oleh : R.J. Marjan
---
The Dream
Aula Museum Semesta, lebih
dari enam puluh orang tak sekalipun membuatnya sesak. Mereka berkumpul di atas
karpet merah dengan kebingungan dan keterkejutan. Di dinding, di atas permadani
berhiaskan benang merah dan emas, berjejer lukisan-lukisan luar biasa. Emas
membingkai tiap kanvas besar yang memuat laga-laga penuh drama dan aksi. Para
Reveriers.
Lucas berdiri disana, tak
memperhatikan apapun selain lukisan yang memuat gambaran dirinya, baru saja
menembakan pisau, dan kabel listrik jatuh di depannya. Garis listrik kekuningan
yang memercik terasa begitu nyata. Disana, dengan detil terlukis gambaran dari
sosok yang tengah menjulurkan tangan, menggeliat. Daniel. Lucas jelas tak
menikmatinya. Juga tak menyesalinya.
Ketika mengedarkan pandangan
ke sekeliling, dia menyadari tiga sosok di dekat pintu tengah mengamati
orang-orang yang kebingungan ini. Salah satu dari mereka terus menjawab tanda
tanya dari para reverier. Mereka tau banyak.
Dari ketiga sosok itu, Lucas
mengenal salahsatunya, Ratu Huban. Kali ini, dia geram akan mereka yang
menahannya dalam mimpi ini. Untuk apa? Dia tak menemukan gagasan masuk akal di
benaknya.
"Apa ini? Apa maksudnya
semua ini? Siapa kalian?" Dia mengeraskan suaranya.
Mirabelle, Sang Dewi
Konservasi sempat menjawab sebelum gempa bumi dan pekik kesakitan melingkupi
aula. Beberapa orang menatap langit-langit dengan nanar sementara tubuh mereka
perlahan menjadi tanah liat. Lucas menatap Sang Dewi dengan kengerian dan tanda
tanya. Yang didapatnya hanyalah kata maaf dari mulut Mirabelle. Pria necis di
sampingnya tak berhenti berkilah sementara Ratu Huban, si kepala bantal malah
tertawa dibelakangnya.
Kesewenang-wenangan. Sebenarnya
Lucas tak begitu peduli. Dia tak peduli pada orang yang kini telah menjadi
tembikar. Tapi kekhawatirannya berpusat pada dirinya. Bahkan saat rasa sakit
menyelimuti semua reveriers. Lucas mengerang sakit, hingga cahaya membawanya
pergi. Dia cemas.
Lucas
Mataku terbuka saat rasa
sakit itu menguap dariku. Aku terbaring dengan nafas memburu. Di sampingku,
seekor domba besar bergelung nyaman. Aku bangkit dan merasakan butiran pasir
yang menempel di tubuhku. Tak jauh dariku, sebuah taksi terparkir menggilas
sejalur ladang gandum di belakangnya.
Tempat
ini,
gumamku.
Jika bingkai mimpi masih
sama, aku pikir lebih baik kembali ke kota untuk mencari tempat tinggal.
Keadaan selalu tak terduga, aku harus menyiapkannya. Mungkin, membuat beberapa
senjata cukup membantu.
Jangan tanya padaku betapa
mengesalkannya pergi dari tempat itu. Aku harus membangunkan dombaku,
mengendalikannya, memasukannya ke jok belakang taksi, dan membuatnya tenang.
Mengemudikan taksi melewati ladang gandum juga sama mengesalkan, karena domba
itu terus mengembik mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan tanduknya seolah mengeluh
rindu pada jerami yang menggunung. Kurasa dia ingin makan.
Pada dasarnya, tempat itu
masih sama. Untuk pertama kalinya, aku berkendara menjelajahi bingkai mimpi.
Aku menentukan mata anginku sendiri. Di utara, tempat ini dibatasi ladang
gandum dan pantai. Di sisi yang lain, ada bebatuan dan jurang membatasi tempat
ini.
Aku terus berkeliling,
sementara dombaku makin jarang mengembik. Yang mengesalkan dari perjalanan ini
adalah jalanan terus berubah dan posisi gedung-gedung silih berganti. Tempat
ini masih sama, tapi ada yang terus berpindah-pindah.
Sebenarnya aku tak berniat
untuk keliling kota, hanya saja aku perlu tempat istirahat yang bagus. Tidak
ada siapapun di sini. Hanya aku. Lalu bayangan Daniel muncul di benaku seolah
dia sedang berdiri di atas mobil hendak menebas kaca depan dengan bilah
berlistriknya.
Tanganku terangkat menutupi
wajahku, dan sebuah hentakan yang keras menghentikan laju taksi. Domba
mengembik dibelakangku. Bersama semua itu, bayangan Daniel menghilang. Aku
tersadar kalau aku baru saja menabrak lampu taman di depan rumah orang. Satu hal
yang kusadari, 'Jika kau bukan psikopat,
itu yang bisa kau alami setelah membunuh orang.'
Setidaknya, Daniel tidak
benar-benar muncul kembali. Aku mendesah berat dan keluar dari taksi. Kubuka
juga pintu belakang, membiarkan dombaku keluar. Dia cukup tenang ketika keluar
dari mobil dan pergi merumput.
Apa
aku benar-benar membunuh Daniel? pertanyaan itu kembali terlintas di benakku.
Untuk pertama kalinya, aku
menyadari sesuatu. Di sini, di alam mimpi, kau tak akan selalu mengingat masa
lalumu dengan baik. Kau juga tak akan tau bagaimana semua ini bermulai. Mimpi
selalu terpusat pada satu episode. Kali ini, ketika episode mimpiku adalah
terjebak di alam mimpi, aku tak benar-benar yakin apakah Daniel berniat membunuhku.
Entahlah. Tapi kali sebelumnya--mungkin kemarin--Daniel jelas-jelas menantangku
menuju kematian.
Terlalu banyak memikirkan
dunia ini membuat kepalaku penat. Aku menggelengkan kepalaku dan berpaling
menatap rumah di dekatku. Saat itu juga, aku dibuat terperangah. Lagi. Itu
rumahku, rumahku di Paris. Satu blok perumahan telah berjejer dengan indah
seolah telah lama berada disana. Berikutnya, aku berlari ke rumah dengan
antusias.
Dalam hatiku, aku berharap
akan menemukan keluargaku. Yang kutemukan adalah ruang kosong dan harapan
kosong. Aku sendirian, agak kecewa. Tapi akalku bilang tak perlu bersedih, dan
aku berhasil melakukannya.
Hanya perlu beberapa menit
untuk membersihkan diri dan kembali berpakaian. Ajaibnya, pakaianku di
Manhattan juga ada disini. Aku mengenakan celana jins biru dan kemeja putih
berbalut vest hitam favoritku. Sederhana dan bergaya.
Aku membawa makanan ke
kamarku dan lekas pergi berbaring di ranjang, terlalu malas untuk melakukan
sesuatu. Aku bahkan setengah ingat untuk menyiapkan senjata. Mataku terpejam.
Kubawa seluruh bayangan yang berkecamuk membebaniku. Dan di bingkai mimpi ini
aku bermimpi. Sepotong ingatan dari kehidupan nyataku melayang-layang di
benakku.
Aku tengah duduk di sofa
ketika kakakku datang bersama rekannya dari pintu. Itu Daniel Corick. Sama
sepertiku, dia masih muda dan begitu segar. Tapi meskipun muda, dia sudah
menemukan temuan-temuan yang menakjubkan. Rivalitas kami dimulai hari itu. Kami
memang berteman, dan juga bersaing.
Berikutnya muncul di benakku
momen-momen ketika kami bekerja di satu lab. Adegan berpindah ketika dia bicara
padaku. Sinis dengan keberhasilanku dan opini di media yang mengatakan bahwa
keberhasilanku bahkan telah mengalahkan Daniel Corick dengan Mind
Visualizernya. Lalu bayangan berikutnya adalah ketika dia menyabetkan bilah
menyengatnya padaku.
Aku terlonjak bangun.
Sial!
Kau harus berhenti dari syndrom ini! Ini tak nyata! Kau bisa saja membunuh lagi
di sini! aku merutuk pada diriku sendiri.
Aku bangkit duduk di tepi
ranjang dan minum segelas air ketika telepon rumahku menyala. Dengan heran aku
bergegas pergi ke beranda dan mengangkat telepon.
"Permainan dimulai,
Masoo!" Gadis itu, pikirku. Gadis kepala bantal. "Selamatkan orang-orang!
Pergilah bersama dombamu!" Suara tawa di ujung telepon mengakhiri
sambungan.
Kecemasan melandaku
sampai-sampai aku membanting telepon. Dengan kalut aku segera mencari sepatu
dan pergi keluar. Aku hanya membawa pisau lipat, kusimpan di balik vest. Pena
kesayanganku terselip di saku celana jinsku dan cermin kecil di saku
belakangnya. Di luar, dombaku mengembik menungguku. Ketika aku datang dia
menyerunduk lembut padaku dan menjilat tanganku. Agak menjijikan, memang.
Sudahlah!
"Well, bagaimana jika
namamu..." Aku berfikir sejenak. "Hermy. Si pengantar."
Langit mendung ketika aku
menunggangi Hermy menjauh dari rumah. Dia berlari seperti keledai, langkahnya
pendek-pendek. Kami menyusuri jalanan dengan domba itu sendiri yang memimpin.
Aku tak tau dimana dia akan berhenti.
Kami melewati jalanan di
bawah Menara Eiffel, berbelok ke selatan dan berlari secepat kuda pacu ketika
jalan lurus membawaku ke batuan cadas dan jurang tak berujung. Awan kelabu
bergulung di hadapanku seakan Dewa Aeolus membuka mulutnya hendak melahapku.
Ya, omong-omong aku suka mitologi sehingga segala bayangan mengerikan akan apa
yang hendak menimpaku, berkelebat di benakku.
Aku cemas dan tanpa sengaja
menjambak bulu Hermy. Dia mengembik geram. Langsung saja aku berhenti menjambak
rambutnya dan merunduk memeluk Hermy ketika kami melompati cadas, makin dekat
ke jurang. Di batu terakhir, Hermy menjejakkan kakinya cukup keras dan melompat
ke dalam awan. Adapun aku.., berteriak seperti gadis labil yang baru naik
rollercoaster.
Awan itu melahapku. Kilat
menyambar udara di kanan kiriku. Melihat garis cahaya kekuningan, aku teringat
akan Daniel.
The Dream
Hermy melompati perbatasan
dan awan kelabu menyelimutinya. Sesaat kemudian, dia terhempas di jalanan
sunyi, melontarkan penunggangnya cukup jauh ke depan. Langit di ufuk barat
berkilau jingga seakan semburat senja di langit Manhattan.
Lucas meringgis nyeri sambil
menggosok siku dan pundaknya yang sakit. Dia mengusap hidungnya yang membentur
aspal lalu menatap Hermy yang telah bangkit berdiri. Domba itu menatapnya
seolah menyuruhnya segera pergi. Sedetik kemudian dombanya melesat pergi
menjauh darinya.
Tidak ada yang menyenangkan
di alam mimpi, ataupun bingkai mimpi. Dan sial bagi Lucas, dia belum menyiapkan
apapun sebelum tiba di sini. Dia berjalan ke trotoar dan menyusuri jalanan
sejauh satu blok sebelum menyadari kejanggalan yang berada cukup jauh di
sebelah kanannya.
Sekitar dua blok dari
perempatan, sekumpulan polisi dan personil militer tengah mengepung sebuah
bangunan tinggi. Mereka telah siaga di pos masing-masing. Mereka dibekali
beragam senjata, dari mulai senapan tangan hingga laras panjang. Beberapa awak
media nampak siaga merekam setiap momen yang terjadi di sana. Dengan tanda
tanya, pemuda itu berlari ke arah mereka.
Di sekitar gedung, suasana
terasa tegang. Terdengar suara-suara reporter melaporkan dari radius yang cukup
jauh dari gedung. Sementara di gedung itu sendiri, ketegangan tak bersuara
selain bunyi komando yang dihubungkan dengan walkie-talkie.
Lucas mendekat ke arah
mereka lalu harus berhenti ketika seorang polisi berpaling ke arahnya dan
menodongkan pistol. Sontak saja dia mengangkat tangan, menunggu dengan risau
kala polisi itu berbicara di walkie-talkienya.
"Mau apa
kau?" teriak polisi itu tegas.
Lucas mengepal-ngepalkan
jemarinya berusaha menyembunyikan segala kerisauan yang menekannya. Dengan
suara yang tenang dia menjawab, "Aku dikirim ke sini."
Polisi itu kembali berbicara
ke walkie-talkienya. Lalu bertanya
lagi, kali ini nadanya lebih mengancam. "Siapa kau?"
"Aku Lucas. Emm.. Aku
bekerja untuk New York Laboratory. Dan aku berniat bergabung dengan CERN
kedepannya."
Mendengar jawaban Lucas,
polisi itu menurunkan senapannya dan mendekat. "Pergilah ke barikade mobil
yang berjejer di depan pintu masuk. Kapten Jhonson ingin menemuimu."
Mendengar demikian, Lucas
berjalan cepat ke barikade mobil. Lalu menemukan seorang gadis berambut pirang
tergerai, tengah duduk bersandar pada mobil. Di dekatnya Kapten polisi itu
berdiri, menatap Lucas menelisik. Dia berambut pendek dengan jambang tipis dan
kumis lebat. Alisnya berdekatan, salah satunya terangkat saat mengamati bocah
di depannya.
"Jadi benar.., senat
mengirimkan seorang ilmuan beken? Dia pikir penjinak bom kita tak cukup cerdas
untuk pekerjaan mereka. Dan presiden kita malah menyetujuinya." Dia
menyeringai. "Sini, Nak!"
Lucas mendekat sesuai
instruksi si kapten. "Begini saja.. Aku hendak mengirim Thomas McConnor
untuk bicara pada mereka. Aku mengirim Mia dan Alexine untuk menganalisa
sekaligus mengendalikan suasana di dalam gedung. Dan kau akan kukirim bersama
mereka, setidaknya memastikan mereka aman." Dia tertawa muram, nampak
terlalu lelah melakukan semua ini.
Lucas mengangguk dan Kapten
Jhonson pergi darinya. Sementara itu, gadis berambut pirang tadi masih tetap
bergeming di tempatnya. Tak jauh dari mereka seorang gadis lain berjalan
mendekat lalu menepuk pundak Lucas.
"Jadi.., kamu
Lucas?" sahutnya. Dia melambai, lalu menyentuh kacamatanya. "Hai..,
aku Alexine dan dia Mia. Welcome Dear Reverier!"
"Kamu juga?"
"Semua yang dikirim
masuk adalah Reveriers. Kecuali McConnor. Kuharap kita bisa bekerja sama."
"Etahlah..," jawab
Lucas seraya berpaling dan menatap gedung. Sebaris huruf-huruf besar berjejer
diatas pintu utama berbunyi 'Starbright Inc.' berwarna biru. "Aku pernah
punya rekan, dan aku membunuhnya kemarin. Perintah untukku hanyalah
menyelamatkan orang-orang," lanjutnya.
"Kita semua
begitu." Akhirnya gadis berambut pirang itu angkat bicara. Dengan malas, dia
berdiri, mendekat, dan membuat Lucas berpikir dia adalah gadis pendek.
"Dan senator yang mengirim kita, mungkin Zainurma atau Ratu Huban."
"Mereka..!" Lucas
mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih.
Alexine menatap heran pria
itu sebelum mendecak pelan. Dia meluruskan kacamatanya lalu tersenyum manis
pada Lucas. "Sudahlah! Itu dia McConnor, dia menyuruh kita segera pergi
bersamanya."
Babak baru dimulai ketika
mereka melintasi barikade polisi dan menginjakan kaki di atrium. Dua orang
serdadu teroris segera mengarahkan senapan kepada para utusan. Segera saja, dia
menghentikan langkah mereka.
"Berikan senjata
kalian!" pinta salah satunya.
Masing-masing utusan memang
dibekali pistol sebelumnya. Demi keamanan,
itu yang dikatakan pada mereka. Tapi kenyataannya saat ini, Lucas, Mia dan
Alexine memberikannya dengan enggan. Ketika McConnor bergeming, serdadu yang
lain menodongkan ujung laras senapan memberikan peringatan. Alexine tau polisi
itu mencoba terlihat diplomatis dan sopan. Dengan senyuman palsu, McConnor
menatap serdadu itu.
"Aku adalah juru
bicaranya. Kau sudah dapatkan senapan kami dan tak perlu menggeledahku atau
pemanduku sehingga tampak mengintimidasi. Di sini polisi masih punya kendali.
Kita punya wewenang yang setara, kurasa. Aku perlu bertemu Ketua
Equilibrium."
Serdadu itu mendengus ketika
berpaling dan memimpin mereka ke dalam, menemui ketua. Para utusan dapat
mengamati beberapa kondisi di dalam gedung. Tirai-tirai ditutup sementara
hampir seluruh lampu di ruangan dibiarkan tak menyala. Padahal hari makin
mendekati malam membuat dunia nyaris gelap. Para utusan dibawa jauh ke dalam
gedung, melintasi koridor-koridor muram dan ruangan-ruangan sunyi. Berkali-kali
mereka melewati Serdadu Equilibrium yang tengah berjaga. Hingga, ketika mereka
melintasi kafetaria, sesuatu terjadi.
Cahaya redup dan bayangan
memberi ruang pada Satan untuk bersembunyi. Dia berdiri diam di dekat meja
bartender, menunggu. Ketika utusan-utusan itu hendak meninggalkan kafetaria,
Satan melangkah dan menahan pria yang berjalan paling belakang. Dengan tangan
kanannya, Satan menempelkan katana ke leher pria itu dan menghentikannya.
"Sst," perintahnya
begitu lirih sebelum pria itu sempat memberontak. Ketika rombongan telah
berjalan cukup jauh, Satan menariknya sembunyi dan berkata, "Halo,
Lucas!"
"Siapa, kau?"
tanya Lucas, mencoba tetap tenang.
"Sama sepertimu, The
Reverier." Satan menekankan katananya di leher Lucas hingga guratan
menyakitkan terbentuk dan mengucurkan tetesan darah.
"Jadi misimu adalah
menghentikan kami, ya," tebak Lucas.
"Sama sekali tidak
benar. Kenyataannya misi kita sama. Hanya saja cara pandang kita sedikit
berbeda."
"Mari bicara dan
jauhkan bilah itu dariku."
"Jangan melakukan hal
bodoh, karena sebenarnya kita sama-sama cerdik, Lucas." Satan menjauhkan
katananya. Ketika Lucas berbalik menatapnya, dia menyeringai. "Hai! Namaku
Satan--atau Saizen--Raizetsu."
Baru kali ini Lucas
mendengar nama macam itu, dan baru kali ini dia melihat orang seperti itu.
Satan lebih pendek darinya, tapi masih dapat menjitak kepala Lucas dengan cepat
jika dia ingin. Selain itu, jelas lebih berbobot. Bocah itu mengenakan seragam
sekolahnya dengan syal melingkar di lehernya. Wajahnya cukup mengatakan kalau
anak itu tak perlu poster yang bertuliskan, Aku
orang asia. Dan matanya, Lucas bergidik ketika mendapati mata kiri satan
berkilau merah.
"Bagaimana kau tau
namaku?" tanya Lucas, menatap tajam matanya yang hitam. "Dan
misiku."
"Alexine terlalu
sesumbar mengobrol bersamamu tadi, berbisik-bisik di kafetaria ini,"
jawabnya sambil mendengus tak percaya. "Dan aku menyadari bahwa disini,
lima reveriers, punya misi yang sama. Hanya saja Huban meletakan kita di sisi
yang berbeda."
"Kau malah akan
membunuh setidaknya dua ratus orang jika bersama Equilibrium, Saizen!"
Sejujurnya, Lucas tak menyukai nama lain anak itu.
"Itu yang mereka
katakan. Dan memang kenyataannya tiba-tiba dombaku meninggalkanku di atap. Tapi
dengarkan, Equilibrium melakukan ini demi kesejahteraan orang banyak. Kendrik,
Ketua Equilibrium, aku yakin dia tak akan membunuh dua ratus orang tak berdosa.
Justru para polisi dan para senat akan dengan senang hari membayar kematian
Kendrik dengan dua ratus orang." Terdengar begitu persuasif. Lucas
menyadari daya tarik Satan, tapi dia juga menyadari kebenaran kata-katanya.
"Hanya saja.., kau juga
tak bisa begitu saja mempercayai Kendrik. Equilibrium ataupun aparat sama-sama
akan mengorbankan orang-orang itu jika perlu," kilahnya mantap.
"Mari pikirkan, kalau
begitu. Intinya, kupikir kita bisa bekerjasama demi menyelamatkan banyak orang.
Dan tentu saja, jika ini berhasil, aku menjauhkanmu dari kekalahan,
Lucas."
"Kau peduli padaku atau
orang-orang itu?"
"Tidak keduanya. Mereka
hanya rakyat di antah berantah. Kau mungkin membantuku dan mendapat keuntungan.
Tapi intinya, aku harus menuntaskan pekerjaanku."
"Kita menjadi rekan
ataupun rival, akan berakhir buruk sepertinya. Terakhir kali aku punya rekan,
aku membunuhnya." Lucas menghembuskan nafas berat dan beringsut mundur
bersandar ke meja bartender.
"True Undecided,"
kata Satan sentimen. Sejujurnya, benar atau tidak, Lucas merasa itu ejekan.
Hingga Satan melanjutkan, "Aku juga sama, Lucas. Aku melihat karyamu. Dan
sudah pasti kau melakulan itu karena dia akan membunuhmu juga. Nampaknya, aku
tak berniat membunuhmu. Keinginanmu sekarang hanya tetap hidup, bukan?"
Lucas mengerjap ragu. Yang dikatakan
Satan memanglah benar. Yang menyulitkan adalah dia harus menentukan keputusan.
Tentang hidupnya dan tentang keselamatan orang-orang. Sedikit demi sedikit,
para reveriers mulai menganggap episode ini sebagai realitas. Ironi dan sifat
dasar alam bawah sadar.
Sementara itu, para utusan polisi
kini berdiri di depan lift, menunggu sepasang pintu besi itu terbuka. Masih di
tempat yang sama, dalam wujud tak kasat mata sesosok jin mengedarkan pandangan
dengan heran. Dia mendekat kepada gadis berambut pirang dan berbisik sesuatu.
Tepat saat terdengar suara dentingan dan pintu lift terbuka, McConnor, Alexine
dan serdadu Equilibrium itu memasuki lift, mendahului Mia yang tengah
terbelalak. Dia memeriksa ke belakangnya mendapati Lucas memang tak ada disana.
"Ayo, Mia!" Alexine
belum juga menyadari sesuatu.
"Lucas..,"
jawabnya mengejutkan semua orang.
"Aku akan
mencarinya." Alexine bergegas melangkah keluar lift berlari kembali ke
arah mereka datang.
Sebelum serdadu itu sempat
mengangkat senjata ataupun mencegah hal lain terjadi, McConnor beringsut
kearahnya membelakangi cctv dan
menyentuhkan ujung pistol ke perutnya. "Antarkan saja aku ke bosmu."
Mia menatap Alexine menjauh
ketika dia masuk ke dalam lift. Disampingnya, McConnor mendelik curiga. Dia
merasa ada yang tak beres dengan orang-orang asing ini. Dia nyaris tak bisa
percaya bahwa mereka dikirim pemerintah.
Ketika gadis bersamanya itu
menutup lift dan menatapnya, dia dapat melihat kerutan heran di kening Mia.
Mungkin Mia tak menyangka polisi itu akan mengeluarkan pistol secepat ini dan
menodong seseorang dari belakang. Dengan kepalsuan, McConnor tersenyum ramah
pada gadis itu.
Sama berpura-pura, Mia balas
tersenyum. Tanpa terlihat McConnor ataupun Serdadu Equilibrium, si Jin Dietrich
berbisik pada Mia. Memperingatkan sesuatu.
"Berhati-hatilah dengan
McConnor!" Bisiknya.
Beberapa jauh dari lift,
Alexine menyusuri jalur yang dia lewati sebelumnya. Dia mengendap dan
menyelinap saat bertemu serdadu Equilibrium. Keberuntungan atau memang
kesengajaan yang dibuat Alexine, para penjaga begitu ceroboh dan tak menyadari
keberadaan gadis itu.
Alexine telah memeriksa
tempat tempat yang dilaluinya dan menguping suara-suara dibalik pintu-pintu
kelabu di koridor redup. Dia tak menemukan apapun selain kesunyian. Hingga
ketika dia kembali ke kafetaria, dia melihat seorang pemuda dengan kemeja anak
sekolahan dan vest rajut berwarna hitam, tengah mengisi gelas dengan bir dari
balik meja bartender. Sekilas, keremangan membuatnya tampak seperti Lucas. Tapi
postur tubuh, syal dan kemejanya membuat Alexine segera menyadari dia sama
sekali bukan Lucas. Terutama, ketika dia melihat sorot tajam dari mata yang
mengidap Heterochromia itu.
Satan mendelik tajam pada
gadis berkacamata yang menghampirinya. Dia yakin Alexine kembali untuk Lucas. Tapi
dia heran kenapa gadis itu cukup berani mendatanginya seolah mengacuhkan katana
yang diletakkan di atas meja. Segera saja dia menyingkirkan botol bir itu dan
meraih senjatanya, menyimpannya di samping tubuhnya dengan siaga.
Entah apa itu, yang jelas ia
terheran dan merasakan ada sesuatu yang salah. Gadis itu tetap mendekat dan
tersenyum. Dia melambaikan tangannya hingga ketika dia tiba di sebrang meja dia
melakukan sesuatu. Satan masih belum sadar apa yang salah.
Sebaliknya, Alexine
mengerahkan semua konsentrasinya menahan kesadaran anak laki-laki itu. Dia
mengulurkan tangannya mencoba menyentuh kening Satan, bermaksud mengendalikan
pikirannya. Namun beruntung bagi Satan. Seseorang menggenggam tangan Alexine,
menahannya dan mengalihkan perhatiannya.
"Lucas!" sahut
Alexine tak percaya apa yang dilakukan laki-laki di hadapannya.
"Jangan berburuk sangka
dulu! Dia hanya anak SMA yang akan membantu kita menyelamatkan
orang-orang," jawab Lucas.
Mendengar komentar
tentangnya, Satan mengerjap dan mendengus sebal. Dia tak suka dianggap
anak-anak. Selain itu, Alexine membuatnya linglung dan hampir saja merenggut
kesadarannya kalau saja tidak dihentikan. Nyatanya dia mesti berterimakasih
pada Lucas. Dengan marah, anak itu keluar dari meja bartender mendekati Alexine.
"Apa yang kau lakukan,
Saizen!" Lucas memperingatkan.
Memang terlalu gegabah untuk
membunuh seseorang di saat seperti ini. Namun Satan malah menodongkan bilah
katananya hingga nyaris menyentuh leher si gadis. Alisnya berkerut dan matanya
kian menyipit menampakan sorot tajam yang mengancam.
"Hey!
Berhentilah!" Lucas mencoba menengahi. "Kita punya pekerjaan, Saizen!
Kita harus pergi ke basement dan mulai menjinakan bom yang ditanamkan di bawah.
Kita masih butuh orang untuk merusak bom di lantai atas dan jaringan kontrolnya."
"Polisi itu akan
melakukannya, Lucas." Satan bersikeras.
"Owh.. Benar begitu?
Jika memang iya, kau pikir Kendrik akan membiarkan dia melakukannya? McConnor
mungkin akan mencoba menjinakkan bom. Tapi dia tak akan berhasil dan akan mati
bersama yang lainnya. Lalu gadis yang satunya akan melakukan misi sesuai
instruksi polisi, sepertinya. Equilibrium ataupun polisi sama-sama tak dapat
dipercaya."
Satan masih bergeming.
"Kirim dia kembali ke
atas! Dia harus memastikan keselamatan para sandera. Sementara itu, kita yang
akan mengantisipasi kegagalan mereka."
Hari ini kenyataan memang
menyebalkan. Satan menurunkan pedangnya sementara Lucas dan Alexine berdebat
soal kebenaran. Sekarang kafetaria terdengar ribut dan bermasalah.
Hampir saja Alexine nekat
menghalangi Satan. Juga hampir saja Satan menebas leher Alexine. Kalau saja
tidak terdengar bunyi derap kaki menuju kafetaria, gadis itu akan benar-benar
kehilangan kepalanya.
"Ada apa..?"
Serdadu Equilibrium lagi.
Dengan sigap dia mengangkat senapannya, mengarahkannya pada anak-anak ini
bergantian. Tak sampai di situ, serdadu ini terus mendekat.
"Halo, bung!"
Satan mulai bertindak. "Kemarilah. Bantu aku! Kendrik menyuruhku berjaga
dan lihat kalau aku dapat dua cecunguk!"
"Apa? Kendrik Blaire
menyuruh bocah sepertimu?" dia bertanya curiga dan mengarahkan ujung
senapannya pada Alexine dan Lucas.
Alexine mulai ragu pada anak
ini, dia nampaknya berada di pihak teroris. Itu bukan berita bagus baginya.
Sementara Lucas, tengah menatap ujung senapan dengan cemas. Dia selalu gugup
dengan hal-hal yang bisa merenggut nyawanya. Namun, tak perlu waktu lama hingga
Satan menyeringai pada Lucas lalu mengangkat katananya. Dia menebas putus leher
lelaki yang sempat meragukannya itu.
Jika saja dia tak menutupkan
tangannya di mulut, Alexine mungkin akan memekik nyaring. Dia terlalu terkejut
untuk menyadari siapa di pihak siapa. Tidak ada sisi untuk Satan dan tidak ada
kompromi.
"Pergi ke atas!"
Satan berkata lugas.
Bahkan ketika Alexine mencoba
tampak santai, Lucas bisa merasakan kebingungannya. Dia sadar gadis itu punya
kemampuan luar biasa, tapi juga kekurangan yang sama besar. Matanya balas
menatapnya dari balik kacamata, mengatakan dilemanya saat ini. Rasanya Lucas
ingin bicara, hanya saja Satan menodongkan katana dan membuat gadis itu segera
pergi.
"Kenapa kau
membunuhnya?" tanya Lucas. "Pria tadi..?"
"Ayolah! Kau juga akan
melakukan hal yang sama," jawabnya seraya merapihkan syal di lehernya dan
mengibaskan katana itu hingga darah memercik pergi dari bilahnya. "Nah ini
lebih baik."
Lucas menatap darah yang
terciprat di lengan kemejanya. Pikirannya bergelut dengan konfik batin. Sambil
menggulung lengan bajunya, dia menjauh dari genangan darah yang meluas. Matanya
menatap tajam nekat menusuk mata merah lawan bicaranya.
"Kau tak bisa terus
bertingkah seakan kau tak pernah menyesali semua itu," sindir Lucas.
"Jangan munafik, Lucas!
Kau juga sama sepertiku. Kau bahkan berusaha sekuat tenaga menghilangkan
bayangan derita yang kau timpakan pada orang yang kau bunuh. Satu pembunuhan
membuka kelapangan untuk pembunuhan berikutnya. Hidupku sudah tergurat
demikian," beber Satan dengan raut iba pada Lucas.
Sulit melawan jawaban itu.
Bukan semata karena Satan pandai bicara, tapi juga karena Lucas harus menelan kebenarannya.
Dengan kesal dia merampok senapan berdarah di dekat kakinya dan mendahului
Satan pergi ke basement sementara anak itu menggeledah mayat si serdadu malang.
Di atas sana, lantai empat,
McConnor dan Mia diantar masuk ke ruangan gelap dengan penjaga berbaris
melindungi seseorang. Kendrik Blaire duduk di atas kursi menatap pendatang itu
dengan antusias, sementara tangannya menyelipkan sebuah remote kontrol dengan
tombol tunggal ke saku dalam jasnya.
Lucas
Menuju basemen, aku melangkah
tergesa karena rasa kesal. Kalau bukan karena katana di tangannya, rasanya
ingin sekali aku menonjoknya. Baiklah, aku memang pengecut. Tapi ayolah! semua
katana memang mematikan. Hingga saat ini, luka di leherku masih terasa.
Sebenarnya, bukan semata hal
itu yang membuatku kesal. Kebenaran kata-kata Saizen lebih aku benci dibanding
apapun. Tapi tentu saja, kepalaku mengatakan untuk bersikap tenang dan logis.
Jadi aku segera pergi ke basement untuk memulai aksi penyelamatan--maksudku penonaktifan
bom. Dengan gagah aku menenteng senapan dan mengarahkannya ke depan dengan
siaga.
Aku menuruni tangga darurat,
berusaha menghindari para serdadu yang berjaga. Tak lama kemudian Saizen datang
menyusul. Dia membawa botol minuman beralkohol yang masih setengah penuh di
tangan kirinya sementara tangannya yang lain mengenggam katana.
Dengan sigap aku
mengambilnya dan hendak menegak isinya. Sementara itu, Saizen menatapku geram.
Aku menghentikan botol yang bergerak menuju mulutku dan segera bicara sebelum
anak itu marah-marah duluan.
"Ada apa? Kau belum
cukup umur. Biar aku coba meminumnya." Aku menyeringai padanya. Aku memang
tak gemar pada minuman beralkohol, tapi melihatnya didekatku saat ini, aku
tergoda.
"Idiot! Aku telah
mencampurnya dengan senyawa lain. Kau bisa mati dan menjadi tak berguna."
"Apa?" Serius, ini
mengejutkanku. Tapi sekaligus melegakan karena aku baru saja terlepas dari
maut.
"Aku hanya perlu sumbu
dan pemantik. Kita punya molotov," lanjutnya sambil merebut botol itu
dariku, melangkah menuruni tangga.
"Aku punya senjata api!"
Aku menjawab ketus.
" Lucas.."
"Hmm?" sahutku
kesal.
"Jaga kepalamu tetap
jernih!"
Baiklah. Dia benar lagi.
Entah apa yang terjadi padaku, sehingga akal sehatku agak terganggu. Sambil
mengikuti Saizen, aku mencoba menyegarkan kepalaku. Mulai menyusun rencana dan
mengingat-ngingat tentang bom. Coba Tebak! Apa yang digunakan Equilibrium untuk
meledakkan gedung sebesar ini?
Sial dan memang seperti
biasa, aku selalu susah mengingat. Apalagi di saat mendesak ini, ditambah pikiranku
yang semrawut. Aku tak mendapatkan apa-apa bahkan ketika aku tiba di ujung
tangga dan menghadapi pintu terkunci di depanku.
Saizen meletakkan katana dan
botolnya sementara dia meraih tabung nitrogen di dinding. Dengan cepat, dia
menghantamkannya ke gagang pintu, berharap membukanya. Tapi pintu tak berayun
terbuka.
"Hey! Apa yang kau
lakulan? kau malah mematahkan gagangnya. Bukan begitu! Langsung saja pukul dan
penyokkan. Yap! dan sekarang tarik pintunya. Nah! percaya padaku, kan! Jangan
terlalu banyak nonton Hollywood, deh!"
Tabung merah itu
dilemparkannya ke samping menghantam tembok dan berbunyi nyaring. Apa anak itu
marah? Kesal mungkin. Tapi sekarang dia menatapku. Ada apa? Dan, Ya! Aku
menyadarinya.
Ada penyok di dinding,
seakan terbuat dari besi. Di sudut bawah di dekat tangga, ada yang aneh dengan
dinding. Agak berbeda dengan bagian yang lain. Lalu kuingat bunyi nyaring yang
timbul saat bernturan terjadi. Aku menatap Saizen dengan bingung. Hanya saja,
dia menggeleng padaku seakan tak pedulu. Atau begitulah yang nampak darinya.
Semntara dia mengambil
kembali botol dan katananya, aku melangkah masuk duluan. Satan menyusul di
belakangku dan menabrakku saat aku berhenti. Cukup terperangah.
"Apa lagi?" Saizen
merutuk lalu berdiri di sampingku.
"Tidak! hanya saja,
tadinya kupikir akan menemukan tempat parkir alih-alih ruangan koridor penuh
liku bercat putih," balasku.
"Tentu saja. Ini bisa
jadi laboratorium. Ini kan kantor perusahaan produk pembersih." Saizen
terdengar dongkol.
"Kenapa teroris itu
begitu dungu menyandra kantor produk pembersih? Harusnya kusarankan dia
menyabotase bandara."
Saizen tak menjawab.
Aku pergi mengikuti bocah
Asia itu menyusuri koridor lab. Aku tersenyum puas membayangkan apa yang bisa
kubuat di tempat ini. Cukup bersemangat, aku mengambil bolpenku dan mencatat
beberapa hal di telapak tanganku.
Kutulis apa yang terbayang
dikepalaku untuk kubuat. Bahan peledak. Zat ekstra korosif. Gas beracun.
Jebakan maut. Alat penyelamatan. Dan.. Tunggu dulu! Aku harus pastikan aku
mengingat apa sekiranya yang perlu diperbuat. Sayangnya, kebahagiaanku sirna
gara-gara pria ceking menjijikan yang duduk bersandar di tengah koridor.
Aku berhenti melangkah
sementara benakku bertanya-tanya siapa dia. Di bibirnya terselip rokok putih yang
menyala. Sementara itu, mulut dan hidungnya berkali-kali menghembuskan asap
rokok. Pakaiannya begitu jelek. Celana jins belel, kaus lusuh dan sepatu kets
bulukan. Dia selayaknya diseret polisi karena mengganggu pemandangan.
Lain denganku, Saizen melangkah
cepat kearahnya sembari mengangkat katana dengan siaga. Kulihat tangannya
menggenggam erat katana hingga gurat-gurat putih di jemarinya terlihat
mengkhawatitkan.
"Gold!" Kudengar
Saizen masih bisa mengendalikan diri dan mengalirkan ketenangan di suaranya.
Ketenangan yang mengancam.
Gold tak menatap anak itu
sekalipun saat bicara. "Aku segera tau ketika Kendrik mempercayaimu dan
mengizinkanmu berjaga. Lift membawaku secepatnya ke sini. Aku mengamati dan tau
cepat atau lambat kau akan datang. Polisi adalah sekumpulan pecudang, dan
Equilibrium adalah sekumpulan orang manja. Tapi salah satu dari mereka berlaku
benar. Kau terlalu kebingungan menentukan pihak yang tepat, rupanya."
Gold menarik rokok dari
mulutnya dan menyeringai. Dia bangkit berdiri, membuat Saizen berhenti
berjalan. Dia menatapnya heran. Asap rokok mengguar dari sela-sela gigi
kuningnya. Satu isapan lagi, lalu asap mengepul dari mulutnya yang terbuka.
Gold melemparkan rokok ke arah Saizen dan berlari ke arah berlawanan secepat
kilat.
Anak itu nampak tak
menyadari yang akan terjadi. Tapi aku tau. Jadi, aku membuang senapanku dan berlari
meraih Saizen, menariknya kembali secepat yang kubisa. Botolnya terjatuh saat
aku menarik tangannya dan membawanya berlari. Namun, ledakan terjadi begitu cepat
sebelum aku sempat bersembunyi dengan aman. Kami berdua terlontar dan ambruk di
lantai ketika ledakan kedua terdengar diiringi api yang menyambar dinding
koridor di belakang kami. Asap hitam mengepul mengotori dinding. Ledakan kedua
itu, pasti dari molotov yang dibuat Saizen. Dari baunya, kukira anak itu
menggunakan terlalu banyak alkohol dalam campurannya.
Kami tertatih dan mencoba
berdiri. Katana Saizen terlontar jauh kedepan. Entah bagaimana, Gold sudah ada
di dekatnya dan segera memungutnya. Parahnya lagi, dia mengambil senapanku. Pria
itu pergi berbelok menghilang dari pandangan kami.
"Sial! Dia tak akan
berhenti. Lucas, pergilah dan nonaktifkan bom sebanyak yang kau bisa."
Anak itu bangkit menatap ke arah Gold pergi. Di wajahnya nampak noda-noda hitam.
"Aku akan menahannya dari menggagalkan rencana kita. Dia tak akan pergi
jauh-jauh."
"Tunggu!" sergahku
sebelum dia pergi. "Aku tak tau dimana bomnya. Kau pikir aku harus
menyusuri setiap tempat disini?"
"Ya! Aku lupa
bilang," katanya sambil merogoh ke dalam saku.
Dia mengeluarkan smartphone yang sedang diisi ulang
dengan powerbank. Dia menunjukkan
padaku peta gedung ini dengan titik-titik merah di beberapa tempat. Aku
mengerti dan segera mengambilnya dari Saizen. Segera saja aku berlari menuju tempat
terdekat yang ditunjukan peta itu.
Kamar mandi. Entah apa yang
dipikirkan Kendrik sehingga dia meletakkan peledak di toilet. Aku serius,
peledak yang cukup besar diletakkan diatas toilet, dicor menempel di dinding.
Pemicunya tak nampak dari sini. Ini terhubung dengan wireless dan aku yakin, sekali tekan Kendrik dapat meledakkan semua
bom ini.
Aku naik ke atas toilet
duduk dan memanjat ke papan pembatas. Yah, mematikan sinyal penghubung dengan
pemicu utama cukup mudah. Yang sulit adalah tetap seimbang di atas papan
pembatas toilet. Bayangkan rasa kesemutan di pantatmu dan pegal di seluruh
kakimu.
Satu bom sudah diamankan.
Kutandai titik merah di
denah WC dengan coretan ceklis hijau. Tetap memperhatikan smartphone, aku
berjalan menyusuri koridor lagi menuju titik berikutnya. Ada enam titik lagi.
Salah satunya ditandai dengan titik yang lebih besar dari yang lainnya.
Itu
akan jadi yang paling sulit, keluhku.
Berikutnya, peta ini
membawaku ke sebuah ruangan yang terkunci. Sebuah pintu yang akan terbuka jika
ID-Card teregistrasi digesekkan ke panel pemindai. Bahkan bagiku, ini
merepotkan. Jadi, aku meraih pisauku dan meraba-raba panel. Hingga aku
menemukan bantalan yang menyembunyikan lubang baut. Kugunakan pisau untuk
mecokel bantalan karetnya dan membuka bautnya. Ada empat baut, tak sulit
melepaskannya. Karena tak sampai setengah menit, casing depan panel sudah
kubuka.
Ini
akan sediki sedikit lama, pikirku.
Aku mengembalikan smartphone
ke layar utama dan menghubungkannya pada panel dengan USB. Aku beruntung sejauh
ini. Perlu beberapa menit berputar-putar di layar ponsel sebelum aku ingat
bagaimana untuk meretas pintu ini. Lalu bunyi dentingan pelan terdengar
membuatku lega setengah mati. Segera saja aku mengambil ponselku kembali dan
mencari bom berikutnya.
Ini ruang lab. Mungkin
disini ilmuan persahaan mencari formula yang tepat untuk cairan pembersih
toilet. Aku sedikit tersenyum. Ada bau menyengat dari bahan kimia yang terletak
di lemari-lemari kimia. Lalu di dinding, sama seperti sebelumnya sebuah bom
bertengger mengejek. Ya tuhan! ini baru basement. Belum lagi di lantai atas.
Siapa yang bisa menjamin Kendrik tak akan menekan pemicu sebelum aku selesai.
Aku bahkan tak yakin Alexine akan berbuat apa.
Kecemasan mulai melandaku.
Ini kondisi yang amat tidak menguntungkan. Tanganku mengepal-ngepal dan nafasku
memburu. Dengan sekuat tenaga, aku mengendalikan diri menumpuk kursi di atas
meja dan mencoba menjinakan bom.
Berkali-kali aku hampir
salah potong kabel dan menjatuhkan pisauku. Tapi akhirnya, aku berhasil. Dengan
lelah, aku turun ke lantai dan mengecek smartphone Saizen. Ceklis hijau lagi!
Kali ini, mencoba meredakan
rasa cemasku, aku memperhatikan sejenak pola yang dipasang Kendrik. Dalam jarak
teratur dan pola yang cerdik, bom itu di letakkan. Ini dirancang agar bisa
merobohkan gedung dengan satu ledakan serentak. Dan di tengah peta, sebuah titik
besar mengingatkanku akan titik rawan, tempat yang akan merusak tatanan gedung.
Mungkin, jika yang ini mati, gedung tidak akan hancur dan ambruk. Berantakan
mungkin, tapi tidak roboh.
Jika aku benar, aku harus
menjinakan dulu yang satu ini. Tapi, sebelum sempat kutinggalkan tempat ini
kudengar rentetan tembakan dan letusan. Lalu Saizen nampak dari pintu menorobos
masuk untuk menyelamatkan diri. Syalnya terbakar dan wajahnya kacau, ada luka
di sudut mata dan bibirnya. Sebuah luka gores melintang di lengannya. Entah apa
yang terjadi.
"Berlindung!"
katanya sambil merapatkan diri ke tembok di sisi pintu.
Dengan kalut, kuikuti dia
dan menempel di dinding disampingnya. Lalu kulihat dari lubang pintu menyembul
pistol dan satu tangan Gold yang menggenggamnya. Untungnya dia tidak membawa
senapan otomatis yang dia curi dariku sebelumnya. Sebelum gembel itu melangkah
masuk, Saizen menendang tangannya melontarkan pistol itu dari tangan Gold. Gold
nampaknya geram dan mulai mengerang seperti zombie kehausan.
Gold merangsek dengan katana
Saizen di tangannya. Dia mencoba menebas Saizen dengan gerakan--yang Demi
Tuhan..!--payah sekali. Anak Asia di dekatku merunduk sementara aku menahan
bilah katana itu dengan pisauku. Percayalah, dia sama sekali tidak kuat.
Aku menendang tangannya,
membuat pedangnya kembali terlontar hingga menancap pada kantung plastik besar
yang terletak di bagian teratas rak. Senang rasanya ketika aku menjotos
wajahnya membuat darah keluar dari hidungnya. Sekaligus, itu membuat kecemasan
keluar dari diriku.
Berikutnya, aku mengikat
Gold dengan lakban dari lemari peralatan. Sementara anak SMA itu berjuang
meraih katananya kembali, aku mengecek smartphone Saizen dan meneliti jalur
menuju titik merah yang paling besar.
"Kupikir kita harus
mematikan yang satu ini," kataku saat Saizen bergabung denganku.
"Setidaknya kita bisa mencegah gedung ini rusak total sementara polisi
membawa sandera keluar."
"Ambil pistol
Gold!" Saizen mengambil kembali smartphonenya saat menyuruhku.
"Bagus! Dan ambil pemantik di sakunya. Yaps! Bawa apa yang perlu dan ayo
pergi!"
Sebenarnya aku agak enggan
menyelipkan tanganku ke celana jinsnya. Tapi aku memaksakan diri dan membawa
pergi pemantiknya diiringi protes sia-sia dari gembel menyedihkan itu. Oh! Aku
tak sanggup membunuhnya kali ini, jadi aku tendang saja kepalanya. Itu cukup
memberiku waktu hingga dia mulai berpikir untuk meloloskan diri.
Rasanya aku berlari cukup
cepat untuk menyusul Saizen. Bersama kami menyusuri koridor dan pada akhirnya
kami sampai di parkiran. Wow! Tempat yang luas berisi deretan mobil. Tidak
semua jelek, sih. Karena kulihat Lamborghini merah, mustang kuning dan skyline
biru keren di tempat terpisah. Gila!
Mereka akan meledakkan semua ini.
Aku tak langsung melihat bom
yang tercantum di peta, karena tujuh orang pria jelek berbadan kekar menahan
langkah kami. Mereka punya senapan mesin otomatis yang sekarang terarah pada
kami. Jadi, sebelum aku tertembak, aku tersenyum dan menembak duluan pada pria
berkepala botak yang berdiri di dekat minivan hitam. Headshoot! Aku, aku
berlari sembunyi dari enam pria yang menembaki kami dengan geram.
Mobil-mobil itu cukup
memberiku tempat sembunyi. Aku dan Saizen terpisah dan masih sembunyi. Dengan
kalut aku sembunyi di kolong mobil sedan tua yang nampaknya sudah lama tak
dicuci. Sambil mengawasi langkah kaki yang lewat di dekatku aku masih
menenangkan diri. Beberapa jauh di dekatku ku dengar Saizen berteriak seperti
samurai cerewet. Bunyi gedebuk lalu rentetan tembakan mengiringi raungan anak
itu. Baiklah, entah siapa yang mati.
Sebelum aku mengetahui kabar
rekanku. Seseorang berhenti melangkah di depanku dan kepalanya melongok ke
bawah mobil. Secepat yang kubisa, aku menembak tepat di keningnya. Entah berapa
lagi Serdadu Equilibrium yang tersisa, pokoknya itu mencemaskanku, tapi juga
memacuku untuk berguling keluar dari kolong mobil.
Kudengar beberapa orang
menghmpiriku dengan senjata di tangan. Aku bersembunyi di mobil lainya dan main
tembak-tembakan sejenak. Percuma! Tak ada yang kena. Jadi aku mencari cara
lain. Dan melihat sesuatu di dalam mobil di sampingku, aku punya sedikit
gagasan.
Aku memecahkan kaca mobil
dan menarik perhatian musuhku. Aku mengambil selang air yang tersimpan di jok
depan. Cepat-cepat aku membawanya keluar dan membukakan pintu mobil mencoba
membuat barikade kecil. Kubobol kap penutup tank bensin lalu menghisap selang
kuat-kuat mencoba mengalirkan bensin keluar.
Agak menggelikan melihat
seorang serdadu datang dan melongok ke tempatku berdiri lalu kelabakan karena
bensin menyembur ke mukanya. Aku menekan ujung selang dan membuat alirannya
deras saat mengibaskannya kesana kemari. Orang besar itu memaki padaku dan
membanting pintu mobil dampai tertutup. Tapi aku telah berlari menjauh ketika
kakinya basah menginjak kubangan bensin dibawah kakinya. Lalu api menyulut
kemana-mana dan BUM! Terjadi ledakan. Well, orang itu pasti mati.
Aku berlari mencari dimana
Saizen. Ketika anak itu nampak di ujung blok ada seseorang mengejarnya dengan
rentetan tembakan menyusul. Aku bersembunyi lagi lalu menunggu. Tapi tiba-tiba
aku merasakan ujung laras senapan di belakang leherku. Sial!
Serdadu yang mengejar Saizen
nampaknya telah dilumpuhkan. Ketika aku berdiri, kulihat dia sangat berkeringat
dan babak belur, ada bekas peluru di bagian bawah telinga kirinya. Pakain
putihnya berdarah. Dia meraih katananya yang terjatuh lalu berteriak padaku.
"Ayolah, Lucas! Itu
bomnya." Saizen menunjuk ke arah sebuah kotak besar yang memuat beberapa
tabung kaca panjang berisi larutan biru.
"Apa?" Aku terlalu
bingung dan terkejut menyaksikan bahan peledak yang digunakan.
Parahnya sekarang tanganku diborgol dan pria
dibelakangku mengancam akan menembakku. Jadi aku hanya menatap Saizen dari
tempat ini dan menyaksikan betapa terkejutnya dia menyadari keberadaan si
penodong. Aku gugup. Anak itu bingung. Daia berulabg kali menatap aku dan bom
itu bergantian.
Kurasakan pundakku didorong
oleh si penodong. Aku melangkah ragu melihat panel rumit yang berada di bagian
atas kotak. Di sekelilingnya, entah desain apa yang dibuat Kendrik. Ini cukup
mengerikan bagiku. Apalagi ketika aku menyadari bahwa aku digiring mendekati
bom.
Tanganku diseret sementara
serdadu lain muncul mengarahkan senapannya mengancam. Klik! borgol itu terkunci menahan tanganku pada bagian belakang
bom. Aku memberontak mencoba melepaskan diri. Hingga suara dering ponsel
terdengar. Serdadu yang menggiringku menerima telepon dari ponsel jadulnya dan
menatap temannya dengan tenang.
"Kita harus segera
pergi." Kudengar dia bicara pada rekannya.
Ada perasaan tak
menyenangkan ketika mereka berlalu pergi mengacuhkanku dan Saizen. Anak itu
datang menghampiriku dan nampak berfikir keras. Baiklah kuakui aku agak kecewa
dengan anak itu. Harusnya dia tau persis apa yang terjadi. Aku pikir dia baru
menyadari kalau bom ini akan diledakkan ketika panel di bagian atas bom menyala
dan menunjukan waktu hitung mundur.
"Bagaimana
menghentikannya?" Saizen berteriak cemas.
"Err.. Entahlah! Aku
baru melihat yang seperti ini" jawabku dengan suara lirih yang merisaukan.
"Mungkin hidrogen. Atau lebih buruk. Kupikir terlalu berlebihan untuk
ukuran kantor produk pembersih."
"Tidak! Nampaknya
Starbright Inc. Lebih dari sekadar perusahaan produk pembersih. Ada sesuatu
disini. Kau tau apa ancaman Equilibrium?"
Aku mengangguk dan merasakan
hal yang cukup konspiratif melinstas di benakku. Aku ingat penjelasan Saizen di
Cafetaria tentang tuntutan Equilibrium.
"Lucas, kurasa aku tau
kebenarannya. Jika pemerintah menyembunyikan pabrik senjata mematikan di bawah sini,
dan yang disandra adalah arsitek dan ilmuan pemerintah, semuanya lebih logis.
Equilibrium ingin menghancurkan ini dan membuat pemerintah berhenti menyokong
senjata militer. Kau pasti ingat misteri di ujung tangga darurat. Penyok
itu."
"Jadi..," kataku
ragu. "Kita mungkin tak perlu lagi menghentikan Equilibrium, jika itu
benar."
Tapi mataku melebar ketika
aku menyadarinya. Aku memberontak lagi mencoba melepaskan diri. Tanganku terikat.
Aku belum mau mati.
"Tidak begitu!"
katanya tegas. "Jika dua ratus sandera belum selamat, tidak boleh ada
ledakan. Tapi jika mereka sudah diselamatkan, pekerjaanku selesai."
"Persetan! Lepaskan
aku!" Saizen menatapku penuh pertimbangan.
Sial! Mataku menatapnya
garang. Tapi aku tau, bahkan anak itu tak tau apakah ini sudah berakhur? Dia
menghampiriku nampak akan mencoba menebas borgolnya. Memang benar kalau dia
harus melepaskanku. Karena dia harus membiarkanku mematikan bom itu atau dia
akan berubah menjadi tembikar.
Sebelum aku memintanya lagi
dengan penuh harap, dia telah mengayunkan tangannya dan menebas. Tidak terjadi
apapun. Tapi bilah katana Saizen patah seperti batangan kue stik. Menguap sudah
harapanku.
"Sial!" rutukku
letih. "Aku lupa bilang, sebenarya tadi katanamu menusuk sekantong penuh
soda api."
Well, omong-omong aku baru
sadar betul ini hanyalah mimpi. Permainan. Dan ujian. Equilibrium, polisi,
Starbright Inc., Senat dan peledak ini. Ini hanyalah ilusi di benak kami. Yang
siap menerkam membawa para Reveriers ke dalam limbo. Alam bawah sadar abadi
yang memenjarakan.
Satu menit! Aku bingung mana
yang lebih baik. Mati di sini lalu pergi le Limbo, atau tetap hidup lalu
menjadi tembikar? Ini tidak lucu! Pilihan apa lagi yang kupunya? Dadaku terasa
sakit. Nafasku memburu. Aku..
The Dream
Gold masih merasa marah pada
Lucas dan Satan. Darah masih membekas di wajahnya dan luka membiru di kepalanya
membuatnya merasa tak nyaman. Kulitnya berwarna merah lantaran tadi dia
melepaskan lakban yang menjeratnya. Tapi
dua cecunguk itu lupa mengambil
pisauku.
Disitulah Gold Marlboro, dia
telah memecahkan kaca mobil dan merangsek masuk ke dalam Mustang di parkiran.
Dia telah menyalakan mesin dan tengah berjuang keluar dari barisan mobil.
Ketika dia melihat Lucas dan Satan, Gold menyeringai. Dia membukakan pintu dan
berteriak mengejek.
"Hoi! Gadis
berkacamata-mu telah membawa semua sandera keluar. Ayo ikut pergi!"
Pria dekil itu menembak ke
arah borgol yang mengunci Lucas. Harusnya, Lucas tak mencuri pistolnya agar
Gold bisa datang lebih cepat, ketimbang jika harus menjarah mayat serdadu botak
untuk mendapatkan pistol. Pada akhirnya, mereka harus menyelamatkan diri. Tapi
bomnya harus dibiarkan meledak.
Sementara Lucas berlari
mendekat sambil melongo, Gold mencium kalung semangginya. Mengharapkan
keberuntungan. Atau mungkin karena suasana hatinya sedang riang.
Satan mengikuti Lucas masih
tak bersemangat. Mau apa lagi? Dia tak punya mimpi ataupun harapan setinggi
langit. Lolos ataupun mati sama saja baginya. Tapi lain dengan Lucas dan Gold.
Anak Prancis itu merangsek
mengisi jok depan. Sementara Satan, dia berdiri di luar mobil, menutup pintu
dan melambai. Anak itu tau mereka berhasil. Tapi entah apa yang dipikirannya
hingga menolak pergi saat ini juga.
Sebelum menginjak pedal gas
dan melesat pergi, Gold tersenyum lebar pada Satan. Tak ada yang tau bagaimana
akhirnya. Mereka berdua melintasi parkiran dan keluar ke jalanan cukup cepat.
"Sial! Salah belok! Ada
polisi disana " Gold agak melambatkan lajunya.
"Jangan!" cegah
Lucas, membuat mobil itu kembali melesat. "Lanjut saja! Kita kehabisan
waktu. Sebentar lagi akan meledak. Sedikit lebih jauh lagi."
Lucas menyadari jalanan baru
saja di evakuasi. Dan dia bersumpah melihat sosok transparan di belakang Mia
yang tengah mendekat ke mobil polisi. Sementara itu, polisi membawa Alexine
yang teah memastikan para sandra diangkut menjauh ke tempat aman. Lalu, nampak
McConnor dibopong ke arah mobil sementara dirinya penuh luka. Tak ada yang
kelihatan teramat riang selain para reverier.
Melaju di jalanan, Lucas tak
menyadari ada lamborgini merah mengikutinya dari parkiran namun berbelok ke
arah yang berbeda menjauh dari polisi.dibelakangnya. Di kursi kemudi seseorang
tersenyum sambil mengendalikan setir. Di jok disampingnya, Satan menyeringai
pada si Supir.
Kendrik Blaire mendengar
ledakan di belakangnya sementara dia dan Lamborghininya telah melesat jauh di
jalanan. Dia meminta Satan membuka dashboard mobil dan membawakannya sekaleng
Diet Coke. Mereka berdua bersulang, dan Kendrik menyalakan musik.
Berakhir. Pemerintah pasti
menyetujui tuntutan Kendrik. Meski pada akhirnya Equilibrium tetap akan
ditangkap karena merusak fasilitas umum dan aset negara, setidaknya akhirnya
bagus. Orang-orang selamat, para reveriers masih bernafas.
Lucas
Keadaan tak pernah mudah
diduga-duga. Aku sempat bertanya mengapa Gold repot-repot menyelamatkanku.
Jawabannya sederhana, "Karena aku belum menyelamatkan siapapun."
Tentu saja, semua orang
disini begitu. Tapi yang penting ini sudah berakhir. Pemerintah pasti
menyetujui tuntunan Kendrik. Orang-orang selamat dan para Reveriers masih
bernafas.
Aku menghembuskan nafas lega
sementara tanganku terangkat kedepan wajahku. Kulihat salah satu mata gelang
yang sempat memborgolku masih melingkar di tanganku. Agak malas, kubuka pintu
mobil dan melangkah keluar menuju bangku yang terletak di pinggir jalan.
Tertatih aku menghampirinya, tapi terasa menenangkan saat aku duduk diatasnya
sambil menatap asap hitam membumbung di udara.
Kudengar langkah kaki kecil.
Seorang gadis. Ketika aku memalingkan muka menengok ke arahnya, Alexine
melambang singkat padaku. Senyuman tergurat di wajahnya yang manis. Aku
tersenyum balik. Dia agak kacau. Berkeringat, berdarah dan berantakan.
Aku berdiri menatapnya makin
dekat ketika dia bertanya apa kabarku. Rasanya aku bergurau dengannya seakan
teman dekat. Lalu sesuatu datang mengganggu. Gold membawa mobilnya berputar dan
melesat pergi dengan decit ban dan raungan mesin yang memekakkan telinga.
Terdengar teriakan kurang waras dari seseorang di belakangku.
"Penghianat berengsek!
Kau meledakkan gedungnya!" Thomas McConnor yang penuh luka melangkah
gontai kearahku dengan tangan terangkat memegang pistol di genggaman.
Aku membalikkan tubuh.
'DOR!'
Peluru melesat sementara
perutku merasakan sesuatu yang membakar dan merobek. Kuangkat tanganku
menyentuh lubang berlumur darah di vest hitamku. Makin samar pendengaranku menangkap
suara orang-orang menahan McConnor, menenangkannya. Tapi sempat kulihat
McConnor seakan tercekik sosok tak kasat mata. Matanya membelalak sementara
tangannya seakan mencoba melepaskan jeratan di lehernya. Dia nampak kehabisan
nafas.
Sementara rasa sakitku kian
meradang, kulihat Mia berpaling dari para polisi seakan tau apa yang terjadi
dan merasa kesal. Lalu aku ambruk. Kurasakan seseorang menahanku diiringi
teriakan yang melafalkan namaku.
Alexine ada di dekatku. Dia
menatapku cemas. Aku balas menatapnya tersenyum. Dibalik kacamatanya, aku
melihat iris yang menenangkan. Entah warna apa itu, aku tak yakin. Entah karena
pandanganku yang mengabur atau memang warnanya membingungkan. Yang jelas,
matanya indah.
"Tapi aku berhasil,
Aphrodite Daughter!" kataku dengan mulut berdarah.
"Apa?" Dia berkata
terdengar khawatir. "Jangan bicara! Kau akan hidup! Kita akan bertemu di
episode berikutnya, Lucas!"
"Charmspeak!" Aku
susah payah mencoba bicara. Melawan sihir dari Alexine yang menaarikku untuk
menurut. "Dan matamu! Itu biasanya hanya putri Aphrodite, Venus."
"Tidak! Aku bukan
demigod. Tetap tenang! Kau berhasil. Alam mimpi akan membuatmu tetap hidup. Kau
akan pulang ke tempat kau mengalahkan musuhmu dengan listrik. Aku melihat
karyamu."
"Aku tau aku tak akan
mati.."
"Ya!"
Tak kudengar lagi Alexine
bicara. Lampu oranye di pinggir jalanan membuat mataku sakit. Aku memejamkan
mata. Malam justru terasa panas dan membakar. Aku merasakan tubuhku yang
terkulai ke pangkuan gadis itu. Tapi pikiranku berisi hal lain. Sepotong memori
lagi dari kehidupanku.
Daniel memberenggut padaku.
Dia ingin memukulku tapi terurung karena perasaan yang kulihat di matanya. Dia
menjauh dariku dan beringsut ke dalam bayangan dari rak buku di perpustakaan.
Aku melangkah maju dengan marah.
"Kau jadi
musuhku?"
"Lucas, sudah kukatakan
bukan aku yang menghancurkan proyekmu. Hanya pikiranmu yang bilang aku
penyebabnya!" Daniel berkata geram, kedengaran begitu letih. "Ingat
ini, Lucas! Betapapun orang memusuhimu dan bersaing denganmu, musuhmu hanyalah
kau sendiri. Kau yang tak pernah mendengarkan suara hatimu. Tapi aku tau, kau akan
menaklukkannya suatu hari nanti. Dan kau akan berhenti lupa.."
Kuingat, sejak saat itu aku
belum pernah baikan dengannya.
Aku kembali merasakan alam
mimpi yang menyakitkan saat tubuhku serasa kesemutan dan terbakar. Kurasakan
seseorang memelukku. Hanya tinggal senyumanku yang kuingat dalam kesadaranku.
Dan kalimatku yang terakhir.
"Daniel bukan
musuhku,"
Hari ini.. Usai.
The Dream
Tak sadar Lucas, kala dengan
ajaib Hermy membawanya pulang. Awan bergulung tak menggentarkannya dalam
ketidaksadaran. Dia tak mati. Dia berhasil. Dia akan hidup untuk esok untuk
sebuah mahakarya dan harapan. Dia melompat lagi dalam mimpi di benaknya.
Bingkai mimpi lagi.
Malam telah menjadi sunyi
sementara Lucas berbaring di ranjangnya. Malam penuh bintang sementara Gold
memarkir mobilnya di bingkai mimpi. Domba putihnya tertidur di jok belakang.
Saizen menunggangi domba terbang diantara awan dingin dan cahaya bulan. Alexine
mengingat Lucas saat menatap bintang-bintang di mimpinya. Malam kini serasa
menenangkan bagi Dietrich yang menemani Mia bermain konsol di kamarnya
Mereka menanti. Sama-sama
menanti esok bagi mereka yang tetap bertahan dalam mimpi.
---
>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 22 - LUCAS MASOLEUM | AKU BERMIMPI
>Cerita selanjutnya : -
==Riilme's POWER Scale==
BalasHapusPlot points : B
Overall character usage : B
Writing techs : C
Engaging battle : C
Reading enjoyment : C
Maaf, rasanya saya gatel pengen komentar soal teknis entri ini.
Entri ini bertabur typo lumayan banyak, beberapa yang saya liat di antaranya :
Tau >> tahu
Meringgis >> meringis
Mecokel >> mencongkel
Melambang >> melambai?
Berakhur >> berakhir
Teah >> telah
Narasinya juga lumayan jumpy, kadang" bikin bingung apa atau kenapa sesuatu terjadi. Kayak Alexine dan Mia ilang gitu aja setengah cerita (meski saya ngerti merekaa emang punya tugas lain offscreen), kenapa Lucas malah dorong Satan dan bikin botol molotov pecah (padahal kalo diem aja kan rokok Gold bisa apa?), atau pas Lucas mau jinakin bom terakhir dan mendadak ditodong serdadu Equilibrium. Beberapa bagian mesti diulang" bacanya biar saya nangkep maksudnya apa
Ada satu paragraf yang persis diulang :
>'Berakhir. Pemerintah pasti menyetujui tuntutan Kendrik. Meski pada akhirnya Equilibrium tetap akan ditangkap karena merusak fasilitas umum dan aset negara, setidaknya akhirnya bagus. Orang-orang selamat, para reveriers masih bernafas.'
Berselang satu paragraf kemudian ada lagi gini :
>'Tentu saja, semua orang disini begitu. Tapi yang penting ini sudah berakhir. Pemerintah pasti menyetujui tuntunan Kendrik. Orang-orang selamat dan para Reveriers masih bernafas.'
Saya juga ngerasa lucu karena Lucas kayaknya sering banget excited sendiri di narasinya, berulang kali nyebut sesuatu kayak 'Yaps! Oh! Wow!'
Oke, terlepas dari masalah teknisnya, ceritanya sih ga bermasalah dan lebih kegambar jelas daripada prelimnya. Lima orang reverier, semuanya keliatan netral, ga bener" berpihak ke polisi ataupun teroris, berusaha mencapai konklusi terbaik dari konflik di setting ini, dan endingnya emang berakhir lumayan damai untuk semua pihak. Tugasnya selesai sesuai standar ketentuan.
==Final score: C (7)==
OC : Iris Lemma
Thanks uncle, Sam..
HapusAnd aku setuju.. itu fail bgt teknisnya..
Sma ada proofreading gagal..
Hmmm, dari misinya sih saya kira tensi ceritanya akan dibangun sejak awal misi. Tapi ceritanya baru kerasa serunya mulai dari setengah plot lebih.
BalasHapusTerus ada masalah typo yang diangkat sama Sam di atas.
Tapi begitu ceritanya masuk bagian seru, ngikutinnya juga lebih asyik, setelah sempat kerasa dragging. Endingnya juga oke.
Saya rasa ceritanya pantas diberi nilai 7/10
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
setuju sama mas fachrul, saya juga baru bisa menikmati ceritanya dari tengah-tengah.
BalasHapushmm...pembukaannya yg fokus ke lucas dan deskriptif yg ada di sekitar lucas ntah kenapa membuat saya pngen cepet2 nglewatin bab itu. tp wkt udah masuk pencarian dan penjinakan bom saya mulai fokus bacanya.
sayangnya pas di ending ntah knp ada yang kurang bisa saya pahami. apalagi gold yg mendadak berpihak pd lucas hanya dg alasan blm nylametin org.
tmbhn nilai yg ktinggalan 8
HapusJujur, ceritanya memang bagus. Bagian yang paling saya suka menjelang ending, terutama pada bagian yang menggambarkan yang dilakukan para reverier ketika balik ke alam mimpinya. Saya langsung kebayang scene film yang serupa.
BalasHapusHanya saja...
- Bagian awal cerita, sepertinya porsi monolog terlalu banyak. Jadi agak membosankan bacanya.
- Typo bertebaran. Yah, ini minor sih buat saya, tapi mungkin akan cukup mengganggu dan membingungkan buat awam, apalagi kalo typo yang mengubah makna katanya.
- Saya kurang bisa memahami beberapa bagian, sehingga harus dibaca beberapa kali. Entah karena otak saya yang ga nyampe atau emang ada yang janggal sama narasinya.
Overall Score : 8
At last, greetings~
Tanz, Father of Adrian Vasilis
Hmm, jadi secara keseluruhan, ada perkembangan di entri R1 ini kalau dibandingkan prelim yang kemarin. Kekakuan tulisannya udah mulai hilang. Dan dialog-dialognya udah mulai lebih hidup, walau menurut saya pribadi masih ada kaku-kakunya. Sedikit, sih. Tapi gapapa.
BalasHapusYang bikin saya kurang sreg paling build-up ceritanya sih. Di bagian awal setuju monolognya agak kurang enak. Menrut saya monolognya masih bisa diakali, sih, jadi tetap bisa bermonolog yang menarik, maksud saya.
Di pertengahan sendiri udah mulai kelihatan tensi ceritanya, dan disuguhkan akhir yang cukup oke.
Teknis udah ditunjukkin ama rekan-rekan yang lain. Paling kalau menurut saya, narasinya aja yang diperhalus lagi. Udah mulai dekat ke narasi yang enak dibaca.
Nilai dari saya 8
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
I have no idea what was going on.
BalasHapusMonolog di awal udah oke buatku. Ngasi kesan fresh countryside yg rasanya tenang, asik banget suasananya. Nah, begitu masuk ke misi, di sini letak kesalahannya. Misi nggak dijelasin musti ngapain, tapi tiba2 Lucas udah tau musti ngapain dan sudut pandang pun udah ganti ke POV 3 serba tahu.
Aku sebagai pembaca merasa tertinggal. Seiring cerita berjalan, aku semakin tertinggal jauh, makin nggak ngerti di sini Lucas musti ngapain. Ini siapa, itu siapa. Musuhnya siapa.
Saranku, pake POV 1 secara penuh. Menurutku POV 3 serba tahunya tahu terlalu banyak tapi nggak bagi2 ke pembaca. Atau klo mau pake POV 3, pake yg terbatas.
Selalu posisikan pembaca sebagai orang awam yg nggak tahu apa itu battle of realms, latar battle kali ini, dan juga charsheet OC. Jadi selalu jelaskan misi, bukan dengan paragraf infodump. Tapi dari bagaimana OC bereaksi dan beradaptasi terhadap latar cerita.
I really hope i could enjoy this :(
Dariku 6/10
+1 because i want you to be better
7/10
~FaNa
jujur, saya kurang nyaman dengan pindah Pov dr 3rd Pov ke 1st Pov. Lagi asyik liat penggambaran situasi secara luas, tiba-tiba ke bawa ke pendalaman batin para tokoh utama melalui narasi sudut pandang pertama. Ibaratnya lg asyik main game, tiba-tiba berasa diseret buat main bola. Gitu deh.
BalasHapus7
Cowok masokis...
BalasHapus._.
Penjabaran bingkai mimpinya mantep Um... orang kalo lagi Lucid Dream kurang lebih kayak gitu lho.
Jalan pemikiran Lucas bikin terkesan dia kayak anak kecil polos ya. Meski dia punya semacam PTSD, tapi segala sesuatu dianggap sebagai "discovery"
Saya agak skimming di awal-awal, karena rasanya dragging aja ngejelasin Lucas jalan2 di bingkai mimpi, terus tentang kegalauannya itu.
Saya bisa mengabaikan soal Typo, karena udah dikomen sama Sam.
Oh iya, pengalihan dari PoV1 Lucas, ke PoV 3 itu bikin saya bingung lho~
Setelah adegan jinak menjinakkan (??) bom, baru saya bisa dapet konklusinya (meski ada beberapa yang harus dibaca ulang karena masih belum mengerti)
btw, perpindahan pihak Gold itu rasanya janggal aja, atau mungkin karena kurang mendapat perhatian soal motif dan latar belakangnya.
Point : 7
OC : Venessa Maria
Narasinya unik dan menyenangkan. Kecemasan Lucas, ancaman bom, interaksi antar karakter yang ada di sini juga cukup tergambar, well, di bagian Lucas sama Saizen banyak banget yang geli-geli bikin ketawa.
BalasHapusTerus detailnya, di tiap bagian, rapi. Saya nikmatin ini sampai akhir, dan ya, akhirnya itu manis banget. Mungkin beberapa koreksi lain dari saya sama kayak komentar-komentar sebelumnya. 8/10
Oc: Namol Nihilo
Oke, saya sendiri bingung mau bereaksi apa.
BalasHapusPertama, plot dan alurnya terasa nyaman buat dibaca. Tahu-tahu, udah selesai aja. Masalah typo, terlalu bersebar di sana-sini. Tapi, penggunaan karakter The Thinker udah bagus banget. Terlebih Satan, yah mungkin cara dia ngomong kurang panjang. Soalnya biasanya dia kalau jelasin gak cukup 2-3 kalimat, haha
Nilai:8 deh
OC: Satan Raizetsu
Aye juga ngambil settingan nyang ini,,terus kerasa banget beda di penggarapannye,,Bang. Mungkin emang lantaran ini dari grup tukang mikir,,kayaknye setiap mau begono-begini kudu dipikirin dulu tahapannye..jadi kurang banyak aksi.
BalasHapusTapi secara cerita nih Bang,,udah kerasa solid banget. Kesampean deh apa yang diceritain gitu. Tinggal kasih lebih banyak adegan yang lebi nampol aje kalo pendapat dari aye nih Bang
Ponten dari aye 9,,Harum Kartini karakter aye
Plotnya Lucas mayan bagus juga ya. Saya kira bakal boring di awal eh tapi pas ke tengah lumayan menarik, apalagi di endingnya Lucas juga kena tembak. Hhaah
BalasHapusLogikanya ga salah, yang penting ga mati aja sih. Dying selama masih napas ya gapapa, lol.
Mungkin agak beda dengan most commentary di entry ini... Saya malah ga masalah sama perpindahan POV selama jelas ditunjuk.
Oke, ini soal Lucas. Jadi kalau Partnya berjudul Lucas, jadi POV 1 pun ga masalah, meanwhile yang Part dengan nama lain pakai POV 3
"We can read things through Lucas Eyes"
untuk alasan Gold sendiri, meski agak 'maksa' tapi ga masalah buat saya, toh interpretasi author.
Lumayan ringan sih,
8
-Odin-