>…
>Initializing….
>BOOT
completed. System is starting up…
>Installing
DREAM.exe…
>Terminating
MEMORY access…
>DATABASE is
set.
>CONFIG
completed. All clear.
>ALPACA
system, ONLINE.
>Resume
SAVESTATE in 3 |
>2 |
>1 |
>0 |
>…
==0%~==
Part 1
…………………..…..[Reveriers]………..…………..[Mahakarya]…………………………..[Alam
Mimpi]……………………………
Merah menyala.
Sebuah lingkaran kaca pada tubuh besi, memantulkan
cahaya yang bersinar kemerahan di langit.
Satu mata terbuka. Di depannya, dua buah bulan berada
di udara.
Ia mencoba bergerak, mula-mula dari jari-jari dingin
dan kaku pada kedua telapak tangannya yang kelabu.
Kemudian dilanjutkan dengan semua persendian dan
anggota gerak lainnya.
Tidak ada masalah. Semua berfungsi dengan baik.
Maka berdirilah ia dari perbaringannya.
Ia, sang Robot Mata Satu.
Robot itu melihat ke luar ruangan tempat ia berada.
Sebuah kamar berukuran kecil, tidak lebih dari 3x3 meter, dengan jendela di dua
sisi dan pintu kaca di sisi lain.
Namun yang ganjil adalah posisi kamar itu, karena
ketika ia membuka pintu kaca, jelaslah bahwa ia berada di ketinggian 1
kilometer dari permukaan tanah.
Langit berada begitu dekat dengannya, seolah ia hanya
perlu mengulurkan tangan untuk meraih dua buah bulan yang ada di depan mata.
Tidak. Ia bahkan tidak perlu mengulurkan tangan.
Mata mekanisnya memindai, menghitung, dan mengambil
kesimpulan.
Bahwa dalam waktu kurang dari 200 menit dari sekarang,
kemungkinan besar kedua objek berbentuk bola raksasa yang ia lihat saat ini
akan menabrak planet tempatnya
berpijak.
Situasi yang asing.
Ia melihat ke sekeliling, dan mendapati pada
penglihatan dengan perbesaran maksimum, kegelapan total memerangkapnya sempurna
dalam 360 derajat. Entah apa yang ada di balik kegelapan itu, namun matanya
tidak dapat menangkap objek apapun di dalamnya. Seperti garis peta terhenti di
sana oleh sebuah noda hitam.
Dari ketinggian di mana ia berada, ia dapat melihat
bahwa di bawah sana, daerah perkotaan futuristik, jauh dari sebutan sekedar ‘modern’,
dengan gedung-gedung ketinggian bervariasi menjulang, berusaha mencakar langit,
meski tak ada satupun yang mampu menyaingi tempat ia berdiri saat ini.
Namun setidaknya masih ada sesuatu yang dapat ia
kenali di bawah sana.
[Manusia].
Manusia ada di bawah sana, di mana-mana.
Estimasi jumlah, ratusan….tidak, mungkin ribuan, atau
puluhan ribu bila masih ada yang tidak terhitung di dalam bangunan-bangunan
lain.
Dan mereka semua tengah berperang dengan satu sama
lain.
Membunuh, menumpahkan darah, membuat kerusakan di
antara sesama.
Kenapa?
Ia perlu tahu. Maka ia tidak berdiam diri, karena
jawaban tidak akan datang sendiri. Ia perlu mencari
tahu.
Sang Robot Mata Satu pun melompat terjun ke bawah
tanpa ragu.
Part 2
Ini adalah dunia, di mana tidak ada lagi yang namanya
agama.
Tuhan telah mati di tangan manusia. Manusia tidak
butuh Tuhan. Tanpa Tuhan, toh manusia bisa hidup dan mengolah bumi sesuai
keinginannya sendiri. Hidup itu untuk bahagia. Cari harta dan tahta,
senang-senanglah di dunia selagi bisa.
Kira-kira seperti itulah.
Di zaman pramodern, manusia seperti anak kecil yang
meraba-raba dunia. Semua seolah seperti sesuatu yang baru. Tidak dikenal.
Asing. Namun pengetahuan dan nalar tidak cukup untuk menjawab apa ini dan apa
itu. Maka mereka mengasosiasikan segala sesuatu sesuai imajinasi. Menjadi
kepercayaan, menjadi aturan, menjadi tatanan.
Dan lahirlah agama purba.
Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula peradaban
dan kebudayaan. Manusia menjadi lebih maju secara akal. Seperti mereka beranjak
remaja, akal mereka pun digunakan untuk berpikir kritis, menentang segala
sesuatu bila tidak sesuai dengan nurani, dan selalu menginginkan perubahan.
Demikianlah, manusia memasuki zaman modern.
Agama pun mulai dipisahkan dari kehidupan. Semua itu
hanyalah konsumsi pribadi, ingin punya kepercayaan, terserah. Tidak percaya pun
tidak masalah.
Dan tibalah sekarang mereka di usia prima. Usia
dewasa. Zaman postmodern.
Dari anak-anak menjadi remaja, dari remaja beranjak
dewasa.
Dari teis menjadi sekular, dari sekular menjadi ateis.
Nyatanya, bumi terus berputar sekalipun tanpa agama.
Untuk apa peduli pada yang gaib sementara semua kebutuhan yang ingin dipenuhi
ada di depan mata?
Tapi seperti siklus hidup, setelah dewasa maka ada
usia uzur. Usia tua, renta, senja. Di usia ini, tidak ada lagi pertumbuhan dan
perkembangan, yang ada hanyalah kemunduran dan menunggu ajal.
Kemudian datanglah satu masa di mana bumi terancam
bahaya.
Dua buah satelit yang semula mengorbit, kini berontak keluar
jalur dan hendak menghantam bumi bersama-sama.
Seperti kesetanan, manusia segera mencari pembenaran.
Kelompok [Trinitas Planet Suci], menyatakan bahwa dua buah satelit yang hendak
menabrak bumi yang mereka tinggali sejatinya adalah kejadian yang sudah
digariskan takdir. Kodrat alami, bahwa setelah itu dunia akan menjadi satu
kesatuan yang utuh. Sekarang mereka hanya perlu menerimanya, dan kelak mereka
akan terlahir kembali di bumi yang telah menjadi sempurna setelah penyatuan
agung.
Kelompok lainnya adalah pemuja [Setan
Merah], yang mengatakan dunia sudah kiamat. Karena Tuhan tidak lagi ada,
maka setan mengambil alih dunia. Kini semua manusia berdosa karena tidak
beriman, jadi setan turun tangan untuk menciptakan sistem baru. Barangsiapa
tidak mengikuti setan maka tidak akan selamat. Tinggal pilih, bersama-sama
dalam kesesatan jalan setan atau terima nasib.
Kedua kelompok inilah yang bentrok dan berujung pada
perang besar-besaran, yang disebut [Perang Sabit].
Di luar wilayah tempat mereka berada, seluruh dunia
dimakan oleh hitam. Maka kelompok [Trinitas Planet Suci] mengklaim tanah ini
sebagai tanah suci yang harus mereka jaga, sementara kelompok [Setan Merah]
menganggap mereka yang tidak menerima setan sebagai juru selamat mereka tidak
berhak berada di sini.
Teriakan-teriakan, panji-panji yang berkibar, susunan
manusia yang terlibat dalam peperangan.
Hanya dengan mengamati saja, sang Robot Mata Satu bisa
mendapat informasi ini.
Hanya saja yang belum ia mengerti, adalah kenapa di
saat susah begini, manusia justru tidak bisa menjadi satu.
Ia juga belum mengerti kenapa dan bagaimana ia bisa
hadir di tempat ini.
Yang ia tahu hanyalah bahwa ia memiliki satu misi.
Misi itu adalah satu-satunya hal yang menjadi tujuan hidup, dan membuatnya
tidak berhenti untuk terus hidup.
Yaitu, untuk mencari sang [Pencipta].
Bila sang Robot Mata Satu mengenal ironi, maka itulah
yang menggambarkan keadaan saat ini.
Manusia yang terpecah belah dan terombang-ambing dalam
kesesatan mereka, dan robot yang diprogram untuk mencari jawaban dari
pertanyaan paling universal di alam semesta.
Tapi toh ia tidak mengurusi soal ironi. Realitanya,
manusia sudah siap menghabisi satu sama lain.
Lalu, di mana ia dapat memposisikan diri dalam keadaan
carut-marut ini?
Tiba-tiba saja,
Sebuah pesawat menabrakkan diri ke gedung di mana ia
berada.
Di saat yang sama,
Sebuah bom meledak di dalam gedung tempat ia berada.
Dari dalam dan luar, gedung itu dibuat porak poranda.
Seperti pohon tumbang, gedung raksasa setinggi satu kilometer jatuh menabrak
gedung-gedung lainnya.
Menewaskan mereka yang masih berada di dalam.
Menewaskan mereka yang tertimpa di luar.
Dan di manakah posisi sang Robot Mata Satu?
Ia bukan manusia yang terdiri dari darah dan daging.
Dari balik reruntuhan ia bangkit, berdiri di atas puing-puing bagai terlahir
dari dalam perut bumi.
Waktunya tepat sekali. Terlalu tepat malah, sehingga
rentetan kejadian ini mungkin terdengar kurang realistis bila diceritakan
seperti ini. Tapi siapa peduli dengan takdir, hukum alam, atau kaidah
kesusastraan dalam bercerita?
Intinya, dia berdiri di sana. Di tengah-tengah perang
yang berkobar. Dengan sosok gagah, dan satu mata merah menyala, sewarna dengan
langit dan darah di tanah yang ia pijak.
Sontak siapapun yang menyaksikan proses tersebut
menjadi takjub.
Ini dia.
[Setan Merah] telah turun ke bumi!
Part 3
“Puja [Setan Merah]! Puja [Setan Merah]! Puja [Setan
Merah]!”
Mendadak, alur perang berubah drastis.
Padahal sang Robot Mata Satu hanya berdiri di sana,
tetapi kemunculannya saja sudah membuat moral para pengikut dadakannya
menjulang setinggi langit.
Manusia memerlukan justifikasi dalam setiap
tindakannya. Bila ia merasa benar dengan apa yang ia perjuangkan, maka mati pun
menjadi hal yang murah. Selama ia benar.
Dan inilah yang terjadi. Keseimbangan kepercayaan antara
dua kelompok bertikai yang semula terlihat seimbang kini menjadi berat sebelah.
Kelompok [Trinitas Planet Suci] mulai bimbang.
Sebagian berhenti bergerak, sebagian tanpa malu-malu membelot, sebagian
berjuang dalam keputusasaan hanya berbekal harga diri dan kepercayaan.
Kelompok [Setan Merah], sebaliknya, semakin terbakar
semangatnya. Semakin barbar. Semakin gila. Semakin menjadi-jadi.
“Tumpahkan darah untuk sang [Setan Merah]!”
“Neraka sudah di depan mata! Ayo, bunuh, bunuh
semuanya!”
Meriam ditembakkan, roket diluncurkan, cahaya laser
bersilangan, bunyi senjata api tidak pernah berhenti, denting logam beradu tak mau
kalah seru.
Dalam keadaan itu, yang dilakukan oleh Robot Mata Satu
hanya berdiri dan mengamati.
Manusia memang seenaknya sendiri. Mereka membuat
simbol sesuai keinginannya sendiri, dan merasa cukup.
Ia tidak merasa terhormat dengan orang-orang
mengangkatnya sebagai figur pujaan mereka. Meski ia hanya mesin, setidaknya ia
mampu berpikir. Dan ia tahu persis bahwa dalam keadaan ini, ia hanyalah sekedar
alat bagi manusia untuk mencapai tujuan mereka.
Kalau memang ia setara dewa, kenapa baru sekarang
manusia memujanya?
Kalau memang ia layak disembah, apa jaminan mereka
tidak akan pernah meninggalkannya?
Memikirkan ini, ia tahu manusia sudah tidak punya
harapan lagi.
Sekalipun dibiarkan terus hidup, yang akan mereka
lakukan hanyalah merusak fasilitas bernama bumi yang sudah disediakan Tuhan
sebagai tempat di mana mereka tinggal. Mereka juga sudah jelas malas dan abai
terhadap kebenaran, maka ia meragukan apa yang ia cari akan ia temukan
jawabannya pada manusia yang hidup di zaman ini.
Singkat cerita, kesimpulannya adalah manusia sudah tidak berguna. Mereka
tidak akan mengantarnya pada kebenaran.
Sampah harus dibuang pada tempatnya. Hama yang
mengganggu harus diusir.
150 menit sebelum tabrakan.
Ia tidak bisa berpikir jernih dengan banyaknya
gangguan eksternal seperti ini. Bunyi bising dan pemandangan kacau sangat
mengganggu input audiovisual. Jangankan berpikir tentang kenapa dan bagaimana
yang dari tadi belum ia temukan juga jawabannya, berpikir dengan tenang saja rasanya sulit, bahkan bagi mesin seperti
dirinya sekalipun.
Maka sang Robot Mata Satu memutuskan.
Sebagai awalan, ia akan memusnahkan seluruh umat manusia yang ada di sini.
==30%~50%==
Part 1
Sang Robot Mata Satu mencatat jumlah manusia yang ia
bunuh dari orang pertama.
Yang paling pertama adalah wanita tua yang entah
mengapa berani mendekati dirinya untuk mencari berkat.
Yang kedua adalah perempuan paruh baya yang mendampingi
wanita tua itu.
Lalu pria yang mulutnya terbuka karena tidak percaya
dengan apa yang ia lihat dan tidak sempat melakukan apa-apa.
Lalu selanjutnya dua puluh satu orang sekaligus habis
dalam satu pancaran sinar laser yang ia tembakkan dari mata.
Kemudian para manusia yang saling berperang semakin
kebingungan, satu sama lain tak yakin apa yang harus mereka lakukan, tapi
kegilaan sudah terlanjur tak bisa dihilangkan begitu saja.
Ia memukul, dan kepala manusia lepas dari tubuh.
Ia memukul, dan perut manusia berlubang sebesar bola
matanya.
Ia memukul, dan sebuah tank terlempar menabrak pesawat
jet di udara.
Gedung-gedung berjatuhan, manusia lalu lalang, seluruh
perhatian seketika tertuju padanya.
Bagai menyediakan panggung dengan efek dramatis, saat
itu pula hujan turun, dengan petir menggelegar bersahut-sahutan.
Inilah sosok [Setan Merah] yang mereka idam-idamkan.
Sosok yang akan mengantarkan manusia ke neraka, tanpa
belas kasih, tanpa pilih kasih.
Para pemujanya menjatuhkan senjata masing-masing dan
bersujud.
Yang sang robot lakukan? Menginjak kepala mereka satu
persatu seperti melangkah di jalanan penuh kerikil.
Kepanikan massal merajalela. Semua tahu, mereka tidak
bisa berdiam diri.
Melawan atau mati.
Sang robot saat itu menyadari, ketakutan adalah alat
yang paling ampuh untuk menciptakan perdamaian. Tidak salah lagi, sejak ia
mulai bertindak, sebagian besar manusia mulai menghentikan pertikaian di antara
sesamanya.
Bagus. Seperti inilah ketenangan yang hakiki.
Manusia tidak bisa mencegah jatuhnya satelit yang akan
menimpa mereka. Dengan meninggalkan dunia ini terlebih dahulu sebelum semua itu
terjadi, sekiranya mereka akan menjemput kematian lebih cepat dan tidak
disibukkan dengan masalah-masalah duniawi lebih lama.
Beberapa dari mereka yang kehilangan harapan bahkan
tidak berpikir panjang untuk membunuh diri mereka sendiri.
Bersama dengan hujan, manusia ikut turun dari langit.
Berjatuhan dari pesawat dan gedung, melompat kabur dari neraka dunia yang tidak
mampu mereka saksikan, menuju ke neraka selanjutnya di akhirat.
Beberapa dari mereka masih belum goyah. Meski hitungan
korban sang robot sudah nyaris mencapai angka tiga ratus, masih ada yang tidak
mau menyerah pada takdir.
Kali ini, robot raksasa yang dikendalikan dari dalam
oleh beberapa orang muncul menjadi tandingan sang Robot Mata Satu.
Dengan berbagai macam senjata mereka menyerang, namun
sia-sia saja.
Sang Robot Mata Satu menangkis semuanya dengan perisai
tak kasat mata, lalu melakukan serangan balik dengan mengayunkan kaki robot
raksasa seperti palu, menghantam robot-robot raksasa lainnya.
Seperti tikus membanting gajah.
Cukup sudah. Tidak ada lagi perlu dibuktikan lebih
lanjut dengan memanjang-manjangkan cerita ini.
Manusia telah tamat riwayatnya.
Part 2
Hujan terus mengguyur seisi bumi dengan hebat. Entah
apakah langit menangisi kepergian mahluk yang semula memenuhi seisi bumi, atau
langit hanya ingin berbagi warna dengan bumi sebelum hancur.
Karena kini di bawah tempat sang Robot Mata Satu
berdiri, adalah kolam merah darah.
Langit tidak lagi terlihat merah karena tertutup awan.
Sebagai gantinya, bumilah yang basah oleh warna merah.
Kota ini pada dasarnya berbentuk kubah, dengan
dinding-dinding tinggi menjaga perbatasan, meski tidak setinggi gedung-gedung
yang berdiri di dalamnya. Seperti sebuah mangkuk raksasa, ia menampung air yang
turun dari langit seperti keran bocor, membuat kini seisi kota telah terendam
banjir setidaknya 2 meter di atas kaki.
Dan mayat-mayat manusia terapung di atasnya.
Sang Robot Mata Satu telah berhenti pada hitungan 999.
Tiga digit angka yang sama. Satu lagi, dan ia bisa menggenapkan jumlah manusia
yang telah ia bunuh dalam kurang dari 60 menit.
Matanya memindai, mencoba mencari sekiranya masih ada
tanda kehidupan. Meski kini bumi menjadi sunyi, guyuran air hujan dan petir tak
mau berhenti mengiringi.
Ia berjalan di atas jembatan rusak, yang menghubungkan
reruntuhan satu gedung dengan gedung lainnya.
Ia berjalan menelusuri senjata perang yang dikendarai
manusia, baik darat maupun udara, yang kini telah menjadi rongsokan mati.
Sudahkah tak ada lagi manusia yang hidup di bumi?
Begini sajakah akhirnya?
Bila sang robot memiliki emosi, mungkin yang tepat
untuk menggambarkan situasi ini adalah kekecewaan. Ia tahu semua ini antiklimatik,
tapi karena ia yang memulai, maka logis bila seperti inilah hasil akhirnya.
Ia bergerak bukan atas dasar dendam, bukan karena
hilang akal, bukan karena menjadi buas, bukan pula karena bawaan naluriah dirinya
barbar.
Ia hanya bertindak berdasarkan perhitungan dan
kesimpulan. Apa yang ia lakukan adalah benar menurut definisi yang ia tarik
dari pemikirannya sendiri.
Selama tidak ada yang membuktikan kesalahan dalam
tindakannya, ia akan terus melanjutkan apa yang ia mulai.
Tak lama waktu berselang, akhirnya ia menangkap
keberadaan sesuatu.
Lemah dan tak berdaya. Tersembunyi penuh gemetar dan
ketakutan.
Ia menengok ke arah sebuah cerukan yang tercipta dari
puing-puing. Matanya menelisik dari kejauhan, dan mendapati tiga buah panas,
tanda metabolisme mahluk hidup yang masih berjalan.
Bukan hanya satu, tapi tiga. Lebih dari perkiraannya.
Atau lebih tepatnya, keinginannya?
Sang Robot Mata Satu berjalan menuju ke arah manusia
terakhir yang selamat dari genosida, hanya untuk mengakhiri hidup mereka yang
selamat untuk waktu singkat.
Seorang pria, seorang wanita, dan seorang bayi.
Satu keluarga.
Apa yang dilakukan satu keluarga di tempat penuh
kekacauan seperti ini?
Mulanya sang robot tergerak ingin bertanya, namun
setelah dipikirkan lagi, itu tidak penting. Toh sebentar lagi mereka akan mati,
dan jawaban mereka tidak akan mengubah keputusan yang telah ia tetapkan dari
awal.
Maka matanya mulai bersinar, hendak menembakkan laser
sebagai eksekusi mati.
Sinar merah dalam satu garis lurus, meluncur.
Dan terpantul.
“[……………??]”
Ya. Sinar laser yang ia tembakkan dari mata, terpantul
begitu saja, berbelok mengenai gedung lain.
Untuk pertama kalinya sejak tiba di tempat ini, sang
Robot Mata Satu nyaris mengeluarkan suaranya sendiri.
Suara langkah kaki yang berkecipak menimpa genangan
air, berdiri di hadapan keluarga yang lolos dari maut. Mereka segera melarikan
diri, sementara sosok yang muncul entah dari mana itu tak berhenti melangkah
menuju ke arahnya.
Siapa dia?
Bagai menjawab pertanyaan tanpa perlu ditanya, sosok itu
memperkenalkan dirinya dengan sopan dan penuh ketenangan.
Tak lupa, dengan sebuah senyuman yang sama sekali terlihat
tidak biasa tersungging di wajah.
“Namaku Mira Slime,” ujarnya menawan, melawan suara hujan. “Senang
bertemu denganmu, hai tuan [Setan Merah]~.”
==50%~90%==
Part 1
Wanita. Bergaun biru. Rambut pirang pendek sepundak.
Parasol yang terus berputar-putar dalam genggaman.
Meski telah mengenalkan diri, sang robot masih merasa
tidak mengerti dengan kemunculan wanita ini.
“Lihat tubuhmu sekarang. Kalau bukan karena hujan,
pasti merah darah sudah menempel di sekujur tubuhmu. Benar-benar pantas kau
disebut [Setan Merah].”
Wanita itu mengulurkan tangannya tanpa takut, menyeka
bagian dada sang robot. Sang robot sendiri awas, namun tidak merasakan tanda bahaya
ataupun keinginan untuk membahayakan wanita ini.
Karena menurut pandangannya, wanita ini bahkan bukan manusia.
Bukan target penghancurannya.
Namun kemudian muncul pertanyaan baru. Bukan siapa,
tapi apa?
Melihat kebingungan sang robot, sang wanita masih saja
tersenyum penuh arti, kemudian melanjutkan,
“Mungkin kau berpikir memusnahkan umat manusia
diperlukan untuk memenuhi apapun tujuanmu, tapi aku sendiri berpikir keberadaan
mereka masih diperlukan demi keberlangsungan hidup planet ini.”
Jadi karena itukah ia melindungi keluarga barusan? Apa
dia datang ke sini sebagai tandingan dari perlakuan lalim sang robot pada umat
manusia?
Dan sekali lagi, tanpa sang robot perlu bertanya
secara langsung, Mira Slime melanjutkan monolognya.
“Tidak, aku tidak sedang mencoba menjadi pahlawan yang
menyelamatkan dunia dari raja setan. Sebaliknya, aku punya penawaran lain.”
Kali ini, ia mengulurkan tangannya pada sang robot.
“Bagaimana kalau kita berdua menjadikan dunia ini
bertekuk lutut di bawah kuasa kita?”
Di tengah hujan dan lautan darah, potret sosok sang
wanita seperti sebuah material lukisan yang begitu berharga.
“Kau bisa menjadi Tuhan di dunia baru, dan aku akan
menjadi penyampai wahyumu. Buatlah aturan dengan tegas, bimbing manusia pada jalan yang menurutmu tidak
membawa mereka pada kehancuran, dan kita akan membuat bumi menjadi tempat yang
indah sekali lagi. Bagaimana?”
Petir menyambar, memberikan jeda bagi dua mahluk
terakhir yang berdiri di atas gunungan orang mati.
“[Aku…menolak.]”
Sang robot berbicara.
Dengan suara statik dan tidak lancar, ia berinisiatif.
Untuk berkomunikasi dengan sosok penuh misteri yang
tak terdefinisi oleh dirinya sendiri.
“Kenapa?” tanya Mira Slime, belum menurunkan uluran
tangannya.
“[Karena….aku bukan Tuhan. Bukan pula setan. Aku, tak
dapat disangkal, adalah ciptaan tangan seseorang. Tujuanku, adalah mencari sang
pencipta. Itu misi utama. Misi sekunder, adalah mencari tahu siapa aku, dari
mana aku berasal, dan ke mana aku harus pergi. Karenanya, bermain peran sebagai
Tuhan bukan bagian dari arti keberadaanku.]”
Kali ini sang robot mulai melengkapi kalimatnya dengan
pernyataan sempurna.
Mendengar itu, sang wanita dengan parasol akhirnya
menarik tangannya dengan kecewa.
“Ha. Benar, bagaimana mungkin kau menjadi Tuhan
padahal kau sendiri tidak tahu siapa penciptamu? Ya ampun, kau ini mawas diri
sekali. Bahkan orang-orang di zaman sekarang tidak ada yang repot-repot
mendalami konsep spiritual dan eksistensialisme, tapi di sinilah kau, seonggok
mesin yang bertanya-tanya tentang diri sendiri dengan polosnya.”
Sebagai gantinya, kini ia membuka lebar tangannya,
menyapukan sekeliling seraya mengarahkan agar sang robot melihat hasil
perbuatannya.
“Lihat bangunan-bangunan ini, mencoba mengoyak [Surga],
tapi sekarang tumbang. Lucu juga, manusia kelihatannya lupa bahwa kodrat mereka
adalah berpijak di [Bumi]. Kesombongan yang runtuh ketika bertemu dengan alam.”
Hampir tidak ada bangunan yang utuh berdiri. Tanah
yang dapat dipijak pun sebagian besar telah terendam air hingga ketinggian
tertentu. Mira Slime jelas berbicara dalam konteks lampau.
“[Kenapa kau datang kemari?]”
Sang Robot Mata Satu ingin tahu. Dan Mira Slime
kelihatannya senang bahwa kini sang robot pun bisa bertanya dengan jujur.
“Kau tahu, aku tidak pernah ditolak seseorang
sebelumnya.”
“[…ditolak?]”
“Lihat, semua mahluk yang hidup memerlukan air, tidak
peduli sesedikit apapun. Aku dapat mengendalikan air, maka aku dapat
mengendalikan mereka sesuka hatiku. Tapi kau berbeda. Sejak pertama
menemukanmu, aku sudah tahu kalau kita bisa berdiri dengan kedudukan setara.”
“[…tapi bila aku berkuasa atas manusia, untuk
kepentinganku, atau kepentinganmu, maka apa bedanya aku dengan manusia, yang
memanfaatkan satu sama lain, hanya untuk keuntungan mereka sendiri? Sementara
aku tidak mencari apapun dari dunia ini selain sebuah jawaban.]”
Mira Slime mendesah pelan.
“Seharusnya aku tahu kalau mencoba berargumen dengan
kecerdasan buatan adalah hal bodoh, tapi setidaknya aku tidak penasaran lagi.
Kukira kau lebih dari sekedar besi rongsok berbentuk orang yang kebetulan
hidup. Apa kau bahkan punya jiwa di dalam tubuhmu itu?”
“[Apa itu jiwa?]”
“Pertanyaan bagus. Sayang, aku tidak punya jawabannya,
dan aku tidak punya waktu. Kalau kau memang tidak mau menurut, aku akan ambil
jalan lain.”
Seketika itu juga, sebentuk gumpalan air merah
berkumpul dari segala penjuru, menuju ke arah sang wanita yang masih berada
dalam naungan parasol di tangan.
“Aku akan sedikit kasar. Tapi tenang saja. Setelah
semua ini selesai, akan kupastikan kau menjadi mainan favoritku yang baru ~.”
Part 2
Tak dapat dielakkan lagi, babak terakhir dari panggung
kehancuran dunia dimulai dengan pertarungan dua tokoh ini.
Semprotan air sebesar pipa pabrik meluncur ke arah
sang robot, yang dengan sigap menepisnya dengan perisai plasma.
Mira Slime menyerangnya. Mira Slime menginginkan
perkelahian. Mira Slime adalah target baru untuk dikalahkan.
Berbekal konklusi tersebut, maka sang Robot Mata Satu
mulai bergerak.
Bola-bola air meluncur bagai tombak. Perisai plasma
miliknya tak dapat menahan seluruh serangan itu, maka ia mencoba menerima
beberapa serangan.
Ia kira ini hanyalah air biasa yang bercampur darah.
Namun ternyata bukan.
Tubuh besinya tampak berkarat hanya karena goresan
tembakan air Mira Slime. Jadi air tersebut memiliki muatan korosif?
Tidak bisa begini terus. Dia juga harus menyerang. Memberi
kerusakan pada lawan yang seimbang.
Sang Robot Mata Satu menembakkan laser, yang kemudian
dipantulkan sebagaimana pertemuan pertama mereka. Kali ini ia menganalisa,
bukan hanya air digunakan sebagai senjata, air juga digunakan sebagai cermin
pelindung yang dapat memantulkan lasernya. Artinya, ini tidak berguna kalau
digunakan secara langsung.
Sang robot menembakkan sinar merah, sang wanita
menembakkan air merah.
Sang robot menahan dengan perisai plasma, sang wanita
memantulkan serangan dengan cermin pelindung.
Adu serangan jarak jauh terbukti tidak efektif. Mereka
masih berjarak. Meski sang robot telah bergerak, sang wanita belum beranjak.
“Kenapa? Jangan diam saja. Majulah, ayo ke sini.”
Mira Slime menyunggingkan senyum mengundang, meski
sang Robot Mata Satu tidak punya konsep ketertarikan pada wanita. Tapi ia tahu,
bahwa ia memang harus maju agar ada perkembangan pada pertarungan ini.
Maka ia merangsek maju.
Dalam waktu singkat, ia sudah mendapatkan pola
serangan Mira Slime. Dengan mudah, ia menghindari rentetan peluru air yang bertubi-tubi,
melangkah mempersempit jarak, hingga pada akhirnya mereka saling berhadapan.
Robot Mata Satu mengepalkan tangan dan mengayunkan
sebuah tinju.
Mira Slime mengayunkan parasolnya, menepis tinju itu
sebelum mengenai tubuhnya.
Namun ini sudah masuk perhitungan.
Kekuatan wanita ini yang dapat menepis tinju robot
hanya dengan parasol memang mengejutkan, tapi momen yang terjadi selanjutnya
adalah sebuah kesempatan yang memang ia incar.
Dengan kata lain, pertahanannya kini terbuka lebar.
Mata mereka bertemu.
Sang Robot Mata Satu menembakkan laser dari jarak nol.
Tidak ada lagi kesempatan menahan atau menghindar.
Berhasilkah?
Jawabannya adalah sebuah tubuh tanpa kepala.
Namun bukan darah atau daging yang tampak dari kepala
yang hancur itu, melainkan….
“Aaah, kau merusaknya, kau merusaknya.”
Spontan sang robot segera menarik diri mundur.
Keputusan tepat, karena sedetik setelahnya tubuh cacat sang wanita ditelan oleh gumpalan air yang
memerangkapnya seperti bola.
Sebelum kemudian bola itu kembali membuka seperti
bunga mekar, memperlihatkan Mira Slime yang utuh kembali tanpa cedera.
Tidak salah lagi. Tidak ada darah atau daging sama
sekali.
Bila manusia terdiri dari 60% air, maka sosok yang ada
di hadapannya ini kemungkinan besar hampir 100% air.
“[Sebenarnya, kau ini apa?]”
Sang robot tidak bisa tidak bertanya dalam keadaan
ini.
“Orang-orang menyebutku sebagai monster, peri, penyihir…apapun
yang dirasa cocok oleh mereka. Kau sendiri, seperti apa aku yang terlihat di
matamu yang besar itu?”
“[Seorang wanita……….cantik?]”
“Kenapa ada jeda antara kata benda dan kata sifat yang
kau tambahkan belakangan? Tapi terima kasih. Bahkan mesin sepertimu bisa
menilaiku sebagai sosok yang enak dipandang, ya.”
Mira Slime tersenyum, memegangi wajahnya yang disebut
cantik.
“Karena itu juga, aku senang dengan penampilanku
sendiri. Sayang rasanya kalau dirusak. Kau ini tidak pernah diajari untuk
berlaku lembut pada wanita sih, ya.”
Sang robot bukan manusia dan bukan pria, jadi istilah
seperti ladies first jelas tidak berlaku untuknya.
“Yah, pemanasannya cukup sampai di sini saja.
Kelihatannya kita sama-sama belum serius dari awal.”
Mira Slime kembali memutar-mutar parasolnya, memulai
gelombang kedua pertarungan.
“Sekarang, mari kita mulai permainan yang sebenarnya.”
Part 3
Dibandingkan sebelumnya, pertarungan antara Robot Mata
Satu dengan Mira Slime kini bagaikan dua buah bencana alam yang saling beradu,
siapa di antara mereka yang mampu merusak bumi lebih banyak daripada yang lain
sebelum bumi itu hancur.
Dinding perbatasan kota jebol, membiarkan air bah
meluap keluar.
Tidak ada lagi satupun gedung yang berdiri. Semua rata
dengan tanah dan mayat yang basah.
Langit menjadi ribut, seolah sedang ikut riuh menonton
pertarungan keduanya.
Mereka berlari, melompat tinggi, terbang di udara,
beradu tembakan dan pukulan, saling menghancurkan.
Keduanya tidak lagi peduli dengan kerusakan yang
mereka sebabkan, atau kerusakan yang mereka sendiri alami.
Mira Slime terus memperbaiki diri, dan terus memainkan
air untuk menyudutkan sang Robot Mata Satu.
Sang Robot Mata Satu pun kini menjadi lebih berani,
mengabaikan perhitungan presisi demi membalas setiap serangan dahsyat agar
hitungan antara serangan yang ia terima dan serangan yang berhasil masuk
olehnya seimbang.
Setiap kerusakan yang ia terima, ia segera
memperbaikinya dengan segala macam logam yang dapat ia temukan dari bangkai
peperangan.
Sementara Mira Slime masih dengan sosok wanita anggun
seperti semula, sang Robot Mata Satu kini telah menjadi sosok berantakan yang
tidak mengenal simetri dan estetika.
Tapi keduanya tidak begitu peduli dengan penampilan.
Mereka mungkin tidak peduli pula dengan ancaman
tabrakan satelit, atau nasib umat manusia selanjutnya.
Yang ada di depan mereka adalah pertarungan, dan untuk
saat ini, pertarunganlah yang membuat mereka tetap hidup.
“Hei,” Mira Slime berujar, terdengar jelas meski di
balik hujan dan puluhan tombak air yang bermunculan dari tanah. “Bukankah ini
menyenangkan? Bukankah kesenangan ini yang membuat kita hidup, dan hidup kita
berarti?”
Sang Robot memodifikasi peluru otomatis pada pesawat
jet dan meriam tank pada kedua tangannya, menghentikan setiap usaha serangan
dari sang wanita bergaun biru sebelum satupun bersarang di tubuhnya.
“[Apa itu kesenangan? Apa itu hidup? Apa artinya semua
ini, dan untuk apa semua ini terjadi?]”
Meski bertanya demikian, tubuhnya tidak berhenti.
Pikirannya berkelana, namun tubuhnya otomatis bergerak sendiri mengikuti
tuntutan situasi.
“Semua yang hidup ingin bahagia. Namun sebagaimana
semua kata sifat, definisi bahagia itu sendiri adalah relatif. Kadang, manusia
dibutakan oleh kebahagiaan dan tidak melihat kalau dunia ini bukan hanya
tentang kebahagiaan saja.”
“[Bila bahagia itu relatif, lalu apa yang absolut?
Bagiku konsep kebahagiaan tidak terlihat seperti sebuah tujuan akhir. Setelah
manusia bahagia di dunia, lalu apa? Setelah mereka mati, semua itu tampak tidak
lagi berarti.]”
Beberapa bongkahan batu raksasa terlempar ke arah Mira
Slime. Sebuah tangan air raksasa menangkapnya, dan membuangnya ke arah lain.
“Aku tidak tahu. Aku tidak mengenal kepercayaan, dan
tidak merasa memerlukannya. Kau sendiri, apa yang kau percayai? Katakanlah
tujuan hidupmu terpenuhi, lalu apa selanjutnya?”
Ini bukan laut, namun ombak raksasa menggulung dari
pusat kota, menyapu bersih reruntuhan bangunan menjadi tanah lapang.
Sang Robot Mata Satu melayang di udara, terhindar dari
marabahaya.
“[Maka kisahku selesai sampai di sana. Itulah hidup.
Di satu titik, semua akan berakhir. Dan kita semua bergerak menuju ke titik
itu.]”
Puluhan roket menghantam tanah tempat Mira Slime
berdiri, membuatnya membentuk kubah di tanah seperti terhantam meteor.
Begitulah, mereka bertarung, dan bertukar percakapan.
Pertarungan mereka kini bukan lagi persoalan siapa
yang menang dan siapa yang kalah, tapi tak ubahnya sekedar sarana bagi dua mahluk
abnormal untuk berdiskusi secara normal. Meski di luar terlihat seperti
kegiatan destruktif, sejatinya saat ini mereka justru sedang
melangsungkan sebuah aktivitas yang konstruktif.
“Haa. Dasar, kau ini benar-benar robot sungguhan.
Bagimu, kelihatannya dunia ini hanya satu garis lurus dengan ‘awal’ di satu
ujung dan ‘akhir’ di ujung lainnya, ya.”
Gumpalan-gumpalan air bersatu dari tanah, kembali
membentuk bola sebelum menampilkan sosok Mira Slime dari dalamnya.
“[Apa aku salah, dengan pola pikir seperti itu?]”
“Tidak, aku tidak akan bilang soal benar-salah, karena
sekali lagi, kata sifat adalah subjektif,” terang Mira Slime, menyisir
rambutnya yang berkilau karena basah dengan tangan. “Tapi karena bukan manusia,
kau tidak memikirkan soal regenerasi.
Pada satu titik, kisah hidup seseorang mungkin berakhir. Tapi bila ia
meninggalkan sesuatu bagi dunia, bukan tidak mungkin ada yang meneruskan risalah
darinya kan? Dengan begitu, mungkin ‘jiwa’nya akan terus hidup di bumi ini.”
Sang Robot Mata Satu tampak tertegun.
Kelihatannya, apa yang dipaparkan oleh Mira Slime
barusan adalah konsep baru yang tidak terpikirkan oleh dirinya sebelum ini.
“[Maksudmu…kita tidak berhenti pada menemukan
kebenaran, tapi meneruskannya pada pihak lain?]”
“Mungkin begitu? Aku hanya berteori,
jadi…..kesempatan~!”
Tak disangka-sangka, sebuah gelembung raksasa
tiba-tiba saja mengerubungi sang Robot Mata Satu yang telat bereaksi.
“[…….!!!]”
Ia tidak bisa meloloskan diri. Tangannya meraba-raba,
namun seperti halnya udara, air tidak dapat digenggam. Ia berusaha mendorong
keluar, namun sia-sia saja.
Ia telah terperangkap sepenuhnya.
“Ah… Perasaan ini….seolah kau masuk ke dalam tubuhku
sendiri…”
Sementara Mira Slime tampak puas, sang Robot Mata Satu
merasa bahwa situasi ini sangat berbahaya.
Bila dibiarkan lebih lama, ada kemungkinan komponen
internalnya tidak akan bertahan dan rusak dari dalam.
“Maaf, kelihatannya aku jadi sedikit bersemangat tadi, fufufu…”
Tiba-tiba saja sebuah ledakan terjadi.
“….he?”
Gelembung tersebut pecah, mencipratkan air ke segala
arah. Di baliknya, berdiri sang robot yang tampak kepayahan, kehilangan sebuah
lengan.
“Kukira kau meledak bunuh diri tadi. Aku sempat khawatir
kalau-kalau robot sepertimu pun bisa putus asa ketika buntu mencari jalan
keluar.”
“[Kerusakan seperti ini masih bisa diperbaiki lagi],”
ujar sang robot, menyerap segala macam logam yang dapat ia temukan dari sekitar
dan membentuk lengan baru. “[Daripada itu, aku ingin terus berbicara
denganmu.]”
“Wah? Apa ini? Seorang robot, menyebutkan kata
‘ingin’?” tanya Mira Slime bahagia. “Aah, sudah kuduga, mataku memang tidak
salah menilai. Pertemuan kita memang benar-benar berharga.”
“[Kalau begitu—]”
“Tapi, maaf.”
Sesuatu melaju dengan kecepatan tinggi.
Memutuskan lengan yang baru saja dibentuk oleh sang
Robot Mata Satu.
“Saat ini, di sini, kita terbatasi, oleh ruang dan
waktu. Kita sudah memulai sesuatu, maka kewajiban kitalah untuk mengakhiri.
Kalau ada yang namanya lain kali, mungkin baru aku akan melayanimu sedikit lebih
lama lagi.”
Mira Slime mengacungkan parasolnya seperti sebuah
senapan ke arah sang robot.
45 menit sebelum tabrakan terjadi.
“Bahkan bahan bakar jet mungkin tidak bisa melelehkan
besi, tapi pemotong jet airku dapat
memotong besi. Bersiaplah.”
Part 4
Bagian terakhir dari pertarungan ini telah dimulai.
Dan berbeda pula dengan sebelumnya, kali ini tidak ada
lagi percakapan.
Tidak ada lagi kesempatan untuk bertukar pikiran.
Yang ada hanyalah dentuman yang membuat bumi
senantiasa bergoyang.
Di satu pihak, sang Robot Mata Satu kini membentuk
sebuah tubuh maha-raksasa, berdiri tinggi menjulang seolah tak mau kalah dengan
gedung-gedung yang pernah berdiri di tempat ini sebelumnya. Ini adalah usaha
terakhir sang robot, yang menyadari bahwa ia tidak bisa lagi menahan serangan
Mira Slime, maka yang bisa ia andalkan sekarang adalah skala.
Sejak tengah pertarungan tadi, ia baru menyadari bahwa
ia tidak dapat lagi menggunakan perisai plasmanya karena suatu sebab yang tidak
diketahui. Beberapa waktu berselang, kini sinar laser dari mata pun sudah tidak
dapat ia gunakan.
Sementara itu, Mira Slime tampak semakin mantap dengan
dominasinya terhadap monster logam yang bahkan gagal tampil mengancam.
Ia sudah terpojok.
Selama hujan ini tidak berhenti, Mira Slime tidak akan
terkalahkan. Ia juga tidak bisa diserang hanya dengan mengandalkan sesuatu yang
bersifat fisik. Harus ada sesuatu yang besar, sesuatu yang bukan hanya punya
daya rusak luar biasa, tapi juga memastikannya tak berdaya dalam satu serangan
pamungkas.
Apa akal?
Monster logam raksasa. Hujan. Tanah lapang.
Dengan itu, sang Robot Mata Satu kemudian mendapat
jawabannya.
“Sudah saatnya kau menyerah!” seru Mira Slime dari
bawah sana, masih menembakkan segaris air tipis yang mengoyak bagian-bagian
dari robot raksasa tersebut. “Dalam keadaan ini, tidak ada cara bagimu untuk
membalikkan keadaan!”
Tidak, masih ada.
Mungkin ia telah kehilangan beberapa kemampuan, dan ia
juga berkali-kali kehilangan anggota tubuh. Tapi selama masih ada akal, selalu
ada jalan.
Dan Mira Slime bukan satu-satunya yang diuntungkan
dengan keadaan hujan lebat seperti ini.
Maka sang robot bertaruh
pada satu kemungkinan.
Berlindung di dalam robot raksasa yang ia bangun, sang
robot mulai menyiapkan sesuatu untuk membalas serangan Mira Slime.
“Kalau kau tidak mau keluar juga…”
Mira Slime mengumpulkan air, mengonsentrasikannya pada
tanah yang dipijak robot raksasa hingga kakinya terendam.
Dalam satu aba-aba, ia mengayunkan parasolnya ke atas.
“[Water Pillar].”
Seketika itu pula, bagai muntahan lava dari gunung
berapi, sebuah geyser menyerbu tubuh sang robot raksasa dari bawah.
Air panas dan uap bertekanan tinggi, berhasil
menjatuhkan mahluk berbobot ribuan ton tanpa kesulitan berarti.
Keseimbangan sang robot goyah. Tak ayal, tubuhnya
segera jatuh ke tanah.
Namun sebelum itu terjadi, sesuatu yang lain luput
dari pengamatan Mira Slime.
Bahwa bersamaan dengan pilar air yang ia ciptakan,
sejurus petir baru saja menyambar sang robot raksasa tepat di puncaknya.
Dan di sana, sang Robot Mata Satu telah menunggu
kesempatan ini.
“…apa yang…”
“[Rail Gun].”
Tubuh robot raksasa jatuh ke bumi, membuatnya bergetar
hebat.
Dan tubuh itu segera tercerai-berai ke seluruh
penjuru, ketika seberkas sinar yang mampu membutakan seisi dunia melaju
menyerang sang wanita di ujung sana.
==~100%==
Part 1
Hujan telah berhenti turun ke bumi.
Sebagai gantinya, kini tirai awan terbuka lebar, dan
langit seolah mengingatkan kembali akan kedatangan dua tamu besar yang akan
segera tiba di permukaan bumi.
Di atas tanah yang telah bercampur dengan darah,
daging, bebatuan, dan air, Robot Mata Satu melangkah.
Menghampiri tubuh tak berdaya Mira Slime yang teronggok
lemah.
“Hahaha… Tak pernah kusangka, akan datang hari di mana
aku kalah dari seseorang…”
Ia tidak lagi berwujud seperti seorang wanita cantik.
Bisa dikatakan mungkin tidak ada lagi wujud yang bisa disebut, selain gumpalan
air yang menggeliat seperti binatang, dengan bentuk tak tentu yang berdetak
seperti jantung.
“Kau tidak mau menghabisiku?”
Sang Robot Mata Satu menggeleng.
“[Kesimpulan yang kudapat setelah bertarung denganmu
adalah, bahwa aku memerlukan sosok sepertimu. Aku akan membiarkanmu hidup.
Tidak, aku ingin kau terus hidup.]”
Terdengar gelak tawa tanpa ada mulut yang berbicara.
“Ahahahahaha. Kau tahu, kurasa aku benar-benar tertarik padamu.”
Gumpalan air di tanah mulai memperbaiki wujudnya.
Meski tidak sempurna, kini ada sebuah bentuk yang bisa disebut menyerupai
wajah, dan sebuah tangan yang terulur pada sang Robot Mata Satu.
“Sekarang aku jadi mengerti perasaan seorang ibu yang
mengantar anaknya meninggalkan rumah.”
“[…apa maksudmu?]”
“Dengar, dunia ini akan segera hancur. Kau sudah tahu
itu sejak tiba di sini.”
“[…lantas, kau memintaku meninggalkanmu di sini?]”
Tangan air tak berwarna mengelus dada besi sang robot,
membersihkannya dari noda darah yang tersisa.
“Pergilah. Bila apa yang kau cari tidak dapat kau
temukan di sini, berkelanalah lebih jauh. Jangan takut pada kesesatan dan
kegelapan. Perluas wawasanmu. Selama kau percaya, tidak ada yang tidak mungkin.
Bahkan bagi mereka yang bukan manusia seperti dirimu….atau diriku sendiri.”
“[Bagaimana dengan dirimu?]”
“Pergi. Pergi hingga ke ujung dunia ini. Selama kau
tidak melupakanku, aku akan terus hidup.
Kalau kau percaya padaku, suatu saat nanti, kita pasti bertemu lagi.”
Sosok lengan air itu hilanglah sudah.
Tidak ada lagi suara, tidak ada lagi bentuk.
Yang ada hanyalah kubangan air di tanah.
Sang robot memindai sekeliling. Ia tidak menemukan
apapun. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada apapun.
Di sini ia berdiri seorang diri, menatap langit yang
hendak runtuh.
“[Aku percaya padamu.]”
Entah untuk apa ia mengucapkan itu, dan pada siapa
ucapan itu tertuju. Tapi sebelum meninggalkan tempat ini, menuju ke dalam
belantara hitam yang ada di horizon, ia merasa perlu mengucapkan itu.
Maka sang robot bertolak, bergegas menuju ke ujung
dunia.
Meninggalkan sisa-sisa kehancuran yang tinggal
menunggu waktu menuju ketiadaan.
.
.
.
Mungkin ini adalah
akhir dari dunia ini.
Namun bagimu,
ini adalah sebuah titik awal.
Dari sebuah
kisah baru yang akan kau mulai.
Dari sekarang.
.
.
.
“….sampai jumpa.”
Part 2
15 menit sebelum tabrakan hebat terjadi.
Sang Robot Mata Satu telah tiba di ujung bumi. Atau
lebih tepatnya, baris hitam yang membatasi dunia yang tampak dengan dunia yang
tidak terlihat di seberang sana.
Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, dan seperti
apapun ia berpikir, tidak ada pilihan lain.
Maka ia melangkah masuk ke dalam kegelapan.
Dan yang menyambutnya adalah dua sosok asing yang
familiar.
Ya. Asing karena ia merasa tidak tahu mereka
sebelumnya, namun juga familiar karena samar-samar ia tahu ini bukan pertemuan
pertama mereka.
Di dalam latar belakang hitam tanpa cahaya, ia dapat
melihat jelas.
Sesosok pria berkacamata hitam, dan mahluk mungil
dengan kepala bantal.
“Selamat, selamat~!” ujar sang kepala bantal. “Selamat
sudah menyelesaikan tugas~!”
“[Tugas?]”
“Tapi ini benar-benar brutal sekali, ya,” sahut sang
pria berkcamata hitam menimpali. “Sampai membunuh tepat 1000 jiwa seperti itu…
Kau yakin dia ini [Dominator] dan bukan [Destroyer]? Kalau ada kesalahan di katalog, biar kukoreksi
sekarang juga.”
“[Siapa kalian?]”
“Hm. Perkenalan formalnya nanti saja, belum waktunya.
Yang jelas, kita kini tahu kalau kau punya ‘impian’, maka kau layak menjadi Reverier.”
“[Reverier?]”
Sejak tadi pertanyaan terus bermunculan di kepala sang
Robot Mata Satu satu demi satu tanpa satupun jawaban yang muncul.
“Yah, setidaknya kau punya satu tujuan untuk dicapai.
Itu bisa kita hitung sebagai ‘impian’ yang ingin kau wujudkan.”
Sementara sang pria berbicara sendiri dari tadi, sang
kepala bantal kini memunculkan seekor domba dan memberikannya pada sang robot.
“Ini, untuk…. Siapa namamu?”
“[Nama?]”
“Ya, nama. Kau punya sebutan atau panggilan, kan?”
“[Nama…]”
Sang robot termenung sesaat.
“Hei, hei. Kau dengar tidak? Jadi, siapa namamu?”
“[Tunggu sebentar, aku sedang menyusunnya.]”
“Menyusun?”
Sang robot tidak tahu mengapa, namun di dalam
kepalanya, telah terpatri bahwa bila ia harus bernama, ia ingin menciptakan
sendiri namanya dari nama orang yang berhasil mengubah pandangannya tentang
dunia.
Mira Slime.
Nama sosok yang mengantarkannya hingga tiba di sini.
Lima konsonan, empat vokal. Dengan huruf-huruf ini,
nama yang menurut sang robot paling menggambarkan dirinya adalah…
“[Namaku… Iris Lemma. Mulai sekarang, itulah namaku.]”
[0th sequence : COMPLETED]
Ilustrasi Iris Lemma dan Mira Slime, oleh SAM RIILME
Wooo, nice.
BalasHapus-Mungkin karena citra Iris sebagai robot muram, saya membayangkan seluruh adegan di ceritanya pakai gaya animasi Texhnolyze lol.
-Cukup suka dengan penggambaran logika Iris, dan cara dia memutuskan melakukan sesuatu. Sebagai karakter, dia memang belum bersinar seterang Dyna, tapi dia juga punya keunikan tersendiri.
-Entah kenapa battlenya terasa agak dragging di tengah, tapi dialog antara Mira sama Iris pun menarik. Dan penyelesaiannya cukup epik.
-Sejarah sama latar ini benar-benar dari dunia Iris, kan? Dunia ceritanya benar-benar tersaji, walau kesempatannya sedikit.
-Mengingat pada dasarnya shoggoth itu slime, pertarungan Mira Vs Iris bisa jadi gambaran duel Iris Vs Anita nanti. Tapi, obviously, filosofi Anita dan pemahaman dia soal semesta bisa bikin jalannya battle lebih banyak ngomongnya ketimbang berantem sambil diskusi kaya di sini.
-Untuk teknis, sama sekali nggak ada yang mengganggu.
Skor: 90/100
Fachrul Razi
OC: Anita Mardiani
Iris Lemma emang ga bisa senyentrik Dyna yang langsung mencolok dari penampilan pertama, tapi saya lega kalo tau kesan 'robotik'nya ternyata sampe juga ke pembaca. Meski agak kaku, bukan ga mungkin seiring jalannya turnamen dia belajar biar lebih ekspresif
HapusSaya justru ngeharepin lebih banyak omongannya, karena buat Iris Lemma ini kelihatannya ke depan nanti battle itu cuma formalitas buat ngikutin aturan yang berlaku, tapi kalo bisa ngobrol, ya bakal diladenin
Trims udah mampir~
semacam aku kesasar. salah ngirim komen di sebelah. jd malu. jd author kalo bc komen sbelah mungkin sadar. yg jelas aku suka ini ada komedinya. atau cuma perarasaanku aja? ok ksh 9 aja.
BalasHapusOC: Kuro Godwill
Kenapa ga copas aja komennya ke sini, terus delete komen yang nyasar di sebelah?
HapusSaya ga gitu niatin komedi, tapi baguslah kalo ternyata menghibur
Trims udah mampir~
Wih, cerita si robot! kak Sam cepet juga nulisnya jadi masuk entri ke-2
BalasHapusAda beberapa poin yang mau saya ungkapkan disini:
- The battle is actually, boring
tumben, nggak kayak dulu CC atau Dyna saya ngerasa battle disini ada cuman sebagai alasan supaya mira sama iris bisa ketemu dan bertukar pikiran (baca: ngbrol). Walaupun, klimaksnya keren.
- The robot is actually, interesting
tadinya saya berpikir kalau iris bakal jadi tipe-tipe robot penghancur yang nggak punya pikiran, tapi setelah baca charsheet kok malah lawful evil? Akhirnya pertanyaan itu terjawab di entri ini. Masih berlogika dan bertindak sebagai robot, tapi masih ada pikiran untuk "ingin tahu". Sempurna untuk chara dev kedepannya.
- This last point is actually, not important
Pertama baca, bingung itu gunanya persen diakhir tiap chapter buat apa. Sekitar dua menit setelah baca, baru kepikiran itu maksudnya progress battle (duh gusti, saya bodoh sekali).
Overall score: 8/10
(P.S. : Waktu baca iris ngeluarin rail gun, dalam hati saya teriak "BEEEAAAAAMMM!!" kayak reaksi luffy pas ngeliat laser franky di one piece.)
Harid Ziran
Haha, akhirnya ada juga yang bilang battlenya boring. Saya ga bisa ngelak, karena selain sekedar medium ngobrol, sebenernya battle di sini juga cuma fasilitas buat ngelist kalo all-out full potential Iris Lemma sama Mira Slime bisa apa
HapusMungkin karena setelah ini kemampuan reset jadi lv1, baru battle Iris Lemma ke depannya bisa taktis ala ronde 1 CC
Trims udah mampir~
GHOUL nitip salam… :=(D
BalasHapusProlognya unik kayak menu masuk ke program software spss (just kidding)
Cara pengetikannya unik. Antimainstreamnya bertebaran.
Mata mekanisku memindai eyd nya dah cukup bagus, meski mungkin cara pengetikan unik itu di luar aturan paham EYD sih, tapi kreasi sendirilah sama seperti menciptakan bermacam-macam bentuk balon kata di manga.
Ghoul terhenti pada hitungan kedelapan… (hm mungkin hanya bisa nilai segitu aja cus ga begitu suka ama cerita robot2, hm kecuali anime texhnolyze sih. Jadi belum bisa ngasih kritik apa-apa mengenai dunia robotic).
Semua orang kayaknya komen texhnolyze, sementara saya sendiri ga pernah nonton anime itu
HapusTrims udah mampir~
Altem - Po
BalasHapusIni baru mulai prelim temanya udah berat aja. Yg kuliat di sini MaSam agak kurang sabar ngegarap karakternya Iris di awal2. Mungkin emg tujuan MaSam adalah utk ngeshowcase skill2 skala besar dari Iris, tapi sebangsa misil atau laser yg udah langsung jadi dan kurang deskripsi tu kyknya ngejadiin skillnya Iris sekedar dibahas sambil lalu. Ini bakal bikin off pembaca shonen karena pasti pembaca shonen pengen penjelasan yg lebih relatable tentang skillnya.bahkan misal meski cuma dimunculin sebiji, bakal lebih impact kalo ada detil2 tertentu dari optic blastnya, panaskah atau dinginkah, pake pseudosains sistem kompresor mesin apalah atau ultraviolet atau ultrasonik atau ultramilk (?) buat ngejabarin dikit2 di bbrp paragraf. Kurasa itu akan lebih bikin respek pembaca terhadap skillnya Iris.
Display agak kurang sabar ni juga kuliat di ideologinya, seolah2 narasinya buru2 pengen menjabarkan filosofi Iris di dunia ini, padahal filosofi itu gak harus bertebaran di seluruh part cerita menurutku, di momen2 penting aja yg menentukan misal selipin tema masyarakat pre-agama-agama-post-agama bukan di awal tapi sepanjang pertarungan Iris-Mira, shingga pembaca dapet realisasi tentang budaya peradaban sifat manusia dsb emg di momen klimaks cerita. tindakan manusia yg worship Iris itu bisa dijadiin pancingan utk kemudian dijelasin maksudnya di tengah-akhir.
Terus tentang narasi, narasinya ko nggak selancar Dyna atau CC ya, yg kuliat bahwa MaSam make teknik narasi yg feelnya selalu identik sama feel Iris, jadi datar terus. Pas Dyna narasinya lebih ekspresif, dan kurasa gak masalah kalo sudut pandang orang ketiganya diganti2 antara feel yg menyerupai Iris dan nggak menyerupai Iris untuk ngasih hentakan atau kesenduan misal narasi yg relate ke penganut agama yg terkagum2 ngeliat kedahsyatan pertarungan, atau penceritaan menyerupai sudut pandang Mira yg nganggap atau ngejudge Iris sebagai makhluk lugu, misalnya. Vocabularynya udah kaya tapi ya itu, semisal Iris masih devoid of emotion minimal narasinya bisa dibikin ceria atau seram, nggak melulu datar-filosofis.
Battlenya jg kyk punya dua klimaks yaitu part "bencana alam saling beradu" dan part "mrk udah gak bisa lagi battle sambil ngobrol krn udah kelewat intens", tapi gak tlalu beda feelnya.
Oh iya, klimaksnya entah kenapa aku kurang ngerti. Manfaatin petir terus ngeluarun laser gede utk ngalahin semua air Mira, gitukah mksdnya? Tapi aku agak kurang nangkep jadi ngawang.
Sisanya ya tentu aja udah bagus.
Kukasih 8/10.
Hmm, ada benernya juga kritik yang satu ini. Mungkin karena kebawa semangat, saya jadi terlalu buru-buru pas nulis ini dan ga pake dibaca dua kali sebelum submit, alhasil jadinya berkesan ga sabaran. Point taken
HapusKalo soal deskripsi, saya dasarnya emang bukan tipe yang seneng detil, tapi juga ada kekhawatiran kalo saya panjangin antara dragging dan keterusan sampe lebih dari 10k, makanya saya bikin jadi singkat" aja di sini. Cuma yah, keliatannya pace yang cepet itu juga bikin pembaca jadi ga serta merta nangkep materi yang ada di sini, ya. Kayaknya saya masih jetlag habis jeda lama sejak Dyna WO taun lalu, perlu adaptasi lagi nih
Soal klimaks, iya, jadi bikin makeshift pembangkit listrik tenaga petir dari robot raksasa + lokasi tanah lapang, terus dipake buat railgun. Begitu ditanya gini, lagi" saya nyadar kebiasaan saya buat ga jelasin maksud satu adegan. Kayaknya mindset saya terlanjur ngira pembaca ngerti dengan hint minimal, poin jelek juga ini
Yah, semoga ke depannya semua yang minus" ini bisa ditambal deh. Kayaknya saya emang terlampau serius pas nulis ini, jadi malah ngelupain unsur" tulisan yang bikin saya 'gampang dibaca' di Hideya/CC/Dyna
Trims udah mampir~
Aaaaaaahhh...
BalasHapusUdah lama baca, tapi belum sempat komen.
Like I said earlier Sam, ceritamu selalu terlihat menarik di mata Saya.
Battle yang disuguhi menurut saya porsinya pas, tidak seintens bak bik buk narasi shonen gak jelas. Isinya penuh dengan intrik penjabaran ideologi yang saling mengajari (antara Iris dan Mira)
Damn, baru kali ini saya baca cerita seperti ini. Banyak pesan yang bisa ditangkap dari sana. Ini serasa mendapat pelajaran kuliah teologi dalam bentuk narasi cerita.
Nilai : 9
OC : Venessa Maria
Duh, makasih. Saya sempet pesimis karena di mata expert macem pak po entri ini banyak bolongnya, tapi komentar ini bikin saya ngerasa seger lagi www
HapusSaya beneran seneng kalo 'kuliah' saya ini bisa nyampe tanpa isinya keganggu karena dibawain dalem bentuk cerita. Buat ke depannya saya usahain biar ga terlalu monoton kayak gini lagi
Trims udah mampir~
Saya bukan tipe pembaca yang terlalu memperhatikan detail. Mau itu datar / flat, atau membosankan.
HapusSepanjang saya pikir cerita itu menarik, ya saya baca terus sampe akhir. Kalo pun nggak, tapi ada kewajiban buat komen, jatohnya ya baca skimming / lompat-lompat.
Buat Saya, EYD atau teknis nulis itu urutan kesekian. Yang penting itu plot dan pembawaan, apakah bikin penasaran atau nggak. Itu aja.
Btw, round selanjutnya request tentang nihilist dong. wkwkwkwk
*digetok*
Hehe, makasih lagi. Paling ngga tau kalo masih ada yang nikmatin lumayan ngemotivasi buat nerusin cerita ini
HapusKalo soal materi saya udah ngepoin" apa aja yang pengen saya sampein sepanjang canon nanti, cuma keliatannya tergantung lawannya siapa dulu juga sih. Nihilisme ga masuk, tapi bisa jadi pertimbangan kalo nginget Nietzsche ngebunuh Tuhan. Kemungkinan besar bisa dibarengin sama sekularisme-liberalisme ntar
Karena saya termasuk penggemar kisah Dyna di BoRV, dan saya udah selesein baca entri Iris ini tadi, saya bisa komentar kalo saya juga ngerasa ada perbedaan warna cerita di antara keduanya.
BalasHapusDyna: aktif, cerita itu serasa dibawain sama dia sendiri. Idup.
Iris: pasif, cerita lebih kerasa dibawain sama si penutur. Enggak mati, tapi enggak kaya Dyna juga.
Ceritanya sendiri kebagi rapi. Cuma mungkin karena bobot tema yang dibawa versus efisiensi gaya tulis yang ada di cerita ini, saya jadi ngerasa ada sesuatu yang ga imbang. Tapi saya tetep nangkep kok suasana genosidanya, kebingungan dan keputusan Iris, kemunculan Mira yang keren--dan jujur Mira sedikit ingetin sama sifatnya Dyna (meski enggak seancur Dyna juga haha). Semoga Iris maju terus sampai dia jadi entitas yang mengejutkan~ 9/10
Oc: Namol Nihilo
Ada yang bilang saya ini bunglon - 6 taun ngikutin BoR, tiap taun nuansa entri saya pasti beda", tergantung OC macem apa yang saya bawain. Makanya buat saya kalo yang baca ngerasa kontras antara taun lalu sama sekarang, berarti saya sukses www
HapusSoal efisiensi, saya setuju. Pas nulis saya kepikiran juga, kalo terlalu berlarut sama 'cerita', 'materi'nya mungkin jadi ga dapet. Tapi kalo 'materi'nya terlalu gamblang juga 'cerita'nya jadi jomplang. Saya masih nyari formula tepatnya gimana biar bisa berimbang
Btw soal Mira mirip Dyna, emang bener karena di kepala saya dua"nya alignment Neutral Evil
Trims udah mampir~
Satu kata untuk entri ini : BERAT!
Hapusuntuk tipe-tipe seperti saya yg lebih prefer ke cerita-cerita ringan, ini termasuk bacaan yang BERAT!.
segala macam ideologi tersebar di entri ini, jadi penasaran. Siapa sih yg nyiptain nih robot, robot masa depan itu mengerikan kalo semuanya punya pikiran kaya gitu.
Beberapa part terasa membosankan, terutama di battlenya. Entah kenapa saya kurang merasakan suasana mencekam atau takjub atau apalah itu untuk scene fightingnya.
Jadi istilahnya kya pembaca disuapin sama narasinya, ini loh kaya gini. Meledak, boom. Hancur berantakan. Sekian.
Selain itu, narasinya emang terkesan datar karena ngikutin pola OCNya bapak,si robot mata satu ini.
Tapi untuk sebuah klimaks, saya cukup menikmatinya. Ya mskipun dibeberapa bagian ada yg membuat saya bingung.
Intinya entri ini keren, high class jika saja pak Sam, bisa membangun suasana di dalamnya lebih kerasa lagi.
Sekian deh dari saya.
Nilai : 8
Oc : Mahapatih Seno
Sebenernya ide utama di entri ini awalnya di kepala saya 'manusia postmodern berhenti mencari Tuhan dan ngejar dunia, sebagai gantinya malah ada robot yang diprogram buat cari Tuhan'
HapusCukup banyak yang nyinggung soal narasi singkat, meski saya kira ga gitu beda sama tulisan biasa saya, tapi mungkin karena atmosfir dan materinya berat malah style nulis gini kurang ngedukung ya
Saya emang sering kebawa karakter yang saya tulis, kalo pas Dyna kesannya santai dan lepas, Iris Lemma malah jadi kaku dan kelam. Semoga ke depannya bisa agak diulik" dikit kalo saya pegang OC selain dia juga buat digali
Trims udah mampir~
Aku suka dengan entry dengan tema berat seperti ini. Suka banget dengan kritik agama yg relevan dengan keadaan negeri kita untuk saat ini. Analogi yang menggunakan umur manusia sebagai perkembangan agama. Dan akhir dari analogi tersebut, kehancuran.
BalasHapusSomehow, aku suka dengan narasi kali ini yang terkesan robotik, karena in theme banget. Sebaliknya dibandingkan teman2 yg lain, aku lebih suka entry Iris ketimbang Dyna. Kesan gelap dan kehancuran begitu kental terasa di sini, dibandingkan Dyna yang terasa lebih Shonen dan bagbigbug sana-sini (tapi emang dirimu pernah bilang kalau Dyna emang sengaja dibikin kayak gitu kan)
Battlenya memang terkesan plain, tapi percakapan antara Iris dan Mira yg membuat battle ini menarik. Pertarungan bukan hanya sekedar fisik, tapi juga ideologi. Tema besar yang diusung dari entry pertama Iris kali ini.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang diajukan Iris, apakah ia akan menemukan jawabannya?
10/10 because jet fuel can't melt steel beam
Bayee Azaeeb | FaNa
Ah....saya beneran terharu ;_;
HapusBukan masalah nilai, tapi sejauh ini baru kamu yang bilang seneng sama tema agama dan presentasinya. Padahal saya sendiri ngira entri ini rada gagal karena kurang appeal buat pembaca umum T_T
Selain Mira Slime, ada satu sub OC yang udah saya siapin, dan kemungkinan besar kemunculannya bakal jadi game-changer dari Iris Lemma kayak Haundall di canon CC. Semoga saya bisa terus lanjut sampe karakter itu pas buat dikeluarin
Trims udah mampir~
"Because jet fuel can't melt steel"
HapusSaya lupa mau mention bagian itu.
Benar-benar gold, wkwkwkwk
Referensi dari tragedi 9/11? ._.
HapusYep. Di awal entri ini juga ada adegan gedung tumbang karena ditabrak pesawat + bom dari dalem
HapusBaru prelim udah dikasih tema yang berat, uhuhu, tapi anehnya saya bisa baca entri ini sampe beres tanpa rehat dulu. Well, saya selalu menikmati entrinya Mas Sam ^_^
BalasHapusSatu hal yang mungkin bikin saya kepikiran paling soal konsep robot yang punya pikiran sendiri ini. Di satu sisi dia punya misi primer dan sekundernya sendiri, dia juga bilang tidak mau berperan sebagai Tuhan. Tapi apa yang dilakukan dia sebelumnya, menarik kesimpulan dan memutuskan untuk 'menghakimi' manusia, darimana hal itu berasal? Saya sadar bahwa aligment-nya Lawful Evil, kalo dia tak mau berperan sebagai Tuhan, terus dia itu (mau jadi) apa?
Soal narasi, soal tema cerita, juga soal battle, sudah banyak yg komen di atas. Gak ada keluhan.
9/10, karena bikin saya mikir >< /plak
D★Lanjung [OC: Martha]
Dia ga mau jadi Tuhan, karena emang dia cuma diprogram buat cari kebenaran. Ngatur umat manusia menurut kalkulasi dia udah di luar kapabilitasnya, toh dia bahkan ngga (belum) ngerti tentang manusia sepenuhnya. Kalo soal keputusan kenapa dia di sini nyingkirin umat manusia, itu karena dia mikir manusia postmodern udah di ambang kehancuran dan ga ada yang bisa nganter dia menuju kebenaran, jadi ga guna. Dan kebetulan sesama manusia lagi berbuat kerusakan, jadi dia cuma mempercepat prosesnya aja
HapusTapi intinya, dia bisa mikir gitu karena menurut dia itu 'bener'. Siapa yang tau di masa depan nanti ada yang bisa nunjukin kalo pemikiran dia 'salah', atau ada yang bisa nganter dia ke jalan yang lurus. Masih banyak kemungkinan buat Iris Lemma ini berubah dari sosok lalim tapi polos yang muncul di entri prelim ini
Trims udah mampir~
Oya, teriring juga pesan tersirat dari saya kalo 'dia yang mencari sosok Tuhan ga akan ngeklaim dirinya sendiri sebagai Tuhan'
HapusBoleh jatuh cinta dengan Iris? Ideologinya (eh apa ya kata yang cocok) luar biasa. Di saat manusia membunuh Tuhan, Iris Sang Robot Mata Satu malah mencari Tuhan. Pasif memang, tapi pasif tidak selalu membosankan. Karena disuguhi dengan pola pikir Iris dan dialognya dengan Mira yang saling bertukar pikiran
BalasHapusSosok Iris terlihat keren saat mengacuhkan pendukung dadakannya, juga saat menolak dijadikan Tuhan. Apakah Iris tidak mencari Sang Pencipta dalam artian orang yang membuat Iris? Iris dibuat oleh manusia kan? Entah mengapa jadi penasaran siapa manusia yang membuat Iris
Rail Gun kurang mengena, untung sudah baca komentar sebelumnya //plakk
Nilai : 9
Merald
'Pasif tapi tidak membosankan'? Ada juga yang ngeliatnya kayak gitu, ya
HapusSoal pencipta ini salah satu poin penting di cerita Iris Lemma ini, jadi kemungkinan besar baru bisa saya reveal menjelang akhir deket" final...itupun, kalo emang dia bisa maju sampe sana
Trims udah mampir~
Padahal pingin tau siapa pencipta Iris...
HapusT_T
Pasif tidak membosankan karena dari sudut pandang saya, karakter Iris ini kuat (bukan dari segi kekuatan). Jalan cerita dan cara penulisannya yang membuat sosok Iris ini kuat dan keren... :*
karena saya udah lama banget gak nulis apa2, jadi sepertinya kacamata saya berubah dari sudut pandang seorang penulis menjadi pembawa awam, jadi mohon maaf kalau komentar saya ternyata menyinggung.
BalasHapusSaya bawa dari awal sampai akhir, ini ceritanya terkesan santai tapi sebenarnya berat dan dengan banyak pesan yang berusaha disampaikan didalamnya, tapi dari segi plotnya sendiri, saya agak bingung di awal karena saya baca dunianya udah futuristik dan canggih, lalu kenapa masih ada manusia yang mengira robot sebagai tuhan atau bahkan setan, harusnya di dunia begitu manusia malah nganggap robot gak lebih sebagai slave atau tools. Kemudian kayaknya Iris lemma ini OP sekali sampai dalam sehari manusia langsung punah, apakah manusia di dunia tersebut gak punya persenjataan canggih buat melawan satu robot (Setelah saya baca ulang ternyata udah mau kiamat, jadi abaikan komentar diatas).
Melanjutkan ke bagian battle, wel mungkin battle bukan hal ditekankan di entry ini karena tujuan aslinya menyampaikan pesan moral, tapi menurut saya pribadi bagian pertarungannya gak memberi pressure sama sekali untuk saya, karena ya dua makhluk overpowered bertarung dengan santainya tanpa peduli hidup dan mati rasanya seperti menonton balapan kapal selam, walau begitu penyajiannya cukup bagus dengan konklusi dan patut mendapat tepuk tangan.
Sekali lagi saya mohon maaf kalau komentar saya kesannya sok menggurui, padahal aslinya tulisan saya ampas banget. Nilai: 7 mostly karena saya gak terlalu ngerti plot yang tebal dan dalam.
OC: Tristana
note: karena komen pas lagi ngantuk, kata "baca" jadi ketulis "bawa" jadi mohon maaf
HapusGapapa, saya kira emang tulisan kayak gini ga bakal biaa dinikmati semua, jadi wajar aja kalo emang menurutmu ga sesuai seleramu
HapusSebenernya ini settingnya ga bener" satu dunia, cuma sekian kilometer persegi dikelilingin hitam kayak ketentuan prelim dari panitia, jadi ya manusianya ga banyak" amat, paling cuma ribuan. Terus soal Iris Lemma ga diliat slave, ini mungkin salah saya kurang jelasin, tapi ini kan ceritanya 'mimpi' dia, jadi emang manusianya berlaku sesuai arahan mimpi aja. Logisnya mungkin emang mestinya ga langsung dia muncul terus semua percaya dia setan, ya. Tapi sayanya keburu ringkas jadi ga ngedetilin bagian kenapanya
Sekali lagi, saya maklum kok kalo baik presentasi sepanjang cerita, bagian battlenya, atau pesan materi yang saya sampein ga masuk. Keliatannya pun ke depannya saya ga akan ngubah gaya ini, jadi sekiranya emang ga menarik buat dibaca, ga usah maksain juga ga masalah kok
Trims udah mampir~
Oh wow, Mira langsung jadi salah satu karakter non peserta favorit saya. Saya suka obrolan mereka di tengah pertarungan, dengan Mira yang seolah membimbing Iris untuk 'mengerti' dan 'memahami. Saya juga suka kata kecil di atas sebuah kata, seolah punya 2 arti.
BalasHapusAda salah ketik di awal, tapi itu kesalahan umum.
10/10 dari saya
OC: Adolf Castle
Nah, akhirnya ada juga yang ngerti kalo Mira Slime itu sebenernya ngebimbing Iris Lemma ke satu jalan pikiran. Sempet ada yang bingung karena buat ukuran debat, dialog Mira-Iris keliatan kayak bukan pro-kontra, tapi itu karena emang harusnya satu pendapat sama yang terus berkembang seiring mereka tuker banter
HapusIntinya sekali lagi, semua yang terjadi di (program) mimpi Iris Lemma ini emang sesuatu yang udah digariskan (scripted)
Trims udah mampir~
Sebelum ke entri ini saya sempat melihat cuplikan charsheet iris dan semprotan komennya bang sam ternyata memang benar unsur ketuhanan disini memang menarik!
BalasHapusDibagian awal disuguhi dakwah narasi mengenai ketuhanan yang unik, disini juga saya jadi dapet plot untuk mengembangkan kanon Ganzo yang sama sama membawa tema ketuhanan hehe :D
Lalu berlanjut menuju battle pemikiran Iris-Mira yang sangat epic, bosan mungkin bagi yang ingin melihat cerita 'jedarr jederr' tapi itu semua ga berlaku saat saya membaca, saya benar benar terbawa oleh pertukaran pendapat Iris-Mira. Di entri saya sendiri saya merasa bahwa isi dari entri saya itu Talk More Fight Less , lalu saya liat lagi ke entri ini yang sama sama Talk More (tapi fight nya ga 'less' kalau disini) hingga sekali lagi membuat saya ingin suatu saat nanti Ganzo ketemu Iris namun kendalanya satu. Penulisan disini terlihat begitu perfect dbanding entri saya xD /Nilai tambah dibalik curhatan terselubung/
Yang bikin saya bingung justru dunia nya. Well memang mereka bertarung dimimpi namun didalam proyeksi mimpi itu menampilkan background dunia iris kan? Kenapa manusia nya sangat sedikit? Hanya sekitaran 1000? Apa yang lain sudah musnah karna perang sabit? Dan apa daratan di dunia tersebut hanya disitu saja?
Tapi oke kok, nilai 9
Ganzo Rashura
Ke depannya pun mungkin entri Iris Lemma bakal dominan di ngobrolnya ketimbang berantemnya, jadi kurang lebih prelim ini udah jadi gambaran umum canon dia gimana dari saya
HapusSoal dunianya, tadinya saya bikin korban jiwa 9999 orang, tapi dipikir lago dijadiin 999+1 aja biar pas 1000, pas juga sama julukannya. Anggap aja emang orang yang kesisa di ujung perang tinggal sedikit. Dunianya sendiri di setting ini cuma kisaran satu kota, sisanya dikelilingin hitam ketiadaan, semacem bates dunianya
Intinya, buat saya masalah teknis gitu rasanya ga relevan sama cerita, jadi ga usah terlalu dipikirin #plak
Trims udah mampir~
Akhirnya bisa komentar di entrinya mas sam setelah setiap mencoba komen selalu overheat laptopnya...
BalasHapusMengenai teknik penulisan, pemakaian furigana untuk menyampaikan ide di balik sebuah kata cukup inovatif juga, dan ternyata gak cuma berlaku untuk bahasa jepang aja. Menurut saya pribadi, jadi terasa menarik lihat furigananya.
Konsep dan tema yang diusung juga kelihatan banget ga main-main. Dan menggunakan Iris sebagai karakter yang akan menjadi tokoh yang menjelajahi ide mengenai ketuhanan pas banget. Saya juga menikmati perjalanan dan diskusinya dengan Mira Slime mengenai konsep itu sendiri. Battle yang terjadi cuma bumbu aja sih, karena saya yakin pertarungan ini hanya sebagai pemanis dari konsep yang ingin ditunjukkan ama mas sam.
Seperti biasa, sama seperti Dyna, Iris karakterisasinya kuat, walau terkesan datar. Saya ngerti sih, karena pada dasarnya Iris adalah sesosok robot, yang sudah pasti dasarnya logikal dan analitis. Kurang ekspresinya wajar lah.
Kalau masalah kekurangan, mungkin masalah konflik yang terjadi kurang menggigit aja sih. Perang dan isinya seakan dipakai sebagai figuran semata, tapi tertutup sama intensnya "diskusi" antara Iris dan Mira sih. Yukari, maksud saya, Mira seperti ibu yang membimbing anaknya dengan penuh perhaian dan kasih sayang. Nasehatnya bagus.
Secara keseluruhan, entri ini sudah mengirimkan pesannya dengan baik dan menarik, seperti Shikkoku no Sharnoth.
Nilainya, 9/10
Semoga Mbah bisa diskusi sama Iris mengenai Ketuhanan dan cara mencapai perdamaian dunia.
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Huhu, emang ga bisa ngelak kalo soal perang itu berasa tempelan. Tapi kayak judul prelim ini, sebenernya keseluruhan entri ini saya niatin buat foreshadow yang bisa di-retcon semisal Iris Lemma bisa sampe final #ngarep
HapusDan kayak kome yang udah", menurut saya Iris Lemma udah cocok datar begini. Mungkin dari segi karakter kurang menarik, tapi necessary. Bakal ada sesuatu yang bisa saya kembangin dari dia tanpa perlu dia jadi ekspresif atau punya emosi layaknya karakter manusiawi, jadi tunggu aja perkembangannya nanti.
Trims udah mampir~
Cerita Iris Lemma saya tarik paralelnya dengan karakter Robo dari Chrono Trigger, yang jikalau tanpa Lucca, mungkin akan bernasib sama dengan robot-robot pemusnah manusia di masa pasca-kiamat tersebut.
BalasHapusDan dimana pemrograman intelejensia buatan milik Robo-Sam seolah menggunakan perhitungan sebab-akibat yang terlihat sangat logis,sebenarnya rasa dari penciptanya sendiri sudah tampak dari kekurangan yang dimiliki Robo-Sam ini. Ialah sebuah kekosongan akan logika 'kontinyu' yang memperhitungkan keberlangsungan sebuah hasil.
Ekspresinya lumayan bagus, meski agak terganggu dengan referensi bensin jet yang melelehkan baja dan [ “Aaah, kau merusaknya, kau merusaknya.”] yang sangat mengganggu konteks.
9/10 ya :>
- Jane Cho yang mendadak intelek.
Lel, kenapa bahasa komennya jadi ikut"an kayak kaku gitu?
HapusRobo-Sam, eh. Bener juga, emang bisa dibilang Iris Lemma ini saya yang dijadiin robot, ya
Soal hal" di luar konteks, saya malah jadi kepikiran bakal nyelipin minimal satu meme di tiap entri biar ga terkesan terlalu serius
Trims udah mampir~
#02 IRIS LEMMA
BalasHapusHmm ... serasa ada sedikit breaking the 4th wall di bagian-bagian awal. Mau protes soal setan merah (padahal cuman matanya yang merah dan tubuhnya biru, sesuai gambar) tapi nggak jadi karena yah ... menjelang akhir kayaknya dia jadi berlumuran air darah sehingga beneran serasa setan merah. Satu yang aneh lagi mungkin si keluarga yang mestinya dibantai Iris tapi sempet dilindungi oleh tabir air Mira namun setelah itu nggak disebut lagi. Malahan ada narasi ini: [Petir menyambar, memberikan jeda bagi dua mahluk terakhir yang berdiri di atas gunungan orang mati.] Berarti setelah diselamatkan, keluarga itu langsung tewas atau bagaimana?
NARASI : B
Semua yang disampaikan mudah dimengerti dan dibayangkan walaupun gaya narasinya cenderung datar dan kurang deskriptif. Format ruby text-nya bagus juga ternyata, membuat saya berpikir kalau terjemahan manga di Indonesia mestinya pakai ini juga kalau di dialog/narasi komiknya menggunakan permainan kanji+furigana yang beda detail kata. Namun yang paling kurang dibangun adalah unsur "menghentak"nya. Jadinya hal-hal luar biasa yang terjadi di entri ini terkesan biasa.
TATA BAHASA : A-
Saya rasa tak ada masalah berarti karena penulis sudah mahir dengan hal ini. Mungkin yang membuat saya bertanya-tanya, apakah "mahluk" memang gaya penulisan tak baku yang lazim ditemui? Lalu angka seperti 45 pada kalimat [45 menit sebelum tabrakan terjadi] semestinya ditulis dengan bentuk kata saja jika ditaruh di awal kalimat. Setahu saya begitu.
KARAKTERISASI : A-
Dua karakter utama di entri ini, Iris dan Mira, diberi porsi kemunculan yang banyak untuk bisa dieksplor. Iris, sekalipun datar, sudah kerasa asik karakterisasinya. Pembaca bisa mengetahui apa motivasi dia, tujuan, ataupun "tanda tanya" dalam pikirannya. Namun kedatangan Mira dan motivasi dia belum tergambarkan sejelas Iris. Dan tukar-menukar dialog di antara mereka juga sepertinya memang bukan diniatkan sebagai adu ideologi, ya? Seperti tak ada perbedaan pemikiran yang berarti di antara keduanya dalam berdialog.
PLOT DAN BATTLE : B
Dari skenarionya tak tampak lika-liku plot twist, semua lurus dari awal sampai akhir tanpa kejutan berarti. Battle-nya, seperti kata sejumlah komentator lain, juga seperti sambil lalu saja. Dua-duanya makhluk bukan manusia sehingga mungkin butuh usaha khusus dari penulis agar pembaca bisa merasakan "luka" yang dialami Iris dan Mira dalam battle. Kasusnya mirip dengan OC Anita. Dan karena Iris tak terlalu ekspresif, mungkin ini membuat intensitas battle-nya berkurang nuansanya.
TANTANGAN : B-
Secara teknis, semua tantangan dan batasan Bingkai Mimpi sudah terpenuhi. Namun, proses penghilangan kekuatan itu terjadi seperti begitu saja. Kurang dramatis. Dan bahkan Iris seperti tampak tak terlalu terpengaruh oleh itu. Kemudian prinsip "Uphold the Law" yang diusung Iris juga belum begitu tertangkap karena aturan yang dia perjuangkan itu sebenarnya apa? Dia mengikuti peraturan siapa? Selanjutnya, tak ada adegan didatangi oleh Zainurma dan Ratu Huban dalam mimpi tapi itu tidak masalah karena di ujung ternyata ada kisi-kisi "familier" dari Iris terhadap dua sosok tersebut.
=================
OVERALL RATE : A-
=================
Sebagai OC yang juga sudah memiliki kanon yang kuat, saya berharap Iris Lemma ini terus berlanjut dengan cerita-cerita yang lebih menarik. Barangkali dengan di-reset-nya kekuatan dia, cerita akan menjadi lebih seru seperti kata penulis. Bagian yang paling menghibur dari entri ini, menurut saya, justru adalah settingan ideologi para manusia yang membentuk sekte-sekte agama. Dengan settingan Alam Mimpi nanti, saya rasa ini bisa kembali dimunculkan (walaupun sepertinya dunia Iris sudah gepeng oleh dua bulan runtuh).
==
Untuk prelim, semua peserta yang mengirimkan entri mendapat modal nilai 10 dari admin.
Semua entri prelim dikasih nilai 10 dari admin? Rasanya terlalu baik...tapi bagus juga buat memotivasi yang reratanya agak rendah. Cara penilaiannya pake skor huruf dan dibagi part" gini bikin saya pengen bawa POWER scale saya lagi buat ke depannya
HapusHmm, poin"nya asik buat dikupas. Saya jadi pengen nanggepin satu"
Soal setan merah, saya baru keinget kalo skema awal saya adalah penampakan Iris Lemma emang kayak setan pas pertama muncul (makanya saya masukin kemampuan holographic campuflage), tapi kenyataannya pas nulis saya malah kelupaan sama sekali. Yah, anggep aja manusia yang lagi perang di 'mimpi' ini akalnya rada ga beres #plak
Soal keluarga, nah, akhirnya ada yang nanya. Buat saya pribadi, semua yang saya munculin di sini kemungkinan besar foreshadow buat gimana akhir dari canon Iris Lemma nanti. Itu, kalo emang saya mampu sampe final. Jadi apa yang bolong" dan ga jelas atau belum kejawab di sini, kemungkinan bakal saya munculin lagi di akhir.
Soal 'menghentak', saya rasa emang dari dulu ini kelemahan gaya narasi saya : susah bikin sesuatu berkesan impactful. Saya ga akan cari justifikasi lagi; emang masih belum nemu aja cara bikin tulisan biar bisa nyentuh yang baca.
Soal 45 menit, saya lebih suka pake angka langsung kalo buat satuan, kayak waktu, panjang, berat, dst. Entah soal menyalahi kaidah nulis atau ngganya, tapi preferensi pribadi saya lebih seneng gini.
Soal Mira Slime, ya motivasi dia emang blur (kayak air). Dan emang sengaja ga dibeberin di sini, karena masih banyak kemungkinan dia saya munculin lagi ke depannya. Dan ya, peran dia di sini sebenernya emang lebih ke ngebimbing Iris Lemma (ngajarin inisiatif nanya, ngelatih insting bertahan hidup kayak mahluk hidup, bikin inovasi, dst dst), jadi emang ga kontra.
Soal plot emang straight, dan soal battle emang tempelan. Ga ada rebuttal di sini, semua sebagaimana adanya aja.
Soal tantangannya, mungkin emang kurang jelas ya. Aturan yang Iris Lemma anut masih berupa 'aturan logika' di sini, di mana 'kalo x maka y', semacem itu. Di sini dia sebenernya belum punya semacem prinsip atau ideologi, jadi masih blank state. Kemungkinan dia baru berkembang kalo udah tuker pikiran sama OC" lain sepanjang turnamen ini nantinya.
Trims udah mampir~
Hallo, MasSam. akhirnya baca lagi tulisannya MasSam.Ketemu lagi dengan saya. :p
HapusAku sebenernya gak begitu suka robot-robotan, tapi beruntungnya ini malah gak begitu keliatan merobot (???). hampir gak ada istilah-istilah mekanik yang bikin garuk-garuk kepala, dan fokusnya cerita ini ke bagaimana si Iris mandang dunianya yang.. udah kiamat.
komentarin narasinya, saya gak ada masalah atau nemu perbedaan sama entrinya Dyna dulu, meskipun yang Iris keliatan lebih kelam, tapi sama-sama lancar dibaca. gak nemu kesulitan atau mesti ngulang beberapa kalimat ke atas. khas tulisan MasSam yang yang pernah saya baca. to the point & gak bertele-tele di narasi.
cuma satu hal, Saya sebenernya tipe orang yang suka banget cerita berpesan moral, atau begitu beres baca aku dapet sesuatu, tapi buat ini, aku terkesan seperti.... dicecokin. terlalu banyak pesan yang mau disampaikan sampe aku bilang "cukup", karena hampir di tiap narasi ada (apalagi sebelum ketemu Mira Slime). seolah semua "muntahan isi pikiran author"nya dipaksa masuk ke dalam tulisan. Saya pribadi sih lebih suka yang pesannya sederhana, tapi dibangun secara perlahan dan langsung kena saat ditembakan.
Untungnya, pesan-pesan itu gak ganggu alur ceritanya, battle nya baguss banget, dan dialog-dialog di sepanjang battle yang bikin ini bukan sekedar pertarungan bak-bik buk doang. dan kedua karakter punya motif sendiri buat saling nyerang.
Dan hal yang paling saya sukai disini adalah gimana karakter Iris Lemma nya yang digambarkan sebagai Dajjal, emang sengaja mungkin. beber-bener layaknya tuhan.
Overall, ini entri yang bener-bener bagus & dikemas secara rapih.
9/10
Bian Olson
Wah ini. Baru komen ini yang langsung nembak to the point kalo Iris Lemma = prototype dajjal. Gdi, ternyata lumayan obvious ya kalo ketebak dari awal gini
HapusSoal pesan moral terlalu dicekokin, saya lagi" minta maaf. Udah banyak yang ngeluh gini, dan pas nulis kayaknya saya emang terlalu kebawa berusaha masukin materi di kepala sebanyak mungkin, sehingga jadi kurang di segi ceritanya sendiri. Harap maklum, dah lama ga nulis sebelum ini
Btw, ini komen kenapa di balesan komen bang heru? Saya hampir miss liat ini
Trims udah mampir~
pertarungan robot dan monster air yang diawali dengan kekacauan umat manusia. suasananya mendukung dan terkesan real. cuma ya prolognya menurutku agak terlalu berat. dan sebuah kata dengan kurung dan di atasnya ada kata kecil membuat saya agak malas membacanya. so far, pesan moralnya nyampe dan terasa real seperti baca sinopsis film blockbuster.
BalasHapusnilai : 9
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Sebenernya kata kecil itu ga harus semua dibaca sih, fungsinya lebih kayak aksesoris aja. Saya sekedar eksperimen kalo ngikutin gaya light novel yang sering make furigana buat bacaan alternatif satu kanji gimana, mumpung formatnya kerasa pas sama cerita si Iris Lemma ini
HapusTrims udah mampir~
Aku baca entry nya udah lama sih... baru komen sekarang (kemana aja mbak?)
BalasHapusTemanya dalem... soal ideologi tentang agama, bobrok nya moral manusia yang membunuh Tuhan (dalam pikiran mereka) dan Mira yang menawarkan 'role' sebagai Tuhan itu sendiri...
Meskipun begitu bahasanya gak berat" banget, santai malah... jadi enjoy bacanya...
Dan... gila manusia yang dibunuh dihitung sampe 1000... (._.")
And btw aku ngefans sama Dyna Might~ XD tisam boleh? *dibakar
Mungkin itu aja...
10 untuk Iris
Sign,
Lyre Reinn
OC : Eve Angeline
Wuih, fans Dyna? Saya ga nyangka masih ada yang nyebut nama oc taun lalu itu di sini... Nama Dyna ternyata lumayan ngebekas ya
HapusYep, materi dalem tapi bahasa ringan - kira" emang itu yang mau saya coba di entri Iris Lemma ini
Trims udah mampir~
Oh iya sempat kepikiran..
HapusMira Slime
Iris Lemma
Sam Riilme
Aku gak pernah kepikiran buat bikin nama yang kata"nya di susun ulang gitu... kreatif... ( '-')b
Masih ada Mailerism sama Mrs.Emilia di BoR 1 dan Elisa Rimm di BoR 3. Plus ada 3 nama lagi yang belum keluar, sebenernya total anagram saya ada 9 + 1 nama asli
HapusHm...
BalasHapusKinda draggy battle, mungkin karena ada diskusi [yang sepertinya] esksistensialis di antara pertarungannya, jadi berasa agak lelet pace-nya. Menarik memang, tapi kalau di tengah battle pengaruhnya kuat sekali ke kecepatan pertarungan.
Potongan paragraf yang pendek, dan malah seringkali hanya satu kalimat, bikin pembawaannya jadi ringan. Bacanya juga jadi kerasa nyaman.
Terakhir, saya pengen kasih lebih, sayangnya those little words hurt my eyes. Jadi maaf.
This one-eyed scrap metal can get my 8 points!
Asibikaashi
Masalah pace ya. Noted, mungkin kombinasi pertarungan penuh aksi sama dialog intens emang ga padu
HapusKalo soal ruby text / furigana, sekali lagi saya bilang kalo fungsinya lebih bersifat aksesoris, yang mana kalo ngeganggu ya ga perlu dibaca
Trims udah mampir~
de : Sangat Baik = 2
BalasHapusPlot : Sangat Baik = 2
Tingkat kemudahan di cerna : Sangat Baik = 2
Usaha : Sangat Baik = 2
EYD : Sangat Baik = 2
Tidak ada yang bisa saya kritik dari tulisan ini
Nilai : 10
Newbiedraft / Revand Arsend
Waduh, masa sih bener" ga ada yang bisa dikritik dari entri ini? Tapi makasih nilainya, semoga itu artinya tulisan ini lumayan bisa ditangkep oleh yang baca
HapusTrims udah mampir~
...entry ini entah kenapa kesannya begitu.. *auth kehabisan kata2*
BalasHapusBattlenya begitu menegangkan menurut ane. Lalu battle diselingi dialog dan adegan ang lain membuat ane ga nyentuh titik jenuh. Biasanya kalo baca battle yg beruntun panjang, ane biasanya nyentuh titik jenuh.
Tapi masih bingung juga maksud partnya apa.
Dan endingnya, ooooh.. ane bingung gimana jelasinnya.
Sumpah ini bagus bener.
----------------
Rate = 9
Ru Ashiata (N.V)
Part yang mana? Saya kebiasaan kalo nulis cerita emang dibagi part" pas bikin kerangka, biar kegambar jelas part ini masukin adegan/dialog apa. Kalo di sini, bentuk 'chapter'nya berupa persenan, di mana begitu 100% maksudnya 'program' mimpi ini complete. Tiap chapter itu sendiri saya bagi part" selain buat pemenggalan bagian cerita juga buat ngemudahin saya sendiri pas nulis
HapusTrims udah mampir~
“[Karena….aku bukan Tuhan. Bukan pula setan. Aku, tak dapat disangkal, adalah ciptaan tangan seseorang. Tujuanku, adalah mencari sang pencipta. Itu misi utama. Misi sekunder, adalah mencari tahu siapa aku, dari mana aku berasal, dan ke mana aku harus pergi. Karenanya, bermain peran sebagai Tuhan bukan bagian dari arti keberadaanku.]”
BalasHapus>> nak, kalau kamu bunuhin manusia, gimana bisa nemu penciptamu? Gimana kalau dari manusia yang kamu bunuh ada yang jadi penciptamu? #gagituDin
Heiho kak sam, yang diatas jokes doang ya.. Hehehhe
Saya langsung aja
Plus :
+ Konsep.
Saya senang dengan konsep manusia yang berkubu, antara teis dan ateis, kehancuran bumi karena ego manusia, sampai akhirnya muncul makhluk mata satu. Tanda akhir zaman. Sumpah, sesungguhnya entry ini bikin merenung. Sempet pause bacanya karena merenung lol. Tapi begitu balik sense kalau si mata satu ini robot, langsung bca lagi dan mikir kalau dia Minion dari Despicable Me [Pappoy!]
+ Bahasa
Like always, I love your way writing a story. Bahasanya ringan. Jadi meski temanya berat (ya, temanya berat pak, soale nampar), dan ini kisah robot--dimana saya lebih sering nonton daripada baca, saya ga kesusahan buat ikutin flow-nya. Ditambah lagi, furigana-nya itu loh. Kadang bikin saya ketawa. Saya mikirnya furigana itu macam suara hati yang bicara (lol)
+ Konflik
Ingin menemukan 'Tuhan' eh, pencipta dan menguasai dunia. Buat saya konfliknya sendiri apik, ga terlalu keliatan maksa biar ada pertarungan. Thanks to Mira Slime dengan ambisinya, orz.
+ Cerita keseluruhan
Buat saya, keseluruhan cerita ini bagus. Masih tergolong baru sih, tapi dah bikin nyaman. Dan ada beberapa pengetahuan baru disini [karena saya bukan alkemis seperti kak sun, atau anak IPA]. Air yang bisa bikin karat itu setahu saya air laut, tapi baru tau kalau bahan bakar bensin juga bisa merusak. [CMIIW]
Minus :
- Klimaks
Seriusan kak. Saya baru kali ini baca cerita kak sam ga sekali jalan, karena saya harus ngulang bagian terakhir yang si Iris keliatan mau hancur, tapi justru Mira yang hancur. Yang pas keluar Rail Gun tadi. Again, mungkin karena minim penjelasan atau karena emang otak saya yang ga sampe disitu. Udah 3x baca, buka charsheet, masih agak ganjal soal serangan pamungkasnya si Iris. Maaf ya kak. T_T
Untuk battle sendiri, meski ga intens, tapi ga ngurangin atau nambah nilai dari saya. Saya anggapnya wajar. Ini pertarungan robot dan manusia. Robot mungkin bisa mikir, tapi ga bisa ngerasain emosi [well, bukan ga bisa, jarang.] Jadi saya anggap normal kalau ada bagian yang kerasa flat, makasih buat ambisi Mira Slime yang menggebu buat menguasai dunia wkwkwk. Jadi tensi saya bisa kejaga
SCORE
Basic : 5
Plus : 4
Minus : 1
Total Score : 8
Sampai jumpa di next round kak
-Odin-
Hai dee, seneng liat kamu kritis juga soal tulisan saya yang satu ini. Bikin saya juga semangat nanggepinnya
HapusPertama", saya seneng kalo tulisan ini bikin mikir. Terus, poin kamu juga bener soal 'kalo Iris cari pencipta kenapa malah bunuh"in manusia yang notabene kemungkinan besar pencipta dia?'. Masalah ini kemungkinan bakal jadi poin yang saya adress di r1 nanti, jadi tunggu aja
Soal minimnya deskripsi, itu murni emang gaya default saya yang males jelasin, jadi saya terima minusnya. Keliatannya ini tabiat jelek karena saya udah ga ngitung lagi berapa orang yang komplain, jadi mungkin saya mesti lebih elaborate kalo ada adegan yang mestinya ga asal sebut
All in all, syukurlah entri ini masih bisa dinikmatin. Saya khawatir karena belakangan cukup banyak yang vokal bilang ga sreg sama entri ini, yang mungkin jomplang imejnya sama Dyna taun lalu
Trims udah mampir~
okei, saya tunggu R1-nya
HapusBahasanya nyantai sih, like I said di atas.
So noprob.
Dari awal saya terkesan sama tulisan-tulisan kecil di atas. Ngasih kesan animesque. Jadi kebayang adegan-adegan di sini diselingi satu screen yang cuma nampilin kata-kata itu. Somehow ini nunjukin seakan ada entitas lain yanh nyebut kata-kata itu dengan tafsiran berbeda.
BalasHapusDi awal masih agak datar moodnya menurut saya, tapi mulai ketemu Mira, mulai kerasa lebih nyata gambaran yang berusaha dibawain sama narasinya. Menarik ngeliat Mira yang sejak awal nunjukin kalo dia lebih superior dari Iris, dari dia ngomong bahwa seharusnya dia ga ngobrol sama kecerdasan buatan sampai peryataan bahwa dia ga pernah dapet penolakan atau kalah sebelumnya.
Pertarungan per part ngebantu ngatur pace battle. Cara Mira pake pompa air, water pillar sama rail gun buat ngelumpuhin Iris bikin pertarungan ini ga keliatab terlalu berat sebelah.
Zainurma sampe punya reaksi khusus karena si Iris ini malah ngancurin banyak jiwa di awal. Tapi penghancuran ini emang bagian dari karakter, alur cerita dan setting sih, jadi saya bisa ngerti. Sehingga.
9/10
PUCUNG
Mira bakal berperan besar di character building Iris ke depannya, bahkan sekalipun di prelim ini dia udah binasa. Bisa dibilang, Iris di sini sebenernya masih blank slate yang bisa diisi macem", jadi beberapa 'materi dasar' emang saya paksain masuk dulu di sini sebelum entah siapa yang bakal dia temuin di ronde selanjutnya
HapusSoal penghancuran, sebenernya 'mimpi' ini pengen saya tekenin sebagai sesuatu yang agak beda sama mimpi" entran lainnya, karena Iris ini robot. Kalo dia bisa punya mimpi, kemungkinannya dua : antara dia punya jiwa dengan kesadaran, atau mimpi ini bukan 'mimpi' dalam arti sebenarnya
Trims udah mampir~
satelit yg menabrak bumi untuk menjadikan dunia menjadi satu kesatuan... third impact? /bukan
BalasHapusjadi, entri iris ini cerita yg lumayan berat juga. tapi dengan gaya nulisnya yg ringan jadi mudah dicerna dan mengalir bacanya.
kalau ada yg kurang sreg sedikit mungkin di awal2 narasinya tetiba mencoba nerobos 4th wall.
"Tapi siapa peduli dengan takdir, hukum alam, atau kaidah kesusastraan dalam bercerita?"
atau,
"Cukup sudah. Tidak ada lagi perlu dibuktikan lebih lanjut dengan memanjang-manjangkan cerita ini. Manusia telah tamat riwayatnya."
wwww tapi kalau dilihat lagi ternyata narasi2 itu refreshing juga setelah kelas sejarah yg kelam (termasuk joke2 yg nyempil di sana-sini) xD /plak
terus... selesai baca memang banyak misteri bikin penasaran. asal usul iris lemma, juga mira slime. mereka itu sebenarnya apa?
nilai: 9
oc: castor flannel
Jujur waktu nulis ini, saya sendiri juga jengah sama materinya yang berat. Ibaratnya kayak saya nulis sesuatu yang sebenernya agak di luar kapasitas saya. Makanya kadang keselip juga kalimat" memetik atau masa bodo dan nyaris breaking 4th wall kayak gitu www
HapusSoal Iris Lemma dan Mira Slime, kemungkinan bisa kekupas tuntas kalo saya maju minimal 3 ronde ke depan, jadi semoga aja bisa terus melaju sejauh itu #plak
Trims udah mampir~
Akhirnya komentarin entri ini juga.
BalasHapusOke. Aku iri banget. Tulisan ini keren. Sebut aku aneh, tapi aku lebih suka ini dibanding Dyna. Dalam, tapi gaya bahasanya mudah dicerna.
Karena penuturannya disesuaikan sama pemikiran logis Iris Lemma, 'hujan' ideologinya fine saja buatku.
Iris menarik. Tapi Mira juga unik. Seperti trope 3 faces of Eve yang digabung ke 1 karakter. Pembawaannya stabil dan tenang, kadang berlaku seducting, tapi punya rasa penasaran yang polos.
Aku ingin baca lanjutannya.
Jadi 10 untuk Teorema Seribu Mata
---
Marietta Sullivan
Huhu, satu lagi yang bilang lebih suka Iris daripada Dyna. Saya bahagia dengernya, sungguh
HapusDan baru kali ini ada yang bilan pembawaannya stabil. Padahal saya kira rada jumpy, tapi kalo pace begini oke" aja, mungkin udah pas seterusnya tetep begini ya asal bisa dinikmatin, betapapun sedikitnya orang yang suka entri ini daripada mayoritas yang mungkin kurang sreg bacanya
Trims udah mampir~
Btw, saya baru denger trope 3 faces of eve ini. Bagus juga buat dijadiin bahan karakter Mira Slime. Sekali lagi makasih
Hapus