oleh : Muhammad Da'i Kuncoro
--
Now you're in New York
These streets will makes you
feel brand new
Big lights will inspire you
Hear it from New York~
Para penonton bertepuk tangan.
Potongan kecil-kecil kertas mengilap aneka warna berjatuhan dari langit-langit
ruangan. Jess tersenyum puas. Begitu juga dengan Hutcher yang sedari tadi
memainkan biola, bersanding dengan Jess di dalam ruangan megah gedung Empire
State, jantung kota New York.
Hutcher meletakkan biolanya,
berdiri, dan bersamaan dengan Jess mereka membungkuk kepada hadirin. Inilah
penampilan terakhir mereka musim ini. Mereka berencana mengambil cuti sebelum
hadir kembali musim depan. Yahh.. musisi juga manusia. Punya rasa, punya hati,
dan punya rasa lelah.
Jess dan Hutcher melangkah
menuju backstage. Senyum puas dan bahagia masih terus menghiasi wajah
mereka. Kini, di belakang panggung semua orang seolah tersenyum kepada mereka.
Kurang lebih dari raut wajahnya dapat dibedakan mana senyum tulus, mana senyum
licik, dan mana yang senyam-senyum sendiri. Aroma France Eau de Perfume
semerbak mengiringi mereka. Bukannya mudah melenggang santai seperti ini
setelah pertunjukkan. Banyak terdengar bisik-bisik bernada miring di sana-sini.
Bahkan sempat ada yang bilang kalau Jess dan Hutcher ini terbiasa pergi ke
dukun, atau bukan manusia, atau jelmaan dewa-dewi, dan sebagainya.
Jess dan Hutcher berhenti di
pinggiran ruangan yang terdapat beberapa kursi bersantai. Dengan seenaknya Jess
memanggil seseorang untuk memberikannya wine. Kalau sudah begini siapa
pun bisa ilfeel dibuatnya. Hutcher sendiri hanya bisa mengelus dada.
"Mulai sore ini kita bebas!
Aku berencana pergi ke Maldives supaya bisa pamer di Instagram, oh atau ke
Milan, di sana ada brand-brand terkenal yang bikin ngiler, oh atau ke Venesia,
lebih romantis bagaikan bulan madu untuk kita," dengan hati dipenuhi bunga
yang cukup untuk modal usaha tanaman hias atau papan bunga, Jess memulai
pembicaraan.
"Hei, jangan sembrono
begitu. Ingat, uangmu adalah uangku juga. Jangan dipakai untuk sesuatu yang
tidak penting," ucap Hutcher dengan bijaknya.
"Jangan terlalu serius.
Kita masih bisa mendapatkan lebih banyak di musim depan, iya 'kan mbak?"
Jess berbicara kepada seseorang--entah siapa itu yang kebetulan lewat di
sampingnya.
"Entahlah. Aku malah
berpikir untuk mengunjungi keluargaku, terutama Ibuku terlebih dahulu."
"Ummprrrfftttt. That's it!
Itulah yang sebenarnya dari tadi ingin aku bicarakan. Keluarga tetaplah
keluarga di manapun kau berada!" Jess yang sedang minum kaget dan saking
semangatnya mendengar perkataan Hutcher, minuman itu pun disemburnya ke
sembarang arah.
"Hahahaha... Kau yakin bisa
melakukannya dengan attitude yang seperti ini?"
"Ayolah, Hutcher. Kau kan
tahu kalau aku sangat fleksibel. Aku bisa menjadi siapa saja di depan siapa
saja."
"Dirimu tetaplah dirimu di
manapun kau berada. Baiklah, kutunggu kau lobi. Pertama kita ke rumah
keluargamu dulu. Aku tak tega membuatmu menunggu terlalu lama untuk bertemu
mereka," kata Hutcher sambil melangkah pergi.
"Okies, beibs! Maaf nona,
maaf nona. Aku tak sengaja menyembur tadi. Kumohon maafkan aku," balas
Jess yang tengah menyembah-nyembah memohon maaf pada orang-orang yang tak
sengaja terkena semburan minumannya tadi. Eww.
Di luar sana, semesta sedang
menyiapkan kedatangan Sang Malam. Matahari beranjak pergi ke ufuk barat,
ditemani burung segala burung yang terbang penuh kerinduan terhadap sangkarnya.
Semburat merah seolah berpesta pora di ujung-ujung cakrawala. Lampu-lampu kota
dinyalakan. Betapa rindunya alam ini terhadap Sang Malam.
***
Sebuah rumah di pinggiran jalan
yang bergaya klasik dengan halaman berupa taman-taman ceria menjadi tujuan
pertama Jess dan Hutcher. Rumah kediaman keluarga Romanoff, atau yang Hutcher
kenal sebagai tempat kelahiran Jess. Jaraknya tak begitu jauh dari New York,
sekitar 20 menit perjalanan ke barat daya dari gerbang kota.
Mereka turun dari mobil. Jess
berinisiatif untuk mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Hello! Anybody home?"
"Siapa itu?" terdengar
suara seorang remaja perempuan dari dalam.
"Ini aku, Jess. Jess
Romanoff."
Hening untuk beberapa saat.
Sampai tiba-tiba tiba pintu terbuka, menampakkan remaja tersebut dengan mulut
menganga, memperlihatkan permen karet hijau di dalam mulutnya.
"OH MY GOD! IBUU!! AYAHH!!
JESSIE PULAAAAANNGG!!!" remaja itu berteriak seperti sedang kerasukan.
Terdengar suara gaduh dari dalam. Dua kejab kemudian muncul seorang wanita dan
pria paruh baya dengan ekspresi yang berbeda. Si ibu terlihat gembira sementara
si bapak kaget luar biasa.
"Dan dia membawa...umm..
peliharaan?" kata si Ibu dengan senyum 10 senti merekah di wajahnya.
"Hei! Dia itu.. ummm...ahh,
sudahlah. Tak perlu kujelaskan lagi," Jess berkata dengan senyum
malu-malu.
"Jessie akan menikah!!
Horee!! Aku akan punya cucu yang bisa kupamerkan ke tetangga!!" giliran si
bapak yang berbicara dengan begitu semangat.
"Ayah, Ibu, jangan membuat
malu di hadapan tamu ini. Lihatlah, om itu jadi salah tingkah sampai dia tak
sadar bahwa rambutnya terkena kotoran burung peliharaan tetangga," dengan (sok) bijaknya
remaja cewek di samping si ibu menengahi.
"APAAHH??!!"
***
Ruang makan keluarga Romanoff
terletak di tengah rumah. Sebenarnya kurang tepat disebut ruang makan, toh
isinya hanya sebuah meja besar dengan beberapa kursi dan tanaman hias. Tanpa
sekat yang membatasi ke ruang lainnya. Di atasnya tergantung sebuah lampu
kuning terang yang hangat. Kini, ruangan itu riuh dengan suara canda, tawa,
sesekali teriakan histeris, dan obrolan-obrolan ringan. Jess seolah memberikan
semangat dan gairah baru yang menghidupkan kembali keluarga ini. Kini, meja
makan keluarga Romanoff tengah bertabur berkah. Ya, apa lagi kalau bukan
banyaknya makanan dan minuman yang enak-enak. Belum tentu tiga bulan sekali
keluarga ini makan makanan mewah. Yang mengejutkan adalah walaupun tubuh dibalik gaun merahnya-- yang
sejak pertunjukkan tadi belum berganti-- diidamkan banyak wanita, toh Jess
makan seperti kuli sambil cuek-cuek bebek.
Tapi, meskipun di Empire State
tadi Jess berkata bahwa ia bisa menjaga sikapnya, di depan keluarga aslinya ini
kelakuannya malah bertambah absurd.
"Iya beneran. Waktu itu aku
kebetulan baru selesai menandatangani kontrak rekaman bersama Hutcher. Awalnya
aku tak tahu mengapa dia tidak mau naik
tangga ke ruang rekaman yang ada di lantai atas karena liftnya macet.
Kupaksakan kakinya untuk mulai menapaki anak tangga pertama, lalu terdengarlah
bunyi seperti kain dirobek. Ternyata celana hitam kantoran yang kupinjamkan
kepadanya terlalu sempit, dan karena terlanjur dipaksakan akhirnya menimbulkan
robek yang cukup besar, sampai-sampai aku bisa melihat boxer-nya yang berwarna
norak. Wakakakakkakakkakakaka," Jess bercerita tentang semua yang dia dan
Hutcher alami dengan penuh semangat, diiringi dengan tertawaan khas tarzan yang
lupa tak diberi pisang selama seminggu.
Keluarga Romanoff tertawa. Rupanya
mereka memiliki selera humor yang sama.
"Sudahlah Jess. Itu kan
hanya masa lalu," sahut Hutcher, tersipu.
"Hei nak, asal kau tahu
saja ya, dulu Jess sama sekali tak bisa menyanyi. Suara cemprengnya begitu
membahana, sampai-sampai para tetangga terganggu dan protes kepada kami untuk
menyumpal mulutnya dengan kaos kaki mereka. Sejak saat itu kami pindah," tutur Bu Romanoff.
"Dan sejak saat itu pulalah
kita berpisah. Sebelum... sebelum kejadian itu-" lanjut Jess, namun
langsung dipotong Hutcher.
"Oh ya.. Emm, kejadian
ketika kita..uhh..mulai duet pertama di kafe itu kan ya. Uhhh.. Kafe yang
banyak supir truk itu, yang mukanya serem-serem kan Jess." Hutcher
memasang senyum yang terlihat dipaksakan.
"Sudahlah. Aku tahu kalian
menyembunyikan hal yang sangat pribadi. Rasanya tak enak jika dipaksakan untuk
bercerita. Iya kan, Jessie?" remaja perempuan yang sedari tadi diam kini
angkat bicara. Kembali, dengan kata-kata bijaknya.
"Umm...oke baiklah. Kita
sudahi saja makan malam ini. Harley, pimpin do'a setelah makan," Pak
Romanoff, seolah tahu apa yang sedang terjadi, segera menutup makan malam.
***
Seluruh anggota keluarga
beranjak kembali ke aktivitasnya masing-masing. Jess dan Hutcher lebih memilih
untuk tidur. Lelah, seharian bekerja dan belum beristirahat. Karena
keterbatasan kamar yang ada, mereka pun tidur seranjang. Bapak dan Ibu Romanoff
pergi ke taman depan rumah, bernostalgia bersama terangnya bintang-bintang dan
sendunya bulan sabit yang mengintip dari balik awan tipis. Harley masih menonton
TV, ada siaran ulang penampilan kakaknya di Empire State tadi.
"Jess, sudah kubilang kau
jangan sembarangan memberitahu orang tentang kejadian itu. Kita bisa sepenuhnya
menjadi hantu dan masuk neraka setelah sebelumnya diceramahi kakek si penguasa
itu jika ada yang berbuat onar terhadap hal ini!" setengah emosi Hutcher
memulai pembicaraan dengan Jess.
"Tapi mereka
keluargaku." Jess menyahut sedikit terisak dengan mata berkaca-kaca. Tidak
biasanya dia seperti ini. Menjadi perempuan seutuhnya. Hutcher pun luluh
dibuatnya.
"Iya...besok akan
kuberitahu mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Hening sesaat. Mereka beranjak
naik ke tempat tidur. Mulai memakai selimut yang agak bau pesing untuk
merelaksasi tubuh.
"Hutcher, kini kau tahu
kabar keluargaku. Apakah rasa ingin tahumu sebesar rasa penasaranku terhadap
keluargamu?" Jess berkata lirih.
"Tentu saja. Siapa yang
tidak rindu dengan mereka yang telah merawatmu sampai sejauh ini?"
"Kalau begitu, let me sing
just a lil' bit for you. Hope your sorrow will gone. Far, far away."
Mother, how are you today?
Here is a note from your son
With me everything is okay
Mother, how are you today?
Jess menyanyi dengan segenap
jiwa. Mencoba menghibur sahabatnya yang tengah merasakan tusukan kerinduan yang
mendalam. Perlahan, setitik air bening jatuh dari pelupuk mata Hutcher. Satu
tetes, dua tetes, tiga tetes. Tertahan di pipinya. Dia akhirnya tertidur dalam
alunan harmoni yang diciptakan Jess.
I found the girl of my dream
Next time you will get to know
her
Many things happen while i was
away
Mother, how are you today?
***
Bunga tidur kiranya telah
menghanyutkan Jess dan Hutcher. Di dalam mimpinya, masing-masing mereka melihat
dua sosok aneh gak jelas yang seolah mengatakan sesuatu. Tak terlalu jelas,
hanya beberapa patah kata yang terdengar.
"Reveriers...."
"Hutcher, berhenti ngorok.
Berisik lu ah!"
"Mahakarya..."
"Iya iya.. Besok aku beliin
martabak. Jam segini mana ada yang buka, dodol."
"Alam mimpi..."
"Mimpi doang mah ga bakal
kesampaian kalo kagak berusaha."
Di penghujung mimpi, Jess seolah
bertemu Hutcher, begitu juga Hutcher yang bertemu Jess. Mereka berpegangan
tangan. Di depan mereka berdiri sesosok manusia, tak jelas gendernya. Di
sebelah kanan tubuhnya memakai gaun, dan sebelah kiri mengenakan setelan jas.
Sampai akhirnya mereka tersadar....
bahwa itu adalah mereka sendiri.
***
Seketika itu juga mereka
terbangun. Entah kenapa rasanya kamar itu menjadi semakin sempit. Dengan wajah
syok tidak karuan, Jess mengambil cermin kecil dan segera menghadapkan ke
wajahnya.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHH!!!!"
jerit mereka (?). Bumi bergetar, kaca jendela tetangga pecah, lebah berdengung
semakin keras, puluhan semut tewas, belasan burung jatuh ke bumi, ayam-ayam
kebingungan dan saling menabrak. Dan siksa Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
"Kau boleh menjerit, tapi
jangan terlalu menggunakan manipulasi suaramu itu," protes Hutcher.
"Hut..Hutcher, apa benar
ini kita?"
"Sepertinya iya. Kau ingat
sosok aneh di mimpi itu?"
"Pernikahan kita terancam
batal."
"Mau disembunyikan di mana
mukaku ini bila bertemu Ibuku nanti?!"
Dia menyibak selimut.
Terlihatlah pakaian berpotongan aneh, setengah gaun ala Princess berwarna merah
menyala dan setengah jas dengan lengan yang digulung sampai siku. Mencoba
berjalan dengan normal. Keluar kamar, menapaki tangga.
"Hei, rasanya biasa saja.
Aku seperti tidak bergabung dalam satu tubuh," seru Jess.
"Kau benar. Rasanya biasa
saja. Btw, ke mana orang-orang? Harusnya di sini kan ramai, mengingat
keluargamu yang seperti itu," ledek Hutcher.
"Yahh, itu sudah ada dalam
garis keturunanku. Mungkin Ayah dan Ibu sudah pergi kerja, dan Harley juga
sudah berangkat sekolah. Rumah ini kelihatannya makin mengecil. Ayo keluar,
kita lihat apakah dunia juga seaneh kita saat ini."
Jess Hutcherson keluar lewat
pintu belakang. Rasanya dunia seolah dipadatkan ke dalam satu dimensi. Seperti
ada lubang hitam mini yang menarik segalanya, membentuk distorsi yang nyata.
Bukan hanya rumah keluarga Romanoff saja yang kosong, begitu juga dengan rumah
tetangga. Alam rasanya begitu sunyi, hanya ada semilir angin yang bertiup
pelan.
Sampai ketika mata Jess
Hutcherson menangkap seseorang dengan baju serba hitam, topi penyihir, dan
sepatu bot hitam selutut. Untuk ukuran seorang penyihir, dia terlihat cukup
modis. Dia berdiri di samping pohon beringin tua, jaraknya sekitar beberapa
blok dari rumah keluarga romanoff. Wajahnya tertutupi topi penyihir lusuhnya.
Seolah terhipnotis, dia melangkah ke arah wanita itu. Pelan tapi pasti. Suara
langkah kaki dari sepatu hak tinggi Jess dan sepatu pantofel Hutcher mengiringi
langkah maut itu. Dia berhenti sekitar tiga puluh langkah dari tempat si wanita
itu berdiri.
Sejurus kemudian si penyihir
mengarahkan tangannya ke arah Jess Hutcherson. Mulutnya berkomat-kamit merapal
mantra. Muncullah lingkaran sihir di bawah mereka. Sebelum semuanya terlambat,
Jess Hutcherson melompat ke arah lain. Benar saja, lingkaran sihir itu
menghasilkan ledakan keras.
Si penyihir terus melakukan hal
yang sama berulang-ulang. Bukan hanya lingkaran sihir di tanah, bahkan di udara
dan air sekalipun. Jess Hutcherson terus menghindar. Hutcher sebisa mungkin
menenangkan diri untuk tidak emosi, sedangkan Jess yang sudah termakan emosi beberapa kali menyemburkan
api-api kecil ke arah si penyihir. Dia tahu situasi ini sangat berbahaya.
Sampai akhirnya semua berhenti.
Si penyihir menyibak topi yang
menghalangi wajahnya. Membuat Jess Hutcherson seketika membatu.
"Kemampuanmu lumayan juga,
nak. Sepertinya setelah kematianmu kau bertambah kuat. Kematian yang hina dina,
tak pantas jiwamu masih berada di sini." ucap si penyihir dengan suara
berat.
"I..I....Ibu??!!!"
suara Hutcher tercekat di tenggorokan.
***
Cuaca berubah mendung gelap.
Petir menyambar di mana-mana. Awan besar dan kelam bergerak perlahan ke segala arah. Angin bertiup kencang, tetapi
belum ada setetespun air langit yang jatuh. Pepohonan bergoyang, menjatuhkan
daun-daun yang ikut terbawa angin.
"Kau meninggalkan Ibumu di
usia sepuluh tahun demi mengejar beasiswa bodohmu itu di New York sana.
Membuatku pusing tujuh keliling karena aku harus menunggu entah berapa puluh
tahun lagi untuk
kesempatan berikutnya. Dan hari ini, kesempatan emas buatku." si penyihir
yang ternyata adalah Ibu Hutcherson Stanford tertawa getir, menampakkan giginya
yang kuning-kuning keropos.
"Kenapa kau mencoba
membunuh Hutcher? Apa yang membuatmu benci sekali kepadanya?" seru Jess,
tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang ia hadapi.
"Benci? Hah! Benci apanya?
Aku hanya punya dendam kesumat yang menggerogoti pikiranku, menghilangkan akal
sehatku. Ekstraksada miner valcona, statrodus bavolk : trikspados!!"
rapalan mantra kembali terucap. Dua detik selanjutnya petir menyambar Jess
Hutcherson.
Bagaikan berteleportasi, Jess Hutcherson berhasil
menghindar. Dia memang telah memprediksikan sesuatu, sehingga membuatnya dapat menghindar
terlebih dahulu.
"Tapi, apa salahku hingga
membuat dendam yang membuatmu ingin membunuhku, bu? Bukankah kita harusnya berpelukan,
mengharu biru setelah lama tak bertemu? " giliran Hutcher yang berbicara
dengan suara bergetar.
Bu Stanford mengangkat tangan
kanannya. Membuat semacam piringan yang berputar dari angin dan melemparkannya
ke Jess Hutcherson yang kini ada di atas atap. Melemparkannya berulang-ulang
seiring menghindarnya Jess Hutcherson. Jess juga sesekali menjerit-jerit untuk
memecahkan konsentrasi sekaligus mencoba melumpuhkan Bu Stanford.
"Kau ingin tahu jawabannya?
Baiklah. Hutcher, ketahuilah. Ketahuilah bahwa kau adalah anak yang lahir di
luar nikah! Kau adalah anak haram!" jerit Bu Stanford seraya terus
melemparkan piringan cakram angin.
Mendengar pernyataan menyakitkan
dari ibunya sendiri, Hutcher terdiam, membiarkan Jess mengambil alih tubuhnya.
Jess merasakan tubuhnya mengangkut beban dua kali lipat. Kecepatannya
berkurang.
"Setelah tahu bahwa aku
hamil, ayahmu terus menerus menyiksaku baik secara fisik maupun secara verbal. Memasuki usia tujuh
bulan, ayahmu menampar perutku hingga begitu keras. Darah bercampur air ketuban
terus mengucur dari mulut vaginaku. Saat itu aku berada di ujung gang buntu.
Ayahmu tak peduli dan meninggalkanku. Kau pasti tak menyadari betapa perihnya
itu!!" sambil terus melempar cakram angin, Bu Stanford menjelaskan
dendamnya. Di akhir kalimatnya, petir menyambar Jess Hutcherson. Tak sempat
menghindar, dia pun tumbang.
"Kau lahir di sana, dengan
tembok bata sebagai saksinya. Kau lahir tanpa ayah. Aku berusaha bekerja
sebagai apapun agar dapat hidup. Bahkan sebagai hidup sebagai pelacur pun kulakoni, tanpa
mempedulikan sakitnya haid dan luka setelah melahirkan. Umurmu satu tahun, aku pun sudah punya
kehidupan yang layak. Ayahmu datang kembali padaku dengan wajah memelas.
Kembali hari-hari terus berjalan dengan siksaan. Tamparan, makian, goresan
dengan pisau silet, kau tak pernah mengetahuinya. Kenapa? Karena kau dipasangi
segel sihir oleh ayahmu." Bu Stanford
terus berbicara. Kali ini tubuhnya ikut
bergerak. Menggambarkan betapa depresinya ia kala itu.
Cakram angin berganti dengan
gelembung-gelembung ledakan. Dengan sisa-sisa tenaga, Jess Hutcherson terus menghindar.
Jess tak kuat lagi menyemburkan api. Jangankan memanipulasi api, menghangatkan diri saja
sudah susah.
"Ulang tahunmu yang
kesepuluh. Aku sudah berencana untuk menghabisimu saat itu, tetapi kau dijemput
seseorang. Panitia beasiswa Carters Foundation, katanya. Ayahmu pergi
meninggalkanku, lagi. Tetapi dia tidak sadar, bahwa selama ini bukan hanya dia
yang bisa menggunakan sihir, tapi aku juga belajar menggunakan sihir dari
berbagai sumber. Aku membawanya kembali masuk ke dalam rumah dan aku
menghabisinya. Tanpa darah. Tanpa perlawanan yang berarti. Sekarang giliranmu. AKU AKAN MEMUSNAHKAN
DARAH KETURUNAN STANFORD!!!
Bu Stanford berteriak ke segala arah. Begitu keras, begitu pilu, begitu
menyayat hati.
***
Jess Hutcherson bersembunyi
di balik sebuah rumah. Jess tak kuat lagi melawan sendirian, sementara Hutcher
masih belum sadar dari lamunannya. Wahai angin yang berhembus menembus malam,
jiwa siapakah yang tidak terguncang mengetahui orang yang melahirkannya, yang merawatnya,
yang membesarkannya
berkata seperti ini?
Tenaga terakhir.
Jess Hutcherson membuat semacam dinding cangkang telur yang menyelimutinya dari
ujung kaki hingga ujung kepala. Tempat khusus untuk memulihkan kembali energi yang
hilang.
Hutcher! Sadarlah
sayang! Aku tahu berat bagimu untuk melakukannya. Aku sendiri membayangkan
bahwa ia adalah ibuku sendiri. Calon mertuaku. Bila begini terus dia bisa
menghancurkan dunia! Jess mencoba menyadarkan Hutcher. Tangannya mengelus pipi
Hutcher.
Kau tak tahu apa
yang kualami, Jess. Dia selalu tersenyum kepadaku. Dia selalu berperilaku manis
di depanku, tanpa tahu bahwa sebenarnya dia tersiksa. Aku kecewa dengan diriku
sendiri yang seperti ini, yang jangankan melawan balik, aku bahkan tak tahu
ibuku seperti ini.
Sadarlah,
Hutcher. Dia sedang berusaha untuk membunuhmu. Dirimu yang sekarang ini. Bukan,
bukan hanya kau. Tapi jika kau mati maka aku pun akan mati dan seperti yang kau
katakan saat itu, kita bisa masuk neraka. Waktu itu kita hanya beruntung dengan
pusingnya penguasa Alam Penghakiman sehingga kita dikirim kembali ke bumi
dengan wujud setengah hantu. Kini, hanya ada satu pilihan, dan itu ada di
tanganmu : lawan ibumu atau masuk neraka. Jess berkata dengan tegas.
"Aku bahkan
tak tahu kalau aku ini anak di luar nikah. Aku adalah aib. Mungkin memang benar
aku lebih baik mati."
"Hutcher!
Ingatlah tentang janji-janji kita. Janji yang membuat kita tetap hidup hingga
sekarang. Janji yang akan terus membuat kita berjuang untuk terus bertahan hidup
hingga tua nanti. Sekarang bangkitlah! Penuhi janjimu. Selamatkan harapan itu. Aku
tahu ini berat, terlebih melawan ibu kandungmu sendiri. Tapi aku tahu, kau kuat.
Sangat kuat dan tangguh."
Hmmpphh..uuhhh...
Biarkan aku menenangkan diri dulu, aku tak mau tampak lemah di hadapannya. Sekalian
kita selesaikan fase telur rebus ini. Aku akan memanipulasi cahaya sebisa
mungkin untuk mengulur waktu.
***
Sementara itu...
Aku mendengar
berita itu. Berita runtuhnya bangunan yang korbannya adalah kau dan wanita
laknat itu. Saat itu aku merasa bagaikan berada di pucuk nirwana, surga dunia.
Tapi beberapa minggu kemudian kalian berdua muncul lagi di TV, entah bagaimana
caranya. Aku yang sudah memutuskan untuk hidup normal dan tentram dihantui lagi
oleh bayang-bayang dendam. Si penyebab dosa itu telah kubunuh, tetapi darahnya
masih mengalir di tubuhmu. Kau semakin populer. Semakin bertambah pula
kebencianku. Tetapi, kini kau sudah tak berdaya. Terkapar di depanku,
menyerahkan nyawamu kepadaku. Mari kita buat jadi lebih dramatis. Penyihir itu
merapal mantra. Mantra yang sangat panjang. Muncullah hasil dari mantra itu,
berupa gelembung air transparan yang besar. Perlahan datang menuju Jess
Hutcherson.
Meledak!
Meledaklah
gelembung itu. Petir menyambar tanah, ledakan api beruntun bagaikan perang,
cakram angin raksasa melubangi tanah.
Tapi Jess
Hutcherson masih di situ. Masih tetap dalam posisinya yang tersungkur. Seolah
tak terjadi apa-apa. Sadarlah si penyihir telah termakan jebakan. Matanya
menatap tidak percaya apa yang dilihatnya. Sepersekian detik kemudian,
terbanglah ia. Mencari di mana sosok Jess Hutcherson yang asli. Sampai ia
menemukan sesuatu yang mencurigakan. Seperti sebuah telur rebus raksasa.
Di situ kau rupanya! pekiknya. Dengan segera dia
menghujani objek itu dengan ledakan api, cakram angin, dan petir dari langit.
Asap yang tebal
secara perlahan memunculkan rupa Jess Hutcherson yang tengah bersiap dengan
biolanya. Gaun Jess berkibar-kibar, senada dengan rambutnya. Dedaunan menghujaninya
dari berbagai arah. Wajahnya tegas khas kstaria, dengan wajah separuh tentunya.
***
"Sepertinya
kau terlalu meremehkanku. Maaf bu, tetapi kini akulah yang harus mengakhiri
dendam ini," ucap Hutcher.
"Lakukan
sesukamu, anak tak tahu diuntung." Dengan segera Bu Stanford merapal
mantra. Lingkaran sihir kembali muncul di tanah tempat Jess Hutcherson
berpijak. Jess Hutcherson kembali menghindar.
Ia memainkan biolanya.
Bangunan yang dipijaknya runtuh, begitu pun dengan bangunan lainnya. Kini
bahaya ada di depan Bu Hutcher. Ia menghindar ke kiri, ke kanan, lompat
menerjang sambil terus merapal mantra. Cakram angin berdatangan dari berbagai
arah menuju ke Jess Hutcherson. Dia mengubah melodinya, membuat mode bertahan.
Tapi cakram angin dari bawahnya berhasil menembus perisai suara. Tak sempat
kaget, cakram tersebut langsung mengarah ke biola Jess Hutcherson. Benda itu
hancur berkeping-keping.
"Jangan
membuat sembarang konser di sini ya adik-adik." ledek Bu Stanford.
"Kita butuh
biola lagi. Aku punya cadangannya di kamar Harley, tetapi butuh waktu untuk
mengambilnya," pekik Jess.
"Kau tahu apa
yang harus kau lakukan, bukan?" sahut Hutcher.
Sosok asli Jess
Hutcherson memanipulasi warna tubuhnya menjadi transparan, berlari ke rumah
keluarga Romanoff. Sementara bayangannya masih berdiri tegak di tempatnya berpijak.
Bu Stanford melempar cakram angin ke bayangan Jess Hutcherson, tetapi sekali
lagi ia tertipu.
"Bedebaaaahhhh!!!!"
jerit Bu Stanford beriringan dengan kilat cahaya yang sangat terang.
Tubuh Jess
Hutcherson yang asli nampak seketika. Langsung diberondong dengan berbagai
serangan Bu Stanford. Sial, serangannya tak dapat dihindari. Jess Hutcherson
jatuh terkapar di atas rumput.
"Sekarang kau
tak bisa menipuku lagi. Zona anti-ilusi yang kubuat akan menekuk lututmu di
hadapanku," ucap Bu Stanford.
Jess mengeluarkan
gelombang suara ultrasonik yang sangat kuat. Seolah tau pergerakan selanjutnya,
Bu Stanford membuat lapisan pelindung berupa cekungan parabola di
sekelilingnya. Dia menyerap dan mengumpulkan suara Jess. Bu Stanford merapal
mantra. Sejurus kemudian dia mengambil salah satu cekungan parabola dan mengarahkannya
ke Jess Hutcherson.
"Aaarrgghhhh!!"
"Aku, sudah
tak bisa memanipulasi suara lagi. Pantulan suara yang dihasilkan ibumu sangat
kuat," kata Jess.
Jess Hutcherson
berlari mendekat, mengarahkan tangan kanannya ke Bu Stanford. Hening sejenak, lalu
ledakan dan kobaran api luar biasa hebat memberondongnya. Ia bukannya diam
saja. Secepat mungkin merapal mantra, dan terbentuklah tornado air di sekeliingnya,
melenyapkan manipulasi api Jess.
Tak berhenti
sampai di situ, dengan berani Jess Hutcherson kembali mendekati Bu Stanford. Ia
mengarahkan tangan kirinya ke Bu Stanford, tornado air itu pun seketika
membeku. Sebelum sempat menjauh, Jess Hutcherson menyadari bahwa di bawah
tornado itu dipasangi lingkaran sihir. Sekonyong-konyong ledakan hebat pun
terjadi, menghancurkan tornado beku yang mengelilingi Bu Stanford.
Pecahan-pecahan es dengan cepat melesat ke seluruh arah. Jess Hutcherson
terpental jauh, dan jatuh tengkurap. Tenaganya benar-benar sudah habis
sekarang.
"Fuhhhhh....
Bagaimana mungkin anak-anak ini dapat menguasai berbagai teknik luar biasa ini?
Aku benar-benar kewalahan dibuatnya. Baiklah, serangan terakhir," batin Bu
Stanford. Diam-diam dia merasa amat kagum dengan anaknya beserta calon
menantunya.
"Sial!
Sekarang satu-satunya serangan yang dapat kita lakukan adalah serangan jarak
dekat. Tapi ibuku merupakan penyihir petarung jarak jauh. Mendekatinya sama
dengan mati." Jess Hutcherson mencoba berdiri, namun yang dilakukannya
hanyalah merangkak, berusaha bersembunyi.
Dengan kecepatan
luar biasa Bu Stanford mendatangi Jess Hutcherson. Gerimis mulai turun, tetapi
angin dan petir masih sama gilanya.
"Sekarang kau
milikku. Bagaimana rasanya jatuh nak? Sakit bukan? Tenanglah, aku akan
membunuhmu pelan-pelan. Tak seperti ketika membunuh ayahmu, yang pada saat itu aku
terlalu takut untuk melakukannya. Kini kita bisa melakukannya, tanpa takut
terhadap apapun" ucap Bu Stanford seraya tersenyum. Dia mencoba untuk
mengelus kepala Jess Hutcherson. Kini semua bisa terjadi, dengan perbedaan
hanya setipis benang.
BBRRRUUUUKKKK!!
KRRTTAAAKKK KRRRTTAAAKKKK!!
Bunyi yang keluar
saat kepalan tangan kanan Jess menembus dada kiri Bu Stanford, tepat di
jantungnya. Tulang rusuk si penyihir ikut retak. Darah merah pekat mengalir
membasahi gaun hitamnya. Tak terlalu kontras, tapi tetap nampak merahnya.
"Kau terlalu
fokus terhadap kelemahan lawanmu, sampai kau tak sadar bahwa kelemahanmu
sendiri tak berperisai. Semua penyihir punya fisik yang tak terlalu spesial,
dengan dada sebagai kelemahan utama. Kini ucapkan selamat tinggal pada
dendammu, juga pada seluruh dunia ini. Aku menyayangimu, ibu." ucap
Hutcher.
"Dan aku
menghormatimu, calon ibu mertua, Nyonya Margareth Stanford," timpal Jess.
Orang tua itu
ambruk di depan Jess Hutcherson. Lubang di dada kanannya menjadi kubangan
darah. Tak ada lagi kereta kenangan yang melintas. Tak ada air mata yang
berjatuhan. Dan tak ada lagi yang dapat membangga-banggakan seorang Margareth Stanford.
Jess Hutcherson
jatuh telentang. Kelelahan. Perlahan matanya menutup. Dunia baginya serasa
berputar.
***
Sampai kedua makhluk
itu datang.
Yang pertama
adalah seorang pria usia tiga puluhan dengan gaya bak bangsawan tak terkenal.
Yang kedua adalah sosok mirip anak kecil dengan kepala yang sepenuhnya adalah
bantal. Ya, bantal dengan sedikit kerutan serupa wajah.
"Inikah
puncak dari makhluk setengah-setengah yang kita temui, om Nurma?" kata si
bantal.
"Mungkin saja,
Huban. Aku pernah melihat sosok serupa di salah satu ajang pencarian bakat di suatu
negeri yang pemimpinnya suka blusukan ke mana-mana. Namanya juga hampir mirip."
jawab si bangsawan yang dipanggil Nurma oleh si bantal.
"Dendam yang
membutakan ibunya benar-benar berbahaya. Takut, ih!" celetuk si bantal.
"Makanya
kalau ada apa-apa jangan masukin ke dalam hati."
Pembicaraan kedua
sosok aneh ini mengusik pendengaran Jess Hutcherson. Dia terduduk seraya
berusaha berbicara kepada mereka, dengan mata yang masih tertutup.
"Berisik!!
Kalau mau menggosip jangan di sini. Nggak tahu apa orang capek begini?"
terdengarlah suara Jess. Akhirnya ia membuka matanya.
"Jess,
bukannya ini dua makhluk aneh yang kita temui di mimpi itu?"
"Ya! Kau
benar sekali. Sebagai hadiahnya, kau berhak mendapatkan......" jawab Ratu
Huban. Kalimatnya sengaja diputus supaya mirip seperti kuis-kuis berhadiah dua
juta rupiah.
"Sudahlah,
Huban. Serahkan saja, tak perlu didramatisir."
"Domba ini!
Jeng jeng jeng jeng!" Ratu Huban memberikan domba putih yanh entah sejak
kapan ada di situ. Dengan centilnya dia melompat-lompat kegirangan. Tak peduli
dengan wajah datar Jess Hutcherson dan om Nurma.
"Apa yang
sebenarnya terjadi? Tolong jelaskan semuanya," Hutcher mulai berbicara.
"Jadi,
sebenarnya kita semua sedang berada di Bingkai Mimpi," kata Zainurma.
"Hah! M..mim...mimpi?"
"Ya, jadi
secara teknis kau belum benar-benar bangun dari tidurmu saat ini. Tak usah
khawatir dengan segala kerusakan ini," lanjutnya.
"Dan jangan
khawatir dengan ibumu, om Hutcher. Dia sedang bermimpi indah saat ini."
Ratu Huban memunculkan semacam awan kecil yang di permukaannya terlihat Bu Stanford
sedang tidur... dengan wajah bahagia?!.
"Ayo kita
pergi. Cuaca buruk seperti ini tidak baik untuk kesehatanmu."
"Pergi? Ke mana?"
Ratu Huban mengayunkan
tongkatnya, lalu terciptalah semacam portal. "Ke sini! Ayo masuk!"
ajaknya.
Mereka berempat
masuk ke portal itu. Meninggalkan area perumahan yang hancur porak-poranda. Batin
Jess dan Hutcherson bertanya-tanya, anomali apa lagi yang akan terjadi?
--
>Cerita selanjutnya : [ROUND 1 - 7F] 41 - JESS HUTCHERSON | RINAI PURNAMA
Hmm, saya agak loss di tengah. Koreksi kalo salah, jadi Jess sama Hutcher ini baru jadi satu pas masuk mimpi? Kurang ada deskripsi yang ngegambarin, sepanjang cerita saya kurang ngebayangin mereka nyatu. Agak kaget juga pas adaptasi mereka ke battle cepet, soalnya saya ga baca charsheet jadi ga ngeh kemampuan mereka apa
BalasHapusAda logika yang saya gagal paham pas battlenya, kalo ibu Hutcher jago pertarungan jarak jauh, kenapa malah kalo ngedeket dibilang cari mati? Bukannya kebalik?
Nilai 7
silakan cek fb (tantangan prelim Jess Hutcherson) untuk jawabannya
HapusDan siksa Tuhan mana lagi yang kau dustakan? =))
BalasHapusJalan ceritanya mengalir. Ibu Hutcher itu ingin menghabisi darah keturunan Stanford. Masih agak aneh di bagian mereka seperti udah terbiasa gabung dalam satu tubuh. Tapi keren ya tetap saling mencintai
Perpindahan tubuh yang dominan dan pergantian menyerang sudah enak diikuti. Untuk proses penyatuan mereka memang ada di Charsheet, tapi ada baiknya dijelaskan juga di cerita jadi tidak terkesan tiba-tiba menyatu setelah mimpi dan bangun tidur
Nilai 7
Merald
Oke, jadi saya mau komentar di entri ini.
BalasHapusKurang lebih, Jess Hutcherson sama seperti FaNa di entri nomor 17, tapi dengan eksekusi yang berbeda. Tapi tetap sinergis dan harmonis.
Perkara perkembangan cerita dan plot serta adegan-adegannya sudah cukup rapi, jadi saya tidak perlu komentar banyak juga. Paling saya bingung di bagian Jess dan Hutcher yang menjadi satu aja yang hanya diberi foreshadowing.
Bacaan yang cukup enjoy, jadi 7/10 dari saya
Salam sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
Hangat, terlebih saat mereka semua berkumpul di ruang makan keluarga Romanoff. Benar-benar menghangatkan hati.
BalasHapusJalan cerita yang halus dengan pendekatan yang detail membuat cerita ini asik dibaca.
Sebenarnya tak banyak yang bisa saya komentari dari entri ini. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat saya terheran. AKU AKAN MEMUSNAHKAN DARAH KETURUNAN STANFORD!!! Bukankah Hutcherson adalah anak haram? Dan seperti yang Uncle Sam said, kenapa melawan musuh jarak jauh dengan inisiatif mendekati itu mati? Seharusnya jika mereka mendekati Bu Stanford, itu akan menguntungkan mereka.
Dan terakhir, Admin pernah bilang sama saya kalau ada sesuatu yang penting dari karaktermu tambahkanlah dalam cerita. Filler dikit gak masalah kan. Nah, ini yang menjadi titik penting penyatuan Jess dan Hutcher malah gak diterangi sama sekali disini. "Karena tak semua orang baca Charsheet" begitulah katanya.
Maaf jika komentar saya menyinggung, saya tak ada maksud sama sekali. Saya orang yang bukan mengomentari gaya penulisan, tapi gaya tulisan Anda benar-benar bagus. Dan saya suka itu.
Overall, Nilai 8 bisa saya berikan.
-Salam, Hyakunosen
OC: Satan Raizetsu
chou: wush rasengan meluncur. pertarungannya lumayan juga
BalasHapuskuro: setajam apakah kepala jesshutcher? sampai bs nembus gtu
zweite: setajam silet
kuro: loh? tumben zweite ikutan
chou: btw itu reality show, zweite. hm...knp hanya dg tdur bs menyatu dalam satu mimpi bhkan tubuhnya ikutan menyatu. dan itu ibunya ceroboh bnget kalo emang tipe petarung jarak jauh kan bs membunuh tnp mendekati lawannya. melakukan hal yg sia2. tp saya suka pertartarungan sihir2annya. lumayan seru juga. 8
GHOUL : “Wah ini bisa jadi lawan yang unik. Kalo duel, paling yang cowok aja kena hajaranku hehe, yang sisi cewe mah aman2 aja. Ntar jadi babak belur separuh dong, bayangin aja!” :=(O
BalasHapusSHUI : “Hush, ‘mahakarya’ disebut ‘martabak’, nih bulan puasa tauk!” (lamunin santapan buka puasa nanti).
GHOUL : “Nih prolog ceritanya belum menyatu, ya? Kirain dah menyatu jadi kupikir betapa repotnya yang satu melangkah pergi n istrinya minta maaf getuh. Astaga nih entri bikin ngakak di bagian bingkai mimpinya, (stop baca sejenak, ketawa dulu!). enak pertarungannya karna sambil cerita2, seru juga hm maksudku menyedihkan curhatnya si mama, jadi ga ngebosenin bag big bughnya. Konfliknya ngena.” :=(D
SUNNY : “Sampai saat ini, belum nemu typo yang berarti…”
GHOUL : “Aku pengen seret mereka berdua ke penghulu aja, mumpung bulan puasa, tobat ! nih, kami ngasih 8. Kembaliannya ambil aja buat ke penghulu.” :=(D
yep... emang masih banyak yg miss soal penyatuan dua jiwa dalam satu tubuh. alangkah baiknya jika prosesnya juga sedikit dijelaskan biar pada mudeng gitu.
BalasHapusdan juga untuk battlenya juga, perlu dipikirkan hukum sebab akibat, penyerang jarak jauh harus didekati, jarak dekat musti dijauhi. dan juga sebagai penyanyi, kemampuan adaptasi tempur mereka juga sangat siginifikan begitu masuk bngkai mimpi
7 dari Axel Elbaniac
makhluk setengah-setengah. jadi keinget seseorang yang juara 1 di ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta. well, ceritanya bagus dan menarik. tidak ada typo di sepanjang cerita. cuma agak aneh aja di petarung jarak jauh tapi kalo mendekat sama saja mati.
BalasHapusnilai dari saya 8. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
Awal cerita alurnya asik, diksinya mengalir dan karakterisasinya mulai dapet. Begitu masuk pertengahan cerita, things go down south. Berasa kayak ditabrak kereta, alur begitu ngebut, karakter-karakter ditabrakkan kesana-kemari di tengah battle.
BalasHapusWell, aku nggak masalah pergabungan Jess-Hutcher nggak dijelasin di sini. Tapi aku agak risih dengan pengulangan nama, terutama Bu Standford. Mungkin bisa lebih baik divariasikan dengan Nyonya Standford, penyihir itu, atau wanita [masukkan deskripsi fisik di sini]. Pengulangan nama dapat membuat pembaca terdistraksi dan cenderung bosan.
Lalu hal lain yang rasanya agak kurang, Jess dan Hutcher tiba-tiba bisa menggunakan magic tanpa pembiasaan diri terlebih dahulu. Dan tidak dijelaskan apakah mereka bisa menggunakan magic sebelum cerita dimulai. Alangkah baiknya apabila meninggalkan Foreshadowing agar tidak meninggalkan pembaca dengan Plot Hole. Sebisa mungkin jangan mengandalkan Character Sheet untuk menjelaskan kemampuan karakter.
Sama seperti aplikasi, orang-orang lebih tertarik dengan aplikasi yang interfacenya newbie friendly ketimbang musti baca buku manual bolak-balik karena nggak ngerti. Apalagi kalau aplikasinya banyak punya saingan, tentunya newbie friendly adalah salah satu poin plus.
Karakterisasi aku belum terlalu dapet, selain Jess yang agak hot-blooded dan Hutcher yang lebih bijak. Jadi aku belum terlalu bisa relate ke karakternya. Lalu villain yang ditampilkan di entry ini, ibunya Hutcher berasa minim karakterisasi. Alasannya ingin membunuh Hutcher berasa terlalu Freudian Excuse. Mungkin ada baiknya apabila author meninggalkan Foreshadowing di awal. Misalnya dengan mempertemukan Jess-Hutcher dengan ibunya Hutcher di dunia nyata, lalu sudut pandang dipindah ke ibunya Hutcher yang menggeram marah atau semacamnya.
Anyway, maaf aku pake istilah2 tvtropes, kayaknya aku kena sindrom tvtropes hahahaha. Susah nemu kata2 yg tepat utk menggambarkan apa yg aku maksud sih.
Well, aku masih berharap utk ketemu author di ronde selanjutnya, karena gaya bahasanya punya potensi. Tinggal penyusunan plot aja yg agak kurang.
Dariku 7/10
-FaNa
Bagian awalnya kerasa hangaat~
BalasHapus:D
Hudson? is that you?
Saya baru saja baca entry Fana, dan ngebaca ini jadi punya bayangan akan seperti apa OC-nya.
Kalo saja nggak lihat gambar dulu, saya yakin bakalan lost di tengah jalan cerita.
Btw, ibunya hutcher ganas beut
._.
Bagian Jess dan Hutcher nge'fushion kok rasanya kurang kegali ya?
._.
Point : 7
OC : Maria Venessa
Hm...
BalasHapusIni dua orang satu tubuh, tapi entah kenapa saya bacanya seolah ini dua orang yang terpisah. Feel kalau mereka itu satu tubuh kurang terasa.
Untuk porsi pertarungannya sendiri cukup seru, sayangnya saya gak ngerasa kalau Jess Hutcher ini all out. Padahal kalau dari character sheet-nya ini karakter yang cukup balanced, jadi harusnya dia bisa dengan mudah menghabisi Stanford.
Selain itu, ini Stanford jadi berasa kayak stupid villain, karena dia terlalu angkuh dan gegabah untuk mendekat, padahal dia petarung jarak jauh.
Itu aja sih, keluhan saya yang bikin kesel pas bacanya. Jess-Hutcher kurang all out, dan Stanford is too darn stupid.
Untuk itu, saya hanya bisa beri 7 poin.
Asibikaashi