oleh : Vector Aerial
---
Bagian 0.0
Sebuah dimensi putih tak terbatas. Sebuah dimensi di mana
sebuah pintu berada. Pintu yang di atas permukaannya terukir beberapa kalimat
samar.
Do you
desire dreams?
Or do
you fear nightmares?
What if
your sweetest dreams
are also
your very worst nightmares?
And what
if you were told to face them?
And you
can't look away from them …
You are
the Dreamers, the Reveriers,
and we
all want to see your Masterpieces
in these
little frame of your dreamland
"Tunggu. Apa yang kuinginkan dalam hidup?"
tanyaku retoris saat memaknai kalimat-kalimat itu dalam diam.
Aku tahu, aku tidak ingin apa-apa.
Akan tetapi, kenapa tanganku tetap tergerak untuk membuka
pintu itu. Memegang dan menggerakan pegangan besi si pintu secara
perlahan—menembus realita.
Seekor kambing terdengar mengembik dari kejauhan.
Aku terbangun sebagai seorang Dwi Paramadiwa..
"Awalan cerita macam apa ini?"
Aku membaca kembali berulang-ulang apa yang baru saja aku
torehkan.
Iya, aku.
Dwi Paramadiwa.
Seorang bocah sepuluh tahun yang sedang mencoba menulis
sebuah cerita. Namun kecewa dengan hasilnya.
"Kau tahu, Dwi. Jika kau ingin menjadi penulis, aku
tidak akan melarang. Akan tetapi, jangan pernah sekali-kali menuliskan salah
satu mimpimu itu ke dalam cerita. Kau dan aku sama-sama tidak ingin kerepotan
menghadapi makhluk segala rupa dari mimpimu itu 'kan?"
"Aku tahu. Maka dari itu, setelah ini, tulisanku akan
kubuang. Karena sebuah tulisan yang berawal dari mimpi adalah sebuah
kebohongan besar."
"Jadi, kamu memang menuliskan mimpimu?"
"Tidak. Bukan mimpi. Kenyataan. Maksudku, mimpi
semalam terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi. Kau tahu maksudku 'kan? Aku
dapat mengendalikan kesadaranku dalam mimpi itu."
"Kamu sudah gila."
"Memang. Aku bahkan masih mengingat seseorang berkata
tentang Mahakarya atau apapun itu."
"Yang menjadikan dirimu lebih gila lagi."
"Oleh karena itu, kawan. Orang gila ini sedang menulis
sesuatu untuk dia kenang."
"Kamu tidak akan lolos babak ini."
"Apa maksudmu?"
Dwi terdiam dengan mulut menganga. Dia menyadari sesuatu.
Selama ini, dia berbicara dengan dirinya sendiri. Ingusnya terlihat mengalir
tanpa ada halangan.
"Kok bisa?"
.
Udara musim dingin menerpa badan kecil si gadis dengan
ganas. Menerkam dan melahap tubuhnya tak tersisa.
Dwi memperhatikan nasib gadis itu dari kejauhan dengan raut
masam—membuat dia langsung mengurungkan niat untuk pergi keluar rumah.
"Udara musim dingin memang berbahaya, ya."
Dwi berguling-guling di atas kasur sambil meregangkan
badan.
Apa?
Anak laki-laki itu memang pemalas. Dia telah melupakan
ratusan kertas yang sedari tadi bersebaran di lantai.
Dwi berbaring menghadap langit-langit kamar. "Aku
tahu, cerita ini bertele-tele. Jadi, bisakah kita langsung ke intinya
saja?"
Tangan kanan Dwi mencoba menggapai langit saat ruangan
kamar itu berubah kembali menjadi sebuah dimensi putih.
Suara tepukan tangan terdengar dari segala penjuru.
Dwi berdiri kebingungan mencari sumber suara itu.
.
Bagian 0.5
"Jadi," Paman Nurma berdecak. "Bagaimana kau
menjelaskan anak kecil seperti dia bisa masuk ke dalam daftar reverier kita,
Ratu Huban?"
"Sssttt... jangan berisik."
Aku mendesis sambil mendorong tongkat permenku ke arah
mulutnya. Sedikit berharap dia diam dan sedikit lagi tidak marah. Aku tidak
ingin diganggu ketika melihat bocah imut itu bermimpi. Tapi, kemarahan Paman
Nurma tidak dapat dibendung.
Aku merasakan aura pembunuh mulai terpancar dari Paman
Nurma.
"Aku bertanya sekali lagi, Ratu Huban."
Nada suaranya mengeras.
"Kenapa harus dia?" dengan penekanan yang
menyeramkan—yang malah terdengar dibuat-buat.
Aku mengkerut karena terganggu.
Aku harus segera menjawab sesuatu.
"Karena... dia punya mimpi yang menarik?" balasku
sekenanya.
.
Bagian 1.0
Bocah itu berdiri di sana cukup lama. Berdiri memandangi
seseorang yang telah lama tidak dilihatnya. Ada perasaan campur aduk yang
muncul dalam setiap perkataan yang akan dia ucapkan.
"Guru? Kenapa kamu kembali? Lebih tepatnya, kenapa
kamu bisa berada di sini? Ini mimpiku—tidak. Aku kira guru sudah mati saat
melawan mereka. Bagaimana mungkin?"
Dwi memukul kedua buah zakar orang yang ia sebut guru
itu—membuat sang guru bersimpuh, lalu memeluknya. "Aku merindukanmu,
Guru."
"Aku juga..."
Aerith sempat mencoba membalas pelukan Dwi sebelum dia
kehilangan kesadaran karena menderita rasa sakit yang sangat hebat.
"...pukulanmu tambah kuat, ya."
.
Bagian 1.5
"Dilihat dari penderitaannya, aku rasa pilihanmu itu
tidak menahan sama sekali pukulannya, ya, Ratu Huban."
Aku menggosok-nggosok pangkal pahaku. Berharap tidak
membayangkan rasa sakit yang orang tua itu rasakan dan sedikit mengerti apa
maksud dari perkataan Paman Nurma barusan.
"Ng? Kenapa Paman masih ada di sini?"
Paman Nurma tersenyum ramah mendengar pertanyaanku.
"Mari kita berandai-andai. Seandainya aku mempunyai
kemampuan untuk berpindah dimensi, apakah aku masih ada di sini, Ratu
Huban?"
"Jawabannya tidak."
"Ah, aku mengerti," balasku singkat. Aku tidak
mengerti.
.
Bagian 2.0
Terlihat Aerith sedang mengeluarkan sesuatu dari balik
setelan jasnya. Benda itu tidak terlalu besar dan hanya terlihat seperti
penggaris yang terbalut kain. "Bukalah."
Dwi menerima dan membuka bungkusan itu secara perlahan.
Sebuah tongkat besi dengan satu ujung bintang kecil.
Dwi terkesima melihat kehitaman benda itu dan bentuknya
yang mirip tongkat peri.
"Menendi." Aerith membacakan tulisan yang ada di
gagang tongkat itu kepada Dwi, lalu menegaskan, "Buatmu."
Dwi menunjuk ujung tongkat itu, "Apakah bintang ini
tajam?"
"Tentu saja."
"Bolehkah aku menusuk guru dengan tongkat ini?"
"Tentu tidak."
Aerith pun tertawa. Dia memang suka bercanda, tidak seperti
muridnya. Karena Dwi mulai mencoba menusuk dirinya dengan bersungguh-sungguh.
"Hei, hei. Pelan-pelan. Hahaha..."
Dwi mengayunkan senjatanya ke kiri dan kanan, atas dan
bawah, menusuk berulang-ulang. Dia berusaha mengenai atau setidaknya menggores
Aerith yang terus menghindar.
"Berhentilah tertawa!" Dwi geram. Tawa Aerith
mulai terdengar menyebalkan—dan akan terus bertambah.
"Ayo maju, muridku!"
Aerith menantang Dwi sambil memainkan kakinya.
.
Bagian 2.3.
Di sisi lain, Paman Nurma terlihat tidak tertarik dengan
cerita seperti ini. Dia telah menguap berkali-kali sambil sesekali memandangi
arloji emas miliknya.
Hmmm... Aku rasa tingkat kebosanannya telah sampai pada
titik hilangnya keberadaanku.
Aku harus melakukan sesuatu untuk membuat cerita ini lebih
menarik.
Aku harus pergi.
.
Bagian 2.8
Aerith dan Dwi masih terlihat melakukan 'tarian' mereka
saat sebuah gempa besar terjadi. Sebuah gempa yang menggoyahkan pijakan mereka
berdua. Retakan muncul dari mana-mana.
"Apa yang kamu lakukan, Guru?" tuduh Dwi saat
sebuah retakan cukup lebar muncul. Sekejap, sebuah tentakel mencengkram kakinya
dari belakang. "Apa—"
Aerith terlempar ke udara.
.
Dimensi putih tanpa batas itu mulai terlihat batasnya.
.
Bagian 3.0
"Apa? Bagaimana mungkin?" Zainurma terlihat tidak
percaya akan apa yang dia lihat. Dia nyaris terjatuh bersama kursinya.
"Perubahan sedrastis dan secepat ini belum pernah terjadi
sebelumnya."
Ratu Huban memperhatikan dengan terpesona. Dia tidak tahu
apa yang harus dikatakan. Dia memang ingin melakukan sesuatu, tapi bukan ini,
bukan sesuatu yang semenakjubkan ini.
"Tentakel!" Ratu Huban meloncat kegirangan.
.
Sebuah dimensi putih yang dulunya tanpa batas kini mulai
kelihatan batasnya. Setiap celah, setiap sudut, bermunculan retakan hitam yang
mengeluarkan ribuan tentakel hijau berlendir.
Aerith membopong Dwi yang baru saja mendarat tidak sadarkan
diri sehabis diterbangkan oleh salah satu tentakel itu.
"Cthulhu," bisik Aerith. "Sang pemilik nama
yang tidak boleh disebutkan; Dewa laut dan gurita. Kenapa dia bisa berada di
sini?"
Ribuan tentakel merayap keluar dari retakan hitam yang
menyebar ke suatu arah. Sebuah titik di mana tentakel demi tentakel bersatu
membentuk wujud seorang manusia.
"Guru..."
Perhatian Aerith teralih kepada Dwi yang mulai sadar.
Tangan kecil itu meraba rambut keriting gurunya.
"Maafkan aku, Dwi. Tapi aku harus pergi. Perutku
mendadak sakit. Aku perlu ke kamar mandi."
Aerith berlari meninggalkan Dwi Paramadiwa sendirian.
.
Bagian 4.0
"Pengecut," Paman Nurma berkomentar. "Aku
pikir ada apa. Kalau drama begini, seharusnya sebuah tentakel langsung menusuk
punggung mereka berdua sekalian. Menembus jantung dan membunuh mereka saat itu
juga."
"Ssssttt... Dwi sedang berbicara."
.
"Siapa kamu?" tanya Dwi kepada orang di
hadapannya.
"Cthulhu."
"Cerutu?"
"Cthulhu."
"Cetulu?"
"Nyaris benar. Cthulhu."
"Ah. Celutu."
"Cthulhu."
"Ketulu?"
"Cthulhu."
"Situlu?"
"Cukup!" si monster hijau mulai memerah.
"Bagaimana jika kita bertarung?"
"Ide bagus!" Dwi menjetikan jari. Dia berteriak,
"Guru!"
Rupanya, di luar pengawasan siapa-siapa, Aerith telah
mengeluarkan tongkat sihirnya. Merapal ribuan mantra, membuat gelombang sihir
destruktif yang cukup besar bergerak ke arah Cthulhu yang tidak sempat
menghindar.
Cthulhu hancur saat itu juga.
.
"Hei, hei, hei, Ratu Huban!" Paman Nurma
mengganggu. "Apa kamu tidak salah menandai reverier?"
"Ng? Tadi Paman bilang apa? Aku pikir tadi aku
mendengar Paman mulai keluar dari karakter, deh."
"Kenapa kamu tidak memilih gurunya saja? Dia lebih
hebat 'kan?"
Jika kekuatan adalah satu-satunya penentu memilih para
pemimpi, maka akan lain cerita. Jadi, "Mudah! Impian dia tidak semenarik
muridnya."
"Apa maksudmu?" Paman Nurma tidak mengerti.
Aku menyodorkan tongkat permenku ke arah mulutnya sebagai
tanda kasihan. "Diam dan jilat saja."
.
Bagian 5.0
"Gegewepe," ucap Dwi sambil membersihkan kedua
telapak tangannya. "Aku pikir dirimu beneran kabur, Guru. Tapi setelah aku
mendengar leluconmu yang tidak tepat itu. Aku tahu, dirimu pasti merencanakan
sesuatu."
"Iya," Aerith menambahkan. "Aku merencanakan
bagaimana caranya bisa kabur darimu," lalu tertawa.
"Berpelukan?" Dwi menawarkan diri.
"Tentu saja!" Aerith tidak berani menolak.
Dan sepasang guru-murid itu berpelukan. Canggung, memang.
Karena sebuah tongkat besi terletak di antara mereka.
"Jangan coba-coba," Aerith bergidik ketakutan.
Dia tidak dapat melepaskan pelukannya. Peluh mulai mengalir lambat.
"Tentu saja tidak," Dwi tersenyum. "Aku
tidak akan coba-coba lagi."
Darah hangat mengalir di atas permukaan bidang putih yang
mulai berubah menjadi merah. Aerith jatuh tak bernyawa.
Dwi mencabut menendi dari dada mantan gurunya itu. Mengusap
darah yang masih menempel menggunakan kaosnya. "Woi, Nurma! Huban! Kemari
kalian! Jemput aku!"
Dwi, sekali lagi, berteriak ke udara kosong.
Kali ini dengan sebuah tujuan.
.
Dwi Paramadiwa menatap keluar bingkai seakan-akan dapat
melihat sesuatu yang mengatur semesta kecilnya.
"Pembenci," sebuah kata terselip keluar dari
mulut Zainurma tanpa sadar sebelum meninggalkan ruang pengawasan bingkai mimpi
dengan tergesa.
Ratu Huban mengikuti Zainurma di belakang dengan ceria.
.
"Tangkap ini!" Ratu Huban melemparkan seekor
kambing dari kejauhan. "Selamat kamu telah menyelesaikan tugas!"
"Aku tahu," Dwi tersenyum bangga. "Jadi,
kapan kita akan berjalan bersama menuju matahari yang tenggelam?"
-Terkadang, saya bingung ceritanya disorot pakai sudut pandang orang pertama atau orang ketiga.
BalasHapus-Terlalu terburu-buru. Semakin ke bawah, satu bab isinya semakin sedikit. Deadline masih panjang, seharusnya kamu bisa mengembangkan dulu ceritanya.
-Pertarungan yang seharusnya jadi fokus utama cerita diselesaikan terlalu cepat.
-Bahkan di bagian orang pertama pun karakterisasi Dwi tidak disajikan kuat.
Nilai: 6/10
Fahrul Razi
OC: Anita Mardiani
Ini contoh tulisan yang saya pikir penulisnya ga peduli apa pembaca bisa nangkep ceritanya atau ngga, kayak koki masak makanan tanpa mikir apa ini bakal enak di lidah atau gampang dikunyah
BalasHapusPoin" teknis udah disebut king di atas, kayak pace terlalu ngebut, nol karakterisasi, dan pov pingpong tanpa batas jelas. Ok, saya nangkep ada Dwi, ada gurunya Aerith, ada Cthulhu numpang lewat, ada pertarungan sebentar, terus selesai gitu aja. Tapi di akhir kesimpulan yang saya dapet, jujur cerita ini agak pointless
Nilai 4
[Triggered]
HapusSejujurnya saya agak bingung dengan sudut pandang yang di pake di cerita ini, juga, menurut saya alurnya terlalu cepat, terlalu terburu buru, entah karena auth nya ingin cerita nya cepat selesai atau bagaimana saya tidak tau, yang jelas terlihat adalah alurnya, terbukti dari cerita di per bab nya, sangat singkat.
BalasHapusPoint : 5/10
Adam Ranang Maheza
OC : Arisato Shirogane (Yuusha)
Sebenarnya, kalo mau ditelaah, cerita ini bisa dibilang unik.
BalasHapuskarena beberapa fitur macam nulis dream journal itu, menurut saya menyiratkan akan si pengarang yang mencoba mecahin dinding keempat. Walau sayangnya gagal untuk terlaksana.
Saya nggak akan membahas tentang PoV, alur, dst, karena sudah diwakilkan komentator di atas sana.
I'm not gonna apply salt to the wound. Let the scar be a grim reminder, that throwing a storyline isn't just about boasting what inside your mind. But it's about how you shape other people's mind.
OC : Venessa Maria
Mungkin Anda (author) tahu apa itu genre tulisan surealisme? Layaknya lukisan, surealisme itu genre yang jalan ceritanya dilebih-lebihkan, gak masuk akal, gak ada logika, fantasiyah. Namun anehnya, cerita seperti itu adalah cerita yang sangat menarik (bagi saya).
BalasHapusSaya menangkap, Anda, mencoba menulis tulisan surealisme. Namun, tbh, cerita Anda masih jauh untuk bisa disebut tulisan surealisme.
Jadi, saya menyarankan, mungkin Anda harus membaca beberapa karya-karya tulisan surealisme. Contohnya yang saya rekomendasikan adalah buku "Cerita Buat Para Kekasih" karya Agus Noor. Itu adalah buku kumpulan cerpen-cerpen surealis ciptaannya. It's worth your time to read it.
Cheers!
Nilai 5
OC: Alexine E. Reylynn
GHOUL (menatap iba): “Hm… kuharap bocah ingusan kayak gini ga bakal kutemui di battle nanti. Kasian doi…”
BalasHapusSHUI (mencibir sinis, hendak mengeluarkan calon-calon kritik pedasnya): “Prolognya tuh kurang ‘menghasut’ jari ini untuk berguling sampe ke bawah, padahal kan semakin keren sebuah prolog maka rasa penasaran aku dan kamu juga semakin haus menggali ampe ke bawah, mencicipinya hingga tak tersisa. Napa kayaknya pov nya diganti-ganti tak karuan gitu? Kadang orang ketiga eh di putaran berikutnya orang pertama lagi. Napa bukan pake pov-1 aja yang kon-sis-ten tuk pemeran Huban n Dwi?! Lebih enaknya ya pake pov-3, biar stabil. Entri ini juga bertele-tele, alurnya lamban hingga bisa jadi ada yang boring baca awalnya n buru2 scoll ke konflik. Kuharap konfliknya ga ngecewain, Dwi! Oh, iya! Aku juga bisa merasakan kebosanan Zainurma n aku lega ia berangkat untuk membuat cerita ini menjadi lebih menari. Hm kita lihat saja nanti…” (namun pada akhirnya, dengan kecewanya ia nge-close entri ini begitu membacanya ampe ending. Masih untung ampe ending!)
GHOUL: “Jangan getu, Shui! Kasian kan Dwi-nya? Mana perasaanmu hingga bisa berkata sepedas itu ama anak kecil?! (menatap Dwi) Gak usah dimasukin ke hati! Orangnya emang getuh, mulutnya tajam. Belajar lagi ya, Dwi, soal membuat prolog yang lebih menggigit. Alur n konfliknya juga perlu dipertajam untuk menjaga jangan sampe ada pembaca yang boring. Hahaha, tapi aku berhasil terhibur kok melihat adegan begitukah caranya melepas rindu pada si guru? Sadisnya kebangeten deh nih anak. Dasar murid durha—”
SUNNY (atas nama hukum EYD n tata bahasa—tipe orang yang taat hukum): “’Kawan’ sebagai kata sapaan diawali huruf besar, ya! Kebanyakan enter-nya, padahal satu kalimat pendek-pendek itu bisa digabung menjadi beberapa kalimat dalam satu paragraph, jika masi membahas soal yang sama.”
GHOUL: “Kalo Shui kasih 6 saking bad moodnya dy itu. Tapi Sunny kasih 7 karna ga banyak typonya. So 6 atu 7 ya yang lebih berat? Sebagai ketua OC, kami kasih 7 ajah deh karna ada lucunya dikit. Tapi kalo lucunya banyak juga ya tetep 7 ajah deh…”
:=(O
Cerutu? Celutu? Cecurut? memang susah ngucapinnya dari dulu hahaha
BalasHapusoke langsung saja review dikit dari saya. untuk lebih mengerti isi tulisan ini saya butuh membacanya kedua kalinya. Dwi tiba tiba punya kemampuan untuk menjelajah dunia mimpi, kemungkinan karena telah ditandai ya? lalu gurunya datang bawa tongkat sihir. Ada tentakel muncul!! malah gurunya lari. Ternyata gurunya lari karena sihirnya ternyata butuh delay yang sangat panjang sampai beberapa chapter tulisan. Dwi membelikan waktu untuk gurunya merapal dengan bercanda dengan cthullu (ini bener kan?) dan.... blast.
menarik
Semua karakternya sadar kamera ternyata
minus
1. PoV nya berganti ganti antara Ratu Huban (yg malah kerasa hampir OOC) dan 3rd person
2. pemisahan bagian dengan chapter kayaknya ga perlu. pisah aja pakai garis --- atau bintang ***
3. hubungan murid sama gurunya masih ga jels sih. atau malah di babak ini gurunya dibunuh?! trus ga main di babak selanjutnya? entahlah
4. Kill when necessarynya ga dapet
tapi overall saya dapett gaya bertarungnya (kalo gurunya masih idup sih), dimana ini yg menjadi penting di entri ini
nilai 7 dari saya
Adik kecil jangan nakal ya nanti kalo sudah keluar dari bingkai hihi... jadi pengen peluk juga //pedolu
OC: Zia Maysa
Ada hal bagus di dalam cerita ini kalau menurut saya, unik, tapi sayang pengerjaannya kurang maksimal. Pergantian PoV-nya sayang banget padahal bisa diperjelas lagi, dan biasanya itu nyambung juga ke pergantian setiap fokus cerita. Adegan-adegannya kerasa buru-buru dan banyak pr buat pembaca (ada apa dengan guru, Ctulu, dan Dwi sendiri). Tapi semoga Dwi tetep bisa lolos dan jelasin itu semuanya di R1. 7/10
BalasHapusOc: Namol Nihilo
^ sama seperti abang di atas, semoga Dwi bisa lolos untuk menjelaskan
BalasHapusSetelah membaca beberapa kali dan membaca komentar dari Fai, akhirnya aku tau kalau tulisan kamu menarik. Perlu belajar untuk membuatnya semakin menarik dan dimengerti banyak orang.
Ratu Huban dan Zainurma sedang menonton Dwi dan gurunya, kan?
Menurutku Dwi dan gurunya punya hubungan yang unik, mereka ini saling mengasihi atau apa. Lalu Gurunya ini mengajari Dwi apa. Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab Dwi. Semoga lolos
Nilai 7
Merald
Ini murid sekaligus bocah yang kurang ajar, gurunya kenapa bisa takut banget sama si dwi?
BalasHapusSebenernya entri ini lucu ko, meskipun saya kebingungan awal-awalnya.
Adegan peradegan itu bener-bener singkat, saya ga tau itu bingkai mimpinya si dwi kaya apaan, maksudnya latar. Apa cuma tempat putih yg retak stlah muncul cthulhu jdi ada ijo2nya?
Terus juga apa anak2 zaman itu ky dwi semua? Kacau kalau gitu. Gak imut sama sekali.
Gak banyak yang bisa dikomentarin sebenernya soalnya udah terwakilkan sama komentator sebelumnya.
Jadi saya cuma bisa kasih saran dengan dua kata : YANG JELAS.
Yang Jelas pengkarakterisasiaanya.
Yang Jelas plotnya
Yang Jelas hal lainnya dalam menulis.
Sekian
Nilai : 5
Mahapatih Seno
cecurut itu mengingatkanku pada 'the hash slinging slasher' hanya satu bagian itu yg agak menghibur
BalasHapusjujur gw gk nangkep apapun dr entri ini selain monster gurita, secepat dia muncul secepat pula dia hancur.
biasanya klw isinya gak sanggup ditangkap, gw langsung skip hingga ke adegan battle, namun... ya sudahlah, battlenya mengecewakan
nilai: 5
oc: Samara Yesta
Hmm, entri ini bikin saya mixed banget.
BalasHapusDi satu sisi, entri pendek ini mencoba sesuatu yang baru, tapi di satu sisi ini terlihat seperti tulisan yang kurang niat.
Menyampaikan ide dan konsep dengan kata-kata yang terbatas, apalagi di bawah 2000 kata itu menantang (karena di sini kelihatannya kisaran 1500) dan kalau berhasil itu luar biasa.
tapi sayangnya di sini tidak berhasil.
Jujur, ini lebih terlihat seperti entri yang digeber terlalu terburu-buru, padahal pas entri ini dikirim, saya ingat kalau tenggat waktu masih lama sekali.
Jadi gimana ya, saya ga mau banyak komentar lagi.
Nilai 7/10 karena berusaha menyampaikan pesan dalam keterbatasan kata (dalam kasus ini, di bawah 2000)
Keep writing, saya melihat potensi penulis surrealisme dan parodi yang bagus dalam diri anda.
Salam Perjuangan dari Enryuumaru, Mbah Amut sedang tidur tidak mau diganggu.
Dari beberapa komentar yang kubaca buat bikin pesimis untuk ngecek entry ini awalnya hehe...
BalasHapusTapi ternyata setelah baca, ga begitu buruk kok.... memang alur dan sudut panjangnya rada ga kumengerti tapi pesan yang disampaikannya dapet kok.
Selain itu komedinya juga berhasil, cukup terhibur sih, komentar lainya sudah disampaikan beberapa kali diatas komentar ini.
Nilai akhir 6
Ganzo Rashura
#04 DWI PARAMADIWA
BalasHapusSetelah baca entri ini, saya masih belum menangkap apa maksud dari judul cerita "Gakuku" itu ._.
Banyak yang bisa dikomentari dari entri yang singkat ini, ternyata. Saya berterima kasih karena syair di pengumuman ternyata dipakai sebagai pembukaan entri Dwi ini. Ada sentuhan breaking the 4th wall juga walaupun belum mengena secara maksimal.
NARASI : B
Barangkali dari segi inilah entri Dwi masih terlihat bagus. Saya melihat narasi yang kamu bawakan sudah baik, sudah mampu mendeskripsikan apa yang terjadi dalam cerita. Tidak berantakan. Kamu punya modal yang baik di sini. Saya melihat ada usaha untuk menggunakan POV yang berganti-ganti. Mungkin belum maksimal tapi usaha ini sudah di arah yang baik. Kekurangan terbesarnya adalah masalah detail cerita. Saya merasakan detail di narasi sangat kurang. Sesuatu yang bisa sangat dramatis, seperti adegan pertarungan, malah terasa seperti biasa saja dengan narasi yang sambil lalu seperti ini. Begitu pula dengan settingan tempat yang kurang menarik (dan kurang jelas). Padahal peserta diberi kebebasan untuk menyajikan apapun yang berasal dari semesta tiap OC. Seharusnya setting tempatnya
TATA BAHASA : C+
Banyak yang bisa diperbaiki dari sini. Pertama, efektifitas penggunaan 'dialog tag'. Misal pada kalimat ini ["Tunggu. Apa yang kuinginkan dalam hidup?" tanyaku retoris saat memaknai kalimat-kalimat itu dalam diam.], kalimat pada dialog tag malah redundan. Itu pengulangan yang tidak efektif, menurut saya. Andai semua sudah cukup disampaikan dengan dialog, tak perlu ditambah keterangan seperti 'secara retoris', atau 'dalam diam'.
Pada rangkaian dialog juga terkadang tidak jelas siapa yang berbicara. Nah, kalau untuk ini, dialog tag akan sangat membantu untuk memberi tahu ke pembaca siapa yang sedang berbicara. Kecuali kalau sudah jelas siapa yang berbicara (misal dari gaya bicaranya yang khas), maka dialog tag boleh dihilangkan. Contoh ini:
["Mari kita berandai-andai. Seandainya aku mempunyai kemampuan untuk berpindah dimensi, apakah aku masih ada di sini, Ratu Huban?"
"Jawabannya tidak."
"Ah, aku mengerti," balasku singkat. Aku tidak mengerti.]
Baris dialog kedua dan ketiga itu, saya pikir, merupakan dialog dari Ratu Huban sebagai narator POV1. Mengapa harus dipisah antara ["Jawabannya tidak."] dengan ["Ah, aku mengerti,"]? Sepengalaman saya, jika sudah ada dialog bertanda petik yang baru, maka itu adalah dialog dari karakter yang berbeda.
Lalu pada rangkaian dialog ini:
["Apa yang kamu lakukan, Guru?" tuduh Dwi saat sebuah retakan cukup lebar muncul. Sekejap, sebuah tentakel mencengkram kakinya dari belakang. "Apa—"
Aerith terlempar ke udara.]
Siapa yang terlempar?? Tentakel itu mencengkeram kaki siapa? Ingat juga kalau kata ganti itu (di sini adalah -nya) akan mengacu ke karakter yang ada sebelum kata ganti tersebut.
Masih banyak yang bisa dikomentari dari tata bahasa saja. Namun sebagian besar sudah disinggung oleh komentator lain.
KARAKTERISASI : C-
HapusInilah yang mungkin paling perlu dibenahi. Turnamen OC adalah tentang bagaimana OC dari tiap peserta bisa bersinar. Jadi, tentu saja karakterisasi adalah hal yang mutlak digali. Dan bukan hanya karakterisasi dari OC sendiri yang perlu diperhatikan, melainkan juga dari sub-OC yang menyertai dia, ataupun lawan-lawan dari si OC. Bahkan OC panitia pun, jika dimunculkan, harus sesuai juga karakternya. (Kecuali memang sedari awal niatnya memang untuk OOC).
Trik untuk karakterisasi ini juga terkait dengan narasi. Jika kamu kurang memberikan tempat di narasi untuk hal seperti ini, tentu jadinya hambar. Perhatikan juga logika interaksi dari tiap karakter. Hubungan seperti apa memangnya yang membuat seorang murid bisa langsung menyerang biji gurunya? Lalu apa tujuan dari Dwi menikam si guru? Pembaca butuh lebih banyak informasi mengenai ini.
PLOT DAN BATTLE : D+
Belum tampak ada battle yang layak disebut "battle". Bayangkan kamu sebagai penonton pertandingan tinju. Tentu kamu mengharapkan ada duel yang seru, kan? Bukan berarti tak boleh ada duel yang selesai sekali serang. Itu tentu saja boleh terjadi. Masalahnya adalah cara penyampaian ceritanya sehingga 1 Hit KO itu masih tetap terasa "wah" bagi pembaca.
TANTANGAN : D+
Saya sendiri tidak tahu persisnya tantangan seperti apa yang dimaksud oleh penulis. Saya membaca entrinya dan menganggap bahwa ini masuknya ke "Necessary Kill" karena tidak ada unsur "Defy the Tyranny" ataupun "Street Justice" di sini. Ada adegan membunuh, makanya saya masukkan ke "Necessary Kill". Tapi itu pun tidak dibawakan dengan baik di entri ini, seperti kata komentator sebelumnya. Lalu mengapa dombanya jadi kambing? ._.
=================
OVERALL RATE : C
=================
Saran saya, kamu coba rangkum dulu poin-poin apa yang hendak kamu munculkan dalam ceritamu. Kamu susun urutannya sesuai kronologis cerita yang kamu inginkan. Terakhir barulah kamu kembangkan poin-poin itu menjadi narasi yang utuh dan menarik. Kadang kalau menulis secara autowriting, hasilnya bisa sangat berantakan.
Saran saya yang kedua, jika kamu masih berniat lanjut ke babak utama BoR6, lengkapi persyaratan kuota review ke 10 peserta lain. Lalu tambahkan juga dengan membaca dan mereview sebanyak-banyaknya entri lain di luar entri wajib review.
==
Untuk prelim, semua peserta yang mengirimkan entri mendapat modal nilai 10 dari admin.
hmm...masih nggak paham knp gurunya dibunuh tiba2, dan mbunuhnya bgtu aja tanpa ada perlawanan berarti. sudah baca dua kali tp masih bingung. dan dwi langsung kenal sama zainurma dan ratu huban? apa mereka pernah bertemu sebelumnya?. hmm..7
BalasHapusEntrinya pendek ya? berapa kata ini? ini potensi buat bagusnya ada banget sih. aku bisa ngeliat alurnya. cuma cara eksekusinya yang susah dicerna, ganti-ganti pov, part yang terlalu pendek bikin potensi ceritanya terbuang percuma.
BalasHapusGurunya dibunuh karena di awal Zainurma sama Ratu Huban itu mau bikin gurunya jadi peserta. bener gak?
Cthulhu kalo gak one-hit-kill bisa dibuat jadi Battle yang menarik. duet gurunya dengan Dwi buat ngalahin monster itu (males nulis namanya :p ) bisa jadi pertunjukan buat ngenalin kemampuan Dwi dan nunjukin hubungan sama gurunya pada pembaca.hingga nanti saat gurunya dibunuh ada kesannya. gak kosong kyk gini.
sayang sih, saya kasih 6/10, mudah-mudahan di ronde selanjutnya bisa lebih serius. semangat!
Bian Olson
Ini...
BalasHapusEntah saya bingung mau mulai dari mana. Mungkin dari potongan bab dulu, ini harusnya cerpen kan, bukan potongan bab puisi kontemporer?
lalu dari alurnya, lompat-lompat bikin bingung, lagi di mana dan ngapain saya gak nangkep. Soal titik pemisah di antara paragraf itu juga gak perlu, karena ini bukan komentar facebook. Pace terlalu cepat, ini menurutku masih bisa diolah kalau kau gak terlalu buru-buru nulisnya (not that I have the right to talk).
Well, semoga saja kau bisa lolos dan kita sama-sama belajar memperbaiki tulisan~
This pitiful brat can only get 5 points from me, sorry.
Asibikaashi
fail breaking 4th wall
BalasHapussaya ga ngerti sebenernya yang ngePoV1 itu dwi atau ratu huban... yang saya tangkap itu sebenernya kayak penulis jadi "Dwi" kayaknya. alur juga berantakan. pacenya.. terlalu ngebut
konsepnya sebenernya bagus, tp eksekusinya harus diperbaiki lagi
4
dukun bajingan
well, ceritanya terlalu singkat dan POV yang terlihat berantakan. kalo penulis tidak terobsesi pada urutan entry, mungkin bisa dikembangkan lagi yang lebih baik.
BalasHapuskalo bisa dijabarin lebih bagus lagi, nilainya bisa aja 9. tapi karena ulasan saya di atas, saya kasih nilai 5. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Ide : Baik = 1.5
BalasHapusPlot : Kurang baik = 0.5
Tingkat kemudahan di cerna : Lumayan = 1
EYD : Lumayan = 1
Usaha : Baik = 1.5
Nilai : 1.5 + 0.5 + 1 + 1 + 1.5 = 5.5
Karena tidak boleh pakai koma jadi di Roundup
Maaf, sepertinya semua kritik dan saran sudah di babat oleh penulis lain.
Tetap semangat.
Nilai : 6
Newbiedraft / Revand Arsend
Hmmm... gakuku artinya apa?
BalasHapusAlur ceritanya sudah bagus sih, cuman ceritanya terlalu pendek jadi gak di eksplor secara maksimal. Povnya agak aneh, saya malah baru nyadar pov siapa di akhir-akhir.
Saya kasih nilai 7 aja dulu, tetap semangat.
Maaf kalau kurang berkenan.
Raditya Chema | Zauber Magi
Hmmm... gakuku artinya apa?
BalasHapusAlur ceritanya sudah bagus sih, cuman ceritanya terlalu pendek jadi gak di eksplor secara maksimal. Povnya agak aneh, saya malah baru nyadar pov siapa di akhir-akhir.
Saya kasih nilai 7 aja dulu, tetap semangat.
Maaf kalau kurang berkenan.
Raditya Chema | Zauber Magi
Uh, sejujurnya saya akan sangat jahat komen ini disini.
BalasHapusSebelumnya, atas semua kritikan saya, saya minta maaf.
saya langsung saja
Plus :
+ Konsep AWAL
Awalannya bagus, suka sama kondisi dia sadar itu mimpi. Hahahaha
Minus :
- POV
Tadinya saya nangkep, semua POV adalah dari Ratu Huban. Awalan si "Aku" yang lahir sebagai [Dwi] juga aslinya adalah Ratu Huban. Sorry kalau salah, karena itu yang saya tangkap dengan meraba-raba cerita ini.
- Karakterisasi
OOC. Oke, kalau Dwi adalah pribadi yang malas, saya maklum, tapi buat saya, OOCnya Ratu Huban agak keluar batas. Meski OOC adalah something invetable, tapi tetep aja ga pas. Tbh yang lebih banyak ditonjolkan disini adalah Ratu Huban, alih-alih Dwi itu sendiri. Entahlah, mungkin karena mindset POV yang saya tanam dari awal.
- Dialog
Ada beberapa dialog yang ga jelas siapa yang ngomong. Bukan nggak boleh. boleh, tapi jangan overdosis. Seorang editor yang kerja di penerbitan pernah memperingatkan saya soal ini sih, jadi saya sampaikan ke kamu. Ngobrol sama diri sendiripun, salah satu dialognya bisa di-italic kok. [Sayang saya ga paham gimana bikin italic di komen]. Kasarnya, saya lebih baik liat naskah teater yang dialognya on-point nunjuk ke siapa.
- Konflik, Battle, dan Keseluruhan cerita
Saya bingung, karena saya liat di atas ini Necessary Kill, tapi masih ga ngerti kenapa dia bunuh gurunya sendiri, padahal dijelaskan kalau gurunya kemungkinan mati [atau hidup] di luar alam mimpi. Tapi ga dijelaskan kenapa dia nusuk gurunya segera setelah dapat tongkat. Pengen bunuh? alasannya apa? Masih gamblang buat saya. Kehadiran Chul--apa itu tadi juga sekedar lewat, yang bahkan ga ditampilin pun gapapa. Battlenya sendiri buat saya, ga kerasa apa-apa. Flat. Dan karena saya orang yang mentingin tensi saat membaca cerita, saya ga ngerasa tensi itu ada di cerita ini. Entahlah, mungkin karena saya sibuk nyari jawaban atas "kenapa" yang bahkan ga dijelaskan oleh author. Sayang banget makin kebawah, pace ceritanya makin buru-buru sampai maknanya ga ada.
Gamblang dan sadisnya, saya bisa nyimpulkan ini cuma kerangka cerita, bukan cerita yang sebenarnya. Dan saya ga nangkep Gakuku itu apa. Saran saya sih, lebih baik matangkan dulu apa yang mau kamu tulis. Waktu Deadline masih panjang dari cerita ini naik di blog loh. Jangan terburu2 karena ada yang sudah submit segera setelah Prelim diumumkan. Jeleknya, mending jadi deadliner tapi matang sama cerita bikinan sendiri, ketimbang buru-buru tapi malah jadi bumerang yang bikin ceritanya ga enak buat dibaca. [Well, ini catatan juga buat saya sih]
Asal jangan deadliner, tapi cerita ga matang. Ini sih bukti authornya yang emang ga niat.
SCORE
Basic : 5
Plus : 1
Minus : 4
TOTAL SCORE = 2
-Odin-