnya yang kelihatan semakin menjengkelkan.

Saat dia mendekati Samara yang hanya diam daritadi, Cayleen melemparkan beberapa tombak es guna mematikan gerakannya. Tombak yang keras itu menancap lumayan dalam, cukup untuk memastikan tidak ada gangguan selagi dia berniat menghabisi Vidi untuk ketiga kalinya.

Cayleen sudah tiba di depan Vidi. Postur tingginya selalu membuat dia menatap ke bawah, bahwa semua orang lebih rendah dan lemah darinya. Pemuda itu masih merengek, menangis seperti anak kecil yang kehilangan permen. Sementara jarum es raksasa sudah diacungkan tinggi-tinggi siap menerkamnya.

Di belakang Cayleen, Gunawan menyaksikan bagaimana mayat itu kembali berdiri dengan leher yang sudah patah. Matanya melebar semakin tak percaya ketika mayat Danny bergerak menyerang rekannya sampai terpental jauh, menghancurkan sofa yang membeku hingga pecah berderai.

Mayat Danny membetulkan posisi lehernya sampai kembali tegak. Perlahan sosok itu berubah. Ada semacam riak gelombang dari ujung kepala yang membuat wujudnya berubah menjadi sosok lain.

“Anda baik-baik saja, Tuan?” suara gadis itu—Astronema—segera menyadarkannya.

Vidi mendongakan wajahnya. Dia bingung. Berbagai makian dia teriakan pada dirinya. Bodoh, dungu, tolol. Kenapa dia tidak sadar kalau sosok Danny sebenarnya adalah Astronema yang menyamar dengan kemampuan Doppelganger. Berarti dia menangisi sesuatu yang tidak ada.

Kembali ke Samara, dia berhasil melepaskan jarum-jarum besar dari tubuhnya. Rasa sakitnya luar biasa, tak kala merasakan tiap saraf yang robek harus bergesekan dengan benda keparat itu ketika ditarik keluar. Dia meringis dan selalu meringis, sebagai pertanda dia masih hidup.

Bip! Bip!

Gelang di tangan Gunawan dan Cayleen meyala merah berkedip-kedip bersamaan. Layaknya sebuah alarm, menandakan kode merah. Itu adalah isyarat bagi mereka untuk mundur. Bukan mundur karena menyerah, melainkan kode yang memanggil semua yang bertugas kembali ke markas, dan menghentikan apa yang dilakukan saat itu juga.

Cayleen telah bangkit. Sosoknya tak bisa dipungkiri lagi bagaikan raksasa yang muncul dari tumpukan es. “Kode Merah?” Liriknya ke arah Gunawan.

Mereka bermaksud untuk segera meninggalkan lokasi, tapi Samara tahu, dia tidak berniat untuk melepaskan mereka. Keramik-keramik di lantai mulai retak. Tumbuhan-tumbuhan mulai keluar dari celah-celah retakan, tanpa menunggu lama, akar itu berupaya melilit mereka.

Meladeni Samara sama saja dengan membuang-buang waktu. Perintah adalah perintah. Begitu kode dinyalakan, secepat mungkin mereka harus kembali.

Mereka bergerak menghindar dan semakin mempercepat langkah setelah menemukan jalan keluar alternatif. Cara berpamitan yang elegan dengan melompat menghancurkan jendela kaca besar dari ketinggian ratusan meter.

Samara tetap tidak membiarkan mereka lolos walau yang mereka lakukan adalah aksi bunuh diri. Dia mengerahkan serangannya mengejar targetnya yang jatuh ke bawah. Akar itu tumbuh dengan cepat mengarah ke bawah berusaha meraih salah satu anggota tubuh mereka, tapi tidak berhasil. Sebab setelah mencapai batas tertentu, tanaman itu berhenti tumbuh.

Gunawan tidak bodoh. Mereka bukan melakukan aksi bunuh diri. Dia dapat merasakan air yang sangat banyak mengalir di dalam bangunan tersebut. Hanya dengan satu perintah, keran air dari bagian dapur dan kamar mandi apartemen Vidi meledak. Menyemburkan air dalam volume besar yang segera mengalir keluar sesuai perintah.

Tampak air yang sangat banyak meluap dari celah jendela, menerjang turun lebih cepat dibanding gunawan. Dalam sekejap saja, air telah sampai di bawah. Mereka berkumpul membentuk satu bola air raksasa. Tak lama kemudian, Gunawan serta Cayleen mendarat dengan empuk di atas permukaannya sambli sedikit memantul-mantul seperti bola karet.

Keduanya pun meluncur melalui pinggirannya dan kembali memijak tanah. Bola airnya pun perlahan terurai, mengalir masuk ke dalam drainase di sekitar.

Semuanya berakhir. Samara hanya berdiri di ujung jendela, menatap ke bawah, merasakan kencangnya tiupan angin menerbangkan rambutnya dan membuat piyamanya berkelepak. Saat dia berbalik, sesosok pemuda dengan kucing di tangannya tengah melangkah masuk ke dalam.

“A-apa yang terjadi? Kenapa jadi hutan seperti ini?” Danny yang asli tidak tahu apa-apa. Sempat terpikir bahwa dia salah masuk kamar, melihat pintu yang tidak ada, tumbuhan merajalela di mana-mana, dan sebagian lantai menjadi es.

Suasana hati Vidi berubah. Dia langsung berlari kepadanya. Syukurlah! Syukurlah kau masih hidup!, teriaknya dalam hati. Betapa lega hatinya sekarang mengetahui Danny masih dalam keadaan utuh. Memberi satu pelukan hangat mungkin bisa membuat Danny menerimanya sebagai saudara, otaknya berpikir pendek.

Adegan itu bisa saja menjadi sangat dramatis, kalau bukan saja gara-gara es dari wanita sialan itu yang menyebabkan langkah Vidi terpeleset saat sudah begitu dekat. Tubuhnya melayang, lalu menabrak dan mendorong tubuh Danny hingga jatuh bersama-sama. Sebelum tabrakan terjadi, Buster telah melompat terlebih dahulu dari tangan Danny.

Di atas lantai yang dingin, bibir kedua pemuda itu saling bertemu untuk pertama kali. Ada percikan-percikan emosi memancar dari mata. Vidi sudah bersiap untuk menerima makian yang akan dilontarkan Danny, tapi nyatanya tidak. Danny malah melingkarkan tangan ke pinggangnya, menarik lepas bajunya.

Menyadari itu, Vidi juga melakukan hal yang sama. Tanpa ragu-ragu, dia mendaratkan bibirnya sekali lagi yang diterima Danny. Hasrat yang bergariah telah menyulap lantai yang dingin menjadi kasur empuk yang hangat.

Keduanya saling bercengkrama tanoa peduli lagi keadaan sekitar maupun siapa yang ada di sana. Namun suara dari Samara segera membuyarkan lamunan-lamunan indah itu dalam sekejap. “Oi! Kau baik-baik saja?” sahutnya pada Vidi.

Yang ditanya tidak menjawab. Dia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dengan cepat.

“Heh, dilihat dari tatapanmu yang kosong, aku tahu kau lagi memikirkan yang tidak-tidak ‘kan?” Begitu selesai, Samara segera menyadari akan munculnya dua sosok di belakangnya—di luar jendela—tengah melayang.

Segera dia memunculkan sebuah sulur dan menyambar mereka. Ajaibnya kedua entitas tersebut berubah menjadi bulu-bulu angsa dan dedaunan bergenus Artemisia yang menyerbakan aroma tajam. Mereka melayang masuk, mengitari Samara lalu ke seluruh ruangan, dan berkumpul kembali.

Sosok berkepala bantal dan dewi berperlengkapan perang muncul di tengah-tengah. Ketika sang dewi—Mirabelle—tak sengaja memandangi Danny Hart, hatinya pun tak mampu melawan kuasa Amokinesis. Dia terbuai. “Ratu Huban, boleh gak kita ganti reveriernya? Aku mau yang itu?” Tunjuknya ke arah Danny.

“Eh …?” Ratu Huban juga ikut melihat ke arahnya, alhasil dia juga mengalami nasib serupa.

Tiab-tiba Vidi muncul di depan Danny, menghalanginya dari dua makhluk mesum itu. “Dia milikku! Takkan kuserahkan pada kalian!”

Sementara itu, Samara dengan entengnya melemparkan bongkahan es pada mereka. Tubuhnya kembali berabstraksi dan muncul di tempat yang sama.

“Eh, apa yang barusan?” Otak Mirabelle seperti tersetrum.

“Tidak! Tidak! Jangan menatapnya! Wajahnya berbahaya sekali,” sahut Ratu Huban cepat-cepat berpaling ke arah Samara. Lalu memunculkan seekor domba untuknya.

Yang duluan menghampiri si domba adalah Buster, kucing robot milik Vidi.

“Meow.”

“Mbekkk!”

“Meowww!”

“Mbekkk! Mbekkkk!”

“Meoowww!”

Kedua makhluk itu kelihatannya saling bertengkar dengan bahasa yang hanya mereka mengerti.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tukas Samara.

“Memberi hadiah dan menjemputmu,” balas Ratu Huban. “Domba itu hadiahnya.”

Samara mendekati domba kecilnya. “Hah, lucu sekali!”

Tak ingin berlama-lama lagi, portal tercipta dari ledakan kembang api. “Ke mana?”

“Tempat persinggahan berikutnya.” Mirabelle masuk duluan. Matanya masih mencuri-curi pandang pada Danny.

Si domba masih sibuk dengan Buster, sedangkan Samara sudah kehilangan kesabaran menunggunya. Dia mengangkat domba kecilnya, lalu melemparnya masuk ke dalam portal.

“Mbeeeekkkkkkk ….”

“Kau mau ke mana, Sam?” tanya Vidi.

“Ke tempat baru yang lebih seru kurasa. Daripada itu, kau ….” Tatap Samara ke arah Danny. “Kau harus lebih berhati-hati mulai sekarang.”

“Tenang saja! Aku yang akan menjaganya mulai sekarang.” Vidi menawarkan diri.

“Itu dia masalahnya. Kau harus mulai lebih berhati-hati padanya.” Samara memperingatkan Danny. “Aku mencium gerakan-gerakan kalau dia ingin memakanmu.”

“Heh?”

Belum saja Danny ingin menanyakan kejelasan ucapannya, Samara telah menghilang di balik portal yang bergerak menutup. Sementara Astronema sendiri melangkah pergi membersihkan kerusakan.

Dengan polos dan bodoh Danny bertanya, “Apa maksudnya kata ‘memakan’ tadi?”

“Kau serius ingin tahu? Akan kutunjukkan padamu!” Segera Vidi membopong Danny di pundaknya yang memberontak liar, membawanya masuk ke dalam kamar. Setelah mengunci pintu, dia melemparnya ke atas kasur. Dan ….

—[][][]—

15 komentar:

  1. Love is powerful. It can bring the gods to their knees.
    -Rick Riordan

    Amokinesisnya Danny jadi spotlight di sini. Jadi ngerasa kalau karakter utamanya jadi kalah pamor sama Danny :')). Samara di sini gak terlalu berasa kayak karakter utama, mungkin karena banyak dimasukan sub oc dalam cerita ini, jadi pembagiannya susah.

    Sudut pandang ceritanya juga sering lompat-lompat. Pas Samara ketemu Danny buat pertama kalinya, sudut pandang ceritanya langsung pindah ke Danny, mendadak banget seakan-akan Samara gak ada di sana.

    Karakterisasinya saya suka. Lucu juga sih liat Vidi jadi Seme gak jelas gitu ='))))) Tapi ada scene yang bikin cringe. Itu pas bagian Vidi nangis. Lalu kesan terakhir saya, entri ini jadi kayak cerita Vidi x Danny dengan Samara sebagai kambing congek #dibantai

    Untuk battlenya ok banget. Penuh aksi, narasinya juga cukup mudah dimengerti, nggak berbelit. Cuma tensinya sempat turun, jeda dari battle pertama sama yang terakhir itu agak panjang. Jadi gregetnya ilang timbul XD

    Skor akhirnya... 8.
    Oc Ulrich Schmidt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang mau ditonjolin di entri ini sebenarnya tentang Amokinesis, tapi gw sendiri ingin sesuatu yg lebih berbeda. Saking berbedanya campur bahan ini itu jadinya lbh byk porsi untuk Vidi & Danny ketimbang Samara si kambing congek itu. Scene melow itu memang sedikit memuakkan :v LOL

      Sebelum nulis aja udah sadar klw porsi OC utama bakalan kalah banyak sama sub-OC.

      Alasan jeda battle pertama dan kedua telalu panjang karena di sini gw gk mau terlalu nonjolin action sebenarnya. Nulis ini aja seolah mengkhianati genre sendiri yg padahal lbh suka action.

      Terima kasih untuk komennya~

      Hapus
  2. Typo : sudha, semala

    Settingnya lumayan well-thought, saya seneng liat kemampuan" kinesis di sini. Battle pertamanya ngelawan Gunawan yang pengendali air juga jadi ngingetin saya sama entri sendiri

    Vidi ini parah juga ya. Di awal saya kira dia semacem friend with benefit sama Samara, tapi begitu Danny muncul langsung berubah 180 derajat jadi full-fledged gay

    Btw, saya ngerasa buat itungan karakter utama, Samara cukup berasa sidelined sepanjang entri ini, minus pas battle. Entah kenapa saya ngerasa kebanyakan fokusnya di Danny dan Vidi, sementara karakter si Samara sendiri berasa kurang keeksplor. Saya harap kalo dia maju bisa lebih digali lagi

    Nilai 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Author lgi pengen coba sesuatu yang lbh berwarna kek pelangi biar gk monoton jika dibandingin entri FBC yang lalu :v wkwkwkwk
      Sebab itu juga Samara sedikit tersingkirkan, gak ada pemikiran klw ujung2nya jadi 3some #lupakan
      Mgkn selanjutnya bisa lbh keeskplor si Samara.

      Thanks atas komentarnya~~

      Hapus
  3. Vidi Noel yang sering akrab disapa Vino. Pertanyaanya adalah kenapa di cerita ini malah lebih sering memanggilnya dengan Vidi? Kalau saya boleh saran sih mending pilih salah satu dari nama Vidi atau Vino, biar pembaca tidak bingung.

    Typo menjelama

    Tapi setelah saya baca keseluruhannya saya suka,apalagi bas bagian Vidi ngegrepe-grepe Danny, itu membuatku ketawa sendiri. Entahlah saya merasa adegan itu sangat konyol. Untuk Samara, saya kira dia tokoh utamanya tapi ternyata hanya sebagai pelengkap saja, karena yang saya baca, karakter Vidi dan Danny lah yang lebih menonjol apalagi si penulis lebih mengutamakan adegan youinya.

    Karena cerita ini udah bikin saya ketawa dengan tinggkal konyol Vidi, saya kasih nilai 9.

    BalasHapus
  4. Wadooo...

    ceritanya mantep banget. Misleading besar-besaran www

    Dibanding yang di FBC, entri yang ini jadi lebih hidup.

    Tapi masalahnya, Samaranya jadi sampingan gitu www.


    Ga apa lah, plotnya udah enjoyable kok. Tulisannya kurang lebih rapi kayak yang di FBC, cuma ya itu, lebih keliatan hidup suasananya.

    Jadi titip nilai 8 deh buat Samara

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  5. weehh.. cerita cinta sejenis. /plak

    plot ceritanya bagus. mengalir halus dan mulus.. dan terasa kaya live action. tapi bener dengan komentar di atas. samara jadi karakter sampingan daripada tokoh utama. /plak

    lucu juga kalo bayangin buster sama dombanya "berantem"..

    well, nilai dari saya 8. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  6. Hwaa panjang lagi ;-;

    Ok, udah dibahas diatas-atas. Samara keliatan kayak tokoh sampingan dari pada tokoh utama.

    PoVnya sempet ganti-ganti tapi masih nyaman dibaca. Udah bagus sebenernya semuanya.

    Saya kasih nilai 8
    Raditya Chema | Zauber Magi

    BalasHapus
  7. Naga air, too late four years. /gak

    Tbh gak bisa banyak komentar karena sudah dijabarkan oleh orang-orang diatas. Pertarungannya asyik, saya yang awalnya juga pengen ngemasukin OC yang kemampuannya hampir sama kayak Samara (kemudian berubah pikiran ngemasukin harsh hammerman), harus dikembangkan.

    Dan ya, sejak Vidi keliatan seme-nya saya jadi geli sendiri, pengen ketawa tapi ketahan. /plak

    7/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  8. saya suka intrik pertarungannya. cukup seru dan menegangkan. penggamabaran actionnya lumayan cukup detail meski agak melelahkan buat saya... dragging gitu, tp saya juga sama kok :)

    hanya saja endingnya itu agak kecampur sama kemunculan domba sehingga semua pertarungan itu udah fix mutlak cuma ujian. jadi saya agak kePHPnya di situ

    7

    BalasHapus
  9. Porsinya Danny untuk memakai amokinesis besar, ya. Harus lebih hati-hati agar jangan sampai kekuatannya Danny menutupi kekuatannya Samara dalam hal porsi di cerita. Kata 'retina' seharusnya diganti 'iris' karena bagian mata yang berwarna adalah iris, bukan retina. Pikirannya Vidi (alias Vino) sudah dikuasai amokinesis Danny kayaknya. Adegan megang 'anu' memunculkan rasa berdosa yang lumayan besar (saya lagi puasa saat pertama kali membaca). Overall, sudah lumayan. Semoga lanjut.

    Nilai: 8

    SERILDA ARTEMIA

    BalasHapus
  10. di FBC aja ud mindblown, yang ini jga, gusti
    Gak bsa komentar banyak krn perlu baca ulang.
    Kayaknya lebih rapi yang ini deh dalam narasi kekuatannya?
    tapi pemeran utama dibayangi orang lain. Susahhhhh wk

    8 deh

    OC: Kaminari Hazuki

    BalasHapus
    Balasan
    1. mindblown?
      gw selaku penulis jg ragu mau nulisnya, mgkn gegara kebanyakan nonton drama saat itu, jatuhnya kek gini deh. #lupakan

      TQ dah mampir

      Hapus
  11. Baca apaan saya barusan? ._.

    Terlepas dari Danny x Vidi yang bikin saya mengernyitkan alis sendiri, Battlenya seru pun pembawaannya juga enak, lancar. Tapi saya rasanya kok malah kaya baca kisah Danny dan Vidi yang berusaha menemukan cinta daripada Samara yang berjuang menyelesaikan ujian mimpi ya?

    Porsinya kebanyakan gitu, dan adegan battlenya Samara yang malah kaya selingan.

    Nilai 8

    ~ Alexine E. Reylynn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya ini jga lgi eksperimen nulis drama tpi yg antimainstream ._.
      Karena judulnya King of Heart jadi jatuhnya ke part 3 Amokinesis, di mana keberadaan Samara hanya seperti angin berlalu di sana ._.

      Porsinya kek gini sih:
      Part 1: Vidi x Samara
      Part 2: Vidi x Samara x Danny
      Part 3: Vidi x Danny
      part 4: Vidi x Samara

      Berasa salah pilih OC ._.

      Ty dah mampir~

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.