I
Zainurma terbang bebas menembus ratusan awan mimpi. Pria
berkacamata hitam itu menyeringai lebar. Dia tidak pernah menduga kalau Sang
Kehendak mau-maunya menerima ide yang dia lontarkan. Tapi hal itu sangat dia
syukuri. Mungkin siapapun yang menciptakan seluruh semesta yang ada sedang
menganugerahkan berkat padanya untuk mempercepat rencananya: menghancurkan
patung otak bernama Sang Kehendak itu.
"Tu-tuan Zainurma, tolong terbangnya jangan terlalu
cepat."
Zainurma berputar dan melirik sesosok makhluk berkepala bantal
terbang mendekat dari arah kakinya. Kepala bantalnya tampak kembang kempis dan
basah. "Terbangmu lambat, Ratu Huban. Bukannya ini masih bagian dari
dimensimu?" kata Zainurma kepada makhluk kepala bantal itu.
"Tetap saja, tuan. Jika Anda bersemangat, bahkan saya pun
tidak akan bisa mengikuti," kata Ratu Huban.
Zainurma menghela napas panjang. Dia terpaksa mengikuti kecepatan
Ratu Huban. Cara terbaik mengumpulkan para petarung, seperti yang
direncanakannya, adalah melalui mimpi mereka. Dan sang penguasa mimpi, Ratu
Huban, terbang lebih lambat darinya. Apabila dia menginggalkannya sendirian,
bisa-bisa dia tersesat dalam alam mimpi seseorang yang tidak jelas.
"Oke, kalau begitu tolong kau terbang duluan. Lagipula yang
tahu semua mimpi para entitas tangguh di segenap jagad ini hanya kau
saja," kata Zainurma.
Beberapa saat kemudian sang Ratu pada akhirnya berhasil menyusul.
Kepala bantalnya kini tidak tampak kembang kempis lagi. "Apa tuan sudah
bawa stempelnya?" tanya sang Ratu.
"Stempel?" balas Zainurma.
"Iya, stempel. Tanpa stempel resmi dari Museum mereka tidak
akan diakui sebagai pengunjung, kan?" kata Ratu Huban.
Zainurma tersenyum. Dia merogoh kantung dalam dari jas mewahnya
dan mengeluarkan benda serupa silinder seukuran jari. "Sebagai sang
Kurator saya tidak mungkin melupakan ini," kata Zainurma dengan bangga.
Sesaat kemudian dia merasa menyesal sampai mati telah merasa bangga pada
jabatan yang disandangkan paksa padanya itu. "Apa kau sendiri bawa,
Ratu?"
Ratu Huban tidak menjawab. Makhluk itu menghadapkan kepala
bantalnya ke bawah, seolah sedang memandangi kakinya sendiri. Tangannya tampak
sibuk bermain dengan jari-jarinya. Dan Zainurma kembali menghela napas panjang
begitu melihat geliatnya.
"Kau mau kupinjamkan cadangannya?" kata Zainurma sambil
mengambil sebuah stempel lagi dari balik jas mewahnya. "Jangan
dihilangkan, ya?"
Ratu Huban segera melompat dan mengambil stempel itu dari tangan
Zainurma. Sosok mungil sang ratu dunia mimpi itu kini melompat-lompat
berkeliling di sekitar Zainurma.
"Terima kasih banyak, Tuan Zainurma," kata Ratu Huban
girang, "seandainya tidak ada ini entah bagaimana saya bisa bekerja."
Zainurma hanya bisa menggaruk kepala menanggapi tingkah Ratu
Huban. Bukan kali pertama dia ceroboh seperti ini. Tapi kecerobohan kali ini
bisa saja lebih fatal dari semua kecerobohannya. Stempel adalah wujud pengakuan
dari Museum Semesta. Hanya mereka yang telah memiliki tanda dari Stempel yang
berhak untuk masuk ke dalam museum itu. Siapapun yang tidak memiliki stempel
dan mencoba untuk masuk dengan paksa pasti akan segera musnah. Jika saja mereka
membawa seorang petarung yang paling tangguh sekalipun, tanpa tanda dari
Stempel dia akan menjadi menjadi serpihan debu semata.
"Ingat, kita hanya menandai yang tangguh saja. Carilah yang
tangguh dan segera tandai mereka. Aku mencari ke kiri, kau mencari ke kanan.
Ah, jangan. Sebaiknya kita pergi bersama. Bahaya kalau aku malah tersesat di
sini," kata Zainurma.
Ratu Huban mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat.
"Siap, Tuan Zainurma. Silakan Anda mengikuti saya!" katanya dengan
nada riang. Sang ratu pun mulai terbang kembali dengan santai, sedang sang Kurator
hanya bisa mengikuti dengan tidak sabaran.
~~~
II
Di sebuah dunia yang beku, malam telah mencapai puncaknya. Angin
malam berhembus membawa dingin yang menusuk sampai ke tulang. Di tengah angin
itu
bau darah menguar ke udara, bercampur dengan bau dari karat pedang
yang patah dan berserakan di padang salju. Warna darah yang mengering dan salju
yang terus turun membuatnya tampak seperti sebuah permadani indah yang dihiasi
kilauan baju zirah dan mayat-mayat bergelimpangan. Di tengah perpaduan aneh keindahan
dan kengerian itu berdirilah seorang anak kecil dengan tas selempang abu-abu
yang nyaris menyentuh lututnya. Rambut dan kulitnya berwarna putih, nyaris
berbaur dengan warna lingkungan sekitarnya. Mata peraknya menatap tumpukan
mayat di depannya dengan tatapan dingin. Dilihatnya ekspresi-ekspresi terakhir
dari mereka yang beberapa menit lalu ingin membunuhnya itu. Ketakutan, ngeri,
amarah. Tiga ekspresi yang selalu dilihatnya pada mayat manapun yang
bertumpukan di depannya.
Beberapa menit lalu dia berjumpa dengan pasukan malang ini. Dengan
beragam ekspresi mereka. Dengan penuh kehidupan dan semangat. Bersama pekik
perang seolah mereka akan menghadapi pasukan besar. Padahal lawan mereka
hanyalah seorang anak kecil yang sendirian berdiri menunggu mereka di padang
bersalju. Seorang anak kecil, melawan seratus prajurit beraneka pangkat dan
senjata. Pedang, sorakan, teriakan berpadu dengan ledakan, pukulan dan tangisan
melolong dari mereka yang sekarat. Dua puluh menit berlalu, lalu semuanya
kembali hening seperti saat sebelum pasukan itu ada di sana.
Anak kecil itu menatap tumpukan mayat di depannya dengan satu
ekspresi: bosan. Darah mengering di wajahnya, mengotori ves dan celana pendek
hitamnya, tapi dia tampak tidak peduli.
"Arnold," seru anak itu dengan suara nyaring.
Tiba-tiba tumpukan mayat di depannya hancur menjadi tulang dan
debu. Di tengah debu berserakan itu muncullah sesosok pria paruh baya berambut
hitam dengan sebuah monokel di wajahnya. Kumis dan cambang yang terawat membuatnya terlihat
elegan di tengah tulang dan debu yang berjatuhan di sekelilingnya. Pria
berbusana layaknya pelayan pria itu menunduk hormat pada anak kecil yang
memanggil namanya.
"Tuan Weiss," kata Arnold.
"Ayo pergi," kata Weiss, si anak berambut putih.
"Jangan lupa ambil topiku." Weiss berbalik dan melangkah tanpa
menunggu balasan sang pelayan. Sedangkan sang pelayan berjalan menuju sebuah
tombak yang ujung tajamnya telah hancur dalam sebuah ledakan dan mengambil topi
berwarna hitam yang menyangkut di sana.
Beberapa langkah kemudian Arnold telah menyusul Weiss dan
mengenakan topi itu kembali ke kepala sang pemilik. "Selanjutnya kita ke
mana, Tuan?" tanya Arnold setelah sengaja memperlambat langkahnya.
"Terserah," kata Weiss. "Ah, tapi sekarang lebih
baik kita ke kota terdekat dulu. Aku ingin minum susu."
"Baik, Tuan," kata Arnold.
Salju masih terus turun. Jejak langkah keduanya perlahan
menghilang.
~~~
Weiss memasuki kota saat matahari pagi sudah bersinar. Kali ini
bukan Arnold yang bersamanya. Sebagai gantinya seorang gadis muda berambut
sebahu dengan sebuah rajah berbentuk bunga mawar di sepanjang tangan kanannya
yang kini mendampingi dirinya. Tatapan semua orang memandang ke arah mereka
dengan beragam ekspresi.
"Mereka memandangi kita sejak tadi, ya, Tuan?" kata
gadis itu dengan suara yang serak-serak basah. Dengan sengaja dia merapatkan
dirinya pada Weiss. "Pasti mereka iri pada tuan karena ditemani gadis
montok sepertiku."
Weiss cuma melirik sekilas pada gadis berambut cokelat di
sampingnya. "Sebaiknya kita perlu memperbaiki selera berpakaianmu,
Terra," katanya singkat.
"Hee? Padahal rok pendek seperti ini menarik, kan?" kata
Terra.
"Jika kau mau melepasnya jangan tanggung-tanggung. Biar semua
orang melihat ke arahmu. Asal jangan menggangguku," kata Weiss.
Terra merengut. "Rugi aku kalau mereka yang melihat,"
katanya dengan suara nyaris berbisik.
"Begitukah? Bukannya kau suka perhatian pria-pria itu?"
kata Weiss.
Terra melirik tuannya. Senyum nakal mengembang di wajahnya.
"Tuan cemburu?" godanya. Dengan sengaja dia menyenggol anak lelaki
itu dengan pinggulnya. Di sekitar mereka terdengar decak kagum saat Terra
melakukannya.
"Kau tahu, kan, kalau menurut hukum yang kau lakukan ini
ilegal?" kata Weiss.
"Sejak kapan tuan peduli pada hukum?" balas Terra.
Weiss menyeringai. "Benar juga," katanya. "Aku
tidak pernah peduli hukum manusia. Sama seperti aku tidak peduli nyawa-nyawa
manusia yang ada di sini."
"Ah, Anda mau melakukan alkemi di sini?" tanya Terra.
Weiss berhenti menyeringai. "Benar juga. Aku butuh susu untuk
mengisi energiku," katanya.
"Kalau susu aku―"
"Susu sapi!" seru Weiss sebelum gadis di sebelahnya
mulai melontarkan candaan mesumnya lagi.
"Segera cari dan bawakan padaku!" seru Weiss sebelum
berjalan memasuki sebuah gang gelap. Dia tidak peduli bagaimana cara Terra
membawakannya susu, yang terpenting dia harus minum banyak susu untuk
menggantikan tenaganya yang terkuras dalam pembantaian semalam.
~~~
Terra tidak hanya membawakan susu pada Weiss. Dia juga membawa
seorang pria muda yang tampaknya seperti saudagar kaya. Pria malang itu menurut
saja saat gadis itu mengajaknya menuju gang tempat Weiss menunggu. Dikiranya
dia bakal mendapat sebuah 'pelayanan' dari sang gadis pelayan yang menggodanya
saat di pasar.
"Ah, jadi kau ingin melakukannya di sini, nona?" tanya
pria muda itu dengan napas yang mulai menggebu-gebu.
"Hm, bagaimana, ya?" goda Terra dengan suara nyaris
mendesah. Matanya melirik nakal sementara jarinya sibuk memainkan rambutnya.
Dia merapatkan buli-buli berisi susu hangat dalam dekapan tangan kanannya ke
dadanya.
Pria malang itu tampak semakin menggebu. "Kalau yang kau
inginkan adalah emas, aku punya emas yang banyak. Kalau kau mau, datanglah ke
rumahku di tengah kota ini. Bukan hanya susu dan emas, setengah kota ini pun
akan kuserahkan padamu!" katanya tanpa melepaskan pandangan dari dada
gadis di depannya. Sudah terbayang surga duniawi yang akan dinikmatinya malam
ini bersama gadis berpakaian aneh namun membangkitkan hasrat itu.
"Oh, ya? Kau punya banyak emas?" kini Terra tersenyum.
Diangkatnya dagu si pria malang sehingga dia menatap matanya dalam-dalam.
Bagaikan tersihir, pria malang itu mengangguk. "Tentu saja!
Aku adalah pedagang terkenal di negeri ini. Aku yang menggerakkan bisnis di
kota ini. Kau mau bukti? Ini, ambillah!" katanya sambil mengeluarkan
sekantung emas dari saku jubah beludru yang dia pakai saat ini.
Dengan cepat Terra menyambar kantung uang itu dan melemparnya ke
dalam gang. "Terima kasih, tampan," katanya sambil dengan cepat
mencium bibir si pria malang. Di saat bersamaan tangan kirinya menghantam perut
pria itu dengan sangat keras. Tidak ada teriakan kesakitan yang keluar dari
pria malang itu. Hanya ekspresi kesakitan yang terukir di wajahnya saat
tubuhnya jatuh perlahan ke tanah bersalju.
"Tuan dapat emasnya?" tanya Terra ke arah gang yang
gelap.
"Kau bawa susunya?" balas Weiss dari dalam gang. Suara
emas yang bergemerincing terdengar bersama suaranya.
"Mau susu yang ini atau―"
"Tampaknya bukan hanya cara berpakaianmu yang perlu diganti,
tapi kebiasaanmu juga, ya?" potong Weiss.
Terra merengut. Dengan kesal dia berjalan membawakan buli-buli
susu kepada sang tuan yang bersembunyi di kegelapan gang.
~~~
Kabar seorang gadis yang merampok saudagar kota merebak dengan
cepat. Pasukan bersenjata digerakkan dengan cepat menuju ke tempat saudagar
malang itu terbaring pingsan. Tapi saat mereka sampai di sana, tidak ada
siapapun yang mereka temui.
Jauh dari kota, Weiss tampak berjalan bersama seorang gadis lain
dengan rambut sepinggang berwarna merah. Berbeda dari Terra, gadis ini tampak
anggun dengan rok hitam yang menjuntai hingga ke mata kaki dan baju berlengan
panjang berwarna sama. Seperti Terra, gadis itu juga memakai sebuah celemek
yang tersampir di pinggangnya.
"Bagaimana dengan pasukan yang mengejar kita, Rubina?"
tanya Weiss pada gadis itu.
"Tidak akan ada yang mengejar, Tuan Weiss," jawab Rubina
dengan nada lembut. "Para pria baik hati itu mungkin sedang beristirahat
dengan tenang di tengah hutan saat ini."
Weiss menyeringai. "Semoga mereka tidur dengan nyenyak.
Selamanya," katanya.
Rubina tertawa dengan suara pelan. "Saya kira mereka sedang
bermimpi berada bersama para bidadari di tempat sejuk saat ini," katanya.
"Sesuatu yang setimpal untuk mereka yang dengan baik hati mau membantuku
menyerahkan energi mereka pada tuan."
"Bidadari yang akan memeluk mereka dalam dekapan yang dingin
hingga tulang mereka beku, ya?"
Mereka tertawa. Salju kembali turun siang itu.
~~~
Weiss memutuskan untuk bermalam di dalam sebuah gua. Arnold dengan
sigap 'menyiapkan' sebuah gua dengan menghantam sebuah dinding batu hingga
membentuk gua. Dengan sigap pula dia mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api
unggun di dalam gua itu.
"Anda butuh hal lain, Tuan?" tanya Arnold.
"Tidak perlu. Sekarang kembalilah, Arnold," balas Weiss.
Arnold membungkuk hormat. Tubuhnya berubah menjadi gumpalan cahaya
yang melesat masuk ke cincin di jari telunjuk tangan kanannya. Di saat nyaris
bersamaan, Weiss mencium sebuah cincin di jari tengah dan dua cincin di jari
manisnya.
"Rubina, Terra, Aura, aku memanggil kalian," kata Weiss.
Dalam sekejap dari ketiga cincin itu melesat tiga bola cahaya yang
membentuk tiga sosok gadis di depannya. Rubina, sang gadis berambut merah.
Terra, gadis berpenampilan menantang dengan rambut cokelatnya. Lalu ada seorang
gadis lain yang tampak setara dengan Weiss. Dialah yang paling kecil di antara
semua makhluk panggilan Weiss. Rambutnya berwarna emas sepinggang yang dikepang
menyatu. Sama seperti Weiss, dia pun memiliki tas selempang.
"Akhirnya kau memanggilku, juga, Pendek," kata gadis
berambut emas itu pada Weiss.
"Aura, tidak sopan bicara seperti itu pada tuan kita,
kan?" kata Rubina sambil tersenyum pada gadis berambut emas itu. Nada
suaranya terdengar lembut, tapi gadis berambut emas itu langsung bergidik dan
mundur selangkah saat melihatnya memamerkan sebuah pisau di tangan.
"K—kak Rubina?"
"Sudahlah, biarkan saja. Namanya saja bocah. Tidak usah
ditanggapi serius, Rubina," kata Terra sambil memamerkan lekuk tubuhnya
pada Aura.
"Kh! Monster dada besar! Jerat nista pria hidung
belang!" seru Aura saat melihat Terra.
"Ohoho. Ada apa? Iri? Mungkin kau harus meniru tuan kita
untuk minum susu yang banyak. Biar bisa cepat besar," kata Terra sambil
menunjuk-nunjuk tubuh Aura.
Gadis kecil itu segera mendekap dirinya sendiri. Mukanya merah
seperti udang rebus. "Ti—tidak sopan! Ku—kupotong-potong kau
sekarang!" teriaknya sambil mengambil sebuah pisau berbentuk cakram dari
dalam tas selempangnya.
"Hoo? Mau bertarung? Mau merasakan cambuk cinta nona Terra
yang mengguncang para pria dan wanita?" balas Terra.
"Kalian berdua, berhenti bercanda!" seru Rubina tegas.
Baik Terra dan Aura segera menghentikan aksi provokasi masing-masing dan
berdiri tegak.
"Tuan Weiss sedang tidur," kata Rubina. Dengan perlahan
dia duduk di samping Weiss dan membaringkan kepala sang tuan ke pangkuannya.
Tangannya membelai lembut rambut sang tuan. "Sebaiknya kalian menjaga
mulut gua. Biar aku yang menjaga tuan di sini."
Kedua 'saudaranya' tidak berani membantah. Meski mereka juga ingin
menyentuh tubuh sang tuan secara langsung, tapi perintah Rubina sama tegasnya
dengan perintah Arnold. Mereka berdua tidak akan berani melawan perintah tegas
semacam itu.
Malam itu Weiss bermimpi melihat sesosok makhluk aneh. Suaranya
seperti gadis kecil, tetapi tidak seberisik Aura. Kepalanya seperti bantal yang
empuk. Weiss jadi berpikir mau mengambilnya menjadi peliharaan. Tapi sosok aneh
itu melihat Weiss dan malah berlari menjauh. Dalam mimpinya Weiss mengejar
sosok aneh itu. Dan tanpa sadar dia sedang menjauh dari dunianya sendiri.
~~~
III
"Tu-tuan Zainurma!"
Sosok Ratu Huban terbang sekencang-kencangnya ke arah Zainurma
yang sedang menghitung foto-foto makhluk yang telah dia seleksi.
"Ada apa, Ratu Huban?" tanya Zainurma nyaris tidak
menoleh pada makhluk berkepala bantal yang tampak ketakutan itu. "Apa ada
monster mimpi yang kau temui? Apa kau sudah memberi dia tanda?"
"Bu-bukan! Ada yang mengejarku ke sini!" kata Ratu
Huban. Dengan cepat dia berputar dan meringkuk di belakang jas mewah Zainurma.
Zainurma menoleh ke arah datang Ratu Huban. Perlahan sesosok anak
kecil berambut putih tampak menembus lapisan awan mimpi. Zainurma bersiul,
"Wah, tangkapan yang bagus, Ratu Huban," katanya. Sebagai seorang
kurator, matanya bisa menilai semua hal dengan mudah. Dan dari dalam diri anak
kecil yang mendekati mereka terasakan sebuah kekuatan yang mumpuni, layak untuk
ditangkap.
Zainurma mengambil Stempel dari balik jasnya. Dengan secepat kilat
dia menekan Segel yang menempel di ujung Stempel hingga terlepas, dan
diarahkannya benda itu kepada sosok yang semakin mendekat ke arahnya itu.
"Sang Kurator memilihmu, wahai makhluk petarung! Jadilah, maka
jadilah!" seru Zainurma.
Cahaya terang memancar dari ujung Stempel sang kurator. Sosok anak
kecil yang berlari ke arah Zainurma tampak terkejut, tapi dengan sigap dia
menghindar. Sayangnya Stempel tak bisa dihindari. Pancaran cahaya itu meliuk-liuk
bak naga mengejar si anak kecil hingga dirinya berhasil tertangkap. Anak kecil
itu pun tersegel dalam sebuah bola cahaya raksasa, tanda dari Stempel yang
telah berhasil mengurung targetnya.
Ratu Huban yang melihat dari balik Zainurma tampak terkagum-kagum.
"Wooow. Cahaya cinta perlahan menyilau…"
"Jangan dilanjutkan, Ratu Huban. Makhluk semesta lain bisa
menuntutmu membayar dengan seluruh duniamu ini kalau mereka tersinggung karena
syair lagunya kau pakai," kata Zainurma.
Ratu Huban memang tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi sebagai
gantinya dia malah menyenandungkan lagi itu tanpa syair. Zainurma menghela
napas. "Entah sudah berapa kali aku menghela napas melihat tindakanmu. Ini
memang alam mimpi, tapi tidak ada kehidupan kedua di sini," katanya.
"Ada!" sahut Ratu Huban tiba-tiba. Suaranya yang
kekanak-kanakan terdengar sangat tegas. "Siapapun yang berhasil akan
kuanugerahi apapun yang dia impikan! Termasuk kehidupan kedua!"
"Kau tahu apa yang kau katakan, bukan?" tanya Zainurma.
Ratu Huban mengangguk mantap. Tak hanya sekali, tapi dua kali,
dengan kedua tangan mengepal di depan dada.
"Kalau begitu terserah kau saja," kata Zainurma.
"Peserta nomor 39 ini akan kudaftar. Tunggu sebentar, akan kuambil fotonya
dengan telepon pintar semestaku."
"Tuan punya banyak barang seperti itu, ya? Beli di
mana?" tanya Ratu Huban.
"Sebuah kedai antardimensi menjualnya. Cukup mahal, karena
ini termasuk barang selundupan. Dan lagi hanya bisa dipakai selama baterainya
masih bagus," kata Zainurma sambil mendekati sosok anak kecil yang masih
terperangkap dalam bola cahaya. "Tapi berapapun biaya yang kukeluarkan
untuk rencana ini bukan masalah besar. Imbal hasilnya lumayan tinggi. Investasi
yang tidak buruk juga, terutama karena fotonya bagus."
"Wah, Tuan Zainurma ternyata berkelas sultan," kata Ratu
Huban, terpukau oleh bahasa tinggi yang diucapkan pria itu. Entah mengapa dia
memilih kata 'sultan' untuk menunjukkan kebesaran seseorang, tapi di sebuah
dunia dia mendapati banyak penghuninya memakai istilah itu untuk menyebut orang
kaya. "Apa tuan juga memakai benda itu untuk mengambil foto tuan?"
"Tentu saja! Untuk apa beli mahal-mahal kalau tidak dipakai
foto duluan?" kata Zainurma. "Apa mau foto sama-sama, Ratu Huban?
Lumayan, memori penyimpanannya masih banyak."
"Mau! Mau!" sahut Ratu Huban. Dia pun melompat gembira
ke arah Zainurma yang bersiap menata gaya dengan si bocah malang sebagai latar
belakangnya.
~~~
IV
Mimpi yang aneh. Itulah yang dipikirkan Weiss saat dia terbangun
dengan tubuh basah karena keringat. Sosok anak kecil berkepala bantal, pria
berpakaian bak bangsawan dengan serangan yang mirip alkemi namun bukan sama
sekali. Lalu cahaya yang mengunci dirinya meski berusaha dihindarinya
berkali-kali. Dan meski tak terlalu melihat apa yang mereka lakukan dengan
jelas, Weiss bisa mendengar sayup-sayup apa yang mereka bicarakan.
Reverier.
Mahakarya.
Alam mimpi.
Weiss tidak tahu mahakarya apa yang sedang mereka bicarakan. Pun
mengenai Reveriers. Bahkan tahu kata itu adapun tidak. Tapi Weiss paham apa itu
alam mimpi. Dia sering bermimpi. Dia berharap hidup dalam mimpi dan tidak perlu
bangun lagi. Dalam mimpi dia melihat yang indah-indah, kenangan saat dia masih
manusia yang hidup di sebuah tempat yang dipenuhi salju. Rumah-rumah
bercerobong yang selalu berasap. Bau ragi dari roti panggang yang menguar dari
sela-sela pintu. Anak-anak kecil bermain bola salju. Para pria dewasa pulang
dengan senyuman di wajah mereka sambil membawa rusa gunung yang nyaris sebesar
diri mereka. Juga lentera yang menerangi malam-malam mereka yang damai.
Weiss tidak terlalu menyukai musim dingin, tapi dia tidak
keberatan tinggal dalam rumah hangat bersama keluarga yang menyenangkan di
tengah musim dingin. Itu lebih baik daripada berada sendirian di tengah
reruntuhan bangunan bersama mayat-mayat yang hangus terbakar.
Mendadak Weiss tersadar. Sesuatu yang aneh sedang terjadi selama
dia tidur. Dia melihat berkeliling dan menyadari ini bukan lagi gua buatan
Arnold. Tidak ada bekas api unggun atau ketiga makhluk panggilannya.
"Arnold! Rubina! Terra! Aura!" seru Weiss. Tapi tidak
ada siapapun yang menyahut.
Weiss mengedarkan pandangannya. Reruntuhan itu tampak seperti
sebuah rumah. Atapnya telah berlubang. Langit yang terlihat di atas sana masih
gelap. Salju pun masih turun. Pintu dan jendela ruangan itu hancur menjadi
arang. Dinding-dindingnya pun dipenuhi jelaga hitam. Masih ada asap yang keluar
dari onggokan yang tampak seperti sisa kursi dan meja. Lantai batu di bawah
kaki Weiss tampak lebih terang, sedangkan lantai di reruntuhan itu sehitam
dindingnya. Beberapa langkah di depannya, empat mayat yang hangus tergeletak
begitu saja. Meski tak dapat melihat ekspresi mereka, bahasa tubuh mereka
menunjukkan kengerian luar biasa. Salah satunya yang diduga Weiss sebagai pria
dewasa menunjuk ke arahnya. Sedangkan tiga mayat anak kecil di sekelilingnya
tampak seperti sedang berusaha melarikan diri.
"Itu monsternya!"
Weiss mengangkat wajahnya dan melihat puluhan orang membawa tombak
dan obor telah mengelilingi reruntuhan rumah itu. Gusar dan sedih, marah dan
takut, tampak sangat jelas di wajah-wajah mereka. Tak hanya pria dewasa, para
wanita dan anak-anak pun datang mengepungnya.
"Dia yang membunuh keluarga Pith! Dia membunuh orang yang
sudah mau menolongnya!" seru seorang pria yang disambut sorakan setuju
orang-orang yang lain.
"Kita seret saja dia keluar!" seru pria lainnya.
Bersamaan dengan itu belasan pemuda menerjang masuk ke dalam reruntuhan rumah.
Mereka berusaha menangkap Weiss, namun anak itu hanya menjentikkan jarinya saja
dan mereka semua telah terpelanting mundur.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Sebaiknya biarkan aku
pergi," kata Weiss.
"Kau membunuh mereka, Monster! Kau meledakkan mereka hanya
karena kau tidak dihidangkan susu! Aku lihat sendiri saat kau membakar tubuh
mereka dengan api yang keluar dari mulutmu!" seru seorang wanita tua
dengan suara bergetar.
Weiss tidak mengingat telah apa yang dituduhkan. "Aku tidak
tahu apa yang kalian bicarakan!" sahutnya.
"Sudahlah! Kita lumpuhkan saja dia, lalu kita bawa ke Ordo
Preister! Dia seorang alkemis yang layak mati!" seru seorang pria paruh
baya. Orang-orang yang lain pun setuju. Mereka kembali mencoba merangsek maju,
namun sekali lagi tubuh mereka terhenpas hanya dengan satu jentikan jari Weiss.
"Sialan! Mati kau!" Seorang pemuda mengarahkan senapan
ke arah Weiss dan menarik pelatuknya.
"Aku tidak akan diam untuk hal ini," kata Weiss. Dia
mengangkat tangan kanannya ke arah datang peluru. Sebuah peluru timah berhasil
menyentuh tangannya, namun peluru itu berhenti begitu saja.
"Ti-tidak mungkin!" pemuda itu tampak sangat ketakutan
melihat peluru, senjata paling mematikan yang telah membunuh banyak orang dalam
beberapa dekade penemuannya, tampak seperti batu biasa yang tak bergerak di
tangan Weiss.
"Timah, ya? Mudah sekali untuk dibentuk," kata Weiss
sambil menyeringai lebar. "Nigredo, albedo, citrinitas. Rubedo,
ballista!"
Peluru timah di telapak tangan Weiss mencair, berputar-putar, dan
membentuk bola dalam sekejap. Dan saat dia meneriakkan kata
"ballista" bola itu melesat dalam sekejap pula menembus kepala pemuda
yang menembakkan peluru itu pada Weiss hingga pecah berantakan. Seketika teriakan
para wanita pecah. Anak-anak berlarian bersama para wanita yang menjadi kecut
hatinya melihat kengerian yang diciptakan Weiss.
"Sialan!" pekik seorang pria tua berambut kelabu.
"Kau membunuh anakku!"
Pria tua itu mengarahkan tombak kayunya ke arah Weiss dan berlari
maju. Mata Weiss metotot tajam menatap ujung tombak itu. Badannya bergetar. Dia
menggeram. Sedetik kemudian dia berteriak sangat keras dan berlari ke arah pria
tua itu. Dengan lincah Weiss menangkis tombak si pria tua dan membalas serangannya
dengan sebuah hantaman pukulan di perutnya. Pria itu terhempas mundur, namun
berbeda dari orang yang dihempaskannya dengan sekali jentikan jari, dari tempat
Weiss memukul muncul puluhan es runcing yang mencuat keluar dari tubuhnya.
Seluruh isi perut pria tua malang itu pun terburai.
Orang-orang mulai berteriak ngeri dan berlari menjauh. Namun Weiss
tidak ingin mereka tetap hidup. Dalam gerakan lincah Weiss mengejar dan
menyerang semua orang yang memegang tombak di tangannya. Beberapa terburai
perutnya karena es runcing yang dimunculkan Weiss dari dalam tubuh mereka.
Beberapa lainnya mati dengan kepala pecah berantakan hingga tak bersisa.
Sedangkan yang sedikit lebih beruntung mati dengan leher patah atau muntah
darah akibat seluruh organ dalamnya hancur dihantam tinju Weiss.
Para wanita yang berusaha melarikan diri pun tak lepas dari
serangan Weiss. Dengan menggunakan mata-mata tombak dia menghantam kepala tiap
wanita, tua maupun muda, hingga hancur berantakan. Beberapa yang mencoba bersembunyi
diseretnya keluar, lalu satu persatu dia menghancurkan leher mereka dengan
sekali remas.
Darah mengalir bagaikan sari buah tomat dari tubuh-tubuh malang
yang terbunuh karena kegilaan Weiss. Saat Weiss berhasil menenangkan dirinya,
yang tersisa hanya tatapan ketakutan dari anak-anak yang tak berani beranjak
dari tempat mereka berdiri. Tak satupun dari mereka yang tidak menangis.
Seorang gadis kecil akhirnya memberanikan diri berlari ke salah satu mayat
wanita tanpa kepala. Seorang anak laki-laki mencoba menghentikannya, namun tak
berhasil. Anak gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh wanita
itu. Dia tak peduli darah mayat yang dipeluknya kini mengotori jubah putih
kulit beruang yang dia kenakan.
"Sekarang kau puas, kan?!" pekik anak laki-laki yang
mencoba menahan si gadis kecil. Tubuhnya bergetar ketakutan, namun suaranya
menolak untuk terdengar takut. Air mata mengalir deras dari mata birunya yang
menatap Weiss dengan kebencian mendalam. "Kau sudah membunuh orang tua
kami! Sekarang apa lagi!? Kau juga mau membunuhku dan adikku!?"
Weiss terdiam. Dia berusaha mengatur napasnya. Dia mengedarkan
pandangan ke sekeliling dan melihat semua orang dewasa telah menjadi mayat
mengerikan. Kini beberapa anak mengikuti si gadis kecil. Mereka memeluk
tubuh-tubuh tanpa kepala sambil terisak-isak. Beberapa mendekati tubuh-tubuh
pria yang isi perutnya terburai.
"Mama! Mama!"
"Papa! Bangun, Papa!"
"Apa yang mau kau lakukan sekarang, hah!?" seru si anak
laki-laki bermata biru. Dia mengangkat sebuah ujung tombak yang berlumuran
darah. "Kau tidak suka pada benda ini, kan? Ayo. Kutantang kau membunuhku
sekarang. Kau membunuh semua orang yang memegang tombak, kan?! Ayo! Bunuh aku
sekarang!" teriaknya. Anak itu mencoba melangkah maju, namun kakinya
terlalu gemetar untuk menopang tubuhnya. Dia terjerembab ke atas salju. Dia
mencoba bangkit, namun kembali dia terjatuh.
"Sial! Sial!" teriak anak laki-laki itu. Air matanya
kembali mengalir deras. Dia meraung-raung sambil memukul-mukulkan ujung tombak
di tangannya ke salju. "Mama! Mama!"
Weiss menatap berkeliling. Mayat-mayat orang dewasa bercampur
dengan tangisan kesedihan. Rasa kehilangan yang memenuhi udara malam. Mata-mata
para anak kecil yang memancarkan ketakutan saat melihat kepadanya. Suara-suara
mereka yang menangis sedih memenuhi kepalanya. Dadanya menjadi sesak. Napasnya
kembali memburu. Saat ini dia berharap sekali Arnold ada bersamanya. Dia
berkali-kali menciumi cincin-cincin di tangan kanannya, memanggil nama-nama
makhluk panggilannya satu per satu. Namun tak satupun yang muncul.
Lalu tiba-tiba sekelebat ingatan Weiss kembali. Dia mematung di
tempatnya. Dia melihat dirinya sendiri di diri anak-anak itu. Dulu dia sama
seperti mereka. Kehilangan keluarga oleh pasukan Ordo Preister yang sedang
berburu penyihir. Dulu dia sangat membenci pasukan itu hingga mencoba menyerang
mereka. Namun salah satu jenderalnya melemparkan tombak yang menembus telapak
tangan kanannya dan menancap di lehernya. Ingatan yang tidak ingin lagi dia
ingat, namun ingatan itu kembali saat ini. Dia menjelma menjadi serupa dengan
pasukan yang dibencinya.
Weiss melangkah mundur. Suara tangisan anak-anak yang kehilangan
keluarga terdengar semakin keras. Rasa sakit di leher dan telapak tangan
kanannya kembali terasa. Kesepian. Sendirian. Rasa bersalah. Weiss tenggelam
dalam penyesalan. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Yang
pasti dia tidak mau berada di tempat itu lagi. Dia berbalik dan segera berlari
tanpa arah.
"Raaagh! Haaaarg! Huaaaaa!!" Weiss berteriak
sejadi-jadinya. Dia berusaha mengenyahkan rasa bersalah itu. Namun pada
akhirnya rasa bersalah itu malah semakin menerkamnya. Jauh di tengah hutan
pinus yang meranggas, jauh dari desa tempatnya membantai, Weiss akhirnya
terjatuh. Dinginnya salju segera menyergap tubuhnya. Sekali lagi Weiss
tenggelam ke alam mimpi. Kali ini dia berharap tidak perlu bangun kembali.
~~~
V
Zainurma berdiri menatap sebuah bingkai dengan lukisan yang
bergerak-gerak di dalamnya. Matanya menatap serius saat melihat sesosok anak
berambut putih membantai warga yang ketakutan padanya. Dia melihat penyebabnya
adalah kegilaan sesaat si anak kecil saat melihat tombak. Sang kurator terlalu
serius menyaksikan adegan di dalam bingkai itu sampai-sampai tak sadar seorang
wanita berbaju perang muncul di belakangnya.
"Anda terlihat sangat serius, Tuan Zainurma," kata
wanita itu.
Zainurma, berpura-pura tidak terkejut, membalas dengan batuk
kecil. "No-nona Mirabelle. Kukira Anda berada bersama Sang Kehendak saat
ini," katanya.
"Tadinya begitu. Tapi kulihat ada hal menarik di sini, jadi
aku minta permisi. Siapa yang ada di dalam Bingkai Mimpi ini?" tanya Mirabelle
si dewi perang.
"Seorang anak kecil bernama Weiss Nacht. Seorang alkemis,
tepatnya meister alkemis. Dan dia bukan manusia," kata Zainurma.
"Kalau bukan manusia, dia ini apa?" tanya Mirabelle.
"Necromunculus," jawab Zainurma, "makhluk yang diciptakan
dari jiwa orang mati dan boneka daging. Aku tidak tahu detilnya, tapi dari
data-data dunia asalnya begitulah yang dikatakan."
"Dan apa yang membuat Anda sangat tertarik melihat Bingkai
Mimpi miliknya?" tanya Mirabelle lagi.
Zainurma kembali menatap Bingkai Mimpi milik Weiss.
"Entahlah," katanya, "aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin cuma
perasaanku saja, tapi aku melihat sebuah potensi dari anak ini?"
"Potensi?"
Zainurma menoleh ke arah Mirabelle. "Ah, tidak. Itu cuma
perasaanku saja. Tolong dilupakan," kata Zainurma. Dia kembali menoleh ke
Bingkai Mimpi, tidak lagi menoleh atau bahkan menganggap ada orang lain di
sampingnya. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan dia tidak mengharapkan sang dewi
perang berada di sana.
"Baiklah, aku pergi," kata Mirabelle.
Zainurma tidak menoleh. Dia mendengarkan secara seksama sampai
langkah kali sang dewi tak terdengar lagi. "Weiss Nacht, sang maut
berwarna putih," gumamnya sambil menyeringai, "kau akan melihat
banyak tombak mencuat dari tubuh Sang Kehendak, Nak."
~~~
VI
Hal terakhir yang diharapkan Weiss adalah terbangun dari tidurnya.
Meski tidur tak lantas membawanya ke dunia mimpi, setidaknya tidur membawanya
pergi dari kenyataan bahwa dia kembali lepas kendali dan membantai tanpa ragu.
Tetapi suara keras seseorang memaksanya kembali tersadar.
"Air! Api! Udara! Tanah!" Seorang pria berteriak keras
sambil mengelilingi tubuh Weiss yang mulai terasa hangat. "Selama ribuan
tahun kaum alkemis menguasai mereka, memperalat mereka demi kepentingan
pribadi. Tapi semua berubah saat Ordo Preister hadir di dunia ini."
Mendengar nama ordo yang dibencinya disebut, Weiss seketika
terbangun. Dengan cepat dia menyadari bahwa hutan pinus tempatnya pingsan kini
tidak lagi diselimuti salju. Tidak ada pepohonan meranggas. Dan yang paling
penting dia melihat sepasang sepatu bot perak berdiri tak jauh dari mukanya.
Salah satu kaki itu mengayun ke arah mukanya, tetapi dengan sigap
Weiss berguling. Setelah menjauhkan jarak dia melompat bangkit kembali. Dia
melihat siapa orang yang mencoba menyerangnya. Dan seketika itu juga dia
terkejut dan ketakutan.
"Halo, Meister Weiss Nacht. Akhirnya kita bertemu," kata
seorang pria muda berambut cokelat yang tersenyum ramah kepada Weiss. Dari
kepala sampai kaki tubuhnya berbalut zirah dari perak. Di sebelah kanannya
terdapat tombak perak yang dia jadikan sandaran badan. "Kurasa kau sudah
mengenalku, kan?"
Weiss menggeram. "Jenderal Magnus!" jawabnya dengan nada
rendah. Matanya nyalang menatap sang jenderal perang pasukan elit Ordo
Preister.
"Wah, ternyata masih, ya?" Magnus menegakkan tubuhnya
dan bertepuk tangan. "Menjadi mayat hidup tak membuat ingatan manusiamu
lenyap ternyata. Ah, bagaimana dengan tuanmu. Siapa namanya? Nigredis?"
Mendengar nama itu disebut sebuah ingatan lain berkelebat di dalam
kepala Weiss. Sosok Nigredis, sang Meister alkemis yang telah melanggar batasan
dengan membuat necromunculus bernama Weiss. Sosok itu hanya samar-samar
dikenalnya. Namun kebersamaan dengan sang Mesiter cukup untuk menganggapnya
sebagai pengganti ayah. Dan jenderal pasukan elit yang berdiri di depannya kali
ini telah merenggut sosok itu darinya.
Weiss merogoh kantung tasnya dan mengambil sebuah pisau. Dengan
cepat dia melemparkan pisau itu ke arah Magnus. Namun sang jenderal hanya
tersenyum dan menampiknya.
"Mudah sekali mengalahkan orang sepertimu," kata Magnus.
Pria muda itu tersenyum mengejek. "Pertama-tama karena alkemi tak berguna
melawan baju zirah Ordo Preister. Selanjutnya karena aku telah membunuhmu
sekali. Bagaimana kabar tangan kanan dan lehermu? Kau sengaja menyembunyikan
bekasnya, kan?"
Weiss kembali melempar pisau ke arah Magnus. Kali ini sang
jenderal menangkisnya dengan tombak peraknya.
"Sia-sia! Kau tahu aku bisa membunuhmu saat ini, bukan? Apa
kau tidak punya mainan lain?" seru Magnus.
"Diam kau!" balas Weiss. Dia melemparkan sebuah pisau
terakhir yang bisa dia dapatkan dari
dalam kantung tasnya. Seperti sebelumnya, pisau itu pun dengan mudah ditangkis
Magnus.
Magnus kembali tersenyum mengejek. "Kalau begitu giliranku,
ya?" Dia menghunus tombaknya ke arah Weiss. "Kau tahu betapa kami
membenci makhluk rendahan seperti kalian?"
Mata Weiss kembali melotot melihat ujung mata tombak yang
diarahkan padanya. Tubuhnya kembali merasakan ketakutan, dingin, dan kengerian
saat tubuhnya ditusuk tanpa ampun oleh sang jenderal.
"Nigredo, albedo, citrinitas. Rubedo, Sanctum Longinus!"
Weiss tersadar sesaat sebelum tombak di tangan Magnus sempat
menusuknya. Dia melompat beberapa meter ke belakang. "Transmutasi?"
katanya dengan bingung.
Magnus tertawa. Tombak di tangannya meliuk-liuk seperti ular
sebelum kembali ke bentuk asalnya. "Kau terkejut?" tanyanya.
"Kupikir pemerintahan Ordo Preister membenci alkemi,"
kata Weiss.
Magnus mengedikkan bahu. "Yah, anggap saja… ini adalah
anugerah yang diberikan Sang Agung, dewa kami, pada orang-orang pilihan seperti
kami," kata Magnus.
"Munafik!" teriak Weiss.
"Kau pikir bagaimana kami melakukan berbagai mukjizat itu,
heh? Transmutasi dan alkemi sangat berkuasa. Manusia bisa melakukan apapun asal
tahu bagaimana menggunakan unsur alam dengan baik. Tapi kalau berada di tangan
yang salah, itu akan menjadi sesuatu yang berbahaya. Akan lebih baik kalau kami,
abdi dari Sang Agung ini, yang menjadi satu-satunya pemegang pengetahuan
ini," kata Magnus bangga.
"Kalianlah orang-orang berbahaya itu! Kalian yang sesuka hati
mengambil harta orang lain dan membunuh siapapun yang tidak kalian sukai!
Kalian yang menculik para gadis dan memperlakukan mereka dengan tidak manusiawi
tanpa peduli usia mereka! Kalian makhluk munafik!" teriak Weiss.
"Diam kau, makhluk jahat! Kau membantai orang-orang tidak
berdosa! Untuk itu kau harus menerima hukuman dewa ini! Sanctum Longinus!"
teriak Magnus. Kembali tombak peraknya meliuk-liuk bagaikan ular. Dia
mengarahkan tombak itu pada Weiss. "Patuk dan hancurkan dia!"
serunya. Mata tombak Magnus berubah menjadi kepala ular yang melesat ke arah
Weiss. Anak kecil itu menghindar, tapi dengan gesit ular perak itu mengejarnya.
"Kau pikir produk transmutasi tak bisa dihancurkan?"
sahut Weiss yang sibuk menghindari serangan tombak suci Magnus.
"Apa? Kau mengatakan sesuatu?" balas Magnus sambil
memasang telapak tangan di telinga seolah tak mendengar sahutan Weiss.
"Ya," kata Weiss, "aku mengatakan sesuatu. Dan itu
adalah requem kematianmu!"
"Kupikir makhluk sepertimu membenci apapun yang berkaitan
dengan Ordo Preister. Dan kau menyebutkan requem?" sahut Magnus yang masih
belum beranjak dari tempatnya.
Weiss berhenti mengelak. Dia memasang kuda-kuda. Kaki kiri ke
depan, tangan kanannya mengepal. "Reverso! Nigredo, reducto! Atomos!"
serunya. Tangan kanannya memancarkan cahaya berwarna kemerahan. Tombak suci
Magnus kini hanya berjarak beberapa senti darinya. "Hancurlah dan kembali
ke asalmu, Sanctum Longinus!" Weiss melayangkan tinju bercahayanya ke arah
tombak yang mengejarnya itu. Saat tinjunya menyentuh tombak itu, saat itu pula
benda itu hancur menjadi debu perak.
"A-apa?" seru Magnus. Dia masih tak percaya, tombak yang
ditempanya sendiri dengan memakai darah ratusan anak-anak hancur begitu saja
menjadi debu.
"Masih belum selesai!" seru Weiss. Dia melompat dan
menghunjam tanah hutan itu dengan tinju kanannya yang masih bersinar. Seketika
tanah terbelah ke arah Magnus. Pria itu mencoba berlari menghindar, tapi
retakan tanah yang terbelah lebih cepat dari larinya. Magnus pun jatuh dan terhimpit
retakan tanah.
"Sial!" seru Magnus berang. Dia berusaha keluar dari
dalam tanah, tapi baju zirahnya yang berat menghalangi.
"Anggap saja kita impas, Jenderal. Kau menjadi seorang
munafik dan aku menghina kemunafikanmu," kata Weiss sambil mengambil sebuah
batu. "Nigredo! Albedo! Citrinitas! Rubedo! Petra Sarcophagus!"
serunya. Batu di tangannya berputar, menarik beragam batu yang ada di
sekeliling Weiss hingga membentuk sebuah peti batu.
"Mau apa kau dengan benda itu!" seru Magnus.
"Memberimu tiket sekali jalan bertemu dewamu," kata
Weiss. "Tangkap dan remukkan dia!" seru Weiss pada peti batu yang
dibuatnya.
Dengan cepat peti itu melesat ke atas kepala Magnus dan
menjatuhkan dirinya ke atas jenderal yang masih terjebak itu. Weiss tidak
peduli saat sang jenderal berteriak ketakutan saat ajalnya mendekat. Dan dia
tersenyum puas saat melihat darah mengalir keluar dari bawah peti batu itu.
"Sudah selesai," kata Weiss. Memakai kekuatan
penghancuran dan melakukan transmutasi sungguh membuat tubuh Weiss melemah. Dia
pun belum mendapat asupan susu sebagai sumber energi selama seharian ini.
Perlahan kantuk menguasainya. Badannya lunglai, dan dia pun tersungkur ke
tanah.
Kali ini Weiss menyerah. Apapun yang terjadi dia tidak peduli
lagi. Terserah apakah ini mimpi dalam mimpi atau kenyataan. Yang penting dia
ingin tidur saat ini.
~~~
VII
Ratu Huban melompat kegirangan. Dia baru saja melihat seorang anak
kecil melawan pahlawan munafik yang ternyata penjahat. Dia senang melihat
angkara murka dikalahkan.
"Tuan Zainurma, ujiannya sudah selesai, bukan? Kapan kita
bisa menjemputnya?" tanya Ratu Huban tidak sabaran.
"Tunggu dia bangun dulu," kata Zainurma.
Kepala Ratu Huban tampak kembang kempis. "Saya mau masuk ke
sana sekarang!" katanya dengan suara nyaring.
Zainurma mendecak. "Bagaimana kalau kau mengajak Mirabelle
saja. Ah, kebetulan dia ada di sini," katanya sambil menunjuk ke sosok
dewi perang yang baru saja datang.
"Aku sudah melihat semuanya. Kupikir sebaiknya aku tak
pergi," kata Mirabelle.
"Kenapa?" tanya Zainurma. "Kau bertugas memulihkan
peserta, kan? Rasanya pas jika kau yang pergi ke sana."
"Yang bisa memulihkan dia, berdasarkan data pengamatanmu,
adalah susu segar. Tidak ada yang lain. Dan kurasa aku tidak bisa memberikan
bantuan saat ini karena dia belum menjadi peserta," jawab Mirabelle.
Zainurma baru saja hendak membalas saat Mirabelle kembali melanjutkan
perkataannya, "Dan sebelum kau melakukan pelecehan di sini sebaiknya kau
berhenti, Tuan Kurator. Ingat kalau kau adalah pria terhormat."
Zainurma berdecak saat melihat sosok sang dewi perang pergi dari
situ. "Padahal masih ada yang harus kulakukan. Yah apa boleh buat. Akan
segera kusambut dia," katanya.
"Tuan Zainurma, aku bawa dombanya," kata Ratu Huban.
"Oh? Kau pergi ke kandang domba, ya?" tanya Zainurma.
Ratu Huban mengangguk-angguk. "Ini hadiah karena dia jadi
pemenang," katanya.
Zainurma tersenyum. "Kalau begitu aku juga punya hadiah
untuknya," katanya. Dia mengambil sebuah botol dari balik jas mewahnya.
"Itu apa, Tuan?" tanya Ratu Huban polos.
"Ini teh penghilang ingatan. Kubeli dari kedai
antardimensi," jawab Zainurma.
"Barang ilegal, kan?" tanya Ratu Huban lagi.
Zainurma hanya tertawa. "Ayo, kita masuki mimpi Weiss,"
katanya sambil mengulurkan tangan kepada Ratu Huban. Ratu Huban mengangguk dan
meraih uluran tangan sang kurator. Bingkai Mimpi milik Weiss pun berubah bentuk
menjadi gerbang. Keduanya masuk ke dalam alam mimpi sang Meister alkemis dengan
riang gembira.
~~~
Museum Semesta berguncang hebat. Mirabelle yang berdiri di depan
artefak bernama Sang Kehendak hanya diam saat melihat artefak itu mulai
membesar. Dia mendesah pasrah. "Satu lagi dunia jatuh ke dalam
tanganmu?" bisiknya. "Apa tak ada yang bisa menghancurkan benda
ini?"
~~~~~
settingnya musim dingin. salju. bisa2 kuro pingsan duluan sebelum bertanding. hahaha. ceritanya lucu. dan bisa mendalamin OC nya admin gitu? katalog OC admin dimana ya? pengen tau juga. hanya ada sdikit salah ketik. 9
BalasHapusOC: Kuro Godwill
Katalog karakter panitia ada di sini~
Hapushttp://battle-of-realms-6.blogspot.co.id/2016/02/katalog-karakter-daftar-karakter-panitia.html
Alkemis, bocah rambut putih, susu. Seikon no Qwaser?
BalasHapusDibanding Stallza 2 taun lalu, keliatannya Weiss bakal lebih friendly buat dilawan, meski saya masih ngeraba" beda 2 OC ini apa, karena keliatannya secara tema belum keliatan jelas. Tapi dengan banyak munculin Zainurma dkk, kayaknya plotnya ga jauh" dari defy the ultimate tyranny aka Sang Kehendak, ya
Nilai 8
-Keputusan untuk menyorot juga reaksi Zainurma ke Weiss ini cukup... menarik. Bisa menyajikan versi OC panitia dengan twist. Saya juga bakal pakai itu sih.
BalasHapus-Konsekuensinya, saya rasa Weiss malah jadi nggak sempat nampang terlalu banyak di sini. Porsi spotlightnya malah dibagi sama OC panitia. Pertimbangkan buat entry berikutnya: mending jangan sorot OC panitia kecuali mereka emang lagi berinteraksi sama Weiss.
-Chaotic Neutral: Typically though, Chaotic Neutral characters do whatever the hell they like and damn the consequences (unless they're too noble or hurtful, watch out for that part!). Some say they're the ultimate free spirits, others that they're just crazy. Either way, there's no telling what they'll decide to do next — their main, and often only, concern is their own freedom. Whose side are they on? It's doubted that they even know themselves. Nobody else does.
-Saya rasa, Weiss cukup mewakili deskripsi alignmentnya.
-Kesannya Weiss terlalu sibuk ngurusin musuh rendahan di sepanjang cerita, jadi porsi ngelawan true enemy-nya malah terasa singkat, LOL. tapi tetap, penampilan Weiss terasa oke dan kebayang kira-kira seperti apa kekuatannya.
Saya beri cerita ini nilai 8/10
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Mumpung tadi baca, cerita ini cukup menyegarkan dan mudah dinikmati.
BalasHapusJika dinilaikan, 8/10.
ttd
Pembaca
Apakah bisa lebih didetailkan lagi review-nya? Misal, menyegarkannya pada bagian mana dan mudah dinikmatinya karena apa. Jika tidak maka komentarnya akan dianggap tidak valid.
HapusGHOUL mampir nich. ada yang memanggil?… :=(D
BalasHapusHaha, ada adegan lucu dibayanginnya tuh OC-OC panitia. Ngena lucunya, jadi bikin gemes sendiri ama ratu bantal itu (kebetulan lagi baring-baring).
Dan sang penguasa mimpi—Ratu Huban—terbang lebih lambat darinya (em dash bukan koma2)
Prolog utamanya bagus, napa ga paling awal saja? Prolog utama OC-mu maksudnya bukan prolog OC panitia karena lebih menggigit rasanya kalo baca prolog yang lebih panas, itu lebih cocok dijadikan prolog agar pembaca langsung melek kalo baca pagi-pagi. Tapi gak apalah karena alur prolog OC panitianya singkat saja.
Blurpnya bikin penasaran. Ini kubilang lebih keren dijadikan prolog. Hm dah deh berikutnya, gaya bahasanya ringan dan ngalir, cruncy banget tuk dibaca dalam hati tentunya. Jadi ga banyak istilah ribet yang bikin mulut juga ikut lafalin dengan nada bertanya.
Story tellingnya masi polos, murni, gak ganas, mungkin OC nya penikmat susu jadinya kurang mengeksplor keganasan pada kalimatnya.
Aku beri 8 botol susu aja yah… :=(O
Entah memang disengaja atau tidak, yang jelas tanda titik bertebaran di entri ini. Lebih baik gunakan koma di beberapa kalimat.
BalasHapusDengan memasukkan chara panitia, membuat entri ini cukup bikin penasaran buat diikuti tapi sayangnya porsi dari sang MC jdi lebih sedikit. Selain itu untuk pertarungannya, terutama untuk lawan si jendral itu. Kesannya jadi kaya buru-buru buat nyelesaiin entri ini, kurang keliatan gregetnya. Mungkin bisa dinaikan lagi atensi pertarungannya ketimbang fokus bunuh manusia tak berdosa lainnya.
Nilai : 7
Mahapatih Seno
Banyak bawa barang ilegal ya ini haha. Pionir juga buat yang mau coba langsung libatin Oc panitia di entri prelimnya.
BalasHapusSetengah bagian cerita kayanya digarap dengan lebih teliti ya, karena di setengah bagian itu mau dari segi adegan keren atau karakternya kerasa lebih apik. Setengah bagian lagi, apalagi bagian akhir pas lawan Jenderal Magnus sambil bahas sebab musababnya Weiss bisa jadi sosok yang seperti sekarang ini, lumayan kerasa buru-burunya.
Tapi keseluruhan rapi, seru, dan menghibur. Pokonya entri-entri awal di prelim sekarang keren-keren deh haha~ 9/10
Oc: Namol Nihilo
Mau susu? =))
BalasHapusJalan ceritanya menghibur dengan melibatkan panitia dan memunculkan Arnold, Terra, Rubina. Karakterisasi Weiss belum terlihat, tapi sangat menarik di bagian Weiss melawan Magnus. Sama seperti komentar di atas, bagian sabab musabab terkesan terburu-buru. Padahal bagian itu sangat bagus untuk diceritakan kembali.
Saya menyukai Terra :*
Nilai 8
Merald
Prelimnya mantep juga.
BalasHapusKalau dibandingin ama yang punya Geiger tahun lalu, Weiss lebih deliver konsepnya dibanding Geiger. Ceritanya juga ga se-belibet Geiger.
Kesan saya juga kurang lebih sama sih kayak rekan-rekan di sini, Enjoyed the first half, but it goes a bit down di second half karena terlalu cepatnya penyelesaian konflik dengan Magnus. Padahal kan, Magnus adalah musuh "terbesar" Weiss yang harusnya lebih intensif pertarunganya.
Enjoyable read, jadi saya kasih 8/10 untuk entri ini. Semoga bisa bertemu Sub-OC Weiss yang cantiq-cantiq nanti u,u
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
#03 WEISS NACHT
BalasHapusBagian "air api udara tanah"-nya bikin entri yang serius ini jadi komedik untuk sesaat. Lalu untuk stempelnya ... saya kira bakal dicap beneran. Ternyata jadinya tabir magis. Dan perihal mewujudkan mimpi, sebenarnya yang nanti akan mewujudkan mimpi--mahakarya--dari tiap peserta adalah kemampuan mereka sendiri. Bukan Ratu Huban atau bahkan bukan Sang Kehendak. Itu bocoran, sekaligus koreksi, yang bisa saya berikan.
NARASI : B+
Tak ada masalah berarti. Narasi tak terlalu berat, mudah dibayangkan. Mungkin pada paragraf deskriptif saja yang terkadang terlalu banyak baris sehingga terkesan boros (beberapa akan menyebutnya sebagai Wall of Text). Kemudian, karena ini temanya masih alkimia, barangkali perlu ada sedikit-banyak penjelasan proses alkimia/transmutasi dalam dunia Weiss ini. Misal dari bahan, proses dekonstruksi, lalu energi yang dibutuhkan, proses rekonstruksi, dan semacam itu. Bisa diakali juga agar penjelasan tersebut tidak menjadi info dump.
TATA BAHASA : A-
Mungkin hanya terdapat sejumlah kesalahan. Seperti "bertumpukan", apakah kata dasarnya "tumpu" atau "tumpuk"? Maka pembentukan katanya akan berbeda. Kemudian ketepatan posisi kata ganti, misal pada kalimat ini: [Arnold membungkuk hormat. Tubuhnya berubah menjadi gumpalan cahaya yang melesat masuk ke cincin di jari telunjuk tangan kanannya.] -nya pada kata terakhir itu mengacu ke siapa? Semestinya kata ganti mengacu ke orang yang disebutkan tepat sebelumnya, berarti itu Arnold masuk ke cincinnya sendiri? Mestinya bukan, tentu. Perhatikan lagi hal seperti ini.
Lalu requem ... mestinya requiem, 'kan?
KARAKTERISASI : B+
Untuk karakter Weiss sendiri, masih belum begitu terasa karakterisasi dia selain "rage" saat melihat tombak--sebagaimana yang tertulis di lembar karakter. Namun kesukaannya terhadap susu cukup menambal karakterisasi yang bolong. Tinggal motivasi dan sejenisnya yang belum dimunculkan pada karakterisasi si Weiss ini. Di sisi lain, keempat necromunculus Weiss tampak lebih berkarakter, atau tepatnya, lebih ekspresif. Sehingga dengan kemunculan yang sedikit saja sudah menimbulkan kesan. Sedangkan untuk antagonis di entri ini, Jenderal Magnus, tak tampak megah. Hanya seperti kroco saja, kurang motivasi yang dalam. Sebaliknya, sosok anak kecil yang "menantang" Weiss malah tampak lebih berkarakter daripada si Jenderal.
PLOT DAN BATTLE : B+
Secara naratif sudah tergambar jelas setiap adegan pertarungannya. Bahkan adegan pembantaian di sini lebih hidup daripada narasi pada, misal saja, cerita Iris Lemma. Namun seperti kata komentator sebelumnya, pertarungan melawan Jenderal Magnus mungkin bisa lebih ditingkatkan lagi intensitasnya jika itu memang diniatkan sebagai klimaks dari entri prelim Weiss. Untuk plotnya sendiri, tampaknya masih lurus saja tanpa lika-liku berarti. Mungkin bisa dimunculkan dulu di bagian awal cerita tentang sosok Jenderal Magnus dan pembantaian yang dia lakukan kepada Weiss pada masa lalu sehingga ketika si Jenderal muncul kembali di klimaks terasa lebih mengesankan.
TANTANGAN : B-
Tantangan alignment-nya itu adalah "defy the tyranny", 'kan? Tirani itu lebih ke keseluruhan sistemnya. Tapi di sini, yang ditampilkan hanya seorang Jenderal saja. Jadinya terasa kurang memuaskan. Kemudian kurang ada penjelasan tentang batasan Bingkai Mimpi yang menghilangkan kemampuan spesial Weiss. Andai pembaca tidak membaca lembar karakter, mereka bahkan tak akan menyadari kalau Weiss ini ternyata hanya menggunakan kemampuan dasarnya ketika bertarung, juga bahwa Weiss sesungguhnya memiliki kekuatan seperti memento mori dan lainnya.
=================
HapusOVERALL RATE : B+
=================
Saya menyarankan agar di R1, ketika Weiss mencoba mengingat kembali inspirasi jurusnya, dia akan mengingat dulu teknik summoning Necromunculus sehingga pada babak berikutnya entri dia bisa lebih "ramai". Dan memang, keempat Necromunculus milik Weiss belum banyak beraksi di babak prelim ini.
==
Untuk prelim, semua peserta yang mengirimkan entri mendapat modal nilai 10 dari admin.
BalasHapusIni cerita enjoyable banget. narasinya mudah dicerna dan menggambarkan setting dengan jelas.
poin plus di cerita ini adalah interaksi antar sub-OC dengan Weiss itu sendiri. mereka berinteraksi dengan natural. tapi sayangnya hampir di tiap interaksi malah sub-OC nya yang mengcuri spotlight. sedangkan karakter Weiss sendiri terlihat sebagai pelengkap di awal-awal.
Porsi OC panitia cukup banyak tapi penulis berhasil misahin tiap bagian Weiss dengan bagian OC Panitia sangat baik. perpindahannya mulus jadi gak ganggu dan malah nambah nilai cerita.
Battlenya sendiri saya lebih suka ngeliat pembantaian Weiss di awal-awal. tapi battle dengan Magnus meskipun gak terlalu berkesan cukup ngeliatin bagaimana Weisss menggunakan kekuatannya. bagus buat perkenalan.
8/10
Bian Olson
Halo, salam dari sesama alkemis--tapi alkemis yang ini prelimnya cuma bisa swordfight u.u
BalasHapusSaya dah baca dari lamaa, tp bru komen. Hehe. *sungkem*
Hmm ... secara teknis narasi, yah, sama lah kayak yg di atas". Gamblang dan enjoyable. Tapi bahasanya kurang dramatis gitu ya. Kayak istilahnya gak main-main perumpamaan atau gimana. Langsung jleb cepat gitu istilahnya.
Karakternya sendiri sy kurang suka, jujur aja. Saya malah nganggepnya Weiss tipikal karakter anime yg sok cool pake segala emotionless ngeliat pembantaian. Demikian juga dgn summonnya. Kalo cewek badan bagus pasti agak mesum, yg badannya agak 'lurus' pasti pinter dan ada bocah tsundere--ngingetin ama sesuatu. Kenapa gak dituker stereotipnya. Jadi si bocah yg mesum gitu? //slapped
Battle utamanya kurang banyak dan terkesan begitu aja. ._.
Ah ga tau dah mo ngmg apa lagi. Tanpa byk cincay saya titip 8 dngan gembira :3
-Sheraga Asher
Hm...
BalasHapusBattlenya kelihatan terlalu mudah dan singkat. Meskipun Magnus ini terkesan archenemy (not that melodic death metal band) dari Weiss, dia tidak terlihat terlalu menantang, dan Weiss juga tidak terlalu menonjol emosinya saat melawan Magnus.
Meanwhile, narasinya lumayan ringan dan enak dibaca. Soal karakterisasi, cukup bagus, meski saya ragu ada bocah 12 tahun dengan pola pikir seperti ini. Pergantian pov cerita ke panitia lumayan menarik, alurnya juga cukup enak diikuti. Tapi saya rada sebel sama stereotipe karakterisasi dari para gadis summon milik Weiss~
The brat can get 8 points from me!
Asibikasshi
Susu?
BalasHapusOh well, banyak joke tentang susu di sini.. XD bikin senyum" sendiri karena aku juga suka bikin joke tentang susu *plakk
Un... aku lumayan enjoy bacanya, Narasinya juga rapi, tapi agak kecewa karena battle ngelawan musuh utamanya malah terkesan singkat, dibanding dengan saat ia membantai penduduk malah lebih seru itu kaya'nya...
From me, it's 8
Sign,
Lyre Reinn
OC : Eve Angeline
cerita yang bagus dan menarik. tapi porsi untuk Weiss terkesan dibagi rata dengan OC panitia, sehingga kesan battlenya Weiss kurang menonjol. padahal battle OC yang ditunggu para pembaca.
BalasHapusmenurutku, kehilangan inspirasinya terlalu cepat. Weiss tidur dan bangun-bangun tidak bisa memanggil summon. jadi summonnya terkesan nggak bisa dipake buat battle.
kemampuan summon si arnold yang bisa bikin gua dengan kekuatannya masih bisa dinikmati.
well, 7 dari saya. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Ide : Sangat Baik = 2
BalasHapusPlot : Sangat Baik = 2
Tingkat kemudahan di cerna : Sangat Baik = 2
Usaha : Sangat Baik = 2
EYD : Sangat Baik = 2
Tulisan ini benar-benar membuat saya iri. Bagaimana kau bisa membuat tulisan serapi dan semenarik ini?
Nilai : 10
Newbiedraft / Revand Arsend
Entah kenapa kombinasi jenis font dan gaya tulisannya bikin enak dibaca. Bukan cuma tampilan tulisannya, tapi gaya narasinya mudah dipahami.
BalasHapusTapi dialog para warga entah kenapa ada kensannya kurang natural.
Tapi ane suka sih.
----------------
Rate = 7
Ru Ashiata (N.V)
Saya ngakak sendiri
BalasHapusSuch jokes from Leader of Tavern, eh?
Tak jauh dari Susu dan montok dan gadis xD
Plus :
+ Karakterisasi
Saya suka Weiss disini. Awalnya saya kiea dia agak lebay karena bosen liat darah dan mayat, tapi baru tau kalai dia udah pernah mati dan hidup lagi. Setengah zombie, jadi emosinya juga setengah-setengah. Selain yang berhubungan langsung dengannya, sepertinya dia juga ga gitu peduli dan emang ga rasa apa-apa
+ Bahasa
Bahasanya lebih ringan ya bang, dan lebih singkat. [Bersyukur buat yang ini] ketimbang sama si Stallza di Final BoR 4L dulu hihi. Asik buat diikutin aja.
+ Cerita
Awww suka sama setting, plot dan konfliknya. Gamblang dan jelas, jadi saya ga perlu bertanya-tanya kenapa dia begini dan begitu. Dan yang terpenting saya ga perlu bolak balik untuk mengulang demi mencari maksud. Ngalir aja gitu.
+ OC Panitia
Tbh, kayaknya baru abang yang bisa dengan bagus menjelaskan porsi OC panitia itu sendiri. Jadi buat saya, itu nilai tambah tersendiri. Saya ga ngerasa OOCnya berlebihan sih, jadi good.
Minus :
- Battle
Sejujurnya saya lebih senang dan lebih asik ngikutin Weiss vs warga kota ketimbang Magnus. Yang sama Magnus buat saya terlalu singkat jadi ga sempet ngebangun tensi yang pas buat ngikutin battle-nya. Padahal harusnya Magnus jadi sorotan utama kan ya? :(
Rasanya liat kekalahan Magnus pengen bilang.. "Kau tau, tiruan ga bisa menang lawan yang asli" #plak xD
Oh ya bang, sedikit catatan, mestinya pas si Weiss berseru manggil Arnold, jangan pake koma di akhir dialog. Tanda bacanya salah hehehe. Kesannya dia berseru lempeng wkwkwk
ga ganggu tensi keseluruhan sih, cuma sempet bikin alis mengkerut aja.
SCORE :
Basic : 5
Plus : 4
Minus : 1
Total Score : 8
-Odin-
Hmmm saya suka pake banget konsep 'Servant' yang dipake Weiss untuk memanggil Arnold, Rubina, Aura dan si Susu xD
BalasHapusPenulisan pun mudah dicerna, sehingga ceritanya mudah masuk dan cukup menghibur!
Selain itu sang author menerapkan parodi yang baik, dan potensi dari cerita ini untuk kedepannya sangatlah luas.
Hanya saja mungkin masalah selera, alur nya begitu biasa saja meski banyak hiburan disana sini, termasuk pertarungannya.
Tapi tetap saja entri ini condong pada positiveness nya so nilainya 8
Walakhir
Ganzo Rashura
Saya suka interaksi Huban dan Zainurma dari awal sampai akhir! Gemas gitu, rasanya. Saya juga suka bagaimana servantnya diperkenalkan satu-persatu. Adegan pertarunganya seru, 'rapalan sihir' yang digunakan juga unik.
BalasHapus"Air! Api! Udara! Tanah!" Seorang pria berteriak keras sambil mengelilingi tubuh Weiss yang mulai terasa hangat. "Selama ribuan tahun kaum alkemis menguasai mereka, memperalat mereka demi kepentingan pribadi. Tapi semua berubah saat Ordo Preister hadir di dunia ini." <-- Pfft Avatar
9/10 dari saya
OC: Adolf Castle
Buseet, banyak joke Oppai yang bikin saya ngekeh~
BalasHapusXD
OC panitia ikut ngaso di sini ya, perannya juga signifikan,nggak cuma sekadar numpang lewat aja.
._.
Om Yatabe balik lagi pake konsep "party" dari sub OC untuk menemani sang OC
XD
Saya gak terlalu suka battle yang bak bik buk tanpa kejelasan sebab dan akibat.
Jadi untuk porsi adegan gebuk di sini, rasanya pas sesuai takaran, terlebih nggak meluber seperti susu keluar dari cangkirnya. (apasih)
Kembali teringat dengan joke Susu, saya tetiba baca komen SAM.
Seikon no Qwaser, bener juga. Weiss ini kecanduan susu.
wakakakak
Overall, saya enjoy membaca ini. Meski "party" yang terbentuk agak menyulitkan proses membaca. (IMO, cerita yang ringan itu cerita yang hanya melibatkan Prota, sidekik, sama villain aja.)
Point : 9
OC : Maria Venessa