oleh : Tanz
--
--
Chapter 2
I Am Between A Conflict
Detak jantung stabil, peralatan sudah steril.
Kerusakan di bagian itu cukup parah, tapi ada orang baik hati yang—
Apa ini mungkin?
Masih untung dia hanya dapat satu luka serius dari kecelakaan itu.
Tolong, jangan katakan ini padanya.
Memulai transplantasi organ.
***
"Silent love is calling faith~"
"To shatter me through your hallways~"
"Into echoes you can feel~"
"And rehearse the way you heal~"
Sudah tiga kali lagu itu terulang di mp3player milikku, tapi kami belum juga berhenti berjalan. Domba itu mulai membuatku risih, entah berapa kali dia megendus celanaku. Langit masih memancarkan medan energi berwarna toska, yang semakin lama kulihat malah semakin membuat kepalaku sakit.
Aku melepas dan kembali mengalungkan headphone-ku. "Hei, mana penjelasan yang kau janjikan itu?"
"Ah, iya." Pria itu membalik beberapa lembar bukunya, lalu mengambil secarik kertas. "Kau tidak asing dengan dua orang ini?"
Dia menunjukkan padaku gambar dua orang dengan perawakan yang terlihat tidak bersahabat. Di bagian atas kertas itu tertulis dengan huruf besar: "DICARI".
"Bajingan yang tadi mau membunuhku? Ya, itu pertanyaanku."
"Kau seharusnya mengenali mereka." Dia kembali menyimpan kertas itu. "Mereka cukup populer di duniamu, kan?"
"Omong kosong. Aku tidak tahu siapa mere—"
Nyeri hebat melanda kepalaku. Aku jatuh berlutut sambil memegangi kepala, berusaha menahan sakit. Serius, ini menyakitkan, rasanya seolah otakku baru saja dicincang tanpa setetespun anestesi.
Setelah itu, sebuah kilas balik muncul seperti slide show pada sebuah presentasi. Kedua bajingan itu kembali muncul disana, menatapku sambil berjongkok. Tapi penglihatan itu … begitu nyata, seolah-olah aku pernah benar-benar melihat mereka di depan mataku, jauh sebelum saat ini.
"K-kakak kenapa?" Bocah kepala bantal itu menghampiriku dengan panik.
Bagusnya, nyeri itu mulai hilang perlahan. "C-cuma sakit kepala …"
Jelas ada sesuatu yang janggal disini, dan juga padaku. Kilas balik itu terasa seperti sebuah … ingatan—ingatan yang entah bagaimana terpecah dan jatuh dari kepalaku, dan sekarang percahan itu terinjak kakiku.
"Apa … apa kau tahu sesuatu?" Ujarku sambil mencoba untuk bangkit.
"Sebenarnya, tidak. Semua yang ada disini terbentuk berdasarkan dirimu—semua yang kau pernah lihat, dengar, ataupun bayangkan. Singkatnya, semua berasal dari kepalamu itu."
Walaupun begitu, aku masih tidak mengerti. Terlalu banyak penjelasan malah membuatku makin bingung.
"Sudahlah. Ayo, sebentar lagi sampai."
Pria itu kembali berjalan, diikuti bocah itu. Sesuatu mendorong pantatku, yang kusadari adalah sundulan dari domba—dombaku. Isyarat untukku agar kembali melangkahkan kaki yang mulai lemas ini.
***
Medan energi itu menyudut, membentuk tembok setinggi ratusan meter.
"Nah, kita sudah sampai di ujung."
"Dan … apa artinya itu?"
"Artinya …" Pria itu membetulkan posisi kacamatanya. "Aku mengundangmu ke Museum Semesta."
"Hah?" Aku menggaruk anak rambutku yang tidak gatal.
"Disana akan dijelaskan semuanya …"
"Aku muak dengan penjelasanmu."
"… bersama para Reverier lainnya."
Reverier lainnya? "Tunggu dulu, maksudmu aku tidak sendiri? Tadi kau juga menyebutku Reverier, kan?"
"Tepat sekali. Nah, Ratu Huban …"
"Ah, iya!" Bocah itu menyahut. "Sekarang kita akan pergi ke Museum Semesta! Dan, domba, kamu jaga rumah Kakak ini ya,"
Domba itu mengembik, entah apa maksudnya.
Bocah kepala bantal itu mengayunkan tongkatnya ke tembok medan energi itu. Sekilas tampak percikan cahaya yang keluar dari ujung tongkat itu seperti confetti. Sesaat setelah itu, terbentuk sebuah lubang hitam dengan ukuran pintu standar dengan tinggi sekitar dua meter.
"Pastikan kau melewati portal ini, aku tunggu kau."
Pria itu melangkah ke dalam portal, diikuti bocah itu. Dari sini yang terlihat mereka seperti tertelan benda padat, tapi tidak hancur, atau … sulit untuk menjelaskan itu.
Aku menatap dombaku. Dia hanya diam disitu sambil menatap sekitar.
"Harus ya …" Ujarku seraya menghela napas.
Tidak terlihat rerumputan di sekitar sini, jadi aku hanya bisa berharap dia masih hidup sampai aku kembali.
Perlahan aku mendekati portal itu. Ketika kumasukkan tanganku, aku langsung teringat lemari pendingin di rumah. Entah apa yang membuatku menahan napas dan menutup mata, yang kutahu selanjutnya aku hanya berjalan memasuki portal itu.
Suhunya nyaris membuatku menggigil. Kemudian aku merasakan ada kilatan cahaya, dan berangsur-angsur menghilang. Bersamaan dengan itu, aku merasakan kehangatan yang menenangkan.
"Apa … apa sudah berhenti?"
Dengan meyakinkan diriku kalau rentetan anomali tadi sudah berakhir, perlahan aku membuka mataku. Setelah mengetahui apa yang kulihat, aku nyaris pingsan.
Aku berada di ruangan yang sangat luas, semacam aula. Maksudku, benar-benar luas. Aku yakin seseorang bisa membangun gedung olahraga disini. Suasana disini terasa sangat mewah dengan aksen keemasan dan karpet merah. Harus kuakui, aku terkesan. Setidaknya, aku jadi tahu bagaimana rasanya berada di kediaman orang kaya. Dan seperti kata orang tua berambut klimis tadi, aku tidak sendirian. Ada banyak orang disini.
"Selamat datang, Reveriers!"
Suara seorang pria yang tidak asing bagiku menggema dari kejauhan—Zainurma. Disampingnya berdiri sesosok wanita yang berkostum seperti di jaman Yunani Kuno.
"Selamat datang di Museum Semesta!" Dia membentangkan tangannya. "Tempat berbagai macam karya seni dari seluruh penjuru alam semesta disimpan!"
"Jadi," wanita itu angkat bicara. "Tujuan kalian disini adalah—"
"Hei! Ini kan … aku yang sedang bertarung? Kenapa aku ada di lukisan ini? S-siapa yang membuatnya?!"
Seseorang dari kerumunan memotong perkataan wanita itu. Dia berteriak sambil menuding salah satu lukisan di dinding.
"A-aku juga … aku ada di lukisan ini!" Seseorang yang lain juga ikut menuding lukisan yang berbeda.
Beberapa detik kemudian suasana jadi riuh. Semua orang sibuk mencari lukisan di dinding. Aku yang masih belum mengerti apa yang terjadi hanya bisa memperhatikan mereka, sampai aku berbalik, dan melihat salah satu lukisan di dinding.
Mataku hampir lepas dari rongganya. Dalam lukisan itu ada diriku yang sedang mencekik seseorang, yang kusadari adalah sniper yang sudah kuhabisi beberapa jam yang lalu.
"Ini … tidak mungkin …"
Udara membeku selama beberapa detik. Selama itu aku merasakan sesuatu mencengkram kuat badanku. Seperti ada yang berusaha memasuki kepalaku dan mengendalikan ragaku.
"Se-sebenarnya apa maksud dari semua ini?! Dan siapa kalian berdua? S-siapa mereka semua?!" Ujar seseorang panik, diikuti kepanikan yang lainnya.
Mereka menatap satu sama lain. Parahnya, aku baru sadar, bahwa semua orang yang berada disini … bukan benar-benar orang. Sebagian dari mereka terlihat normal, yang lainnya monster buruk rupa yang sulit dideskripsikan.
"Diam!" Bentak Zainurma, yang lantas membuat suasana kembali hening.
"Akan kujawab." Ujar wanita disebelahnya. "Kalian adalah Reverier—para pemimpi. Lukisan-lukisan itu adalah karya kalian, tercipta dari energi impian yang terkumpul pada pertarungan kalian di Bingkai Mimpi. Kami adalah pengurus museum ini."
Semuanya hening. Aku berusaha mencerna kata-katanya. Apakah pembantaian merupakan karya seni? Aku ragu kalau mayat punya nilai estetika.
"Tapi sayangnya," Zainurma melanjutkan. "Dari enam puluh enam karya yang terkumpul, ada lima yang—katakan saja—kualitasnya rendah."
Sekarang semuanya saling pandang. Apa maksudnya dengan kualitas rendah?
Ketika aku melihat sekeliling, ternyata memang ada lima lukisan yang terkesan suram dan dipenuhi aura gelap.
Sedetik kemudian, gempa melanda tempat ini. Lantai bergetar kuat, seluruh lukisan yang tergantung berayun-ayun, dan aku hanya bisa mempertahankan kuda-kuda.
Gempa itu perlahan berhenti setelah beberapa detik. Semua orang mencoba kembali berdiri, termasuk diriku. Rasa pusing yang kuat hampir membuatku tersungkur ke depan. Aku menatap Zainurma dan wanita disebelahnya, berharap mendapatkan jawaban. Tapi mereka malah memasang mimik wajah kasihan, seperti dipaksa menonton kekasihmu diperkosa sementara kau sudah diikat dan ditodong duluan.
"Maafkan aku," ujar sang wanita.
Gempa susulan kembali datang. Tidak sekuat yang tadi, namun cukup untuk menggerakkan perabotan. Diantara kerumunan Reveriers, terdengar suara memekik yang menyakitkan.
"Aaarrgh…!"
"Tolooong…!"
"T-tidaaak…!"
"Aaaaaaaa…!"
"Hentikaaan…!"
Mereka menjerit kesakitan seolah anus mereka baru saja dimasuki road cone. Lalu tubuh mereka mulai diliputi oleh cahaya terang, semakin terang dan semakin terang, sampai … menghilang. Jeritannya berhenti, begitu pula gempanya. Cahaya tadi mirip kilatan flashbang, membuatku harus menyipitkan mata. Samar-samar rasa panas menyelimuti badanku.
Ketika aku kembali membuka mata, semuanya terlihat syok. Orang-orang yang menjerit tadi sudah berubah menjadi tembikar dengan bentuk abstrak. Suasana kembali riuh. Kepanikan melanda mereka, tidak terkecuali aku.
"H-hei, apa-apaan itu?!" Seseorang menyahut. "Kenapa mereka bisa jadi guci tanah liat?! Kalian berdua, cepat jawab!"
Semuanya ribut. Aku dari tadi hanya bisa diam, karena aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Beberapa orang terlihat mulai kesal—mengacungkan kepalan tangan atau jari tengah pada Zainurma dan wanita disebelahnya.
Wanita itu terlihat menggenggam udara, dan tiba-tiba sebuah tombak emas muncul begitu saja. Aku bisa melihat distorsi molekul sepanjang beberapa meter di ujung tombak itu. Dengan cepat dia menyabetkan tombak itu ke arah kami.
Sring!
"Uwaaa…!"
Semuanya terpental, seperti debu di meja yang baru saja ditiup.
Bruk!
Jelas ini bukan hari keberuntunganku. Aku mendarat di tembok—tepat di punggung, lalu jatuh ke lantai. Walaupun tidak sesakit saat aku jatuh dari gedung, tapi rasa nyeri tetap terasa. Terlihat asap tipis mengepul dapi seluruh tubuhku.
"Dia … dia benar-benar kuat …" batinku, sambil berusaha bangun dan kembali berdiri.
"Sudah, cukup." Ujar Zainurma. "Huban, si Kepala Bantal yang dari tadi berdiri diam di pojok aula ini akan membawa kalian kembali ke Bingkai Mimpi. Kalian akan menetap di sana sampai mendapatkan instruksi untuk proses penciptaan karya berikutnya."
"Oi, apa maksudnya ini?!" Seorang Reverier menggeram.
"Apa kau mau menjadikan kami alat, hah?!" Sambung yang lain.
Tapi Zainurma hanya menjentikkan jari. Tembikar jelek tadi melayang-layang di udara.
"Dengar, bukan aku musuh kalian," ujarnya. "Bukan aku yang mengubah lima orang itu—dan 25 Reverier lain, sekadar informasi untuk kalian—menjadi benda seni murahan."
Hening lagi.
"Mungkin kalian tak percaya, tapi … pada dasarnya aku dan Mirabelle sama saja seperti kalian. Tak punya kebebasan lagi. Dan satu saja saran dariku, gunakan kesempatan ini untuk membuat diri kalian menjadi kuat."
Wanita itu—Mirabelle—dan Zainurma beranjak dari sana. Lalu, bocah kepala bantal itu menggantikan tempat mereka. Entah kenapa dia merasa sangat girang, sementara sebagian besar dari kami panik, marah, dan ketakutan setengah mati.
"Sekarang, saatnya kalian pulang. Domba-domba kalian bisa kesepian kalau terlalu lama ditinggal,"
Bocah itu mengayunkan tongkatnya. Kembang api mini keluar dari ujungnya. Cahaya bersinar di sekeliling tempatku berpijak, begitu juga dengan yang lain.
Aku kembali merasakan cengkraman kuat tadi. Kepalaku terasa beku, dan kupingku berdengung. Aku tidak yakin kalau bocah itu yang melakukannya … ada yang lain. Seperti … seperti … monumen itu …
***
Sesuatu yang hangat mengelus pipiku. Ketika aku membuka mata, aku nyaris terlonjak karena hidung domba itu tepat di depan wajahku. Cahaya temaram jingga bersinar dari sebuah tiang. Kesimpulanku, terkapar di tengah jalan raya bukahlah hal yang bagus.
"Halo, kawan."
Aku mencoba untuk bangun dan duduk. Punggungku masih terasa sakit. Di sekelilingku terasa sepi dan gelap. Tiang lampu jalanan adalah satu-satunya sumber cahaya. Di langit, aku masih bisa merasakan medan energi yang menutupinya, hanya saja sekarang transparan. Aku bisa melihat bintang-bintang bertaburan dibaliknya. Di sebelahku ada rumahku, yang kuingat sudah dibombardir oleh bajingan botak tadi. Tapi sekarang kondisinya persis seperti baru direnovasi.
"Ini hari yang berat, mungkin besok juga." Ujarku sambil berdiri. "Ayo, lebih baik kita pulang."
Aku melangkah menuju pintu rumah, dombaku mengikuti dari belakang. Dengan sedikit kesal, kuputar kenopnya, lalu kubuka lebar.
"Rumahku istanaku,"
Tak ada hawa hangat di dalam sini. Semuanya sepi dan sunyi. Aku langsung masuk saja. Persetan dengan pintu yang tidak ditutup, tak ada siapapun di kota mati ini. Selanjutnya, kulakukan apa yang biasanya kulakukan jika kakek tidak dirumah: menyelinap ke kamarnya.
Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur king size itu, yang entah untuk apa orang tua seperti dia punya tempat tidur yang begitu luas. Bukan tempat tidurnya saja, ukuran kamarnya juga lebih luas dari kamarku. Tapi ada satu hal yang paling kusukai dari kamar ini. Di pojok ruangan, ada satu set personal computer yang biasa digunakan kakekku untuk bekerja. Di usianya yang terbilang senja, dia selalu terlihat bersemangat. Bahkan pekerjaannya sebagai jurnalis tidak membuatnya mengeluh. Yah, walaupun kadang dia menyebalkan menurutku, dia juga seorang pekerja keras.
Dombaku menyusul memasuki kamar ini. Dia berjalan menuju sudut ruangan yang kosong, kemudian duduk disana.
"Mungkin ada sedikit hiburan,"
Aku beranjak dari tempat tidur, lalu menghampi komputer itu yang langsung kunyalakan, seraya duduk di sebuah kursi putar dengan sandaran yang lebar dan nyaman. Terpampanglah logo OS di layar monitor. Ketika kulirik dombaku, dia sudah terlelap. Dasar domba brengsek, begitu saja sudah tidur.
Setelah interface utama muncul, aku langsung membuka berkas-berkasku yang "kutitipkan" disana. Tidak terlalu banyak sih, hanya beberapa game, koleksi lagu, dan secuil video porno. Kucabut jack audio dari headphone-ku yang masih menancap di mp3player, kemudian kucolokkan ke audio port di CPU.
"Aku sudah cukup kekurangan dosis harian …"
Kupakai lagi headphone yang sedari tadi kukalungkan. Aku mendecak pelan ketika melihat ada goresan dan lecet di beberapa titik. Bagus, pikirku. Sepertinya tabunganku bakal terkuras lagi.
Aku mengklik sebuah lagu. Ketika mulai mengalun, aku bersandar di kursi dan menutup mataku, mengabaikan rasa lapar karena terlalu lelah. Mungkin nanti … sesuatu yang lebih buruk akan menimpaku.
" 君に届ける 電子音 忘れてしまう前に "
"Kimi ni todokeru denshion wasurete shimau mae ni~"
(Before I totally forget the electric sounds I'll deliver to you,)
" おぼろげな歌も 本当は きっと 歌える "
"Oboroge na uta mo hontou wa kitto utaeru~"
(The truth is, I can surely sing an indistinct song too)
" 君に届かぬ 電子音 滲ませるのは 涙 "
"Kimi ni todokanu denshion nijimaseru nowa namida~"
(What makes the electric sounds that don't reach you blur is tears)
" 手を伸ばせないまま ずっと まだ 遠い 君の元へ "
"Te wo nobasanai mama zutto mada tooi kimi no moto e~"
(Being unable to stretch out my hands, it's still a long way to where you are)
***
Aku terbangun. Sinar mentari tampak menembus jendela kamar ini. Dari luar terdengar suara ribut, lalu terdengar suara porselen yang pecah. Setelah itu aku melirik ke sudut ruangan dan … astaga.
Aku langsung mencopot headphone yang semalaman kupasang. Dengan setengah berlari aku keluar dari kamar, dan dia ada disana. Kudapati dombaku sedang mengacak-acak isi lemari pendingin. Pecahan gelas berserakan disampingnya.
"Kau," ujarku sambil berjalan ke belakangnya. "Bagaimana kau bisa membuka itu, hah?"
Dia sibuk menyantap selada. Kucoba memeluk tubuhnya, dan kutarik paksa.
"Argh," aku terus mencoba menariknya. "Kau makan apa sih sebelum ini,"
Tapi sepertinya usahaku sia-sia. Dia sudah seperti barbel satu kuintal, beratnya bukan main. Akhirnya kubiarkan saja dia makan. Lalu soal gelas pecah, aku tidak peduli. Biarkan saja disitu. Lumayan untuk dekorasi lantai yang sedikit menantang.
Aku terduduk di kursi meja makan. Ketika aku mencium aroma daging panggang, kulirik meja makan disebelahku. Dan benar saja, beberapa lembar daging panggang masih ada di piring. Dalam logikaku, harusnya makanan itu sudah dingin, atau malah jadi bau karena terlalu lama dibiarkan di udara terbuka.
Ketika kuambil selembar, hangat. Walaupun begitu, aku ragu untuk mencicipinya. Yah, kau tahu kan, tidak ada yang memindah ini ke lemari pendingin, dan … begitulah. Aku menelan keras ludah. Perutku keroncongan, dan aku terlalu malas untuk memasak.
"Aku tidak akan mati, aku tidak akan mati …"
Kumasukkan satu lembar sekaligus ke dalam mulutku. Ketika aku mulai mengunyah, aku merasakan … daging panggang. Rasa gurih yang sama seperti saat aku pertama kali menyantapnya sebelum rumah ini dihujani peluru. Mungkin, aku akan makan satu lagi … satu lagi … dan satu lagi … oh iya, satu lagi …
Akhirnya piring itu kosong. Nah, satu lagi hal aneh yang terjadi di tempat ini. Harus kucatat mungkin itu juga akan bekerja pada roti lapis, donat, atau pasta.
Tut! Tut! Tut!
Suara itu terdengar dari kamar kakekku. Aku tidak ingat pernah menyetel alarm jam digital di kamar Kakek pukul tujuh pagi. Jadi, aku pun mengecek sumber suara itu.
Ketika aku masuk ke kamarnya, suara itu ternyata berasal dari komputer. Setelah kuperiksa, ada notifikasi e-mail masuk. Aku mengklik notifikasi itu. E-mail itu dikirim dari sebuah alamat yang tidak kukenal, masuk ke kotak masuk akun kakekku.
Selamat pagi, Reveriers!
Adrian Vasilis, si Manusia Asap, kah? Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli soal itu. Aku hanya ingin menyampaikan mengenai penciptaan karya seni darimu yang selanjutnya. Kau akan dibawa ke tempat pertikaian antara polisi dan teroris. Kau tahu kan apa artinya? Bom, sandera, baku tembak, dan hal-hal semacam itu. Dombamu akan mengantarmu kesana. Terserah apapun yang akan kaulakukan disana. Yang jelas, bukan kau satu-satunya Reverier yang dikirim kesana.
Cukup itu saja, dan selamat menikmati!
Salam,
Zainurma
Terdengar suara mengembik dari luar kamar. Sebenarnya aku sangat ingin menghajar muka orang itu, tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh padanya.
… pada dasarnya aku dan Mirabelle sama saja seperti kalian. Tak punya kebebasan lagi.
Setitik kecurigaan mulai terlintas di benakku. Tapi untuk sementara, kurasa lebih baik menurut saja. Lagipula aku tidak bisa melakukan apapun, dan memberontak bukan ide yang bagus untuk saat ini.
Dombaku mengembik lagi.
"Tunggu sebentar, dasar domba bodoh,"
Segera kukalungkan lagi headphone-ku, mencabut jack-nya dari CPU dan menghubungkannya lagi ke mp3player. Setelah aku keluar kamar, domba itu kembali mengembik seolah sudah tidak sabar.
"Err … apa aku harus … menaikinya?"
Aku menatap domba itu dengan ragu. Apa benar binatang lamban ini bisa membawaku ke medan pertempuran? Dan kalau memang bisa, jika nanti dia mati … itu berarti aku tidak bisa pulang, kan?
Kuhela napas panjang. "Sebaiknya kau bisa membantuku, domba bodoh."
Perlahan kunaiki punggungnya. Rasanya sangat empuk, hanya saja …
Wush!
"Uwaaa…!"
Aku nyaris terjungkal. Domba ini berlari keluar seperti kesetanan. Kecepatannya setara dengan kuda, sepertinya. Dan untungnya, selangkanganku tidak terlalu tersakiti karena bulunya yang empuk itu.
"H-hei…!"
Kami melaju sangat cepat di jalan raya. Beberapa meter di depan, ada sebuah lubang hitam, yang lalu kusadari bahwa itu adalah portal.
"A-apa kau bisa lebih pelan…?!"
Dia malah mengembik dan menambah kecepatan. Aku hanya bisa pasrah dan berpegangan dengan memeluk badannya erat-erat. Kami semakin dekat dengan portal itu. Sepuluh meter … delapan meter … tujuh meter … lima meter … dua meter … dan …
***
"S-sudah selesai …?"
Kami berhenti. Ketika aku melihat sekeliling, kami ada di dalam sebuah koridor. Suara sirine dan beberapa kali tembakan terdengar dari luar. Segera aku turun dari dombaku, dan masuk ke ruangan disebelahku yang terbuka. Dari jendela, terlihat barikade mobil polisi yang memblokade pintu utama bangunan ini, lengkap dengan pasukan khusus bersenjata lengkap. Sementara itu dombaku mendengus dibelakangku.
"Lantai berapa ini …" batinku setelah menyadari posisiku yang lebih tinggi beberapa meter dari aspal.
Kudengar langkah kaki dari luar ruangan. Sontak aku bersembunyi di balik meja dan menarik dombaku, berharap tidak terlihat.
"Bos tidak asik,"
Suaranya terdengar mendekat.
"Hush, diamlah. Kita menuntut keadilan disini."
"Sudah sejam kita patroli, aku lapar."
Suara langkah kaki mereka melewati ruangan ini begitu saja, lalu terdengar menjauh. Kudekati ambang pintu dengan merangkak, lalu mengintip keluar. Ada dua orang becelana lorek khas tentara dan memakai rompi. Yang satu mengenakan kaos biru, satunya lagi mengenakan kaos jingga. Mereka berdua membawa senapan otomatis yang entah jenis apa, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"Baiklah, ini pasti mudah …"
Tangan kananku bersiaga di gagang belati. Perlahan, aku mengendap-endap keluar. Kudekati mereka dan mencoba untuk tidak bersuara. Jarak diantara kami cukup lebar, jadi kupercepat sedikit langkahku. Tanpa kusangka, si Kaos Jingga menolehkan kepalanya ke belakang.
"Hei!"
Mereka berdua berbalik, menggenggam erat senapan mereka yang diarahkan padaku. Tanpa pikir panjang, aku langsung mencabut belatiku dan berlari ke arah mereka.
"Heaaa!"
Kutusukkan belatiku ke arah si Kaos Jingga, namun dia berhasil menghindar. Kutarik lagi lenganku sambil kudekatkan di lehernya. Belatiku berhasil meninggalkan luka sayat di sisi lehernya, tapi itu tidak mungkin membuatnya jatuh.
Si Kaos Biru menarik pelatuk senapannya. Peluru pun telak mengenai tangan kananku, membuat belati antik itu terlontar dari tanganku. Aku mundur selangkah. Tanganku yang tadi menguap karena tertembak telah mewujud kembali.
"A-apa-apaan itu," ujar si Kaos Jingga dengan suara yang bergetar.
Terbesit sebuah ide di kepalaku. Kufokuskan pikiranku ke kedua tanganku. Dengan satu hentakan, aku melompat dan menonjok mereka berdua tepat di wajah hingga terjungkal. Perlahan-lahan, kedua tanganku mulai berubah menjadi asap, mengisi penuh rongga hidung dan mulut mereka.
Mereka menggeliat sambil terus mencoba melepaskan lenganku. Tapi percuma, tangan mereka hanya menembus lenganku begitu saja. Si Kaos Jingga menodongkan senapannya padaku. Lagi, sia-sia. Peluru hanya melewati tubuhku tanpa meninggalkan luka.
Setelah beberapa menit, mereka tidak sadarkan diri. Langsung kulepaskan tanganku yang kembali mewujud seperti semula. Bisa kulihat dada mereka masih mengembang dan mengempis. Yah, walaupun cuma pingsan, kurasa itu bisa memberiku sedikit waktu.
Aku bangun dan melangkah menyusuri koridor. Di sebelah kiri, aku melihat ada sebuah pintu lift. Di samping pintu itu, ada sebuah plat yang bertuliskan "3F". Itu berarti aku sedang berada di lantai tiga bangunan ini. Ketika kulirik indikator di atas pintu lift, tertulis disana "5F". Beberapa detik berlalu saat aku memperhatikan indikator itu, sekarang tertulis disana "4F", lalu berkurang lagi menjadi "3F". Saat itu aku baru menyadari sesuatu.
Ting!
Aku segera merapatkan punggungku dua meter di sisi tembok sebelah kiri pintu lift. Seseorang pria melangkah keluar dari sana. Dia berbadan jangkung, memiliki rambut putih pendek—padahal terlihat dari wajahnya kalau dia belum terlalu tua—dan daun telinganya … itu mengingatkanku pada ras elf di sebuah video game yang pernah kumainkan dulu. Pakaiannya biasa, hanya kemeja biru berlengan panjang, celana panjang biru gelap, dan sepasang sepatu.
Kususuri dinding perlahan, mencoba mendekatinya. Tapi sial, dia menoleh ke kiri. Aku segera melangkahkan kakiku kuat-kuat dan menyiapkan kepalan tanganku. Kulesatkan sebuah pukulan padanya dan … dia … berhasil menahannya. Dia menangkap kepalan tangan kiriku dengan mudahnya.
Aku melompat mundur, lalu memasang kuda-kuda. Dia tampak mengikuti dan menguatkan pijakannya.
"Kau tidak terlihat seperi orang baik-baik," ujarnya datar.
"Simpan kata-katamu untuk nanti, Rambut Uban."
Matanya yang kuning menyala menatapku dalam-dalam. Aku merasakan sesuatu di kepalaku, seperti … seperti seorang anak yang membongkar kotak mainan untuk mencari boneka kesayangannya.
Tangan kananku kembali bersiaga, kali ini di gagang revolverku. Dia melakukan hal yang sama persis, tapi dengan kedua tangannya. Untuk sesaat aku tidak mengerti apa yang dia lakukan, tapi melihat dia yang tidak bersenjata, aku berpikir bisa melumpuhkannya.
Dengan cepat kutarik revolverku dan kutodongkan padanya. Setelah itu, aku langsung merasa kalau dia gila. Dia meniru gerakan "mencabut pistol" itu, entah apa maksudnya
"Sepertinya tidak seimbang, ya." Katanya sambil menghela napas.
"Bisa jadi."
"Hmmm …"
Aku tidak tahu apa dia manusia apa bukan. Kalau memang dia manusia, harusnya bisa mati dengan peluru. Tapi wujud fisiknya mengatakan padaku hal yang sebaliknya. Aku mulai ragu untuk menarik pelatuk.
"Benar," ujarnya.
"Apa?"
Aku menurunkan revolverku perlahan. Dia membentuk tangannya seperti sedang menggenggam sesuatu.
"Akan kutunjukkan apa yang bisa kulakukan." Sebuah bola kecil yang besinar keunguan muncul di tengah genggamannya. Bola itu segera membesar dalam sekejap, menjadi seukuran bola tenis. "Rasakan ini!"
"Siala—"
Dia lebih cepat dariku. Bola cahaya itu mengenai dadaku dengan telak. Biasanya peluru hanya melesat menembus tubuhku. Tapi ini jelas sesuatu yang berbeda. Aku terpental beberapa meter ke belakang, kemudian jatuh terkapar. Rasa sakit yang teramat sangat melanda dadaku, napasku terasa sangat sesak. Semakin aku mencoba untuk menahan, rasanya jadi semakin sakit. Setelah itu … semuanya menghitam.
***
Ada tiga mayat disana.
Sial, siapa yang hidup?
Cuma anak kecil, bukan masalah besar buat kita.
Hutang sudah terbayar, sekarang semuanya selesai.
Kita melupakan lab-nya!
Dimana subjek itu?!
Jadi dia pendonornya? Astaga …
Kita terlambat, sial …
Sekarang tinggal masalah waktu, sampai kita mendapatkannya.
***
Aku membuka mata. Gumaman panik dan tangisan banyak orang terdengar di telingaku. Aku berada di sebuah ruangan yang sangat luas, seperti aula pertemuan. Di sekelilingku, banyak orang-orang terduduk di lantai dengan wajah khawatir. Beberapa orang yang bersenjata seperti yang kuhadapi di koridor terlihat berjaga. Dan aku sendiri … aku duduk diatas sebuah kursi di tengah ruangan, sialnya kedua tanganku terikat dengan borgol di belakang sandaran kursi.
"Selamat datang, anak muda!" Ujar seorang pria yang kemudian duduk di sebuah kursi kosong dihadapanku. Rambutnya berwarna kecoklatan, dengan brewok tebal di wajahnya. Dia terlihat agak tua dengan beberapa kerutan di dahinya.
"Apa tidurmu nyaman?" Dia memulai basa-basi. "Tak kenal maka tak sayang—aku adalah pemimpin disini. Namaku Kendrik Blaire, terserah kau mau memanggilku apa. Jadi, siapa namamu?"
Aku hanya bisa diam. Tanpa tahu siapa dan apa motifnya, dia tiba-tiba saja menanyaiku seperti itu.
"Ayolah, jangan gugup. Santai saja. Aku hanya ingin berkenalan. Sekali lagi—siapa namamu?"
"Ian." Kujawab dengan ketus.
"Baiklah, aku mengerti. Mungkin mood-mu sedang buruk. Yap, tidak masalah." Ujarnya tanpa merasa bersalah. "Apa kau bingung dengan apa yang terjadi disini? Baik, akan kujelaskan. Kami hanya ingin keadilan."
"Itu sudah terlihat jelas."
"Orang-orang seperti kami terlihat buruk dimatamu ya," dia menghela napas. "Tapi memang itu tujuan kami. Apa kau menyadari, kalau sebenarnya kita—semua orang yang ada disini—adalah korban?"
"Hah?"
"Kau ingat ini?" Dia menunjukkan sesuatu yang diambil dari meja kecil dibelakangnya. Aku pun langsung memeriksa pinggangku.
"Hei, itu punyaku!"
"Ya, memang." Ujarnya sambil menaruh kembali utility belt yang masih terpasang bersama sebuah revolver. "Tapi apa kau tahu, apa maksud diciptakannya benda yang ada di sabukmu itu?"
"Revolverku?"
"Untuk menyakiti, tentu saja!" Nadanya meninggi. "Pemerintah kita benar-benar busuk, Ian. Benar-benar busuk! Aku tidak habis pikir mengapa mereka menciptakan benda untuk melukai orang lain!"
Aku terdiam, memperhatikan.
"Mereka terus memproduksi alat pembunuh ini dan melakukan pembantaian dimana-mana, sementara orang-orang seperti kita—yang lemah dalam segala segi—terus tertindas oleh mereka!" Dia bangkit dari kursi. "Mengapa mereka tidak menggunakan uang itu untuk menyejahterakan rakyatnya daripada membuat senjata pemusnah massal?! Itu karena mereka semena-mena! Egois! Mereka tidak memperhatikan orang kecil seperti kita, Ian."
"Jadi … kesimpulannya?"
"Kita harus melawan, Ian. Tanpa perlawanan, kita akan terus diinjak-injak! Apa kau tidak muak diperlakukan seperti itu?" Jawabnya. "Bergabunglah bersama kami. Kita akan membuat dunia yang lebih baik—dunia tanpa pertumpahan darah! Rakyat kita akan makmur, dan semuanya akan damai tanpa baku tembak!"
"Lalu, kenapa anak buahmu menggunakan senjata? Tadi kau bilang produksi senjata seperti ini tidak berguna."
"Untuk menunjukkan pada orang-orang dibawah sana, Ian." Ujarnya sambil menunjuk ke arah jendela. "Mereka harus melihat kenyataannya. Senjata tidak akan membawa apapun selain luka dan merenggut nyawa! Kita akan menunjukkan itu pada mereka. Kami sudah memasang bom di beberapa titik di gedung ini. Jika meledak, semua orang disini akan mati, atau lebih buruk—bangunan ini akan runtuh dan menimpa siapapun di bawah sana!"
Astaga, pria ini benar-benar psikopat akut. Orang gila macam apa yang menginginkan perdamaian dengan melakukan pembantaian? Di kepalaku, itu semua terasa tidak relevan.
"Jangan percaya pada mulutnya,"
Suara seorang wanita dewasa menyahut dari belakangku. Saat aku menoleh, aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya membelakangiku, tapi aku bisa melihat surai cokelat tua miliknya yang dicepol tinggi, dan kutebak dia memakai setelah formal, entah dia bekerja disini atau bagaimana. Lalu kusadari, kami berdua dalam kondisi terborgol.
"Ah, kalian berdua …" Pria itu menghela napas. "Kenapa harus repot-repot melawan kami? Disini kami bukan orang jahat. Kami sedang dalam proses menuntut keadilan, dan kalian tiba-tiba muncul. Tapi sepertinya, kami juga punya bidak yang bisa diandalkan."
Pria itu menoleh ke samping kanannya. Si Rambut Uban sedang bediri, bersandar pada sebuah pilar dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Dia sudah berjasa pada kami dengan menangkap kalian. Namanya Revan. Err … sebenarnya sama seperti kalian, dia juga datang tiba-tiba."
Terdengar suara mengembik dari pojok ruangan.
"Ah, kami juga mendapat beberapa binatang ternak. Satu dari Revan, satu dari Day—wanita dibelakangmu."
"Jangan sebut namaku, dasar kau keparat!"
"Whoa, santailah Nona. Jadi, Ian, apa kau juga membawa domba? Mungkin bisa dikumpulkan saja disini?"
Ya ampun … aku meninggalkan dombaku di lantai tiga. Bagus, sekarang bagaimana aku bisa pulang.
"Tidak apa kalau memang tidak ada, lagipula aku tidak mengerti kenapa ada domba di gedung perkantoran." Dia merogoh saku rompi yang ia kenakan. Diangkatnya sebuah benda kecil seperti remote, ditengahnya ada tombol merah besar yang dilapisi pelindung akrilik. "Jika kutekan tombol ini, maka semua yang ada disini akan meledak. Jadi, lebih baik jaga sikap kalian. Atau mungkin kalian berubah pikiran?"
Pria itu menyeringai sambil menaruh lagi benda itu di saku rompinya, lalu beranjak meninggalkan kami yang terikat menuju sebuah pintu di ujung ruangan dan masuk kesana. Si Rambut Uban—Revan—menggantikan tempat pria tadi.
"Sekarang apa?" Gumamku.
"Bebaskan aku, nanti akan kukeluarkan kita dari sini." Jawab Day.
"Kau tidak lihat tanganku?"
"Coba dulu, nanti akan kuberi imbalan yang setimpal."
"Makasih."
Suara panik orang-orang masih terdengar.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Hei, kau tahu soal Reverier?"
"Jadi yang dikatakan Zainurma itu benar ya,"
Aku mengerti. "Dan sepertinya bukan cuma kita." Kutatap lekat-lekat Revan yang tengah memainkan utility belt-ku.
"Ya, aku melihatnya melontarkan bola energi atau semacamnya." Dia diam sesaat. "Dan menurutku, masih ada kemungkinan keberadaan Reverier lain disini."
"Aku masih tidak paham soal konsep Reverier itu. Apa sih maksudnya?"
"Entahlah."
Hening. Sekarang Revan menumpu dagu dengan tangan kanannya sambil menatap keluar jendela.
"Jadi, kalau si Rambut Uban itu bisa melempar bola cahaya, apa kau punya kemampuan juga?" Tanyaku penasaran.
"Bukan urusanmu, sepertinya." Beberapa detik kemudian, dia menghela napas. "Earth-bending. Manipulasi tanah dan semua turunannya. Kau?"
"Hampir sama. Tapi aku hanya bisa memanipulasi tubuhku menjadi asap."
"Oh,"
Revan menatap ke arah kami sambil menguap. "Hei, jangan mencurahkan isi hati kalian sekarang. Aku sedang mencoba menuntaskan misi disini."
Hening lagi.
"Tunggu dulu, tadi kau bilang bisa memanipulasi tubuhmu menjadi asap, kan?"
"Iya, kenapa?"
"Lalu kenapa kau tidak membebaskan dirimu dari tadi? Kalau tanganmu setipis asap bukankah borgolnya bisa dilepas dengan mudah?"
Dasar tolol. Kenapa tidak terpikirkan olehku.
"Tapi …" Ujarku. "Kau bilang kalau kau ini earthbender, kan? Bukankah biji besi ada di dalam tanah? Dan borgol itu terbuat dari apa?"
"Bukan begitu cara kerja, bocah." Jawabnya. "Lagipula, perhatikan sekitarmu."
Aku melihat sekeliling. Ada beberapa orang bersenjata yang mengawasi. Dan terutama, si Rambut Uban itu … yang ternyata sudah tertidur dengan kepala yang tergeletak di atas meja.
"Ah, ingat tawaranku soal kerjasama tadi? Kalau kita saling membantu, kita bisa keluar dengan mudah." Kami saling menoleh. Sekarang aku bisa melihat wajahnya yang dilapisi make-up dan iris cokelatnya. "Dan aku serius akan membayarmu."
"Hmmm …" Hal tentang bayaran itu, mungkin bisa kupertimbangkan. "Berapa?"
"Berhubung aku tidak bawa dompet," dia mendekatkan kepalanya dan berbisik, "akan kuganti dengan tubuhku."
"E-eh?" Aku nyaris kena serangan jantung. Dia bilang apa tadi?
"Serius?" sambungku.
"Lihat saja nanti, yang penting bantu a—kita keluar dari sini."
Aku hanya mengangguk. "Baiklah, apa rencananya?"
"Ada enam orang yang berjaga—tujuh jika dengan orang bernama Revan itu." Day menjelaskan. "Dua orang di pintu masuk utama ruangan ini, dua orang di dekat pintu ruangan yang dimasuki pria brewokan tadi, dan sisanya di sebelah kiri dan kanan kita, di dekat para sandera."
"Jadi …?"
"Kita harus menghabisi para penjaga. Yang ada disini hanya sebagian, sisanya mungkin sedang patroli."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Setelah kuhitung sampai tiga, cepat lari dan ambil senjatamu, kemudian habisi empat penjaga di depanmu. Bersamaan dengan itu, aku akan menangani dua di pintu utama—di depanku."
"Apa-apaan? Tidak adil. Kenapa aku harus menghadapi empat sekaligus?"
"Kau mau hidup atau tidak?"
Dasar wanita tua genit. "Tapi bagaimana kau membunuh orang dengan borgol ditanganmu itu?"
"Kau punya peluru cadangan?"
"Beberapa, ada di sa—tunggu, kau mau aku mengorbankan peluruku yang cuma secuil?"
"Oke, di sabukmu. Tidak akan kugunakan semuanya." Day membenarkan posisi duduknya. "Baiklah, satu … dua …"
Bruk!
Terdengar suara benda berat yang jatuh.
"Hei!"
Seorang penjaga yang sepertinya ada di pintu utama—yang sebenarnya terbuka lebar tanpa pintu—menyahut, diikuti beberapa suara tembakan peluru. Selanjutnya, suara benda berat yang jatuh kembali terdengar.
Seisi ruangan menatap ke arah pintu utama, termasuk aku dan Day, penasaran dengan apa yang terjadi disana. Tiba-tiba seorang pria tinggi berkulit eksotis masuk sambil membawa senapan otomatis yang kusadari diambil dari salah satu penjaga tadi. Penampilannya aneh menurutku, dengan bandana merah, sweater lusuh dan bawahan yang mirip pakaian tentara. Setelah itu, dia menembakkan senapan tersebut ke atas secara acak, membuat seluruh sandera tertunduk dan menjerit. Entah dia bodoh, tidak waras atau apa.
"Ian, sekarang!"
Aba-aba dari Day membuatku sedikit kaget. Buru-buru kutarik tanganku dari borgol, membuat pergelangan tanganku menguap menembus borgol itu yang langsung jatuh ke lantai.
Pria eksotis berambut hitam pendek berantakan itu terus menghujani ruangan dengan peluru. Dua penjaga tanpa sengaja terkena tembakan tepat di kepala. Sisanya membalas serangan si Pria Eksotis itu.
Di depanku Revan telah terbangun, menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Segera aku bangkit dari kursi dan berlari sekuat tenaga. Si Rambut Uban itu kembali menyiapkan bola cahaya. Saat aku berada semeter di depannya, Revan menolakkan tangannya yang berisi bola cahaya padaku. Bersamaan dengan itu, aku mengelak ke samping, menghindari serangannya. Dengan cepat aku langsung meraih utility belt yang tergeletak di meja.
"Day!" Teriakku sambil mencabut revolver.
Aku berbalik. Kulihat Day berlari keluar dengan susah payah karena heels-nya itu. Si Pria Eksotis bersembunyi di balik pilar yang terus ditembaki salah satu penjaga. Sementara penjaga lainnya melesatkan satu peluru yang langsung mengenai kaki kanan Day, membuatnya terjatuh sambil mengerang.
Aku langsung menarik hammer revolverku dan mengarahkannya ke penjaga yang tadi menembak kaki Day.
Dor!
Satu orang jatuh, tinggal satu …
Buk!
Sesuatu yang keras menghantam perutku, membuatku tersungkur dan menjatuhkan benda-benda yang kugenggam. Cairan bening keluar dari mulutku, yang membuatku sedikit lega mengetahui itu bukan darah.
Aku berusaha bangkit sambil memegangi perutku.
"Kau terlalu banyak membuat masalah, anak kecil." Ujarnya sambil mendekatiku perlahan.
Dia kembali menyiapkan bola cahaya itu di tangannya. Aku meyakinkan diriku, bahwa aku bisa bertahan. Aku tidak mau mati disini. Aku masih ingin makan roti lapis ekstra keju, aku masih ingin menyelesaikan game quest yang selalu tertunda, aku masih ingin merasakan kemaluan wanita sungguhan. Aku tidak mau mati disini.
Tiba-tiba Revan ambruk di depanku. Beberapa bagian rambut putihnya menjadi berwarna merah. Denting benda logam yang terjatuh terdengar di hadapanku—sebuah .357 Magnum … yang berlumuran darah.
"Day." Batinku.
Semua suara tembakan berhenti. Kulihat sekeliling, dan semua penjaga di dalam sudah terkapar, termasuk Revan. Si Pria Eksotis tadi berdiri di dekat tubuh penjaga yang menembakinya sambil memegang semacam tongkat, sementara Day masih terduduk lemas di dekat pintu utama dengan tangan yang masih terikat borgol.
Kuambil lagi revolver dan utility belt yang tergeletak di lantai, lalu memasangnya di pinggangku. Setelah itu kumasukkan revolver ke sarungnya. Perutku masih terasa sakit, dan sepertinya akan terus seperti itu untuk waktu yang tidak sebentar.
Terdengar suara pintu yang didobrak di belakangku. Ketika aku menoleh, Blaire berdiri disana, membawa sebuah senapan mesin. Dia mengingatkanku dengan bajingan botak yang menembaki kamarku.
"Wah, kegaduhan apa yang terjadi disini," ujarnya. "Mencoba mengacau, ya?"
Aku bangun dengan tertatih, menahan nyeri di perutku. "Oh, begitu."
"Jangan membuatku marah, bocah kecil."
Blaire menodongkan senapannya ke arahku. Sesaat kemudian, tiba-tiba suara langkah kaki orang banyak terdengar dari luar.
"Mereka disini." Ucap si Pria Eksotis.
Dalam sekejap, sepasukan bersenjata lengkap memasuki ruangan. Menyadari itu, aku langsung berlari menubruk Blaire dan meraba rompinya. Setelah mendapat apa yang kucari, aku bergegas menuju pintu utama. Saat mereka mulai mengepung, aku melewati barikade mereka begitu saja.
"Hei!" Seru salah satu orang dari pasukan. "Kejar anak itu!"
Aku berlari keluar dari ruangan itu, lalu mengambil jalur kiri, meninggalkan semua orang disana. Terdengar langkah kaki cepat di belakangku. Di ujung koridor, ada gumpalan putih yang mengembik padaku.
"Domba!"
Dia berdiri diam disana. Mulutnya menggigit sebuah benda yang familiar bagiku. Benar saja, ketika kulirik utility belt di pinggangku, belatinya tidak ada disana. Satu lagi ketololanku yang terlalu parah. Mungkin setelah ini aku akan mampir ke dokter spesialis otak.
Aku mulai lelah, dan dombaku masih beberapa meter di depanku. Apa dia terlalu bodoh untuk berlari saja ke arahku? Sementara itu, suara langkah kaki di belakangku berhenti. Beberapa detik berlalu, tembakan proyektil diarahkan padaku.
Untuk sejenak aku khawatir jika peluru itu sampai mengenai dombaku. Tapi dugaanku keliru. Ketika peluru-peluru itu menembus badanku dan mengenai dombaku, badannya langsung memudar menjadi gumpalan awan putih. Seketika itu juga, tubuhnya kembali mewujud seperti semula. Sangat mirip denganku.
Saat aku berlari, lift di sebelah kananku berbunyi dan terbuka. Sekilas kulihat sosok lelaki ketika melewatinya; berambut ikal, mengenakan pakaian kemeja hitam dengan v-neck putih dan celana jins. Namun aku terlalu panik untuk terus memperhatikan dan melewatinya saja. Dengan cepat aku langsung menunggangi dombaku.
"Kita keluar, cepat!"
Dombaku langsung mengembik. Dia berlari kencang ke dalam sebuah ruangan, lalu melompati meja dan …
"Domba sialaaan!" Ujarku sambil merapatkan badanku dan menguatkan peganganku.
Prang!
Satu lagi hal gila yang kulakukan hari ini: memecahkan jendela kantor dan terjun dari ketinggian puluhan meter sambil bertaruh aku masih bernyawa ketika sampai di bawah.
"Aaaaaaaaaa!"
Kupeluk dombaku erat-erat. Sekarang aku paham kenapa jatuh dari sebuah "popularitas" itu rasanya tidak enak. Jantungku nyaris copot, dan semburan anginnya terasa seperti puluhan mesin blower yang dijadikan satu. Badanku juga terasa beku. Tapi domba ini … entah kenapa rasanya nyaman dan hangat. Perasaan tidak enak itu pun lama-lama menghilang. Namun itu berlangsung tidak lama.
Kami mendarat dengan keras di depan pintu masuk gedung. Aku bisa mendengar suara blok paving yang retak dibawah. Tapi bukan cuma itu, tulang-tulangku juga serasa rontok. Ini jauh lebih parah daripada jatuh setelah menghabisi sniper waktu itu.
Aku berusaha untuk duduk tegap dan mencoba untuk tidak terlihat aneh. Di depanku ada banyak anggota polisi yang bersiaga. Para warga ramai melihat dari jauh, dibelakang batas aman. Awak media juga bertebaran disana. Kameramen dan beberapa reporter hadir untuk melaporkan kejadian disini.
"Hei yang disana," seru seorang polisi dengan pengeras suara. "Sebaiknya kau menjauh kalau tidak mau terluka. Atau kau salah satu dari komplotan teroris itu?"
Semua anggota polisi mulai mengarahkan senjatanya padaku.
"T-tunggu!"
Aku melangkah turun dari domba dengan susah payah. Entah kenapa sepertinya sendi-sendiku jadi kaku untuk digerakkan.
"Aku bukan musuh kalian," kataku. "Lagipula, aku berhasil merebut ini!"
Aku mengangkat tinggi-tinggi benda yang kuambil dari Blaire. Para polisi memasang ekspresi terkejut.
"Bagus, nak. Tapi benda itu cukup berbahaya, jadi berikan pada kami dengan hati-hati. Opsir, jemput dia." Balasnya.
Salah satu anggota polisi pun menyimpan kembali senjatanya, lalu bergegas mendatangiku.
"Nak," ujarnya saat berada di depanku. "Tolong berikan benda itu."
Dia mengulurkan tangan.
Satu detik … dua detik … tiga detik …
"Tidak hari ini."
Duar!
Ledakan dahsyat terjadi ketika aku menekan tombol di remote yang sudah kubuka pelindung akriliknya, menyinari tempat itu dengan warna jingga kemerahan selama beberapa detik. Semua orang disana merunduk, kecuali aku.
Aku baru saja membantai seisi gedung.
Dalam diriku, aku tidak mengerti. Aku tidak merasakan apapun. Menghancurkan gedung dan isinya itu tidak membuatku senang, sedih, marah ataupun menyesal. Dan pertanyaan terbesarku adalah, apa motivasiku melakukan ini? Aku tidak menginginkan ini, jadi kenapa aku melakukannya? Tapi kepalaku meneriakkan sesuatu yang membuatku harus melakukannya. Ya, aku harus melakukannya. Ini hal yang benar, untuk kebaikan semuanya.
Tidak! Ini salah, benar-benar salah. Mereka hanya karyawan yang tidak tahu apa-apa, kenapa aku harus menghabisi mereka? Karena mereka tidak berguna! Ini yang terbaik, dan tidak akan ada yang menghentikannya. Tapi tentu saja ada! Polisi itu, dan pasukan bersenjata, mereka datang untuk menyelamatkan! Dan mereka menyelamatkan orang lain yang tak ada hubungannya dengan kehidupan mereka, kenapa harus repot-repot? Tapi Day, si Pria Eksotis, para pasukan bersenjata, dan orang-orang yang lain ada disana!
Ini salah!
Ini benar!
Ini—
***
Hei …
Tidak perlu khawatir …
Ini hanya mimpi buruk …
Seperti yang pernah kualami …
Jangan takut …
Tenanglah, karena mereka tidak bersamamu …
Tak ada yang bisa kau percaya …
Mereka membencimu …
Kau kiamat bagi mereka …
Kau pembawa duka dan kematian …
Tanpa arah dan tak punya impian …
Kau adalah—
***
"Aku ini … monster …?"
Semuanya menghilang. Para polisi, warga, ledakan tadi …
Lututku terasa lemas. Aku terjatuh dengan bertumpu pada dombaku. Apa … apa benar aku seburuk itu? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dan suara tadi … suara seorang gadis … terasa tidak asing bagiku. Tapi aku tidak bisa mengingatnya.
Kesunyian menyelimuti tempat ini. Mereka membenciku. Aku pembawa duka … dan kematian. Ini cuma mimpi buruk …
Dombaku mengembik. Lalu secara ajaib sebuah portal muncul di depan kami. Entah menuju kemana portal itu, aku tidak peduli. Aku terlalu lelah dan kepalaku pening. Seperti biasa, ada satu obat yang—tidak menyembuhkan—tapi bisa membuatku merasa lebih baik. Jadi kupakai lagi headphone-ku, dan kutekan tombol play pada mp3player.
"I'm lost and I'm wounded~"
"I've had enough~"
"I'm lying on my deathbed~"
"I'm giving up~"[]
Chapter 2 – End
============================================================
>> "Find You" – Zedd ft. Matthew Koma, Miriam Bryant
>> " エレクトロサチュレイタ(Electro Saturator)" – tilt-six ft. Hatsune Miku
>> "Vanish" – Apol & TheoMartel ft. GUMI
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 12 - ADRIAN VASILIS | I AM CURSED
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 02 - ADRIAN VASILIS | I AM BLESSED WITH HER FLOWER
Sebenarnya waktu awal saya tertarik. Narasi sampean terasa oke, sesuai selera saya. Tapi ternyata penyajian ceritanya justru bermasalah.
BalasHapusSaya rasa sampean menyajikan panjang-panjang bagian yang seharusnya nggak perlu diulang lagi di dalam ceritanya, yakni intro prelim. Sebaliknya, bagian utamanya terasa berlalu terlalu cepat, tidak meninggalkan kesan apa-apa. Jadi intinya, saya merasa cerita ini panjang di bagian yang tidak perlu panjang, dan justru singkat di bagian yang tak seharusnya singkat.
Nilai pertama yang terbayang di kepala saya adalah 6.5. Saya genapkan jadi 7.
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Oa ... saya setuju sama Kak Fachrul soal penyajiannya yg kurang enak. Bagian awalnya detail tapi makin ke belakang makin ringkas-ringkas dan serba tiba-tiba. Itu keluhan utamanya sih, emang. Tapi kalau secara bahasa sih asik ya diikuti. Terus itu konflik batin yg menekan tombol, kok kayak ujug-ujug juga? Kayak kesannya agak diada-adain. Yah mungkin berhubungan dgn prelim (yg tidak saya baca atau pernah saya baca tapi lupa ceritanya), atau berhubungan dgn cerita mendatang. Tapi tetap aja kalau diniatkan sbg drama, itu rasanya kurang pengolahan.
BalasHapusJadinya ya ... saya titip 7.
-Sheraga Asher
25% museum semesta
BalasHapus25% lagi di rumah, denger musik, makan dll
Kedua bagian itu gw rasa terlalu panjang.
50% sisanya baru konflik yang lsg bak bik buk begitu mulai, pembangunan konfliknya terasa kurang.
Secara keseluruhan, narasi dah bagus.
Ada bbrp bagian yg gk konsisten tanda bacanya. Seperti:
"Mereka di sini," ujarnya.
"Mereka di sini." Ujarnya.
Seharusnya yg bener yg pertama. Hampir semuanya salah, tapi ada yg bener 1, mgkn lebih.
7
Samara Yesta~
stuju sama atas2. saya pikir critanya udah mulai dan mau nglakuin misi tapi ternyata baru mau diundang di museum semesta. saya rasa bagian tersebut tidak perlu dijelaskan secara mendetail karena sudah ada di pengantar panitia.
BalasHapuspembukaannya berasa tokyo ghoul. jd krn transplantasi akhirnya adrian sendiri punya kepribadian ganda.
8
Waduh, sayang sekali.
BalasHapusPadahal saya suka narasinya, tapi pembagian adegan ama fokus karakternya yang salah sasaran.
Awalnya yang terlalu panjang, padahal bisa diringkas, dan dipotong beberapa bagian biar jadi misterius gitu.
Sementara fokus karakternya sendiri, sebenernya lebih tepat kalau dibilang kurang jelas dan terlalu terburu-buru. Jadi kadang sayanya agak bingung sama adegan yang ada.
Overall, cukup lah, tapi ya itu, saya sangat menyayangkan pembagian porsi cerita yang salah, mengingatkan kesalahan saya pas di prelim BoR yang ke-5 ;v;
Maaf entrinya saya beri nilai 7, karena porsi ceritanya cukup berpengaruh pada kenikmatan membaca, meski narasinya udah wah. ;v;
Salam sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : C
Overall character usage : D
Writing techs : C
Engaging battle : D
Reading enjoyment : C
Hmm, entahlah. Saya baca lumayan cepet setengah bagian awal cerita, dan kaget sendiri pas sadar 'lho, ini udah setengah jalan?'. Bagian pra-battlenya agak terlalu kepanjangan menurut saya, dan mungkin karena entri saya sendiri fast-paced demi masukin banyak poin dalem batesan kata, baca entri ini malah keliatan kayak diulur-ulur sebelum sampe ke sajian utama.
Dan ketika sampe ke inti entrinya pun, berasa ga gitu ada momen berkesan yang nempel. Mungkin karena pov1 pula, karakter lain ga gitu kesorot. Saya tau ada Revand sama Daytona, tapi mereka ga banyak andil ke ceritanya. Adrian sendiri juganya kayaknya ga dapet kesulitan apapun karena tubuhnya invincible. Ditembak? Ga masalah. Jatuh dari gedung? Apa masalahnya? Ngeledakin gedung? Yaudah gitu aja. Singkatnya, masih berasa agak datar.
==Final score: C (7)==
OC : Iris Lemma
Narasinya asik, sepanjang cerita aku bisa membayangkan apa yg terjadi tanpa perlu backtrack ataupun merasa ketinggalan. Well, aku skip bagian intro prelim setelah baca komentar2 di bawah. Lalu bagian di bingkai mimpi juga buatku masih tolerable porsinya.
BalasHapusCuma sayang konflik dan karakterisasi OC lain kurang diperdalam. Masa begitu nyampe di scene langsung main bunuh orang aja tanpa mendalami situasi terlebih dahulu. Entah sense of justice-nya si Ian emang rada bermasalah atau gimana. Saran buat Ian nih, knowing your enemies and allies is a must. Jadi sebelum main bunuh, ada baiknya mencari tahu apa yg terjadi di sana.
Judulnya "I am between a conflict", nah tapi aku nggak ngerasa ada 2 kubu yg berperang. Cuma ada 1 kubu teroris yg ingin meledakkan sebuah gedung, dan kebetulan Ian memihak 'kubu' yang..tepat, mungkin? He just killed some people who just happen to be a terrorist. Coincidence?
Lalu endingnya berasa asspull banget. His reason to pull the trigger came out of nowhere. Alih2 menjadi twist yg mencengangkan, itu jadi twist yg menyebalkan. Nggak ada foreshadowing, dan si Ian pun mengklaim dia nggak ngerasain apa2. Padahal bonding sama Day udah lumayan asik buatku. He just killed the moment.
Mungkin bakal lebih bisa dimengerti apabila suara misterius itu muncul lebih sering di awal cerita, mengambil alih tubuh Ian tanpa sadar. Pertarungan dengan Revan di awal harusnya bisa dibuat lebih panjang lagi, diakhiri dengan suara misterius yg membuat Ian kesulitan berpikir, sehingga membuatnya kalah.
Pertarungan yg kurang intens, plot yg kurang build up, serta ending yg asspull. Banyak poin minus di sini, tapi secara teknik, tulisanmu udah bagus. Tinggal mendalami konflik dan karakterisasi.
Dariku 7/10
+1 deh karena aku pengen tahu gimana dia klo ketemu Fa
8/10
~FaNa
terasa pendek, beneran, tapi saya suka sama gaya penulisan mas Tanz. sama karakter lain disini karena terlalu tampil dan entah napa itu buat ceritanya tam,bah pendek. waktu lagi asik scroll dan sampe ke gambar adrian bawa pistol ehhh dan finish :3 langsung gimana gitu jadinya. endingnya jd terkesan datar,
BalasHapusdari saya 7. punya revolver? jangan sungkan ngobrol sama Zephyr kalau bertemu :D
Zephyr
Domba mengelus celana? Possibly bestial? **plak!** XD
BalasHapus[seolah otakku baru saja dicincang tanpa setetespun anestesi.]
False, nggak ada syaraf di dalam otak, jadi kalo seseorang diubek-ubek otaknya, dia nggak bakalan ngerasa sakit sama sekali. Nyeri yang dirasakan ketika sakit kepala itu hanya terjadi di 'tissue' sekitar tempurung kepala saja.
Baca di bagian orang yang diubah jadi tembikar, itu bukannya udah ada di postingan panitia?
Makin ke tengah kok rasanya jadi rush gini ya? Pace-nya berubah cepat. Plus Adrian sendiri kelewat IMBA, wkwkwkwk
btw, Daytona nggak ada?
Endingnya kayak ejakulasi dini mz, kerasa kurang berkesan gitu~
._.
Point : 7
OC : Maria Venessa
Komen ngeres Maria bikin ane lupa mau komen apa mak! *nangis*
BalasHapus#ahem
Adegan yang pernah diulas di posting panitia semestinya ga perlu diketik ulang ane jadi loncat loncaat bacanya.
Intinya, boros kata.
Cukup banyak kekurangan yg keliatan ga berubah dari prelim. Tapi endingnya Ian bikin ane sedikit luluh.
Overall dari ane 6, tapi tambah bonus deh.
---------------
Rate: 7
Ru Ashiata(N.V)
sebenarnya komentarku sama sih, intro kepanjangan.
BalasHapuskalau menurutku sendiri sih......ending anti-klimaks. jadi kerasa nanggung dan ga keliatan selesai.
kasian sih Adrian nya, tapi secara pribadi aku tidak suka karakter emo, sperti Kaneki Ken. mengenaskan tapi selalu berusaha keras kyk Allen Walker itu baru best.
selera pribadi lho ya.. selera pribadi....
tapi karena itu........ sorry, it's a bit turn-off
nilai: 6
OC: Mia
Bagian awal cerita dibangun dengan cukup detail, kerasa di sana karakternya Adrian kayak gimana, kondisinya dia setelah prelim, sampai ke situasi di bingkai mimpi dan relasi awalnya sama si domba.
BalasHapusMungkin emang bagian di museum semestanya makan cukup banyak porsi ya, tapi karena narasi yang lancar, saya tetep nikmatin. Dan begitu masuk ke konflik, saya bisa cukup nangkep gimana riuhnya negosiasi antar Reverier dan pertukaran pikiran mereka. Akhirnya juga tragis dan, menurut saya, itu emo bangetz. Seandainya paruh akhir cerita bisa lebih sabar lagi dibangunnya, ini pasti jadi cerita yang lebih lengkap. 8/10
Oc: Namol Nihilo
Kesan pertama saat baca narasi awal adalah... gelap, kelam dan stressfull. Kelihatan sih suasana batinnya Adrian di sini, tapi konsistensi itu nggak bertahan hingga akhir. Ada kesdan battle-nya terkesan terburu-buru. Ya emmang kalau battle real begitu selalu fast paced, tapi sebenarnya bisa ditambahkan detail=detail dramatis yang bikin lebih greget (lewat deksripsi scene yang sinematik ala film polisi yang penuh keputusasaan, misalnya), supaya terasa lebih kelam lagi, lebih berdarah lagi, dan menguatkan karakternya Ian yang ... errr... depresif?
BalasHapusmeskipun kurang imbang, tapi nggak separah para deadliner, layak dapat nilai 8.
Rakai A,
OC Shade
Umm, kayanya penjelasan di awal-awal gak usah ditulis lagi deh. Malah jadinya kaya ngulur cerita dengan tambahan kanon panitia.
BalasHapusGaya penulisan sudah jelas di atas saya, tapi perangkaian ceritanya malah kerasa tulisan kamu itu terbuang sia-sia.
Terlebih, pemotongan dengan kata-kata di tengah cerita seperti ciri khas VN cukup mengganggu. Kalau visual sih oke, tapi kalau tulisan agak gimana gitu. Oke, saya tahu tujuannya. Dan terakhir itu, saya menantikan misteri yang terpendam dalam Adrian.
Nilai: 7
OC: Satan Raizetsu
Ini mata saya yang mulai sliwer apa emang agak wall of text ya? (sampe ganti kacamata saya bacanya)
BalasHapusOke, baca entry ini mayan mixed feeling. Berasa naik roller coaster yang excited di awal tapi pingsan di tengah. Nggak, saya ga pingsan bacanya tapi senada sama yang disampaikan atas-atas saya, excitement di awal ga bisa di "keep" sampe akhir. Di tengah-tengah saya harus mundurin kepala karena saya menggumam soal prolog
hampir 50% entry ini isinya intro ya? sedangkan 50% nya inti yang terkesan buru2
Well, kalau saya liat Mia sebagai Mary Sue, Adrian sebagai Gary Stu. Enak ga ada kesulitan ;3
Masalah keterburu-buruan, saya ga bisa komen banyak karena entry saya pun agak buru-buru sampe ninggalin pecahan puzzle di tengah. Orz
titip 7 dulu deh ya
-Odin-