Sabtu, 24 September 2016

[ROUND 2] 27 - OLIVE OF LA ERCILLA | A WANDERING PERFORMERS END

oleh : lordobimikel_12
--
A Wandering Performers End

[Cerita Olive dihapus dari blog atas keinginan authornya
karena dalam proses untuk dijadikan novel sendiri]
 
--

>Cerita selanjutnya : -

[ROUND 2] 26 - SONG SANG SING | YANG LALU DAN TERAKHIR KALINYA

oleh : Hinata Ummi
 
--
 
~ Prolog ~

Renggut. Mati. Nyawa. Lampau. Kini. Ubah. Janji.


***


Anyeong Song Sang Sing-shi?

Noen, gwenchananika? Niga, Andwae! Pogosipoyeo, Song-Si. Zi-shi, Anyeong? Noen, gwenchana? Zi-shi Pogosipoe. Wae, Song-shi? Wae, Zi-shi. Wae gurae?

Niga wae? Noen Wae, Song-shi? Zi-oppa wae? Wae Song-shi! Wae?

Ah, aku lupa kalian tidak mengerti bahasa Korea. Aku ingat ketika Preliminary kemarin, beberapa orang memprotes bahasa tanpa subtitel ini. Mari kita ulangi sekali lagi.

Hai, Song Sang Sing?

Apakah kamu baik-baik saja? Aku tidak! Aku merindukanmu, Song. Zi, apa kabar? kau baik-baik saja? Zi, aku merindukanmu. Kenapa Song? Kenapa Zi? Kenapa harus begini?

Kenapa aku? Kenapa harus kamu, Song? Kenapa harus Zi? Kenapa?

Song, ah tidak, Oppa, jawab aku Oppa. Jawab aku! Kenapa semuanya menjadi begini. Jawab aku Oppa! Aku, ingin Zi kembali. Aku hanya ingin kita kembali seperti sedia kala. Hanya itu, Oppa!

Ha… nya… itu…

***

Selasa, 20 September 2016

[ROUND 2] 25 - NORA | BADUT CIRQUE DI KOTA KEMATIAN

oleh : Mocha_H
 
--
 
"Badut Cirque di Kota Kematian"

Prolog

Ladang bulu kapas nan luas menjadi latar di belakang kandang domba-domba putih Ratu Huban. Dengan lahap domba-domba Huban merumputi bulu-bulu kapas di kaki mereka, tak heran bulu domba mereka seperti kapas. Mungkin rasanya seperti gulali bagi mereka? Hanya para domba yang tahu.

Di luar kandang tersebut, domba-domba lain sedang berbaris rapi, menunggu antrian untuk dimandikan. Biasanya Huban memandikan dombanya sendiri, tapi kali ini si kepala bantal dibantu oleh pembantunya, si gadis tak bernama. Sang ratu bertugas memandikan si domba, sedangkan si pembantu menggosok dan menghanduki setelah mandi.

"Sepertinya kamu ceria sekali hari ini, pembantuku," tukas Huban. "Kamu senang muncul di bagian selain Epilog?"

"E-Epilog, Ratu? S-Saya kurang mengerti," jawab gagap si pembantu.

"Anggap saja promosi! Kemarin di epilog, sekarang di prolog, besoknya kamu di cerita utamanya!" seru Huban.

Si pembantu tidak bisa merespon apapun. Ia tidak mengerti apapun yang dikatakan oleh sang ratu dan terlalu sibuk meladeni domba daripada pembicaraan dengan Huban.

"Ngomong-ngomong, kelihatannya domba-domba yang kamu sikat senang sekali," komentar Huban, menyadari domba-domba yang telah dikeringkan langsung masuk ke kandang tanpa percobaan melarikan diri.

"Oh... iya, Ratu. Saya baru tahu," tanggap si pembantu.

"Apa kamu terbiasa merawat domba? Mungkin sebelum ingatanmu hilang?" tanya Huban.

"Mungkin tidak, Ratu. Saya tidak mengingat apapun dari merawat domba," ujar si pembantu. "Tapi... saya seperti bisa merasakan perasaan para domba ketika menyikat, seperti bagian yang gatal, titik nyaman dan luka kulit, jadi saya tahu bagian mana yang harus disikat dan mana yang tidak."

"Itu..." Huban mulai berdehem pelan. "Itu mungkin kemampuanmu! [Feeling Touch], peraba peka!"

"A-Anda menyamakan saya dengan para Reverier?"

"Siapa tahu kamu seorang Reverier!" seru Huban bersemangat. "Ehm... Tapi aku tidak ingat si kurator atau aku menandai seseorang sepertimu dan aku yakin Mirabelle tidak mau melakukannya."

"Dengan kata lain, dia adalah entitas tak dikenal."

[ROUND 2] 24 - NAMOL NIHILO | TIGA

oleh : Aesop Leuvea
 
--
 
TIGA



Hansel dan Gretel


Beberapa tahun lalu

Coba perhatikan itu, gumpalan lumpur kecil berambut senja! Menjijikkan setiap hari! Gretel memaki tanpa suara. Makian yang dilandasi sepenuhnya rasa benci di sisa-sisa serpihan hatinya. Sangat intens pula, silabel per silabel dari makian tersebut, sampai-sampai bisa menyamai ibtida para pendoa yang sedang menjalankan ritus dan menganggap dunia sekelilingnya tidak ada, terhalau khusyuk.

Karena sesungguhnya, akhir-akhir ini, dalam konsep waktu yang sudah kian mengabur dan nyaris tak lagi diketahuinya, Gretel memang hanya bisa melakukan sebatas itu saja.

Dulu, gadis berambut pirang bernama Gretel ini berprofesi sebagai fotografer, yang juga hobi jalan-jalan. Gretel hidup pada belahan bumi yang berbeda di setiap akhir pekan. Ia berpetualang berdua.

Bersama Hansel, sahabat laki-lakinya yang berprofesi sebagai tunakarya, atau lebih suka disebut sebagai pujangga idealis; karena Hansel lebih senang menulis apa yang dilarang untuk dipikirkan khalayak, daripada menulis jurnal rata-rata yang membahas suhu planet, adat, tokoh penting, atau novel-novel menggugah.

Apa pun, pokoknya, jenis tulisan yang mampu mendatangkan cukup koin ke pundi-pundi, seolah Hansel hindari. Dan Gretel memilih keliling bumi bersama jenis laki-laki pembawa masalah itu—tak heran kalau mereka bahagia.

"Kita berhasil menemukannya, Gretel! Gerbang! Itu pasti jalannya! Jalan menuju beragam misteri yang baru!" seru Hansel di perjalanan terakhir mereka. Gretel masih ingat setiap kalimat bersemangat yang diutarakan sahabat baiknya itu, juga pemandangan setiap tetes darah yang merembes dari lubang di tubuh mereka. Menggantung dan menetes melalui ujung stalaktit gua terlarang di pedalaman Afrika, seperti air mata.

[ROUND 2] 23 - PUCUNG | REM 02: SATIRICAL

oleh : Wildan Hariz
 
--
 
PUCUNG – REM 02: SATIRICAL

SATIRE 1
MERGING FRAMES



Meluas. Bingkai ini meluas.

Satu hal yang diketahui Pucung sejak beberapa jam lalu ia bangun adalah munculnya tempat-tempat baru dalam Bingkai Mimpinya. Bisa diumpamakan seperti ini: seseorang telah mengganti bingkai sebuah foto dengan bingkai yang lebih besar untuk foto yang lebih besar pula. Anggap saja ukuran foto itu adalah ukuran mimpi Pucung saat ini.

        Dua sosok putih berjalan berdampingan. Pucung dan Alejandro menyusuri sebuah sungai tanpa nama, replika dari sungai di Desa Karikil. Di ujung sungai membentang hutan berkabut merah. Di sampingnya berdiri megah sebuah air terjun, tersambung dengan sungai. Mengesampingkan nuansa seram hutan berkabut, pikiran Pucung menyarankannya untuk memeriksa hutan itu. Definisi seram Pucung sedikit berbeda, lagipula.

        Begitu asing. Tak pernah Pucung temukan tempat macam ini di Buana Panca Tengah, Nyungcung, Larang—tidak di buana manapun. Kabut merah menyesakkan seakan mencumbu area itu. Tak ada yang luput darinya. Manusia pastilah akan menutup hidung dan mulut di sini. Siapa yang tahu apa efek kabut ini pada mereka?

[ROUND 2] 22 - CATHERINE BLOODSWORTH | MEMORIES

oleh : Xeon4rvellen
 
--
 

BoR 6 – R2 : Memories
Cahaya merah yang berpendar mengusir gelapnya langit malam pada garis cakrawala di ujung pandanganku. Pohon suci desa Bentala Vayu yang berdiri dengan gagahnya, kini tengah terbakar oleh semburan api dari puluhan ekor naga yang dipimpin oleh Seth.
 Para penduduk desa yang berlarian panik pun tak ketinggalan. Mereka mendapatkan peran sebagai korban santapan bagi kadal-kadal bersayap yang mematuhi perintah tuan mereka untuk menghabisi seluruh warga desa. Rangkaian kejadian itu menjadi adegan penutup dari pertunjukan lima orang Reverier wanita yang tengah menciptakan karya seni mereka untuk dipajang di aula Museum Semesta.
Dalam kekacauan itu, dua ekor domba tampak berlarian untuk menghampiri kedua tuan mereka yang kini tengah saling pandang antara satu sama lain; Seorang wanita berambut hitam dengan sebilah pisau dalam genggaman tangannya dan seorang anak perempuan berambut coklat kepang dua yang tengah jatuh terduduk.
'Catherine Bloodsworth dan Lilia Fiennes, ya?' aku membuka daftar katalog peserta di tanganku sambil memandang mereka dari kejauhan, 'Oh, dan Samara Yesta juga. Ia masih hidup rupanya.'
"Paman Nurmaaaaaaa!"
Suara teriakan yang tak asing bagiku terdengar semakin mendekat. Ratu Huban yang  melayang-layang di udara menghampiri diriku dengan pelan. Di sebelahnya, seorang wanita berambut merah yang mengenakan baju perang tampak mengikuti. Namanya Mirabelle. Sama seperti diriku, ia juga terperangkap di Museum Semesta karena ulah Sang Kehendak.
"Tidak usah berteriak begitu, telingaku masih normal."
"Hmm? Ah! Paman Nurma lagi ngintip ya? Di sini Reveriernya cewek semua!"

[ROUND 2] 21 - MARIKH | TANPA TANDING, TIADA BANDING

oleh : Coffee Energy
--
Tanpa Tanding, Tiada Banding

[Cerita Marikh dihapus atas keinginan author karena hendak dipublish di tempat lain]

___


Kisah sebelumnya Marikh dapat disimak disini:

HITAM JATUH, MERAH RUNTUH


Kisah selanjutnya dapat disimak disini:

-

[ROUND 2] 20 - JESS HUTCHERSON | MAWAR


oleh : M. Dai Kuncoro
--
Mawar



Kini, mimpiku adalah realitaku.

Kenyataanku

Senangkah aku? Sedihkah aku? Entahlah, batinku semakin susah memantapkan perkataannya. Semacam tertekan suatu entitas dengan eksistensi Maha Tinggi. Yang benar saja. Baru kemarin kurasakan ia mempermainkan raga asliku, tiba-tiba saja jiwaku mendadak direngkuhnya. Maksudku, sebelum akhirnya nalarku mengerti secuil kisahnya yang lebih dari sekedar kiamat.

[Sang Kehendak]

Aku tiba di kuil itu dalam keadaan yang seperti biasa. Tempelan fisik Jess di sebelah kananku, belaian domba seputih kertas kosong yang dikejar deadline, dan rasa khawatirku yang mereka-reka jika aku bertemu dengan-Nya. Sejenis amphiteater berisi tiga puluh dua reverier yang selamat dari pertempuran sebelumnya, dengan mimbar dan patung dewa-dewi di sekelilingnya.

Kami tak melihat [Sang Kehendak], namun kami dipertunjukkan kepada kekuasaan-Nya. Kiamat, huru-hara dunia, kehancuran yang nyata. Jess menahan nafasnya, begitupun aku yang dipaksa kondisi tubuh setengah wanita-setengah pria ini untuk berbagi rasa satu sama lain. Beberapa reverier bertanya ragu, sedangkan sisanya sudah terlampau panik. Sampai akhirnya aku tahu bahwa kami, para pemimpi, adalah mereka yang beruntung, yang terpilih, untuk menyelamatkan semestanya masing-masing.

Kurasakan kepercayaan Zainurma, juga Si Dewi Perang, yang begitu besar terhadap kami. Kepercayaan yang menantang intuisiku terhadap ronde selanjutnya.

Yang sabotasenya dilakukan Si Jubah Ungu di ujung Alam Mimpi sana.



~

[ROUND 2] 19 - GANZO RASHURA | MAGNASHIYA

oleh : Ramiza

--

AYAT 11
BUAH DARI KEKECEWAAN

"[Kurasa tuhan yang kau anggap itu bukanlah tuhan. Melainkan sesuatu yang sedang memainkan 'Permainan Tuhan']"
.
.
.

Ayat 11 Potongan 31 Kitab Suci Varsakhtisav mengenai Agama Varsakhta berbunyi;

"…Dunia akan lebih baik tanpa agama…"

Ganzo Rashura terpejam. Berduduknya ia diatas sebuah batu besar di tengah sungai yang tenang berhadapan dengan kuil sakral 'Varsaria' . Meditasinya kali ini tak lain untuk merenungi kesalahannya pada pertarungan sebelumnya serta mencerna opini seseorang yang terlampau membuatnya bimbang.

Tidak. Bukan seseorang, melainkan sebuah robot bernama Iris Lemma. 'Kurasa tuhan yang kau anggap itu bukanlah tuhan. Melainkan sesuatu yang sedang memainkan 'Permainan Tuhan'? Omong kososng, kau hanyalah sebuah robot yang di program untuk berbicara secara random' , umpatnya dalam hati.

Namun bagaimana pun juga ia tak boleh meremehkan opini mengenai 'Permainan Tuhan' yang selama ini ia berusaha pecahkan tersebut. Ia mencoba mencernanya dengan membandingkan opini tersebut dengan salah satu ayat dari Kitab Suci Varsakhtisav.

"Jika dunia lebih baik tanpa agama… Lalu mengapa ada agama Varsakhta di dunia ini? Inikah 'Permainan Tuhan'?" Tanpa sengaja ia mengeluarkan perkataan tersebut di sela – sela pejaman matanya.

"Ganzo Rashura… Kau masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal tersebut… Masih banyak 'Kenyataan' yang belum kau ketahui… Perjalanan mencari kebenaran untuk menyampaikannya pada umatmu masih lah panjang" Satu ucapan seratus suara tersebut menggema di langit – langit bingkai Mimpi Ganzo Rashura.

Tuhannya datang.

[ROUND 2] 18 - SHERAGA ASHER | SITRA ACHRA


oleh : Ahran Efendi
 
--
 

 [Perhatian: berkaitan erat dengan preliminer, dan terutama ronde satu.]
“Jangan dengarkan kilasan-kilasan itu, dan tetaplah percaya kepadaku. Kamu insan baik. Begitu luhur budi, sehingga kamu tidak pernah membalas kejahatan orang-orang yang berlaku zalim kepadamu. Tetaplah demikian selamanya.”


- 0 -
Sepanjang usianya, Orim Kohan seorang pengasih dan penyabar. Atau sekurang-kurangnya sang Okultis akan berusaha untuk menampakkan kesan demikian. Ketenangan sudah merupakan bagian dari identitasnya. Riak emosi takkan dibiarkannya bergolak. Tapi untuk kali ini, ketentuan tersebut tidak ditegakkannya.

Itu terlalu berharga bagi musuh. Orim bahkan tak perlu repot-repot mengunci mati penglihatan, sebagaimana biasa. Iris birunya menguarkan rasa jejap, pada sosok di hadapan.

Orang yang belum lama ingin membunuh Orim terikat di kursi. Kedua tangan berikut kakinya terbebat jerat magi. Api di atas ruangan mempertegas kulit si pemuda ular, yang sepasi kapas dan bersisik. Rambut perak panjangnya tergerai berantakan, masih mempertahankan bercak di beberapa bagian.

Wajahnya tidak mengesankan roman kemanusiawian; sayat dan gurat dalam bergelimpangan di sana, sebelah matanya rusak, dan sudut mulutnya tak setangkup. Dari dalam bibir pucat keriputnya, sesekali lidah kelam bercabang dua menyembul secepat kerjap. Alih-alih setengah Helev, pemuda itu—Nadav—justru lebih menyerupai manifestasi Yang Terbuang. Sebangsa Netzakh yang sempat berbagi raga dengan Orim.

Dengan babak belur di sekujur badan, Nadav malah tertawa. Satu mata safirnya yang tersisa menyorot penuh benci.

“Ssh, yang seharusnya mengakui apa pun, adalah kau,” desisnya tajam. “Kau pun, ssh, melenyapkan nyawa seseorang malam itu. Dengan iblis di dalam tubuhmu!”

Tak mengikuti momen sebelumnya, dengan mengikutsertakan Netzakh, tongkat pemukul Orim tak langsung menambah remuk si pemuda. Terutama setelah penyingkapan rupa yang baru saja terjadi.

“Kamu, kamu ini ... sebenarnya makhluk apa?” tanya Orim, dengan gentar yang mencekam. Mengernyit menahan jijik dan seberkas iba.

[ROUND 2] 17 - ODIN | DREAM 02. NIGHTMARE

oleh : Dee
 
--

Warning : Harsh Language, rasism, some scene may be not suitable for under 18 years oldOut of Character is slightly inevitable. Semua nama yang berada di dalam cerita ini hanya plesetan dari nama asli, tidak ada maksud mengejek pemilik nama tersebut.


"I don't trust anyone, after all."



Part 01. Distant Memories


Kuil Dewa-Dewi.

Tak ada karpet merah maupun ruangan emas, hanya ada gunung-gunung tinggi menjulang yang menembus awan. Tak ada lukisan-lukisan tentang penampilan mereka di dunia sebelumnya, hanya ada patung dewa-dewi yang mengingatkannya pada lukisan Olympus yang dijajakan di pasar seni di kota asalnya. Odin jelas belum pernah ke sana, bahkan dalam mimpi saja tidak, namun ia tidak pernah mempertanyakan mengapa ada pelukis yang bisa menggambarkan interior Olympus, lengkap dengan para dewa-dewi di dalamnya.

Odin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada lukisan, tidak ada dinding emas, tidak ada karpet merah, tidak ada tembikar, dan yang terpenting tidak ada 'sesuatu' di ujung ruangan yang seperti mencengkram jantungnya. Tunggu, tidak ada tembikar? Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak berhasil mencapai tempat ini? Odin cukup yakin, orang-orang yang berada di dalam tempat ini sekarang kurang lebih hanya setengah dari jumlah yang sebelumnya berada di Museum Semesta.

"Ini sebenarnya dimana, sih?"

[ROUND 2] 16 - MIA | THE NAME OF THE GOLDEN FLOWER

oleh : Meridianna
 
--

The Name of The Golden Flower


Stepping firmly on a muddy path, I wandered hollowly
The caged bird danced sheerly, to the sky with distant sun[1]


"Kalau kalian kalah di turnamen ini, bakal sial deh nasib semesta kalian." ungkap Zainurma dengan entengnya.
Orang-orang, atau makhluk-makhluk, yang berada di sekitar Mia menjadi kaget dan bertanya macam-macam pada Zainurma. Mia hanya diam menatap sosok itu di barisan paling akhir.
'Oh jadi ini turnamen? Yang kalau kalah, dunia tempatku berada hilang?'
Seharusnya Mia kaget atau kalut, akan tetapi wajahnya tetap tidak ada ekspresi yang berarti. Hanya, wajahnya terlalu tenang seperti menunjukkan kepasrahan diri. Ataukah kekosongan?
'Ah, apakah saatnya sudah datang? Akhir untukku.'
Sejak Mia lahir di dunia ini, dia dianggap sebagai anak yang terkutuk. Semua orang yang disekitarnya secara perlahan namun pasti, meninggalkan dirinya sendirian. Dia sudah tidak bisa mengingat wajah ayah dan ibunya. Hanya neneknya yang bersama dirinya. Tapi itupun sudah tidak lagi.
Lalu dia pergi dari tempat itu sambil berpikir hidupnya selama ini ternyata cukup menyenangkan dan dia tidak menyesali keputusannya.

++++

[ROUND 2] 15 - STALLA | [N]AMA

oleh : J. Fudo

--

Alam Mimpi.


Ialah rupaan semesta ide yang terbentuk dari bermiliar impian dan lamunan, perwujudan ranah penggubah angan dan cita dari pemimpi beribu jagat. Berbentuk nirstabil, Alam Mimpi tersusun dari materi acak nan abstrak akibat jumlah impian tak terbatas. Impian-impian itu lalu berkelompok, menghimpun Bingkai-Bingkai Mimpi sesuai semesta masing-masing.


Bingkai Mimpi ini bukan tanpa pemukim. Pernahkah kalian mendengar, orang yang kita saksikan dalam mimpi sesungguhnya adalah mereka yang memang pernah kita jumpai di dunia? Itulah Kayal, makhluk jelmaan yang terwujud dari kenangan pemimpi. Setiap Kayal yang tercipta, bertahan di semesta mimpi dan menjadi penghuninya.


Pun rupa, bau, rasa, warna, dan semuanya terkoleksi dalam semesta mimpi sesuai dengan apa yang diingat oleh sang pelelap.


Namun apa yang menurutmu akan terjadi jika seseorang tertidur tanpa mengingat apapun?


Apa yang berlaku ketika terselap namamu kala pejam?

[ROUND 2] 14 - WAMENODO HUANG | MEMIENTAL MIEMPI

oleh : Nibelhero
 
--
 
MEMIENTAL MIEMPI
Prolog

Keegoisan sang kehendak adalah misteri. Tidak ada yang paham apa yang sebenarnya diinginkannya sampai harus menggoncang banyak semesta dan memainkan seluruh mimpi para reverier. Kecuali satu, Zainurma.

Sebagai Kurator alam mimpi, karya-karya yang muncul selalu dinilainya. Jika ada yang tidak bagus tapi masih bisa berkembang, dia akan memaksanya agar bisa menghasilkan karya yang bagus. Jika ada yang bagus, bukan pujian yang keluar melainkan senyum aneh seakan ada yang dia sembunyikan yang dia berikan.

Mau itu rencana Zainurma ataupun kehendak dari sang Kehendak, ketidakseimbangan semesta akhirnya memicu kekesalan satu makhluk semesta mimpi. Si gembala para domba hitam, Oneiros.

Kepala berbentuk bola mata besar yang menempel pada tubuh yang hanya terdiri dari kerangka cebol dan mengenakan jubah ungu kehitaman sambil membawa tongkat yang aneh, ciri khas yang dapat mengingatkan kita pada Huban. Si kepala bantal, gembala para domba putih.

Mungkin mereka makhluk yang sama. Tapi jelas, sifat mereka berbeda.

"Aku tidak suka ini, aku benci sang kehendak."

Melihat semesta mimpi seakan diacak-acak oleh kehadiran banyak pemimpi dan buncahan mimpi yang asal menempel setelah ada pemimpi yang kalah, membuatnya tak senang.

"Kalau begini, ketimpangan akan muncul lagi. Sudah cukup."

Oneiros berbalik ke arah para domba hitamnya.

"Saatnya mengusir para kutu yang merusak keseimbangan dunia mimpi."

Ronde berikutnya dari Battle of Realms, sepertinya tidak akan berjalan mulus bagi para Reverier. Rencana sang kehendak pun sepertinya akan kacau, atau...

Mungkin ini semua sudah masuk dalam rencana sang kehendak?

***

[ROUND 2] 13 - MBAH AMUT | TIGA TITIK HITAM

oleh : Énryuumaru
 
--




Ini kisah, suatu ketika
Tanah kita, tanah Vana

Dilanda bencana, ditimpa petaka
Perang menggema, kuasa menggila

Sengsara mendera, Déwata prahara
Harapan sirna, tak bersisa

Ambang derita, keluar goa
Wujud perkasa, menjawab do'a

Nirvana untuk semua, pembebasan dari Samsara
Salam sejahtera, kepada semesta
Hikayat Tanah Vana - Lembar Hitam: Pembuka