Chp 0 : Dream
"Sleeping is no mean art: for its sake one must stay awake all day." – F.N
[Fa's POV]
[Fa's POV]
Apa benar ada kehidupan setelah kematian?
Pertanyaan semacam itu sering terlintas di benakku. Mengira-ngira, suatu saat nanti jika aku akan mati apa aku akan pergi ke Surga? Heh, tidak pantas nampaknya. Atau Neraka? Tak ada yang tahu tentunya. Apa mungkin kita hanya pergi ke alam mimpi? Kalian tahu, alam mimpi yang sering kita kunjungi saat kita tidur.
Lalu kenapa kita bermimpi?
Muncul satu lagi pertanyaan. Dan pertanyaan ini menimbulkan pertanyaan lainnya, ratusan – bahkan ribuan.
Hei, kalian pernah dengar tentang Lucid Dream? Mimpi di mana kita sadar dan mampu mengambil kontrol atas tubuh kita. Bahkan melakukan hal-hal yang tak masuk akal, seperti terbang ataupun melakukan sihir. Menarik bukan?
Aku sering mendapat Lucid Dream, namun akhir-akhir ini mimpiku terasa agak aneh. Dalam mimpiku itu, aku melihat sebuah bangunan yang sangat megah. Aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan baik, karena setiap kali aku berusaha mendekati bangunan itu, aku langsung terbangun.
Namun kali ini, aku yakin bisa mendekati bangunan itu. Ya, yakin sekali. Tapi firasatku mengatakan kalau aku takkan terbangun setelah mengetahui rahasia dibalik kemegahan itu. Tapi persetan dengan dunia nyata, lagipula..
Ah lupakan, aku ingin tidur sejenak.
(* * *)
[Na's POV]
"Reveriers" "Alam mimpi"
"Kehendak" "Mahakarya"
"Muse.." "Ratu Hu…"
"Kur…"
"Zain.."
Siapa orang-orang ini? Siapa paman berjenggot berkacamata hitam ini? Siapa bocah berkepala bantal ini? Apa yang terjadi!? Tolong!
Percakapan mereka terulang terus menerus seperti rekaman yang rusak. Paman itu berjalan ke arahku dan mengatakan "Reveriers", lalu pergi melewatiku begitu saja seolah aku barang yang tembus pandang. Setelah itu, hal itu terulang lagi tanpa kontrol.
Bocah berkepala bantal itu tak jauh beda. Kata "Mahakarya" terus menerus terucap dari bibirnya yang tak ada. Ia hanya berdiri di sana, meracau.
"Pergi!!"
Perintahku tak berarti. Bahkan suaraku seolah tak terdengar. Tenggelam dalam lautan kata yang terulang, racauan dalam kekacauan.
Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi!
Aku mengafirmasikan diriku sendiri kalau semua ini tidaklah nyata. Perlahan, aku bisa mengambil alih kontrol atas diriku.
"Sensasi jatuh akan membuatmu terbangun dari mimpi. Namun kadang, alam mimpi akan mencegahmu bangun dengan cara memindahkanmu ke mimpi lainnya. Menipumu dengan [False Awakening]."
Samar-samar kudengar suara serak seorang pria bergema di dalam pikiranku. Suara ini seolah pernah kudengar, namun aku tak bisa mengingat siapa pemilik suara ini.
Hei, tunggu sebentar. Siapa dia?
Pertanyaan ini menimbulkan satu pertanyaan lainnya..
Siapa aku?
Namun aku tak punya waktu untuk bermain-main. Untuk saat ini, aku harus lepas dari mimpi ini. Kalau ini memang benar-benar mimpi.
"Geografi tak bekerja di dalam mimpi. Alam bawah sadar yang merancang dunia mimpimu. Kau memang tak bisa mengendalikan geografi secara langsung. Tapi kau tahu kan bagaimana alam bawah sadar bekerja? Afirmasi."
"Ya, kaulah bosnya. Bilang pada alam bawah sadar untuk mengubah dunia untukmu. Pikirkan tempat yang kau inginkan. Alam bawah sadar akan mencari cara untuk mewujudkan tempat impianmu.
Bilang pada alam bawah sadar, "Heh rumah satu biji, tak pakai lama.""
Oke, itu barusan agak aneh, namun sepertinya berguna. Aku hanya perlu memikirkan tempat untuk jatuh bukan? Meskipun tempat ini terlihat seperti ruang kosong berwarna putih, pasti ada satu cara untuk jatuh dari tempat ini. Jurang? Lubang? Gempa –
Tiba-tiba pijakanku runtuh. Dapat kurasakan angin menerpa tubuhku dari bawah. Sekilas kulihat langit berwarna jingga di bawah kakiku.
Kurasa ini benar-benar mimpi.
(* * *)
Saat kau berada di ketinggian beratus meter, hanya langit dan jingga saja yang kau lihat.
Tubuhku jatuh vertikal dari ketinggian beratus meter dengan kecepatan yang tak bisa kuperkirakan. Aku seharusnya berpikir untuk menyelamatkan diri, tapi apa yang bisa aku perbuat?
Dingin memenuhi rongga dadaku. Tekanan udara membuatku sulit bernafas, sehingga aku harus menggapai-gapai oksigen yang tercecar di udara. Meminta tolong pun serasa percuma.
"Apa yang kau lakukan, bodoh?"
Suara serak itu memanggilku lagi, kali ini terdengar lebih jelas. Tapi siapa yang bicara padaku dari ketinggian seperti ini? Ini pasti halusina-
"Kau bisa terbang, Na! Apa yang kau lakukan?!"
Na. Nama itu terasa akrab bagiku, nampaknya akulah yang ia maksud. Namun aku tak merasa pernah menyebutkan namaku padanya. Aku bahkan tidak ingat namaku sendiri.
"Terbanglah bodoh!" Perintahnya menggaung dari dalam pikiranku. Rasanya seperti bicara pada diriku sendiri.
"DIAM!"
Tubuhku jatuh vertikal dari ketinggian beratus meter dengan kecepatan yang tak bisa kuperkirakan. Aku seharusnya berpikir untuk menyelamatkan diri, tapi apa yang bisa aku perbuat?
Dingin memenuhi rongga dadaku. Tekanan udara membuatku sulit bernafas, sehingga aku harus menggapai-gapai oksigen yang tercecar di udara. Meminta tolong pun serasa percuma.
"Apa yang kau lakukan, bodoh?"
Suara serak itu memanggilku lagi, kali ini terdengar lebih jelas. Tapi siapa yang bicara padaku dari ketinggian seperti ini? Ini pasti halusina-
"Kau bisa terbang, Na! Apa yang kau lakukan?!"
Na. Nama itu terasa akrab bagiku, nampaknya akulah yang ia maksud. Namun aku tak merasa pernah menyebutkan namaku padanya. Aku bahkan tidak ingat namaku sendiri.
"Terbanglah bodoh!" Perintahnya menggaung dari dalam pikiranku. Rasanya seperti bicara pada diriku sendiri.
"DIAM!"
Ya, aku benar-benar bicara pada diriku sendiri. Aku bahkan membentak diriku sendiri. Entah ini mimpi atau aku memang sudah gila.
Tiba-tiba, sesaat aku meneriakkan kata itu, tubuhku terasa ringan. Perlahan, aku merasa seperti balon udara –
Tiba-tiba, sesaat aku meneriakkan kata itu, tubuhku terasa ringan. Perlahan, aku merasa seperti balon udara –
Tidak, seperti peri yang terbang dan meninggalkan serbuk minuman saset berwarna kuning.
Sebuah [Dream Catcher]berwarna putih keemasan muncul begitu saja di punggungku. Memancarkan cahaya berwarna senada, yang entah kenapa membuatku merasa hangat. Sayap besarnya seolah memelukku erat, dan membuatku tetap melayang di saat yang sama.
"Itulah kekuatanmu, Na. Kekuatan harapan."
"Siapa kau? Kenapa kau tau namaku?"
"Aku Fa," jawabnya singkat.
Sebuah [Dream Catcher]berwarna putih keemasan muncul begitu saja di punggungku. Memancarkan cahaya berwarna senada, yang entah kenapa membuatku merasa hangat. Sayap besarnya seolah memelukku erat, dan membuatku tetap melayang di saat yang sama.
"Itulah kekuatanmu, Na. Kekuatan harapan."
"Siapa kau? Kenapa kau tau namaku?"
"Aku Fa," jawabnya singkat.
Aku sedikit berharap ada kejelasan dalam nama yang padat itu. Namun aku punya pertanyaan lain untuk saat ini.
"Aku di mana sekarang?"
"Aku di mana sekarang?"
Fa tidak menjawab, entah ia tak tahu jawabannya, atau dia hanya tak ingin memberitahuku. Pria bernama Fa ini punya beribu alasan untuk tidak menjawab, meski aku punya beribu pertanyaan yang menunggu untuk dijawab.
Aku tak mengenalmu, Fa. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang mengatakan kalau aku bisa percaya padamu. Dan kuharap aku bisa mempercayai kata hatiku sendiri. Untuk saat ini aku tak punya pilihan, selain melanjutkan mimpi ini dan mengungkap rahasia di balik semua ini.
Nice to meet you, Fa.
Chp 0 : Dream
[FIN]
===(* * *)===
Chp 1 : Moral
"Fear is the mother of morality" – F.N
[Na's POV]
Bosan sudah kulihat langit dan jingga. Ada hal lain yang menarik pandanganku di kejauhan.
Dapat kulihat sebuah kota berdiri kokoh di kejauhan. Sungguh aneh, melihat tanah di sekitar hanyalah hamparan padang rumput tanpa akses air. Mendirikan kota di tengah padang rumput sungguh tidak masuk akal.
Ah lupakan, ini semua hanya mimpi. Kuharap aku bisa menemukan sesuatu di sana.
Kuputuskan untuk membaur dengan pejalan kaki yang berkerumun seperti semut, [Dream Catcher]ku tiba-tiba menghilang begitu saja saat aku mendarat di tanah. Dan orang-orang tak satupun ada yang menyadari kehadiranku. Seolah aku menjadi seseorang tanpa eksistensi.
Gedung-gedung menjulang tinggi, menghalangi sinar jingga matahari. Lampu-lampu jalan menyala bersamaan dengan kendaraan yang lalu-lalang di jalan aspal. Jingga perlahan pergi saat malam datang mengusir siang dari kota ini.
Seketika, hangat mentari sore berubah menjadi angin malam yang dingin. Kesibukan kota tiba-tiba menghilang begitu saja. Saat aku melihat ke belakang, lautan manusia itu musnah sudah, digantikan kesunyian.
Malam telah mengubah suasana menjadi mencekam. Begitu cepat, tanpa meninggalkan jejak.
Tiba-tiba kudengar suara teriakan seorang gadis tak jauh dari tempatku berdiri. Aku lalu menoleh ke arah sumber suara itu, yang kutemukan adalah gang gelap yang menjadi sekat dua gedung pencakar langit.
Impuls ketakutan menjalari tubuhku.
Tubuhku gemetar, dan hatiku dipenuhi keraguan. Haruskah aku menolong gadis itu, ataukah aku harus pergi menyelamatkan diri?
"Fa..?" Aku berusaha memanggil Fa dalam hati, berharap kalau aku tak benar-benar sendiri.
"Kekuatanmu itu harapan. Cahaya. Kau bisa memancarkan cahaya, oke!?" Jawab Fa ketus.
Kalau aku bisa bertemu orang ini secara langsung, rasanya ingin kutampar. Ingin aku bertanya tentang kekuatanku yang lain kepadanya, namun dia bukan tipe orang yang bisa diajak bicara baik-baik. Jadi kuurungkan saja niatku itu.
Akhirnya kuputuskan untuk menyusuri gang gelap ini.
[Dream Catcher] keemasan itu kembali muncul di punggungku secara otomatis saat aku memikirkannya. Cahaya keemasan menyorot keluar dari tangan kananku, menyinari jalan gang yang gelap.
Kulihat detail gang yang ternyata lebih kumuh dari perkiraanku. Bau sampah memenuhi udara, dan suara-suara binatang kecil berkeliaran di kegelapan.
"Tolong!!"
Suara itu terdengar lagi. Kali ini tenggelam dalam redamnya tembok konkrit. Tak kupedulikan rasa takutku, aku segera bergegas mengikuti arah sumber suara itu. Samar-samar kudengar suara sesuatu yang diseret, rintihan kecil diiringi isak tangis. Tubuhku masih gemetar ketakutan, namun keinginan untuk menolong melebihi rasa takutku.
Saat kusorotkan sinarku ke arah suara itu, kulihat seorang pria besar sedang menyeret tangan gadis kecil yang tubuhnya dipenuhi luka.
"Hei, siapa di sana!?" Pria itu menoleh menyadari keberadaan sumber cahaya di belakangnya. Ia lalu menghempaskan gadis itu ke lantai dan berlari menerjangku yang masih berdiri ketakutan.
"A – a..ku.."
Pukulan itu tak bisa kuhindari. Telak menghantam perutku, seketika membuatku memuntahkan cairan yang tersisa dari lambungku. Tangan kekarnya tak henti meninju perutku, sementara tangan satunya meremas leherku yang tak sebanding dengan besar telapak tangannya.
Hantaman keempat membuatku memuntahkan darah. Lalu ia menggunakan kedua tangannya untuk mencekik leherku.
Dingin memenuhi rongga dadaku. Cekikannya membuatku sulit bernafas, sehingga aku harus menggapai-gapai oksigen yang tercecar di udara. Meminta tolong pun serasa percuma.
"NA, BANGUN!"
Suara Fa menyadarkanku. Membuatku sadar, kekuatanku adalah harapan, dan cahaya adalah sahabatku. Aku bisa membuat cahaya untuk..
MEMBUTAKAN!
Seketika cahaya yang sangat menyilaukan memancar hebat dari tubuhku. Pria itu reflek melepas cekikannya dan menutup matanya sambil berteriak kesakitan. Harapan memenuhi nafasku, dan menyembuhkan rasa sakitku seketika. Harapan pula yang mengusir rasa takutku dan mendatangkan keberanian.
Aku segera berlari menuju gadis kecil yang terbaring tak berdaya, menggendong tubuhnya lalu memanggil harapan untuk terbang sejauh mungkin untuk saat ini.
(* * *)
Saat kurasa ku telah cukup jauh dari pria itu, kuputuskan untuk beristirahat sejenak.
Gadis kurus berambut hitam lurus sebahu itu kubaringkan di atas rumput di sebuah lapangan. Tubuh mungilnya tergolek tak berdaya, kulit gelapnya dipenuhi luka baru maupun bekas luka. Bibirnya kering dan pecah-pecah, sementara nafasnya begitu lemah.
Aku pun berharap gadis ini bisa sembuh.
Bak keajaiban, cahaya keemasan yang sedari tadi menyelimuti tubuhku kini ikut menyelimuti gadis itu. Dengan cepat, luka-luka di tubuhnya menutup. Nafasnya yang tadi lemah kini makin terdengar. Sesaat kemudian, ia membuka matanya.
Ia terkejut melihatku dan menjauh. Namun saat ia menyadari kalau aku bukan pria kekar itu, ia langsung memelukku dan menangis.
"Tidak apa-apa, dia sudah pergi," ujarku lembut sambil mengelus rambutnya. "Siapa namamu, gadis kecil?"
"S – Sje..na," ucapnya dengan suara jernih namun lemah. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya.
"Sudah..sudah..tak usah menangis lagi. Ada kakak di sini menemanimu."
"Kakak..siapa?" Tanyanya sambil menyeka air mata dengan kedua telapak tangannya.
"Panggil saja kakak Na."
"…Na?"
"Iya," jawabku singkat.
Kuharap bisa kuberikan kejelasan pada nama yang padat itu. Namun hanya itu informasi yang kumiliki saat ini.
"Sedang apa kau di sini, Sjena?"
Sjena melepaskan pelukannya dan memutuskan untuk duduk di rumput. Pandangannya menerawang jauh seolah kembali ke masa lalu.
"Aku mencari Mr. Kitty," jawabnya lirih. "Kucingku," lanjut Sjena sambil menoleh ke arahku.
"Saat aku mencarinya, tiba-tiba ada pria yang tak kukenal menarikku ke gang gelap dan memaksaku ikut dengannya. Saat aku menolak, ia memukulku..Lalu di ujung gang, ia mengancam akan membunuhku, lalu dia..membuka resleting celananya, lalu… lalu…"
Sjena tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Air mata kembali membasahi pipinya. Tangan mungilnya berusaha menyeka air mata yang jatuh dari sudut matanya. Ia lalu menarik kakinya, memeluk lututnya lalu tenggelam dalam tangis.
Sial, seharusnya aku datang lebih awal.
Rasa sesal takkan membantu untuk saat ini, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah melindungi gadis kecil ini.
Aku kembali memeluk Sjena dan berusaha meredakan tangisnya. Namun saat aku beranjak dari tempatku duduk, kudengar suara menderu dari jauh. Terdengar seperti suara mesin mo –
Tubuhku terlempar sekian meter tanpa sempat melihat apa yang barusan terjadi. Beruntung aku belum hilang kesadaran, meski rusukku rasanya patah dan menusuk organ dalamku. Perutku serasa ditarik keluar, aku berusaha menutup mulutku yang penuh darah.
Secepat mungkin, aku menggunakan kekuatan harapan untuk memulihkan keadaanku. Di kejauhan, kulihat Sjena berlari ke gang gelap lain tak jauh dari sana.
Pria itu membuang motornya begitu saja setelah menabrakku, lalu mendekatiku dengan sebuah tongkat di tangannya. Aku sama sekali belum sempat memulihkan luka-lukaku saat sebuah pukulan keras melayang ke kepalaku.
Darah segar mengucur deras dari hidungku yang patah. Pandanganku kabur, aku tak bisa memfokuskan kesadaranku, semuanya terlihat nyaris gelap.
Pukulan kedua kembali melayang di tempat yang sama.
"NA! Apa yang kau lakukan, bodoh? Biarkan aku melawan pria itu!"
Tidak, Fa. Tidak. Aku harus menyelamatkan Sjena sendiri tanpa perlu membunuh siapapun. Entah kenapa aku tahu Fa takkan membiarkan pria ini hidup. Aku tidak ingin Sjena melihat kematian.
Bosan memukulku, pria itu memutuskan untuk mengejar Sjena.
"Khau phikir bhisa lephas beghithu sajha?" kataku saat memeluk kaki pria itu dengan kedua tanganku, mencegahnya mengambil langkah lebih jauh.
Suaraku terdengar konyol. Wibawaku ikut hilang bersama dua buah gigi yang terlempar keluar dari bibirku. Saat darah memenuhi rongga mulutmu, kau hanya bisa berbicara dengan huruf vokal.
Larilah, Sjena. Selamatkan hidupmu!
"NA!!!"
Tak kuindahkan permintaan Fa. Tak kuindahkan tendangan pria itu. Selama aku bisa mengulur waktu, aku akan lakukan. Pria itu berusaha melepaskan diri dengan memukulkan tongkat itu ke punggungku. Namun tak berguna, harapanku lebih besar daripada hasratnya. Kutarik kakinya hingga ia terjatuh ke belakang.
Dengan cepat aku berusaha merebut tongkat itu dari tangannya, namun genggamannya lebih kuat daripada yang kukira.
Jika aku tak bisa menarik tongkat itu, aku bisa..
Mendorongnya ke leher pria itu.
Kugunakan berat badanku untuk menekan tongkat itu, mengalahkan genggamannya. Perlahan, kuarahkan tongkat itu tepat ke lehernya, membalas apa yang ia lakukan tadi padaku.
Apa yang aku lakukan?
Aku bukan seorang pembunuh!
Terkejut, tanpa sadar aku melepaskan genggamanku. Sedetik momen itu dimanfaatkannya untuk membalikkan keadaan.
Seketika, ia sudah menduduki tubuhku. Dan tongkat itu sudah ada di leherku. Ia hanya butuh satu tangan untuk melakukan semua ini. Sementara tangan satunya meraih resleting jaketku dan membukanya perlahan.
Tidak, tidakk, TIDAAKKKKK!!!
Aku meronta sekuat mungkin, melepaskan rasa sakit yang mencekik leherku. Memukul-mukul udara kosong, lemah tak bertenaga. Gelap perlahan memasuki jangkauan pandanganku. Keringatku terasa dingin, dan semakin dingin. Nafas. .ku… perlahan…hi…la…ng…
Is this the end?
Chp 1 : Moral
[FIN]
===(* * *)===
Chp 2 : Chaos
"The best weapon against an enemy is an enemy." – F.N
[Fa's POV]
Sudah, aku tak bisa jadi penonton lagi.
Seiring menghilangnya kesadaran Na, aku muncul ke permukaan kesadaran dan mengambil alih tubuh Na. Ia begitu naif, ia bahkan tak bisa melindungi dirinya sendiri, tapi berharap melindungi orang lain. Bodoh!
Kugunakan kekuatanku : Keputusasaan, untuk menorehkan luka di tubuh –
Tapi tubuhku tak bisa bergerak sama sekali.
Bukan lagi seorang pria yang menduduki tubuhku, tapi.. makhluk apa ini!? Tinggi, hitam, besar, dipenuhi bulu. Aku dapat melihat taringnya mencuat keluar dari bibirnya yang lebar. Matanya besar membelalak, menatap garang padaku.
Ini tidak mungkin terjadi!
Aku pernah mengalami ini, [Sleep Paralyze], di mana aku melihat sesosok bayangan besar menduduki tubuhku, sehingga aku tak bisa menggerakkan badanku sama sekali. Tapi, kenapa ini terjadi sekarang? Apa yang sedang terjadi saat ini?
Tanah tempatku berbaring tiba-tiba berubah menjadi lumpur hisap. Dari bawah, muncul tangan-tangan hitam berbulu lebat. Kuku-kuku mereka panjang, melukai tangan dan kakiku yang mereka genggam. Perlahan, keputusasaan menguasai pikiranku. Membiarkanku tenggelam dalam kegelapan, tanpa ada harapan.
(* * *)
Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhku. Aku berusaha menenangkan diriku sejenak. Namun saat menyadari aku terbangun di tengah hutan, panik kembali mendatangiku.
Gemerisik hutan terdengar begitu ramai. Begitu banyak suara-suara memilukan terdengar dari sudut kegelapan. Malam membawa angin beserta keputusasaan di dalam setiap hembusnya. Cahaya yang tersisa hanyalah redup rembulan yang tertutup daun.
Kulihat sekelebat bayangan putih melambaikan tangannya padaku dari atas pohon. Rambutnya begitu panjang, menutupi gaun putihnya yang konyol itu.
"Matilah!" Perintahku.
Kugunakan kekuatanku untuk menorehkan luka pada makhluk sialan itu. Darah segar terciprat keluar dari balik gaun putih lusuhnya. Namun ia hanya tertawa cekikikan melihatku susah payah menorehkan luka padanya.
Sekelebat bayangan kuning muncul dari balik pepohonan lainnya, begitu cepat tanpa sempat aku melihat sosoknya. Berpindah dari dahan ke dahan lainnya, seolah ingin bermain denganku.
Tiba-tiba kurasakan telapak tangan dingin mengelus punggungku. Jari-jarinya yang panjang dan kurus membuat tubuhku kaku seketika. Kuberanikan diriku untuk menoleh.
Tak ada apapun di belakangku.
Aku langsung berteriak dan berlari tanpa arah. Sejauh mataku memandang, hanyalah pepohonan dan semak belukar yang kutemui. Cahaya redup rembulan sama sekali tak ingin membantuku. Sementara, suara-suara gaib itu menertawaiku dari balik kegelapan.
Kekuatanku percuma di sini. Aku hanya bisa melukai, membutakan, memberikan keputusasaan, mimpi buruk, dan menjatuhkan benda. Kegelapan kecilku tak ada artinya, ditelan kegelapan yang lebih besar.
Tunggu, aku masih bisa menjatuhkan pohon-pohon brengsek ini!
Segera, kugunakan kekuatanku untuk merubuhkan satu demi satu pohon. Bulan kini semakin jelas melihatku sedang melakukan Illegal Logging. Persetan dengan semua setan-setan ini! Mati kalian semua, mati!!!
Hanya lima pohon yang bisa kurubuhkan. Kekuatanku habis sudah. Tak ada gunanya lagi mencoba, kegelapan tetap menjadi raja rimba.
Lelah, kuputuskan untuk duduk di batang sebuah pohon yang baru saja kurubuhkan. Namun mataku tetap waspada melihat keadaan sekeliling. Takkan kubiarkan rasa takut menghantuiku lagi.
Tak butuh waktu lama bagi perkiraanku untuk menjadi salah, tangan laknat itu muncul dari bawah lagi. Tiada hari tanpa bermain curang bagi mereka yang berasal dari gelap.
Aku memfokuskan kekuatanku untuk menghancurkan tangan itu. Yang akhirnya hancur setelah semenit meronta dan menjerit seperti banci. Aku harus segera keluar dari tempat ini, tapi bagaimana?
Berpikir Fa, berpikir!
Aku berlari tak tentu arah, menerobos hutan dan semak belukar. Di kejauhan, kulihat cahaya samar-samar. Harus kupastikan bahwa cahaya itu bukanlah dari makhluk kegelapan. Untungnya perkiraanku benar, cahaya itu berasal dari sebuah kabin. Aku tak lagi berpikir lebih panjang. Kakiku melangkah ringan sekali menuju pintu kabin itu.
Aku masuk dan membanting pintu dengan keras, lalu aku duduk bersandar pada pintu kayu itu. Menarik nafas panjang dan mengusap wajahku dengan tangan. Mengatur nafas untuk beristirahat sejenak.
Tampaknya mimpiku dan Na mengambil tempat yang berbeda. Alam mimpi tampaknya merancang skenario berdasarkan kesadaran pemimpi yang masuk. Dan manusia dengan kesadaran ganda tentunya memiliki mimpi yang berbeda antara satu persona dengan persona lainnya. Ini sebuah teori yang menarik, jika aku keluar dari sini aku akan menulis tesis tentang ini.
Bagaimana dengan orang-orang berkepribadian ganda lainnya? Apakah mereka juga memiliki sub-kesadaran yang terpisah-pisah? Ah, aku tak tahu. Ini kali pertama aku menjadi orang berkepribadian ganda.
"Tok..tok..tok"
Bagaimana dengan..
Hei, kau dengar itu barusan?
"Tok..tok..tok"
Suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas. Ketukan pelan yang sengaja diberi jeda antar satu ketukan. Apa itu semacam kode morse? Atau semacam ritme tertentu yang berkaitan dengan kode sandi lainny –
Tiba-tiba lampu kabin padam tanpa sebab.
Rasa takut kembali meraba leherku, gemetar juga ikut menguasai tubuhku. Aku berusaha untuk berpikir tenang, dan memikirkan rencana selanjutnya. Aku harus bisa selangkah lebih maju daripada makhluk-makhluk sialan ini.
ANJING!
Apa itu tadi barusan!?
Tak ingin membuang waktu, aku segera angkat kaki dari tempatku duduk. Tak peduli harus kemana lagi. Mimpi brengsek ini harus segera kuakhiri!
Dapat kudengar suara derap kaki yang tak kalah cepat di belakangku. Namun aku tak menoleh. Takkan. Pernah. Menoleh.
Berpikir, Fa. Berpikir cepat! Untuk apa kau berprestasi di bidang akademis!?
Berlari sambil berpikir menguras tenagaku, nafasku rasanya ingin terbang lepas dari tubuhku. Tapi apa yang akan terjadi apabila aku benar-benar hilang kesadaran? Apa kesadaran Na akan mengambil alih dan alam mimpi akan melanjutkan skenario mimpi Na?
"Na!" Panggilku.
Namun Na tak menjawab, tampaknya kesadarannya masih belum aktif. Aku harus membangunkan Na. Tapi, untuk memasuki [Ruang Sub-Kesadaran Kolektif] dan menemukan persona Na, aku harus dalam keadaan tenang untuk berkonsentrasi. Bagaimana aku bisa tenang kalau begini?
Dengan panik, aku melihat sekelilingku. Gelap masih bertebaran liar di sekitarku. Aku tak yakin aku bisa berkonsentrasi, tapi aku harus mencobanya.
Aku lalu duduk dan memejamkan mata, mengafirmasikan diriku untuk masuk lebih dalam.
Perlahan, aku dapat melihat ruang putih yang menjadi tempat kami bertemu. Samar-samar, aku dapat melihat tubuh Na sedang berbaring tak jauh dari sana. Aku hanya perlu membangunkannya.
"NA!!" Panggilku lagi.
Masih tak menjawab. Mungkin aku harus mencoba memanggilnya lebih keras.
Konsentrasiku buyar saat makhluk bangsat itu datang dan mencengkram leherku. Aku masih berusaha berkonsentrasi untuk memanggil Na, namun gagal. Mungkinkah ini saatnya aku berserah pada keputusasaan?
Tangannya yang dingin mencekik leherku erat, sementara bibirnya sibuk terkekeh sendiri. Kepalanya bergerak patah-patah seperti seekor ayam melihat cacing menggelepar di tanah. Aku dapat merasakan apa yang dirasakan Na tadi, menjadi lemah dan tak mampu menolong diri sendiri.
Jika kesadaranku hilang, dan kesadaran Na belum kembali. Apa kami akan terbangun? Tapi.. aku tak seharusnya bangun untuk saat ini. Aku harus tetap bermimpi, dan mewujudkan mimpi Na, apapun itu. Aku tak bisa kembali ke dunia nyata untuk sekarang. Seberapapun besar keputusasaan yang harus aku tempuh, aku tak bisa berhenti di sini.
"Jika lawanmu memberikanmu rasa sakit. Maka kau harus memberikan rasa sakit yang LEBIH HEBAT padanya!!"
Dengan sisa kesadaranku yang tipis, aku memaksa kedua tanganku untuk mencengkeram balik wajah dingin itu.
Nafasku berpacu dengan waktu, kulepaskan keputusasaan tanpa ragu. Adrenalin memaksa tubuhku tetap berfungsi dengan oksigen yang nyaris tak ada. Aku hanya perlu melukai. Ya, melukai dan menghancurkan adalah aset terbesarku.
"Matilah."
Sepersekian detik sebelum kesadaranku hilang, wajah raksasa itu meledak berkeping-keping. Cipratan darahnya mengotori wajah dan tanganku. Aku meringkuk dan terbatuk-batuk sambil menggapai-gapai oksigen yang tercecar di udara.
Aku tak punya banyak waktu. Aku harus masuk ke [Ruang Sub-Kesadaran Kolektif] untuk membangunkan Na, menjatuhkan diri dan mengelabui alam mimpi untuk melakukan [False Awakening] dan melanjutkan kronologi mimpi Na.
Tapi aku tak bisa melakukan semuanya satu-per satu. Aku tak bisa menyembuhkan diri sendiri, jadi kesadaranku berada di ambang batas antara ada dan tiada.
Geografi tak bekerja di alam mimpi, jadi jurang tak mungkin berada jauh dari sini. Alam mimpi seharusnya telah membaca sub-kesadaranku dan secara tidak sadar merancang sebuah jurang tak jauh dari si –
Whoa, tiba-tiba di depanku sudah menjadi jurang. Aku tak dapat melihat dasarnya, yang aku lihat hanya kegelapan yang ditemani cahaya redup rembulan. Sementara itu, angin ikut menghembuskan semangat keputusasaan dan bunuh diri.
Jika ini bukan mimpi, aku takkan lompat dari pinggir jurang.
Sekali lagi, aku menatap dasar jurang. Tiba-tiba aku merasa pusing, tampaknya tubuhku sudah tak mampu lagi.
"When you look into an abyss, the abyss also looks into you." – F.N
Aku melompat dan menyerahkan tubuhku pada angin. Aku memejamkan mataku dan masuk ke [Ruang Sub-kesadaran kolektif], yang juga jatuh mengikutiku. Persona Na muncul dengan jelas di hadapanku, ikut terjatuh.
"Na, bangun.." Panggilku dengan lemah saat berusaha meraih tangan Na.
"One must still have chaos in oneself to be able to give birth to a dancing star." – F.N
Chp 2 : Chaos
[FIN]
===(* * *)===
Chp 2.5 : The Will
"der Wille zur Macht" – F.N
[3rd person POV]
Ruang museum itu begitu sesak. Tak hanya dipenuhi karya seni dari seluruh penjuru semesta, tapi juga bibit-bibit mahakarya baru yang baru saja tiba di Museum Semesta. Bingkai demi bingkai mimpi dipajang di tiap celah ruang. Mengharapkan para Reveriers untuk tiba dan menciptakan mahakarya.
Ratu Huban. Wanita kerdil berkepala bantal itu tampak sibuk memainkan tongkat gagang payungnya , melihat-lihat bingkai mimpi sambil bergumam sendiri.
Tiba-tiba ia berhenti sejenak di depan sebuah bingkai mimpi, dan memperhatikan nama yang terpahat di bagian bawah bingkai.
"FaNa," gumamnya. "Nama yang aneh."
Ia lalu memutar-mutar tongkat gagang payungnya. Seketika, cahaya berkilauan memunculkan mimpi yang sedang dialami Reverier dalam bingkai tersebut.
"Dia punya mimpi yang menarik.. Dan sayap yang menarik pula. Itu [Dream Catcher] bukan?"
"Huban!" Jerit seorang pria bersetelan jas tak jauh dari tempat Ratu Huban berdiri.
Namun yang dipanggil tak menyahut, ia sedang sibuk menonton mimpi dan tak mengindahkan sekelilingnya.
Zainurma, pria bersetelan necis itu tampak kesal. Ia langsung mendekati Ratu Huban dan menepuk pundaknya.
Ratu Huban terkejut, "A-ah Paman Nurma, sejak kapan di sini?"
Zainurma hanya bisa menggeleng-geleng sambil membetulkan kacamata hitamnya. Ia tahu benar kalau Ratu Huban apabila sudah asyik akan sesuatu akan melupakan segalanya.
"Lupakan. Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan, Huban?"
"Aku sedang menonton mimpi Reverier satu ini, Paman!" Seru Huban bersemangat.
"FaNa, nama yang aneh.." Gumam Zainurma, senada dengan Ratu Huban. "Aku tak ingat pernah menandai gadis ini. Apa kau yang menandainya, Huban?"
Wanita kerdil itu hanya mengangkat bahunya sambil menggeleng.
Zainurma lalu melepaskan kacamata hitamnya, sekedar memastikan tampilan mimpi yang ia lihat. Tampak seorang gadis berjaket abu-abu sedang dicekik oleh seorang pria kekar. Gadis itu tampaknya tak mampu melawan, apalagi membalikkan keadaan.
"Ah, Reverier satu ini pasti akan gugur.." Gumam Zainurma sambil memakai kembali kacamatanya, lalu beranjak pergi dari bingkai mimpi itu.
Baru beberapa langkah saja Zainurma meninggalkan tempat itu, Ratu Huban berteriak memanggilnya.
"Paman, Paman!! Lihat ini!"
Pria necis itu kembali melepaskan kacamata hitamnya untuk kedua kalinya, tak percaya apa yang ia lihat barusan. Baru saja gadis yang tampak di mimpi, kenapa bisa jadi pria?
Zainurma bergegas membuka [Katalog Semesta], sebuah buku tipis berukuran A5 bersampul hitam dengan garis hias keemasan yang ia bawa sejak tadi. Halaman-halaman yang awalnya kosong tiba-tiba muncul tulisan.
"FaNa..FaNa…" Gumam Zainurma sambil mencari nama Reverier yang ia maksud.
"Dua pemimpi dalam satu tubuh?" Tanya Zainurma setengah tidak percaya. "Tidak mungkin terjadi! Ini melawan Kehendak-Nya!"
Tiba-tiba ia ingat pemuda itu. Pemuda yang sering mengintip Museum Semesta dari mimpi yang jauh, namun pengaruh Sang Kehendak membuat pemuda itu terbangun sebelum dapat mendekati museum ini. Zainurma menandainya karena ia tampaknya unggul di bidang akademis, dan seorang Oneironaut – Penjelajah Mimpi.
Tapi ia tak mengenal gadis satunya. Baik ia maupun Ratu Huban tak ingat pernah menandainya. Apa berarti pemuda itu yang menandainya sendiri?
Zainurma tersenyum sinis, menutup [Katalog Semesta] dan beranjak pergi.
"Paman mau kemana? Ini seru lho," panggil Huban sambil menunjuk ke bingkai mimpi FaNa.
"Aku sibuk, kau cepat-cepatlah jemput Reverier itu!"
Pemuda yang mampu menipu Sang Kehendak? Hmm, menarik. Tapi apakah kau bisa menipu-Nya saat kau berada di Museum Semesta, tempat kuasa-Nya?
Chp 2.5 : The Will
[FIN]
===(* * *)===
Chp 3 : Faith
"Faith : not wanting to know what is true." – F.N
[Na's POV]
"Hggkh hgghhghk!!"
Aku terbangun dengan nafas tercekat, seolah ada sesuatu yang menghalangi jalur nafasku di leher. Begitu kesadaranku kembali, aku dapat mengatur nafas dengan normal. Lalu kulihat tubuhku..
Aku segera menutup resleting jaketku. Berusaha tak ingin memikirkan apa yang pria kekar itu lakukan pada tubuhku tadi. Namun hatiku tak bisa berbohong, ia menangis sejadinya, meluapkan semua amarah dan rasa sakit yang memenuhi tiap rongganya.
Aku meringkuk dan memeluk diriku dalam posisi fetal. Memanggil-manggil ibu yang jelas-jelas tak ada. Memanggil harapan yang mungkin sudah pergi entah kemana.
Sjena!
Ya Tuhan, apa yang terjadi pada Sjena sekarang? Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri!?
Aku segera memanggil [Dream Catcher]ku untuk terbang, namun pendar cahayanya begitu redup dan tak sanggup untuk terbang. Membuatku terpaksa berlari mencari keberadaan gadis kecil itu.
Segera aku pergi ke gang sempit di mana terakhir aku perkirakan Sjena berada. Gang ini lebih terang daripada gang pertama aku bertemu Sjena. Kurasa aku tak perlu menggunakan cahaya, lagipula harapanku tak mampu untuk memproduksi caha –
– ya.
Apa yang terjadi?
Sjena duduk bersandar di dinding, bermandikan darah. Nafasnya terisak, matanya sembab dan cahaya tampak hilang dari pupilnya yang senada dengan langit. Di sampingnya tergeletak tongkat yang pria itu gunakan tadi.
Kuikuti jejak darah dan kutemukan pria itu telah terkapar dengan kepala hancur.
Aku segera berlari dan memeluk Sjena, menanyakan padanya apa yang barusan terjadi.
Sjena kembali menangis saat ia memulai kata-katanya, "A – aku pe – pembunuh.."
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, aku tak menyangka mendengar itu langsung dari bibir Sjena. Ia yang masih gemetaran kembali melanjutkan ceritanya, "Sa - saat ia lengah, aku tendang selangkangannya hingga ia jatuh..Lalu.. lalu, a – a, tongkatnya jatuh, lalu…"
Ya, aku tahu apa yang terjadi selanjutnya. Maafkan aku yang tak mampu melindungimu di saat kau sangat membutuhkan. Aku merasa tak berguna, teganya aku membiarkan seorang anak kecil menjadi seorang pembunuh.
Tapi apa aku punya keberanian untuk melakukannya?
Apa aku akan terus membiarkan orang lain membunuh demi diriku?
Jangan naif, Na. Dasar pengecut.
Kau tak berani membunuh.
Kata-kata hatiku sendiri membuatku takut.
"Kau bukan pembunuh, Sjena..Aku yakin sekali, kau bukan seorang pembunuh. Percayalah padaku Sjena.."
Aku melepaskan pelukanku dan beranjak menuju tubuh pria itu. Dengan sisa kekuatan harapanku, aku menyembuhkan lukanya.
Apa yang kau lakukan, Na?
Kau tidak menyelesaikan apapun. Kau hanya membohongi dirimu sendiri dan juga Sjena.
Kau berbohong kalau Sjena bukan pembunuh.
Dan kau mengobati pria itu hanya untuk membuatmu tidak merasa bersalah, karena telah meninggalkan Sjena sendirian dan menjadi pembunuh.
Sjena membunuh karena kesalahanmu.
Kau sungguh lemah.
Munafik dan lemah.
Apa yang barusan kupikirkan? Apa itu benar kata hatiku? Bukankah itu gaya bicara Fa? Aku tidak lemah! Aku tidak munafik..
Aku tidak…
..Sanggup.
Wajah pria itu telah kembali seperti semula, tanpa goresan luka sedikitpun. Aku lalu menaruh jariku di bawah hidungnya, memastikan bahwa ia menghembuskan nafas.
Tidak. Tidak sama sekali.
Tidak ada nafas yang berhembus darinya. Ia sudah mati, aku hanya sedang menghibur diri dan membohongi diri sendiri. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya pada Sjena?
Aku kembali pada Sjena yang masih syok. Sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, "Apa dia mati, Kak?"
"Dia masih hidup . Dalam beberapa jam dia akan sadar kembali. Ayo kita pergi, Mr. Kitty menunggumu bukan?"
Pembohong!
Kehidupan kembali berhembus pada senyum Sjena. Binar ikut kembali berkilau di matanya yang biru. Tanpa ragu, ia menggenggam tanganku, dan kami berjalan mencari harapan.
Kadang kebenaran terlalu menyakitkan untuk diceritakan, kawan. Menjadi benar belum tentu menjadi baik.
Tak lama kami berjalan, suara kucing terdengar jelas dari salah sudut perempatan. Aku dapat melihat kucing hitam itu dengan jelas sedang berbaring di trotoar.
"Mr. Kitty!!" Seru Sjena antusias.
Kata-kata tak bisa mendeskripsikan kebahagiaan yang dirasakan Sjena, akhirnya menemukan apa yang ia cari. Segala pengorbanan telah terbayarkan, meski rasanya tidak setimpal. Namun kebahagiaan adalah urusan personal, yang tak bisa dimengerti orang lain.
Tiba-tiba seberkas cahaya putih seukuran manusia muncul di hadapan kami. Seorang wanita kerdil berkepala bantal dan satunya lagi seorang wanita yang membawa tombak dan tameng.
"Selamat Nona FaNa! Anda telah menyelesaikan babak pre-eliminasi. Silahkan lanjutkan ke portal untuk masuk ke ronde berikutnya!" Ujar wanita berkepala bantal. "Oh, jangan lupa dombanya.."
Ronde? Apa aku sedang berada di turnamen? Turnamen apa? Bukankah ini mimpi? Apa jika aku masuk ke portal itu aku akan terbangun? Apa yang sedang terjadi?
Seekor domba tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku menggendong domba kecil itu dan melangkah menuju portal. Namun sebelum aku pergi dari tempat ini, aku berbalik arah dan melambaikan tanganku pada Sjena.
Gadis kecil itu membalas lambaian tanganku dengan senyum. Rambut hitam sebahunya tampak berkilauan ditiup angin. Mr. Kitty pun ia lambaikan kaki depannya padaku, namun kucing itu tampak kesal dan melompat dari gendongan pemiliknya, memilih untuk jalan sendiri.
Aku tertawa kecil sambil melambaikan tangan sekali lagi.
"Jangan lupakan aku ya, Kak!!" Teriak Sjena sambil mengejar kucingnya.
"IYAAA!!" Balasku.
Aku kembali berbalik berhadapan dengan portal misterius yang akan membawaku entah ke mana. Namun tak ada yang bisa kulakukan selain melanjutkan misteri ini dan menguak kebenaran dibaliknya.
"He who laughs best today, will also laughs last."
- Friedrich Nietzsche-
Chp 3 : Faith
[FIN]
===(* * *)===
Selesai baca ini saya baru keinget, FaNa ini dua"nya ga punya ingatan sebelum entri ini dimulai ya? Kalo iya jadi masuk akal sampe akhir ga ada bg jelas tentang siapa mereka ini, walau kemampuan sama karakternya lumayan dapet
BalasHapusSoal tulisan masih khas kamu, dibagi part", cuma sekarang ditambah pov gonta-ganti antara Fa sama Na. Di akhir rada ngingetin sama Meredy, entran yang kesannya 'ga seharusnya ada di sini'
Cameo Sjena menarik, tapi kalo nginget dia muncul di 4L rada ironi juga karena berarti Sjena udah mati
Nilai 8
Menakutkan T_T
BalasHapusTapi Fa keren sekali :*
Aku suka dua orang ini, juga interaksi mereka berdua. Digambarkan dengan halus dan pelan-pelan, jadi tau bagaimana sifat keduanya.
Sjena dan Mr. Kitty lucuu. Tapi paling suka saat Fa berusaha meraih tangan Na. Jadi pingin nangis. Kasihan Fa dikejar-kejar makhluk menyeramkan kayak gitu
Apakah kemampuan Na itu bisa digunakan untuk mengobati Fa?
Nilai 9
Merald
GHOUL : “Aku baca lucid dream di creepy pasta. Apa kamu perna alamin yang namanya monkey dream, sleep paralysis, somnambulist dll? Aku pernah mua haha?
BalasHapusSetelah baca sih unik bangetlah, jadi pengen berhadapan dengan orang seunik ini, terutama Fa!
Eh, itu gambar setan apa si? Slenderman kah?” :=(O
SHUI : “Meski awalnya si agak lamban alurnya, tapi nih seru bangetlah konsepnya.”
GHOUL : “Wah gambarnya bagus2, keren.
Alurnya mengalir si sepoy2 tapi segera menyeret mata ini ke adegan2 serunya yang ga ditunda2 ke pertengahan.
Seru juga, sih. Pertarungannya lumayan sengit.
Plot twistnya du ternyata meski dalam satu tubuh tapi mimpinya beda, wow keren banget deh, aku bayangin kalo ne terjadi ama 24 wajah Billy tu gemana, misalnya ada 24 mimpi dalam 1 tubuh haha. Ne menarik banget deh!” :=(D
SUNNY : “Eyd dah cukup bagus.
‘Napas’ bukan ‘nafas’.
Pernah baca buku psikologi umum macam beginian soal kepribadian tapi dah lupa materinya hehe.”
GHOUL : “Aku suka banget ama entri ini karena plot twist dan keunikan pola mimpinya \(^0^)/
Maunya sih kasih 10, tapi karena si Na digebukin sedemikian rupa, aku kasih 9 ajah sih, kan kasihan Na itu kan cewek.” :p
'dua pemimpi dalam satu tubuh' cowok-cewek. dua keppibadian berbeda. mengingatkanku pada akito x agito (air gear). critanya rapi. 8 deh
BalasHapusKuro Godwill
pastinya susah ya menggabungkan dua mimpi jadi satu. mimpinya jadi mimpi paralel gitu, padahal satu tubuh. jd terkesan rumit.
HapusHolycrap.
BalasHapusNice jumpscare, man. Very nice. Thank you author. Thanks a lot.
Dua persona dalam satu tubuh, dengan penafsiran mimpi yang berbeda pula. Pembawaannya sangat bagus.
Well, elemen gelap yang dimiliki Fa jadi favorit saya. Tapi untuk persepsi mimpinya, saya lebih suka punya Na.
Walaupun ada beberapa pov, hal yang sebenarnya ga terlalu saya suka, tapi di entri ini pembagian pov itu lebih enak dibaca. Lebih nyaman daripada beberapa judul yang saya baca di situs fanfiction.
Untuk poin minus nyaris tidak ada, selain kesalahan penulisan dan beberapa bagian monolog yang saya rasa terkesan terlalu cepat, sehingga beberapa detailnya terlewati.
And, I really love the artwork!
Overall Score: 8
At last, greetings~
Tanz, Father of Adrian Vasilis
Oke, saya mulai komentar saya.
BalasHapusPlot mas Bayee di awal-awal menarik juga. Dan progres ceritanya juga makin mantep semakin menuju akhir, akhir ceritanya juga diakhiri dengan mantap.
Yang benar-benar menarik di sini adalah keunikan FaNa sendiri yang merupakan double entendre, dan kekuatan mereka bertolak belakang tapi sinergis. Cara interaksi mereka juga seru.
Gak banyak komentar, karena eksekusinya bagus banget, pacenya saya rasa kurang build-up aja, tapi udah oke banget semua adegannya. Jadi penasaran selanjutnya gimana.
9/10 dari saya untuk eksekusi konsep segar yang menggelegar
Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut
eh, asem.. ss game horror ditongolinn di sini.
BalasHapuslike last year.. FaNa pasti dijadiin karakter "official hateable" ama panitia. BG yg gak direveal bener-bener membuat saya penasaran bagian sepak terjang dua malaikat ini.
oh ya btw, meskipun dia "malaikat" tp kesannya sungguh humanis, saya suka sepak terjang dua kembar ini.
8 Axel Elbaniac
satu kata kotor yang saya katakan habis membaca entry ini : anjir!!!
BalasHapusmemasukkan ss jumpscare di entry ini jujur membuat saya mengalami serangan jantung ringan. untung aja saya tidak membacanya di tengah malam jumat kliwon.
alur cerita yang bagus dengan eksekusi yang mumpuni. satu tubuh dua kepribadian jatuh ke rock bottom, eh maksudnya kegelapan yang mencekam.
pergantian POV menurut saya cukup bagus dengan memberikan POV siapa cerita ini dibangun.
nilai dari saya 9. semoga sukses..
Dwi Hendra
OC : Nano Reinfield
I like your pict..
BalasHapusPengolahan pov nya bgus.. alurnya agak lambat buat aku//aku emg suka yg cepet"//
Tpi ceritanya bgus.. dn ktakterisasi Fa dan Na itu great, deh...
Finally, aku ksih..
8
See you, fa na
Sincerely,
RJ Marjan
100% kaget waktu ngelihat ss-nya
BalasHapusceritanya bagus meskipun alurnya agak lambat... tapi bagus
Setelah baca entry ini saya jadi penasaran dengan masa lalu Fa dan Na
nilai dari saya 9 semoga lanjut ke babak berikutnya
OC: Snow Winterfeld
Hm...
BalasHapusIni menarik, dua keribadian yang disertai gender shifting sesuai kepribadiannya. Sayang konfliknya masih kurang kena, Fa hanya sekedar jumpscare yang gak nakutin dan numpang lewat, lalu Na keburu beres dibantai Sjena, jadi kesannya mereka lewat dengan mudah.
Tapi saya masih penasaran kenapa Na bisa nahan autoswitch ke Fa saat nyawa mereka terancam.
Oh well, 8 points for you~
Asibikaashi
Pertama liat SS nya langsung jumpscare, like hell man im read this in 3:10am xD tapi selanjutnya ada ilustrasi lain yang lebih seger~
BalasHapusKonflik yang disajikan menurutku kerasa kok tapi masih sedikit kurang padahal bisa dikembangkan, konsep gender shifting disini unik dan masih belum bisa di judge nilai dari konsep tersebut sekarang jadi ya oke oke aja sampai disini.
Sekali lagi, jumpscare nya bagi saya sih kena jadi anda sukses membuat saya serius untuk mengikuti cerita ini karena dari awalnya saya ngantuk jadi melek kembali setelah melihat gambar tersebut. Well done, author!
Walakhir 8
Ganzo Rashura