Prolog : Keluarga Cemara
"Uuuuiiiiik...!"
Lengkingan itu begitu keras, sekilas terdengar seperti suara babi.
"Aduh, Dombe! Jangan melawan dong, mau dijadikan sate ya?" ucap seorang gadis. Lengannya sibuk menahan hewan ternak di hadapan.
Seekor domba berbulu tebal berulang kali melakukan perlawanan. Hewan itu panik ketika dihadapkan pada sebuah gunting. Majikannya hendak memanen bulunya agar bisa dijual ke pabrik garment.
"Uuuik, uik, uik. Uuuuuiiiikkk..!!" (Hey, jangan macam-macam ya! Aku nggak bisa kamu eksploitasi seperti ini!)
Maria tertegun menatapnya. Ucapan tadi terdengar merasuk ke dalam pikiran. Meski sang domba bersuara tanpa arti, tapi dia paham apa maksud ucapan itu. Mulutnya lantas mendengus pelan, seraya berucap lirih, "Iiih, bilang dong dari tadi kalo kamu bisa ngomong." Perhatiannya kemudian berbalik, tertuju pada tukang cukur lengkap dengan gunting, "Maaf ya mz, dombanya ngelawan terus, saya cancel ya."
"Ya emang gak bisa neng. Ini kan pangkas rambut manusia, bukan buat menggunduli bulu domba," tukas pria itu pelan. Wajahnya menunjukan ekspresi sungkan. Tak tega rasanya ia mengusir gadis di hadapan.
"Uiik uiiik uiiik? Uuuuiiik, uik uuiiiiik uuuik," (Kamu itu brengsek ya? Daripada sibuk ngurusin aku, mending siap-siap untuk memulai ronde satu.)
"Iya, iyaaa... cerewet ih kamu," balas Maria kesal.
Para pejalan kaki yang melintas, sulit untuk tidak memerhatikan gadis berambut jingga. Dalam benak mereka, mungkin Maria terlihat seperti gadis sakit jiwa. Dia sibuk bercengkerama dengan sang domba.
Dombanya juga sama-sama mengalami kelainan. Alih-alih mengembik, hewan itu malah mengeluarkan suara melengking seperti babi.
Akan tetapi, Maria tak ambil pusing. Ia tahu semua ini hanyalah mimpi. Bingkai mimpi lebih tepatnya. Sebuah semesta terbatas tempat mempersiapkan diri untuk ronde selanjutnya. Maria sempat iseng mendatangi Nely dan Siska. Reaksi keduanya persis seperti yang sudah diduga. Ibu dan adik kecilnya itu menyambut kedatangan Maria dengan suka cita. Mereka mengira, Maria sudah meninggal di pertemuan terakhir antar ketigannya.
Maria tentu saja senang, karena bisa berkumpul dengan keluarga tercinta. Namun di saat bersamaan, hatinya juga meringis kesakitan. Ia tahu, segala kebahagiaan ini tak lebih dari halusinasi saja.
"Kakak mau ke mana?" Siska bertanya dengan wajah polos. Ia memergoki kegundahan di wajah Maria. Sesuatu mengusik pikiran kakaknya itu. Acara makan malam pun terpaksa terhenti sampai di sana.
"Maaf kakak harus pergi," ucap Maria. Matanya berfokus pada Dombe yang bergetar di sudut ruangan. Domba itu berfungsi selayaknya alarm pada jam weker. Mulutnya bahkan mengeluarkan cahaya selayaknya infokus. Sorotan sinar itu menempel pada dinding hingga memperlihatkan citra gambar berupa running text berukuran besar, "Ronde satu hendak dimulai, peserta Battle of Realms harap mempersiapkan diri."
Sanelia terentak kaget membaca tulisan itu, "Battle of Realms!? Nak, kamu terdaftar sebagai peserta turnamen itu?" ucapnya dipenuhi rasa cemas.
Maria mengangguk perlahan, seraya dipenuhi tanda tanya, "Ibu tahu?"
"Tentu saja ibu tahu. Itu turnamen mematikan. Orang-orang dipertarungkan selayaknya festival sambung ayam."
"Eeeuh, emang bener sih bu." Mendadak saja Maria teringat lima peserta malang yang tersingkir di babak penyisihan. Mereka dilenyapkan begitu saja, berubah menjadi arang dan debu.
"Kamu jangan ikut turnamen itu, nak. Tinggal saja di sini, bersama kami." Wanita berambut biru itu berusaha membujuk. Trauma akan turnamen sebelumnya, telah mengubah raut wajah Nely hingga menjadi sepucat salju.
Seorang pria di penghujung meja makan bangkit dari posisinya, "Aku yakin, itu hal yang tidak bisa dilakukan, bukan begitu?"
Maria menatap goresan bekas luka di wajah sosok itu. Raut ekspresinya mempertontonkan keangkeran. Rasanya seperti berhadapan dengan seorang preman siap menerkam. Maria bahkan merasa segan, hanya karena menyadari otot tangan pria itu terlihat begitu kekar. Mulut gadis itu lantas mengucap pelan, seraya berusaha mempertahankan ketenangan, "Betul, yang mulia Asep Codet. Saya tidak bisa mundur dari sana."
"Hahaha, sama ayah sendiri teh jangan se-formal itu atuh..." Wajahnya tersenyum renyah. Kepribadiannya bertolak belakang dengan penampilan yang garang.
"Tapi Anda raja dari negeri ini. Jadi sudah sepantasnya saya bersikap formal," balas Maria.
"Eleuh-eleuh..." Asep merespons seraya menggelengkan wajah, "Ya masa kudu berlagak kayak ke bos aja? Iya kan sayang?" lanjutnya terhadap Nely.
Nely membalas lewat dekapan kecil pada suaminya itu, "Iya sayang." Matanya menatap lekat pada Maria, "Dia memang bukan ayah kandungmu, tapi cobalah mencairkan kekakuanmu itu." Desahan sensual terdengar nyaring, tatkala jemari kekar suaminya itu bersarang di bagian bokong.
Maria hanya memutar matanya, jengah dengan drama keluarga di hadapan mata, "Kalian tidak usah khawatir, aku pasti baik-baik saja."
Siska lantas berjalan mendekat, "Kak hati-hati ya, ini ada sedikit jimat dariku." Gadis itu menyerahkan Rosario berbentuk salib. Bagian bawahnya bisa dicabut, berisikan bilah tajam pisau, "Jimat ini mengandung buff untuk elemen Holy, fire resistance, Blessing, Divine Might, Aspersion, Sacrament, Increased attack, Bonus SP, SPR Affinity, Augmented Defense—,"
"Kamu terlalu banyak main Tree of Savior dek." Maria menyudahi kicauan itu, "Game online itu tidak baik. Tapi terima kasih atas jimatnya. Kakak pergi dulu ya."
Siska melambaikan tangan, menatap Maria pergi dari sana. Dombe ternyata berfungsi sebagai tunggangan. Makhluk itu melayang tinggi ke angkasa, seakan menapaki jalan tak kasat mata.
Di belakang Siska, ada Nely dan Asep sibuk bercumbu dalam mesra,
"Bisa nggak kalian melakukannya di ruangan pribadi!?" bentak Siska kesal.
Bab I : "Sesat"
Dombe tak terlihat keberadaannya. Hewan itu menghilang sedetik setelah menembus selubung hitam pekat. Kini Maria ditempatkan pada tempat asing tanpa keberadaan apapun di sekelilingnya.
Gelap dan sunyi. Lantai tempatnya berpijak bahkan tak memiliki tekstur sama sekali.
Barulah ketika bosan mulai menghampiri, mendadak muncul seberkas cahaya di bawah kaki. Maria memerhatikan ukiran itu, berbentuk bulat penuh dengan garis hexagram, juga berhiaskan huruf-huruf kuno. Beberapa sudutnya menyemburkan aura seperti kabut keemasan.
Magic Circle, bagian dari proses summoning para penyihir tengah berproses menciptakan diri. Saat ini Maria berdiri tepat di tengahnya.
Apa dia menjadi objek yang sedang dipanggil? Karena sejauh matanya memandang, perlahan tercipta beragam bangun ruang terbentuk dari ketiadaan. Dimulai dari kursi-kursi kayu memanjang, tembok terbuat dari batu bata, juga tiang kolom besar menopang langit-langit tinggi di atas ruangan. Tak lupa siluet orang-orang berdiri menghadap dirinya, berjajar rapi dengan mata memandang.
Proses summoning ini memakan waktu cukup lama. Pembentukan alam sekitar tidaklah tercipta secara instan, melainkan berjalan lambat seperti halnya melukis karya seni. Maria bahkan bisa memergoki bagaimana guratan garis di kejauhan, bisa bertransformasi menjadi sebuah tangga menuju lantai dua. Para siluet manusia pun belum terdengar suaranya, mereka terlihat seperti gambar latar tanpa detail, membisu tak bergerak.
"Tempat apa ini?" Maria menengadahkan kepala, menatap hiasan gantung berukuran besar. Langit-langit ruangannya begitu tinggi. Meski rumput ilalang nyaris melahap seisi sudut bangunan, akan tetapi arsitekturnya terasa begitu familiar, "Ini Gereja?" ucapnya tak percaya. Beberapa kursi kayu memanjang terlihat berjejer rapi di bagian tengah ruangan.
"Iya, ini gereja." Seseorang menjawab tanpa diminta.
Maria tentu saja menoleh ke arah sumber suara. Gadis itu tidaklah sendirian. Seorang pemuda tengah menatap lekat padanya.
"Kau..." ucap pemuda itu, "Kau berbeda dengan siapapun yang pernah kulihat. Berbeda dengan tokek, ayam dan kaleng pengharum ruangan, keberadaanmu terasa ganjil. Apa kau manusia?"
Maria menapik halus, "Apa saya terlihat berbeda dari perempuan biasa?" Terdapat intonasi kekesalan pada jawaban itu.
Menyadari kesalahannya, pemuda tadi lantas buru-buru meminta maaf, "Maksudku... kau terlihat berbeda. Kecantikanmu terasa tak nyata."
Diserang dengan pujian mendadak, tentu saja membuat Maria salah tingkah, "Te-terima kasih.. namaku Venessa Maria." Gadis itu mengangkat roknya sedikit, memberikan salam penghormatan khas seorang bangsawan muda.
"Maria..." gumam Odin pelan. Nama gadis itu mengingatkannya akan seseorang, "Aku Odin."
"Mmmh... Odin." Maria memutar kembali nama itu, berusaha mengukir dalam benak.
Sosok di hadapannya entah kenapa terlihat amat menggairahkan. Celananya digantung di bawah pinggang, nyaris saja mempertontonkan sejumput bulu di bawah perut. Wajah pemuda itu juga terlihat begitu menawan, meski usianya ditaksir masih ada di kisaran belasan tahun. Cara bicara Odin terasa bijaksana, lengkap dengan suara dalam agak menggema.
"Hahaha..." Odin tertawa kecil, membuyarkan lamunan Maria. Pria itu lanjut mengucap, "Model rambut kita berdua sama, warnanya pun tak jauh berbeda."
Maria dibuat bengong. Sifat Odin ternyata lebih ramah dari yang ia duga. Entah kenapa, tiap ucapan pria itu terasa menyihir pikirannya. Sulit sekali untuk menyembunyikan rona kemerahan di wajah.
Dalam benak Maria, sosok Odin terlihat gagah seperti melihat adegan dalam komik. Di belakang pria itu bahkan terdapat bunga bertaburan lengkap dengan efek glamor menyilaukan. Tak ayal, itu membuat iris mata Maria terlihat berkilauan.
Apakah ini rasanya disambar cinta pada pandangan pertama?
Tidak— ... tidak boleh.
Maria menggelengkan wajah. Ini bukan waktu tepat untuk urusan percintaan. Dia sadar, situasinya saat ini mungkin bagian dari ronde satu seperti yang Dombe gadangkan. Pandangan Maria sekuat tenaga dialihkan, tak mau terhipnotis oleh entitas di hadapannya. Matanya menyusuri sekitar, menatap heran kumpulan manusia dengan pakaian kerohanian. Detail siluet tadi kini mulai terukir secara utuh, "Siapa orang-orang ini?"
Odin mendengus pelan, "Kurasa kita akan segera mendapatkan jawaban."
Proses summoning telah selesai dilaksanakan. Kini Maria bisa melihat jelas, segala sesuatu terasa nyata selayaknya di dunia sungguhan.
Namun lingkaran sihir masih berpendar sejauh empat meter, mengelilingi Odin dan dirinya.
Seorang pendeta di hadapan terlihat jatuh dalam posisi terduduk, seakan menjadi akhir dari ritual tadi. Proses Summoning itu sepertinya ditutup dengan semacam ledakan udara. Dorongan dari dinding energi, telah menjatuhkan semua orang hingga hilang keseimbangan.
Hanya Odin dan Maria yang masih berdiri.
Maria ada di depan, berdiri gagah layaknya seorang ksatria berpedang. Tubuhnya bermandikan cahaya rembulan, mengintip dari celah jendela terluar. Rambut berwarna jingga terlihat berpendar dalam malam. Matanya memandang sang pendeta dalam posisi yang lebih rendah.
Pikiran Maria tergelitik. Merasa De ja vu akan adegan summoning ini, gadis itu lantas mengucap sesuatu untuk menyalakan kegelapan, "I ask of you... are you my master?"
Pendeta itu buru-buru menggelengkan kepala.
Maria memergoki secuil senyum tak simetris pada orang itu. Mulutnya mengucap cepat untuk memotong, "Pemuda bersamaku memang menggunakan dua dagger sebagai senjata, tapi dia bukanlah Archer Emiya." Maria menghentikan niat sang pendeta, bahkan sebelum pria itu membuka mulutnya. Rasa kekhawatiran muncul dalam benak Maria. Ia tak ingin Odin ditempatkan dalam sebuah marabahaya.
"Bukan, saya tidak memanggil kalian untuk berpartisipasi dalam Holy Grail. Perang ala Hunger Games itu sulit untuk dimenangkan," jawabnya tegas. Sebuah kitab suci tak pernah absen dalam dekapan dadanya. Penampilannya benar-benar menyiratkan seorang pemuka agama.
Percakapan itu hanya bisa membuat Odin keheranan, ia menaikkan salah satu alis sebagai respons seraya mengucap jengah, "Kalian ngomongin apa?"
Namun, seakan tak mengindahkan pertanyaan Odin, pendeta itu malah memperkenalkan diri, "Nama saya Pokiel ... meski dulunya biasa dipanggil Kotomine Kirei."
"Terus?" balas Odin.
"Kupanggil kalian bukan untuk melakukan kesia-siaan. Melainkan sebagai cawan untuk mengambulkan keinginan. Terutama untuk dewa kami, dewa Asmodeus yang bersemayam dalam tubuhmu."
Layaknya disambar petir di siang bolong, wajah Odin berubah pucat sedetik setelah mendengarnya, "Kau tahu Asmodeus?"
Pendeta itu menganggukkan wajahnya, "Tentu saja, dialah dewa yang kami sembah. Entitas yang akan mengabulkan keinginan kami semua."
Sebuah suara terdengar bergema dalam benak Odin, "Menarik sekali, rupanya dia salah satu manusia putus asa yang sering menghubungiku..."
Sudah lumayan lama sejak terakhir kali Odin mendengar suara itu. Mulutnya mengucap balasan, "Kau kenal orang ini?"
"Manusia hina yang rela menukar apapun demi mengabulkan sebuah keinginan."
Pikiran Odin sedikit tergelitik, "Kau membuat perjanjian apa dengannya?"
"Aku tidak membuat perjanjian apapun, selain memberinya syarat lima puluh jiwa untuk diserahkan padaku. Dari sana, mungkin saja aku akan mengabulkan satu permintaannya."
"Apapun itu?" pancing Odin penasaran.
"Apapun itu," jawab Asmodeus.
"Termasuk membangkitkan orang yang sudah meninggal?"
"Mungkin saja."
Wajah Odin hilang ketenangan, semacam kekesalan terlihat meluap dari dadanya, tergambarkan jelas lewat ekspresi penuh ketegangan, "Jika aku menyanggupi persyaratan itu, apa kau sanggup menghidupkan ibuku?"
Terdapat semacam jeda sebelum Asmodeus memberikan jawaban, "Akan kupertimbangkan. "
Odin sibuk bercengkerama dengan setan di dalam dirinya. Itu membuat Maria merasa seperti tak diacuhkan, "Mz cogan-nya malah melamun," ucap gadis itu lesu.
"Syarat lainnya adalah, berikan jiwa gadis itu padaku. Dia memiliki bau yang berbeda. Keberadaannya terasa sangat menggairahkan." Asmodeus mengucap langsung ke dalam pikiran.
Jantung Odin berdesir sesaat, "Deal…" jawabnya singkat. Entah kenapa terdapat sebuah penyesalan, sebelum Odin menyanggupi syarat itu.
Aneh sekali, padahal ketika ia mengkhianati Lolita—sosok yang dikenal sejak kecil—rasanya tidak terlalu menjadi masalah, tapi kenapa kali ini dia amat berat hati untuk memperdaya Maria?
"A—aku akan memulainya dengan menyantap jiwa-jiwa para jemaah ini." Odin menggelengkan kepala, menepis niat yang terbesit dalam hati. Ia masih belum siap untuk merenggut jiwa gadis itu.
Maria di lain pihak, tersentak kaget tatkala radar mesum di kepala aktif selayaknya raungan sirine. Ia merasakan peningkatan libido dari orang-orang di kejauhan, terlebih ketika pendeta Pokiel sibuk mengucap ragam siraman rohani pada mereka.
"Rejoice, Emiya … Maksudku, wahai orang-orang terpilih." Pendeta Pokiel mengangkat kedua lengannya lebar. Matanya membelalak menyorotkan kebahagiaan, "Penantian kalian tidaklah sia-sia. Sosok yang kita dambakan telah tiba, dia akan mengabulkan segala keinginan kita, sebagai ganti atas pengorbanan luhur dari insan mulia."
Orang-orang itu mengunci pandangan mereka pada Odin dan Maria.
"Dua orang itu adalah rosul suci, medium pengantar dari jiwa kalian. Lakukan menurut petunjuk yang sudah kuberikan, pengorbanan kalian tak akan sia-sia."
Maria terkesiap tak percaya, tatkala menyadari para jemaah itu datang menghampiri dirinya. Orang-orang itu kompak melepas celana, lantas mempertontonkan acungan benda tumpul di bawah selangkangan mereka.
"Eh..? Eeeeeh? Tunggu dulu." Gadis itu berubah panik, "Odin, bagaimana ini?"
Odin di lain pihak, hanya diam mematung tanpa berbuat apa-apa. Pemuda itu hanya membiarkan dirinya dikerumuni para wanita. Tak peduli tua maupun muda, mereka semua mencumbu pria itu seraya memohon sebuah doa, "A—aku tak bisa bergerak, maafkan aku Maria."
"Kabulkanlah permohonanku," ucap seorang ibu muda, "Sembuhkan anakku dari penyakit mematikan, sebagai ganti atas nyawaku yang murah ini." Dia melepaskan celana Odin, lalu tanpa ragu melahap batang kejantanan yang sudah mematung sedari tadi.
Pokiel seakan paham Odin luar dalam. Pendeta itu mencabut penutup kain yang bercokol di mata kanan Odin. Siapapun yang bertatap mata langsung, akan jatuh ke dalam pengaruh hipnotis kuat. Mereka tidak sanggup menahan diri untuk melawan kehendak Odin. Napsu birahi pun berubah lepas kendali. Orang-orang ini dibuat jatuh cinta pada sosok di hadapan mereka.
Odin tak menyangka mereka bisa berlaku begitu tertib. Para jemaah ini tidak benar-benar mengerumuni, melainkan mengantri satu persatu, menunggu giliran untuk digagahi. Ibu muda tadi kini sudah terkulai tak bernyawa. Matanya mendelik kosong, setelah sebelumnya menegak sperma Odin hingga tak bersisa.
Di belakang pendeta Pokiel, terdapat cawan suci yang diletakan pada altar. Benda itu berpendar, mengeluarkan binar cahaya temaram tatkala seorang perempuan jatuh setelah dihisap jiwanya.
Orang normal tentu akan ketakutan menghadapi ajal. Tapi tidak dengan kumpulan jemaah tak waras ini. Mereka memandang kematian itu sebagai sebuah bentuk pemurnian. Anggapannya, siapapun yang meninggal dalam cumbuan para 'rosul' ini, kelak akan masuk ke dalam surga, serta dikabulkan permintaan terakhirnya.
Maka dari itu, para jemaat ini tak memberikan sedikitpun ruang untuk bergerak. Odin dielus wajahnya, dadanya, juga pangkal perutnya. Pemuda itu tak perlu melakukan apapun untuk mendulang kenikmatan. Ia cukup berbaring di pangkuan para wanita, seraya tongkat kejantanannya dilayani tanpa jeda. Beberapa ada meninggal lewat kuluman saja, tapi ada saja yang cukup nekat hingga berani menduduki sang phallus. Mereka akan berubah belingsatan seperti orang gila, dikuasai kenikmatan tiada tara. Ekstasi kelezatan itu tentu akan berujung pada maut yang menyapa.
Dari tiap wanita yang berguguran, jenazah mereka secara rapi digotong keluar, semata agar yang lain mendapat giliran. Sungguh, pemandangan ini ada di luar nalar.
Lalu bagaimana dengan Venessa Maria?
Kabar baiknya, gadis itu juga sama-sama tengah diperkosa. Jemaah yang terdiri dari kaum pria, secara aktif memisahkan diri dari Odin yang dikerumuni para wanita.
Ia berseru panik, "Tunggu dulu, aku bukan bagian da—.."
Ucapan itu terhenti. Ujung sebuah penis melesak masuk memenuhi rongga mulutnya. Tak sampai dua detik, semburan sperma terasa hangat memenuhi tenggorokan. Sang pemerkosa tumbang seraya mengukir wajah bahagia. Pria berpakaian necis barusan pastilah seorang perjaka.
Maria terpaksa menelannya. Gadis itu pada awalnya memberontak. Tapi mengingat seks merupakan satu dari sekian kebutuhan pokok, dan dia membutuhkan energi untuk bergerak dari sana, maka dia pasrah saja menerima seluruh perlakuan itu.
Tubuh rampingnya dipaksa menungging. Awalnya, bapak-bapak berperut buncit di belakang berniat menjebol lubang vaginanya. Tentu saja, Maria sontak mengancam, "Doamu tak akan terkabul jika menggunakan lubang itu."
Dan seolah mengerti apa mau sang perempuan. Pria dengan perut buncit lantas menaikkan acungan, kira-kira sekitar dua senti ke atas.
Jadi seperti yang sudah-sudah. Maria harus merelakan anus—tanpa pertahanan—nya dijebol leluasa.
Secara ajaib, cawan suci di dekat Pendeta Pokiel terlihat berpendar semakin terang. Itu menjadi pertanda bahwa Venessa juga ikut andil dalam proses pengumpulan jiwa. Padahal teknik penyerapan gadis itu tidaklah seganas Odin. Proses penyerapan Maria tidak sebegitu parah hingga sanggup merenggut nyawa.
"Maria..." sejenak Odin menatap Maria yang terentak berulang kali. Bokong gadis itu dihantam dari belakang dalam posisi anjing menungging. Pandangan Odin terihat nanar, ia tak tega melihat Maria diperkosa beramai-ramai.
Akan tetapi, perhatian Odin langsung dibuang jauh, nyaris bersamaan ketika Maria menoleh ke arahnya, "Jangan melihatku!"
Maria juga berbagi perasaan yang sama. Meski Odin seorang lelaki, tapi hubungan seks tanpa konsensus itu masuk ke dalam kategori pemerkosaan. Ia paham bagaimana Odin memandang hina dirinya.
"Odin... aku akan mencari bantuan. Kau tunggulah di sini." Gadis itu paham akan situasi. Pemuda itu pastilah terkena semacam guna-guna, hingga tak sanggup bergerak melawan seluruh perlakuan padanya.
Tiga orang sukses menumpahkan sperma ke dalam lubang pembuangan Maria. Hal itu berdampak pada pulihnya tenaga fisik, hingga melampaui pria dewasa. Maria buru-buru memberontak. Tubuhnya berbalik, untuk kemudian menjejakkan kaki sekuat tenaga pada calon pemerkosa lainnya. Sasarannya? Tentu saja dua bola kecil di tengah selangkangan.
Tak ayal, orang itu tumbang seraya meraung kesakitan. Maria memanfaatkan kesempatan ini untuk bangkit, lalu bergegas pergi dari sana.
Pergerakan Maria cukup gesit untuk menghindar dari beragam lengan yang hendak mencengkeram. Victorian dress berbalut rok panjang yang ia kenakan robek di beragam tempat.
Bab II : Quest by Zainurma
Di luar gereja, terdapat kota tua yang sunyi. Penduduknya lebih senang berdiam diri di rumah. Oleh karenanya jalanan dari bebatuan di sana terlihat sepi dari pejalan kaki.
Bangunan-bangunan di sana bercorak abad pertengahan, terlihat tua seperti berusia ratusan tahun.
Tapi settingan kisah ini tidaklah berada di jaman antah berantah. Karena di salah satu pelosoknya terdapat sebuah mobil pick up, sibuk berkeliling menjajakan tahu bulat.
Di salah satu bangunan, tak jauh gereja, terdapat sebuah aktivitas pergerakan. Jendelanya terlihat berpendar temaram, menunjukan cahaya remang di dalam ruangan. Di sana, terdapat sosok laki-laki dan perempuan dalam penerangan seadanya.
Tidak-tidak— ... dua orang itu tidak sedang berbuat mesum. Mereka duduk dibatasi sebuah meja, sibuk membahas suatu hal penting.
"Anita, kita tidak bisa menyerang Tenet secara serampangan. Ada banyak polisi korup yang menjaga di luar sana." Pria itu mengembuskan asap dari cerutu murahan, "Perang terbuka memang sangat menggoda untuk dilakukan, tapi kita kalah jumlah, dan kalah persenjataan. Aku tak mau mati konyol diberondong peluru."
Perempuan yang dipanggil Anita tak sedikitpun mengubah ekspresi wajah. Gadis itu seakan mengenakan topeng cantik seorang perempuan. Rambutnya bermodelkan bob pendek.
Mulutnya lantas terbuka pelan mengucap sesuatu, "Detektif Ro tidak perlu mencemaskan itu. Aku bisa mengatasi mereka, biarlah aku maju terlebih dahulu. Kau bisa tinggal di belakang, berlindung menyelamatkan bokongmu itu."
Sang detektif bahkan tak sanggup mencegah kepergian wanita itu. Matanya menatap ke luar jendela, memerhatikan tiap bulir salju yang berpendar dalam malam. Lampu penerangan terlihat temaram berwarna kemerahan.
Perhatian Ro kemudian terkunci pada Anita. Saat itu, dia baru sadar bahwasanya Anita bukanlah perempuan biasa. Riuh suara ledakan pistol terdengar nyaring di luar sana. Matanya dipaksa membelalak kaget, mendapati perempuan itu berjalan santai meski dihujani peluru tanpa jeda.
Para polisi bersiaga terhadap ancaman, merespons dengan rentetan tembakan. Namun sayangnya, seluruh perlawanan itu tiada artinya. Seluruh timah panas itu melesak masuk ke dalam tubuh Anita. Kulitnya menciptakan beragam kembungan kecil, menandakan keberadaan tiap projektil yang sedang digiring turun.
Logam-logam itu terkumpul di genggaman tangan, lalu dibuang ke jalanan.
Anita sanggup melempar mobil yang terparkir di sana. Orang-orang ini tentu saja dibuat kebingungan, mereka seakan melawan monster hijau berotot kekar seperti di film-film. Hanya saja, tak ada warna hijau di sana, melainkan kegelapan pekat dalam wujud tentakel hitam menyeramkan.
"Uroboros!" seru seorang polisi.
"Fokus! Gak ada waktu untuk parodi." Polisi lainnya—pimpinan berjaket cokelat—menyahut. Jemarinya tiada henti menekan pelatuk, menembak, mengosongkan magasin.
Derap langkah Anita terasa menggema. Tiap pijakan kakinya seakan menjadi lonceng kematian yang hendak menyapa. Para polisi ini panik, mendadak saja mereka diingatkan akan keangkeran monster dalam game.
Pikiran Anita entah kenapa tergelitik untuk mengucap sesuatu. Bibirnya terbuka pelan, menggumam lirih dalam suara nyaris tak terdengar, "S.T.A.R.S..."
Sayangnya, hanya pemain Resident Evil 3 yang bisa mengerti lelucon barusan.
Para polisi korup tak bisa berbuat banyak. Mereka ditumbangkan satu persatu lewat sebuah pukulan ringan dari Anita. Ringan dalam standar gadis itu, tentu berbeda dengan ukuran manusia normal. Karena ayunan kecil saja, sanggup meruntuhkan tembok pembatas seperti pasir berguguran.
Langkah Anita kemudian terhenti. Perhatiannya teralihkan pada kemunculan dua orang berpenampilan mencolok.
Ada sesosok bocah berusia dua belas tahun, Weiss Nacht namanya. Di sampingnya, berdiri seorang pria berambut merah mengenakan jubah bertudung, sering dipanggil Nano. Mereka langsung mengidentifikasi satu sama lain. Ketiganya paham, mereka sama-sama reverier, berbeda dari detektif Ro yang tak lebih dari sekadar NPC saja.
"Anita Mardiani," ucap Nano santai, "Hebat ya, padahal ditembaki pistol, tapi kau tetap bergeming. Kau pantas mengisi role tanker[i]. Sementara aku dan Weiss berperan sebagai damage dealer."
Anita hanya menoleh sejenak. Tak sedikitpun wajahnya menyiratkan ketertarikan pada pria berambut merah itu, terlebih akan istilah asing yang ia pergunakan, "Kau tahu siapa aku?"
"Salah satu reverier sepertiku, tentu saja aku tahu. Aku sudah memerhatikanmu sejak ada di museum semesta. Kecantikanmu sukses merebut perhatianku."
Ucapan gombal itu gagal membuat Anita tersipu. Gadis itu malah merasa heran, karena dirinya tak memiliki pola pikir seperti manusia normal. Baginya, Nano hanyalah satu dari sekian makhluk, yang belum jelas posisinya. Oleh karena itu, ia langsung saja bertanya menuju pokok permasalahan, "Kalian ada di pihakku? Jika tidak, aku tak akan segan menindak dengan kekerasan."
"Tenang dulu non," balas Nano santai. Pria itu berjalan mendekat, seraya memamerkan senyum menawan berhiaskan gigi putih bersinar, "Paman Zainurma memang memberi kita pilihan dalam quest ini. Memihak detektif, atau mendukung pendeta sesat. Dari sana, siapapun tahu, bahwa Pendeta sesat pastilah ada di pihak jahat. Jadi sudah sewajarnya aku membantu gadis cantik sepertimu, untuk menindaknya."
"Terima kasih, saya hargai itu," jawab Anita singkat. Tak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Gadis itu terlihat begitu kaku, bahkan mengesankan keberadaan sebuah robot, alih-alih gadis cantik dalam wujud manusia.
Weiss di lain pihak, tak banyak berucap selain memerhatikan sekeliling. Pandangannya malah tak menyiratkan kepedulian pada Anita. Satu-satunya prioritas dalam benak, hanyalah mencari susu murni untuk memuaskan dahaga.
Tak ada pertentangan dalam opini. Kesepakatan pun tercapai nyaris dalam waktu instan. Maka dari itu, tiga reverier itu membentuk sebuah Party—Kelompok serang—untuk melakukan penyerbuan pada gereja Tenet.
Polisi korup jelas tak lagi menjadi masalah. Satu-satunya kekhawatiran hanyalah tentang reveriers lain yang mungkin saja ada di sisi penjahat. Harapan semua orang tentu sama, mereka ingin menyelesaikan konflik ini tanpa berbuat terlalu banyak keributan.
Namun baru tiga langkah diambil, Party harus dikejutkan dengan kedatangan Maria. Gadis itu datang dengan langkah tergopoh-gopoh. Napasnya terlihat memburu, terhuyung-huyung hingga nyaris hilang keseimbangan.
"Tolong..." ucapnya lirih.
Menyadari seorang gadis ada dalam bahaya, insting Nano memerintahkan tubuhnya untuk segera melesat dalam kecepatan tak wajar. Tak lebih dari satu detik, pria itu sudah ada di sana, melebarkan dua lengannya, menjadikan bantalan empuk untuk menahan jatuhnya Maria.
"Ada apa gerangan? Kenapa nona secantikmu bisa dibuat seperti ini?" Nano mendecakkan lidah, setelah mengidentifikasi gadis di hadapannya, "Aku bersumpah, siapapun pelakunya akan mendapatkan balasan setimpal."
Anita tak berkomentar terlalu banyak. Dia paham, gadis yang terkulai lemah itu baru saja menjadi korban pemerkosaan. Hal itu terlihat dari kondisi pakaiannya yang robek-robek, serta bau air mani di sekujur tubuhnya.
Sementara di lain pihak, Weiss masih saja membisu tanpa suara. Proses scanning lingkungan sekeliling—mencari susu murni—telah berakhir sampai di sana. Ia menemukan sumber mata air yang sedari tadi dicari.
Dengan penuh ketenangan dan wajah tanpa ekspresi, Weiss berjalan mendekat hingga tiba tepat di samping Maria.
Nano sama sekali tak menyadari niat sesungguhnya, sebelum akhirnya ia terlambat melakukan tindakan pencegahan. Pemuda itu gagal memergoki pandangan Weiss yang terkunci pada bongkahan payudara Maria. Puting gadis itu memang terlihat menyembul keluar lewat robekan baju.
"Ittadakimasu[ii]!" seru Weiss kalap, hilang kewarasan.
"Aaaaahhhnn..!" Maria terkesiap, kaget akan tindakan bocah berambut putih. Tanpa salam pembukaan, Weiss dengan ganas menghisap salah satu putingnya.
"APA YANG KAU LAKUKAN!" Anita berubah tak santai. Tanpa sedikitpun keraguan, ia tendang saja bocah itu hingga terpental jauh.
"Su—susu..." gumam Nano tak percaya. Dia masih shock akan kejadian tepat di depan matanya. Pandangannya kosong melompong. Padahal Maria masih ada dalam dekapannya, tapi dia gagal melakukan apapun untuk mencegah tragedi itu.
Detektif Ro di lain pihak, hanya bisa menepuk keningnya seraya mendecakkan lidah. Pikirannya sudah memprediksi bahwa kelompok ini tak akan bertahan lama. Hal itu terbukti dengan dimulainya konflik antara Weiss dan Anita. Dua orang itu sudah berdiri saling berhadapan.
"Kau jahat sekali, mau jadi bonekaku?"
Tak ada respon dari Anita, dia hanya bertindak pasif, menunggu lawannya untuk menyerang terlebih dahulu. "Anak kecil seharusnya tak semesum itu."
"Mesum itu apa?" ucapnya sok polos, "Aku akan merasa lemas tanpa susu, dan kau sudah menghalangiku untuk mendapatkan apa yang kumau."
Jawaban itu membuat Anita memutar mata tanda jengah.
"Aduh mz, tolong deh..." potong Maria, "Alasan berantemnya yang lebih elit kek, masa ribut gara-gara susu?" Gadis itu tanpa ragu menarik kain di bagian dada, menunjukkan puting payudara dengan telunjuk jarinya, "Untuk saat ini, belum ada yang bisa dikeluarkan dari sini."
Agak terkejut Weiss dibuatnya. Akan tetapi bocah itu jago menyembunyikan ekspresi di wajah. Lidahnya malah mendecak tanda kecewa, "Sayang sekali, ternyata bongkahan besar itu hanyalah gumpalan lemak tak berguna."
Ketegangan melawan Anita pun mereda.
Di lain pihak, respons Weiss dinilai lucu di mata Maria. Gadis itu lantas mengukir senyum penuh keyakinan, "Ah, adek cuma pura-pura polos aja. Situ sebenarnya lagi sange kan? Saya bisa mengendus napsu kamu lho."
Weiss dengan cepat memalingkan wajah berusaha menyembunyikan rasa malu, "Enak aja, bukan begitu."
Kali ini Maria yang membalas inisiatif. Gadis itu berjalan mendekati Weiss, lalu mengusap bongkahan kecil di celananya, "Ooooh? Masa? Terus ini apa?" Tanpa meminta persetujuan, gadis itu dengan berani membuka resleting bocah berusia 12 tahun itu.
"Woi..!" Detektif Ro sigap berseru, hendak menghentikan tindakan asusila di depan mata.
Nano tadinya juga hendak mencegah, tapi niat semua orang terhenti tatkala tubuh mereka merasa sakit tanpa sebab. Kaki Ro dan Nano entah kenapa terasa dingin. Sel di dalam otot mereka dibekukan hingga keras menusuk.
"Berani melangkah lagi, akan kubekukan jantung kalian." Bocah itu melontarkan ancaman.
Hanya Anita yang masih menunjukan ketenangan. Gadis itu tetap memasang wajah datar. Mulutnya kemudian berucap pelan, "Ah... maaf, apa aku harus mengganti eskpresi seperti kalian? Merasa marah karena tindakan asusila atas konsensus dua belah pihak?"
"Tapi kan..." Nano merasa seperti dikhianati.
Sementara itu, Detektif Ro tersadar dari egonya, "Benar apa kata Anita. Tak ada yang disudutkan atas situasi itu. Baik Weiss maupun Maria, sama-sama berkeinginan untuk melampiaskan napsu binatang keduanya. Jadi Anita memang membuat keputusan bijak." Pria itu melenggang pergi, membiarkan Maria sibuk menjilati penis kecil seorang bocah.
Nano dengan berat hati berjalan menjauh, mengikuti ke mana Anita dan Ro menapaki kaki.
"Dek, mau kakak ajarin yang ena-ena?" ucap Maria menggoda.
Diam berarti iya. Ekspresi penuh napsu di wajah Weiss sudah cukup untuk menjadi jawaban. Maka melebarlah senyum di wajah Maria. Lututnya menumpu pada lantai, merendahkan diri seraya kedua lengan sibuk melepas korset yang menutupi. Dua tonjolan di dada kemudian menjepit batang kemaluan bocah berusia dua belas tahun itu.
Weiss harus menarik kembali ucapannya. Dua asset Maria bukanlah sekadar gumpalan lemak tak berguna. Cengkeraman itu sanggup membuat batinnya melayang. Air liur Maria cukup licin hingga meniadakan traksi antar kulit. Hasilnya, tercipta pijatan lembut nan empuk dari kedua sisi mengapit. Tak lupa lengan gadis itu memberikan tekanan pada dari arah luar, seraya diguncangkan naik turun untuk menciptakan gesekan. Semuanya demi memuaskan bocah di hadapan.
"Oh... oooh..." Pandangan Weiss menerawang jauh ke angkasa. Tubuhnya menegang, seraya bagian pinggul bawah hendak meledak mengeluarkan isi muatan.
Maria sadar akan gelagat itu. Buru-buru ia melepas layanan yang ada, untuk kemudian melahap batang kecil, sumber tenaga baginya.
Cairan kental hangat turun menyusuri kerongkongan. Bersamaan dengan tumbangnya Weiss dalam pandangan kosong berhiaskan senyum bahagia.
Detik itu, Maria tersadar akan satu Hal. Ada semacam kekuatan asing tengah bersirkulasi dalam dirinya. Kemampuan Weiss mungkin ikut berpindah ke dalam raganya.
Lengan gadis itu terjulur ke samping, cukup cepat seperti sedang melempar sesuatu. Dari penghujung jemari, muncul semacam serbuk kecil berwarna putih. Udara yang terkena siraman itu mendadak saja membeku, hingga menciptakan rangkaian kristal es.
Lengan satunya lagi dikibaskan ke arah berlawanan. Hasilnya sama persis seperti di awal tadi. Ukiran kristal itu terlihat simetris memanjang hingga kejauhan.
Maria kemudian menjejak kakinya keras, seraya kedua teracung tinggi, seakan mengangkat benda tak kasat mata.
Lantai tempatnya berpijak mendadak saja bergemuruh. Semacam bangun ruang berbentuk snowflakes[iii] tercipta dari ketiadaan. Tepiannya terlihat rapi membentuk sudut hexagram.
Lengan gadis itu mengangkat tinggi ke angkasa, memerintahkan lebih banyak ukiran kepingan salju, untuk kemudian termaterialisir ke dalam wujud tiga dimensi. Hasilnya, terdapat sebuah kastil mini terbuat dari ukiran es membeku.
Matanya setengah terkatup, seraya mempertontonkan senyum tak simetris. Senandung kecil terdengar samar, mengucap bagian akhir dari lagu yang sedari tadi terputar dalam kepala, "The cold never bothered me anyway~ ♫"
(Soundtrack: "Let it Go")
Bab III : Raid at Tenet Chruch
Siapapun tak pernah menduga, bahwasanya jalan menuju sang Pendeta begitu berliku penuh dengan marabahaya. Party beranggotakan Anita, Nano, dan Detektif Ro harus dihadapkan pada kemunculan makhluk undead berupa tengkorak dan mayat hidup.
"Kita nggak salah setting? Kenapa jadi ada zombi dan makhluk-makhluk gaje begini?" Nano menggerutu tak terima. Dua dagger—pedang kecil sepanjang siku—miliknya berubah kotor berlumuran darah.
"Bukankah Anda yang menyarankan kita mengambil jalan ini?" Anita merespons. Wajahnya masih saja datar, tak memedulikan lima zombie yang menggigit di tangan dan kaki. Mereka terseret-seret, menempel sedari tadi seperti lintah.
"Lah, bukannya kalo menuju final boss itu pasti lewat Dungeon[iv] terlebih dulu?"
Detektif Ro menghela napas sejenak, "Karepmu lah mas." Pandangan mata pria itu kemudian aktif menyelidik lorong berlumut. "Ada yang tidak beres dengan catacomb ini. Para mayat hidup ini semuanya ada dalam kondisi telanjang. Tubuh mereka juga belum sempat membusuk, seolah mereka baru saja mati." Detektif Ro dengan tenang menyelidik situasi. Lorong sempit tempat mereka merupakan bagian dari sebuah labirin panjang. Beragam persimpangan disertai tangga menambah kompleks teka-teki yang ada. Mereka bahkan lupa memberi penanda di tempat awal. Hasilnya tentu bisa ditebak. Orang-orang ini tersesat tanpa tahu jalan keluar.
Anita berubah gundah. Ada semacam pergolakan batin di dalam dirinya. Ia tak rela membiarkan siapapun berlaku keji seperti ini. Para zombi ini dulunya pastilah orang-orang lemah tak berdosa.
***
Sementara itu di lain pihak. Langkah Maria kembali mengayun, mengantarnya kembali menuju tempat Odin berada. Matanya sejenak memandangi tangga menuju ruang bawah tanah. Di bagian atasnya terdapat tulisan, "Dungeon level 50."
"Dungeon? Orang bodoh macam apa yang mau merepotkan diri masuk ke sana?" ucap Maria. Gadis itu melengos pergi, berbelok menuju sebelah kiri. Lengannya mendorong sebuah pintu berukuran besar. Letaknya ada di bagian depan tak jauh dari gerbang.
Gadis itu langsung tiba di ruang utama.
Pandangannya kontan memergoki proses penyucian untuk jemaah terakhir. Seorang perempuan paruh baya dengan rambut tergerai, sibuk menunggangi tubuh Odin yang tergolek lemah.
Lenguhan wanita itu terdengar nyaring memenuhi udara. Ruangan ini tak seramai sebelumnya.
"Odin..?" Maria terbelalak tak percaya. Ia termenung menyaksikan betapa banyaknya jasad tak bernyawa, "Kau... membunuh mereka semua?"
Keterkejutannya kemudian berlanjut, tatkala menyadari bahwa jam birahinya malah aktif tanpa diperintah.
Dengup jantung semakin terasa liar. Napas Maria semakin memendek. Wajahnya memerah, dengan pandangan gamang menunjukan kepasrahan. Seisi tubuhnya terasa panas. Selangkangannya juga berubah gatal, penuh dengan cairan bening. Gadis itu hilang keseimbangan, ambruk bertekuk lutut.
"Aaah.... aaaa? Kenapa jam sange selalu aktif di saat genting seperti ini?" Maria menggerutu tak terima. Hatinya berteriak ingin meminta kejelasan pada Odin. Namun tubuhnya bertindak kontras akan niatnya itu. Pikiran Maria lagi-lagi konslet, tak kuasa digempur oleh impuls kenikmatan. Perasaan bak ekstasi itu lama-lama malah malah membuatnya tersiksa. Ia benci ini.
Batin Maria juga bergidik ngeri, tatkala merasakan hawa mesum yang tak biasa dari kejauhan. Pancaran itu datang dari Pendeta Pokiel. Lengan gadis itu kemudian menjulur keluar, melempar sejumput energi yang berhasil diserap dari salah satu reverier.
Hal itu membuat lantai membeku secara instan. Menciptakan lapisan es licin hingga sulit dijadikan tempat berpijak.
Tapi itu tak menghalangi Pendeta Pokiel untuk tidak menghampiri Maria. Proses aktivasi feromon itu akan memengaruhi siapapun yang ada di sekitar. Tak ayal, pemuka agama itu kini berubah cabul dipenuhi napsu menggebu.
*****
Party tiba di bagian tengah bangunan utama, setelah sebelumnya tersesat di bagian bawah katredal.
Tempat itu minim penerangan. Hanya ada cahaya temaram dari lilin di pilar ruangan. Sebuah cawan di tengah altar, berpendar terang bermandikan aura kemerahan. Tak jauh dari sana, terlihat seorang pendeta sibuk menabrakkan pinggulnya pada bokong seorang perempuan.
Anita dan kawan-kawan terkesiap menyaksikannya. Terlebih karena sang perempuan dihiasi dengan gaun putih pernikahan.
Tapi bukan adegan persetubuhan yang menjadi pusat perhatian, melainkan keberadaan beragam jasad kosong bergelimpangan. Proses ritual penyucian itu telah berjalan tanpa hambatan.
Party terlambat datang karena terlalu lama tertahan di catacomb bawah tanah.
"Arrrggh sial! Terlalu lama di Dungeon bikin kita gagal buat quest utama." Nano berubah jengah. Kekesalan itu ia ekspresikan dengan menghantam pilar lewat kepalan tangan.
"Nano, tolong jangan terlalu sering menggunakan istilah game online." Anita menanggapi dingin. Ia bahkan tak peduli meski pemuda itu sedang menjerit kesakitan. "Misi kita belum berakhir. Masih ada pendeta laknat yang harus dihentikan."
Nano meniup-niup jemarinya, berusaha meredakan perih, "Terus sekarang gimana?"
"Aku hanya ingin menghabisi dalang utama, siapapun itu."
"Pendeta itu dalangnya," sambung detektif Ro. Lengannya menunjuk sang pendeta yang sibuk menggagahi Maria.
"Njir, pendetanya mesum, kayak dukun AS." Nano mengomentari adegan itu. Entah kenapa pemuda itu tak bersemangat untuk menyelamatkan Maria. Tragedi 'penguluman penis' terhadap Weiss membuatnya merasa malas.
Detektif Ro lagi-lagi menunjukan ketenangan dalam analisisnya, "Kau urus saja cawan aneh di sana, sepertinya benda itu kunci utama atas rencana mereka."
Nano menangguk, seraya mengacungkan jempol, "Roger!"
"Cukup panggil Ro saja, tak perlu menambah Jer." Detektif itu merespons dengan wajah malas. Lengannya kemudian merogoh saku, seraya mematik api untuk menghisap cerutu. Dia hanya menonton dalam jarak aman, menikmati eskalasi antar orang-orang ini.
Nano melesat cepat. Dia nyaris saja menggapai cawan suci. Akan tetapi niatnya dipaksa untuk berhenti. Andai ia gagal menyadari serangan kejutan Odin, saat ini mungkin lehernya sudah berlubang oleh sayatan dari dagger lawan.
Maka melompatlah pria berambut merah itu, memutar tubuhnya ke belakang, melakukan rangkaian handspring untuk menghindari ayunan benda tajam.
Odin di lain pihak, tak perlu mengucap kata-kata untuk bertukar sapa. Misinya hanya satu, lindungi cawan suci hingga keinginannya terkabul. Tak sabar rasanya untuk bertemu sang bunda. Siapapun yang berniat menggagalkanya, lebih baik mati saat ini juga.
Dentring suara logam terdengar nyaring dalam gelapnya suasana. Tak ada salam perkenalan. Keduanya berbicara lewat pertukaran serangan. Percikan api menciptakan sekelebat cahaya di tiap benturan pedang.
Tiap ayunan pedang selalu dilancarkan dengan serangan balasan. Dua orang itu sama-sama gesit. Baik kecepatan gerak, refleks, maupun kelincahan saling mengungguli satu sama lain.
Sementara mereka sibuk berduel satu lawan satu, Anita di lain pihak mulai berjalan memperpendek jarak. Sasarannya tentulah sang pendeta cabul.
Pokiel namanya, lengannya mencengekram erat pinggul Maria dari belakang.
Gadis itu dipaksa menungging. Bagian atas tubuhnya harus bertumpu pada lengan yang terikat. Pergelangan tangan Maria tergantung erat pada sebuah tiang. Dia dikekang selayaknya kerbau.
Gadis itu dipaksa mengenakan gaun pernikahan berwarna putih. Pendeta Pokiel mungkin memiliki fetish tertentu. Mungkin juga karena mengingatkannya pada gadis berambut emas bernama Saber. Apapun itu, yang jelas gaun menjuntai sukses meningkatkan libido sang Pendeta. Lenguhannya bercampur dengan desahan Maria.
Sang gadis hanya bisa menahan kejinya pemerkosaan lewat sebuah rintihan. Dia kalah tenaga hingga gagal untuk memberontak. Pemikirannya meleleh entah sejak kapan. Semua ini karena kelainan biologis pada tubuhnya.
Maria perlahan menoleh ke belakang. Wajahnya menyiratkan semacam kepedihan, "Hentikan..." ucapnya tak terima. Kali ini jelas berbeda, Maria tak memberikan ijin bagi Pokiel untuk menancapkan penis itu pada anusnya. Ia benci orang itu, jadi tiap pompaan dirasa sebagai sebuah penghianaan. Dan itu sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan.
Gadis itu lupa akan tujuan sesungguhnya. Pemikiran utama telah gugur dalam larutan kenikmatan yang mendera. Perutnya mulas, dikoyak oleh batang kejantanan pendeta yang berukuran tak biasa.
"Tolong..." Air mata gadis itu mengalir pelan.
Segera saja, harapan itu terkabul menjadi kenyataan. Pergerakan sang pendeta cabul mendadak terhenti. Anita menamparnya sekuat tenaga didorong rasa kesal dalam hati.
Tamparan itu amatlah bertenaga, hingga sanggup menggeser kepala hingga copot dari tempatnya.
Seigi no Mikata, begitu Anita memanggil dirinya, kurang lebih bisa diterjemahkan sebagai Pahlawan Keadilan. Oleh karenanya, melepaskan Maria dari penderitaan merupakan sebuah kewajiban yang harus segara ditunaikan.
Namun gadis berambut bob pendek itu malah terkesiap tak percaya. Ia baru sadar akan kesalahannya dalam mengatur porsi tenaga. Dilihatnya, kepala sang pendeta malah menggelundung di kejauhan. Sebuah jeda tercipta sebelum dirinya mengucap khilaf, "Ah... maaf."
Sebenarnya ia tak mau membunuh pendeta itu. Tapi tindakan Pokiel memanipulasi orang, serta memerkosa perempuan di hadapan mata, dirasa amat bertentangan dengan sila keadilan di dalam dirinya. Mendadak saja Anita teringat akan sang bapak yang juga berkelakuan sama. (Terkecuali di bagian mesumnya.)
Tali yang menahan Maria dirobek dengan mudah. Lengan Anita juga menjulur sebagai wujud ketulusan.
"Terima kasih," ucap Maria. Gadis itu membetulkan posisinya, seraya pandangan mata menerawang jauh menuju sudut ruangan.
Anita ikut memerhatikan pertarungan di kejauhan. Gadis itu berkomentar pelan, "Dengan kalahnya Odin, maka konflik ini akan berakhir. Walau sayangnya aku gagal menghentikan kematian orang-orang ini."
Maria menanggapi itu dengan wajah tertunduk. Lengannya memunggut rosario kecil pemberian dari adiknya, "Maaf, tapi aku tidak sependapat denganmu."
Anita lengah. Dia mengutuk dirinya sendiri karena mengira Maria berpihak padanya. Perempuan lacur itu tega menancapkan bagian tajam dari jimat berbentuk salib, tepat di bagian leher. Tubuhnya mendadak lumpuh seperti dibius, "Uuuukh..."
Maria tertegun, mendapati Anita masih sadarkan diri meski tengkuk lehernya ditusuk begitu dalam. Padahal luka itu sangatlah fatal, hingga menyeruak menembus dagu.
Detektif Ro juga gagal memprediksi itu. Dia berlari mendekat, berusaha menolong Anita yang tengah kesusahan. Ia memutuskan untuk tak mengejar Maria yang tengah melarikan diri.
"Aaah.... Aaaaaaa.." Permukaan kulit Anita terlihat menggelembung, persis seperti air mendidih. Dari pori-pori kulitnya, muncul semacam cairan kental berwarna hitam. Gadis itu terbelalak panik. Pipinya membengkak hebat, lalu pecah seperti balon. Susunan indah dari hidung, mulut dan mata telah diganti dengan beragam sulur menjijikan. Wujud manusianya lenyap entah sejak kapan. Anita tak ubahnya seperti segumpal gurita dengan tentakel menutupi segalanya.
Rosario berbentuk salib tak disangka sanggup melumpuhkan Anita. Permukaannya mengandung rapalan Aspersion, Sacrament, dan blessing dari pendeta suci di dunia Maria.
Wujud Shogoth pun aktif tanpa diduga. Kehadirannya menebar aura kematian. Siapapun yang melihatnya, akan dirasuki energi misterius tak kasat mata. Detektif Ro contohnya, dia menjadi korban pertama karena berada terlalu dekat dengannya.
Pria itu menjerit kesakitan. Tubuhnya seakan menua, hal itu terlihat dari kulit yang berubah keriput, juga rambut memutih selayaknya uban. Pria itu bertekuk lutut seraya memegangi telinga, merintih sakit atas siksaan di kepala. Dari sudut matanya, mengalirlah darah selayaknya airmata. Hidung, mulut dan telinga seakan ikut jebol mengeluarkan cairan kental merah tua.
Tubuhnya ambruk. Mayatnya ditarik masuk ke dalam gumpalan sulur menjijikan. Kakinya melebur disertai asap, sedetik setelah menyentuh cairan hitam.
Bab IV : Pengorbanan
Maria berlari menyelamatkan diri. Telinganya samar menangkap dentring suara dari logam yang beradu. Di sudut lain katredal ini, terdapat arena lain berisikan pertarungan Odin melawan Nano.
Duel itu pastilah cukup intens, karena Maria bisa melihat beragam kerusakan di perabotan sekelilingnya. Lemari kayu di sampingnya, bahkan memiliki tiga goresan melintang mirip dengan bekas cakaran velociraptor.
"Aaah!"
Sebuah jeritan membuyarkan pikiran Maria. Suara itu milik Odin. Gadis itu bergegas cepat melangkahkan kaki menyusuri ruangan lain.
Dilihatnya, Odin tengah terkapar tak berdaya.
Nano berhasil memojokkan lawannya. Dagger miliknya menempel erat pada leher Odin, siap digesekkan untuk menyembelih.
Maria harus melakukan sesuatu. Tubuhnya melompat cepat, menubruk Nano yang sedang menindih Odin, "Hentikaan...!"
Tak sedikitpun Nano merasakan kedatangan Maria. Ia seakan membiarkan dirinya ditubruk jatuh, berguling-guling, lalu berakhir dalam kondisi saling berpelukan.
Maria memeluknya begitu erat. Seperti seorang kekasih yang haus akan kerinduan.
"Le-lepaskan Non, aku lagi berantem nih." Sekuat tenaga Nano mendorong tubuh Maria, tapi entah kenapa ia malah merasa lemas tak bertenaga. Apa karena dua bongkahan dada itu berhasil mengalihkan perhatiannya?
Ternyata bukan, itu memang salah satu efek dari kemampuan Maria. Dia sanggup menghisap energi dengan cara memeluk lawannya. Seks dan oral bukanlah satu-satunya jalan untuk melumpuhkan manusia.
Lantas kenapa Maria tak melakukan ini dari dulu?
Karena kemampuan ini memiliki batasan. Proses penyerapannya tak seekstrim perbuatan mesum lainnya. Dan pelukan itu bisa dihentikan tengah jalan, andai sang korban menolak dengan mendorongnya.
Berbeda dengan kasus Nano kali ini. Pemuda itu terlalu terkesima pada dua tonjolan besar di dada Maria, hal ini membuatnya gagal fokus untuk segera melepaskan pelukan secepatnya. Alasan lainnya adalah, karena feromon Maria masih menebar di udara selepas jam sange-nya. Secara tidak langsung itu ikut memengaruhi pemikiran Nano. Napsu birahinya semakin naik, dan itu menutupi sebagian kebijaksanaannya.
"Jadi ini rasanya pemakan buah iblis ditempeli Kairoseki." Nano malah meracau tak jelas, seraya kesadarannya larut semakin lelap.
Tadinya Maria berniat melumpuhkan lebih jauh. Tapi melihat reaksi Nano saat ini, rasanya satu pelukan itu juga sudah lebih dari cukup. Pria itu tergolek lemas seperti orang dibius.
Maka dilepaskanlah pelukan itu, seraya dirinya berdiri menghadap Odin. Wajah Maria terlihat berbinar-binar.
Odin mengukir senyum terindah yang pernah ada. Wajah pria itu terlihat teduh, seraya lengannya mengusap pipi gadis di hadapan, "Terima kasih Maria..."
Maria memejamkan matanya lega, seraya memegangi tiap jemari Odin dengan lembut.
"Terima kasih... dan maafkan aku." Odin mengubah ekspresinya secara drastis. Sejuta kepedihan tersirat di wajah. Berat rasanya untuk melakukan ini. Lengannya menarik kain yang menutupi mata kanan, mengaktifkan kekuatan terlarang untuk menghisap jiwa.
Pandangan Maria terbuka lebar. Relung pikirannya seakan tersedot jauh menuju dasar paling dalam. Gadis itu seakan hilang kewarasan. Hal itu terlihat dari air liur yang mengalir tak terkontrol. Pipinya juga berubah merah seperti kepiting rebus.
"Odin... oh Odin..." gadis itu membelai pipi Odin. Ia tak memberikan perlawanan sedikitpun, tatkala Odin merebahkan jatuh, lalu menindih dirinya. Maria membuka selangkangannya lebar-lebar, seakan mempersilakan pemuda itu untuk menggarap lubang suci yang selalu dijaga sedari dulu.
Odin tidak langsung mengeksekusi gadis itu. Dia ingin memberikan Maria kepuasan terbesar sebelum ajal menjemput. Berbeda dengan seks anal yang selama ini gadis itu lakoni, hubungan seksual kali ini langsung menyasar sumber kenikmatan dari seorang wanita.
Badan Odin tertunduk, menempatkan kepala di tengah kedua paha. Kedua jempolnya menarik lebar celah sempit di hadapan wajah, menyingkap keberadaan lubang kemerahan yang sudah basah.
Jilatan kecil dari Odin, berhasil mengirim impuls dingin menyejukkan pada diri Maria. Rasanya seperti terkena sengatan listrik statis, merinding hingga bulu kuduk mematung tinggi. Punggung gadis itu menegang, seraya matanya membelalak lebar menatap angkasa. Tak pernah ia rasakan sensasi seperti ini sepanjang hidupnya. Lidah Odin bertindak layaknya vibrator, bergetar cepat mengelus klitoris berulang-ulang.
Odin harus merelakan kedua telinganya terkena tekanan. Paha Maria menjepit kuat seraya jemari gadis itu menjambak rambutnya.
"Ah.... Aaaahhhnnn..... Mmmmhhhh...!" Gadis itu menggigit lidahnya sendiri. Matanya terpejam erat. Badannya menggelinjang seperti orang kesetanan. Rangsangan ini terlalu kuat.
Kemaluan Maria serasa banjir. Tak peduli berapa kali Odin menyedot dan menjilati, celah sempit itu senantiasa basah dengan cairan pelicin.
"Aaaaaaahhh!"
Lolongan kecil terdengar sebagai bel untuk mengakhiri. Maria merasakan kenikmatan puncak dari vagina miliknya untuk yang pertama kali. Gadis itu siap untuk proses selanjutnya.
Acungan tongkat cinta berdiri tegap menantang angkasa. Napas Maria yang masih tersengal, dibuat terkesiap ketika menatapnya. Ukuran senjata itu ada atas rata-rata.
Odin harus menepis lengan Maria, tatkala gadis itu melakukan inisiatif untuk melakukan oral padanya, "Biar aku yang melakukan ini," ucapnya lirih.
Maria mengangguk paham. Tubuhnya kembali merebah pasrah. Tak pernah ia lepaskan pandangan penuh cinta itu. Termasuk ketika bagian glans penis mulai merangsek masuk menjebol hymen miliknya. Mulut gadis itu terbuka sedikit, menganga tanpa suara.
Tercipta sebuah kepedihan, sedetik setelah pelindung keperawanan rusak dikoyak. Hal itu terlihat dari bercak darah yang menetes. Odin lantas menancapkan kelaminnya dalam-dalam, seraya kedua lengannya memeluk Maria erat penuh perasaan. Napasnya pendek memburu.
Pandangan Odin terlihat berkaca-kaca, "Maria..."
Odin paham betul, akhir dari hubungan seks ini adalah ajal dari Maria. Tapi ia tak punya pilihan lain. Siapapun pasti rela mengorbankan segalanya, demi bertemu kembali dengan sang bunda yang sudah tiada. Odin harus membuang jauh perasaannya terhadap gadis itu.
Maria terlihat begitu bahagia. Jemarinya membelai pipi Odin dengan mesra. Tubuhnya terentak berulangkali di tiap kali Odin memompa. Payudara kenyal bahkan bergoyang-goyang seperti puding menggoda.
"Hhhhh... Ahhhn..."
Odin tak tahan lagi. Ia ingin melakukan ini selama mungkin, tapi rapatnya liang seorang perawan merupakan hal yang tak terbayangkan. Vagina gadis itu begitu erat mencengkeram, membuatnya belingsatan hendak menumpahkan muatan.
"Maria... Maria!"
Pinggulnya melesak dalam, mendorong gadis itu kuat, seakan meyakinkan spermanya menyembur jauh menuju rahim.
Gadis itu menutup mata, lemas hilang tenaga.
Odin bertambah sedih. Pemuda itu menggigit bibirnya erat-erat, seraya menatap wajah cantik jelita gadis di hadapan. Maria tak akan bangun lagi untuk selamanya. Setan Asmodeus telah merenggut perempuan yang sanggup mengisi celah di relung hatinya. Takdir itu terasa amat menyakitkan. Odin tak bisa jatuh cinta pada siapapun. Perempuan mana saja yang berhubungan dengannya, akan menemui akhir seperti ini.
Sulit rasanya untuk membendung kucuran air mata, "Bangsat..." umpat pemuda itu tak terima.
...
Bab V : Pertukaran
Jauh di dalam jiwa Odin, samar terdengar suara sang setan tengah dirundung ketakutan.
Asmodeus berubah panik. Seharusnya saat ini ia bisa mendapatkan saripati dari jiwa Maria. Tapi yang ia dapatkan malah sebuah bencana.
"Maaf mz, kamu bisa nggak berhenti menyiksa Odin?" Seseorang berucap lantang, jauh dalam kegelapan.
"Maria?"
Dalam ketiadaan itu, sang gadis berambut cokelat kemerahan perlahan menampakan diri. Senyum menawan menghiasi wajahnya,
"Tepat sekali. Kamu pasti kaget ya? Kaget dong," ucapnya diselingi tawa, "Aku kan jiwa pertama yang bisa memerangkap balik kamu."
Apa yang sudah gadis itu lakukan? Membuat setan penguasa kegelapan tunduk di hadapan manusia? Itu benar-benar sebuah penghinaan, "Bagaimana bisa?"
Maria menempelkan ujung jemari pada bibirnya, "Mmmmh... gimana ya? Aku sendiri nggak tau. Yang jelas sekarang kamu ada di bawah kendaliku."
"Apa maumu?"
"Gimana kalo kamu berhenti mengganggu Odin? Mungkin diawali dengan berhenti menyiksa dia, dengan memaksa coly sampe tytyd-nya berdarah, mungkin?"
"Kau bisa tahu sejauh itu. Mengesankan sekali." Asmodeus tak mau kalah, ia lantas menunjukan wujud sesungguhnya.
Monster gagal operasi, kira-kira itu sebutan yang pantas. Jika cerberus itu anjing berkepala tiga, maka setan bernama Asmodeus ini gabungan dari berbagai makhluk dicampur aduk menjadi satu. Sebut saja; ada kepala kuda, pria mesum, domba, kerbang menempel di sana. Belum lagi permukaan tubuh bersisik yang mirip dengan naga, alih-alih makhluk bipedal seperti manusia. Cakarnya memang terlihat mengintimidasi, tapi bentuk keseluruhan amatlah tak mengikuti kaidah proporsi.
Maria bahkan ragu Asmodeus bisa berjalan mendekati dirinya. Gadis itu lantas mengucap dengan nada arogan, "Turuti perintahku, atau kuenyahkan keberadaanmu untuk selamanya."
Asmodeus sukses dibuat naik pitam mendengarnya, "Jangan sombong, manusia!"
"Aih, tapi aku bukan manusia, jadi gimana dong?" Raut wajah Maria berubah santai nyaris seketika. Tak sedikitpun ia terpengaruh oleh suara parau nan menggelegar. Yang ada, dia malah menyilangkan lengan, seraya menempelkan jemari di bibir. Mulutnya berubah manyun, seperti menunjukan sebuah kebingungan, "Mz ini emangnya nggak tau lagi di mana?"
Setan itu heran atas sikap dingin yang ditunjukan Maria. Pikirannya berubah waspada, karena di balik ketenangan kadang terselip sebuah marabahaya.
"Kamu kira kamu masih menguasai jiwa Odin, tapi sebenarnya kamu sekarang ada di dalam tubuhku."
Mendengar itu, menggeramlah Asmodeus. Pantas saja, sedari tadi ia gagal mendapat imaji dari pendengaran dan pengelihatan Odin, "Kau jangan macam-macam denganku."
"Yang jangan macam-macam itu kamu mz," balas Maria. Lewat sebuah kehendak singat, gadis itu menciptakan semacam bangun ruang tak kasat mata. Letaknya di kedua sisi Asmodeus. Lalu tanpa sedikitpun belas kasihan, ia himpit setan itu secara perlahan, hingga tercipta jeritan memilukan atas sebuah kepedihan.
"He-hentikan..."
"Bilang ampun dulu dong..."
"I-iya... ampun.."
"Nah gitu... good booooy~..." Maria berubah girang, persis seperti seorang majikan sedang melatih anjingnya. Sisi sadistiknya muncul ke permukaan.
Baru pertama kali semenjak keberadaannya tercipta, Asmodeus bisa dibuat begini tertekan seperti menghadapi malaikat kematian. Ia bahkan tak memprotes tatkala tubuhnya dibuat hilang tenaga, "Apa yang kau lakukan?"
"Mmmmh... mengambil energi di tubuhmu. Sekaligus membuat kontrak."
"Kontrak?
Maria mengacungkan jari kelingkingnya. Ia mengajak setan itu untuk melakukan pinky promise.
Dipenuhi canggung, setan itu akhirnya terpaksa menyetujui syarat dan ketentuan dari Maria. Asmodeus menempelkan jemari bersisiknya pada gadis itu.
"Mulai dari sekarang, selama aku masih ada. Kau tak akan pernah bisa menyakiti Odin lagi. Separuh kekuatanmu ada dalam genggamanku. Dan kau tak akan bisa menyerap jiwa lagi sampai seseorang kehilangan nyawa."
"Tunggu dulu, aku tak bisa menyerap jiwa? Tapi itu sumber nafkahku."
"Membunuh itu tidak baik mz," jawab Maria tegas. "Kau masih bisa hidup meski hanya menyerap manna, atau tenaga dari manusia. Aku sendiri sampai sekarang masih sehat wal'afiat kan?"
Tak ada jawaban. Asmodeus hanya menggerutu tanpa suara. Prosesi pengikatan kontrak kemudian berlanjut dengan kemunculan rantai kecil dari tiap jemari Maria. Rantai itu menusuk masuk ke dalam jantung Asmodeus, lalu terputus setelah mengikat jantungnya erat.
"Kalau kamu melanggar, rantai itu akan meremas jantungmu hingga hancur."
Asmodeus menarik napas sejenak, "Apa nggak ada ide kontrak yang lebih original? Nanti ada yang sadar kau mencontek skill-nya Kurapika."
"Ah Bacot kamu mz." Maria tak ambil pusing. Gadis itu menyudahi kontrak dengan menarik kembali kesadaran ke permukaan. Tubuhnya serasa ditarik jauh menuju angkasa.
...
Odin hanya bisa termanggu tak percaya. Gadis dalam pelukannya kembali bernapas, seraya kelopak matanya berkedut mengumpulkan kesadaran, "Maria?"
Maria menjawabnya dengan senyum teduh menenangkan. Gadis itu membelai pipi Odin dengan mesra, "Kau tak perlu khawatir lagi, si setan itu sudah berhasil kujinakkan."
Agak sulit bagi Odin untuk bisa menerima. Tapi melihat kondisi Maria yang masih hidup, sedikit membantunya untuk bisa percaya, "Kau tau setan itu?"
Maria mengangguk pelan, "Aku bukan seorang membaca pikiran. Tapi entah kenapa, semua ucapan setan itu bisa terdengar jelas. Mungkin karena radar mesumku begitu kompatibel dengan setan berjenis napsu birahi itu."
"Kau... tahu semuanya? Sejak awal kau sudah mencuri dengar?"
Gadis itu kembali mengangguk pelan, "Termasuk tawarannya untuk membangkitkan ibumu."
Odin sedikit menelan ludah, "Apa benar bisa dilakukan?"
Belum sempat Maria menjawab. Ketenangan mereka harus terusik oleh suara lolongan. Lantai tempat berdiri mendadak bergetar, seakan gempar besar melanda seisi bangunan.
Bab VI : Pelarian
Konstruksi katredal ini terlihat rapuh. Dindingnya mengeluarkan debu, seraya susunan bata itu copot satu persatu. Tanpa dikomando, Maria dan Odin bergegas pergi ke luar.
Lima langkah keluar dari pintu, pelarian mereka harus terhenti sampai di sana. Di hadapan keduanya, muncul beragam sulur menjijikan berwarna hitam. Makhluk itu membentuk dinding, melahap tiap jengkal ruang kosong yang ada.
Odin memerhatikan sejenak, mengamati bagaimana sang tentakel menambah massa di tiap detiknya, "Makhluk itu membengkak?"
"Mungkin," jawab Maria. Gadis itu menggapai lengan Odin, untuk kemudian berbalik arah mencari jalan keluar, "Lewat sini!"
Namun nahas, gumpalan hitam itu tak pernah absen menghadang di tiap percabangan jalan. Mereka memerangkap Odin dan Maria seperti tikus dalam jebakan.
Maria lantas mengacungkan lengannya, seraya berteriak lantang, "Freeze!"
Sebagian gumpalan itu mendadak membeku, akan tetapi tetap saja menghalangi lorong hingga tak bisa dilewati.
Odin terkesiap, "Lho, kau bisa sihir?"
Maria buru-buru menggelengkan kepala, "Nggak, aku juga kaget. Tadinya sebatas iseng, coba meniru mantra dari ibuku. Ternyata bisa."
Sulur hitam lainnya berusaha menggapai lewat celah sempit di jendela. Maria kembali mempraktekan kemampuan tadi.
"Freeze!"
Tak ada respons.
"Nah loh?!"
Odin menarik lengan gadis itu untuk menghindar, "Mungkin ada jeda cooldown-nya. Sudahlah, jangan dipaksakan."
Mereka kembali memutar arah.
"Ke sini! Kita memutar lewat Dungeon saja." Maria kembali menarik Odin menuruni tangga.
Embun kecil tercipta tiap kali napas diembus. Mereka berlari kencang menyusuri lorong sempit. Sesekali keduanya menoleh ke belakang, demi meyakinkan diri bahwa pengejar mereka tidak semakin mendekat.
"Ini labirin, kau tahu petanya?" Odin berucap diliputi kecemasan.
Gadis cantik di sampingnya memperlambat langkah. Wajahnya menoleh ke persimpangan sebelah kanan. Jemarinya lantas menunjuk ke sana, mengarah pada kumpulan mayat tak tentu rupa. Para jenazah itu tak lagi utuh, mereka dalam kondisi terpotong-potong, bekas serangan Nano di waktu sebelumnya. Maria berencana untuk menelusuri perjalanan Party Anita dari titik akhir menuju awal.
Tentakel tadi kembali menyusul, datangnya dari tangga pintu masuk Dungeon. Keduanya lantas mempercepat ayunan kaki. Napas yang memburu menjadi pertanda bahwa tubuh mereka memprotes untuk segera berhenti. Tapi di situasi hidup mati seperti ini, siapapun akan berpikir bahwa lebih baik mati kelelahan, dari pada tertelan.
Jejak mayat dari kelompok Anita benar-benar membantu proses pelarian. Tak lebih dari sepuluh menit, mereka berdua sudah kembali muncul di permukaan. Dari sana, barulah terlihat seberapa parah kerusakan yang ada.
Salah satu sulur itu melecut hendak menerkam.
Odin sontak menubruk Maria, demi menghindarkannya dari kematian. Pemuda itu begitu cekatan. Mereka pun terjatuh bersamaan, selamat dari empasan barusan. Monster tadi meraung keras seraya mengirim hujan lendir menjijikan.
Bau menyengat memenuhi udara. Gumpalan makhluk tak jelas bentuknya itu semakin berkembang tanpa terkenali. Tiap sulurnya menyeruak keluar dari lubang jendela. Tiap tentakelnya mengacung tinggi, meliuk-liuk di bawah siraman rembulan.
Raungan keras tercipta memecah kesunyian malam. Tak ayal, warga kota sontak berlarian keluar dari rumah masing-masing. Mereka sibuk mengabadikan Shogoth raksasa. Beberapa malah ada yang nekat melakukan selfie seraya berjalan mendekati.
Beberapa sulur itu melecut cepat, menarik warga tak tahu diri yang berdiri terlalu dekat. Mereka menjerit ketakutan, lalu lenyap sedetik setelah menyentuh permukaan.
Tubuh Odin mendadak saja hilang keseimbangan. Maria mendorongnya keras, menghindarkannya dari sebuah ayunan.
"Eh?"
Waktu seakan melambat. Dua orang itu sempat bertatap mata sejenak. Rambut gadis itu melayang indah. Odin bahkan memergoki senyum menenangkan di bibir Maria. Gadis itu seakan berkata, "Segalanya akan baik-baik saja."
Detik berikutnya, Maria ditarik jauh memasuki monster di kejauhan.
"MARIIIA..!!" Tak peduli secepat apa Odin mengejar, gadis itu diseret masuk ke dalam tubuh sang monster hitam.
"Jangan pergi ke sana!" Sang Asmodeus mencegah langkah Odin.
"Diam kau setan!"
"Kau tidak mau membangkitkan ibumu lagi? Aku bisa mengabulkannya sekarang juga."
Odin melawan sekuat tenaga, atas kontrol Asmodeus atas dirinya. Pemuda itu menyeret salah satu kakinya yang hilang tenaga, "Aku tak peduli."
"Biarkan dia mati!"
"Tidak untuk kali ini." Odin menghunus kedua senjatanya, lalu menubruk permukaan tubuh Anita seraya merobek terlebih dahulu permukaannya.
Panas, itulah sensasi pertama sedetik setelah menyentuhnya.
Rasanya seperti dipanggang hidup-hidup. Seakan tiap alarm meraung keras memberitahu kerusakan parah di seluruh tubuh. Tubuhnya bergetar hebat, berusaha melawan siksaan mendera.
Tak ada petunjuk bagi Odin untuk menemukan Maria di sana. Segalanya terasa gelap. Membuka kelopak matapun membuatnya buta seketika. Cairan itu berlaku bak asam membara.
"Maria..!" Lengan Odin menggapai sejauh mungkin, berharap gadis itu ada di dalam jangkauan.
Dan harapan itu terkabul. Jemarinya merasakan sebuah sensasi familiar. Meski lengan dan kaki semua orang nyaris sama, tapi Odin yakin sosok yang ia pegang pastilah Maria. Ia tak akan lupa bagaimana rasanya menyentuh gadis itu.
Sekarang, bagaimana caranya mereka bisa keluar dari sana?
Pandangan Odin buta, telinganya mendengung hebat. Satu-satunya yang berfungsi hanyalah indera perasa, dan itu juga nyaris sirna digerogoti oleh perih yang menyiksa.
Rasa kantuk menyerang sedari tadi. Sedikit saja Odin memejamkan mata, berarti ia tunduk pada letih yang menggerogoti jiwa. Andai terbesit niat untuk menyerah, maka kesadarannya dipastikan sirna.
"Tolong…"
Perlahan namun pasti, penderitaan ini mulai memudar dengan sendirinya. Tak ada lagi rasa sakit, juga ngilu yang menyiksa.
Rasanya seperti jatuh ke dalam kegelapan. Terjun menuju jurang tak berdasar, menyusuri dimensi tak berujung.
Jatuh… dan terus jatuh.
Perasaan damai datang menyambut dalam ketiadaan. Napaspun terhenti dari tugasnya, bersamaan dengan absennya detak jantung penyokong kehidupan.
Epilog : Evaluasi
Dalam gelapnya langit malam, terlihat dua sosok panitia tengah menapaki lantai tak kasat mata.
"Kok jadi begini sih? Lihat, mereka semua mati." Ratu Huban memprotes. Dilihatnya katredal yang menjadi ajang pertarungan malah hancur digerus dari dalam.
Zainurma menyilangkan lengannya seraya bertopang dagu, "Hmmm… sudah kuduga."
Sebuah jitakan mendarat di kepala pria itu, "Sudah kuduga apanya? Kau juga gagal memprediksi ini."
Di daratan bawah sana, terdapat tim BSAA, merespons cepat untuk menangani ancaman Bio Organic Weapon.
Shogoth raksasa itu berakhir mengenaskan di hadapan teknologi modern. Tepatnya di bawah keperkasaan senjata legendaris bernama RPG.
"Zainurma, mereka semua mati."
"Iya aku tahu itu. Tapi itu bukanlah masalah, yang penting sudah ada rekamannya, dan semoga saja sang kehendak puas akan hal ini."
"Kalau tidak?"
Zainurma berpikir sejenak, "Mungkin akan ada semacam remedial. Orang-orang ini akan kuberi kesempatan lain, untuk menyelesaikan konflik di kota bekasi.'
"Jangan lupa untuk menghapus semua ingatan mereka atas kejadian ini."
Anggukan kecil diberikan Zainurma sebagai jawaban.
…
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 15 - VENESSA MARIA | NOBODY
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 07 - VENESSA MARIA | REUNION
>Cerita selanjutnya : [ROUND 2] 07 - VENESSA MARIA | REUNION
[i] Tanker— istilah defender dalam party game MMORPG. Biasanya, seorang tanker memiliki defense yang tinggi, fungsinya sebagai pengalih perhatian monster, agar menyerangnya sementara yang lain bertindak sebagai Damage Dealer, bebas melakukan serangan.
[iv] Dungeon—istilah dalam game, merujuk pada tempat khusus berisi monster. Biasanya berupa labirin yang membingungkan.
Wah ini kasus unik.
BalasHapusPertama-tama, sampean berhasil menyajikan Anita dengan baik. Kurang lebih memang sesuai dengan yang saya sajikan di cerita saya sendiri ('3')d
Masalahnya mungkin hanya Anita revert ke shoggoth modenya terlalu mudah. Tapi durability begitu sih memang tergantung ke penulis, terutama kalau bukan di canon sendiri, jadi ini nggak mempengaruhi nilai saya.
Narasinya cukup. Untuk cerita, awalnya cukup hambar, tapi lama-lama seru. Klimaks battlenya terutama bisa mencuri dan mempertahnkan perhatian saya sampai akhir.
Tapi itu ending apa-apaan dah? Lol. Mungkin menarik, karena sekarang R2 jadi serasa remedial untuk Maria (kecuali rematch ini sampean mau bikin cerita R 1.5 or something) tapi ya... bahkan ending ngaco kaya Maria ngezechs Anita sampai Anita lemes pun masih bisa lebih saya terima. Rasanya kurang oke.
Nilai pertama yang terpikirkan saya adalah 7.5. But oh well, saya genapkan saja jadi 8. Pertarungannya seru, at least, meski endingnya begitu.
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Halooo, maaf baru mampir ke sini lagi~
HapusSaya kan studi banding dulu sama kasus Anita mz~
Saya malah gak ngulas battle di sini, kebanyakan NATO (No Action Talk Only)
._.
Seperti yang Sam bilang, ending kena kapak wkwkwkwkwk
enggak kok, ini open ending. Jadi entry yang lain yang settingannya di bekasi bisa dianggap canon sama Maria buat ke R2 nanti.
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : C
Writing techs : B
Engaging battle : C
Reading enjoyment : B
Nuansanya ngasih vibe campuran RE4 sama F/SN. Banyak banget referensi parodi, bikin saya khawatir ga semua yang baca ini bakal ngeh maksudnya, tapi emang udah risikonya ya. Saya bahkan lebih concern soal ini sepanjang baca daripada adegan" R18 yang kayaknya udah mandatory buat entri Vanessa Maria
Sebenernya di tengah menuju akhir saya udah lumayan suka, gimana Anita yang paling bahaya bisa dinetralisir dan Maria nguasain Asmodeus dengan konfrontasi yang masih believable. Cuma endingnya kayak gitu, berasa kayak manga kena axe
Yah, setidaknya karena ga ada kendala berarti buat saya baca ini, masih bisa dinilai average lah
==Final score: B (8)==
OC : Iris Lemma
Yuhuuu, halo Sam~
HapusYa, saya sadar kok itu resiko entry guyon yang ngandelin parodi berlebihan.
Adegan R18 itu WAAAAJIIB buat Nessa, gimanapun juga ini tema utama yang saya usung di BoR VI ini~
Manga kena kapak, wkwkwkwkwk
Makasih Sam~
hmm...membunuh 50 jiwa lbh mudah ya daripd ngumpulin 7 dragonball biar permintaannya terkabul.
BalasHapussaya ngakak dari awal sampe akhir. fate nya kerasa bnget. dan pas d dangeun tersesat krn glap. berasa saya lagi main pokemon tapi lupa bw flash.
ada drama2 jg. dramanya shun oguri XD. dan masih bnyak lg yg bkin ktwa terbhak2
tapi kok endingnya mereka pada mati? bukannya dr ketentuan nggak boleh mati ya?
9 deh karna lucu
oh iya lupa. ena ena itu termasuk bahasa baru ya? kok rasanya saya baru tahu kata itu baru-baru ini ya? apa asal katanya dari enak? tapi k nya diilangin?
HapusKarena dragon ball itu terlalu mainstream mz~
HapusSyukurlah kalo guyonannya bisa hit dari awal sampe akhir :D
Ya kan detektif Ro aja sampe tepuk jidat mz
Open ending itu mz, biar bisa nyambung sama entry lainnya dalam satu grup.
Gak ada ketentuan tantangan harus diselesaikan dalam keadaan hidup :v
makasih udah mampir :D
Fata - Po
BalasHapusBuset sepanjang entri disuguhin adegan hentai gini. Komen apaan ya
- komedinya paling lucu yang tentang pisau jimat menurutku. Sisanya masih lucu sih, tapi malah ngilangin ketegangan konflik yg mestinya ada di cerita
- Maria ini kadang godain ini-itu tapi kalo diperkosa nggak mau (bilangnya). Udah dapet power dari Weiss tapi pas diperkosa sama Pokiel epasrah aja gak coba gunain power yg udah didapet. Kesannya Mas Ichsan cuma maksain karakter Maria supaya nurut sama plot hentai, dan ini bikin jengah pembaca kyk aku sih.
- interaksi Maria-Asmodeus-Odin itu menarik. Powernya Maria jg udah keliatan punya potensi utk dikembangin, cuma aja mnurutku Mas Ichsan baiknya pilih aja satu jalur skill yg mau dikembangin. Apakah copy skill atau nambah power fisik atau apa.
Nilai 7
Tema utama saya buat BoR VI ini kan cerita bokep mz~
HapusSaya bahkan gak berniat bikin battle scene, atau drama-drama serius...
._.
Kan ada yang namanya mutual consent mz, sejablay-jablay-nya perempuan tentu dia juga masih pengen dihargai. Gak bisa ditusuk gitu aja.
Asmodeus udah jadi pet-nya Nessa~
:3
Ke depannya sih cuma buat nyerap manna aja.
Yaah, akhirnya diperawanin juga, :(
BalasHapusPaizuri has been confirmed! Trus ada indikasi lactation nih~ referensi buat fanart : Weiss nyusu ama Nessa.
Well, jujur aja saya ga paham sebagian besar joke yang ada disini, seperti yang dibilang mas Sam.
Dramanya sangat terasa, terutama menjelang bagian akhir dan ketika pembangunan chemistry antara Odin dan Nessa.
Cuma endingnya kurang memuaskan buat saya. Mereka semua mati? Kalo memang ada "Remedial", kenapa ga dimasukin scene ketika mereka dihidupkan lagi?
Well, gimanapun plot nya awesome dan ga semurah cerita bokep pasaran.
Once again, I got a boner. Nice job.
Overall Score: 8
At last, greetings~
Tanz, Father of Adrian Vasilis.
Buset dah ini master perbokepan dateng juga~
HapusMakasih buat fanartnya, nessa seneng banget tuh~
Joke-nya joke eksklusif buat yang ngikutin Fate series yak, mohon maaf
m(_.._)m
Endingnya kayak udah main dua jam, tapi gagal ngecrot ya?
You got a boner? Good to hear that
:D
like mother like daughter
BalasHapusakhirnya si nessa mau juga diewe di tempatnya juga... wkwkwkwkwk padahal saya pikir masih terlalu dini bagi nessa buat ngasi keperawanan ke odin.. seenggaknya pas r4, barulah nessa dientot di tempatnya
saya ngeh ama joke-joke yang dilempar, tp banyak adegan yg...ew, kayaknya kok salah waktu aja rasanya... terutama, pas weiss minta nenen... saya pikir development karakter mereka berdua bisa digali sebagai..... ibu-anak, mungkin ._. jadi minta nenenya juga bisa dibikin adegan dramatis
bagaimana juga pembawaaan kang ichsan yg emang beraliran cabul lumayan bikin cerita stensilan ini bukan sekedar bokep biasa bagi saya
8
Axel Elbaniac
Demi Odin apa sih yang nggak mz?
HapusNessa gak yakin bisa survive sampe ke R4. Gak semua orang suka cerita bokep soalnya mz.
Weiss kan kecanduan Susu, susu manapun gak masalah mz
:v
Ichsan? Siapa itu Ichsan?
Kesan pertama yang saya dapatkan adalah: Entri Orchid di FBC tapi digarap lebih serius lagi.
BalasHapusThough, seperti biasa. Namanya parodi itu pastinya akan selalu terjadi hit-or-miss. Dan kalaupun orang-orang ngeh sama joke/parodi yang ada, belum tentu juga orangnya bisa ketawa. Kalau ke saya sih baru sebatas bikin senyum-senyum geli. :s
Buuut, yang paling saya suka adalah development Venessa dan Odin. Benar-benar janjian ya, jadi tim (e)roket. www
Tapi serius, saya senang dengan bagaimana caranya Venessa mengendalikan Asmodeus dalam Odin. Bener-bener tak perlu "kekerasan" berlebih :9
R18-nya standar lah ena-enanya.
Nilai, saya kasih 8 deh.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Wueh? Resiko bikin entry ngeguyon emang gitu mz, gak semua orang bisa ngeh dan ngakak.
HapusNama tim-nya ganti mz, ada demam pokemon soalnya.
Jadi sekarang official namanya adalah Odinessa~
Ena-ena ada standarnya yak?
O.o
Makasih buat nilainya
:D
Nano nggak main game onlen, Nano nggak main game onlen >.<
BalasHapusalurnya bagus dan menarik. menggunakan mesum sebagai alat pemujaan dan konflik utamanya.
masih nggak nyangka keperawanan Venessa (maaf di entryku malah Vanessa XD ) bisa dijebol semudah itu. mungkin karena nggak bakal ketemu lagi sama Odin kali ya?
ngeliat weiss nyedot nenennya Venessa jadi keinget salah satu anime yang nyedot somma (susu murni) buat kekuatannya XD
Nano nggak main game onlen, tapi kenapa istilahnya kebanyakan dari game onlen? walau ada kesan amburadul, tapi jadi aneh aja. dan akhirnya Nano mati dalam pelukan XD
sayang OC tamu kurang dieksplor eksistensinya. jadi keliatannya masalah utamanya malah dari Odin, bukan dari pendeta Pokiel. dan hasilnya Detective Ro dan Pendeta Pokiel hanya pelengkap tanpa dilibatkan terlalu jauh.
battle partynya terkesan gragas. maunya cepet-cepet selesai kaya game rpg. padahal ekspektasiku malah pake strategi dan main aman.
well, tapi yang paling berkesan ya Odin sama Venessanya.
nilai dari saya 8. zing! (semangat!)
Dwi Hendra
Nano Reinfield
Tapi Nano jadi kecanduan game online sememnjak tinggal di museum semesta~
HapusEntry bejat untuk grup yang bergelimang dosa.
OOC adalah hal yang tak bisa dihindarkan~
Nano mati dalam posisi yang ia dambakan~
Kotomine Kirei... maksudku Pokiel dan detektif Ro cuma NPC doang, gak penting buat dibahas.
Lah, saya malah gak niat bikin battle, sejak awal emang drama-drama gaje aja~
Hidup Odinessa~
Ah jadi inget R1nya Leon yg endingnya semuanya mati, hahahaha. Tapi setidaknya di sini ada remedial, nggak kayak waktu itu yg gantung dan bikin semua bertanya2. Anyway, masih seperti biasa, karakter yg agak di-OOC-in buat nge-joke. License joke bertebaran (ngakak pas bagian S.T.A.R.S), dan breaking 4th wall yg lumayan banyak. Malah jadi kangen ngeliat battle ala Gintama yg bukannya bertarung malah asik minum teh. Aku sih pengen ngeliat less license joke, and more boke-tsukkomi routine. Jadi jokenya bisa dinikmati segala kalangan.
BalasHapusOhya, gambarnya jgn di-host ke imgur dong, diblok soalnya :(
Attach lewat email aja, jadi lebih aman. Itu hotlinkingnya aku juga nggak bisa akses, katanya akunku nggak punya akses kesana. Nggak ngerti dah.
Gaya ceritanya udah asik buat diikuti, meski aku bukan penggemar cerita bokep.
Dariku 9/10
~FaNa
baca entry njenengan emang bikin keras :3 hehe referensi ke RE nya keren banget sama kayak bang Bayyee ane ketawa waktu baca bagian S.T.A.R.S nya :v but overall keren bang, Venessa, mungkin cewek kedua terserem di sini setelah Anita. bukan cuma skill tp jg kemampuan alaminya jg :v.
BalasHapusdari ane 8 bang
Zephyr
Astaga kak Buff, astagaaaaa !!!! ekwkwkkw
BalasHapusapalah itu Buff.... *masih ngakak
"Game Online itu tidak baik," kata Maria yang terlahir karena masuknya ibunya ke permainan Game Online ._.
Udah kayak Elsa aja yang main jejak kaki xD wkwkkw
----------------------------------
review dari Umi mulai dari sini,
Selama baca Umi melakukan ini:
> adegan R18, skip, skip
> Baca lagi
> ada parodi, hah? *ngawang, tetep baca
> kembali ketemu R18, skip, skip
> Lalu berantem dumdum
> cerita abis ._.
WAAAAIIIIII T~T
terpaksa baca ulang tanpa nge-skip, oh mai god. kak Umi tobat kak. Umi tobat T~T Umi kira kalau Nessa kehilangan keperawanannya dia mati, kenyataan bahwa dia gituan sama Odin dan ga mati bikin bingung.
Dan apa itu Holy grail War. Umi baca bagian itu, entah kenapa liat Pokiel jadi kebayang kak Sun ._.
Overall, selain parodi sama R18 (which is most of the content) ga ada yang mengganggu. Beberapa kali Umi ga nyambung tapi parodinya sendiri, termasuk soal dungeon, masih bisa dicari tahu. :D
---------------------------------------------
nilai dari Umi : 8
Padahal udah di heavy implied bahwa Venessa ngelindungi virginity itu adalah satu aspek penting dari karakter ini. Tapi ko....
BalasHapusAnyway, reaksi pertama saya setelah baca ini adalah 'All my WHAT?'.
Bukan karena jelek, tapi karena semua Jokenya kayak peluru yang tepat sasaran. Saya masih kebayang beberapa joke di kepala saya. Sayangnya karena ini parodi, R18 partnya jadi ke-overshadow sama parodinya.
Again, Parodi di Battle of Realms itu hit and miss, tapi ini saya bilang Hit. Siapa sih yang mulai trend parodi ini?
Nilai dari William : 9
Pernah buat pas pertengahan puasa kalau engga salah, akun ToS, namanya BelalangRaja – SaudaranyaGM. Lupa server apa, yang jelas saya jadi pemanah (nyesel engga bisa nendang bola api mage), terus engga pernah dimainin lagi. Tapi, ini kenapa malah bahas game haha.
BalasHapusCeritanya sendiri punya narasi yang indah dan rapi, dan komedinya meskipun saya engga kenal sumbernya bisa tetep saya nikmatin beberapa. Setiap baca adegan-adegan adultnya, yang ternyata cukup eksplisit, langsung bikin perasaan campur aduk, buat saya, karena ada unintended nyogong, ada sedih juga, dan lucu because ini segar.
Saya paling suka adegan terakhir waktu Odin nyelamatin Maria, perjuangannya jadi penutup yang pas. 9/10
Oc: Namol Nihilo
Ade worningnye jadi aye sekip bolehkan? Lagian ay3 masih dibawah umur. Numpang liwat aje dimari,,permisi, ehehe
BalasHapusHai nessa sayang, 'suami' mu datang nih. hahaha sengaja datang paling akhir ya biar bisa nikmatin lebih lama
BalasHapusOke, di sini mereka akhirnya kawin. Wakakaka
Tapi sesuai kesepakatan ya, ini awal canon, not quite relate with Canonnya Odin. Toh di canon Odin, dia belum nganuin nessa.
Review
BAJIMBRET SEMUA ISTILAH AJA LO PAKE. SERAH DEH
hahahha. DG 50 cuma si shadowgaler loh, cops amat wkwkwkw
Saya senang cara author "milking" si Odin pake cewe-cewe, oke good, less blood. tapi apa nda pedis itu anuin lebih dari 10 orang? Kayaknya ada aja isinya wkakaka
(sorry ga perna nyoba gituan)
Anitanya lumayan ya disini wkwkwkwk
jadi kayak pertarungan cowoxcowo dan cewexcewe
Dan Odin saya keren banget euh
Karena saya lebih fokus sama developement mereka berdua disini, saya kasih 9
[Ayo mumpung malam minggu, nanti malam saya ambil jatah lagi sama Maria ya]
-Your Beloved Husband, Odin-