oleh : Arieska Arief
---
Ringkasan:
"Kalau kau berhasil mencabut name taq ini dariku, maka kau boleh menggunakan nama ini." Ia lalu menunjukkan name taq di dada seragam sekolahnya.
Ghoul menghela napas. "Huft! Begitu, ya? Oke. Sebelum kita mulai, boleh aku tahu siapa nama aslimu agar aku bisa memakamkanmu kelak dengan nama itu?"
Hening. Salju yang turun seolah saling berbisik, namun tak memberi jawaban apa-apa.
Sang lawan menarik napas kemudian memperkenalkan dirinya, "Satan! Satan Raizetsu."
NAMAE NO NAI KAIBUTSU - 3
(Monster "29 Februari" Tanpa Nama – arc.3: Kagome-kagome)
(by: Arieska Arief)
*Rasakan juga sensasi genre arc. sebelumnya!!!
- prolog (FBC: entri ke-15) : genre full action yang akan membuatmu bisa merasakan serunya…
- arc. 1 (prelims: entri ke-31) : genre drama tragedi yang akan membuatmu bersimbah air mata haru…
- arc. 2 (R1: entri ke-23) : genre dark fantasy yang bisa membuatmu merinding sekaligus tegang dan menahan napas…
warming: jangan baca entri horror-thriller seksi ini tengah malam karena akan mengakibatkan insomnia, depresi pernapasan, takikardi, delirium, sianosis, paralisis, dispne… hal ini tak berlaku bagi yang vote (kidding) :p
"Kagome kagome…
Burung dalam sangkar!
Kapan kau keluar? Saat malam dini hari
Burung jenjang dan penyu tergelincir
Siapa yang ada tepat di belakangmu?"
Sekelompok anak berjumlah lima orang tampak mengitari seorang anak perempuan yang menjadi oni (iblis) di permainan Kagome-kagome itu. Permainan ini cukup popular dimainkan di Jepang sana. Anak-anak itu bernyanyi dengan riang sambil berpegangan tangan dan berjalan mengelilingi anak dalam lingkaran tersebut meski hari di taman sudah senja.
Anak perempuan di tengah lingkaran itu menutup mata dengan tangannya. Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, ia pun tampak berpikir sejenak untuk menebak siapa anak yang berada di belakangnya.
"Hm… siapa, ya? Setan! Iya, pasti Setan yang berada di belakangku!" pekiknya penuh keyakinan.
Seorang anak lelaki yang berada tepat di belakangnya tertegun sambil menelan ludah. Ia bukannya takut karena akan mengganti posisi anak perempuan tadi menjadi iblisnya, tapi…
"Benar!" seru anak-anak lainnya. Anak yang menjadi oni tadi tampak kegirangan sambil berbalik ke belakang.
Sementara itu, si anak lelaki tadi mengepalkan tangan sambil tertunduk seolah menahan amarah.
"Setan! Kamu tunggu apa lagi? Sekarang, ayo kamu berdiri di tengah menjadi iblisnya," kata anak perempuan tadi.
"Tidak. Kamu salah…"
Si anak perempuan tadi mengernyit keheranan. "Apanya yang salah? Jelas-jelasnya kan aku berhasil menebakmu dan namamu kan memang Setan!"
Anak lelaki itu menegakkan kembali kepalanya. "Tapi kamu salah mengeja namaku! Maknanya kan jadi lain! Kamu mau merusak namaku, ya?!"
"Loh, memang salahku kalau kamu diberi nama Setan? Kalau kamu risih dengan nama itu, ya udah. Ganti nama saja!" kata si anak perempuan santai. "Dan kau tak perlu menatapku seperti setan sungguhan. Lagian lidah kami kan lebih enak memanggilmu sesuai ejaan kami sendiri—Se-tan!"
"Hahaha!!!" Anak-anak yang lain kemudian tertawa menghina.
Anak lelaki itu menggeram karena namanya dijadikan olok-olok. Tanpa pikir panjang, ia kemudian mengambil batu besar di dekat ayunan, mengerahkan tenaganya untuk mengangkatnya tepat ke muka si anak perempuan tadi. Crot!
Anak perempuan tadi langsung tumbang dengan wajah berlumuran darah. Belum puas, si anak lelaki kembali menghantamkan batu itu ke wajah si anak perempuan hingga tak bergerak lagi. Si anak perempuan mengejang sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Namun si anak lelaki masih saja terus merusak wajahnya dengan batu itu. Darah memerciki wajah kelamnya yang kesetanan.
Wajah anak perempuan itu tampak semakin remuk. Darah yang tergenang sudah mengepung mereka berdua di dalam lingkaran merahnya. Tapi si anak lelaki tak berhenti juga meski wajah anak perempuan itu hancur berserakan ke dalam rongga tengkorak.
"Kita lihat saja siapa setan sebenarnya di sini! Akan kubuat wajahmu seperti setan yang sesungguhnya. Mungkin dengan begitu, kau tak berani lagi mengolok-olok namaku setelah menjadi setan."
Anak lelaki itu terengah-engah dan menghentikan hantamannya tadi. Ia kemudian berdiri menghela peluh seolah tak melakukan hal yang biadab. Dipandanginya hasil karyanya dengan senyum puas mengerikan. Wajah anak perempuan itu sekarang sudah gepeng. Isi kepalanya berserakan keluar, sebagian wajahnya runtuh ke dalam tengkoraknya sendiri. Wajah imutnya sudah tak bisa dikenali lagi seolah habis digilas ban mobil berkali-kali.
Anak lelaki itu menolehi teman-teman di belakangnya. Mereka menatapnya ketakutan sambil berdiri gemetaran.
"Apa yang kalian lakukan di sana? Ayo kita lanjutkan permainannya dan… jangan pernah salah lagi mengeja namaku!"
…
Tlep. Pemuda belia berambut hitam itu membelalakkan matanya seketika. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya yang kelabu. Terlihat warna kedua matanya yang memiliki perbedaan mencolok. Mata kirinya berwarna merah sedangkan sebelah kanannya normal.
Ia kemudian terduduk sambil terengah-engah. Keringat dingin mengalir di kening dan lehernya. Ia menelan ludah. "Mimpi! Rupanya hanya mimpi buruk saja."
Ia mengambil segelas air di meja sebelah ranjangnya kemudian meneguknya sebuas mungkin. Setelah itu, mata redupnya kemudian memandangi suasana di luar jendela kamarnya.
Ia menghela napas. "Tak mungkin kan aku melakukan hal sekeji itu. Sebaiknya aku mandi air dingin dulu lalu keluar untuk jalan-jalan."
Pemuda itu kemudian keluar kamar untuk melakukan Misologi yaitu tradisi mandi air dingin di Jepang untuk menghilangkan ketegangan. Namun ia tak menyadari seperti apa bayangan wajahnya di cermin. Tampak percikan darah menghiasi pipinya!
***
Pemuda itu melangkah gontai di sepanjang jalan. Ia menghela napas karena tak bisa melihat jelas pemandangan di kota itu akibat kabut asap yang kadang menipis dan menebal sewaktu-waktu. Sinar mentari tampak redup dari tempatnya tinggal sekarang hingga panasnya tak begitu menyengat.
Ia terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya di Tokyo—Jepang karena suatu hal. Sebuah bencana besar yang menimpa negerinya membuatnya terpaksa mengungsi ke kota ini. Ini memang hanya untuk sementara, tapi setiap kali ia memperkenalkan diri, ia harus menahan malu karena rata-rata orang di sana akan menertawakan namanya.
Ia melangkah tak tentu arah hingga tibalah ia di area tepi sebuah jurang.
"(AA), tiap tanggal 29 Februari, Ibu pasti selalu menyempatkan diri menengokmu di sini. Apa kabarmu, Nak?"
Pemuda itu berhenti melangkah dan tertegun begitu melihat seorang wanita berdiri tepat di ujung tebing. Ia was-was saja kalau sampai wanita itu berbuat yang tidak-tidak. Dari nada suaranya, wanita itu tampak begitu sedih. Begitulah ia menganalisis suasana mendung di hati wanita itu.
"Padahal seharusnya kau sudah berusia 20 tahun. Tapi kenapa kau harus berakhir di kolam air mendidih di bawah sana?"
Blup blup… suara air mendidih di bawah tebing itu memecahkan suasana.
Wanita itu mengusap air matanya. "Nama yang kuberikan padamu akan tetap abadi di hati Ibu, Nak. Meskipun kau belum sempat mengenakannya sama sekali. Aku akan selalu menyebut namamu dalam doaku agar kau tenang di sisi-Nya, (AA)."
Pemuda di belakangnya itu mengernyit, tampak serius menyimak curahan hati wanita itu.
"Ibu ingin sekali memanggilmu dengan nama itu, tapi kau keburu tiada. Ibu ingin kau mendengar panggilan ibumu ini di surga sana. Arti namamu sungguh indah. Mungkin kau memang tercipta dari abu, tapi kau bukan sembarang abu. Kau bukan abu yang dengan mudah berserakan diterbangkan oleh angin, tapi kau adalah abu yang bisa kembali mengikat dirimu sendiri menjadi utuh. Ibu ingin kau menjadi orang yang selalu berusaha dengan gigih dan pantang menyerah. Abu yang dihancurleburkan tapi bangkit lagi. Nama itu juga bisa berarti seorang pelindung yang terbuat dari abu. Tapi… arti nama itu sudah tak ada gunanya lagi karena kau harus menyerah oleh keadaan."
Wanita itu kemudian menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu. "(AA)!!!" Ia kemudian meneriakkan nama putranya itu berkali-kali.
Sementara itu, pemuda yang tak disadari kehadirannya itu tersenyum penuh makna. "(AA)? Nama yang bagus! Aku suka nama itu dan artinya. Pemilik nama itu sudah meninggal, bukan? Jadi tak ada salahnya kan kalau…"
***